RHINOSINUSITIS
Pembimbing
dr. Raden Ena Sarikencana, SpTHT-KL
Disusun oleh:
Khaulah Syifa Kabul 1710221063
Raka Wibawa 1620221159
LAPORAN KASUS
RHINOSINUSITIS
Disusun oleh :
Khaulah Syifa Kabul 1710221063
Raka Wibawa 1620221159
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul “Rhinosinusitis”. Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF THT-KL
RSUP Persahabatan.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih
kepada dr. Raden Ena Sarikencana, SpTHT-KL selaku pembimbing dalam
pembuatan pembuatan tugas laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini terdapat kekurangan,
sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca. Semoga tugas presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman
dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.......................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
STATUS PASIEN
Keluhan Utama:
Hidung bagian kanan sering terasa mampet sejak 1 bulan terakhir.
2
Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil. Serangan asma kambuh ketika
menghirup debu dan mencium bau yang menyengat seperti nanas dan minyak
wangi. Serangan asma kemudian menghilang namun kambuh kembali pada tahun
1999. Semenjak itu pasien rajin berobat ke poli paru dan mengkonsumsi obat
Symbicort (busonide) serta Salbuven. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi
terkontrol dan meminum obat Kandesartan. Pasien mengatakan bahwa pasien
memiliki riwayat darah yang kental dan diberikan obat berupa miniaspi oleh dokter
penyakit dalam. Pasien memiliki riwayat alergi obat yaitu Amoksisilin.
Awalnya pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat antibiotik namun
tidak ada perubahan. Kemudian pasien dibawa ke RS Duren Sawit dan dilakukan
pemeriksaan teropong serta foto rontgen. Dari hasil pemeriksaan pasien dirujuk ke
RSUP Persahabatan untuk dilakukan tindakan lebih lanjut.
Riwayat Pengobatan:
Pasien diberikan antibiotik pada saat berobat di puskesmas
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
pupil bulat isokor
Telinga : Lihat status lokalis
3
Hidung : Lihat status lokalis
Mulut : Mukosa bibir lembab, gusi berdarah (-), gigi ada karies (-)
Tenggorok : Lihat status lokalis
Leher : Lihat status lokalis
Ekstremitas : Akral hangat, udem (-/-), CRT < 2 detik
1. Telinga
AD AS
Tanda radang (-), pus (-), Preaurikula Tanda radang (-), pus (-),
nyeri tekan(-), fistula (-) nyeri tekan(-), fistula (-)
4
Tidak dilakukan Uji Rinne Tidak dilakukan
Rhinoskopi anterior
Kanan Kiri
Sempit Kavum Nasi Normal
(+) Sekret (-)
Lurus Septum Lurus
Hipertrofi Konka inferior Hipertrofi
Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)
(-) Massa (-)
Sinus Paranasal
(-) Pembengkakan Wajah (-)
(+) Nyeri Tekan Dahi (-)
Nyeri Tekan
(+) (-)
Media Orbita
3. Tenggorok
5
Pemeriksaan Orofaring
Kanan Kiri
Mulut
Hiperemis (-) Mukosa mulut Hiperemis (-)
Hiperemis (-) Palatum molle Hiperemis (-)
Karies (-) Gigi geligi Karies (-)
Simetris Uvula Simetris
Tonsil
Tenang Mukosa Tenang
T1 T1
Besar tonsil
Tidak melebar Kripta Tidak melebar
- Detritus -
- Perlengketan -
Faring
Tenang Mukosa Tenang
- Granula -
- Post nasal drip -
Laringofaring (Laringoskopi indirect)
Epiglotis
Plika ariepiglotika
Plika ventrikularis Tidak Dilakukan
Plika vokalis
Rima glotis
4. Leher
Kanan Kiri
Pembesaran (-) Tiroid Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)
6
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)
Pembesaran (-) Kelenjar supraklavikularis Pembesaran (-)
7
INR 0,84
APTT Pasien 41,4 31,0 – 47,0 Detik
Kontrol 33,6
Kimia Klinik
SGOT (AST) 12 5- 34 U/L
SGPT (ALT) 7 0 - 55 U/L
Ureum 41 21 – 43 mg/dL
Kreatinin 0,7 0,6 – 1,2 mg/dL
Glukosa Sewaktu 95 70 – 200 mg/dL
Hasil :
Tampak perselubungan pada sinus maksilaris kanan dan ethmoidalis kanan
dengan oklusi ostium sinus maksilaris kanan meluas ke resesus frontalis kanan
dan ke sinus frontalis kanan
Sinus paranasalis lain baik
Penebalan mukosa kavum nasi
8
Pneumatisasi air cell Mastoid kanan kiri baik
Septum nasi deviasi ke kanan ringan
Tulang-tulang baik
Kesan:
- Sinusitis Maksilaris, ethmoidalis dan frontalis kanan dengan sumbatan
ostium sinus maksilaris kanan dan resesus frontalis kanan
- Rhinitis
II.6 TATALAKSANA
A. Tatalaksana non-farmakologi
a. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai
i. Pasien diminta untuk tidak meniup udara secara paksa pada hidung
yang mampet agar mencegah turbulensi udara berlebihan sehingga
dapat menyebabkan epistaksis dan risiko untuk secret terdorong ke
sinus yang terbuka sehingga bisa menjadi infeksi berulang
ii. Pasien diminta untuk tidak mengorek hidung karena dapat
meningkatkan risiko terjadinya infeksi
iii. Pasien disarankan untuk melakukan medical check-up ke poli gigi agar
mencegah faktor risiko terjadinya infeksi
iv. Pasien disarankan untuk rutin ke poli penyakit dalam untuk
mengkontrol tekanan darah yang tinggi sehingga mencegah risiko
epistaksis
b. Irigasi nasal
B. Tatalaksana farmakologi
a. Antibiotik
b. Kortikosteroid topikal
9
II.7 PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1. tulang hidung (os nasal)
2. procesus frontalis os maksila
3. prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
3. Sepasang kartilago ala minor
4. Kartilago septum
12
Kavum nasi terdiri dari:
1. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior
oleh kartilago septum (kuadrilateral) premaksila dan kolumela
membranosa, bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila,
krista palatine serta krista sfenoid.
2. Dinding
Terdapat 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan
konka inferior. Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
prosesus horizontal os palatum. Bagian superior terdiri dari kartilago
lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus
os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk
oleh lamina kribrosa.
3. Konka
Konka berbentuk berupa tonjolan seperti gulungan dan diantaranya terdapat
meatus. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil dari konka
media ialah konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema.
4. Meatus
Meatus merupakan tempat muara sinus. Meatus inferior terletak antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.
Terdapat muara ductus nasolakrimalis. Meatus media terletak antara konka
media dan inferior. Terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian
anterior sinus etmoid. Meatus superior terletak antara konka media dan
superior dan terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
5. Vestibulum
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
13
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan
vibrise.
6. Koana
Koana atau nares posterior adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis
os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
14
Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut
pleksus kieesselbach, letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh trauma, sering
menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.
Vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.
15
III.1.5 Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga
hidung melalui ostium masing-masing.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau di
dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior
sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media
terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan
konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok.
Salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar
dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
16
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-
sel goblet.
1. Sinus Maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, kemudian
berkembang dan mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa. Berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding
superiornya adalah dasar orbita dan dinding nferiornya adalah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar, molar, kadang-kadang juga gigi taring, bahkan akar-akar
gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa
saja. Proses supuratif dan pencabutan gigi yang terjadi di sekitar gigi-
gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau
limfe yang akan mengakibatkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah
ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan menyebabkan
sinusitis.
17
2. Sinus Frontalis
Sinus frontal terletak di os frontal, mulai berkembang saat usia 8-10
tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Bentuk
dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, ukuran rata-rata sinus frontal :
tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.
3. Sinus etmoid
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. Sinus etmoid berongga – rongga
terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam
massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus
etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan peradangan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid
yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sphenoid.
18
4. Sinus Sfenoid
Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil,
berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letak sinus sfenoid
adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan
nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering
tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:
1. Pengatur kondisi udara (air conditioning )
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga
dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Mukosa
sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung.
Teori ini Sebagai penahan suhu (thermal insulators). Sinus paranasal
berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
2. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga
teori ini dianggap tidak bermakna.
3. Membantu resonansi suara
19
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang efektif.
4. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
5. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius,tempat yang paling strategis.
20
III.2. Sinusitis
III.2.1 Definisi
Umumnya sinusitis didahului atau disertai dengan rhinitis sehingga sering
disebut rhinosinusitis. Rhinosinusitis pada dewasa dapat diartikan inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang digolongkan menjadi dua gejala atau lebih gejala, salah
satu harus terpenuhi seperti hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau keluarnya
cairan nasal baik anterior atau post nasal drip. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
III.2.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar di dalam kompleks osteo-meatal. Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama dengan udara
pernapasan. Organ-organ yang membentuk kompleks osteo-meatal letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan
negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula
21
serous. Kondisi ini bisa dianggap rhinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. Keadaan ini disebut dengan rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan
terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
22
Edema pada Komplek
Osteo Meatal
Mukosa saling
bertemu
Tekanan negative di
dalam rongga sinus
Sekret menetap
menjadi media
pertumbuhan bakteri
Rhinosinusitis
Sekret menjadi purulen akut bakterial
Sekret makin
bertambah dan sunys
bertumpuk
Hipoksia sinus
Bakteri anaerob
tumbuh
Mukosa semakin
edema
Polip Kista
23
III.2.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinik
Klasifikasi secara klinis dapat dibedakan menjadi akut dan kronis.
Rhinosinusitis akut (RSA), jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala berlangsung <12 minggu, dengan minimal dua gejala berikut:
1. Hidung tersumbat
2. Keluar sekret pada hidung
3. Adanya nyeri tekan pada wajah
4. Menurunnya fungsi penghidu
Penyebab rhinosinusitis akut dibedakan menjadi virus dan bakteri.
1. Rhinosinusitis viral akut (common cold), durasi gejala < 10 hari.
2. Rhinosinusitis post viral akut apabila perburukan gejala setelah 5 hari
atau gejala menetap lebih dari 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu
3. Rhinosinusiti bakteri, secara klinis dapat ditegakkan apabila
ditemukan minimal tiga gejala atau lebih tanda berikut:
a) Ingus purulen (umumnya unilateral)
b) Nyeri berat lokal (biasanya unilateral)
c) Demam >380
d) Peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP)
e) Adanya perburukan gejala setelah 5 hari
Rhinosinusitis Kronik, jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala >12 minggu dengan terdapat minimal dua gejala, salah satunya
hidung tersumbat atau pilek (sekret anterior/posterior)
± Adanya nyeri tekan pada wajah
± Menurunnya fungsi penghidu
Termasuk dengan gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air,
hidung gatal, mata gatal serta berair.
24
Bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti
infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara
langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian
antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi
sinus maksila.
Sinusitis jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan
yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya
pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi.
Kondisi yang merupakan predisposisi antara lain diabetes melitus, neutropenia,
penyakit AIDS, dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering
menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergilus dan Candida. Perlu
diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai berikut: sinusitis unilateral,
yang sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakan
tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna putih keabu-abuan pada
irigasi antrum. Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk invasif dan non-
invasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif
kronik indolen.
Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular.
Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, imunosupresi seperti
leukemia dan neutropenia, pemakaian steroid lama. Imunitas yang rendah dan
invasi pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat
merusak dinding sinus, jaringan orbita, dan sinus kavernosus. Di kavum nasi,
mukosa berwarna biru kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang
nekrotik. Sering berakhir dengan kematian. Sinusitis jamur invasif kronik biasanya
terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes.
Bersifat kronik progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial,
gambaran kliniknya tidak sehebat yang akut karena perjalanan yang lebih lambat.
25
Gejalanya seperti sinusitis bakterial, tetapi sekretnya kental dengan bercak-bercak
kehitaman, bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di
dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak sampai mendestruksi
tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinis sering menyerupai sinusitis
kronis berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada
massa jamur juga di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur
berwarna cokelat kehitaman dengan atau tanpa pus di dalam sinus.
Terapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debridemen, anti
jamur sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya. Obat standar ialah
amfoterisin B, bisa ditambah dengan rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif.
Pada misetoma hanya perlu terapi bedah untuk membersihkan massa jamur,
menjaga ventilasi dan drainase sinus. Tidak diperlukan anti jamur sistemik.
III.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesa, selain ditanyakan keluhan, ditanyakan
pula apakah keparahan penyakitnya mengganggu aktivitas sehari hari atau tidak,
dengan skala teringan sampai terberat diukur dengan angka 0 – 10. Penyakit ini
dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan skor total visual
analogue scale (VAS) dengan intepretasi ringan 0-3, sedang 3-7, berat 7-10. Nilai
VAS >5 artinya mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan
naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Naso-
endoskopi dapat ditemukan nasal polip. Tanda khas ialah adanya pus di meatus
medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus
superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut,
mukosa edema dan hiperemis.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto
polos posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,
air-fluid level, atau penebalan mukosa. CT-Scan sinus merupakan gold standard
26
diagnosis sinusitis karena mampu menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun
karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis yang
tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret
dari meatus medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih
baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
III.2.6 Terapi
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di kompleks osteo-meatal sehingga drainase dan ventilasi
sinus-sinus pulih secara alami. Penatalaksanaan dilakukan tergantung
penyebabnya. Adapun algoritme pendekatan yang disarankan dalam melakukan
tatalaksana dari rinosinusitis dapat dijelaskan pada gambar berikut.
27
Gambar 7. Algoritme pendekatan dalam tatalaksana rinosinusitis akut
28
Gambar 9. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik pelayanan primer
29
Gambar 11. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip dokter
spesialis THT
Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan
hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih
memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa:
sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai
kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis
serta sinusitis jamur.
Konsep FESS adalah menghilangkan jaringan yang menghalangi KOM agar
drainase sinus berjalan seperti semula. Tindakan menggunakan naso endoskopi
sehingga operasi dapat lebih mudah.
30
III.2.8 Komplikasi
Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau
pada sinusitis kronis dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata, yaitu sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perikontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses periosteal, abses orbita, dan selanjutnya
dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa
meningitis, abses ekstradural/subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis
dan abses periosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi. Kelainan paru seperti bronkhitis kronik dan
bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini
disebut sino-bronkhitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkhial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams,
Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor,
Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC.
2. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part
II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004
3. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
4. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-7. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2012
5. Paulsen, F. Waschke, J. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Edisi 23. Jakarta:
EGC; 2010. Hal. 92-97
6. Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
7. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapis
8. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997
32