Anda di halaman 1dari 17

Laporan Kasus

TINEA CAPITIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :
Mauliza, S.Ked
2106111003

Preseptor :
dr. M. Mimbar Topik, M.Ked (DV), Sp.DV

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul "Tinea Capitis". Penyusunan laporan kasus ini merupakan pemenuhan
syarat untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, dengan rasa
hormat dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. Mimbar Topik, M.Ked (DV), Sp.DV atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk
motivasi dan dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.

Aceh Utara, Desember 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 LAPORAN KASUS...................................................................................3
BAB 3 PEMBAHASAN.........................................................................................5
BAB 4 KESIMPULAN.........................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Tinea capitis merupakan infeksi rambut dan kulit kepala oleh dermatofita,
khususnya disebabkan oleh spesies Trichophyton dan Microsporum, kecuali
Trichophyton concentricum(1)(2). Dermatofita merupakan kelompok jamur yang
menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi yang menyebabkan jamur ini mampu
berkolonisasi pada jaringan keratin, termasuk stratum korneum epidermis, rambut,
kuku dan jaringan keratin (1).
Prevalensi yang tinggi tinea capitis dapat ditemukan di seluruh dunia,
terutama ditemukan di Afrika, Eropa dan Asia Tenggara (1). Angka prevalensi
tinea capitis di Indonesia bervariasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) ditemukan sebesar 0,61-0,87% (1989-1992) dari kasus jamur kulit, di
Medan 0,4% (1996-1998), di RSUP Kariadi Semarang sebesar 0,15% (1996-
1998) (3). Angka insiden tinea capitis di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2007-
2010 sebesar 0,21% yang didominasi kelompok umur 5-14 tahun (35,71%) dan
jenis kelamin laki-laki sebesar 60% (4). Pada tahun 2012-2013 terdapat 25 kasus
baru (5,18%) tinea capitis dari total 482 penderita yang berkunjung di subdivisi
mikologi poliklinik kulit dan kelamin di RSUP Sanglah.
Tinea capitis (ringworm of the scalp) adalah kelainan pada kulit dan
rambut kepala, alis, dan bulu mata. Penyakit ini disebabkan oleh spesies
dermatofita dari genera trychophiton dan microsporum, misalnya. T violaceum, T.
Gourvilii, T. Mentagrophytes, T.Tonsurans M.audonii, M.canis, M.Ferrugineum
(5).
Insiden tinea capitis bervariasi menurut jenis kelamin, tetapi tingkat
variasi tergantung pada mikroorganisme. Tinea capitis mempengaruhi anak-anak
terutama pra-pubertas antara 6 dan 10 tahun. Ketika agen etiologi adalah
audouinii Microsporum, rasio antara pria dan wanita adalah 5: 1; dengan M.
canis, rasio bervariasi, namun infeksi pada anak laki-laki biasanya lebih tinggi.
Infeksi Trichophyton kulit kepala mempengaruhi anak perempuan dan anak laki-
2

laki sama-sama. Meskipun paling sering terlihat pada anak-anak praremaja, tinea
capitis dapat terjadi pada orang dewasa (5).
Gambaran klinis tinea capitis tergantung dari spesies penyebabnya sama
halnya dengan faktor lain seperti respon imun pejamu. Umumnya infeksi
dermatofita yang mengenai kulit kepala akan menyebabkan kerontokan rambut,
kulit kepala bersisik dan berbagai derajat respon inflamasi. Manifestasi klinis
tinea capitis sangat bervariasi yaitu dapat berupa non-inflamasi atau inflamasi.
Beberapa tipe tinea capitis yaitu tipe gray patch, black dot, kerion dan favus (6).
Bentuk gray patch biasanya disebabkan oleh Microsporum audoinii (M. audoinii)
atau M. ferrugineum. 3 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinis dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan KOH, pemeriksaan lampu
Wood dan kultur jamur (7).
Terapi standar untuk tinea capitis adalah pengobatan oral dengan regimen
yang disetujui oleh Food and Drug Administration di Amerika Serikat adalah
griseofulvin. Beberapa agen antifungal lain seperti terbinafin, itrakonazol dan
flukonazol, juga telah terbukti efektif, aman dan memiliki durasi pengobatan yang
lebih pendek.1,8 Kombinasi dengan terapi topikal memberikan hasil yang baik.
Beberapa kendala yang sering ditemui pada saat pengobatan adalah waktu
pengobatan yang cukup lama, perlunya disiplin tinggi serta kerjasama
penderita(8).
BAB 2
LAPORAN KASUS

RG bayi laki-laki berusia 3,5 bulan, suku Aceh, alamat Blang Mangat
dengan nomor RM 179437, diantar orang tuanya ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Cut Meutia pada hari Kamis, 2 Desember 2021. Aloanamnesis dilakukan
dengan orang tua pasien didapatkan keluhan utama berupa kepala botak disertai
sisik seperti ketombe, rambut mudah rontok dan gatal di kepala sejak 3 minggu
yang lalu. Awalnya muncul bercak putih sebesar biji jagung semakin lama
semakin meluas, 1 minggu kemudian diikuti dengan rambut mudah patah dan
terjadi kebotakan dibeberapa area kepala.
Orang tua pasien mengatakan tidak terdapat anggota keluarga lain yang
mengalami hal serupa dan menyangkal adanya riwayat alergi pada pasien. Pasien
tidak mengonsumsi obat-obatan jangka panjang dan tidak ada memelihara kucing
dirumah. Pasien tinggal dirumah dengan ventilasi yang cukup. Kebersihan pasien
diperhatikan oleh orang tua, pasien sehari-hari mandi dua kali sehari dan jarang
dibawa beraktifitas di luar rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadaran composmentis, frekuensi nadi 89 kali permenit, frekuensi nafas 35 kali
permenit, berat badan 7,4 kg, tinggi badan 60 cm. Status dermatologis pada regio
parietalis, distribusi terlokalisir, didapatkan efloresensi alopesia setempat disertai
skuama tipis, bentuk bulat, multipel, ukuran diameter 2- 6 cm.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah tinea capitis, psoariasis
vulgaris, dermatitis seboroik, dan alopesia areata. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan adalah mikroskopis kerokan kulit dengan KOH 10%, ditemukan spora,
hyfa positif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dermatologis serta
pemeriksaan penunjang maka diagnosis kerja pada pasien ini adalah tinea capitis.
Kepada orang tua diberikan penjelasan mengenai penyakitnya, penyebab, pilihan
pengobatan, pencegahan dan edukasi untuk kebersihan kulit kepala dengan
menggunakan sampo, tidak menggunakan handuk, topi, sisir bersama anggota
4

keluarga lain, tidak kontak dengan hewan peliharaan selama pengobatan. Pasien
disarankan untuk kontrol ulang di poli kulit di RSUD Cut Meutia 1 minggu
kemudian untuk evalusi pengobatan. Pengobatan diberikan topikal termisil cream
2 x 1, obat oral griseofulvin 125 mg ½ tab 2 x 1 pulvis, sampo ketokonazol 2% 2
kali seminggu.
BAB 3
PEMBAHASAN

Pada kasus diatas pasien merupakan seorang anak berusia 3,5 bulan,
suku Aceh. Berdasarkan literatur Tinea kapitis atau kurap dikepala adalah
penyakit tersering pada anak (9). Insiden tinea kapitis bervariasi menurut jenis
kelamin, tetapi tingkat variasi tergantung pada mikroorganisme. Tinea capitis
mempengaruhi anak-anak terutama pra-pubertas antara 6 dan 10 tahun. Rasio
antara pria dan wanita adalah 5: 1; dengan M. canis, rasio bervariasi, namun
infeksi pada anak laki-laki biasanya lebih tinggi. Infeksi Trichophyton kulit
kepala mempengaruhi anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama (10).
Pasien datang dengan keluhan utama berupa berupa kepala botak disertai
sisik seperti ketombe, rambut mudah rontok dan gatal di kepala sejak 3 minggu
yang lalu. Orang tua pasien mengatakan awalnya muncul sisik putih seperti
ketomber yang semakin lama makin meluas disertai kerontokan rambut. Pada
kasus, gambaran klinis sesuai dengan literatur dimana keluhan penderita berupa
bercak pada kepala dan sering disertai rontoknya rambut ditempat lesi tersebut.
Ada 3 bentuk dari tinea kapitis (5).
1. Grey patch ringworm.
6

Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus


microsporum dan ditemukan pada anak-anak. Bentuk ini umumnya disebabkan
oleh M. audoinii dan M. ferrugineum. Penyakit ini biasanya dimulai dengan
timbulnya papula merah kecil disekitar folikel rambut. Papula ini kemudia
melebar dan membentuk bercak pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh
gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat lagi. Rambut menjadi mudah
patah dan mudah juga terlepas dari akarnya. Pada daerah yang terserang oleh
jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai ‘grey patch’(5)

Gamba
r 3. Tinea capitis. •gray patch type
2. Kerion
Merupakan tinea kapitis yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat.
Biasanya disebabkan oleh M. canis dan M. gypseum , dapat juga disebabkan oleh
T.mentagrophytes dan T.violaceum. Lesi berupa pembengkakan menyerupai
sarang lebah dengan serbukan sel radang disekitarnya dan disertai pembesaran
kelanjar getah bening regional. Pada pemeriksaan teraba pembengkakan, nyeri
dan pus keluar dari folikel. Kerion dapat menimbulkan alopesia permanen dan
jaringan parut. Biasanya disebabkan jamur zoofilik dan geofilik.
7

Gambar 3. Tinea kapitis tipe Kerion.


3. Black dot Ringworm
Adalah rambut terkena peradangan pada muara folikel dan patah
meninggalkan bintik-bintik hitam pada alopesia yang penuh spora. Awal hanya 2
atau 3 helai rambut, tidak semua rambut terkena. Lesi dapat multipel dan tersebar
di seluruh kulit kepala. Diameter lesi ini mencapai 0,5-1 cm. Umumnya tidak
berbatas tegas. Bentuk ini disebabkan t tonsurans, t. Violaceum atau t.
saoudanense.3

Gambar 4. Tinea kapitis tipe black dot.


4. Favus
Bentuk yang berat dan kronik yang disebabkan oleh T. schoenleinii, yang
ditandai dengan pembentukan scutula, yaitu krusta yang berbentuk mangkuk
berwarna merah kuning dan berkembang menjadi kuning kecoklatan. Pada
8

pengangkatan krusta tampak dasar yang cekung, merah, basah dan berbau seperti
tikus (mousy odor).

Gamabar 5. Tinea kapitis tipe favus.


Literatur menyebutkan yang beresiko tinggi adalah sosioekonomi rendah,
penyakit ini menular, meskipun cara penelurannya masih diperdebatkan. Anak-
anak sering tertular dari temannya dan penularannya dapat juga terjadi pada satu
keluarga, penyebab dapat diisolasi dari sisir, sikat, korsi , topi, dan alat-alat
pencukur rambut. Mula-mula jamur tersebut mengadakan kolonisasi pada
permukaan kulit lalu terjadi reaksi peradangan bergantung pada hospes,
generasi/spesies jamur penyebab dan lokasi lesi. Organisme tersebut bertahan
bertahun-tahun pada tubuh pasien, sehingga orang tersebut menjadi karier (11).
Ada beberapa literatur Sumber penularan dapat berasal dari manusia
(antropofilik), hewan (zoofilik), dan tanah (geofilik).
Ada tiga cara penularan dermatofita yaitu : (10)
 Infeksi antropofilik yang menyebar dari satu anak ke anak yang lain dapat
hadir sebagai kasus sporadis. Terjadi penyebaran melalui kontak langsung
atau melalui penyebaran udara dari spora dan penyebaran tidak langsung
yaitu terkontaminasi dari benda-benda seperti sisir , sikat , topi dan lain
sebagainya.

 Infeksi menyebar dari hewan ke anak ( infeksi zoofilik ) melalui kontak


langsung maupun dengan lingkungan disekitar hewan yang terinfeksi
seperti karpet, pakaian, furnitur dan lain sebagainya.
9

 Infeksi menyebar dari tanah ke manusia ( infeksi geofilik ) namun jarang


terjadi.
Diagnosis Tinea kapitis dilakukan dengan gambaran klinis. Namun
beberapa penyakit lain juga menyerupai Tinea kapitis, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan lampu wood, pemeriksaan kerokan
kulit kepala KOH 10-20%, dan kultur. Namun pada pasien ini dilakukan
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan kerokan kulit
kepala KOH 10-20% .
Penatalaksaan pada pasien ini diberikan terapi sistemik yaitu griseofulvin
125 mg setengah tablet 2 x 1 pulvis perhari, terapi topikal termisil salep 2 x 1 ue
dan sampo ketokonazol 2% 2 kali seminggu. Griseofulvin masih menjadi baku
emas untuk pengobatan tinea kapitis karena aman dan dapat ditoleransi baik oleh
anak. Griseofulvin bersifat fungistatik dan menghambat mitosis dermatofita
dengan cara menganggu pembentukan spindle mikrotubulus. Absorbsi
griseovulvin meningkat bila dikonsumsi bersama dengan makanan terutama
makanan berlemak. Dosis griseofulvin dalam bentuk microsize yang
direkomendasikan adalah 20-25 mg/kg berat badan dengan dosis tunggal atau
terbagi, sedangkan bentuk ultramicrosize diberikan dosis sebanyak 15 mg/kg berat
badan dengan dosis tunggal atau terbagi. Dosis untuk anak-anak adalah 10mg/kg
berat badan. Efek samping yang sering berhubungan dengan traktus
gastrointestinal seperti nausea dan sistem saraf pusat seperti sakit kepala,
mengantuk serta insomnia. Kelemahan griseofulvin adalah lama pengobatan
panjang yaitu minimal 6-8 minggu sampai 3-4 bulan, tergantung kesembuhan
klinis dan mikologik, serta rasanya yang pahit bila dalam bentuk cair. Salep
termisil diberikan 2 x 1, termisil ini mengandung terbinafin 1%. Terbinafin
bersifat fungisidal, merupakan obat dari golongan allylamines yang aman dan
efektif (12). Secara luas pada penelitian melaporkan keefektifan penggunaan
terbinafin. Terbenafin dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-anak (13).
Ketokonazol bekerja sebagai antijamur dengan mengganggu sintesis ergosterol
yang merupakan unsur pokok yang spesifik pada membran sel jamur (14).
10

Prognosis tinea kapitis baik jika penyembuhan telah dicapai dan faktor-
faktor infeksi dapat dihindari, selain itu prognosis kasus tinea kapitis tergantung
dari berat ringannya inflamasi yang ditimbulkan oleh organisme penyebab,
sensitivitas organisme terhadap pengobatan dan adanya kekambuhan.
Kekambuhan biasanya tidak terjadi bila telah diberikan terapi yang adekuat serta
penemuan dan pengobatan terhadap hewan atau orang lain di sekitarnya yang
terinfeksi dan juga karier asimptomatik. Rambut yang terinfeksi biasanya dapat
tumbuh kembali, namun jika infeksi tidak diobati dan bertahan lama, maka
mungkin dapat terjadi alopesia permanen. Pencegahan dilakukan dengan tidak
menggunakan sisir, handuk, topi bersamaan dengan anggota keluarga lain dan
teman-teman sekolah untuk mencegah penularan (13).
BAB 4
KESIMPULAN

RG bayi laki-laki berusia 3,5 bulan, suku Aceh, alamat Blang Mangat
dengan nomor RM 179437, diantar orang tuanya ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Cut Meutia pada hari Kamis, 2 Desember 2021. Aloanamnesis dilakukan
dengan orang tua pasien didapatkan keluhan utama berupa kepala botak disertai
sisik seperti ketombe, rambut mudah rontok dan gatal di kepala sejak 3 minggu
yang lalu.
Diagnosis tinea capitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dari
pemeriksaan klinis, pemeriksaan mikroskopis KOH didapatkan hifa dan spora
positif. Pengobatan Pengobatan diberikan topikal termisil cream 2 x 1, obat oral
griseofulvin 125 mg ½ tab 2 x 1 pulvis, sampo ketokonazol 2% diaplikasikan 2
kali seminggu. Prognosis pada penderita adalah dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA 1. Schieke SM, Garg A. Superficial Fungal Infection:
Mycoses, Dermatophytes, Dermathophytoses. Fitzpatrick’s Dermatology
Gen Med 8th Ed New York Mac GrawHill. 2012;2278.

2. Odom RB, James WD, Berger TG. Disorders resulting from fungi and
yeast. Dis Ski 12th ed Philadelphia, PA Elsevier. 2011;285–318.

3. Nasution MA MK. Tinea Kapitis. In: Dermatomikosis Superfisialis 2nd


eds. 2nd ed. Jakarta: Penerbit FKUI; 2013.

4. Gautama PA, Artana P AM. Profil Tinea Kapitis di RSUP Sanglah


Denpasar Manado : Kumpulan Makalah Konas XIII Perdoski. 2011;

5. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta Univ Indones. 2015;

6. James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus I. Diseases resulting from
fungi and yeast. Andrews’ Diseases of the Skin. Clin Dermatology 10th ed
Philadelphia, Pa WB Saunders. 2011;312–3.

7. Kakourou T, Uksal U. Guidelines for the management of tinea capitis in


children. Pediatr Dermatol. 2010;27(3):226–8.

8. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz clinical pediatric dermatology: a textbook


of skin disorders of childhood and adolescence. Elsevier Health Sciences;
2015.

9. Robin G, Bourke Johnny dan TC. Tinea Capitis. In: Dermatology;


Fundamentals Of practice. Jakarta: EGC; 2012.

10. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8e. McGrawHill Med.
2012;2421–9.

11. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran.


Jakarta: Media Aesculapius. 2014;329–30.
13

12. Ghelardi E, Celandroni F, Gueye SA, Salvetti S, Senesi S, Bulgheroni A, et


al. Potential of ergosterol synthesis inhibitors to cause resistance or cross-
resistance in Trichophyton rubrum. Antimicrob Agents Chemother.
2014;58(5):2825–9.

13. R. J. Hay. Tinea Capitis. Mycopathol US Natl Libr Med Natl Institutes
Heal. 2017;

14. Shino B, Peedikayil FC, Jaiprakash SR, Ahmed Bijapur G, Kottayi S, Jose
D. Comparison of antimicrobial activity of chlorhexidine, coconut oil,
probiotics, and ketoconazole on Candida albicans isolated in children with
early childhood caries: An in vitro study. Scientifica (Cairo). 2016;2016.
14

Anda mungkin juga menyukai