Anda di halaman 1dari 27

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741
IDENTITAS
Inisial : Ny. Y
Usia : 48 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status pernikahan : Sudah Menikah
Alamat : Tampungan, Rt 04/33 Sendang Tirto, Berbah Sleman
Pekerjaan : Pegawai admin PAUD
Masuk RS : 28 Februari 2019
Waktu pemeriksaan : 1 Maret 2019
Bangsal : Dahlia
Dokter yang merawat : dr. Endang Widiastuti, Sp.PD, FINASIM
Ko-asisten : Nadifa Maulani Fadilla
A. SUBYEKTIF AUTOANAMNESIS (1 Maret 2019)
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. RPS
2MSMRS Pasien mengatakan sesak napas disertai batuk kering yang semakin sering

Senin, 11 Februari sampai menganggu istirahat dan aktivitas sehari-hari, pada hari sebelumnya
pasien kehujanan sehingga batuk dan sesak semakin memberat, keluhan
disertai demam (+), mual (+), muntah (-), dan lemas, lalu pasien
mengkonsumsi obat rutinnya namun tidak membaik, kemudian pasien kontrol
ke poli penyakit dalam lalu diberikan tambahan obat penurun panas, dan
codein, 5 hari setelahnya keluhan membaik kecuali batuk yang masih
menetap.
1HSMRS Pasien mengatakan sesak napas kambuh kembali setelah kehujanan pulang
Rabu, 27 Februari bekerja, disertai batuk berdahak, pasien mengkonsumsi kembali obat rutin dan
nebulizer, kemudian kamis pagi hari keluhan membaik.
HMRS Kamis siang hari pasien mengeluh sesak napas kambuh kembali disertai batuk
Kamis, 28 Februari berdahak berwarna kuning yang semakin sering sehingga menganggu aktivitas
dan istirahat, nyeri dada (-), mual (+), muntah (-), ulu hati terasa perih, ketika
sesak pasien masih dapat berbicara perkalimat pendek, lebih memilih untuk
duduk, sesak sering kambuh >1x dalam seminggu dengan pencetus cuaca
dingin, lelah beraktivitas, debu, emosi, dan gejala memberat di malam hari,

1
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741
kemudian pasien mengkonsumsi obat rutin dan nebulizer combivent +
pulmicort namun sesak tidak membaik, kemudian pasien pergi ke IGD RS
Jogja. Di IGD RS jogja pasien diberikan nebulizer 2x dengan combivent +
flixotide setengah jam kemudian diberikan combivent + pulmicort namun
sesak tidak membaik setengah jam kemudian diberikan injeksi
metilprednisolon 60 mg namun sesak tidak membaik, kemudian pasien
diindikasikan untuk rawat inap.
3. RPD
 Riwayat penyakit serupa ( + ) sejak 2007 kontrol rutin setiap bulan, dengan obat
kontrol terakhir metilprednisolon tab 8 mg, retaphyl SR, combivent, pulmicort,
symbicort inhaler, codein, dan N-Asetil Cystein.
 Riwayat gastritis (–)
 Riwayat penyakit ginjal (–)
 Riwayat penyakit jantung ( + ) Ischemic Heart Disease tahun 2008, tanpa obat rutin.
 Riwayat Diabetes Mellitus ( ‒ )
 Riwayat hipertensi (–)
 Riwayat mondok ( + ) 3x ( asma tahun 2015 & 2017, operasi appendisitis)
 Riwayat operasi ( + ) operasi appendistis tahun 2009
4. RPK
 Riwayat penyakit serupa ( + ) riwayat asma, adik dari bapak.
 Riwayat Diabetes Mellitus ( – )
 Riwayat hipertensi ( + ) ayah, komplikasi stroke sampai meninggal.
 Riwayat penyakit jantung (–)
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pegawai administrasi di PAUD, tinggal bersama dua
anaknya dan suami, suami pasien perokok aktif dan sering merokok didalam rumah, pasien
sulit menghindari pencetus akhir-akhir ini karena sering kehujanan ketika pulang bekerja,
riwayat merokok (-), minum alkohol (-), makan makanan sesuka hati pasien dengan buah-
buahan minimal seminggu dua kali, pasien jarang berolahraga, sanitasi lingkungan di sekitar
rumah baik.
6. Anamnesis Sistem
Serebrospinal : Tidak ada keluhan
Respirasi : Sesak, batuk
2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741
Jantung : Tidak ada keluhan
Gastrointestinal : Mual, nyeri ulu hati
Kulit : Tidak ada keluhan
Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
Urogenital : Tidak ada keluhan
B. PEMERIKSAAN FISIK (1 Maret 2019 pukul 06.00)
1. Keadaan Umum
 Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6, tampak sesak minimal
 Vital Signs
o Tekanan Darah : 120/80 mmHg
o Suhu Tubuh : 36.5 °C
o Frekuensi Nafas : 20 x/menit
o Frekuensi Nadi : 88 x/menit
 Status Gizi : Normal
 Berat Badan : 55 kg
 Tinggi Badan : 156 cm

 Index Massa Tubuh(IMT): (Normal)

 Berat Badan Ideal (BBI) : 90% x (TB – 100) x 1 kg =


= 90% x (156 – 100) x 1 = 90% x56 x 1 = 50 kg ±10 kg.
2. Pemeriksaan Umum
a. Kulit : sianosis (-), pucat (-), ikterik (-), rash (-), hematom (-)
b. Kelenjar limfe regional : kelenjar limfe tidak teraba membesar
c. Otot : eutrofi (+), tonus baik (+), tanda radang (-), kekuatan 5 5
d. Tulang : tanda radang (-), deformitas (-) 5 5

e. Sendi : tanda radang (-), gerakan bebas (+)


3. Pemeriksaan Khusus
a. Kepala
• Mata
Edem palpebra (-/-), conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokhor (+/+)
• Telinga
Discharge (-/-), nyeri telinga (-/-), serumen (-/-), gangguan pendengaran (-/-)
• Hidung
Rinorhea (-), epistaksis (-), napas cuping hidung (-)
3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741
• Mulut
Mukosa kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), lidah kotor (-), faring tonsil
hiperemis (-)
b. Leher
Simetris (+), pembesaran limfonodi (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran massa (-)
c. Thorax
 Inspeksi
o Bentuk dada simetris (+)
o Ketinggalan gerak (–)
o Retraksi (–)
o Tanda radang, tampak massa (–)
 Palpasi
o Massa (–)
o Nyeri tekan (–)
o Daya kembang paru Simetris
o Fokal fremitus Seimbang hemithorax dextra dan sinistra
o Ictus cordis teraba (–)
 Perkusi
o Sonor pada semua lapang paru, redup pada batas paru hepar dan jantung.
o Batas Jantung
Kanan atas : SIC II Linea Parasternalis Dextra
Kiri atas : SIC II Linea Parasternalis Sinistra
Kanan bawah : SIC IV Linea Parasternalis Dextra
Kiri bawah : SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra
Kesan cardiomegali : ( – )
 Auskultasi Paru
o Vesikuler (+ / +)
o Wheezing (+ / +) minimal
o Ronkhi (- / -)
 Auskultasi Jantung
o S1-S2 reguler (+)
o Bising jantung (–)
 Kesan efusi pleura (‒)

4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741
d. Abdomen
 Inspeksi
o Datar, simetris (+)
o Massa (–)
 Auskultasi : Bising usus ( + ) 10x/menit: normal
 Perkusi
o Lapang perut : Timpani
o Hepar : Pekak, batas herpar normal
 Palpasi
o Nyeri tekan epigastrik (+)
o Murphy sign (‒)
o Defans muscular (‒)
o Hepar dan lien tidak teraba
e. Ekstremitas
 Akral hangat (+)
 Nadi kuat regular
 Edema (‒)
 Varises (‒)
 Capillary refill time < 2”
 Petechie, ekimosis, purpura (‒)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah lengkap (28 Februari 2019 pukul 14.47)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 11.6 H 4.40 – 11.3 103 / uL
Eritrosit 5.00 4.10 – 5.10 106 / uL
Hemoglobin 15.5 H 12.3 – 15.3 g/dL
Hematokrit 45.7 35.0 – 47.0 %
MCV 91.3 74 – 106 fL
MCH 31.0 28 – 33 pg
MCHC 34.0 33 – 36 g/dL
RDW-CV 11.8 11 – 16 %
Trombosit 243 150 – 450 103 / uL
Differential Telling
Neutrofil % 96.2 H 50 - 70 %
Limfosit % 2.5 L 25 - 60 %
5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741
Monosit % 1.1 L 2-4 %
Eosinofil % 0.2 L 2.0 – 4.0 %
Basofil % 0.0 0-1 %
Neutrofil # 11.17 H 2-7 103/uL
Limfosit # 0.28 L 0.8 – 4.0 103/uL
Monosit # 0.13 0.12 – 1.20 103/uL
Eosinofil # 0.02 0.02 – 0.50 103/uL
Basofil # 0.01 0 -1 103/uL
Kimia
GDS 257 H 70 - 140 mg/dL
Hati
SGOT 76 H <31 U/I
SGPT 73 H <32 U/I
Ginjal
Ureum 16 10 - 50 mg/dL
Creatinin 1.2 H <0,9 mg/dL

2. Kimia darah (2 Maret 2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Kimia
Gula Darah
Glukosa Darah Puasa 89 70 – 116 mg/dl
Glukosa 2 jam PP 103 85 – 140 mg/dl

3. Rontgen Thorax (28 Februari 2019)  dibawa pasien


Kesan : Pulmo dan Besar Cor Normal
4. EKG (28 Februari 2019)

Frekuensi : 110x/menit, ritme : reguler, irama : sinus ritme, normo aksis, T inversi V1-V4
Kesan : sinus takikardi dengan iskemia anteroseoptal
6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

D. ASSESSMENT
No Problem Sementara Problem Permanen
• Keluhan utama: Sesak napas
• Anamnesis: Riwayat sesak napas berulang
dengan pencetus dingin, debu, lelah
beraktivitas, dan emosi, gejala memberat pada
malam hari, saat ini pasien batuk berdahak
berwarna kuning, terkadang sesak membaik
Asma Bronkhiale persisten berat
dengan bronkhodilator dan kortikosteroid,
1. serangan sedang tidak terkontrol
ketika sesak masih dapat berbicara perkalimat
dengan ISPA
pendek, lebih memilih posisi duduk, sesak
kambuh >1x dalam seminggu. Riwayat asma
(+)
• Pmx. Fisik: thorax wheezing (+/+)
• Lab DR : AL 11.6 (H), Neutrofil % 96.2 (H),
Neutrofil # 11.17 (H)
• Anamnesis : mual (+), ulu hati terasa perih,
riwayat penggunaan bronkodilator dan
2. GERD
antikolinergik jangka panjang (+)
• Px fisik : nyeri tekan epigastrik (+)
• Riwayat konsumsi rutin kortikosteroid
3. (methylprednisolone), riwayat DM (-) Stress Hiperglikemia
• Lab Kimia darah : GDS 257

E. INITIAL PLANNING & EVALUASI


1. Problem: Asma Bronkhiale
Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan inflamasi pada
saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi
interaksi komplek dari sel, mediator-mediator, sitokin, dan kemokin. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
11
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor) dan
faktor lingkungan.

IP Diagnosis:
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup
untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pengukuran faal paru
terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

12
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

 Anamnesis
Riwayat penyakit / gejala :
- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
- Riwayat keluarga (atopi)
- Riwayat alergi / atopi
- Penyakit lain yang memberatkan
- Perkembangan penyakit dan pengobatan
 Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal. Kelainan
pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian
penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas,
edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.
 Pemeriksaan Penunjang
- Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya,
demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan
pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita,
dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
o obstruksi jalan napas
o reversibiliti kelainan faal paru
o variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
13
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah
pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis
asma
 Menilai derajat berat asma
Arus Puncak Ekspirasi
Manfaat APE dalam diagnosis asma :
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/
oral , 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2
minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis
- Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala
asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi
bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai
gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
- Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma,
tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol
lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status
alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat
untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga
14
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu
dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara
lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran
udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan
penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat
penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah berlangsung
seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru,
oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel dibawah ini menunjukkan bagaimana melakukan
penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang
dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.

15
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

IP Terapi:
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti hidup
agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis ß2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal

16
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

6. Efek samping obat minimal (tidak ada)


7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Belum terkontrol
(semua yang dibawah ini) (ada keadaan dibawah ini)
Gejala harian Tidak ada (≤ 2x/mgg) >2x/mgg Tiga atau lebih
dari keadaan-
keadaan pada
asma terkontrol
sebagian
Pembatasan aktivitas Tidak ada Ada
Gejala malam/terbangun Tidak ada Ada
saat malam hari
Penggunaan obat Tidak ada (≤ 2x/mgg) >2x/mgg
penghilang sesak
Fungsi paru (APE atau Normal <80% prediksi atau nilai
VEP1) terbaik pribadi (jika
diketahui)
Klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol asma

Pendekatan tatalaksana asma berdasarkan tingkat kontrol

17
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Tahap – tahap tatalaksana untuk mencapai kontrol :


1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan
Menggunakan agonis – ß2 inhalasi kerja cepat. Alternatifnya adalah antikolinergik inhalasi,
agonis – ß2 oral kerja singkat dan teofilin kerja singkat.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kortikosteroid inhalasi dosis
rendah (budesonid 200 – 400 µg atau ekivalensinya). Alternatif obat pengendali adalah
leukotriene modifier teofilin lepas lambat, kromolin.
3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis rendah dengan agonis – ß2 inhalasi kerja panjang (LABA). Alternatif obat
pengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang (budesonid 400 – 800 µg atau
ekivalensinya), atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan leukotriene modifier
atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan teofilin lepas lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kortikosteroid inhalasi dosis
sedang/tinggi (budesonid 800 – 1600 µg atau ekivalensinya) dengan LABA. Alternatif obat
pengendali adalah kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi dengan leukotriene
modifier atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi dengan teofilin lepas lambat.
5. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali tahap 4 ditambah
kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah ditambah terapi anti-IgE.

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

18
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

a. Edukasi
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah
dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7
langkah mengatasi asma”, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka
panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
b. Monitor berat asma berkala
Pemeriksaan faal paru yang umumnya
dapat dilakukan pada penderita usia di atas
5 tahun adalah untuk diagnosis, menilai
berat asma, dan selain itu penting untuk
memonitor keadaan asma dan menilai respons pengobatan. Penilaian yang buruk mengenai berat
asma adalah salah satu penyebab keterlambatan pengobatan yang berakibat meningkatnya morbiditi
dan mortaliti. Pemeriksaan faal paru pada asma dapat dianalogkan dengan pemeriksaan tekanan
darah pada hipertensi , atau pemeriksaan kadar gula darah pada diabetes melitus. Dengan kata lain
pemeriksaan faal paru adalah parameter objektif dan pemeriksaan berkala secara teratur mutlak
dilakukan.
Spirometri
Sebaiknya spirometri dilakukan pada :
1. awal penilaian / kunjungan pertama
2. setelah pengobatan awal diberikan, bila gejala dan APE telah stabil
3. pemeriksaan berkala 1 - 2 tahun untuk menilai perubahan fungsi jalan napas, atau lebih sering
bergantung berat penyakit dan respons pengobatan.
Manfaat lain pemeriksaan spirometri berkala :
1. Bila dilakukan berkala, setahun sekali, untuk menilai akurasi peak flow meter

19
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

2. Bila diinginkan ketepatan pengukuran faal paru, misalnya evaluasi respons bronkodilator pada
uji provokasi bronkus, menilai respons tindakan step down therapy pada pengobatan (lihat
tahapan penanganan asma)
3. Bila hasil pemeriksaan APE dengan peak flow meter tidak dapat dipercaya, misalnya pada
penderita anak, orangtua, terdapat masalah neuromuskular atau ortopedik, sehingga dibutuhkan
konfirmasi dengan pemeriksaan spirometri.
Pemantauan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter
Monitoring APE penting untuk menilai berat asma, derajat variasi diurnal, respons pengobatan
saat serangan akut, deteksi perburukan asimptomatik sebelum menjadi serius, respons pengobatan
jangka panjang, justifikasi objektif dalam memberikan pengobatan dan identifikasi pencetus
misalnya pajanan lingkungan kerja.
Pengukuran APE dianjurkan pada:
1. Penanganan serangan akut di darurat gawat, klinik, praktek dokter, dan oleh penderita di rumah
2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik, praktek dokter
3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5
tahun, terutama bagi penderita setelah perawatan di rumah sakit, penderita yang sulit/ tidak
mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang
mengancam jiwa.
c. Identifikasi dan Mengendalikan Faktor Pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi sebagian lagi tidak
dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga identifikasi faktor pencetus layak dilakukan
dengan berbagai pertanyaan mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan.

20
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

d. Tahapan penanganan asma jangka panjang


Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma seperti telah dijelaskan sebelumnya
(lihat klasifikasi), agar tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal
mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi
maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk glukokortikosteroid oral dan atau
glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk segera
mengontrol asma (bukti D); setelah asma terkontrol dosis diturunkan bertahap sampai seminimal
mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut stepdown
therapy. Pendekatan lain adalah step-up therapy yaitu memulai terapi sesuai berat asma dan
meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy untuk penanganan
asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya menekan inflamasi jalan napas dan mencapai
keadaan asma terkontrol sesegera mungkin, dan menurunkan terapi sampai seminimal mungkin
dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat keadaan asma yang tetap tidak terkontrol dengan
terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah 1 bulan terapi), maka pertimbangkan untuk
evaluasi kembali diagnosis sambil tetap memberikan pengobata asma sesuai beratnya gejala.

Pengobatan sesuai berat asma


21
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Penanganan asma mandiri


e. Pengobatan pada serangan akut
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan. Langkah
berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan
berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang, observasi,
rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain). Langkah-langkah tersebut
mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa
memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma.

Klasifikasi berat serangan asma akut


22
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat terjadi serangan, apakah
cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada obat tambahan
atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan dokternya (lihat
bagan penatalaksanaan asma di rumah). Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter dan atau
fasiliti rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan dan memberikan penanganan yang
tepat (lihat bagan penatalaksanaan asma akut di rumah sakit).
Penatalaksanaan serangan asma di Rumah Sakit

23
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Plan:
• O2 nasal kanul 3 lpm
• Nebulizer (salbutamol 2.5 mg + ipratropium bromida 0.5 mg)/2ml : (budesonide
0.5mg/2ml) / 8 jam
• Injeksi ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
• Cetrizine 1x1
• Ambroxol 3x1
• Asetilsistein sodium 3x1
• Azithromycin 1x500 mg
• Chest therapy

2. Problem : GERD
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambung kedalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esophagus, laring, dan saluran napas; akibat kelemahan otot sfingter esofagus bagian
bawah. Refluks dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu refluks spontan pada saat relaksasi LES,
aliran balik sebelum kembalinya tonus LES setelah menelan, dan meningkatnya tekanan dalam
abdomen.

24
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Faktor resiko terjadinya refluks esofagus yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas, kehamilan,
skleroderma, rokok, obat-obatan seperti antikolinergik, beta blocker, bronkodilator, calcium
channel blockers, progestin, antidepresan trisiklik.
Terdapat dua kelompok pasien GERD yaitu pasien dengan esofagitis erosif yang ditandai
dengan mucosal break di esofagus pada pemeriksaan endoskopi dan pasien GERD yang pada
pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan mucosal break (non erosive reflux disease).

IP Diagnosis :
Diagosis GERD ditegakan berdasarkan :
 Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti :
- Keluhan paling sering : merasakan adanya makanan yang menyumbat di dada, nyeri
seperti rasa terbakar di dada yang meningkat dengan membungkukkan badan, tiduran,
makan, dan menghilang dengan pemberian antasida, non cardiac chest pain (NCCP).
- Keluhan yang jarang dikeluhkan : batuk atau asma, kesulitan menelan, hiccups, suara
serak atau perubahan suara, sakit tenggorokan, bronchitis.
- Pada anamnesis perlu ditanyakan penggunaan obat-obatan.
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada pemeriksaan laring ditemukan
inflamasi yang mengindikasikan GERD.
 Pemeriksaan Penunjang
Jika keluhan tidak berat, jarang dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dilakukan
jika keluhan berat atau timbul kembali setelah diterapi.
- Esophagogastroduodenoscopy (EGD) : melihat adanya kerusakan esofagus
- Barium meal : melihat stenosis esofagus, hiatus hernia.
- Continous esophageal pH monitoring : mengevaluasi pasien GERD yang tidak respon
dengan PPI, evaluasi pasien-pasien dengan gejala ekstra esophageal sebelum terapi PPI,
memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti refluks atau mengevaluasi NERD
berulang setelah operasi anti refluks.
- Manometri esofagus: mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan
penelitian.
- Stool acult blood test: untuk melihat adanya perdarahan dari iritasi esofagus, lambung,
dan atau usus.
25
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

- Pemeriksaan histopatologis: menentukan adanya metaplasia, displasia, atau keganasan.

IP Terapi :
Non Farmakologis
1. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (anti kolinergik, teofilin) dan
mengurangi makanan yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti kopi, coklat, keju, dan
minuman bersoda.
2. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali dirasakan pada malam hari.
3. Makan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur.
Farmakologis
1. Histamine type-2 receptor antagonists (H2Ras).
2. Protont pump inhibitors (PPIs): umumnya diberikan selama 8 minggu dengan dosis
ganda.
3. Untuk NERD, terapi inisial dengan dosis standar selama 8 minggu lalu diberikan pada saat
keluhan timbul dan dilanjutkan sampai keluhan hilang.
4. Antasida hanya untuk mengurangi gejala yang timbul
Tindakan invasif
1. Pembedahan anti refluks: Laparascopic Nissen Fundoplication.
2. Terapi endoskopi: radiofrequency ablation, endoscopic suturing, endoscopic
implantation, endoscopic gastroplasty.

Plan :
Injeksi Esomeprazole 1 vial 40 mg/24 jam IV

3. Problem : Stress Hiperglikemia

Secara tradisional hiperglikemia didefinisikan jika kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl. Sejak
tahun 2010, American Diabetes Association dalam Standards of Medical Care in Diabetes
mendefinisikan hiperglikemia pada pasien yang dirawat adalah jika kadar glukosa darah >140
mg/dl10.
Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia yang timbul pada saat seseorang menderita sakit
dimana pada individu tersebut terbukti tidak menderita diabetes sebelumnya. American Diabetes
Association (ADA) dalam review teknisnya membagi penderita dengan hiperglikemia menjadi tiga
kelompok:

26
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

1. Penderita yang memiliki riwayat diabetes: Penderita sudah terdiagnosis menderita diabetes
dan mendapat terapi dari dokter.

2. Penderita yang tidak diketahui menderita diabetes: Hiperglikemia yang terdeteksi pada saat
penderita dirawat dan dikonfirmasi sebagai diabetes setelah dilakukan pemeriksaan tertentu.
Atau dengan kata lain penderita yang baru terdiagnosis menderita diabetes.

3. Hospital - related hiperglikemia : Hiperglikemia yang timbul selama penderita dirawat di


rumah sakit dan kembali normal setelah pasien pulang. Inilah yang dikenal sebagai stress
hiperglikemia.
Kondisi hiperglikemia yang terjadi pada pasien yang diketahui tidak menderita diabetes, harus
dilengkapi dengan pemeriksaan HbA1c. Peningkatan kadar HbA1c >6,5 persen mengindikasikan
bahwa pasien sudah menderita diabetes sebelumya.

Penyebab multifaktor stress hiperglikemia

Steroid sering digunakan sebagai obat anti inflamasi baik pada keadaan akut maupun kronik.
Namun, penggunaan steroid memiliki efek samping, salah satunya adalah hiperglikemia. Steroid
menyebabkan hiperglikemia baik pada penderita DM dan dapat menyebabkan DM pada pasien
tanpa riwayat peningkatan kadar glukosa sebelumnya. Beberapa faktor risiko yang diketahui yaitu :
dosis dan jenis steroid yang digunakan, lamanya penggunaan, penggunaan glukokortikoid terus
menerus, usia lanjut, HbA1c, dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Pada penggunaan steroid di RS
ditemukan bukti bahwa separuh dari jumlah pasien yang mendapatkan steroid dosis tinggi akan
mengalami hiperglikemia, Glukokortikoid merupakan steroid yang paling sering digunakan dalam
mengobati inflamasi, dengan efek samping antara lain dapat menyebabkan diabetes.
27
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Kortikosteroid akan meningkatkan produksi glukosa endogen, meningkatkan gluconeogenesis


di hepar akibat peningkatan counterregulatory hormones seperti glucagon dan epinefrin. Selain itu
juga menghambat kerja metabolic insulin, menurunkan uptake glukosa perifer pada otot dan
jaringan adiposa. Kortikosteroid akan menghambat produksi dan sekresi insulin pada sel β dan
secara tidak langsung akan menginduksi kegagalan sel β karena bersifat lipotoksik. Glukortikoid
meningkatkan terjadinya lipolysis, proteolysis dan meningkatkan produksi glukosa di hepar, serta
menghambat produksi dan sekresi insulin di sel β sehingga terjadi resistensi insulin.

IP Diagnosis :
Diagnosis steroid hiperglikemia sama dengan kriteria yang dikeluarkan oleh American
Association of Diabetes GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl, HbA1c > 6,5% atau GD 2 jam PP >
200 mg/dl. Karena steroid-induced diabetes hanya terdeteksi pada keadaan postprandial, maka tidak
direkomendasikan pemeriksaan GDP untuk mendeteksi. Pada pasien nondiabetic, bila kadar gula
darah menetap < 140 mg/dl maka pemantauan dapat dihentikan. Sementara itu, pada pasien yang
memiliki gula darah > 140 mg/dl dan memerlukan insulin, dapat diberikan insulin basal/bolus.
IP Terapi:
Non Farmakologis (Edukasi Pasien)
Harus dipastikan bahwa semua pasien DM dan berisiko tinggi GIDM dimonitor gula darahnya
untuk mencegah terjadinya kegawatdaruratan hiperglikemia. Bila dosis glukokortikoid telah

28
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

ditappering, maka perlu dilakukan penyesuaian obat-obatan yang digunakan. Pemantauan pada
pasien tanpa riwayat DM sebelumnya adalah dengan pemeriksaan HbA1c setelah 12 minggu selesai
terapi dengan glukokortikoid untuk menilai status diabetesnya. Pasien dengan OHO perlu diperiksa
gula darah beberapa hari setelah dosis glukokortikoid diturunkan, karena perlu beberapa waktu
penyesuaian glikemik.
Farmakologis
Hingga saat ini masih belum ada consensus yang menetapkan penatalaksanaan hiperglikemia
sekunder akibat glukokortikoid yang optimal. Karena perbedaan dosis dan cara penggunaan steroid,
maka penatalaksanaan hiperglikemia disesuaikan pada masing-masing orang. Untuk memudahkan
perencanaan pemberian terapi, dapat dilihat pada bagan berikut.

29
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

 Obat Hipoglikemik Oral


Pada pasien yang diberikan steroid kerja-sedang dua kali sehari atau lebih dengan sediaan masa
kerja lama seperti deksametason, perlu diberikan golongan sulfonylurea kerja panjang, dengan
mengingat efek hipoglikemik dari obat ini. Metformin merupakan salah satu pilihan karena
kerjanya yang secara langsung memperbaiki sensitivitas insulin. Namun, metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal dan hipoksia. Golongan insulin sensitizer
lainnya dapat digunakan bila tidak dapat menggunakan metformin. Dosis penggunaan obat-obatan
ini tidak berbeda.
Tiazolidindion (TZD) digunakan sebagai terapi jangka panjang, dengan memperbaiki kerja
insulin pada jaringan adipose dan otot skeletal. Namun penggunaannya terbatas karena risiko
edema, gagal jantung, hepatotoksik, dan efek kardiovaskuler, dan efek osteopenik.
Selective DPP-4 dan glucagon-like-peptide 1 menunjukkan efektivitas kontrol glikemia
memperbaiki pelepasan insulin, menghambat sekresi glucagon, dan memperbaiki uptake perifer,
kemudian mempercepat pengosongan lambung, serta menurunkan selera makan dan asupan kalori.
Pada steroid hyperglycemia, DPP-4 menurunkan glycated haemoglobin hingga 24,6% dan kadar
gula 32,6%. Pemberian exenatide memperbaiki GIDM pada individu tanpa DM dengan
memperbaiki sekresi insulin dan menghambat sekresi glucagon. Namun, penggunaan golongan ini
masih harus dipelajari.

 Insulin
Insulin merupakan terapi pilihan bila GD menetap ≥ 200 mg/dl. Secara umum, hiperglikemia
yang berhubungan dengan resistensi insulin membutuhkan insulin dosis besar pada awal terapi,
kemudian dosis dapat diturunkan.

30
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BED SIDE TEACHING NO. RM:428741

Plan :
Monitoring gula darah GDS stik pagi, GDN, dan GD2JPP

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E. et al.
(2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
2. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2018
3. Alwi I., Salim S., Hidayat R., Kurniawan J., Thapary D. L. (Ed). (2015). Panduan Praktis Klinis
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
4. Dungan KM, Braithwaite SS, Preiser JC. Stress hyperglycaemia. Lancet 2009; 373:1798-807.
5. Clement S, Braithwaite SS, Magee MF,et al. Management of diabetes and hyperglycemia in
hospitals. Diabetes Care 2004; 27:553-91.
6. Egi M, Bellomo R, Stachowski E,et al. Blood glucose concentration and outcome of critical
illness: the impact of diabetes.Crit Care Med 2008;36:2249-55.

Yogyakarta, 26 Maret 2019

Dokter Pembimbing,

dr. Endang Widiastuti, Sp.PD, FINASIM

31

Anda mungkin juga menyukai