Anda di halaman 1dari 52

Bantuan Hidup Dasar (BHD) pada Anak

Sebelum melakukan BHD, perlu diingat 3S yang sangat berguna bagi


penderita dan penolong.
Safety (S)/Keamanan
Dalam setiap keadaan gawat darurat, sangat penting untuk secepatnya
menilai situasi dan meyakinkan keamanan penolong lebih dahulu kemudian
keamanan penderita. Seluruh cairan tubuh harus dianggap sebagai infeksius.
Gunakan sarung tangan dan alat pelindung diri (APD) sesegera mungkin.
Bantuan ventilasi dapat diberikan dengan menggunakan bag mask ventilation
(BMV).
Sebelum mendekati dan menyentuh penderita, sang penolong harus
secepat mungkin mencari tanda apa yang kemungkinan menyebabkan kasus
darurat tersebut. Hal ini akan mempengaruhi tatalaksana.

Stimulate (S)/Rangsangan
Sangatlah penting untuk untuk menilai respon pada anak yang tidak
sadarkan diri baik menggunakan rangsangan verbal maupun taktil, apabila
tidak dalam kondisi kritis.
Cara yang tepat untuk melakukannya adalah dengan cara
menstabilisasi kepala penderita, menaruh salah satu tangan pada keningnya
dan menggunakan tangan yang lain untuk menggoyangkan lengannya secara
perlahan atau menarik rambutnya. Pada saat yang sama, panggil nama
penderita dengan keras, katakan pada penderita untuk ‘bangun’ atau
tanyakan padanya ‘apa kamu tidak apa-apa?’. Jangan pernah mengguncang
penderita. Apabila penderita tersebut memberikan respon dengan cara
bergerak, menangis, atau berbicara, status klinis dan bahaya potensial
seharusnya sudah bisa dinilai dan, apabila dibutuhkan, bantuan dapat
dipanggil. Apabila tidak ada respon, lanjutkan langkah BHD selanjutnya.

Shout for Help (S)/Panggil Pertolongan


Apabila hanya terdapat 1 penolong, kita harus segera mencari bantuan dan
melakukan BHD secepatnya. Penolong hanya boleh meninggalkan penderita
untuk memanggil pertolongan (atau menunda BHD untuk menggunakan
telepon) setelah melakukan BHD selama 1 menit.
 Apabila lebih dari 1 penolong, salah satu harus memanggil tim gawat
darurat.
 Penolong tunggal boleh memanggil bantuan terlebih dahulu (sebelum
melakukan BHD) apabila penolong menyaksikan langsung penderita
jatuh mendadak.

Saat memanggil bantuan, informasi berikut harus diberikan:


 Where/Dimana: Lokasi tepat keadaan terjadi
 What/Apa: Tipe kegawatdaruratan yang terjadi (contoh: bayi yang
mengalami gagal jantung paru, anak tersetrum, anak yang mengalami
kecelakaan lalu lintas); tingkat kepadarahan dan kegawatan situasi
yang terjadi
 Who/Siapa: Jumlah dan umur penderita

Adapun langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :


1. Airway (A)/Buka jalan napas
Pada anak yang tidak sadarkan diri, lidah penderita kemungkinan besar akan
setidaknya menutup sebagian dari jalur napas. Jalur napas dapat dibebaskan
dengan melakukan teknik head tilt-chin li . Dalam kasus dimana pembukaan
jalan nafas tidak adekuat atau dicurigai terdapat trauma servikal, manuver
jaw-thrust lebih dipilih untuk penanganannya.
Sangat penting bagi penolong untuk melihat cepat ke dalam mulut
pasien untuk meyakinkan bahwa tidak ada benda asing di dalamnya. Jangan
pernah mencoba mengeluarkan benda asing dengan jari apabila tidak terlihat
atau tidak yakin dapat mengeluarkannya.

2. Breathing (B)/Bantuan napas


Setelah membuka jalan napas, penolong harus langsung menilai efekti tas
napas spontan penderita. Cara terbaik untuk melakukan ini adalah dengan
menggunakan ‘look, feel, listen’
Manuver ini dilakukan tidak lebih dari 10 detik. Jika penderita bernapas
secara spontan dan efektif, jalan napas dibiarkan tetap terbuka sambil
memanggil bantuan tambahan. Jika tidak ada kecurigaan cedera tulang
belakang, penderita harus ditempatkan dalam posisi mantap (recovery
position) sambil menunggu bantuan datang.
Jika penderita tidak bernapas secara efektif, penolong harus
memberikan bantuan napas sebanyak 5 kali sambil menjaga jalan napas
tetap terbuka. Gasping atau napas agonal adalah napas yang jarang atau
ireguler dianggap sebagai napas abnormal.
Jika gerakan dada tidak dapat terlihat saat diberikan napas buatan,
penolong harus menilai kembali jalan napas pasien (reposisi ulang kepala,
mengeluarkan obstruksi yang terlihat, mencoba jaw-thrust) dan memastikan
tidak terdapat kebocoran saat memberikan bantuan napas dari mulut ke
mulut. Apabila setelah dilakukan reposisi dan dipastikan tidak ada kebocoran
udara namun belum terdapat kembang dada pasien, kemungkinan terdapat
benda asing pada jalan napas. Penolong harus melanjutkan langsung ke
tahapan pijat jantung.

Teknik pemberian napas bayi dan anak dapat dilihat pada gambar 4A dan 4B
• Bayi: Teknik mulut-ke-mulut-dan-hidung (gambar 4A)
Penolong memposisikan mulutnya di atas mulut dan hidung bayi sedemikian
rupa agar tidak terdapat celah sehingga bantuan napas menjadi efektif.
Pada bayi, kepala harus dipertahankan dalam posisi netral sehingga jalan
napas tetap terjaga.
• Anak: Teknik mulut-ke-mulut (gambar 4B)
Penolong memposisikan mulutnya menutupi seluruh mulut anak sambil
menutup hidungnya agar udara yang diberikan tidak keluar dari hidung.

Gambar 4. A. Bayi: teknik mulut ke mulut-hidung.


B. Anak: teknik mulut ke mulut.
3. Circulation (C)/Sirkulasi
Setelah memberikan bantuan napas, penolong harus segera menentukan
apakah penderita memiliki sirkulasi spontan atau memerlukan pijat jantung.
Observasi dilakukan maksimal 10 detik untuk mencari “tanda kehidupan”:
gerak, batuk, napas spontan. Gasping atau napas ireguler termasuk
abnormal. Jika tidak terdapat “tanda kehidupan”, pijat jantung harus diberikan.
Apabila terdapat “tanda kehidupan”, penolong harus menilai ulang
pernapasan penderita. Apabila napas anak tidak adekuat atau berhenti,
bantuan napas harus diberikan kembali dengan frekuensi 12-20 kali/menit.
Pernapasan dan sirkulasi anak harus sering dievaluasi ulang dan BHD harus
diberikan kembali apabila diperlukan hingga tim gawat darurat tiba untuk
mengambil alih, atau sampai anak mulai bernapas spontan. Penderita dapat
dipindahkan ke tempat yang lebih aman dan diposisikan pada posisi mantap
hanya jika telah berhasil mempertahankan napas spontan yang efektif dan
tidak terdapat kecurigaan trauma servikal.
Pijat jantung (kompresi dada) adalah penekanan dinding dada pada
posisi anterior secara terus menerus dan berirama agar dapat memompa
darah kembali mengalir ke organ vital. Agar pijat jantung yang diberikan
efektif, penderita harus diposiskan supine pada permukaan yang keras dan
rata sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Pijat jantung
harus dilakukan secara harmonis dengan bantuan napas. Melakukan bantuan
napas dan pijat jantung harus berkualitas. Rasio kompresi:ventilasi yang
diberikan adalah 15:2.

Komponen BHD yang berkualitas terdiri dari:


• ”Push fast” : Kecepatan kompresi dada 100-120 kompresi/menit.
• “Push hard” : Kedalaman penekanan dinding dada sekitar 1/3 diameter
antero-posterior dinding dada
• “Complete Recoil” : Kompresi dada berikutnya dilakukan setelah dinding
dada kembali dengan sempurna
• “Minimal Interuption” : Meminimalisasi interupsi saat kompresi dada
• “Avoid excess ventilation” : Hindari ventilasi berlebih
Teknik pijat jantung bayi
Teknik menggunakan dua jari
Teknik ini direkomendasikan bagi 1 penolong (gambar 2). Penolong
menempatkan dua (atau tiga) jari salah satu tangan pada setengah bagian
bawah sternum.

Gambar 2. Kompresi dada bayi: teknik dua jari.

Gambar 3. Kompresi dada bayi: teknik melingkarkan dua ibu jari.

Teknik melingkarkan dua ibu jari:


Teknik ini direkomendasikan apabila terdapat dua penolong (gambar 3).
Salah satu penolong memposisikan dirinya diatas kepala bayi untuk
membuka jalur napas dan memberikan ventilasi buatan. Penolong kedua
berada pada samping/kaki bayi, meletakkan kedua ibu jari tangan
berhadapan pada setengah bagian bawah sternum (seperti diatas). Posisi ibu
jari yang satu ditempatkan diatas yang lain pada bayi yang sangat kecil.
Tangan dari penolong harus diposisikan melingkari dada bayi dan menopang
punggung bayi. Lalu kompresi diberikan seperti yang telah dijelaskan diatas.

Teknik pijat jantung pada anak


Pada anak, pijat jantung dilakukan dengan posisi penolong tegak lurus di atas
dada pasien. Siku penolong diluruskan. Bila hanya terdapat 1 penolong, pijat
jantung dilakukan dengan teknik 1 tangan sedangkan tangan yang lain tetap
mempertahankan jalan napas (gambar 4). Bila lebih dari 1 penolong, dapat
dilakukan menggunakan 2 tangan dengan posisi jari yang mengunci,
sementara penolong yang lain mempertahankan jalan napas (gambar 5).

Gambar 4. Kompresi dada anak 1 tangan

Gambar 5. Kompresi dada anak: 2 tangan

4. Reassess (R)/nilai ulang


Setelah satu menit atau setelah empat putaran kompresi jantung luar
(kompresi dada), kompresi dihentikan dan dilakukan evaluasi ulang keadaan
anak secara cepat dengan mencari “tanda kehidupan” dan memastikan
bahwa tim gawat darurat telah tiba. Cara mengakti an sistem emergensi di
tiap rumah sakit berbeda-beda.

Bantuan hidup dasar harus dihentikan apabila:


 Anak menunjukkan “tanda kehidupan”
 Penolong lain (tim gawat darurat) mengambil alih resusitasi
 Keselamatan penolong tidak terjamin
 Penolong kelelahan
Penggunaan AED (Automated Electrical Defibrillator)
Beberapa AED akan menyala secara otomatis ketika dibuka. Kenakan
pad/elektroda pada bagian dada korban yang sudah diekspos.Posisi
pad/elektroda adalah anterolateral. Elektroda/pad pada AED standar cocok
untuk anak lebih dari 8 tahun.Untuk anak kurang dari 1-8 tahun seharusnya
digunakan elektroda/pad khusus pediatrik bersamaan dengan attenuator atau
pediatric mode. Akan tetapi bila tidak tersedia maka AED dapat digunakan
sebagaimana yang tersedia.Hanya sedikit laporan keberhasilan penggunaan
AED pada bayi (<1tahun). Pada kasus yang jarang ini bila hanya AED yang
tersedia sebagai defibrillator, maka penggunaannya dapat dipertimbangkan
(lebih baik dengan dengan dose attenuator) Biarkan mesin menganalilsis
irama jantung dan jangan menyentuh korban, bila mesin menunjukan bahwa
irama jantung dapat di defibrilasi perintahkan orang sekitar korban untuk tidak
menyenrtuh korban dan lakukan shock defibrilasi. Selanjutnya lakukan
kompresi dada dan bantuan napas dengan perbandingan sesuai jumlah
penolong selama 2 menit. Jika mesin menganalisis tidak adanya irama
jantung yang dapat di defibrilasi maka lanjutkan segera kompresi dada dan
bantuan pernapasan dengan rasio sesuai jumlah penolong selama 2 menit.

Posisi mantap (recovery position)


Anak yang tidak responsif namun masih bernapas spontan harus ditempatkan
dalam posisi mantap, dibaringkan menghadap ke samping, kecuali pada
kasus cedera tulang belakang. Tujuan posisi ini adalah untuk memastikan
lidah tidak jatuh ke belakang dan menutup jalan napas, dan untuk
mengurangi risiko aspirasi paru dari muntah dan sekresi. Hal ini terutama
sangat penting apabila terdapat banyak korban.
Tidak ada aturan khusus mengenai posisi mantap, namun prinsip
dasarnya adalah untuk memastikan bahwa anak:
 Pada posisi se-lateral mungkin
 Memastikan jalan napas paten
 Dapat dengan mudah diobservasi dan dimonitor
 Pada posisi stabil dan tidak mudah terguling (pada bayi kecil, mungkin
dibutuhkan pengganti dari handuk atau selimut yang digulung pada
belakang punggung bayi)
 Dapat dengan mudah mengeluarkan sekresi/muntahan/darah dari
mulut.
 Tidak terdapat tekanan pada dada pasien yang dapat mempersulit
pernapasan.
 Dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi terlentang apabila
dibutuhkan BHD kembali.

Posisi mantap dapat dilihat pada gambar 6. Pada posisi ini, jalan napas harus
terus terjaga.

Gambar 6. Posisi mantap


Daftar pustaka
 Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 European Resuscitation Council. Basic life support. Dalam: European
paediatric advanced life support. ERC guidelines 2015 edition.
Belgium: European Resuscitation Council; 2015. hal.67-86.
 Monsieurs KG, Nolan JP, Bossaert LL, Greif R, Maconochie IK,
Nikolaou NI, dkk. European resuscitaton council guidelines for
resuscitation 2015 section 1. Executive summary. Resuscitation.
2015;95:1-80.
 Maconochie IK, de Caen AR, Aickin R, Atkins DL, Biarent D,
Guerguerian A, dkkl. Part 6: Pediatric basic life support and pediatric
advanced life support 2015 international consensus on
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Resuscitation. 2015;95:147-
68.
 Atkins DL, Berger S, Du JP, Gonzales JC, Hunt EA, Joyner BL, dkk.
Part 11: Pediatric basic life support and cardiopulmonary resuscitation
quality: 2015 American heart association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation. 2015;132:519-25.
Ventilasi Sungkup/ Bag Mask Ventilation (BMV)

Melakukan bantuan ventilasi lewat sungkup wajah merupakan hal yang sering
dilakukan pada pertolongan pertama pasien dengan ketidakmampuan
bernapas dengan baik. Pemberian ventilasi dengan teknik ini harus berhati-
hati karena pemberian yang salah akan memperburuk keadaan pasien. Pada
teknik ini penolong akan menggunakan sungkup wajah dan sebuah balon
yang mengembang sendirinya (dilengkapi dengan kantong reservoir) yang
dihubungkan ke sumber oksigen.
Langkah pertama adalah memilih masker yang sesuai dengan pasien
sehingga menutupi mulut dan hidung pasien dengan baik. Masker kemudian
dilekatkan pada perangkat balon mengembang sendiri yang dihubungkan
pada sumber oksigen dengan aliran tinggi sehingga kantong reservoir benar-
benar mengembang.
Umumnya, balon akan dipegang dengan tangan kanan dan
menempelkan masker ke wajah pasien dengan tangan kiri sambil
mengangkat mandibula untuk mempertahankan jalan nafas terbuka. Menekan
masker terlalu kuat justru tidak baik karena hal ini akan menutup jalan napas
pasien. Teknik yang benar adalah mengangkat mandibula dengan jari ketiga,
keempat dan kelima sambil memegang masker ketat di wajah pasien dengan
ibu jari dan telunjuk ( pegangan E-C).
teknik ini juga dapat dilakukan dengan kedua tangan memegan masker dan
mandibula pasien dengan pegangan E-C, kemudian penolong kedua
membantu memberikan ventilasi dengan menekan balon.
Pada saat melakukan ventilasi buatan kita harus menilai apakah
tindakan yang dilakukan sudah benar, ventilasi yang diberikan masuk
sempurna, dan melihat apakah kondisi pasien membaik atau tidak.
Pemberian ventilasi yang berlebihan akan memperburuk keadaan pasien.
Perlu diperhatikan cara memegang sungkup yang efektif pada pemberian
bantuan napas dengan menggunakan BMV. Cara tersebut dilakukan dengan
teknik EC clamp seperti yang terlihat pada gambar 5.
Gambar 5. Cara memegang sungkup dengan tehnik EC clamp.

Daftar Pustaka
 Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 Bag-mask ventilation and airway adjunct. Dalam: Lynch M, penyunting.
Airway management student guide. American Heart Association; 2007.
hal.9-17.
Transpor Pasien

Langkah –langkah prosedur transportasi


Dalam melakukan transportasi anak sakit kritis, perlu diperhatikan prosedur
atau langkah-langkah berikut:
1. Komunikasi
a. Detil data pasien dengan diagnosis kerja
b. Tujuan transportasi
c. Persiapan pra-transportasi
d. Konfigurasi tim transportasi
e. Moda transportasi
2. Persiapan pra-transportasi
a. Resusitasi dan stabilisasi
b. Peralatan dan obat-obatan
c. Data penunjang dan kelengkapan administrasi
3. Moda transportasi yang akan digunakan
4. Penilaian, evaluasi, dan komunikasi sebelum berangkat
5. Pemantauan, tindakan, dan dokumentasi selama transportasi
6. Serah terima
7. Tugas institusi penerima
8. Aspek hukum
Gambar 2. Algoritma transportasi pasien anak kritis.
Komunikasi
Sebelum melakukan transportasi, harus selalu dipertimbangkan apakah
transportasi lebih bermanfaat dibandingkan risiko bagi pasien, serta
keuntungan apa yang diterima pasien. Setelah itu, dokter RS perujuk
melakukan komunikasi secara langsung dengan dokter RS rujukan. Dokter
pengirim harus menyampaikan tujuan rujukan, riwayat, kondisi klinis, data
penunjang, dan tatalaksana pasien yang sudah dan akan dikerjakan.
Dokter RS rujukan mendiskusikan diagnosis dan kebutuhan pasien,
serta menentukan kemampuan RS untuk menerima pasien. Bila tidak
mempunyai fasilitias memadai, maka dokter RS rujukan harus menyarankan
transfer pasien ke RS lain yang lebih lengkap dan mampu. Bila RS rujukan
mampu menerima pasien, dokter RS rujukan mendiskusikan terapi atau
tindakan yang sebaiknya diberikan pra transportasi. Dalam memberikan
saran, sebaiknya bukan dengan cara menggurui, bukan juga dengan
mengkritik, karena hakikatnya tujuan transportasi adalah demi kepentingan
pasien.
Perlu didiskusikan tim transportasi yang diperlukan oleh pasien. Tim
dapat berasal dari RS perujuk, RS rujukan, atau tim independen. Dengan
mempertimbangkan kebutuhan pasien, kecepatan, cuaca, medan dan
lalulintas, perlu pula didiskusikan moda transportasi yang akan digunakan.
Dokter RS perujuk sebaiknya menyampaikan nomor telepon kepada dokter
RS rujukan agar komunikasi lebih mudah.
Komunikasi dengan keluarga juga merupakan tantangan tersendiri.
Waktu yang relatif singkat dan kebutuhan melakukan tindakan cepat,
seringkali membuat komunikasi menjadi terburu-buru. Walaupun terbatas,
komunikasi tim transportasi dengan keluarga, memberikan penjelasan kepada
keluarga pasien tentang manfaat dan risiko proses transportasi, haruslah
menjadi perhatian agar tidak meningkatkan kecemasan keluarga pasien. Oleh
karena itu, sebaiknya informed consent harus disiapkan sebelum tim
transportasi tiba.
Komunikasi dilanjutkan bila terdapat suatu hal yang perlu didiskusikan
selama proses stabilisasi. Pada saat pasien dinyatakan siap untuk untuk
ditransfer, dokter RS perujuk sebaiknya menghubungi lagi dokter RS rujukan
untuk menerangkan evaluasi terakhir, jam berangkat, dan perkiraan waktu
tiba. Perlu diterangkan juga pemeriksaan penunjang yang belum selesai atau
belum ada hasilnya, serta jaminan untuk menyusulkan hasil pemeriksaan
penunjang setelah hasil diterima.
Kecepatan tersedianya tim dan kendaraan sangat penting. Sekali tim
sudah ditetapkan, komunikasi antara tim, medical control physician, dan
institusi perujuk harus berjalan.

Komposisi tim transportasi


Tim dapat berasal dari:
 Tim dari RS perujuk/penerima (rujukan)
 Tim khusus transportasi anak
 Ambulans mandiri
Tim dapat terdiri atas:
 Dokter/spesialis emergensi dan rawat intensif anak
 Perawat
 Terapis respiratorik
 Paramedis
Pemilihan tim bergantung pada:
 Kondisi pasien
 Protokol tim
 Pengalaman tim untuk kondisi kasus yang dihadapi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tim transportasi yang di dalamnya
terdapat dokter mempunyai luaran yang lebih baik dibandingkan dengan tim
transportasi yang hanya beranggotakan perawat/paramedis, hal ini
berhubungan dengan tindakan medis invasif yang dapat dilakukan oleh dokter
bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Angka mortalitas, morbiditas serta lama rawat
di PICU jauh menurun bila dalam tim transportasi terdapat dokter spesialis
anak, hal ini berhubungan dengan tindakan spesialistik dan tata laksana
sesuai dengan PICU sebelum dan selama proses rujukan. Pada anak,
umumnya lebih penting pemahaman kasus dan tata laksana yang baik oleh
tim dibandingkan dengan kecepatan tranportasi.
Persiapan pra-transportasi
Usaha semaksimal mungkin agar kontinuitas pengobatan dan
perawatan tidak terhenti selama proses transportasi. Untuk itu diperlukan
perencanaan seakurat mungkin. Perawatan pasien kritis yang dilakukan dini
sebelum proses rujukan, dapat meningkatkan keselamatan pasien selama
perjalanan dan meningkatkan luaran pasien. Merujuk pasien sebelum pasien
stabil dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas selama proses
rujukan.

Resusitasi dan stabilisasi


Prioritas pertama baik resusitasi jantung-paru diperlukan atau tidak, adalah
terbukanya jalan napas, terjaminnya pernapasan dan terjaminnya akses
vaskuler:
 Jalan napas terjaga patensinya, bila perlu dipasang ETT lebih dini.
 Ventilasi dan oksigenasi berjalan memadai.
 Akses vena lancar dan ter ksasi baik. Jantung berdetak dan berfungsi
adekuat. Perlu dipertimbangkan akses vena sentral untuk
kemungkinan pemberian resusitasi cairan dan obat-obatan vasoaktif.
Selanjutnya, perlu dilakukan resusitasi, stabilisasi, prosedur diagnostik dan
terapi:
 Resusitasi jantung-paru dan cairan, bila perlu obat vasoaktif.
 Koreksi elektrolit, gula, albumin dan kelainan lain bila diperlukan.
 Menjamin ventilasi dan oksigenasi dengan atau tanpa ventilasi
mekanik dan dekompresi rongga dada (drain toraks) bila diperlukan.
Pastikan letak dan fungsi pipa endotrakeal baik dengan foto paru •
Mengatasi kegawatan neurologi: kejang, perdarahan intrakranial, ksasi
leher.
 Menjamin suhu tubuh stabil.
 Memberikan obat de nitif atau simptomatik: analgetik, antipiretik, anti
kejang, sedasi, antibiotik, anti muntah.
 Obat-obatan yang mungkin diperlukan saat perjalanan, disiapkan di
dalam syringe sehingga bila diperlukan hanya tinggal menyambungkan
pada three-way stopcock yang sudah terpasang.
 Melakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi dan bila tersedia:
X-ray, AGD, Elektrolit, GDS, darah lengkap, fungsi hati, golongan
darah, PT-APTT.
 Melakukan restraints bila diperlukan (memerlukan informed consent).
 Pemantauan non invasif dan invasif bila diperlukan: end-tidal CO2,

pulse oxymetry, diuresis, intake-output cairan, perdarahan.


 Pemasangan kateter urin dan sonde lambung.
Bila pasien kritis membutuhkan tindakan segera di RS rujukan sehingga
waktu menjadi penting, proses stabilisasi pasien dapat dilakukan dalam
perjalanan, walaupun dengan segala risiko. Hal ini tentu dengan
pertimbangan bahwa manfaat proses merujuk jauh lebih besar dibandingkan
dengan risiko yang terjadi selama perjalanan. Di negara maju, ambulans
sudah dilengkapi dengan peralatan-peralatan ventilator, high-frequency
oscillation ventilation (HFOV), nitrit oksida (NO), dan Extracorporeal
Membrane Oxygenation (ECMO).
Tim pengirim atau perujuk mempunyai tanggung jawab sebagai
berikut:
 Resusitasi dan stabilisasi pasien dengan target
 Jalan napas baik dan bersih
 Napas spontan/alat bantu dengan ventilasi dan oksigenasi memadai
 Sirkulasi dan hemodinamik adekuat
 Diagnosis kerja dan telah dimulainya terapi
 Komunikasi dini dengan penerima
 Meyakini bahwa penerima dapat menangani pasien
menginformasikan kepada keluarga dan membuat informed consent

 Akses vaskular dan pipa endotrakeal yang aman dan memadai


 Menyalin semua berkas rekam medik
 Menyiapkan produk darah bila perlu
 Berkomunikasi selama stabilisasi dan saat akan berangkat

Peralatan, alat kesehatan dan obat


Persyaratan umum untuk peralatan yang direkomendasikan oleh AAP Task
Force on Interhospital Transport:
 Peralatan ringan, portable berkemampuan baterai 2 kali perkiraan
waktu transport
 Kuat dan tahan perubahan ketinggian, suhu dan acute decompressin
vibrations (4-G decelerative forces). Tidak mempunyai
electromagnetic eld interference
 Berkemampuan AC/DC Monitor invasif dan noninvasif yang ringkas
tapi canggih, misal “Propac”
 Cardioverter/de brillator sebaiknya tersedia
 Ventilator prioritas yang bekerja dengan tenaga listrik, alternatifnya
ventilator yang bekerja dengan tekanan oksigen.
 Infusion atau syringe pumps multi channel dengan konektor listrik yang
kompatibel
 Protokol dan tabel harus tersedia
 Peralatan harus diperiksa dan diuji tiap hari
 Obat dan alat habis pakai harus dilengkapi sesegera mungkin setelah
selesai tugas.

Data penunjang dan kelengkapan administrasi


Hal yang juga penting dalam proses transportasi adalah catatan yang
berhubungan dengan pasien yaitu resume medik dan formulir transfer,
dilampiri salinan status pasien, hasil pemeriksaan penunjang, foto X-ray, hasil
konsultasi, penyelesaian administrasi dan keuangan pada RS perujuk,
kesepakatan sumber pendanaan untuk RS rujukan, dan nomor telepon RS
perujuk yang dapat dihubungi. Amat penting pula informed consent mengenai
semua tindakan, penjelasan dan perpindahan, yang sudah dijelaskan kepada
orang tua dan telah ditandatangani oleh orang tua, saksi, dokter, dan
perawat.

Moda transportasi
Moda transportasi yang sering digunakan untuk proses transportasi pasien
anak kritis adalah :
 Ambulans darat
 Ambulans air
 Rotor wing aircraft
 Fixed wing aircraft
Secara ringkas faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih alat
angkut adalah:
 Berat dan tingkat stabilitas, diagnosis dan kondisi pasien
 Tujuan transportasi/rujukan
 Periode emas
 Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi
 Kapasitas personel yang tersedia
 Kondisi cuaca dan lalu lintas
 Geografi
 Keamanan pasien dan tim
 Biaya

Penilaian dan evaluasi serta komunikasi sebelum berangkat


Setelah semua persiapan dilaksanakan dan tim transportasi siap, tim
transportasi bersama dokter perujuk melakukan evaluasi akhir berupa:
 Penilaian pasien head-to-toe.
 Flow sheet rinci mengenai tindakan, nama dan jumlah obat, serta
waktu diberikan secara tepat, dilampiri hasil laboratorium dan x-ray.
 Obat dan alat yang mungkin diperlukan selama perjalanan.
 Kelengkapan data penunjang dan informed consent.
 Komunikasi dengan orang tua.
 Kebutuhan oksigen sudah tersedia sebanyak 3 kali perkiraan waktu
tempuh.
 Memastikan semua peralatan yang membutuhkan tenaga listrik,
mempunyai cadangan baterai minimal 2 kali perkiraan waktu tempuh
beserta konektor yang kompatibel dengan yang tersedia di alat
transportasi.
Bila semua telah selesai dan siap berangkat, lakukan komunikasi dengan
dokter RS rujukan, berupa:
 Kedua pihak memahami kondisi pasien saat itu dan setuju untuk
memulai melaksanakan transportasi.
 Kepastian bahwa RS Rujukan telah siap untuk menerima.
 Perkiraan waktu tempuh
Komunikasi akhir ini untuk menjamin bahwa kedua pihak memiliki
pandangan yang sama demi keselamatan dan keamanan pasien.
Bila selama evaluasi ditengarai manfaat rujukan hilang atau bila
kegagalan terapi diperkirakan tinggi, inisiasi transport tidak perlu dikerjakan.
Oleh karena itu, perlu berkomunikasi dengan RS rujukan dan keluarga.
Perlu diingat bahwa tujuan transportasi adalah kesembuhan pasien, artinya
bila risiko lebih tinggi daripada keuntungan untuk pasien, transportasi tidak
boleh dikerjakan. Jadi bila prognosis pasien buruk, tidak perlu tindakan
transportasi karena hanya akan memberikan harapan semu dan
menghabiskan biaya tanpa manfaat.

Daftar Pustaka
 Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 Kleinman ME, Donogghue AJ, Orr RA, Kissoon N. Stabilization and
Transport. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’ Textbook of
Pediatrc Intensive Care. Edisi ke-5. Philadelphia/China: Lippincott
Williams and Wilkins; 2016. hal.348-62.
 Pitt E, Pusponegoro A. Prehospital care in Indonesia. Emerg Med J.
2005;22:144-7.
 Band RA, Gaieski DF, Hylton JH, Shofer FS, Goyal M, Meisel ZF.
Arriving by Emergency Medical services improves time to treatment
endpoints for patients with severe sepsis or septic shock. Acad
Emerg Med. 2011;18:934-40.
 Huber S, Crönlein M, Matthey Fv, Hanschen M, Seidl F, Kircho C, dkk.
E ect of private versus emergency medical systems transportation in
trauma patients in a mostly physician based system- a retrospective
multicenter study based on the Trauma Register DGU. Scand J
Trauma Resusc Emerg Med. 2016;24:1-8.
 Sankar J, Singh A, Narsaria P, Dev N, Singh P, Dubey N. Prehospital
transport practices prevalent among patients presenting to the pediatric
emergency of a tertiary care hospital. Indian J Crit Care. 2015;19:474-8
Tatalaksana Tersedak pada Anak dan Bayi

Tata laksana tersedak


Tata laksana dari tersedak sangat bergantung kepada efektifitas batuk dan
tingkat kesadaran dari penderita. Apabila anak atau bayi batuk secara efektif,
manuver eksternal tidak perlu dilakukan. Berikan motivasi anak untuk terus
batuk dan pantau kesadaran secara terus menerus. Segera panggil
pertolongan. Apabila anak atau bayi batuk tidak efektif, atau mulai tidak
efektif, tentukan kesadaran anak dan segera beri pertolongan dengan
manuver tertentu. Algoritme tersedak dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Algoritma tersedak

Tatalaksana dilakukan sesuai tingkat kesadaran pasien. Untuk anak yang


sadar dan telah dapat berdiri sendiri, berikan back-blows. Apabila back-blows
tidak dapat membuka jalan napas, lakukan manuver Heimlich (gambar 2)
yaitu tekanan pada perut anak secepatnya. Manuver ini dapat membuat
‘batuk buatan’ untuk meningkatkan tekanan intratorakal sehingga membuka
sumbatan dari benda asing. Lakukan maneuver ini berulang sambil menilai
kesadaran anak.
Apabila benda asing sudah berhasil dikeluarkan, kondisi klinis anak
harus dinilai ulang. Masih ada kemungkinan bagian dari benda asing tersebut
masih ada di dalam saluran napas dan dapat menimbulkan komplikasi.
Apabila terdapat keraguan, konsultasikan dengan bagian medis.
Gambar 2. Manuver Heimlich.
Pada bayi, usaha mengeluarkan benda asing dilakukan dengan teknik back-
blows dan chest thrust. Penolong harus memposisikan bayi tengkurap
dengan kepala menghadap ke bawah agar gravitasi dapat membantu
mengeluarkan benda asing. Penolong berada dalam posisi duduk atau
bersimpuh agar bayi berada pada posisi aman di atas pangkuan penolong
(gambar 3).

Kepala bayi harus dijaga dengan cara menempatkan salah satu tangan pada
salah satu sudut rahang bayi, sementara tangan yang satu melakukan 5
hentakan pada pertengahan punggung antara tulang belikat bayi. Penolong
harus berhati-hati agar tidak menekan jaringan lunak dibawah rahang bayi,
karena ini dapat menghalangi pengeluaran benda asing di jalan napas.

Gambar 3. Teknik back-blows pada bayi


Teknik back-blows diikuti dengan melakukan teknik chest thrust. Teknik ini
dikerjakan dengan memposisikan bayi dalam posisi supine dengan kepala
menghadap ke bawah. Hal ini dapat dicapai dengan aman dengan cara
menggunakan tangan yang bebas sepanjang punggung bayi dan memegang
daerah oksipital bayi dengan telapak tangan. Bayi ditahan menggunakan
lengan penolong, yang kemudian ditempatkan di atas paha penolong (gambar
4).

Tangan penolong yang bebas melakukan hentakan pada bagian bawah


sternum, kira kira satu jari di atas sifoid (tempat kompresi dada anak pada
bantuan hidup dasar). Maksimal lima kali chest thrust dapat diberikan.

Gambar 4. Teknik chest thrust pada bayi

Bila anak yang tersedak tidak sadarkan diri, posisikan anak pada permukaan
keras dan rata, panggil bantuan, dan lakukan BHD segera. Jangan pernah
mencoba mengeluarkan benda tersebut apabila tidak terlihat atau melakukan
sapuan jari berulang- ulang, karena hal ini dapat mendorong benda asing
masuk semakin jauh ke dalam faring dan menyebabkan cedera.

Daftar Pustaka
 Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 Maconochie IK,deCaen AR,Aickin R,Atkins DL, Biarent D, Guerguerian
A,dkk. Part 6: Pediatric basic life support and pediatric advanced life
support 2015 international consensus on cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Resuscitation. 2015; 95:147-68.
Resusitasi Cairan

Cairan pilihan utama untuk resusitasi cairan adalah kristaloid isotonik [NaCl
0,9%, Ringer laktat (RL) dan Ringer asetat (RA)]. Syok pada umumnya pulih
setelah resusitasi cairan 40−60 mL/kgBB pada jam pertama. Resusitasi
cairan kristaloid agresif 20 mL/ kgBB tidak terbukti menyebabkan efek
samping paru (efusi pleura, sindrom distres napas akut) atau neurologis
(edema serebri) walaupun 75% cairan kristaloid isotonis mengalami
redistribusi ke ruang ekstravaskular dalam waktu <1 jam. Resusitasi cairan
NaCl 0,9% dalam jumLah banyak dapat menyebabkan asidosis metabolik
hiperkloremia karena kadar klorida tinggi, dan dilusi protein plasma diikuti
asites, efusi pleura dan anasarka, serta meningkatnya mediator proinflamasi.
Larutan RL dan RA dapat dipakai sebagai penggantinya tetapi harus hati-hati
bila ada hiperkalemia. Koloid alamiah albumin 5% dan koloid semisintetik
(dekstran, gelatin, kanji hidroksi etil) lebih lama memertahankan volume
intravaskular dan dapat mengurangi risiko kelebihan cairan, jejas reperfusi,
dan produksi mediator proinflamasi. Cairan kristaloid hipertonik (NaCl 3% dan
NaCl 7,5%) atau kombinasinya dengan dekstran atau kanji hidroksi etil, serta
natrium laktat hipertonik lebih hemat cairan sehingga dipakai untuk resusitasi
volume kecil (dosis 5 mL/kgBB dalam waktu 15 menit). Cara lain adalah
kristaloid isotonik pada tahap awal dilanjutkan dengan albumin 5% atau koloid
semisintetik jika resusitasi perlu cairan >40-60 mL/kgBB. Resusitasi cairan
dilakukan sampai ada perbaikan klinis atau ditemukan hipervolemia klinis
yang ditandai ronki paru yang baru, irama derap jantung, atau hepatomegali.
Bolus cairan dapat menyebabkan regangan otot jantung berlebihan dan
depresi fungsi jantung.
Tata laksana sepsis berat dan syok sepsis pada anak mengacu pada
panduan Surviving Sepsis Campaign dan Early Goal Directed erapy (EGDT).
Implementasi EGDT di pusat layanan kesehatan lini depan, unit gawat darurat
dan unit rawat intensif untuk tata laksana sepsis berat dan syok sepsis bayi
dan anak disesuaikan dengan ketersediaan sarana dan prasarana setempat.
Diuretik dosis kecil (furosemid 0,3–0,5 mg/kgBB) diberikan bila syok sudah
stabil pada pasien yang mengalami lebih cairan atau bila ditemukan tanda
hipervolemia. Cara ini dapat memperbaiki kontraktilitas miokardium,
meningkatkan luaran urin dan mencegah gagal ginjal/oliguria. Dosis diuretik
yang lebih besar mungkin dibutuhkan, tetapi lebih baik diberikan dosis kecil
dahulu terutama bila hemodinamik belum stabil. Bila sudah mendekati
euvolemia dapat diberi cairan rumatan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid
(albumin 5%) tambahan sesuai kebutuhan. Bayi mempunyai risiko tinggi
mengalami hipoglikemia maka harus mendapat cairan dekstrosa (dekstrosa
10%) ditambah natrium dan kalium sesuai kebutuhan serta pemantauan
kadar glukosa setiap jam. Pemantauan hemodinamik kontinu real time akan
sangat membantu tata laksana syok dan resusitasi cairan.

Daftar Pustaka
 Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 Weiss SL, Pomerantz WJ, Randolph AG, Torrey SB, Kaplan SL, Wiley
JF. Septic shock: Rapid recognition and initial resuscitation in
children. Up To Date. 2017.
ALERGI MAKANAN

Batasan
Reaksi simpang terhadap makanan sering ditemukan pada anak, terutama pada 3 tahun
pertama kehidupan. Reaksi simpang makanan dapat terjadi akibat reaksi imunologis
(alergi) atau non imunologis (intoleransi, kontaminan, intoksikasi).
Makanan yang menjadi alergen yang banyak dilaporkan di negara maju adalah telur,
susu sapi, kacang tanah, gandum, dan soya. Pada anak besar ikan, kerang, dan kacang-
kacangan merupakan penyebab alergi seumur hidup.
Alergi makanan bermanifestasi dengan menginduksi reaksi hipersensitivitas yang
utamanya diperantarai oleh IgE.

Anamnesis dan pemeriksaan fisis


1. Anamnesis yang perlu ditanyakan adalah:
a. Jenis makanan yang diduga sebagai pencetus alergi
b. Jarak waktu antara makan makanan pencetus alergi dengan timbulnya gejala
alergi
c. Lamanya gejala berlangsung
d. Jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga timbul reaksi alergi
e. Frekuensi dan berulangnya kejadian alergi terhadap jenis makanan yang
sama
f. Tanda dan gejala alergi
g. Apakah makanan pencetus mentah atau matang saat dimakan
h. Apakah aktivitas menjadi predisposisi penyebab alergi makanan?
i. Apakah ada kemungkinan kontaminasi dari makanan lain?
2. Manifestasi klinis dapat terjadi pada:
a. Kulit: urtikaria, dermatitis atopi, angioedema, gatal dan bengkak di sekitar
mulut
b. Saluran napas: asma, rinitis
c. Saluran cerna: nyeri perut, mual, muntah, diare, BAB berdarah
d. Umum: anafilaksis.
3. Pencatatan makanan harian.

Pemeriksaan penunjang
1. Skin prick test, berguna untuk menyingkirkan alergen tertentu karena nilai
prediksi negatif cukup tinggi, sedangkan nilai prediksi positif paling tinggi
hanya 60%.
2. Kadar IgE spesifik darah mempunyai nilai prediksi positif untuk beberapa
alergen tertentu mempunyai nilai prediksi positif yang cukup baik.
3. Baku emas alergi makanan adalah DBPCFC (double blind placebo control food
challenge). Namun karena sulit dilakukan maka dapat dilakukan uji provokasi
makanan terbuka. Persiapan uji provokasi makanan terbuka adalah makanan

1
yang diduga sebagai pencetus alergi harus dieliminasi selama minimal 2
minggu, antihistamin dihentikan dengan waktu yang memadai.

Diagnosis banding
Muntah berulang pada bayi: stenosis pilorus atau refluks gastroesofageal
Gejala saluran cerna kronik: defisiensi enzim, fibrosis kistik, penyakit seliak, infeksi
intestinal, malformasi gastrointestinal, dan irritable bowel syndrom (IBS) pada anak besar.

Tata Laksana
1. Eliminasi dan penghindaran jenis makanan yang telah dibuktikan menjadi
penyebab alergi.
2. Medikamentosa sesuai manifestasi klinis.
3. Pendidikan pada orangtua atau pasien mengenai hidden food allergens dengan
cara mengajarkan membaca label makanan.
4. Pendidikan mengenai pengenalan gejala dan cara menanggulanginya.
5. Konsultasi dengan ahli gizi bila harus dilakukan eliminasi salah satu bahan
makanan.
6. Evaluasi berkala minimal tiap 6 bulan apakah pasien sudah toleran terhadap
makanan penyebab alergi, karena beberapa jenis makanan seperti susu dan telur
dapat ditoleransi pada usia yang lebih tua.

Rujukan
1. Hill DJ. The natural history of intolerance to soy and extensively hydrolised formula in infants with
multiple food protein intolerance. J Pediatr 1999;135:118
2. Sampson HA, Ho DG. Relationship between food-specific IgE concentration and the risk of
positive food challenges in children and adolescents. J Allery Clin Immunol 1997;139;100-444.
3. Steinman HA. Hidden allergens in food. J Allergy Clin Immunol 1996;98:241.
4. Jones SM, Burks W. Atopic dermatitis and food hypersensitivity. Dalam: Leung DYM, Sampson
HA, Geha RS, Szefler SJ. Pediatric Allergy Principles and practice .Edisi ke 2. Elsevier-Saunders.
2010. h. 533-9.
5. Leung AK. Food allergy: A clinical approach. Adv Pediatr 1998;45:145-77.

2
ALERGI OBAT
Batasan
Reaksi terhadap obat mencakupi semua reaksi tubuh terhadap obat, tanpa
memperhitungkan mekanisme dasarnya. Hipersensitivitas terhadap obat diartikan
sebagai respon imun terhadap obat pada orang yang sudah tersensitisasi sebelumnya.
Sedangkan alergi obat adalah reaksi imunologis dengan gejala klinis akibat reaksi imun
yang dimediasi oleh IgE.
Reaksi terhadap obat dapat diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya mekanisme
imunologik. Mayoritas (75-80%) reaksi obat disebabkan mekanisme non-imunologik
yang dapat diprediksi, yaitu berdasarkan efek samping yang sudah diketahui atau efek
farmakologik, farmakokinetik (Tabel 1). Sisanya (20-25%) adalah reaksi obat akibat
mekanisme imunologik yang kadang tidak dapat diprediksi. Yang berdasarkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (IgE terlibat), hanya 5–10% dari seluruh reaksi akibat obat.

Tabel 1. Klasifikasi hipersensitivitas obat menurut Gell dan Coombs

Reaksi
imunologis Mekanisme Gambaran klinis Onset gejala

Tipe I (IgE- Kompleks obat-IgE akan berikatan Urtikaria, angioedema, spasme Menit–jam
mediated) dengan sel mast , dengan granulasi bronkus, pruritus inflamasi, pasca paparan
histamin, dan berbagai mediator muntah, diare, dan anafilaksis
Tipe II Antibodi spesifik IgG / IgM Anemia hemolitik, neutropenia, Bervariasi
(sitotoksik) trombositopenia
Tipe III Deposisi jaringan kompleks obat- Serum sickness, demam, ruam, 1-3 minggu
(komples imun) antibodi diikuti aktiasi komplemen artralgia, limfadenopati, urtikaria, sesudah
dan inflamasi glomerulonefritis, vaskulitis paparan obat
Tipe IV Presentasi MHC yang membawa Dermatitis kontak alergiks, ruam 2-7 hari
(delayed, cell- molekul obat ke sel T menyebabkan obat makulopapular * sesudah
mediated) dikeluarkannya sitokin dan mediator paparan obat
pro inflamasi kulit
MHC = major histocompatibility complex.
*Diduga reaksi tipe IV, mekanisme belum sepenuhnya dipahami.

3
Manifestasi Klinis
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat harus dipikirkan pada pasien yang datang
dengan gejala alergi yang umum seperti anafilaksis, urtikaria, asma, serum sickness-like
symptoms, ruam kulit, demam, infiltrat paru dengan eosinofilia, hepatitis, nefritis
interstitial akut, dan lupus-like syndromes.

Anamnesis
Ditanyakan seluruh obat yang diresepkan maupun obat bebas yang diminum dalam 1
bulan terakhir, termasuk tanggal pemberian dan dosis, karena hubungan waktu
pemberian obat dan onset gejala klinis adalah penting. Onset gejala jarang yang kurang
dari 1 minggu atau lebih dari 1 bulan, kecuali bila pasien sudah tersensitisasi
sebelumnya. Selain itu ditanyakan kepada pasien, obat yang pernah didapat selama ini
dan reaksi terhadap pengobatan tersebut.

Pemeriksaan Fisis
- Evaluasi tanda dan gejala reaksi tipe cepat, karena reaksi tipe cepat ini
merupakan kondisi yang mengancam jiwa.
- Tanda bahaya yang penting adalah ancaman syok kardiovaskular; termasuk
urtikaria, edema jalan napas atas atau laring, suara napas mengi dan hipotensi.
- Tanda yang menunjukkan reaksi simpang yang hebat termasuk demam, lesi
membran mukosa, limfadenopati, nyeri dan bengkak sendi, atau pemeriksaan
paru abnormal.
- Pemeriksaan kulit yang teliti diperlukan karena kulit adalah organ yang paling
sering terkena efek simpang obat.

Faktor risiko
 Reaksi simpang obat timbul umumnya pada usia muda dan lanjut usia, lebih
sering pada perempuan.
 Faktor genetik dan predisposisi familial telah dilaporkan (HLA-DQw2 dengan
aspirin, HLAB7DR2, DR3 dengan insulin)
 Infeksi HIV
 Peran riwayat atopi kontroversial (penting pada media radiokontras, tidak
penting pada penisilin)
 Ukuran makromolekular obat, bivalensi, kemampuan menjadi hapten
 Rute pemberian (sering timbul pada pemberian lokal/topikal, jarang pada
parenteral, paling jarang pada oral) Pemberian intravena sering menimbulkan
reaksi hebat.
 Pemakaian obat β-blocker dapat menginhibisi kerja adrenalin pada reaksi
anafilaksis
 Asma dapat memperberat reaksi simpang obat

4
Kriteria Diagnosis
Diagnosis hipersensitivitas obat didasarkan pada penilaian klinis karena uji spesifik
obat konfirmasi sering sulit dilakukan. Kriteria reaksi hipersensitivitas obat adalah:
 Gejala pada pasien konsisten dengan reaksi imunologi obat
 Pasien mendapat obat yang diketahui dapat menimbulkan gejala tersebut
 Waktu antara pemberian obat dan munculnya gejala konsisten dengan reaksi
terhadap obat
 Penyebab lain gambaran klinis ini sudah disingkirkan
 Data laboratorium menunjang mekanisme imunologik yang dapat menimbulkan
reaksi obat (tidak selalu dapat dilakukan)

Pemeriksaan Penunjang
Tujuan uji diagnostik adalah untuk memeriksa petanda biokimiawi atau imunologik
yang dapat memastikan aktivasi jalur imunopatologik tertentu sehingga dapat
menjelaskan efek simpang obat yang dicurigai. Uji laboratorium pemilihannya
berdasarkan mekanisme patologik yang dicurigakan.

Tabel 4. Diagnostik dan terapi untuk hipersensitivitas obat

Reaksi imun Uji Laboratorium Kemungkinan terapi


Tipe I (IgE-mediated) Uji kulit Hentikan obat yang dicurigai.
RAST Pertimbangkan epinefrin,
Triptase serum (penelitian) antihistamin, kortikosteroid
sistemik bronkodilator.
Dirawat jika berat
Tipe II (sitotoksik) Uji Coombs langsung dan tidak Hentikan obat yang dicurigai.
langsung Pertimbangkan kortikosteroid
sistemik.
Transfusi pada kasus yang
berat
Tipe III (kompleks imun) LED, C-reactive protein (CRP) Hentikan obat yang dicurigai.
Komplemen Pertimbangkan NSAID,
ANA, antibodi antihistone antihistamin, atau
Biopsi jaringan untuk pemeriksaan kortikosteroid sistemik; atau
immunofluoresensi plasmaferesis jika berat
Tipe IV (delayed, cell- Uji Patch (temple) Hentikan obat yang dicurigai.
mediated) Lymphocyte proliferation assay* Pertimbangkan kortikosteroid
(penelitian) topikal, antihistamin, atau
kortikosteroid sistemik jika
berat.
RAST = radioallergosorbent test; LED= laju endap darah; NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory drugs

5
Tatalaksana

 Penghentian obat yang dicurigai


 Digunakan obat pengganti yang memiliki struktur kimia berbeda
 Terapi suportif dan simtomatik sesuai gejala yang timbul.
 Kortikosteroid sistemik masih kontroversial, tetapi pada kasus yang berat dapat
membantu
 Sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis :
o Perawatan ruang intensif

Pencegahan dan pendidikan


Setelah diagnosis ditegakkan, pendokumentasian yang akurat di rekam medis
diperlukan untuk mencegah paparan yang tidak perlu. Reaksi non-imun cenderung
tidak berat dan tidak selalu akan berulang. Obat yang dicurigai dapat saja terus dipakai
bila risiko tidak memberi obat akan menyebabkan penyakit makin berat, atau tidak ada
obat lain. Pasien perlu dibekali daftar obat penyebab dan alternatif penggantinya untuk
identitas setiap kali memerukan pemberian obat.

Daftar pustaka
1. Volcheck GW, Hagan JB, Li JT, editors. Drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am
2004;23:345-543.
2. DeShazo RD, Kemp SF. Allergic reactions to drugs and biologic agents. JAMA 1997;278:1895-906.
3. Adkinson NF. Risk factors for drug allergy. J Allergy Clin Immunol 1984;74:567-72.
4. Bayard PJ, Berger TG, Jacobson MA. Drug hypersensitivity reactions and human
immunodeficiency virus disease. J Acquir Immune Defic Syndr 1992;5:1237-57.
5. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, Casale TB, Condemi J, Greenberger PA, dkk. Results of the
national institute of allergy and infectious diseases collaborative clinical trial to test the predictive
value of skin testing with major and minor penicillin derivatives in hospitalized adults. Arch Intern
Med 1992;152:1025-32.
6. Pumphrey RS, Davis S. Under-reporting of antibiotic anaphylaxis may put patients at risk. Lancet
1999;353:1157-8.
7. Kelkar PS, Li JT. Cephalosporin allergy. N Engl J Med 2001;345:804-9.

6
ANAFILAKSIS
Batasan
Anafilaksis adalah reaksi alergi berat dengan onset yang cepat dan dapat menyebabkan
kematian. Anafilaksis terjadi akibat sejumlah besar mediator inflamasi dilepaskan dari
sel mast dan basofil sesudah paparan pada alergen pada individu yang sudah
tersensitisasi sebelumnya. Reaksi anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis tetapi
tidak diperantarai oleh IgE, mungkin oleh anafilaktosin seperti C3a dan C5a atau bahan
yang mampu menginduksi degranulasi sel mast tanpa melalui reaksi imunologis.

Penyebab reaksi anafilaksis adalah:


1. Obat (antibiotik, bahan anestetikum)
2. Makanan (kacang tanah, ikan, kerang, susu, telur, dan lain-lain)
3. Bahan biologis (latex, insulin, ekstrak alergen, antiserum, produk darah, enzim)
4. Gigitan serangga

Penyebab reaksi anafilaktoid:


1. Bahan media radiokontras
2. Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid lain
3. Bahan anestetikum

Manifestasi klinis dan diagnosis


Anafilaksis harus dicurigai bila terdapat 1 dari 3 kriteria di bawah ini:
1. Onset akut dari suatu penyakit (dalam menit sampai beberapa jam) dengan
keterlibatan kulit, mukosa, atau keduanya (misalnya urtikaria generalisata, gatal
atau kemerahan di seluruh badan, edema bibir/lidah/uvula)
Dan disertai oleh salah satu dari kriteria di bawah ini:
a. Gejala saluran napas (sesak, mengi/bronkospasme, stridor, turunnya
PEF (peak expiratory flow), hipoksemia).
b. Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan (hipotonia/kolaps,
sinkop)
2. Dua atau lebih dari gejala di bawah ini yang timbul secara cepat (dalam hitungan
menit sampai beberapa jam) setelah pajanan terhadap suatu zat yang diduga
sebagai alergen:
a. Keterlibatan kulit atau mukosa (misalnya urtikaria generalisata, gata atau
kemerahan di seluruh badan, edema bibir/lidah/uvula)
b. Gejala saluran napas (sesak, mengi/bronkospasme, stridor, turunnya PEF
(peak expiratory flow), hipoksemia).
c. Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan (hipotonia/kolaps,
sinkop)
d. Gejala gastrointestinal persisten (nyeri abdomen, muntah).

3. Tekanan darah turun setelah pajanan terhadap suatu alergen yang sudah
diketahui sebelumnya.

11
Laboratorium
Pada penanganan akut anafilaksis, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Bila ada keraguan mengenai diagnosis anafilaksis, maka dapat diperiksakan serum
triptase (bila ada) yang hasilnya akan meningkat dan mencapai puncak pada 1-2 jam
pertama.

Tata laksana
1. Perawatan umum:
Bila mungkin hentikan pajanan antigen. Lakukan penilaian terhadap jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. jalan napas harus dijamin terbuka, nadi dan tekanan
darah dipantau. Pasien dibaringkan dengan tungkai ditinggikan. Oksigen
diberikan dengan sungkup atau kanul hidung dengan pemantauan kadar
oksigen.

2. Epinefrin
Epinefrin konsentrasi 1:1000 dengan dosis 0,01 mL/kg maksimal 0,3 ml per kali
disuntikkan intramuskular di daerah mid-anterolateral paha. Dosis yang sama
dapat diulangi dengan jarak 5-15 menit sampai 2–3 kali.

3. Cairan
Hipotensi persisten perlu diatasi dengan perbaikan cairan intravaskular dengan
infus kristaloid 20-30 ml/kg dalam 1 jam pertama.

4. Antihistamin
Difenhidramin 1-2 mg/kg maksimal 50 mg dapat disuntikkan intramuskular
atau intravena. Bila diberikan intravena maka harus diberikan secara infus
selama 5-10 menit untuk menghindari hipotensi.

5. Bronkodilator
Inhalasi β2-agonis berguna untuk mengatasi bronkokonstriksi.

6. Kortikosteroid
Bila diberikan segera setelah kegawatan teratasi dapat mencegah anafilaksis
bifasik. Metilprednisolon dosis 1-2 mg/kg diberikan secara intravena setiap 4-6
jam.

7. Vasopresor
Bila hipotensi berlanjut perlu diberikan dopamin atau epinefrin

8. Observasi
Pasien yang anafilaksisnya sudah teratasi harus dipantau untuk mengawasi
kemungkinan anafilaksis bifasik.

12
Gejala klinis reaksi alergi

Nilai kembali
YA TIDAK gejala klinis

Evaluasi kegawat daruratan

 Airway : Serak, edema, stridor


 Breathing : Sesak, mengi, sianosis, SpO2 ≤92%
 Circulation : Pucat, akral dingin, hipotensi, gangguan kesadaran

Kelola sebagai
YA TIDAK
Penyakit alergi

Adrenalin (Epinefrin 1mg/ml ) 1:1000, intramuskular, dosis 0.01 mg/kgBB/kali (0,01 mL/kg),
dosis maksimal 0.3 mg (0,3 mL), disuntikkan di daerah mid-anterolateral paha
Dapat diulang setelah 5-15 menit jika tidak didapatkan perbaikan klinis, maksimal
pemberian 3 kali

Evaluasi ulang airway, breathing, circulation


Oksigenasi
Pasang akses vena, berikan cairan kristaloid (RL), 20
mL/kg BB

Antihistamin H1 (difenhidramin)
Dosis: 1 mg/kgBB/kali, dosis maksimal 50 mg
intramuskular atau Intravena perlahan

EVALUASI

Perbaikan klinis (+) Reaksi berulang atau tidak berespons

Observasi dan
 Steroid (metil prednisolon) 1-2 mg/kgBB/hari; Intravena, ATAU
monitoring
Hidrokortison (100mg/ml) intramuskular atau intravena perlahan,
setidaknya 4-6 jam
Dosis : ≤ 6 bulan : 25 mg
6 bulan – 6 tahun : 50 mg
Alat –alat yang disiapkan: 6 – 12 tahun : 100 mg
 Oksigen dan nasal ≥12 tahun : 200 mg
kanul  Pemberian cairan intra vena secara cepat 20ml/kgBB/kali dapat
 Abocath, cairan infus diulang kembali dengan maksimal 60 mL/kg. Jangan berikan koloid
Ringer Laktat, infus set karena dapat menjadi penyebab anafilaksis.
 Obat –obatan :  Pada keadaan bronkospasme dapat diberikan inhalasi dengan β2
Adrenalin, agonis
difenhidramin, metil  Pada syok yang lama, berikan resusitasi kardiopulmonal dan
prednisolon atau pertimbangkan pemberian adrenalin 1:10.000 secara intravena
hidrokortison, inhalasi perlahan (titrasi mulai dengan 0,1 mg/kg/menit sampai 1
β2 agonis
mg/kg/menit) atau obat vasopresor lain
 Alat –alat resusitasi :
ambu bag, laringoskop,
pipa endotrakeal

Gambar 1. Penanganan syok anafilaksis 13


Pencegahan
 Bahan yang menyebabkan anafilaksis wajib dihindari.
 Bila penyebabnya aktivitas, bila berolahraga harus ada pendamping.
 Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengenali tanda-tanda anafilaksis dan
penanganan awal.

Daftar pustaka
1. Resuscitation Counsil UK. Emergency treatment of anaphylactic reactions, guidelines for
healthcare provider Working Group of The Resuscitation Council(UK). London, January 2008.
2. Lane RD, Bolte RG. Pediatric anaphylaxis. Pediatr Emergency Care. 2007;23:49-60.
3. Sampson HA. Anaphylaxis and emergency treatment. Pediatrics. 2003;111:1601-8.
4. Simons FER. Anaphylaxis: an overview of assessment and management. Dalam: Dalam: Leung
DYM, Sampson HA, Geha R, Szefler SJ, penyunting. Pediatric allergy: principles and practice. Edisi
kedua. Edinburgh: Saunders Elsevier, 2010; h. 650-63.

14
Pemasangan pipa nasogastrik (NGT)

Langkah pemasanan pipa nasogastrik pada anak:


 Pegang ujung NGT berhadapan dengan hidung anak, ukur jarak dari
hidung anak ke telinga, lalu jarak ke epigastrium. Tentukan panjang
pipa sampai titik ini
 Pegang anak dengan erat. Basahi ujung NGT dengan air dan
masukkan ke dalam salah satu lubang hidung, dorong perlahan ke
arah dalam. Kateter harus dapat masuk dan turun ke arah lambung
tanpa hambatan. Bila jarak ukuran sudah masuk semua, fiksasi posisi
pipa dengan plester di hidung
 Isap sedikit isi lambung dengan semprit untuk memastikan bahwa NGT
berada pada tempat yang benar (cairan akan mengubah kertas lakmus
biru menjadi merah jambu). Jika cairan lambung tidak didapat,
masukkan udara ke NGT dan dengarkan suara udara masuk ke
lambung dengan meletakkan stetoskop di abdomen
 Jika ada keraguan terhadap posisi pipa, tarik pipa ke luar dan ulang
kembali
 Jika pipa sudah pada tempatnya, pasang 20 ml semprit (tanpa
pendorong) di ujung pipa, dan tuang cairan ke dalam semprit, biarkan
mengalir masuk dengan sendirinya
 Jika pemberian oksigen melalui kateter nasofaring diperlukan pada
saat bersamaan, masukkan kedua pipa melalui lubang hidung yang
sama dan biarkan lubang hidung yang satunya tidak terganggu dengan
membersihkan dari segala kotoran hidung dan sekresi atau masukkan
NGT melalui mulut.
Penentuan Indikasi dan Jenis Transfusi

Dasar resusitasi menggunakan produk darah setelah diawali dengan bolus


cairan kristaloid isotonik sebanyak 20 ml/kg adalah dilanjutkan dengan
resusitasi dengan produk darah sebanyak 10-20 mL/kg packed red cells
(PRC) dan 10-20 mL/kg fresh frozen plasma (FFP) dan konsentrat trombosit.

Prosedur transfusi komponen darah


• Transfusi packed red cells (PRC)
Tentukan kadar Hb yang diinginkan untuk memperkirakan volume darah yang
dibutuhkan. Untuk menentukan kadar Hb ini harus mempertimbangkan
diagnosis, keadaan klinis, antisipasi kehilangan darah akibat prosedur invasif,
dan usia penderita. Pada bayi kecil lebih mudah mengalami transfusi yang
berlebihan sehingga perlu pertimbangan ketat dalam menentukan volume
darah. Diharapkan Hb meningkat 2–2,5 g/dL tiap pemberian 10 ml/kgBB
komponen sel darah merah (PRC dengan hematokrit 55-60%). Apabila
menghendaki volume darah minimal dapat diminta sediaan hard PRC dengan
hematokrit 80- 90%.
 Volume darah yang diperlukan untuk meningkatkan Hb atau Ht sesuai
yang diinginkan dapat dihitung berdasarkan beberapa formula sebagai
berikut:
Tabel 1. Formula kalkulasi jumlah volume darah untuk transfusi PRC
Setelah dilakukan analisis statistik dari ketiga formula tersebut tidak ada yang
dapat memenuhi target Hb atau Ht yang diinginkan sehingga formula tersebut
disempurnakan sebagai berikut:
Volume (ml) = 4,8 x DHb (g/dL) x BB (kg) atau Volume (ml) = 1,6 x DHt (%) x BB (kg)

 Kecepatan transfusi tergantung pada derajat kehilangan darah, status


kardiovaskular dan kadar Hb absolut. Secara umum setiap unit PRC
ditransfusikan selama 2-4 jam. Pada anak dengan kadar Hb <5 g/dL
atau pada gagal jantung, kecepatan transfusi dipertimbangkan lebih
lambat. Pada anemia berat dengan onset gradual lebih aman apabila
kecepatan transfusi 2 ml/kgBB/ jam.
 Apabila memberikan transfusi >25 mL/kgBB/hari harus diwaspadai
terjadinya instabilitas kardiovaskular dan koagulopati dilusi.
• Transfusi fresh frozen plasma (FFP)
Transfusi FFP ditujukan untuk mengoreksi defisiensi faktor koagulasi,
melawan efek warfarin, DIC, TTP dan pada kasus-kasus perdarahan
akibat gangguan faktor koagulasi setelah transfusi masif PRC, penyakit
hati dan bypass kardiopulmoner. – Dosis pada anak <30 kg: 10 ml/kgBB;
pada anak 330 kg: 1 abot standar (300 ml) ditransfusikan selama 2–4
jam, diharap dapat meningkatkan 20–30% faktor koagulasi.
• Transfusi cryoprecipitate
Cryopresipitate diberikan apabila kadar fibrinogen <1 g/L atau bila
terdapat kecurigaan kadar brinogen yang rendah dan keadaan urgensi
yang tidak dapat menunggu lagi hasil pemeriksaan kadar brinogen.
 Dosis: 1 unit untuk setiap 5–10 kgBB diharap dapat meningkatkan
kadar brinogen 0,5–1 g/L, diberikan dalam waktu 10-30 menit/dosis.
• Transfusi trombosit
Terdapat 2 jenis sediaan trombosit yaitu standart pack (pediatric single
donor) 40-60 ml dan thrombocyte apheresis.
 Dosis 5–20 ml/kgBB diharap dapat meningkatkan jumlah trombosit 50–
100.000/μL, diberikan dengan kecepatan 3 ml/kgBB/jam. Dapat
diberikan lebih cepat (dalam 30 menit) dengan kewaspadaan
meningkatnya risiko reaksi transfusi.
Daftar Pustaka
 Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 Morris KP, Naqvi N, Davies P, Smith M, Lee PW. A new formula for
blood transfusion volume in the critically ill. Arch Dis Child.
2005;90:724-8.
 Roganovic J. Transfusion in the critically ill pediatric patient. Pediatr
health. 2010;4:201-208.
Gagal Napas pada Anak

Gagal napas terjadi bila sistim pernapasan tidak dapat mempertahankan


oksigenasi dan atau ventilasi. Peningkatan work of breathing adalah upaya
untuk mempertahankan fungsi tersebut saat terjadi gangguan sistim
pernapasan. Takipnu merupakan tanda yang paling sering dijumpai.
Sekalipun hipoksia dan hiperkarbia merupakan penyebab tersering,
takipnu dapat pula disebabkan oleh keadaan lain seperti asidosis, nyeri,
kecemasan dan proses intrakranial. Tanda lain yang sering dijumpai adalah
penggunaan otot napas tambahan, retraksi interkostal, subkostal, substernal
dan suprasternal disertai napas cuping hidung. Stridor merupakan tanda
obstruksi jalan napas atas akibat turbulensi udara inspirasi yang harus
melewati lumen sempit di daerah Subglotis. Pada bayi stridor sering dijumpai
pada makroglosia, laringomalasia dan trakeomalasia. Di ruang gawat darurat
umumnya penyebab stridor adalah epiglotitis, croup atau obstruksi akibat
benda asing. Grunting adalah suara napas tambahan akibat penutupan glottis
pada akhir ekspirasi dengan tujuan untuk mencegah kolaps alveoli. Grunting
sering dijumpai pada neonatus dengan “respiratory distress syndrome”. Anak
dengan obstruksi jalan napas sering memilih posisi anatomis yang paling
ideal untuk mengkompensasi gangguan pernapasan, posisi ini dikenal
dengan istilah “position of comfort”. Posisi tripod mempunyai ciri postur tegak,
condong kemuka, dengan kedua tangan lurus ke dapat menopang dada.
Posisi ini menyebabkan seluruh aksis thoracoabdominal dapat digunakan
untuk pernapasan. Anak dengan obstruksi jalan napas atas sering bernapas
dengan mulut terbuka. Bila tekanan intratoraks sangat negatif, aliran keluar
rongga thoraks dapat terganggu hingga mengakibatkan pulsus paradoksus
lebih dari 20 mmHg. Sianosis merupakan tanda bahaya. Keadaan ini
menunjukan gangguan oksigenasi yang dapat terjadi di tingkat alveol atau
sistim kardiovaskular.
Pada bayi kecil, gangguan oksigenasi biasanya didahului dengan
agitasi, iritabilitas dan tidak mau minum. Pada anak yang lebih besar
biasanya disertai penurunan kesadaran. Ancaman henti napas harus di
curigai pada upaya napas tambahan tidak effektif. Pada auskultasi dapat
dijumpai aliran masuk udara yang menurun. Tidak jarang juga dijumpai
bradikardia.
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan
suportif, bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan
suportif bagi pasien ARDS dengan atau tanpa multiple organ dysfungsi
syndrome (MODS) meliputi:
 Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
 Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi
nosokomial atau toksisitas oksigen.
 Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ
dengan cara meminimalkan angka metabolik.
 Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.
 Dukungan nutrisi.

A. Terapi Non farmakologis


Penggunaan ventilasi mekanis invasif pada ARDS
Kegagalan ventilasi biasanya disertai penurunan Kapasitas residual
fungsional (KRF) yaitu adalah volume udara yang tetap berada di dalam paru
pada akhir ekspirasi tidal normal karena tidak ada otot pernapasan yang
berkontraksi pada saat ekspirasi. Kapasitas residu fungsional berisi 1/3
cadangan total O2 (1-2,3 liter) dan merupakan penyangga ventilasi alveolar
dalam pertukaran gas sehingga memperkecil fluktuasi komposisi gas alveolar
yang terjadi selama pernapasan.
Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal
rendah (4-6 mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini
dimaksudkan untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg)
dengan tingkat FiO2 aman, menghindari barotrauma (tekanan saluran napas
<35cmH2O atau di bawah titik refleksi dari kurva pressure-volume) dan
menyesuaikan (I:E) rasio inspirasi: ekspirasi (lebih tinggi atau kebalikan rasio
waktu inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnea yang diperbolehkan).
Selain pengaturan ventilasi dengan cara diatas, masih ada lagi teknik
pengaturan ventilasi untuk ARDS (strategi ventilasi terkini) meliputi high
frequency ventilation (HVF), inverse ratio ventilation (IRV), airway pressure
release ventilation (APRV), prone position, pemberian surfaktan eksogen,
ventilasi mekanik cair dan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
serta extracorporeal carbon dioxide removal (ECCO2R).
Metode HFV dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat serta
mencegah kolaps alveoli melalui frekuensi tinggi (300 x/menit) dan volume
tidal rendah (3-5 ml/kg). Teknik ini berhasil diaplikasikan pada neonatus
dengan penyakit membran hialin, tetapi manfaat HFV pada ARDS dewasa
masih belum dipastikan.
Metode IRV didesain untuk memperpanjang fase siklus ventilasi
inspirasi, yang mengakibatkan peningkatan tekanan saluran pernapasan,
sehingga memperbaiki oksigenasi. Rasio I:E normal adalah 1:2 dan IRV
dapat memperpanjang fase inspirasi menjadi rasio I:E melebihi 1:1. Manfaat
IRV pada ARDS masih kontroversial dan ketidaknyamanan yang berkaitan
dengan cara ini sering kali memerlukan sedasi dan paralisis otot yang kuat
bagi pasien.
Metode APRV didesain untuk menghantarkan volume tidal saat terjadi
penurunan sementara tekanan intratoraks dan mempertahankan tekanan
inspriasi yang konstan dengan peningkatan PEEP sehingga memperbaiki
oksigenasi pasien ARDS.
Metode APRV menggunakan tekanan tinggi secara kontinyu untuk
mendorong recruitment alveolar dan mempertahankan volume paru yang
adekuat. Saat fase pelepasan tekanan akan menurun dalam ventilasi semenit
secara spontan sehingga memungkinkan terjadinya pernapasan spontan
tanpa restriksi selama siklus ventilator sehingga membuat ventilasi yang lebih
baik pada daerah paru dependent, mengurangi atelektasis dan memperbaiki
volume paru akhir ekspirasi pada cedera paru. Hal tersebut dapat
mengakibatkan perbaikan ventilasi-perfusi serta oksigenasi yang lebih baik.
Metode ECMO didesain dengan menegakkan sirkuit ekstrakorporal,
baik pola vena ke arteri (V-A ECMO) maupun vena ke vena (V-V ECMO).
Pola VA-ECMO meningkatkan oksigenasi melalui oksigenator membran
ekstrakorporeal dan cardiac output dengan sistem pompa, tetapi V-V ECMO
hanya dapat memperbaiki oksigenasi jaringan. Metode ECCO2R
menggunakan suatu sirkuit venovenosa dan CO2 darah dapat dihilangkan
oleh suatu mesin extracorporeal.
Ventilasi mekanis cair dengan perfluorocarbon, paru akan terisi
sebagian oleh cairan yang dapat melarutkan lebih banyak oksigen dan
mengkonsumsi lebih sedikit surfaktan dibandingkan dengan ventilasi
konvensional serta memiliki tekanan permukaan yang lebih rendah dan
mengurangi respons inflamasi Metode ini digunakan sebagai terapi alternatif
baru yang menjanjikan bagi pasien ARDS.
Pengaruh Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) terhadap
hemodinamik
Pemberian IPPV saat inspirasi timbul tekanan positif pada jalan napas
sedangkan pada pernapasan spontan terjadi tekanan negatif di ruang pleura
maka tekanan intratorakal pada IPPV akan lebih besar dibandingkan
pernapasan spontan. Penderita dengan paru normal, peninggian tekanan
intratorakal akan menimbulkan penurunan pengisian curah jantung kiri dan
kanan, tergantung pada volume darah dan venous return. Jantung kiri terjadi
perbedaan tekanan aorta intratorakal dan ekstratorakal menyebabkan
penurunan afterload sehingga pada keadaan hiperdinamik bila terdapat gagal
jantung pemberian IPPV sangat bermanfaat.
Pengaruh Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) terhadap
hubungan ventilasi- perfusi (V/Q) dan pertukaran gas
Pertukaran gas yang normal tergantung pada hubungan antara udara
(ventilasi- alveolar/VA) dan aliran darah (perfusi/Q). Rasio ventilasi perfusi
yang ideal (V/ Q) adalah 1:1, keadaan normal, tekanan arteri pulmonalis akan
menjadi rendah akibat pengaruh gravitasi sehingga menyebabkan aliran
darah paru bagian atas sedikit (V/Q tinggi), sedangkan aliran darah paru
bagian basal lebih banyak (V/Q rendah). Metode IPPV pada pasien posisi
terlentang, distribusi udara inspirasi lebih merata dibandingkan dengan
pernapasan spontan
Metode ventilasi mekanis untuk ARDS sudah menjadi perdebatan
sejak awal sindrom ini ditemukan. Metode ventilasi mekanis yang lama pada
pasien ARDS direkomendasikan menggunakan peningkatan volume tidal
menjadi 10-15 ml/kgBB. Pemakaian volume tidal yang tinggi dapat
menyebabkan kerusakan paru yang makin luas karena peningkatan tekanan
jalan napas menyebabkan distensi yang berlebihan pada alveoli, peningkatan
permeabilitas vaskular paru, inflamasi akut, perdarahan alveolar dan shunt
intrapulmoner sehingga untuk keberhasilan pengunaan ventilasi mekanis
invasif pada ARDS maka AECC merekomendasikan pembatasan volume
tidal, PEEP dan hiperkapnea.
Ventilasi Volume Tidal Rendah
Volume tidal merupakan volume udara yang dihantarkan oleh ventilasi
mekanis setiap sekali bernapas mumnya diatur antara 5-15 ml/kgBB,
tergantung compliance, resistensi dan jenis kelainan paru. Pemakaian volume
tidal rendah pada pasien ARDS mentoleransi terjadinya hiperkapnea dengan
membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, tetapi PaO2 normal dengan cara
menurunkan volume tidal yaitu 4-6 mL/kgBB yang ini bertujuan menghindari
terjadinya barotrauma.
Penelitian prospektif secara random yang membandingkan antara
pasien ARDS yang mendapat volume tidal tinggi dan mendapat volume tidal
rendah terdapat penurunan mortalitas dari 40% menjadi 31%. Pemakaian
volume tidal rendah saat ini dipertimbangkan sebagai terapi penunjang pasien
ARDS karena dapat menurunkan angka mortalitas dan mengurangi waktu
penggunaan ventilator.
Pengaturan ventilasi volume tidal rendah, PEEP tinggi, manuver
pengisian alveolar dan memposisikan pasien telentang akan berguna pada
pasien hipoksemia berat tetapi metode ventilasi tersebut tidak meningkatkan
angka keberhasilan penanganan ARDS. Ketertarikan awal dalam ventilasi
volume tidal rendah didorong oleh penelitian pada binatang yang
menunjukkan bahwa ventilasi dengan volume tidal besar dan tekanan
inspirasi tinggi mengakibatkan timbulnya ALI yang ditandai oleh membran
hialin dan infiltrat inflamasi. Dahulu volume tidal tinggi sebesar 10-15
mL/kgBB telah digunakan pada pasien gagal napas tetapi pada pertengahan
tahun 1980-an pada penatalaksanaan ARDS mengakibatkan jumlah jaringan
paru yang normal menjadi overdistensi alveolar, yang dikenal dengan istilah
“baby lung”.
Secara spesifik, direkomendasikan penggunaan protokol ventilasi yang
digariskan oleh peneliti ARDS Network dalam suatu publikasi Respiratory
Management in ALI/ARDS (ARMA) tahun 2000. Protokol ini menyebutkan
lebih banyak mengenai penggunaan volume tidal rendah, sebagai berikut:
1. Volume tidal secara sistematik disesuaikan (4-6 mL/kgBB) untuk
mempertahankan tekanan plateau 30 cmH2O.
2. Respiratory rate harus dititrasi sesuai kebutuhan (6-35 kali/menit) untuk
mempertahankan pH sebesar 7,3 hingga 7,45.
3. Kombinasi tepat dari fraction of inspired oxygen (FiO2) dan positive end-
expiratory pressure (PEEP) untuk mencapai oksigenasi yang adekuat
(PaO2 55 -80 mmHg atau saturasi pulsasi oksimetri ± 88%-95%)
Pemakaian ventilasi volume tidal rendah disertai dengan hiperkapnea akan
menyebabkan pasien tidak nyaman, demikian juga peningkatan PaCO2 yang
akut dapat mengakibatkan abnormalitas fisiologis seperti vasodilatasi,
takikardi, dan hipotensi. Tahun 2000, ARMA merekomendasikan penggunaan
sedasi dengan tujuan untuk kenyamanan pasien. Timbulnya hiperkapnea
yang ringan dapat diterima dan ditoleransi oleh sebagian besar pasien ARDS,
bila pasien disertai asidosis metabolik harus secepatnya dikoreksi dan ARMA
merekomendasikan dengan meningkatkan respiratory rate (hingga 35
kali/menit) dan infus bikarbonat pada kondisi demikian.
Positive End Expiratory Pressure (PEEP) tinggi
Asbaugh dkk (1967) memperkenalkan penggunaan Positive end expiratory
pressure (PEEP) sebagai model ventilasi mekanis untuk mengatasi
hipoksemia refrakter pada pasien ARDS dan mencegah kerusakan paru
akibat pembukaan dan penutupan bronkiolus dan alveolus yang berulang
sehingga mencegah kolaps paru saat akhir ekspirasi. Positive end expiratory
pressure (PEEP) merupakan komponen penting ventilasi mekanis pada
ARDS yang di setting pada 5-12 cmH2O. Positive end expiratory pressure
dapat menurunkan shunt intrapulmoner, meningkatkan oksigenasi arteri dan
meningkatkan bagian paru yang tidak terisi udara sehingga dapat
mengakibatkan perbaikan oksigenasi. National Heart, Lung and Blood
Institute ARDS Network (2004) melakukan suatu penelitian secara acak yang
disebut ALVEOLI (Assessment of Low tidal Volume and Elevated End
Expiratory Pressure To Obviate Lung Injury) dengan tujuan untuk mengetahui
bahwa pada pemakaian PEEP tinggi pada pasien ARDS dapat bermanfaat
meningkatkan oksigenasi
Ventilasi dengan posisi prone
Ventilasi dengan posisi prone dapat dilakukan pada pasien ARDS walaupun
belum direkomendasikan secara rutin karena masih kurangnya data yang
mendukung hal ini. Namun pada 70% pasien ARDS, posisi prone dapat
memperbaiki oksigenasi, menghasilkan peningkatan Pa02 yang signifikan,
memperbaiki bersihan sekret dan dapat dipertimbangkan jika pasien
membutuhkan PEEP >12 cm H2O dan FiO2 >0,60 dan paling baik dilakukan
pada ARDS dengan onset kurang dari 36 jam. Mekanisme yang terjadi pada
posisi prone adalah terjadinya rekrutmen paru dorsal bersamaan dengan
kolapsnya paru ventral sehingga perfusi lebih mudah didistribusikan.

B. Terapi Farmakologis
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa randomized
controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan kortikosteroid
sedini mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat. Kortikosteroid seperti
methiprednisolon diberikan dengan dosis 1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu
ditapering off. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan
penggunaan ventilator dalam hitungan hari, walaupun penggunaan
kortikosteroid tidak terbukti menurunkan angka mortalitas.
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin
dapat menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan
menurunkan impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami perbaikan
oksigenasi dengan iNO. Penambahan almitrin intravena mempunyai dampak
aditif pada perbaikan oksigenasi. Sementara pemberian PGI2 dengan dosis
sampai 50 ng/kg.bb/menit ternyata memperbaiki oksigenasi sama efektifnya
dengan iNO pada pasien ARDS.
Daftar Pustaka
 Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute
respiratory distress syndrome: new definition, current and Fanelli V,
future therapeutic options. Journal of Thoracic Disease. 2013, 5(3):
326-334.
 Jonathan A, Fergusson ND. Clinical review: Acute respiratory distress
syndrome – clinical ventilator management and adjunct therapy.
Critical Care 2013, 17:225.
Tatalaksana Kejang pada Anak

Status epileptikus merupakan kegawatan yang memerlukan intervensi cepat


karena durasi kejang berbanding terbalik dengan respon terapi dan luaran.
Tata laksana SE meliputi: (1) penghentian kejang secara cepat, (2) stabilisasi
awal, (3) terapi suportif terhadap komplikasi, (4) terapi definitif, dan (5)
pencegahan kejang berulang. Kelima tahap tersebut dilakukan secara
simultan karena satu kondisi dapat mempengaruhi kondisi lainnya.
Penghentian Kejang
Status epileptikus harus segera dihentikan dalam 30 menit pertama karena
berhubungan dengan luaran klinis. Tindakan yang dilakukan adalah
pemberian obat kejang lini pertama, kedua, dan obat anestesi. Karena
kurangnya penelitian klinis acak, pilihan obat antikovulsan sebagian besar
hanya berdasarkan penelitian observasional, laporan kasus, atau pendapat
ahli (tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Pilihan obat antikonvulsan berdasarkan tipe kejang

Tabel 2. Dosis obat antikonvulsan untuk status epileptikus


Stabilisasi Awal
Seperti pada kondisi kegawatan yang lain, proteksi jalan napas merupakan
prioritas tindakan. Sebaiknya tidak memberikan alat apapun dalam mulut
pasien untuk menghindari aspirasi. Suplementasi oksigen perlu diberikan dan
bantuan ventilasi kadang perlu dilakukan. Pada pasien dengan hipoksemia,
hipoventilasi, penurunan re eks proteksi jalan napas, atau penurunan
kesadaran (Glasgow Coma Scale, GCS <8), perlu dilakukan intubasi
endotrakeal. Sebagai premedikasi dan pelumpuh otot, sebaiknya dipilih obat
berdurasi kerja pendek. Penggunaan pelumpuh otot kontinu harus dihindari
karena mengaburkan aktivitas kejang yang sedang berlangsung.
Akses intravaskular atau intraosseus harus tersedia untuk pemberian obat
antikonvulsan. Stabilisasi hemodinamik perlu dijaga melalui resusitasi cairan
dan obat vasoaktif untuk menghindari hipoperfusi serebral. Hipertensi saat
kejang tidak perlu segera diterapi, kecuali menetap setelah kejang berhenti.
Kelainan metabolik juga perlu diterapi. Kondisi tersering adalah hipoglikemia,
yang memerlukan terapi dekstrosa 0,25–0,5 g/kgBB IV. Tiamin (50-100 mg
IV) dapat dipertimbangkan pada pasien malnutrisi. Gangguan elektrolit
terutama hiponatremia dan hipokalsemia, harus dideteksi dan diterapi. Pada
kasus curiga infeksi bakterial, antibiotik empiris harus segera diberikan.
Pemberian asiklovir empiris dapat dipertimbangkan pada kasus SE dengan
kecurigaan infeksi Herpes simpleks.
Terapi suportif terhadap komplikasi
Status epileptikus sering menyebabkan asidosis metabolik, hipertermia, dan
rabdomiolisis. Asidosis metabolik dapat membaik secara spontan setelah
kejang berhenti. Hipertermia harus segera mendapatkan terapi antipiretik dan
surface atau systemic cooling. Jika diperlukan obat pelumpuh otot, EEG
kontinu harus dilakukan untuk memantau aktivitas kejang. Tunjangan
kardiorespiratorik seringkali diperlukan pada kasus SE. Ventilasi mekanik
diperlukan pada kondisi hipoksemia, hipoventilasi, mendapatkan terapi
induksi koma farmakologis, atau penurunan kesadaran (Glasgow Coma
Scale, GCS <8). Pasien yang mengalami syok, hipotensi, atau depresi
miokardium memerlukan tunjangan obat vasoaktif. Langkah-langkah terapi
SE dapat dilihat pada algoritme berikut (gambar 1).
Gambar 1. Algoritme tata laksana status epileptikus
Daftar pustaka
• Buku Ajar Emergensi dan Rawat Intensif Anak. Edisi 1. Badan Penerbit
IDAI: 2018.
 Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I,
Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus.
UKK Neurologi IDAI. 2016.
 Abend NS, Dlugos DJ, Hahn CD, Hirsch LJ, Herman ST. Use of EEG
monitoring and management of non-convulsive seizures in critically ill
patients: a survey of neurologists. Neurocrit Care. 2010;12:382-89.
 Abend NS, Gutierrez-Colina AM, Topjian AA, et al. Nonconvulsive
seizures are common in critically ill children. Neurology. 2011;76:1071-
7.
 Asadi-Pooya AA, Poordast A. Etiologies and outcomes of status
epilepticus in children. Epilepsy Behav. 2005;7:502-5.

Anda mungkin juga menyukai