Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA USIA 33 TAHUN DENGAN SUSPEK RHINITIS ALERGI


DAN KONKA NASALIS HIPERTROFI BILATERAL

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Kesehatan THT-KL

Dosen Pembimbing:
dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.T.H.T.B.K.L. Subsp. Rino (K), M.Si.Med

Residen Pembimbing:
dr. Fitriana Romdhonah

Dibacakan Oleh:
Mayuki Miola, S.Ked 22010122220054
I Made Kusuma Yasa, S.Ked 22010122220121

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

RSUP DR KARIADI SEMARANG

2023
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus “Seorang Wanita Usia 33 Tahun dengan Suspek Rhinitis Alergi dan Konka
Nasalis Hipertrofi Bilateral”

Nama:

1. Mayuki Miola, S.Ked


2. I Made Kusuma Yasa, S.Ked
Dosen Pembimbing : dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.T.H.T.B.K.L. Subsp. Rino (K),
M.Si.Med

Residen Pembimbing : dr. Fitriana Romdhonah

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Kesehatan THT-KL

Semarang, 16 November 2023


Residen Pembimbing Dosen Pembimbing

dr. Fitriana Romdhonah dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi,


Sp.T.H.T.B.K.L. Subsp.Rino(K), M.Si.Med

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Seorang Wanita Usia 33 Tahun dengan Suspek Rhinitis Alergi dan Konka Nasalis Hipertrofi
Bilateral” Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh
kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang. Penulis menyadari sangatlah sulit untuk menyelesaikan Laporan Kasus
Besar ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini,
Penulis hendak menyampaikanterima kasih kepada:

1. dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga.

2. dr. Fitriana Romdhonah selaku residen pembimbing yang telah memberikan masukan,
petunjuk, serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.

3. Ny. EWS dan keluarganya atas keramahan dan keterbukaannya dalam kegiatan penyusunan
laporan.

4. Keluarga dan teman-teman coass serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kasus ini.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus besar ini dapat bermanfaat
bagi pembaca serta kepada siapapun yang membutuhkan. Kritik dan saran yang membangun
sangat harapkan untuk perbaikan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis alergi (RA) merupakan inflamasi pada mukosa hidung yang terjadi
karena reaksi hipersensitivitas diperantarai oleh antibodi imunoglobulin E (IgE)
setelah adanya paparan secara berulang dari alergen tertentu. Gejala yang sering
timbul meliputi bersin-bersin, hidung tersumbat dan adanya sekresi lendir pada
hidung. Rinitis alergi dapat disertai dengan beberapa penyakit penyerta atau disebut
komorbid seperti asma, konjungtivitis, dermatitis atopik (DA), rinosinusitis dan
otitis media.1

Rinitis alergi merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan pada


masyarakat. Prevalensi RA diperkirakan sebesar 10-40% dari populasi dunia
dengan angka kejadian tertinggi ditemukan pada kelompok usia anak-anak. 1
Berdasarkan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA), diperkirakan
sekitar 500 juta orang di seluruh dunia memiliki RA. Kasus RA ditemukan 2 kali
lebih banyak pada area perkotaan padat penduduk dibanding dengan area
pedesaan.2

Benua Eropa merupakan salah satu daerah dengan prevalensi RA yang


cukup tinggi. Prevalensi RA di Eropa diperkirakan sekitar 25% dari keseluruhan
populasi benua Eropa.3 Inggris merupakan salah satu negara di benua Eropa dengan
prevalensi RA yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian fase ketiga dari
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan
prevalensi RA di Inggris pada kelompok anak usia 6-7 tahun sebesar 10% dan
kelompok usia 13-14 tahun sebesar 15%. Sedangkan untuk prevalensi RA pada
orang dewasa di Inggris diperkirakan sebesar 26%.4 Sebuah penelitian pada 1.714
mahasiswa di Turki, didapatkan 409 orang (23,8%) merasa mengalami gejala alergi
pada hidung namun hanya 274 orang (15,9%) yang sudah terdiagnosis RA oleh
dokter. Pada penelitian tersebut, gejala RA yang paling sering ditemukan yaitu
bersin-bersin dan alergen pemicu yang paling sering ditemukan yaitu debu rumah.5

Rhinitis Alergi yang tidak segera ditangani juga dapat menimbulkan


berbagai komplikasi mulai dari sinusitis hingga infeksi telinga bagian tengah yang
mengancam nyawa. Selain itu, nyeri dan gejala lain yang dirasakan oleh penderita
Rhinitis Alergi juga dapat mengganggu kualitas hidup. 3 Oleh karena itu, dokter
umum diharapkan dapat menggali riwayat serta faktor risiko, mengidentifikasi
manifestasi klinis dan temuan-temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan
Rhinitis Alergi sehingga selanjutnya dokter umum dapat menegakkan diagnosis,
melakukan penatalaksanaan, dan melakukan rujukan (kompetensi 3A).4

1.2. Tujuan
Untuk memahami secara komprehensif terkait definisi, etiologi, faktor
risiko, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
komplikasi, serta tatalaksana rhinitis alergi.

1.3. Manfaat
Menjadi bahan belajar mahasiswa bidang kesehatan untuk mengetahui
definisi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, komplikasi, serta tatalaksana rhinitis alergi.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny.EWS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Alamat : Kudus
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pekerja pabrik rokok
Ruang : Poli THT (Rinologi) Gedung Merpati lt. 1 RSDK
Masuk RS : 02 November 2023
No. CM : D038840
Pembiayaan : JKN Non PBI

Tabel 1. Tabel Masalah

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF

1. Nyeri dahi kiri dan ubun-ubun → (6)


2. Hidung kiri bampet → (6), (7)
3. Cairan mengalir dari hidung ke
tenggorokan→ (6)
4. Bersin pagi hari → (6)
5. Penurunan penciuman hidung sebelah
kiri→ (6)
6. Suspek Rhinitis alergi
7. Konka nasalis hipertrofi bilateral
2.2 Data Subyektif
Autoanamnesis dilakukan dengan pasien pada tanggal 02 November 2023
pukul 10.00 WIB di Poli THT bagian Rinologi Gedung Merpati Lt. 1 RSDK

● Keluhan Utama: Nyeri wajah

● Perjalanan Penyakit Sekarang:

Sejak 3 bulan yang lalu pasien merasa nyeri wajah di daerah dahi sebelah kiri
dan di ubun-ubun. Keluhan dirasakan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari (VAS
5) dan dirasakan hilang timbul. Keluhan dirasakan memberat saat pasien bekerja
dalam posisi menunduk, keluhan tidak membaik meskipun pasien telah minum obat
(paracetamol) yang dibeli di warung sekitar. Pasien tidak mengeluhkan hidung
mampet, hidung berair, bersin, mimisan, demam, penurunan menghidu, dan tidak ada
gigi berlubang.
Sejak 1 bulan yang lalu pasien merasa nyeri wajah semakin lama semakin
memberat (VAS 8) dan menetap. Pasien juga mengeluhkan hidung bampet dan gatal
sebelah kiri (VAS 5), terasa ada cairan yang mengalir ke tenggorokan ketika posisi
berbaring, penciuman hidung sebelah kiri berkurang, hidung kiri pilek dengan cairan
bening konsistensi cair, dan bersin saat bangun tidur 3-4 kali. Pasien tidak mengalami
demam, mimisan, dan tidak ada gigi berlubang. Pasien akhirnya berobat ke RS di
daerah Kudus untuk meringankan keluhannya. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien
tear diagnosis rhinosinusitis. Pasien menjalani terapi sesuai arahan dokter seperti cuci
hidung 2 kali sehari selama 3 minggu terakhir dan konsumsi obat secara rutin. Pasien
merasakan keluhannya berkurang setelah cuci hidung. Pasien kemudian dirujuk ke
RSUP Dr Kariadi untuk dilakukan pemeriksaan penunjang dengan tujuan mengetahui
lokasi sinus yang menyebabkan pasien mengalami keluhan.

● Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat hipertensi disangkal

- Riwayat diabetes melitus disangkal

- Riwayat alergi disangkal

- Riwayat operasi di bidang THT disangkal


● Riwayat Penyakit Keluarga

- Adik pasien memiliki riwayat rinosinusitis dan telah menjalani operasi 2 bulan
yang lalu
- Riwayat diabetes melitus di keluarga disangkal
- Riwayat hipertensi di keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit keganasan di keluarga disangkal
- Riwayat alergi, asma pada keluarga disangkal.
● Riwayat Penggunaan Obat
- Na Diclofenac
- N-asetilsistein
- Tremenza
- Co amoxiclav
● Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pekerja pabrik rokok, tinggal bersama suami
dan anaknya. Pasien merupakan pengguna BPJS Non-PBI. Kesan sosial
ekonomi cukup.

2.3 Data Obyektif


2.3.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 02 November 2023 pukul
10.15 di Poli THT (Rhinology) Gedung Merpati Lantai 2 RSDK.

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
Aktivitas : Normoactive
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight (IMT 24 kg/m2)
BB 60 kg, TB 158 cm

Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 90x/menit, reguler isi dan tegangan cukup
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5˚C
SpO2 : 98% room air
Status Internus

Kulit : Turgor kulit cukup


Jantung : Tidak dilakukan pemeriksaan
Paru : Tidak dilakukan pemeriksaan
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Lokalis (THT)


1. Telinga

Tabel 2. Pemeriksaan Telinga

Bagi
an Telinga Kanan Telinga Kiri
Telin
ga
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre-aurikula fistula (-), abses fistula (-), abses (-),
(-),nyeri tekan tragus nyeri tekan tragus (-)
(-)
Normotia, hiperemis(-), Normotia, hiperemis (-),
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Aurikula

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),


Retroaurikula fistula (-), abses fistula (-), abses (-),
(-),nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Hiperemis (-), nyeri Hiperemis (-), nyeri tekan


Mastoid tekan (-), nyeri ketok (-
(-), fistula ), nyeri ketok (-), fistula (-),
(-), abses (-) abses (-)

Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema


(-),
sekret (-), granula (-), sekret (-), granula
CAE/MAE furunkel (-), serumen (-), (-),
bau (-) furunkel (-), serumen (-),
bau (-)
Intak, refleks cahaya (+), Intak, refleks cahaya (+),
Membrana Warna putih mengkilat, Warna putih mengkilat,
Timpani retraksi (-), perforasi (-) retraksi (-), perforasi (-)

2. Hidung dan Sinus Paranasal


Tabel 3. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan
Luar
Inspeks
i
Bentuk
(N)
Simetris
Hidung Luar
Warna kulit sama dengan
sekitar Deformitas (-)
Benjolan (-)
Discharge (-/-)
Palpasi:
Os.Nasal: deformitas (-/-), krepitasi (-/-),
nyeri tekan (-/-), edema (-/-)
Frontalis : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok
Sinus (-/-) Maxilla : nyeri tekan (-/+), nyeri
ketok (-/+) Ethmoid : nyeri tekan (-/-),
nyeri ketok
(-/-)
Rinoskopi
Anterior Kan Ki
an ri
Discharge (-) (-)

Hiperemis (-),Pucat Hiperemis (-), Pucat (-),


Mukosa (-) Livid (-) Livid (-)

Konka Inferior Hipertrofi (+), edema Hipertrofi (+), edema


(-) (-)
Tumor Massa (-) Massa (-)

Septum nasi Deviasi (-/-), Perdarahan (-)

Diafanoskopi Tidak
dilakukan
3. Tenggorok
Tabel 4. Pemeriksaan Tenggorok

Orofaring Post nasal drip (-), hiperemis (-)

Simetris, bombans (-), hiperemis (-),


Palatum fistula (-), stomatitis (-)

Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)

Mukosa Hiperemis (-). granulasi (-), eksudat (-)

Ukuran T1, hiperemis Ukuran T1, hiperemis


(-), edema (-), (-), edema (-),
Tonsil permukaan rata, kripte permukaan rata, kripte
melebar (-), detritus (-), melebar (-), detritus (-),
pseudomembran (-) pseudomembran (-)
Peritonsil Hiperemis (-), edema (-), abses (-)
(
Refleks
muntah +
)
Pemeriksaan rinoskopi posterior dan laringoskopi indirek tidak
dilakukan.

● Kepala dan Leher


Kepala : Mesosefal
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Mata : Edema periorbital (-), injeksi konjungtiva (-), sklera ikterik
(-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Leher : Pembesaran nnll (-), nyeri tekan (-), deviasi trakea (-)

● Gigi dan Mulut

Bibir : Simetris, sianosis (-), ulkus (-)

Gigi geligi : Gigi karies (-), gigi goyang (-)

Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-)

Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)

Mukosa buccal : simetris, bombans, hiperemis (-)


2.3.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Nasofaringoskopi (20/10/2023)

Konka inferior: hipertrofi +/+, edema -/-, bagian anterior hiperemis -/-, krusta -/-,
mukosa livid -/-
Meatus inferior: terbuka +/+, discharge -/-
Septum deviasi: -/-, krista -/-, perforasi -/-, krusta -/-
Meatus media : udem -/-, polip -/-, discharge -/- mukoid, hiperemis -/-
Sinus etmoid : tidak tampak / tidak tampak
Ostium maksila : tidak tampak / tidak tampak
Resesus sfenoethmoidalis : tidak tampak / tidak tampak
Resessus frontalis: tidak tampak / tidak tampak
Fossa olfactory : normal/normal, polip -/-
Nasofaring : sekret mukupurulen -/-, udem -/-, hiperemis -/-, adenoid persisten -
/-, tumor
Kesimpulan : Konka Nasalis Hipertrofi
2. MSCT Sinus Parasinalis Tanpa Kontras (2/11/2023)

 Septum: tak tampak deviasi deptum nasi


 Concha nasalis inferior:
o Tampak penebalan concha nasalis inferior kanan kiri
o Tak tampak pneumatisasiconcha nasalis
 Concha nasalis media:
o Tak tampak penebalan, pneumatisasi concha nasalis media
o Tak tampak interlamlellar call of Grunwald
 Sinus Maksillaris:
o Tak tampak penebalan mukosa pada dinding sinus maksillaris kanan kiri
o Tak tampak septa intrasinus maksillaris kanan kiri
o Tak tampak dehisense infraorbital foramen kanan kiri
o Tak tampak intrusi akar gigi rahang atas ke dasar sinus maksillaris
 Sinus Frontalis: tak tampak penebalan mukosa pada sinus frontalis kanan kiri
 Ressessus Frontalis: kanan kiri kanan kiri baik
 Sinus Ethmoid:
o Tak tampak penebalan mukosa pada sinus ethmoid kanan kiri
o Tak tampak fronto-ehtmoidal (Kuhn) cell
o Tak tampak anterior-ethmoidal (Agger Nasi) cell
 Sinus Sphenoid:
o Pneumatisasi tipe sellar, tampak normal
o Tak tampak penebalan mukosa pada sinus sphenoid kanan kiri
o Tidak tampak dehiscence dari bony margins carotid dan canalis nervus optikus
 Ressessus sphenoetmoidalis: kanan kiri baik
 Tak tampak destruksi tulang

Kesan:
 Gambaran sinus maksilaris kanan kiri, sphenoiditis kanan kiri, etmoiditis kanan
kiri normal, tidak ditemukan adanya kesuraman atau penebalan mukosa
 Hipertrofi konka nasalis inferior kanan kiri

2.4 Diagnosis Kerja


1. Suspek rhinitis alergi
2. Konka nasalis hipertrofi

2.5 Diagnosis Banding


1. Rhinitis vasomotor
2. Nyeri wajah dd trigeminal neuralgia, migrain unilateral
2.6 Rencana Pengelolaan

● Ip. Dx:

S:-
O: Skin Prick Test, pemeriksaan IgE spesifik, lab hitung jenis, MRI n. Trigeminus
● Ip. Tx:

- Cuci hidung NaCl 0,9% 500 ml, dilakukan 3 kali sehari


- Fluticasone furoate Nasal Spray 2 puff/24 jam kanan kiri
- Cetirizine 10 mg/24 jam

● Ip. Mx:

- Keadaan umum, tanda vital dan keluhan pasien

● Ip. Ex:

- Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai faktor risiko penyakit yang
mendasari yang diderita pasien
- Edukasi kepada pasien mengenai cara yang tepat melakukan irigasi hidung.

- Edukasi kepada pasien mengenai prognosis penyakit yang diderita pasien

- Edukasi pencegahan timbulnya rekurensi

2.7 Prognosis

Quo ad vitam: ad bonam

Quo ad sanam: ad bonam

Quo ada fungsionam: ad bonam


2.8 Penulisan Resep

dr. I Made Mayuki


SIP 22010122220054
Jl. Manyaran No. 15 A Semarang
Telp. 081311620255

Semarang, 16 November 2023

R/ NaCl 0.9% 500 ml Kolf No. I


S. u. c
……………………………………………………..sign
R/ Spuit 20 cc No. I
……………………………………………………..sign
R/ Fluticasone furoate nasal spray 27,5 mcg fl No. I
S 1 dd CNB
……………………………………………………..sign
R/ Cetirizine 10 mg No. VII
S 1 dd tab 1
……………………………………………………..sign

Pro : Ny. EWS


Usia : 33 tahun
BB : 60 kg
Alamat : Kudus
BAB
III TINJAUAN
PUSTAKA

3.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

Gambar 1. Anatomi Hidung6

Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang bagian luarnya terdiri


atas pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan
lubang hidung. Rangka hidung sendiri tersusun atas bagian tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang pada hidung mencakup tulang hidung (os nasal),
prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan
bagian yang termasuk tulang rawan adalah sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), dan
tepi anterior kartilago septum.5

Rongga pada hidung yang disebut kavum nasi berbentuk terowongan yang
memanjang dari lubang hidung (nares anterior) sampai koana (nares posterior).
Nares posterior menghubungkan antara kavum nasi dan nasofaring. Kavum
nasi dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap kavum
nasi memiliki 4 dinding yaitu dinding lateral. Bagian kavum nasi yang terletak
tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dikelilingi
oleh tulang rawan yang fleksibel. Bagian ini dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng berkeratin. Di lumen nasi yang menjadi batas posterior vestibulum,
epitel berubah menjadi epitel berlapis gepeng tidak berkeratin dan kemudian
menjadi epitel kolumner berlapis semu bersilia.5,6

Masing-masing kavum nasi dibatasi oleh empat dinding, yaitu dinding


medial, lateral, inferior, dan anterior. Dinding medial kavum nasi adalah
septum nasi. Septum nasi tersusun atas tulang dan tulang rawan. Bagian tulang
terletak di posterior yang terdiri atas lamina perpendikularis os etmoid, vomer,
krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
terletak di anterior yang disebut kartilago septi nasi.5,6,12

Di bagian lateral, kavum nasi dibatasi oleh tiga buah konka, yaitu konka
nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka nasalis superior. Konka nasalis
inferior dan media menempati sebagian besar dinding lateral kavum nasi,
sedangkan konka nasalis superior berukuran kecil dan letaknya berdekatan
dengan daerah olfaktorius di atap kavum nasi. Konka nasalis inferior
merupakan suatu tulang yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid. Lain
halnya dengan konka nasalis media dan superior yang merupakan bagian dari
labirin etmoid.5,6
Konka berperan penting dalam sistem fisiologi hidung. Hal ini akibat dari
struktur konka yang terdiri dari lapisan tulang pada bagian dalam dan lapisan
mukosa pada bagian luar. Lapisan mukosa konka merupakan respiratory
mucosa (mukosa pernapasan) yang tersusun atas epitel kolumnar
pseudostratifikasi bersilia yang 10% mengandung sel goblet. Epitel mukosa
konka dipisahkan oleh lamina basalis dari lamina propria. Bagian medial dari
epitel mukosa konka lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian lateralnya,
dikarenakan pada bagian tengah lebih sering terkena aliran udara. Mukosa
konka juga mengandung sedikit limfosit, sedikit arteri, kelenjar seromukus dan
sinus venous pada dinding lateral konka. Lapisan tulang konka tersusun atas
tulang cancellous. Bagian anterior lapisan tulangnya lebih tebal dari bagian
posterior.5,6

Gambar 2. (A) Anatomi Sinus Paranasal, (B) Cavitas Nasi Dextra.6

Di sekitar dari cavum nasi terdapat 4 pasang sinus paranasalis, yaitu sinus
frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maksilaris, yang
masing-masing dinamai menurut lokasinya. Masing-masing sinus memiliki
ostium yang bermuara ke cavum nasi. Sinus frontalis, ethmoidalis anterior dan
maksilaris bermuara di meatus nasi media, sedangkan sinus ethmoidalis
posterior dan sinus sphenoidalis bermuara di meatus nasi superior. 6 Keberadaan
sinus paranasal di sini memiliki peran dalam membantu dinamika udara dalam
proses inhalasi serta juga berperan dalam termoregulasi udara di cavum nasi.7

3.2 Definisi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan kumpulan gejala seperti bersin, hidung gatal, tersumbat
dan berair yang disebabkan oleh reaksi alergi terhadap alergen inhalasi yang dimediasi
oleh IgE. Rinitis alergi melibatkan peradangan pada mukosa hidung yang dipicu oleh
sel Th2. The World Allergy Oganisation (WAO) mendefinisikan rinitis alergi sebagai
gangguan bergejala pada hidung akibat reaksi imunologis yang dimediasi IgE pasca
paparan alergen. Rinitis alergi termasuk penyakit inflamasi dengan karakteristik
peradangan pada mukosa dalam hidung yang terjadi ketika seseorang menghirup suatu
alergen misalnya bulu binatang dan serbuk sari.8

3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi Rhinitis Alergi


Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan non spesifik. Reaksi alergi terbagi
menjadi 2 tahap yaitu: tahap awal dan tahap lambat. Tahap awal reaksi alergi pada
rinitis alergi dimulai dengan respons yang dimediasi oleh IgE melawan alergen yang
menyebabkan inflamasi yang dibantu oleh Sel Th2. Tahap awal terjadi dalam 15 menit
setelah individu dengan menghirup alergen. Alergen yang terinhalasi menyebabkan
degranulasi sel mast yang pada akhirnya akan melepaskan mediator alergi seperti
histamin. Histamin akan memicu bersin melalui nervus vidianus. Histamin juga
menyebabkan rhinorrhea atau hidung berair dengan mentimulasi kelenjar mukus. Selain
histamin, mediator alergi lainnya seperti leukotriens dan prostaglandin juga berperan
sebagai penyebab hidung tersumbat dengan cara meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah. Dalam 4-6 jam setelah tahap awal, pelepasan sitokin dari sel mast seperti IL-4
dan IL-3 leukotrien menandakan berlangsungnya tahap lambat. Sitokin-sitokin ini akan
membantu infiltrasi eosinofil, limfosit T dan basofil menuju mukosa hidung dan
menyebabkan edema nasal mukosa.11
Selain itu, gejala rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan waktunya yaitu rinitis
alergi perenial yang terjadi sepanjang tahun dan seasonal yang hanya terjadi pada
musim tertentu. Etiologi rintis alergi perenial biasanya disebabkan oleh tungau debu,
dengan spesies terseringnya adalah Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus. Jamur, kecoa, binatang peliharaan dan binatang pengerat juga bisa
menjadi penyebab lainnya. Umumnya rinitis alergi perenial disebabkan oleh alergen
inhalan dan ingestan terutama yang berasal dari rumah tangga. Sedangkan pada rhinits
alergi tipe seasonal penyebab terseringnya adalah serbu sari.12
Rinitis alergi dipengaruhi oleh banyak faktor mencakup faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik berhubungan dengan fenotipik penyakit alergi dan asma
bronkial. Pada umumnya penyakit alergi merupakan penyakit yang diwariskan,
misalnya jika salah satu orang tua mengidap penyakit alergi, maka kemungkinan
anaknya terkena alergi juga sebesar 50%. Faktor genetik yang bertanggung jawab dalam
penyakit alergi adalah pola IgE spesifik terutama berasal dari ibu. Orang tua dengan
riwayat rinitis alergi, asma, dan alergi serbuk sari memiliki risiko lebih tinggi
mempunyai anak dengan rinitis alergi. Pasien dengan riwayat penyakit atopik, asma,
alergi makanan, eksim dan penyakit alergi lainya termasuk salah satu factor resiko
rhinitis alergi.13

3.4 Patofisiologi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi termasuk hipersensitivitas tipe I. Hidung menjadi jalan masuk utama
bagi alergen. Saat individu dengan terpapar alergen, terjadi pembentukan formasi IgE
yang memacu pelepasan mediator dari sel mast. Meditor yang berperan misalnya
histamin, leukotriens, dan kinin. Proses inilah yang menjadi penyebab terjadi gejala
seperi bersin, hidung berair dan tersumbat.16 Perjalanan penyakit rinitis alergi melalui
dua fase yaitu fase sensitiasi dimana terbentuk formasi IgE sebagai respon paparan
alergen dan fase reaksi alergi klinis yang terbagi menjadi dua lagi yaitu reaksi alergi
fase cepat dan fase lambat. Tahap awal terjadi dalam hitungan menit pasca paparan
alergen sedangkan tahap lambat terjadi 4-6 jam24 setelah paparan.16
a. Fase sensitisasi
Antigen-Presenting Cells (APC) yaitu makrofag dan sel dentritik akan menangkap
alergen dan meneruskannya ke sel T helper tipe 2 melalui Mayor Histocompatibility
Complex (MHC) tipe 2. Kemudiam, sel T helper tipe 2 akan melepaskan IL-3, IL-4,
IL-5, dan IL-1 3 yang memungkinkan sel B berdiferensiasi menjadi plasma cell
(PC). Sel inilah yang nantinya akan bertugas memproduksi IgE. Reseptor IgE pada
permukaan sel mast dan basofil akan mengikat IgE yang berada di sirkulasi darah
sehingga kedua sel akan aktif.16

Gambar Tahap Sensitisasi Aeroalergen.16


b. Reaksi alergi fase cepat
Pada fase ini, sel yang berperan yaitu sel mast dan basofil. Cross-linking antara IgE
dan alergen akan memicu pelepasan mediator termasuk histamin, prostaglandin,
kininogen, protease dan TNF-𝖺. Proses ini berlangsung 5 menit setelah paparan
alergen. Pelepasan mediator nantinya akan menimbulkan gejala pada rinitis alergi
misalnya rhinorrhea. 15 menit kemudian, sel mast akan membentuk mediator
inflamasi baru hasil metabolisme asam arakidonat yaitu prostaglandin-D2 (PGD2)
dan Cysteinyl leukotrienes (CysLTs) C4, D4, dan E4. Bradikinin yang juga
dihasilka menyebabkan dilatasi pembuluh darah sehingga terjadinya edema mukosa
hidung dan rhinorrhea. Mediator-mediator tersebut juga berdampak terhadap
stimulasi saraf sensorik yang memicu pelepasan neurotransmiter sehingga terjadi
gejala bersin, hidung gatal dan tersumbat
c. Reaksi alergi fase lambat
Fase ini dimulai 4-6 jam pasca paparan alergen. Karakteristik fase ini ialah adanya
sel-sel inflamasi misalnya eosiofil, basofil, makrofag dan sel T. Keberadaan sel-sel
tersebut akibat pelepasan mediator inflamasi di fase cepat sebelumnya.
Chemoattractant seperti kemokin dan IL-5 akan memacu migrasi sel yang
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi baru. Pada epitel saluran napas akan
ditemukan akumulasi sel mast, sel Th2, basofil dan eosinofil. CCL5, CCL11,
CCL24, CCL26 dan MCP3 (CCL7 dan CC13) bertugas untuk menarik eosinofi
sedangkan IL-5 akan memacu migrasi sel sebagai respon terhadap kemokin. Produk
eosinofil yang akan menyebabkan kerusakan epitel.16
Gambar Tahap Reaksi Alergi Fase Cepat dan Lambat.16

3.5 Klasifikasi Rhinitis Alergi

Berdasarkan rekomendasi ARIA WHO (Allergic Rinitis and its Impact on


Asthma) tahun 2018, rinitis alergi diklasifikasikan menurut tingkat keparahan
dan sifat berlangsungnya.14

A. Intermiten: yaitu jika penderita mempunyai gejala selama kurang dari 4


hari dalam 1 minggu, atau penyakitnya baru berlangsung selama 4 minggu.

B. Persisten : bila penderita mempunyai gejala selama lebih dari 4 hari


dalam 1 minggu, dan penyakitnya sudah berlangsung selama lebih dari 4
minggu.

C. Ringan : Gejala hidung tidak mengganggu tidur, aktifitas sehari-hari dan


tidak mengganggu kerja atau sekolah.

D. Sedang-berat : jika gejala hidungnya mengakibatkan gangguan pada satu


atau lebih aktifitas seperti tidur, aktifitas sehari-hari, sekolah atau kerja
Gambar Klasifikasi Rhinitis Alergi

3.6 Diagnosis Rhinitis Alergi


Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan jika seseorang memiliki minimal
2 atau lebih gejala yang berlangung >1 jam selama >2 minggu Gejalanya dapat
berupa gejala pada hidung seperti hidung berair, tersumbat, gatal dan bersin
berulang yang serin terjadi pada pagi atau malam hari. Selama anamnesis
pasien juga bisa mengeluhkan gejala pada mata seperti mata merah gatal dan
berair, serta gejala lainnya yang tidak spesifik sepertibatuk, tenggorakan gatal,
ganggan tidur, dan sesak napas. Pemeriksaan fisik pada anak biasanya
ditemukan tanda khas berupa adanya bayangan gelap di bawah mata (allergic
shiner), kerap menggosok hidung dengan tangan (allergic salute), dan terdapat
garis melintang di bagian dorsum hidung (allergic crease). Pemeriksaan pada
rongga hidung akan didapatkan edema mukosa hidung, berwarna pucat atau
livid, terdapat banyak sekret yang encer, dapat pula dijumpai hipertrofi konka
inferior.17
Konfirmasi diagnosis rinitis alergi dapat dilakukan dengan metode in vivo
atau in vitro. Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
kadar IgE. IgE dapat dideteksi dalam serum melalui imunoasai. Individu
dengan alergi cenderung memiliki kadar IgE yang tinggi oleh karena itu untuk
mengidentifikasi antigen diperlukan tes laboratorium konsentrasi IgE spesifik
(sIgE) dalam serum. Jumlah sIgE dapat diketahui melalui beberapa metode
seperti radio allergi sorbent test (RAT), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan fluorescence enzyme immune assay (FEIA). Salah satu metode in
vitro adalah Multiple Allergen Simultaneous Test-Immunoblot (MAST-
Immunoblot assay) yaitu teknik untuk uji tunggal terhadap multiple allergen.
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
jumlah eosinofil hidung.17
Sampai saat ini, tes cukit kulit masih menjadi standar diagnosis utama dan
direkomendasikan untuk identifikasi jenis alergen secara akurat. Tes ini cepat,
simpel dan dapat menguji beberapa alergen sekaligus. Hasil dapat dilihat dalam
15 menit setelah paparan alergen yang masih dapat ditoleransi pasien. Namun,
sayangnya, tes ini cukup mahal dan kemungkinan sulit ditemukan pada daerah
terpencil. Oleh karena itu, beberapa kuesioner dikembangkan sebagai kriteria
diagnosis alternatif.17
Annesi-Maesano mengembangkan sebuah skor kuantitatif untuk mengukur
rinitis alergi berdasarkan gejalanya yang bernama Score for Allergic Rinitis
(SFAR). Skor menilai gejala bersifat subjektif dan kuantitatif dengan rentang
dari 0-16 dan dibuat berdasarkan 8 ketentuan yaitu: adanya gejala hidung
misalnya hidung tersumbat dan berair, adanya gejala selain hidung seperti mata
gatal dan berair, adanya keterlibatan musim tertentu saat gejala muncul, adanya
alergen yang memicu keluhan pada hidung, memiliki alergi, memiliki riwayat
pengobatan alergi, memiliki riwayat keluarga dengan alergi dan mendapatkan
hasil positif jika dilakukan tes alergi. Jika nilai SFAR ≥ 7, dapat
diklasifikasikan sebagai rinitis alergi.18
TNSS (Total Nasal Symptom Score) adalah kuisioner keparahan gejala
hidung (rhinorrhea, hidung gatal, hidung tersumbat, dan bersin) menggunakan
skala Likert 4 poin mulai dari 0 hingga 3 (0 = tidak ada gejala, 1 = ringan, 2 =
sedang, dan 3 = berat). TNSS diperoleh dari jumlah keempat skor gejala
individu, dengan total skor yang mungkin berkisar dari 0 (tidak ada gejala)
hingga 12 (intensitas gejala maksimum). Total skor <6 gejala ringan, 6-9 gejala
sedang, dan 9-12 gejala berat.19

3.7 Diagnosis Banding


1. Rhinitis yang diinduksi obat
Rhinitis sekunder akibat pengobatan sistemik dapat diklasifikasikan
menjadi tipe inflamasilokal, neurogenik, dan idiopatik. Jenis inflamasi
lokal terjadi ketika konsumsi
obat menyebabkan perubahan langsung pada mediator inflamasi di
dalam mukosa hidung. Jenis neurogenik terjadi setelah penggunaan obat
yang secara sistemik memodulasi stimulasi saraf, menyebabkan
perubahan hilir pada mukosa hidung. Rhinitis yang diinduksi obat
idiopatik digunakan untuk mengklasifikasikan obat tanpa mekanisme
yang jelas yangberkontribusi terhadap gejala. Respon fisiologis pada
rhinitis yang diinduksi oleh obat berbeda dari AR karena tidak diinduksi
oleh alergen atau bergantung pada mekanisme IgE, walaupun gejalanya
mungkin serupa.20

2. Rhinitis medikamentosa
Kondisi yang diinduksi oleh penggunaan jangka panjang dekongestan
intranasal topikal. Meskipun tidak ada kriteria diagnostik konsensus, RM
secara klasik dikaitkan dengan tiga serangkai penggunaan dekongestan
intranasal topikal berkepanjangan, sumbatan hidung konstan, dan
penurunan efektifitas dekongestan intranasal topikal. Temuan
pemeriksaan fisik terdiri dari edema mukosa, eritema, dan hiperemia.
Penggunaan dekongestan intranasal topikal secara terus menerus dapat
menurunkan produksi norepinefrin endogen dan menyebabkan
upregulasi sistem parasimpatis, menyebabkan kongesti rebound setelah
dekongestan dihentikan. Kongesti rebound berkembang setelah 3 sampai
10 hari penggunaan obat.20
3. Rhinitis vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah penyebab paling umum dari rinitis non alergi,
dan ditemukan pada 71% kasus. Tidak adanya respon imun yang
diperantarai IgE membedakan vasomotor dari bentuk rhinitis alergi. Oleh
karena itu, istilah “rinitis non-alergi” direkomendasikan untuk
menggantikan rinitis vasomotor, karena peradangan tidak dianggap
sebagai bagian penting dalam patogenesis rinopati non-alergi. Rinopati
non-alergi adalah diagnosis eksklusi, dan faktor etiologi lain untuk
rinopati harus dievaluasi. Rinopati non-alergi merupakan penyakit kronis
dengan gejala utama rinore. Gejala terkait hidung tersumbat, post nasal
drip tanpa refluks asam, batuk, disfungsi tabung Eustachius, bersin,
hiposmia, dan tekanan wajah / sakit kepala juga dapat terjadi pada
rinopati non- alergi. Gejala-gejala ini mungkin abadi, terus-menerus,
atau musiman, dan biasanya ditimbulkan oleh pemicu tertentu, seperti
udara dingin, perubahan iklim (yaitu, suhu, kelembaban, tekanan udara),
bau yang kuat, asap tembakau, perubahan tingkat hormon seksual,
lingkungan polutan, latihan fisik, dan alkohol. Pada pemeriksaan fisik,
mukosa hidung biasanya tampak normal, tetapi dapat menunjukkan
tanda-tanda eritema dan rinore yang jelas. Sementara tes alergi sistemik
(tes kulit atau in vitro) biasanya cukup untuk membedakan antara AR
dan rinopati non-alergi.20

3.8 Tatalaksana Rhinitis Alergi

1. Allergen avoidance
2. Medikamentosa
Antihistamin oral generasi kedua seperti desloratadin, fexofenadine,
loratadin, cetirizine merupakan lini pertama tatalaksana farmakologis pada
kasus rinitis alergi. Penggunaan antihistamin terbukti efektif mengurangi
bersin, hidung gatal dan berair jika diminum secara teratur. Antihistamin
oral generasi pertama seperti dipenhidramin dan clorpeniramin pernah
dilaporkan memiliki efek samping gangguan kognisi, sehingga penggunaan
antihistamin oral generasi kedua lebih dianjurkan.8
Kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topical yang bekerja untuk mengurangi
jumlah mastoid pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein
sitotoksik dari eosinophil, mengurangi aktivitas limfosit, mencegah
bocornya plasma.8
Leukotriens juga dianggap efektif mengurangi gejala rinitis alergi.
leukotriens dapat disarankan ketika antihistamin oral, kortikosteroid
intranasal atau kombinasi keduanya tidak dapat mengontrol gejala rinitis
alergi. 8
Dekongestan oral dan intranasal seperti pseudoefedrin juga dapat
memperbaiki gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi. Namun, perlu
mempertimbangkan efek samping dekongestan oral yaitu agitasi, insomnia,
palpitasi dan sakit kepala. Penggunaannya juga kontraindikasi pada
individu dengan hipertensi tidak terkontrol. 8
Penggunaan terapi cuci hidung biasanya berkaitan dengan beberapa
keluhan seperti rinosinusitis kronis dan rinitis alergi. Mekanisme kerja
terapi cuci hidung memang belum diketahui dengan jelas, tetapi banyak
ahli yang meyakini bahwa mekanisme utama cuci hidang ialah intervensi
langsung dalam membersihkan mukosa hidung.8

3.9 Komplikasi
1. Otitis Media Efusi
Otitis media efusi (OME) adalah akumulasi lendir di telinga tengah dan
mastoid. Alergi dianggap berperan dalam patogenesis otitis media tetapi mekanisme
kausal secara pasti masih belum dipahami. Beberapa mekanisme dari alergi diyakini
dapat menyebabkan otitis media: (a) telinga tengah sebagai organ target (b) alergi
menginduksi reaksi inflamasi sehingga menyebabkan pembengkakan tuba eustachius
(c) inflamasi yang menyebabkan obstruksi pada hidung. dan (d) aspirasi sekret alergi
yang bercampur bakteri dari nasofaring ke telinga tengah. Tiga mekanisme terakhir
melibatkan hubungan antara alergi dan fungsi tabung eustachian yang abnormal.
Studi terbaru berfokus pada analisis penanda inflamasi pada pasien otitis media efusi,
ditemukan pola inflamasi Th(T-helper) 1 dan Th2 pada pasien OME.21
Diagnosis otitis media didasarkan pada gejala dan pemeriksaan fisik. Gejala
pada OME antara lain gangguan pendengaran (97%), telinga terasa penuh (77%) dan
pulsatile atau tinnitus berderak (60%). Efusi pada telinga tengah dapat berupa cairan
purulen (kuning atau putih), mukoid (bening atau putih), atau serosa (kuning jernih
atau tembus cahaya). Membran timpani pada pemeriksaan otoskopi tampak opak dan
bulging. Membran timpani dapat juga menunjukkan gambaran retraksi akibat adanya
tekanan negatif telinga tengah. Pemeriksaan dengan otoskopi pneumatik pada otitis
media efusi dapat menunjukkan membran timpani yang immobile atau hipomobile. 21
2. Rhinosinusitis
Rinosinusitis didefinisikan sebagai radang pada mukosa hidung dan sinus paranasal
yang dapat disertai polip ataupun tanpa polip. Pembengkakan mukosa hidung pada
rinitis alergi di ostium sinus dapat mengganggu ventilasi bahkan menyumbat ostium
sinus, yang akan mengakibatkan retensi sekret mukus dan infeksi. Mukosa hidung
dan sinus membentuk suatu rangkaian kesatuan, sehingga membran mukosa sinus
sering terlibat pada penyakit yang disebabkan inflamasi pada mukosa nasi.
Rinosinusitis biasanya disertai dua atau lebih dari gejala berupa hidung tersumbat,
sekret hidung (anterior maupun posterior nasal drip) dan dapat disertai: 1) ± Nyeri
fasial 2) ± Hiposmia Atau dengan endoskopi dapat ditemukan: 1) Polip nasi 2) Sekret
mukopurulen terutama dari meatus nasi medius dan/ atau 3) Oedem atau obstruksi
mukosa terutama meatus nasi medius Atau dapat disertai dengan hasil pemeriksaan
CT scan berupa: 1) Perubahan mukosa kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus
parasanal. Klasifikasi rinosinusitis berdasarkan lama sakit dibagi menjadi
rinosinusitis akut (<12 minggu), rinosinusitis kronis (≥ 12 minggu), dan rinosinusitis
kronis eksaserbasi akut.22
3. Laringitis
Batuk kering sering ditemukan pada penderita rinitis alergi. Studi terbaru
menunjukkan bahwa perubahan neuro-kimia di jalan napas alergi dengan pelepasan
substansi P mungkin bertanggung jawab untuk induksi batuk pada pasien rinitis
alergi.23
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poli THT untuk kontrol keluhan nyeri wajah. Nyeri wajah telah
dirasakan sejak 3 Bulan SMRS. Keluhan dirasakan hilang timbul. Keluhan disertai dengan
pilek keluar ingus berwarna putih bening. Pasien mengeluhkan nyeri pada dahi dan pipi
semakin memberat saat sujud ketika sholat. Keluhan dirasakan tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Keluhan dirasakan memberat saat pasien bekerja dalam posisi menunduk, keluhan
tidak membaik meskipun pasien telah minum obat (paracetamol) yang dibeli di warung
sekitar. Pasien tidak mengeluhkan hidung mampet, hidung berair, bersin, mimisan, demam,
dan tidak ada gigi berlubang.

Sejak 1 bulan yang lalu pasien merasa nyeri wajah semakin lama semakin memberat
(VAS 8) dan menetap. Pasien juga mengeluhkan hidung mampet sebelah kiri, terasa ada
cairan yang mengalir ke tenggorokan ketika posisi berbaring, penciuman hidung sebelah kiri
berkurang, dan bersin saat bangun tidur 3-4 kali. Pasien tidak mengalami demam, mimisan,
dan tidak ada gigi berlubang. Pasien akhirnya berobat ke RS di daerah Kudus untuk
meringankan keluhannya. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien terdiagnosis rhinosinusitis.
Pasien menjalani terapi sesuai arahan dokter seperti cuci hidung 2 kali sehari dan konsumsi
obat secara rutin. Pasien merasakan keluhannya berkurang setelah cuci hidung. Pasien
kemudian dirujuk ke RSUP Dr Kariadi untuk dilakukan pemeriksaan penunjang dengan
tujuan mengetahui lokasi sinus yang menyebabkan pasien mengalami keluhan.

Pemeriksaan fisik telinga dan tenggorok dalam batas normal. Pemeriksaan luar
hidung diperoleh hasil bentuk normal, simetris, deformitas (-), warna kulit sama dengan kulit
sekitar, nyeri tekan (-). Pemeriksaan rinoskopi anterior tidak diperoleh hasil mukosa livid
pada hidung kanan dan kiri, konka inferior hidung kanan kiri hipertrofi, discharge (-/-), massa
(-/-), deviasi septum (-/-). Pada pemeriksaan leher, tidak didapatkan adanya pembesaran
kelenjar getah bening. Pemeriksaan gigi dan mulut dalam batas normal.
BAB V

PENUTUP

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Diagnosis
ditentukan berdasarkan pemeriksaan komprehensif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan, pasien didiagnosis suspek rhinitis alergi dan konka nasalis hipertrofi bilateral.
Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pasien dan keluarga pasien perlu diedukasi terkait penyakit yang diderita pasien, cara
menghindari faktor pencetus serta tatalaksana yang akan dilakukan, rencana tindakan yang
akan dilakukan dan rencana merujuk pasien ke dokter spesialis THT-KL, edukasi mengenai
cara melakukan irigasi hidung, dan prognosis penyakit yang diderita pasien. Terapi yang
diberikan pada pasien ini adalah irigasi hidung menggunakan NaCl 0.9% untuk menjaga
kebersihan dan kelembaban mukosa hidung, fluticasone furoate nasal spray 2 puff/24 jam
kanan dan kiri, dan cetirizine 10 mg/24 jam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati Nina et al. 2012. Rhinitis Alergi ini Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. FKUI. Page 106-111.

2. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan


Selatan Tahun 2012. Banjarmasin; 2012.

3. Moore, Keith L, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy. 8th edition. India; Wolters
Kluwer. 2018.

4. Sobiesk JL, Munakomi S. Anatomy, Head and Neck, Nasal Cavity. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. [Internet]. 2019. [cited 2021 Mar 27]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544232/

5. Galarza-Paez L, Marston G, Downs BW. Anatomy, Head and Neck, Nose. [Updated
2022 Jul 25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023
Jan-.

6. Dalley AF, Agur AMR. Moore’s Clinically Oriented Anatomy [Internet]. Wolters
Kluwer Health; 2021. Available from: https://books.google.co.id/books?
id=SHhTEAAAQBA.

7. Gamerra M, Luca RD. Airflow in paranasal sinuses. Biomed Sci Res. 2019;1(5):197– 201.

8. Small P, Keith PK, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy, Asthma and Clinical Immunology.
2018; 14(2):1-11.

9. Kakli HA, Riley TD. Allergic Rhinitis. Primary Care Clinics in Office Practice.
2016;43(3):465-75.

10. RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS). Lap Nas 2013.
11. DeShazo, Richard D Kemp SF. Patient education: Trigger avoidance in allergic rhinitis
(Beyond the Basics). UpToDate. [Internet]. 2020. [cited 2021 Mar 28]. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/allergic- rhinitis-beyond-the-basics.
12. Akhouri S, House SA. Allergic Rhinitis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
[Internet] 2020. [cited 2021 Apr 1] Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538186/

13. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. 11th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2014

14. Pawankar R, Canonica G, Holgate S, Lockey R. WAO, white book on allergy. World
Allergy Organization. 2011;3:156-157.

15. Sheikh J. Allergic Rhinitis Clinical Presentation [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2021
Apr 5]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/134825-clinical#b4

16. Jimenez F R, Romero G P, Martinez L J. Teran ML. Allergic Rhinitis. J Aller Ther. 2012;
5(006):2-7.

17. Devi S, Munir D, Sofyan F. The Sensitivity and Specificity of Score for Allergic Rhinitis
(SFAR) Questionnaire as a Diagnostic Tool for Allergic Rhinitis in H. Adam Malik
General Hospital, Medan. International Journal of ChemTech Research. 2019; 12: 174-
180.

18. Abez Christopher J, Khanna Nehemiah H, Kannan A. A clinical decision support system
for diagnosis of Allergic Rhinitis based on intradermal skin tests. Computers in Biology
and medicine, 2015, 65: 76-84.

19. Mahatme MS, Dakhale GN, Tadke K, Hiware SK, Dudhgaonkar SD, Wankhede S.
Comparison of efficacy, safety, and cost-effectiveness of montelukast-levocetirizine and
montelukast-fexofenadine in patients of allergic rhinitis: A randomized, double-blind
clinical trial. Indian J Pharmacol. 2016;48(6):649-653.

20. Wise SK, Lin SY, Toskala E, et al. International Consensus Statement on Allergy and
Rhinology: Allergic Rhinitis. Int Forum Allergy Rhinol. 2018;8(2):108-352.

21. Dewi, A. M. K. Penegakan Diagnosis Penyakit THT yang Berkaitan Dengan Rinitis
Alergi. Universitas Diponegoro. 2020

22. Naclerio RM, Bachert C, Baraniuk JN. Pathophysiology of nasal congestion. Int J Gen
Med. 2010;3:47-57. Published 2010 Apr 8.
23. Hellings PW, Fokkens WJ. Allergic rhinitis and its impact on otorhinolaryngology.
Allergy. 2006 Jun;61(6):656-64.

Anda mungkin juga menyukai