Anda di halaman 1dari 27

KONSEP DASAR TEORI DAN KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN PERTUSIS

OLEH KELOMPOK 3 :

1. NI WAYAN PUSPITAWATI (C2119159)


2. RISKAWATI (C2119160)
3. KADEK WIWIN DHARMAYANTI (C2119161)
4. NI MADE SRI APRYASRI (C2119162)
5. NI MADE FITRI MASTIANINGSIH (C2119163)
6. I GUSTI PUTU EDY HERMAWAN (C2119164)
7. LUH DE DIAH JENITRI (C2119165)
8. PUTU SHARMILLA PRAMESTY DEWI (C2119166)
9. NI KADEK YULIANTARI (C2119167)
10. LILIS SUSY SULISTRIANA (C2119168)
11. ANAK AGUNG GEDE BRAHMA KUMBARA (C2119169)
12. KADEK ARIANI (C2119170)
13. NI PUTU TRI PRAMANA SANDI SUANDA (C2119171)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA USADHA BALI


PROGRAM STUDI LINTAS JALUR S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019
PERTUSIS

A. Definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali
ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit endemis di Eropa pada tahun 1.600
an (Altunaiji, 2012).
Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan batuk rejan,
“whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan nafas yang
keras atau inspiratory whoop yang mengikuti serangan batuk yang hebat sebelumnya.
Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan oleh Bordatella
pertussis.Pertussis-like syndrome disebabkan oleh spesies Bordetella lain seperti B.
parapertussis, B. bronchiseptica dan B. holmesii, dengan gejala umum yang mirip
dengan penyakit pertusis namun lebih ringan (Zouhari et al., 2012).
Batuk pada pertussis dapat berlangsung beberapa hari, minggu, hingga berbulan-
bulan. Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan dapat menyebabkan gangguan
tidur yang signifikan (Heininger, 2012).

B. Epidemiologi
Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin, yaitu sebelum
pertengahan 1940 an). Pertussis bisa dicegah dengan vaksinasi dan sejak adanya
imunisasi rutin, morbiditas dan mortalitas batuk rejan telah menurun tajam. Meskipun
sudah ada vaksinasi, penyakit tersebut belum diberantas dan dilaporkan terdapat
peningkatan kejadian selama dua dekade terakhir pada tahun 1990 an. Hal tersebut masih
berlangsung hingga saat ini (Muloiwa et al., 2015). Menurut WHO (1999) terdapat 20
hingga 40 juta kasus batuk rejan setiap tahunnya. Sembilan puluh persen kasus terjadi di
negara berpendapatan rendah dan mengakibatkan sekitar 200.000- 300.000 kematian tiap
tahunnya. Sementara menurut Espinoza et al (2015) dan Gabutti dan Rota (2012), di
seluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95% diantaranya
terjadi di negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap
tahunnya. Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan angka
peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-negara yang cakupan vaksinasinya tinggi
sekalipun (Cherry, 2012; Espinoza et al., 2015; Kayina et al., 2015). Puncak insidensi
pertusis terjadi setiap 2 – 5 tahun sekali (Crespo et al., 2011). Berdasar data CDC, di
Amerika Serikat saat ini terdapat kejadian pertusis terbanyak dalam 50 tahun terakhir.
Jumlah kejadiannya mencapai 800.000 sampai 1 juta kasus setiap tahunnya (Cherry,
2012).

Gambar 1. Insidensi pertusis per 100.000 populasi di Amerika Serikat, antara tahun 1980
– 2011 (Cherry, 2012).
Meskipun orang dewasa dan anak-anak memiliki gejala ringan hingga sedang, bayi
kurang dari 6 bulan, yang belum menerima 3 dosis vaksin DTP (Difteri-Pertussis-
Tetanus) dan anak pra-sekolah yang belum diimunisasi lengkap memiliki resiko tinggi
terjadinya pertussis berat dan berujung pada komplikasi yaitu kematian. Batuk rejan
sangat menular. 70-100% anggota rumah tangga yang rentan dan 50-80% kontak sekolah
yang retan menjadi terinfeksi setelah terpapar kasus pertussis akut (Altunaiji, 2012).
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur, terutama pada anak-anak,
dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak berusia kurang dari 1 tahun
(Gabutti dan Rota, 2012).CDC pada tahun 1997-2000 menunjukkan bahwa 29.048 orang
dengan batuk rejan, 8.390 orang (29%) berusia < 1 tahun, 3.359 orang (12%) berusia 1-4
tahun, 2.835 orang (10%) berusia 5-9 tahun, 8.529 orang (29%) berusia 10-19 tahun, dan
5.935 orang (20%) berusia > 20 tahun (Altunaiji, 2012).
Tingkat kejadian rata- rata tahunan yang tertinggi terjadi pada bayi berusia < 1
tahun (55,5 kasus per 100.000 penduduk). Anak usia 1-4 tahun lebih rendah, yaitu 5,5
kasus per 100.000 penduduk. Anak usia 5-9 tahun 3,6 kasus per 100.000 penduduk.
Anak usia 10-19 tahun 5,5 kasus per 100.000 penduduk, dan individu berusia > 20 tahun
sebanyak 0,8 kasus per 100.000 penduduk (Altunaiji, 2012).
Angka kematian di negara berkembang diperkirakansekitar 3% hal ini dikarenakan
negara terbatas dalam hal sumber daya karenasejumlah faktor, termasuk misdiagnosis,
kurangnya pengetahuan, dan pelaporan kasus(Hartzel dan Joshua, 2014).
Sebelum adanya antibiotik dan imunisasi, insidensi dan case fatality rate dari
penyakit ini sangat tinggi. Adanya terapi antibiotik dan imunisasi sangat jauh
menurunkan angka kejadian dan kematian dari penyakit ini. Vaksinasi juga menggeser
insidensi penyakit dari yang pada awalnya umum menyerang anak-anak dengan usia
dini, menjadi lebih sering pada dewasa. Hal tersebut karena munculnya imunitas tubuh
pasca vaksinasi dan menghilangnya kekebalan setelah 4 – 12 tahun (Gabutti dan Rota,
2012). Sementara apabila seseorang terinfeksi pertusis secara alami, maka kekebalan
alaminya akan menghilang setelah 4 – 20 tahun (Zepp, et al., 2011).
Gambar 2. Epidemiologi pertusis pre dan post imunisasi (Gabutti dan Rota, 2012)

Gambar 3. Insidensi pertusis per 100.000 populasi di Eropa tahun 2009, dikelompokkan
berdasar usia (Gabutti dan Rota, 2012)
Penelitian di Belanda pada tahun 2007, menyatakan bahwa saudara yang lebih tua
(usia 9 – 13 tahun) dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam penularan
penyakit kepada bayi yang baru lahir (Gabutti dan Rota, 2012).
Di Asia Pasifik, persebaran penyakit pertusis digambarkan seperti dalam gambar di
bawah ini pada rentang usia anak-anak. Di Indonesia penderita penyakit pertusis
terbanyak adalah usia di bawah satu tahun (Hartzel dan Joshua, 2014).

Gambar 4. Epidemiologi Pertusis di Asia Pasifik

Gambar 5. Sumber penularan Pertussis pada anak (Skoff et al., 2015)

Menurut Skoff et al. (2015), sumber penularan pertussis paling umum pada bayi
adalah dari saudara kandungnya. Strategi pencegahan pertussis melalui vaksinasi tetap
harus dioptimalkan.
C. Etiologi
Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah penyebab pertussis dan biasanya
menyebabkan pertussis sporadic (Altunaiji, 2012). B.pertussis adalah bakteri
coccobacillus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah menular melalui droplet
(Espinoza, 2015; Gabutti dan Rota, 2012). McGirr dan Fisman (2015) menyebutkan
bahwa B.pertussis adalah bakteri gram negatif yang menjadi patogen bagi manusia,
dengan tidak diketahui adanya reservoir hewan maupun lingkungan. Bordetella pertusis
pertama kali ditemukan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906(Malvin dan Jeffrey,
2014).Menurut Bolanos et al. (2011), B.pertussis pertama kali disebutkan oleh Guillaume
de Baillou (1538-1616) sebagai epidemi di Perancis. Catatan Nils Rosen von Reosenstein
menyebutkan bahwa penyakit dimulai di Perancis pada tahun 1414.
Spesies lainBordetella, terutama Bordetella parapertussis danBordetella
bronchiseptica, dapat menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan. Variasi
dalam ekspresi faktor pertusis mempengaruhi virulensi (Malvin dan Jeffrey, 2014).
D. Patofisiologi
Penularan terutama melalui saluran pernafasan, di mana Bordetella pertusis akan
terikat pada silia epitel saluran pernafasan. Bordetella pertusis tidak memasuki jaringan
sehingga tidak dijumpai dalam darah. Setelah mikroorganisme terikat pada sillia, maka
fungsi sillia akan terganggu sehingga aliran mukus/lendir terhambat dan terjadi
pengumpulan lendir. Adanya organisme ini pada permukaan saluran pernafasan dapat
terlihat dari bertambahnya sekret mukus. Dan lendir yang terbentuk dapat menyumbat
bronkus kecil hingga dapat menimbulkan empisema dan atelektasis.
E. Patogenesis
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu: fase kataral,
paroksismal, dan konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase kataral dan awal fase
paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini terjadi melalui droplet respiratorik
(Bolanos et al., 2011). Masa inkubasinya berkisar antara 7 – 10 hari, gejala klinis yang
terjadi bergantung pada usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh, vaksinasi, dan terapi
antibiotik yang diterima (Gabutti dan Rota, 2012), sementara menurut Altuniaji (2012),
masa inkubasi sekitar 7 hingga 10 hari (range 4-21 hari) dan bisa terjadi namun jarang,
selama 42 hari.
F. Manifestasi klinis
Manifestasi dari infeksi B.pertussis bermacam-macam mulai dari asimptomatis,
batuk-batuk ringan sampai batuk yang tak menentu sampai muntah pasca batuk.
Manifestasi bergantung dari beberapa faktor seperti riwayat infeksi sebelumnya, riwayat
imunisasi, jenis bakteri, dan jenis kelamin. Pasien dengan riwayat infeksi atau imunisasi
tidak terjadi limfositosis dan berbeda dengan pasien yang baru pertama kali terinfeksi.
Pada pasien pertusis demam bukan manifestasi klinis utama kecuali terdapat infeksi
sekunder seperti pneumonia (Cherry dan Paddock, 2012).
Manifestasi klinis pada pertusis dibagi berdasarkan stadiumnya, antara lain stadium
kataral, stadium paroksismal, dan stadium konvalesen, sebagai berikut (Marcdante et al.,
2011).
1. Stadium kataral
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata merah,
peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang berlangsung selama 1-2
minggu
2. Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal merupakan gejala paling khas pada pertusis yang berlangsung
selama 2-4 minggu. Batuk terjadi saat ekspirasi, sehingga pada anak kecil tidak
sempat bernapas dan menjadi sesak. Hal ini terjadi karena epitel pada saluran
napas mengalami nekrotik selain itu terdapat cairan mukus yang kental yang
menambah keparahan dari batuk. Bunyi “whoop” terjadi akibat tekanan inhalasi
pada glottis yang mengalami penyempitan setelah batuk paroksismal terjadi.
Seringkali pasien akan muntah pasca batuk.
3. Stadium Konvalesen
Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara bertahap sekitar 1-
2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara “whoop” juga sudah mulai
menghilang. Walaupun umumnya penyakit ini berlangsung selama 6-8 minggu
akan tetapi batuk masih dapat terjadi sampai berbulan-bulan apabila terjadi stress
fisik ataupun iritasi pada saluran pernapasan.
Menurut Altuniaji (2012), pertussis ditandai dengan adanya batuk berat spasme
(paroksism). Paroksism berlanjut tanpa inspirasi hingga akhir dan sering ditandai dengan
adanya whoopsaat inspirasi, muntah post-tussive, atau keduanya. Onset penyakit tersebut
perlahan namun mengejutkan, dengan gejala yang mirip dengan infeksi saluran nafas
atas minor. Selama 1 hingga 2 minggu pertama, umumnya terjadi coryza (a head cold)
dengan batuk non produktif yang intermitten. Fase ini diikuti oleh episode batuk
paroksismal yang berlangsung selama beberapa minggu. Puncak keparahan penyakit
terjadi setelah 1 atau beberapa minggu dari batuk paroksismal dan menurun perlahan
dengan periode konvalesen selama 2-6 minggu; periode konvalesen bisa berlangsung
hingga 3 bulan dalam beberapa kasus. Sementara menurut Espinoza (2012), gejala klinis
pasien pertusis dapat berupa:
- Demam
- Batuk yang berat
- Rinorrhea
- Distress pernafasan
- Wheezing
- Kongesti faring
- Berdahak
- Vomitus
- Diare
- Asthenia
- Kongesti abdominal
- Nyeri abdomen
- Nyeri kepala
- Otalgia
- Myalgia
Gejala klinis pada anak usia lebih dari 16 tahun biasanya tidak khas dan sulit dibedakan
dengan penyakit infeksi pernafasan lain (Miyasitha et al., 2013).
G. Pemeriksaan Penunjang
Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan kultur dan uji
molekuler salah satunya adalah PCR (Espinoza et al., 2015). IsolasiB. pertussis pada
spesimen klinis memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi sehingga banyak digunakan
untuk penegakan diagnosis, meskipun tingkat sensitifitasnya bergantung dari berbagai
macam faktor, seperti transportasi dan metode pemeriksaan laboratorium yang
digunakan, fase penyakit, usia pasien, status vaksinasi, dan terapi antibiotik yang telah
diterima sebelumnya. Untuk mengatasi kekurangan dari teknik kultur tersebut, telah
dikembangkan teknik amplifikasi DNA (seperti PCR) untuk mendeteksi DNA pertusis
dengan mentargetregio promoter dari gen yang mengkode ptxA, elemen insersi IS481
and IS 1001, gen adenylate cyclase, dan gen porin (Bayhan et al., 2015). Teknik
amplifikasi DNA dapat lebih cepat dan lebih sensitif dalam mendeteksi B. pertussis.
Namun dalam praktek klinis, diagnosis biasanya ditegakkan tanpa melakukan
pemeriksaan mikrobiologi untuk mempercepat pemberian terapi dan mencegah
komplikasi (Espinoza et al., 2015).
B. pertusis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran pernafasan, oleh karena itu,
pengambilan spesmen klinis dilakukan pada permukaan sel epitel bersilia yang terdapat di
tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi nasofaring. Pengambilan sputum atau epitel
rongga hidung bagian anterior tidak disarankan karena tidak mengandung epitel bersilia
yang adekuat. Aspirasi melalui pipa endotrakheal dan bronkoalveoler juga bisa dilakukan
untuk mengambil specimen (Zouhari e al., 2012).
Untuk swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat yang fleksibel.
Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk PCR. Swab dakron
direkomendasikan untuk PCR terutama apabila kedua prosedur kultur dan PCR
dilakukan. Swab dengan ujung kapas tidak direkomendasikan karena mengandung asam
lemak yang bersifat toksik terhadap Bordatella dan menginhibisi PCR. Gagang swab
diinsersi secara perlahan melalui lubang hidung dan diputar perlahan selama beberapa
detik. Idealnya, swab ditempelkan selama 10 detik pada dinding faring posterior sebelum
ditarik keluar.
Untuk mengumpulkan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran balita
disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with tubing melalui mucus trap.
Ujung kateter dimasukkan ke dalam lubang hidung menuju faring posterior, sepanjang
dasar nasofaring. Setelah aspirasi, kateter dibilas dengan 1 ml normal saline untuk
mengangkat spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai untuk dilakukan apabila
memungkinkan karena memiliki tingkat isolasi B. pertussis yang lebih tinggi. Namun
prosedur ini lebih sulit dan harus dikerjakan oleh tenaga medis yang professional
(Zouhari et al., 2012).
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan pemeriksaan.
Untuk keberhasilan transport, medium transport yang digunakan harus dapat mencegah
hilangnya B. pertussis dan mencegah pertumbuhan flora normal nasofaring. Medium
yang banyak dipilih adalah Regan – Lowe medium. Preinkubasi medium dilakukan pada
suhu 36°C selama semalam sebelum digunakan memungkinkan pertumbuhan Bordatella
maksimal dan meningkatkan multiplikasinya media transport non-nutritif seperti asam
Casamino yang terbuat dari asam hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan. Waktu
transport harus diusahakan secepat mungkin, jarak antara pengambilan sampel hingga
dilakukan kultur tidak boleh melebihi 24 jam (ZOuhari et al., 2015).
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalah agar Bordet–
Gengou (BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga mengandung banyak serat. Serat
berfungsi untuk menetralkan material toksik yang terkandung dalam agar maupun dalam
spesimennya sendiri. Medium ini juga mengandung gliserol sebagai agen penstabil dan
sumber karbon.
Intuk mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36°C ± 1°C dengan
tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembaban tinggi. Inkubasi pada udaran
dengan kadar karbondioksida tinggi harus dihindari. Plates diinkubasi selama 7 – 10 hari
(Zouhari et al., 2015).
Literatur menunjukkan bahwa isolasi B. pertussis kebanyakan berhasil jika
spesimen diambil antara fase kataral hingga awal fase paroksismal (Zouhari et al., 2015).
Pertusis dapat sulit didiagnosis pada anak berusia kurang dari 1 tahun pada musim
dingin, karena patogen lain seperti influenza juga umum menginfeksi. Pada kasus ini,
gejala akut pertusis dapat bertumpang tindih dengan bronkiolitis atau infeksi pernafasan
lain yang tidak spesifik (Espinoza et al., 2015).
H. Diagnosis
Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
2. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama lebih dari 2 minggu,
dengan minimal 1 dari gejala:
a. Serangan batuk yang hebat
b. Tarikan nafas yang keras/berat
c. Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
Kriteria laboratorum:
a. Isolasi Bordatella pertussis
b. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan PCR
c. Pemeriksaan serologi positif
Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14 hari dengan minimal
1 dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Suara nafas keras/berat
3. Muntah pasca batuk
Kriteria laboratorium:
1. Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen klinis
2. Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis
Tabel 1. Metode laboratorium untuk mendiagnosis pertussis
Total Sensitifitas Spesifisitas Waktu Keuntungan Kerugian
(%) (%) optimal
Kultur 12 – 60 100 < 2 minggu Sangat spesifik Kurang sensitif,
setelah onset terdapat jangka
waktu antara
pengambilan
spesimen dan
diagnosis

PCR 97 – 99 86 – 100 < 4 minggu Rapid test, lebih Tidak


setelah onset sensitif terstandarisasi
dibanding FDA, potensial
kultur, positif palsu,
organisme tidak dapat terjadi
harus viable, kontaminasi DNA
hasil tetap silang
positif meskipun
paska terapi
antibiotik

Serologi 90 – 92 72 – 100 Awal gejala Efektif untuk Diagnosis


berpasanga s/d 4 – 6 menentukan terlambat, tidak
n minggu antibiotik yang ada standarisasi
setelahnya efektif FDA

Serologi 36 – 76 99 Minimal 2 Berguna untuk Tidak ada


tungal minggu diagnosis yang standarisasi FDA,
setelah onset, terlambat atau bisa bias akibat
sebaiknya 4 – paska terapi vaksinasi
8 minggu antibiotik
setelah onset

Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik pada penyakit
pertusis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium kataralis dan stadium
paroksismal. Waktu yang paling tepat untuk melakukan biakan adalah kurang dari 2
minggu pasca batuk terjadi (Snyder dan Fisher, 2012).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis pertusis antara
lain (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Anamnesis
a. Waktu muncul gejala
b. Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara tarikan
nafas berat, memburuk ketika malam hari
c.Riwayat kontak dengan pasien pertussis pada masa inkubasi (7 – 21 hari)
d. Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terdahulu
2. Konfirmasi biologis
a. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time PCR pada aspirasi
nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilkukan untuk menganalisis evolusi
populasi bakteri
b. Anak-anak, remaja, dan dewasa:
1) Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, kultur
2) Durasi batuk > 21 hari:
a) PCR dan kultur tidak lagi bermakna
b) Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah pasien pertama,
maka PCR harus dilakukan pada pasien kedua
c) Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus dilakukan untuk
memberi antibodi toxin anti-pertussis jika pasien belum pernah
mendapatkan vaksinasi pertussis sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.
c.Kultur
1) Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
2) Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat, pasien yang
belum mendapat vaksinasi, dan pada balita
3) Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi sebelumnya
d. PCR
1) Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi dengan kultur
2) PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase paroksismal
3) Akurasi diagnostik mungkin bervariasi pada berbagai laboratorium
e. Serologi
1) Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit (3 – 4
minggu setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan dengan pengambilan
spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya dapat membantu penegakan
diagnosis
2) Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertussis atau filamentous
haemagglutinin dapat ditemukan di serum
3) Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis yang tinggi (>100 – 125 U/ml
pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk diagnosis
4) Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru saja mendapat
imunisasi.
I. Penatalaksanaan
Tabel 2. Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis (Snyder dan Fisher,
2012)
Obat Dosis dan sediaan
Azitromisin - < 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari
- ≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5 mg/kg selama
1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5 hari
- Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari selama 2 – 5
hari
Claritromisin - < 1 bulan: tidak direkomendasikan
- > 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis selama 7
hari
- Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis. Monitoring ketat
karena beresiko stenosis pylorica
- > 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari
TMP – SMX - < 2 bulan: kontraindikasi
- >2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari

B. pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari nasofaring dalam
waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan penyakit,
selama tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkatgejala dan mengurangi keparahan
pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah perjalanan
penyakit. Dengan initahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan oleh toksin
Bordetella pertussis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi
antimikroba.Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi oleh
pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa penularan (Snyder
dan Fisher, 2012).
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak berusia
lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin, claritromisin, dan azitromisin.
Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1 tahun lebih direkomendasikan
menggunakan azitromisin atau claritromisin intravena (Bayhan et al., 2012).
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan azitromisin adalah
obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, karena tidak
menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu, eritromisin telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu setelah
kelahiran.Sementara menurut Bayhan et al. (2012), claritromisin sangat efektif dan aman
untuk terapi pada pasien dengan apnea, hipoksia dan kesulitan makan.
Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan
pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis agar tidak menular tetapi tidak
mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik yang efektif antara lain:
 Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali sehari pada
hari kedua hinga hari ke-15 terapi).
 Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
 Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
 Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek samping adalah
sebagai berikut :
 Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5mg/kgBB sekali sehari pada
hari kedua hingga hari ke-15 terapi), atau
 Claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari

J. Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi profilaksis
pertussis memberikan keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik berhubungan dengan
efek samping dan tidak secara signifikan memperbaiki gejala klinis, whoop, batuk
paroksismal, jumlah kasus yang berkembang menjadi kultur positif B. pertussis atau
batuk paroksismal lebih dari 2 minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dan
kematian pada bayi < 6 bulan yang belum diimunisasi lengkap, profilaksis kontak
direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan antibiotik dan dosisnya sama dengan regimen
terapi (Altuniaji, 2012).
Menurut Zepp et al. (2011), penyebaran infeksi hanya dapat dicegah dengan
meningkatkan cakupan imunisasi di atas 92%. Menurut Witt et al., (2013), pertusis
merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang kejadiannya dapat dicegah
dengan vaksinasi. Vaksin pertusis ada 2 jenis yaitu whole pertussis (wP) dan acellular
pertussis (aP). Vaksin wP terbukti lebih baik dibandingkan vaksin aP karena memiliki
efektifitas yang lebih tinggi dan waktu perlindungan yang lebih lama dibandingkan aP.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Glansz et al. (2013) menunjukkan
bahwa pencegahan pertussis dapat dilakukan dengan vaksinasi DTaP tepat waktu. Dalam
penelitian Glansz et al. (2013) disebutkan bahwa status undervaccination terhadap
vaksin DTaP menempatkan bayi dan anak-anak pada peningkatan resiko terjadinya
pertussis. Hal tersebut juga mengancam populasi sekitarnya yang beresiko tinggi untuk
terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
Vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan pertusis. Pada
tahun 2008, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di seluruh dunia,
95% diantaranya terdapat di negara berkembang, dan terjadi sekitar 195.000 kematian.
Pada tahun tersebut, imunisasi telah berhasil mencegah sekitar 680.000 kematian
(Gabutti dan Rota, 2012).
Menurut Tiwari et al. (2015), selama wabah pertussis, perlu dilakukan vaksinasi
pertussis dosis pertama tepat waktu pada usia 6 minggu dan segera diberikan terapi
antibiotik yang sudah direkomendasikan secara dini Rekomendasi tersebut berlaku
secara global, khususnya di negara-negara dimana vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai
pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat usia untuk vaksinasi akan
mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B. pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupun didapat
dengan imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yang didapat dari vaksin hanya
melindungi selama 4 – 12 tahun saja (Gabutti dan Rota, 2012). Sedangkan imunitas yang
diperoleh secara alami bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). Di Amerika Serikat,
setiap anak mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus dan pertusis aseluler (DTaP)
sebelum usia 7 tahun dan kekebalannya mulai menghilang setelah 5 tahun (Klein et al.,
2012). Menurut penelitian oleh McGirr dan Fisman (2015), vaksinasi pertussis perlu
diulang saat dewasa, hal tersebut juga termasuk untuk menjaga agar cakupan populasi
yang tercover dengan vaksin tetap tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa
durasi imunitas protektif terhadap pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun,
dengan rata-rata perlindungan selama 3 tahun dengan sumsi efikasi vaksin 85%. Dengan
hilangnya perlindungan oleh vaksin, diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang
divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5 tahun setelah vaksin terakhir. Dengan
diberikannya booster untuk anak prasekolah usia 4-6 tahun diperkirakan akan sangat
sedikit anak > 10 tahun yang terlindung dari pertussis, sehingga diperlukan booster Tdap
untuk remaja awal.

K. Komplikasi
Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan mengarah
pada komplikasi seperti apneu, sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan ensefalopati.
Menurut Bayhan et al. (2012), komplikasi dari pertusis yang paling penting adalah
infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi
pulmonal), gangguan fisik karena serangan batuk yang hebat (fracture costae, berdarahan
konjunctiva, hernia inguinal), kejang, ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat
pertusis adalah keadaan serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif
untuk memasang alat bentu pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani (2013), kematian
akibat pertussis banyak dihubungkan dengan pneumonia.
A. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pertusis
1. Pengkajian
a. Biodata
1) Nama :
2) Umur
3) Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan
pada bayi  berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
4) Suku bangsa
5) Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
6) Tempat tinggal : 
7) Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-
rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.
8) Identitas Penanggung Jawab
b. Keluhan Utama
Biasanya klien marasakan batuk, nyeri dada, dan sesak
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien batuk, nyeri dada, dan sesak disertai demam, penurunan BB, mual
dan muntah
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan
saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya adanya keluarga yang mengalami pertusis
f. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
2) Pola aktivitas
Biasanya klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
serta batuk panjang
3) Pola istirahat dan tidur
Biasanya klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
4) Pola eliminasi
Biasanya klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah
asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
g. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
a) bentuk kepala
b) warna rambut
c) distribusi rambut
d) ada lesi atau tidak
e) hygiene
f) ada hematoma atau tidak
2) Mata
a) sklera berwarna merah (ada peningkatan suhu tubuh)
b) kaji reflek cahaya
c) konjungtiva anemis atau tidak
d) pergerakan bola mata
3) Telinga
a) simetris atau tidak
b) kebersihan
c) tes pendengaran
4) Hidung
a) ada polip atau tidak
b) nyeri tekan
c) kebersihan
d) pernafasan cuping hidung
e) fungsi penciuman
5) Mulut
a) warna bibir
b) mukosa bibir lembab atau tidak
c) mukosa bibir kering (meningkatnya suhu tubuh)
6) Paru – paru
a) Inspeksi           : Irama nafas  tidak teratur, pernapasan  dangkal,
penggunaan otot bantu napas, Pembengkakan laring atau tidak
b) Palpasi             : Tidak ada nyeri tekan
c) Perkusi            : Sonor
d) Auskultasi       : Suara paru ronchi
7) Jantung
a) Inspeksi           : Tidak ada pembesaran pada dada sebelah kiri
b) Perkusi            : Suara jantung meredup
c) Auskultasi       : Nada S1 S2 dan lub dup

8) Abdomen
a) Inspeksi : bentuk, lesi, pembesaran limfe
b) Palpasi : Splenomegali, hepatomegali, nyeri tekan, nyeri lepas, turgor kulit
menurun
c) Perkusi : Suara abdomen timpani
d) Auskultasi :Bising usus meningkat (normal 4-9x/menit)
9) Ekstremitas
a) pergerakan sendi terbatas (nyeri sendi)
b) kelelahan (malaise)
c) kelemahan
10) Genetalia dan anus
a) kelengkap (laki-laki: penis, skrotum; perempuan: labia minora, labia
mayora, klitoris)
b) fungsi BAB
c) fungsi BAK
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas ditandai dengan
sputum yang berlebih
b. Nyeri akut b.d agen cedera biologis : inflamasi
c. Defisit nutrisi b.d ketidak mampuan menelan makanan dibuktikan dengan nafsu
makan menurun.
3. Intervensi Keperawatan
N DIAGNOSA NOC NIC Rasional
O
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Pain Management Pain Management
berhubungan tindakan keperawatan
1. Lakukan pengkajian 1. Mengetahui nyeri
dengan cidera selama 3 x 24 jam,
nyeri secara yang dialami pasien
biologis diharapkan nyeri
kompherensif. sehingga perawat
teratasi, dengan
2. Kaji faktor-faktor dapat menentukan
kriteria hasil :
yang mempengaruhi cara mengatasinya.
1. Dapat mengontrol reaksi pasien 2. Dengan mengetahui
nyeri terhadap nyeri. faktor-faktor
2. Ekspresi wajah 3. Berikan posisi yang tersebut maka
rileks. nyaman dan perawat dapat
3. Skala nyeri 0-2 (0- ciptakan suasana melakukan
10) ruangan yang intervensi yang
tenang. sesuai dengan
4. Berikan suasana  masalah pasien.
gembira bagi 3. Posisi yang nyaman
pasien. dan situasi yang
tenang dapat
Analgetic
membuat perasaan
Administration
yang nyaman pada
5. Berikan  pasien.
analgesik sesuai 4. Dengan suasana
tipe dan beratnya gembira pasien
nyeri . dapat sedikit me-
ngalihkan
perhatiannya
terhadap nyeri.
Analgesic
Administration

5. Obat analgesik dapat


menekankan rasa
nyeri.
3 Bersihan jalan Setelah diberikan Mandiri : 1. Untuk mengetahui
napas tidak tindakan keperawatan 1. Kaji  ulang fungsi adanya penurunan
efektif b.d kebersihan jalan pernapasan: bunyi dan peningkatan
hipersekresi napas efektif, dengan napas, kecepatan, frekuensi pernafasan
jalan napas criteria hasil:  irama, kedalaman dan 2. Mengidentifikasi
ditandai dengan  Mempertahan penggunaan otot adanya obstruksi
sputum yang kan jalan napas aksesori. jalan nafas yang
berlebih pasien. 2. Catat kemampuan membahayakan
 Mengeluarkan untuk mengeluarkan oksigenasi
sekret tanpa sekret atau batuk 3. Untuk membantu
bantuan. efektif, catat karakter, memaksimalkan
 Suara nafas jumlah sputum, ekspansi paru
normal (vesikuler, adanya hemoptisis.  4. Untuk membersihkan
brochial, 3. Berikan pasien posisi jalan nafas dan
bronchovesikuler) semi atau Fowler, membantu mencegah

 TTV dalam 4. Bantu/ajarkan batuk komplikasi

batas normal efektif dan latihan pernafasan

(Nadi 70- napas dalam. 5. Mengeluarkan

120x/menit, RR 5. Bersihkan sekret dari sputum

16-24x/menit) mulut dan trakea, 6. Mengencerkan dahak


suction bila perlu. sehingga dahak mudah

6. Pertahankan intake keluar

cairan minimal 2500 7. Mencegah iritasi


ml/hari kecuali
kontraindikasi. 8. Membantu
7. Lembabkan mengeluarkan secret
udara/oksigen serta meringankan
inspirasi. batuk
Kolaborasi:
8. Berikan obat: agen
mukolitik,
bronkodilator,
kortikosteroid sesuai
indikasi
3 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Nutrition Management Nutrition
b.d tindakan keperawatan Management
1. Monitor keadaan
ketidakmampua selama 3x 24 jam
umum pasien 1. Memudahkan
n menelan diharapkan kebutuhan
2. Beri makanan sesuai untuk intervensi
makanan nutrisi pasien
kebutuhan tubuh selanjutnya
ditandai dengan terpenuhi, dengan
pasien. 2. Merangsang
nafsu makan kriteria hasil:
3. Anjurkan orang tua nafsu makan pasien
menurun.
1. Menunjukkan pasien untuk memberi sehingga pasien mau
kebutuhan nutrisi makanan sedikit tapi makan.
terpenuhi. sering. 3. Makanan dalam
2. Memperlihatkan 4. Anjurkan diit porsi kecil tapi sering
adanya selera makanan TKTP dalam memudahkan organ
makan bentuk lunak pencernaan dalam
3. BB meningkat metabolisme.
Nutrition Monitoring
4. Makanan
5. Timbang berat badan dengan komposisi
pasien tiap hari. TKTP berfungsi
6. Monitor mual dan membantu
muntah pasien mempercepat proses
penyembuhan.
Nutrition Monitoring

5. Berat badan
merupakan salah
satu indikator
pemenuhan nutrisi
berhasil.
6. Untuk mengetahui
status nutrisi pasien.

4. Evaluasi Keperawata
Setelah di lakukan implementasi, maka evaluasi kita kepada pasien yaitu :
a. Bersihan jalan nafas pasien kembali normal, dan pasien tidak mengalami dypnea
b. Nutrisi pasien dapat terpenuhi, dan berat badan dapat bertambah
c. Nyeri yang di alami pasien dapat berkurang,

Anda mungkin juga menyukai