Anda di halaman 1dari 24

Presentasi Kasus dan Portofolio

ASMA BRONKIAL EKSASERBASI AKUT


Disusun oleh :
dr. LISA HARYATI
Narasumber:
dr. Elidia, Sp.PD
dr. Donny, Sp.PD

Dokter Pendamping :
dr. Budi Arta Sitepu
dr. Ratna Siagian

Wahana :
RSUD Kepahiang

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN
SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
2015 2016

PORTOFOLIO
KASUS I

Topik
: Asma Bronkhial Eksaserbasi Akut
Tanggal Kasus
: 10 Desember 2015
Presentator : dr. Lisa Haryati
Tanggal Presentasi :
Februari 2016
Pendamping : dr. Budi Arta Sitepu
dr. Ratna Siagian
Tempat Presentasi : RSUD Kepahiang
Objek Presentasi
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan
Pustaka
Diagnostik

Management

Masalah

Istimewa

Deskripsi: Perempuan datang dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak
1 HSMRS. Pasien juga mengeluhkan dada terasa berat, sakit kepala dan batuk
berdahak. Sesak nafas dirasakan memberat pada malam hari, suasana dingin,
menghirup debu atau kelelahan.
Tujuan : Mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat sesuai dengan
penyakit yang dialami pasien.
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka
Audit
Cara Membahas : Diskusi

Riset

Presentasi dan Diskusi

Pos
Data Pasien Nama : Ny. H
Umur : 43 tahun
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis

Alamat : Karang Tengah


Agama : Islam

Kasus
Email
pekerjaan: IRT

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan dada terasa berat, sakit kepala, dan batuk berdahak. Awalnya
sesak nafas hanya timbul sesekali tapi lama-lama frekuensi sesak semakin
sering terutama 5 bulan terakhir ini. Sesak nafas dirasakan memberat pada
malam hari, saat suasana dingin, menghirup debu atau jika kelelahan. Pasien
juga mengatakan bila pagi udara dingin pasien mengeluh hidung sering berair,
gatal, bersin-bersin kalau terkena debu.
2. Riwayat Pengobatan
- Pasien biasanya menggunakan obat semprot untuk mengurangi sesak nafasnya.
- Selama 4 bulan terakhir ini pasien rutin meminum obat dari hasil kontrol ke

poliklinik penyakit dalam, mendapat 4 jenis obat yaitu salbutamol, aminofilin,


metilprednisolon dan OBH
- Pasien sudah dirawat sebanyak 2 kali dalam 3 bulan terakhir karena asma.
3. Riwayat Penyakit/ Kesehatan
-

10 Desember 2015 : pasien datang dengan keluhan sesak dan dirawat


dengan diagnosis Asma Bronkial

Riwayat asma waktu kecil

- Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.


4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa disangkal, Hipertensi (-),
Diabetes Melitus (-)
5. Riwayat Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga
6. Lain-lain
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di UGD RSUD Kepahiang
Keadaan Umum

Keadaan sakit

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 130/ 80 mmHg

Nadi

Pernapasan

: 32x/menit

Temperatur

: 36,5 0C

: 96 x/menit

Pemeriksaan Organ
Kepala : Normocephali

Mata

: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), refleks cahaya (+/

+)

Hidung

: Nafas cuping hidung (+), deviasi Septum (-), deformitas (-)

Mulut

: Lidah kotor (-)

Leher

: Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat

Paru-paru

Inspeksi

: Simetris, retraksi dinding dada (+)

Palpasi

: Fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi

: Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing +/+, ekspirasi memanjang

Jantung

Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis teraba, kuat angkat

Perkusi

: jantung dalam batas normal

Auskultasi

: Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: Datar

Palpasi

: Nyeri tekan epigastrium (+), hepar / Lien tidak teraba

Perkusi

: Tympani

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Ekstremitas

Akral hangat, Cappilary rate time < 2 detik, piiting edema(-)

Hasil laboratorium
10 Desember 2015:
Hb 12,2 g/dL, Ht 37%, Er 4,3 juta/uL, Tr 373.000 /mm3, Leukosit 11.600 sel/mm3

Rumusan Masalah
Asma bronkial eksaserbasi akut, persisten sedang-berat, tidak terkontrol.

Tatalaksana
Di IGD
- O2 nasal 3 liter/menit
- IVFD RL 20 tpm
- Nebulizer combivent 1 ampul/ 12 jam + 2 cc NaCl 0,9%

- Inj. Metilprednisolon 125 mg/ 12 jam i.v


- Inj. Ceftriaxon 1 gram/12 jam. iv
- Inj. Ranitidin 1 ampul/12 jam.iv
- Ambroxol syr 3x1 C
- Paracetamol 3x500 mg (k/p)
Non Farmakologi:

Edukasi
-

Mencegah sensitisasi

Mencegah eksaserbasi

Follow up
Tanggal
10/12/2015

Keluhan
S : sesak (+), batuk berdahak(+), kepala pusing(+)
O : KU : Tampak sakit sedang
TD : 130/80 mmHg
RR : x/menit
N : 84 x/menit
T : 36,50C
Paru : Vesikuler, Ronkhi -/-,wheezing (+/+),ekspirasi
memanjang
Abd: Nyeri tekan epigastrium(+)
A : Asma bronkial eksaserbasi akut, persisten sedang-berat,
tidak terkontrol.
P : O2 3L/menit
Diet MB
IVFD RL 20 tpm
- Nebulizer combivent 1 ampul/ 12 jam + 2 cc NaCl 0,9%
- Inj. Metilprednisolon 125 mg/ 12 jam i.v
- Inj. Ranitidin 1 ampul/12 jam.iv
- Ambroxol syr 3x1 C
- Paracetamol 3x500 mg (k/p)

11/12/2015

S : sesak berkurang, batuk(+)


O : KU : Tampak sakit ringan

TD : 100/70 mmHg
RR : 26x/menit
N : 80 x/menit
T : 36,50C
Paru : Vesikuler, Ronkhi -/-,wheezing (-/-)
A : Asma bronkial dengan perbaikan
P : - Pasien boleh pulang dengan kontrol ulang
- Cefadroxil 2x500 mg
- Aminofilin 3x150 mg
- Metilprednisolon 3x4 mg
- Salbutamol 3x2 mg
- Ambroxol syr 3x1 C
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan

Dokter

Penatalaksanaan

Paru
Asma

Indonesia.
Di

2003.

Pedoman
Indonesia,

Diagnosis

&

Available

at:http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.pdf.
2. Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of
Health, 2007.
3. Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott
Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102.
4. Augusto A. Asthma and obesity: Common early-life influences in the inception of
disease JACI.2008 Mei; 121.(5):1075.
5. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy - a global perspective in Allergy.
European Journal of Allergy and Clinical Immunology.2007;62 (3).213-5.
6. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar
SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor.
Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical
Publishers;2006.707-36.
7. Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological
mechanisms in asthma and allergic disease. Robinson DS (ed), S. Karger AG,
Basel, Switzerland, 2000. 62-71.
8. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in
European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume 63,646.
9. Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in allergic diseases.
In: Zweiman B, Schwartz LB.editors.USA: Marcel Dekker; 2002.p.325-54
10. Corrigan C, Rak S, Asthma in allergy. China: Elsevier Mosby; 2004.26-38.

11. Bacharier LB, Louis S.Step-down therapy for asthma: Why, When, and How?
JACI.2002; 109 (6):916.
12. Bochner BS, Busse WW. Allergy and Asthma.JACI.2005;115 (5):953-9.
13. Broide D. New perspectives on mechanisms underlying chronic allergic
inflammation and asthma in 2007. JACI.2008.122 (3): 475-80.
Hasil Pembelajaran
1 Definisi Asma Bronkial
2 Epidemiologi Asma Bronkial
3 Faktor Risiko Asma Bronkial
4 Klasifikasi Asma Bronkial
5 Patofisiologi Asma Bronkial
6 Diagnosis Asma Bronkial
7 Penatalaksanaan Asma Bronkial
8 Pencegahan Asma Bronkial
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan dada terasa berat, sakit kepala, dan batuk berdahak. Awalnya sesak nafas
hanya timbul sesekali tapi lama-lama frekuensi sesak semakin sering terutama 5 bulan
terakhir ini. Sesak nafas dirasakan memberat pada malam hari, saat suasana dingin,
menghirup debu atau jika kelelahan. Pasien juga mengatakan bila pagi udara dingin
pasien mengeluh hidung sering berair, gatal, bersin-bersin kalau terkena debu. Pasien
biasanya menggunakan obat semprot untuk mengurangi sesak nafasnya. Selama 4
bulan terakhir ini pasien rutin meminum obat dari hasil kontrol ke poliklinik penyakit
dalam, mendapat 4 jenis obat yaitu salbutamol, aminofilin, metilprednisolon, OBH
sirup. Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil, pernah dirawat di RS 2 kali karena
asma.
Objektif :
Gejala klinis bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak, gejala timbul/
memburuk terutama malam/ dini hari, diawali oleh faktor pencetus yang bersifat
individu. Pada pemeriksaan fisik pasien asma sering ditemukan perubahan cara
bernafas. Pada inspeksi dapat ditemukan nafas cepat, kesulitan bernafas, menggunakan
otot nafas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi,

ekspirasi memanjang. Pemeriksaan spirometer, Peak Flow Meter, pemeriksaan IgE


ataupun pemeriksaan hipereaktivitas bronkus dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis asma bronkial.
Assesment
Asma bronkial eksaserbasi akut, persisten sedang-berat, tidak terkontrol.

Plan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktiviti sehari-hari.
Target pengobatan asma meliputi beberapa hal yaitu menjaga SpO 2 tetap adekuat
dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran nafas dengan bronkodilator
inhalasi kerja cepat (2-agonis dan antikolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran
nafas serta mencegah kekambuhan dengan kortikosteroid sistemik yang lebih awal.
Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua
faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu medikasi dan pengobatan berdasarkan
derajat. Medikasi asma terdiri atas pelega (reliever) dan pengontrol (controllers).
Tujuan pengobatan eksaserbasi akut adalah menghilangkan obstruksi secepat
mungkin, menghilangkan hipoksemia, mengembalikan faal paru ke normal secepat
mungkin dan mencegah kekambuhan. Yakni dengan pemberian bronkodilator, oksigen
dan kortikosteroid sistemik.

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI 1
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
B. Epidemiologi1
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Asma merupakan sepuluh besar
penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi
survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5
dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995,
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian di
lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner
modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms
questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales, dan
pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan

uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2%
dan perempuan 6,6%.

C. FAKTOR RISIKO 1-5


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan.
1. Faktor Genetik
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/
kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma,
dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus,
kadar IgE serum) dan atau keduanya
Atopi/ alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
Hipereaktivitas bronkus
Saluran nafas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
Ras/etnik
Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran nafas
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor Lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah
penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada
awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif
dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.
Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang
timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan

emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktivitas tersebut.
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
Status ekonomi
D. KLASIFIKASI 1
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru
N
o

Derajat
Asma

1.

Intermiten

Gejala
Bulanan
Gejala < 1x/ minggu

Gejala
Malam

Faal Paru
APE 80%

2x sebulan

Tanpa gejala di luar serangan


Serangan singkat

VEP1

80%

nilai

80%

nilai

prediksi

APE

terbaik

Variabiliti APE < 20%

2.

Persisten
Ringan

Mingguan

APE 80%

Gejala > 1x/ minggu, tetapi

2x sebulan

Serangan dapat mengganggu

Persisten
Sedang

Gejala setiap hari

Serangan

1x seminggu

4.

Persisten
Berat

80%

nilai

Variabiliti APE < 20 -

Variabiliti APE > 30%


APE 60%

setiap hari
Kontinu
Gejala terus-menerus

Sering kambuh

Aktivitas fisik terbatas

APE 60-80% nilai


terbaik

bronkodilator

VEP1 60 - 80% nilai


prediksi

mengganggu

aktivitas dan tidur


Membutuhkan

APE

30%
APE 60 - 80%

Harian

nilai

terbaik

aktivitas dan tidur

3.

80%

prediksi

< 1x/ hari

VEP1

Sering

VEP1

60%

nilai

60%

nilai

prediksi

APE

terbaik

Variabiliti APE > 30%

Klasifikasi berdasarkan Serangan


-

Serangan Ringan
Aktifitas hampir normal, bicara kalimat penuh, denyut nadi <100x/menit,
APE>60

Serangan Sedang
Mampu berjalan jarak dekat, bicara kalimat putus-putus, nadi 100120x/menit, APE 40-60

Serangan Berat
Sesak pada istirahat, bicara pada kata terputus, nadi>120x/menit, APE <40

E. PATOFISIOLOG

2,3,6-9

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran nafas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai

beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.2,6-9
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide

(CGRP).

Neuropeptida

itulah

yang

menyebabkan

terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan


aktivasi sel-sel inflamasi.2,6-9
Hipereaktivitas

bronkus

merupakan

ciri

khas

asma,

besarnya

hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang


merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan
uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi
zat nonspesifik.2,3
F. DIAGNOSIS 2,3
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk, dan dada sakit/ sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan
untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor
resiko.

1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau tersumbat (rinitis alergi), mata gatal, merah, dan
berair (konjungtivitis alergi), dan eksim atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan baubauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang
lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta-blocker, aspirin atau steroid.
2. Pemeriksaan Klinis 2
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci,

menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran nafas. Pada

pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernafas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; nafas
cepat, kesulitan bernafas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan
dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
3. Pemeriksaan Penunjang 2,3,8

Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan


diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu

sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM


mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

X-ray dada/thoraks. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak


disebabkan asma

Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism).

Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik


sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran nafas dapat dilakukan melalui
biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit
udara yang dikeluarkan dengan nafas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial
dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.

Uji Hipereaktivitas Bronkus (HRB). Pada penderita yang menunjukkan FEV1


>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran nafas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subjek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um,
tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan
informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk

mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin
atau kering, histamin, dan metakolin.

Eksaserbasi Asma 2,10-13


Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertai batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejala-gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus
nafas yang dapat diukur secara objektif (Spirometri atau PFM) dan merupakan
indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol
dengan steroid inhaler memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun,
penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita
infeksi virus saluran nafas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan
keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantauan,
penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari
dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian
intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi
asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari.
Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off bila diberikan dalam waktu kurang
dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak
perlu tapering off bila penderita juga mendapat kortikosteroid inhaler.
G. PENATALAKSANAAN 1
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk dapat mengontrol manifestasi
klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan


asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Medikasi
2. pengobatan berdasarkan derajat.
Medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral
dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar
langsung sampai ke jalan nafas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak
ada. Macam-macam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur
(IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), dry powder inhaler (DPI), breath
actuated IDT, dan nebulizer.
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever).
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma
persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol
(PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol yang sering disebut sebagai
pencegah terdiri dari:

Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik

Leukotriene modifiers

Agonis - 2 kerja lama (inhalasi dan oral)

Metilsantin (teofilin)

Kromolin (Sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat

mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala-gejala asma. Prinsip kerja


obat ini adalah dengan mendilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat
ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas
jalan nafas.
Pelega terdiri dari :

Agonis - 2 kerja singkat

Kortikosteroid sistemik

Antikolinergik (ipratropium bromide)

Metilsantin

Pengobatan Berdasarkan Derajat


Pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi :
A. Asma intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan
alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal.
Demikian pula penderita exercise-induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca
buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru
normal.
Umumnya tidak diperlukan pengontrol

Bila diperlukan pelega, agonis - 2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan.


Alternatif dengan agonis - 2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja
singkat dan agonis - 2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi.

Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan,
maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.

B. Asma Persisten Ringan


1. Pengontrol diberikan setiap hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah
agar asmanya tidak bertambah berat sehingga terapi utama adalah
antiinflamasi, dengan pilihan:

Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi


dua kali sehari ) dan agonis - 2 kerja lama inhalasi
Budenoside

: 200 400 g/ hari

Fluticasone propionate : 100 250 g/ hari

Teofilin lepas lambat

Kromolin

Leukotriene modifiers

2. Pelega bronkodilator (Agonis - 2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila


perlu.
C. Asma Persisten Sedang
1. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan:

Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis - 2 kerja


lama inhalasi

Budenoside : 400800 g/ hari

Fluticasone propionate : 250500 g/ hari

Glukokortikosteroid inhalasi (400 800 g/ hari) ditambah teofilin lepas


lambat

Glukokortikosteroid inhalasi (400 800 g/ hari) ditambah agonis - 2 kerja


lama oral

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi ( > 800 g/ hari)

Glukokortikosteroid inhalasi (400 800 g/ hari)

ditambah leukotriene

modifiers
2. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
Agonis - 2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau
Agonis - 2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis - 2 kerja singkat
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
3.

Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah


dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis - 2 kerja lama
inhalasi.

4.

Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT atau
kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah.

D. Asma Persisten Berat

Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin.

Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol


asma, dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan
agonis - 2 kerja lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: > 800 g/hari
Selain itu teofilin lepas lambat, agonis - 2 kerja lama oral, dan
leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternatif agonis - 2 kerja
lama inhalasi ataupun sebagai tambahan terapi
Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat
mencegah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan
batuk karena iritasi saluran nafas atas.
Semua tahapan, bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling
tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi
seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol

Penatalaksanaan asma akut


Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis
segera, Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/ gawat
darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah
penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah
sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat
serangan, gejala, pemeriksaan fisik dan bila memungkinkan pemeriksaan faal
paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak
diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan
keterlambatan dalam pengobatan/ tindakan.

Penatalaksanaan asma kronik


Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan
asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi
keadaan asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan
mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol.
Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/
serangan, dikenal sebagai pelega.
Ciri-ciri asma terkontrol :
1. Tanpa gejala harian (2x/minggu)
2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian
3. Tanpa gejala asma malam
4. Tanpa pengobatan pelega (2x/minggu)
5. Fungsi paru normal atau hampir normal
6. Tanpa eksaserbasi
Ciri-ciri asma tidak terkontrol :
1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat.
H. PENCEGAHAN 2,3,10-13
1. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya
atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan
terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan
dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang
dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan
sistem imun bayi kearah Th 1, respons non alergi atau modulasi sel T regulator
masih merupakan hipotesis.
2. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti


alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur,
alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi
pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok,
menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang
menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi
biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha
menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari
adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan
berbagai faktor lainnya.

Anda mungkin juga menyukai