Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pendahuluan

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja


sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imunologi, dan gangguan faal
berbagai organ.
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa
penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselarasi (perlambatan), atau kompresi.
Organ yang paling sering terkena adalah limpa yaitu sekitar 40-55% kasus
karena limpa merupakan organ yang paling rapuh. Hati (35-45%) dan usus halus
(5-10%) menduduki peringkat selanjutnya akibat trauma. Hepar sebagai organ
solid atau padat dengan kejadian cedera tertinggi pada kasus trauma abdomen.
Setidaknya 15-20% trauma abdomen termasuk cedera pada 9 hati. 80-90% cedera
hepar merupakan trauma tumpul.
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan
(noncomplient) organ seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal.
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis
dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif
atau negatif , harus direkam dengan teliti dalam catatan medis. Banyak pasien
dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi
hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal.
Pasien dengan trauma tumpul hepar yang stabil secara hemodinamik
tanpa adanya indikasi lain untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif
(80% pada dewasa, 97% pada anak-anak). Tiga pengamatan menandakan adanya
pergeseran ke terapi nonoperatif. Pertama, praktik terapi nonoperatif awalnya
direkomendasikan untuk cedera lien dan kemudian meluas ke hepar. Kedua,
tingginya angka pembedahan non terapeutik pada banyak pasien dengan trauma
tumpul hepar bukanlah kepentingan terbaik bagi pasien. Ketiga, munculnya CT
scan sangat memudahkan diagnosis dan penilaian cedera dan memberikan
jaminan bahwa cedera intestina tidak terjadi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Abdomen

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks
dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang
terbentuk dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk
membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai
adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horisontal dan dua
bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior
abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan
horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi
bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh
yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum
inguinale. Regio abdomen tersebut tampak pada gambar dibawah.
B. Anatomi Hepar
Hepar merupakan organ terbesar dalam rongga perut, hepar terletak pada bagian
superior dari rongga perut. Terletak pada regio hipokondrium kanan, epigastrium
dan terkadang bisa mencapai regio hipokondrium kiri. Hepar pada orang dewasa
memiliki berat sekitar 2% dari berat badan.
Hepar dibagi menjadi 4 lobus, yaitu lobus dextra, lobus caudatus, lobus sinistra
dan quadratus. Memiliki lapisan jaringan ikat tipis yang disebut kapsula Glisson,
dan pada bagian luarnya ditutupi oleh peritoneum.
Daerah tempat keluar masuk pembuluh darah pada hepar dikenal dengan nama
hilus atau porta hepatis. Pembuluh yang terdapat pada daerah ini antara lain vena
porta, arteri hepatica propia, dan terdapat duktus hepatikus dextra dan sinistra.
Vena pada hepar yang membawa darah keluar dari hepar menuju vena cava
inferior adalah vena hepatica. Sedangkan, pembuluh darah vena porta dan arteri
hepatica alirannya menuju pada porta hepatica.

Persarafan pada hepar dibagi menjadi dua yaitu bagian parenkim dan permukaan
hepar. Pada bagian parenkim, persarafan dikelola oleh N. Hepaticus yang berasal
dari plexus hepatikus. Mendapatkan persarafan simpatis dan parasimpatis dari
N.X. sedangkan pada bagian permukaannya mendapatkan persarafan dari nervi
intercostales bawah.
Ada delapan segmen:
1. Segmen I, II, III, dan IV adalah lobus kiri.
2. Segmen V, VI, VII, VIII adalah lobus kanan.
3. Segmen I adalah lobus kaudatus hepar dan mendapat suplai vena portal dan
hepatik. Vena hati ini langsung bergabung dengan IVC
Fisiologi Hepar
Hepar menghasilkan empedu setiap harinya. Empedu penting dalam proses
absorpsi dari lemak pada usus halus. Setelah digunakan untuk membantu
absorpsi lemak, empedu akan di reabsorpsi di ileum dan kembali lagi ke hepar.
Empedu dapat digunakan kembali setelah mengalami konjugasi dan juga
sebagian dari empedu tadi akan diubah menjadi bilirubin.

Metabolisme lemak yang terjadi di hepar adalah metabolisme kolesterol,


trigliserida, fosfolipid dan lipoprotein menjadi asam lemak dan gliserol.
Selain itu, hepar memiliki fungsi untuk mempertahankan kadar glukosa darah
selalu dalam kondisi normal. Hepar juga menyimpan glukosa dalam bentuk
glikogen.
Metabolisme protein di hepar antara lain adalah albumin dan faktor pembekuan
yang terdiri dari faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X. Selain metabolisme protein tadi,
juga melakukan degradasi asam amino, yaitu melalui proses deaminasi atau
pembuangan gugus NH2..Hepar memiliki fungsi untuk menskresikan dan
menginaktifkan aldosteron, glukokortikoid, estrogen, testosteron dan
progesteron.
Bila terdapat zat toksik, maka akan terjadi trasnformasi zat-zat berbahaya dan
akhirnya akan diekskresi lewat ginjal. Proses yang dialami adalah proses
oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi. Pertama adalah jalur oksidasi yang
memerlukan enzim sitokrom P-450. Selanjutnya akan mengalami proses
konjugasi glukoronide, sulfat ataupun glutation yang semuanya merupakan zat
yang hidrofilik. Zat-zat tersebut akan mengalami transport protein lokal di
membran sel hepatosit melalui plasma, yang akhirnya akan diekskresi melalui
ginjal atau melalui saluran pencernaan. Fungsi hepar yang lain adalah sebagai
tempat penyimpanan vitamin A, D, E, K, dan vitamin B12. Sedangkan mineral
yang disimpan di hepar antara lain tembaga dan besi.
1. Definisi Trauma Tumpul Hepar

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja


sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi
sehingga terjadi gangguan bahkan kegagalan metabolisme, kelainan imunologi,
dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa
penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselarasi (perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak
memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat
mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Benturan
pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga
berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.
Berdasarkan pengertian diatas maka trauma tumpul hepar adalah cedera atau
perlukaan organ hepar pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselarasi
(perlambatan), atau kompresi.

2. Epidemiologi
Trauma tumpul abdomen lebih sering terjadi pada kasus gawat darurat akibat
kecelakaan lalulintas, jatuh olahraga, kecelakaan kerja atau perkelahian. Dari
kejadian trauma tumpul abdomen, 20% memerlukan laparotomi. Kejadian trauma
tumpul abdomen dengan velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ
multiple, seperti organ padat hepar, lien, ginjal dibandingkan dengan organ
berongga.
Organ yang paling sering terkena adalah limpa yaitu sekitar 40-55% kasus
karena limpa merupakan organ yang paling rapuh. Hati (35-45%) dan usus halus
(5-10%) menduduki peringkat selanjutnya akibat trauma. Kejadian trauma tumpul
pada ginjal sekitar 80-90% biasanya disertai trauma berat dengan cedera organ
lain.
Hepar sebagai organ solid atau padat dengan kejadian cedera tertinggi pada
kasus trauma abdomen. Setidaknya 15-20% trauma abdomen termasuk cedera
pada hati. 80-90% cedera hepar merupakan trauma tumpul.

3. Etiologi
Sebelumnya terdapat dua mekanisme yang dikenal pada trauma tumpul
hati : cedera deselarasi dan cedera kompresi. Namun saat ini terdapat mekanisme
terbaru yaitu cedera akselerasi.
Cedera Akselerasi di lobus kanan hati, meskipun lobus kanan hati berada di
bawah perlindungan tulang rusuk, rentan terhadap gaya tumpul ketika kecepatan
atau benturannya cukup besar. Jenis cedera ini biasanya disebabkan oleh gaya dari
arah lateral. Dimana gaya itu tertuju ke dinding dada, menekannya dan kemudian
dengan cepat mendorong hati. Ligamentum Triangular Dextra yang terdapat pada
segmen VII dan VIII, membuat segmen VII relatif tetap sedangkan segmen VIII
dan V terus bergerak dengan kencang. Hal ini menjelaskan mengapa laserasi
paling sering terjadi di antara lobus anterior dan posterior. Di bawah tekanan
besar dan kecepatan tinggi, laserasi ini kadang-kadang dapat mencapai vena kava
inferior di mana vena hepatik bergabung, dan mengakibatkan laserasi vena kava
retrohepatik dan vena hepatika mayor.
A c B Gambar 1. Cedera akselerasi di
lobus kanan hati yang disebabkan
oleh gaya tumpul dari arah lateral
kanan. Ligamen Triangular kanan
menempel pada situs antara
segmen Couinaud VII dan VIII,
membuat segmen VII relatif tetap
[(A dan B)] panah kosong]
sementara lobus anterior terus
bergerak dengan keras [(A) panah
kosong dan (B) panah hitam) .
Panah hitam di (A) menunjukkan
gaya tumpul.
Ketika gaya tumpul datang dari depan, hati terdorong ke arah atero-
posterior. Karena vena cava relatif tetap dan berfungsi sebagai penyeimbang
ketika lobus kanan terdorong ke belakang, menyebabkan hati terkoyak sepanjang
garis Cantlie. Keberadaan bidang di sepanjang garis Cantlie juga membuat situs
ini lebih lemah dan kurang mampu menahan gaya yang menyebabkan laserasi.

Gambar 2. Ketika hati didorong ke


arah anterior-posterior, vena kava

Cedera akselerasi di lobus kiri hati. Ketika kekuatan tumpul mendarat di depan
dada, lobus kiri hati terdorong ke belakang. Ligamentum falciformis berfungsi
mengikat hati ke diafragma dan mencegah pergerakannya, sehingga pada trauma
tumpul pada dada tempat perlekatan pada hati menanggung sebagian besar
tekanan dan mengakibatkan terkoyak. Ketika gaya tumpul berada di sebelah kiri
ligamentum falciformis, lobus kiri lateral terdorong ke belakang dan laserasi
berada di sebelah kiri ligamentum falciformis. Jika gaya tumpul berada di sebelah
kanan ligamentum falciformis, laserasi juga terjadi di sebelah kanan ligamentum
falciformis (Gbr. 3). Vena hepatika kiri dan cabang kiri vena portal atau saluran
empedu hepatik dapat 'terpotong' pada laserasi yang dalam pada pola ini.

Gambar 3. Cedera akselerasi di


lobus kiri hati. Ketika gaya tumpul
(panah hitam) mendorong lobus
kiri hati ke arah belakang,
ligamentum falciformis berfungsi
sebagai counterforce (panah
kosong). Bagian hati yang
menahan tegangan bergerak ke
posterior dan terkoyak

Cedera deselerasi. Mekanisme lain dari cedera hati di lobus kanan hati adalah
cedera deselerasi. Jenis cedera ini sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas dan
jatuh. Ketika tubuh yang bergerak cepat tiba-tiba berhenti, hati terus bergerak dan
bertabrakan dengan dinding dada, mengakibatkan cedera perlambatan. Hati juga
dapat didorong oleh kekuatan besar dengan kecepatan tinggi, kemudian bergerak
ke arah dan bertabrakan dengan dinding posterior perut, menghancurkan atau
mengoyak bagian hati ini (Gbr. 4).
Cedera kompresi. Lobus kanan hati relatif besar dan tetap sehingga ketika
kuadran kanan atas tertekan secara antero-posterior, hati tidak memiliki ruang
untuk keluar dan terhimpit diantara dinding anterior dan posterior dari tulang
rusuk. Akibatnya, sisi posterior dan posterior tulang rusuk. Akibatnya, sisi
posterior dan anterior lobus kanan hati terkoyak pada saat bersamaan. Kadang-
kadang laserasi menjadi laserasi tembus atau bahkan dapat hancur total jika gaya
kompresi cukup besar (Gbr. 5).

Gambar 5. Cedera kompresi lobus


kanan hati. Ketika kuadran kanan
atas berada di bawah kompresi
secara anterior-posterior, hati
dihancurkan di antara dinding
anterior dan posterior tulang rusuk
(panah hitam dan panah hitam,
masing-masing) yang mengoyak
sisi posterior dan anterior hati di
waktu yang sama.

4. KLASIFIKASI
Trauma hepar berkisar dari robekan kapsuler minor, dengan atau tanpa cedera
parenkim, hingga disrupsi ekstensif yang melibatkan kedua hemi hepar dengan
cedera vena hepatik atau cedera vena cava terkait. Cedera derajat I atau II
dianggap ringan; cedera ini mewakili 80% -90% dari semua kasus dan biasanya
memerlukan sedikit atau tidak memerlukan perawatan operatif. Cedera Tingkat
III-V umumnya dianggap berat dan sering memerlukan intervensi bedah,
sedangkan cedera derajat VI dianggap tidak memadai untuk kelangsungan
hidup.
Cedera hepar telah diklasifikasikan kedalam grade I-VI oleh American
Association for the Surgery of Trauma (AAST)
Derajat Deskripsi cedera
I Hematoma: Subkapsular, <10% luas permukaan
Laserasi: Robekan kapsular, kedalaman parenkim <1 cm

II Hematoma: Subkapsular, 10% –50% luas permukaan


Hematoma: Intraparenkim diameter <10 cm
Laserasi: Sobekan kapsular 1–3 cm kedalaman parenkim <10 cm

III Hematoma: Subkapsular,> 50% luas permukaan hematoma


subkapsular atau parenkim yang ruptur
Hematoma: Intraparenkim> 10 cm atau meluas
Laserasi: Robekan kapsular dengan kedalaman parenkim> 3 cm

IV Laserasi: Disrupsi parenkim yang melibatkan 25% –75% lobus hepatik


atau melibatkan 1-3 segmen couinaud

V Laserasi: Disrupsi parenkim yang melibatkan> 75% lobus hati atau


melibatkan> 3 segmen couinaud (dalam satu lobus).
Vaskular: Cedera vena juxtahepatik (vena kava retro hepatik/vena
hepatika mayor sentralis)

VI Vaskular Tingkat VI: Avulsi hati

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala syok hipovolemia meliputi cemas, berkeringat, pernafasan


cepat, penurunan kesadaran. Nyeri perut kanan atas, gejala perdarahan
saluran cerna atas (buang air besar (BAB hitam) merupakan gejala
hemobilia yang merupakan akibat dari trauma tumpul pada hepar.

The World Society of Emergency Surgery (WSES) mengklasifikasikan


pendekatan trauma hepar melalui klasifikasi AAST sebagai berikut:
Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan
cedera organ intra abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata
kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan
eksterior kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di
lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis
senjata, dan seterusnya.
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan
sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya,
positif atau negatif , harus direkam dengan teliti dalam catatan medis. Pada saat
kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat
dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang
terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak
pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam kondisi
hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal.

Pemeriksaan Fisik
Lakukan penilaian  Primary Survey (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan  Exposure) tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi
nadi, suhu tubuh, frekuensi nafas), status generalis (kepala, mata, hidung,
mulut, leher, thorax, abdomen, ekstremitas), dan pemeriksaan defisit
neurologis pada pasien trauma. Selanjutnya lakukan penilaian Secondary
Survey ( Allergy, Medication, Past Illnesses, Last Meal, dan Event.)

Kemudian, pada pemeriksaan fisik abdomen dapat ditemukan sebagai


berikut:
 Inspeksi
Periksa perut depan dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan

perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing


yang tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan
hati –   hati untuk mempermudah pemeriksaan lengkap.

 Palpasi
Nyeri tekan, defans, kekakuan atau nyeri lepas lokal atau umum
menandakan trauma peritoneum. Krepitasi atau ketidakstabilan
costae bagian bawah menandakan trauma hepar.

 Perkusi
Perkusi pada pemeriksaan abdomen digunakan untuk melihat adanya
asites.Pada pasien dengan peritonitis perkusi didapat hipertimpani.

 Auskultasi
Penurunan bising usus pada peritonitis serta temuan continuous
bruit pada pasien dengan trauma tajam abdomen

Diagnosa trauma tumpul hepar didasarkan pada hasil pemeriksaan penunjang

1. Foto Polos Abdomen

Pada penderita dengan hemodinamik normal maka pemeriksaan foto polos


abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang
punggung) mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di
retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya
memerlukan laparotomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow)
juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-
indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto
samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal.

2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) merupakan pencitraan pilihan, utamanya untuk
mendeteksi cedera pada organ dan cairan bebas di rongga abdomen. Cairan pada
abdomen tampak sebagai sinyal anechoic.

Gambar Penampakan normal ruang hepatorenal


Gambar. Tampak cairan bebas pada ruang hepatorenal

Indikasi dan peranan FAST pada trauma tumpul abdomen adalah pasien stabil
dengan kecurigaan klinis tinggi terhadap cedera torakoabdominal

1. Mekanisme cedera yang signifikan, nyeri abdomen, jejas pada


abdomen, hematuria makroskopis, hipotensi transien yang tidak dapat dijelaskan,
temuan klinis yang rancu akibat intoksikasi atau cedera lain
2. Jika FAST positif seringkali pemeriksaan lain tidak diperlukan dan
intervensi segera dapat dikerjakan.
USG memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih rendah untuk mendeteksi cedera
parenkim dibandingkan untuk mendeteksi cairan bebas. Cedera organ solid tanpa
hemoperitoneum lebih sukar untuk dideteksi.
Gambar algoritma pemeriksaan FAST

3. CT Scan
CT scan merupakan pencitraan yang akurat untuk menilai lokasi
trauma pada hepar. CT scan dapat berguna untuk monitor penyembuhan,
trauma hepar yang menyebabkan hematom intrahepar, kontusio,
kerusakan pembuluh darah dan bilier.  Kriteria CT scan pada trauma
hepar berdasarkan grade American Association for the Surgery adalah:
 Grade 1

Gambar: Trauma hepar pada laki-laki 21 tahun dengan trauma tajam pada
kuadran kanan atas abdomen. Ditemukan hematoma subscapular dan
hematoma parenkim kurang dari 1 cm.

 Grade 2

Gambar: Trauma hepar pada laki-laki 2o tahun dengan trauma tumpul


abdomen. Ditemukan hematoma subscapular sebesar 3 cm.
Gambar: Trauma tumpul hepar pada pasien yang sama. Ditemukan kontusio
parenkim.

 Grade 3

Gambar: Trauma tumpul hepar pada wanita 22 tahun. Ditemukan hematom


subscapular 4 cm dan ditemukan hematoma dan laserasi parenkim pada lobus
dextra hepar. Cairan bebas ditemukan disekitar lien dan lobus sinistra hepar
yang diduga sebagai hemoperitoneum
 Grade 4

Gambar: trauma tumpul hepar pada laki-laki 35 tahun. Ditemukan hematom


subscapular sebesar 10 cm serta bekuan darah.

Gambar: Ditemukan infark multisegmen pada laki-laki 40 tahun setelah


kecelakan kendaraan bermotor
 Grade 5

Gambar: Ditemukan trauma luas hepar pada laki-laki 36 tahun setelah


kecelakaan kendaraan bermotor.

 Grade 6

Gambar: Laki-laki 36 tahun setelah kecelakaan kendaraan bermotor.


Ditemukan hematoma disekitar ginjal dan vena cava inferior.

4. Pemeriksaan Laboratorium

Peran pemeriksaan darah laboratorium memiliki peran yang kecil dalam


penegakan diagnosis trauma hepar. Namun perannya penting dalam pengawasan
khususnya untuk manajemen non operatif. Pemeriksaan darah lengkap meliputi
hemoglobin dan hematokrit memiliki nilai dalam tatalaksana trauma hepar.
Kehilangan darah ekstensif pada trauma hepar tampak pada kadar hemoglobin pasien.
Ini memerlukan penanganan segera meliputi damage control dan resusitasi dengan
transfusi. Pada kasus trauma hepar mayor, kadar trombosit juga dapat menurun tajam,
membuat ahli bedah harus lebih awas terhadap bahaya koagulopati dan tantangan
dalam melakukan resusitasi bedah. Beberapa penelitian menunjukkan peran
pemeriksaan kimia darah utamanya kadar enzim hati sebagai gambaran kerusakan
hati akut akibat trauma. Namun kadar yang ditunjukkan seringkali tidak selaras
dengan kerusakan yang terjadi dan dipengaruhi oleh komorbiditas yang mungkin
telah dimiliki pasien sebelum trauma terjadi. Selain itu yang perlu diperiksa pada
kondisi trauma adalah faal hemostasis pasien yang menunjukkan koagulopati yang
mungkin telah terjadi. Lebih banyak peran pemeriksaan darah pada pengawasan
tatalaksana non operatif. Pada kasus ini sebaiknya diperiksa darah lengkap serial
sehingga tampak perubahan hemoglobin dari waktu ke waktu, memprediksi apakah
terdapat perdarahan yang terus berlanjut.

Pemeriksaan enzim hati, seperti aspartat transaminase (AST) dan alanine


transaminase (ALT) merupakan indikator yang sensitif dalam kasus trauma hepar.
Namun, pemeriksaan enzim hati dalam menilai tingkat keparahan cedera hati masih
menjadi perdebatan. Enzim hati seperti AST dan ALT terdapat pada sel hepatosit
dalam konsentrasi tinggi, dan setelah terjadi trauma tumpul abdomen, mereka dapat
bocor dan masuk dalam sirkulasi darah. Dimana fungsi utamanya adalah
mengkatabolisme asam amino, memungkinkannya untuk masuk dalam siklus asam
sitrat. Enzim AST biasanya hanya ditemukan di hati tetapi enzim ALT dapat
ditemukan pada otot rangka jantung, ginjal, otak, dan sel darah merah. Beberapa
penelitian telah menunjukkan peningkatan kadar enzim AST dan ALT sebagai
penanda dalam memprediksi tingkat keparahan dari cedera hepar yang terjadi.

6. Manajemen
Nonoperatif
Tiga pengamatan menandakan adanya pergeseran ke terapi nonoperatif.
Pertama, praktik terapi nonoperatif awalnya direkomendasikan untuk cedera lien dan
kemudian meluas ke hepar. Keberhasilan terapi pada anak-anak menyebabkan upaya
terapi non operatif diaplikasikan pada orang dewasa. Kedua, tingginya angka
pembedahan non terapeutik pada banyak pasien dengan trauma tumpul hepar
bukanlah kepentingan terbaik bagi pasien. Ketiga, munculnya CT scan sangat
memudahkan diagnosis dan penilaian cedera dan memberikan jaminan bahwa cedera
intestina tidak terjadi.
Terdapat beberapa laporan yang dimulai sejak 1985, di mana Trunkey [55]
mendefinisikan kriteria NOM: pasien harus stabil secara hemodinamik, tidak adanya
tanda peritoneal, ketersediaan CT, pemantauan di unit perawatan intensif, fasilitas
pembedahan segera, dan tidak adanya cedera organ lainnya. Kriteria ini menjadi
kurang ketat, di mana beberapa laporan menjadi lebih cenderung ke NOM. Laporan
lain bahkan menyatakan secara ekstrem bahwa semua pasien harus dirawat terlebih
dahulu dengan NOM terlepas dari trauma mereka, dengan adanya tambahan
angiografi dan embolisasi yang membuat NOM lebih layak dan lebih berhasil.
Tingkat keberhasilan terapi nonoperatif sangat tinggi, dan kebutuhan untuk operasi
untuk perdarahan yang sedang berlangsung telah dilaporkan dari 5% menjadi 15%,
tetapi masih ada kekhawatiran atas cedera usus yang telah dilaporkan dari 1%
menjadi 3%. Perawatan non operatif untuk luka tusuk abdomens berhasil dilakukan di
banyak pusat kesehatan dan terus meningkat. NOM luka tembak lebih kontroversial;
namun, banyak laporan yang meminta untuk menambahkan kelompok pasien ini ke
kelompok NOM. Demetriades et al melaporkan 152 pasien dengan trauma tembus
organ padat yang mencatat bahwa 28,4% dari semua cedera hepar berhasil ditangani
secara nonoperatif. Pasien yang diseleksi secara tepat dengan luka tembak di hepar
dianggap layak, aman, dan efektif, terlepas dari derajat keparahan cedera hepar di
pusat dengan fasilitas yang sesuai.
Tingkat kegagalan NOM berkisar dari 6% sampai 10% dan berhubungan
dengan derajat kerusakan hepar dan hal ini mungkin timbul akibat cedera yang belum
dikenali pada saat presentasi awal dan/atau menjadi jelas setelah penundaan awal.
Manajemen Operatif
Operasi pengendalian kerusakan (Damage control surgery)
Pembedahan ini biasanya berimplikasi untuk menyelamatkan nyawa pasien
dan menghentikan pendarahan yang akan membuat pasien lebih stabil dan dalam
kondisi fisiologis dan hemodinamik yang lebih baik untuk dapat menjalani terapi
definitif. Persiapan kulit harus memungkinkan perluasan insisi abdominal midline ke
sternotomi median atau torakotomi kanan, jika perlu, untuk eksposur yang adekuat
dari cedera hepar posterior. Jika indikasi untuk operasi adalah jelas trauma yang
tembus (through and through) atau pasien gagal NOM dan memiliki cedera hepar
yang jelas, cukup insisi subcostae bilateral yang merupakan alternatif yang
bermanfaat dan diadopsi oleh banyak peneliti untuk mendapatkan paparan hepar yang
lebih baik. DCS meliputi packing perihepatik dan penutupan abdomen parsial atau tas
Bogota. Biasanya, rata-rata enam pada laparotomi dapat dipack untuk mendapatkan
efek tamponade antara hepar dan dinding perut. Waktu eksplorasi ulang masih
kontroversial, namun biasanya 12-24 jam adalah waktu yang aman untuk eksplorasi
ulang jika kondisi pasien memungkinkan. Karena banyak rumah sakit memiliki
dokter bedah umum oncall dengan pengalaman yang terbatas pada hepar atau trauma,
jika terjadi cedera hepar mayor, kontrol awal perdarahan dapat dicapai dengan
tamponade sementara dari kuadran kanan atas menggunakan pack, oklusi triad portal
(manuver Pringle), kompresi bimanual hepar, atau bahkan kompresi manual aorta
abdominalis di atas batang seliaka. Kompresi digital triad portal (manuver Pringle)
dapat digunakan secara diagnostik dan kompresi dapat dipertahankan dengan klem
vaskular atraumatik jika perdarahan menurun dan klem harus dioklusi hanya sejauh
yang diperlukan untuk menekan pembuluh darah agar tidak melukai saluran empedu
komunis. Jika perdarahan tidak terpengaruh oleh oklusi triad portal, cedera vena kava
mayor atau anatomi vaskular atipikal harus dicurigai. Meskipun waktu oklusi triad
portal yang diizinkan masih kontroversial, sebagian besar penulis sekarang setuju
bahwa penjepitan pedikel hepati khingga 1 jam dapat ditoleransi dengan baik tanpa
efek samping pada fungsi hepar.
Setelah resusitasi intraoperatif awal, hepar harus dimobilisasi secara adekuat
untuk memungkinkan pemeriksaan menyeluruh pada area yang rusak dan untuk
memutuskan teknik pembedahan yang diperlukan, kecuali cedera sudah dapat diakses
melalui insisi. Mobilisasi dicapai dengan memisahkan ligamen falciform, triangularis
dan koronarius, dan dengan menempatkan pack abdomen di posterior untuk
mempertahankan posisi ini. Pencegahan kerusakan aliran balik vena perlu
diperhatikan, baik dengan pengangkatan dan/atau rotasi hepar yang berlebihan, atau
packing yang berlebihan yang menyebabkan kompresi cava. Ada beberapa trik untuk
menghentikan perdarahan selain yang disebutkan sebelumnya, namun kami
menyarankan bahwa sebagian besar trik ini sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah
berpengalaman pada pasien yang stabil atau jika pasien masih mengalami pendarahan
setelah beberapa metode yang disebutkan sebelumnya telah dicoba. Beberapa
modalitas spesifik mulai lebih sering digunakan untuk terapi perdarahan arteri karena
frekuensi hepatorafi telah semakin meningkat. Ketika perdarahan arteri terjadi jauh di
dalam parenkim hepar, traktotomi dianjurkan untuk mengekspos dan menjahit ligasi
aliran arteri, namun kontrol perdarahan arteri sering kali secara teknis sulit dilakukan.
Tingkat infeksi yang tinggi pasca jahitan ligasi pada perdarahan arteri dalam telah
menyebabkan penggunaannya dipertimbangkan ulang, meskipun tetap merupakan
operasi yang terkadang bisa menyelamatkan nyawa.
Perdarahan vena mayor dikenali sebagai sumber utama kematian, terutama
pada pasien yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi. [1]
Kematian yang hampir seragam dari cedera vena cava retrohepatik dengan upaya
perbaikan langsung menghasilkan munculnya pirau atriokaval yang dikembangkan
oleh Schrock et al.; Namun, operasi tersebut membutuhkan pembukaan toraks untuk
mengekspos atrium yang terkait dengan percepatan hipotermia dan koagulopati dan
angka kematian tetap tinggi. Pendarahan yang difus dari hepar yang rusak atau
devitalisasi semakin membutuhkan terapi pembedahan; namun, debridemen reseksi
semakin banyak digunakan selain penggunaan packing dan drainase kasa yang dapat
diabsorbsi atau pedikelomental.
Algoritma Manajemen menurut WSES Guideline 2020
REFERENSI

1. Brillantino A, Iacobellis F, Festa P, Mottola A, Acampora C, Corvino F, Del


Giudice S, Lanza M, Armellino M, Niola R, Romano L, Castriconi M, De Palma
M, Noschese G. Non-operative management of blunt liver trauma: safety,
efficacy and complications of a standardized treatment protocol. Bull Emerg
trauma. 2019;7(1):49–54.
2. David Richardson J, Franklin GA, Lukan JK, Carrillo EH, Spain DA, Miller FB,
Wilson MA, Polk HC, Flint LM. Evolution in the management of hepatic
trauma: a 25-year perspective. Ann Surg. 2020;232(3):324–30
3. Badger SA, Barclay R, Campbell P, Mole DJ, Diamond T. Management of liver
trauma. World J Surg. 2019;33(12):2522–37.
4. Peitzman AB, Richardson JD. Surgical treatment of injuries to the solid
abdominal organs: a 50-year perspective from the Journal of Trauma. J Trauma.
2018;69(5):1011–21
5. Oxford Centre for Evidence-based Medicine - Levels of Evidence (March 2019)
- CEBM [Internet]. Available from: http://www.cebm.net/oxford-centre-
evidence-based-medicine-levels-evidence-march-2019/.
6. Boese CK, Hackl M, Müller LP, Ruchholtz S, Frink M, Lechler P. Nonoperative
management of blunt hepatic trauma: a systematic review. J Trauma Acute Care
Surg. 2017;79(4):654–60.
7. Kozar RA, Moore FA, Moore EE, West M, Cocanour CS, Davis J, Biffl WL,
McIntyre RC. Western Trauma Association critical decisions in trauma:
nonoperative management of adult blunt hepatic trauma. J Trauma.
2019;67(6):1144–8 discussion 1148-9.
8. Fodor M, Primavesi F, Morell-Hofert D, Haselbacher M, Braunwarth E, Cardini
B, Gassner E, Öfner D, Stättner S. Non-operative management of blunt hepatic
and splenic injuries-practical aspects and value of radiological scoring systems.
Eur Surg. 2018;50(6):285–98.
9. Al-Jiffry BO, AlMalki O. Hepatic Trauma, Hepatic Surgery, Prof. Hesham
Abdeldayem (Ed.), InTech. 2013
10. Richardson JD. Changes in the management of injuries to the liver and spleen. J
Am Coll Surg 2005;200:648-69.
11. Richie JP, Fonkalsrud EW. Subcapsular hematoma of the liver. Nonoperative
management. Arch Surg 1972;104:781-4
12. Shrestha A, Neupane HC, Tamrakar KK, Bhattarai A, Katwal G. Role of liver
enzymes in patients with blunt abdominal trauma to diagnose liver injury.
International Journal of Emergency Medicine;7;2021.
13. Coccolini F, Coimbra R. Liver Trauma : WSES 2020 Guidelines. World Journal
of Emergency Surgery.24;2020.

Anda mungkin juga menyukai