Anda di halaman 1dari 36

KELOMPOK B-7

KERACUNAN INSEKTISIDA
Ketua : Muhammad Aldin 1102019130
Sekretaris : Alfia Lovitania 1102019222
Anggota : Telisa Humenia Niftia 1102019212
Tiara Dewi Puspita 1102019213
Vasha Annisa Hidayat 1102019214
Vera Almira 1102019215
Zahra Redina Gusty 1102019220
Zelloano Sinaga 1102019221
Putri Eka Wijayanti 1102019223
SKENARIO
Seorang perempuan berusia 20 tahun datang ke IGD RS YARSI dibawa orang tuanya dalam
keadaan kesadaran menurun, badan kaku, mulut berbusa dan tubuh basah oleh keringat.
Menurut orang tuanya pasien ditemukan di kamarnya dalam keadaan tergeletak, kaku, muntah-
muntah, sesak nafas, dan di samping pasien ditemukan botol obat nyamuk baygon dalam
keadaan kosong dan tumpahan isinya di lantai. Dokter segera memeriksa dan memberikan
pertolongan keselamatan
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Keracunan Insektisida
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3Manifestasi klinis
1.4 Tata Laksana

2. Memahami dan Menjelaskan Cara Pemberian Obat


3. Memahami dan Menjelaskan Farmakokinetik
3.1 Absorbsi
3.2 Distribusi
3.3 Metabolisme
3.4 Ekskresi

4. Memahami dan Menjelaskan Farmakodinamik


4.1 Cara kerja obat
4.2 Reseptor
4.3 Transmisi senyawa biologis
4.4 Interaksi obat
4.5 Antagonisme farmakodinamik
1. Memahami dan Menjelaskan Keracunan
Insektisida

1.1 Definisi
Kondisi ketika racun serangga tertelan, terhirup /
terserap ke dalam kulit dalam jumlah banyak
1.2 Etiologi
◦ Menurut cara terjadinya keracunan :
◦ Self Poisoning adalah pasien makan obat dengan dosis berlebihan tapi
menurut pengetahuan dia dosis tersebut tidak membahayakan.
◦ Attempted Suicide adalah keadaan pasien yang memang bermaksud
bunuh diri, tetapi dapat berakhir kematian atau pasien sembuh kembali
bila dosis yang dimakan tidak berlebihan (salah tafsir).
◦ Accidental Poisoning merupakan kecelakaan murni, tanpa adanya faktor
kesengajaan.
◦ Homicidal Poisoning adalah keracunan akibat tindakan kriminal, yaitu
seseorang dengan sengaja meracuni orang lain.
1.3 Manifestasi Klinis
◦ Gejala awal akan timbul : mual / rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit kepala dan gangguan
penglihatan.
◦ Gejala Lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan, pengeluaran lendir dari hidung
(terutama pada keracunan melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang
berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
◦ Gejala Sentral yang ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan, hilangnya reflek, kejang dan koma.
◦ Kematian Apabila tidak segera diberi pertolongan berakibat kematian dikarenakan kelumpuhan otot
pernafasan.
1.4 Tata Laksana
Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang beredar
dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam.
Antidotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat
antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit jumlahnya.
Salah satu antidotum yang bisa digunakan adalah Atropin sulfat (SA) yang bekerja menghambat
efek akumulasi AKH pada tempat penumpukannya.
Pemberian antidotum sulfat 2 mg IV atau IM harus diulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat
gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering,
midriasis dan takikardi.
Pralidoksim
Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator
enzim kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan,
keefektifannya dipertanyakan. Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika kelemahan
otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam. Pengobatan umumnya
dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam
lemak atau pajanan kronis.
2. Memahami dan Menjelaskan Cara
Pemberian Obat

Eternal Lain-lain
◦ Oral ◦ Inhalasi
◦ Sublingual ◦ Intranasal
◦ Rektal ◦ Intrarektal
◦ Topikal
Parenteral
◦ transdermal
◦ Intravena
◦ Intramuskular
◦ Subkutan
3. Memahami dan Menjelaskan Farmakokinetik
Absorpsi Absorbsi adalah Distribusi Metabolisme Ekskresi obat

Metabolisme

Ekskresi
Distribusi
masuknya obat /biotransformasi artinya eliminasi
obat adalah obat adalah atau pembuangan
dari tempat
pemberian ke
proses obat proses tubuh obat dari tubuh.
dihantarkan merubah Sebagian besar
dalam darah komposisi obat obat dibuang dari
(sirkulasi). dari sirkulasi sehingga menjadi tubuh oleh ginjal
Tempat sistemik ke lebih larut air dan melalui urin.
pemberiannya jaringan dan untuk dapat Obat juga dapat
berupa saluran dibuang keluar dibuang melalui
cairan tubuh. tubuh. paru-paru,
cerna (mulut
eksokrin (keringat,
sampai rektum), ludah, payudara),
kulit, paru, otot, kulit dan traktus
dll. intestinal.
Absorbsi
Pemberian obat per oral
◦ Tempat absorbsi utama adalah usus halus (permukaan absorbsi sangat luas)
◦ Proses absorbsi terutama dengan difusi pasif
◦ Barier absorbsi adalah membran sel epitel sel cerna (lipid bilayer) > larut lemak
◦ Kecepatan difusi dibanding lu
Distribusi
tergantung beberapa faktor yaitu:
a) Aliran darah. Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ
berdasarkan jumlah aliran darah. Organ dengan aliran darah terbesar adalah jantung, hepar, dan
ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak, dan otot lebih lambat
b) Permeabilitas kapiler. Distribusi obat tergantung pada struktur kapiler dan struktur
obat.
c) Ikatan protein. Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein
dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya
obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat
terikat protein
Metabolisme
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan
Menjadi metabolit aktif memiliki kerja farmakologi tersendiri bisa dimetabolisme lanjutan
Beberapa obat diberikan dalam bentu tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru menjadi
aktif (=prodrugs)

Metabolisme terjadi di:


- Hepar
- Ginjal
- Membran usus
Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk
utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan
cara eliminasi obat melalui ginjal.
4. Memahami dan Menjelaskan Farmakodinamik
4.1 Cara Kerja Obat
Mekanisme kerja obat secara umum dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:
Obat yang bekerja tidak melalui target spesifik
◦ Contoh: antasida, anestesi umum, osmotik diuretik.

Obat yang bekerja dengan cara mengubah sistem transport


◦ Contoh: antagonis kalsium, obat anestesi lokal, kardiak glikosida.

Mengubah fungsi enzim


◦ Contoh: COX inhibitor, MAO inhibitor.

Obat yang bekerja pada reseptor


◦ Contoh: hormon, neurotransmiter.
4.2 Reseptor
SIFAT KlMlA. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein (mis.
asetilkoli-nesterase, Na*, K*-ATpase, tubulin, dsb.).
HUBUNGAN STRUKTUR-AKTIVITAS. Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan
afinitas-nya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul
obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat
farmakologinya.
RESEPTOR FISIOLOGIS. lstilah reseptor sebagaimakromolekul seluler tempat terikatnya obat
untuk menimbulkan respons telah diuraikan di atas. Tetapi terdapat juga protein seluleryang ber{ungsi
sebagai reseptor fisiologik bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi
reseptor ini meliputi pengikatan ligand yang sesuai (oleh ligand binding domain) dan penghantaran
sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intrasel atau secara tak
langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second
Messenger.
RESEPTOR FISIOLOGIS. lstilah reseptor sebagaimakromolekul seluler tempat terikatnya
obat untuk menimbulkan respons telah diuraikan di atas. Tetapi terdapat juga protein seluleryang
ber{ungsi sebagai reseptor fisiologik bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan
autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi pengikatan ligand yang sesuai (oleh ligand binding domain)
dan penghantaran sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara langsung menimbulkan efek
intrasel atau secara tak langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain
yang dikenal sebagai second Messenger.
4.3 Transmisi Senyawa Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi
ekstraseluler menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini
dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma
oleh transmitor.
4.4 Interaksi Obat
Hubungan dosis dengan intensitas efek
Menurut teori pendudukan reseptor, intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi
reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas efek mencapai maksimal bila seluruh
reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi
substrat-enzim, maka di sini berlaku persamaan Michaelis-Menten:
Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan besarnya efek E terlihat sebagai kurva
dosis-intensitas efek (graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola. Tetapi kurva
log dosis-intensitas efek (log DEC) akan berbentuk sigmoid. Setiap efek memperlihatkan
kurvanya sendiri. Bila efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC
dapat bermacam-macam, tetapi masing-masing berbentuk sigmoid.
Potensi menunjukkan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh
kadar obat yang mencapai reseptor (tergantung dari sifat farmakokinetik obat) dan afinitas obat
terhadap reseptornya. Potensi terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan
terlalu besar. Potensi terlalu tinggi juga akan merugikan atau membahayakan bila obatnya
mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit.
4.4 Antagonisme Farmakodinamik
◦Antagonisme fisiologik, terjadi pada organ yang sama,
tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. Contohnya,
efek bronkokonstriksi histamin pada bronkus lewat
reseptor histamin, dapat dilawan dengan pemberian
adrenalin yang bekerja pada adrenoreseptor beta.
◦Antagonisme pada reseptor, terjadi melalui sistem
reseptor yang sama. Antagonis mengikat reseptor di
tempat ikatan agonis sehingga terjadi antagonisme antara
agonis dengan antagonisnya. Contohnya, efek histamin
yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan
pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang
sama.
◦Antagonisme kompetitif, antagonis berikatan dengan
receptor site secara reversibel sehingga dapat digeser oleh
agonis kadar tinggi. Dengan demikian penghambatan efek
agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis
sampai akhirnya dicapai efek maksimal. Ini berarti afinitas
agonis terhadap reseptornya akan menurun. Contohnya
adalah beta bloker dan antihistamin.
Antagonis kompetitif (Ak) menyebabkan log DEC
agonis (D) bergeser sejajar ke kanan (D+Ak). Efek
maksimal yang dicapai agonis sama (=Emax), tetapi
afinitas agonis terhadap reseptornya menurun (K’D >
KD).
Antagonis nonkompetitif (An) menyebabkan efek maksimal yang dicapai agonis berkurang
(E’max < Emax) tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah (=KD).

Anda mungkin juga menyukai