Anda di halaman 1dari 51

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN 23 Agustus 2019


UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU

TUBERKULOSIS PARU + EFUSI PLEURA + SKROFULODERMA +


ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMIK EC. THALASSEMIA + GIZI
KURANG + PERAWAKAN PENDEK

Disusun Oleh :
Anugrah Eka Putri, S.Ked
(14 17 777 14 294)

Pembimbing : dr. Christina Kolondam, Sp. A

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Anugrah Eka Putri, S.Ked


No. Stambuk : 14 17 777 14 294
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Al-Khairaat Palu
Judul Refka : Tuberkulosis Paru + Efusi Pleura + Skrofuloderma +
Anemia Mikrositik Hipokromik Ec. Thalassemia + Gizi
Kurang + Perawakan Pendek.
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

23 Agustus 2019

Pembimbing Mahasiswa

dr.Christina Kolondam, Sp.A Anugrah Eka Putri, S.Ked

2
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). TB Anak adalah penyakit TB yang
terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Data TB paru pada anak di Indonesia
menunjukkan proporsi kasus TB anak pada tahun 2013 sebesar 7,92%, kemudian
menurun pada tahun 2014 menjadi 7,10%, lalu meningkat pada tahun 2015
menjadi 8,49%. Berdasarkan data yang diperoleh, ditemukan sebanyak 2.975 anak
tertular TB paru BTA positif dari orang dewasa di sekitarnya.1-2
Diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis,
yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan
berdasarkan gambaran klinis yaitu batuk lama ≥ 3 minggu, demam lama ≥ 2
minggu, berat badan menurun, nafsu makan tidak ada, lesu atau malaise, diare
persisten. Pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto thoraks, dan
pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa
BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan foto thoraks
yang mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak
sakit TB melalui sistem skoring.3-4
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan
(4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada
masa intensif maupun tahapan lanjutan. Panduan OAT disediakan dalam bentuk
Kombinasi Dosis Tetap (KDT).2,4
Efusi pleura tuberculosis, yang dapat lokal atau menyeluruh, mula-mula pada
keluarnya basili ke dalam sela pleura dari focus paru subpleura atau perkejuan
limfonodi. Efusi pleura tidak bergejala begitu sering pada tuberculosis primer
sehingga ia pada dasarnya adalah kompleks primer. Efusi pleura tuberculosis

3
tidak sering pada anak umur 6 tahun dan jarang pada anak sebelum umur 2
tahun.14
Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan
langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian
membentuk abses dingin yang makin lama makin membesar dan pecah pada kulit
diatasnya. Skrofuloderma merupakan bentuk Tuberkulosis Kutis yang tersering di
indonesia. Sekitar 84% menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM), disusul Tuberkulosis Kutis Verukosa yaitu 13%, sedangkan bentuk
tuberkulosis kutis lainnya jarang ditemukan.5-7
Tuberkulosis kulit kisaran 1,5% kasus TB paru. Sebagian besar kasus terlihat
pada kelompok usia 10 -14 tahun. Peningkatan TB kutis dikaitkan dengan
peningkatan angka kejadian human immunodeficiency virus (HIV), peningkatan
terapi imunosupresif, kemudahan migrasi masyarakat, penurunan upaya
pengendalian TB, kemiskinan dan malnutrisi.8-9
Skrofuloderma sering terjadi pada regio parotis, submandibula, aksila dan
subklavikula atau keduanya. Penatalaksanaan TB kulit sama dengan TB sistemik.
Prognosis skrofuloderma bonam karena skrofuloderma dapat sembuh spontan
tetapi dalam waktu yang sangat lama (bertahun-tahun) sebelum lesi secara
sempurna ditutupi oleh jaringan parut.10-11
Anemia mikrositik hipokromik adalah anemia dimana kadar MCV < 80 fl,
MCH < 27 pg), dan yang tergolong anemia jenis ini adalah anemia defisiensi besi,
thalassemia, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik.13
Thalassemia sendiri merupakan salah satu penyakit genetik terbanyak di dunia
yang ditandai dengan tidak terbentuk atau berkurangnya salah satu rantai globin
baik itu –α ataupun –β yang merupakan komponen penyusun utama molekul
hemoglobin normal.13
Gizi kurang adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi seperti protein,
karbohidrat, lemak dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Faktor ekonomi,

4
faktor kurangnya pengetahuan serta keterampilan orang tua sering dikaitkan
dengan penyebab terjadinya gizi kurang, dimana hal ini akan mempengaruhi
asupan makanan yang dibutuhkan oleh anak. Gizi kurang akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan maupun kesehatan anak. Gizi
kurang dapat membuat anak rentan terhadap infeksi penyakit.12
Secara umum penyebab perawakan pendek adalah familial (turunan) / CDGP
(41%), pertumbuhan janin terganggu (PJT) (7,5%), kekurangan hormon
pertumbuhan (8%), dan yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik) (19%).
Berbagai keadaan medis juga dapat mengganggu pertumbuhan dan
mengakibatkan perawakan pendek yang patologis, seperti penyakit kronis pada
anak khususnya penyakit yang mengenai jantung, paru, pencernaan, ginjal.
penyakit-penyakit ini dapat memperlambat pertumbuhan.15
Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut
panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik
pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak
kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.12-13

Berikut ini akan dibahas sebuah kasus seorang anak laki-laki usia 7 tahun
4 bulan dengan diagnosis Tuberkulosis Paru + Efusi Pleura + Skrofuloderma +
Gizi Kurang + Perawakan Pendek yang dirawat di ruangan Isolasi Nuri Atas RSU
Anutapura Palu.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA
 Nama : An. I
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Lahir pada tanggal/umur : 27 Maret 2011 (8 tahun 4 bulan)
 Berat waktu lahir : 2.400 gram
 Agama : Islam
 Kebangsaan : Indonesia
 Nama Ayah : Tn. M
 Usia Ayah : 29 tahun
 Nama Ibu : Ny. L.
 Usia Ibu : 28 tahun
 Pendidikan ibu : SMA
 Pendidikan ayah : SMA
 Pekerjaan ibu : Wiraswasta
 Pekerjaan ayah : Wiraswasta
 Alamat : Desa Bangga, Sigi
 Tanggal masuk RS : 2 Agustus 2019
 Masuk ke ruangan : R. Isolasi Nuri Atas, RSU Anutapura Palu

Pedigree:
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

6
Family Tree

2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Benjolan di leher kiri.

b. Riwayat penyakit sekarang


Anak laki-laki usia 8 tahun 4 bulan masuk rumah sakit dengan keluhan
terdapat benjolan yang muncul dileher kiri. Benjolan dirasakan muncul
sejak 1 tahun yang lalu. Seminggu yang lalu benjolan pecah dan
mengeluarkan nanah. Benjolan awalnya kecil namun lama-kelamaan
membesar hingga sebesar kelereng, awalnya belum terasa sakit namun
setelah pecah benjolan terasa sangat sakit hingga leher pasien sulit untuk
digerakkan. Pasien juga memiliki benjolan pada ketiak kiri, benjolan
sebesar biji jagung dan muncul lebih dari satu. Batuk lendir (+) 2 bulan,
batuk berdarah disangkal, sesak (-). Demam (+) naik turun sejak batuk-
batuk. Keringat malam (+), nafsu makan menurun (+), terdapat penurunan
berat badan (+), lemas (+), Mual (-), muntah (-), BAB biasa dan BAK
lancar.

7
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Pasien tidak memiliki riwayat sakit berat dan belum pernah di rawat di
rumah sakit sebelumnya.

d. Riwayat penyakit keluarga


Kakek pasien riwayat batuk lama dan mengkonsumsi OAT selama 6
bulan. Tiga minggu sebelum pasien masuk rumah sakit, kakek pasien di rawat
kembali di ruang perawatan Pipit RSU Anutapura Palu (Ruang Perawatan
Isolasi), namun menurut keluarga bahwa kakek pasien sudah dinyatakan
sembuh dan sekarang sudah tidak minum OAT lagi. Kakek pasien tinggal satu
rumah dengan pasien sejak pasien lahir.

e. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan


Pasien berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah, pasien
tinggal bersama kedua orang tua, adik laki-laki dan kakeknya. Tempat
tinggal pasien di desa yang cukup padat penduduk, rumah pasien memiliki
ventilasi yang tertutup sehingga sirkulasi udara tidak baik dan sinar
matahari tidak masuk ke rumah. Tempat tinggal pasien menggunakan
sumur bor yang sumber airnya berada dari mata air.

f. Riwayat Persalinan
Bayi laki-laki lahir di RS Anutapura tanggal 27 Maret 2011 secara SC
ditolong oleh dokter spesialis kandungan, air ketuban putih jernih, lahir
langsung menangis (+), merintih (-), sesak (-). Pasien lahir cukup bulan
dengan usia kehamilan 39 minggu dengan berat badan lahir 2.400 gram.
Anus dan palatum +/+.

g. Riwayat Kemampuan dan Kepandaian :


- Membalik : Pada usia 3 bulan

8
- Tengkurap : Pada usia 5 bulan
- Duduk : Pada usia 7 bulan
- Merangkak : Pada usia 9 bulan
- Berdiri berpegangan : Pada usia 10 bulan
- Berjalan : Pada usia 14 bulan
- Tertawa : Pada usia 2 bulan
- Berceloteh : Pada usia 11 bulan
- Memanggil papa mama : Pada usia 10 bulan

h. Anamnesis makanan :
a. Usia 0 – 6 bulan : Susu formula
b. Usia 4– 6 bulan : Susu formula + Bubur SUN
c. Usia 7-12 bulan : Susu formula + Bubur saring
d. Usia 12 bulan – sekarang : Makanan keluarga (Nasi + Ikan/Tahu
tempe/Ayam + Sayuran)

i. Riwayat Imunisasi
DASAR ULANGAN
I II III I II III
BCG +
POLIO + + + + +
DTP + + + +
Hib + + + +
CAMPAK +
HEPATITIS + + +

Imunisasi pada pasien ini lengkap.

9
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit Sedang
Berat Badan : 16 kg
Tinggi Badan : 115 cm
Status Gizi :
- BB/TB = 76,19% (Gizi Kurang)
- BB/U = 61,53% (BB Kurang)
- TB/U = 88,46% (TB Pendek)

10
TB/U= 115/130 x
100%= 88,46%

BB/TB= 16/26 x
100%= 76,19%

BB/U= 16/26 x
100%= 61,53%

Tanda Vital
- Denyut nadi : 110 x/Menit
- Suhu : 37,9 o C
- Respirasi : 28 x/menit

11
Sistem Neurologi:
- Aktivitas : Kurang Aktif
- Kesadaran : Compos Mentis
- Fontanela : Datar
- Sutura : Tertutup

Kulit : Warna : Sawo Matang


Turgor : Cepat kembali (< 2 detik)
Tonus : Normal
Oedema :-

Kepala : Bentuk : Normocephal


Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, alopesia (-)
Ubun-ubun besar: Tertutup

Mata : Exopthalmus/enophtalmus : -
Palpebra : Edema (-/-)
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Reflek cahaya : (+/+)
Refleks kornea : (+/+)
Cekung : (-/-)
Lensa : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fundus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Gerakan : Tidak dilakukan pemeriksaan

Telinga : Otorhea :-
Hidung : Pernapasan cuping hidung :-

12
Epistaksis :-
Rhinorhea :-
Mulut : Bibir: pucat (-), kering (-)
Lidah : Tidak kotor

Leher
 Pembesaran kelenjar leher : Getah bening -/+, single
 Pembesaran kelenjar di ketiak : Getah bening +/-, multiple
 Faring : Hiperemis (-)
 Tonsil : T1/T1 tidak hiperemis

Toraks
a. Dinding dada/ paru :
Inspeksi : Bentuk simetris bilateral, Retraksi (-/-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
Auskultasi : Bronchovesikuler(+/+), Rhonki(+/+), Wheezing(-/-)

b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC V
linea parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V linea
axilla anterior
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni, regular. Murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung

13
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani (+), Asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)
Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba

Ekstremitas
 Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
 Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)

Genitalia : Dalam batas normal


Otot-otot : Hipotrofi (-), kesan normal
Refleks : Fisiologis +/+, patologis -/-

Penentuan Skor Tuberkulosis


Parameter 0 1 2 3
Laporan
keluarga
Kontak TB Tidak jelas - (BTA BTA (+)
negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif
Klinis gizi
buruk
BB/TB <90%
Berat Badan/keadaan atau BB/TB
- Atau BB/U -
gizi <70%
<80%
atau BB/U
<60%

14
Demam yang tidak
diketahui - ≥ 2 minggu - -
penyebabnya
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran kelenjar
≥ 1 cm, jumlah
limfe (kolli, aksila, - - -
>1, tidak nyeri
inguinal)
Pembengkakan
Ada
tulang/sendi - - -
pembengkakan
panggul/lutut/falang
Normal/
Gambaran
Foto kelainan - -
sugestif TB
tidak jelas
Total Skor: 7

Pemeriksaan Dermatologis
a) Lokasi: Regio Colli Sinistra
Ukuran: Ulkus berukuran 3-4 cm
Effloresensi: Ulkus berbentuk polisklik, tepi difus, dasar kotor,
didalamnya tampak abses, fistel, disekitar ulkus tampak eritematosa,
sikatriks dan jembatan kulit (skin bridge). Jaringan yang mongering
berwarna kekuningan.

15
b) Lokasi: Regio Axilla Dextra
Ukuran: Nodul diameter 1-2cm
Effloresensi: Nodul bermassa padat, berbentuk elips, batas jelas,
disekitar nodul tampak eritematosa dan abses.

4. PEMERIKSAAN LAB:
Pemeriksaan Darah Rutin (2/08/2019)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN

WBC 15,5 4,8-10,8 103/ µl

RBC 4,9 4,7-6,1 106/µl

HGB 7,9 14-18 g/dl

HCT 26,5 42,0-52,0 %

PLT 533 150-450 103/µl

MCV 54 80-99 Fl

MCH 16,1 27,0-31,0 pg

MCHC 29,8 33,0-37,0 g/dl

16
Indeks Eritrosit:
1. MCV (Mean Corpuscular Volume) = VER (Volume Eritrosit Rata-
Rata)
2. MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin) = HER (Hemoglobin
Eritrosit Rata-Rata)
3. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) = KHER
(Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata)

Cara Perhitungan:
Hematokrit
1. MCV (VER) = x 10 Fl
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡

Nilai normal: 82-92 Fl


26,5
MCV (VER) = x 10 Fl
4,9

= 54 Fl
Interpretasi hasil: Terjadi penurunan MCV (VER), bisa terjadi
pada pasien dengan anemia mikrositik, defisiensi besi,artrhritis
rheumatoid, talasemia, anemia sel sabit, HBC, keracunan
timah, radiasi.

Hemoglobin
2. MCH (HER) = x 10 Pg
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡

Nilai normal: 27-31 Pg

7,9
MCH (HER) = x 10 Pg
4,9
= 16,1 Pg
Interpretasi hasil:Terjadi penurunan MCH (HER), bisa terjadi
pada anemia mikrositik-normokromik atau anemia mikrositik-
hipokromik.

17
Hemoglobin
3. MCHC (KHER) = x 100
𝐻𝑒𝑚𝑎𝑡𝑜𝑘𝑟𝑖𝑡

Nilai normal: 32-37%


7,9
MCHC (KHER) = x 100
26,5

= 29,8 %
Interpretasi hasil: Terjadi penurunan MCHC (KHER), bisa
terjadi pada anemia hipokromik, defisiensi zat besi serta
talasemia.

MCV
Indeks Mentzer = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡

Interpretasi: <13 menderita thalassemia


>13 menderita anemia defisiensi besi.
54
Pada Kasus: Indeks Mentzer = 4,9

= 11,0 (Thalassemia)

Pemeriksaan Glukosa Darah (2/08/2019)


Pemeriksaan Darah Hasil Nilai Rujukan
GDS 166 60-199 mg/dl

5. RESUME
Anak laki-laki usia 8 tahun 4 bulan masuk rumah sakit dengan keluhan
terdapat benjolan yang muncul dileher kiri. Benjolan dirasakan muncul sejak 1
tahun yang lalu. Seminggu yang lalu benjolan pecah dan mengeluarkan nanah.
Benjolan awalnya kecil namun lama-kelamaan membesar hingga sebesar
kelereng, awalnya belum terasa sakit namun setelah pecah benjolan terasa
sangat sakit hingga leher pasien sulit untuk digerakkan. Pasien juga memiliki
benjolan pada ketiak kiri, benjolan sebesar biji jagung dan muncul lebih dari
satu. Batuk lendir (+) 2 bulan, batuk berdarah disangkal. Demam (+) naik turun
18
sejak batuk-batuk. Keringat malam (+), nafsu makan menurun (+), terdapat
penurunan berat badan (+), lemas (+).
Kakek pasien riwayat batuk lama dan mengkonsumsi OAT selama 6 bulan.
Kakek pasien tinggal satu rumah dengan pasien sejak pasien lahir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, status gizi kurang, perawakan pendek, nadi 110 x/menit,
reguler, kuat angkat, pernapasan 28 x/menit, reguler, suhu 37,90C.
Konjungtiva anemis (+/+), ulkus regio colli -/+ single, nodul regio axilla +/-
multiple, paru: rhonki (+/+).
Pada pemeriksaan lab darah rutin, didapatkan WBC 15,5x103/ µl, HGB 7,9
g/dl, HCT 26,5 %, MCV 54 %, MCH 16,1 pg, MCHC 29,8 g/dL, PLT
533x103/µl. GDS 166 mg/dl. Sehingga saat dimasukkan dalam rumus Indeks
Mentzer, didapatkan hasil <13 yang berarti pasien menderita thalassemia.
6. DIAGNOSIS : 1. Tuberkulosis Paru
2. Skrofuloderma
3. Gizi Kurang+Perawakan Pendek
4. Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia

7. TERAPI
- IVFD Dextrose 5% 16 tpm
- Inj. Paracetamol 160mg/8jam/IV (Jika suhu >39’C)
- Inj. Cefotaxime 500mg/12jam/IV
- Paracetamol syr. 3x1 ½ cth
- Ambroxol 8mg
Salbutamol 1,5mg 3x1 pulv
Histapan 15mg
- Rencana Terapi OAT

19
8. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Foto thorax
- Gen X-Pert
- Tuberkulin Tes
- Konsul Gizi
- Analisis Darah Tepi
- FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)

20
1. Follow Up 3 Agustus 2019 (perawatan hari ke 1)
Catatan Instruksi
KU: Batuk berlendir (+), demam (-), TERAPI :
nyeri pada leher kiri (+), nafsu makan  IVFD Dextrose 5%
menurun, lemas (+) 16tpm

 Inj. Paracetamol
TANDA VITAL
160mg/8j/IV (S>39’C)
HR: 96x/menit
 Inj. Cefotaxime
RR: 32x/menit
500mg/12jam/IV
T : 36,9oC  Ambroxol 8mg
Salbutamol 1,5mg
PEMERIKSAAN FISIK Histapan 15mg
Kepala : normocephal 3x1 pulv
Mata : anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)  Perawatan luka
Telinga : otorrhea (-/-)
Hidung : rhinorrhea (-/-) ANJURAN
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring  Foto torax
hiperemis (-)  Rencana terapi OAT
Leher : Ulkus (+) (S), single  Konsul gizi
Axilla : Nodul (+) (D), multiple  Konsul kulit

Thorak :
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Ausk : Bv (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

21
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : shifting dullness (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-
/-) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

22
Pemeriksaan Foto Thorax 3/08/2019

Foto Thorax AP:


- Perselubungan homogeny pada apex paru dextra
- Cor: ukuran dan bentuk normal
- Sinus kanan tumpul, sinus kiri dan diafragma baik
- Tulang-tulang tervisualisasi intak
Kesan:
- TB Paru aktif lesi luas
- Efusi Pleura Dextra

Penentuan Skor Tuberkulosis


Parameter 0 1 2 3
Laporan
keluarga
Kontak TB Tidak jelas - (BTA BTA (+)
negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif

23
Klinis gizi
buruk
BB/TB <90%
Berat Badan/keadaan atau BB/TB
- Atau BB/U -
gizi <70%
<80%
atau BB/U
<60%
Demam yang tidak
diketahui - ≥ 2 minggu - -
penyebabnya
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran kelenjar
≥ 1 cm, jumlah
limfe (kolli, aksila, - - -
>1, tidak nyeri
inguinal)
Pembengkakan
Ada
tulang/sendi - - -
pembengkakan
panggul/lutut/falang
Normal/
Gambaran
Foto kelainan - -
sugestif TB
tidak jelas

Total Skor: 8

24
2. Follow Up 4 Agustus 2019 (perawatan hari ke 2)
Catatan Instruksi
KU: Batuk berlendir (+), demam (+), TERAPI :
nyeri pada leher kiri (+), nafsu makan  IVFD Dextrose 5%
menurun 16tpm

 Inj. Paracetamol
TANDA VITAL
160mg/8j/IV (S>39’C)
HR: 100x/menit
 Inj. Cefotaxime
RR: 28x/menit
500mg/12jam/IV
o
T : 37,7 C
 Paracetamol syr. 3x1 ½
cth.
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : normocephal  Prednison 3x6 mg
Mata : anemia (+/+), sklera ikterik (-/-)  Ambroxol 8mg
Telinga : otorrhea (-/-) Salbutamol 1,5mg
Hidung : rhinorrhea (-/-) Histapan 15mg
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring 3x1 pulv
hiperemis (-)
 Rencana terapi OAT
Leher : Ulkus (+) (S), single
 Perawatan luka
Axilla : Nodul (+) (D), multiple

Thorak :
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Ausk : Bv (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

25
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung

Palpasi : nyeri tekan (-)


Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-
/-) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru+Efusi Pleura
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

26
3. Follow Up 5 Agustus 2019 (perawatan hari ke 3)
Catatan Instruksi
KU: Batuk berlendir (+), demam (-), TERAPI :
nyeri pada leher kiri (+), nafsu makan  IVFD Dextrose 5%
menurun 16tpm

 Inj. Paracetamol
TANDA VITAL
160mg/8j/IV (S>39’C)
HR: 89x/menit
 Inj. Cefotaxime
RR: 26x/menit
500mg/12jam/IV
o
T : 37 C
 Prednison 3x6 mg
 Ambroxol 8mg
PEMERIKSAAN FISIK
Salbutamol 1,5mg
Kepala : normocephal
Histapan 15mg
Mata : anemia (+/+), sklera ikterik (-/-)
3x1 pulv
Telinga : otorrhea (-/-)
Hidung : rhinorrhea (-/-)  Rencana terapi OAT
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring KDT Anak
hiperemis (-) -Fase intensif 5/8/19-
Leher : Ulkus (+) (S), single 3/10/19
Axilla : Nodul (+) (D), multiple
RHZ 1x3 tab.

-Fase lanjutan 4/10/19-


Thorak :
3/2/20)
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki RH 1x2tab

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru  Rawat luka


Ausk : Bv (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

27
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung

Palpasi : nyeri tekan (-)


Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-
/-) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru+Efusi Pleura
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

28
4. Follow up 6 Agustus 2019 (perawatan hari ke 4)
Catatan Instruksi
KU: Batuk berlendir (+), demam (-), TERAPI :
nyeri pada leher kiri (+), nafsu makan  IVFD Dextrose 5%
menurun 16tpm

 Inj. Cefotaxime
TANDA VITAL
500mg/12jam/IV
HR: 108x/menit
 Prednison 3x6mg
RR: 26x/menit
 Ambroxol 8mg
T : 36,6oC Salbutamol 1,5mg
Histapan 15mg
PEMERIKSAAN FISIK 3x1 pulv
Kepala : normocephal
 RHZ 1x3 tab
Mata : anemia (+/+), sklera ikterik (-/-)
 Rawat luka
Telinga : otorrhea (-/-)
Hidung : rhinorrhea (-/-)
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Ulkus (+) (S), single
Axilla : Nodul (+) (D), multiple

Thorak :
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Ausk : Bv (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

29
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung

Palpasi : nyeri tekan (-)


Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-
/-) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru+Efusi Pleura
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

30
5. Follow Up 7 Agustus 2019 (perawatan hari ke 5)
Catatan Instruksi
KU: Batuk berlendir (+) berkurang, TERAPI :
demam (-), nafsu makan menurun (+)  IVFD Dextrose 5%
16tpm
TANDA VITAL
 Inj. Cefotaxime
HR: 105x/menit
500mg/12jam/IV
RR: 26x/menit
 Prednison 3x6mg
T : 36,5oC  Ambroxol 8mg
Salbutamol 1,5mg
PEMERIKSAAN FISIK Histapan 15mg
Kepala : normocephal 3x1 pulv
Mata : anemia (+/+), sklera ikterik (-/-)
 RHZ 1x3 tab
Telinga : otorrhea (-/-)
 Apecure syr. 1x1 cth
Hidung : rhinorrhea (-/-)
 Rawat luka
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Ulkus (+) (S)
Axilla : Nodul (+) (D)

Thorak :
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Ausk : Bv (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

31
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung

Palpasi : nyeri tekan (-)


Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-
/-) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru+Efusi Pleura
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

32
6. Follow Up 8 Agustus 2019 (perawatan hari ke 6)
Catatan Instruksi
KU: Batuk berlendir (+) berkurang, TERAPI :
demam (-), nafsu makan menurun (+)  IVFD Dextrose 5%
16tpm
TANDA VITAL
 Inj. Cefotaxime
HR: 100x/menit
500mg/12jam/IV
RR: 26x/menit
 Prednison 3x6mg
T : 36,4oC  Ambroxol 8mg
Salbutamol 1,5mg
PEMERIKSAAN FISIK Histapan 15mg
Kepala : normocephal 3x1 pulv
Mata : anemia (+/+), sklera ikterik (-/-)
 RHZ 1x3 tab
Telinga : otorrhea (-/-)
 Apecure syr. 1x1 cth
Hidung : rhinorrhea (-/-)
 Rawat luka
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Ulkus (+) (S). single
Axilla : Nodul (+) (D), multiple

Thorak :
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Ausk : Bv (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

33
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung

Palpasi : nyeri tekan (-)


Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-
/-) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru+Efusi Pleura
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

34
7. Follow Up 9 Juli 2019 (perawatan hari ke 7)
Catatan Instruksi
KU: Batuk berlendir (+) sesekali, demam TERAPI :
(-)  IVFD Dextrose 5%
16tpm
TANDA VITAL
 Inj. Cefotaxime
HR: 100x/menit
500mg/12jam/IV
RR: 26x/menit
 Prednison 3x6mg
T : 36,4oC  Ambroxol 8mg
Salbutamol 1,5mg
PEMERIKSAAN FISIK Histapan 15mg
Kepala : normocephal 3x1 pulv
Mata : anemia (+/+), sklera ikterik (-/-)
 RHZ 1x3 tab
Telinga : otorrhea (-/-)
 Rawat luka
Hidung : rhinorrhea (-/-)
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Ulkus (+) (S), single
Axilla : Nodul (+) (D), multiple

Thorak :
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Ausk : Bv (+/+), Rh (+/-), Wh (-/-)

35
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung

Palpasi : nyeri tekan (-)


Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-
/-) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru+Efusi Pleura
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

36
8. Follow up 10 Agustus 2019 (perawatan hari 8)
Catatan Instruksi
KU: Batuk (-), demam (-) TERAPI :
 Aff infus

TANDA VITAL  Prednisone 3x6mg

HR: 100x/menit  Ambroxol 8mg


Salbutamol 1,5mg
RR: 26x/menit
Histapan 15mg
o
T : 36,5 C 3x1 pulv

 RHZ 1x3 tab


PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : normocephal  Cefixime syr. 2 x ¾ cth.
Mata : anemia (+/+), sklera ikterik (-/-)  Rencana pulang, kontrol
Telinga : otorrhea (-/-) poliklinik 13/8/2019
Hidung : rhinorrhea (-/-)
Mulut : tonsil hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Ulkus (+) (S), single
Axilla : Nodul (+) (D), multiple

Thorak :
Inspeksi: simetris bilateral
Palpasi : vokal fremitus ka=ki
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Ausk : Bv (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

37
Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : kesan cembung

Palpasi : nyeri tekan (-)


Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : peristaltik (+) normal

Extremitas :
Hangat (+/+) keempat ekstremitas, edema (-/-
) keempat ekstremitas.

ASSESSMENT:

- TB Paru+Efusi Pleura
- Skrofuloderma
- Anemia Mikrositik Hipokromik Ec.
Thalassemia.
- Gizi Kurang+Perawakan Pendek

38
BAB III
DISKUSI

Diagnosis Tuberkulosis Paru+Efusi Pleura, Skrofuloderma, Anemia


Mikrositik Hipokromik Ec. Thalassemia dan Gizi Kurang + Perawakan
Pendek pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium.
Anak laki-laki usia 8 tahun 4 bulan masuk rumah sakit dengan keluhan
terdapat benjolan yang muncul dileher kiri. Benjolan dirasakan muncul
sejak 1 tahun yang lalu. Seminggu yang lalu benjolan pecah dan
mengeluarkan nanah. Benjolan awalnya kecil namun lama-kelamaan
membesar hingga sebesar kelereng, awalnya belum terasa sakit namun
setelah pecah benjolan terasa sangat sakit hingga leher pasien sulit untuk
digerakkan. Pasien juga memiliki benjolan pada ketiak kiri, benjolan sebesar
biji jagung dan muncul lebih dari satu. Batuk lendir (+) 2 bulan, batuk
berdarah disangkal. Demam (+) naik turun sejak batuk-batuk. Keringat
malam (+), nafsu makan menurun (+), terdapat penurunan berat badan (+),
lemas (+). Kakek pasien riwayat batuk lama dan mengkonsumsi OAT
selama 6 bulan. Kakek pasien tinggal satu rumah dengan pasien sejak pasien
lahir. Pada anamnesis ibu mengakui bahwa pasien mendapatkan vaksin
BCG, namun pada pemeriksaan fisis tidak didapatkan adanya skar pada
lengan kiri atas, sehingga meragukan bahwa pasien telah mendapatkan
vaksin BCG saat berusia 1 bulan.
Hal ini sesuai dengan teori dimana Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). TB
Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Berdasarkan
data yang diperoleh, ditemukan sebanyak 2.975 anak tertular TB paru BTA positif
dari orang dewasa di sekitarnya.1-2

39
Vaksin BCG adalah vaksin berisi kuman Mycobacterium bovis yang
dilemahkan. BCG memiliki efek perlindungan terhadap TB dan radang otak
akibat TB. Setelah penyuntikan vaksin BCG umumnya, terjadi bisul atau luka.
Hal ini dikarenakan BCG mengandung bakteri hidup sehingga penyunyikkan akan
menyerupai infeksi alamiah. Lokasi munculnya bisul adalah di tempat
penyuntikkan vaksin. Secara alamiah, bisul akan menyembuh dan meninggalkan
bekas berupa jaringan parut yang datar berdiameter 2-6 mm.4
Diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis,
yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan
berdasarkan gambaran klinis yaitu batuk lama ≥ 3 minggu, demam lama ≥ 2
minggu, berat badan menurun, nafsu makan tidak ada, lesu atau malaise, diare
persisten. Pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto thoraks, dan
pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa
BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan foto thoraks
yang mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak
sakit TB melalui sistem skoring.3-4
Dimana pada kasus ini pasien memiliki gejala-gejala yang sesuai dengan
gambaran klinis yang terdapat pada penderita TB, yaitu adanya batuk
kronik, demam yang tidak jelas sebabnya, sering mengalami keringat
malam, penurunan nafsu makan dan berat badan pasien tergolong kurang,
diketahui dari anamnesis bahwa pasien mengalami penurunan berat badan
dan penilaian status gizi yang didapatkan gizi pasien tergolong kurang.
Adapun faktor risiko infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang tidak sehat (hygiene dan sanitasi tidak baik, sirkulasi udara yang
buruk) dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti
perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB
pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius,
terutama dengan BTA positif.2-3

40
Sesuai pada kasus ini dimana adanya riwayat kontak atau pajanan
terhadap pasien yang hasil BTA (+), yaitu kakek pasien. Dari anamnesis
didapatkan bahwa kakek pasien yang tinggal bersama pasien telah
didiagnosa TB dan telah mengkonsumsi OAT selama 6 bulan. Walaupun
sekarang telah dinyatakan sembuh, namun dapat disimpulkan bahwa
sumber infeksi TB pada pasien ialah pajanan dari kakek pasien sendiri.
Selain itu rumah pasien juga tidak memiliki ventilasi yang terbuka sehingga
sirkulasi udara kurang baik.
Adapun pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis TB pada anak dapat
dilakukan beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis langsung atau biopsy
jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak
dengan gejala TB, dianjurkan untuk pemeriksaan mikrobiologi, namun pada anak
jarang dilakukan karena sulitnya mendapatkan spesimen. Selain itu, pemeriksaan
Patologi Anatomi dapat digunakan. Pemeriksaan foto thoraks juga dapat
dilakukan. Namun pada anak, gambaran foto thoraks tidak khas karena juga dapat
dijumpai pada penyakit lain.1,3
Gambaran radiologi TB sebagai berikut: (1) Pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; (2) Konsolidasi segmental/lobar; (3) Efusi
pleura; (4) Milier; (5) Atelectasis; (6) Cavitas; (7) Kalsifikasi dengan infiltrat; (8)
Tuberkuloma.4
Pada kasus ini, didapatkan gambaran radiologi foto toraks, berupa:
perselubungan homogen pada apex paru dextra, cor: ukuran dan bentuk
normal, sinus kanan tumpul, sinus kiri dan diafragma baik, tulang-tulang
tervisualisasi intak, yang memberikan kesan “TB Paru Aktif Lesi Luas
disertai Efusi Pleura Dextra”.
Efusi pleura biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, dan merupakan
salah satu komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak. Efusi pleura biasanya
terjadi dalam 6 bulan pertama setelah TB primer. Efusi pleura adalah penumpukan
abnormal cairan di dalam rongga pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan

41
bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura terbentuk
sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB di dalam rongga
pleura. Antigen ini masuk ke dalam rongga pleura akibat pecahnya focus
subpleura. Rangsangan pembentukan cairan oleh pleura yang terkait dengan
infeksi kuman TB dapat terjadi akibat kedua hal tersebut di atas.3,4
Sesuai dengan teori bahwa efusi pleura pada kasus ini dapat terjadi
sebagai komplikasi dari TB yang diderita pasien.

Maka penegakkan diagnosis ini didasarkan dari hasil skoring TB yang


didapatkan sebagai berikut:

Parameter 0 1 2 3
Laporan
keluarga
Kontak TB Tidak jelas - (BTA BTA (+)
negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif
Klinis gizi
buruk
BB/TB <90%
Berat Badan/keadaan atau BB/TB
- Atau BB/U -
gizi <70%
<80%
atau BB/U
<60%
Demam yang tidak
diketahui - ≥ 2 minggu - -
penyebabnya
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran kelenjar
≥ 1 cm, jumlah
limfe (kolli, aksila, - - -
>1, tidak nyeri
inguinal)

42
Pembengkakan
Ada
tulang/sendi - - -
pembengkakan
panggul/lutut/falang
Normal/
Gambaran
Foto kelainan - -
sugestif TB
tidak jelas

Setelah dimasukkan ke dalam tabel skor, didapatkan jumlah skor


yaitu: 8. Pasien dengan jumlah skor ≥ 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis).3
Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan
langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian
membentuk abses dingin yang makin lama makin membesar dan pecah pada kulit
diatasnya.5
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ
dibawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal
dari KGB.,juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat
predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati KGB Superfisialis, yang
tersering ialah pada leher, kemudian disusul ketiak dan yang terjarang pada lipat
paha.4,5
Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis tuberkulosis, berupa
pembesaran kelenjar getah bening, tanpa tanda-tanda radang akut, selain tumor.
Mula-mula hanya beberapa KGB yang diserang, lalu makin banyak dan sebagian
berkonfluensi. Selain limfadenitis juga terdapat periadenitis yang menyebabkan
perlekatan KGB tersebut dengan jaringan sekitar. Kemudian kelenjar-kelenjar
tersebut mengalami perlunakan tidak serentak, menyebabkan konsistensinya
menjadi bermacam – macam, yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan
membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan
dikeluarkan nanahnya. Abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak
43
panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan,
menandakan bahwa isinya cair). Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan
perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya
dengan demikian membentuk fistel. muara fistel kemudian meluas hingga menjadi
ulkus yang mempunyai sifat khas, yakni bentuk memanjang dan tidak teratur,
disekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid), dinding bergaung; jaringan
granulasinya tertutup oleh pus seropurulen, jika mengering menjadi krusta
berwarna kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh spontan membentuk
sikatriks yang memanjang dan tidak teratur dan diatasnya kadang-kadang terdapat
jembatan kulit (skin bridge).5,6,7
Penatalaksanaan TB kulit sama dengan TB sistemik. Prognosis
skrofuloderma bonam karena skrofuloderma dapat sembuh spontan tetapi dalam
waktu yang sangat lama (bertahun-tahun) sebelum lesi secara sempurna ditutupi
oleh jaringan parut.10,11
Sesuai dengan teori, keluhan yang ditemukan pada pasien pada kasus
ini ialah berupa munculnya benjolan yang berlokasi di regio colli sinistra,
awalnya kecil namun lama kelamaan menjadi sebesar kelereng, benjolan
kemudian pecah berisi abses, benjolan yang pecah menjadi ulkus berukuran
3-4 cm, dengan effloresensi: ulkus berbentuk polisklik, tepi difus, dasar
kotor, didalamnya tampak abses, fistel, disekitar ulkus tampak eritematosa,
sikatriks dan jembatan kulit (skin bridge). Jaringan yang mengering
berwarna kekuningan.
Terdapat pula benjolan lain pada regio axilla berupa nodul
berdiameter 1-2 cm, bermassa padat, disekitar nodul tampak eritem dan
abses.
Hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini ditemukan anemia
mikrositik hipokromik (HGB 7,9 g/dl; MCV 54 fl; MCH 16,1 pg dan MCHC
29,8 g/dl). Anemia mikrositik hipokromik adalah anemia dimana kadar MCV <
80 fl, MCH < 27 pg), dan yang tergolong anemia jenis ini adalah anemia

44
defisiensi besi, thalassemia, anemia akibat penyakit kronik dan anemia
sideroblastik.13
Pada kasus ini pasien memiliki konjungtiva anemis dan kadang-
kadang merasa lemas yang disebabkan karena anemia tersebut. Setelah
dihitung dalam rumus indeks eritrosit didapatkan kadar MCV 54 Fl dan
MCh 16,1 pg serta indeks Mentzer, didapatkan hasil <13 sehingga pasien
tergolong Anemia Mikrositik Hipokromik Ec. Thalassemia. Ditemukan juga
WBC 15,5 x 103/ µl dan PLT 533 x 103/ µl yang dapat menandakan adanya
proses infeksi.
Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan
timbal balik, yaitu hubungan sebab-akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk
keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi.
Penyakit yang umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain diare,
tuberkulosis, campak dan batuk rejan (whooping cough).12
Masalah balita/anak pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis.
Dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita,
termasuk penyakit yang diderita.12
Status gizi menentukan kesehatan normal tubuh serta semua fungsi sistem
pada tubuh termasuk sistem imun yang bertanggungjawab sebagai pertahanan
tubuh dalam berbagai penyakit infeksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi
terjangkitnya penyakit TB adalah status gizi. Status gizi yang buruk akan
meningkatkan resiko terhadap penyakit TB paru. Sebaliknya, penyakit TB paru
dapat mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakitnya
yang mempengaruhi daya tahan tubuh.1,4
Pada kasus ini pasien menderita gizi kurang dibuktikan dengan
penilaian pada chart CDC dimana BB/TB pasien hanya didapatkan 76,19%.
Selain itu pada TB/U didapatkan 88,46% sehingga pasien tergolong
perawakan pendek, menandakan gizi kurang yang diderita tergolong kronik.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan status gizi kurang dan perawakan

45
pendek pasien, bisa karena faktor ibu pasien saat mengandung yang
mungkin kekurangan asupan, dapat juga karena ibu dicurigai mengalami
anemia, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya. Selain itu didapatkan
keterangan dari anamnesis bahwa pasien tidak minum ASI ekslusif, sehingga
pemenuhan nutrisi maupun peningkatan kekebalan tubuh tidak terpenuhi
dan akhirnya rentan terhadap infeksi. Keadaan gizi pasien mempengaruhi
kerentanan tubuh pasien terhadap infeksi dan dapat pula dipengaruhi oleh
penyakit TB yang diderita, karena salah satu manifestasi klinis dari TB itu
sendiri ialah penurunan berat badan, sama seperti yang dialami oleh pasien.

Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.1

Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan


pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB
adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan
dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB
berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan.1,3
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan
dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa
pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin
46
(R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu
Rifampisin (R) dan Isoniasid (H).1,3,4

 INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari


 Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
 Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
 Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
 Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang


relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam
bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet
KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:4

 Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H


(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
 Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan
H (Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan
anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut.1,3,4
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT :

Berat Badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150 4 bulan RH (75/50 mg)


mg)

5–9 1 tablet 1 tablet

10 – 14 2 tablet 2 tablet

15 – 19 3 tablet 3 tablet

47
20 – 32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:

 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


 Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.

Untuk kasus Tb tertentu yaitu TB Milier, Efusi Pleuraa TB, TB


Endobronkial, Meningitis TB, Perikarditis TB dan Peritonitis TB diberikan
kortikosteroid (prednisone) dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh kemudian
dilanjutkan tapering off dalam jangka waktu 2-6 minggu. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.3,4

Sesuai dengan teori diatas, pada kasus ini pasien anak berusia 8 tahun
4 bulan dengan berat badan 16 kg diberikan pengobatan tahap awal/intensif
selama 2 bulan, yaitu KDT 1x3 tablet, yang berisi Rifampisin 75 mg,
Isoniazid 50 mg dan Pirazinamid 150 mg. Selain itu diberikan pula
kortikosteroid yaitu Prednison dengan dosis 18mg diberikan dalam 3 dosis
sehari (3 x 6 mg).

Prognosis untuk TB pada anak yaitu:3,4


 Jika bakteri sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak akan sembuh
total dengan sekuel minimal.
 Pengobatan ulang lebih sulit dan kurang berhasil.

48
 Dengan kemoterapi tuberculosis (khususnya isoniazid), pemulihan pada TB
milier hampir 100%. Tanpa pengobatan, angka kematian pada TB milier dan
meningitis TB hampir 100%. Jika pengobatan terlambat, insidensi kelainan
neurologis cukup tinggi.
 Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun diantaranya akan meninggal (50%),
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi (25%), serta menjadi
kasus kronis yang tetap menular (25%).
Pada kasus ini prognosis dapat dikatakan baik. Hal ini dapat dilihat dari
keadaan pasien yang sudah membaik dan tidak terjadi komplikasi yang lebih
berat. Pasien juga baru pertama kali diterapi, bukan terapi ulangan. Apabila
pasien rutin meminum obat dan kontrol ke fasilitas pelayanan kesehatan,
kemungkinan untuk sembuh dengan sekuel minimal dapat terjadi. Untuk
prognosis skrofuloderma pun bonam karena menurut teori skrofuloderma
dapat sembuh spontan tetapi dalam waktu yang sangat lama (bertahun-
tahun) sebelum lesi secara sempurna ditutupi oleh jaringan parut.

49
Daftar Pustaka

1. Puspitasari RA, Saraswati LD, Hestiningsih R. Faktor yang Berhubungan


dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak (Studi di Balai Kesehatan Paru
Masyarakat Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2015;3(1):191-197.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
3. Nurwitasari A, Wahyuni CU. Pengaruh Status Gizi dan Riwayat Kontak
terhadap Kejadian Tuberkulosis Anak di Kabupaten Jember. Jurnal
Berkala Epidemiologi; 2015;3(2):158-169.
4. Halim, Naning R, Satrio DB. Faktor Risiko Kejadian TB Paru pada Anak
Usia 1-5 Tahun di Kabupaten Kebumen. Jurnal Penelitian Universitas
Jambi Seri Sains. 2015;17(2):26-39.
5. Djuanda, Adhi. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Editor: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Edisi V.
cetakan V. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016. Hal
64-72.
6. Jawas FA, Martodihadjo Soenarko, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol. . Surabaya : Airlangga University
Press, 2017. Hal 56-60.
7. Soebono, Hardyanto. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit.
Editor : Marwali Harahap. Cetakan I. Jakarta : Hipokrates, 2015. Hal 27-
29.
8. Ramos-e-Silva M, Ribeiro de Castro MC. Mycobacterial Infections. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Dermatology. 3rd ed.
Philadelphia: Saunders; 2015:1228–35.
9. David J, Gawkrodnger. Dermatologi All in Colour Text: Mycobacterial
Infection. 3 th ed. London: Churchil Livingstone; 2014: 46.

50
10. Yates VM. Mycobacterial Infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. London:
Blackwell; 2014.
11. Sethi A. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria, In:
Wolff, K. Goldsmith, LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. and Leffell,
DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed, Vol 2. New
York: McGraw-Hill; 2017. p: 2231-35.)
12. Supariasa, 2012. Penilaian Status Gizi. EGC, Jakarta
13. Bakta, I. M. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. 2013.
14. Nastiti N. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak.
Indonesia. 2013.
15. IDAI. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik Dan Penyakit Metabolik Jilid I Revisi.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.

51

Anda mungkin juga menyukai