Anda di halaman 1dari 11

Trauma Buli

Cedera saluran urogenital bawah dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tembus, atau
trauma iatrogenik. Sekitar 10% pasien trauma abdomen yang memerlukan perbaikan dengan
pembedahan, akan menunjukkan keterkaitan dengan saluran urogenital. Ruptur buli pada truma tumpul
sekitar 67-86%, sementara trauma tembus

sekitar 14-33%. Ruptur buli pada trauma tumpul bisa

diklasifikasikan sebagai cedera ekstraperitoneal dengan rembesan urin yang terbatas pada ruang
perivesikal, atau intraperitoneal, dimana permukaan peritoneal telah disrupsi dengan adanya ekstravasasi
urin.
Sekitar 70-97% pasien dengan cedera buli karena trauma tumpul berhubungan dengan fraktur
pelvis. Diastasis simfisis pubis, sakroiliaka, dan patah pada sakral, ilium, serta ramus pubis secara
signifikan berhubungan dengan ruptur buli. Sekitar 30% pasien fraktur pelvis akan mendapat cedera buli,
dan yang mengalami cedera buli berat sekitar 5-10%.
Energi yang menyebabkan trauma akan diteruskan ke buli oleh sabuk pengaman, dan cedera
biasanya terjadi saat buli penuh. Derajat distensi buli oleh urin menentukan bentuknya dan derajat cedera
yang terjadi. Ruptur dengan energi trauma yang ringan terjadi pada buli yang distensi maksimal, namun
pada buli yang kosong jarang terjadi cedera, kecuali karena crushing injury, atau luka tusuk. Cedera
pelvis atau kelainan patologis pelvis yang telah ada sebelumnya dapat memodifikasi keadaan. Kombinasi
ruptur intra dan ekstraperitoneal dapat terjadi.
Anatomi

Klasifikasi
Skema klasifikasi cedera buli tergantung pada derajat kerusakan dinding dan lokasi anatomis
yang dikembangkan oleh Sandler dkk (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi cedera buli

Klasifikasi yang sederhana berdasarkan mekanisme cedera juga dibagi sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi cedera buli berdasarkan tipe trauma

Dalam klasifikasi ini, definisi yang sama dapat diberikan untuk trauma tumpul dan trauma tembus.
Namun, hal tersebut mempunyai dampak klinis yang sangat kecil, karena semua kasus cedera tembus buli
harus dilakukan operasi eksplorasi cito.
Trauma eksternal (non iatrogenik)
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab terbanyak ruptur buli pada trauma tumpul.
Jatuh, trauma karena industri, crush injury, dan ledakan pada abdomen bawah merupakan kasus yang
perlu diperhatikan.

60-90% pasien dengan cedera buli disebabkan oleh trauma tumpul yang berhubungan dengan

fraktur pelvis, dan 44% pasien ruptur buli mempunyai sedikitnya 1 cedera intraabdomen.
Terbanyak adalah ruptur ekstraperitoneal, kemudian intraperitoneal, dan diikuti kombinasi intra
dan ekstraperitoneal. Kombinasi cedera buli dan uretra terjadi sekitar 15% kasus. Ruptur
intraperitoneal disebabkan peningkatan tekanan intravesikal, akibat fraktur pelvis atau cedera
abdomen bawah. Karena kubah buli merupakan daerah buli terlemah dan paling bebas bergerak,
ruptur biasanya terjadi pada daerah tersebut dengan disrupsi permukaan peritoneal dan adanya

ekstravasasi urin.
Ruptur ekstraperitoneal hampir selalu berhubungan dengan fraktur pelvis. Cedera buli biasanya
disebabkan distorsi cincin pelvis dengan shearing kearah anterolateral dinding buli kearah dasar
buli atau karena counter-coup di daerah kontralateral sisi yang fraktur. Biasanya, buli langsung
robek karena fragmen tulang yang tajam.

Trauma Iatrogenik
Organ urologi yang sering mengalami cedera iatrogenik adalah buli. Trauma buli iatrogenik
(Iatrogenic Bladder Trauma = IBT) merupakan leserasi yang full-thickness. Tabel 3 menunjukkan
insidensi perforasi buli dari beberapa macam prosedur pembedahan.

Tabel 3. Insidensi perforasi buli dari beberapa macam prosedur pembedahan

IBT eksternal kebanyakan terjadi saat prosedur obstetrik dan ginekologi, diikuti oleh pembedahan
umum, dan intervensi urologis. IBT internal umumnya terjadi saat transurethral resection of the bladder
(TURB) untuk penanganan tumor. Jarang terjadi perforasi besar yang memerlukan intervensi (0.16
0.57%). Perforasi ekstraperitoneal lebih sering terjadi daripada intraperitoneal.
Faktor Resiko
Individu yang sedang berkendara dibawah pengaruh alkohol sering mengalami buli yang distensi
dan MVA. Mengemudi setelah mengkonsumsi alkohol merupakan faktor resiko terjadinya cedera buli.
Buli yang penuh merupakan faktor resiko untuk terjadinya ruptur intraperitoneal.
Resiko tinggi terjadinya cedera buli pada fraktur pelvis ditemukan pada disrupsi lingkaran pelvis
dengan displacemen > 1cm, diastasis simfisis pubis, dan fraktur ramus pubis. Fraktur asetabulum yang
terlokalisir tidak berhubungan dengan cedera buli. Faktor resiko IBT ditunjukkan pada table 4.
Tabel 4. Faktor resiko IBT berhubungan dengan beberapa macam prosedur pembedahan

Diagnosis
Tanda dan Gejala Klinis
Trauma Eksternal
Presentasi klinis cedera buli mungkin dikaburkan oleh adanya fraktur pelvis, cedera viseral, dan
atau vaskular. Tanda cardinal cedera buli adalah adanya gross haematuria, ditemukan pada 82-95%
pasien. Adanya cedera buli kuat berhubungan dengan kombinasi fraktur pelvis dan adanya gross
haematuria. Kombinasi klasik dari fraktur pelvis dan adanya gross haematuria merupakan indikasi
absolut untuk pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Sekitar 5-15% pasien dengan ruptur buli hanya
ditemukan microhaematuria. Pada kasus adanya gross haematuria tanpa fraktur pelvis, microhaematurie
dengan fraktur pelvis dan hanya microhaematuria, maka keputusan untuk pemeriksaan penunjang harus
berdasarkan adanya tanda dan gejala klinis serta sisi dengan trauma maksimal.
Tanda dan gejala lain adalah abdominal tenderness (hingga 97%), retensi urin, jejas pada regio
suprapubis, dan distensi abdomen (dalam kasus asites karena urin). Ekstravasasi urin dapat menyebabkan
pembengkakan di perineum, skrotum (melalui kanalis inguinalis), dan paha, sepanjang dinding depan
abdomen dimana ada ruang potensial antara fasia transversalis dan peritoneum parietal.

Pada kasus ruptur intraperitoneal, reabsorpsi ureum dan kreatinin melalui kavum abdomen
meningkatkan kadar ureum dan kreatinin tersebut. Pada trauma tembus abdomen, luka masuk dan keluar
pada abdomen bawah, perineum, atau pantat harus dicurigai adanya cedera buli.
Cedera buli yang berat dapat disertai dengan avulsi jaringan lunak dinding abdomen bawah dan
atau perineum, seperti juga hilangnya jaringan buli karena trauma atau infeksi. Perlu diperhatikan, dalam
kasus retensio urin dan atau hematuria, harus dicurigai cedera uretra, dan uretrografi retrograd harus
dilakukan untuk melihat keadaan uretra sebelum dilakukan manipulasi terhadap uretra (mis: pemasangan
kateter untuk sistografi)
Trauma Iatrogenik
1. Perioperatif: trauma buli iatrogenik eksternal
Inspeksi langsung merupakan metode yang dianjurkan untuk melihat integritas buli. Tanda
ekstravasasi urin, laserasi yang tampak, cairan jernih di lapang operasi, adanya keteter buli, dan
darah dan atau gas di kantung urin selama laparoskopi. Dimasukkannya methylene blue
intravesika dapat membantu. Jika ada perforasi buli maka integritas orifisium ureter harus
diperiksa.
2. Perioperatif: trauma buli iatrogenik internal
Jaringan lemak, daerah antara muskulus destrusor, atau tampaknya usus dicurigai adanya
perforasi. Tanda utama perforasi adalah ketidakmampuan buli untuk distensi, cairan irigasi yang
kembali sedikit, dan distensi abdomen.
3. Perioperatif: cedera buli yang tidak diketahui
Tanda dan gejala klinis termasuk haematuria, nyeri abdomen bawah, distensi abdomen, ileus,
peritonitis, sepsis, rembesan urin melalui luka, penurunan urin output, dan peningkatan kadar
kreatinin.

Pencitraan
1. Sistografi (konvensional atau CT Scan)
Sistografi retrograd merupakan prosedur standard dalam evaluasi diagnosis trauma buli.
Sistografi diterima sebagai pemeriksaan radiologis yang paling akurat dalam mendiagnosis ruptur buli.
Gambar saat pengisian buli cukup dan post miksi diambil, sistografi mempunyai akurasi 85-100%.
Diagnosis ruptur buli biasanya dibuat dengan sistografi saat kontras yang diberikan tampak berada di luar
buli. Sistografi, baik konvensional dan CT Scan dilakukan saat ada gross haematuria dan fraktur pelvis.
Sistografi dapat dipakai pada kasus cedera buli non iatrogenik dan pada kasus IBT saat operasi. Meskipun
sistografi konvensional dan CT Scan mempunyai sensitivitas dan spesifitas 90-95% dan 100%, sistografi
dengan CT Scan mempunyai keuntungan lebih dalam mendiagnosis cedera lain atau penyebab nyeri

intraabdomen. Sistografi konvensional dan CT Scan harus dilakukan dengan pengisian material zat
kontras secara retrograd yang perlahan, minimum 350 mL.
Pemeriksaan sistografi konvensional minimum membutuhkan film polos, film pengisian lengkap
dan post drainase. Distensi buli yang cukup penting untuk menunjukkan perforasi, terutama pada trauma
tusuk, karena banyak false-negative pada sistografi retrograd ditemukan pada kasus ini. Rekonstruksi 3D
dengan sistografi CT Scan membantu dalam menentukan lokasi ruptur buli, sehingga serial postdrainase
tidak diperlukan. Cedera buli bisa diidentifikasi hanya pada film post drainase pada sekitar 10 % kasus.
Adanya false-negative mungkin karena pemeriksaan yang belum baik dengan pemberian kontras 250 ml
atau kelalaian saat pengambilan film post drainase. Hanya penatalaksanaan sistografi yang benar yang
dapat dipakai untuk menegakkan cedera buli.
Pada ekstravasasi intraperitoneal maka medium kontras bebas akan tampak dalam abdomen,
menunjukkan loop usus dan atau menunjukkan viscera abdominal, seperti hepar. Cedera buli
ekstraperitoneal terkait dengan luas daerah dengan ekstravasasi kontras dalam jaringan lunak perivesika.
2. Sistoskopi
Sistoskopi menyediakan 2 metode untuk memastikan cedera buli intraoperatif. Sistokopi rutin
postoperatif setelah prosedur ginekologi masih menjadi kontroversi, tapi hal tersebut dianjurkan untuk
semua prosedur dimana diduga terjadi ruptur buli. Vakili dkk melaporkan bahwa 64.7% cedera buli saat
histerektomi tidak diketahui sebelum sistokopi, sehingga mereka menganjurkan penggunaan sistoskopi
rutin setelah histerektomi dan semua prosedur besar ginekologi.
Sistoskopi direkomendasikan setelah operasi minimal invasive suburethral sling dengan rute
retropubis untuk mendeteksi perforasi buli (atau uretra). Selama sistoskopi, buli harus distensi dan harus
menggunakan sistoskop optik 70 atau fleksibel untuk menginspeksi daerah dekat leher buli. Penggunaan
sistoskopi rutin untuk insersi melalui obturator masih kontroversial dimana cedera buli jarang tetapi
mungkin masih bisa terjadi. Sistoskopi setelah prosedur mesh transvaginal disukai tapi tidak dianjurkan.
Sistoskopi dengan distensi buli cukup bisa langsung menunjukkan laserasi dan dapat untuk
mengkorelasikan lesi dengan letak trigonum dan orifisium uretra. Diduga adanya perforasi luas bila buli
tidak bisa distensi selama sistoskopi.
3.

Fase Ekskresi CT Scan atau UIV


Pengisisan buli secara pasif dengan mengklem kateter urin selama fase ekskresi saat CT Scan

atau UIV diperlukan untuk menegakkan cedera buli. Curiga cedera buli saat ada ekstravasasi kontras
selama fase ekskresi.
4. Ultrasound

Kumpulan cairan intraperitoneal dan ekstraperitoneal dapat diduga adanya perforasi. Ultrasound
saja tidak bisa digunakan dalam diagnosis trauma buli.
Penatalaksanaan
Prioritas pertama dalam penatalaksanaan cedera buli adalah stabilisasi pasien dan cedera yang
mengancam nyawa. Bila operasi repair buli dilakukan, dipilih metode vesicorraphy 2 lapis (mukosadestrusor) dengan benang absorbable.
1. Trauma Eksternal
Trauma tumpul: ruptur ekstraperitoneal
Mayoritas pasien dengan ruptur ekstraperitoneal tanpa komplikasi bisa dimanajemen dengan
aman dengan drainase kateter saja meskipun ada ekstravasasi retroperitoneal atau skrotal. Obstruksi
kateter oleh klot atau debris harus dicegah agar proses penyembuhan berjalan baik. Namun, bila
berhubungan dengan leher buli, adanya fragmen tulang dalam dinding buli, adanya cedera rektum, atau
jepitan dinding buli, memerlukan intervensi operasi.
Untuk mencegah infeksi dari material osteosintesis maka saat ini sering dilakukan penjahitan
ruptur ekstraperitoneal. Pada kasus dilakukannya operasi eksplorasi karena cedera yang lain, ruptur
ekstraperitoneal harus dijahit untuk mengurangi komplikasi infeksi (terutama paravesikal abses).
Trauma tumpul: ruptur intraperitoneal
Ruptur intraperitoneal yang terjadi setelah trauma tumpul harus selalu di manajemen dengan
repair dalam pembedahan. Pertimbangannya adalah ekstravasasi urin intraperitoneal dapat menyebabkan
peritonitis, sepsis intraabdomen, dan kematian.
Organ abdominal harus diinspeksi untuk kemungkinan adanya cedera dan bila ada urinoma harus
di drainase. Bila tidak ada cedera intraabdomen yang lain, penjahitan ruptur intraperitoneal secara
laparoskopik dapat dilakukan.
Cedera tembus
Semua perforasi buli karena trauma tembus harus dimanajemen dengan eksplorasi cito,
debridement dan devitalisasi muskulus buli, lalu dilanjutkan dengan repair buli. Sistostomi eksplorasi
secara midline dianjurkan untuk menginspeksi dinding buli dan ureter distal.
Cedera Buli dengan avulsi dinding abdomen bawah atau perineum dan atau hilangnya jaringan buli
Pada kasus ini, penutupan langsung buli yang mengalami trauma akan menyebabkan tension, dan
menyebabkan iskemia, dan akan merusak hasil repair sebelumnya. Sehingga, substitusi dinding buli
diperlukan untuk repair defek buli seperti substitusi untuk memperbaiki dinding abdomen bawah atau

perineum. Penggunaan flap miokutaneus dengan pedikel vastus lateralis dilaporkan pernah digunakan
pada rekonstruksi buli post trauma dan penutupan jaringan lunak untuk abdomen bawah atau perineum.
2.

Cedera Iatrogenik
Penemuan perforasi intraoperatif ditutup secara primer. Pada cedera buli yang tidak diketahui

selama pembedahan atau untuk cedera internal harus dibuat perbedaan antara cedera intraperitoneal and
ekstraperitoneal. Untuk cedera intraperitoneal, penatalaksanaan standardnya adalah pembedahan untuk
eksplorasi dan repair. Dalam kasus-kasus tertentu (tanpa peritonitis atau ileus), manajemen konservatif
dengan drainase buli kontinyu dan pemberian antibiotik profilaksis. Sebagai tambahan dalam
penatalaksanaan konservatif, disarankan penempatan drain, terutama apabila lesi luas. Bila pembedahan
eksplorasi dilakukan setelah TURB maka inspeksi usus dengan teliti diperlukan untuk melihat adanya
cedera penyerta.
Untuk cedera ekstraperitoneal, disarankan penatalaksanaan konservatif dengan drainase buli dan
pemberian antibiotik profilaksis. Perforasi ekstraperitoneal luas kompleks dengan pengumpulan cairan di
ekstravesikal yang simptomatis memerlukan drainase, dengan atau tanpa penutupan perforasi.
Bila perforasi terjadi saat TURB, perbaikan intravesika segera dengan pemberian kemoterapi
jangan dilakukan. Bila perforasi buli terjadi selama sling midurethral atau prosedur mesh transvagina,
reinsersi sling, dan kateterisasi uretra harus dipasang.
3.

Manajemen Postoperatif
Drainase buli

kontinyu postoperatif diperlukan dalam penyembuhan buli dan mencegah

peningkatan tekanan intravesikal dan disrupsi sutura. Untuk trauma eksternal dan cedera iatrogenik
eksternal, kateter buli dipertahankan selama 7-14 hari, tergantung dari luasnya laserasi. Dianjurkan
dilakukan sistografi sebelum melepaskan kateter. Bila ada ekstravasasi kontras maka drainase kontinyu
buli tetap dipertahankan selama kurang lebih seminggu dan hingga sistografi menunjukkan tidak adanya
ekstravasasi. Untuk terapi konservatif pada cedera buli iatrogenik intra maupun ektraperitoneal, kateter
dipertahankan 5-7 hari.

Daftar Pustaka

1.
2.
3.
4.
5.

Trauma. Feliciano. 2008


Guidelines on Urologic Trauma. EAU. 2013
Richard A. Santucci; Jack W. Mcaninch. Bladder Injury: Evaluation and Management. 2000
Jeffrey A. Norton. Essential Practise of Surgery. 2010
Hashim Hashim; John Reynard; Nigel C. Cowan. Urological Emergencies in Clinical Practice.

Springer. 2005
6. Markus Hohenfellner; Richard A. Santucci. Emergencies in Urology. Springer. 2007
7. Atlas of Human Anatomy. Netter. 2006

Anda mungkin juga menyukai