Stimulate (S)/Rangsangan
Sangatlah penting untuk untuk menilai respon pada anak yang tidak
sadarkan diri baik menggunakan rangsangan verbal maupun taktil, apabila
tidak dalam kondisi kritis.
Cara yang tepat untuk melakukannya adalah dengan cara
menstabilisasi kepala penderita, menaruh salah satu tangan pada keningnya
dan menggunakan tangan yang lain untuk menggoyangkan lengannya secara
perlahan atau menarik rambutnya. Pada saat yang sama, panggil nama
penderita dengan keras, katakan pada penderita untuk ‘bangun’ atau
tanyakan padanya ‘apa kamu tidak apa-apa?’. Jangan pernah mengguncang
penderita. Apabila penderita tersebut memberikan respon dengan cara
bergerak, menangis, atau berbicara, status klinis dan bahaya potensial
seharusnya sudah bisa dinilai dan, apabila dibutuhkan, bantuan dapat
dipanggil. Apabila tidak ada respon, lanjutkan langkah BHD selanjutnya.
Teknik pemberian napas bayi dan anak dapat dilihat pada gambar 4A dan 4B
• Bayi: Teknik mulut-ke-mulut-dan-hidung (gambar 4A)
Penolong memposisikan mulutnya di atas mulut dan hidung bayi sedemikian
rupa agar tidak terdapat celah sehingga bantuan napas menjadi efektif.
Pada bayi, kepala harus dipertahankan dalam posisi netral sehingga jalan
napas tetap terjaga.
• Anak: Teknik mulut-ke-mulut (gambar 4B)
Penolong memposisikan mulutnya menutupi seluruh mulut anak sambil
menutup hidungnya agar udara yang diberikan tidak keluar dari hidung.
Posisi mantap dapat dilihat pada gambar 6. Pada posisi ini, jalan napas harus
terus terjaga.
Melakukan bantuan ventilasi lewat sungkup wajah merupakan hal yang sering
dilakukan pada pertolongan pertama pasien dengan ketidakmampuan
bernapas dengan baik. Pemberian ventilasi dengan teknik ini harus berhati-
hati karena pemberian yang salah akan memperburuk keadaan pasien. Pada
teknik ini penolong akan menggunakan sungkup wajah dan sebuah balon
yang mengembang sendirinya (dilengkapi dengan kantong reservoir) yang
dihubungkan ke sumber oksigen.
Langkah pertama adalah memilih masker yang sesuai dengan pasien
sehingga menutupi mulut dan hidung pasien dengan baik. Masker kemudian
dilekatkan pada perangkat balon mengembang sendiri yang dihubungkan
pada sumber oksigen dengan aliran tinggi sehingga kantong reservoir benar-
benar mengembang.
Umumnya, balon akan dipegang dengan tangan kanan dan
menempelkan masker ke wajah pasien dengan tangan kiri sambil
mengangkat mandibula untuk mempertahankan jalan nafas terbuka. Menekan
masker terlalu kuat justru tidak baik karena hal ini akan menutup jalan napas
pasien. Teknik yang benar adalah mengangkat mandibula dengan jari ketiga,
keempat dan kelima sambil memegang masker ketat di wajah pasien dengan
ibu jari dan telunjuk ( pegangan E-C).
teknik ini juga dapat dilakukan dengan kedua tangan memegan masker dan
mandibula pasien dengan pegangan E-C, kemudian penolong kedua
membantu memberikan ventilasi dengan menekan balon.
Pada saat melakukan ventilasi buatan kita harus menilai apakah
tindakan yang dilakukan sudah benar, ventilasi yang diberikan masuk
sempurna, dan melihat apakah kondisi pasien membaik atau tidak.
Pemberian ventilasi yang berlebihan akan memperburuk keadaan pasien.
Perlu diperhatikan cara memegang sungkup yang efektif pada pemberian
bantuan napas dengan menggunakan BMV. Cara tersebut dilakukan dengan
teknik EC clamp seperti yang terlihat pada gambar 5.
Gambar 5. Cara memegang sungkup dengan tehnik EC clamp.
Daftar Pustaka
Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
Bag-mask ventilation and airway adjunct. Dalam: Lynch M, penyunting.
Airway management student guide. American Heart Association; 2007.
hal.9-17.
Transpor Pasien
Moda transportasi
Moda transportasi yang sering digunakan untuk proses transportasi pasien
anak kritis adalah :
Ambulans darat
Ambulans air
Rotor wing aircraft
Fixed wing aircraft
Secara ringkas faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih alat
angkut adalah:
Berat dan tingkat stabilitas, diagnosis dan kondisi pasien
Tujuan transportasi/rujukan
Periode emas
Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi
Kapasitas personel yang tersedia
Kondisi cuaca dan lalu lintas
Geografi
Keamanan pasien dan tim
Biaya
Daftar Pustaka
Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
Kleinman ME, Donogghue AJ, Orr RA, Kissoon N. Stabilization and
Transport. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’ Textbook of
Pediatrc Intensive Care. Edisi ke-5. Philadelphia/China: Lippincott
Williams and Wilkins; 2016. hal.348-62.
Pitt E, Pusponegoro A. Prehospital care in Indonesia. Emerg Med J.
2005;22:144-7.
Band RA, Gaieski DF, Hylton JH, Shofer FS, Goyal M, Meisel ZF.
Arriving by Emergency Medical services improves time to treatment
endpoints for patients with severe sepsis or septic shock. Acad
Emerg Med. 2011;18:934-40.
Huber S, Crönlein M, Matthey Fv, Hanschen M, Seidl F, Kircho C, dkk.
E ect of private versus emergency medical systems transportation in
trauma patients in a mostly physician based system- a retrospective
multicenter study based on the Trauma Register DGU. Scand J
Trauma Resusc Emerg Med. 2016;24:1-8.
Sankar J, Singh A, Narsaria P, Dev N, Singh P, Dubey N. Prehospital
transport practices prevalent among patients presenting to the pediatric
emergency of a tertiary care hospital. Indian J Crit Care. 2015;19:474-8
Tatalaksana Tersedak pada Anak dan Bayi
Kepala bayi harus dijaga dengan cara menempatkan salah satu tangan pada
salah satu sudut rahang bayi, sementara tangan yang satu melakukan 5
hentakan pada pertengahan punggung antara tulang belikat bayi. Penolong
harus berhati-hati agar tidak menekan jaringan lunak dibawah rahang bayi,
karena ini dapat menghalangi pengeluaran benda asing di jalan napas.
Bila anak yang tersedak tidak sadarkan diri, posisikan anak pada permukaan
keras dan rata, panggil bantuan, dan lakukan BHD segera. Jangan pernah
mencoba mengeluarkan benda tersebut apabila tidak terlihat atau melakukan
sapuan jari berulang- ulang, karena hal ini dapat mendorong benda asing
masuk semakin jauh ke dalam faring dan menyebabkan cedera.
Daftar Pustaka
Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
Maconochie IK,deCaen AR,Aickin R,Atkins DL, Biarent D, Guerguerian
A,dkk. Part 6: Pediatric basic life support and pediatric advanced life
support 2015 international consensus on cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Resuscitation. 2015; 95:147-68.
Resusitasi Cairan
Cairan pilihan utama untuk resusitasi cairan adalah kristaloid isotonik [NaCl
0,9%, Ringer laktat (RL) dan Ringer asetat (RA)]. Syok pada umumnya pulih
setelah resusitasi cairan 40−60 mL/kgBB pada jam pertama. Resusitasi
cairan kristaloid agresif 20 mL/ kgBB tidak terbukti menyebabkan efek
samping paru (efusi pleura, sindrom distres napas akut) atau neurologis
(edema serebri) walaupun 75% cairan kristaloid isotonis mengalami
redistribusi ke ruang ekstravaskular dalam waktu <1 jam. Resusitasi cairan
NaCl 0,9% dalam jumLah banyak dapat menyebabkan asidosis metabolik
hiperkloremia karena kadar klorida tinggi, dan dilusi protein plasma diikuti
asites, efusi pleura dan anasarka, serta meningkatnya mediator proinflamasi.
Larutan RL dan RA dapat dipakai sebagai penggantinya tetapi harus hati-hati
bila ada hiperkalemia. Koloid alamiah albumin 5% dan koloid semisintetik
(dekstran, gelatin, kanji hidroksi etil) lebih lama memertahankan volume
intravaskular dan dapat mengurangi risiko kelebihan cairan, jejas reperfusi,
dan produksi mediator proinflamasi. Cairan kristaloid hipertonik (NaCl 3% dan
NaCl 7,5%) atau kombinasinya dengan dekstran atau kanji hidroksi etil, serta
natrium laktat hipertonik lebih hemat cairan sehingga dipakai untuk resusitasi
volume kecil (dosis 5 mL/kgBB dalam waktu 15 menit). Cara lain adalah
kristaloid isotonik pada tahap awal dilanjutkan dengan albumin 5% atau koloid
semisintetik jika resusitasi perlu cairan >40-60 mL/kgBB. Resusitasi cairan
dilakukan sampai ada perbaikan klinis atau ditemukan hipervolemia klinis
yang ditandai ronki paru yang baru, irama derap jantung, atau hepatomegali.
Bolus cairan dapat menyebabkan regangan otot jantung berlebihan dan
depresi fungsi jantung.
Tata laksana sepsis berat dan syok sepsis pada anak mengacu pada
panduan Surviving Sepsis Campaign dan Early Goal Directed erapy (EGDT).
Implementasi EGDT di pusat layanan kesehatan lini depan, unit gawat darurat
dan unit rawat intensif untuk tata laksana sepsis berat dan syok sepsis bayi
dan anak disesuaikan dengan ketersediaan sarana dan prasarana setempat.
Diuretik dosis kecil (furosemid 0,3–0,5 mg/kgBB) diberikan bila syok sudah
stabil pada pasien yang mengalami lebih cairan atau bila ditemukan tanda
hipervolemia. Cara ini dapat memperbaiki kontraktilitas miokardium,
meningkatkan luaran urin dan mencegah gagal ginjal/oliguria. Dosis diuretik
yang lebih besar mungkin dibutuhkan, tetapi lebih baik diberikan dosis kecil
dahulu terutama bila hemodinamik belum stabil. Bila sudah mendekati
euvolemia dapat diberi cairan rumatan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid
(albumin 5%) tambahan sesuai kebutuhan. Bayi mempunyai risiko tinggi
mengalami hipoglikemia maka harus mendapat cairan dekstrosa (dekstrosa
10%) ditambah natrium dan kalium sesuai kebutuhan serta pemantauan
kadar glukosa setiap jam. Pemantauan hemodinamik kontinu real time akan
sangat membantu tata laksana syok dan resusitasi cairan.
Daftar Pustaka
Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
Weiss SL, Pomerantz WJ, Randolph AG, Torrey SB, Kaplan SL, Wiley
JF. Septic shock: Rapid recognition and initial resuscitation in
children. Up To Date. 2017.
ALERGI MAKANAN
Batasan
Reaksi simpang terhadap makanan sering ditemukan pada anak, terutama pada 3 tahun
pertama kehidupan. Reaksi simpang makanan dapat terjadi akibat reaksi imunologis
(alergi) atau non imunologis (intoleransi, kontaminan, intoksikasi).
Makanan yang menjadi alergen yang banyak dilaporkan di negara maju adalah telur,
susu sapi, kacang tanah, gandum, dan soya. Pada anak besar ikan, kerang, dan kacang-
kacangan merupakan penyebab alergi seumur hidup.
Alergi makanan bermanifestasi dengan menginduksi reaksi hipersensitivitas yang
utamanya diperantarai oleh IgE.
Pemeriksaan penunjang
1. Skin prick test, berguna untuk menyingkirkan alergen tertentu karena nilai
prediksi negatif cukup tinggi, sedangkan nilai prediksi positif paling tinggi
hanya 60%.
2. Kadar IgE spesifik darah mempunyai nilai prediksi positif untuk beberapa
alergen tertentu mempunyai nilai prediksi positif yang cukup baik.
3. Baku emas alergi makanan adalah DBPCFC (double blind placebo control food
challenge). Namun karena sulit dilakukan maka dapat dilakukan uji provokasi
makanan terbuka. Persiapan uji provokasi makanan terbuka adalah makanan
1
yang diduga sebagai pencetus alergi harus dieliminasi selama minimal 2
minggu, antihistamin dihentikan dengan waktu yang memadai.
Diagnosis banding
Muntah berulang pada bayi: stenosis pilorus atau refluks gastroesofageal
Gejala saluran cerna kronik: defisiensi enzim, fibrosis kistik, penyakit seliak, infeksi
intestinal, malformasi gastrointestinal, dan irritable bowel syndrom (IBS) pada anak besar.
Tata Laksana
1. Eliminasi dan penghindaran jenis makanan yang telah dibuktikan menjadi
penyebab alergi.
2. Medikamentosa sesuai manifestasi klinis.
3. Pendidikan pada orangtua atau pasien mengenai hidden food allergens dengan
cara mengajarkan membaca label makanan.
4. Pendidikan mengenai pengenalan gejala dan cara menanggulanginya.
5. Konsultasi dengan ahli gizi bila harus dilakukan eliminasi salah satu bahan
makanan.
6. Evaluasi berkala minimal tiap 6 bulan apakah pasien sudah toleran terhadap
makanan penyebab alergi, karena beberapa jenis makanan seperti susu dan telur
dapat ditoleransi pada usia yang lebih tua.
Rujukan
1. Hill DJ. The natural history of intolerance to soy and extensively hydrolised formula in infants with
multiple food protein intolerance. J Pediatr 1999;135:118
2. Sampson HA, Ho DG. Relationship between food-specific IgE concentration and the risk of
positive food challenges in children and adolescents. J Allery Clin Immunol 1997;139;100-444.
3. Steinman HA. Hidden allergens in food. J Allergy Clin Immunol 1996;98:241.
4. Jones SM, Burks W. Atopic dermatitis and food hypersensitivity. Dalam: Leung DYM, Sampson
HA, Geha RS, Szefler SJ. Pediatric Allergy Principles and practice .Edisi ke 2. Elsevier-Saunders.
2010. h. 533-9.
5. Leung AK. Food allergy: A clinical approach. Adv Pediatr 1998;45:145-77.
2
ALERGI OBAT
Batasan
Reaksi terhadap obat mencakupi semua reaksi tubuh terhadap obat, tanpa
memperhitungkan mekanisme dasarnya. Hipersensitivitas terhadap obat diartikan
sebagai respon imun terhadap obat pada orang yang sudah tersensitisasi sebelumnya.
Sedangkan alergi obat adalah reaksi imunologis dengan gejala klinis akibat reaksi imun
yang dimediasi oleh IgE.
Reaksi terhadap obat dapat diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya mekanisme
imunologik. Mayoritas (75-80%) reaksi obat disebabkan mekanisme non-imunologik
yang dapat diprediksi, yaitu berdasarkan efek samping yang sudah diketahui atau efek
farmakologik, farmakokinetik (Tabel 1). Sisanya (20-25%) adalah reaksi obat akibat
mekanisme imunologik yang kadang tidak dapat diprediksi. Yang berdasarkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (IgE terlibat), hanya 5–10% dari seluruh reaksi akibat obat.
Reaksi
imunologis Mekanisme Gambaran klinis Onset gejala
Tipe I (IgE- Kompleks obat-IgE akan berikatan Urtikaria, angioedema, spasme Menit–jam
mediated) dengan sel mast , dengan granulasi bronkus, pruritus inflamasi, pasca paparan
histamin, dan berbagai mediator muntah, diare, dan anafilaksis
Tipe II Antibodi spesifik IgG / IgM Anemia hemolitik, neutropenia, Bervariasi
(sitotoksik) trombositopenia
Tipe III Deposisi jaringan kompleks obat- Serum sickness, demam, ruam, 1-3 minggu
(komples imun) antibodi diikuti aktiasi komplemen artralgia, limfadenopati, urtikaria, sesudah
dan inflamasi glomerulonefritis, vaskulitis paparan obat
Tipe IV Presentasi MHC yang membawa Dermatitis kontak alergiks, ruam 2-7 hari
(delayed, cell- molekul obat ke sel T menyebabkan obat makulopapular * sesudah
mediated) dikeluarkannya sitokin dan mediator paparan obat
pro inflamasi kulit
MHC = major histocompatibility complex.
*Diduga reaksi tipe IV, mekanisme belum sepenuhnya dipahami.
3
Manifestasi Klinis
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat harus dipikirkan pada pasien yang datang
dengan gejala alergi yang umum seperti anafilaksis, urtikaria, asma, serum sickness-like
symptoms, ruam kulit, demam, infiltrat paru dengan eosinofilia, hepatitis, nefritis
interstitial akut, dan lupus-like syndromes.
Anamnesis
Ditanyakan seluruh obat yang diresepkan maupun obat bebas yang diminum dalam 1
bulan terakhir, termasuk tanggal pemberian dan dosis, karena hubungan waktu
pemberian obat dan onset gejala klinis adalah penting. Onset gejala jarang yang kurang
dari 1 minggu atau lebih dari 1 bulan, kecuali bila pasien sudah tersensitisasi
sebelumnya. Selain itu ditanyakan kepada pasien, obat yang pernah didapat selama ini
dan reaksi terhadap pengobatan tersebut.
Pemeriksaan Fisis
- Evaluasi tanda dan gejala reaksi tipe cepat, karena reaksi tipe cepat ini
merupakan kondisi yang mengancam jiwa.
- Tanda bahaya yang penting adalah ancaman syok kardiovaskular; termasuk
urtikaria, edema jalan napas atas atau laring, suara napas mengi dan hipotensi.
- Tanda yang menunjukkan reaksi simpang yang hebat termasuk demam, lesi
membran mukosa, limfadenopati, nyeri dan bengkak sendi, atau pemeriksaan
paru abnormal.
- Pemeriksaan kulit yang teliti diperlukan karena kulit adalah organ yang paling
sering terkena efek simpang obat.
Faktor risiko
Reaksi simpang obat timbul umumnya pada usia muda dan lanjut usia, lebih
sering pada perempuan.
Faktor genetik dan predisposisi familial telah dilaporkan (HLA-DQw2 dengan
aspirin, HLAB7DR2, DR3 dengan insulin)
Infeksi HIV
Peran riwayat atopi kontroversial (penting pada media radiokontras, tidak
penting pada penisilin)
Ukuran makromolekular obat, bivalensi, kemampuan menjadi hapten
Rute pemberian (sering timbul pada pemberian lokal/topikal, jarang pada
parenteral, paling jarang pada oral) Pemberian intravena sering menimbulkan
reaksi hebat.
Pemakaian obat β-blocker dapat menginhibisi kerja adrenalin pada reaksi
anafilaksis
Asma dapat memperberat reaksi simpang obat
4
Kriteria Diagnosis
Diagnosis hipersensitivitas obat didasarkan pada penilaian klinis karena uji spesifik
obat konfirmasi sering sulit dilakukan. Kriteria reaksi hipersensitivitas obat adalah:
Gejala pada pasien konsisten dengan reaksi imunologi obat
Pasien mendapat obat yang diketahui dapat menimbulkan gejala tersebut
Waktu antara pemberian obat dan munculnya gejala konsisten dengan reaksi
terhadap obat
Penyebab lain gambaran klinis ini sudah disingkirkan
Data laboratorium menunjang mekanisme imunologik yang dapat menimbulkan
reaksi obat (tidak selalu dapat dilakukan)
Pemeriksaan Penunjang
Tujuan uji diagnostik adalah untuk memeriksa petanda biokimiawi atau imunologik
yang dapat memastikan aktivasi jalur imunopatologik tertentu sehingga dapat
menjelaskan efek simpang obat yang dicurigai. Uji laboratorium pemilihannya
berdasarkan mekanisme patologik yang dicurigakan.
5
Tatalaksana
Daftar pustaka
1. Volcheck GW, Hagan JB, Li JT, editors. Drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am
2004;23:345-543.
2. DeShazo RD, Kemp SF. Allergic reactions to drugs and biologic agents. JAMA 1997;278:1895-906.
3. Adkinson NF. Risk factors for drug allergy. J Allergy Clin Immunol 1984;74:567-72.
4. Bayard PJ, Berger TG, Jacobson MA. Drug hypersensitivity reactions and human
immunodeficiency virus disease. J Acquir Immune Defic Syndr 1992;5:1237-57.
5. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, Casale TB, Condemi J, Greenberger PA, dkk. Results of the
national institute of allergy and infectious diseases collaborative clinical trial to test the predictive
value of skin testing with major and minor penicillin derivatives in hospitalized adults. Arch Intern
Med 1992;152:1025-32.
6. Pumphrey RS, Davis S. Under-reporting of antibiotic anaphylaxis may put patients at risk. Lancet
1999;353:1157-8.
7. Kelkar PS, Li JT. Cephalosporin allergy. N Engl J Med 2001;345:804-9.
6
ANAFILAKSIS
Batasan
Anafilaksis adalah reaksi alergi berat dengan onset yang cepat dan dapat menyebabkan
kematian. Anafilaksis terjadi akibat sejumlah besar mediator inflamasi dilepaskan dari
sel mast dan basofil sesudah paparan pada alergen pada individu yang sudah
tersensitisasi sebelumnya. Reaksi anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis tetapi
tidak diperantarai oleh IgE, mungkin oleh anafilaktosin seperti C3a dan C5a atau bahan
yang mampu menginduksi degranulasi sel mast tanpa melalui reaksi imunologis.
3. Tekanan darah turun setelah pajanan terhadap suatu alergen yang sudah
diketahui sebelumnya.
11
Laboratorium
Pada penanganan akut anafilaksis, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Bila ada keraguan mengenai diagnosis anafilaksis, maka dapat diperiksakan serum
triptase (bila ada) yang hasilnya akan meningkat dan mencapai puncak pada 1-2 jam
pertama.
Tata laksana
1. Perawatan umum:
Bila mungkin hentikan pajanan antigen. Lakukan penilaian terhadap jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. jalan napas harus dijamin terbuka, nadi dan tekanan
darah dipantau. Pasien dibaringkan dengan tungkai ditinggikan. Oksigen
diberikan dengan sungkup atau kanul hidung dengan pemantauan kadar
oksigen.
2. Epinefrin
Epinefrin konsentrasi 1:1000 dengan dosis 0,01 mL/kg maksimal 0,3 ml per kali
disuntikkan intramuskular di daerah mid-anterolateral paha. Dosis yang sama
dapat diulangi dengan jarak 5-15 menit sampai 2–3 kali.
3. Cairan
Hipotensi persisten perlu diatasi dengan perbaikan cairan intravaskular dengan
infus kristaloid 20-30 ml/kg dalam 1 jam pertama.
4. Antihistamin
Difenhidramin 1-2 mg/kg maksimal 50 mg dapat disuntikkan intramuskular
atau intravena. Bila diberikan intravena maka harus diberikan secara infus
selama 5-10 menit untuk menghindari hipotensi.
5. Bronkodilator
Inhalasi β2-agonis berguna untuk mengatasi bronkokonstriksi.
6. Kortikosteroid
Bila diberikan segera setelah kegawatan teratasi dapat mencegah anafilaksis
bifasik. Metilprednisolon dosis 1-2 mg/kg diberikan secara intravena setiap 4-6
jam.
7. Vasopresor
Bila hipotensi berlanjut perlu diberikan dopamin atau epinefrin
8. Observasi
Pasien yang anafilaksisnya sudah teratasi harus dipantau untuk mengawasi
kemungkinan anafilaksis bifasik.
12
Gejala klinis reaksi alergi
Nilai kembali
YA TIDAK gejala klinis
Kelola sebagai
YA TIDAK
Penyakit alergi
Adrenalin (Epinefrin 1mg/ml ) 1:1000, intramuskular, dosis 0.01 mg/kgBB/kali (0,01 mL/kg),
dosis maksimal 0.3 mg (0,3 mL), disuntikkan di daerah mid-anterolateral paha
Dapat diulang setelah 5-15 menit jika tidak didapatkan perbaikan klinis, maksimal
pemberian 3 kali
Antihistamin H1 (difenhidramin)
Dosis: 1 mg/kgBB/kali, dosis maksimal 50 mg
intramuskular atau Intravena perlahan
EVALUASI
Observasi dan
Steroid (metil prednisolon) 1-2 mg/kgBB/hari; Intravena, ATAU
monitoring
Hidrokortison (100mg/ml) intramuskular atau intravena perlahan,
setidaknya 4-6 jam
Dosis : ≤ 6 bulan : 25 mg
6 bulan – 6 tahun : 50 mg
Alat –alat yang disiapkan: 6 – 12 tahun : 100 mg
Oksigen dan nasal ≥12 tahun : 200 mg
kanul Pemberian cairan intra vena secara cepat 20ml/kgBB/kali dapat
Abocath, cairan infus diulang kembali dengan maksimal 60 mL/kg. Jangan berikan koloid
Ringer Laktat, infus set karena dapat menjadi penyebab anafilaksis.
Obat –obatan : Pada keadaan bronkospasme dapat diberikan inhalasi dengan β2
Adrenalin, agonis
difenhidramin, metil Pada syok yang lama, berikan resusitasi kardiopulmonal dan
prednisolon atau pertimbangkan pemberian adrenalin 1:10.000 secara intravena
hidrokortison, inhalasi perlahan (titrasi mulai dengan 0,1 mg/kg/menit sampai 1
β2 agonis
mg/kg/menit) atau obat vasopresor lain
Alat –alat resusitasi :
ambu bag, laringoskop,
pipa endotrakeal
Daftar pustaka
1. Resuscitation Counsil UK. Emergency treatment of anaphylactic reactions, guidelines for
healthcare provider Working Group of The Resuscitation Council(UK). London, January 2008.
2. Lane RD, Bolte RG. Pediatric anaphylaxis. Pediatr Emergency Care. 2007;23:49-60.
3. Sampson HA. Anaphylaxis and emergency treatment. Pediatrics. 2003;111:1601-8.
4. Simons FER. Anaphylaxis: an overview of assessment and management. Dalam: Dalam: Leung
DYM, Sampson HA, Geha R, Szefler SJ, penyunting. Pediatric allergy: principles and practice. Edisi
kedua. Edinburgh: Saunders Elsevier, 2010; h. 650-63.
14
Pemasangan pipa nasogastrik (NGT)
B. Terapi Farmakologis
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa randomized
controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan kortikosteroid
sedini mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat. Kortikosteroid seperti
methiprednisolon diberikan dengan dosis 1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu
ditapering off. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan
penggunaan ventilator dalam hitungan hari, walaupun penggunaan
kortikosteroid tidak terbukti menurunkan angka mortalitas.
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin
dapat menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan
menurunkan impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami perbaikan
oksigenasi dengan iNO. Penambahan almitrin intravena mempunyai dampak
aditif pada perbaikan oksigenasi. Sementara pemberian PGI2 dengan dosis
sampai 50 ng/kg.bb/menit ternyata memperbaiki oksigenasi sama efektifnya
dengan iNO pada pasien ARDS.
Daftar Pustaka
Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute
respiratory distress syndrome: new definition, current and Fanelli V,
future therapeutic options. Journal of Thoracic Disease. 2013, 5(3):
326-334.
Jonathan A, Fergusson ND. Clinical review: Acute respiratory distress
syndrome – clinical ventilator management and adjunct therapy.
Critical Care 2013, 17:225.
Tatalaksana Kejang pada Anak