Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup (chain of
survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai kelangsungan
hidup.Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti jantung (cardiac arrest)
dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan
rumah sakit (HCA) atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan
“chain ofsurvival” pada kondisi HCA maupun OHCA.
Henti jantung mendadak merupakan salah satu penyebab kematian mendadak tersering di
Amerika Serikat. Tujuh puluh persen dari out-of-hospital cardiac arrest (OHCA)/kejadian
henti jantung di luar rumah sakit terjadi di rumah, dan sekitar lima puluh persen tanpa
diketahui. Hasilnya pun biasanya buruk, hanya sekitar 10,8% pasien dewasa OHCA yang
telah menerima upaya resusitasi oleh penyedia layanan darurat medis/ Emergency Medical
Services(EMS) yang bertahan hingga diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sebagai
perbandingan, in-hospital cardiac arrest (IHCA)/kejadian henti jantung di rumah sakit,
memiliki hasil yang lebih baik, yakni 22,3% - 25,5% pasien dewasa yang bertahan hingga
diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Basic Life Support(BLS) mengacu pada penanganan pada pasien yang mengalami henti
napas, henti jantung, atau obstruksi jalan napas. BLS meliputi beberapa keterampilan berikut.
1. Mengenali kejadian henti jantung mendadak.
2. Aktivasi sistem tanggapan darurat.
3. Melakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR)/resusitasi jantung paru (RJP) awal, dan
4. Cara menggunakan automated external defibrilator (AED)
Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA
Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart Association)
merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara global. Gambar 2
menunjukkan skema algoritma dalam tindakan resusitasi jantung-paru pada pasien dewasa
Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
Tahap ini sebenarnya merupakan tahapan umum pada saat tiba di suatu lokasi kejadian.
Jangan pernah lewati tahapan ini, baik pada kasus trauma ataupun kasus medis.
Pada saat tiba di tempat kejadian, kenali dan pelajari segala situasi dan potensi bahaya yang
ada. Sebelum melakukan pertolongan, pastikan keadaan aman bagi si penolong. Coba
pastikan keadaan dengan menjawab beberapa pertanyaan sederhana berikut.
a. Apakah keadaan aman?
Perhatikan segala yang berpotensi menimbulkan bahaya, seperti lalu lintas kendaraan,
jalur listrik, asap, cuaca ekstrim, atau emosi berlebihan dari orang awam di sekitar.
Gunakan alat perlindungan diri (APD) yang sesuai.
Jangan memindahkan korban bila tidak ada ancaman bahaya, misalnya api atau gas
beracun; Anda harus mencapai korban dengan cedera yang lebih berat; atau Anda
harus memindahkan korban yang cedera untuk memberikan penanganan yang tepat
tanpa berada di area yang berpotensi bahaya.
Jika Anda harus memindahkan korban, lakukan secepat mungkin dan seaman
mungkin dengan sumber daya yang tersedia.
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas kesehatan harus
mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan
teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.
Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus
memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila
penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban
seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.
Tingkat kesadaran
Jika korban ditemukan dalam keadaan tidak bergerak, mungkin korban jatuh pada keadaan
tidak respon. Gunakan pedoman berikut secara bertahap untuk menilai tingkat kesadaran si
korban.
1. A - Alert/Awas: korban bangun, meskipun mungkin masih dalam keadaan bingung
terhadap apa yang terjadi.
2. V - Verbal/Suara: korban merespon terhadap rangsang suara yang diberikan oleh penolong.
Oleh karena itu, si penolong harus memberikan rangsang suara yang nyaring ketika
melakukan penilaian pada tahap ini.
4. P - Pain/Nyeri: korban merespon terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh penolong.
Rangsang nyeri dapat diberikan melalui penekanan dengan keras di pangkal kuku atau
penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan yang dikepalkan pada tulang
sternum/tulang dada. Namun, pastikan bahwa tidak ada tanda cidera di daerah tersebut
sebelum melakukannya.
5. U - Unresponsive/tidak respon: korban tidak merespon semua tahapan yang ada di atas.
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas
berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di
tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama melakukan
kompresi dada dan pemberian ventilasi:
Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan siklus
kompresi dada, penolong harus membolehkan rekoil dada penuh dinding dada setelah
setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di
atas dada pasien setelah setiap kompresi.
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang
maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien
Dewasa
.
Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu
Orang Penolong
Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua
Orang Penolong
Daftar Pustaka
1. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 Untuk CPR dan
ECC. American Heart Association; 2015
No.BP :
Nama :
Mahasiswa Instruktur
( ) ( )