Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG PEREMPUAN USIA 33 TAHUN DENGAN RHINOSINUSITIS


KRONIS, KONKA HIPERTROFI DAN ALERGI PERSISTEN RINGAN

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal : 30 Januari 2019

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR KARIADI SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus “Seorang Perempuan Usia 33 Tahun Dengan Rhinosinusitis


Kronis, Konka Hipertrofi, dan Alergi Persisten Ringan”

Penguji Kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc
Pembimbing : dr. Fajri Imam Sayuti
Dibacakan Oleh : Fathurrahman 22010116120057
Ika Luthfiah 22010116130112
Dibacakan tanggal : 30 Januari 2019
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 30 Januari 2019


Mengetahui,

Penguji Pembimbing

Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL (K), MSc dr. Fajri Imam Sayuti

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi radang yang diperantarai oleh IgE setelah terjadi
paparan alergen. Gejala RA meliputi rinore, sumbatan hidung, gatal pada hidung dan bersin-
bersin yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mengenai kurang lebih 10-25
% populasi di seluruh dunia.1,2 Data epidemiologik RA di Indonesia berdasarkan penelitian
dari beberapa sentra pendidikan didapatkan angka prevalensi yang bervariasi antara 1,14%-
23,34%. Pada survey di Semarang dengan menggunakan kuesener ISAAC pada murid SLTP
umur 13-14 tahun (2001-2002) didapatkan sebesar 18,6%.3 WHO melalui International
Rhinitis Management Working Group dan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
pada tahun 2001 mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan tipenya yaitu intermiten dan
persisten dengan tingkat keparahan penyakit dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat.1
Data tentang karakteristik penderita rinitis alergi di klinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang
tahun 2009 didapatkan sebagian besar penderita termasuk rinitis alergi persisten (64,1%).
Sumbatan hidung merupakan gejala yang sering terjadi (86%) pada penderita rinitis
alergi dan merupakan gejala yang paling mengganggu.2,4 Gejala ini disebabkan karena
kombinasi respon alergi fase cepat dan respon alergi fase lambat. Deposisi alergen pada
permukaan mukosa hidung penderita RA pada respon alergi fase cepat menyebabkan ikatan
IgE pada sel mast yang berada di permukaan mukosa dan basofil pada aliran darah sehingga
menyebabkan degranulasi dan melepaskan mediator-mediator kimia (histamin, leukotriene,
sitokin proinflamasi) yang mengakibatkan bersin, gatal, rinore dan sumbatan hidung.
Disamping itu sumbatan hidung merupakan gejala yang dominan pada fase lambat oleh
karena infiltrasi sel-sel inflamasi (eosinofil dan sel T) pada jaringan, dilatasi vena kapasitansi
pada submukosa hidung, peningkatan permeabilitas vaskuler, edema mukosa serta sekresi
yang berlebihan.

Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT,


serta pemeriksaan penunjang.Klasifikasi rhinitis alergi dibedakan menjada frekuensi gejala
(bersin berulang, rinore, hidung tersumbat dan gatal) dan beratnya gejala (intermitten dan
persisten)2. Rhinitis alergi termasuk standar kompetensi 4A dalam kompetensi dokter umum.

2
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya
komplikasi lainnya.

Berdasarkan data diatas, penulis memilih untuk melaporkan dan mengkaji kasus rhinitis
alergi pada seorang perempuan 33 tahun dengan rhinitis alergi persisten ringan.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu menegakkan
diagnosis dan melakukan rujukan yang tepat berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan pengelolaan pasien dengan rhinitis alergika.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses pembelajaran
agar dapat menegakkan diagnosa sementara, mengusulkan pemeriksaan penunjang dan
melakukan rujukan, serta pengelolaan pasien dengan rhinitis alergika.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. H
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gajah mungkur, Kodia Semarang
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : SLTA
Datang ke poli : 27 Januari 2020
No. CM : C799233

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF


1. Rhinitis alergi persisten ringan 1. Riwayat asma 9 tahun lalu
2. Rhinosinusitis kronis
3. Konka hipertrofi
4. Gigi berlubang

2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 27 Januari 2020 pukul 14.15 WIB di Poliklinik
THT RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keluhan utama :
Perjalanan penyakit sekarang :
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan
keluhan hidung kanan tersumbat. Keluhan mulai dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu dan semakin
memberat. Keluhan dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi hari, dan malam hari. Keluhan
disertai dengan keluar cairan bening, hidung gatal dan bersin. Bersin sebanyak 4-5 kali sekali
bersin yang muncul saat pagi hari atau saat terkena debu. Pasien mengaku memiliki riwayat gatal-
gatal pada kaki jika terkena debu serta riwayat asma yang tidak muncul sejak 9 tahun yang lalu.
Keluhan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Mata berair (-), mata gatal (-), rasa adanya cairan
menetes di tenggorok (-), batuk (-), nyeri telinga (-), demam (-).
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat gatal pada kaki saat terkena debu
- Riwayat asma 9 tahun yang lalu
- Riwayat operasi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit serupa disangkal.
- Riwayat alergi pada keluarga disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien adalah seorang pegawai swasta dengan pendidikan terakhir SLTA. Pembiayaan
menggunakan JKN non PBI. Kesan ekonomi cukup.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 Januari 2020 pukul 14.20 WIB di Poliklinik THT
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
2.3.1 Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight
Tanda-tanda vital : TD : 125/80 mmHg
Suhu : 36.7°C
Nadi : 80 x/menit
RR : 18 x/menit
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)
Thorax : Tidak diperiksa
Abdomen : Tidak diperiksa
2
Ekstremitas :

Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill <2” / <2” <2” / <2”
Ulkus -/- -/-

Lain-lain :-
2.3.2 Status Lokalis (THT)
2.3.2.1 Telinga
Gambar:

Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), fistel(-), abses nyeri ketok (-), fistel(-), abses
(-) (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), fistula (-), abses (-),
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–
fistula fistula (-), abses (-), nyeri
aurikula
(-), abses (-), nyeri tekan (-) tekan (-)
Normotia, hiperemis (-), Normotia, hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)

2
Warna putih mengkilat,
Warna putih mengkilat,
Membran retraksi
retraksi (-), perforasi (-),
timpani (-), perforasi (-), reflek cahaya
reflek cahaya (+), granulasi(-)
(+), granulasi(-)

2.3.2.2 Hidung dan sinus paranasal

Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-), warna
kulit sama dengan sekitar
Hidung
Palpasi : os nasal : deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri
tekan (-/-), oedem (-/-)
Maxilla : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Sinus Ethmoid : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Frontalis : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discharge Mukoid (-)
Mukosa Licin, hiperemis (-) Licin, hiperemis (-)
Konka Inferior Hipertrofi (+), oedem (-) Hipertrofi (-), oedem (-)
Tumor Polip (-) Polip (-)
Septum nasi Deviasi (+)
Diafanoskopi tidak dilakukan.

2.3.2.3 Tenggorok
Gambar:

Orofaring Post nasal drip (-)

2
Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-), eksudat (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
edema (-), permukaan rata, edema (-), permukaan rata,
Tonsil
kripte melebar (-), detritus (-), kripte melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Hiperemis (-), edema (-). Abses (-)
Refleks
(+)
muntah
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.

2.3.2.4 Kepala dan leher


Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran nnll (-)
Leher lateral : Pembesaran nnll (-)
Lain-lain : (-)

2.3.2.5 Gigi dan mulut


Gigi geligi : Gigi goyang (-), Gigi berlubang (+)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-)
Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)
Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)
Lain-lain : (-)

2.4 RINGKASAN

2
Pasien perempuan usia 33 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi
dengan keluhan hidung kanan tersumbat. Keluhan mulai dirasakan sejak ± 1 tahun yang
lalu dan semakin memberat. Keluhan dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi hari, dan
malam hari. Keluhan disertai dengan keluar cairan bening, hidung gatal dan bersin. Bersin
sebanyak 4-5 kali sekali bersin yang muncul saat pagi hari atau saat terkena debu. Pasien
mengaku memiliki riwayat gatal-gatal pada kaki jika terkena debu serta riwayat asma yang
tidak muncul sejak 9 tahun yang lalu. Keluhan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Mata berair (-), mata gatal (-), rasa adanya cairan menetes di tenggorok (-), batuk (-), nyeri
telinga (-), demam (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda-tanda vital, dan status
generalis dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas normal. Pada
pemeriksaan status lokalis hidung didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok pada daerah sinus
maxillaris kanan, mukosa pucat (-/-), hipertrofi konka (+/-), discaj mukopurulen (-).
Pemeriksaan status lokalis tenggorok dalam batas normal.

2.5 DIAGNOSIS BANDING

1. Rhinitis Vasomotor
2. Rhinitis Medikamentosa

2.6 DIAGNOSIS SEMENTARA


1. Rhinosinusitis kronik
2. Rhinitis alergi persisten ringan
3. Konka hipertrofi

2.7 RENCANA PENGELOLAAN


IpDx : S: -
O:
- Kultur dan tes sensitiftas antibiotik sekret hidung
- Skin Prick Test
IpTx :

- Medikamentosa
o Fluticasone furoate nasal spray 27.5mf/puff 1x2 puff pagi hari, hidung kanan kiri

2
o Asam mefenamat kapsul 500mg 1 tablet tiap 8 jam
o Cetirizine 10mg 1x1
- Non-medikamentosa :
o Cuci Hidung dengan larutan garam fisiologis
- Operatif
o Pro Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) + Submucosal Resection (SR) +
Konkoplasty

RSUP Dr. Kariadi


Nama : dr. Fathur
NIP : 22010116120057
Telp. 081234567890

Semarang, 28 Januari 2019


Alergi obat:
 Ya
 Tidak

R/ Asam Mefenamat 500 mg Tab No XXX


S.3.d.d tab I p.r.n

R/ Cetirizine 10 mg Tab No. XIV


S.1.d.d tab I o.m

R/ Fluticasone Furoate 27.5 mcg/spray Fl. No. 1


S.1.d.d puff II h.m

R/ Infus NaCl 0.9% No. III


Spuit 20 cc No. I
Infus Set No. I
S.4.d.d puff I

Pro : Ny. H
Usia : 33 Tahun

Ip Mx :

2
- Mengawasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
- Mengawasi progresivitas penyakit antara lain keluhan hidung tersumbat dengan VAS, keluhan
nyeri wajah, keluhan sekresi hidung, dan keluhan gangguan fungsi indera penghidu.
- Mengawasi timbulnya efek samping dari obat serta evaluasi efek terapi obat.
- Melakukan pemeriksaan faktor koagulasi untuk persiapan FESS + SR + Konkoplasty

2.8 EDUKASI

- Menjelaskan pada pasien mengenai diagnosis atau penyakit yang dialami pasien yaitu
rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan rinitis alergi beserta kemungkinan penyebabnya.
- Menjelaskan rencana terapi pada pasien, baik terapi medikamentosa maupun non-
medikamentosa, meliputi cara pemakaian obat, efek terapi obat, efek samping obat yang
mungkin timbul, dan tindakan operatif yang akan dilakukan beserta risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi.
- Menjelaskan pasien perlu kembali kontrol untuk evaluasi perkembangan penyakit
- Mengedukasi pasien agar memeriksakan diri apabila muncul efek samping obat, antara lain :
o Fluticasone Furoate nasal spray
 KI : Hipersensitivitas.
 Efek samping : Epistaksis, ulkus nasal.

- Mengedukasi pasien untuk menjaga kebersihan hidung dengan melakukan cuci hidung secara
rutin sebanyak 4 kali sehari.
- Mengedukasi pasien untuk menghindari paparan allergen yang telah diketahui.
- Mengedukasi pasien untuk istirahat cukup dan mengkonsumsi makanan sehat dan
multivitamin.

2
2.9 PROGNOSIS :
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Rinitis Alergi


3.1.1 Pengertian Rinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergii
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan allergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin,
rinorhea, rasa gatal dan tersbumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang
diperantarai oleh IgE.

3.1.2 Etiologi
Rhinitis alergi disebabkan oleh adanya kontak dengan aeroalergen
maupunalergen ingestan.Alergen tersebut dapat berupa alergen binatang seperti house
dust mite, kecoa, bulu anjing, kucing, kuda. Alergen tumbuhan seperti jamur maupun
serbuk sari bunga. Tungau debu merupakan allergen terbanyak penyebab reaksi alergi
di Indonesia.2 Genetik memiliki peran penting menjadi faktor predisposisi. Anak-anak
berpotensi memiliki alergi sebesar 47% bila kedua orangtua juga memiliki riwayat
alergi.2

3.1.3 Faktor Pencetus


a. Adanya riwayat atopi.2
b. Alergi : Aeroallergen seperti tungau, allergen binatang, allergen
tumbuhan, alergi karena pekerjaan atau alergi latex.2
c. Pollutants : polusi udara dalam ruangan seperti asap rokok menjadi penyebab
utama. Polutan dari asap kendaraan dan dari diesel meningkatkan pembentukan
IgE dan peradangan alergi.2
d. Pemakaian aspirin dan obat NSAID : dapat menginduksi rhinitis dan asma.2

3.1.4 Patofisiologi
Tahap awal dari terjadinya rhinitis alergika adalah adanya sensitisasi terhadap
allergen. Allergen terbanyak penyebab rhinitis allergika adalah protein yang terhirup,
seperti pollen, dust mite, debu binatang. Allergen yang terhirup kemudian terkumpul
dan menyebar ke seluruh jaringan hidung.4,10
2
Proses sensitisasi dimulai pada jaringan hidung, dimana antigen-persenting
cell (APCs), terutam sel dendritik, yang menelan allergen dan memecah mereka
menjadi peptida antigen. Kemudian peptida antigen diekspresikan pada permukaan
sel tersebut dan dipresentasikan pada limfosit T CD4 naive. Kemudian sel ini akan
memproduksi IL-4 yang akan mengubah Th0 menjadi Th2. Sel Th2 yang teraktivasi
kemudian mengeluarkan sitokin berupa IL-4 dan IL-13 untuk membuat sel limfosit B
menghasilkan IgE. Imunoglobulin E yang dihasilkan, kemudian menempel pada
reseptor tetramerik yang berada di permukaan sel mast, reseptor trimerik pada sel
dendritik, dan beberapa reseptor dengan afinitas rendah pada monosit, makrofag, dan
limfosit B. Proses inilah yang disebut sebagai sensitisisasi alergen.4,10
Pada paparan selanjutnya, allergen lebih mudah diikat dengan keberadaan IgE
pada permukaan sel-sel tersebut. Kompleks allergen-IgE pada permukaan sel mast,
akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan mediator inflamasi seperti
histamin, triptase, leukotrien, dan prostaglandin. Pelepasan histamin akan dilanjutkan
dengan penempelan pada serabut saraf sensoris dan memacu timbulnya bersin,
hipersekresi kelenjar dan gatal. Sementara penempelan histamin pada reseptor H1 dan
H2 di mukosa pembuluh darah akan menghasilkan vasodilatasi yang kemudian
menimbulkan rasa hidung tersumbat. Leukotrien bekerja untuk meningkatkan
vasodilatasi dan sekresi. Peran triptase dan sitokin lainnya kurang jelas pada
hubungannya dengan gejala klinis.Reaksi segera ini dapat muncul dalam beberapa
menit dan dapat menghilang dalam beberapa jam setelah paparan.4,10
Proses lainnya yang terjadi beriringan dengan proses diatas adalah adanya IL-
4, IL-5 dan IL-13 serta leukotrien yang kemudian memacu migrasi eosinofil. Eosinofil
akan memproduksi major basic protein (MBP), eosinophil Scationic protein (ECP),
dan eosinophil peroxidase (EPO), yang kemudian kan merusak sel epitel hidung.
Konsentrasi rendah dari MBP sudah dapat mengganggu pergerakan silia dari
hidung.4,10

2
Gambar 5. Patofisiologi dari Rhinitis Alergika10

2
3.1.5 Klasifikasi
ARIA mengklasifikasikan rhinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya
gejala.2
Berdasarkan waktu dibedakan menjadi :
a. Intermitten : gejala timbul kurang dari 4 hari dalam tiap minggu dan terjadi
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten. : gejala timbul lebih dari 4 hari dalam satu minggu dan terjadi lebih
dari 4 minggu berturut-turut.2
Berdasarkan beratnya gejala dibedakan menjadi :
a. Ringan : tidur normal, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari, tidak mengganggu
pekerjaan dan keluhan yang muncul dirasakan tidak mengganggu.
b. Sedangberat :tidur terganggu, gangguan pada aktivitas dan pekerjaan sehingga
penderita tidak dapat menjalakan kegiatan seperti biasanya dan dirasakan sangat
mengganggu.2

Gambar 6. Klasifikasi Rhinitis Alergika berdasarkan ARIA WHO2

3.1.6 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama
pagi hari atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai adalah
rinore encer, hidung tersumbat, dan kadang-kadang sakit kepala.Selain itu
biasanya terdapat riwayat alergi dalam keluarga.5

2
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa hidung yang
bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau keabuan
disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Meskipun tidak selalu ditemukan,
tetapi merupakan gejala/tanda yang khas pada rinitis alergi ini adalah allergic
shiner, allergic solute, dan allergic crease. Allergic shiner adalah warna
kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena adanya stasis dari vena
yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus. Allergic solute adalah
sering mengusap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal, sedangkan
allergic crease adalah timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, karena kebiasaan mengusap hidung.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah tepi
Dapat ditemukan adanya eosinofil pada pemeriksaan darah tepi.4
 Swab hidung
Pada pemeriksaan swab hidung dapat ditemukan adanya eosinofil pada
rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan ketika masih
akut atau setelah dilakukan test provokasi.4
 Skin Prick Test (Tes Tusuk Kulit)
Uji ini menggunakan allergen dalam jumplah kecil yang dimasukkan dalam
kulit dengan metode ditusukkan guna menghasilkan reaksi alergi. Bahan
allergen ditusukkan pada daerah volar lengan bawah dan dapat dilakukan
untuk beberapa allergen sekaligus. Reaksi alergi yang ditimbulkan dapat
dilihat berupa kemerahan pada daerah sekitar tusukkan dan kemudian
dibandingkan dengan histamin sebagai kontrol positif dan saline sebagai
kontrol negatif.4
 Nasal provocation test
Tes ini memberikan nilai terbesar bagi rhinitis alergika karena memberikan
kontak langsung antara alergen dengan mukosa hidung. Prosedur uji ini
dimulai dengan rhinomanometri dan dilanjutkan pengolesan allergen pada
konka inferior serta rhinomanometri ulang 20 menit setelah pengolesan.
Ketika reaksi alergi terjadi, maka akan terjadi reduksi dari hasil

2
rhinomanometri. Kontak langsung mukosa dan allergen dapat memacu
timbulnya reaksi anafilaksis.4
 Radioallergosorbent Test (RAST) dan Multiple Allergen Simultaneous Test
(MAST)
RAST merupakan metode pertama untuk mendeteksi serum-spesific IgE,
tes ini jarang dipakai karena melibatkan isotop radioaktif dan peralatan yang
mahal dan tidak dapat menguji beberapa antibodi secara langsung. Oleh
sebab itu, MAST lebih dipilih karena menggunakan reagen cahaya dan tidak
mahal serta dapat mendeteksi beberapa antibodi sekaligus. Namun, uji ini
dinilai kurang sensitif.4

3.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada rhinitis alergi dapat berupa penghindaran alergen atau
faktor pencetus terjadinya keluhan, terapi medikametosa, imunoterapi dan tindakan
pembedahan. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam menangani pasien
dengan rhinitis alergi adalah dengan menganjurkan pasien untuk menghindari kontak
dengan alergen. Dengan demikian pasien terlebih dahulu harus dapat mengidentifikasi
alergen yang mencetuskan timbulnya gejala. Pada alergen berupa dust mites maka
dapat dilakukan edukasi untuk melakukan penggantian penutup bantal dan tempat
tidur dua minggu sekali, menggunakan obat penyemprot dust mites, dan menghindari
penggunaan karpet tebal. Pada alergen makanan maka dapat dilakukan dengan
menghindari makan makanan tersebut untuk sementara waktu dan menggantinya
dengan makanan lain. Alergen hewan dapat dihindari dengan mengurangi kontak
dengan hewan pencetus.2
Pemberian terapi medikametosa termasuk penggunaan obat topikal maupun
sistemik yang bekerja secara langsung baik untuk mencegah terjadinya degranulasi
dari sel mast atau memblokade efek dari pelepasan mediator. Terapi topikal dapat
dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang biasa
digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat
tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai
adalah kortikosteroidtopikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

2
mometasonfuroat dan triamsinolon. Preparat antikolinergiktopikal adalah
ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.2
Terapi oral sistemik dapat diberikan antihistamin dan obat simptomatik.
Antihistamin dibagi menjadi generasi 1 yaitu difenhidramin, klorfeniramin,
siproheptadin. Generasi 2 yaitu loratadin dan cetirizine. Preparat simpatomimetik
golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
fenilefrin.2
Imunoterapi atau hiposensitisasi diberikan apabila dengan pemberian obat
tidak dapat mengontrol keluhan atau memberikan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi oleh penderita. Terapi ini diindikasikan pada pasien dengan gejala berat
yang tidak respon terhadap pengobatan standard. Ekstrak dari beberapa alergen
disuntikkan secara subcutan dengan dosis kecil, yang kemudian dinaikkan hingga
dosis pemeliharaan dan dilakukan selama minimal 3 tahun. Selain disuntikkan,
terdapat juga pilihan berupa tablet sublingual, rute ini memberikan reaksi anafilaksis
yang lebih rendah. Diharapkan dengan pemberian allergen secara berkala, dapat
merubah peranan Th2 menjadi Th1 akibat adanya produksi IL-10 dan TGF-B.
Pemberian dihentikan bila selama 3 tahun sudah tidak didapatkan adanya gejala.2
Tindakan pembedahan dilakukan atas indikasi. Sebagian besar penderita
rhinitis alergi dapat membaik dengan penghindaran alergen dan pemberian
medikametosa. Namun pada beberapa kasus keluhan tidak membaik dengan
pemberian medikametosa. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi adanya sumbatan
pada hidung dengan melakukan reseksi pada konka.2

2
Pastikan ada tidaknya
Alur Diagnosis Rhinitis Alergi asma terutama pada
pasien rhinitis sedang-
berat dan/atau
Gejala Intermitten Gejala Persisten persisten

Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat

Tidak berurutan Tidak berurutan Secara berurutan


H1-antihistamin oral atau H1-antihistamin oral atau KS intranasal
intranasal intranasal H1-antihistamin atau LTRA
H1-antihistamin dan/atau H1-antihistamin dan/atau
dekongestan atau LTRA dekongestan atau KS Evaluasi pasien setelah 2-4
intranasal atau LTRA minggu

Pada rhinitis persisten Perbaikan Gagal


evaluasi pasien setelah
2-4 minggu Step down dan Review diagnosis
lanjutkan selama Review compliance adanya
1 bulan infeksi atau penyebab lainnya
jika gagal: terapi maju 1
langkah
jika perbaikan : lanjutkan
Naikkan Rinore  Tersumbat
selama 1 bulan
dosis KS ipratropium dekonges
intranasal tan atau KS
dosis Gatal oral gagal
Tambahkan operasi
H-1
Gambar 8. Tatalaksana Rhinitis allergika menurut ARIA
antihistamin
WHO2

3.1.8 Komplikasi
Rhinitis alergi dapat menyebabkan terjadiya:4
● Sinusitis rekuren karena adanya obstruksi pada ostium sinus
● Polip nasal
● Otitis media supuratif
● Masalah ortodontik dan masalah mulut terutama pada anak-anak
● Asma bronkhialis. Pasien dengan rhinitis alergi beresiko empat kali lebih besar terkena
asma bronkhialis

2
3.2 Diagnosa Banding
3.2.1 Rhinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh darah pada
mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen
terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan
refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik.5

Tabel 1. Perbedaan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor.4,5


Rinitis alergi Rinitis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4

Riwayat terpapar + -
allergen

Etiologi Reaksi Ag – Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap


rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis
atau kimia, juga faktor
psikologis

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negatif

Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

Gejala yang dijumpai pada 22hinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan


dengan 22hinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat
22hini atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan
bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan 22hinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu

2
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga
oleh karena asap rokok dan sebagainya.5

3.3 Konka Hipertrofi


3.3.1 Definisi Konka Hipertrofi
Hipertrofi konka adalah pembesaran konka akibat bertambahnya ukuran sel mukosa
konka.1 Hipertropi konka dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Hipertropi konka
unilateral berhubungan dengan deviasi kongenital. Hipertrofi konka terjadi pada
kontralateral deviasi septum sebagai kompensasi untuk melindungi mukosa hidung dari
pengeringan akibat aliran udara berlebih.2 (Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin
J.Gangguan Pendengaran. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fkui, 2015) Hipertropi
konka bilateral disebabkan peradangan hidung akibat dari alergi dan non-alergi, pemicu
lainnya adalah lingkungan (seperti debu dan tembakau) dan kehamilan.3

3.3.2 Etiologi
Keadaan mukosa nasal dipengaruhi dua faktor yaitu faktor endogen dan faktor
eksogen. Faktor endogen berupa kelainan anatomi seperti deviasi septum, alergi dan
gangguan vasomotor. Faktor eksogen antara lain yaitu suhu udara, polusi, kelembapan
udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-
kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang
dan iritasi.4

3.3.3 Patogenesis
Penyebab umum dari terjadinya hipertropi konka inferior adalah infeksi berulang
pada hidung dan sinus serta iritasi kronis mukosa hidung yang disebabkan oleh asap rokok
dan bahan iritan industri.5 Rhinitis alergi, rhinitis non alergi atau yang sering disebut
sebagai rinitis vasomotor, dan penggunaan tetes hidung yang berkepanjangan juga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit hipertropi konka inferior. Kasus septum deviasi, pada
sisi hidung kontralateral dapat terjadi hipertropi konka inferior dan media. Hal ini
merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk memperkecil luasnya rongga hidung.6,7

2
Rangsangan yang berlangsung berulang dan lama terhadap membran
mukosa hidung akan mengakibatkan penebalan pada mukosa konka dan pelebaran
pada pembuluh darah mukosa terutama pleksus kavernosus konka. Struktur
lapisan epitel mukosa konka akan berubah menjadi kuboid bertingkat, silia
menghilang dan jumlah sel goblet meningkat apabila hal tersebut dibiarkan dalam
jangka waktu panjang. Lapisan submukosa akan terjadi edema, infiltrasi sel
plasma, sel bulat dan fibroblas serta pleksus kavernosus konka mengalami
pelebaran sementara otot polosnya mengalami atrofi.5

3.3.4 Manifestasi Klinik

Gejala utama dari hipertropi konka inferior adalah sumbatan hidung


kronik, sekret hidung yang berlebihan, kental dan mukopurulen. Biasanya sekret
hidung mukopurulen ditemukan didasar rongga hidung dan diantara konka
inferior dan septum. Beberapa penderita hipertropi konka inferior juga
mengeluhkan gangguan penghidu, adanya sakit kepala, kepala terasa berat, rasa
kering pada faring, adanya post nasal drip, gangguan fungsi tuba dan penurunan
produktivitas kerja.2,3,4
Konka akan tampak membengkak dan berwarna merah pada tahap awal
pemeriksaan, kemudian apabila sudah terdiagnosis terjadi hipertropi konka maka
mukosa konka menebal dan apabila ditekan tidak melekuk. Hipertropi konka
dapat terjadi sebagian ataupun seluruh bagian dari konka inferior. Hipertropi dapat
pula terjadi pada konka media namun jarang.2,8

3.3.5 Diagnosis

Penderita hipertropi konka inferior dapat didiagnosis dengan cara


melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan radiologi dan rhinomanometry. Anamnesis yang dilakukan haruslah
cermat terutama untuk mengetahui adakah riwayat sumbatan hidung sebagai
akibat dari hipertropi konka serta untuk mengetahui keluhan lainnya.3,5
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior.
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat menilai ukuran pembesaran konka dengan
melihat septum nasi dan dinding lateral hidung. Obat vasokonstriktor lokal dapat

2
diberikan bila diperlukan supaya memperluas jangkauan pandangnya.
Pemeriksaan rinoskopi posterior dapat menilai batas pemisah antara konka kanan
dan kiri serta ujung posterior konka media dan konka inferior.2

Berdasarkan letaknya, ukuran pembesaran konka anterior terbagi atas tiga


yaitu 1) pembesaran konka inferior mencapai garis yang terbentuk antara middle
nasal fosa dengan lateral hidung, 2) pembesaran konka inferior melewati sebagian
dari kavum nasi, dan 3) pembesaran konka inferior mencapai nasal septum.11
Berdasarkan derajatnya, ukuran pembesaran konka terbagi atas empat yaitu 1)
Normal, apabila konka inferior tidak ada kontak dengan septum atau dasar hidung,
2) Hipertropi ringan, apabila terjadi kontak dengan septum, 3) Hipertropi sedang,
apabila terjadi kontak dengan septum dan dasar hidung, dan 4) Hipertropi berat
apabila terjadi kontak dengan septum, dasar hidung dan kompartemen superior
sehingga akan terjadi sumbatan hidung total.12

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita hipertropi


konka inferior yaitu pemeriksaan radiologi, rhinomanometry dan pemeriksaan
peak nasal inspiratory flow (PNIF). Pemeriksaan radiologi tidak harus dilakukan
untuk menilai sumbatan hidung. Pemeriksaan rhinomanometry dan PNIF dapat
gunakan untuk menentukan besarnya aliran udara dan tahanan dalam rongga
hidung.2

3.3.6 Penatalaksanaan
3.1.6.1 Medikamentosa

Penatalaksanaan dengan medikamentosa bertujuan untuk


mengatasi faktor etiologi dan sumbatan hidung dengan cara memperkecil
ukuran konka.8 Sinus venosus akan mengalami pengisian pada kasus
pembesaran konka akut. Pemberian dekongestan topikal dapat mengurangi
pembesaran konka. Terapi medikamentosa lain yang dapat diberikan
antara lain kortikosteroid, sel mast stabilizer, antihistamin, dan
imunoterapi.13,14

Pemberian dekongestan baik secara lokal maupun sistemik efektif


dalam mengobati sumbatan hidung karena hipertropi konka, namun
penggunaan dekongestan sistemik oral dapat menimbulkan efek samping
2
berupa palpitasi dan kesulitan tidur.15 Penggunaan dekongestan topikal
dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan terjadinya rinitis
medikamentosa (rebound nasal congestion) dan takifilaksis. 14,15,16

Pemberian kortikosteroid juga efektif dalam mengobati sumbatan


hidung, namun dapat menyebabkan terjadinya hidung berdarah, krusta dan
mukosa hidung mengering. Kortikosteroid juga dapat mengurangi
hiperresponsif saluran respirasi dan menekan terjadinya perdarahan tetapi
proses mekanisme dan target seluler belum dapat diketahui.14

3.1.6.2 Operatif

Jaringan ikat telah terbentuk pada kasus kronik. Hal ini


disebabkan oleh proses inflamasi kronik yang tidak dapat tertangani
oleh terapi medikamentosa setelah 2 bulan pengobatan. Tindakan
operatif atau pembedahan sangat dianjurkan apabila hal tersebut
terjadi.17,18
Teknik pembedahan reduksi konka secara garis besar terbagi
atas dua kelompok yaitu turbinoplasty dan turbinectomy.
Turbinopasty adalah teknik reduksi konka yang mempertahankan agar
mukosa hidung tetap utuh, sedangkan turbinektomi adalah teknik
reduksi konka yang memotong bagian konka yang mengalami
pembesaran. Teknik reduksi konka yang menjadi pilihan saat ini
adalah teknik turbinoplasty dengan menggunakan teknik
mikrodebrider dan teknik termal seperti dengan radiofrekuensi atau
koblasi. Keunggulan dari teknik pembedahan reduksi konka
radiofrekunsi adalah mukosa tetap utuh, dapat dilakukan dalam
anastesi lokal dan suhu panas yang dihasilkan pada lapisan submukosa
berkisar antara 60-90°C.19,20
Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini yaitu untuk
menghilangkan sumbatan hidung dan mempertahankan fungsi
fisiologis hidung.6 Teknik pembedahan yang ideal memang tidak ada,
setiap teknik memiliki keunggulan dan kelemahan seperti adanya
kompilkasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi jangka panjang
yaitu perdarahan dan rinitis atropi.21,22
2
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis terhadap pasien perempuan usia 33 tahun


datang ke Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi dengan keluhan hidung kanan
tersumbat. Keluhan mulai dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu dan semakin
memberat. Keluhan dirasakan terutama saat cuaca dingin, pagi hari, dan malam
hari. Keluhan disertai dengan keluar cairan bening, hidung gatal dan bersin. Bersin
sebanyak 4-5 kali sekali bersin yang muncul saat pagi hari atau saat terkena debu.
Pasien mengaku memiliki riwayat gatal-gatal pada kaki jika terkena debu serta
riwayat asma yang tidak muncul sejak 9 tahun yang lalu. Keluhan tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Mata berair (-), mata gatal (-), rasa adanya cairan
menetes di tenggorok (-), batuk (-), nyeri telinga (-), demam (-)

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum, tanda-tanda vital, dan


status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis telinga dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status lokalis hidung didapatkan hipertrofi konka (+/-),
discaj mukopurulen (+/-), dan septum deviasi (+) ke kanan. Pemeriksaan status
lokalis tenggorok dan telinga alam batas normal.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, pasien
didiagnosis sebagai rhinitis alergi berdasarkan gejala seperti ingus cair yang keluar
pada pagi hari dan malam hari dipicu dingin dan debu, hidung gatal, bersin-bersin
sebanyak 4-5 kali. Selain itu, diagnosis disertai adanya rinosinusitis kronis (RSK)
karena memenuhi kriteria diagnosis yaitu adanya hidung tersumbat dengan onset
lebih dari 12 minggu. Pada pasien juga didapatkan konka hipertrofi berdasarkan
pemeriksaan rhinoskopi anterior.
Pasien mendapatkan terapi medikamentosa yang meliputi asam mefenamat
untuk mengurangi inflamasi, cetirizine sebagai antihistamine generasi kedua, cuci
hidung atau irigasi nasal menggunakan NaCl 0.9% untuk menjaga kebersihan dan
kelembaban mukosa hidung sehingga mengurangi oedema, dan steroid topikal
intranasal (fluticasone furoate) yang bertujuan mengurangi proses inflamasi pada
saluran napas sehingga memperbaiki fungsi penciuman pasien. Pasien dianjurkan
untuk menjalani terapi pembedahan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

27
untuk memperbaiki aliran udara dan drainase sinus dengan invasi minimal. Septum
Reconstruction (SR) untuk memperbaiki deviasi septum, serta Konkoplasti untuk
memperbaiki hipertrofi konka.

28
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan disik pasien didapatkan tanda dan
gejala yang mengarah ke rhinitis alergika persisten ringan, konka hipertrofi, dan
rhinosinusitis kronik. Terapi yang dapat diberikan berupa farmakologi yaitu
antiinflamasi dan antihistamin, dan nonfarmakoterapi berupa cuci hidung,
FESS, SD, dan Konkaplasti.

5.2 Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

30

Anda mungkin juga menyukai