Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG PEREMPUAN USIA 30 TAHUN DENGAN TONSILITIS


KRONIK EKSASERBASI AKUT

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus : dr. Kanti Yunika, Sp. THT-KL


Pembimbing : dr. Nila Santia Dewi
Dibacakan oleh : Rizky Haryantari 22010116220390
Dibacakan : September 2018

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus seorang perempuan usia 30 tahun dengan Tonsillitis Kronik


Eksaserbasi Akut.

Penguji kasus : dr. Kanti Yunika, Sp. THT-KL

Pembimbing : dr. Nila Santia Dewi

Dibacakan oleh : Rizky Haryantari 22010116220390

Dibacakan : September 2018

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, September 2018

Mengetahui

Penguji Kasus, Pembimbing

dr. Kanti Yunika, Sp. THT-KL dr. Nila Santia Dewi


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak
didalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglossus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian
tonsil antara lain fossa tonsil, kapsul tonsil, plika triangularis. Tonsil berfugsi
sebagai filter atau penyaring organism yang berbahaya. Bila tonsil sudah
tidak dapat menahan infeksi dari bakteri maupun virus tersebut maka akan
timbul tonsillitis.1
Tonsilitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan pada tonsil
yang disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Tonsilitis akut adalah radang
akut pada tonsil akibat infeksi kuman terutama Streptococcus haemoliticus
atau jenis streptokokus meliputi streptococcus viridians dan Streptococcus
piogenes. H. influenza menyebabkan tonsillitis akut supuratif.
Prevalensi tonsillitis kronis di Indonesia sebesar 3,8% tertinggi
setelah nasofaringitis akut yang sebesar 4,8%. Tonsilitis lebih sering terdapat
pada anak-anak usia 5-15 tahun dengan prevalensi bakterial 15-30% pada
anak dengan gangguan tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan
gangguan tenggorokan.2

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Tonsilitis termasuk


dalam level kompetensi 4A yang berarti sebagai dokter umum diharapkan
mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit sampai memberikan
terapi hingga tuntas kepada pasien.3Kasus ini tentangseorang perempuan usia
30 tahun dengan tonsilitis kronik yang datang ke poli THT RSDK Semarang
pada tanggal 6 September 2018.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari lebih
dalam tentang cara mendiagnosis, mengelola, tatalaksana, dan mengetahui
prognosis penderita tonsilitis kronik.
1.3 Manfaat
Laporan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai media untuk
menegakkan diagnosis, mengelola penyakit secara benar dan mengetahui
prognosis penderita tonsilitis kronik.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas penderita

Nama pasien : Ny. DKA

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 30 tahun

Agama : Islam

Alamat : Kemijen, Semarang

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No.RM : C709696

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF


1. Nyeri saat menelan
2. Hidung keluar cairan bening
3. Riwayat tonsillitis (1 tahun
yang lalu)
4. Tenggorokan didapatkan
pada tonsil ukuran T2/T2
(perbaikan), hiperemis (+/+), kripte
melebar (+/+), detritus (+/+)

2.2 Data dasar

ANAMNESIS

Autoanamnesis pada tanggal 6 September 2018 pukul 15.20 WIB di


Poliklinik THT RSDK Semarang.

a. Keluhan utama : Nyeri telan


b. Perjalanan penyakit sekarang :

Pasien mengeluh nyeri telan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri yang
dirasakan hilang timbul, semakin memberat saat makan makanan
padat dan gorengan. Nyeri berkurang ketika minum air hangat.
Keluhan disertai dengan hidung pilek berupa cairan bening yang
hilang timbul dan rasa mengganjal ditenggorokan. Tidur mengorok
(+), sering terbangun saat tidur karena sulit bernafas. Keluhan
demam, sulit telan, tenggorokan panas, kurang penciuman, sakit
kepala tidak ada. Keluhan semakin memberat lalu pasien berobat ke
RSUD Ungaran dengan alasan disarankan operasi amandel namun
keterbatasan alat di RSUD maka dirujuk ke poli THT RSDK. Di poli
RSDK diberikan obat antibiotik dan anti radang.

c. Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat menderita keluhan serupa (+) 1 tahun lalu dikatakan amandel


membesar dan diberi pengobatan antibiotik, membaik namun kambuh
lagi.
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat DM disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga :

 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa

 Riwayat anggota keluarga dengan alergi disangkal

 Riwayat keluarga menderita asma disangkal


e. Riwayat sosial ekonomi :

Pasien seorang ibu rumah tangga. Suami pasien bekerja sebagai


wiraswasta. Suami pasien seorang perokok. Biaya pengobatan
menggunakan B

2.3 Pemeriksaan fisik

Diperiksa di poli THT RSDK pada tanggal 6 September 2018 pukul 15.30
WIB

Status generalis :

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg Suhu : 36,60 C
Nadi : 88 x/menit RR : 20 x/menit
Pemeriksaan fisik : Aktivitas : Normoaktif
BB/TB : 65 kg/160 cm
Status gizi : Normoweight
Kepala : Mesosefal
Thoraks : Jantung : tidak diperiksa
Paru : tidak diperiksa
Abdomen : tidak diperiksa
Ekstremitas : tidak diperiksa

Status lokalis (THT) :

A. Telinga

D S

CAE : CAE :
Membran timpani : Membran timpani :
hiperemis (-), intak, reflek cahaya (+), intak, reflek cahaya (+), hiperemis (-),
discharge(-), edema arah jam 5 arah jam 7 discharge (-),
(-), granula (-),
edema (-), granula
furunkel (-),
serumen (-). (-), furunkel (-),
serumen (-), hifa (-)
Bagian Telinga Telinga kanan Telinga kiri
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah
fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
preaurikula
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Normotia, Hiperemis (-), Normotia, Hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retroaurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid
nyeri ketok (-), fistel (-) nyeri ketok (-), fistel (-)
Hiperemis (-), discharge Hiperemis (-), discharge
CAE / MAE mukus (-), edema (-), bau (-), mukus (-), edema (-), bau (-),
granula (-) , furunkel (-), granula (-) , furunkel (-),
Membran Intak, reflek cahaya (+) arah Intak, reflek cahaya (+) arah
timpani jam 5 jam 7

B. Hidung

Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-),warna
Hidung Luar kulit sama dengan sekitar
Palpasi : os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi Anterior
Discharge (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-), livid (-) Hiperemis (-), livid (-)

Konka Edema (-), hipertropi (-) Edema (-), hipertropi (-)


Tumor Massa (-) Massa (-)
Septum nasi Deviasi(-),perdarahan(-) Deviasi(-), perdarahan(-)

C. Tenggorok

Orofaring Keterangan
Palatum Bombans (-), hiperemis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula ditengah,
Mukosa Hiperemis (-), granul (-), post nasal drip (-)
Ukuran T2 (perbaikan), Ukuran T2 (perbaikan),
hiperemis (+), hiperemis (+), permukaan
Tonsil permukaan tidak rata, tidak rata, kripte melebar
kripte melebar (+), (+), detritus (+), membran
detritus (+), membran (-) (-)
Peritonsil Oedem (-).Abses (-)
Pemeriksaan laringoskopi indirek dan rinoskopi posterior tidak dilakukan.

D. Kepala dan leher

Kepala : Mesosefal
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran KGB (-)
Leher lateral : Pembesaran KGB (-)
Lain-lain : (-)
E. Gigi dan mulut

Gigi geligi : Karies (-), gigi lubang (-), gigi goyang (-), oral higiene cukup
Lidah : Simetris, tidak ada deviasi
Palatum : Bombans (-)
Pipi : Mukosa buccal : hiperemis (-), stomatitis (-)

2.4 Ringkasan

Seorang wanita 30 tahun mengeluh nyeri telan sejak 1 bulan yang


lalu. Nyeri yang dirasakan hilang timbul, semakin memberat saat makan
makanan padat dan gorengan. Nyeri berkurang ketika minum air hangat.
Keluhan disertai dengan hidung pilek berupa cairan bening yang hilang
timbul dan rasa mengganjal ditenggorokan. Tidur mengorok (+), sering
terbangun saat tidur karena sulit bernafas. Keluhan semakin memberat lalu
pasien berobat ke RS Ungaran dan dikatakan amandel membesar kemudian
dirujuk ke poli THT RSDK. Keluhan semakin memberat lalu pasien berobat
ke RSUD Ungaran dengan alasan disarankan operasi amandel namun
keterbatasan alat di RSUD maka dirujuk ke poli THT RSDK. Di poli RSDK
diberikan obat antibiotik dan anti radang.

Pada pemeriksaan tenggorokan ditemukan tonsil ukuran T2/T2


(perbaikan), hiperemis (+/+), kripte melebar (+/+) detritus (+/+). Pada pasien ini
tidak dilakukan laringoskopi indirek dan rinoskopi posterior.

2.5 Diagnosis banding

 Tonsilitis kronis

 Tonsilitis bacterial
2.6 Diagnosis sementara

 Tonsilitis kronis eksaserbasi akut

 Susp. OSAS

2.7 Rencana pengelolaan

Pemeriksaan diagnostik : Swab tonsil, Polisomnografi

Terapi :

R/ Cefadroxil 500 mg tab no XV

S o 12 h tab 1

R/ Methylprednisolone 4 mg tab no VI
S 2 dd tab 1

Pro : Ny. ADK


Usia : 30 tahun

Rujuk Sp. THT-KL untuk pemeriksaan polisomnografi

Kontrol 2 minggu lagi

Pemantauan :

 Keadaan umum
 Progresifitas penyakit
 Keberhasilan terapi
 Efek samping obat

Penyuluhan :

- Disarankan untuk cukup istirahat


- Meningkatkan asupan cairan
- Menghindari makanan yang dapat mengiritasi tenggorok seperti
makanan pedas, berminyak dan bersantan.
- Tidak telat makan
2.8 Prognosis

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tonsilitis
3.1.1. Anatomi Tonsil
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla
tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan
saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer.
Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan
makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis
pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5
tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.8

Gambar1 : Cincin Waldeyer


Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler,
dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba
eustachius (tonsil Gerlach’s). 8,9
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid
yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap
tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas
menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil
yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta.
Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil
dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang
disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla
lingualis. 8,9

Gambar 2. Tonsil Palatina


Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior. A.
carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
Gambar 3. Anatomi normal Tonsil Palatina
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial
berbentuk triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan
dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba
eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.9
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid
akan terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan
mengalami regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak
lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain.
Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7
tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai
respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi
lingkungan.8
Gambar 4. Adenoid
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu
batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya
adalah otot konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat
ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil
tidak mengisi penuh fossa tonsil.9
Pada bagian permukaanlateral dari tonsil tertutup olehsuatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia
faringobasilar yang kemudian membentuk septa.9
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole.
Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika
transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub
bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus.
Serabut ini dapat menjadi penyebabkesukaran saat pengangkatan
tonsildengan jerat. Komplikasi yang seringterjadi adalah terdapatnya sisa
tonsil atau terpotongnya pangkallidah.9
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna
yaitu A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A.
tonsilaris dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A.
palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan
A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m.
konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.
Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m.
konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga
memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior.
Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke
tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a.
palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil
dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina
asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. 9,10

Gambar 5. Pendarahan Tonsil


Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran
getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian
getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran
getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke
duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V
melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf
glossofaringeus (N. IX). 9,10

Gambar 6. Sistem Limfatik kepala dan leher


Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing
dan patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas
imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia
lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada
semua kompartemen tonsil.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3
kejadian yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi
limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring
mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai
barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui
barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang
membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan
APC seperti makrofag dan sel dendritik
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen
melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid.
Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit
dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari
darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke
sirkulasi melalui limfe.

3.1.2. Imunologi
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.
Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat
kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke
saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen
makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear
pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.9
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells)
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T,
sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder
yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.9
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.
Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk
membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar
tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.

3.1.3. Epidemiologi
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997
cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan
sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%;
sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di
Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis
kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau
karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Menurut WHO tahun 2013,
pola penyakit THT di berbagai negara berbeda-beda. Di Pakistan selama 10 tahun
(Januari 1988- Desember 2007) dari 68.488 kunjungan didapati penyakit
tonsillitis kronik merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai yakni
sebanyak 15.067 (22%) penderita.4Hampir semua anak di Amerika Serikat
mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi
tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%).
Angka kejadian tonsillitis meningkat sesuai dengan bertambahnya umur,
mencapai puncaknya pada umur 4-7 tahun dan berlanjut hingga dewasa. Jumlah
penderita tonsillitis kronik di Semarang dari 301 penderita anak dengan jenis
kelamin laki-laki 156 dan perempuan 145 yang mengalami tonsilitis kronik.
Insiden tonsillitis kronis di RSUP dr. kariadi Semarang 23,36% dan 47%
diantaranya usia 6-15 tahun.5
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis
Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9

3.1.4. Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu
melalui mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan
oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan
permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak
sempurna.5
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis
kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus
grup A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan
nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan
pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.1
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman
gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E.
coli.9
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.
Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas
yang akut. Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di
kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.

3.1.5. Patomekanisme
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana
kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan
suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada
saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak
diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris.
Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.6,11

3.1.6. Faktor Predisposisi


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor
genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko
penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi
konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik
sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis.7
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:6
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

3.1.7. Manifestasi Klinis


Umumnya penderita sering mengeluh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang-ulang, nyeri yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri
menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan,
terasa keringdan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis
Kronis yang mungkin tampak,yakni :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Tonsil tetap kecil, mengeriput,kadang-kadang seperti terpendam di dalam
tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,kripta yang melebar dan ditutupi
eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkandengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsildapat dibagi
menjadi : 10
T0 :Tonsil masuk di dalam fossa
T1 :<25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 :>75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Gambar . (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C)
Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

3.1.8. Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
1. Anamnesa
Keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit
waktumenelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-
kadang ada demamdan nyeri pada leher.11
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat
pada kripta. 11
3. Pemeriksaan Penunjang
Kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman darisediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kumandengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,Streptokokus
viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.11
3.1.9. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsillitis kronis, diantaranya11:
1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran atau adanya
membran semu yang menutupi tonsil /tonsilitis membranosa
a. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum,
local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala
local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu
(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.1

Gambar. Tonsila Difteri


b. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema.
Gejala pada penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan
lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut
berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1

Gambar. Angina Plaut Vincent


2. Penyakit kronik faring granulomatous
a. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin
ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup
jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum pada
faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri
pada penekanan.11
3.1.10. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronisdapat terjadi secara perkontinuitatum
ke daerah sekitar atau secara hematogenatau limfogen ke organ yang jauh dari
tonsil. Adapun berbagai komplikasi yangkerap ditemui adalah sebagai berikut :
11

1) Komplikasi sekitar tonsil


a. Peritonsilitis: Peradangan berat pada tonsil dan daerah
sekitarnyatanpa adanya trismus danabses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy): Kumpulan nanah yang terbentuk di
dalamruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran
tonsilitis akut yangmengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal: Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi
melalui aliran getah beningatau pembuluh darah.
d. Abses Retrofaring: Merupakan pengumpulan pus dalam
ruangretrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5
tahun karenaruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
e. Kista Tonsil: Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup
oleh jaringanfibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada
tonsil berwarna putihdan berupa cekungan, biasanya kecil dan
multipel.
f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil): Terjadinya deposit kalsium fosfat
dankalsium karbonat dalam jaringan tonsilyang membentuk bahan
keras sepertikapur.

2) Komplikasi Organ jauh


a. Demam rematik danpenyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasiseritemamultiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis.

3.1.11. Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitiskronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil (tonsilektomi). Tindakan inidilakukan pada kasus-kasus
dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk
meringankan gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi menurut The American
Academyof Otolaryngology, Head and Neck Surgery :11
Indikasi absolut Tonsilektomi:
1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner.
2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi (suspek penyakit keganasan)

Indikasi relatif Tonsilektomi :


1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
2. Halitosis akibat Tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik ß-laktamase resisten

Kontraindikasi :
1. Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
2. Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya
tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi
3. Infeksi saluran nafas atas yang berulang
4. Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak
terkontrol.
5. Celah pada palatum

Menurut Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer, bila diduga penyebabnya Streptococcus group A, diberikan
antibiotik yaitu Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau
Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari. Selain
antibiotik juga diberikan Kortikosteroid karena steroid telah terbukti
menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid
yang dapat diberikan berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3
hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian selama 3
hari. Analgetik / antipiretik, misalnya Paracetamol dapat diberikan.

3.2 Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)


3.2.1 Definisi
Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya
episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan kelainan
sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran. Obstruktif apnea adalah
berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun dengan usaha nafas,
sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang tidak disertai
dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas. Obstruktif
hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara yang menyebabkan
hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif hipoventilasi digunakan untuk
menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti adanya pengurangan aliran udara.12
3.2.2 Epidemiologi
Menurut American Academy of Otorhinolaringologi, 45% dewasa
normal paling tidak pernah mengalami snoring dan terdapat 25% dewasa
normal yang mempunyai kebiasaan mendengkur. Masalah mendengkur lebih
sering ditemukan pada laki-laki. Penelitian Netzer et.al pada 8.000 partisipan
ditemukan 1/3 dari partisipan kemungkinan mengalami OSA. Hal ini lebih
tinggi dari kejadian di US sebesar 35,8% dan di Eropa sebesar 26,3%.16
Obstructive Sleep Apnea pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956
oleh Sidney Burwell. Prevalensi OSA lebih rendah pada wanita sebelum
menopause dan pada anakanak prevalensinya sekitar 3%. Penyebab utamanya
adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, serta kelainan struktur pada Pierre Robin
dan Down Syndrome .15
Gangguan pernapasan pada saat tidur dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas. Di Amerika Serikat kurang lebih 12 juta orang usia 30-60 tahun
menderita OSA, dan setiap tahunnya 38.000 orang meninggal karena penyakit
kardiovaskuler yang berhubungan dengan gangguan pernapasan pada saat
tidur.15

3.2.3 Patofisiologi
Pasien dengan OSAS mampu mempertahankan patensi saluran nafas
bagian atas selama bangun/tidak tidur, karena peningkatan tonus otot saluran
nafas akibat input dari pusat kortikal yang lebih tinggi. Namun selama tidur
kolaps jalan nafas bagian atas terjadi pada saat inspirasi dan kadang-kadang
meningkatkan usaha bernafas. Pada anak lebih sering mengalami periode
obstruksi parsial saluran nafas yang berkepanjangan dan hipoventilasi
dibandingkan orang dewasa.

Keadaan apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih
singkat daripada orang dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat siklus
obstruksi parsial atau total. Obstruktif apneamenyebabkan peningkatan
aktifitas otot-otot dilatator saluran nafas atas sehingga mengakibatkan
berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSAS arousal jauh lebih jarang, dan
obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama berjam-jam tanpa terputus. 13

Pada anak, perubahan fisiologi mendasar yang terjadi pada OSA


adalah hipoksia dan hiperkapnea akibat obstruksi, yang kemudian
menstimulasi baroreseptor dan kemoreseptor perifer. Terganggunya
kontinuitas tidur dan penurunan rapid-eye-movement bermanifestasi pada
keadaan mudah mengantuk sepanjang hari.Tingginya insidensi OSA pada anak
dengan hipertrofi tonsil disebabkan volume jaringan limfoid yang meningkat
pada usia 6 bulan sampai dengan masa pubertas, dan mencapai maksimum
pada usia anak sekolah. Meski demikian, OSA tidak selalu muncul walaupun
terjadi penyempitan saluran napas, karena pada keadaan normal, tonsil yang
hipertrofi tidak mengalami kolaps sewaktu tidur. 14

3.2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat
tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan
bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula timbul.
Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun
hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya anak mendengkur
setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat
episode apnea yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun
Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa
dengusan atau hembusan nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha
bernafas dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya
tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan
patensi jalan nafas. 13
Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut,
adenoidal facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan
kraniofasial lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic
shiners atau lipatan horizontal hidung.15 Patensi pasase hidung harus dinilai,
perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran lidah, integritas
palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan
ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal
pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-
tanda hipertensi pulmonal misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi
jantung II, pulsasi ventrikel kanan. Pemeriksaan neorologis harus dilakukan
untuk mengevaluasi tonus otot dan status perkembangan.13
Meskipun secara klinis terdapat banyak kesamaan antara OSA pada
anak-anak dan dewasa, namun terdapat sejumlah perbedaan yang perlu
diketahui, yaitu: 14

Tabel 1. Perbedaan Klinis OSA Anak-Anak dan Dewasa

3.2.5 Diagnosis
A. Polisomnografi
Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan
polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku
emas untuk menegakkan diagnosis OSAS. Pada anak, tanda dan gejala
obstructive sleep apnea lebih ringan dari pada orang dewasa; karena itu
diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi.
Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan
selama tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai
beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi
keadaannya setelah operasi.

B. Uji Tapis
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal,
dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3:
selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan
OSAS berdasarkan nilai:
• Skor < -1 : bukan OSAS
• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS
meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti
dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan
spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.

3.2.6 Penatalaksanaan
A. Terapi Konservatif
Nasal Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)15 dapat digunakan pada
pasien yang mengalami dengkur. Cara kerjanya dengan memberikan tekanan
positif melalui hidung sehingga dapat melebarkan jalan napas yang cenderung
menyempit atau menutup, dan dinding jalan napas juga dapat distabilkan. Dengan
cara ini maka dengkur akan berkurang dan kualitas tidur meningkat. Diketahui
bahwa efektivitas nasal CPAP cukup tinggi, yaitu mencapai 90-95%. Pada
penderita mendengkur posisi saat tidur dapat disesuaikan, miring atau telungkup
membantu menghilangkan keluhan ini. Selain itu, pada penderita yang obesitas
dianjurkan untuk menurunkan berat badan. Mandibular advancement prosthesis
juga banyak digunakan dengan tujuan memperbesar lebar orofaring dan saluran
udara hipofaring sehingga keluhan mendengkur berkurang.

B. Operatif
Tindakan operasi pada kasus mendengkur perlu dipertimbangkan jika AHI
lebih dari 15, AHI lebih dari 5 atau kurang dari 14 disertai rasa kantuk sepanjang
hari, saturasi oksigen kurang dari 90%, dan ditemukan adanya upper airway
resistance syndrome. Terdapat beberapa tindakan operatif yang dapat dilakukan
untuk menghilangkan keluhan mendengkur antara lain septoplasty dan
polipectomy trimming konka inferior (jika terdapat kelainan hidung). Palatal
stiffening techniques dengan laser dieksisi mukosa dari palatum mole ke uvula,
penyembuhan menyebabkan terjadinya fibrosis yang akan memendekkan palatum
mole sehingga diharapkan memperbesar orofaringeal; uvulo palato pharyngo
plasty (UPPP) dengan cara eksisi palatum mole dan uvula diikuti jahitan pilar
anterior posterior,; palatoplasty (eksisi laser mukosa palatum mole ke uvula), dan
radiofrequency ablation yang merupakan teknik terbaru dengan keuntungan utama
prosedur ini dengan menggunakan anestesi lokal.15
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang wanita 30 tahun mengeluh nyeri telan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri
yang dirasakan hilang timbul, semakin memberat saat makan makanan padat dan
gorengan. Nyeri berkurang ketika minum air hangat. Keluhan disertai dengan hidung
pilek berupa cairan bening yang hilang timbul dan rasa mengganjal ditenggorokan.
Tidur mengorok (+), sering terbangun saat tidur karena sulit bernafas. Keluhan
semakin memberat lalu pasien berobat ke RS Ungaran dan dikatakan amandel
membesar kemudian dirujuk ke poli THT RSDK. Keluhan semakin memberat lalu
pasien berobat ke RSUD Ungaran dengan alasan disarankan operasi amandel namun
keterbatasan alat di RSUD maka dirujuk ke poli THT RSDK. Di poli RSDK
diberikan obat antibiotik dan anti radang.

Pada pasien didapatkan anamnesis Tidur mengorok (+), sering terbangun saat
tidur karena sulit bernafas. Sesuai dengan beberapa gambaran klinis OSAS, maka
dari itu pasien dapat dilakukan diagnosis dengan menggunakan Skor OSAS [ Skor
OSAS = 1,42 (2) + 1,41 (0) + 0,71 (2) – 3,83 = 0,43 (mungkin OSAS mungkin
bukan OSAS ]. Maka perlu dilakukan pemeriksaan polisomnografi untuk
menegakkan apakah pasien mengalami OSAS atau tidak.

Tanda dan gejala yang muncul pada tonsilitis kronik antara lain rasa nyeri di
tenggorok, rasa kering di tenggorok dan nafas berbau, obstructive sleep apneu
syndrome. Pada pemeriksaan fisik tonsil tampak membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kripte melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus, pembesaran
kelenjar sub angulus mandibular

Pada pemeriksaan tenggorokan ditemukan tonsil ukuran T2/T2 (perbaikan),


hiperemis (+/+), kripte melebar (+/+) detritus (+/+). Pada pasien ini tidak dilakukan
laringoskopi indirek dan rinoskopi posterior. Hidung dan telinga dalam batas normal.

Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan tampak tonsil membesar dengan


adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi
eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa
kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak
terlihat pada kripta. Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukam swab tonsil
untuk mengetahui jenis mikroorganisme dan pemilihan terapi yang tepat.

Terapi yang diberikan sesuai hasil kultur dan uji sensitivitas untuk
mengurangi kasus resistensi. Namun dapat diberikan Cefadroxil 500 mg tiap 12 jam
dan Methylprednisolone 4 mg tiap 12 jam. Kemudian merujuk ke sejawat spesialis
THT-KL untuk saran tonsilektomi jika sudah memenuhi indikasi absolut untuk
dilakukan tonsilektomi.
BAB V

KESIMPULAN

Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi
pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak
jarang keadaan tonsil diluarserangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi
ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Proses radang berulang yang timbul menyebabkan epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta
melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkanperlekatan dengan
jaringan disekitar fossa tonsilaris.
Terapi pada pasien ini adalah pemberian terapi antibiotik Cefadroxil 500 mg
tiap 12 jam dan Methylprednisolone 4 mg tiap 12 jam. Tindakan operatif belum
diperlukan karena tidak didapatkan gejala sumbatan nafas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Vol VI(6). Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.
2. Epocrates. Tonsillitis epidemiology. AnAthenahealth Service[internet]. 2015
[disitasi tanggal 9 September 2018]. Tersedia dari:
http://onlie.epocrates.com/disea ses/59823/Tonsillitis/Epidemiology
3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah
dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-
KL, 2011: 8-12.
4. Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: FKUI. 2013
5. Farokah, Suprihati, Suyitno, 2007. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan
Prestasi Belajar Siswa kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Dalam:
Riyanto, W. B., 2007, Cermin Dunia Kedokteran No. 155. Jakarta. 34
6. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI
Jakarta: 2007. p212-25.
7. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of
Reccurent Tonsillitis. [online].2013.[Accessed, 2018 Sep 9). Available from:
URL: http://www. Archotolaryngelheadnecksurg.com
8. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology.
6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2011; 263-368
9. Snell, Richard S, . 2010. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih
bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.
10. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2012; 180
11. Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey
BJ. Johnson JT. Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition.
Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2008. p1183-1208
12. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin
GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and
management. Baltimore, William & Wilkins, 2008. h. 475-91.
13. Bambang S, Rusmala D. Obstruktif Sleep Apnea Sindrom Pada Anak. Dalam
: Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2014: 77 - 84
14. Poole MD, Pereira KS. Pediatric Sleep-Disordered Breathing. in: Head and
Neck Surgery – Otolaryngology.. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB,
et al, 2015.
15. Yang C, Woodson T. Upper airway physiology and obstructive sleep
disordered breathing. Otolaryngology Clin N Am 2003; 36 : 409 -21
16. Netzer et al.Prevalence of symptoms and risk of sleep apnea in primary care.
Chest 2003 Oct;124 (4):1406-14

Anda mungkin juga menyukai