Dosen Pembimbing:
dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.T.H.T.B.K.L. Subsp. Rino (K), M.Si.Med
Residen Pembimbing:
dr. Fitriana Romdhonah
Dibacakan Oleh:
Mayuki Miola, S.Ked 22010122220054
I Made Kusuma Yasa, S.Ked 22010122220121
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Melaporkan kasus “Seorang Wanita Usia 33 Tahun dengan Suspek Rhinitis Alergi dan Konka
Nasalis Hipertrofi Bilateral”
Nama:
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Seorang Wanita Usia 33 Tahun dengan Suspek Rhinitis Alergi dan Konka Nasalis Hipertrofi
Bilateral” Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh
kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang. Penulis menyadari sangatlah sulit untuk menyelesaikan Laporan Kasus
Besar ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini,
Penulis hendak menyampaikanterima kasih kepada:
1. dr. Anna Mailasari Kusuma Dewi, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga.
2. dr. Fitriana Romdhonah selaku residen pembimbing yang telah memberikan masukan,
petunjuk, serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
3. Ny. EWS dan keluarganya atas keramahan dan keterbukaannya dalam kegiatan penyusunan
laporan.
4. Keluarga dan teman-teman coass serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kasus ini.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus besar ini dapat bermanfaat
bagi pembaca serta kepada siapapun yang membutuhkan. Kritik dan saran yang membangun
sangat harapkan untuk perbaikan
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis alergi (RA) merupakan inflamasi pada mukosa hidung yang terjadi
karena reaksi hipersensitivitas diperantarai oleh antibodi imunoglobulin E (IgE)
setelah adanya paparan secara berulang dari alergen tertentu. Gejala yang sering
timbul meliputi bersin-bersin, hidung tersumbat dan adanya sekresi lendir pada
hidung. Rinitis alergi dapat disertai dengan beberapa penyakit penyerta atau disebut
komorbid seperti asma, konjungtivitis, dermatitis atopik (DA), rinosinusitis dan
otitis media.1
1.2. Tujuan
Untuk memahami secara komprehensif terkait definisi, etiologi, faktor
risiko, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
komplikasi, serta tatalaksana rhinitis alergi.
1.3. Manfaat
Menjadi bahan belajar mahasiswa bidang kesehatan untuk mengetahui
definisi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, komplikasi, serta tatalaksana rhinitis alergi.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny.EWS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Alamat : Kudus
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pekerja pabrik rokok
Ruang : Poli THT (Rinologi) Gedung Merpati lt. 1 RSDK
Masuk RS : 02 November 2023
No. CM : D038840
Pembiayaan : JKN Non PBI
Sejak 3 bulan yang lalu pasien merasa nyeri wajah di daerah dahi sebelah kiri
dan di ubun-ubun. Keluhan dirasakan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari (VAS
5) dan dirasakan hilang timbul. Keluhan dirasakan memberat saat pasien bekerja
dalam posisi menunduk, keluhan tidak membaik meskipun pasien telah minum obat
(paracetamol) yang dibeli di warung sekitar. Pasien tidak mengeluhkan hidung
mampet, hidung berair, bersin, mimisan, demam, penurunan menghidu, dan tidak ada
gigi berlubang.
Sejak 1 bulan yang lalu pasien merasa nyeri wajah semakin lama semakin
memberat (VAS 8) dan menetap. Pasien juga mengeluhkan hidung bampet dan gatal
sebelah kiri (VAS 5), terasa ada cairan yang mengalir ke tenggorokan ketika posisi
berbaring, penciuman hidung sebelah kiri berkurang, hidung kiri pilek dengan cairan
bening konsistensi cair, dan bersin saat bangun tidur 3-4 kali. Pasien tidak mengalami
demam, mimisan, dan tidak ada gigi berlubang. Pasien akhirnya berobat ke RS di
daerah Kudus untuk meringankan keluhannya. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien
tear diagnosis rhinosinusitis. Pasien menjalani terapi sesuai arahan dokter seperti cuci
hidung 2 kali sehari selama 3 minggu terakhir dan konsumsi obat secara rutin. Pasien
merasakan keluhannya berkurang setelah cuci hidung. Pasien kemudian dirujuk ke
RSUP Dr Kariadi untuk dilakukan pemeriksaan penunjang dengan tujuan mengetahui
lokasi sinus yang menyebabkan pasien mengalami keluhan.
- Adik pasien memiliki riwayat rinosinusitis dan telah menjalani operasi 2 bulan
yang lalu
- Riwayat diabetes melitus di keluarga disangkal
- Riwayat hipertensi di keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit keganasan di keluarga disangkal
- Riwayat alergi, asma pada keluarga disangkal.
● Riwayat Penggunaan Obat
- Na Diclofenac
- N-asetilsistein
- Tremenza
- Co amoxiclav
● Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pekerja pabrik rokok, tinggal bersama suami
dan anaknya. Pasien merupakan pengguna BPJS Non-PBI. Kesan sosial
ekonomi cukup.
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 90x/menit, reguler isi dan tegangan cukup
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5˚C
SpO2 : 98% room air
Status Internus
Bagi
an Telinga Kanan Telinga Kiri
Telin
ga
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre-aurikula fistula (-), abses fistula (-), abses (-),
(-),nyeri tekan tragus nyeri tekan tragus (-)
(-)
Normotia, hiperemis(-), Normotia, hiperemis (-),
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Aurikula
Pemeriksaan
Luar
Inspeks
i
Bentuk
(N)
Simetris
Hidung Luar
Warna kulit sama dengan
sekitar Deformitas (-)
Benjolan (-)
Discharge (-/-)
Palpasi:
Os.Nasal: deformitas (-/-), krepitasi (-/-),
nyeri tekan (-/-), edema (-/-)
Frontalis : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok
Sinus (-/-) Maxilla : nyeri tekan (-/+), nyeri
ketok (-/+) Ethmoid : nyeri tekan (-/-),
nyeri ketok
(-/-)
Rinoskopi
Anterior Kan Ki
an ri
Discharge (-) (-)
Diafanoskopi Tidak
dilakukan
3. Tenggorok
Tabel 4. Pemeriksaan Tenggorok
Konka inferior: hipertrofi +/+, edema -/-, bagian anterior hiperemis -/-, krusta -/-,
mukosa livid -/-
Meatus inferior: terbuka +/+, discharge -/-
Septum deviasi: -/-, krista -/-, perforasi -/-, krusta -/-
Meatus media : udem -/-, polip -/-, discharge -/- mukoid, hiperemis -/-
Sinus etmoid : tidak tampak / tidak tampak
Ostium maksila : tidak tampak / tidak tampak
Resesus sfenoethmoidalis : tidak tampak / tidak tampak
Resessus frontalis: tidak tampak / tidak tampak
Fossa olfactory : normal/normal, polip -/-
Nasofaring : sekret mukupurulen -/-, udem -/-, hiperemis -/-, adenoid persisten -
/-, tumor
Kesimpulan : Konka Nasalis Hipertrofi
2. MSCT Sinus Parasinalis Tanpa Kontras (2/11/2023)
Kesan:
Gambaran sinus maksilaris kanan kiri, sphenoiditis kanan kiri, etmoiditis kanan
kiri normal, tidak ditemukan adanya kesuraman atau penebalan mukosa
Hipertrofi konka nasalis inferior kanan kiri
● Ip. Dx:
S:-
O: Skin Prick Test, pemeriksaan IgE spesifik, lab hitung jenis, MRI n. Trigeminus
● Ip. Tx:
● Ip. Mx:
● Ip. Ex:
- Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai faktor risiko penyakit yang
mendasari yang diderita pasien
- Edukasi kepada pasien mengenai cara yang tepat melakukan irigasi hidung.
2.7 Prognosis
Rongga pada hidung yang disebut kavum nasi berbentuk terowongan yang
memanjang dari lubang hidung (nares anterior) sampai koana (nares posterior).
Nares posterior menghubungkan antara kavum nasi dan nasofaring. Kavum
nasi dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap kavum
nasi memiliki 4 dinding yaitu dinding lateral. Bagian kavum nasi yang terletak
tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dikelilingi
oleh tulang rawan yang fleksibel. Bagian ini dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng berkeratin. Di lumen nasi yang menjadi batas posterior vestibulum,
epitel berubah menjadi epitel berlapis gepeng tidak berkeratin dan kemudian
menjadi epitel kolumner berlapis semu bersilia.5,6
Di bagian lateral, kavum nasi dibatasi oleh tiga buah konka, yaitu konka
nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka nasalis superior. Konka nasalis
inferior dan media menempati sebagian besar dinding lateral kavum nasi,
sedangkan konka nasalis superior berukuran kecil dan letaknya berdekatan
dengan daerah olfaktorius di atap kavum nasi. Konka nasalis inferior
merupakan suatu tulang yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid. Lain
halnya dengan konka nasalis media dan superior yang merupakan bagian dari
labirin etmoid.5,6
Konka berperan penting dalam sistem fisiologi hidung. Hal ini akibat dari
struktur konka yang terdiri dari lapisan tulang pada bagian dalam dan lapisan
mukosa pada bagian luar. Lapisan mukosa konka merupakan respiratory
mucosa (mukosa pernapasan) yang tersusun atas epitel kolumnar
pseudostratifikasi bersilia yang 10% mengandung sel goblet. Epitel mukosa
konka dipisahkan oleh lamina basalis dari lamina propria. Bagian medial dari
epitel mukosa konka lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian lateralnya,
dikarenakan pada bagian tengah lebih sering terkena aliran udara. Mukosa
konka juga mengandung sedikit limfosit, sedikit arteri, kelenjar seromukus dan
sinus venous pada dinding lateral konka. Lapisan tulang konka tersusun atas
tulang cancellous. Bagian anterior lapisan tulangnya lebih tebal dari bagian
posterior.5,6
Di sekitar dari cavum nasi terdapat 4 pasang sinus paranasalis, yaitu sinus
frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maksilaris, yang
masing-masing dinamai menurut lokasinya. Masing-masing sinus memiliki
ostium yang bermuara ke cavum nasi. Sinus frontalis, ethmoidalis anterior dan
maksilaris bermuara di meatus nasi media, sedangkan sinus ethmoidalis
posterior dan sinus sphenoidalis bermuara di meatus nasi superior. 6 Keberadaan
sinus paranasal di sini memiliki peran dalam membantu dinamika udara dalam
proses inhalasi serta juga berperan dalam termoregulasi udara di cavum nasi.7
2. Rhinitis medikamentosa
Kondisi yang diinduksi oleh penggunaan jangka panjang dekongestan
intranasal topikal. Meskipun tidak ada kriteria diagnostik konsensus, RM
secara klasik dikaitkan dengan tiga serangkai penggunaan dekongestan
intranasal topikal berkepanjangan, sumbatan hidung konstan, dan
penurunan efektifitas dekongestan intranasal topikal. Temuan
pemeriksaan fisik terdiri dari edema mukosa, eritema, dan hiperemia.
Penggunaan dekongestan intranasal topikal secara terus menerus dapat
menurunkan produksi norepinefrin endogen dan menyebabkan
upregulasi sistem parasimpatis, menyebabkan kongesti rebound setelah
dekongestan dihentikan. Kongesti rebound berkembang setelah 3 sampai
10 hari penggunaan obat.20
3. Rhinitis vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah penyebab paling umum dari rinitis non alergi,
dan ditemukan pada 71% kasus. Tidak adanya respon imun yang
diperantarai IgE membedakan vasomotor dari bentuk rhinitis alergi. Oleh
karena itu, istilah “rinitis non-alergi” direkomendasikan untuk
menggantikan rinitis vasomotor, karena peradangan tidak dianggap
sebagai bagian penting dalam patogenesis rinopati non-alergi. Rinopati
non-alergi adalah diagnosis eksklusi, dan faktor etiologi lain untuk
rinopati harus dievaluasi. Rinopati non-alergi merupakan penyakit kronis
dengan gejala utama rinore. Gejala terkait hidung tersumbat, post nasal
drip tanpa refluks asam, batuk, disfungsi tabung Eustachius, bersin,
hiposmia, dan tekanan wajah / sakit kepala juga dapat terjadi pada
rinopati non- alergi. Gejala-gejala ini mungkin abadi, terus-menerus,
atau musiman, dan biasanya ditimbulkan oleh pemicu tertentu, seperti
udara dingin, perubahan iklim (yaitu, suhu, kelembaban, tekanan udara),
bau yang kuat, asap tembakau, perubahan tingkat hormon seksual,
lingkungan polutan, latihan fisik, dan alkohol. Pada pemeriksaan fisik,
mukosa hidung biasanya tampak normal, tetapi dapat menunjukkan
tanda-tanda eritema dan rinore yang jelas. Sementara tes alergi sistemik
(tes kulit atau in vitro) biasanya cukup untuk membedakan antara AR
dan rinopati non-alergi.20
1. Allergen avoidance
2. Medikamentosa
Antihistamin oral generasi kedua seperti desloratadin, fexofenadine,
loratadin, cetirizine merupakan lini pertama tatalaksana farmakologis pada
kasus rinitis alergi. Penggunaan antihistamin terbukti efektif mengurangi
bersin, hidung gatal dan berair jika diminum secara teratur. Antihistamin
oral generasi pertama seperti dipenhidramin dan clorpeniramin pernah
dilaporkan memiliki efek samping gangguan kognisi, sehingga penggunaan
antihistamin oral generasi kedua lebih dianjurkan.8
Kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topical yang bekerja untuk mengurangi
jumlah mastoid pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein
sitotoksik dari eosinophil, mengurangi aktivitas limfosit, mencegah
bocornya plasma.8
Leukotriens juga dianggap efektif mengurangi gejala rinitis alergi.
leukotriens dapat disarankan ketika antihistamin oral, kortikosteroid
intranasal atau kombinasi keduanya tidak dapat mengontrol gejala rinitis
alergi. 8
Dekongestan oral dan intranasal seperti pseudoefedrin juga dapat
memperbaiki gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi. Namun, perlu
mempertimbangkan efek samping dekongestan oral yaitu agitasi, insomnia,
palpitasi dan sakit kepala. Penggunaannya juga kontraindikasi pada
individu dengan hipertensi tidak terkontrol. 8
Penggunaan terapi cuci hidung biasanya berkaitan dengan beberapa
keluhan seperti rinosinusitis kronis dan rinitis alergi. Mekanisme kerja
terapi cuci hidung memang belum diketahui dengan jelas, tetapi banyak
ahli yang meyakini bahwa mekanisme utama cuci hidang ialah intervensi
langsung dalam membersihkan mukosa hidung.8
3.9 Komplikasi
1. Otitis Media Efusi
Otitis media efusi (OME) adalah akumulasi lendir di telinga tengah dan
mastoid. Alergi dianggap berperan dalam patogenesis otitis media tetapi mekanisme
kausal secara pasti masih belum dipahami. Beberapa mekanisme dari alergi diyakini
dapat menyebabkan otitis media: (a) telinga tengah sebagai organ target (b) alergi
menginduksi reaksi inflamasi sehingga menyebabkan pembengkakan tuba eustachius
(c) inflamasi yang menyebabkan obstruksi pada hidung. dan (d) aspirasi sekret alergi
yang bercampur bakteri dari nasofaring ke telinga tengah. Tiga mekanisme terakhir
melibatkan hubungan antara alergi dan fungsi tabung eustachian yang abnormal.
Studi terbaru berfokus pada analisis penanda inflamasi pada pasien otitis media efusi,
ditemukan pola inflamasi Th(T-helper) 1 dan Th2 pada pasien OME.21
Diagnosis otitis media didasarkan pada gejala dan pemeriksaan fisik. Gejala
pada OME antara lain gangguan pendengaran (97%), telinga terasa penuh (77%) dan
pulsatile atau tinnitus berderak (60%). Efusi pada telinga tengah dapat berupa cairan
purulen (kuning atau putih), mukoid (bening atau putih), atau serosa (kuning jernih
atau tembus cahaya). Membran timpani pada pemeriksaan otoskopi tampak opak dan
bulging. Membran timpani dapat juga menunjukkan gambaran retraksi akibat adanya
tekanan negatif telinga tengah. Pemeriksaan dengan otoskopi pneumatik pada otitis
media efusi dapat menunjukkan membran timpani yang immobile atau hipomobile. 21
2. Rhinosinusitis
Rinosinusitis didefinisikan sebagai radang pada mukosa hidung dan sinus paranasal
yang dapat disertai polip ataupun tanpa polip. Pembengkakan mukosa hidung pada
rinitis alergi di ostium sinus dapat mengganggu ventilasi bahkan menyumbat ostium
sinus, yang akan mengakibatkan retensi sekret mukus dan infeksi. Mukosa hidung
dan sinus membentuk suatu rangkaian kesatuan, sehingga membran mukosa sinus
sering terlibat pada penyakit yang disebabkan inflamasi pada mukosa nasi.
Rinosinusitis biasanya disertai dua atau lebih dari gejala berupa hidung tersumbat,
sekret hidung (anterior maupun posterior nasal drip) dan dapat disertai: 1) ± Nyeri
fasial 2) ± Hiposmia Atau dengan endoskopi dapat ditemukan: 1) Polip nasi 2) Sekret
mukopurulen terutama dari meatus nasi medius dan/ atau 3) Oedem atau obstruksi
mukosa terutama meatus nasi medius Atau dapat disertai dengan hasil pemeriksaan
CT scan berupa: 1) Perubahan mukosa kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus
parasanal. Klasifikasi rinosinusitis berdasarkan lama sakit dibagi menjadi
rinosinusitis akut (<12 minggu), rinosinusitis kronis (≥ 12 minggu), dan rinosinusitis
kronis eksaserbasi akut.22
3. Laringitis
Batuk kering sering ditemukan pada penderita rinitis alergi. Studi terbaru
menunjukkan bahwa perubahan neuro-kimia di jalan napas alergi dengan pelepasan
substansi P mungkin bertanggung jawab untuk induksi batuk pada pasien rinitis
alergi.23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke Poli THT untuk kontrol keluhan nyeri wajah. Nyeri wajah telah
dirasakan sejak 3 Bulan SMRS. Keluhan dirasakan hilang timbul. Keluhan disertai dengan
pilek keluar ingus berwarna putih bening. Pasien mengeluhkan nyeri pada dahi dan pipi
semakin memberat saat sujud ketika sholat. Keluhan dirasakan tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Keluhan dirasakan memberat saat pasien bekerja dalam posisi menunduk, keluhan
tidak membaik meskipun pasien telah minum obat (paracetamol) yang dibeli di warung
sekitar. Pasien tidak mengeluhkan hidung mampet, hidung berair, bersin, mimisan, demam,
dan tidak ada gigi berlubang.
Sejak 1 bulan yang lalu pasien merasa nyeri wajah semakin lama semakin memberat
(VAS 8) dan menetap. Pasien juga mengeluhkan hidung mampet sebelah kiri, terasa ada
cairan yang mengalir ke tenggorokan ketika posisi berbaring, penciuman hidung sebelah kiri
berkurang, dan bersin saat bangun tidur 3-4 kali. Pasien tidak mengalami demam, mimisan,
dan tidak ada gigi berlubang. Pasien akhirnya berobat ke RS di daerah Kudus untuk
meringankan keluhannya. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien terdiagnosis rhinosinusitis.
Pasien menjalani terapi sesuai arahan dokter seperti cuci hidung 2 kali sehari dan konsumsi
obat secara rutin. Pasien merasakan keluhannya berkurang setelah cuci hidung. Pasien
kemudian dirujuk ke RSUP Dr Kariadi untuk dilakukan pemeriksaan penunjang dengan
tujuan mengetahui lokasi sinus yang menyebabkan pasien mengalami keluhan.
Pemeriksaan fisik telinga dan tenggorok dalam batas normal. Pemeriksaan luar
hidung diperoleh hasil bentuk normal, simetris, deformitas (-), warna kulit sama dengan kulit
sekitar, nyeri tekan (-). Pemeriksaan rinoskopi anterior tidak diperoleh hasil mukosa livid
pada hidung kanan dan kiri, konka inferior hidung kanan kiri hipertrofi, discharge (-/-), massa
(-/-), deviasi septum (-/-). Pada pemeriksaan leher, tidak didapatkan adanya pembesaran
kelenjar getah bening. Pemeriksaan gigi dan mulut dalam batas normal.
BAB V
PENUTUP
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Diagnosis
ditentukan berdasarkan pemeriksaan komprehensif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan, pasien didiagnosis suspek rhinitis alergi dan konka nasalis hipertrofi bilateral.
Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pasien dan keluarga pasien perlu diedukasi terkait penyakit yang diderita pasien, cara
menghindari faktor pencetus serta tatalaksana yang akan dilakukan, rencana tindakan yang
akan dilakukan dan rencana merujuk pasien ke dokter spesialis THT-KL, edukasi mengenai
cara melakukan irigasi hidung, dan prognosis penyakit yang diderita pasien. Terapi yang
diberikan pada pasien ini adalah irigasi hidung menggunakan NaCl 0.9% untuk menjaga
kebersihan dan kelembaban mukosa hidung, fluticasone furoate nasal spray 2 puff/24 jam
kanan dan kiri, dan cetirizine 10 mg/24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati Nina et al. 2012. Rhinitis Alergi ini Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. FKUI. Page 106-111.
3. Moore, Keith L, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy. 8th edition. India; Wolters
Kluwer. 2018.
4. Sobiesk JL, Munakomi S. Anatomy, Head and Neck, Nasal Cavity. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. [Internet]. 2019. [cited 2021 Mar 27]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544232/
5. Galarza-Paez L, Marston G, Downs BW. Anatomy, Head and Neck, Nose. [Updated
2022 Jul 25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023
Jan-.
6. Dalley AF, Agur AMR. Moore’s Clinically Oriented Anatomy [Internet]. Wolters
Kluwer Health; 2021. Available from: https://books.google.co.id/books?
id=SHhTEAAAQBA.
7. Gamerra M, Luca RD. Airflow in paranasal sinuses. Biomed Sci Res. 2019;1(5):197– 201.
8. Small P, Keith PK, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy, Asthma and Clinical Immunology.
2018; 14(2):1-11.
9. Kakli HA, Riley TD. Allergic Rhinitis. Primary Care Clinics in Office Practice.
2016;43(3):465-75.
13. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. 11th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2014
14. Pawankar R, Canonica G, Holgate S, Lockey R. WAO, white book on allergy. World
Allergy Organization. 2011;3:156-157.
15. Sheikh J. Allergic Rhinitis Clinical Presentation [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2021
Apr 5]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/134825-clinical#b4
16. Jimenez F R, Romero G P, Martinez L J. Teran ML. Allergic Rhinitis. J Aller Ther. 2012;
5(006):2-7.
17. Devi S, Munir D, Sofyan F. The Sensitivity and Specificity of Score for Allergic Rhinitis
(SFAR) Questionnaire as a Diagnostic Tool for Allergic Rhinitis in H. Adam Malik
General Hospital, Medan. International Journal of ChemTech Research. 2019; 12: 174-
180.
18. Abez Christopher J, Khanna Nehemiah H, Kannan A. A clinical decision support system
for diagnosis of Allergic Rhinitis based on intradermal skin tests. Computers in Biology
and medicine, 2015, 65: 76-84.
19. Mahatme MS, Dakhale GN, Tadke K, Hiware SK, Dudhgaonkar SD, Wankhede S.
Comparison of efficacy, safety, and cost-effectiveness of montelukast-levocetirizine and
montelukast-fexofenadine in patients of allergic rhinitis: A randomized, double-blind
clinical trial. Indian J Pharmacol. 2016;48(6):649-653.
20. Wise SK, Lin SY, Toskala E, et al. International Consensus Statement on Allergy and
Rhinology: Allergic Rhinitis. Int Forum Allergy Rhinol. 2018;8(2):108-352.
21. Dewi, A. M. K. Penegakan Diagnosis Penyakit THT yang Berkaitan Dengan Rinitis
Alergi. Universitas Diponegoro. 2020
22. Naclerio RM, Bachert C, Baraniuk JN. Pathophysiology of nasal congestion. Int J Gen
Med. 2010;3:47-57. Published 2010 Apr 8.
23. Hellings PW, Fokkens WJ. Allergic rhinitis and its impact on otorhinolaryngology.
Allergy. 2006 Jun;61(6):656-64.