Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. M. Ihsan, Sp. An, KMN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Preeklampsia dan Sindroma HELLP”. Penulisan laporan kasus ini adalah salah
satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
M. Ihsan, Sp.An, KMN selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu memberikan arahan dalam laporan kasus ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus
Preeklampsia dan Sindroma HELLP, mulai dari definisi hingga
penatalaksanaannya serta peran bidang anestesiologi dalam penatalaksanaan.
Dengan demikian diharapkan laporan ini dapat meningkatkan pemahaman dan
mendukung penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif
sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
1. Memahami alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada kasus Preeklampsia Berat.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek penatalaksanaan awal pada pasien Preeklampsia Berat dan
HELLP Syndrome yang berlandaskan teori sehingga dapat ditatalaksana dengan
sebaik mungkin sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklampsia
2.1.1 Definisi
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ.6 Bila
seorang wanita memenuhi kriteria preeklampsia dan disertai kejang yang bukan
disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma maka ia dikatakan mengalami
eklampsia.2,3
2.1.2 Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Banyak teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan. Oleh karena itu, preeklampsia sering disebut sebagai “the disease of
theories”. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:8
1. Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan
ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa
2. Peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia
kehamilan
3. Perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus
4. Penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilan-kehamilan
berikutnya
5. Mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti hipertensi,
edema, proteinuria, kejang dan koma
2.1.3 Epidemiologi
Insidens preeklampsia sebesar 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada
negara maju.8 Di negara berkembang insidensnya bervariasi antara 6–10 kasus per
10.000 kelahiran hidup.17 Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia
bervariasi antara 0-4%.1
4
6. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan
kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat.3
7. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia adalah maladaptasi
imun. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia
setelah inseminasi donor sperma dan oosit.3
8. Obesitas
Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2,47.10
9. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil.
10. Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat
sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal.
11. Sindrom antifosfolipid
Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya
antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau
keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat.
12. Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia sebesar 22% (n=180) dengan keluaran maternal dan
perinatal yang lebih buruk.
6
2.1.5 Patofisiologi
2.1.9 Penatalaksanaan
Penderita preeklampsia berat harus segera dirawat di rumah sakit dan
dianjurkan untuk tirah baring miring ke satu sisi yaitu kiri.
Pengelolaan cairan dengan memantau input dan output cairan. Cairan yang
dapat diberikan pada penderita preeklampsia adalah 5% Ringer-dextrose
atau Infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer
Laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
Pemberian obat antikejang
1. MgSO4
2. Obat-obat antikejang lainnya:
a. Diazepam
b. Fenitoin
- Loading dose (initial dose) sebanyak 4 gram MgSO4 (40%
dalam 10 cc) secara intravena selama 15 menit.
- Maintenance dose: berikan infus 6 gram dalam larutan
Ringer/6 jam atau diberikan secara intramuskular sebanyak 4
atau 5 gram. Selanjutnya berikan 4 gram secara intramuskular
tiap 4-6 jam.
pemilihan tindakan dan obat yang dipakai dalam anestesi. Bila terdapat kenaikan
tekanan intrakranial, anestesi umum dengan kaidah neuroanestesi merupakan
pilihan. Hiperventilasi dapat diberikan segera setelah kelahiran bayi untuk
meminimalisir efek penurunan PaCO2 pada arteri uterina. Dokter anestesi, dokter
kebidanan, dan intensivis merupakan tim dalam penanganan kasus preeklampsi
kritis. Penanganan icu pada masa antenatal dan postpartum diindikasikan pada
pasien dengan preeklampsia berat yang mengalami edema paru, hipertensi tidak
terkontrol, anuria atau gagal ginjal, kejang berulang, DIC, gangguan neurologis
yang membutuhkan ventilasi misalnya perdarahan intraserebral atau infark
serebral atau edema serebri dan gangguan kritis intraabdominal, seperti gagal
hepar akut, hematoma hepar subkapsular.
Pada prinsipnya teknik regional tidak dilakukan pada pasien yang menolak
tindakan anestesi regional, dengan gangguan faktor koagulasi, dan sepsis.
Anestesi umum diindikasikan pada pasien dengan gawat janin berat, edema
pulmonum, ketidakstabilan hemodinamik, risiko intraspinal hematom (misalnya
abrupsio plasenta, trombositopenia berat) atau eklampsia dengan gangguan
kesadaran atau defisit neurologis.9 Trombositopenia terjadi pada 15%– 20%
pasien dengan preeklampsia berat, sehingga pemeriksaan jumlah trombosit
menjadi sangat penting. Aktivitas trombosit mungkin abnormal pada
preeklampsia berat dengan jumlah trombosit <100.000/mm3, sehingga analisa
fungsi trombosit atau faktor koagulasi lain menjadi penting.15
Continuous lumbar epidural anesthesia atau combined spinal epidural
analgesia merupakan pilihan manajemen nyeri selama persalinan pada
preeklampsia, karena memberikan kualitas analgesi yang baik sehingga
mengurangi respon hipertensif akibat nyeri, menurunkan kadar katekolamin yang
beredar dan hormon stres lain, memperbaiki aliran darah intervilosa, dan memberi
akses bila seksio sesarea emergensi harus dilakukan. Sayangnya teknik kombinasi
tidak dapat dievaluasi sampai resolusi akibat anestesi spinal sudah terjadi komplit.
Pada kasus emergensi, kateter epidural yang berfungsi baik dapat menjadi akses
tindakan anestesi untuk seksio sesarea, tetapi bila membutuhkan waktu lebih lama
untuk efektif, konversi ke anestesi umum dapat merupakan pilihan.
13
2.1.11 Komplikasi
Selama 20 tahun, bukti menunjukkan bahwa preeklampsia seperti kelainan
pertumbuhan fetus merupakan pertanda morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
Oleh karena itu, wanita dengan hipertensi yang diidentifikasi selama kehamilan
harus dievaluasi pada beberapa bulan pertama postpartum dan diberi konseling
mengenai risiko jangka panjang. Working Group menyimpulkan bahwa hipertensi
pada kehamilan umumnya membaik dalam 12 minggu setelah persalinan.
Hipertensi yang menetap setelah itu dianggap merupakan hipertensi kronik.3
Suatu grup studi Belanda menemukan adanya persistensi lesi white matter
yang terjadi pada konvulsi eklampsia. Kemudian peneliti ini juga menemukan lesi
ini pada wanita preeklampsia tanpa kejang. Preeklampsia dapat menyebabkan
terjadinya prematuritas. Fetal distress juga mungkin terjadi sebelum dan sesudah
kelahiran. Selain itu, solusio plasenta, perdarahan otak, kelainan mata, HELLP
Syndrome, dan gangguan ginjal merupakan komplikasi lain yang mungkin
terjadi.3
2.2.2 Epidemiologi
Sindrom HELLP didapati pada nulipara 68% dan pada multipara 34%.
Pada nulipara usia rerata 24 tahun (16 – 40 tahun), dengan usia kehamilan rerata
32,5 minggu (24 – 36,5 minggu). Sedangkan pada multipara umur rerata 25,6
tahun (18-38 tahun) dengan usia kehamilan rerata 33,3 minggu (25 – 39 minggu).
Karakteristik penderita sindrom HELLP berkulit putih, multipara dengan riwayat
luaran kehamilan yang jelek, usia ibu > 25 tahun, dan gejala muncul sebelum
kehamilan aterm (<36 minggu).
2.2.4 Patofisiologi
Etiologi dan patogenesis dari sindrom HELLP ini selalu dihubungkan
dengan preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia
sampai saat ini juga belum dapat diketahui dengan pasti. Yang ditemukan pada
penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan
kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya.
Sindrom ini kemungkinan merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan
kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya
terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi
kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik
mikroangiopati merupakan tanda khas.16,21
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk
mengungkapkan patogenesis dari preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini
perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi sel endotel. Tetapi penyebab dari
15
perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti. Saat ini ada empat
hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari preeklampsia,
yaitu: iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan
toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik. Sindrom HELLP ini
merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan endotel mikrovaskular dan
aktivasi dari trombosit intravaskular.16,21,24
Sindrom ini menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler
dan aktivasi platelet intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan
tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi,
agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa
dihentikan dengan terminasi kehamilan.24
Kelainan hematologis timbul pada beberapa perempuan dengan
preeklampsia. Salah satu kelainan yang lazim dijumpai adalah trombositopenia,
yang sesekali dapat sangat hebat, sehingga mengancam nyawa. Selain itu, kadar
beberapa faktor pembekuan darah dalam plasma dapat berkurang, dan eritrosit
dapat memperlihatkan bentuk abnormal serta mengalami hemolisis cepat.21
Trombositopenia. Hitung trombosit secara rutin diperiksa pada
perempuan dangan hipertensi gestasional jenis apapun. Frekuensi dan keparahan
trombositopenia bervariasi dan bergantung pada keparahan dan durasi sindrom
preeklampsia, serta pada frekuensi dilakukannya pemeriksaan hitung trombosit,
semakin tinggi angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Pada sindrom
HELLP, hitung trombosit terus berkurang seteah persalinan. Pada beberapa
perempuan yang tidak mencapai hitung trombosit terendah dalam 48 hingga 72
jam pascapelahiran, sindrom preeklampsia dapat salah diduga sebagai salah satu
mikroangiopati trombotik.21
Hemolisis. Preeklampsia berat sering disertai oleh tanda-tanda hemolisis
yang diukur secara semikuantitatif menggunakan kadar laktat dehidrogenase
dalam serum. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari
pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan
fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya
enzim hepar akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat
16
2.2.5 Klasifikasi
Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindrom HELLP, yaitu:25
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati.
Pembagian sindrom HELLP berdasarkan jumlah keabnormalan parameter
yang di dapati yaitu :
Sindrom HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini,
yaitu : hemolisis, peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah
trombosit dengan karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya burr
cell, schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT> 70 IU/L ;
bilirubin > 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 .
Sindrom HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi
tidak ketiga parameter sindrom HELLP. Lebih jauh lagi sindrom
17
HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis
(H), Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts
(H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL).
2. Berdasarkan jumlah dari trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita sindrom HELLP dalam 3 kelas
yaitu :
kelas I jumlah trombosit £ 50.000/mm3,
kelas II jumlah trombosit > 50.000 - £ 100.000/mm3
kelas III jumlah trombosit > 100.000 - £ 150.000/mm3
a. Hemolisis
Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis,
adalah dengan didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet
cell. Gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik terjadinya
hemolisis pada sindrom HELLP. Proses hemolisis pada sindrom HELLP
oleh karena kerusakan dari sel darah merah intravaskuler, menyebabkan
hemoglobin keluar dari intravaskuler. Lepasnya hemoglobin ini akan
terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks hemaglobin-haptoglobin
akan dimetabolisme di hepar dengan cepat. Hemoglobin bebas pada sistim
retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar
bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada wanita hamil normal
kadar bilirubin berkisar 0,1 – 1,0 mg/ dL. Dan pada sindrom HELLP kadar
ini meningkat yaitu > 1,2 mg/dL. Hemolisis intravaskuler menyebabkan
sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang
19
mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur. Sel darah merah
imatur ini mudah mengalami destruksi, dan mengeluarkan isoenzim
eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma lactic dehidrogenase
(LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya peroses
hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar LDH berkisar 340 – 670 IU/L.
Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L.26
b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar.
Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamat
oksaloasetat transaminase/SGOT) dan alanine aminotranferase (serum
glutamat piruvat transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel
hepar. Pada Preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima
kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Peninggian ini
menunjukkan fase akut dan progresivitas dari sindrom ini. Peningkatan
SGOT dan SGPT juga merupakan tanda terjadinya ruptur kapsul hepar.
Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 – 35 IU/L Dan pada
sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. Lactat
Dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab
terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. Jumlah Trombosit yang
Rendah
Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang
spesifik. Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata
menurun selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan.
Pada wanita hamil normal kadar trombosit berkisar > 150.000/ mm3. Dan
pada sindrom HELLP kadar ini menurun sampai < 100.000/ mm3. Martin
dkk (1991) melaporkan dari 158 preeklampsia berat dengan sindrom
HELLP didapatkan kadar trombosit berbeda-beda. Didapatinya 19%
pasien pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah trombosit >
150.000/mm3, 35% antara 100.000 – 150.000/mm3, 31% antara 50.000 –
100.000/mm3 dan 15% <50.000/mm3.26
20
2.2.8 Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsia.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya
kelainan pembekuan darah.19
Sampai saat ini penanganan sindrom HELLP masih kontroversi. Beberapa
penelitian menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta
buruknya komplikasi perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti
lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru janin
dan atau memperbaiki gejala klinis ibu. Namun semua peneliti sepakat bahwa
terminasi kehamilan merupakan satu satunya terapi definitif. Pada penelitian
terhadap 128 pasien preeklampsia dengan sindrom HELLP melaporkan bahwa
dengan menunda terminasi kehamilan pada sindrom HELLP lebih aman dan
berguna untuk ibu dan janin. Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru
janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu dengan pemberian
kortikosteroid.16,21,27
21
2.2.9 Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, acute respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, edema paru, heatom subkapsular, dan ruptur
hati. Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta,
hipoksia intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa
pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan
pernapasan (RDS).19
2.2.10 Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19 – 27 % untuk
mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai risiko
sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Sindrom
HELLP kelas I merupakan risiko terbesar untuk berulangnya sindrom ini pada
kehamilan selanjutnya. Penderita dengan normotensif sebelum menderita sindrom
HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklampsia, 27%
terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindrom HELLP pada
kehamilan berikutnya. Tetapi bila penderita sindrom HELLP dengan riwayat
kronik hipertensi sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklampsia dan 5%
kemungkinan terjadi sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya. Angka
kematian ibu pada sindrom HELLP 1,1 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%),
24
solusio plasenta (16%), gagal ginjal akut (7,7%), edema pulmonum (6%),
hematom hepar subkapsular (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). Isler dkk (1999)
melaporkan penyebab kematian ibu pada sindrom HELLP adalah perdarahan
intrakranial atau stroke (45%), gagal jantung paru (40%), DIC (39%), sindrom
gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%), perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan
ensefalopati hipoksia (16%). 60% dari kematian ibu dengan sindrom HELLP
kelas I. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung
dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang ibunya menderita sindrom HELLP akan
mengalami pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan sindrom kegagalan
pernafasan. Angka kematian bayi 5,5%, dari 269 bayi dengan ibu sindrom
HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindrom gagal nafas. Morbiditas
dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan daripada ada atau tidaknya
sindrom HELLP.27
25
BAB 3
STATUS PASIEN
3.2 Anamnesis
Ny. R, 29 tahun, G3P2A0, Melayu, Islam, Ibu rumah tangga, i/d Tn.A 37
tahun datang ke IGD RSUP Haji Adam Malik pada hari Kamis, 28-12-2017
dengan
KU : Tekanan darah tinggi pada kehamilan
Telaah : Hal ini telah dialami pasien sejak usia kehamilan 6 bulan.
Riwayat nyeri kepala (-). Riwayat mual (-), riwayat muntah (-), riwayat nyeri ulu
hati (-), riwayat pandangan kabur (-). Kejang (-). Riwayat tekanan darah tinggi
juga pernah dialami pasien saat hamil anak pertama. Riwayat tekanan darah tinggi
saat os tidak hamil (-). Riwayat mules-mules mau melahirkan (-), riwayat keluar
lendir darah dan keluar air-air dari kemaluan (-). BAK dan BAB dalam batas
normal. Pasien merupakan rujukan dari RS Aceh Tamiang dengan diagnosa MG +
KDR (aterm) + PEB + HELLP Syndrome + PK + AH + belum inpartu
RPT : Preeklampsia
RPO : MgSO4, dexametason, nifedipin
26
Riwayat persalinan :
1. Perempuan, 3700 gram, aterm, PSP, bidan, klinik, sehat, 7 tahun
2. Perempuan, 2900 gram, aterm, PSP, bidan, klinik, sehat, 5 tahun
3. Hamil ini
A (airway)
Airway clear
Snoring (-), Gurgling (-), Crowing (-)
27
B (breathing)
Inspeksi
Napas spontan, pergerakan torakskanan dan kiri simetris, tidak ada
ketinggalan bernafas, tidak ada retraksi
Palpasi
Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi
Sonor pada lapangan kedua paru
Auskultasi
Suara pernafasan : vesikuler, suara tambahan (-/-), RR: 20 kali per menit,
SaO2 : 99%
C (circulation)
Tekanan darah: 170/120 mmHg
Frekuensi Nadi: 110 kali per menit, regular, t/v kuat/cukup
Akral Hangat, Merah, Kering
CRT <2 detik
Terpasang IV Line dua jalur 20G, jalan IV line lancar
D (disability)
Kesadaran: GCS 15 (E4V5M6)
AVPU: Alert
Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC: +/+
E (exposure)
Suhu aksila: 36,5ºC
3.6. RIWAYAT
Inj. Dexametason
Tab Nifedipin 3x10 mg bila TD Sistole ≥160 mmHg, beri nifedipin tiap 30
menit sampai dosis maksimal 120 mg/24 jam
Pemberian antasida 30 ml, 30 menit sebelum operasi
Kateter urin terpasang untuk memantau urine output
Awasi vital sign, HIS, DJJ
Cek laboratorium lengkap (darah rutin, HST, KGD ad random, elektrolit,
RFT, LFT, LDH, Fibrinogen, d-dimer, HbsAg, HIV)
SIA dan informed consent
Rencana Sectio Cesaria Cito di KBE
Basofil 0,20% 0 – 1%
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 137 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4,0 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 101 mEq/L 96 – 106 mEq/L
30
METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula Darah (Sewaktu) 112 mg/dl <200mg/dl
GINJAL
BUN 5 mg/dL 7– 19 mg/dL
Ureum 11 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
Kreatinin 0,59 mg/dL 0,6 – 1,1 mg/dL
URINE LENGKAP
Warna Kuning keruh Kuning
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Positif Negatif
Keton Negatif Negatif
Berat Jenis 1,015 1,005-1,030
pH 7,0 5-8
Protein Positif 2 Negatif
Urobilinogen Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Negatif
Darah Negatif Negatif
FCM
Eritrosit 0-1 <3
Leukosit 0-1 <6
Epitel 0-1
Casts Negatif Negatif
Kristal Negatif
FAAL HAEMOSTASIS
PT 14,8 Kontrol : 14,0
APTT 30,5 Kontrol : 33,5
TT 16,1 Kontrol : 19,0
INR 1,04 0,8-1,3
31
HbsAg Non-reaktif
3.9 Diagnosis
Diagnosis : Preeklampsia Berat + HELLP Syndrome + MG +
KDR (37-38 minggu) + PK + AH
Tindakan : Sectio Cesarea
PS ASA : 3E (HELLP Syndrome + Preeklampsia Berat)
Teknik Anestesi : RA-SAB
Posisi : Supine
3.10 Rencana
Sectio Cesarea Cito di KBE IGD
S -
Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
TD: 150/100 mmHg, HR: 100x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
Sensorium compos mentis, GCS 15
UOP (+), warna kuning, kateter (+)
Abdomen soepel, peristaltik (+)N
Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH1
S -
Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
TD: 150/90 mmHg, HR: 96 x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
Sensorium compos mentis
UOP (+), warna kuning, kateter (+)
Abdomen soepel, peristaltik (+)N
Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH2
S -
35
Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
TD: 150/90 mmHg, HR: 90x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
Sensorium compos mentis
UOP (+), warna kuning, kateter (+)
Abdomen soepel, peristaltik (+)N
Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH3
S -
Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
TD: 150/100 mmHg, HR: 82 x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
Sensorium compos mentis
UOP (+), warna kuning, kateter (+)
Abdomen soepel, peristaltik (+)N
Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH4
S -
Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
96%
TD: 150/90 mmHg, HR: 96 x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
Sensorium compos mentis
UOP (+), warna kuning, kateter (+)
Abdomen soepel, peristaltik (+)N
Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH5
BAB 4
DISKUSI KASUS
Teori Kasus
Preeklampsia didefinisikan sebagai OS datang dengan keluhan utama
hipertensi yang baru terjadi pada tekanan darah tinggi pada kehamilan
kehamilan diatas usia kehamilan 20 yang dialami sejak usia kehamilan 6
minggu disertai adanya gangguan bulan. Riwayat tekanan darah tinggi
organ. sebelum hamil disangkal oleh pasien.
Faktor Risiko Dilihat dari profil pasien, dijumpai
Usia, nullipara, Jarak kehamilan, beberapa faktor risiko, antara lain:
riwayat keluarga, riwayat preeklampsia 1. Riwayat preeklampsia sebelumnya
sebelumnya, Kehamilan multipel, 2. Obesitas
obesitas, DM, Penyakit ginjal, sindrom
antifosfolipid, hipertensi kronik
Teknik Anestesi
Pada masa persalinan, pemberian Teknik anestesi yang digunakan pada
analgesia regional sering diberikan pasien ini adalah regional Anestesi
dengan alasan menghindari anestesi dengan Subarachnoid Block (spinal
umum dengan kemungkinan sulit anestesi)
pengendalian jalan napas, risiko
aspirasi dan hipertensi poten akibat
laringoskopi pada persalinan dengan sc
emergensi, mengoptimalkan kateter
epidural sebelum terjadi penurunan
jumlah trombosit, dan memberikan efek
menguntungkan analgesia neuroaksial
pada perfusi uteroplasenta.15
Pada masa persalinan, pemberian
analgesia neuroaksial sering diberikan
dengan alasan menghindari anestesi
umum dengan kemungkinan sulit
pengendalian jalan napas, risiko
aspirasi dan hipertensi poten akibat
laringoskopi pada persalinan dengan sc
emergensi, mengoptimalkan kateter
epidural sebelum terjadi penurunan
jumlah trombosit, dan memberikan efek
menguntungkan analgesia neuroaksial
pada perfusi uteroplasenta.15
Diagnosis Sindroma HELLP Hasil Lab
Hemolisis Trombosit (PLT): 76.000/µL
- Kelainan apusan darah tepi LDH : 623 U/L
- Total bilirubin 1,2 mg/dL
- Laktat dehidrogenase (LDH) >
41
600 U/L
Peningkatan Fungsi Hati
- Serum Aspartate
Aminotransferase (AST) > 70
U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) >
600 U/L
Jumlah Trombosit yang Rendah
- Hitung trombosit <
100.000/mm3
Tatalaksana Sindrom HELLP Tatalaksana
Sampai saat ini penanganan sindrom Inj. Dexametason
HELLP masih kontroversi. Beberapa Sectio Cesarea Cito
penelitian menganjurkan terminasi
kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan,
mengingat besarnya risiko maternal
serta buruknya komplikasi perinatal
apabila kehamilan diteruskan. Beberapa
peneliti lain menganjurkan pendekatan
yang konservatif untuk mematangkan
paru janin dan atau memperbaiki gejala
klinis ibu. Namun semua peneliti
sepakat bahwa terminasi kehamilan
merupakan satu satunya terapi definitif.
Pendekatan konservatif dengan
mematangkan paru janin dan atau
memperbaiki gejala klinis ibu dengan
pemberian kortikosteroid.
42
BAB 5
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA