Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG PRIA 18 TAHUN DENGAN OTITIS MEDIA SUPURATIF


KRONIK DEKSTRA

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : dr. Zufikar Naftali, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med


Pembimbing : dr. Dian Yusnita
Dibacakan Oleh : Azka Hukmu Irsyada (22010117220117)
Dibacakan : 10 November 2018

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018

1
2
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus Seorang Pria 18 Tahun dengan Otitis Media Supuratif


Kronik Dekstra:

Penguji Kasus : dr. Zulfikar Naftali, Sp.THT-KL(K), MSi.Med


Pembimbing : dr. Dian Yusnita
Dibacakan Oleh : Azka Hukmu Irsyada 22010117220117
Dibacakan : 10 November 2018

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, 10 November 2018


Mengetahui

Penguji kasus Pembimbing

dr. Zufikar Naftali, Sp.THT-KL(K),MSi.Med dr. Dian Yusnita

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah radang kronik telinga tengah
yang disertai dengan perforasi membran timpani dan sekret liang telinga yang
berlangsung lebih dari 2 bulan, baik hilang timbul maupun terus menerus. OMSK
dapat timbul sebagai perjalanan penyakit otitis media akut (OMA). Beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya OMSK adalah terapi yang tidak adekuat,
virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah, maupun higienitas
yang buruk.
Angka kejadian OMSK masih tergolong tinggi pada mayoritas negara
berkembang di dunia, satu diantaranya di Indonesia. Prevalensi otitis media
supuratif kronis (OMSK) di dunia yaitu sekitar 65-330 juta orang. Survey yang
telah ada memperkirakan terdapat 31 juta kasus OMSK baru per tahun. Enam
puluh persen penderita OMSK mengalami penurunan fungsi pendengaran.
Kerusakan sistem pendengaran merupakan salah satu gejala sisa yang dari otitis
media supuratif kronis. OMSK dapat menjadi faktor utama yang berperan dalam
terjadinya kecacatan, penurunan kinerja, serta tidak optimalnya kemampuan
belajar anak.
OMSK dibagi menjadi 2 tipe yaitu benigna dan maligna berdasarkan jaringan
yang terlibat. OMSK tipe benigna yaitu apabila peradangan terbatas pada mukosa
saja, sedangkan apabila sudah melibatkan tulang maka dapat dikategorikan
sebagai tipe maligna. Otitis media supuratif kronik mempunyai potensi untuk
menjadi serius karena komplikasinya yang dapat mengancam kesehatan.
Komplikasi OMSK terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah dapat
dilewati oleh kuman sehingga dapat menyebar ke struktur sekitarnya. Komplikasi
diklasifikasikan sebagai intratempora dan ekstratemporal (intrakranial dan
ekstrakranial).
Penegakan diagnosis secara dini dan pengobatan secara tepat dan adekuat
merupakan kunci utama dalam penanganan otitis media supuratif kronik. Sebagai

4
dokter umum, OMSK memiliki level kompetensi 3A dimana lulusan dokter umum
diharapkan mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi awal
sebelum merujuk pada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
Dalam laporan kasus ini kami melaporkan seorang laki-laki usia 18 tahun dengan
otitis media supuratif kronis dekstra. Harapan kami adalah dapat mempelajari secara lebih
mendalam dan komprehensif terkait tanda dan gejala yang muncul, pemeriksaan fisik
pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, dan mengetahui komplikasi yang terjadi.
Upaya ini diharapkan dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas akibat OMSK
beserta komplikasinya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita yang masih
berada pada usia produktif.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu
menegakkan diagnosis dan melakukan rujukan yang tepat berdasarkan data yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan
pengelolaan pasien dengan otitis media supuratif kronis sekembalinya dari
rujukan.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
proses belajar menegakkan diagnosa dan melakukan rujukan, serta pengelolaan
pasien otitis media supuratif kronik sekembalinya dari rujukan.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. M
Umur : 18 tahun
TTL : Pati, 18-05-2000
Alamat : Mintomulyo, Juwana, Pati, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : Tamat SMK
Masuk RSDK : 22 November 2018
No. CM :
MASALAH AKTIF MASALAH PASIF
1. Otitis Media Supuratif Kronik Dekstra Tidak ada
(22/11/2018)

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Ingin menambal gendang telinga kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada Agustus 2015 (pasien kelas 1 SMK) pasien mengeluh nyeri telinga
kanan dan keluar cairan berwarna kuning serta tidak berbau dari telinga kanan
setelah pasien berenang, tidak disertai demam, kemudian pasien memeriksakan
diri ke klinik dan gendang telinga kanan pasien dinyatakan robek oleh dokter
klinik. Nyeri telinga dan keluar cairan telinga kambuh saat pasien selesai
berenang dan pada suhu dingin dan mereda dengan pemberian obat dari klinik.
Riwayat batuk pilek sesaat sebelum berenang disangkal.
Saat ini pasien ingin menambal gendang telinga yang robek untuk
keperluan mendaftar sebagai tentara. Pasien mengeluh keluar cairan terakhir ± 5
bulan yang lalu. Saat ini pasien tidak mengeluh nyeri telinga kanan dan tidak ada

6
cairan yang keluar dari telinga kanan, tidak ada pusing berputar, tidak ada keluhan
batuk pilek.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat saat usia taman kanak-kanak dikeluhkan orang tua mengalami
nyeri telinga kanan disertai demam dan keluar cairan berwarna kuning
kehijauan serta berbau dari telinga kanan. Tidak ada keluhan batuk pilek
sebelum nyeri telinga. Keluhan nyeri telinga hilang timbul.
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit seperti ini disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Pasien tinggal
dirumah dengan orang tua dan saudara kandung. Pasien saat ini berstatus sebagai
pelajar. Pembayaran kesehatan dengan JKN non PBI. Kesan sosial ekonomi
cukup.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada tanggal 22 November 2018 pukul 14.00 WIB di Klinik
THT RSUP dr. Kariadi Semarang.
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight (TB :165 cm, BB : 55 kg)
Tanda - tanda vital : TD : 120/80mmHg

7
Suhu : 36,8 C
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup
Mata : Conjunctiva palpebra pucat (-/-), ikterik (-/-)
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal

Status Lokalis (THT)


1. Telinga:
Gambar:

Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri


Hiperemis (-), nyeri tekan Hiperemis (-), nyeri tekan
Mastoid
(-), nyeri ketok (-) (-), nyeri ketok (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)
Normotia, Hiperemis (-), Normotia, Hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discaj (-) discaj (-)
Warna putih keabuan, Warna putih keabuan,
perforasi (+) 30% sentral, perforasi (-), reflek cahaya
Membran timpani
tepi perforasi tebal, reflek (+) arah anteroinferior,
cahaya (-), granulasi(-) granulasi(-)

8
2. Hidung dan Sinus Paranasal:
Gambar:

Pemeriksaan Luar
Inspeksi : deformitas (-), warna kulit sama dengan
sekitar, allergic shinner (-), nasal crease (-), allergic
Hidung
salute (-), jaringan sikatriks (-).
Palpasi : os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discaj (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konka Inferior Edema (-), hipertrofi (-) Edema (-), hipertrofi (-)
Tumor Massa (-) Massa (-)
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Lain-lain (-) (-)
Diafanoskopi tidak dilakukan

9
3. Tenggorok:
Gambar:

Orofaring Keterangan
Simetris, massa (-), hiperemis (-), fistula (-), benjolan di
Palatum
palatum (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
permukaan rata, kripte permukaan rata, kripte
Tonsil
melebar (-), detritus (-), melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Abses (-)
Refleks muntah + normal
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan

10
4. Kepala dan Leher:
Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-), simetris, nyeri tekan (-/-).

Leher anterior : Pembesaran nnll (-/-)


Leher lateral : Pembesaran nnll (-/-)
Lain-lain : (-)
5. Gigi dan Mulut
Gigi geligi : gigi goyang (-), gigi lubang (-), karies (-)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-).
Palatum : Simetris, massa (-), bombans (-), hiperemis (-),
fistula (-), benjolan di palatum (-)
Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)
Lain-lain : (-)
Pemeriksaan saraf kranialis :
NO Nervus Kranial Kanan Kiri
1. NI Tidak diperiksa
2. N II
Tajam penglihatan >3/60 >3/60
Lapangan pandang Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Melihat warna + +
3. N III, IV, VI
Strabismus - -
Ptosis - -
Diplopia - -
Lain-lain Gerakan bola mata Gerakan bola
baik mata baik
4. NV
Membuka mulut, mengunyah, + +
menggigit
Sensibilitas muka + +
5. N VII
Menutup mata, + +

11
memperlihatkan gigi, bersiul,
mengerutkan dahi
Perasaan 2/3 depan Tidak dilakukan
6. N VIII
Tes bisik Tidak dilakukan
Tes Rinne, Weber, Schwabach Weber lateralisasi kanan, Schwabach
kanan memanjang, Rinne kanan
AC<BC ; Rinne kiri AC>BC
7. N IX
Perasa lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan
Refleks muntah +
8. NX
Arcus faring Simetris
Bicara Normal
Menelan Normal
9. N XI
Mengangkat bahu, + +
memalingkan kepala
10. N XII
Pergerakan lidah Normal
Artikulasi Normal
Deviasi Normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Audiometri (25 November 2018)
Kesan:
Telinga kanan, kurang pendengaran tipe CHL derajat ringan (PTA 32,5
dB)
Telinga kiri dalam batas normal (PTA 17,5 dB)
2. Otoendoskopi kanan (RSDK, 28 November 2018)
Kesimpulan:
Membran timpani kanan perforasi 30% sentral
3. Pemeriksaan Laboratorium Darah (22 November 2018)

Nilai Keteranga
Pemeriksaan Hasil Satuan
Normal n
HEMATOLOGI

12
13,00-
Hemoglobin 14,4 g/dL
16,00
Hematokrit 43,5 % 40-54
Eritrosit 4,98 106/uL 4,4-5,9
27,00-
MCH 28,9 Pg
32,00
MCV 87,3 fL 76-96
29,00-
MCHC 33,1 g/dL
36,00
Leukosit 6,3 103/uL 3,8-10,6
3
Trombosit 291 10 /uL 150-400
11,60-
RDW 13,2 %
14,80
4,00-
MPV 9,2 fL
11,00
KIMIA KLINIK
Ureum 24 mg/dL 15-39

Kreatinin 1,0 mg/dL 0,60-1,30

Elektrolit
Natrium 141 mmol/L 136-145
Kalium 4,6 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 104 mmol/L 98-107
KOAGULASI
Plasma Prothrombin Time
(PPT)
10,6 Detik
Waktu Prothrombin 11,0-14,5
11,1 Detik
PPT Kontrol
Partial Thromboplastin Time
(PTTK)
39,2 Detik
Waktu Thromboplastin 24,0-36,0
31,4 Detik
APTT Kontrol

RINGKASAN
Seorang laki-laki usia 18 tahun datang ke klinik THT RSUP dr. Kariadi
dengan keluhan ingin menambal gendang telinga kanan yang robek. Keluhan
diawali usia TK dikeluhkan nyeri telinga kanan dengan demam dan keluar cairan
berwarna kuning tidak berbau disertai demam. Keluhan muncul hilang timbul,

13
lalu pada Agustus 2015 (pasien kelas 1 SMK) pasien mengeluh nyeri telinga
kanan dan keluar cairan berwarna kuning tidak berbau dari telinga kanan setelah
selesai berenang. Keluhan nyeri telinga dan keluar cairan telinga kambuh saat
selesai berenang dan mereda dengan pemberian obat dari klinik. Riwayat batuk
pilek sesaat sebelum berenang disangkal. Saat ini pasien ingin menambal gendang
telinga yang robek untuk keperluan mendaftar sebagai tentara. Pasien mengeluh
keluar cairan terakhir ± 5 bulan yang lalu. Saat ini pasien tidak mengeluh nyeri
telinga kanan dan tidak ada cairan yang keluar dari telinga kanan, tidak ada pusing
berputar, tidak ada keluhan batuk pilek.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan perforasi membran timpani 30%
sentral (+/-), tidak ditemukan discaj, pada pemeriksaan garputala didapatkan
conductive hearing loss kanan, pemeriksaan hidung dan tenggorok dalam batas
normal.

DIAGNOSIS
Otitis media supuratif kronik fase tenang.

RENCANA PENGELOLAAN
Pemeriksaan Diagnostik
CT scan mastoid tanpa kontras
Tatalaksana
Timpanoplasti
Pemantauan
Keadaan umum, derajat nyeri, keluhan pusing berputar.

Edukasi :
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita dan
pasien akan dirujuk ke spesialis THT untuk tatalaksana lebih lanjut.
 Menjelaskan kemungkinan tatalaksana pada pasien
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai rencana tindakan beserta
prosedur yang akan dilakukan

14
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga untuk menjaga agar air tidak masuk ke
telinga kanan pasien.
 Segera berobat jika mengeluh batuk pilek.

PROGNOSIS
 Quo ad vitam – dubia ad bonam
 Quo ad sanam – dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam – dubia ad bonam

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Telinga Tengah


Telinga bagian tengah berfungsi menghantarkan bunyi dari telinga luar ke
telinga dalam. Telinga tengah disebut juga dengan cavum timpani, terletak di
rongga yang berada di bagian dalam tulang temporal kepala. Bagian depan ruang
telinga tengah dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi
oleh foramen ovale dan foramen rotundum. Telinga tengah terdiri atas tiga bagian:
kavum timpani yang dikelilingi membran timpani, cavum timpani, dan tuba
eustachii.
a. Membran timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki
panjang vertikal rata-rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9
mm dengan ketebalannya rata-rata 0,1 mm.

Gambar 1. Bagian-bagian Membran Timpani


Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu: Pars tensa
dan pars flaksida. Pars tensa merupakan bagian terbesar dari membran timpani
dengan permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal
dan melekat di anulus timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang temporal.
Pars flaksida terletak dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars

16
flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plikamaleolaris anterior (lipatan muka) dan
plikamaleolaris posterior (lipatan belakang).
b. Kavum timpani
Kavum timpani merupakan rongga yang dibatasi oleh membran timpani di
bagian lateral dan promontorium di bagian medial oleh promontorium. Pada
bagian superior kavum timpani dibatasi oleh tegmen timpani dan inferior oleh
bulbus jugularis dan N. Fasialis. Dinding posterior dekat ke atap, terdapat satu
saluran yang disebut aditus, berfungsi sebagai penghubung kavum timpani
dengan antrum mastoid melalui epitimpanum.
Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke
nasofaring melalui tuba Eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan
inferior membran timpani, kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
epitimpanum, mesotimpanum, dan hipotimpanum. Epitimpanum merupakan
bagian kavum timpani yang lebih tinggi dari batas superior membran timpani.
Sedangkan mesotimpanum merupakan ruangan di antara batas atas dengan batas
bawah membran timpani. Hipotimpanum yaitu bagian kavum timpani yang
terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Di dalam kavum
timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel) yaitu maleus, inkus dan
stapes.

Gambar 2. Bagian-bagian Cavum Timpani

17
c. Tuba eusthachius
Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani,
bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari 2 bagian
yaitu: bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian)
dan bagian tulang rawan yang terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian). Fungsi tuba Eusthachius untuk ventilasi telinga yang mempertahankan
keseimbangan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan tekanan udara luar,
drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani.

3.2 Fisiologi Pendengaran


Sinyal suara dari lingkungan dikumpulkan oleh daun telinga melalui
meatus acusticus ekternus dan menggetarkan membran timpani. Getaran membran
timpani disalurkan menuju stapes melalui rangkaian tulang-tulang pendengaran
yang menempel pada membran timpani. Pergerakan dari stapes akan
menyebabkan penurunan tekanan dalam cairan labirin yang bergerak menuju
membran basiler. Hal ini menstimulasi sel-sel rambut pada organ cortii. Sel-sel
rambut ini berfungsi sebagai tranduser yang merubah energi mekanik menjadi
energi listrik berupa impuls yang berjalan sepanjang saraf auditori.
Secara umum, mekanisme mendengarkan dapat dibagi sebagai berikut.
1. Konduksi suara
- Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran
telinga luar kemudian membrana timpani bergetar sewaktu terkena
getaran suara.
- Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah
berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka
tersebut menekuk keluar masuk seirama dengan frekuensi gelombang
suara.
- Ketika membrana timpani bergetar sebagai respons terhadap
gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan

18
frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari
membrana timpani ke jendela oval.
2. Perubahan energi
- Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membrana timpani ke
cairan di telinga dalam.
- Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran yang dihasilkan
menimbulkan gerakan seperti gelombang pada cairan telinga dalam
dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi gelombang suara semula.
- Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan
cairan. Tekanan tambahan ini cukup untuk menyebabkan pergerakan
cairan koklea.
3. Konduksi impuls listrik menuju otak
- Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela
oval mengikuti dua jalur: (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe
pada membrana vestibularis ke depan kemudian mengelilingi
helikotrema menuju membrana basilaris yang akan menyebabkan
jendela bundar menonjol ke luar dan ke dalam rongga telinga tengah
untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dan (2) “jalan pintas” dari
skala vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani.
- Perbedaan kedua jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui
melalui membrana basilaris menyebabkan membran ini bergetar secara
sinkron dengan gelombang tekanan.
- Organ corti menumpang pada membrana basilaris, sehingga sel-sel
rambut juga bergerak naik turun sewaktu membrana basilaris bergetar.
- Rambut-rambut tersebut akan membengkok ke depan dan ke belakang
sewaktu membrana basilaris menggeser posisinya pada membran
tektorial sehingga menyebabkan saluran-saluran ion gerbang-mekanis
terbuka dan tertutup secara bergantian.
- Hal ini mengakibatkan perubahan potensial berjenjang di reseptor,
sehingga terjadi perubahan pembentukan potensial aksi yang merambat
ke otak.

19
- Gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang
dipersepsikan otak sebagai sensasi suara.

Gambar 4. Letak dan Struktur Organ Cortii

3.3 Definisi Otitis Media Supuratif Kronik


Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) didefinisikan sebagai
peradangan kronik pada telinga tengah dengan adanya perforasi membran
timpani yang menetap dan keluarnya cairan/discharge telinga (otorrhoea)
yang hilang timbul maupun terus menerus. Definisi yang dikeluarkan oleh
WHO menggolongkan otore yang terjadi selama 2 minggu sebagai OMSK
sedangkan PERHATI-KL lebih cenderung menggunakan standar waktu yang
lebih lama yaitu 8 minggu. OMSK umumnya diawali oleh otitis media akut
yang banyak terjadi pada usia anak kurang dari 6 tahun. Diperkirakan OMSK
memiliki angka kejadian sebanyak 65–330 juta di seluruh dunia, dimana 60%
di antaranya mengalami gangguan pendengaran. Angka kejadian OMSK lebih
tinggi di negara-negara berkembang dimana hal ini berkaitan dengan faktor
nutrisi yang buruk, serta tingkat sosial ekonomi maupun pendidikan yang
rendah. Prevalensi OMSK di Indonesia berkisar 5,4%.

20
3.4 Etiologi dan Faktor Risiko OMSK
OMSK biasanya merupakan komplikasi dari otitis media akut.
Adanya riwayat OMA sebelumnya menjadi faktor risiko terkuat untuk
terjadinya OMSK di kemudian hari. Kejadian OMA dapat disertai dengan
perforasi membran timpani. Perforasi membran timpani yang terjadi akibat
OMA umumnya dapat menutup secara spontan kecuali bila telinga dalam
kondisi basah/lembab. Adanya infeksi saluran napas atas berulang dan
kondisi sosial ekonomi yang rendah (perumahan padat penduduk, sanitasi
buruk, nutrisi buruk, dll) juga merupakan kondisi potensial yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya OMSK terutama pada negara berkembang. Di
samping itu, kondisi lain seperti adanya paparan rokok, alergi, dan snoring
juga diketahui meningkatkan risiko kejadian OMSK.
OMSK dapat disebabkan oleh bakteri aerob seperti Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella species, ataupun bakteri anaerob
(Bacteroides, Peptostreptococcus, Proprionibacterium). Di antara bakteri
tersebut, P. aeruginosa merupakan bakteri utama yang diperkirakan menjadi
penyebab terjadinya destruksi progresif pada struktur telinga tengah dan
mastoid melalui toksin dan enzim yang dihasilkannya.

3.5 Patogenesis OMSK


Patogenesis terjadinya OMSK tidak hanya didasari oleh satu
mekanisme saja melainkan merupakan suatu kondisi multifaktorial yang
melibatkan beberapa faktor di antaranya :
1. Inflamasi kronik oleh karena adanya disfungsi tuba eustachius
2. Faktor genetik yang mempengaruhi proses penyembuhan dan resistensi
mukosa terhadap infeksi
3. Karakteristik khusus anatomi telinga tengah seperti pneumatisasi dan
ukuran
4. Karakteristik, patogenitas, virulensi dan resistensi dari patogen penyebab
infeksi

21
Kejadian OMSK erat hubungannya dengan gangguan ventilasi telinga
tengah yang disebabkan oleh adanya disfungsi tuba eustachius. Disfungsi
tuba eustachius terjadi akibat obstruksi tuba eustachius baik secara mekanik,
fungsional ataupun keduanya. Obstruksi mekanik dapat disebabkan oleh
faktor instrinsik seperti infeksi, inflamasi atau alergi dan faktor ekstrinsik
seperti tumor di nasofaring atau adenoid. Obstruksi fungsional dapat
disebabkan oleh kolapsnya tuba oleh karena barotrauma, meningkatnya
compliance tulang rawan yang menghambat terbukanya tuba atau gagalnya
mekanisme aktif pembukaan tuba eustachius akibat buruknya fungsi m.
tensor veli palatina.
Mekanisme lain yang mendasari terjadinya OMSK ialah adanya
inflamasi baik yang berupa infeksi maupun non infeksi. Infeksi dapat terjadi
oleh bakteri yang bermigrasi dari meatus acusticus externus menuju telinga
tengah melalui perforasi membran timpani yang dapat dipicu kejadian OMA
sebelumnya maupun infeksi yang berasal fokus infeksi di luar telinga seperti
infeksi asenderen melalui tuba eustachius dari infeksi saluran napas atas,
tonsil, adenoid maupun sinus.
Infeksi saluran napas atas dapat memicu terjadinya otitis media
melalui menisme disfungsi tubaeustachius dan inflamasi. Peradangan pada
saluran napas atas dapat menjalar hingga menyebabkan edema mukosa tuba
esutachius yang berujung pada disfungsi tuba. Selain itu, reaksi inflamasi
mungkin tercetuskan oleh proses infeksi dari bakteri patogen infeksi saluran
napas atas yang secara asenderen berpindah menuju telinga tengah melalui
tuba eustachius. Adanya kontak dengan agen patogen maupun alergen pada
infan atau anak kecil dapat mencetuskan terjadinya adenoiditis melalui
perubahan imunologik-inflamatorik. Patogenesis timbulnya otitis media
akibat adenoiditis terletak pada potensi terjadinya hiperplasi adenoid dan
terbentuknya reservoir patogen mikroorganisme pada adenoiditis kronik.
Inflamasi non infeksi pada telinga tengah dapat disebabkan oleh
adanya alergi ataupun refluks gaster. Perforasi mukosa telinga tengah lebih
mudah mengalami sensitisasi oleh debu, serbuk sari ataupun alergen udara

22
lainnya. Penelitian oleh Downs et al menyatakan bahwa pajanan histamin
intratimpanik mengakibatkan disfungsi tuba. Rinitis alergi sebagai salah satu
bentuk alergi juga berpotensi menimbulkan OMSK melaui suatu reaksi
inflamasi yang mempengaruhi tidak hanya mukosa hidung, tapi hingga ke
telinga tengah yang berujung pada disfungsi tuba.

Gambar 5. Patofisiologi otitis media kronik


Pada OMSK tipe maligna dapat ditemukan koleasteatom yang
merupakan penumpukan epitel skuamus berkeratin. Terbentuknya
kolesteatom pada OMSK dapat terjadi secara kongenital, primer maupun
sekunder. Pada kolesteatom primer, tidak didapatkan adanya riwayat otitis
media ataupun perforasi. Kolesteatom berasal dari timbunan keratin debris
pada kantung yang terbentuk oleh karena invaginasi pars flaksid maupun
hiperplasia sel basal akibat infeksi subklinik berulang. Sedangkan
kolesteatom sekunder dijumpai pada pasien dengan riwayat otitis
media/perforasi sebelumnya. Terbentuknya kolesteatom tersebut diperkirakan
berasal dari migrasi epitel skuamus berkeratin dari telinga luar melalui

23
membran timpani yang perforasi menuju ke telinga tengah atapun dapat pula
berasal dari metaplasia epitel telinga tengah akibat infeksi berulang.
Kolesteatoma yang terbentuk dapat menyebabkan destruksi tulang dan
jaringan sekitarnya dengan menghasilkan enzim kolagenase, asam fosfatase,
proteolitik dan menginduksi osteoklas serta sel-sel inflamasi mononuklear.
OMSK dapat menyebabkan conductive hearing loss (CHL) serta gangguan
sensory neural hearing loss (SNHL). OMSK ditandai dengan adanya
perforasi membran timpani, yang dapat menghambat konduksi suara ke
telinga bagian dalam. Tingkat terganggu fungsi pendengaran juga telah
dibuktikan berbanding lurus dengan kerusakan yang disebabkan pada struktur
telinga tengah. Dalam beberapa kasus OMSK, bisa ada gangguan
pendengaran permanen yang dapat dikaitkan dengan perubahan jaringan
ireversibel dalam pendengaran.2 Infeksi kronis telinga tengah menyebabkan
edema pada lapisan telinga tengah, perforasi membran timpani dan gangguan
tulang pendengaran, sehingga terjadi CHL. Selain itu, mediator inflamasi
yang dihasilkan selama OMSK dapat menembus ke telinga bagian dalam
melalui jendela bulat. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya sel-sel rambut di
koklea, yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural (SNHL).

3.6 Klasifikasi OMSK


Otitis media kronik secara umum dibedakan jenisnya berdasarkan
keberadaaan sekret menjadi tipe in aktif/tenang/kering dan tipe aktif/basah.
Pada tipe inaktif tidak dijumpai adanya sekret maupun tanda peradangan aktif
lain seperti nyeri, maupun mukosa edema. Sedangkan pada tipe aktif
didapatkan adanya sekret yang biasanya menandai peradangan aktif akibat
infeksi bakteri dari membran timpani yang tidak intak.2
Di samping itu, otitis media supuratif kronik juga dapat terbagi
menjadi 2 tipe berdasarkan lokasi dan ada tidaknya kolesteatom, sebagai
berikut:

24
 Tipe tubotimpanik
Sering disebut pula sebagai tipe aman/benigna. Tipe ini melibatkan area
anteroinferior telinga tengah dengan lokasi perforasi di sentral ataupun
sub total. Pada tipe ini jarang dijumpai adanya komplikasi serius
termasuk tidak didapatkannya kolesteatom.

 Tipe atikoantral
Biasa disebut tipe bahaya/maligna. Tipe ini melibatkan bagian
posterosuperior telinga tengah (area atik, antrum dan mastoid) dengan
lokasi perforasi berada di atik atau marginal. Risiko terjadinya
komplikasi lebih tinggi pada tipe ini di antaranya dapat terjadi invasi ke
tulang. Pada OMSK tipe ini dapat dijumpai adanya kolesteatom,
granulasi, ataupun osteitis.

Tabel 7. Perbedaan OMSK tipe tubotimpanik dan atikoantral


Tipe Tubotimpanik Tipe Atikoantral
Sekret Profus, mukoid, tidak berbau Purulen, berbau
Perforasi Sentral Atik / marginal
Granulasi Jarang Sering
Kolesteatom - +
Polip Pucat Merah
Komplikasi Jarang Sering
Audiometri CHL ringan-sedang CHL / MHL

3.7 Penegakan Diagnosis OMSK


Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada pasien dengan otitis media
supuratif kronik meliputi:
 Nyeri telinga (otalgia)
 Tinitus
 Gangguan pendengaran
 Gangguan keseimbangan
 Perforasi membran timpani

25
Gambar 6. Tipe perforasi membran timpani pada OMSK

 Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Aman


Pada anamnesis didapatkan:
1. Keluhan keluar cairan telinga hilang timbul atau terus menerus lebih
dari 2 bulan, sekret yang keluar biasanya tidak berbau
2. Dapat disertai dengan :
• Gangguan pendengaran
• Gangguan keseimbangan
• Nyeri telinga
• Tinitus
3. Riwayat otitis media akut, alergi ataupun infeksi saluran atas
sebelumnya
Pada pemeriksaan fisik dan otoskopi ditemukan :
1. Perforasi membran timpani berupa perforasi sentral, atau subtotal
tanpa ada kolesteatom
2. Mukosa telinga tengah dapat terlihat meradang dengan tampilan
hiperemis, edema, dapat disertai dengan atau tanpa polip
3. Dapat disertai atau tanpa sekret
Bila terdapat sekret dapat berupa :
- Warna : jernih, mukopurulen atau bercampur darah

26
- Jumlah : sedikit (tidak mengalir keluar liang telinga) atau banyak
(mengalir atau menempel pada bantal saat tidur)
- Bau : tidak berbau atau berbau (karena adanya kuman
anaerob)
Kriteria Diagnosis
Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul lebih
dari 2 bulan dengan atau tanpa gejala lain, adanya perforasi membran
timpani dan tidak ditemukan kolesteatoma pada pemeriksaan fisik atau
tidak ada kecurigaan adanya kolesteatoma pada pemeriksaan patologi
anatomi atau pemeriksaan radiologi
 Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya
Pada anamnesis didapatkan:
1. Keluhan sering keluar cairan dari telinga atau terus menerus dan
berbau, dapat disertai darah lebih dari 2 bulan
2. Gangguan pendengaran
3. Tinitus
4. Nyeri telinga
5. Riwayat infeksi saluran napas atas, alergi ataupun otitis media
sebelumnya
6. Gejala komplikasi :
- Intra temporal : vertigo, muka perot, ketulian total
- Ekstra temporal : bisul di belakang daun telinga, mual, muntah, nyeri
kepala hebat, penurunan kesadaran, demam tinggi
Pada pemeriksaan fisik dan otoskopi ditemukan:
1. Terdapat kolesteatoma
2. Perforasi membrane timpani atik, marginal atau total
3. Liang telinga bias lapang atau sempit bila terjadi shagging akibat
destruksi liang telinga posterior
4. Sekret mukopurulen/purulen yang berbau
5. Dapat disertai jaringan granulasi di telinga tengah

27
6. Bila terdapat komplikasi dapat ditemukan abses retroaurikular, fistel
retroaurikular, paresis fasialis perifer, atau ditemukan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial
Kriteria Diagnosis
Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul lebih
dari 2 bulan dengan atau tanpa gejala lain, adanya perforasi membran
timpani dan ditemukan kolesteatoma pada pemeriksaan fisik atau
kecurigaan adanya kolesteatoma pada pemeriksaan patologi anatomi atau
pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat diusulkan pada kasus OMSK di
antaranya:
1. Pemeriksaan otomikroskopik/otoendoskopi
2. Pemeriksaan fungsi pendengaran:
• Pemeriksaan penala
• Audiometri nada murni
Audiometri nada murni merupakan suatu alat elektroakustik yang
digunakan untuk mengukur adanya gangguan pendengaran, jenis
dan derajat gangguan pendengaran. Audiometri nada murni dapat
mengukur kemampuan pendengaran seseorang pada frekuensi 125
Hz, 250 Hz, 200 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, dan 8000 Hz.

28
Gambar 7. Audiogram

Tabel 8. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran


Derajat International Standard American Standard
Gangguan Organization (ISO) Organization (ASA)
Pendengaran
Normal 10-15 dB 10-15 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat Berat Lebih dari 90 dB Lebih dari 80 dB

• Audiometri tutur dapat dilakukan terutama untuk pemilihan sisi


telinga yang dioperasi pada kasus bilateral dengan perbedaan
ambang dengar kurang dari 10 dB
• Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) bila diperlukan
3. Pemeriksaan High Resolution Computer Tomography (HRCT)
mastoid potongan aksial koronal tanpa kontras ketebalan 0.6mm.

29
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menilai adanya penyebaran
infeksi ke mastoid.
Foto polos mastoid Schuller masih dapat dilakukan bila fasilitas CT
scan tidak tersedia.
4. Pemeriksaan bakteriologis berupa kultur dan resistensi sekret telinga,
yang diambil di :
• Poliklinik dengan bahan sekret liang telinga
• Saat operasi dengan bahan sekret rongga mastoid
5. Pemeriksaan fungsi tuba Eustachius
Fungsi tuba eustachius dapat secara tidak langsung diketahui melalui
pemeriksaan timpanometri.
6. Pemeriksaan fungsi keseimbangan
7. Pemeriksaan fungsi saraf fasialis
8. Pemeriksaan Paper patch test
9. Pemeriksaan histopatologi jaringan saat operasi
10. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk persiapan operasi

3.8 Penatalaksanaan OMSK


Terapi primer pada kasus OMSK berupa kombinasi ear toilet dengan
antibiotik topikal. Sedangkan terapi antibiotik sistemik atau parenteral jarang
diberikan menimbang efektifitasnya yang tidak lebih baik dibandingkan
kombinasi ear toilet dan antibiotik topikal. Pilihan terapi lain berupa operasi
dapat dipertimbangkan pada kondisi OMSK dengan komplikasi seperti
kolesteatoma ataupun mastoiditis. Prosedur timpanoplasti dapat dilakukan
bila inflamasi aktif telah teratasi. Penatalaksaan OMSK dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Ear toilet
Prosedur ini bertujuan untuk menjada telinga dalam kondisi bersih
dan kering dengan membersihkan sekret telinga menggunakan aplikator
kapas atau suction. Namun ear toilet tidak dapat menjadi satu-satunya

30
modalitas terapi melainkan harus disertai dengan terapi antibiotik topikal
untuk mencapai hasil yang efektif.
2. Topikal antibiotik
Golongan quinolon menjadi salah satu pilihan antibiotik yang
banyak digunakan pada kasus OMSK, dimana terbukti efektif melawan
bakteri Pseudomonas aeruginosa dengan efek kokleotoksin dan
vestibulotoksin yang minimal. Regimen yang dapat diberikan antara lain
ciprofloxacin ataupun ofloxacin. Di samping itu, kombinasi dengan
kortikostroid (dexamethason) dapat diberikan pada kasus-kasus OMSK
yang disertai dengan inflamasi mukosa atau adanya jaringan granulasi.
Alternatif lain yang dapat diberikan selain antibiotik topikal di antaranya
asam asetat, alumunium asetat (larutan Burrow), kombinasi keduanya
(larutan Domeboro) ataupun larutan antiseptik berbasis iodin.
3. Sistemik antibiotik
Bila terapi primer gagal memunculkan resolusi gejala otore setelah 3
minggu pemberian atau pada kasus OMSK dengan komplikasi
intrakranial, terapi antibiotik sistemik sebagai terapi lini kedua OMSK
dapat dipertimbangkan. Golongan quinolon juga merupakan drug of
choice pada terapi lini kedua ini. Pada pasien anak, dapat diberikan
amoxicillin-asam clavulanat ataupun eritromisin sulfafurazol untuk
menghindari efek negatif quinolon pada pertumbuhan anak. Antibiotik
intravena juga dapat menjadi pilihan terapi sebagai alternatif terapi
terakhir mengingat risiko efek samping sistemik yang ditimbulkan serta
potensi resistensi yang lebih tinggi. Penggunaan antibiotik yang sesuai
dengan kultur akan lebih meningkatkan akurasi pengobatan. Namun, bila
hal tersebut masih belum dapat dilakukan, pemilihan antibiotik dapat
mengikuti pola kuman yang umum didapatkan pada OMSK seperti
golongan quinolon (ciprofloxacin/ vancomycin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole), imipenem serta aztreonam yang efektif untuk bakteri
P. aeruginosa and meticillin-resistant S. aureus (MRSA).

31
4. Pembedahan
Terapi pembedahan timpanomastoidektomi diindikasikan pada
kasus OMSK dengan komplikasi seperti paresis nervus fasialis, hilang
pendengaran yang signifikan, abses subperiosteal, petrositis, trombosis
sinus venosus, meningitis, abses serebral, labirintitis dan juga pada OMSK
dengan kolesteatom. Prosedur mastoidektomi diindikasikan untuk
mengurangi beban penyakit pada kasus terbentuknya abses di mastoid.
Sebagian besar kasus perforasi akan menutup secara spontan setelah
infeksi mereda, tetapi bila perforasi menetap timpanoplasti dapat
dipertimbangkan sebagai upaya perbaikan fungsi pendengaran sekaligus
sebagai upaya pencegahan rekurensi infeksi pada telinga tengah.
Timpanoplasti dapat mulai dilakukan mulai dari 6-12 bulan paska resolusi
infeksi.
5. Manajemen paska pembedahan
Pemberian antibiotika anti pseudomonas golongan Sefalosporin
generasi IV (dikenal sebagai antipseudomonal), pilihannya: Cefepime atau
Ceftazidim. Antibiotik jenis ini juga merupakan pilihan untuk pasien anak
mengingat adanya kontra indikasi pemberian antibiotik golongan
Quinolon. Pada kasus infeksi Methicillin resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) : Sefalosporin generasi V, pilihannya : Fetaroline atau
Ceftobiprole. Penggunaan Gentamisin dapat dilakukan pada kondisi tidak
adanya obat lain yang tidak bersifat ototoksik ataupun gentamisin tersebut
merupakan satu-satunya antibiotic yang sensitif terhadap kuman hasil
biakan secret liang telinga yang diambil di poliklinik maupun saat operasi.
Metronidazol 3x500 mg intra vena bila ada kecurigaan keterlibatan kuman
anaerob. Pemberian analgetik diberikan pilihan golongan non opioid dan
golongan opioid.
6. Edukasi
Pasien dan /atau keluarga harus mendapatkan penjelasan tentang
penyakit otitis media supuratik kronik termasuk di dalamnya faktor risiko,
penatalaksanaan serta komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien juga harus

32
diberi penjelasan mengenai gangguan pendengaran yang mungkin dialami.
Paska penatalaksaan penting dipahami oleh pasien untuk menjaga
telinganya dalam kondisi kering dengan kata lain telinga harus terlindung
dari air.

3.9 Komplikasi OMSK


Kejadian OMSK tanpa penanganan yang tepat akan menyebabkan
beberapa komplikasi yang ringan sampai komplikasi yang dapat mengancam
jiwa. Komplikasi yang dapat terjadi akibat infeksi kronik pada otitis media
yaitu antara lain mastoiditis atau pembentukan abses. Namun, baik
mastoiditis maupun abses jarang terjadi dan tidak khas pada OMSK. Pada
kasus kronik, tuli konduktif (CHL) secara umum dapat terjadi dan
menginduksi terjadinya tuli sensorik (SNHL) akibat kerusakan koklea yang
kemungkinan hasil dari penyebaran infeksi sehingga menjadi labirintitis.
Komplikasi ini dapat digolongkan menjadi dua subkelompok, yaitu
intratemporal, ekstratemporan, dan intrakranial. Komplikasi intratemporal
meliputi petrositis, paralisis nervus fasialis, labirintitis, dan mastotiditis.
Komplikasi ekstratemporal meliputi tromboflebitis sinus lateral, meningitis,
abses intrakranial, dan abses subdural/ekstradural.

A. Intratemporal
Paralisis Nervus Fasialis
Kelumpuhan nervus fasialis dapat terjadi akibat infeksi langsung ke
kanalis fasialis yang terdapat pada superior cavum timpani. Paralisis ini dapat
terjadi pada OMSK dengan atau tanpa kolesteatoma. Pada kolesteatoma,
bagian tulang pada kanalis fasialis mengalami erosi dan timbul jaringan
granulasi yang dapat menekan kanalis fasialis. Kelumpuhan nervus dapat
diamati pada cabang-cabangnya yang mempersarafi otot-otot wajah yaitu
ramus temporalis, zigommaticus, buccal, mandibula dan cervicalis, biasanya
derajat kelemahannya akan menentukan reversibilitas kelumpuhan tersebut.
Tanda-tanda kelumpuhan yaitu berupa kelemahan kemampuan mengerutkan

33
kening, menutupnya kelopak mata, mengerutkan hidung, bersiul, tertawa
lebar dan meringis.

Labirintitis
Labirintitis terjadi ketika infeksi menyebar ke telinga bagian dalam
terutama ruang perilimfe. Infeksi memiliki akses ke telinga dalam melalui
jendela bulat dan oval atau mealui salah satu kanal semisirkularis yang
terkena erosi akibat kolesteatoma. Gambaran klinis yang terjadi yaitu vertigo
dan tuli sensorineural. Terdapat empat kategori labirintitis yaitu labirintitis
serosa akut, labirintitis supuratif akut, labirintitis kronis, dan labirintitis
sklerosis.
Gejala-gejala akut serous labirinthitis adalah onset akut vertigo dan
gangguan pendengaran. Eksplorasi bedah awal untuk menghilangkan infeksi
dapat mengurangi kerusakan labirin. Pasien dengan labirinthitis supuratif akut
hadir dengan kehilangan pendengaran yang mendalam, tinnitus, dan vertigo
dengan mual dan muntah terkait. Pasien awalnya menunjukkan nistagmus
dengan komponen cepat diarahkan ke telinga yang terkena; mereka kemudian
menunjukkan nystagmus dari telinga yang terkena setelah penghancuran
labirin membranosa. Perawatan termasuk debridemen bedah agresif
(termasuk labirinektomi) untuk mencegah komplikasi intrakranial yang
mungkin mematikan dari meningitis atau ensefalitis. Pemberian antibiotik
spektrum luas dengan penetrasi cairan serebrospinal juga diperlukan.
Labirinthitis kronis ditandai dengan onset bertahap vertigo, tinnitus, dan
gangguan pendengaran. Paling umum, infeksi mencapai labirin melalui
saluran lateral. Labyrintitis sklerosis terjadi karena peradangan di labirin
menyebabkan tubuh menggantinya dengan jaringan fibrosa dan tulang baru.

Mastoiditis
Mastoiditis terjadi akibat infeksi dari mukosa telinga tengah menyebar
ke lapisan tulang mastoid. Gejala yang timbul dari komplikasi mastoiditis
yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada daerah mastoid, demam, sekret

34
telinga yang banyak/profuse yang keluar disertai pulsasi, serta tuli konduktif.
Pembagian secara klinis, yaitu : mastoiditis akut, coalescent mastoiditis,
mastoiditis Kronis, dan masked mastoiditis. Insidensinya merupakan
komplikasi OMA yang paling sering. Anak < 2 tahun 15 per 100.000, diatas 2
tahun 5 anak per 100.000. Faktor resikonya adalah virulensi bakteri dan
sensitifitas bakteri terhadap antibiotic,daya tahan tubuh penderita, terapi
antibiotic yang kurang adekuat, anatomi dan barrier juga drainase daerah
pneumatisasi, dan status immunological pasien.
Mastoiditis terjadi ketika aditus ad antrum terobstruksi karena proses
inflamasi sehingga sekresi purulent didalam mastoid menyebabkan tekanan
meningkat, ketika secret keluar melalui daerah cribiformis atau fissure
tymphanomastoid menyebabkan tekanan menjadi turun, sehingga inflamasi
akan meluas ke sulcus postaurikularis. Tekanan yang tinggi dalam mastoid
menyebabkan nekrosis dan erosi dari trabekula tulang mastoid. Patogen yang
paling banyak menjadi penyebab dalah Streptococcus pneumonia,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan coagulase negative
Streptococcus.
Keadaan ini ditandai dengan gejala yaitu :
1. Otore yang lamanya sudah lebih dari 3 minggu. Hal ini menunjukkan
bahwa infeksi telinga tengah sudah melibatkan organ mastoid.
2. Gejala demam biasanya hilang timbul. Hal ini disebabkan karena
infeksi telinga tengah sebelumnya dan pemberian antibiotik pada awal
perjalanan penyakit.
3. Demam tetap dirasakan setelah pemberian antibiotik selama proses
terapi yang ideal (7 sampai 10 hari).
4. Rasa nyeri pada daerah retroaurikuler.
5. Hilangnya pendengaran dapat timbul atau tidak tergantung pada
besarnya kompleks mastoid akibat infeksi.
Sedangkan tanda mastoiditis yang diperoleh dari pemeriksaan fisik
adalah:
1. Nyeri tekan di daerah retroaurikuler.

35
2. Terdapatnya massa ataupun bisul (abses) di daerah mastoid sehingga
daerah tersebut tampak bengkak, bahkan mampu mendorong auris
eksterna lebih ke anterior.
3. Ditemukannya jaringan patologis (polip atau granuloma) dalam
canalis auditorius eksternus yang akarnya ternyata berasal dari telinga
tengah.
4. Didapatkan ”reservoir sign” pada telinga ialah suatu tanda dimana
ketika liang telinga penuh dengan sekret, lalu di suction sampai bersih,
tidak lama kemudian (kurang dari 5 menit) tampak liang telinga sudah
penuh terisis oleh cairan lagi. Hal ini dapat diasumsikan bahwa
tampungan cairan yang terakhir adalah turun dari ruang antrum
mastoid yang sedang meradang dan penuh dengan sekret peradangan.
5. Keluar cairan (otorrhea) baik purulent atau mukopurulent tergantung
bakteri penyebabnya.
6. Kemerahan pada kompleks mastoid.
7. Matinya jaringan keras (tulang dan tulang rawan).
Untuk memastikan seberapa jauh penyebaran dari jaringan patologis yang
sudah terjadi, maka dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu:
1. Kultur mikrobiologi sekret telinga.
2. Darah Lengkap (untuk mengetahui adanya proses infeksi).
3. Pemeriksaan CT Scan kepala, foto polos kepala, atau MRI kepala.
Pemeriksaan radiologi (foto polos, CT dan MRI mastoid) diperlukan
untuk megetahui ada atau tidaknya komplikasi. Imaging yang paling baik
adalah dengan CT scan karena mampu memperlihatkan ada atau tidaknya
dekstruksi tulang.
Radiografi Konvensional digunakan dalam skrining tulang temporal
dan menentukan status pneumatisasi dari mastoid dan petrous pyramid.
Proyeksi standar adalah lateral atau Schuller dan oblique atau Stenvers. Pada
posisi Schuller menggambarkan penampakan lateral dari mastoid.
Pneumatisasi mastoid serta trabekulasi tampak lebih jelas. Memberikan
informasi dasar tentang besarnya kanalis akustikus eksterna. Gambaran foto

36
yang baik akan memperlihatkan meatus akustikus eksternus dan eksternus
yang saling berhimpitan dan membentuk bayangan bulat sempurna, condyles
mandibular dan sendi temporomandibular terlihat jelas, da penampakan
sempuna dari sel mastoid. Sedangkan pada posisi Stenver memperlihatkan
struktur tulang pyramid, termasuk apeks, arcuate aminence, kanalis akustikus
internus, poros akustikus, kanalis semisirkularis horizontal dan vertical,
vestibulum, cochlea dan antrum mastoid serta mastoid. Kriteria foto yang
baik meliputi tepi tulang petrosa terlihat jelas, tampak krista occipitalis
eksterna lateral dari canalis semisirkularis posterior, superior petrousridg
horizontal, tepi batas tegas dari inferior petrous ridge dan processus
mastoideus.
Gambaran Mastoiditis Kronis yaitu terdapat perselubungan yang tidak
homogeny pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid. Perubahan
pada struktur trabekulasi diikuti demineralisasi trabekula. Pada proses
inflamasi yang terus berlanjut akan terlihat oblitrasi sel udara mastoid dan
sisa sel udara mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang – kadang lumen antrum
mastoid terisi jaringan granulasi sehingga terlihat sebagai perselubungan
CT scan merupakan imaging terbaik untuk melihat mastoiditis. Bisa
dilakukan CT scan mastoid normal potongan aksial dari inferior hingga
superior atau potongan koronal dari anterior hingga posterior. Terutama untuk
menegakkan diagnosis mastoiditis tanpa komplikasi (hanya tampak
perselubungan pada sel udara mastoid ), mastoiditis kronis (proses sklerotik
pada sel-sel udara mastoid) dan coalescent mastoid (lesi litik disertai
destruksi tulang). Diagnosis Coalescent Mastoiditis dikonfirmasi melalui CT
scan, terlihat litik dari septum tulang, hilangnya cortex tulang dan
perselubungan opak dari sel- sel udara mastoid. Pencitraan MRI harus
dilakukan jika dicurigai adanya komplikasi intracranial.
MRI merupakan modalitas ideal untuk pencitraan jaringan lunak.
Jaringan tubuh dengan komposisi hydrogen yang tinggi cenderung
memberikan sinyal yang kuat. Kondisi patologis seperti tumor, inflamasi dan
edema cenderung memberikan sinyal yang kuat dikarenakan meningkatnya

37
cairan bebas dibandingkan jaringan di sekitarnya. Pemeriksaan MRI sendiri
diindikasikan pada pasen dengan mastoiditis dengan dicurigai adanya
komplikasi, untuk melihat perluasan dari infeksi itu sendiri, menilai hasil
terapi, juga untuk menilai efek samping dari komplikasi mastoiditis yang
berat (pada anak dengan gangguan pendengaran paska mastoidektomi).

B. Ekstratemporal
Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi otitis media ke SSP yang paling
sering. Meningitis berkembang sebagai konsekuensi penyebaran langsung
atau hematogen dari infeksi. Gambaran klinis berupa kaku kuduk, demam,
mual-muntah (kadang muntah proyektil), nyeri kepala hebat, dan kesadaran
menurun pada kasus yang berat. Jika meningitis dicurigai, pungsi lumbal
harus dilakukan untuk memulihkan organisme penyebab untuk kultur dan
sensitivitas sebelum memulai terapi antibiotik spektrum luas empiris. Ketika
stabil, pasien dibawa ke ruang operasi untuk operasi pengangkatan
kolesteatoma atau infeksi telinga tengah.

Abses Intrakranial
Abses intrakranial dapat terbentuk di ekstra dural, subdural ataupun
parenkim otak. Pasien dengan abses ekstradural akan memunculkan tanda dan
gejala meningitis atau bahkan asimptomatik. Pasien dengan abses subdural
akan merasakan nyeri hebat dan tanda meningeal yang dapat disertai dengan
kejang ataupun hemiplegi. Abses parenkimal terjadi sebagai penyebaran
infeksi melaui tegmen timpani menuju lobus temporal/cerebelum. Umumnya
manifetasi klinis muncul secara perlahan. Adanya kecurigaan abses
intrakranial pada proses penyebaran infeksi telinga, perlu ditindaklanjuti
dengan melakukan pencitraan, drainase dan terapi antibiotik.

38
Abses ekstradural/subdural
Abses ekstradural merupakan terkumpulnya nanah di antara durameter dan
tulang. Abses ini seringkali menyertai OMSK dengan jaringan granulasi atau
kolesteatoma. Gejala yang dapat timbul yaitu nyeri telinga hebat dan nyeri
kepala. Tatalaksana berupa drainase nanah pada saat mastoidektomi.
Abses subdural dapat timbul akibat perluasan langsung abses ekstradural
atau perluasan tromboflebitis lewat saluran vena. Gejala yang timbul adalah
demam, nyeri kepala hebat, dan kesadaran menurun. Gejala yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat yaitu kejang, hemiplegia, dan kernig
sign positif.

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat nyeri telinga kanan,


keluar cairan berwarna kuning tidak berbau, tanpa disertai demam pada Agustus
2015. Nyeri telinga dan keluar cairan dari telinga berulang saat setelah pasien
berenang dan pada suhu dingin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perforasi
membran timpani kanan 30% letak sentral, tidak tampak discaj, terdapat
conductive hearing loss kanan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
pasien didiagnosis dengan otitis media supuratif kronik fase tenang (benigna),
dengan kriteria diagnosis riwayat keluar cairan telingan hilang timbul lebih dari 2
bulan, dengan perforasi membran timpani 30% sentral.
BAB V
PENUTUP

Penyakit tersering yang menyerang telinga tengah adalah inflamasi atau


peradangan yang disebut dengan otitis media. Peradangan tersebut menyebabkan struktur
membran timpani menjadi perforasi. Perforasi membran timpani menyebabkan fungsi
membran timpani sebagai penangkap getaran suara tidak bekerja secara optimal. Perforasi
membran timpani yang menetap dalam waktu yang lama dengan pengeluaran cairan
disebut dengan otitis media supuratif kronik atau OMSK. Otitis media kronik memiliki
level kompetensi 3A dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi dari yang ringan
hingga berat seperti perforasi membran timpani maupun penyebaran intrakranial sehingga
sebagai seorang dokter harus bisa membuat diagnosis klinik, memberi terapi awal dan
memberi rujukan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aarhus L. Childhood otitis media: A cohort study with 30-year-of-follow-


up of hearing (The HUNT Study). Ear Hear. 2015;36 (3):302:8
2. Acuin, Jose. Chronic suppurative otitis media. BMJ Clin Evid.2007;
00(0):00-00
3. Dhingra, P.L. Dhingra, S. Diseases of Ear, Nose & Throat, Eustachian
tube and its disorder. (2009).
4. Farida Y, Sapto H, Oktaria D. Tatalaksana Terkini Otitis Media Supuratif
Kronis ( OMSK ). J Medula Unila. 2016;6.
5. Monasta L,Ronfani L, Marchetti F, Montico M, Brumatti LV, Bavcar A, et
al: Burden Disease Caused by Otitis Media: systematic review and global
esti,ates. PloS One.2012;7 (4): 236226
6. Kelompok Studi Otologi Perhati THT-KL. Panduan Praktik Klinik di
Bidang Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. (Pengurus Pusat Perhati-
KL, 2015).
7. Kementrian Kesehatan RI. Situasi Penyandang Disabilitas. Bul. Jendela
Data Inf. Kesehat. Semester 2, 1–5 (2014).
8. Prianto, E. Y., Rahman, A. & Muyassaroh. Hubungan antara riwayat
prenatal dam perinatal dengan kejadian SNHL berat-sangat berat pada
anak di RSUP Dokter Kariadi Semarang. Media Med. Muda 108 (2010).
9. Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J. & Restuti, R. D. Telinga,
Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher. (Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2012).
10. World Health Organization. The Global Burden of Disease: 2004 update.
2004 Updat. 146 (2008). doi:10.1038/npp.2011.85

Anda mungkin juga menyukai