Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

PREEKLAMPSIA DAN SINDROMA HELLP

Disusun Oleh:

Febrina Fajria 120100160


Baginda Asyraf Hsb 120100342
Sondang Elizabeth 120100404
Hansel Ardy 120100264

Pembimbing:
dr. M. Ihsan, Sp. An, KMN

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2018
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Preeklampsia dan Sindroma HELLP”. Penulisan laporan kasus ini adalah salah
satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
M. Ihsan, Sp.An, KMN selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu memberikan arahan dalam laporan kasus ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus
Preeklampsia dan Sindroma HELLP, mulai dari definisi hingga
penatalaksanaannya serta peran bidang anestesiologi dalam penatalaksanaan.
Dengan demikian diharapkan laporan ini dapat meningkatkan pemahaman dan
mendukung penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif
sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.

Medan, Januari 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Tujuan ......................................................................................... 2
1.3. Manfaat ....................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3


2.1. Preeklampsia ............................................................................... 3
2.1.1 Definisi............................................................................. 3
2.1.2 Etiologi............................................................................. 3
2.1.3 Epidemiologi .................................................................... 3
2.1.4 Faktor Risiko.................................................................... 4
2.1.5 Patofisiologi ..................................................................... 6
2.1.6 Manifestasi Klinis ............................................................ 8
2.1.7 Diagnosis……………………………………………… . 8
2.1.9 Penatalaksanaan ............................................................. . 10
2.1.10 Manajemen Anestesi pada Preeklampsia ....................... . 11
2.1.11 Komplikasi ..................................................................... . 13
2.2. Sindroma HELLP........................................................................ 13
2.2.1 Definisi............................................................................. 13
2.2.2 Epidemiologi .................................................................... 14
2.2.3 Faktor Risiko.................................................................... 14
2.2.4 Patofisiologi ..................................................................... 14
2.2.5 Klasifikasi ........................................................................ 16
2.2.6 Manifestasi Klinis ............................................................ 17
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang .................................................. . 18
2.2.8 Penatalaksanaan .............................................................. . 20
2.2.9 Komplikasi ...................................................................... . 23
2.2.10 Prognosis ........................................................................ . 23

BAB 3 STATUS PASIEN ............................................................................ 25


BAB 4 DISKUSI ........................................................................................... 37
BAB 5 KESIMPULAN ................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai
berbagai sistem tubuh.1 Preeklampsia merupakan salah satu penyebab kematian
ibu dengan angka kejadian rata-rata sebesar 6% dari seluruh kehamilan dan 12%
pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
primigravida terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida.2,3
Efek preeklampsia pada kematian perinatal berkisar antara 10-28%.
Sementara penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas,
pertumbuhan janin terhambat, dan solutio plasenta. Insidens preeklampsia sebesar
4–5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada negara maju.7 Di negara berkembang
insidensnya bervariasi antara 6–10 kasus per 10.000 kelahiran hidup.5
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets
Count) merupakan suatu variasi dari preeklampsia berat yang disertai
trombositopenia, hemolisis dan gangguan fungsi hepar. Sindrom HELLP juga
merupakan suatu komplikasi obstetri yang mengancam jiwa. Sindrom HELLP
dulu dikenal sebagai edema-proteinuria-hipertensi pada awal abad ke 20 dan
kemudian berganti nama pada tahun 1982 oleh Louis Weinstein.15,20
Kejadian sindrom HELLP pada saat kehamilan (70%) paling sering terjadi
pada usia kehamilan 27 – 35 minggu (70%) dan 30% terjadi pasca persalinan.
Angka kejadian dilaporkan sebesar 0,2 - 0,6% dari seluruh kehamilan, dan 10 -
20% terjadi pada pasien dengan komorbid preeklampsia. Dilaporkan kematian
maternal sebesar 24% dan kematian perinatal berkisar 30-40%. Sindrom HELLP
secara signifikan terbanyak pada wanita berkulit putih dan wanita keturunan
Eropa. Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok usia ibu yang lebih
tua, dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya, preeklampsia paling sering terjadi
pada pasien yang lebih muda (usia rata-rata, 19 tahun).16,17
Penanganan sindrom HELLP masih kontroversial antara perawatan
konservatif atau terminasi kehamilan yang jauh dari aterm. Sindrom HELLP
2

merupakan komplikasi yang berat dari kehamilan yang akan meningkatkan


morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal. Sindrom ini juga dihubungkan dengan
keadaan penyakit yang berat atau akan berkembang menjadi lebih berat serta
dengan prognosis maternal dan perinatal yang lebih buruk, walaupun angka
kematian maternal dan perinatal yang dikemukakan masih sangat bervariasi
mengingat perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan serta saat diagnosis
ditegakkan. Penggunaan steroid diduga akan memperbaiki keadaan hematologi
dan nilai biokimia pada penderita sindrom HELLP yang akan menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas pada penderita sindrom HELLP.15,17,19

1.2. Tujuan
1. Memahami alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada kasus Preeklampsia Berat.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek penatalaksanaan awal pada pasien Preeklampsia Berat dan
HELLP Syndrome yang berlandaskan teori sehingga dapat ditatalaksana dengan
sebaik mungkin sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsia
2.1.1 Definisi
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ.6 Bila
seorang wanita memenuhi kriteria preeklampsia dan disertai kejang yang bukan
disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma maka ia dikatakan mengalami
eklampsia.2,3
2.1.2 Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Banyak teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan. Oleh karena itu, preeklampsia sering disebut sebagai “the disease of
theories”. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:8
1. Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan
ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa
2. Peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia
kehamilan
3. Perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus
4. Penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilan-kehamilan
berikutnya
5. Mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti hipertensi,
edema, proteinuria, kejang dan koma

2.1.3 Epidemiologi
Insidens preeklampsia sebesar 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada
negara maju.8 Di negara berkembang insidensnya bervariasi antara 6–10 kasus per
10.000 kelahiran hidup.17 Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia
bervariasi antara 0-4%.1
4

Angka kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai


berbagai sistem tubuh. Penyebab kematian terbanyak wanita hamil akibat
preeklampsia adalah perdarahan intraserebral dan edema paru. Efek preeklampsia
pada kematian perinatal berkisar antara 10-28%. Penyebab terbanyak kematian
perinatal disebabkan prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, dan solutio
plasenta. Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh
kehamilan dan 12% pada kehamilan primigravida.2
2.1.4 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian preeklampsia
pada ibu hamil, yaitu:
1. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat
pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih, baik pada primipara,
maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia
secara bermakna.2
2. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat
dibandingkan multipara.
3. Jarak antar kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun
atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara.
4. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Risiko meningkat hingga 7 kali lipat, kehamilan pada wanita dengan
riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian
preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang
buruk.3
5. Riwayat keluarga preeklampsia
Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3.6
kali lipat3
5

6. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan
kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat.3
7. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia adalah maladaptasi
imun. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia
setelah inseminasi donor sperma dan oosit.3
8. Obesitas
Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2,47.10
9. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil.
10. Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat
sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal.
11. Sindrom antifosfolipid
Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya
antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau
keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat.
12. Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia sebesar 22% (n=180) dengan keluaran maternal dan
perinatal yang lebih buruk.
6

2.1.5 Patofisiologi

Gambar 2.1 Patofisiologi Preeklampsia-Eklampsia

Perubahan yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme


pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme arteriolar juga
ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan darah yang
meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan
edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang
interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang tinggi dibandingkan pada
kehamilan normal. Aldosteron berperan mempertahankan volume plasma dan
7

mengatur retensi air serta natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh


darah terhadap protein meningkat.9,10
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi
perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan
akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar
vasokonstriktor seperti angiotensin II, adrenalin, dan noradrenalin, dan atau
menurunnya respon terhadap zat-zat vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan
meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada
trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti
tekanan darah sebelum hamil. 9,10,13

Regulasi volume darah


Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat
mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak
dijumpai adanya edema.

Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah


Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia dibandingkan
hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang
melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).

Aliran darah di organ


1. Aliran darah di otak.
2. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
3. Aliran darah uterus dan choriodesidua
4. Aliran darah di paru-paru
5. Aliran darah di mata
6. Keseimbangan air dan elektrolit
8

2.1.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual.
Kadang-kadang sukar menentukan gejala preeklampsia mana yang timbul lebih
dahulu.2
Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuria merupakan
gejala yang paling penting. Namun, sayangnya penderita seringkali tidak
merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri
kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini sudah
cukup lanjut.2
2.1.7 Diagnosis
Suatu evaluasi sistematik pada preeklampsia meliputi:3
1. Pemeriksaan yang teliti, yang disertai dengan perhatian pada penemuan
seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, dan
peningkatan berat badan.
2. Pengukuran berat badan setiap hari.
3. Analisis proteinuria atau rasio protein:kreatinin pada waktu masuk dan
paling sedikit setiap 2 hari setelahnya.
4. Pengukuran tekanan darah dengan pasien pada posisi duduk dengan cuff
yang berukuran tepat selama 4 jam, kecuali antara pukul 24.00 hingga
06.00 kecuali terdapat peningkatan sebelumnya.
5. Pengukuran kreatinin plasma atau serum dan kadar aminotransferase
hepatic dan hemogram yang meliputi pengukuran jumlah platelet.
Frekuensi pemeriksaan ditentukan oleh keparahan hiperetensi. Beberapa
studi menyarankan pengukuran kadar asam urat dan dehidrogenase asam
laktat serum dan studi koagulasi. Tetapi, nilai uji ini masih belum dapat
dipastikan.
6. Evaluasi ukuran dan kesehatan fetus dan volume cairan amnion, dengan
pemeriksaan fisik atau sonografi.

Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya


hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.2
9

1. Hipertensi: sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥30


mmHg dan kenaikan diastolik ≥15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai
kriteria preeklampsia.
2. Proteinuria: ≥300 mg/24 jam atau ≥1+ dipstik.
3. Edema: edema local tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia,
kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.

Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau


lebih gejala sebagai berikut.2
1. Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah
dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
2. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
3. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma.
5. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
dan pandangan kabur.
6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson).
7. Edema paru-paru dan sianosis
8. Hemolisis mikroangiopatik
9. Trombositopenia berat <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
dengan cepat.
10. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar
alanin dan aspartate aminotransferase
11. Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat
12. Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme Level, Low Platelet
Count)

Pemeriksaan marker biologis, biokimiawi, dan biofisika yang terlibat pada


patofisiologi sindrom preeklampsia pada awal kehamilan atau sepanjang
kehamilan telah dikatakan dapat memprediksi perkembangan preeklampsia.
10

Usaha-usaha telah dilakukan untuk mengidentifikasi marker plasentasi yang cacat,


gangguan perfusi plasenta, aktivasi dan disfungsi sel endothelial, dan aktivasi
koagulasi. Pada umumnya, ini telah menghasilkan strategi pemeriksaan dengan
sensitivitas yang buruk dan nilai prediktif positif yang buruk terhadap
preeklampsia. Hingga sekarang, tidak ada tes skrining yang dapat diandalkan,
valid, dan ekonomis. Akan tetapi, kombinasi beberapa tes yang masih belum
dievaluasi secara adekuat memberikan kesan yang baik.3

2.1.9 Penatalaksanaan
 Penderita preeklampsia berat harus segera dirawat di rumah sakit dan
dianjurkan untuk tirah baring miring ke satu sisi yaitu kiri.
 Pengelolaan cairan dengan memantau input dan output cairan. Cairan yang
dapat diberikan pada penderita preeklampsia adalah 5% Ringer-dextrose
atau Infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer
Laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
 Pemberian obat antikejang
1. MgSO4
2. Obat-obat antikejang lainnya:
a. Diazepam
b. Fenitoin
- Loading dose (initial dose) sebanyak 4 gram MgSO4 (40%
dalam 10 cc) secara intravena selama 15 menit.
- Maintenance dose: berikan infus 6 gram dalam larutan
Ringer/6 jam atau diberikan secara intramuskular sebanyak 4
atau 5 gram. Selanjutnya berikan 4 gram secara intramuskular
tiap 4-6 jam.

Dalam memberikan magnesium sulfat, terdaat syarat-syarat yang harus


dipenuhi, yaitu:
a. Tersedianya antidotum MgSO4 yaitu Kalsium Glukonas 10% yang
diberikan secara intravena selama 3 menit.
11

b. Refleks patella kuat


c. Frekuensi pernafasan >16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres
pernafasan.
 Pemberian diuretikum tidak diberikan secara rutin kecuali bila dijumpai
adanya edema paru-paru, payah jantung kongestif atau anasarka.
 Pemberian antihipertensi
Antihipertensi lini pertama adalah Nifedipin dengan dosis 10-20 mg per
oral, diulangi selama 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
Nifedipin tidak boleh diberikan secara sublingual karena dapat
meniumbulkan efek vasodilatasi yang sangat cepat.
Antihipertensi lini kedua adalah Sodium Nitroprusside dengan dosis 0,25
µg i.v/kg/menit, ditingkatkan 0,25 µg i.v/kg/5 menit. Diazokside dapat
juga diberikan sebagai antihipertensi lini kedua dengan dosis 30-60 mg
i.v/5 menit atau i.v 10 mg/menit/dititrasi.

2.1.10 Manajemen Anestesi pada Preeklampsia


Pelayanan anestesi meliputi pelayanan preanestesi, tindakan anestesi, dan
postanestesi. Persiapan preoperatif yang tidak terburu-buru menurunkan risiko
anestesi pada ibu dengan preeklampsia. Penilaian preanestesi ibu preeklampsia
difokuskan pada pemeriksaan jalan napas, hemodinamik dan status koagulasi, dan
status hidrasi. Penggunaan kateter vena sentral untuk monitoring respon
pemberian cairan pada kasus oliguri sebetulnya dapat dilakukan, walaupun jarang.
Bila pemasangan monitor vaskular invasif justru menunda atau memperlama
tindakan definitif operatif, pemasangannya tidak dilakukan, karena tidak
mengubah manajemen anestesi intraoperatif. Kebanyakan para dokter kandungan
memilih segera melahirkan bayi walaupun ibu dalam keadaan oliguria dan
mengoptimalisasi status hidrasi setelah kelahiran.15
Pertimbangan anestesi pada kasus preeklampsia-eklampsia harus
mengingat kembali kejadian yang sebenarnya terjadi pada serebrovaskuler otak.
Bahwa telah terjadi perubahan serebrovaskuler di otak, tidak selalu memunculkan
adanya kenaikan tekanan intrakranial yang menjadi pertimbangan penting
12

pemilihan tindakan dan obat yang dipakai dalam anestesi. Bila terdapat kenaikan
tekanan intrakranial, anestesi umum dengan kaidah neuroanestesi merupakan
pilihan. Hiperventilasi dapat diberikan segera setelah kelahiran bayi untuk
meminimalisir efek penurunan PaCO2 pada arteri uterina. Dokter anestesi, dokter
kebidanan, dan intensivis merupakan tim dalam penanganan kasus preeklampsi
kritis. Penanganan icu pada masa antenatal dan postpartum diindikasikan pada
pasien dengan preeklampsia berat yang mengalami edema paru, hipertensi tidak
terkontrol, anuria atau gagal ginjal, kejang berulang, DIC, gangguan neurologis
yang membutuhkan ventilasi misalnya perdarahan intraserebral atau infark
serebral atau edema serebri dan gangguan kritis intraabdominal, seperti gagal
hepar akut, hematoma hepar subkapsular.
Pada prinsipnya teknik regional tidak dilakukan pada pasien yang menolak
tindakan anestesi regional, dengan gangguan faktor koagulasi, dan sepsis.
Anestesi umum diindikasikan pada pasien dengan gawat janin berat, edema
pulmonum, ketidakstabilan hemodinamik, risiko intraspinal hematom (misalnya
abrupsio plasenta, trombositopenia berat) atau eklampsia dengan gangguan
kesadaran atau defisit neurologis.9 Trombositopenia terjadi pada 15%– 20%
pasien dengan preeklampsia berat, sehingga pemeriksaan jumlah trombosit
menjadi sangat penting. Aktivitas trombosit mungkin abnormal pada
preeklampsia berat dengan jumlah trombosit <100.000/mm3, sehingga analisa
fungsi trombosit atau faktor koagulasi lain menjadi penting.15
Continuous lumbar epidural anesthesia atau combined spinal epidural
analgesia merupakan pilihan manajemen nyeri selama persalinan pada
preeklampsia, karena memberikan kualitas analgesi yang baik sehingga
mengurangi respon hipertensif akibat nyeri, menurunkan kadar katekolamin yang
beredar dan hormon stres lain, memperbaiki aliran darah intervilosa, dan memberi
akses bila seksio sesarea emergensi harus dilakukan. Sayangnya teknik kombinasi
tidak dapat dievaluasi sampai resolusi akibat anestesi spinal sudah terjadi komplit.
Pada kasus emergensi, kateter epidural yang berfungsi baik dapat menjadi akses
tindakan anestesi untuk seksio sesarea, tetapi bila membutuhkan waktu lebih lama
untuk efektif, konversi ke anestesi umum dapat merupakan pilihan.
13

2.1.11 Komplikasi
Selama 20 tahun, bukti menunjukkan bahwa preeklampsia seperti kelainan
pertumbuhan fetus merupakan pertanda morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
Oleh karena itu, wanita dengan hipertensi yang diidentifikasi selama kehamilan
harus dievaluasi pada beberapa bulan pertama postpartum dan diberi konseling
mengenai risiko jangka panjang. Working Group menyimpulkan bahwa hipertensi
pada kehamilan umumnya membaik dalam 12 minggu setelah persalinan.
Hipertensi yang menetap setelah itu dianggap merupakan hipertensi kronik.3
Suatu grup studi Belanda menemukan adanya persistensi lesi white matter
yang terjadi pada konvulsi eklampsia. Kemudian peneliti ini juga menemukan lesi
ini pada wanita preeklampsia tanpa kejang. Preeklampsia dapat menyebabkan
terjadinya prematuritas. Fetal distress juga mungkin terjadi sebelum dan sesudah
kelahiran. Selain itu, solusio plasenta, perdarahan otak, kelainan mata, HELLP
Syndrome, dan gangguan ginjal merupakan komplikasi lain yang mungkin
terjadi.3

2.2 HELLP Syndrome


2.2.1 Definisi
Definisi dari sindrom HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut
Godlin (1982) sindrom HELLP merupakan bentuk awal dari preeklampsia berat.
Weinstein (1982) melaporkan sindrom HELLP merupakan varian yang unik dari
preeklampsia tetapi Mackenna dkk (1983) melaporkan bahwa sindrom ini tidak
berhubungan dengan preeklampsia. Dan dilain pihak banyak penulis melaporkan
bahwa sindrom HELLP merupakan bentuk yang ringan dari Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan
laboratorium yang tidak adekuat. Secara garis besar, berdasarkan terminologinya,
sindrom HELLP dapat didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala hemolisis
(Hemolysis), peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzyme), dan penurunan
jumlah faktor pembekuan darah (Low Platelets Count). 21
14

2.2.2 Epidemiologi
Sindrom HELLP didapati pada nulipara 68% dan pada multipara 34%.
Pada nulipara usia rerata 24 tahun (16 – 40 tahun), dengan usia kehamilan rerata
32,5 minggu (24 – 36,5 minggu). Sedangkan pada multipara umur rerata 25,6
tahun (18-38 tahun) dengan usia kehamilan rerata 33,3 minggu (25 – 39 minggu).
Karakteristik penderita sindrom HELLP berkulit putih, multipara dengan riwayat
luaran kehamilan yang jelek, usia ibu > 25 tahun, dan gejala muncul sebelum
kehamilan aterm (<36 minggu).

2.2.3 Faktor Risiko


Pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25
tahun) dibandingkan pasien preeklampsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-
rata umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit
putih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke III, walaupun
pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasien dan
pada masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas,
dalam waktu 48 jam pertama post partum.17,18

2.2.4 Patofisiologi
Etiologi dan patogenesis dari sindrom HELLP ini selalu dihubungkan
dengan preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia
sampai saat ini juga belum dapat diketahui dengan pasti. Yang ditemukan pada
penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan
kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya.
Sindrom ini kemungkinan merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan
kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya
terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi
kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik
mikroangiopati merupakan tanda khas.16,21
Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk
mengungkapkan patogenesis dari preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini
perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi sel endotel. Tetapi penyebab dari
15

perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti. Saat ini ada empat
hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari preeklampsia,
yaitu: iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan
toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik. Sindrom HELLP ini
merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan endotel mikrovaskular dan
aktivasi dari trombosit intravaskular.16,21,24
Sindrom ini menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler
dan aktivasi platelet intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan
tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi,
agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa
dihentikan dengan terminasi kehamilan.24
Kelainan hematologis timbul pada beberapa perempuan dengan
preeklampsia. Salah satu kelainan yang lazim dijumpai adalah trombositopenia,
yang sesekali dapat sangat hebat, sehingga mengancam nyawa. Selain itu, kadar
beberapa faktor pembekuan darah dalam plasma dapat berkurang, dan eritrosit
dapat memperlihatkan bentuk abnormal serta mengalami hemolisis cepat.21
Trombositopenia. Hitung trombosit secara rutin diperiksa pada
perempuan dangan hipertensi gestasional jenis apapun. Frekuensi dan keparahan
trombositopenia bervariasi dan bergantung pada keparahan dan durasi sindrom
preeklampsia, serta pada frekuensi dilakukannya pemeriksaan hitung trombosit,
semakin tinggi angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Pada sindrom
HELLP, hitung trombosit terus berkurang seteah persalinan. Pada beberapa
perempuan yang tidak mencapai hitung trombosit terendah dalam 48 hingga 72
jam pascapelahiran, sindrom preeklampsia dapat salah diduga sebagai salah satu
mikroangiopati trombotik.21
Hemolisis. Preeklampsia berat sering disertai oleh tanda-tanda hemolisis
yang diukur secara semikuantitatif menggunakan kadar laktat dehidrogenase
dalam serum. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari
pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan
fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya
enzim hepar akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat
16

menyebabkan terjadinya iskemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan


akhirnya mempengaruhi organ lainnya. Bukti lain hemolisis tampak dari
gambaran sferositosis, skizositosis, dan retikulosis dalam darah tepi. Gangguan ini
disebabkan salah satunya oleh hemolisis mikroangiopati akiat kerusakan endotel
disertai perlekatan trombosit dsn penimbunan fibrin.21
Koagulasi. Perubahan ringan yang sesuai dengan koagulasi intravaskular
dan yang lebih jarang, apoptosis eritrosit lain lazim ditemukan pada preeklampsia
dan khususnya eklamsia. Beberapa perubahan ini termasuk peningkatan konsumsi
faktor VIII, peningkatan kadar fibrinopeptida A dan B serta produk degradasi
fibrin, serta penurunan kadar protein pengatur antitrombin III, serta protein C dan
S. Penyimpangan pada sistem koagulasi umumnya ringan kecuali bila disertai
solusio plasenta, kadar fibrinogen plasma biasanya tidak berbeda bermakna
dengan kadar yang ditemukan pada kehamilan normal, dan produk degradasi
fibrin hanya sesekali ditemukan meningkat. Pemeriksaan laboratorium termasuk
prothrombin time, activated pertial thromboplastin time, dan kadar fibrinogen
plasma, tidak diperlukan pada tatalaksana penyakit hipertensi dalam kehamilan.
Faktor-faktor pembekuan lain seperti, trombofilia adalah defisiensi faktor
pembekuan yang menyebabkan kondisi hiperkoagulabilitas.21

2.2.5 Klasifikasi
Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindrom HELLP, yaitu:25
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati.
Pembagian sindrom HELLP berdasarkan jumlah keabnormalan parameter
yang di dapati yaitu :
 Sindrom HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini,
yaitu : hemolisis, peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah
trombosit dengan karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya burr
cell, schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT> 70 IU/L ;
bilirubin > 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 .
 Sindrom HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi
tidak ketiga parameter sindrom HELLP. Lebih jauh lagi sindrom
17

HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis
(H), Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts
(H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL).
2. Berdasarkan jumlah dari trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita sindrom HELLP dalam 3 kelas
yaitu :
 kelas I jumlah trombosit £ 50.000/mm3,
 kelas II jumlah trombosit > 50.000 - £ 100.000/mm3
 kelas III jumlah trombosit > 100.000 - £ 150.000/mm3

Tabel 2.1. Klasifikasi Sindrom HELLP.16

2.2.6 Manifestasi Klinis


Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium
atau kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari
sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%). Mual
dan atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah
di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom
HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan
edema menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160
mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Penambahan berat badan
dan edema (60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus, terdapat
hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%).16,19
18

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Proses yang dinamis dari sindrom ini, sangat mempengaruhi gambaran
parameter dari laboratorium. Gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi
oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. Pemeriksaan
laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa
ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum ada
batasan yang tegas mengenai nilai untuk masing-masing parameter. Hal ini
terlihat dari banyaknya penelitian terhadap sindrom HELLP yang bertujuan untuk
membuat suatu keputusan nilai batas dari masing-masing parameter.19

Gambar 2.1. Kriteria diagnosis Sindrom HELLP.19

a. Hemolisis
Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis,
adalah dengan didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet
cell. Gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik terjadinya
hemolisis pada sindrom HELLP. Proses hemolisis pada sindrom HELLP
oleh karena kerusakan dari sel darah merah intravaskuler, menyebabkan
hemoglobin keluar dari intravaskuler. Lepasnya hemoglobin ini akan
terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks hemaglobin-haptoglobin
akan dimetabolisme di hepar dengan cepat. Hemoglobin bebas pada sistim
retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar
bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada wanita hamil normal
kadar bilirubin berkisar 0,1 – 1,0 mg/ dL. Dan pada sindrom HELLP kadar
ini meningkat yaitu > 1,2 mg/dL. Hemolisis intravaskuler menyebabkan
sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang
19

mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur. Sel darah merah
imatur ini mudah mengalami destruksi, dan mengeluarkan isoenzim
eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma lactic dehidrogenase
(LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya peroses
hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar LDH berkisar 340 – 670 IU/L.
Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L.26
b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar.
Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamat
oksaloasetat transaminase/SGOT) dan alanine aminotranferase (serum
glutamat piruvat transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel
hepar. Pada Preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima
kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Peninggian ini
menunjukkan fase akut dan progresivitas dari sindrom ini. Peningkatan
SGOT dan SGPT juga merupakan tanda terjadinya ruptur kapsul hepar.
Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 – 35 IU/L Dan pada
sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. Lactat
Dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab
terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. Jumlah Trombosit yang
Rendah
Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang
spesifik. Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata
menurun selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan.
Pada wanita hamil normal kadar trombosit berkisar > 150.000/ mm3. Dan
pada sindrom HELLP kadar ini menurun sampai < 100.000/ mm3. Martin
dkk (1991) melaporkan dari 158 preeklampsia berat dengan sindrom
HELLP didapatkan kadar trombosit berbeda-beda. Didapatinya 19%
pasien pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah trombosit >
150.000/mm3, 35% antara 100.000 – 150.000/mm3, 31% antara 50.000 –
100.000/mm3 dan 15% <50.000/mm3.26
20

2.2.8 Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsia.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya
kelainan pembekuan darah.19
Sampai saat ini penanganan sindrom HELLP masih kontroversi. Beberapa
penelitian menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta
buruknya komplikasi perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti
lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru janin
dan atau memperbaiki gejala klinis ibu. Namun semua peneliti sepakat bahwa
terminasi kehamilan merupakan satu satunya terapi definitif. Pada penelitian
terhadap 128 pasien preeklampsia dengan sindrom HELLP melaporkan bahwa
dengan menunda terminasi kehamilan pada sindrom HELLP lebih aman dan
berguna untuk ibu dan janin. Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru
janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu dengan pemberian
kortikosteroid.16,21,27
21

Gambar 2.2. Alur penanganan Sindrom HELLP.19

Pemberian kortikosteroid baik bethametason maupun deksametason


meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah trombosit, mempengaruhi
fungsi hepar (kadar SGOT, SGPT dan menurunkan LDH) serta memungkinkan
untuk pemberian anastesia regional. Pemberian kortikosteroid antepartum,
bethametason 12 mg / IM yang diulang 24 jam kemudian dan diberikan tiap
minggu sampai persalinan pada kehamilan 26 sampai 34 minggu dapat
meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian kortikosteroid antepartum,
22

deksametason 10 mg / IV / 12 jam diberikan sampai persalinan pada kehamilan


<32 minggu, mendapatkan persalinan terjadi 41 ± 15 jam setelah pemberian
kortikosteroid. Mereka berpendapat dengan pemberian kortikosteroid dapat
menunda persalinan, memaksimumkan status hematologis ibu, memaksimumkan
sistim organ pada janin dan ibu dapat dirujuk ke pusat pelayanan dengan aman.
Pemberian kortikosteroid post partum, Deksametason 10 mg / 12 jam 2 kali
pemberian, dilanjutkan dengan 5 mg / 12 jam pada 24 jam dan 36 jam post
partum, mendapatkan penurunan tekanan darah dan peningkatan jumlah trombosit
pada 24 jam post partum serta penurunan LDH dan SGOT pada 36 jam post
partum. Pemberian Deksametason dapat diberikan langsung ke daerah
intravaskular,dimana Betametason (tidak dapat diberikan secara intravena) harus
diabsorbsi terlebih dahulu setelah pemberian secara intramuskuler. Hal ini
menyebabkan terlambatnya onset of action atau berkurangnya efektifitas obat
waktu sampai di pembuluh darah. Prinsip penanganan pada sindrom HELLP sama
dengan preeklampsia berat. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu
terutama terhadap abnormalitas pembekuan darah.16,21,27.
Penatalaksanaan Sindrom HELLP: 27
1. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu :
a. Bila terdapat DIC, koreksi faktor pembekuan
b. Pemberian profilaksis anti kejang dengan Sulfas Magnesikus
c. Penanganan hipertensi berat
d. Rujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai
e. CT- scan dan USG abdomen bila dicurigai adanya hematom hepar
subkapsular
2. Evaluasi kesejahteraan janin:
a. Non Stress Test
b. Profil biofisik
c. Ultrasonografi biometri
3. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu
a. Jika paru telah matang, segera lahirkan
b. Jika paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan
23

c. Jika usia kehamilan 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera


lahirkan
Adanya sindrom HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk terminasi
kehamilan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah
kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan
pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi
dengan oksitosin pada semua kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32
minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32
minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan
pilihan.16,27

2.2.9 Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, acute respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, edema paru, heatom subkapsular, dan ruptur
hati. Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta,
hipoksia intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa
pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan
pernapasan (RDS).19

2.2.10 Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19 – 27 % untuk
mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai risiko
sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Sindrom
HELLP kelas I merupakan risiko terbesar untuk berulangnya sindrom ini pada
kehamilan selanjutnya. Penderita dengan normotensif sebelum menderita sindrom
HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklampsia, 27%
terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindrom HELLP pada
kehamilan berikutnya. Tetapi bila penderita sindrom HELLP dengan riwayat
kronik hipertensi sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklampsia dan 5%
kemungkinan terjadi sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya. Angka
kematian ibu pada sindrom HELLP 1,1 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%),
24

solusio plasenta (16%), gagal ginjal akut (7,7%), edema pulmonum (6%),
hematom hepar subkapsular (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). Isler dkk (1999)
melaporkan penyebab kematian ibu pada sindrom HELLP adalah perdarahan
intrakranial atau stroke (45%), gagal jantung paru (40%), DIC (39%), sindrom
gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%), perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan
ensefalopati hipoksia (16%). 60% dari kematian ibu dengan sindrom HELLP
kelas I. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung
dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang ibunya menderita sindrom HELLP akan
mengalami pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan sindrom kegagalan
pernafasan. Angka kematian bayi 5,5%, dari 269 bayi dengan ibu sindrom
HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindrom gagal nafas. Morbiditas
dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan daripada ada atau tidaknya
sindrom HELLP.27
25

BAB 3
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R
Umur : 29 tahun
Suku : Melayu
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Desa Gerenggam Dusun Sidorejo Kec.
Kejuruan Muda, Aceh Tamiang
Tanggal Masuk : 28 Desember 2017
Tanggal Konsul Anestesi : 28 Desember 2017
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 165 cm

3.2 Anamnesis
Ny. R, 29 tahun, G3P2A0, Melayu, Islam, Ibu rumah tangga, i/d Tn.A 37
tahun datang ke IGD RSUP Haji Adam Malik pada hari Kamis, 28-12-2017
dengan
KU : Tekanan darah tinggi pada kehamilan
Telaah : Hal ini telah dialami pasien sejak usia kehamilan 6 bulan.
Riwayat nyeri kepala (-). Riwayat mual (-), riwayat muntah (-), riwayat nyeri ulu
hati (-), riwayat pandangan kabur (-). Kejang (-). Riwayat tekanan darah tinggi
juga pernah dialami pasien saat hamil anak pertama. Riwayat tekanan darah tinggi
saat os tidak hamil (-). Riwayat mules-mules mau melahirkan (-), riwayat keluar
lendir darah dan keluar air-air dari kemaluan (-). BAK dan BAB dalam batas
normal. Pasien merupakan rujukan dari RS Aceh Tamiang dengan diagnosa MG +
KDR (aterm) + PEB + HELLP Syndrome + PK + AH + belum inpartu

RPT : Preeklampsia
RPO : MgSO4, dexametason, nifedipin
26

HPHT : 2 April 2017


TTP : 12 Januari 2018
ANC : Sp.OG (1 kali), Bidan (5 kali)

Riwayat persalinan :
1. Perempuan, 3700 gram, aterm, PSP, bidan, klinik, sehat, 7 tahun
2. Perempuan, 2900 gram, aterm, PSP, bidan, klinik, sehat, 5 tahun
3. Hamil ini

3.3 Time Sequences

28 Desember 2017 28 Desember 2017 28 Desember2017

Pukul 08.00 WIB Pukul 16.00 WIB Pukul 18.00 WIB


Pasien tiba di VK
IGD RSUP Haji Pasien dikonsulkan Tindakan SC Cito
Adam Malik ke anestesi untuk pada pasien di KBE
dilakukan tindakan
SC Cito

Gambar 3.1. Time Sequences

3.4 Primary Survey pukul 16.15 di VK IGD(28 Desember 2017)

A (airway)
 Airway clear
 Snoring (-), Gurgling (-), Crowing (-)
27

B (breathing)
 Inspeksi
Napas spontan, pergerakan torakskanan dan kiri simetris, tidak ada
ketinggalan bernafas, tidak ada retraksi
 Palpasi
Stem fremitus kanan=kiri
 Perkusi
Sonor pada lapangan kedua paru
 Auskultasi
Suara pernafasan : vesikuler, suara tambahan (-/-), RR: 20 kali per menit,
SaO2 : 99%

C (circulation)
 Tekanan darah: 170/120 mmHg
 Frekuensi Nadi: 110 kali per menit, regular, t/v kuat/cukup
 Akral Hangat, Merah, Kering
 CRT <2 detik
 Terpasang IV Line dua jalur 20G, jalan IV line lancar

D (disability)
 Kesadaran: GCS 15 (E4V5M6)
 AVPU: Alert
 Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC: +/+

E (exposure)
 Suhu aksila: 36,5ºC

3.5 Secondary Survey (28 Desember 2017)


B1 (Breath) :Airway clear; RR: 20 x/menit; SP: Vesikuler ka=ki; ST: -/-;
S/G/C: -/-/-; riw asma (-), batuk (-), alergi (-), sesak (-),
terpasang O22 L/i via nasal kanul, SaO2: 99%.
28

B2 (Blood) : Akral: hangat/merah/kering; TD: 170/120 mmHg; HR: 110


x/menit, reguler, t/v: kuat/cukup; CRT < 2 detik; Temperatur:
36,5°C, sianosis (-).
B3 (Brain) : Sensorium: compos mentis; GCS 15 (E4V5M6); pupil: isokor;
Ø: ± 3 mm / 3 mm; RC +/+, sakit kepala (-), pandangan
kabur (-), kejang (-).
B4 (Bladder) : UOP (+); volume ± 80 cc/jam, warna: kuning keruh,
terpasang kateter urin.
B5 (Bowel) : Abdomen: membesar, asimetris (+) teregang kiri, terbawah
kepala, TFU 1 jari di bawah processus xiphoideus, gerak
janjn (+), HIS (-), DJJ 144x/menit reguler; Kesan kehamilan
37-38 minggu.
B6 (Bone) : Fraktur(-); edema pretibial kanan dan kiri (+)

3.6. RIWAYAT

Allergies : Tidak ada

Medication : MgSO4, nifedipine, deksametason

Past Illness : Preeklampsia

Last Meal : 08.00 WIB (28 Desember 2017)

Event : Kehamilan risiko tinggi

3.7. Tatalaksana di VK IGD


 Bed rest, tidur posisi miring ke kiri
 Oksigen 2 L/I via nasal kanul
 Memasang IV dan threeway serta pastikan lancar
 Pasang monitor untuk memantau hemodinamik.
 IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
 Inj. MgSO4 20% 20 cc, bolus pelan
 IVFD RL + MgSO4 40% 30cc  14 gtt/i
29

 Inj. Dexametason
 Tab Nifedipin 3x10 mg bila TD Sistole ≥160 mmHg, beri nifedipin tiap 30
menit sampai dosis maksimal 120 mg/24 jam
 Pemberian antasida 30 ml, 30 menit sebelum operasi
 Kateter urin terpasang untuk memantau urine output
 Awasi vital sign, HIS, DJJ
 Cek laboratorium lengkap (darah rutin, HST, KGD ad random, elektrolit,
RFT, LFT, LDH, Fibrinogen, d-dimer, HbsAg, HIV)
 SIA dan informed consent
 Rencana Sectio Cesaria Cito di KBE

3.8. Pemeriksaan Penunjang


3.8.1 Laboratorium (28 Desember 2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 14,2 g/dL 12 – 16 g/dL
Eritrosit 5,17 jt/ µL 4,50-6,50 jt/ µL
Leukosit (WBC) 11,560 /µL 4,0 – 11,0 x 103/µL
Hematokrit 44% 36 – 47 %
Trombosit (PLT) 76.000/µL 150 – 450 x 103/µL
HITUNG JENIS
Neutrofil 92,10% 50 – 70%
Limfosit 7,00% 20 – 40%
Monosit 0,70% 2 – 8%
Eosinofil 0,00% 1 – 3%

Basofil 0,20% 0 – 1%

ELEKTROLIT
Natrium (Na) 137 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4,0 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 101 mEq/L 96 – 106 mEq/L
30

METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula Darah (Sewaktu) 112 mg/dl <200mg/dl
GINJAL
BUN 5 mg/dL 7– 19 mg/dL
Ureum 11 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
Kreatinin 0,59 mg/dL 0,6 – 1,1 mg/dL
URINE LENGKAP
Warna Kuning keruh Kuning
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Positif Negatif
Keton Negatif Negatif
Berat Jenis 1,015 1,005-1,030
pH 7,0 5-8
Protein Positif 2 Negatif
Urobilinogen Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Negatif
Darah Negatif Negatif
FCM
Eritrosit 0-1 <3
Leukosit 0-1 <6
Epitel 0-1
Casts Negatif Negatif
Kristal Negatif

FAAL HAEMOSTASIS
PT 14,8 Kontrol : 14,0
APTT 30,5 Kontrol : 33,5
TT 16,1 Kontrol : 19,0
INR 1,04 0,8-1,3
31

HbsAg Non-reaktif

Anti HIV (3 Metode) Non-reaktif

LDH 623 U/l 125-220


Fibrinogen 456 mg/dl 150-400
D-Dimer 1300 ng/dl <500

3.9 Diagnosis
 Diagnosis : Preeklampsia Berat + HELLP Syndrome + MG +
KDR (37-38 minggu) + PK + AH
 Tindakan : Sectio Cesarea
 PS ASA : 3E (HELLP Syndrome + Preeklampsia Berat)
 Teknik Anestesi : RA-SAB
 Posisi : Supine

3.10 Rencana
Sectio Cesarea Cito di KBE IGD

3.11 Teknik Anestesi


 Preload RL 500 cc
 Posisi LLD
 Identifikasi L3-L4
 Desinfeksi dengan povidone iodine dan alkohol 70%
 Insersi spinal needle No. 25G menembus kutis  subkutis  ligamentum
supraspinosum  ligamentum interspinosum  ligamentum flavum 
epidural space  duramater  sub-arachnoid space  CSF (+) barbotage
(+), darah (-)
 Injeksi Bupivacaine 5% 15mg
 Kembalikan ke posisi supine, atur tinggi blok setinggi T5, ganjal panggul
kanan.
32

3.12 Durante Operasi


 Hemodinamik :
 HR : 90-115 x/menit
 RR : 16-20x/mnt
 Sat O2 : 99-100%
 TD : Sistol : 150-170mmHg
Diastol : 80-110mmHg
 Cairan : PO : 500 cc RL
DO : 500 cc RL
 Perdarahan : ± 300 cc
 Maintenance + penguapan : (2+4)x 60 = 360 cc / jam
 UOP :200 cc dalam 3 jam
 Lahir bayi : LK, BB 3100 gr, PB 39 cm, anus (+)
 APGAR Score : 8/9
 Delivery time :10 menit
 Lama operasi : 2 jam

3.13 Post Operasi ( 13 Desember 2017)


B1 : Airway clear, O2 3 L/menit via nasal kanul, RR: 18 x/menit, SP:
vesikular ST: -/-, SpO2 98-100%
B2: Akral : hangat, merah, kering, HR: 102 x/menit, reg, t/v: kuat/cukup,
TD: 160/110 mmHg
B3: Sensorium: Compos Mentis GCS 15 E4M6V5, pupil isokor
3mm/3mm, RC +/+
B4: BAK (+) terpasang folley catheter no. 18 warna kuning, UOP (+)
600 cc
B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+)
B6 : Oedem pretibial (+/+), Fraktur (-)

3.14 Terapi Post Operasi


 Bed rest + Head up 30o
 Diet MB jika peristaltik (+)
33

 IVFD RL + Oxytosin 10-10-5-5  20 gtt/i


 IVFD RL + MgSO4 40%  14 gtt/i
 Inj. Nicardipine 1 amp dalam 50 cc NaCl 0,9%  4,2 cc/jam via Syringe
pump
 Inj Ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV
 Inj Ranitidine 50 mg/12 jam/IV
 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/IV
 Inj Transamin 500 mg/8jam/IV
 Inj Paracetamol drips 1 gram/8 jam/IV

3.15 Follow Up Pasien


29 Desember 2017

S -

 Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
 TD: 150/100 mmHg, HR: 100x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
 Sensorium compos mentis, GCS 15
 UOP (+), warna kuning, kateter (+)
 Abdomen soepel, peristaltik (+)N
 Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH1

 Bed Rest + Head up 300


 IVFD RL + Oxitocyn 10-10-5-5 IU 20 gtt/I
 IVFD RL + MgSO4 40% 30 cc 14 gtt/i
P  Inj. Nicardipin 1 amp dalam 50 cc NaCl 0,9%  4,2 cc/ jam via SP
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
34

 Inj. Transamin 500 mg/8 jam/iv


 Inj. Paracetamol drips 1 gr/8jam/iv
 Nifedipine 4x10 mg
30 Desember 2017

S -

 Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
 TD: 150/90 mmHg, HR: 96 x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
 Sensorium compos mentis
 UOP (+), warna kuning, kateter (+)
 Abdomen soepel, peristaltik (+)N
 Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH2

 Bed Rest + Head up 300


 IVFD RL + Oxitocyn 10-10-5-5 IU 20 gtt/I
 IVFD RL + MgSO4 40% 30 cc  14 gtt/i
 Inj. Nicardipin 1 amp dalam 50 cc NaCl 0,9% 4,2 cc/ jam via SP
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
P  Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
 Inj. Transamin 500 mg/8 jam/iv
 Inj. Paracetamol drips 1 gr/8jam /iv
 Nifedipine 4x10mg
 Pindah ruangan ke RB1 Obgyn
31 Desember 2018

S -
35

 Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
 TD: 150/90 mmHg, HR: 90x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
 Sensorium compos mentis
 UOP (+), warna kuning, kateter (+)
 Abdomen soepel, peristaltik (+)N
 Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH3

 Bed Rest + Head up 300


 IVFD RL 20 gtt/i

P  Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv


 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
 Tab Nipedipine 4x10 mg
1 Januari 2018

S -

 Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
99%
 TD: 150/100 mmHg, HR: 82 x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
 Sensorium compos mentis
 UOP (+), warna kuning, kateter (+)
 Abdomen soepel, peristaltik (+)N
 Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH4

P  Bed Rest + Head up 300


 IVFD RL 20 gtt/i
36

 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv


 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
 Tab Nipedipine 4x10 mg
2 Januari 2018

S -

 Airway clear, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler ST: (-/-), RR : 16x/i, SpO2
96%
 TD: 150/90 mmHg, HR: 96 x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2”
O
 Sensorium compos mentis
 UOP (+), warna kuning, kateter (+)
 Abdomen soepel, peristaltik (+)N
 Fraktur (-), Oedem (-)
A Post SC a/i PEB + HELLP Syndrome + NH5

 Bed Rest + Head up 300


 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
P  Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
 Tab Nipedipine 4x10 mg
 Pasien PAPS
37

BAB 4

DISKUSI KASUS

Teori Kasus
Preeklampsia didefinisikan sebagai OS datang dengan keluhan utama
hipertensi yang baru terjadi pada tekanan darah tinggi pada kehamilan
kehamilan diatas usia kehamilan 20 yang dialami sejak usia kehamilan 6
minggu disertai adanya gangguan bulan. Riwayat tekanan darah tinggi
organ. sebelum hamil disangkal oleh pasien.
Faktor Risiko Dilihat dari profil pasien, dijumpai
Usia, nullipara, Jarak kehamilan, beberapa faktor risiko, antara lain:
riwayat keluarga, riwayat preeklampsia 1. Riwayat preeklampsia sebelumnya
sebelumnya, Kehamilan multipel, 2. Obesitas
obesitas, DM, Penyakit ginjal, sindrom
antifosfolipid, hipertensi kronik

Diagnosis Preeklampsia Dari anamnesis didapati keluhan utama


Preeklampsia digolongkan tekanan darah tinggi pada kehamilan
preeklampsia berat bila ditemukan satu yang dialami sejak usia kehamilan 6
atau lebih gejala sebagai berikut: bulan. Riwayat tekanan darah tinggi
- Tekanan darah sistolik ≥160 sebelum hamil disangkal oleh pasien.
mmHg dan tekanan darah Dari Primary Survey:
diastolik ≥110 mmHg. Tekanan A (airway):
darah ini tidak menurun - Snoring (-)
meskipun ibu hamil sudah - Gurgling (-)
dirawat di rumah sakit dan - Crowing (-)
sudah menjalani tirah baring. B (breathing):
- Proteinuria lebih 5 g/24 jam - Inspeksi: napas spontan, toraks
atau 4+ dalam pemeriksaan simetris
kualitatif. - Palpasi: Stem fremitus ka=ki
38

- Oliguria, yaitu produksi urin - Perkusi: Sonor pada lapangan


kurang dari 500 cc/24 jam. kedua paru
- Kenaikan kadar kreatinin - Auskultasi: SP : vesikuler, ST:
plasma. -, RR: 20x/menit
- Gangguan visus dan serebral: C (circulation):
penurunan kesadaran, nyeri - CRT <2 detik
kepala, skotoma dan pandangan - Akral Hangat, Merah, Kering
kabur. - T/V cukup
- Nyeri epigastrium atau nyeri - TD: 170/120mmHg
pada kuadran kanan atas - HR: 110 x/menit
abdomen (akibat teregangnya D (disability)
kapsula Glisson). - Kesadaran: GCS 15 (E4V5M6)
- Edema paru-paru dan sianosis - AVPU: Alert
- Hemolisis mikroangiopatik - Ø pupil: 3 mm/3 mm, isokor
- Trombositopenia berat - RC: +/+
<100.000 sel/mm3 atau E (exposure)
penurunan trombosit dengan - T : 36,5ºC
cepat. - Abdomen membesar simetris
- Gangguan fungsi hepar kehamilan 37-38 minggu)
(kerusakan hepatoselular): Pemeriksaan penunjang:
peningkatan kadar alanin dan Urinalisa: Protein +2
aspartate aminotransferase
- Pertumbuhan janin intrauterine
yang terhambat
- Sindrom HELLP (Hemolysis,
Elevated Liver Enzyme Level,
Low Platelet Count)
Penatalaksanaan Preeklampsia Tatalaksana
Pemberian obat anti kejang  Bed rest, tidur posisi miring ke
- MgSO4 kiri
39

- Obat-obat antikejang lainnya:  Oksigen 2 L/I via nasal kanul


Diazepam, Fenitoin  Memasang IV line dan threeway
Adapun magnesium sulfat merupakan serta pastikan lancar
obat antikejang yang paling banyak  Pasang monitor untuk
dipakai di Indonesia. Magnesium sulfat memantau hemodinamik.
juga dijumpai lebih efektif  IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
dibandingkan fenitoin. Cara pemberian  Inj. MgSO4 20% 20 cc, bolus
magnesium sulfat adalah sebagai pelan
berikut:  IVFD RL + MgSO4 40% 30cc
- Loading dose (initial dose)  14 gtt/i
sebanyak 4 gram MgSO4 (40%  Inj. Dexametason
dalam 10 cc) secara intravena  Tab Nifedipin 3x10 mg bila TD
selama 15 menit. Sistole ≥160 mmHg, beri
- Maintenance dose: berikan nifedipin tiap 30 menit sampai
infus 6 gram dalam larutan dosis maksimal 120 mg/24 jam
Ringer/ 6 jam atau diberikan  Pemberian antasida 30 ml, 30
secara intramuskular sebanyak 4 menit sebelum operasi
atau 5 gram. Selanjutnya  Kateter urin terpasang untuk
berikan 4 gram secara memantau urine output
intramuskular tiap 4-6 jam
 Awasi vital sign, HIS, DJJ
 Cek laboratorium lengkap
Pemberian antihipertensi
(darah rutin, HST, KGD ad
Antihipertensi lini pertama adalah
random, elektrolit, RFT, LFT,
Nifedipin dengan dosis 10-20 mg per
LDH, Fibrinogen, d-dimer,
oral, diulangi selama 30 menit,
HbsAg, HIV)
maksimum 120 mg dalam 24 jam.
 SIA dan informed consent
Nifedipin tidak boleh diberikan secara
 Rencana Sectio Cesaria Cito di
sublingual karena dapat menimbulkan
KBE
efek vasodilatasi yang sangat cepat.
Laboratorium:
Trombosit (PLT): 76.000/µL
40

Teknik Anestesi
Pada masa persalinan, pemberian Teknik anestesi yang digunakan pada
analgesia regional sering diberikan pasien ini adalah regional Anestesi
dengan alasan menghindari anestesi dengan Subarachnoid Block (spinal
umum dengan kemungkinan sulit anestesi)
pengendalian jalan napas, risiko
aspirasi dan hipertensi poten akibat
laringoskopi pada persalinan dengan sc
emergensi, mengoptimalkan kateter
epidural sebelum terjadi penurunan
jumlah trombosit, dan memberikan efek
menguntungkan analgesia neuroaksial
pada perfusi uteroplasenta.15
Pada masa persalinan, pemberian
analgesia neuroaksial sering diberikan
dengan alasan menghindari anestesi
umum dengan kemungkinan sulit
pengendalian jalan napas, risiko
aspirasi dan hipertensi poten akibat
laringoskopi pada persalinan dengan sc
emergensi, mengoptimalkan kateter
epidural sebelum terjadi penurunan
jumlah trombosit, dan memberikan efek
menguntungkan analgesia neuroaksial
pada perfusi uteroplasenta.15
Diagnosis Sindroma HELLP Hasil Lab
Hemolisis Trombosit (PLT): 76.000/µL
- Kelainan apusan darah tepi LDH : 623 U/L
- Total bilirubin 1,2 mg/dL
- Laktat dehidrogenase (LDH) >
41

600 U/L
Peningkatan Fungsi Hati
- Serum Aspartate
Aminotransferase (AST) > 70
U/L
- Laktat dehidrogenase (LDH) >
600 U/L
Jumlah Trombosit yang Rendah
- Hitung trombosit <
100.000/mm3
Tatalaksana Sindrom HELLP Tatalaksana
Sampai saat ini penanganan sindrom  Inj. Dexametason
HELLP masih kontroversi. Beberapa  Sectio Cesarea Cito
penelitian menganjurkan terminasi
kehamilan dengan segera tanpa
memperhitungkan usia kehamilan,
mengingat besarnya risiko maternal
serta buruknya komplikasi perinatal
apabila kehamilan diteruskan. Beberapa
peneliti lain menganjurkan pendekatan
yang konservatif untuk mematangkan
paru janin dan atau memperbaiki gejala
klinis ibu. Namun semua peneliti
sepakat bahwa terminasi kehamilan
merupakan satu satunya terapi definitif.
Pendekatan konservatif dengan
mematangkan paru janin dan atau
memperbaiki gejala klinis ibu dengan
pemberian kortikosteroid.
42

BAB 5

KESIMPULAN

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada


kehamilan diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Bila
seorang wanita memenuhi kriteria preeklampsia dan disertai kejang yang bukan
disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma maka ia dikatakan mengalami
eklampsia. Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual.
Kadang-kadang sukar menentukan gejala preeklampsia mana yang timbul lebih
dahulu. Secara teoritik urutan-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia ialah
edema, hipertensi, dan terakhir proteinuria; sehingga bila gejala-gejala ini timbul
tidak dalam urutan di atas, dapat dianggap bukan preeklampsia. Perawatan
preeklampsia berat terbagi menjadi dua unsur, yaitu sikap terhadap penyakitnya,
yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis, dan sikap terhadap
kehamilannya.

Secara garis besar, berdasarkan terminologinya, sindrom HELLP dapat


didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala hemolisis (Hemolysis), peningkatan
enzim hati (Elevated Liver Enzyme), dan penurunan jumlah faktor pembekuan
darah (Low Platelets Count). Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri
pada daerah epigastrium atau kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise
sampai beberapa hari sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan
muntah (45 – 86%). Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan
berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang penting adalah
bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu
ditemukan. Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsia.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya
kelainan pembekuan darah.
43

DAFTAR PUSTAKA

1. Diagnosis Dan Tata Laksana Pre-EKLAMSIA. Perkumpulan Obstetri dan


Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal,2016.
2. Wiknjosastro, H. Pre-eklampsi Berat. Ilmu Kandungan edisi ketiga. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999. 281-308.
3. Cunningham FC, Gant NF, Lenevo KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Hypertensive
disorders in pregnancy. In : William Obstetriks 22nd ed, New York: McGraw
Hill: 2005 : 567-618
4. Simanjuntak JR, Evaluasi Kematian Maternal Penderita Preeklampsia Berat di
RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 1993-1997 Medan, Fakultas Kedoketeran
Universitas Sumatera Utara. Tesis. 1999
5. Churchill D, Duley L. Interventionist versus expectant care for severe
preeklampsia before term. Cochrane Database Syst Rev 2002(3):CD003106.
6. Khan KS, Wojdyla D, Say L, Gulmezoglu AM, Look PFAV. WHO analysis
of causes of maternal death: a systematic review. Lancet,2006;367:1066-74
7. Loombard H, Pattinson B, Interventionist versus expectant care for severe
preeklampsia before term : RHL commentary, The WHO Reproductive Health
Library;Geneva:World Health Organization, 2004.
8. Committee on Technical Bulletins of the American College of Obstetricians
and Gynecologists. Hypertension in pregnancy. ACOG technical bulletin.
Number 219—January 1996. Int J Gynaecol Obstet 1996; 53: 175–83.
9. Brandon JB, Amy EH, Nicholas CL, Hypertensive disorders in pregnancy. In :
The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetriks. 22nd ed
Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002 : 183-94
10. Hauth JC, Cunningham FC, Preeklampsia-eclampsia In: Lindheimer MD,
Roberts JM, editors Chesley`s Hypertensive Disorders in Pregnancy(2nd ed).
Stamford CT:Appleton& Lange, 1999:169-99
11. Relf CM, How to identify and manage preeklampsia, Women`s Health in
Primary Care, May 2003;6(5):235-43
44

12. Lana K Wagner, Diagnosis and Management of preeklampsia. Am Fam


Physician , 2004, 70:2317-24
13. Working group on High blood Pressure on Pregnancy, Report of the National
High Blood Pressure Education Program. Am J Obstet Gynecol 2000; 183:
S1-S21
14. Jenius L Tobing, Standar Pelayanan Medik, SMF. Kebidanan & Penyakit
Kandungan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi, 2014: 29-32
15. Septica R.I, Uyun Y, S Bambang, Patofisiologi Serebrovaskuler dan
Implikasi pada Preeklampsia/Eklampsia. Jurnal Neuroanestesi Indonesia.
2015. 4 (2): 134–48
16. Baysinger CL. Hypertensive disorder of pregnancy. Dalam: Atlee JL, editor.
Complications in Anesthesia. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2007;759– 62.
17. Prawirohardjo, S. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. FK-UI. 2009 : 530-60
18. Jayakusuma A. Sindrom HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK –
UNUD. 2005. 25 – 43
19. Angsar, M. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR. 2003: 10-19
20. Rambulangi, J. Sindrom HELLP. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. No. 151.
2006
21. Weinstein L. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low
Trombosit counts : A Severe Consequence of Hypertension in Pregnancy.
AmJ Obstet Gynecol 1982 ; 142 : 159 – 67.
22. Hohllagschwandtner M, Todesca DB. HELLP (hemolysis, elevated liver
enzymes and low trombosit counts) Needs Help. AmJ Obstet Gynecol
2000:182.
23. Sofoewan S. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeklampsia With
and Without HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and
Workshop. Bandung. 2001
24. Lockwood CJ, Paidas MJ. Preeklampsia and Hypertensive Disorders. In :
Cohen WR. Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott
Williams Wilkins. 2000 : 207 – 26.
45

25. Van Dam P, Reiner M, Baekelandt M, etal. Disseminated Intravascular


Coagulation and The Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and
Low Trombosit in Severe Preeklampsia. Obstet Gynecol 1989 : 73 : 97-102.
26. Bowers D, Wenk RE. Clinical Laboratory Referent Values. In : Cohen WR.
Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams &
Wilkins. 2000 : 873 – 81.
27. Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons
Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed. 2007.

Anda mungkin juga menyukai