SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
Usia : 30 tahun
Agama : Islam
No.RM : C709696
ANAMNESIS
Pasien mengeluh nyeri telan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri yang
dirasakan hilang timbul, semakin memberat saat makan makanan
padat dan gorengan. Nyeri berkurang ketika minum air hangat.
Keluhan disertai dengan hidung pilek berupa cairan bening yang
hilang timbul dan rasa mengganjal ditenggorokan. Tidur mengorok
(+), sering terbangun saat tidur karena sulit bernafas. Keluhan
demam, sulit telan, tenggorokan panas, kurang penciuman, sakit
kepala tidak ada. Keluhan semakin memberat lalu pasien berobat ke
RSUD Ungaran dengan alasan disarankan operasi amandel namun
keterbatasan alat di RSUD maka dirujuk ke poli THT RSDK. Di poli
RSDK diberikan obat antibiotik dan anti radang.
Diperiksa di poli THT RSDK pada tanggal 6 September 2018 pukul 15.30
WIB
Status generalis :
A. Telinga
D S
CAE : CAE :
Membran timpani : Membran timpani :
hiperemis (-), intak, reflek cahaya (+), intak, reflek cahaya (+), hiperemis (-),
discharge(-), edema arah jam 5 arah jam 7 discharge (-),
(-), granula (-),
edema (-), granula
furunkel (-),
serumen (-). (-), furunkel (-),
serumen (-), hifa (-)
Bagian Telinga Telinga kanan Telinga kiri
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah
fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
preaurikula
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Normotia, Hiperemis (-), Normotia, Hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retroaurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid
nyeri ketok (-), fistel (-) nyeri ketok (-), fistel (-)
Hiperemis (-), discharge Hiperemis (-), discharge
CAE / MAE mukus (-), edema (-), bau (-), mukus (-), edema (-), bau (-),
granula (-) , furunkel (-), granula (-) , furunkel (-),
Membran Intak, reflek cahaya (+) arah Intak, reflek cahaya (+) arah
timpani jam 5 jam 7
B. Hidung
Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-),warna
Hidung Luar kulit sama dengan sekitar
Palpasi : os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi Anterior
Discharge (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-), livid (-) Hiperemis (-), livid (-)
C. Tenggorok
Orofaring Keterangan
Palatum Bombans (-), hiperemis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula ditengah,
Mukosa Hiperemis (-), granul (-), post nasal drip (-)
Ukuran T2 (perbaikan), Ukuran T2 (perbaikan),
hiperemis (+), hiperemis (+), permukaan
Tonsil permukaan tidak rata, tidak rata, kripte melebar
kripte melebar (+), (+), detritus (+), membran
detritus (+), membran (-) (-)
Peritonsil Oedem (-).Abses (-)
Pemeriksaan laringoskopi indirek dan rinoskopi posterior tidak dilakukan.
Kepala : Mesosefal
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran KGB (-)
Leher lateral : Pembesaran KGB (-)
Lain-lain : (-)
E. Gigi dan mulut
Gigi geligi : Karies (-), gigi lubang (-), gigi goyang (-), oral higiene cukup
Lidah : Simetris, tidak ada deviasi
Palatum : Bombans (-)
Pipi : Mukosa buccal : hiperemis (-), stomatitis (-)
2.4 Ringkasan
Tonsilitis kronis
Tonsilitis bacterial
2.6 Diagnosis sementara
Susp. OSAS
Terapi :
S o 12 h tab 1
R/ Methylprednisolone 4 mg tab no VI
S 2 dd tab 1
Pemantauan :
Keadaan umum
Progresifitas penyakit
Keberhasilan terapi
Efek samping obat
Penyuluhan :
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tonsilitis
3.1.1. Anatomi Tonsil
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla
tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan
saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer.
Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan
makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis
pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5
tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.8
3.1.2. Imunologi
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.
Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat
kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke
saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen
makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear
pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.9
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells)
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T,
sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder
yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.9
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.
Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk
membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar
tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.
3.1.3. Epidemiologi
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997
cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan
sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%;
sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di
Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis
kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau
karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Menurut WHO tahun 2013,
pola penyakit THT di berbagai negara berbeda-beda. Di Pakistan selama 10 tahun
(Januari 1988- Desember 2007) dari 68.488 kunjungan didapati penyakit
tonsillitis kronik merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai yakni
sebanyak 15.067 (22%) penderita.4Hampir semua anak di Amerika Serikat
mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi
tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%).
Angka kejadian tonsillitis meningkat sesuai dengan bertambahnya umur,
mencapai puncaknya pada umur 4-7 tahun dan berlanjut hingga dewasa. Jumlah
penderita tonsillitis kronik di Semarang dari 301 penderita anak dengan jenis
kelamin laki-laki 156 dan perempuan 145 yang mengalami tonsilitis kronik.
Insiden tonsillitis kronis di RSUP dr. kariadi Semarang 23,36% dan 47%
diantaranya usia 6-15 tahun.5
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis
Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9
3.1.4. Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu
melalui mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan
oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan
permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak
sempurna.5
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis
kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus
grup A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan
nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan
pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.1
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman
gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E.
coli.9
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.
Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.
Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas
yang akut. Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di
kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.
3.1.5. Patomekanisme
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana
kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan
suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada
saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak
diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris.
Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.6,11
3.1.8. Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
1. Anamnesa
Keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit
waktumenelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-
kadang ada demamdan nyeri pada leher.11
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat
pada kripta. 11
3. Pemeriksaan Penunjang
Kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman darisediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kumandengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,Streptokokus
viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.11
3.1.9. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsillitis kronis, diantaranya11:
1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran atau adanya
membran semu yang menutupi tonsil /tonsilitis membranosa
a. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum,
local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala
local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu
(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.1
3.1.11. Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitiskronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil (tonsilektomi). Tindakan inidilakukan pada kasus-kasus
dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk
meringankan gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi menurut The American
Academyof Otolaryngology, Head and Neck Surgery :11
Indikasi absolut Tonsilektomi:
1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner.
2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi (suspek penyakit keganasan)
Kontraindikasi :
1. Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
2. Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya
tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi
3. Infeksi saluran nafas atas yang berulang
4. Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak
terkontrol.
5. Celah pada palatum
3.2.3 Patofisiologi
Pasien dengan OSAS mampu mempertahankan patensi saluran nafas
bagian atas selama bangun/tidak tidur, karena peningkatan tonus otot saluran
nafas akibat input dari pusat kortikal yang lebih tinggi. Namun selama tidur
kolaps jalan nafas bagian atas terjadi pada saat inspirasi dan kadang-kadang
meningkatkan usaha bernafas. Pada anak lebih sering mengalami periode
obstruksi parsial saluran nafas yang berkepanjangan dan hipoventilasi
dibandingkan orang dewasa.
Keadaan apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih
singkat daripada orang dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat siklus
obstruksi parsial atau total. Obstruktif apneamenyebabkan peningkatan
aktifitas otot-otot dilatator saluran nafas atas sehingga mengakibatkan
berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSAS arousal jauh lebih jarang, dan
obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama berjam-jam tanpa terputus. 13
3.2.5 Diagnosis
A. Polisomnografi
Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan
polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku
emas untuk menegakkan diagnosis OSAS. Pada anak, tanda dan gejala
obstructive sleep apnea lebih ringan dari pada orang dewasa; karena itu
diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi.
Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan
selama tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai
beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi
keadaannya setelah operasi.
B. Uji Tapis
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal,
dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3:
selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan
OSAS berdasarkan nilai:
• Skor < -1 : bukan OSAS
• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS
meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti
dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan
spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.
3.2.6 Penatalaksanaan
A. Terapi Konservatif
Nasal Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)15 dapat digunakan pada
pasien yang mengalami dengkur. Cara kerjanya dengan memberikan tekanan
positif melalui hidung sehingga dapat melebarkan jalan napas yang cenderung
menyempit atau menutup, dan dinding jalan napas juga dapat distabilkan. Dengan
cara ini maka dengkur akan berkurang dan kualitas tidur meningkat. Diketahui
bahwa efektivitas nasal CPAP cukup tinggi, yaitu mencapai 90-95%. Pada
penderita mendengkur posisi saat tidur dapat disesuaikan, miring atau telungkup
membantu menghilangkan keluhan ini. Selain itu, pada penderita yang obesitas
dianjurkan untuk menurunkan berat badan. Mandibular advancement prosthesis
juga banyak digunakan dengan tujuan memperbesar lebar orofaring dan saluran
udara hipofaring sehingga keluhan mendengkur berkurang.
B. Operatif
Tindakan operasi pada kasus mendengkur perlu dipertimbangkan jika AHI
lebih dari 15, AHI lebih dari 5 atau kurang dari 14 disertai rasa kantuk sepanjang
hari, saturasi oksigen kurang dari 90%, dan ditemukan adanya upper airway
resistance syndrome. Terdapat beberapa tindakan operatif yang dapat dilakukan
untuk menghilangkan keluhan mendengkur antara lain septoplasty dan
polipectomy trimming konka inferior (jika terdapat kelainan hidung). Palatal
stiffening techniques dengan laser dieksisi mukosa dari palatum mole ke uvula,
penyembuhan menyebabkan terjadinya fibrosis yang akan memendekkan palatum
mole sehingga diharapkan memperbesar orofaringeal; uvulo palato pharyngo
plasty (UPPP) dengan cara eksisi palatum mole dan uvula diikuti jahitan pilar
anterior posterior,; palatoplasty (eksisi laser mukosa palatum mole ke uvula), dan
radiofrequency ablation yang merupakan teknik terbaru dengan keuntungan utama
prosedur ini dengan menggunakan anestesi lokal.15
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang wanita 30 tahun mengeluh nyeri telan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri
yang dirasakan hilang timbul, semakin memberat saat makan makanan padat dan
gorengan. Nyeri berkurang ketika minum air hangat. Keluhan disertai dengan hidung
pilek berupa cairan bening yang hilang timbul dan rasa mengganjal ditenggorokan.
Tidur mengorok (+), sering terbangun saat tidur karena sulit bernafas. Keluhan
semakin memberat lalu pasien berobat ke RS Ungaran dan dikatakan amandel
membesar kemudian dirujuk ke poli THT RSDK. Keluhan semakin memberat lalu
pasien berobat ke RSUD Ungaran dengan alasan disarankan operasi amandel namun
keterbatasan alat di RSUD maka dirujuk ke poli THT RSDK. Di poli RSDK
diberikan obat antibiotik dan anti radang.
Pada pasien didapatkan anamnesis Tidur mengorok (+), sering terbangun saat
tidur karena sulit bernafas. Sesuai dengan beberapa gambaran klinis OSAS, maka
dari itu pasien dapat dilakukan diagnosis dengan menggunakan Skor OSAS [ Skor
OSAS = 1,42 (2) + 1,41 (0) + 0,71 (2) – 3,83 = 0,43 (mungkin OSAS mungkin
bukan OSAS ]. Maka perlu dilakukan pemeriksaan polisomnografi untuk
menegakkan apakah pasien mengalami OSAS atau tidak.
Tanda dan gejala yang muncul pada tonsilitis kronik antara lain rasa nyeri di
tenggorok, rasa kering di tenggorok dan nafas berbau, obstructive sleep apneu
syndrome. Pada pemeriksaan fisik tonsil tampak membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kripte melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus, pembesaran
kelenjar sub angulus mandibular
Terapi yang diberikan sesuai hasil kultur dan uji sensitivitas untuk
mengurangi kasus resistensi. Namun dapat diberikan Cefadroxil 500 mg tiap 12 jam
dan Methylprednisolone 4 mg tiap 12 jam. Kemudian merujuk ke sejawat spesialis
THT-KL untuk saran tonsilektomi jika sudah memenuhi indikasi absolut untuk
dilakukan tonsilektomi.
BAB V
KESIMPULAN
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi
pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak
jarang keadaan tonsil diluarserangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi
ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Proses radang berulang yang timbul menyebabkan epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta
melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkanperlekatan dengan
jaringan disekitar fossa tonsilaris.
Terapi pada pasien ini adalah pemberian terapi antibiotik Cefadroxil 500 mg
tiap 12 jam dan Methylprednisolone 4 mg tiap 12 jam. Tindakan operatif belum
diperlukan karena tidak didapatkan gejala sumbatan nafas.
DAFTAR PUSTAKA