Oleh:
Rafida Aulia
H1AP12004
Pembimbing
dr. Mirna, Sp.P
1
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : H1AP12004
Fakultas : Kedokteran
2
BAB I
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
Nama : Tn. SH
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : PNS
Alamat : Gg. Damai I RT.17 RW.01, Sumber Jaya
Agama : Islam
Nomor RM : 790936
Masuk RS : 21 Januari 2019
Tanggal pemeriksaan : 21 Januari 2019
3
Biasanya jika mulai merasa sesak pasien langsung menggunakan
obat hirup yang didapat dari rumah sakit dan sesak akan menghilang, tetapi
obat tersebut habis jadi pasien langsung berobat ke poli. Sebelum ke rumah
sakit pasien sempat meminum obat prednison 5mg tetapi sesak tetap
memberat saat pasien tiba di rumah sakit. Keluhan lain seperti riwayat
demam, mengigil, keringat malam hari, batuk lama, penurunan berat badan
dan mual muntah disangkal pasien. BAB dan BAK dirasakan biasa, tidak
ada keluhan lainnya.
Gejala sesak nafas biasanya timbul paling banyak hanya 2x dalam
sebulan. Pasien jarang mengalami sesak nafas atau batuk malam hari,
biasanya dalam 3 bulan hanya 1 kali serangan yang hanya sebentar.
Serangan sesak dirasakan singkat dan menghilang setelah pasien
menggunakan obat hirup. Pasien menggunakan obat hirup hanya saat ada
serangan sesak. Pasien tidak pernah dirawat atau masuk ke instalasi gawat
darurat dengan keluhan sesak dan batuk sebelumnya.
4
2.2.5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Riwayat merokok (-).
Riwayat pekerjaan dan lingkungan yang sering terpapar asap/polusi (-)
5
Perkusi : Sonor disemua lapang paru.
Auskultasi : Ekspirasi memanjang +/+.
Wheezing +/+ pada seluruh lapangan paru,
Ronki -/-.
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Pekusi : Batas jantung normal
Auskutasi : BJ1 dan BJ2 (+) reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani disemua regio abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
2.7 Penatalaksanaan:
Rencana Terapi
IVFD RL xx/menit
6
O2 2-4 L/m
Combivent nebulizer 3x1
Dexametason 3x1 iv
Rencana Pemeriksaan:
Peak Flow Meter dan Spirometri
IgE spesifik dan darah rutin
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.2 Patofisiologi Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan
proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu
hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan
pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan
yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses
remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal
terjadinya proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik,
dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses
dari remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular
matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel
atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.
9
2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis
yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui
dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran
napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan
perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama
daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama
kontraksi otot polos.
10
b. Faktor lingkungan
Rangsangan alergen.
Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
Infeksi.
Merokok
Obat.
Penyebab lain atau faktor lainnya.
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi.
Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan
toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek
atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut
timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal.
Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti
paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau
aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien
asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja
atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas
yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
11
1. Memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi
5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas
dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian
penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada
pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,
reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung
hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan
spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain
yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran
status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini tidak
terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam mengidentifikasi
faktor pencetus.
12
2.6 Klasifikasi Asma
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Gejala <1x/minggu 2x sebulan VEP1 80% nilai
Tanpa gejala diluar prediksi
serangan APE 80% nilai
Serangan singkat terbaik
Variability APE
<20%
Persisten Gejala >1x/minggu >2x sebulan VEP1 80% nilai
Ringan tapi <ix/hari prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
20%-30%
Persisten Gejala setiap hari >1x seminggu VEP1 60-80%
Sedang Serangan mengganggu nilai prediksi
aktivitas dan tidur APE 60-80% nilai
Membutuhkan terbaik
bronkodilator tiap hari Variability APE
>30%
Persisten Gejala terus menerus Sering VEP1 <60% nilai
Berat Sering kambuh prediksi
Aktivitas fisik terbatas APE <60% nilai
terbaik
Variability APE
>30%
13
bantu napas
Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras
Frekuensi nadi <100 100-120 >120
Pulsus paradoksus Tidak ada (<10mmHg) Mungkin ada (10- Sering ada (>25
25mmHg) mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilator (%
prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
14
dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan komponen
yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan asma. Pada
tingkat vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya
hipoperfusi, mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis).
Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid
inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan
nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti
kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral
terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu.
15
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui
reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi
pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga
kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan
inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi
atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek
17
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa
kering di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-
4x/hari
Berat Asma Medikasi Pengontrol Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain
Harian
Asma Tidak perlu - -
18
Intermiten
Asma Persisten Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat -
Ringan inhalasi (200-400ug
Kromolin
BD/hari atau equivalennya)
Leukotrien modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Kombinasi inhalasi Ditambah agonis
Sedang glukokortikosteroid (400- glukokortikosteroid (400- β2 kerja lama oral,
800ug BD/hari atau 800ug BD/hari atau atau
equivalennya) dan agonis equivalennya) ditambah
Ditambahkan
β2 kerja lama teofilin lepas lambat, atau teofilin lepas
Kombinasi inhalasi lambat
glukokortikosteroid (400-
800ug BD/hari atau
equivalennya) ditambah
agonis β2 kerja lama oral,
atau
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800ug BD atau
equivalennya) atau
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800ug BD
atau equivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metil
prednisolon oral selang
Berat Glukokortikosteroid sehari
(>800ug BD/hari atau 10 mg ditambah agonis β2
ditamba
equivalennya) dan agonis kerja lama oral, h
teofilin lepas
β2 kerja lama, ditambah ≥1 lambat
dibawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol.
Pulsus - ± + -
Paradoksus
10 mmHg 10-20 mmHg > 25 mmHg kelelahan
otot
Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest
ekspirasi
Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat
Pengobatan
Serangan Pengobatan Tempat pengobatan
Ringan Terbaik: Di rumah
Aktivitas relatif normal Inhalasi agonis β2
Berbicara satu kalimat dalam 1 Alternatif: Di praktek dokter/ klinik/
Nafas Kombinasi oral agonis β2 dan puskesmas
Nadi < 100 Teofilin
APE > 80%
Sedang Terbaik:
Jalan jarak jauh timbulkan gelaja Nebulasi agonis β2 @ 4 jam Darurat gawat/RS
20
Berbicara beberapa kata dalam 1 Alternatif: Klinik
Nafas - Agonis β2 subkutan Praktek dokter
Nadi 100-120 - Aminofilin iv Puskesmas
APE 60-80% - Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik
21
Tatalaksana menurut GINA 2018
Pasien di follow-up dalam 1-3 bulan terapi lalu selanjutnya 3-12 bulan terapi, pada kasus
eksaserbasi di follow up 1 minggu setelahnya, pada kasus kehamilan setiap 4-6 minggu
untuk merencenakan rencana terapi.
Kriteria step up terapi:
Sustained step up (2-3 bulan) : jika gejalan dan/atau eksaserbasi masih timbul dalan 2-3
bulan dangan kontroler, evaluasi teknik penggunaan kontroler, ketidakpatuhan,
faktorresiko yang dapat dimodifikasi seperti merokok, dan faktor komorbid seperti
rhinotis alergi)
Short-term step up (1-2 minggu) : sedang dalam infeksi virus atau terpapar alergen.
22
Day to day adjustment pasien yang diresepkan dosis rendah beclometasone / formoterol
atau budesonide / formoterol sebagai pemeliharaan dan reliefer terapi.
Kriteria Step down: (jika dalam terapi tidak ada gejala dan ekaserbasi)
Pilih waktu yang tepat (tidak ada infeksi, tidak hamil dan tidak bepergian).
Dokumen pasien yang berisi monitoring status, follow up dan kontrol gejala dan fungsi
faal.
Turunkan ICS 25-50% dalam 2-3 bulan interval.
Tidak boleh menghenikan ICS secara tiba-tiba, kecuali jika ingin mengonfirmasi
diagnosis asma.
23
BAB III
PEMBAHASAN
24
Derajat serangan asma:
Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Tanda Mengancam
Ringan Sedang Berat Jiwa
Pulsus - ± + -
Paradoksus
10 mmHg 10-20 mmHg > 25 mmHg kelelahan
otot
Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest
ekspirasi
25
Diagnosis Aama menurut GINA 2018:
26
Perbedaan klinis Asma dan PPOK:
Terapi yang diberikan sudah sesuai dengan teori yaitu oksigen 2-4 L/m,
kortikosteroid berupa Dexametason 3x1 intravena, Combivent nebulizer yang mengandung
Albuterol atau salbutamol yang merupakan Sort Acting beta2-agonis dan ipratropium
bromida yang merupakan Sort Acting anticolinergik.
27
Terapi pulang yang diberikan pada pasien yatitu berupa Seretide diskus sebagai
controller yang mangendung salmeterol xinafoate 50 mcg yang merupakan Long Acting
beta2-agonis dan Fluticasone propionate 100 mcg yang merupakan inhaled corticosteroid .
Pasien juga diberikan Berotec sebagai reliever yang mengandung Fenoterol hydrobromide
100 mcg yang merupakan syntetic Sort Acting beta2-agonis.
Pada pasien juga direncanakan dilakukan pemeriksaan spirometri untuk
mengatahui fungsi faal paru sebelum dan sesudah terapi diberikan. Jika perlu pasien juga
direncanakan dilakukan pemeriksaan IgE spesifik untuk mengetahui alergen yang dapat
memicu alegi dan asma pada pasien. pemeriksaan darah rutin juga diperlukan untuk
mengetahui apakah keadaan pasien diperparah dengan infeksi.
28