Anda di halaman 1dari 11

Laporan Pendahuluan

A. Definisi
Trauma kandung kemih adalah cidera yang terjadi pada kandung
kemih yang diakibatkan oleh kecelakaan atau trauma iatrogenik (Salam,
2013).
Trauma kandung kemih adalah trauma yang terjadi pada kandung
kemih (vesica urinaria) yang diakibatkan patahnya tulang panggul dan
beberapa hantaman keras ke arah abdomen bagian bawah ketika kandung
kemih terisi penuh (Smeltzer & Bare, 2001).
Cedera kandung kemih adalah cedera pada kandung kemih yang
terjadi akibat trauma tumpul dan penetrasi dan bervariasi menurut isi
kandung kemih sehingga bila kandung kemih penuh akan lebih mungkin
untuk menjadi terluka dari pada saat kosong (Mutaqqin & Sari, 2011).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa trauma
kandung kemih adalah trauma yang menciderai kandung kemih yang terjadi
diakibatkan oleh trauma tumpul dan trauma tajam baik itu oleh kecelakaan
ataupun trauma iatrogenik (kesalahan medis).

B. Etiologi
Penyebab utama cedera kandung kemih adalah trauma penetrasi
(tajam) dan trauma tumpul. Penyebab iatrogenik termasuk pasca intervensi
bedah dari ginekologi, urologi, dan operasi ortopedi didekat kandung kemih.
Penyebab lain melibatkan trauma obstetri pada saat melahirkan (Mutaqqin &
Sari, 2011).
Trauma kandung kemih terutama terjadi akibat trauma tumpul pada
panggul, tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan
luka tusuk oleh senjata tajam. Pecahan – pecahan tulang yang berasal dari
fraktura dapat menusuk kandung kemi. Tetapi ruptura kandung kemih yang
khas ialah akibat trauma tumpul panggul atas kandung kemih yang terisi
penuh. Tenaga mendadak atas masa urin yang terbendung di dalam
kandung kemih menyebabkan rupture. Perforasi iatrogen pada kanndung
kemih tterdapat pada reseksitransurtral, sistoskopi atau karena manipulasi
dengan peralatan pada kandung kemih ( Scholtmeijer & Schroder, 1996 ).
Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis.
Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis
sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia
bergerak pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek
buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat
fragmen tulang pelvis merobek dindingnya (Purnomo, 2007).

C. Klasifikasi
Menurut Purnomo, 2007 Secara klinis cedera buli-buli dibedakan
menjadi kontusio buli-buli, cedera buli-buli ekstra peritoneal, dan cedera intra
peritoneal. Pada kontusio buli-buli hanya terdapat memar pada dindingnya,
mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan
ekstravasasi urine ke luar buli-buli.
Cedera intraperitoneal merupakan 25-45% dari seluruh trauma buli-
buli, sedangkan kejadian cedera buli-buli ekstraperitoneal kurang lebih 45-
60% dari seluruh trauma buli-buli. Kadang-kadang cedera buli-buli
intraperitoneal bersama cedera ekstraperitoneal (2-12%). Jika tidak
mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan
berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis.
1. Ruptur intraperitoneal
Peritoneum pariental, simfisis, promantorium, cedera dinding perut
yang mengakibatkan rupture intraperitoneal kandung kemih yang penuh,
tidak terdapat perdarahan retroperitoneal kandung kemih yang penuh,
tidak terdapat perdarahan retroperitoneal kecuali bila disebabkan patah
tulang pinggul.
2. Ruptur retroperitoneal
Peritoneum parietal, simfisis, promantorium, cedera panggul yang
menyebabkan patah tulang sehingga terjadi rupture buli-buli retro atau
intraperitoneal. Darah dan urin dijaringan lunak diluar rongga perut, perut
terbebas darah dan urin (Sjamsuhidayat, 1998).

D. Manifestasi Klinis
Gejala rupturakan kandung kemih terutama berupa hematuria
makroskopik, dan nyeri selanjutnya ditambah gejala dan tanda trauma tulan
panggul. Pada pemeriksaan fisik terdapat hematom subkutis, kadang –
kadang luka goresan. Perkusi sering menunjukkan nada redup yang luas
pada badan bagian bawah sebagai akibat hematoma atau adanya
ekstavasasi urina.biasanya bagian kandung kemih yang robek terletak
eksperitoneal. Kadang –kadang kandung kemih robek kearah peritoneum.
Akibatnya dapat terjadi rangsangan peritoneum, serta ditemukan darah dan
urin intraperitoneal. Pemeriksaan per rektal biasanya tidak menunjukkan
kelaina ( Scholtmeijer & Schroder, 1996 ).
Trauma kandung kemih terjadi dari fraktur pelvis dan trauma multipel
ataupun dari dorongan abdomen bawah ketika kandung kemih penuh. Gejala
dari trauma kandung kemih adalah kontusio (memar berwarna pucat yang
besar atau ekimosis akibat masuknya darah ke jaringan), ruptur kandung
kemih secara ekstraperitoneal, intraperitoneal, atau kombinasi keduanya.
Pasien dengan ruptur kandung kemih mungkin akan mengalami perdarahan
hebat untuk beberapa hari setelah perbaikan (Suharyanto, 2009).

E. Patofisiologi
Cedera kandung kemih tidak lengkap atau sebagian akan
menyebabkan robekan mukosa kandung kemih. Segmen dari dinding
kandung kemih jernih mengalami memar, mengakibatkan cedera lokal dan
hematoma. Memas atau kontusio memberikan manifestasi klinik hematuria
setelah trauma tumpul atau setelah melakukan aktivitas fisik yang ekstrem
contohnya lari jarak jauh).
Ruptur ekstraperitoneal kandung kemih. Tuptue ekstraperitonel
biasanya berhubungan dengan faktor panggul (89%-100%). Sebelumnya,
mekanisme cedera diyakini dari perforasi langsung oleh fragmen tulang
panggul. Tingkat cedera kandung kemih secara langsung berkaitan dengan
tingkat keparahan fraktur.
Beberapa kasus mungkin dengan mekanisme yang mirip dengan
pecahnya kandung kemih intraperitoneal, yang merupakan kombinasi dari
trauma dan overdistention kandung kemih. Temuan cystographic klasik
adalah ekstravasasi kontrol sekitar kandung kemih.dengan cedera yang lebih
kompleks, bahan kontras melaluas ke paha, penis, perineum, atau kedalam
dinding anterior abdomen. Ekstravasasi akan mencapai skrotum ketika fasia
superior diagfragma urogenital sendiri menjadi terganggu.
Kombinasi ruptur intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Mekanisme
cedera penerasi memungkinkan cedera menembus kandung kemih seperti
peluru kecepatan tinggi melintasi kandung kemih atau luka tusuk abdominal
bawah. Hal tersebut akan menyebabkan intraperitoneal, ekstraperitoneal,
cedera, atau gabungan kandung kemih (Muttaqin & Sari, 2011).

F. Komplikasi
1. Syok
Terjadi karena penurunan tekanan darah dan terjadinya
perdarahan. Pada penderita syok sepsis 40-60% terdapat bakteremia.
Hubungan antara bakteremia dan sepsis dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain imunitas dan kondisi penyakit. Secara umum bakteri
aerobik gram negatif sering dihubungkan dengan keadaan sepsis. Akhir-
akhir ini bakteri gram positif juga banyak ditemukan sebagai pemicu
sepsis. Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang
ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi SIRS
(Systemic Inflamatory Respon Syndrome) dilanjutkan sepsis, sepsis
berat, syok sepsis dan berakhir MODS. Syok terjadi pada 40% pasien
sepsis ( Prayogo, 2011)
2. Sepsis
Komplikasi pada luka traumatik biasanya disebabkan oleh oranisme
aerob endogen, terutama P. Aeruginosa, S. Aureus, E.coli, Proteus spp,
acino bacter dan lain – lain (Putranto, 2014). Ketika luka akibat trrauma
tidak dirawat dengan baik maka bakteri masuk kedalam saluran kemih
maka terjadilah infeksi saluran kemih.
Respon imunologi pada trauma berat dimulai saat awal kejadian
dengan dimulai aktifitas monosit. Aktifitas ini menyebabkan peningkatan
sintesa dan pelepasan mediatormediator inflamasi baik itu yang bersifat
pro inflamasi maupun anti inflamasi. Kelebihan respon pada trauma
menginduksi SIRS dan MOF yang terjadi 30% pada semua trauma berat
(Suharyanto, 2009).
Hubungan antara bakteremia dan sepsis dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain imunitas dan kondisi penyakit. Secara umum bakteri
aerobik gram negatif sering dihubungkan dengan keadaan sepsis. Akhir-
akhir ini bakteri gram positif juga banyak ditemukan sebagai pemicu
sepsis. Ledger dkk melaporkan mikroorganisme yang sering ditemukan
antara lain Eschericia coli,Enterococci, dan beta hemolytic streptococci
(Suharyanto, 2009).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding. Berikut adalah pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan pada trauma kandung kemih :
1. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urin secara
obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urin saat
berkemih, dibagi dengan lama proses berkemih. Kecepatan pancaran
normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran <10 ml/detik
menandakan adanya obstruksi.
2. Uretrigram Retrograde
Dilakukan uretrigram retrograde untuk mengevaluasi cedera uretral.
Klien dilakukan kateterisasi setelah uretrogram untuk meminimalkan
risiko gangguan uretral dan komplikasi jangka panjang yang luas, seperti
striktur, inkontinensia (tidak dapat menahan berkemih) dan impoten.
3. USG (Ultrasonografi)
USG cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa.
Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat
luas jaringan parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih
jenis tindakan operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat
mengetahui jumlah residual urin dan panjang striktur secara nyata,
sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi
4. MRI (Magneting Resonance Imaging)
MRI sebaiknya dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur
secara pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat.
Namun, alat ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal
sehingga jarang digunakan (Suharyanto, 2009).

H. Penatalaksanaan
1. Sistografi
Sistografi yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli
sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter
per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat
buli-buli terisi kontras dalam posisi anterior-posterior (AP), (2) pada posisi
oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari
buli-buli.
Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras
di dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan
ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela usus
berarti ada robekan buli-buli intraperitoneal. Pada perforasi yang kecil
seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif palsu) terutama jika
kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml (Purnomo, 2007).
Penanganan ruptur traumatik kandung kemih meliputi:
1. Bedah eksplorasi dan perbaikan laserasi
2. Drainase suprapublik dari kandung kemih
3. Memasang kateter urin
4. Perawatan umum pasca bedah dipantau dengan ketat untuk menjamin
drainase yang adekuat sampai terjadi penyembuhan. Pasien ruptur
kandung kemih mungkin mengalami perdarahan hebat untuk beberapa
hari setelah perbaikan (Suharyanto, 2009).

I. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko syok berhubungan dengan sepsis
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
3. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomic
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

J. Intervensi

No Diagnosa NOC NIC


1 Resiko syok Tujuan Syok prevention
berhubungan · Syok prevention · Monitor status BP, warna kulit,
dengan sepsis · Syok management suhu kulit, denyut jantung, HR
Kriteria Hasil dan ritme, nadi perifer, dan
· Nadi dalam batas yang kapiler refil .
diharapkan. · Monitor tanda inadekuat
· Irama jantung dalam batas oksigenasi jaringan.
yang diharapkan. · Monitor suhu dan pernafasan.
· Frekuensi nafas dalam batas · Monitor input dan output.
yang diharapkan. · Pantau nilai labor :Hb, Ht,
· Irama pernafasan dalam batas AGD, dan Elektrolit
yang diharapkan. · Monitor tanda dan gejala
· Mata cekung tidak ditemukan. asites
· Monitor tanda awal syok
· Lihat dan pelihara kepatenan
jalan nafas
· Berikan cairan iv dan atau
oral yang tepat.
· Berikan vasodilator yang
tepat.
· Ajarkan keluarga dan pasien
tentang tanda dan gejala
datangnya syok.
· Ajarkkan keluarga dan pasien
tentang langkah untuk
megatasi gejala syok.

2 Nyeri berhubungan Tujuan: Pain Management


dengan agen cedera
· Pain level · Lakukan pengkajian nyeri
fisik · Pain control secara konferhensif termaksud
· Comfort level lokasi, karakteristik, durasi,
Kriteria Hasil: frekuensi, kualitas dan factor
· Mampu mengontrol nyeri presipitasi.
(tahu penyebab nyeri, mampu · Observasi reaksi noverbal
menggunakan teknik dari ketidaknyamanan.
nonfarmokologi untuk · Gunakan teknik komunikasi
megurangi nyeri, mencari terapeutik untuk mengetahui
bantuan. pengalaman nyeri pasien.
· Melaporkan bahwa nyeri · Bantu pasien dan keluarga
berkurang dengan untuk mencari dan
menggunakan manajemen menemuukan dukungan.
nyeri. · Control lingkungan yang dapat
· Mampu mengenali nyeri mempengaruhi nyeri seperti
(skala, intesitas, frekuensi dan suhu ruangan, kepencahayaan
tanda nyeri). dan kebisingan.
· Menyatakan rasa nyaman · Kurangi faktor presipitasi nyeri.
setelah nyeri berkurang. · Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan
interpersonal).
· Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi.
· Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
· Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
· Evaluasi keefektifan control
nyeri.
· Tingkatkan istirahat
· Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
3. 3 Gangguan eliminasi Tujuan: Urinary Retention Care
urine berhubungan · Urinary elimination · Lakukan penilaian kemih
dengan obstruksi · Urinary Contiunence yang komprehensif berfokus
anatomic Kriteria Hasil: pada inkontensia (misalnya,
· Kandung kemih kosong output urin, pola berkemih,
secara penuh. fungsi kognitif, dan masalah
· Tidak ada residu urine >100- kencing praeksisten).
200 cc. · Memantau penggunaan obat
· Intake cairan dalam rentang dengan sifat antikolinergik
normal. atau properti alpha agonis.
· Bebas dari ISK. · Memonitor efek dari obat-
· Tidak ada spasme bladder obatan yang diresepkan,
· Balance cairan seimbang. seperti kalsium chanel
blockers dan antikolinergik.
· Merangsang reflex kandung
kemih dengan menerapkan
dingin untuk perut, membelai
tinggi batin, atau air.
· Sediakan waktu yang cukuup
untuk pengosongan kandung
kemih (10 menit)
· Memantau asupan dan
haluaran.
· Gunakan double – void
teknik.
· Masukkan kateter kemih,
sesuai.
· Anjurkan pasien atau
keluarga untuk merekam
outpun urine, sesuai.
· Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan
palpasi dan perkusi.
· Membantu dengan toilet
secara berkala, sesuai.
· Menerapkan kateterisasi
intermiten, sesuai.

4 Ansietas Tujuan: Anxiety Reduction (penurunan


berhubungan · Anxiety self-control kecemasan)
dengan perubahan· Anxiety level · Gunakan pendekatan yang
status kesehatan · Coping menenangkan.
Kriteria Hasil: · Jelaskan semua prosedur
· Klien mampu dan apa yang dirasakan
mengidentifikasi dan selama prosedur.
mengungkapkan gejala · Temani pasien untuk
cemas. memberikan keamanan dan
· Mengidentifikasi, mengurangi takut.
mengungkapkan dan · Dengarkan dengan penuh
menunjukkan tekhnik untuk perhatian.
mengontrol cemas. · Identifikasi tingkat
· Vital sign dalam batas kecemasan.
normal. · Bantu pasien mengenal
· Postur tubuh, ekspresi situasi yang menimbulkan
wajah, bahasa tubuh dan kecemasan.
tingkat aktivitas menunjukkan · Dorong pasien untuk
berkurangnya kecemasan. mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi.
· Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi.

DAFTAR PUSTAKA
Baradero, Mary dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta :EGC
Hohenfellner, M & Santucci, R.A. 2007. Emergencies in Urology. Heidelberg:
Department of Urology Heidelberg University.
Louhin, Kevin R. 2007. Complication of Urologic Surgery and Practice.
Massachusetts: Taylor & Francis Group.
Mutaqqin, Arif & Sari, Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta:Salemba Medika.
Purnomo, Basuki B. 2007. Dasar – dasar Urologi Edisi Dua. Jakarta : CV Sagung
Seto.
Prayogo, Budhy Wirantono. 2011. Hubungan antara Faktor Risiko Sepsis Obstetri
dengan Kejadian Sepsis Berat dan Syok Sepsis di Departemen
Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Surabaya.
Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga.
Putranto, Rudi Hendro., dkk. 2014. Cynebacterium diphtheriae Diagnosis
Laboratorium Bakteriologi. Jakarta: Pustaka obor
Salam, M.A et al. 2013. Principles and Practice of Urology, Vol. 1. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publisher.
Scholtmeijer, R.J. & Schroder, F.H. 1996. Urologi untuk praktek umum. Jakarta:
EGC
Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC
Suharyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta:TIM.
Wistara Widya, A. A., et al. 2013.“Diagnosis and Threatment of Urethral Stricture”. E-
jurnal Medika Udayana, 2(3). 428-443.

Anda mungkin juga menyukai