Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG LAKI-LAKI DENGAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK


DENGAN MASTOIDITIS DAN OTOMIKOSIS

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : dr. Nur Iman, Sp.THT-KL


Pembimbing : dr. Bima Riantardo Hafni
Dibacakan Oleh : Inria Astari Zahra (22010118220216)
Fadhlan Rahman (22010118210001)
Sisca Turnip (22010118210003)
Susanto (22010118210004)
Dibacakan : Mei 2019

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus Seorang Laki-laki Tn. AM Usia 24 Tahun dengan Otitis


Media Supuratif Kronik Dextra dengan Mastoditis (3A) dan Otomikosis (4A) :

Penguji Kasus : dr. Nur Iman, Sp.THT-KL


Pembimbing : dr. Bima Riantardo Hafni
Dibacakan Oleh : Inria Astari Zahra (22010118220216)
Fadhlan Rahman (22010118210001)
Sisca Turnip (22010118210003)
Susanto (22010118210004)
Dibacakan : Mei 2019

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-


KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, 28 Mei 2019


Mengetahui,

Penguji kasus Pembimbing

dr. Nur Iman, Sp.THT-KL dr. Bima Riantardo Hafni

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis media supuratif kronik masih menjadi masalah kesehataan utama
khususnya di negara-negara berkembang seperti indonesia. Otitis media supuratif
kronik (OMSK) merupakan inflamasi kronis mukosa dan periosteum telinga bagian
tengah dan kavum mastoid. Manifestasi otitis media supuratif kronik berupa
otorea berulang yang keluar melalui gendang telinga yang mengalami perforasi.1,2
Survei prevalensi OMSK diseluruh dunia pada tahun 2004 menujukkan 65-330
juta orang dengan telinga berair, 65% diantaranya (39-200juta) menderita kurang
pendengaran yang signifikan. Prevalensi OMSK pada tahun 2005 adalah 3,8%. Dari
keseluruhan pasien yang berobat ke poliklinik THT rumah sakit di Indonesia 25%
diantaranya adalah penderita OMSK.2,3 Sedangkan di RSUP Dr. Kariadi semarang
didapatkan 21% kasus OMSK dari keseluruhan kunjungan di klinik otologi selama
tahun 2010.
Otomikosis adalah infeksi jamur pada epitel skuamosa pinna dan kanalis
auditorius externa. Penyebab otomikosis tersering adalah Pityrosporum dan
Aspergillus, tetapi juga bisa disebabkan oleh Candida albicans atau jamur lain.
Otomikosis juga dapat terjadi akibat infeksi bakteri kronis yang menyebabkan
turunnya imunitas lokal sehingga memudahkan terjadinya infeksi jamur sekunder.
Pada kasus dengan adanya perforasi membrane timpani, jamur juga dapat
menyebabkan infeksi pada telinga tengah.4

Berdasarkan penelitian di RS Pendidikan Unhas mengenai angka kejadian


koloni jamur pada penderita otore didapatkan bahwa 25% penderita juga menderita
OMSK benigna aktif. Adapun etiologi otomikosis pada OMSK yaitu Aspergillus
fumigatus 17,5%, Aspergillus niger 2,5% dan Candida albicans 2,5%.5

Pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), otitis media kronik


termasuk dalam level kompetensi 3A, sedangkan otomikosis termasuk dalam level
kompetensi 4A. Level kompetensi 3A berarti bahwa lulusan dokter mampu

3
membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
bukan gawat darurat, lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya, serta lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Adapun level 4A artinya dokter
umum mampu mendiagnosis dan memberikan terapi sampai tuntas. Oleh karena
itu, kami bertujuan untuk mengulas kasus tersebut untuk meningkatkan pemahaman
lebih mengenai OMSK dan otomikosis.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu
menegakkan diagnosis dan melakukan rujukan yang tepat berdasarkan data yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan
pengelolaan pasien dengan otitis media supuratif kronik dan otomikosis.

1.3 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses
belajar menegakkan diagnosis dan melakukan rujukan, serta pengelolaan pasien
otitis media supuratif kronik dan otomikosis.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. AM
Umur : 24 tahun
TTL : Demak, 26 Maret 1995
Alamat : Sayung, Demak, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : Sarjana
Masuk RSDK : 17 Mei 2019
No. CM : C754127

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF


1. Kurang pendengaran telinga kanan  8 1. Riwayat operasi
2. Keluar cairan dari telinga kanan  8 sinusitis pada sinus
3. Nyeri pada telinga kanan  8 maxilla tahun 2006
4. Gatal pada telinga kanan  9
5. Perforasi subtotal membran timpani kanan  8
6. Benda putih kekuningan seperti kertas pada
telinga kanan  8
7. MSCT : Mastoiditis  8
8. Otitis Media Supuratif Kronik Dextra dengan
Mastoiditis (17/05/19)
9. Otomikosis (17/05/19)

5
ANAMNESIS
Secara autoanamnesis pada tanggal 17 Mei 2019 jam 13.00 WIB
Keluhan Utama
Kurang dengar pada telinga kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
± 3 bulan SMRS pasien mengeluh kurang dengar pada telinga kanan. Keluhan
semakin lama semakin berat sehingga mengganggu aktivitas. Tidak ada faktor yang
memperberat dan memperingan keluhan. Pasien juga mengeluh keluar cairan dari
telinga kanan, terus menerus, awalnya berwarna bening kemudian menjadi kuning
kental dan berbau. Nyeri(-/-), berdenging (-/-), gatal (-/-), riwayat trauma (-),
keluhan demam (-). Pasien kemudian berobat ke RS Roemani dan diberikan obat
tetes telinga, tetapi pasien tidak mengingat nama obatnya.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan kurang dengar pada telinga kanan
semakin memberat. Pasien juga mengeluh cairan masih keluar dari telinga
kanannya berwarna kuning kental dan berbau. Pasien juga merasa telinga kanan
terasa nyeri (+/-) dan gatal (+/-). Pasien kemudian dirujuk ke RSDK.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat operasi sinusitis pada tahun 2006
- Riwayat penyakit serupa sebelumnya (-)
- Riwayat bersin saat pagi hari atau terpapar debu (-)
- Riwayat amandel (-)
- Riwayat gigi berlubang (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit seperti ini disangkal
- Riwayat keluarga bersin saat pagi hari atau terpapar debu (-)

6
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan pegawai swasta di PT. Roda Makmur Sentosa. Pasien belum
menikah dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara, keduanya sudah bekerja.
Pasien berobat menggunakan JKN Non-PBI. Kesan sosial ekonomi cukup.

Lain-lain
Pasien telah menjadi perokok aktif ± 5 tahun. Pasien bekerja di pabrik dengan suara
mesin produksi yang cukup bising.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada tanggal 17 Mei 2019 pukul 13.00 WIB di Poli Otologi THT-
KL RSUP dr. Kariadi Semarang.

Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight
Tanda - tanda vital :
TD : 120/80mmHg
Suhu : 36,5 C
Nadi : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), ikterik (-/-)
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal

7
Status Lokalis (THT)
1. Telinga:
Gambar:

Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri


Hiperemis (-), nyeri tekan Hiperemis (-), nyeri tekan
Mastoid
(-), nyeri ketok (-) (-), nyeri ketok (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–aurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) ketok (-)
Normotia, Hiperemis (-), Normotia, Hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (-), edema (-),
hiperemis (-), furunkel (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE granulasi(-), discaj (+) hiperemis (-), furunkel (-),
mukopurulen memenuhi discaj (-), granulasi(-)
CAE, jamur (+)
Warna putih mengkilat,
Perforasi subtotal (+),
Membran timpani perforasi (-), reflek cahaya
reflek cahaya (-)
(+) anteroinferior

8
2. Hidung dan Sinus Paranasal:
Gambar:

Pemeriksaan Luar
Inspeksi : deformitas (-), warna kulit sama dengan
sekitar, allergic shinner (-), nasal crease (-), allergic
Hidung
salute (-), jaringan sikatriks (-).
Palpasi : os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discaj (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-)
Konka Inferior Edema (-), hipertrofi (-) Edema (-), hipertrofi (-)
Tumor Massa (-) Massa (-)
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Lain-lain (-) (-)
Diafanoskopi tidak dilakukan

3. Tenggorok:
Gambar:

9
Orofaring Keterangan
Simetris, massa (-), hiperemis (-), fistula (-), benjolan di
Palatum
palatum (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
permukaan rata, kripte permukaan rata, kripte
Tonsil
melebar (-), detritus (-), melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Abses (-)
Refleks muntah + normal
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan

4. Kepala dan Leher:


Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-) , simetris, deformitas (-)

Leher anterior : Pembesaran nnll (-/-)


Leher lateral : Pembesaran nnll (-/-)
Lain-lain : (-)

10
5. Gigi dan Mulut
Gigi geligi : Gigi goyang (-), gigi lubang (-), karies (-)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-).
Palatum : Simetris, massa (-), bombans (-), hiperemis (-), fistula
(-), benjolan di palatum (-)
Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)
Lain-lain : (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
MSCT

Kesan : Mastoiditis

RINGKASAN
Seorang laki-laki 24 tahun datang dengan keluhan kurang denger pada
telinga kanan sejak ± 3 bulan SMRS. Keluhan disertai keluar cairan berwarna
kuning kental dan berbau dari telinga kanan. Pasien kemudian berobat ke RS
Roemani dan diberikan obat tetes telinga. ± 1 minggu SMRS keluhan kurang dengar

11
dan keluar cairan semakin memberat disertai nyeri telinga (+/-) dan gatal (+/-) pada
telinga kanan. Pasien kemudian dirujuk ke RSDK.
Pemeriksaan fisik hidung dan tenggorokan dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik telinga ditemukan membran timpani telinga kanan perforasi
subtotal dan ditemukan jamur pada telinga kanan. Pada pemeriksaan penunjang
MSCT, ditemukan Mastoiditis.

DIAGNOSIS BANDING
- Otitis Media Akut stadium perforasi

DIAGNOSIS SEMENTARA
- Otitis media supuratif kronik dextra dengan mastoiditis
- Otomikosis

RENCANA PENGELOLAAN
Pemeriksaan Diagnostik :
- Pro audio timpanometri
- Otoendoskopi
- Darah rutin, GDS, PPT, PPTK, elektrolit, Ur, Cr
- Kultur cairan telinga

Tatalaksana :
- Pro-timpanoplasti
- Pro-mastoidektomi
- Perhidrol tetes telinga 4 tetes/8jam
- Ketokonazole 2% salep
- Ofloxacin tetes telinga 3 mg 10 tetes/12 jam
- Asam mefenamat 500 mg / 8 jam p.o (jika nyeri)

12
Pemantauan :
Keadaan umum, derajat nyeri, keluhan kurang pendengaran, keluhan keluar cairan
dari telinga kanan, keluhan gatal pada telinga kanan

Edukasi :
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai pemeriksaan penunjang yang
harus dilaksanakan untuk penegakan diagnosis
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai rencana tindakan (operasi
timpanoplasti dan mastoidektomi) beserta prosedur yang akan dilakukan, serta
prognosis (KP menetap)
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga tatalaksana medikamentosa
 Menjelaskan pada pasien dan keluarga untuk menjaga agar air tidak masuk ke
telinga kanan pasien.

PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Ad bonam
 Quo ad sanam : Dubia ad malam
 Quo ad fungsionam : Dubia ad malam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Telinga


3.1.1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membrane
timpani. Daun telinga terbentuk dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, yang tersusun atas tulang rawan pada sepertiga bagian luar dan
tulang keras pada dua per tiga bagian dalam rangkanya. Panjang saluran telinga luar
kira-kira 2 ½ -3 cm. Kelenjar serumen dan kelenjar rambut banyak ditemukan pada
sepertiga bagian luar kulit liang telinga.6

Gambar 1. Telinga Luar

3.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah disebut juga dengan cavum timpani. Dilapisi oleh membran
mukosa, topografinya di bagian medial dibatasi oleh promontorium, di lateral oleh
membrane timpani, di anterior oleh muara tuba Eustachius, di posterior oleh aditus
ad antrum dari mastoid, di superior oleh tegmen timpani fossa kranii, dan di inferior
oleh bulbus vena jugularis. Telinga bagian tengah berfungsi menghantarkan bunyi
dari telinga luar ke telinga dalam. 7
Gambar 2.Bagian-bagian Membran Timpani

Kavum timpani berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui


tuba Eustachius. Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran
(osikel) yaitu maleus, inkus dan stapes. 8

Gambar 3. Bagian-bagian Cavum Timpani

1. 3.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
15
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala timpani
dengan skala vistibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak
lengkap. Pada irisan melintang, koklea tampak skala vestibule sebelah atas, skala
timpani sebelah bawah, dan skala media diantaranya. Skala vestibule dan skala
timpani berisi perilimfe, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala
vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli, sedangkan dasar skala media adalah
membrane basalis. Pada membrane ini terletak organ corti.6

3.2 Otomikosis
Otomikosis adalah infeksi telinga akut, subakut, dan kronik pada epitel
skuamosa pinna dan kanalis auditorius externa yang disebabkan oleh infeksi jamur.
Namun, otomikosis juga dapat terjadi akibat infeksi bakteri kronis yang
menyebabkan turunnya imunitas lokal sehingga memudahkan terjadinya infeksi
jamur sekunder. Pada kasus dengan adanya perforasi membrane timpani, jamur
juga dapat menyebabkan infeksi pada telinga tengah. 4

3.2.1 Etiologi dan Faktor Risiko Otomikosis


Berdasarkan data, 80% kasus otomikosis disebabkan oleh infeksi
Aspergillus, selain itu Candida juga termasuk jamur yang paling sering
menyebabkan otomikosis, selain itu terdapat juga jamur pathogen yang dapat
menyebabkan otomikosis termasuk diantaranya adalah Phycomycetes, Rhizopus,
actinomyces, dan Penicillium.10
Faktor risiko Otomikosis sebagai berikut :
 Kelembaban
Saluran telinga mudah terinfeksi karena gelap dan hangat, sehingga pada
keadaan kelembaban yang tinggi dan cuaca yang panas dapat memudahkan
terjadinya pertumbuhan dan proliferasi bakteri dan jamur dalam saluran
telinga. Hal ini terutama terjadi di daerah tropis dan subtropis.
 Pasien imunokompromis
Pada pasien dengan imunokompromis, infeksi jamur menjadi lebih mudah
terjadi karena sistem imun pasien tidak mampu melindungi tubuhnya.

16
 Penggunaan jangka panjang tetes telinga antibiotik
Keadaan normal telinga dan sel epitel mukosa saluran telinga dapat
mengalami perubahan akibat penggunaan jangka panjang tetes telinga
antibotik, sehingga memudahkan terjadinya pertumbuhan dan proliferasi
jamur. Perubahan tersebut juga dapat mengakibatkan flora normal dalam
saluran telinga berubah menjadi patologis.
 Perenang
Jika terlalu banyak air masuk ke dalam saluran telinga, misalnya saat
berenang, terutama jika air tersebut mengandung klorin akan memudahkan
jamur untuk tumbuh dan berproliferasi. Dengan demikian, perenang
sebaiknya menggunakan ear plug atau penyumbat telinga pada saat
berenang.
 Terlalu sering membersihkan telinga
Terlalu sering membersihkan telinga menggunakan cotton bud dapat
mengakibat trauma lokal pada saluran telinga sehingga memudahkan
terjadinya infeksi, pertumbuhan dan proliferasi bakteri dan jamur.

3.2.2 Patofisiologi Otomikosis


Patofisiologi otomikosis berkaitan dengan anatomi, fisiologi dan
histologi kanalis akustikus eksterna. Kanalis akustikus eksterna adalah
sebuah saluran atau kanal dengan panjang rata-rata 2,5 cm dan lebar rata-rata
7,9 mm pada orang dewasa. Saluran atau kanal ini berbentuk silinder dan
dilapisi dengan epitel berlapis gepeng bertanduk hingga ke bagian luar
membrana timpani. Bagian depan dari resesus membrana timpani, hingga
isthmus sering menjadi tempat akumulasi debris keratin dan serumen yang
sulit dibersihkan. Serumen memiliki suatu zat antimikotik, bakteriostatik dan
insect repellent. Serumen terdiri dari lipid (46-73%), protein, asam amino
bebas, mineral, lisosim, imunoglobulin, dan asam lemak tak jenuh. Asam
lemak tak jenuh rantai panjang yang terdapat pada kanalis akustikus eksterna
yang normal dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Komposisi hidrofobik
ini memungkinkan serumen berperan dalam mengeluarkan air dari kanalis
17
akustikus eksterna, serta membuat permukaan kanalis tidak permeabel,
mencegah maserasi dan kerusakan epitel.
Flora normal atau komensal yang terdapat di dalam kanalis akustikus
eksterna diantaranya, Staphylococcus epirdemidis, Corynebacterium sp,
Bacillus sp, Gram positive cocci (Staphylococcus aureus, Streptococcus sp,
non-pathogenic micrococci), Gram negative bacilli (Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Hemophilus influenza, Morazella catarrhalis,
etc) dan jenis jamur miselia dari genus Aspergillus dan Candida sp. Flora
normal atau komensal ini tidak bersifat patogen apabila lingkungan kanalis
aksutikus eksterna dan keseimbangan antara bakteri dan jamur tetap terjaga.
Faktor – faktor yang berperan dalam perubahan lingkungan kanalis
akustikus eksterna yang kemudian mengakibatkan jamur saprofit menjadi
patogen, diantaranya faktor lingkungan (suhu dan kelembaban), perubahan
pada epitel kanalis akustikus eksterna akibat dermatitis atau trauma mikro,
peningkatan pH, penurunan kualitas dan kuantitas serumen, faktor sistemik
(imunokompromis, neoplasma, diabetes melitus, penggunaan antibiotik lama,
agen sitostatik dan kortikosteroid), riwayat otitis eksterna bakteri atau otitis
media supuratif, dermatomikosis, serta kondisi sosial.4

3.2.3 Diagnosis Otomikosis


Gejala klinis otomikosis agak sulit dibedakan dengan otitis eksterna
dengan penyebab lain. Gejala yang sering menjadi keluhan utama pasien
adalah rasa gatal, tidak nyaman dan nyeri pada liang telinga, rasa penuh dalam
telinga, tinitus, penurunan pendengaran, dan kadang-kadang disertai sekret
atau cairan dari dalam telinga. Keluhan ini biasanya bersifat rekuren atau
hilang timbul.8

Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi, umumnya akan didapatkan


lumen meatus akustikus externus mengalami edema ringan, eritem, dan
terlihat debris atau sekret jamur berwarna putih, keabuan, atau hitam. Pasien

18
biasanya sudah menggunakan berbagai obat tetes telinga antibiotik maupun
per oral, namun keluhan tidak berkurang.11

Karateristik pada otomikosis adalah pada infeksi akibat Aspergillus


umumnya akan terlihat hifa halus dan spora (konidiofor) sedangkan pada
infeksi akibat Candida akan terlihat miselia yang panjang yang jika
bercampur dengan serumen sehingga berwarna kekuningan.4

Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan mengidentifikasi komponen jamur


menggunakan tes KOH atau menggunakan kultur jamur. Namun, kultur
sangat jarang dibutuhkan dan umumnya tidak mengubah terapi karena jamur
yang menyebabkan otomikosis kebanyakan adalah jamur jenis saprofit yang
merupakan jenis flora normal. Morfologi dari koloni juga dapat memudahkan
untuk membedakan yeast like fungi atau jamur ragi dan filamentous fungi atau
jenis jamur filamentosa. Koloni yang berwarna putih atau putih kekuningan,
halus dan kadang-kadang kasar, adalah jenis jamur ragi. Sedangkan jenis
jamur filamentosa berbentuk seperti kumpulan debu, kain wol, atau kain
beludru yang dilipat. Koloni ini dapat menampilkan berbagi jenis warna
seperti, hitam, putih, kuning, hijau, biru, dan biru kehijauan.4

3.2.4 Penatalaksanaan Otomikosis


Belum ada konsesus yang memuat mengenai obat dan cara yang paling
efektif untuk menangani otomikosis. Namun, penanganan yang sering
dilakukan saat ini adalah dengan pemberian antifungi topikal dan
pembersihan liang telinga dari debris dan sekret jamur yang terbukti dapat
memberikan hasil yang baik, walaupun membutuhkan waktu yang cukup
lama.4
Banyak peneliti meyakini bahwa hal terpenting dalam penanganan
otomikosis adalah dengan mengidentifikasi jamur penyebab untuk
memberikan terapi medikamentosa yang adekuat. Namun, untuk saat ini,
belum ada terapi khusus yang direkomendasikan untuk otomikosis karena
terapi otomikosis sendiri tergantung pada respon tiap pasien.4

19
Sediaan antifungi dapat dibagi menjadi dua, yakni antifungi spesifik dan
non spesifik. Antifungi non spesifik diantaranya adalah larutan asam dan
pembersih, yaitu :
 Povidone iodine adalah obat luar yang berfungsi sebagai antiseptik yang
umumnya digunakan untuk membersihkan serta membunuh bakteri,
jamur dan virus pada daerah kulit termasuk kulit yang tedapat luka.
 Boric acid adalah medium asam dan sering digunakan sebagai antiseptik
dan insektisida. Dapat diberikan bila penyebabnya adalah Candida
albicans.
 Gentian Violet yang disediakan dalam bentuk larutan konsentrasi rendah.
Misalnya 1% dalam air. Gentian violet bersifat antibakteri, antifungi,
antiinflamasi dan antiseptik. Beberapa penelitian menunjukkan
efektivitas agen ini hingga 80%.
 Castellani’s paint (acetone, alkohol, fenol, fuchsin, resocinol)
 Cresylate (merthiolate, M-cresyl acetate, propyleneglycol, bric acid, dan
alkohol)
 Merchurochrome yang merupakan antiseptik topikal dan antifungi.
Penelitian menunjukkan efektivitasnya hingga 93, 4%.

Beberapa antifungi spesifik, diantaranya adalah1:


 Nystatin, merupakan antibiotik makrolid polyene yang dapat
menghambat sintesis sterol di membran sitoplasma. Keuntungan dari
nistatin adalah tidak diserap oleh kulit yang intak. Dapat diresepkan
dalam bentuk krim, salep, atau bedak. Efektif hingga 50-80% terutama
bila penyebabnya adalah Candida albicans .
 Azole adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi ergosterol, sterol
esensial pada membran sitoplasma normal. Efektif membunuh jamur
terutama bila penyebabnya adalah Aspergillus. Beberapa obat golongan
ini yang dapat digunakan adalah :
1. Clotrimoxazole digunakan secara luas sebagai topikal azole. Efektif
hingga 95- 100%. Clotrimoxazole memiliki efek bakterial dan ini
20
adalah keuntungan untuk mengobati infeksi campuran bakteri-
jamur. Clotrimazole tersedia dalam bentuk bubuk, lotion, dan
solusio dan telah dinyatakan bebas dari efek ototoksik.
2. Ketokonazole dan fluconazole memiliki spektrum luas.
Ketokonazole (2% krim) efektif hingga 95-100% melawan
Aspergillus dan C. Albicans. Fluconazole topikal efektif hingga 90%
kasus.
3. Miconazole (2% krim) adalah imidazole yang telah dipercaya
kegunaannya selama lebih dari 30 tahun untuk pengobatan penyakit
superfisial dan kulit. Agen ini dibedakan dari azole yang lainnya
dengan memiliki dua mekanisme dalam aksinya. Mekanisme
pertama adalah inhibisi dari sintesis ergosterol. Mekanisme kedua
dengan inhibisi dari peroksida, dimana dihasilkan oleh akumulasi
peroksida pada sel dan menyebabkan kematian sel. Efektif hingga
90%.
4. Bifonazole. Solusio 1% memiliki potensi sama dengan klotrimazol
dan miconazole. Efektif hingga 100%.
5. Itraconazole memiliki efek in vitro dan in vivo melawan spesies
Aspergillus. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan
Venkataramanan dan Kumar (2016) menunjukkan pemberian
itrakonazole per oral pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan
otomikosis rekuren selama 5 hari sangat efektif.
Bentuk salep lebih memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan formula tetes telinga karena dapat bertahan di kulit untuk waktu
yang lama. Salep lebih aman pada kasus perforasi membran timpani karena
akses ke telinga tengah dapat diakibatkan oleh tingginya viskositas.
Penggunaan cresylate dan gentian violet harus dihindari pada pasien dengan
perforasi membran timpani karena memiliki efek iritasi pada mukosa telinga
tengah. Serta menghentikan penggunaan antibiotik topikal bila dicurigai
sebagai penyebabnya. Pada pasien immunocompromised, pengobatan

21
otomikosis harus lebih kuat untuk mencegah komplikasi seperti hilangnya
pendengaran dan infeksi invasif ke tulang temporal.4
Otomikosis terkadang sulit diatasi walaupun telah diobati dengan
pengobatan yang sesuai. Maka dari itu perlu ditentukan apakah kondisi ini
akibat penyakit otomikosis itu sendiri atau berhubungan dengan gangguan
sistemik lainnya atau hasil dari gangguan immunodefisiensi yang
mendasari. Pengobatan lain selain medikamentosa yaitu menjaga telinga
tetap kering dan mengarahkan pada kembalinya kondisi fisiologis dengan
mencegah gangguan pada kanalis akustikus eksternus. 4

3.2.5 Komplikasi Otomikosis


Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari
membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang
terjadi dan cenderung sembuh dalam pengobatan. Patofisiologi dan
perforasi membran timpani mungkin berhubungan dengan nekrosis
vaskuler dari membran timpani sebagai akibat dari thrombosis pada
pembuluh darah. Angka insiden terjadinya perforasi membrane timpani
yang dilaporkan dari berbagai penelitian berkisar 12-16% dari seluruh kasus
otomikosis. Tidak terdapat gejala dini untuk memprediksi terjadinya
perforasi tersebut. Keterlibatan membran timpani sepertinya merupakan
konsekuensi inokulasi jamur pada aspek medial dari telinga luar ataupun
merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari kulit sekitarnya. 4

22
3.3 Definisi Otitis Media Supuratif Kronik
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) didefinisikan sebagai
peradangan kronik pada telinga tengah dengan adanya perforasi membran
timpani yang menetap dan keluarnya cairan/discharge telinga (otorrhoea) yang
hilang timbul maupun terus menerus.12
Definisi yang dikeluarkan oleh WHO menggolongkan otore yang
terjadi selama 2 minggu sebagai OMSK sedangkan PERHATI-KL lebih
cenderung menggunakan standar waktu yang lebih lama yaitu 8 minggu.
OMSK umumnya diawali oleh otitis media akut yang banyak terjadi pada usia
anak kurang dari 6 tahun.12,13

3.4 Etiologi dan Faktor Risiko OMSK


OMSK biasanya merupakan komplikasi dari otitis media akut. Adanya
riwayat OMA sebelumnya menjadi faktor risiko terkuat untuk terjadinya
OMSK di kemudian hari. Kejadian OMA dapat disertai dengan perforasi
membran timpani. Perforasi membran timpani yang terjadi akibat OMA
umumnya dapat menutup secara spontan kecuali bila telinga dalam kondisi
basah/lembab. Adanya infeksi saluran napas atas berulang dan kondisi sosial
ekonomi yang rendah (perumahan padat penduduk, sanitasi buruk, nutrisi
buruk, dll) juga merupakan kondisi potensial yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya OMSK terutama pada negara berkembang. Di samping itu, kondisi
lain seperti adanya paparan rokok, alergi, dan snoring juga diketahui
meningkatkan risiko kejadian OMSK.14
OMSK dapat disebabkan oleh bakteri aerob seperti Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,
Proteus mirabilis, Klebsiella species, ataupun bakteri anaerob (Bacteroides,
Peptostreptococcus, Proprionibacterium). Di antara bakteri tersebut, P.
aeruginosa merupakan bakteri utama yang diperkirakan menjadi penyebab
terjadinya destruksi progresif pada struktur telinga tengah dan mastoid melalui
toksin dan enzim yang dihasilkannya.14

23
3.5 Patogenesis OMSK
Patogenesis terjadinya OMSK tidak hanya didasari oleh satu
mekanisme saja melainkan merupakan suatu kondisi multifaktorial yang
melibatkan beberapa faktor di antaranya:
1. Inflamasi kronik oleh karena adanya disfungsi tuba eustachius
2. Faktor genetik yang mempengaruhi proses penyembuhan dan resistensi
mukosa terhadap infeksi
3. Karakteristik khusus anatomi telinga tengah seperti pneumatisasi dan
ukuran
4. Karakteristik, patogenitas, virulensi dan resistensi dari patogen penyebab
infeksi
Kejadian OMSK erat hubungannya dengan gangguan ventilasi telinga
tengah yang disebabkan oleh adanya disfungsi tuba eustachius. Disfungsi tuba
eustachius terjadi akibat obstruksi tuba eustachius baik secara mekanik,
fungsional ataupun keduanya. Obstruksi mekanik dapat disebabkan oleh faktor
instrinsik seperti infeksi, inflamasi atau alergi dan faktor ekstrinsik seperti
tumor di nasofaring atau adenoid. Obstruksi fungsional dapat disebabkan oleh
kolapsnya tuba oleh karena barotrauma, meningkatnya compliance tulang
rawan yang menghambat terbukanya tuba atau gagalnya mekanisme aktif
pembukaan tuba eustachius akibat buruknya fungsi m.tensor veli palatina.
Mekanisme lain yang mendasari terjadinya OMSK ialah adanya inflamasi baik
yang berupa infeksi maupun non infeksi. Infeksi dapat terjadi oleh bakteri yang
bermigrasi dari meatus acusticus externus menuju telinga tengah melalui
perforasi membran timpani yang dapat dipicu kejadian OMA sebelumnya
maupun infeksi yang berasal fokus infeksi di luar telinga seperti infeksi
asenderen melalui tuba eustachius dari infeksi saluran napas atas, tonsil,
adenoid maupun sinus.
Infeksi saluran napas atas dapat memicu terjadinya otitis media melalui
menisme disfungsi tuba eustachius dan inflamasi. Peradangan pada saluran
napas atas dapat menjalar hingga menyebabkan edema mukosa tuba esutachius
yang berujung pada disfungsi tuba. Selain itu, reaksi inflamasi mungkin
24
tercetuskan oleh proses infeksi dari bakteri patogen infeksi saluran napas atas
yang secara asenderen berpindah menuju telinga tengah melalui tuba
eustachius. Adanya kontak dengan agen patogen maupun alergen pada infan
atau anak kecil dapat mencetuskan terjadinya adenoiditis melalui perubahan
imunologik-inflamatorik. Patogenesis timbulnya otitis media akibat
adenoiditis terletak pada potensi terjadinya hiperplasi adenoid dan
terbentuknya reservoir patogen mikroorganisme pada adenoiditis kronik.
Inflamasi non infeksi pada telinga tengah dapat disebabkan oleh adanya alergi
ataupun refluks gaster. Perforasi mukosa telinga tengah lebih mudah
mengalami sensitisasi oleh debu, serbuk sari ataupun alergen udara lainnya.
Penelitian oleh Downs et al menyatakan bahwa pajanan histamin intratimpanik
mengakibatkan disfungsi tuba. Rinitis alergi sebagai salah satu bentuk alergi
juga berpotensi menimbulkan OMSK melaui suatu reaksi inflamasi yang
mempengaruhi tidak hanya mukosa hidung, tapi hingga ke telinga tengah yang
berujung pada disfungsi tuba.

Gambar 5. Patofisiologi otitis media kronik

25
Pada OMSK tipe maligna dapat ditemukan koleasteatom yang
merupakan penumpukan epitel skuamus berkeratin. Terbentuknya kolesteatom
pada OMSK dapat terjadi secara kongenital, primer maupun sekunder. Pada
kolesteatom primer, tidak didapatkan adanya riwayat otitis media ataupun
perforasi. Kolesteatom berasal dari timbunan keratin debris pada kantung yang
terbentuk oleh karena invaginasi pars flaksid maupun hiperplasia sel basal
akibat infeksi subklinik berulang. Sedangkan kolesteatom sekunder dijumpai
pada pasien dengan riwayat otitis media/perforasi sebelumnya. Terbentuknya
kolesteatom tersebut diperkirakan berasal dari migrasi epitel skuamus
berkeratin dari telinga luar melalui membran timpani yang perforasi menuju ke
telinga tengah atapun dapat pula berasal dari metaplasia epitel telinga tengah
akibat infeksi berulang. Kolesteatoma yang terbentuk dapat menyebabkan
destruksi tulang dan jaringan sekitarnya dengan menghasilkan enzim
kolagenase, asam fosfatase, proteolitik dan menginduksi osteoklas serta sel-sel
inflamasi mononuklear.
OMSK dapat menyebabkan conductive hearing loss (CHL) serta gangguan
sensory neural hearing loss (SNHL).OMSK ditandai dengan adanya perforasi
membran timpani, yang dapat menghambat konduksi suara ke telinga bagian
dalam. Tingkat terganggu fungsi pendengaran juga telah dibuktikan
berbanding lurus dengan kerusakan yang disebabkan pada struktur telinga
tengah. Dalam beberapa kasus OMSK, bisa ada gangguan pendengaran
permanen yang dapat dikaitkan dengan perubahan jaringan ireversibel dalam
pendengaran.14Infeksi kronik telinga tengah menyebabkan edema pada
lapisan telinga tengah, perforasi membran timpani dan gangguan tulang
pendengaran, sehingga terjadi CHL. Selain itu, mediator inflamasi yang
dihasilkan selama OMSK dapat menembus ke telinga bagian dalam melalui
jendela bulat. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya sel-sel rambut di koklea,
yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural (SNHL).

3.6 Klasifikasi OMSK


26
Otitis media supuratif kronik juga dapat terbagi menjadi 2 tipe
berdasarkan lokasi dan ada tidaknya kolesteatom, sebagai berikut:
 OMSK benigna (Tipe tubotimpanik)
Proses peradangan yang terbatas pada mukosa, tidak mengenai tulang.
Tipe ini melibatkan area anteroinferior telinga tengah dengan lokasi
perforasi di sentral ataupun sub total. Umumnya OMSK tipe benigna
jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe
benigna ini tidak terdapat kolesteatom.
- Tipe aktif (wet perforation) : Mukosa mengalami inflamasi dan
terdapat discharge mukopurulen.
- Tipe inaktif (dry perforation) : Tidak terdapat inflamasi pada
mukosa dan tidak ditemukan discharge mukopurulen.
- Perforasi permanen : Perforasi sentral tipe dry yang tidak sembuh
dalam waktu lama mengindikasikan epitel skuamus eksternal dan
mukosa internal mengalami fusi pada daerah tepi perforasi.
- Otitis media kronik fase perbaikan : Perforasi akan tertutup oleh
membran tipis . Berkaitan juga dengan timpanosklerosis dan kurang
pendengaran tipe konduktif.

 OMSK maligna (Tipe atikoantral)


Tipe ini melibatkan bagian posterosuperior telinga tengah (area atik,
antrum dan mastoid) dengan lokasi perforasi berada di atik atau marginal.
Risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi pada tipe ini di antaranya dapat
terjadi invasi ke tulang. Pada OMSK tipe ini dapat dijumpai adanya
kolesteatom, granulasi, ataupun osteitis.
- Inaktif : Kantung di bagian posterosuperior pars tensa atau regio atik
berpontensi terbentuknya kolesteatom.
- Aktif : Kolesteatom secara aktif mengikis tulang,membentuk
jaringan granulasi dan keluar discharge berbau busuk terus menerus
dari telinga.
3.7 Penegakan Diagnosis OMSK
27
3.7.1 OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK TIPE AMAN
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) tipe Aman adalah radang kronik
telinga tengah disertai perforasi membran timpani dan sekret liang telinga
yang berlangsung lebih dari 2 bulan, baik hilang timbul maupun terus
menerus tanpa disertai adanya kolesteatoma,
a. ANAMNESIS
 Riwayat keluar cairan telinga hilang timbul atau terus menerus
lebih dari 2 bulan, sekret yang keluar biasanya tidak berbau
 Gangguan pendengaran
 Dapat disertai gangguan keseimbangan.
 Nyeri telinga
 Tinitus
b. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan otoskopi ditemukan :
 Perforasi membran timpani berupa perforasi sentral, atau
subtotal tanpa ada kolesteatoma
 Dapat disertai atau tanpa secret
 Bila terdapat sekret dapat berupa :
- Warna: jernih, mukopurulen atau bercampur darah
- Jumlah: sedikit (tidak mengalir keluar liang telinga) atau
banyak (mengalir atau menempel pada bantal saat tidur)
 Bau: tidak berbau atau berbau (karena adanya kuman anaerob)
c. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Dapat dilakukan pemeriksaan otomikroskopik/otoendoskopi
2. Pemeriksaan fungsi pendengaran:
 Pemeriksaan penala
 Audiometri nada murni
 Audiometri tutur dapat dilakukakan terutama untuk pemilihan
sisi telinga yang dioperasi pada kasus bilateral dengan
perbedaan ambang dengar kurang 10 dB

28
 Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) bila
diperlukan
3. Dianjurkan High Resolution Computer Tomography (HRCT)
mastoid potongan aksial koronal tanpa kontras ketebalan 0.6mm.
Foto polos mastoid Schuller masih dapat dilakukan bila fasilitas
CT scan tidak tersedia
4. Dapat dilakukan kultur dan resistensi sekret telinga, yang diambil
di :
 Poliklinik : dengan bahan sekret liang telinga
 Saat operasi : dengan bahan sekret rongga mastoid
5. Dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tuba Eustachius
6. Pemeriksaan fungsi keseimbangan
7. Pemeriksaan fungsi saraf fasialis
8. Dapat dilakukan Paper patch test
9. Dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan saat operasi
10. Untuk persiapan operasi : disesuaikan dengan PPK Tindakan
operasi yang dilakukan

d. KRITERIA DIAGNOSIS
Riwayat keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul
lebih dari 2 bulan dengan atau tanpa gejala lain, adanya perforasi
membran timpani dan tidak ditemukan kolesteatoma pada
pemeriksaan fisik atau tidak ada kecurigaan adanya kolesteatoma
pada pemeriksaan patologi anatomi atau pemeriksaan radiologi.

e. TERAPI
1. Non Pembedahan :
 Hindari air masuk ke dalam telinga
 Cuci liang telinga :
− NaCl 0,9%
− Asam asetat 2%
29
− Peroksida 3%
 Antibiotika:
− Topikal tetes telinga Ofloksasin
− Sistemik: anti Pseudomonas sp (golongan Quinolon dan
Sefalosporin generasi IV)
2. Pembedahan :
 Timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi.
 Menurut ICD 9 CM mencakup :
 Myringoplasty (Type I tympanoplasty), Type II tympanoplasty
, Type III tympanoplasty
 Ossiculoplasty
 with or without Simple mastoidectomy
 Atticotomy
3. Setelah operasi :
i. Antibiotika
 Golongan Sefalosporin anti pseudomonas adalah Sefalosporin
generasi IV (dikenal sebagai antipseudomonal), pilihannya :
Cefepime atau Ceftazidim. Antibiotik jenis ini juga merupakan
pilihan untuk pasien anak mengingat adanya kontra indikasi
pemberian antibiotik golongan Quinolon.
 Pada kasus infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) : Sefalosporin generasi V, pilihannya :
Fetaroline atau Ceftobiprol.
 Penggunaan Gentamisin dapat dilakukan pada kondisi : i.
Tidak tersedia obat lain yang tidak bersifat ototoksik. ii. Satu-
satunya antibiotik yang sensitif terhadap kuman hasil biakan
sekret liang telinga yang diambil di poliklinik maupun saat
operasi.
i. Pemberian analgetik diberikan pilihan golongan nonopioid dan
golongan opioid.

30
f. EDUKASI
1. Berobat segera bila batuk pilek
2. Hindari air masuk ke dalam telinga
3. Menyarankan operasi dengan tujuan menurunkan risiko
kekambuhan, mencegah komplikasi lebih lanjut (intra temporal dan
ekstra temporal) serta untuk perbaikan fungsi pendengaran.

3.7.2 Komplikasi OMSK


Otitis Media Kronik merupakan penyakit yang serius dikarenakan
komplikasi-komplikasi yang membahayakan. Pada Otitis Media Kronik,
komplikasi yang dapat terjadi dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori,
yaitu: Komplikasi Ekstrakranial (EC); seperti abses subperiosteal, labyrinitis,
mastoidits, dan paralisis nervus fasialis serta Komplikasi Intrakranial (IC)
yang terdiri dari abses otak, meningitis, thrombosis sinus lateralis, abses
subdural dan abses ekstradural. Pada beberapa kasus OMK, komplikasi
terjadi disebabkan erosi progresif pada tulang pendengaran yang kemudian
meningkatkan resiko kerusakan pada nervus fasialis, labirin, dan dura. Pada
penelitian yang dilakukan di India, didapatkan 20% dari penderita mengalami
komplikasi Ektrakranial dan 12% penderita mengalami kompliakasi
Intrakranial. Pada kelompok yang mengalami komplikasi Ekstrakranial yang
paling sering ditemukan adalah abses subperiosteal, labyrinits dan paralisis
nervus fasialis. Sedangkan pada kelompok yang mengalami komplikasi
Intrakranial didapatkan yang paling sering ditemukan yaitu abses otak dan
meningitis
a. Paralisis Nervus Fasialis
i. Definisi
Kelumpuhan nervus fasialis (N VII) merupakan kelumpuhan otot-
otot wajah dimana pasien tidak atau kurang dapat menggerakkan otot
wajah, sehingga wajah pasien tidak simetris.

31
Kelumpuhan nervus fasialis dapat terjadi akibat infeksi langsung
ke kanalis fasialis yang terdapat pada superior cavum timpani. Paralisis
ini dapat terjadi pada OMSK dengan atau tanpa kolesteatoma. Pada
kolesteatoma, bagian tulang pada kanalis fasialis mengalami erosi dan
timbul jaringan granulasi yang dapat menekan kanalis fasialis.
Kelumpuhan nervus dapat diamati pada cabang-cabangnya yang
mempersarafi otot-otot wajah yaitu ramus temporalis, zigommaticus,
buccal, mandibula dan cervicalis, biasanya derajat kelemahannya akan
menentukan reversibilitas kelumpuhan tersebut. Tanda-tanda
kelumpuhan yaitu berupa kelemahan kemampuan mengerutkan kening,
menutupnya kelopak mata, mengerutkan hidung, bersiul, tertawa lebar
dan meringis.
ii. Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di
antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata
yang terkena tidak ditutup atau tidak dilindungi maka air mata akan
keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik mulut tertarik kearah sisi mulut yang
sehat, makan terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)
dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya saraf intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda
timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus
stapedius)
32
Gejala dan tanda klinik mulut tertarik kearah sisi mulut yang
sehat, makan terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)
dan salivasi di sisi yang terkena berkurang, di tambah dengan
hiperakusis.
4. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum)
Gejala dan tanda klinik mulut tertarik kearah sisi mulut yang
sehat, makan terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)
dan salivasi di sisi yang terkena berkurang, di tambah dengan
hiperakusis disertai dengan nyeri di belakang dan didalam liang
telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat terjadi
pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-
Hunt adalah kelumpuhan fasialis perifer yang berhubungan dengan
herpes zoster di ganglion genikulatum. Tanda-tandanya adalah
herpes zoster otikus , dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam
kanalis auditorius dan dibelakang aurikel (saraf aurikularis
posterior), terjadi tinitus, kegagalan pendengaran, gangguan
pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi.
5. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli
akibat terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan
tanda terlibatnya saraf Trigeminus, saraf akustikus dan kadang –
kadang juga saraf Abdusen, saraf Aksesorius dan saraf Hipoglossus.
33
Gambar 6. komponen serat saraf fasialis dan intermediet dan tanda-
tanda kerusakan segmen individualnya

iii.Klasifikasi Kelumpuhan Fasialis


Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan
karakteristik dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah
usulkan tetapi semenjak pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang
selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan
fungsi yang normal dan grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit.
Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada
istirahat dan dengan kegiatan.

Tabel 1. Klasifikasi House-Brackmann

Grade Penjelasan Karakteristik


I Normal Fungsi fasial normal
II Disfungsi Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada
ringan inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
34
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan
III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan
sedang antara kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukan spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum
IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan
sedang asimetri
berat Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi Wajah tampak asimetris
berat Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total Tidak ada pergerakkan


parese

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki 24 tahun datang ke klinik THT RSUP dr. Kariadi dengan
keluhan kurang pendengaran. ± 3 bulan SMRS pasien mengeluh kurang dengar

35
pada telinga kanan. Keluhan semakin lama semakin berat sehingga mengganggu
aktivitas. Tidak ada faktor yang memperberat dan memperingan keluhan. Pasien
juga mengeluh keluar cairan dari telinga kanan, terus menerus, awalnya berwarna
bening kemudian menjadi kuning kental dan berbau. Nyeri (-/-), berdenging (-/-),
gatal (-/-), riwayat trauma (-), keluhan demam (-). Pasien kemudian memeriksakan
diri ke RS Roemani dan diberikan obat tetes telinga.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan kurang dengar pada telinga kanan
semakin memberat. Pasien juga mengeluh cairan masih keluar dari telinga
kanannya berwarna kuning kental dan berbau. Pasien juga merasa telinga kanan
terasa nyeri (+/-) dan gatal (+/-). Pasien kemudian dirujuk ke RSDK. Pada
pemeriksaan fisik hidung dan tenggorokan dalam batas normal. Pemeriksaan fisik
telinga ditemukan membran timpani telinga kanan perforasi subtotal, discaj (+)
mukopurulen memenuhi CAE, dan ditemukan jamur (+). Pada pemeriksaan
penunjang MSCT, ditemukan mastoiditis.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan
Otitis media supuratif kronik dextra dengan mastoiditis, dengan kriteria diagnosis
adanya riwayat keluar cairan dari liang telinga kanan terus menerus selama kurang
lebih 3 bulan disertai dengan adanya perforasi membran timpani subtotal pada
telinga kanan. Berdasarkan sekret yang keluar kasus ini termasuk ke dalam fase akif
dikarenakan sekret masih aktif keluar. Pada pemeriksaan penunjang juga
didapatkan gambaran mastoiditis.
Pada kasus ini juga ditemukan jamur pada liang telinga kanan sehingga
pasien didiagnosis pula dengan otomikosis. Penggunaan obat tetes telinga jangka
panjang dapat menjadi salah satu faktor resiko terjadinya infeksi jamur.
Pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan pada kasus ini antara lain Pro
audio timpanometri, Otoendoskopi, Darah rutin, GDS, PPT, PPTK, elektrolit, Ur,
Cr, dan Kultur cairan telinga. Sedangkan tatalaksana pada kasus ini antara lain Pro-
timpanoplasti, Pro mastoidektomi, Perhidrol tetes telinga 4 tetes/8jam,
Ketokonazole 2% salep, Ofloxacin tetes telinga 3 mg 10 tetes/12 jam, dan Asam
mefenamat 500 mg / 8 jam p.o (jika nyeri).

36
BAB V
PENUTUP

Penyakit tersering yang menyerang telinga tengah adalah inflamasi atau


peradangan yang disebut dengan otitis media. Peradangan tersebut menyebabkan
37
struktur membran timpani menjadi perforasi. Perforasi membran timpani
menyebabkan fungsi membran timpani sebagai penangkap getaran suara tidak
bekerja secara optimal. Perforasi membran timpani yang menetap dalam waktu
yang lama dengan pengeluaran cairan disebut dengan otitis media supuratif kronik
atau OMSK. Otitis media supuratif kronik memiliki level kompetensi 3A dan dapat
menimbulkan berbagai komplikasi, sehingga sebagai seorang dokter harus bisa
membuat diagnosis klinik, memberi terapi awal dan memberi rujukan yang tepat.

Penggunaan antibiotik atau obat tetes telinga jangka panjang, dapat


menimbulkan infeksi jamur pada telinga yakni otomikosis. Otomikosis memiliki
level kompetensi 4A, sehingga sebagai seorang dokter harus bisa membuat
diagnosis klinik dan memberikan tatalaksana hingga tuntas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Acuin J. Chronic suppurative otitis media - Burden of Illness and Management


Options. WHO Libr Cat Data. 2004;84. Available from:
http://www.who.int/pbd/publications/ Chronicsuppurativeotitis_media.pdf
38
2. Helmi. Otitis media supuratif kronik. In: Helmi, editor. Otitis media supuratif
kronik : Pengetahuan dasar, terapi medik, mastoidektomi, timpanoplasti.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. p. 55–
68.
3. Aboet A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Jab guru besar
tetap THT-KL FK USU. 2007;2–3.
4. Edward Y, Irfandy D. Otomycosis. J FK UNAND. 2012;1(2):101–6.
5. R, Sedjawidada et al. Kejadian Koloni Jamur Pada Penderita Otoredengan
Berbagai Penyebab Di Poliklinik Tht Rumah Sakit Pendidikan UNHAS.
Makasar: FK UNHAS. 2009
6. Djafar, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah dan dalam. Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai penerbit
FKUI;2012.
7. Nugroho P. ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN PERIFER. J
THT-KLVol2,No2. 2011;2(2):6–10.
8. Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J. & Restuti, R. D. Telinga,
Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher. (Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2014).
9. Marlinda L, Aprilia E, Kedokteran F, Lampung U. Otomikosis Auris Dekstra
pada Perenang Otomycosis of Right Ear Canal on A Swimmer. 2016;6:67–71.
10. Satish HS, Viswanatha B, Manjuladevi M. A Clinical Study of Otomycosis.
Journal of Dental and Medical Sciences. 2013. Available at:
http://www.iosrjournals.org/iosrjdms/ papers/Vol5-issue2/L0525762.pdf.
11. Anwar K, Gohar MS. Otomycosis; Clinical features, predisposing factors and
treatment implications. Pakistan J Med Sci 2014;30(3):no pagination.
12. Levine SC, Souza CD, Shinners MJ. Intracranial complications of otitis media.
In: Gulya AJ, Minor LB, Poe DS, editor. GlasscockShambaugh Surgery of The
Ear. Sixth edition. Connecticut: Panduan Praktik Klinik PP PERHATI-KL −12
PMPH USA; 2010. p.451-64.

39
13. Gopen Q. Pathology and clinical course of the inflammatory disease of the
middle ear. In: Gulya AJ, Minor LB, Poe DS, editor. Glasscock-Shambaugh
Surgery of The Ear. Sixth edition. Connecticut: PMPH USA; 2010. p.425-36.
14. Hamilton J. Chronic otitis media in childhood. In: Gleeson M, Browning GG,
Burton MJ, Clarke R, Hibbert J, Jones NS, Lund VJ, et al, editor. Scotts-
Brown’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. 7th edition. London:
Edward Arnold publisher; 2008. p.928-964.

40

Anda mungkin juga menyukai