Pembimbing :
dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes
dr. Nia Marina Pramesti, Sp.P
Disusun Oleh :
Munafiah J510170060
i
CASE REPORT
Diajukan Oleh :
Munafiah J510170060
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Penyakit Paru Bagian
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Pada hari tanggal
Pembimbing:
dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes (...............................)
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes (...............................)
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3
sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam 2 tahun berturut-
turut.
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter
sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita
asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan
adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan
kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama
bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu menghadapi
serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. TL
Umur : 42 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Polokarto, Sukoharjo
Agama : Islam
Status : Kawin
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
RM : 3736XX
MRS tanggal : 05-10-2018
Tanggal Pemeriksaan : 06-10-2018
Keluar RS : 09-10-2018
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak napas
5
mengatakan memiliki riwayat asma sejak 10 tahun terakhir dan rutin kontrol
poliklinik spesialis paru serta rutin mengkonsumsi obat semprot dan obat
hisap. Pasien mengatakan sebelum rutin kontrol sering mengalami serangan
asma hampir setiap hari serta mengganggu aktivitas dan tidur.
Riwayat Pengobatan
Pasien pernah dirawat di rumah sakit karena penyakit serupa beberapa
bulan yang lalu.
Pasien rutin mengkonsumsi obat semprot (ventolin inhaler) dan obat
hisap (symbicort turbuhaler)
Riwayat alergi obat (-)
6
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sesak
Keadaan sakit : sakit sedang.
Kesadaran/GCS : compos mentis/E4V5M6.
Tekanan Darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 104 kali per menit, reguler, kuat angkat cukup.
Pernafasan : 28 kali per menit,thorakoabdominal.
Suhu : 36,5oC.
Berat Badan : 62 kg .
Tinggi Badan : 155 cm.
62
𝐼𝑀𝑇 =
(1,55)2
62
𝐼𝑀𝑇 =
2,40
𝐼𝑀𝑇 = 25,83 → Berat badan lebih
Status Lokalis
Kepala :
- Ekspresi wajah : sedang.
- Bentuk dan ukuran : pipi cekung, ukuran normal.
- Rambut : normal.
- Udema (-)
- Malar rash (-).
- Paresis N VII (-).
- Hiperpigmentasi (-).
- Nyeri tekan kepala (-).
Mata :
- Simetris.
- Alis : normal.
- Exopthalmus (-/-).
7
- Ptosis (-/-).
- Nystagmus (-/-).
- Strabismus (-/-).
- Udema palpebra (-/-).
- Konjungtiva: anemia (-/-), hiperemia (-/-).
- Sclera: icterus (-/-), hyperemia (-/-), pterygium (-/-).
- Pupil : isokor, bulat, miosis (-/-), midriasis (-/-).
- Kornea : normal.
- Lensa : normal, katarak (-/-).
- Pergerakan bola mata ke segala arah : normal
Telinga :
- Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.
- Lubang telinga : normal, secret (-/-).
- Nyeri tekan (-/-).
- Peradangan pada telinga (-)
- Pendengaran : normal.
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-).
- Napas cuping hidung (-/-).
- Perdarahan (-/-), secret (-/-).
- Penciuman normal.
Mulut :
- Simetris.
- Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-).
- Gigi : caries (-)
- Mukosa : normal.
- Faring dan laring : tidak dapat dievaluasi.
- Foetor ex ore (-)
8
Leher :
- Simetris (-).
- Kaku kuduk (-).
- Scrofuloderma (-).
- Pemb.KGB (-).
- Trakea : di tengah.
- JVP :R+2 cm.
- Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-).
- Otot bantu nafas SCM tidak aktif.
- Pembesaran thyroid (-).
Thorax
Pulmo :
Inspeksi :
- Bentuk: simetris.
- Ukuran: normal, barrel chest (-)
- Pergerakan dinding dada : simetris.
- Permukaan dada : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi
(-), vena kolateral (-), massa (-), sikatrik (-) hiperpigmentasi (-),
genikomastia (-).
- Iga dan sela antar iga : sela iga melebar (-), retraksi (-)
- Fossa supraclavicula dan fossa infraclavicula : cekungan simetris
- Fossa jugularis: trakea di tengah.
- Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (-), otot
abdomen (-).
Palpasi :
- Posisi mediastinum : trakea digaris tengah
- Pergerakan dinding dada : simetris
- Fremitus raba : simetris
- Nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-)
9
Perkusi :
- Sonor (+/+).
- Nyeri ketok (-).
- Batas paru – jantung : batas normal
- Batas paru hepar : batas normal
Auskultasi :
- Suara napas vesikuler (+/+).
- Suara tambahan rhonki basah kasar (+/+) seluruh lapang paru.
- Suara tambahan wheezing (+/+) seluruh lapang paru.
- Suara gesek pleura (-/-).
- Ekspirasi memanjang (-/-)
Cor :
Inspeksi: Iktus cordis tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba ICS VIII linea midklavikula sinistra, thriil
(-).
Perkusi : - batas kanan jantung : ICS IV linea parasternal dextra.
batas kiri jantung : ICS VIII linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (-),
- Umbilicus : masuk merata.
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-), vena kolateral (-
), caput meducae (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), luka bekas
operasi (-), hiperpigmentasi (-).
Auskultasi :
- Peristaltik (+) normal.
- Metallic sound (-).
- Bising aorta (-).
Palpasi :
10
- Turgor : normal.
- Tonus : normal.
- Nyeri tekan (-) diseluruh kuadran abdomen
- Hepar/lien/renal tidak teraba.
Perkusi :
- Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
- Pekak beralih (-)
- Nyeri ketok CVA: -/-
Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang -/-
Ekstremitas bawah:
Columna Vertebra :
Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-).
Genitourinaria :
Tidak dievaluasi.
11
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan Darah Lengkap :
05/10/2018
Parameter Normal
20.53
Leukosit 4.3 3.6-11.0
Eritrosit 4.74 3.80-5.20
Hemoglobin 13.4 11.7-15.5
Hematokrit 41.2 35-47
MCV 86.9 80-100
MCH 28.3 26-34
MCHC 32.5 32-37
Trombosit 214 150-450
RDW-CV 12.7 11.5-14.5
PDW 9.9
MPV 9.5
P-LCR 20.4
PCT 0.20
NRBC 0.00 0-1
Neutrofil 61.7 53-75
Limfosit 28.8 25-40
Monosit H 9.3 2-8
Eosinofil L 0.00 2-4
Basofil 0.20 0-1
IG 0.50
12
Pemeriksaan kimia klinik :
05/08/2018 Normal
Parameter
20.53
GDS 111 70-120
HbsAg NR NR
V. DIAGNOSIS KERJA
Asma Bronkhial dalam serangan dd Bronkopneumonia
VI. PENATALAKSANAAN
Terapi IGD
1. O2 3 lpm
2. Nebulizer ventolin + pulmicort / 8 jam
3. Inf Asering + ½ ampul Aminofilin 20 tpm
4. Inj Ceftriaxone 1g/12 jam
5. Inj Metilprednisolon 62,5 mg /8jam
6. Inj Omeprazole 1 amp/12 jam
7. Inj Antalgin 1 amp/8 jam
8. OBH syr 3 x C1
9. Salbutamol tab 3x2mg
13
Usulan pemeriksaan :
Ro Thorax
Rencana Monitoring :
Evaluasi kesadaran, tanda vital, keluhan, dan DL.
VII. PROGNOSA
Bonam
14
Tanggal SOA PLANNING
Sabtu, S/ 1. O2 3 lpm
06/10/2018 2. Nebulizer ventolin +
Sesak (+), batuk berdahak berwarna
pulmicort / 8 jam
jernih (+), badan lemas (+)
3. Inf Asering 12 tpm
O/ 4. Inj Ceftriaxone 1g/12 jam
5. Inj Metilprednisolon 62,5
KU: tampak sesak
mg /8jam
Kes : Compos mentis 6. Inj Omeprazole 1 amp/12
jam
TD 100/70 RR 26
7. Sukralfat syr 3 x C1
N 84 S 36 8. OBH syr 3 x C1
9. Furosemid tab 1-0-0
SDV +/+ Rbk +/+ Whz +/+
10. Kapsul racikan 3x1
*Hasil rontgen belum keluar (aminofilin 50mg,
salbutamol 1mg, GG
A/
100mg, ambroxol ½ tab)
Asma akut sedang pada Asma Persisten
Sedang dd Bronkhitis Akut
Minggu, S/ 1. O2 3 lpm
2. Nebulizer ventolin +
07/10/2018 Sesak (+), batuk berdahak berwarna
pulmicort / 8 jam
jernih (+), badan lemas (+)
3. Inf Asering 12 tpm
O/ 4. Inj Ceftriaxone 1g/12 jam
5. Inj Metilprednisolon 62,5
KU: tampak sesak
mg /8jam
15
Kes : Compos mentis 6. Inj Omeprazole 1 amp/12
jam
TD 100/70 RR 24
7. Sukralfat syr 3 x C1
N 82 S 36.5 8. OBH syr 3 x C1
9. Furosemid tab 1-0-0
SDV +/+ Rbk +/+ Whz +/+
Kapsul racikan 3x1
*Hasil rontgen belum keluar
(aminofilin 50mg,
A/ salbutamol 1mg, GG 100mg,
ambroxol ½ tab)
Asma akut sedang pada Asma Persisten
Sedang dd Bronkhitis Akut
16
Tanggal SOA PLANNING
Senin, S/ 1. O2 3 lpm
08/10/2018 2. Nebulizer ventolin +
Sesak berkurang (-), batuk berdahak
pulmicort / 8 jam
berwarna jernih (+), demam (-)
3. Inf Asering 12 tpm
O/ 4. Inj Ceftriaxone 1g/12 jam
5. Inj Metilprednisolon 62,5
KU: sedang
mg /8jam
Kes : Compos mentis 6. Inj Omeprazole 1 amp/12
jam
TD 110/70 RR 20
7. Sukralfat syr 3 x C1
N 80 S 36.6 8. OBH syr 3 x C1
9. Furosemid tab 1-0-0
A/
10. Kapsul racikan 3x1
Asma akut sedang pada Asma (aminofilin 50mg,
Persisten Sedang dengan perbaikan salbutamol 1mg, GG
Bronkhitis Akut 100mg, ambroxol ½ tab)
11. Levofloxacin tab 2x1
17
Selasa, S/ 1. O2 3 lpm
2. Nebulizer ventolin +
09/10/2018 Sesak (-), batuk berdahak berwarna
pulmicort / 8 jam
jernih (+)
3. Inf Asering 12 tpm
O/ 4. Inj Ceftriaxone 1g/12 jam
5. Inj Metilprednisolon 62,5
KU: sedang
mg /8jam
Kes : Compos mentis 6. Inj Omeprazole 1 amp/12
jam
TD 100/70 RR 20
7. Sukralfat syr 3 x C1
N 82 S 36.7 8. OBH syr 3 x C1
9. Furosemid tab 1-0-0
SDV +/+ Rbk +/+ Whz -/-
Kapsul racikan 3x1
A/
(aminofilin 50mg,
Asma akut sedang pada Asma salbutamol 1mg, GG 100mg,
Persisten Sedang ambroxol ½ tab)
Bronkhitis Akut
Obat Pulang
18
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. ASMA
A. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu
dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi.
Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan (GINA,
2016).
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi
lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma
yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan
bagi pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas
jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi
jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada
gejala dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi (GINA, 2016).
B. Klasifikasi
Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab.
Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe
asma. Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma (Bel, 2004; Moore, 2010;
Wenzel, 2012):
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya
muncul pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis
alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada pasien
tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan nafas
20
eosinofilik. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap
terapi kortikosteroid inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya
dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel
inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap kortikosteroid
inhalasi.
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama
kali pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis
kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi
4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan
yang sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik
C. Faktor Risiko
Berikut ini adalah faktor resiko asma yang dapat dimodifikasi (GINA,
2016):
1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi
2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir
3. Paparan tembakau dan rokok
4. Penurunan FEV1, terutama kurang dari <60% prediksi
5. Permasalahan psikologis besar
6. Permasalahan sosioekonomik besar
7. Alergi makanan terkonfirmasi
8. Paparan allergen jika tersensitisasi
9. Eosinofilia pada sputum
21
D. Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi
dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari
perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper
(Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1
sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis,
measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga
keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE
untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing
(Alfven, 2006).
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.
Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi
keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4.
Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis
janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi
sehingga tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan
prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40 tahun terahir. Faktor lain adalah
turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi
udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan
peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12 Sel Th2 akan
meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan
produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gama
22
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah (Demoly, 2008).
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi
alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil.
Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat
ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan
sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam
perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF),
kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and
secreted (RANTES) (Alan, 2009).
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi
dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel
dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi
antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan
tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan
leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke
sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001).
Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami
migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah
daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis
(Kamen, 2006) Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel
di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di superfamili
immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell adhesion molecule
(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1 (Bussen, 2001).
23
Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi
24
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi
penting baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat
degranulasi sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah.
Sedangkan efek fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang
dimediasi oleh sel mast terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah,
akan menyebabkan obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas
bawah lebih berat dalam merespons inflamasi dibanding saluran napas atas.
Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga
perannya pada saluran napas atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek
antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi daripada asma (Alan, 1999).
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil
sirkulasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh
permukaan sel. Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang
aktivasi sel dengan melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien,
prostaglandin dan kinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis
dan asma melalui pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan pembuluh
darah pada saluran napas dan juga pada reseptor otot polos (Peter, 1998)
Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan
akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit.
Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan
rinorea. Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi
bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan
mengi (Peter, 1998) Gejala rinitis maupun asma yang timbul akibat
terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.
Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit
25
Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi
antigen disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah,
respons tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat
diawali dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel
Th2CD4, selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-
CSF. Interleukin 5 dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi
eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor,
enzim elastase dan metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1ά,
eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa
dan hiperreaktivitas bronkus (Jay, 2000).
Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid,
sitokin dan kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan
kemokin mempunyai peran dalam patogenesis asma fase lambat. Untuk
lebih jelasnya peran dari masing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil
dapat dilihat dalam gambar 6 (Sohn, 2008).
26
Gambar 3. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.
Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada
saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian
respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan
oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas
dan peningkatan reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rinitis
alergi dan asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin
dari sel mast, limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot
polos. Kerusakan jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh
eosinophil (Kroegel, 1998)
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan
mediator yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien
mempunyai banyak cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan
patofisiologi asma dan rinitis. Salah satunya adalah mempunyai
kemampuan menyebabkan atau meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi
mukus, permeabilitas pembuluh darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-
Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting dalam menghasikan
leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien
pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada
penderita rinitis dan asma (Alan, 1998).
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah
masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama
dan berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat
27
meningkatkan proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi
matriks dan rangkaian utama saluran napas atas dan bawah adalah sama.
Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel
maupun protein matriks melalui matriks spesifik yang akan menyebabkan
proses inflamasi seperti sekresi leukotriene (Alan, 1999).
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan
menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk
mendefinisikan secara pasti apakah airway remodelling merupakan proses
fisiologis, farmakologis atau anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada
proses remodeling asma alergi tetapi bukan merupakan proses analog pada
rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari perbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor
dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan
fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang
mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein
(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan
syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan
mediator lipid (Flood, 2003).
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan
angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang
sintesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan
oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin
tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast (Flood,
2003).
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor
(FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofil menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi
sel epitel, sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin
derivat eosinofil yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά (Flood, 2003).
28
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan
paru adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan
lingkungan. Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi,
mediator dan sitokin tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses
inflamasi. Terdapat waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan
epitel yang lebih lama pada saluran napas bawah dibanding atas setelah
terpajan antigen (Alan, 1999).
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal
epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma
lebih sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah
menghasilkan zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator
lipid, endotelin dan sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal
tersebut tidak terjadi pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran
napas bawah yang lebih besar daripada atas akan menyebabkan durasi
inflamasi yang lebih lama (Alan, 1999).
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos
saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses
autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat
terdapat perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas
dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2
(PGE2) yang bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi
(Alan, 1999).
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan
alergen dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan
mekanisme molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang
menghasilkan efek patologis pada hidung dibandingkan pada paru.23 Jadi
dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal
tipe dan peran sel efektor dan mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan
asma. Hal tersebut akan menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal
tanda dan gejala rinitis alergi dan asma (Alan, 1999).
3. Sitokin pada Asma
29
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons
terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai
mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek
langsung dan tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap
berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel
yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu
menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel
(sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin
(antagonisme) (Kamen, 2006).
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering
pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang
menimbulkan berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan
efek yang sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan
menunjukkan hasil nyata karena ada kompensasi sitokin lain. Sifat-sifat
sitokin dapat dilihat pada gambar 8 (Kips, 2001)
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang
lain. Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur
ekspresi reseptor sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin
terjadi melalui ikatan dengan reseptornya pada membran sel sasaran.
Respons seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi
gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan
kadang proliferasi sel sasaran (Kamen, 2006).
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan
growth factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh
komponen jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.
Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai (Kips, 2001).
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan
IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
30
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal
growth factor.
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan
seperti wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara
ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis
asma (GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa
berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.
31
• Gejala sering dipicu oleh latihan fisik,
tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru yang Makin besar variasi/ makin sering, makin
besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat FEV1
udara rendah (normal >0.75 – 0.80 pada dewasa
sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru setelah Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
terapi anti-inflamasi selama 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
4 minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan
200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15% (mannitol
pada dewasa) atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200 ml
kunjungan-kunjungan ke Anak: variasi FEV1 >12%
dokter (kurang reliable)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi,
tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang
dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi
biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan
pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas,
32
trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik
bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal (GINA, 2016).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory
flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan
tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika
dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA, 2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio
FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio
FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak,
dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan hambatan aliran
udara (GINA, 2016).
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi
paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu
dalam satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari
sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau
PEF secara cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti
200-400 mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari
ke hari sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali asma
misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan atau
penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat
diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal
saat pasien sedang mengalami gejala asma, maka kemungkinannya
kecil bahwa kemungkinan penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV
dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan bronkodilator (GINA, 2016).
b. Tes provokasi bronkus
33
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan
nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan
histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini
cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa
terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik,
displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien
yang tidak mengonsumsi ICS dapat mengeksklusi asma, akan tetapi
hasil positif tidak selalu menandakan bahwa penyakit tersebut adalah
asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan (GINA, 2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran serum
IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di lingkungan
sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan secara
standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari skin prick test tapi
lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak
kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif,
hal ini tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis
yang cermat (GINA, 2016).
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan
belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun
pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika
terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan
respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan (GINA, 2016).
34
1. Pasien hanya dengan gejala batuk
Pada kondisi ini, perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang
diinduksi terapi ACEI, GERD, chronic upper airway cough syndrome,
sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien dengan cough variant
asthma memiliki gejala utama batuk kronik, jika tidak, mungkin gejala
tersebut terkait dengan hiperresponsivitas. Hal ini paling sering terjadi pada
anak-anak dan memberat saat malam hari dengan fungsi paru normal. Untuk
pasien ini, penting untuk dicatat variablitis fungsi paru. Penyakit cough
variant asthma harus dibedakan dengan bronkitis eosinofilik pada pasien
yang batuk, hasil pemeriksaan sputum didapatkan eosinophil akan tetapi
fungsi paru dan responsitivitas jalan nafas normal (GINA, 2016).
2. Asma terkait pekerjaan
Asma jenis ini seringkali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan
diperberat oleh adanya paparan alergen atau agen sensitizer di lingkungan
kerja, kadang paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional
biasanya mendahului asma beberapa tahun sebelum asma, dan paparan yang
berlanjut terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016).
Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang
cermat pada riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu
ditanyakan tentang apakah keluhan membaik jika pasien saati tidak bekerja.
Pertanyaan tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien
mengganti tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh
pada aspek sosioekonomis pasien. Pada kondisi ini perujukan ke dokter
spesialis penting, dan monitoring PEF di tempat kerja dan jauh dari tempat
kerja perlu dilakukan (GINA, 2016).
3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi
paru, biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan
asma, misalnya rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara),
gangguan pernafasan, gangguan jantung dan over-training harus
disingkirkan (GINA, 2016).
35
4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai
mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika
pemeriksaan objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak
dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkus atau untuk menurunkan
terapi controller sampai selesai persalinan (GINA, 2016).
5. Orang berusia tua
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi
orang tua tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan bahwa
sesak nafas adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya aktivitas.
Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan
mengi, sesak nafas, dan batuk yang memberat dengan olahraga atau
memberat saat malam juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit jantung
atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat, ditambah dengna pemeriksaan EKG dan foto thorax dapat
membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP) dan
pemeriksaan fungsi jantung dengan ekokardiografi juga dapat membantu.
Pada orang tua dengan riwayat merokok atau paparan bahan bakar fosil,
PPOK dan Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS) perlu disingkikan
(GINA, 2016).
6. Perokok dan bekas perokok
Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang
berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling
bertumpang tindih (Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global
Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD (GOLD)
mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik, paparan
terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC paska bronkodilator
<0.7. Reversibilitas bronkodilator (>12% dan >200 ml) dapat ditemukan
dalam PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan pada Asma.
Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis.
36
Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk
karena terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016).
7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller
Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu
dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas
kesehatan tingkat 1 tidak bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi
diagnosis asma tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa
pasien, bisa disertakan percobaan untuk menurunkan atau menaikkan dosis
controller. Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu dilakukan
rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi (GINA, 2016).
8. Pasien obesitas
Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala
respiratorik yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada
pasien obes dengan adanya dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi
diagnosis dengan pemeriksaan objektif untuk menemukan adanay hambatan
jalan nafas (GINA, 2016).
9. Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses
penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil,
penurunan berat badan, nyeri saat bernafas dan adanya batuk darah yang
membedakannya dengan infeksi kronik paru seberti TBC, HIV/AIDS dan
infeksi parasite atau jamur. Variabilitas jalan nafas dapat dikonfirmasi
dengan PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan terapi SABA atau
ICS, atau bisa dilakukan bersamaan dengan pemberian 1 minggu
kortikosteroid oral (GINA, 2016).
37
G. Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori
usianya (GINA, 2016):
1. Usia 6-11 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Inhalasi benda asing
c. Bronkiektasis
d. Diskinesia silier primer
e. Penyakit jantung kongenital
f. Displasia bronkopulmoner
g. Kistik fibrosis
2. Usia 12-39 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Disfungsi pita suara
c. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
d. Bronkiektasis
e. Kistik fibrosis
f. Penyakit jantung kongenital
g. Defisiensi alfa-1 antitripsin
h. Inhalasi benda asing
3. Usia 40 tahun ke atas
a. Disfungsi pita suara
b. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
c. PPOK
d. Bronkiektasis
e. Gagal jantung
f. Batuk terkait obat
g. Penyakit parenkim paru
h. Embolisme pulmonary
i. Obstruksi saluran nafas sentral
38
H. Penilaian Asma
Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma
(pengendalian gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi
terutama dalam hal teknik inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat
berkontribusi terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk. Untuk
memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai.
Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko
untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk.
Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma
(GINA, 2016)
A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Tidak
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol
Terkontr
pasien memiliki : Penuh Sebagian
ol
1. Gejala asma
Ya (1 poin)
harian lebih dari
Tidak ( 0
dua kali dalam 1
poin)
minggu
2. Terbangun di Ya (1 poin)
malam hari Tidak ( 0
karena asma poin)
Tidak terdapat Terdapat
3. Penggunaaan obat Terdapat 1-
satupun 3-4
pelega untuk 2 kriteria
Ya (1 poin) kriteria kriteria
mengatasi gejala*
Tidak ( 0
lebih dari dari dua
poin)
kali dalam 1
minggu
4. Keterbatasan Ya (1 poin)
aktifitas fisik Tidak ( 0
karena asma poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak
pasien menggunakannya secara rutin
39
• Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala
• Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, setelah 3 - 6 bulan
penggunaan obat, kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang
sedang dimiliki oleh pasien
Penilaian faktor risiko meliputi:
• Risiko eksaserbasi
• Keterbatasan aliran udara yang menetap
• Efek samping obat
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat
dimodifikasi:
• Asma yang tidak terkontrol
Bila
• Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat
terdapat 1
jika >1x200 dosis canister/month)
atau lebih
• Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat ICS,
faktor
kepatuhan yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang
risiko maka
tidak tepat
risiko
• Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi
eksaserbasi
• Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor
akan
• Paparan: merokok, paparan allergen
meningkat
• Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan
walaupun
• Eosinophilia sputum atau darah
gejala asma
• Kehamilan
terkontrol
Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi
• Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
• > 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir
Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap
• Terapi ICS yang tidak memadai
• Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan
• FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau
darah
Faktor risiko efek samping obat
• Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi
dan/atau potent; menggunakan inhibitor P450
• Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat
I. Tatalaksana
1. Nonfarmakologis (GINA, 2016)
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
b. Aktivitas fisik
40
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Latihan bernafas
g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
h. Vaksinasi
i. Bronkial termoplasti
j. Kontrol stress emosional
k. Imunoterapi alergen
l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
2. Tatalaksana Farmakologis (GINA, 2016)
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan
asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas,
mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru.
Tabel 4. Obat Controller asma
Nama generic Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia
lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
41
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol seretide MDI
Flukason +
salme terol
42
Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus
dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti
klinis adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan
fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan
sudah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam
waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan, sedangkan fungsi
paru sudah sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien
yang telah mulai menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen
iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
4. Tatalaksana Lainnya
a. Imunoterapi Alergen (GINA, 2016)
43
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi
memerankan peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan
rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1)
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy
(SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan
sebagian lainnya.
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan
responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah reaksi
anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak.
Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien dengan
asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna penggunaan
ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi akibat metode ini
antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan.
b. Vaksinasi (GINA, 2016)
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma,
dan pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan
vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat
menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
c. Termoplasti Bronkial (GINA, 2016)
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma
yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang
optimal. Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang
memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami
penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama
lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D (GINA, 2016)
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
44
peningkatan frekuensi eksaserbasi dan penurunan respons kortikosteroid.
Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan
secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau penurunan
eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
2) Curiga asma okupasional
3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma
7) Ragu tentang diagnosis asma
8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis
sedang dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup
9) Curiga efek samping terapi
10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi
J. Asma Eksaserbasi Akut
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma
eksaserbasi akut:
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi
paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis
pertama dari asma. Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma berat akut”
sering digunakan, tapi pengertiannya berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali,
dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko
kematian akibat asma:
a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan
intubasi dan ventilasi
b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12
bulan terakhir
c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid
45
e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih
dari 1 canister/bulan
f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
h. Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana
mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui
tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal,
instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit (GINA, 2016).
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat
asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma (GINA,
2016).
a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana
mengganti obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral,
dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi.
b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk
pergi ke instalasi medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF
(pada dewasa).
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama, berikut adalah tatalaksananya (GINA, 2016):
a) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat
sesak nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi
paru, sambal memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan
terapi oksigen
b) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai
adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan
kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid
sistemik jika diperlukan
46
c) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan
MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan
pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons
gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan
tiap 1 jam
d) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi
berat
e) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
f) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
g) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status
klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan
kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah
h) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana
selanjutnya, termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis
dari terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai
penggunaan sebutuhnya.
i) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma
47
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan
Pertama (GINA, 2016)
48
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut
(IGD) (GINA, 2016)
49
c) Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan
II. BRONKITIS
A. DEFINISI
Bronkitis (Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan
sebagai inflamasi dari pembuluh bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak
pada permukaannya, mempersempit pembuluh dan menimbulkan sekresi dari
cairan inflamasi. Bronkitis kronis merupakan suatu gangguan
klinisyangditandaiolehpembentuka pembentukan mucus yang berlebihan
dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan
sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam
2 tahun berturut-turut (Davey., 2006).
Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan
lendir (dahak atau sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran udara).
Obstruksi jalan napas terjadi pada bronkitis kronis karena pembengkakan dan
lendir ekstra menyebabkan bagian dalam tabung pernapasan lebih kecil dari
normal. Diagnosis bronkitis kronis dibuat berdasarkan gejala batuk yang
menghasilkan lendir atau dahak di hampir setiap hari, selama tiga bulan, selama
dua tahun atau lebih (setelah penyebab lain untuk batuk telah dikeluarkan).
(PDPI, 2003).
B. EPIDEMIOLOGI
Di Negara barat, kekerapan bronkitis diperkirakan sebanyak 1,3% di
antara populasi (WHO,2003). Di Amerika Serikat, menurut National Center
for Health Statistics, kira-kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari
12 juta orang menderita bronkitis akut padatahun 1994, sama dengan 5%
populasi Amerika Serikat (Davey., 2006) .Di dunia bronkitis merupakan
masalah dunia. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan
status ekonomi rendahdan pada kawasan industri (Harison, 2005). Bronkitis
50
lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Di Indonesia belum ada
laporan tentang angka presentase yang pasti mengenai penyakit
ini.Kenyataannya penyakit ini sering ditemukan di klinik (Mansjoer., 2005).
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di
daerah industri. Polusi udara yan terus menerus juga merupakan predisposisi
infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositsis,
sehingga timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya
sendiri melemah. (Price dan Wilson, 2006)
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan (PDPI, 2003), (Sudoyo,
2006) :
a. Riwayat merokok
i. Perokok aktif
ii. Perokok pasif
iii. Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
i. Ringan : 0-200
ii. Sedang : 200-600
iii. Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja (West, 2003):
a. Polusi dalam ruangan
i. Asap rokok
ii. Asap kompor
b. Polusi luar ruangan
i. Polusi luar ruangan
ii. Gas buang kenderaan bermotor
iii. Debu jalanan
51
c. Polusi tempat kerja
i. bahan kimia
ii. zat iritasi
iii. gas beracun
3. Hipereaktivitis bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
D. PATOFISIOLOGI
Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi
kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet,
dengan infiltraasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan
mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk kronis. Batuk
kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi
bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar.
Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di daerah
industri. Polusi udara yan terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi
rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositsis, sehingga
timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri
melemah. (Price dan Wilson, 2006)
1. Asap rokok dan zat iritan (Harison, 2005) (West, 2003):
Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan
bahan-bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis
kronik. Dari semua ini asap rokok merupakan penyebab yang paling
penting. Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis
kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang
bersifat familial. Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk
gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok mengandung radikal bebas
yaitu radikal hidroksida (OH). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai
ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak
paru; kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena :
52
a. Kerusakan dinding alveolus
b. Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan
menyebabkan fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara
yang terpolusi mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh
sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas
silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat
berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa
bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan
mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia
menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus
yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses
penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat
terjadi hipersekresi. Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas
sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas, tetapi
sumbatan ini masih bersifat reversibel. Bila iritasi dan oksidasi di saluran
napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan
jaringan parut. Disamping itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan
penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibel.
2. Infeksi (Sudoyo, 2006):
Infeksi pada saluran nafas bukan penyebab pada brokitis kronis tapi
merupakan factor pencetus terjadinya eksaserbasi akut pada penyakit ini.
Infeksi akan memperparah gejala dan memperburuk fungsi paru. Infesi pada
traktus respiratorius pada waktu anak merupakan factor predisposisi
munculnya bronchitis kronis saat dewasa. Ini mungkin menjelaskan kenapa
bronchitis kronis tidak muncul pada semua perokok. Infeksi pada traktus
respiratorius waktu anak mungkin mengganggu perkembangan dan fungsi
paru yang berakibat pada terjadinya bronchitis kronis saar dewasa.
53
E. MANIFESTASI KLINIS
1. batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan)
2. sesak napas terutama saat batuk
3. sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu)
4. Ronchi haru-kasar, bengek atau mengi atau sesak
5. pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan
6. wajah, telapak tangan
7. selaput lendir yang berwarna kemerahan
8. pipi tampak kemerahan
9. sakit kepala
10. gangguan penglihatan.
11. Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu
hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan
dan nyeri tenggorokan.
12. Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk
tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak
berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak,
berwarna kuning atau hijau.
13. Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang
terjadi demam tinggi selama 3-5 hari dan batuk bisa menetap selama
beberapa minggu.
14. Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat. Sering ditemukan bunyi
napas mengi, terutama setelah batuk. Bisa terjadi pneumonia
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat
b. Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
54
2. Pemeriksaan faal paru
Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV)
dengan kapasitas paru total (TC) normal atau meningkat (Sudoyo, 2006).
3. Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
a. Corakan bronkovaskuler meningkat
b. Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial
G. DIAGNOSIS BANDING
Asma Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejla pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
Dapat ditemukan alergi/rhinitis/eczema
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara biasnya reversibel
Gagal jantung Riwayat hipertensi
kongestif Ronki basah halus di basal paru
Gambaran foto toraks cardiomegali dan edema paru
Pemeriksaan faal paru restriksi bukan obstruksi
55
Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak
Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
Ronki basah kasar dan jari tabuh
Gambaran foto toraks Nampak honeycomb
appearance dan penebalan dinding bronkus
TBC Onset di semua usia
Gambaran foto toraks infiltrate
Konfirmasi mikrobiologi (BTA)
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki
kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor
risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam
penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal
penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan
merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam lingkungan yang
lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan
komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan
rehabilitasi.
56
Tujuan utama terapi harus menargetkan perbaikan gejala, seperti :
1. Mengurangi kelebihan lendir
2. Penurunan hipersekresi lendir dengan mengendalikan peradangan ;
3. Memfasilitasi penghapusan lendir
4. Modifikasi batuk
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan
penyakit adalah:
1. Menghentikan kebiasaan merokok.
2. Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko
terjadinya iritasi saluran napas.
3. Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak
terjadi eksaserbasi akut.
4. Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih
reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari
penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan
Medikamentosa
1. Mukolitik dan ekpetorat
Guaifenesin bekerja dengan peningkatan vagally dimediasi dalam
jalan napas. Meskipun telah ditunjukkan penggunaan jangka panjang
umum guaifenesin belum terbukti bermanfaat dalam COPD atau bronkitis
kronik.
2. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists
(SABA)
Keduanya meningkatkan mucus clearance oleh beberapa mekanisme :
a. Meningkatkan napas diameter luminal
b. Meningkatkan frekuensi beat silia melalui peningkatan intraseluler
adenosin siklik monofosfat tingkat
c. Meningkatkan lendir hidrasi dengan merangsang sekresi saluran
napas Cl- melalui aktivasi fibrosis kistik transmembran
regulator
57
Ini menurunkan viskositas mukus, memungkinkan untuk
transportasi lebih mudah dengan silia pernafasan. Pada percobaan dalam
model hewan, jangka pendek b-agonis dikaitkan dengan up
regulationclearance mukosiliar. Demikian pula , methylxanthines
meningkatkan mukosiliar tidak hanya melalui properti bronchodilatory
mereka tetapi
juga dengan merangsang frekuensi silia beat, menambah saluran napas
transport ion epitel untuk meningkatkan lendir hidrasi dan
mempromosikan sekresi lendir di saluran udara lebih rendah. Studi klinis
theophylline di CB telah menunjukkan fungsi paru-paru meningkat tapi
tidak ada perubahan konsisten dalam batuk dan produksi sputum.
(American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)
4. Anticholinergics
Antikolinergik yang bekerja pada reseptor muscarinic dipercaya
dapat membantu mukus clearance oleh peningkatan diameter luminal
dan dengan menurunkan permukaan dan submukosa kelenjar sekresi
musin. Mereka juga dipercaya untuk memfasilitasi lendir batuk –induced
clearance. Namun, antikolinergik mungkin bisa mengeringkan saluran
nafas dengan depleting lendir permukaan saluran napas, sehingga
membuat pengeluaran dahak lebih sulit. In vivo , literatur
58
tidak mendukung penggunaan antikolinergik untuk pengobatan
CB. Bromide Ipratropium telah ditunjukkan untuk mengurangi kuantitas
dan tingkat keparahan batuk di bronchitics kronis namun tidak
efektif dalam meningkatkan pembersihan mukosiliar pada PPOK . di
sebuah studi dari 470 pasien dengan FEV1 39 % diprediksi , tiotropium
meningkatkan fungsi paru-paru , tetapi tidak mempengaruhi gejala batuk.
Dalam studi lain dari 39 pasien dengan COPD , tiotropium berkurang
jumlah batuk , tapi mukosiliar tidak diperbaiki. (American Journal Of
Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)
5. Glucocorticoids
Ada bukti in vitro bahwa glukokortikoid mengurangi peradangan
dan produksi lendir. Dalam asma ,kortikosteroid inhalasi menurunkan
hiperplasia sel goblet. Deksametason juga telah terbukti menurunkan
epitel ekspresi gen musin gen MUC5AC di sel epitel bronkial manusia.
Mereka juga dapat mempercepat pembersihan mukosiliar. Kortikosteroid
inhalasi dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan
kualitas -hidup skor pada PPOK.
6. Phosphodiesterase-4 Inhibitors
Phosphodiesterase - 4 ( PDE - 4 ) penghambatan menurunkan
peradangan dan membuat relaksasi otot polos saluran napas dengan
mencegah hidrolisis adenosin monofosfat siklik untuk tidak aktif.
Cilomilast dan roflumilast adalah second generation sangat spesifik PDE
- 4 inhibitor . Sebuah metaanalisis dari 23 acak uji coba roflumilast atau
cilomilast dibandingkan dengan placebo menemukan bahwa pengobatan
dengan inhibitor PDE - 4 hanya sedikit meningkat FEV1 ( 45.59 ml , 95
% CI , 39,1-52,03 ) tetapi mengurangi kemungkinan eksaserbasi ( OR ,
0,78 , 95 % CI,0,72-0,85). Roflumilast signifikan meningkatkan
prebronchodilator FEV1 dan penurunan tingkat sedang sampai parah
eksaserbasi dalam uji coba secara acak pasien dengan COP . Dibandingkan
dengan plasebo , roflumilast menurun eksaserbasi sebesar 17 % ( 95 % CI
, 8-25 % ) ( 109 ) . Dalam dua uji coba 24 - minggu, 933 pasien dengan
59
PPOK sedang sampai berat secara acak ditugaskan untuk roflumilast
ditambah salmeterol atau salmeterol saja , dan 743 pasien secara acak
ditugaskan untuk roflumilast ditambah tiotropium atau tiotropium saja.
Jadi, pada bronkitis kronik PDE - 4 inhibitor mungkin memainkan peran
preventif dalam mencegah perkembangan eksaserbasi pada pasien dengan
CB dan COPD .
7. Antioksidan
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang
terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.Anti oksidan
melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion
superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang
diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi
molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek
radikal bebas dari asap rokok. N-asetilsistein merupakan
suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.
Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan
parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di
samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu
mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan. Pemberian N-
asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik
memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum,
banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.
(American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine,2013)
8. Antibiotik
Terapi Antibiotik umumnya tidak diindikasikan untuk pasien
bronkitis kronik. Terapi macrolide telah Terbukti memiliki sifat anti –
inflamasi Dan mungkin memiliki Peran Dalam pengobatan bronkitis
kronik. Mereka telah Terbukti dapat menghambat sitokin proinflamasi ,
menurunkan neutrofil Pecah , menghambat Migrasi Dan peningkatan
apoptosis, eosinophilic menurunkan peradangan, meningkatkan
Transportasi mukosiliar, mengurangi sel goblet sekresi. Dan penurunan
60
bronkokonstriksi. (American Journal Of Respiratory And Critical Care
Medicine,2013)
Obat Inhaler (µg) Larutan Oral Vial Durasi
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (β2-agonis)
0,24% (sirup)
Antikolinergik
Methylxanthines
Theophylline 100-600mg 24
(pil)
Inhalasi Glukortikosteroid
61
Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
4,5/160; 9/320
Formoterol/Budenoside (DPI)
50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticasone
25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
4, 8 , 16 mg
Methy-Prednisone (Pil)
I. KOMPLIKASI
1. gagal napas
a. Kronik
b. Akut pada gagal nafas kronik yang ditandai dengan :
i. Sputum bertambah dan purulen
ii. Sesak nafas dengan atau sianosis
iii. Demam
iv. Kesadaran menurun
2. cor pulmonal
Pembesaran jantung kanan (dilatasi atau hipertrofi) yang
disebabkan oleh karena kelainan-kelainan fungsi atau struktur paru. Tidak
termasuk disini perubahan paru yang disebabkan primer akibat kelainan
jantung kiri serta kelainan bawaan.
3. hipertensi pulmonal
62
Peningkatan abnormal tekanan arteri pulmonal ( normal saat
istirahat <20mmHg, saat senam <30mmHg)
J. PROGNOSIS
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada
umur dan gejala klinisnya. Pada eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi.
Pada pasien bronkitis kronik dan emfisema lanjut dan VEP1 < 1 liter survival
rate selama 5-10 tahun mencapai 40%.
63
BAB IV
PEMBAHASAN
Anamnesis
Diagnosis Banding
Asma Bronkial
Bronkitis Akut
Pemeriksaan penunjang
(Rontgen dada)
65
Pemeriksaan Fisik Pada pasien dijumpai, suara
tambahan berupa ronkhi basah
Biasanya pada pasien asma pada
kasar di lapang paru kanan-kiri,
pemeriksaan fisik seringkali normal.
wheezing di jumpai pada lapang
Abnormalitas yang paling sering adalah
paru kana-kiri.
wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada
auskultasi, tapi kadang tidak terdengar atau .
hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang
dipaksa. Wheezing juga bisa tidak
ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aluran udara yang sangat
hebat (silent chest), akan tetapi biasanya
tanda-tanda patologis lain muncul.
66
Spirometri : Ditemukan adanya penurunan
kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi
kuat (FEV) serta peningkatan volume
residual (RV) dengan kapasitas paru total
(TC) normal atau meningkat
Radiologi :Corakan bronkovaskuler
meningkat Tram-track appearance :
penebalan dinding bronkial
67
anticholinergic,Phosphodiesterase- Pemberian Sukralfat syr 3 x C1
4 Inhibitors, gluccocorticoid, dan berguna untuk lapisan pelindung
antbiotik. lambung.
68
BAB V
KESIMPULAN
Seorang perempuan berumur 42 tahun datang keluhan sesak napas. Keluhan
sesak sudah dirasakan sejak 3 hari yang lalu, dirasakan terutama pada malam hari.
Pasien mengatakan bahwa sesak hilang timbul, terjadi setelah pasien melalukan
aktivitas berat atau pada saat perubahan cuaca dingin. Pada saat serangan sesak,
pasien tidak dapat tidur terlentang dan lebih nyaman dalam posisi duduk. Pasien
juga mengeluh mengi, batuk berdahak dan badan terasa lemas.
Riwayat asma diakui, riwayat alergi dingin diakui, menggunakan obat
semprot diakui, serta keluarga pasien terdapat sakit serupa sering terpapar polusi
udara diakui.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan Umum
Keadaan sakit : sakit sedang.
Kesadaran/GCS : compos mentis/E4V5M6.
Tekanan Darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 104 kali per menit, reguler, kuat angkat cukup.
Pernafasan : 28 kali per menit,thorakoabdominal.
Suhu : 36,5 oC.
Auskultasi :
- Suara napas vesikuler (+/+).
- Suara tambahan rhonki basah kasar(+/+).
- Suara tambahan wheezing (+/+).
- Suara gesek pleura (-/-).
- Ekspirasi memanjang (-/-)
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
didapatkan diagnosis : serangan asma akut sedang pada asma persisten sedang dan
bronkitis akut. Untuk penatalaksanaan yang diberikan telah sesuai dengan teori
yang telah ada.
69
DAFTAR PUSTAKA
Alan, R. 1999. Immunobiology of Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and
Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care Med: 160: 1778–87
Alfven, T. 2006. A, et al. Allergic diseases and atopic sensitization in children
related to farming and anthroposophic lifestyle – the PARSIFAL study.
Allergy 2006; 61: 414–21.
Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm Med;10:44-50.
Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62.
Demoly, P. 2008. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced.
Allergy; 63: 251–4.
Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care
Med; 167: 199-204.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma Management
Reference. Available at: www.ginasthma.org
Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Available at: www.ginasthma.org
70
Price, D. 2005. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on asthma
related health care use by adults. Clin Exp Allergy; 35: 282–
Rengganis, I. 2008. Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia Edisi November 2008.
Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients
with allergic rhinitis: relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy; 63:
268–73.
Uyainah, A. 2014. Spirometri. Ina J Chest Crit and Emerg Med. 1(1): 35-38.
Wenzel, S.E. 2012. Asthma phenotypes: the evolution from clinical to molecular
approaches. Nat Med;18:716-25.
71