Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

TONSILITIS KRONIS EKSASERBASI AKUT

Oleh:
Alderiantama Akhmad, S.Ked 04084821921136
Fachrezi Khatami, S.Ked 04054821820007
Nicho Saputra Nugraha, S.Ked 04054821820134
Putra Reza Sikam, S.Ked 04054821820144
Vicra Adhitya, S.Ked 04054821820051

Pembimbing
dr. Ahmad Hifni, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN Judul Telaah Ilmiah
Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut

Oleh:
Alderiantama Akhmad, S.Ked 04084821921136
Fachrezi Khatami, S.Ked 04054821820007
Nicho Saputra Nugraha, S.Ked 04054821820134
Putra Reza Sikam, S.Ked 04054821820144
Vicra Adhitya, S.Ked 04054821820051

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 20 Mei – 24 Juni 2019.

Palembang, Juni 2019


Pembimbing,

dr. Ahmad Hifni, Sp.THT-KL(K), FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan YME atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut” untuk memenuhi tugas sebagai bagian dari
sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Ahmad Hifni, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus
ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran
bagi kita semua.

Palembang, Juni 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 16
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 42

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang
berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil
hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus
yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan
ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat
peradangan virus sebelumnya.1
Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan
lokal primer. Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada
penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan
menyentuh daerah yang mengalami peradangan. Jika peradangan telah
ditatalaksana, kemungkinan tonsil kembali pulih seperti semula2 namun
apabila terjadi kegagalan terapi atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik
pada penderita tonsilitis akut maka terjadi perubahan pada mikroflora tonsil
sehingga struktur pada kripta tonsil jadi berubah atau yang disebut dengan
tonsilitis kronis.3,4
Menurut National Center of Health Statistics di United States
prevalensi penyakit tonsilitis pada anak yang berusia di bawah 18 tahun
didapatkan 24,9% dari 1000 orang anak. Di Indonesia, tonsilitis kronis juga
menjadi salah satu penyakit THT yang paling banyak dijumpai terutama
pada anak. Menurut data dari RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
diketahui jumlah penderita tonsilitis pada tahun 2017 berjumlah 53 orang,
angka ini mengalami peningkatan dari angka insidensi tonsilitis pada tahun
sebelumnya yang berjumlah 47 orang.
Sebagai dokter umum, kompetensi yang harus dicapai dalam kasus
tonsilitis berdasarkan SKDI 2013 adalah kompetensi 4 yaitu lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas. Hal ini menunjukkan dokter harus

1
mampu mengenali gambaran klinis dari kasus tonsilitis, mengetahui apa saja
pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam proses penegakkan diagnosis,
bagaimana tatalaksana yang tepat serta apa saja komplikasi yang mungkin
terjadi. Karena mempertimbangkan kepentingan-kepentingan di atas,
penulis memutuskan untuk mengangkat kasus tonsilitis sebagai sebuah
laporan kasus.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. KS
Umur / Tanggal Lahir : 24 tahun (6 April 1995)
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jln Kebun Bunga, Villa Angkasa, Palembang
Suku Bangsa : Sumatera
Nomor Rekam Medis : 708788
Kunjungan : Senin, 27 Mei 2019, pukul 10.35 WIB
Poliklinik : THT-KL

2.2. Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada
hari Senin, 27 Mei 2019, pukul 11.00 WIB.

Keluhan Utama : Nyeri saat menelan sejak ± 2 hari SMRS


Keluhan Tambahan : Rasa mengganjal di tenggorokan (+), Demam (+)

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 5 bulan SMRS, pasien mengeluh nyeri menelan (+). Nyeri menelan
dirasakan saat memakan makanan yang padat dan keras seperti nasi, roti, atau
keripik. Pasien juga mengeluh nyeri saat menelan (+), rasa mengganjal di
tenggorokan (+), bau mulut (-), mulut kering (-), gigi berlubang (+),
ludah berlebihan (-), sulit membuka mulut (-), suara menggumam (-),
bengkak atau benjolan di rahang bawah (-), batuk (-), pilek (-), nyeri telinga
(-), napsu makan menurun (+), demam (+) tidak terlalu tinggi naik-turun,
badan terasa lesu (-), nyeri sendi (-). Pasien berobat ke Dokter Umum dan
dikatakan mengalami amandel. Pasien diberi obat dan keluhan berkurang.

3
± 2 bulan SMRS, pasien mengeluh nyeri saat menelan (+). Nyeri
menelan dirasakan saat memakan makanan yang padat seperti nasi atau
roti. Pasien juga mengeluh adanya rasa mengganjal di tenggorokan (+), bau
mulut (+), mulut kering (+), gigi berlubang (+), ludah berlebihan (-), sulit
membuka mulut (-), suara menggumam (-), bengkak atau benjolan di
rahang bawah (-), batuk (+), pilek (-), nyeri telinga (-), napsu makan menurun
(+), demam (+) tidak terlalu tinggi dan naik-turun, badan terasa lesu (-), nyeri
sendi (-). Pasien berobat ke Dokter Umum dan dikatakan amandel sedang
meradang. Pasien diberi obat dan keluhan berkurang.
± 2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri saat menelan (+). Nyeri menelan
dirasakan saat memakan makanan yang lunak seperti bubur dan nyeri saat
minum (+). Pasien juga mengeluh adanya rasa mengganjal di tenggorokan
(+), bau mulut (+), mulut kering (+), gigi berlubang (+), ludah berlebihan(-),
sulit membuka mulut (-), suara menggumam (-), bengkak atau benjolan di
rahang bawah (-), batuk (+) tidak berdahak, pilek (+), hidung tersumbat (+),
nyeri telinga (-), napsu makan menurun (+), demam (+) tidak terlalu tinggi
dan naik-turun, badan terasa lesu (-), nyeri sendi (-). Pasien berobat ke Dokter
Umum dan dikatakan amandel meradang. Pasien diberi obat namun keluhan
tidak berkurang. Pasien datang ke Poliklinik THT-KL RSMH Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat tonsilitis sebelumnya (+) sejak ± 1 tahun yang lalu, keluhan
hilang timbul
- Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
- Riwayat alergi (-), kelainan darah (-)

Riwayat Pengobatan
- Riwayat berobat ke Dokter Umum dengan dikatakan amandel (+),
diberikan obat berupa antibiotik cefixime dan paracetamol
- Riwayat operasi (-)

4
Riwayat Kebiasaan
- Pasien sering mengkonsumsi makanan yang pedas dan keras seperti
keripik, berbumbu / penyedap rasa, dan makanan ringan/ snack kemasan
- Ibu pasien mengatakan pasien mendengkur saat tidur
- Pasien menyikat gigi 2 kali sehari (pagi hari dan sore hari)

2.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Gizi : Normoweight
Tekanan Darah : 110/70 mmHg Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit Suhu : 37,8ºC
Jantung : BJ I & II reguler normal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Suara napas vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen : BU (+) normal; Hepar: tidak teraba; Lien: tidak teraba
Esktremitas : Akral hangat, edema (-), CRT <2 detik

Status Lokalis
Telinga

I. Telinga Luar Kanan Kiri


Regio Retroaurikula
- Abses Tidak ada Tidak ada
- Sikatrik Tidak ada Tidak ada
- Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
- Fistula Tidak ada Tidak ada
- Jaringan Granulasi Tidak ada Tidak ada

Regio Zigomatikus
- Kista Brankial Klep Tidak ada Tidak ada
- Fistula Tidak ada Tidak ada
- Lobulus Aksesorius Tidak ada Tidak ada

5
Aurikula
- Mikrotia Tidak ada Tidak ada
- Efusi perikondrium Tidak ada Tidak ada
- Keloid Tidak ada Tidak ada
- Nyeri tarik aurikula Tidak ada Tidak ada
- Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada

Meatus Akustikus Eksternus


- Lapang/sempit Lapang Lapang
- Oedema Tidak ada Tidak ada
- Hiperemis Tidak ada Tidak ada
- Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
- Erosi Tidak ada Tidak ada
- Krusta Tidak ada Tidak ada
- Sekret Tidak ada Tidak ada
- Bekuan darah Tidak ada Tidak ada
- Cerumen plug Tidak ada Tidak ada
- Epithelial plug Tidak ada Tidak ada
- Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada
- Debris Tidak ada Tidak ada
- Benda asing Tidak ada Tidak ada
- Sagging Tidak ada Tidak ada
- Exostosis Tidak ada Tidak ada

II. Membran Timpani Intak Intak


- Warna Putih Putih
- Bentuk Bulat Bulat
- Pembuluh darah Tidak ada Tidak ada
- Refleks cahaya Positif Positif
- Retraksi Tidak ada Tidak ada
- Bulging Tidak ada Tidak ada
- Ruptur Tidak ada Tidak ada
- Perforasi Tidak ada Tidak ada
6
- Pulsasi Tidak ada Tidak ada
- Sekret Tidak ada Tidak ada
- Tulang pendengaran Baik Baik
- Kolesteatoma Tidak ada Tidak ada
- Polip Tidak ada Tidak ada
- Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada

Gambar Membran Timpani

III. Tes Khusus Kanan Kiri


1. Tes Garpu Tala
Tes Rinee Positif Positif
Tes Weber Lateralisasi (-) Lateralisasi (-)
Tes Scwabach Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa

2. Tes Audiometri Tidak Tidak


dilakukan dilakukan
3. Tes Fungsi Tuba
Tes Valsava Tidak Tidak
Tes Toynbee dilakukan dilakukan
4. Tes Kalori
Tes Kobrak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

7
Hidung
I. Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
- Tes Aliran Udara Normal Normal
- Tes Penciuman
Teh Normal Normal
Kopi Normal Normal
Tembakau Normal Normal

II. Hidung Luar Kanan Kiri


- Dorsum nasi Normal Normal
- Akar hidung Normal Normal
- Puncak hidung Normal Normal
- Sisi hidung Normal Normal
- Ala nasi Normal Normal
- Deformitas Tidak ada Tidak ada
- Hematoma Tidak ada Tidak ada
- Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
- Krepitasi Tidak ada Tidak ada
- Hiperemis Tidak ada Tidak ada
- Erosi kulit Tidak ada Tidak ada
- Vulnus Tidak ada Tidak ada
- Ulkus Tidak ada Tidak ada
- Tumor Tidak ada Tidak ada
- Duktus nasolakrimalis Tidak Tidak
tersumbat tersumbat
III. Hidung Dalam Kanan Kiri

1. Rinoskopi Anterior
a. Vestibulum nasi
- Sikatrik Tidak ada Tidak ada

8
- Stenosis Tidak ada Tidak ada
- Atresia Tidak ada Tidak ada
- Furunkel Tidak ada Tidak ada
- Krusta Tidak ada Tidak ada
- Sekret Serous Serous

b. Kolumela
- Utuk/tidak utuh Utuh Utuh
- Sikatrik Tidak ada Tidak ada
- Ulkus Tidak ada Tidak ada

c. Kavum nasi
- Luasnya Lapang Lapang
- Sekret Serous Serous
- Krusta Tidak ada Tidak ada
- Bekuan darah Tidak ada Tidak ada
- Perdarahan Tidak ada Tidak ada
- Benda asing Tidak ada Tidak ada
- Rinolit Tidak ada Tidak ada
- Polip Tidak ada Tidak ada
- Tumor Tidak ada Tidak ada

d. Konka inferior
- Mukosa Eutrofi Eutrofi
Basah Basah
Licin Licin
- Warna Merah muda Merah muda
- Tumor Tidak ada Tidak ada

9
e. Konka media
- Mukosa Sulit dinilai Sulit dinilai
- Warna Sulit dinilai Sulit dinilai
- Tumor Sulit dinilai Sulit dinilai

f. Konka superior
- Mukosa Sulit dinilai Sulit dinilai
- Warna Sulit dinilai Sulit dinilai
- Tumor Sulit dinilai Sulit dinilai

g. Meatus Medius
- Lapang/sempit Sulit dinilai Sulit dinilai
- Sekret Sulit dinilai Sulit dinilai
- Polip Sulit dinilai Sulit dinilai
- Tumor

h. Meatus Inferior
- Lapang/sempit Lapang Lapang
- Sekret Tidak ada Tidak ada
- Polip Tidak ada Tidak ada
- Tumor Tidak ada Tidak ada

i. Septum Nasi
- Mukosa Eutrofi Eutrofi
Basah Basah
Licin Licin
- Warna Merah muda Merah muda
- Tumor Tidak ada Tidak ada
- Deviasi Tidak ada Tidak ada
- Krista Tidak ada Tidak ada

10
- Spina Tidak ada Tidak ada
- Abses Tidak ada Tidak ada
- Hematoma Tidak ada Tidak ada
- Perforasi Tidak ada Tidak ada
- Erosi septum anterior Tidak ada Tidak ada

Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam

Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal

2. Rinoskopi Posterior Kanan Kiri


- Postnasal drip Tidak ada Tidak ada
- Mukosa Licin Licin
Merah muda Merah muda
- Adenoid Sulit dinilai Sulit dinilai

11
- Tumor Sulit dinilai Sulit dinilai
- Koana Sulit dinilai Sulit dinilai
- Fossa Russenmullery Sulit dinilai Sulit dinilai
- Torus tobarius Sulit dinilai Sulit dinilai
- Muara tuba Sulit dinilai Sulit dinilai

Gambar Hidung Bagian Posterior

IV. Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri


- Nyeri tekan/ketok
Infraorbita Tidak ada Tidak ada
Frontalis Tidak ada Tidak ada
Kantus medialias Tidak ada Tidak ada
- Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
- Transluminasi
Regio infraorbita Tidak Tidak
Regio palatum durum dilakukan dilakukan

12
Tenggorok
I. Rongga Mulut
- Lidah (hiperemis/odem/ulkus) Normal
(mikroglosia/makroglosia) Tidak ada
(leukoplakia/gumma) Tidak ada
(papilloma/kista/ulkus) Tidak ada
- Gusi (hiperemis/odem/ulkus) Normal
- Bukal (hiperemis/odem) Normal
(vesikel/ulkus/mukokel) Tidak ada
- Palatum durum (utuh/terbelah) Utuh
(hiperemis/ulkus) Normal
(pembengkakan/abses/tumor) Tidak ada
(rata/tonus palatinus) Rata
- Kelenjar ludah (pembengkakan) Tidak ada
(striktur/ranula) Tidak ada
- Gigi geligi (mikro/makrodontia) Normal
(anodontia/supernumeri) Tidak ada
(kalkulus/karies) Kalkulus (+), Karies (+)

II. Faring Kanan Kiri


- Palatum molle (hiperemis/odem) Normal Normal
- Uvula (odem/asimetris/bifida) Ditengah Ditengah
- Pilar anterior (hiperemis/odem) Normal Normal
(pembengkakan/ulkus) Tidak ada Tidak ada
- Pilar posterior (hiperemis/odem) Normal Normal
(pembengkakan/ulkus) Tidak ada Tidak ada
- Pilar anterior (hiperemis/odem) Normal Normal
(pembengkakan/ulkus) Tidak ada Tidak ada
- Dinding belakang faring (odem) Normal Normal
(granuler/ulkus) Tidak ada Tidak ada

13
(sekret/membran) Tidak ada Tidak ada
- Lateral band (menebal/tidak) Tidak menebal Tidak menebal
- Tonsil palatina (pembesaran) T3 T3
(permukaan rata/tidak) Tidak rata Tidak rata
(konsistensi kenyal/tidak) Kenyal Kenyal
(lekat/tidak) Lekat Kripta Lekat Kripta
(kripta lebar/tidak) melebar melebar
(detritus/membran) Detritus Detritus
(hiperemis/odem) Hiperemis Hiperemis
Oedem Oedem
(ulkus/tumor) Tidak ada Tidak ada

Gambar Rongga Mulur dan Faring

Rumus Gigi Geligi

14
III.Laring Kanan Kiri
1. Laringoskopi tidak langsung
- Dasar lidah (tumor/kista) Normal Normal
- Tonsil lingualis (eutrofi/hipertrofi) Eutrofi Eutrofi
- Valekula (benda asing/tumor) Normal Normal
- Fosa piriforormis (benda asing) Normal Normal
- Epiglotis (hiperemis/odem/ulkus) Normal Normal
- Aritenoid (hiperemis/odem/ulkus) Normal Normal
- Pita suara (hiperemis/odem/tebal) Normal Normal
(nodus/polip/tumor) Tidak ada Tidak ada
(gerak simetris/asimetris) Simetris Simetris
- Pita suara palsu (hiperemis/odem) Normal Normal
- Rima glottis (lapang/sempit) Lapang Lapang
- Trakea Normal Normal
2. Laringoskopi langsung (direct) Tidak dilakukan

Gambar Laring (Laringoskopi Tidak Langsung)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium : Tidak dilakukan
- Mikrobiologi : Tidak dilakukan
- Tes Alergi : Tidak dilakukan

2.5. Diagnosis Banding


- Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut
- Abses Peritonsil

15
2.6. Diagnosis Kerja
Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut

2.7. Tatalaksana
Medikamentosa
- Eritromisin 500mg/8 jam PO selama 5 hari
- Paracetamol 500mg/8 jam PO
- Povidone Iodine 1% 50cc/12 jam garg

Non-Medikamentosa
- Diet (makanan lunak dan mengurangi makanan pedas, penyedap rasa,
pemanis buatan, dan makanan yang diawetkan)
- Oral hygiene yang baik
- Pro Tonsilektomi jika keluhan tidak membaik setelah terapi obat

KIE
- Edukasi mengenai keluhan pasien dan kemungkinan penyebab penyakit
(nyeri menelan akibat peradangan pada tonsil)
- Edukasi mengenai komplikasi yang mungkin terjadi (gangguan tidur
sampai terjadi gangguan napas)
- Edukasi mengenai pilihan pengobatan yang dapat dilakukan (pemberian
obat antibiotik, antipiretik, obat kumur antiseptik, dan alternatif
tonsiltektomi)
- Edukasi mengenai faktor kebiasaan yang harus diubah terkait penyakit
(kebiasaan makan berpenyedap rasa, pedas, diawetkan, dan oral hygiene)

2.8. Pemeriksaan Anjuran


- Kultur Swab Tenggorok/Tonsil

2.9. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad funtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa
tonsilaris. Tonsil berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm,
lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram.
Jaringan limfoid yang berkembang pada faring dengan baik dikenal
dengan nama cincin Waldeyer yang merupakan lingkaran berkesinambungan
yang mengelilingi saluran pernapasan dan saluran pencernaan bagian atas.
Pembagian tonsil terdiri atas:
a. Tonsil faringealis atau adenoid
b. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.
c. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.
d. Tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/ geriach’s tonsil).

Gambar 1. Anatomi Tonsil4

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh


tubuh dengan cara menahan mikroorganisme memasuki tubuh melalui mulut,
hidung, dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil
mengalami peradangan.

17
Perbatasan tonsil dibagi menjadi:
a. Anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus
b. Posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus
c. Medial oleh ruang orofaring
d. Superior oleh palatum mole
e. Inferior oleh tonsil lingual
f. Lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, lateral tonsil
ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan
permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil
membentuk kantong yang dikenal dengan kripta.
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga
epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun
pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan
mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan
epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi
kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil.

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
a. Postero inferior a. palatina asendens, cabang a. fasialis
b. Antero inferior a. tonsilaris, cabang a. fasialis
c. Antero media a. lingualis dorsalis, cabang a. maksilaris interna
d. Postero superior a. faringeal asendens, cabang a. karotis eksterna
e. Antero superior a. palatina desendens dan cabangnya, a. palatina
mayor dan minor
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke v. lingualis
dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke v. jugularis
Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian
lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring. 4

18
Gambar 2. Vaskularisasi Tonsil4

Fisiologi Tonsil
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu: 1. Menangkap dan mengumpulkan benda
asing dengan efektif 2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel
plasma yang bersal dari diferensiasi limfosit B. Limfosit terbanyak
ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. 8 Bersama-sama dengan adenoid
limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut.
Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil
berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit
terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh.15 Antigen
dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa
(sel M), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit yang
terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini
akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk
imunoglobulin IgM pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA.
Sebagian sel B menjadi sel memori. Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara pasif
akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen rendah akan dihancurkan
oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon
proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap

19
antigen mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi
respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi
sel dan pembentukan imunoglobulin12. Aktivitas tonsil paling maksimal
antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat
puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B
relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta
retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan
rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen.
Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan
produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum
jugaberkurang.8
Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik
a. Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik
Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan
kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada
beberapa tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi
tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya bakteri ke dalam
jaringan tonsil. Jika bakteri dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka
bakteri ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya baktero akan
mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap
fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak
mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya
dalam suatu kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah
digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti,
tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan
untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang
bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam
fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri
dengan proses oksidasi, di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom.
Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan

20
mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom
membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan
bakteri dengan proses digestif.
b. Mekanisme Pertahanan Spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan
tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas
bawah. Tonsil dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan
resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Disamping itu tonsil
dan adenoid juga dapat menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk mengikat
sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula
yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin.
Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E,
sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah
proses degranulasi. Proses ini menyebabkan keluarnya histamin,
sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis,
urtikaria, dan angioedema, dengan teknik immunoperoksidase dapat
diketahui bahwa Ig-E dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel
yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Mekanisme
kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses
immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A
mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A
merupakan barrier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk
menghambat proses bakteriolisis.
- Jaringan limfoid hipofaring tersebar di seluruh permukaan mukosa
hipofaring sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid),
dan tidak ada jaringan limfoid spesifik pada daerah ini.
- Jaringan limfoid laring memegang peranan yang sangat penting
dalam klinik terutama hubungannya dengan proses keganasan.
- Daerah gotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak
memiliki jaringan limfoid

21
- Daerah supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak
terutama pada plika ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari
insersi anterior plika arieloglotika dan berakhir sebagai pembuluh
yang lebih kecil sepanjang bundle neurovascular laryng. Jaringan
limfoid supraglotik ini bertanggung jawab terhadap metastase
karsinoma bilateral dan kontralateral.
- Jaringan limfoid Infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi
dapat terjadi invasi karsinoma bilateral dan kontralateral melalui
jaringan limfoid pre dan paratrakeal.
Seluruh jaringan limfoid daerah laring seluruhnya bermuara ke
jaringan limfoid servikal superior dan inferior dalam.

2.2 Tonsilitis
2.2.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan
kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual
(tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring / Gerlach's tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air
bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,
terutama pada anak.6
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap
sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran
tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi
fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan
tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.9

2.2.2 Epidemiologi
Tonsilitis dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering
pada anak usia di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun
dengan tonsilitis akut, 15% dari kasus yang ditemukan disebabkan
oleh bakteri streptokokus, sisanya itu biasanya virus. Pada anak-
22
anak yang lebih tua, sampai dengan 50% dari kasus disebabkan
streptococus pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi pada laki-
laki dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata.
Menurut National Center of Health Statistics di United States
prevalensi penyakit tonsilitis pada anak yang berusia di bawah 18
tahun didapatkan 24,9% dari 1000 orang anak. Pada penelitian
Khasanov et al di Rusia mengenai prevalensi tonsilitis kronis pada
keluarga, didapatkan 335 anak usia 1-15 tahun dari 321 keluarga
mengalami penyakit tonsilitis kronis. Seperti halnya pada
penelitian Khan et al di RS Khyber Peshawar Pakistan pada
periode April 2011 sampai dengan Mei 2012, dilakukan analisa
tentang distribusi penyakit Telinga Hidung Tenggorok (THT) dan
didapatkan 8980 orang menderita tonsilitis kronis (27,37%) dari
32.800 total sampel. Dalam penelitian ini tonsilitis kronis berada di
urutan teratas dari insiden penyakit THT lainnya. Tarasov dan
Morozov juga melakukan pemeriksaan kesehatan pada anak dan
dewasa, mendapatkan total penyakit THT berjumlah 190-230 per
1.000 penduduk, dan 38,4% di antaranya menderita penyakit
tonsilitis kronis.2
Di Indonesia, tonsilitis kronis juga menjadi salah satu peyakit
THT yang paling banyak dijumpai terutama pada anak. Menurut
data dari RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang diketahui jumlah
penderita tonsilitis pada tahun 2017 berjumlah 53 orang, angka ini
mengalami peningkatan dari angka insidensi tonsilitis pada tahun
sebelumnya yang berjumlah 47 orang.

2.2.3 Etiologi
Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis viral
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Jika terjadi infeksi virus Coxschakie, maka pada

23
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Gejala
tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Pada kasus pasien diedukasi untuk beristirahat
dan minum yang cukup. Analgetika dan antivirus diberikan jika
gejala berat.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan grup A Streptococcus B
Hemolyticus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus,
Streptococcus viridan dan Streptococcus pyogenes. Infiltrasi
bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear
sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara
klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai
bercak kuning. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang luas
disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak- bercak detritus ini
menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis
lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga
terbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane) yang
menutupi tonsil.
c. Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa
ialah:
Tonsilitis difteri
Penyebab tonsilitis difteri ialah Coryne bacterium
diphteriae, bakteri yang termasuk Gram positif dan hidung
di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh bakteri ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03
satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan

24
dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2 -5
tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini
Tonsilitis septik (septic sore throat)
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptococcus B
Hemolyticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat
timbul epidemi.
Angina Plaut Vincent
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau
triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene
mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan
amidopirin, sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak
ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus
tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan
genitalia dan saluran cerna.
Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan
blastomikosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero
membranosa bilateral. Membran semu yang menutupi
ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan regioinguinal.
Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus
dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan
serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah
domba (reaksi Paul Bunnel).
Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang

25
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut
yang tidak adekuat. Bakteri penyebabnya sama dengan tonsilitis
akut tetapi kadang-kadang berubah menjadi bakteri golongan gram
negatif.

2.2.4 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau
mulut. Tonsil berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri
ataupun virus yang masuk dan membentuk antibody terhadap
infeksi. Bakteri menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis
maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear.
Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis falikularis. Pada tonsilitis akut
dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi
parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga
sakit menelan dan demam tinggi (39C-40oC). Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan
akan terasa mengental.13,16 Tetapi bila penjamu memiliki kadar
imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi terhadap infeksi
virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh
ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan
terjadi penyakit (Arwin, 2010). Sistem imun selain melawan mikroba
dan sel mutan, sel imun juga membersihkan debris sel dan
mempersiapkan perbaikan jaringan. 13
Tonsillitis Kronis terjadi karena proses radang berulang yang
menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti
jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus. Infiltrasi
bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan radang
26
berupa keluarnya leukosit polymorphnuklear serta terbentuk
detritus yang terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan
epitel yang lepas.16
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah,2003 bahwa
adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil
tidak dapat membunuh semua bakteri sehingga menginfeksi tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu saat bakteri dan
toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan
umum tubuh menurun. Proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. roses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfasubmandibula.17
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil
mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam
kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga
memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang
masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya
infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya
bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan
bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripta
tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil. 17

2.2.5 Manifestasi Klinis


Tonsilitis Akut
a. Sakit tenggorokan dan disfagia. Anak kecil mungkin tidak
mengeluh sakit tenggorokan tapi akan menolak untuk makan.
b. Otalgia sebagai akibat dari nyeli alih melalui N.IX.

27
c. Demam, hal ini bisa menyebabkan kejang demam pada bayi.
d. Malaise, nyeri sendi, dan tanda-tanda dehidrasi.
e. Tonsil membesar dan hiperemis serta dapat menunjukkan pus
dari kriptus di tonsilitis folikularis (detritus).
f. Durasi perlangsungan tonsilitis akut biasanya 4 sampai 6 hari.

Gambar 3. Tonsilitis Palatina Akut

Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai


rasa nyeri tenggorok. Tonsilitis bakterial memiliki masa inkubasi
2-4 hari, gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh
yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan
dan rasa nyeri telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena
nyeri alih (referred pain) melalui saraf n. glosofaringeus (N. IX).
Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lakunar atau tertutup oleh
membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan. Sedangkan pada tonsilitis membranosa seperti tonsilitis
difteri, gambaran kliniknya dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala
umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum
seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak
berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.

28
Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring,
laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas.
Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini
bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai
leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester's hals. Gejala
akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf
kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Tonsilitis Kronis
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripti terisi oleh
detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering
di tenggorok dan napas berbau.

2.2.6 Penegakkan Diagnosis


Anamnesis
Keluhan lokal berupa nyeri menelan, nyeri tenggorok, rasa
mengganjal di tenggorok, mulut berbau (halitosis), demam,
mendengkur, gangguan bernafas, hidung tersumbat, batuk pilek
berulang. Keluhan sistemik berupa rasa lemah, nafsu makan
berkurang, sakit kepala dan nyeri sendi.
Pemeriksaan Fisik
Gambaran klinis bervariasi, dan diagnosis sebagian besar
tergantung pada inspeksi. Pada umumnya, terdapat dua gambaran
yang secara menyeluruh berbeda yang taurpaknya cocok dimasukkan
kategori tonsilitis kronis. Pada satu jenis tonsila membesar, dengan
adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta tampak

29
mengalami stenosis, tapi eksudat, yang seringkali purulen, dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tenebut. Pada beberapa kasus satu
atau dua kripta membesar dan suatu bahan "seperti keju" atau
"seperti dempul" amat banyak dapat diperlihatkan dari kripta. Infeksi
kronis biasanya berderajat rendah adalah nyata. Gambaran klinis lain
yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat
lekukan dan seringkali dianggap sebagai "kuburan" di mana tepinya
terlihat hiperemis, dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis,
seringkali dapat diperlihatkan dari kripta.6 Diagnosis ditegakkan
berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan orofaring dengan
melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi,
pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit),
pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan
radiologik dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini
lebih sering dilakukan pada anak). Dalam penegakan diagnosis
dapat dilakukan pemeriksaan pembesaran tonsil dalam ukuran
T0 – T4 (Friedman Grading Scale):7

a. T0 tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat


b. T1 batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai 1⁄4
jarak pilaranterior – uvula
c. T2 batas medial tonsil melewati 1⁄4 jarak pilar anterior uvula
sampai 1⁄2 jarak anterior – uvula
d. T3 batas medial tonsil melewati 1⁄2 jarak pilar anterior –
uvula sampai3⁄4 jarak pilar anterior – uvula
e. T4 batas medial tonsil melewati 3⁄4 jarak anterior – uvula
sampai uvula atau lebih

30
Gambar 4. Grading Tonsil (Friedman Grading Scale)7

Pemeriksaan Penunjang
a. Inflammatory parameter: pemeriksaan darah menunjukkan
leukositosis, dan erhytrocyte sedimentation rate (ESR) dan C-
reactive protein (CRP) meningkat.
b. Pemeriksaan bakteri: sebuah kultur bakteri jarang diambil dari
apus tenggorok karena biasanya membutuhkan 2-3 hari untuk
mendapatkan hasil yang definitif, dimana waktu pengobatan
sudah harus dimulai. Selain itu sebaiknya dilakukan sebuah
rapid immunoassay, yang dapat mengidentifikasi organisme
penyebab seperti Streptococcus grup A hanya dalam waktu 10
8
menit.

2.2.7 Diagnosis Banding


Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran
yang menutupi tonsil seperti tonsilitis difteri, angina plaut Vincent
serta mononukleosis infeksiosa.
Tonsilitis juga dapat didiagnosis banding dengan abses
peritonsil. Pada pasien abses peritonsil dapat ditemukan
odinofagia, otalgia, mual, foetor ex ore, hipersalivasim hot potato
voice dan kadang-kadang ditemukan trismus. 11

31
2.2.8 Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah
menyebar dari satu penderita ke orang lain. Risiko penularan dapat
diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau
yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan
perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun
sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya
diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang
merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan
mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain. 10 


2.2.9 Tatalaksana
Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan
pembedahan. Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi
infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut maupun tonsilitis
rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Antibiotik jenis
penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus.
Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan
bakteriologi sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain
jenis penisilin.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus di
mana penatalaksanaan medis atau yang lebih konservatif gagal untuk
meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk
pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari, dan
usaha untuk mernbersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi
atau oral.
a. Farmakologis
Tonsilitis Bakterial
Antibiotika spektrum luas penisilin, eritromisin. Antipiretik
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.

32
Tonsilitis Difteri
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit
tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25 - 50 mg per kg
berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari.
Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini menular,
pasien harus diisolasi.
Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3
minggu.
Tonsilitis Kronis
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur
atau obat isap.

b. Pembedahan
The American Academy of Otolaryngology - Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995
menetapkan indikasi tonsilektomi meliputi:15
a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun
walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi
dan menyebabkan gangguan pertum- buhan orofasial.
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil
dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan
menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale
d. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses
peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
e. Napas bau yang tidak berhasil denganpengobatan.
f. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup
A streptococcus B hemoliticus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanyakeganasan
h. Otitis media efusa / otitis media supuratif.
33
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda,
namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan
indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu diindikasikan untuk
terapi tonsilitis Kronis dan berulang. Saat ini indikasi utama
adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan
The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery(AAO-HNS) tahun 2011 indikasi tonsilektomi menjadi:
Indikasi Absolut
a. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan
nafas atas, disfagia berat, gangguan tidur, atau terdapat
komplikasi kardiopulmonal.
b. Abses peritonsilar yang tidak respon terhadap
pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan
fase akut.
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d. Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk
pemeriksaan patologi.
Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun,
meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang
adekuat.
b. Halitosis akibat tonsilitis Kronis yang tidak ada
respon terhadap pengobatan medik.
c. Tonsilitis Kronis atau berulang pada pembawa
Streptococcus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik bakteri resisten terhadap β-laktamase.15

2.2.10 Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan Kronis yaitu :
a. Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum
mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan
biasanya disebabkan oleh Streptococcus group A.

34
b. Otitis media efusi
Patofisiologi utama dari terjadinya otitis media efusi karena
obstruksi tuba eustachius akibat pembesaran tonsil. Mekanisme
yang menghubungkan tonsilitis kronis dan otitis media efusi
selain dari mekanisme obstruksi adalah melalui
perkontinuitatum. Penyebaran mikroorganisme secara
perkontinuitatum dari rongga mulut ke rongga telinga melalui
tuba eustachius ini dapat pula dipengaruhi oleh imunitas pasien,
bila imunitasnya sangat baik maka mikroorganisme pun akan
sulit menyebar ke rongga telinga bagian tengah

c. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi
ke dalam sel-sel mastoid.

2.2.11 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat
dan pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul
dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik
diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap,
bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang
singkat. Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa
penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang
paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus
– kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi
serius seperti demam rematik atau pneumonia.18

35
BAB IV ANALISIS
KASUS

Seorang laki-laki, 24 tahun, datang ke poliIklinik Telinga Hidung dan


Tenggorok RSMH pada Senin 27 Mei 2019, dengan keluhan nyeri serta terdapat
rasa mengganjal di tenggorokan dan ada demam. Keluhan dirasakan sejak ±2
hari berobat, pasien mengeluh nyeri saat menelan (+). Nyeri menelan dirasakan
saat memakan makanan yang lunak seperti bubur dan nyeri saat minum (+).
Pasien juga mengeluh adanya rasa mengganjal di tenggorokan (+), bau mulut
(+), mulut kering (+), gigi berlubang (+), ludah berlebihan (-), sulit membuka
mulut (-), suara menggumam (-), bengkak atau benjolan di rahang bawah (-),
batuk (+) tidak berdahak, pilek (+), hidung tersumbat (+), nyeri telinga (-),
napsu makan menurun (+), demam (+) tidak terlalu tinggi dan naik-turun,
badan terasa lesu (-), nyeri sendi (-). Dari informasi yang didapatkan
melalui auto dan alloanamnesis, diketahui bahwa kemungkinan abses
peritonsil bisa disingkirkan yaitu gejala seperti salivasi menigkat tidak ada, sulit
membuka mulut atau trimus tidak ada, selain itu keluhan suara menggumam atau
hot chewing potato pada pasien ini tidak ada. Batuk ada namun tidak berdahak,
ini merupakan respon tubuh karena adanya rasa mengganjal, keluhan ini ada pada
pasien-pasien tonsilitis. Demam ada, sebagai respon radang yang terjadi,
keluhan lain seperti badan lesu dan nyeri sendi tidak ada, sehingga fokus
infeksi mengarah ke tenggorok/tonsil.
Sejak ± 5 bulan yang lalu, pasien mengeluh nyeri menelan (+). Nyeri
menelan dirasakan saat memakan makanan yang padat dan keras seperti nasi,
roti, atau keripik. Pasien juga mengeluh nyeri saat menelan (+), rasa
mengganjal di tenggorokan (+), bau mulut (-), mulut kering (-), gigi berlubang
(+), ludah berlebihan (-), sulit membuka mulut (-), suara menggumam (-),
bengkak atau benjolan di rahang bawah (-), batuk (-), pilek (-), nyeri telinga (-
), napsu makan menurun (+), demam (+) tidak terlalu tinggi naik-turun, badan
terasa lesu (-), nyeri sendi (-). Pasien berobat ke Dokter Umum dan dikatakan
mengalami amandel. Pasien diberi obat dan keluhan berkurang. ± 2 bulan

36
SMRS, pasien mengeluh nyeri saat menelan (+).bau mulut (+), mulut kering
(+), dan keluhan lainnya yang sama. Pasien berobat ke Dokter Umum dan
dikatakan amandel sedang meradang. Pasien diberi obat dan keluhan
berkurang. Dari riwayat kebiasaan pasien sering mengkonsumsi makanan
yang pedas dan keras seperti keripik, berbumbu/penyedap rasa, dan makanan
ringan/snack kemasan, pasien mendengkur saat tidur, dan pasien menyikat
gigi 2 kali sehari (pagi dan sore hari).
Hingga saat ini, keluhan sudah berulang tiga kali, sehingga mengarah
pada infeksi kronis pada tonsil. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada
kripta tonsil mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam
kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan
bakteri masuk ke parenkim tonsil. Parenkim tonsil yang normal jarang ditemukan
adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri
yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap dalam kripta tonsil menjadi sumber
infeksi berulang terhadap tonsil sehingga pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua bakteri dan kemudian tonsil menjadi sarang bakteri.
Saat dilakukan pemeriksaan, keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran kompos mentis, nadi 88x/menit, laju pernapasan 20x/menit,
suhu 37,80C dan tekanan darah 110/80 mmHg. Pada pemeriksaan rongga mulut
didapatkan terdapat kalkulus (+) dan karies (+) pada gigi geligi pasien, dan
terdapat tonsil palatina bilateral membesar dengan ukuran T3-T3 dengan
permukaan tidak rata, konsistensi kenyal, tampak detritus, kripta melebar,
hiperemis dan oedem dan tidak tampak ulkus pada tonsil kanan dan kiri. .
Tidak terdapat hipersalivasi, trismus, hot chewing potato, dan benjolan di
rahang bawah sehingga kemungkinan abses peritonsil dapat disingkirkan.
Pemeriksaan fisik lainnya dari telinga, hidung, faring, dan laring dalam batas
normal
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penegakan diagnosis
mengarah ke tonsilitis akut, setelah melihat keadaan tonsil terdapat tanda-tanda
radang yaitu tonsil yang oedem, hiperemis dan nyero tonsilitis kronis seperti

37
kripta yang melebar. Untuk saat ini tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang pada kasus, karena kemungkinan abses peritonsil dapat disingkirkan.
Sehingga pasien Tn. KS, 24 tahun datang dengan keluhan nyeri menelan
didiagnosis sebagai tonsilitis kronis eksaserbasi akut.
Pasien lalu diberikan terapi farmakologi dan non-farmakologi. Terapi
farmakologi mendapatkan amoxicilin 500 mg tablet diminum setiap 8 jam per
oral. Diketahui amoxicilin merupakan golongan beta laktam yang dapat
mengobati infeksi disebabkan oleh bakteri gram positif. Lalu mendapat
Paracetamol 500mg tablet diminum setiap 8 jam per oral, sebagai analgetik-
antipiretik diberi untuk gejala demam pada pasien. Penggunaan dihentikan saat
pasien tidak demam lagi. Povidone Iodine 1% 50cc setiap 2 jam dikumurkan,
dapat mengurangi keluhan seperti tenggorokan kering dan bau mulut, sehingga
timbul rasa nyaman pada penderita.
Sedangkan terapi Non-Farmakologi pasien melakukan Diet (makanan lunak
dan mengurangi makanan pedas, penyedap rasa, pemanis buatan, dan makanan
yang diawetkan), oral hygiene yang baik, disarankan Tonsilektomi jika keluhan
tidak membaik setelah terapi obat. Selain itu, edukasi diberikan pada pasien
meliputi:
- Edukasi mengenai keluhan pasien dan kemungkinan penyebab
penyakit (nyeri menelan akibat peradangan pada tonsil)
- Edukasi mengenai komplikasi yang mungkin terjadi (gangguan tidur
sampai terjadi gangguan napas)
- Edukasi mengenai pilihan pengobatan yang dapat dilakukan
(pemberian obat antibiotik, antipiretik, obat kumur antiseptik, dan
alternatif tonsiltektomi)
- Edukasi mengenai faktor kebiasaan yang harus diubah terkait
penyakit (kebiasaan makan berpenyedap rasa, pedas, makanan yang
diawetkan, dan oral hygiene)

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakhi, Ivan M, Novialdi dan Elmatris. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis


pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2016; 5(2):436-442.
2. Skevas T, Christoph K, Serkan S, Peter K, Plinkert, Ingo B. Measuring quality
of life in adult patients with chronic tonsillitis. The Open Otorhinolaryngology
Journal.2010;(4):34-46.
3. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam:
Iskandar N, Efiaty J, Jenny B, Ratna D,Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-
KL. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. Hlm.195-203.
4. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta.
5. Novialdi dan Al Hafiz. Pengaruh Tonsilektomi Terhadap Kadar Interferon-γ
dan Tumor Necrosis Factor-α pada Pasien Tonsilitis Kronis. Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
6. Perhati. 2015. Panduan Praktik Klinis Prosedur Tindakan di Bidang Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Jakarta.
7. Adams, George L. penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam George
L A, Lawrence R B, Peter A H, Editor. Buku Ajar Penyakit THT Edisi
6.Jakarta: EGC; 2015. Hlm330-342.
8. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In: Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck
Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2006:p.1183-98.
9. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and adenotonsilar desease. In :
Cummings CW editor. Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th ed.
Philadelphia Elsevier Mosby.2007:p.4136-65.
10. Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity, oropharynx, and
nasopharynxn. In: Snow JB, Ballenger JJ editors. Ballenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed. Hamilton Ontario. Bc

39
Decker2003:p.1020-47.
11. Pengurus Pusat PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktik Klinis di bidang THT-
KL Volume 1. PERHATI-KL: Indonesia.
12. Suwento R. Epidemiologi penyakit THT di 7 popinsi. Kumpulan Makalah dan
Pedoman Kesehatan Telinga. Lokakarya THT komunitas. Palembang. PIT
PERHATI-KL.2001:8-12
13. Kurien M, et al. 2003. Fine needle aspiration in chronic tonsilitis: reliable and
valid diagnostic test. J Laryngol Otol. 117(12):973-5.
14. Dias E P, Rocha M L, Calvalbo M O, Amorium L M.2009. Detection of EBV
in Reccu rent Tonsillitis . Sao Paulo, Brazil.Vol 75 No1. p 4 – 30. Diambil
darihttp://scielo.br/pdf/rboto
15. NHS. 2010. Management of sore throat and indication for tonsillectomy a
national clinical guideline. Scotland :NHS.
16. American Academy of Otolaryngology— Head and Neck Surgery 2011
Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Available from:
http://www. entnet.org/content/tonsillectomy-children American Academy Of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery 2011. Tonsils and Adenoids.
Available from: [Accessed from : 8 Desember 2018].
17. Franz C, Mennicken U. 1977. Chronic tonsillar hypertrophy as a cause of cor
pulmonale, pulmonary oedema, and hypersomnia in children. Disch Med
Wochenschr.102(31):1120-3.
18. Harrington R, 1978. Tonsillar hypertrophy and chro nic hypoxia. Med J
Aust 2 (5), pp 175-7.
19. Ng, WJS, dan AR Sinnathuray. 2012. Nasopharyngel (Tornwaldt’s) Cyst:
Rare Finding in a Habitual Snorer. Malays Fam Physician. 7(2-3):39-41

40

Anda mungkin juga menyukai