Oleh :
dr. Nadira Sofwatunnisa Rakhmat
Pembimbing :
dr. Nuning Indriyani Sp.A
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah inflamasi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial. Pneumonia yang di dapatkan di lingkungan masyarakat atau yang sering disebut
juga sebagai pneumonia komunitas umumnya disebabkan oleh bakteri gram positif1.
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara terutama di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Insidensi pneumonia pada anak kurang dari 5 tahun di
negara berkembang 10-20 kasus/100 anak per tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5
juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang. Berbagai mikroorganisme
dapat menyebabkan pneumonia, antara lain virus, jamur, dan bakteri. S.pneumoniae
merupakan penyebab tersering pneumonia pada semua kelompok umur 2. Beberapa faktor
yang meningkatkan risiko untuk terjadinya dan beratnya pneumonia, antara lain defek
anatomi bawaan, defisit imunologi, polusi, gastroesophageal refluk, aspirasi, gizi buruk, berat
badan lahir rendah, tidak mendapatkan air susu ibu (ASI), imunisasi tidak lengkap, adanya
saudara serumah yang menderita batuk, dan tempat tinggal yang terlalu padat penghuninya3.
Gambaran klinis pneumonia bergantung pada berat ringanya infeksi dan kelompok
usia. Pada neonatus sering dijumpai takipnea, grunting, pernapasan cuping hidung, retraksi
dinding dada, sianosis dan malas menetek. Pada anak yang lebih besar jarang ditemukan
grunting, gejala lain yang sering terlihat adalah batuk, panas dan iritabel. Takipnea terbukti
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dalam mendiagosis pneumonia. Foto Rontgen
thorak posterior-anterior (PA) merupakan dasar diagnosis utama pneumonia4.
Pada pneumonia kadang-kadang sulit dibedakan dengan bronkiolitis dan asma apabila
disertai dengan sumbatan respiratorik karena kaliber saluran yang masih kecil. Kecurigaan
bronkiolitis apabila sesak terjadi pada anak dengan usia kurang dari dua tahun untuk pertama
kali sedangkan pada asma selain tanpa demam kejadian seperti ini merupakan kejadian yang
berulang5. Pengobatan terdiri dari terapi oksigen, analgetik, antipiretik, terapi cairan, dan
pemberian antibiotik. Pemberian fisioterapi dada berupa postural drainage, vibrasi, tapping
dan sinar infra red dapat dipertimbangkan2.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : An. E
Tanggal lahir : 23 Oktober 2014
Umur : 3 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Marga Bakti RT 001/RW 026 Citaman, Nagreg.
Nama Ayah : Tn. C / 40 Tahun
Nama ibu : Ny. E / 39 Tahun
Tgl. Diperiksa : 8 Februari 2018 di IGD RSUD Cicalengka Kabupaten Bandung
Masuk RS : 8 Februari 2018 dari IGD RSUD Cicalengka Kabupaten Bandung
No.MR :12 47 11
2
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Ibu pasien berusia 36 tahun saat mengandung pasien. Pasien lahir cukup bulan, secara
spontan dengan berat badan lahir 2500 gram langsung menangis di ruang bersalin RSUD
Cicalengka. Terdapat riwayat penyakit asma selama kehamilan.
Riwayat Makanan
Bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan berlanjut hingga 2 tahun. Makanan
pendamping ASI setelah 6 bulan berupa bubur instan Nestle, bubur ayam, sayur dan lauk
pauk. Saat ini pasien sudah sering makan nasi, sayuran, serta lauk pauk (ikan, ayam, daging,
tahu, tempe).
Riwayat Imunisasi
Jenis Imunisasi Umur Pemberian
3
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : tampak sesak
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda Vital :
Heart rate : 120x/menit, reguler, kuat angkat.
Respiratory rate : 56x/ menit, teratur.
Suhu (aksilla) : 37o C
Saturasi oksigen : 84 % menjadi 99% setelah diberikan oksigen 2 liter per
menit/ nasal kanul
4. Berat / Tinggi Badan : 12 kg/ 88 Cm (BB/TB = 0 SD )
B. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala : Normosefal, rambut hitam, tipis, tidak mudah dicabut.
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor +/+
- Hidung : peri oral sianosis (-), pernapasan cuping hidung (+), sekret (-)
- Tenggorokan : faring hiperemis (-), Tonsil: T2-T2, tonsil hiperemis (-), eksudat (-)
- Telinga : sekret (-), tanda-tanda peradangan (-).
- Mulut : ulkus (-), bibir sianosis (-), mukosa lembab
- Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), retraksi supra sternal (+)
2. Thorax
Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris, retraksi inter kostal (+/+)
Palpasi : Vokal fremitus +/+
Perkusi : Sonor
Auskultasi
- Cor : S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
- Pulmo : VBS +/+, ronki +/+, wheezing +/+
3. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), retraksi epigastrium (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Turgor dan elastisitas baik, nyeri tekan (-), massa (-)
4
Perkusi : Timpani
4. Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-, CRT <2”
V. DIAGNOSIS :
Pneumonia Komunitas Berat
5
VIII. FOLLOW UP
9 Februari 2018 S: batuk (+), sesak (+) demam (-) Advise dr. Nuning, Sp.A
(hari perawatan ke-1)
O: Kesadaran: Compos mentis - Oksigen 1-2 lpm/nasal
HR: 120 RR: 56 S: 36.2 o C SpO2: 95% kanul
Kepala: perioral sianosis (-), pernapasan - Cefotaxime 3x300mg
cuping hidung (+) IV
Leher : Retraksi suprasternal (+) - Ampicillin 4x300mg
Thorak: Bentuk dan gerak simetris, retraksi IV
interkostal +/+ - Dexamethason
Cor: S1 S2 normal regular, murmur (-) 4x1,5mg IV
Pulmo: VBS +/+, ronki +/+, wheezing +/+ - Diet Makan Cair 8
Abdomen: datar, retraksi epigastrium (+), x10ml /spen
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” - Nebulisasi velutin 2,5
mg (1 ampul) per 6 jam
A/ Pneumonia Komunitas Berat
10 Februari 2018 S: batuk (+), sesak berkurang, demam (-) Advice dr. Nuning, Sp.A
(hari perawatan ke-2)
O: Kesadaran : Compos mentis - Oksigen 1-2lpm/ nasal
HR: 100 RR: 28x/menit S: 36.3 o C kanul
Kepala : perioral sianosis (-), pernapasan - Cefotaxime 3x300mg
cuping hidung (-) IV
Leher : Retraksi suprasternal (-) - Ampicillin 4x300mg
Thorak: Bentuk dan gerak simetris, retraksi IV
interkostal +/+ - Dexamethason
Cor : S1 S2 normal regular, murmur (-) 4x1,5mg IV
Pulmo : VBS +/+, ronki +/+, wheezing +/+ - Diet ad lib posisi duduk
berkurang - Nebulisasi velutin 2,5
Abdomen: datar, retraksi epigastrium (+), mg (1 ampul) per 6 jam
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2”
6
12 Februari 2018 S: batuk berkurang, sesak (-), demam (-) Advice dr. Nuning, Sp.A
(hari perawatan ke-4)
O: Kesadaran : Compos mentis Rawat jalan
HR: 100 RR: 28 S: 36.3 o C Cefixim sirup 2 x 5ml
Kepala : perioral sianosis (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Leher : Retraksi suprasternal (-)
Thorak: Bentuk dan gerak simetris, retraksi
interkostal -/-
Cor : S1 S2 normal regular, murmur (-)
Pulmo : VBS +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen: datar, retraksi epigastrium (-)
minimal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2”
7
BAB III
PEMBAHASAN
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat1 . World Health Organization (WHO) mendefinisikan
pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan
frekuensi pernapasan 3. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi
dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama
pneumonia1.
Penegakkan diagnosis pneumonia pada pasien ini dinilai dari keluhan utama berupa
sesak napas disertai batuk dan napas cepat. Pada pemeriksaan fisik pasien saat diterima di
IGD, jumlah napas adalah 56 kali per menit, terdapat pernapasan cuping hidung, tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam (retraksi) pada area supra sternal, inter kostal dan
epigastrium. Pada auskultasi dada terdengar ronki pada kedua lapang paru. Pemeriksaan
pulse oximetry menunjukkan angka 84% yang berubah menjadi 99% setelah pemberian
oksigen 2lpm/nasal kanul. Pada pemeriksaan foto Rontgen dada di dapatkan gambaran
infiltrat luas.. Pasien ini datang ke IGD dengan napas cepat karena jumlah napas lebih dari
sama dengan 40 kali per menit untuk usia 3 tahun. Selain itu ditemukan tanda pneumonia
berat berupa pernapasan cuping hidung, retraksi area suprasternal, inter kostal dan
epigastrium. Didukung dengan hasil foto Rontgen dada dengan kesan pneumonia. Namun
tidak ditemukan gejala kejang, letargi, sianosis, serta distres pernapasan berat pada pasien ini.
Sehingga dapat disimpulkan, pada pasien ini mengalami pneumonia komunitas berat.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2015, derajat berat pneumonia pada anak
usia 2 bulan sampai dengan 5 tahun seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada Anak Usia 2 bulan - 5 tahun
Gambaran Klinis Berat Penyakit
Tidak ada tanda pneumonia atau pneumonia sangat berat Bukan Pneumonia; batuk
atau flu
8
Dan / atau disertai tarikan dinding dada
Bayi Anak
Saturasi oksigen ≤ 92% , sianosis Saturasi oksigen ≤ 92% , sianosis
Frekuensi napas > 60x per menit Frekuensi napas > 50x per menit
Distres pernapasan, apnea intermitten, Distres pernapasan
atau grunting Grunting
Tidak mau menetek/ minum Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat dirumah Keluarga tidak bisa merawat dirumah
9
Terapi Oksigen
Pada saat datang ke IGD, pasien diberikan terapi oksigen menggunakan nasal kanul
karena saturasi oksigennya (SaO2) 84% (kurang dari 90%) dan terdapat tarikan dinding dada
yang berat. Nilai normal SaO2 adalah 94-100%8. Indikasi pemberian oksigen pada anak
adalah jika ditemukan tanda hipoksemia berupa : 1) nilai SaO2 kurang dari 90%, 2) sentral
sianosis, 3) nasal flaring, 4) ketidakmampuan untuk makan dan minum dikarenakan distress
pernapasan, 5) grunting disetiap tarikan napas, 6) penurunan status mental, 7) tarikan dinding
dada yang berat, 8) frekuensi napas ≥70 kali per menit, 9) anggukan kepala yang menandakan
distress pernapasan yang berat8.
Pasien diberikasn oksigen 1-2 lpm melalui nasal kanul dan menunjukkan peningkatan
saturasi oksigen. Hal ini sudah sesuai karena metode pemberian oksigen pada anak dibawah 5
tahun yang dianjurkan menggunakan nasal kanul. Jika tidak memungkinkan, dapat
menggunakan metode alternatif menggunakan nasal kateter atau nasaopharyngeal kateter.
Kecepatan oksigen standar menggunakan nasal kanul adalah 0,5-1 lpm untuk neonatus, 1-2
lpm untuk anak, dan 1-4 lpm untuk anak yang lebih besar8. Pemberian oksigen perlu dicek
setiap tiga jam untuk memastikan bahwa nasal kanul atau kateter berada dalam posisi yang
benar dan tidak terhalang oleh mukus, kecapatan aliran oksigen tepat dan tidak ada distensi
lambung. Nasal kanul atau kateter perlu di buka dan dibersihkan setidaknya dua kali sehari8.
Pemberian oksigen daapat dihentikan jika saturasi oksigen ≥ 90% selama 15 menit pada suhu
ruangan8.
Terapi Antibiotik
Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan derajat penyakit.
Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia berat3. Ampisilin 100
mg/kgbb/hari i.v. atau i.m. setiap 6 jam yang harus dipantau dalam 24 jam selama 48-72 jam
pertama3. Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat tidak tampak perbaikan,
antibiotik diubah menjadi sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson dan sefotaksim3.
Dosis pemberian cefotaxim adalah 25-50mg/kgbb/dosis setap 8 jam7. Apabila kondisi
membaik, tidak didapatkan tanda sepsis, tanda vital stabil selama minimal 48 jam, biakan
darah tidak menunjukkan pertumbuhan kuman, dan dapat makan/ minum p.o. maka antibiotik
i.v dapat diganti dengan antibiotik oral. Umumnya peralihan ke antibiotik oral dilakkan
setelah 2-4 hari pemberian antibiotik i.v. Selanjutnya terapi dilanjutkan dirumah dengan
preparat obat dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya3.
10
Terapi antibiotik pada pasien ini adalah Ampisilin 4 x 300 mg dan Cefotaxime 3 x
300mg. Untuk terapi lanjutan dirumah diberikan obat cefixime 2x5ml. Hal ini sesuai dengan
dosis pemberian Ampisilin adalah 100mg/kgbb/hari diberikan setiap 6 jam, sedangkan dosis
pemberian cefotaxim adalah 25mg/kgbb/dosis diberikan setiap 8 jam.
Terapi Suportif
1. Pada pasien dilakukan diberikan terapi cairan rumatan sesuai berat badan pasien.
Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami dehidrasi
dan overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormone
antidiuretik3.
2. Pada pasien dilakukan pemasangan nasogastric tube (NGT) dan dipuasakan. Hal ini
sesuai dengan tujuan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung agar sekresi
saluran cerna dan udara yang tertelan dapat dikeluarkan sehingga meminimalisir
risiko aspirasi8. Jika sesak sudah berkurang, NGT dapat digunakan untuk memulai
pemberian nutrisi pada pasien secara bertahap.
3. Pada pasien tidak dilakukan suction jalan napas. Pada beberapa kasus tindakan
suction dibutuhkan untuk menghilangkan produksi mukus yang menghalangi pada
hidung, mulut hingga tenggorokan8.
4. Pada pasien dilakukan nebulisasi beta 2 agonis yaitu velutin yang berisi salbutamol
dan pemberian injeksi dexamethasone karena terdapat wheezing pada pemeriksaan
paru-paru8. Nebulisasi menggunakan alat yang bernama nebulizer. Nebulizer
digunakan untuk merubah obat dari bentuk cairan menjadi bentuk aerosol dengan
ukuran partikel 0,1-0,2 micron sehingga dapat mencapai alveolus. Salbutamol dapat
meningkatkan mucociliary clearance dan memecah sekresi untuk menstimulasi batuk.
Selain itu pada pasien dengan pneumonia dapat terjadi bronkospasme sekunder yang
dapat diobati dengan salbutamol9.
5. Pasien diberikan fisioterapi berupa postural drainage, vibrasi dan perkusi (taping),
nebulizer, suction. Fisioterapi napas merupkan tindakan yang dilakukan pada pasien
yang mengalami retensi sekresi dan gangguan oksigenasi yang memerlukan bantuan
untuk mengencerkan atau mengeluarkan sekresi. Postural drainage merupakan salah
satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai segmen paru dengan
menggunakan pengaruh gaya gravitasi.
Perbaikan secara klinis, nafsu makan membaik, bebas demam 12-24 jam,
stabil, saturasi oksigen >95% dalam udara ruangan selama 12-24 jam tanpa oksigen,
11
orang tua sudah mengerti untuk melanjutkan pemberian antibiotik oral merupakan
indikasi penderita pneumonia dapat dipulangkan3.
Pasien perlu untuk dilakukan follow up dan edukasi terhadap kelengkapan
status imunisasi (vaksin PCV, Influenza, Haemophilus influenza B ), pencegahan
risiko terjadinya pneumonia berulang yaitu menghindari paparan asap rokok, serta
pemberian profilaksis TBC dengan isoniazid (INH 5-10mg/kgbb/hari selama 6 bulan).
12
BAB IV
KESIMPULAN
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial. Kriteria diagnosis pneumonia dengan Trias Pneumonia yaitu; batuk, demam,
sesak. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa gejala demam (sensitivitas sebesar 80-92% dan
spesifitas 47-54%) dan takipnea atau jumlah napas lebih dari 40 kali per menit (sensitivitas
sebesar 79% dan spesifisitas 51%) keduanya tidak secara signifikan berhubungan dengan
diagnosis pneumonia. Munculnya hipoksemia moderate dengan SaO2 <96% (sensitivitas
64% dan spesifisitas 77%) dan peningkatan usaha untuk bernapas seperti merintih,
pernapasan cuping hidung, dan retraksi otot dada terbukti memiliki hubungan yang kuat
dalam mendiagnosis pneumonia10. Hal ini berkebalikan dengan WHO yang menyatakan
bahwa penilaian takipnea lebih baik dibandingkan penilaian terhadap retraksi dan penemuan
hasil pemeriksaan auskultasi paru – paru dalam mendiagnosis pneumonia6.
Penatalaksanaan pneumonia pada pasien ini terdiri dari terapi oksigen, antipiretik,
terapi cairan, dan pemberian antibiotik2. Fisioterapi dada dapat berkontribusi terhadap
perbaikan pasien sebagai terapi komplementer karena dapat mengurangi sekresi inflamasi,
melepas obstruksi jalan napas,mengurangi resistensi jalan napas dan usaha napas. Teknik
fisioterapi dada dikombinasikan dengan perkusi manual pada dinding dada dan
memposisikan pasien untuk mengeluarkan mukus dengan teknik batuk dan teknik napas2.
Kriteria rujukan bagi dokter di pelayanan kesehatan dasar adalah pneumonia berat dan
pneumonia yang memerlukan rawat inap1.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Cetakan II. Jakarta. 2017. h.262
3. Pudjiadi, A dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
2015. h.250
4. Garna, H dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin. Bandung. 2014. h.932
8. WHO. 2015. Hospital care for children; Tuberkulosis: Pencegahan. Diakses dari
www.ichrc.org/483-tuberkulosis-tindak-lanjut-pencegahan-dan-aspek-kesehatan-
masyarakat pada tanggal 10/4/18 pukul 00.20 wib.
14