Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal : 30 Januari 2019
Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal : 30 Januari 2019
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Penguji Pembimbing
Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc dr. Fajri Imam Sayuti
2
BAB I
PENDAHULUAN
2
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya
komplikasi lainnya.
Berdasarkan data diatas, penulis memilih untuk melaporkan dan mengkaji kasus rhinitis
alergi pada seorang perempuan 33 tahun dengan rhinitis alergi persisten ringan.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu menegakkan
diagnosis dan melakukan rujukan yang tepat berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan pengelolaan pasien dengan rhinitis alergika.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses pembelajaran
agar dapat menegakkan diagnosa sementara, mengusulkan pemeriksaan penunjang dan
melakukan rujukan, serta pengelolaan pasien dengan rhinitis alergika.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 27 Januari 2020 pukul 14.15 WIB di Poliklinik
THT RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keluhan utama :
Perjalanan penyakit sekarang :
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan hidung kanan tersumbat. Keluhan mulai dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu dan semakin
memberat. Keluhan dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi hari, dan malam hari. Keluhan
disertai dengan keluar cairan bening, hidung gatal dan bersin. Bersin sebanyak 4-5 kali sekali
bersin yang muncul saat pagi hari atau saat terkena debu. Pasien mengaku memiliki riwayat gatal-
gatal pada kaki jika terkena debu serta riwayat asma yang tidak muncul sejak 9 tahun yang lalu.
Keluhan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Mata berair (-), mata gatal (-), rasa adanya cairan
menetes di tenggorok (-), batuk (-), nyeri telinga (-), demam (-).
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat gatal pada kaki saat terkena debu
- Riwayat asma 9 tahun yang lalu
- Riwayat operasi disangkal.
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill <2” / <2” <2” / <2”
Ulkus -/- -/-
Lain-lain :-
2.3.2 Status Lokalis (THT)
2.3.2.1 Telinga
Gambar:
Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), fistel(-), abses nyeri ketok (-), fistel(-), abses
(-) (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), fistula (-), abses (-),
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–
fistula fistula (-), abses (-), nyeri
aurikula
(-), abses (-), nyeri tekan (-) tekan (-)
Normotia, hiperemis (-), Normotia, hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)
2
Warna putih mengkilat,
Warna putih mengkilat,
Membran retraksi
retraksi (-), perforasi (-),
timpani (-), perforasi (-), reflek cahaya
reflek cahaya (+), granulasi(-)
(+), granulasi(-)
Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-), warna
kulit sama dengan sekitar
Hidung
Palpasi : os nasal : deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri
tekan (-/-), oedem (-/-)
Maxilla : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Sinus Ethmoid : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Frontalis : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discharge Mukoid (-)
Mukosa Licin, hiperemis (-) Licin, hiperemis (-)
Konka Inferior Hipertrofi (+), oedem (-) Hipertrofi (-), oedem (-)
Tumor Polip (-) Polip (-)
Septum nasi Deviasi (+)
Diafanoskopi tidak dilakukan.
2.3.2.3 Tenggorok
Gambar:
2
Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-), eksudat (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
edema (-), permukaan rata, edema (-), permukaan rata,
Tonsil
kripte melebar (-), detritus (-), kripte melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Hiperemis (-), edema (-). Abses (-)
Refleks
(+)
muntah
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.
2.4 RINGKASAN
2
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi
dengan keluhan hidung kanan tersumbat. Keluhan mulai dirasakan sejak ± 1 tahun yang
lalu dan semakin memberat. Keluhan dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi hari, dan
malam hari. Keluhan disertai dengan keluar cairan bening, hidung gatal dan bersin. Bersin
sebanyak 4-5 kali sekali bersin yang muncul saat pagi hari atau saat terkena debu. Pasien
mengaku memiliki riwayat gatal-gatal pada kaki jika terkena debu serta riwayat asma yang
tidak muncul sejak 9 tahun yang lalu. Keluhan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Mata berair (-), mata gatal (-), rasa adanya cairan menetes di tenggorok (-), batuk (-), nyeri
telinga (-), demam (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda-tanda vital, dan status
generalis dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status lokalis hidung didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok pada daerah sinus
maxillaris kanan, mukosa pucat (-/-), hipertrofi konka (+/-), discaj mukopurulen (-).
Pemeriksaan status lokalis tenggorok dalam batas normal.
1. Rhinitis Vasomotor
2. Rhinitis Medikamentosa
- Medikamentosa
o Fluticasone furoate nasal spray 27.5mf/puff 1x2 puff pagi hari, hidung kanan kiri
2
o Asam mefenamat kapsul 500mg 1 tablet tiap 8 jam
o Cetirizine 10mg 1x1
- Non-medikamentosa :
o Cuci Hidung dengan larutan garam fisiologis
- Operatif
o Pro Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) + Submucosal Resection (SR) +
Konkoplasty
Pro : Ny. H
Usia : 33 Tahun
Ip Mx :
2
- Mengawasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
- Mengawasi progresivitas penyakit antara lain keluhan hidung tersumbat dengan VAS, keluhan
nyeri wajah, keluhan sekresi hidung, dan keluhan gangguan fungsi indera penghidu.
- Mengawasi timbulnya efek samping dari obat serta evaluasi efek terapi obat.
- Melakukan pemeriksaan faktor koagulasi untuk persiapan FESS + SR + Konkoplasty
2.8 EDUKASI
- Menjelaskan pada pasien mengenai diagnosis atau penyakit yang dialami pasien yaitu
rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan rinitis alergi beserta kemungkinan penyebabnya.
- Menjelaskan rencana terapi pada pasien, baik terapi medikamentosa maupun non-
medikamentosa, meliputi cara pemakaian obat, efek terapi obat, efek samping obat yang
mungkin timbul, dan tindakan operatif yang akan dilakukan beserta risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi.
- Menjelaskan pasien perlu kembali kontrol untuk evaluasi perkembangan penyakit
- Mengedukasi pasien agar memeriksakan diri apabila muncul efek samping obat, antara lain :
o Fluticasone Furoate nasal spray
KI : Hipersensitivitas.
Efek samping : Epistaksis, ulkus nasal.
- Mengedukasi pasien untuk menjaga kebersihan hidung dengan melakukan cuci hidung secara
rutin sebanyak 4 kali sehari.
- Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan allergen yang telah diketahui.
- Mengedukasi pasien untuk istirahat cukup dan mengkonsumsi makanan sehat dan
multivitamin.
2
2.9 PROGNOSIS :
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Etiologi
Rhinitis alergi disebabkan oleh adanya kontak dengan aeroalergen
maupunalergen ingestan.Alergen tersebut dapat berupa alergen binatang seperti house
dust mite, kecoa, bulu anjing, kucing, kuda. Alergen tumbuhan seperti jamur maupun
serbuk sari bunga. Tungau debu merupakan allergen terbanyak penyebab reaksi alergi
di Indonesia.2 Genetik memiliki peran penting menjadi faktor predisposisi. Anak-anak
berpotensi memiliki alergi sebesar 47% bila kedua orangtua juga memiliki riwayat
alergi.2
3.1.4 Patofisiologi
Tahap awal dari terjadinya rhinitis alergika adalah adanya sensitisasi terhadap
allergen. Allergen terbanyak penyebab rhinitis allergika adalah protein yang terhirup,
seperti pollen, dust mite, debu binatang. Allergen yang terhirup kemudian terkumpul
dan menyebar ke seluruh jaringan hidung.4,10
2
Proses sensitisasi dimulai pada jaringan hidung, dimana antigen-persenting
cell (APCs), terutam sel dendritik, yang menelan allergen dan memecah mereka
menjadi peptida antigen. Kemudian peptida antigen diekspresikan pada permukaan
sel tersebut dan dipresentasikan pada limfosit T CD4 naive. Kemudian sel ini akan
memproduksi IL-4 yang akan mengubah Th0 menjadi Th2. Sel Th2 yang teraktivasi
kemudian mengeluarkan sitokin berupa IL-4 dan IL-13 untuk membuat sel limfosit B
menghasilkan IgE. Imunoglobulin E yang dihasilkan, kemudian menempel pada
reseptor tetramerik yang berada di permukaan sel mast, reseptor trimerik pada sel
dendritik, dan beberapa reseptor dengan afinitas rendah pada monosit, makrofag, dan
limfosit B. Proses inilah yang disebut sebagai sensitisisasi alergen.4,10
Pada paparan selanjutnya, allergen lebih mudah diikat dengan keberadaan IgE
pada permukaan sel-sel tersebut. Kompleks allergen-IgE pada permukaan sel mast,
akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan mediator inflamasi seperti
histamin, triptase, leukotrien, dan prostaglandin. Pelepasan histamin akan dilanjutkan
dengan penempelan pada serabut saraf sensoris dan memacu timbulnya bersin,
hipersekresi kelenjar dan gatal. Sementara penempelan histamin pada reseptor H1 dan
H2 di mukosa pembuluh darah akan menghasilkan vasodilatasi yang kemudian
menimbulkan rasa hidung tersumbat. Leukotrien bekerja untuk meningkatkan
vasodilatasi dan sekresi. Peran triptase dan sitokin lainnya kurang jelas pada
hubungannya dengan gejala klinis.Reaksi segera ini dapat muncul dalam beberapa
menit dan dapat menghilang dalam beberapa jam setelah paparan.4,10
Proses lainnya yang terjadi beriringan dengan proses diatas adalah adanya IL-
4, IL-5 dan IL-13 serta leukotrien yang kemudian memacu migrasi eosinofil. Eosinofil
akan memproduksi major basic protein (MBP), eosinophil Scationic protein (ECP),
dan eosinophil peroxidase (EPO), yang kemudian kan merusak sel epitel hidung.
Konsentrasi rendah dari MBP sudah dapat mengganggu pergerakan silia dari
hidung.4,10
2
Gambar 5. Patofisiologi dari Rhinitis Alergika10
2
3.1.5 Klasifikasi
ARIA mengklasifikasikan rhinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya
gejala.2
Berdasarkan waktu dibedakan menjadi :
a. Intermitten : gejala timbul kurang dari 4 hari dalam tiap minggu dan terjadi
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten. : gejala timbul lebih dari 4 hari dalam satu minggu dan terjadi lebih
dari 4 minggu berturut-turut.2
Berdasarkan beratnya gejala dibedakan menjadi :
a. Ringan : tidur normal, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari, tidak mengganggu
pekerjaan dan keluhan yang muncul dirasakan tidak mengganggu.
b. Sedangberat :tidur terganggu, gangguan pada aktivitas dan pekerjaan sehingga
penderita tidak dapat menjalakan kegiatan seperti biasanya dan dirasakan sangat
mengganggu.2
3.1.6 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama
pagi hari atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai adalah
rinore encer, hidung tersumbat, dan kadang-kadang sakit kepala.Selain itu
biasanya terdapat riwayat alergi dalam keluarga.5
2
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa hidung yang
bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau keabuan
disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Meskipun tidak selalu ditemukan,
tetapi merupakan gejala/tanda yang khas pada rinitis alergi ini adalah allergic
shiner, allergic solute, dan allergic crease. Allergic shiner adalah warna
kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena adanya stasis dari vena
yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus. Allergic solute adalah
sering mengusap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal, sedangkan
allergic crease adalah timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, karena kebiasaan mengusap hidung.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi
Dapat ditemukan adanya eosinofil pada pemeriksaan darah tepi.4
Swab hidung
Pada pemeriksaan swab hidung dapat ditemukan adanya eosinofil pada
rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan ketika masih
akut atau setelah dilakukan test provokasi.4
Skin Prick Test (Tes Tusuk Kulit)
Uji ini menggunakan allergen dalam jumplah kecil yang dimasukkan dalam
kulit dengan metode ditusukkan guna menghasilkan reaksi alergi. Bahan
allergen ditusukkan pada daerah volar lengan bawah dan dapat dilakukan
untuk beberapa allergen sekaligus. Reaksi alergi yang ditimbulkan dapat
dilihat berupa kemerahan pada daerah sekitar tusukkan dan kemudian
dibandingkan dengan histamin sebagai kontrol positif dan saline sebagai
kontrol negatif.4
Nasal provocation test
Tes ini memberikan nilai terbesar bagi rhinitis alergika karena memberikan
kontak langsung antara alergen dengan mukosa hidung. Prosedur uji ini
dimulai dengan rhinomanometri dan dilanjutkan pengolesan allergen pada
konka inferior serta rhinomanometri ulang 20 menit setelah pengolesan.
Ketika reaksi alergi terjadi, maka akan terjadi reduksi dari hasil
2
rhinomanometri. Kontak langsung mukosa dan allergen dapat memacu
timbulnya reaksi anafilaksis.4
Radioallergosorbent Test (RAST) dan Multiple Allergen Simultaneous Test
(MAST)
RAST merupakan metode pertama untuk mendeteksi serum-spesific IgE,
tes ini jarang dipakai karena melibatkan isotop radioaktif dan peralatan yang
mahal dan tidak dapat menguji beberapa antibodi secara langsung. Oleh
sebab itu, MAST lebih dipilih karena menggunakan reagen cahaya dan tidak
mahal serta dapat mendeteksi beberapa antibodi sekaligus. Namun, uji ini
dinilai kurang sensitif.4
3.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada rhinitis alergi dapat berupa penghindaran alergen atau
faktor pencetus terjadinya keluhan, terapi medikametosa, imunoterapi dan tindakan
pembedahan. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam menangani pasien
dengan rhinitis alergi adalah dengan menganjurkan pasien untuk menghindari kontak
dengan alergen. Dengan demikian pasien terlebih dahulu harus dapat mengidentifikasi
alergen yang mencetuskan timbulnya gejala. Pada alergen berupa dust mites maka
dapat dilakukan edukasi untuk melakukan penggantian penutup bantal dan tempat
tidur dua minggu sekali, menggunakan obat penyemprot dust mites, dan menghindari
penggunaan karpet tebal. Pada alergen makanan maka dapat dilakukan dengan
menghindari makan makanan tersebut untuk sementara waktu dan menggantinya
dengan makanan lain. Alergen hewan dapat dihindari dengan mengurangi kontak
dengan hewan pencetus.2
Pemberian terapi medikametosa termasuk penggunaan obat topikal maupun
sistemik yang bekerja secara langsung baik untuk mencegah terjadinya degranulasi
dari sel mast atau memblokade efek dari pelepasan mediator. Terapi topikal dapat
dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang biasa
digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat
tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai
adalah kortikosteroidtopikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
2
mometasonfuroat dan triamsinolon. Preparat antikolinergiktopikal adalah
ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.2
Terapi oral sistemik dapat diberikan antihistamin dan obat simptomatik.
Antihistamin dibagi menjadi generasi 1 yaitu difenhidramin, klorfeniramin,
siproheptadin. Generasi 2 yaitu loratadin dan cetirizine. Preparat simpatomimetik
golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
fenilefrin.2
Imunoterapi atau hiposensitisasi diberikan apabila dengan pemberian obat
tidak dapat mengontrol keluhan atau memberikan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi oleh penderita. Terapi ini diindikasikan pada pasien dengan gejala berat
yang tidak respon terhadap pengobatan standard. Ekstrak dari beberapa alergen
disuntikkan secara subcutan dengan dosis kecil, yang kemudian dinaikkan hingga
dosis pemeliharaan dan dilakukan selama minimal 3 tahun. Selain disuntikkan,
terdapat juga pilihan berupa tablet sublingual, rute ini memberikan reaksi anafilaksis
yang lebih rendah. Diharapkan dengan pemberian allergen secara berkala, dapat
merubah peranan Th2 menjadi Th1 akibat adanya produksi IL-10 dan TGF-B.
Pemberian dihentikan bila selama 3 tahun sudah tidak didapatkan adanya gejala.2
Tindakan pembedahan dilakukan atas indikasi. Sebagian besar penderita
rhinitis alergi dapat membaik dengan penghindaran alergen dan pemberian
medikametosa. Namun pada beberapa kasus keluhan tidak membaik dengan
pemberian medikametosa. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi adanya sumbatan
pada hidung dengan melakukan reseksi pada konka.2
2
Pastikan ada tidaknya
Alur Diagnosis Rhinitis Alergi asma terutama pada
pasien rhinitis sedang-
berat dan/atau
Gejala Intermitten Gejala Persisten persisten
3.1.8 Komplikasi
Rhinitis alergi dapat menyebabkan terjadiya:4
● Sinusitis rekuren karena adanya obstruksi pada ostium sinus
● Polip nasal
● Otitis media supuratif
● Masalah ortodontik dan masalah mulut terutama pada anak-anak
● Asma bronkhialis. Pasien dengan rhinitis alergi beresiko empat kali lebih besar terkena
asma bronkhialis
2
3.2 Diagnosa Banding
3.2.1 Rhinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh darah pada
mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen
terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan
refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik.5
Riwayat terpapar + -
allergen
2
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga
oleh karena asap rokok dan sebagainya.5
3.3.2 Etiologi
Keadaan mukosa nasal dipengaruhi dua faktor yaitu faktor endogen dan faktor
eksogen. Faktor endogen berupa kelainan anatomi seperti deviasi septum, alergi dan
gangguan vasomotor. Faktor eksogen antara lain yaitu suhu udara, polusi, kelembapan
udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-
kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang
dan iritasi.4
3.3.3 Patogenesis
Penyebab umum dari terjadinya hipertropi konka inferior adalah infeksi berulang
pada hidung dan sinus serta iritasi kronis mukosa hidung yang disebabkan oleh asap rokok
dan bahan iritan industri.5 Rhinitis alergi, rhinitis non alergi atau yang sering disebut
sebagai rinitis vasomotor, dan penggunaan tetes hidung yang berkepanjangan juga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit hipertropi konka inferior. Kasus septum deviasi, pada
sisi hidung kontralateral dapat terjadi hipertropi konka inferior dan media. Hal ini
merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk memperkecil luasnya rongga hidung.6,7
2
Rangsangan yang berlangsung berulang dan lama terhadap membran
mukosa hidung akan mengakibatkan penebalan pada mukosa konka dan pelebaran
pada pembuluh darah mukosa terutama pleksus kavernosus konka. Struktur
lapisan epitel mukosa konka akan berubah menjadi kuboid bertingkat, silia
menghilang dan jumlah sel goblet meningkat apabila hal tersebut dibiarkan dalam
jangka waktu panjang. Lapisan submukosa akan terjadi edema, infiltrasi sel
plasma, sel bulat dan fibroblas serta pleksus kavernosus konka mengalami
pelebaran sementara otot polosnya mengalami atrofi.5
3.3.5 Diagnosis
2
diberikan bila diperlukan supaya memperluas jangkauan pandangnya.
Pemeriksaan rinoskopi posterior dapat menilai batas pemisah antara konka kanan
dan kiri serta ujung posterior konka media dan konka inferior.2
3.3.6 Penatalaksanaan
3.1.6.1 Medikamentosa
3.1.6.2 Operatif
PEMBAHASAN
27
untuk memperbaiki aliran udara dan drainase sinus dengan invasi minimal. Septum
Reconstruction (SR) untuk memperbaiki deviasi septum, serta Konkoplasti untuk
memperbaiki hipertrofi konka.
28
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan disik pasien didapatkan tanda dan
gejala yang mengarah ke rhinitis alergika persisten ringan, konka hipertrofi, dan
rhinosinusitis kronik. Terapi yang dapat diberikan berupa farmakologi yaitu
antiinflamasi dan antihistamin, dan nonfarmakoterapi berupa cuci hidung,
FESS, SD, dan Konkaplasti.
5.2 Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
29
DAFTAR PUSTAKA
30