Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA PRIA 57 TAHUN DENGAN


PENURUNAN KESADARAN ET CAUSA STROKE INFARK BERULANG
DISERTAI PNEUMONIA

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Dhya Budi Amalin 22010117220051

Tommy Nurhayadi 22010117220082

Pembimbing :

dr. Ilham Anggito

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Dhya Budi Amalin


Tommy Nurhayadi
NIM : 22010117220051
22010117220082
Fakultas : Kedokteran Umum
Judul : Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pria 57 Tahun dengan
Penurunan Kesadaran Et Causa Stroke Infark Berulang

Bagian/SMF : Ilmu Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas


Diponegoro Semarang

Semarang, Mei 2018

Pembimbing

dr. Ilham Anggito


BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan


meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Salah satu cabang yang sangat ditekankan
untuk dikuasai sebagai seorang dokter umum adalah penanganan pasien kegawat
daruratan.

Pada kegawatan ada 3 hal yang harus diwaspadai yaitu Airway, Breathing, dan
Circulation atau yang biasa yang kita singkat ABC. Penangganan ini disebut Basic Life
Support. BLS bertujuan untuk menjaga perfusi jaringan agar tetap baik dan mengalami
perbaikan. Kegawatan bisa terjadi kapan saja dimana saja dan dengan siapa saja sehingga
seluruh tenaga kesehatan harus tahu cara melakukan pertolongan pertama pada pasien
dengan kegawatdaruratan.

Pada contoh laporan kasus ini, pasien pria usia 57 tahun dengan diagnosis
penurunan kesadaran et causa stroke infark berulang disertai pneumonia dengan tindakan
penanganan kedaruratan di Instalasi Gawat Darurat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Basic Life Support


Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan
penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan
proses yang menuju kematian.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik
ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas
buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010
tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Tujuan utama dari
BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia,
karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit.

2.2 Langkah-Langkah BLS (Sistem CAB)


1. Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak adanya
nafas secara visual tanpa teknik Look Listen and Feel.
2. Melakukan panggilan darurat.
3. Circulation :
 Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak
ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada.
 Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa
denyut nadi korban.
 Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.
 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang
pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan
di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan
dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan
dada.
 Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban
jika korban berada di tempat tidur
Gambar 1 Chest compression
 Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik)
 Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit.
Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk
bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½
inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).

4. Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan satu
tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala
menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah
dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat
dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan
gigi Rahang Atas.

Gambar 2 : Head Tilt & Chin Lift


Gambar 3: Jaw Thrust

5. Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1


detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan
volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya
sebagai berikut :
 Pastikan hidung korban terpencet rapat
 Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
 Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
 Berikan satu ventilasi tiap satu detik
 Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu
detik.

Gambar 4 Pernafasan mulut ke mulut


 Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut
korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
 Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa
dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi
volume tidal sekitar 600 ml.
 Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi
6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat
dilakukan tanpa interupsi.
 Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar
10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
 Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah
terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan
100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.

6. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau
petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya
tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi
otomatis atau pemasangan advance airway.

7. Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat


tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada,
kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi
kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali.
Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan
periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS
(Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak.

Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB

No ABC CAB
1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
2 Melakukan panggilan darurat dan Melakukan panggilan darurat
mengambil AED
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada dilakukan
sebanyak satu siklus 30 kompresi,
sekitar 18 detik)
4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dilanjutkan memberi 2x ventilasi
dalam-dalam)
5 Circulation (Kompresi jantung + Breathing ( memberikan ventilasi
nafas buatan (30 : 2)) sebanyak 2 kali, Kompresi jantung +
nafas buatan (30 : 2))
6 Defribilasi

Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :


 Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan
kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti
jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular
Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling penting adalah
kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis segera (early
defibrillation).
 Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena
proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke
mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan
mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal
dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi
dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).
 Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari
orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu
yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan
ventilasi mulut ke mulut dalam Airway adalah prosedur yang kebanyakan
ditemukan paling sulit bagi orang awam. Memulai dengan kompresi dada
diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban
yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut
ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada.

Penggunaan Sistem ABC Saat ini :


1. Pada korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP
konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi
sistem respon darurat.
2. Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem pernafasan
maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab
jantung yang diketahui.

Terapi Cairan

Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;


 Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali
dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansicepat dari cairan
intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.

 Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang
diperlukan oleh tubuh

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :

-
Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan
feses
-
Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
- Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase Untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan penghitungan untuk
menghitung berapa besarnya cairan yang hilang tersebut :

 Refraktometer
Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml

(Ket. BD plasma = 0,001)

 Dari serum Na+


Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 )

Ket. Plasma Na = 140


 Dari Hct
Defisit plasma (ml) =

vol.darah normal – (vol.darah normal x nilai Hct awal )

Hct terukur

Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa kriteria


klinis seperti pada tabel di bawah ini ;

Klas I Klas II Klas III Klas IV

Kehilangan darah
(ml) Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000

Kehilangan darah
(%EBV Sampai 15% 15-30% 30-40% >40%

Denyut nadi <100 >100 >120 >140

Tek. Darah
(mmHg) Normal Normal Menurun Menurun

Normal atau
Tek. Nadi meningkat Menurun Menurun Menurun

Frek. Napas 14-20 20-3- 30-35 >35

Produksi
urin(ml/jam) >30 20-30 5-15 Tidak ada

Gelisah dan Bingung dan


SSP / status mental Gelisah ringan Gelisah sedang bingung letargi

Cairan pengganti
Kristaloid dan Kristaloid dan
( rumus 3 :1) Kristaloid Kristaloid darah darah

Pemilihan Cairan

Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid


merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air.
Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid
memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun
kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya
terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.
1. Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer
laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat
dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan
adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah yang
rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk
resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain
hiperomolalitas-hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.

2. Koloid

Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai
berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler.

Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan


efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan
larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap
tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang mengandung
partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan
intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskular.

Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskular,


namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma akan
menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander
plasma, sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang
diberikan.
3. Kontroversi kristaloid versus koloid
Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi terus
merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji unruk
resusitasi, antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik,
albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch, dan
dekstran 70.3,5
Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi
hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal.
Cairan ideal adalah yang dapat membawa O2. Larutan koloid yang ada terbatas
karena ketidak mampuan membawa O2. Darah lengkap marupakan ekspander
volume fisiologis dan komplit, namun terbatas masa simpan yang tidak lama,
fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi viral, reaksi alergi dan
mahal.
Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat bermanfaat
karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah. resusitasi hemodinamik
lebih cepat dilaksanakan dengan koloid karena larutan koloid mengekspansikan
volume vaskular dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid.
Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian
tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid juga
mengencerkan protein plasma sehingga TOK menurun, yang memungkinkan
filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi cairan kristaloid dapat pula berakibat
pemberian garam dan air yang berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial.
Pada kasus perdarahan yang cukup banyak, tetapi yang tidak memerlukan
transfusi, dapat dipakai koloid dengan waktu paruh yang lama misalnya : Haes
steril 6 %.
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat
memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin, Plasmafusin,
Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu, manakala darah siap
untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat melakukannya
langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.
Perbandingan Kristaloid dan Koloid:

Kristaloid Koloid
Keunggulan 1. Lebih mudah 1. Ekspansi volume
tersedia dan murah plasma tanpa
2. Komposisi dan ekspansi
osmolaritas interstisial
mendekati plasma 2. Ekspansi volume
3. Dapat disimpan di lebih besar
suhu kamar 3. Durasi lebih lama
4. Bebas reaksi 4. Oksigenasi
anafilaktik jaringan lebih baik
5. Komplikasi minimal 5. Insiden edema
paru dan sistemik
lebih jarang

Kekurangan 1. Dapat menyebabkan 1. Resiko reaksi


edema anafilaktik
2. Oksigenasi dapat 2. Koagulopati
terganggu karena 3. Dapat memperberat
terisinya jaringan depresi miokard pada
interstisial syok
3. Volume 3 kali lebih
banyak

Rumus pemberian cairan maintenance:

- (4cc x 10kg pertama BB) + (2cc x 10kg kedua BB) + (1cc x sisa BB) = jumlah
kebutuhan cairan untuk anak per jam
- 2cc x BB = jumlah kebutuhan cairan untuk orang dewasa per jam

Rumus pemberian cairan resusitasi:

20cc x BB dalam 30 menit – 1 jam

Panduan Ukuran Selang Endotracheal Tube (ETT)


Menurut Elisa (2013) ada banyak panduan yang bisa digunakan untuk memastikan
ukuran selang endotrakea yang akan dipasang. Panduan utama yaitu berdasarkan
umur pasien  ETT (diameter dalam) (mm) = (16 = umur dalam tahun)/4

Beberapa panduan yang lain dapat digunakan yaitu:


- Rumus Cole:
ETT uncuffed
(diameter dalam) (mm) = (umur dalam tahun/4) + 4
- Rumus Motoyama:
ETT cuffed
(diameter dalam) (mm) = (umur dalam tahun/4) + 3,5
- Rumus Khine:
ETT uncuffed
(diameter dalam) (mm) = (umur dalam tahun/4) + 3

Panduan yang paling sederhana adalah jari kelingking pasien. Hasil penelitian menunjukan
bahwa diameter selang kurang lebih sama dengan ukuran jadi kelingking.

2.3 Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam,
berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan di-sebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi (WHO
MONICA, 1986).
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia
atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak
yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami
oklusi (Hacke, 2003). Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke
disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau
tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah
percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan
intraserebral atau perdarahan subrakhnoid.

2.3.1 Patologi Stroke


 Infark
Stroke infarct terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke
otak normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per menit; jika turun
hingga 18 mL/100 gram jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan
terhenti meskipun struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih
reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 mL/100 gram jaringan
otak per menit, akan terjadi rangkai-an perubahan biokimiawi sel dan
membran yang ireversibel membentuk daerah infark.

 Perdarahan Intraserebral
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarah-an intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain
adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa,
alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoa-gulan, dan angiopati amiloid.

 Perdarahan Subaraknoid

Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan


arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arteri-vena atau tumor.

2.3.2 Tanda dan Gejala


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan defisit neurologis yang
bersifat akut :
Tabel. Tanda dan gejala stroke (De Freitas et al., 2009)
2.3.3 Penatalaksanaan pada Stroke Infark
 Terapi umum:
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksi-gen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam
diatasi dengan kompres dan antipire-tik, kemudian dicari penyebabnya; jika
kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elek-trolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengan-dung
glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau < 80 mg% dengan
gejala) di-atasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali
bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial
Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang
waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung
kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah
20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitro-prusid, penyekat
reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70
mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama
4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika
belum ter-koreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat
diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110
mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena
rebound atau keadaan umum memburuk, di-lanjutkan 0,25g/kgBB per 30
menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan peman-tauan
osmolalitas (<320 mmol); sebagai alter-natif, dapat diberikan larutan
hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.

 Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue
Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin
atau pirasetam (jika didapatkan afasia).

2.4 Pneumonia
2.4.1 Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

2. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang


1. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus.

2. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.

2.4.3 Penatalaksanaan

Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.


Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga
diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik
misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor
modifikasis adalah:

a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin


 Umur lebih dari 65 tahun
 Memakai obat-obat golongan β laktam selama tiga bulan terakhir
 Pecandu alkohol
 Penyakit gangguan kekebalan
 Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif


 Penghuni rumah jompo
 Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
 Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
 Riwayat pengobatan antibiotik

c. Pseudomonas aeruginosa
 Bronkiektasis
 Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
 Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
 Gizi kurang

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:

Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya,


bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi
respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka
pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.

Pengobatan pneumonia atipik

Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh


M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :

 Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)


 Fluorokuinolon respiness
 Doksisiklin
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Gunawar
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pekerjaan : Guru
Agama : Islam
Alamat : Rejosari IX/7, Semarang Timurmur
No. CM : C692668
Tgl masuk : 5 Mei 2018

II. DATA DASAR


1. Anamnesis
Alloanamnesis dengan keluarga pasien tanggal 5 Mei 2018 jam 15.45 di IGD
RSUP Dr Kariadi

A. Keluhan utama:
Penurunan Kesadaran

B. Riwayat Penyakit Sekarang:


+ 5 SMRS Tn. G mulai batuk, sesak nafas berat diikuti demam tinggi
selama 2 hari. Pasien meminum obat penurun panas dan demam menurun.
Pasien makan dan minum dengan jumlah sedikit dan tersedak bila disuapi
makanan, batuk (+), mual (+), muntah (-), kejang (-). Sejak pukul 11.20
pasien tampak lemas, sulit diajak bicara dan cenderung tidur. Kelemahan
anggota gerak disangkal. Saat ini pasien mengonsumsi obat-obatan
paracetamol, amlodipin, cefixime, gliquidone, plioglitazone

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat stroke berulang sejak 8 tahun yang lalu, kedua ekstremitas sulit
digerakkan terutama yang kiri (Rutin kontrol ke RS. Roemani )
 Pasien sudah bedridden dan afasia (1-2 kata) sejak September 2017
 + 3 bulan yang lalu pasien dirawat karena infeksi paru
 Riwayat diabetes mellitus
 Riwayat hipertensi
 Riwayat alergi disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes mellitus pada orangtua pasien

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sudah tidak dapat bekerja, kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh
keluarga pasien.

Kesan : sosial ekonomi cukup.

2. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Lemah, somnolen (GCS : 8 E2M4V2)
- Kegawatan :Airway : Clear
Breathing : RR 41x/menit (takipneu)
Circulation : Tekanan darah 150/90 mmHg,
HR 115x/menit (takikardi)
- Tanda Vital : Nadi : 90x/menit RR : 41x/menit
TD : 150/90 Suhu : 37oC
Saturasi : 43%
- Kepala : Mesosefal
- Mata : Pupil bulat isokor , 3mm/3mm,
Reflek Cahaya (+)/(+)
- Telinga : Discharge (-)
- Hidung : Epistaksis (-), Discharge (-)
- Mulut : Bibir kering (+), Bibir sianosis (-)
- Tenggorok : Sulit dinilai
- Leher : kuduk kaku (+), JVP R+1cm
- Dada
Pulmo :
Inspeksi : Hemithorax dextra tertinggal saat inspirasi
Palpasi : Nyeri tekan (-), Stem fremitus tidak dapat dinilai
Perkusi : Redup pada hemithorax dextra
Auskultasi : SD vesikuler (↓/+), Ronki (+/-), Wheezing (-/-)

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tak tampak


Palpasi : IC teraba di SIC V 2 cm medial LMCS
Perkusi : Konfigurasi jantung dbn
Auskultasi : Suara jantung I-II murni, murmur (-), gallop (-)

- Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : Dalam batas normal
Perkusi : Timpani (+), Pekak sisi (+) N, pekak alih (-)

 Pemeriksaan Nervus Craniales: Sulit dinilai

- Ekstremitas : Superior Inferior


Oedem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capp. Refill <2”/<2” <2”/<2”

- Pemeriksaan Neurovaskuler
Motorik : Superior Inferior
Gerak ↓/↓ ↓/↓
Kekuatan Sulit dinilai Sulit dinilai
(Kesan : Hemiparesis bilateral spastik lebih berat sisi kiri)
Tonus ↑/↑ ↑/↑
RP -/- -/-
RF ++/++ ++/++
Klonus -/-
Sensorik : Sulit dinilai
Vegetatif : BAB (-)
BAK dengan DC (+)
Terpasang NGT (+)

3. Pemeriksaan Penunjang
 X Foto Thorax (5 Mei 2018 Pukul 16.00)
Klinis: Penurunan Kesadaran
- Tampak terpasang endotracheal tube dengan ujung distal setinggi
corpus vertebrae thoracal 3
- Cor : Bentuk dan letak jantung normal
- Pulmo : Corakan vaskuler tampak meingkat
Tampak konsolidasi disertai air bronchogram di
dalamnya pada lapangan atas tengah bawah paru
kanan
- Hemidiafragma kanan setinggi costa 8 posterior, kiri setinggi costa
10
- Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip

Kesan:
- Endotracheal tube terpasang dengan ujung distal setinggi corpus
vertebrae thoracal 3
- Cor tak membesar
- Gambaran pneumonia
- Suspek diafragma kanan letak tinggi
 MSCT Kepala (5 Mei 2018)
- Infark luas centrum semiovale dextra, corona radiata dextra, lobus
frontal dextra
- Infark lama pada nucleus lentiformis

 Laboratorium (5 Mei 2018)


Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (5 Mei 2018)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi Paket

Hemoglobin 10,3 g/dL 12-15 L


Hematokrit 32,2 % 35-47 L
Eritrosit 4,19 106/uL 4,4-5,9 L
MCH 22,6 Pg 27,00-32,00 L
MCV 77,0 fL 76-96
MCHC 32,0 g/dL 29,00-36,00
Leukosit 19,4 103/uL 3,8-10,6 H
Trombosit 396 103/uL 150-400
RDW 13,9 % 11,60-14,80
MPV 7,20 fL 4,00-11,00
Kimia Klinik

Glukosa Sewaktu 202 mg/dl 80-160 H


Albumin 3,0 g/dl 3,4-5,0 L
Ureum 41 mg/dL 15-39 H
Kreatinin 0,9 mg/dL 0,6-1,3
Magnesium 0,87 Mmol/L 0,74-0,99
Calcium 2,24 Mmol/L 2,12-252
Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 136-145
Kalium 4,4 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 101 mmol/L 98-107

Koagulasi
Plasma prothrombin time
Waktu prothrombin 10,7 Detik 9,4-11,3

PPT control 10,9 Detik


Partial prothrombin time
(PTTK)
Waktu Tromboplastin 53,0 Detik 27.7 – 40.2 H

APTT Kontrol 33,5 Detik

Immunoserologi
HBsAG Negatif
III. DIAGNOSIS
Penurunan kesadaran et causa stroke infark berulang
Pneumonia

IV. TINDAKAN ANESTESI


- Intubasi ET + oksigen 10 L per menit Jackson Rees
- Terapi cairan:
Infus 2 jalur Loading 1500 ml RL
- Pengawasan dengan monitor
- Pemeriksaan laboratorium darah: Ureum/Creatinine, BGA, elektrolit, GDS
- Konsul TS Penyakit Dalam
- Konsul TS Neurologi
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang pria 57 tahun datang dengan keluhan penurunan
kesadaran et causa stroke infark berulang disertai pneumonia. Saat pasien datang
dilakukan penilaian triage dan pasien kemudian dirujuk ke label merah dikarenakan
pasien mengalami penurunan kesadaran, sesak berat dan gangguan hemodinamik
yang cukup buruk. Kemudian pasien dilakukan penilaian ABC dan didapatkan
bahwa pasien mengalami gangguan nafas dan terdapat indikasi pemasangan
endotracheal tube yaitu RR>28x per menit dan saturasi oksigen <90% sehingga
dibantu dengan pemasangan endotracheal tube dengan pemberian oksigen 10 L per
menit untuk memberikan bantuan ventilasi tekanan positif dan meningkatkan
saturasi oksigen pasien. Pasien juga mengalami gangguan hemodinamik berupa
hipertensi, dimana tekanan darah saat pasien datang adalah 150/90 mmHg, dan
takikardi dengan HR 115x/menit. Cairan yang diberikan merupakan cairan
replacement berupa Ringer Lactate 1500 ml iv 2 jalur yang bersifat isotononis bagi
tubuh atau memiliki osmolaritas yang sama dengan plasma. Hal ini sesuai dengan
penatalaksanaan yang dianjurkan oleh PERDOSSI 2007 untuk stroke non
hemoragik, yaitu pemberian cairan isotonik kristaloid atau isotonik 1500-2000 ml
dan elektrolit sesuai kebutuhan.

Untuk penanganan lebih lanjut pasien dikonsulkan kepada bagian penyakit


dalam dan neurologi untuk menilai kemungkinan penyebab penurunan kesadaran
dan komplikasi maupun komorbiditas yang dialami pasien. Pasien dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa X Foto Thorax, MSCT Kepala, dan pemeriksaan
laboratorium darah. Dari hasil pemeriksaan X Foto Thorax didapatkan kesan
gambaran pneumonia pada lapangan paru kanan. Dari hasil temuan klinis pasien
didapatkan riwayat batuk, demam dan temuan pemeriksaan fisik berupa
tertinggalnya hemithorax kanan saat inspirasi, terdapat penurunan suara dasar
vesikuler pada hemothorax kanan, dan terdapat ronkhi basah kasar. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukositosis yang menandakan
terdapat infeksi. Hal tersebut mendukung diagnosis pneumonia. Dari hasil MSCT
kepala didapatkan kesan infark luas centrum semiovale dextra, corona radiata
dextra, lobus frontal dextra dan infark lama pada nucleus lentiformis. Dari hasil
temuan klinis pasien didapatkan hemiparesis bilateral dengan sisi kiri lebih berat
dan afasia sejak September 2017 akibat stroke infark berulang.

Setelah menangani kegawatdaruratan pasien, pasien diberikan tatalaksana


berupa terapi empiris antibiotik yaitu, ampicillin sulbactam 1,5g/6 jam iv dengan
sebelumnya dilakukan skin test terlebih dahulu untuk menilai alergi. Terapi empiris
pada pneumonia dapat diberikan antibiotik golongan β-lactam dan anti β-lactamase
inhibitor iv atau sefalosporin G2, G3 iv, atau fluoroquinolone respirasi iv. Pasien
diusulkan untuk melakukan kultur darah agar diketahui sensitivitas kuman
penyebab terhadap antibiotik. Pasien juga diberikan aspilet 80 mg/24 jam yang
merupakan antithrombotik untuk mencegah kerusakan jaringan dan reperfusi
jaringan.
BAB V

KESIMPULAN

Pada kasus ini pasien merupakan seorang pria 57 tahun dengan stroke infark
berulang dan pneumonia. Pasien datang dengan penurunan kesadaran, gangguan
nafas berat dan gangguan hemodinamik. Pada pasien dilakukan pemasangan
endotrakeal tube dan pemberian oksigen 10 L per menit untung mengatasi
gangguan nafas. Gangguan hemodinamik pada pasien perlu diatasi penyebabnya
dengan bantuan cairan isotonis berupa infus RL 1500 ml. Pasien diberikan aspilets
yang merupakan antithrombotik untuk reperfusi jaringan dan mencegah perluasan
infark serta ampicillin sulbactam yang merupakan terapi empiris untuk pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Prof,Dr, et al. Anestesiologi Edisi 2. Bagian anestesiologi dan terapi


intensif Fakultas Kedokteran UNDIP. 2013
2. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan
Intraseluler. Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC;
1997. hal 375-7.
3. Latief, AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi Cairan Pada
Pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. 2002.
4. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta:
Farmedia. 2003.
5. Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United
Kingdom : Churchill Livingstone. 2007.
6. Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for
healthcare provider. Chicago: American Heart Association. 2010.
7. Muhiman M, dkk. Anestesiologi. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. 2004.
8. Setyopranoto, Ismail. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaannya. Dalam CDK
185/Vol.38 no.4. Yogyakarta, Indonesia: RSUP Dr. Sardjito Bagian Ilmu
Penyakit Saraf FK UGM. 2011.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di
Indonesia: Penumonia Komuniti. Jakarta: PDPI. 2003

Anda mungkin juga menyukai