Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA

Disusun oleh:
Kelompok IX
Tingkat II A Keperawatan Malang
Maulidia Riska

(1401100005)

Lolita Nindi I

(1401100006)

Gigih Eko S

(1401100030)

Tanti Adiati

(1401100036)

Indah Styarini

(1401100048)

Rizki Puji S

(1401100051)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


DIII KEPERAWATAN MALANG
APRIL 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan taufik
dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Keperawatan Medikal Bedah dengan judul Asuhan Keperawatan Pasien
dengan Otitis Media.
Makalah ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1

Bapak Budi Susatia S.Kep, M.Kes selaku direktur utama Poltekkes

Kemenkes Malang
Teman - teman D III Keperawatan Poltekkes Kemenkes Malang.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, serta
dapat digunakan sebagai motivator untuk menyusun makalah lain yang lebih
baik. Kami menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon

kritik dan saran dari

pembaca. Sehingga dalam penulisan selanjutnya dapat lebih baik dan


sempurna.

Malang, 22 April 2016

Penulis,

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................3
1.3 Tujuan .......................................................................................3
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Definisi dan Klasifikasi Otitis Media........................................4
2.2 Etiologi Otitis Media.................................................................4
2.3 Tanda dan Gejala Otitis Media..................................................8
2.4 Patogenesis................................................................................16
2.5 Patofisiologi..............................................................................17
2.6 Penatalaksanaan........................................................................18
2.7 Pencegahan................................................................................24
2.8 Komplikasi................................................................................24
BAB III CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Kasus.........................................................................................26
3.2 Pembahasan...............................................................................27

DAFTAR PUSTAKA................................................................................39

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks
(pendengaran dan keseimbanga Anatominya juga sangat rumit . Indera
pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan
pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Di Indonesia didapat dari data THT diseluruh Indonesia tercatat 65 orang
perbulan dalam pemeriksaan dengan keluhan peradangan pada telinga tengah,
sedangkan dikalbar data yang didapat tidaklah terlalu spesifik, hanya ada
beberapa pasien saja yang tercatat disetiap bulannya.
Deteksi awal dan diagnosis akurat gangguan otologik sangat penting. Di
antara mereka yang dapat membantu diagnosis dan atau menangani kelainan
otologik adalah ahli otolaringologi, pediatrisian, internis, perawat, ahli
audiologi, ahli patologi wicara dan pendidik.
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
bagian tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis
media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media

non supuratif.

Masing-masing mempunyai bentuk akut dan kronis. Pada

beberapa

penelitian, diperkirakan terjadinya otitis media yaitu 25% pada anak-anak.


Infeksi umumnya terjadi dua tahun pertama kehidupan dan puncaknya pada
tahun pertama masa sekolah.
Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang
berlangsung kurang dari tiga minggu. Yang dimaksud dengan telinga tengah
adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan
telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius.
Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu pefusi telinga tengah yang
akan berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme,
adanya tanda inflamasi akut, serta munculnya gejala otalgia, iritabilitas, dan
demam. Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari berbagai
penyakit yang umum terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-

negara dengan ekonomi rendah dan Indonesia, serta memiliki angka kejadian
yang cukup bervariasi pada tiap-tiap negara. Penyakit ini juga telah
menimbulkan beban lain yang cukup berarti, diantaranya waktu dan biaya.
Salah satu laporan Center for Disease Control and Prevention (CDC)
dalam salah satu programnya yaitu CDCs Active Bacterial Core Surveillance
(ABCs) di Amerika Serikat tahun 1999 menunjukkan kasus OMA terjadi
sebanyak enam juta kasus per tahun. Meropol dkk juga mendapati 45-62%
indikasi pemberian antibiotik pada anak-anak di Amerika Serikat disebabkan
OMA. Oleh karena pemakaian antibiotik yang tinggi, beban negara tersebut
yang digunakan untuk kasus OMA tergolong signifikan, melebihi 3,8 triliun
dolar setiap tahunnya. Sementara itu di Kanada, tepatnya di Quebec, biaya
penanganan OMA diperkirakan menghabiskan dana lebih dari sepuluh juta
dolar setiap tahunnya dan tenaga medis menghabiskan waktu kira-kira 4,9 jam
untuk keseluruhan penanganan OMA. Otitis media supuratif kronis (OMSK)
termasuk salah satu masalah kesehatan utama yang ditemukan pada banyak
populasi di dunia, dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
cukup signifikan. Penyakit ini biasa ditemukan pada masyarakat kelas
menengah ke bawah di negara-negara berkembang, dan menyebabkan
meningkatnya biaya untuk pengobatan.
Prevalensi OMSK di dunia berkisar antara 1 sampai 46 % pada
komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah di negara-negara
berkembang. Adanya prevalensi OMSK lebih dari 1% pada anak-anak di suatu
komunitas menunjukkan adanya suatu lonjakan penyakit, namun hal ini dapat
diatasi dengan adanya pelayanan kesehatan masyarakat. Otitis media kronik
terjadi secara perlahan-lahan namun dalam jangka waktu yang lama. Dengan
demikian, dalam penanganannya memerlukan suatu kecermatan dan ketepatan
agar dapat dicapai penyembuhan yang maksimal. Dari survei pada 7 propinsi
di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan insiden Otitis Media Supuratif
Kronis (atau yang oleh awal dikenal sebagai "congek") sebesar 3% dari
penduduk Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia
diperkirakan terdapat 6,6 juta penderita OMSK. Jumlah penderita ini kecil
kemungkinan untuk berkurang bahkan mungkin bertambah setiap tahunnya
mengingat kondisi ekonomi masih buruk, kesadaran masyarakat akan

kesehatan yang masih rendah dan sering tidak tuntasnya pengobatan yang
dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan otitis media?
1.2.2 Bagaimana etiologi otitis media?
1.2.3 Apa saja tanda dan gejala otitis media?
1.2.4 Bagaimana patogenesis otitis media?
1.2.5 Bagimana patofisiologi otitis media?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan otitis media?
1.2.7 Bagaimana pencegahan otitis media?
1.2.8 Apa saja komplikasi dari otitis media?
1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat mengetahui definisi otitis media
1.3.2 Dapat mengetahui etiologi otitis media
1.3.3 Dapat mengetahui tanda dan gejala otitis media
1.3.4 Dapat mengetahui patogenesis dari otitis media
1.3.5 Dapat mengetahui patofisiologi dari otitis media
1.3.6 Dapat mengetahui penatalaksanaan otitis media
1.3.7 Dapat mengetahui pencegahan dari otitis media
1.3.8 Dapat mengetahui komplikasi otitis media

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Definisi dan Klasifikasi Otitis Media
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
terbagi atas otitis media supuratif dan non-supuratif, dimana masing-masing
memiliki bentuk akut dan kronik. Otitis media akut termasuk kedalam jenis
otitis media supuratif. Selain itu terdapat juga jenis otitis media spesifik, yaitu

otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitik, dan otitis media adhesiva
(Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat (Buchman, 2003).
Otitis media kronis adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana
terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran
timpani tidak intak (perforasi) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang
hilang timbul. Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul
atau menetap selama 2 bulan atau lebih (Djaafar, 1997).
Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen di
tengah telinga tengah, sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di
tengah telinga dengan membran timpani utuh tanpa da tanda-tanda infeksi
disebut juga otitis media dengan efusi. Pabila efusi tersebut encer disebut
otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental disebut otitis media
mukoid (glue ear).
2.2 Etiologi Otitis Media
2.2.1 Otitis Media Akut
a. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Tiga
jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus
pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%)
dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai
patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A
betahemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif.
Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di
rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak
balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga
sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
b. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus
yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory
syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak
30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus
7

atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap


fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan
adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).
Terdapat beberapa faktor risiko pada otitis media akut antara lain
umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta
lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan
merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis
kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran
pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius
dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan
insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh
struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain
itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih
rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi
dibanding dengan anak perempuan. Faktor genetik juga berpengaruh.
Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan
penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan
pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA
pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh
karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita
OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA
yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya
riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat
penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan
adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA
karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita
penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang
sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus
(Kerschner, 2007).

2.2.2

Otitis Media Kronis


Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang
pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya
berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis),
mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba
Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai
pada anak dengan cleft palate dan downs syndrom. Faktor host yang
berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi
immun sistemik. Penyebab OMSK antara lain:
a. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas,
tetapi mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK
dan sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki
insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini
berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal
yang padat.
b. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama
apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid
yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid
lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah
hal ini primer atau sekunder.
c. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan
dari otitis media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak
diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang
lainnya berkembang menjadi kronis.
d. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah
hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif
menunjukkan bahwa metode kultur yang digunakan adalah tepat.
Organisme yang terutama dijumpai adalah Gramnegatif, flora tipeusus, dan beberapa organisme lainnya.
e. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi
saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga

tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap


organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga
memudahkan pertumbuhan bakteri.
f. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih
besar terhadap otitis media kronis.
g. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih
tinggi dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah
dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes
telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum
terbukti kemungkinannya.
h. Gangguan fungsi tuba eustachius
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat
oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau
sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai
metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius
dan

umumnya

menyatakan

bahwa

tuba

tidak

mungkin

mengembalikan tekanan negatif menjadi normal (Kumar S, 1996).


2.2.3

Otitis Media Serosa


Otitis media serosa akut adalah keadanaan terbentuknya secret di
telinga tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi
tuba. Keadaan akut ini dapat disebabkan antara lain oleh :
a. Sumbatan tuba, dimana terbentuk cairan di telinga tengah
disebabkan oleh tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada
barotraumas
b. Virus, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan
dengan infeksi virus pada jalan nafas atas
c. Alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan
dengan keadaan alergi pada jalan nafas atas
d. Idiopatik
Otitis media serosa kronik dapat terjadi sebagai gejala sisa dari
OMA yang tidak sembuh sempurna. Penyebab lain diperkirakan adanya
hubungan dengan infeksi virus, keadaan alergi atau gangguan mekanis
pada tuba.

10

2.3 Tanda dan Gejala Otitis Media


2.3.1 Otitis Media Akut
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur
pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah
rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu
tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.
Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang
telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau
ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran
temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan
menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan
dan membengkak atau bulging.
Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah
seperti berikut:
Skor

Suhu

Gelisah

(oC)

Tarik

Kemeraha

Telinga

Bengkak pada

pada membran

membran

timpani

timpani
0

<38

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

38-38,5

Ringan

Ringan

Ringan

Ringan

38,6-39

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

>39

Berat

Berat

Berat

Berat,
termasuk otore

11

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan


angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA
berat. Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat
otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau
39,5C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam
kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari, 2005).

Gejala klinis otitis akut berdasarkan tingkat stadiumnya (Djaafar,


2007):
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai
oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani
negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara.
Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih
horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada
tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi,
membran timpani kadangkadang tetap normal dan tidak ada
kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah
terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan
dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan
alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran
timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis,
edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi
berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti.
Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan
pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam.
Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,

12

tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena


terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejalagejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007.)

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid.
Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat
dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang
purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol
atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di
telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur
nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif.
Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium
supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis
mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan
nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat
tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran
timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis
terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi
pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga
tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani
akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang
tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani
mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar,
2007; Dhingra, 2007).
4. Stadium Perforasi

13

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga


sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari
telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran
sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan
oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi
kuman.
Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu
tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika mebran timpani
tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung
melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung
selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan
itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran
timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan
akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini
berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani
masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi
otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi
membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terusmenerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat
menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media
serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami
perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2.3.2 Otitis Media Kronis
a. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air
dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus
dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan
14

mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah
sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi
dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK
stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang
sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan
kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat kepingkeping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas
unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur
darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip
telinga

dan

merupakan

tanda

adanya

kolesteatom

yang

mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah


kemungkinan tuberkulosis.
b. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya di jumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat
campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses
patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra
ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari
20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik.
Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan
penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian
tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat
karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan

15

berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat


(foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis
supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf
berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kokhlea.
c. Otalgia (nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri
dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti
adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman
pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin
oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal
abses atau trombosis sinus lateralis.
d. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius
lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah
terjadinya

fistel

labirin

akibat

erosi

dinding

labirin

oleh

kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan


tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran
timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang
oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan
meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat
komplikasi serebelum (Helmi S, 1990).
2.3.3 Otitis Media Serosa
a. Gejala otitis media serosa akut
Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya
adalah pendengaran berkurang. Selain itu, rasa tersumbat pada
telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda, pada
telinga yang sakit (diplacius binauralis). Kadang-kadang terasa
seperti adanya cairan yang bergerak di dalam telinga pada saat posisi
kepala berubah. Rasa sedikit nyeri dalam telinga dapat terjadi pada
saat awal tuba terganggu, yang menyebabkan timbul tekanan negatif

16

pada telinga tengah, tetapi setelah sekret terbentuk tekanan negatif


ini perlahan hilang. Rasa nyeri dalam telinga tidak pernah ada bila
timbulnya sekret adalah virus atau alergi. Tinitus, vertigo atau pusing
kadang-kadang ada dalam bentuk yang ringan. Pada otoskopi terlihat
membran timpani retraksi. Kadang-kadang tampak gelembung udara
atau permukaan cairan dalam kavum timpani. Tuli konduktif dapat
dibuktikan dengan garpu tala.
b. Gejala otitis media serosa kronik (glue ear)
Perasaan tuli pada otitis media serosa kronik lebih menonjol
(40-50 dB) oleh karena adanya sekret kental atau glue ear. Pada
anak-anak yang berumur 5-8 tahun keadaan ini sering diketahui
secara kebetulan waktu dilakukan pemeriksaan THT atau dilakukan
uji pendengaran. Pada otoskopi terlihat membran timpani utuh,
retraksi, suram, kuning kemerahan atau keabu-abuan.

17

2.4 Patogenesis Otitis Media

Sembuh atau Normal


Fungsi tuba tetap terganggu
Tekanan negative telinga tengah
Gangguan Tuba
Efusi

OME
Infeksi (-)

Tuba teteap terganggu, ada infeksi

Etiologi:
Perubahan tekanan udara tiba-tiba
Infeksi
Alergi

OMA

Sembuh

OME

OMSK

18

Otitis media sering diawali dengan adanya infeksi. Infeksi diakibatkan


karena adanya bakteri atau virus yang menyerang ke bagian saluran tengah
atau biasa disebut dengan tuba eusthacius pada telinga. Kemudian bakteri
tersebut menyebabkan infeksi yang dapat menimbulkan peradangan, bengkak
pada telinga dan meyebabkan penyumbatan pada saluran tersebut. Infeksi
yang semakin lama tersebut menyebabkan secret menumpuk yang
menimbulkan terbentuknya lendir serta nanah. Jika hal ini tidak segera
ditangani, lendir dan nanah akan mengganggu sitem pendengaran dan
menyebabkan terjadinya otitis media. Otitis media dibagi maenjadi beberapa
macam yaitu otitis media akut (OMA), otitis media kronik (OMK) dan otitis
media serosa (OMS).
2.5 Patofisiologi Otitis Media
Otitis media diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, bakteri dapat
menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di
sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan efusi oleh cairan yang
menyumbat. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di
belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu
telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu
banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.

17

2.6 Penatalaksanaan Otitis Media


2.6.1 Otitis Media Akut
a. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi
saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media
adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania
yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba
Eustachius,

menghindari

perforasi

membran

timpani,

dan

memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).


Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 %
dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun
pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian
antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes
hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi
awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat
di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan
ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis,
amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus
dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih
utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar,
2007).

18

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar,


kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga
(ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik
yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari
(Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak
terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai
3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi
mastoiditis (Djaafar, 2007).
b. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani
OMA

rekuren,

seperti

miringotomi

dengan

insersi

tuba

timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).


1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke
liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat
dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani
dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,
miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
telinga tengah (Djaafar, 2007).
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri
berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis,
mastoiditis,

labirinitis,

dan

infeksi

sistem

saraf

pusat.

Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang


mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada
satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon
kurang

memuaskan

terhadap

terapi

second-line,

untuk

19

menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner,


2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone

(1996)

dalam

Titisari

(2005),

timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,


dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik
tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru
lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah.
Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun
morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam
tiga

penelitian

prospertif,

randomized

trial

yang

telah

dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis
media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah
menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis,
tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan
OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba,
tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi
jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
2.6.2

Otitis Media Akut


Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan

pada faktor-faktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Bila


didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi
obat-obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi,
di mana pengobatan dapat dibagi atas konservatif dan operasi.
a. OMSK Benigna Tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan
untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu
mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi
saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan

20

operasi rekonstruksi (Miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah


infeksi berulang serta gangguan pendengaran.
b. OMSK Benigna Aktif
Prinsip pengobatan OMSK adalah pembersihan liang telinga dan
kavum timpani serta pemberian antibiotika.
1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpan (toilet telinga)
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang
tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret
telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan
mikroorganisme (Fairbank, 1981). Cara pembersihan liang telinga
(toilet telinga):
Toilet telinga secara kering (dry mopping).
Toilet telinga secara basah (syringing).
Toilet telinga dengan pengisapan (suction toilet)
(Shenoi P.M, 1987).
2. Pemberian antibiotik topikal
Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas
untuk OMSK aktif yang dikombinasi dengan pembersihan
telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin dapat melawan
kuman Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi tidak aktif melawan
gram negatif anaerob dan mempunyai kerja yang terbatas
melawan

Pseudomonas

karena

meningkatnya

resistensi.

Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan


beberapa gram negatif tetapi tidak efektif melawan organisme
gram positif (Fairbanks, 1984).
Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin,
polimiksin dan hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat
digunakan sulfanilaid-steroid tetes mata. Kloramfenikol tetes
telinga tersedia dalam acid carrier dan telinga akan sakit bila
diteteskan. Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan
gram negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga efektif
melawan kuman anaerob, khususnya B. fragilis (Fairbanks,
1984).
Pemakaian jangka panjang lama obat tetes telinga yang
mengandung aminoglikosida akan merusak foramen rotundum,

21

yang akan menyebabkan ototoksik. Antibiotika topikal yang dapat


dipakai pada otitis media kronik adalah Polimiksin B atau
polimiksin E, Neomisin dan Kloramfenikol. Polimiksin B atau
polimiksin E bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif,
Pseudomonas, E. Koli Klebeilla, Enterobakter, tetapi resisten
terhadap gram positif, Proteus dan B.fragilis. Ia bersifat toksik
terhadap ginjal dan susunan saraf. Neomisin merupakan obat
bakterisid

pada

kuman

gram

positif

dan

negatif

serta

menyebabkan toksik terhadap ginjal dan telinga.


3. Pemberian antibiotik sistemik
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya
berdasarkan kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak
lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus.
Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu diperhatikan faktor
penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut. Dalam
pengunaan

antimikroba,

sedikitnya

perlu

diketahui

daya

bunuhnya terhadap masing- masing jenis kuman penyebab, kadar


hambat minimal terhadap masing-masing kuman penyebab, daya
penetrasi antimikroba di masing jaringan tubuh, toksisitas obat
terhadap kondisi tubuhnya. Peninggian dosis tidak menambah
daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta
laktam.
c. OMSK Maligna
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi.
Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan
terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses
subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri
sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis
pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK
dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain
mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy), mastoidektomi
radikal, mastoidektomi radikal dengan modifikasi, miringoplasti,
timpanoplasti dan pendekatan ganda timpanoplasti (Combined
approach tympanoplasty). Tujuan operasi adalah menghentikan
22

infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang


perforasi,

mencegah

terjadinya

komplikasi

atau

kerusakan

pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran


(Millis R.P, 1997).
2.6.3 Otitis Media Serosa
a. Pengobatan otitis media serosa akut
Pengobatan dapat secara medikamentosa atau pembedahan.
Pada pengobatan medical diberikan obat vasokontuktor local (tetes
hidung), antihistamin, serta parasat Valsava, bila tidak ada tandatanda infeksi di jalan nafas atas. Setelah satu atau dua minggu, bila
gejala-gejala masih menetap, dilakukan miringotomi dan bila masih
belum sembuh maka dilakukan miringotomi serta pemasangan pipa
ventilasi (grommet tube).
b. Pengobatan otitis media serosa kronik
Pengobatan yang harus dilakukan adalah mengeluarkan secret
dengan miringotomi dan memasang pipa ventilasi (grommet tube).
Pada kasus yang masih baru pemberian dekongestan tetes hidung
serta kombinasi antihistamin-dekongestan peroral kadang-kadang
bias

berhasil.

Sebagian

ahli

menganjurkan

penobatan

medikamentosa selama 3 bulan, bila tidak berhasil baru dilakukan


tindakan operasi. Disamping itu harus pula dinilai serta diobati
faktor-faktor penyebab seperti alergi, pembesaran adenoid atau
tonsil, infeksi hidung dan sinus.
2.7 Pencegahan Otitis Media
2.7.1 Otitis Media Akut
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA.
Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan
pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam
bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lainlain (Kerschner, 2007).
2.7.2 Otitis Media Kronis
Vaksinasi pneumococcus yang diberikan pada saat anak-anak
mengurangi tingkat keakutan yang berakibat kronis pada radang telinga
bagian tengah dengan 67% dan jika diimplementasikan secara meluas
23

akan memberikan keuntungan kesehatan publik yang mencolok.


Vaksinasi influenza direkomendasikan dilakukan setahun sekali.
2.8 Komplikasi
2.8.1 Otitis Media Akut
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis.
Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis
media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar
(2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal
(perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis,
labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan
intracranial (abses otak, tromboflebitis).
2.8.2 Otitis Media Kronik
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius
karena komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat
menyebabkan kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi
tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otorea.
Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna,
tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman
yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan
komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat
pada eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom.
Adam dkk mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:
1. Komplikasi di telinga tengah yaitu perforasi persisten, erosi tulang
pendengaran dan paralisis nervus fasial.
2. Komplikasi telinga dalam yaitu fistel labirin, labirinitis supuratif
dan tuli saraf (sensorineural).
3. Komplikasi ekstradural yaitu abses ekstradural, trombosis sinus
lateralis dan petrositis.
4. Komplikasi ke susunan saraf pusat yaitu meningitis, abses otak dan
hidrosefalus otitis (Helmi S, 1997).

24

BAB III
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Kasus
An.H usia 3 tahun, agama islam, suku bangsa jawa, alamat jalan nanda
naru theok Jambi. Masuk kerumah sakit R pada tanggal 11 November 2015
diantar oleh keluarganya, Ny.K 32 tahun seorang ibu rumah tangga, dnegan
kleuhan sejak 2 hari ini nyeri pada daerah pada bagian telingansebelah
kanannya. Rasa sakit ini tidak hilang bahkan klien sampai demam, mual,
muntah dan tidak ada napsu makan.
Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan adanya pembengkakan pada
telinga kanan klien, bengkak tampak merah dan meradang. Pada membrane
timpani sebelah kanan klien tampak bulging dan hiperemis. Klien tampak
rewel dan terus meringis kesakitan, klien juga tampak memegangi dan
menarik-narik telinga yang sakit.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh RR 22x per menit,
nadi 110 kali per menit dan suhu tubuh klien 40 derajat celcius. Klien tampak
menderita nyeri dengan skla nyeri 6, nyeri dirasakan semakin hebat pada
malam hari atau pada saat anak sedang bermain atau saat melakukan aktivitas
lainnya. Kulit tubuh klien tampak kemerahan, saat ditimbang BB klien 11 kg,
klien hanya menghabiskan dari porsi makan yang disediakan. Klien masih
mengalami muntah dengan frekuensi muntah 3 kali per 24 jam. Dan hasil
pemeriksaan laboratorium diperoleh peningkatan jumlah sel lekosit yaitu 16
ribu/ml3 darah.
25

Ibu klien mengatakan bahwa anaknya pernah menderita batuk dan pilek
dan tidak ada riwayat keluarnya cairan dari rongga telinga, dan tidak pernah
mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam atau dengan benda yang
berbahaya lainnya. Sebelumnya dari kleuarga klien tidak ada yang menderita
sakit seperti yang klien alami dan tidak ada riwayat alergi dalam anggota
keluarga. Keluarga klien juga tidak ada yang menderita penyakit DM.
3.2 Pembahasan
3.2.1 Pengkajian
a. Identitas klien
1) Nama klien : An.H
2) Usia
: 3 tahun
3) Agama
: Islam
4) Suku bangsa : Jawa
5) Alamat
: Jl.Nanda baru Thehok Jambi
b. Penanggungjawab
1) Nama
: Ny.K
2) Usia
: 32 tahun
3) Agama
: Islam
4) Suku bangsa : Jawa
5) Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
6) Alamat
: Jl.Nanda baru Thehok Jambi
c. Tanggal masuk Rumah Sakit
Klien masuk RS.R pada tanggal 11 November 2015 dan dirawat di
R.THT
d. Alasan masuk Rumah Sakit
An.H dibawa ke RS.R dengan alasan ibu klien mengatakan bahwa
sejak 2 hari An.H menderita demam, dengan suhu mencapai 40
derajat Celsius. Klien juga merasakan nyeri pada daerah bagian
telinga sebelah kanannya dan rasa sakit tidak hilang.
e. Riwayat kesehatan sekarang
P= Nyeri dirasakan klien pada saat klien sedang bermain dan
melakukan aktivitas lainnya
Q= Nyeri tekan dan berasa nyut-nyut dan telinga terasa penuh
R= Nyeri dirasakan pada telinga sebelah kanan tepatnya pada
telinga tengah
S= Skala nyeri 6 (nyeri sedang). Klien tampak meringis dan
memegangi serta menarik-narik bagian telinga yang sakit
T= Nyeri semakin hebat dirasakan klien pada malam hari
Saat ini klien juga mengalami demam dengan suhu tubuh mencapai
40 derajat celcius, kulit tubuh klien tampak kemerahan, klien juga
26

mengalami mual dan muntah dengan frekuensi muntah 3 kali per


24 jam.
f. Riwayat kesehatan dahulu
Ny.K mengatakan bahwa An.H pernah menderita batuk dan pilek,
tidak ada riwayat keluarnya cairan dari rongga telinga dan tidak
pernah mengorek-ngoek telinga dengan benda tajam dan benda
yang berbahaya lainnya.
g. Riwayat kesehatan keluarga
Ny.K mengatakan bahwa sebelumnya dari anggota keluarganya
tidak ada yang menderita sakit seperti yang klien alami dan tidak
ada riwayat alergi dari anggota keluarga, keluarga juga tidak ada
yang mnederita DM.
h. Pemeriksaan laboratorium
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa terjadi
peningkatan kadar jumlah sel leukosit yaitu 16.000/ml3 darah.
i. Anamnesa per sistem
1) Syaraf
: tidak ada keluhan
2) Respirasi
: tidak ada keluhan
3) Kardiovaskuler
: tidak ada keluhan
4) Gastrointestinal
: klien mengalami mual dan muntah
dengan frekuensi muntah 3x per 24 jam
5) Urogenital
: tidak ada keluhan
6) Muskuloskeletal
: tidak ada keluhan
j. Pemeriksaan fisik
1) Status Generalis
a) Keadaan umu
: cukup
b) Kesadaran
: composmentis
c) BB
: 11 kg
d) TTV
:
RR=
22x/menit

S=400C

N=100x/menit
2) Status lokalis
a) Telinga
Inspeksi
Aurikula
AD
: dalam batas normal
AS
: dalam batas normal
Kanalis auditorius
AD
: tampak hiperemis
AS
: dalam batas normal
Otoskopi
Membran timpani
AD
: tampak bulging dan hiperemis

27

AS
: dalam batas normal
Palpasi
Nyeri tekan tragus
AD
: (-)
AS
: (-)
Nyeri tekan aurikula
AD
: (+)
AS
: (-)
b) Hidung dan sinus paranasalis
Inspeksi
: deformitas (-)
Palpasi
: nyeri tekan (-)
Trinuskopi anterior
Deviasi septum
: (-)
Discharge
: (-)
Mukosa hiperemis : (-)
Konkahipertrofi
: (-)

c) Rongga mulut
Lidah : tremor (-)
Mulut : mukosa bukal dalam batas normal,
hiperemis (-)
Gigi : karies (-)
Palatum: dalam batas normal
d) Tenggorokan
Inspeksi region nasofaring
Mukosa hiperemis (-)
Tonsil tidka membesar, T1-T1
Postnasal drip (-)
Analisa Data
Nama klien

: An.H

Usia

: 3 tahun

No
1.
DS:

Data

Etiologi
Inflamasi, tekanan

Masalah
Nyeri

28

Klien

mengatakan

mengeluh

nyeri

pada

pada membrane
timpani

telinga sebelah kanannya,


nyeri semakin terasa pada
malam hari atau pada saat
klien sedang bermain atau
melakukan

aktivitas

lainnya
DO:
1. Setelah dilakukan
pemeriksaan
terdapat

adanya

pembengkakan
pada telinga kanan
klien,

bengkak

tampak merah dan


meradang,
membrane timpani
tampak

bulging

dan hiperemis
2. Klien
tampak
rewel

dan

meringis
3. Klien

terus
tampak

memegangi

dan

menarik-narik

2.

telinga yang sakit


4. RR: 22x/menit
N: 110x/menit
5. Skala nyeri 6
DS:
Ibu

klien

Infeksi

Hipertermi

mengatakan

bahwa anaknya menderita


demam sejak 2 hari yll

29

DO:
1. Klien

tampak

rewel
2. Suhu tubuh 400 C
3. Jumlah sel leukosit
16.000/ml3
3.

DS:

Anoreksia

Ibu mengatakan bahwa


napsu

makan

anaknya

Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhn tubuh

menurun dan mual muntah


DO:
1. Klien

hanya

menghabiskan

dari porsi makan


yang disediakan
2. Klien mengalami
muntah

dengan

frekuensi muntah 3
kali/24 jam
3. BB klien 11 kg
3.2.2

Diagnosa
Nama klien : An.H
Umur

No
1

: 3 tahun

Tanggal
11 November 2015

Diagnosa keperawatan
Nyeri berhubungan dengan inflamasi,
tekanan dalam membrane timpani
ditandai dengan klien mengatakan
nyeri pada telinga sebelah kanan dan
terasa nyeri saat malam hari atau saat

11 November 2015

melakukan aktivitas
Hipertermi berhubungan

dengan

30

infeksi ditandai dengan meningkatnya


jumlah sel leukosit dan demam sejak
3

11 November 2015

2 hari yang lalu


Perubahan nutrisi

kurang

dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan


anoreksia ditandai dengan ibu klien
mengatakan bahwa anaknya tidak
mau makan dan mengalami mual
muntah

31

32

3.2.3

Intervensi Keperawatan
Nama klien : An.H
Umur
: 3 tahun
N
o
1.

Diagnosa keperawatan
Tujuan/kriteria hasil
Nyeri

berhubungan Tujuan:
Setelah dilakukan
dengan inflamasi, tekanan
tindakan
dalam membrane timpani
keperawatan
ditandai dengan klien
diharapkan
nyeri
mengatakan nyeri pada
berkurang, hilang
telinga sebelah kanan dan
atau
teradaptasi
terasa nyeri saat malam
dengan k.h:
hari atau saat melakukan
1. Klien tidak
aktivitas
lagi
memegangi
dan
menariknarik
telinganya

Perencanaan
Intervensi
1. Tentukan

riwayat

nyeri,

misalnya

lokasi

nyeri,

frekuensi,

durasi,

intensitas

dan

tindakan
penghilang

yang

nyeri

non verbal, seperti


ekspresi
menangis,
meringis,

1. Informasi
memberikan
dasar

data
untuk

mengevaluasi
kebutuhan

atau

keefektifan

digunakan
2. Observasi adanya
tanda-tanda

Rasional

wajah

intervensi.
2. Merupakan indicator
atau

derajat

nyeri

yang tidak langsung


dialami oleh anak.

atau
rewel,

gelisah,

33

yang

memegangi daerah

mengindikas
ikan

nyeri

pada klien
2. TTV dalam
batas normal
3. Klien tidak
rewel

dan

tidak

yang sakit
3. Biarkan

anak

duduk

atau

tinggikan

kepala

dengan

bantal,

hindari

daerah

panas pada daerah

luar telinga

wajah
meringis

dapat

mengurangi tekanan
dan

cairan

pada

telinga bagian tengah.

telinga yang sakit


4. Berikan kompres

menunjukka
ekspresi

3. Ketinggian

4. Kompres

hangat

dilakukan

untuk

mengurangi
5. Kaji

TTV,

perhatikan
peningkatan
N, RR
6. Gunakan

TD,

rasa

nyeri.
5. Dapat
mengidentifikasikan
rasa sakit akut dan

tehnik

sentuhan
terapeutik,
fisualisasi
dengan musik

ketidaknyamanan.
6. Memberikan
anak
sejumlah pengendali

atau

nyeri

dan

dapat

mengubah

34

mekanisme

sensasi

nyeri dan mengubah


7. Kolaborasi berikan
analgesik

persepsi nyeri.
7. Analgesik mengubah
persepsi atau repson

2.

Hipertermi

berhubungan Setelah

dilakukan

1. Pantau suhu klien,

dengan infeksi ditandai tindakan

perhatikan

dengan

menggigil

meningkatnya keperawatan

jumlah sel leukosit dan diharapkan


demam sejak 2 hari yang hipertermi
lalu

atau

diaphoresis

anak dapat teratasi

2. Berikan

kompres

dengan k.h
1. Suhu tubuh

hangat,

hindari

normal

36-

370C
2. Leukosit
dalam rentan

tinggi

menunjukkan

proses

penyakit

dapat

membantu

dalam diagnosis
2. Kompres
hangat
dapat

penggunaan
alcohol
3. Longkarkan

yang

infeksi. Pola demam

pada

dalam batas

terhadap nyeri
1. Suhu tubuh

menurunkan

demam
atau

ganti pakaian klien

3. Hal

ini

dengan bahan yang

membantu

tipis

menurunkan

normal
4. Kolaborasi berikan

dapat
panas

tubuh melalui cara

35

(5000-

antipiretik

10000/ml3
darah)
3.

Perubahan nutrisi kurang Setelah


dari

kebutuhan

berhubungan

dilakukan

tubuh tindakan

ibu

klien

mengatakan terpenuhi

tekstur

dan turgor kulit

dengan keperawatan

anoreksia ditandai dengan diharapkan

1. Observasi

2. Lakukan
nutrisi

oral

hiegine

porsi

makan
3. Adanya
peningkatan
berat badan
4. Mual
dan

digunakan

untuk

menurunkan demam
1. Hal ini dilakukan
untuk

mengetahui

status nutrisi klien


2. Kebersihan
mulut
meningkatkan

nafsu makan
3. Anjurkan
sedikit

makan
demi

sedikit tapi sering

3. Makan sedikit demi


sedikit

tapi

sering

dapat

mengurangi

rasa mual muntah

menghabisk
an

dapat

dapat

dengan

bahwa anaknya tidak mau K.H


1. Nafsu
makan dan mengalami
makan
mual muntah
bertambah
2. Klien

evaporasi
4. Antipiretik

4. Berikan makanan

4. Memudahkan

kecil dan lunak

masuknya
dan
gangguan

makanan
mencegah
pada

lambung

36

muntah
teratasi

37

Daftar Pustaka

Corwin, E. 2001. Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Sjamsusihadajat., Karnadihardja, W., Prasetyono, I., & Rudiman, R. 2011. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

38

Anda mungkin juga menyukai