Disusun oleh:
KELOMPOK B-7
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Telp.62.21.4244574 Fax.62.21.4244574
SKENARIO
Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke dokter dengan keluhan demam dan sakit
menelan sejak 2 minggu yang lalu . Dokter memberikan antibiotika golongan penisilin . Setelah
minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata diseluruh
tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir, dan urtikaria diseluruh tubuh. Dokter
menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia
mendapatkan obat anti histamine dan kortikosteroid . Dokter memberikan saran agar selalu
berhati-hati dalam meminum obat.
KATA SULIT
2. Tipe I sampai IV
reaksi tipe I : reaksi cepat/ reaksi anafilaksis/reaksi alergi akan timbul segera sesudah
tubuh terpajan allergen , melibatkan antibody IgE dan T-helper II .
tipe II : reaksi sitotoksik tjd karna terbentuk antibody jenis Igg atau Igm terhadap
antigen permukaan yang merupakan sel penjamu
tipeIII : reaksi kompleks, dipereantarai oleh antibody
tipe IV : hipersensitivitas tipe lambat / DTH delayed type hypersensitivity /sel
mediated hipersenstivity , diperantarai oleh sel T.
5. reaksi yang terjadi dalam hitungan detik yang merupakan ikatan silang antara allergen
dan IgE pada permukaan sel mast sehingga menginduksi pelepasan mediator vasoaktif
6. . terjadinya toleransi terhadap obat2an , makanan , tjdnya trauma fisik , infeksi dan
penyakit sistemik , food addictive ,proses inflamasi, {ex : cokelat , makanan
laut(seafood) , telur , susu , kacang2an ,keju, bawang }
karena antihistamin menyebabkan vasodilatasi sehingga tjd edema yaitu keluarnya cairan
dari intraseluler ke ekstrasel dan naiknya permeabilitas kapiler .
8. urtikaria : tjd karna adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler akibat
pelepasan mediator seperti histamine dan sitokin sehingga tjd transudasi cairan setempat
yg scr klinis spt edema local yg disertai eritema , efek samping antibiotic .
9. antihistamin : mulut kering , nyeri perut , pusing , sakit kepala , sulit buang air kecil ,
mengantuk , dan penglihatan kabur .
kortikosteroid : moon face , rentan terkena infeksi , hipertensi , meningkatnya kadar gula
darah , mempercepat timbul katarak , ulkus pada lambung/duodenum , masalah kulit ,
dan pelemahan fungsi otot .
11. memastikan adanya riwayat alergi thd obat , memberikan obat bila ada indikasi ,
memberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia berlainan
12. Pusing , mual, diare , nyeri perut ,insomnia, pendarahan , gangguan fungsi ginjal , reaksi
alergi obat , gatal dan ruam
HIPOTESA
Hipersensitivitas adalah perubahan keadaan pada tubuh yang ditandai dengan
meningkatnya respon imun secara berlebihan berupa bentol- bentol dan rasa gatal .
Reaksi hipersensitivitas ini ada 4 macam . Dan upaya yang dapat dilakukan untuk
pencegahannya yaitu dengan memastikan adanya riwayat alergi thd obat , memberikan
obat bila ada indikasi , memberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia berlainan
dan juga pemberian golongan obat antihistamin, kortikosteroid .
SASARAN BELAJAR
1.2 Klasifikasi
1. Hipersensitivitas tipe I
2. Hipersensitivitas tipe II
3. Hipersensitivitas tipe III
4. Hipersensitivitas tipe IV
Pembagian Gell dan Coombs seperti terlihat di atas dibuat sebelum analisis yang mendetail
mengenai subset dan fungsi sel T diketahui. Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian
imunologi, telah dikembangkan beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi
lagi Tipe IV dalam beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi Tipe I, II, dan III dianggap sebagai
reaksi humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran
selular. Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih lanjut seperti
terlihat pada tabel:
I.3 Mekanisme
1.3.2 Tipe 2
Tipe II— Hipersensitivitas tipe II terjadi karena pembentukan kompleks antigen-antibodi antara
antigen asing dan imunoglobulin IgM atau IgG. Salah satu contoh dari jenis hipersensitivitas ini
adalah reaksi transfusi darah yang terjadi jika darah tidak dicocok silangkan dengan benar.
Antibodi-antibodi yang sudah ada mengikat antigen di membran sel darah merah dan
mengaktifkan jenjang komplemen, menghasilkan membrane attack complex yang melisiskan sel
darah merah donor. Pada penyakit hemolitik pada neonatus (hemolytic diseases of the newborn),
antibodi IgG anti-Rh yang dihasilkan oleh ibu negatif-Rh menembus plasenta, mengikat sel
darah merah janin positif-Rh, dan merusak sel-sel tersebut. Pada kehamilan kehamilan
berikutnya, penyakit ini dicegah dengan memberikan antibodi anti Rh ke ibu, 24-28 jam setelah
persalinan. Hipersensitivitas tipe II juga dapat dipicu oleh obat dan dapat terjadi selama
pemberian penisilin kepada pasien yang alergik. Pada para pasien ini, penisilin mengikat sel
darah merah atau jaringan pejamu lainnya untuk membentuk suatu neoantigen yang memicu
pembentukan antibodi yang mampu menyebabkan lisis sel darah merah dengan perantaraan
komplemen. Pada beberapa keadaan, pemberian obat di kemudian hari dapat menyebabkan
anafilaksis sistemik (hipersensitivitas tipe I).
1.3.3 Tipe 3
Tipe III—Hipersensitivitas tipe III terjadi karena adanya peningkatan kadar kompleks antigen-
antibodi dalam darah yang akhirnya mengendap di membran basal di jaringan dan pembuluh
darah. Pengendapan kompleks imun mengaktifkan komplemen untuk menghasilkan komponen-
komponen dengan aktivitas anafilatoksik dan kemotaktik (CSa, C3a, C4a) yang meningkatkan
permeabilitas vaskular dan merekrut neutrofil ke tempat kompleks mengendap. Pengendapan
kompleks dan kerja enzim-enzim litik yang dikeluarkan oleh neutrofil dapat menyebabkan ruam
kulit, glomerulonefritis, dan artritis pada pasien. Jika pasien memiliki hipersensitivitas tipe III
terhadap suatu antigen tertentu, gejala klinis biasanya terjadi 3-4 hari setelah yang bersangkutan
terpajan ke antigen tersebut.
1.3.4 Tipe 4
Tipe IV: Hipersensitivitas tipe lambat—Tidak seperti hipersensitivitas tipe I, II, dan III,
hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity, DTH) diperantarai oleh sel, dan
respons terjadi 2-3 hari setelah pajanan ke antigen pemeka. DTH disebabkan oleh sel TH21 DTH
spesifik-antigen dan memicu respons peradangan lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan
yang ditandai oleh influks sel radang non-spesifik antigen, khususnya makrofag. Sel sel ini
direkrut di bawah pengaruh berbagai sitokin yang dihasilkan oleh sel TH1 yang menarik secara
kimiawi monosit dan neutrofil dalam darah, memicu mielopoiesis, dan mengaktifkan makrofag.
Makrofag yang telah diaktifkan merupakan penyebab utama bagi kerusakan jaringan pada DTH.
Meskipun umumnya dianggap merugikan, respons DTH sangat efektif dalam mengeliminasi
infeksi oleh patogen intrasel, misalnya Mycobacterium tuberculosis, dan spesies Leishmania.
Manifestasi klinis DTH men- cakup hipersensitivitas kontak dan tuberkulin. Pajanan tuberkulosis
ditentukan dengan uji kulit DTH. Respons positif menunjukkan eritema dan indurasi akibat
akumulasi makrofag, dan sel T DTH (TDTH) di tempat penyuntikan tuberkulin. Tumbuhan
Poison ivy adalah kausa tersering hipersensitivitas kontak, tempat pentadekakatekol, bahan kimia
lipofilik pada poison ivy, memodifikasi jaringan selular dan menyebabkan respons sel T DTH.
II . Memahami dan Menjelaskan Antihistamin dan Kortikosteroid
2.1 Definisi
Antihistamin
Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin. Ada empat jenis reseptor
histamin, namun yang dikenal secara luas hanya reseptor histamin H1 dan H2. Reseptor
H1 ditemukan pada neuron, otot polos, epitel dan endotelium. Reseptor H2 ditemukan
pada sel parietal mukosa lambung, otot polos, epitelium, endotelium, dan jantung.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suatu kelas hormon steroid yang dikeluarkan oleh korteks
adrenal termasuk glukokortikoid (paling banyak diproduksi di tubuh adalah kortisol)
dan mineralokortikoid (paling banyak diproduksi di tubuh adalah aldosteron). Tetapi,
“kortikosteroid” secara umum mengacu pada glukokortikoid. Kortikosteroid
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, serta kecepatan sintesis
protein dan mempengaruhi inflamasi. Glukokortikoid sudah menjadi pengobatan klinik
utama untuk inflamasi dan berbagai penyakit autoimun seperti asma, alergi, dan lainnya.
2.2 Farmakokinetik
Antihistamin
Kortikosteroid dapat diberikan oral, parenteral (IV, IM, intrasinovial dan intralesi,
dan topikal pada kulit atau mata (salep, krim, losio) atau aerosol melalui jalan napas.
Paruh waktu kortikosteroid berkisar 66-120 menit. Kortikosteroid dimetabolisme
terutama di hati. Kortikosteroid dimetabolisme melalui transformasi enzimatik yang
akan mengubah aktivitas fisiologik dan meningkatkan kelarutannya dalam air. Lebih
dari 90% glukokortikoid diekresikan melalui urin. Kurang dari 10% sekresi aldosteron
ditemukan di urin dalam bentuk bebas. Kebanyakan diekresikan sebagai derivat
glucuronide.
2.3 Farmakodinamik
Antihistamin
Antagonisme terhadap histamin. AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh
darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin
endogen berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1, efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus
dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan
dengan marmot.
Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin,
dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamin saja yang berperan tetapi autakoid
lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda-
beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak
dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin,
tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat
hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar
eksokrin lain akibat histamin.
Anestetik lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda. AH1
yang baik sebagai anestetik lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk
menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada
sebagai antihistamin.
Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi,
tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering,
kesukaran miksi, dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap
reseptor muskarinik.
Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti
pada sistem kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada
konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.
Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein.
Hormon memasuki sel jaringan yang responnya melalui membran plasma secara difusi
pasif kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel
jaringandan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktifitas biologik,
umumnya potensi preparat alamiah maupun sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi
natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya anti inflamasinya. Efek
stabilisasi membran mempengaruhi pergeseran cairan dan menurunkan pergerakan cairan
dan sel dari ruang vaskuler, di mana kortikosteroid juga mempengaruhi permeabilitas
dinding vaskuler. Enzim lisosomal juga dicegah untuk dilepaskan. Hasil akhirnya adalah
perubahan retensi cairan pada daerah dengan kerusakan jaringan.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi
dan sintetis protein spesifik pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas,
hormon ini bersifat katabolik. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa hormon steroid
merangsang sintetis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel
limfoid, hal inilah yang mungkin menimbulkan efek kataboliknya.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid efek utamanya pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya
pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini yaitu kortisol.
Golongan mineralokortikoid efek utamanya terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpangan glikogen hepar sangat kecil. Prototip
golongan ini ialah desoksikortikosteron.
Kortisol, yang merupakan kortikosteroid alami dan juga kortikosteroid sintetis,
akan menurunkan jumlah produksi dari limfosit dalam tubuh yang akan menurunkan
respon imun dari limfosit pada peradangan sebagai efek antiinflamasi. Glukokortikoid
akan mencegah inflamasi sebagai respon dari adanya peristiwa infeksi, peradangan akibat
keadaan yang mekanis, kimiawi serta stimulus imunologis. Walau glukokortikoid sebagai
agen antiinflamasi tidak memperbaiki penyebab penyakit, namun dengan supresi dari
inflamasi membuat kortikosteroid banyak digunakan kalangan medis. Efek anti-inflamasi
berasal dari beberapa faktor yang berbeda termasuk penghambatan fosfolipase, perubahan
pada limfosit, penghambatan ekspresi sitokin dan stabilisasi membrane seluler.
Mekanisme antiinflamasi glukokortikoid salah satunya adalah menghambat produksi dari
sel–sel yang merupakan respon dari inflamasi. Sebagai akibatnya akan menurunkan
pelepasan zat vasoaktif dan faktor kemoatraktif, menghilangkan sekresi dari lipolitik,
enzim proteolitik, menurunkan ekstravasasi leukosit dari daerah trauma, dan juga
menurunkan terjadinya fibrosis. Faktor lain yang akan diinhibisi adalah interferon
gamma, faktor stimulasi koloni granulosit dan monosit, interleukin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-
6) dan TNF- α (tumor necrosis factor α).
Konversi fosfolipase menjadi asam arakidonat sangat penting dalam
pembentukan mediator inflamasi seperti L TB-4, L TC-4, l TD-4 dan L TE-4 dan
berbagai prostaglandin. Langkah awal ini difasilitasi oleh kerja enzim fosfolipase A2.
Kortikosteroid menghambat kerja fosfolipase dan kemudian mencegah pembentukan
asam arakidonat dan kemudian mediator inflamasi, dengan demikian kortikosteroid
menghambat produksi baik itu prostaglandin dan leukotrien di jaringan perifer dan
susunan saraf pusat. Yang lebih penting, penghambatan dari siklooksigenase (COX)
primernya pada isoform COX-2, yang menjadikan glukokortikoid sebagai penghambat
COX-2 selektif.
Kortikosteroid juga mengubah fungsi limfosit. Obat-obat ini tampaknya
mengubah mekanisme kemotaktik dan kemo atraktan yang ditemukan pada respon
inflamasi setelah cedera jaringan. Suatu hambatan yang jelas dari sel darah putih pada
sistem limfatik secara tidak langsung membatasi kemampuan sel darah putih untuk
bermigrasi ke jaringan yang rusak. Fungsi limfositik dan ketersediaannya berkurang pada
suatu titik dimana penurunan 70% dari limfosit dalam sirkulasi dapat diamati pada dosis
tipikal dari obat ini. Efek kortikosteroid pada limfosit berbeda antara manusia dengan
binatang coba seperti tikus. Setelah pemberian suatu dosis dari kortikosteroid,
peningkatan sementara dari jumlah sel darah putih dapat diamati. Pada kondisi di mana
infeksi dibuktikan tidak ada, peningkatan ini mungkin disebabkan oleh demarginasi
neutrosit dari endotelium dan suatu peningkatan jumlah pelepasan sel dari sumsum
tulang.
Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis faktor (TNF) merupakan komponen
integral dari respon imun yang dimediasi sel terhadap trauma. Ekspresi dari sitokin ini
dapat dihambat oleh kortikosteroid secara efektif. IL-1 berasal dari makrofag, monosit
dan berbagai sel parenkim dan memicu produksi endothelial yang berbahan dasar protein.
Hasilnya yaitu pembentukan thrombus dan pada akhirnya aktivasi inflamasi dan sel imun.
IL-1 juga mempengaruhi protein prokoagulan, faktor adesif dan metabolisme asam
arakidonat di dalam sel endothelial. TNF menstimulasi produksi berbagai mekanisme
kemotaksis yang berasal dari neutrofil dan protein granulositik.
Efek metabolik dari glukokortikoid adalah metabolisme lemak, karbohidrat dan
protein. Glukokortikoid akan menstimulasi glukoneogenesis pada puasa dan diabetes,
meningkatkan penyerapan asam amino pada hepar dan ginjal dan meningkatkan enzim
yang diperlukan untuk glukoneogenesis, meningkatkan terjadinya lypolisis. Efek
katabolik dari glukokortikoid adalah mengurangi masa lemak dan juga menyebabkan
osteoporosis, efek ini dapat terlihat pada sindrom cushing ataupun penggunaan
glukokortikoid jangka panjang. Efek lain yang juga penting adalah pada sistem saraf
pusat, insufisiensi dari adrenal akan menyebabkan ritme alfa dari EEF akan melambat.
Peningkatan jumlah akan menyebabkan ambang dari pencetus kejang akan semakin
rendah dan menyebabkan gangguan perilaku pada manusia. Selain itu dosis besar dari
glukokortikoid akan menstimulasi produksi dari asam lambung sehingga akan
menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Pada fetus kurang dari 32 minggu
glukokortikoid akan menstimulasi produksi dari surfaktan yang diperlukan untuk
mempertahankan tegangan permukaan dari alveoli di paru.
Glukokortikoid, dengan afinitasnya pada air yang cukup besar, diabsorpsi
dengan cepat menghasilkan onset kerja yang cepat, namun juga dengan cepat
dimetabolisme yang menghasilkan durasi kerja yang pendek. Jika komponen larut air
dirubah, maka durasi kerja obat juga berubah. Glukokortikoid dimetabolisme di hepar
dan di ginjal.
Kegunaan dari kortikosteroid sintetis terutama adalah untuk gangguan fungsi
adrenal, seperti contoh penyakit insufisiensi adrenal yaitu Addison’s disease yang
mempunyai gejala seperti hiperpigmentasi, kelelahan, penurunan berat badan. Serta
penyakit Cushing. karenakan hyperplasia adrenal sekunder, steroid diberikan sebelum
operasi.
Indikasi Antihistamin
1. AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai pemyakit alergi dan mencegah atau
mengobati mabuk perjalanan .
2. AH2 untuk mengatasi gejala akut tukak dan mempercepat penyembuhan .selain itu
,efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung .dan dapat juga
untuk refluks lambung –esofagus .
• Bagi penderita gangguan ginjal ,gangguan hati ,tukak lambung ,obstruksi usus ,infeksi
saluran kemih ,dan glaukoma
Indikasi Kortikosteroid
Dari pengalaman klinis digunakan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini digunakan:
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien ,dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan error
dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit .
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai dua minggu atau lebih dari itu hingga dosis
melebihi dosis substitusi ,insidens efek samping dan efek lethal potensial akan bertambah.
6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar
,mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
ْٓ َو ُكلُوْ ا ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم هّٰللا ُ َح ٰلاًل طَيِّبًا ۖ َّواتَّقُوا هّٰللا َ الَّ ِذ
َي اَ ْنتُ ْم بِ ٖه ُم ْؤ ِمنُوْ ن
Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik,
dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Penjelasan :
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar mereka makan rezeki yang
halal dan baik, yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka. "Halal" di sini mengandung
pengertian, halal bendanya dan halal cara memperolehnya. Sedangkan "baik" adalah dari segi
kemanfaatannya, yaitu yang mengandung manfaat dan maslahat bagi tubuh, mengandung gizi,
vitamin, protein dan sebagainya. Makanan tidak baik, selain tidak mengandung gizi, juga jika
dikonsumsi akan merusak kesehatan.
Prinsip "halal dan baik" ini hendaknya senantiasa menjadi perhatian dalam menentukan
makanan dan minuman yang akan dimakan untuk diri sendiri dan untuk keluarga, karena
makanan dan minuman itu tidak hanya berpengaruh terhadap jasmani, melainkan juga terhadap
rohani.
Jadi bagian ayat yang berbunyi halal dan baik (halalan thayyiba) tersebut di atas
mengandung makna dua aspek yang akan melekat pada setiap rezeki makanan yang dikonsumsi
manusia. Aspek pertama, hendaklah makanan didapatkan dengan cara yang halal yang sesuai
dengan syariat Islam yang dicontohkan Rasul. Dalam hal ini mengandung makna perintah untuk
bermuamalah yang benar. Jangan dengan cara paksa, tipu, curi, atau dengan cara-cara yang
diharamkan dalam syariat Islam.
Sementara dalam aspek baik atau thayyib adalah dari sisi kandungan zat makanan yang
dikonsumsi. Makanan hendaknya mengandung zat yang dibutuhkan oleh tubuh, baik mutu
maupun jumlah. Makanan gizi berimbang adalah yang dianjurkan. Ada makanan yang halal tapi
tidak thayyib, misalnya Rasul mencontohkan kepala, kulit dan jeroan binatang sembelihan
dibuang. Bahkan beliau bersabda jangan makan tulang karena tulang adalah makanan untuk
saudaramu dari bangsa Rasulullah telah memberikan suri teladan tentang kesederhanaan ini.
Makanan yang halal dan thayyib adalah makanan yang halal dan baik bagi tubuh ketika
dikonsumsi. Contohnya seseorang yang alergi berat minum susu kambing, walaupun susu
kambing adalah makanan halal, tetapi bagi dia dianjurkan agar tidak mengonsumsi makanan
tersebut. Telah dijelaskan di atas bahwa Makanan yang kita konsumsi harus halal dan juga baik
bagi tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. G. and Rengganis, I. (2012). Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4970a90760d069372e
1c64d2d9671de6.pdf [ Diakses 26 April 2020 ]
Sari F, Yenny S.W. Antihistamin terbaru dibidang dermatologi. Jurnal Kesehatan Andalas 2018
Vol. 7. Hal 61.
Putra I.B. Pemakaian Histamin Pada Anak [Makalah]. Medan: Departemen Ilmu Keseharan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran-USU;2008.
Diakses: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Farmakologi-
Komprehensif.pdf
https://risalahmuslim.id/quran/al-maaidah/5-88/