Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH PRESKRIPSI

ALERGI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktkum Reskripsi

KELOMPOK 4

Anita Octavia Harun 201510410311060


Linda Novita Putri 201510410311064
Dyah Budi Lestari 201510410311066
Mutia Rakhmi 201510410311077
Muhamad Andriyanto Firdaus 201510410311079
Venty Renita Pradevi 201510410311088
Mutia Rinanda J 201510410311102

FARMASI B

PROGAM STUDI S1 FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat
dan karunia-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas praktikum preskripsi.
Dalam penyelesaian laporan ini ada beberapa kesuliatan, terutama disebabkan oleh
kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang.Namun akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik.Hal itu karena bantuan dari semua pihak dalam pencarian data
dan informasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, cetak maupun elektronik yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.Kami sadar sebagi seorang mahasiswa yang masih
banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat guna penulisan makalah yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang

Malang, 17 Maret 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I..................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN.................................................................................................................... 3
2.1. DEFINISI ALERGI .................................................................................................... 3
2.2. KLASIFIKASI ALERGI ............................................................................................ 4
2.3. PATOFISIOLOGI ALERGI ..................................................................................... 14
2.4. JENIS - JENIS ALERGI........................................................................................... 16
2.5. ETIOLOGI ALERGI ............................................................................................... 17
2.6. MANIFESTASI KLINIS .......................................................................................... 19
2.7. FAKTOR RESIKO ALERGI ................................................................................... 19
2.8. DIAGNOSIS ALERGI ............................................................................................. 23
2.9. PENCEGAHAN ....................................................................................................... 23
2.10. PENATALAKSANAAN ........................................................................................ 24
2.11.PENGOBATAN ALERGI ....................................................................................... 29
BAB III ................................................................................................................................ 45
PENUTUP ........................................................................................................................... 45
3.1. KESIMPULAN ..................................................................................................... 45
3.2. SARAN ................................................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 46

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di
masyarakat.Umumnya masyarakat menganggap bahwa penyakit alergi hanya terbatas pada
gatalgatal di kulit.Alergi sebenarnya dapat terjadi pada semua bagian tubuh, tergantung
pada tempat terjadinya reaksi alergi tersebut.Alergi merupakan manifestasi hiperresponsif
dari organ yang terkena seperti kulit, hidung, telinga, paru, atau saluran pencernaan.Pada
hidung gejala alergi yang timbul berupa pilek, pada paru-paru berupa asma, pada kulit
berupa urtikaria/biduran, eksema, serta dermatitis atopik, sedangkan pada mata berupa
konjungtivitis.Gejala hiperresponsif ini dapat terjadi karena timbulnya respon imun dengan
atau tanpa diperantarai oleh IgE (Mahdi, 2003).
Pada studi populasi, penyakit alergi dapat timbul pada usia yang berbeda-beda,
seperti alergi makanan dan eksim terutama pada anak-anak, asma didapatkan pada anak
dan dewasa, dan rinitis alergika didapatkan pada dekade kedua dan ketiga (Mahdi,
2003).Di Indonesia, prevalensi alergi pada anak-anak dan dewasa cukup tinggi. Penyakit
alergi akan timbul pada individu yang mempunyai kecenderungan yang didasari faktor
genetik, yang biasanya diwariskan dari kedua orangtua.Bila kedua orangtua menderita
alergi kemungkinan anak menunjukkan gejala alergi sekitar 50%, namun bila hanya salah
satu yang menderita alergi kemungkinannya hanya 25% (Hidayati, 2002).
Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakittersendiriyang menggambarkan
dermatitis atopic pada periodebayi akan berlanjut menjadi rhinitis alergika, alergi makanan
dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi dipengaruhi oleh faktor genetik, dan faktor
lingkungan mulai dari masa intrauterin sampai dewasa. Manifestasi penyakit alergi dapat
dicegah dengan melakukan deteksi dan intervensi dini, salah satunya adalah dengan
identifikasi kelompok risiko tinggi atopi melalui riwayat atopi keluarga(Harsono, 2005)
Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria adalah
keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga dengan kemampuan
produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan (Harsono, 2005).
Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kulit yang bersifat kronis, dengan
onset puncak terjadi pada usia kurang dari 12 bulan dan sebagian besar kasus dermatitis
atopik terjadi pada beberapa tahun pertama dalam kehidupan.Dermatitis atopik

1
merupakan manifestasi paling dini dari penyakit alergi. Sebesar 50% penderita dermatitis
atopik akan menjadi asma dan 75% menjadi rhinitis alergika
Penelitian The Copenhagen Prospective Study on Asthma in Childhood Cohort
Study in High-Risk Children(COPSAC)pada tahun 2006 menunjukkan bahwa insiden
kumulatif dermatitis atopik pada3 tahun pertama sebesar 40%, dimana identifikasi gejala
dermatitis atopik pertama kali pada usia 1 bulan

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian alergi?
2. Bagaimana klasifikasi alergi?
3. Bagaimana jenis-jenis dari alergi?
4. Bagaimana patofisiologi dari alergi?
5. Bagaimana penyebab alergi?
6. Bagaimana gejala yang ditimbulkan dari penyakit alergi?
7. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya alergi?
8. Bagaimana pencegahan dari penyakit alergi?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit alergi?
10. Bagaimana pengobatan yang sesuai dengan penyakit alergi?

1.3 Tujuan
1. Untuk menjelaskan penyakit alergi
2. Untuk menjelaskan klasifikasi penyakit alergi
3. Untuk menjelaskan jenis-jenis dari alergi?
4. Untuk menjelaskan patofisiologi penyakit alergi
5. Untuk menjelaskan penyebab penyakit alergi
6. Untuk menjelaskan gejala penyakit alergi
7. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit
alergi
8. Untuk menjelaskan pencegahan penyakit alergi
9. Untuk menjelaskan penatalaksanaan penyakit alergi
10. Untuk menjelaskan pengobatan penyakit alergi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI ALERGI


Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu zat
(alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi.Namun, sebagian besar
para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun
berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hal ini
bergantung pada berbagai keadaan, termasuk pemaparan antigen, predisposisi genetik,
kecenderungan untuk membentuk IgE dan faktor-faktor lain, misalnya adanya infeksi
saluran nafas bagian atas, infeksi virus, penurunan jumlah sel Tsupresor dan defisensi IgA.
Alergi ialah reaksi imunologis berlebihan dalam tubuh yang timbul segera atau
dalam rentan waktu tertentu setelah eksposisi atau kontak dengan zat yang tertentu
(alergen) (Judarwanto, 2005).

Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan
yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat
atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahanbahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak

3
untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahanbahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Alergi adalah suatu reaksi sistem kekebalan tubuh (imunitas) terhadap suatu bahan /
zat asing (alergen). Bentuk reaksi itu macam-macam, bisa berbentuk ruam kemerahan,
penyumbatan (kongesti), pilek, bersin, radang mata, asma, shock atau bahkan kematian
(jarang terjadi). Alergi dapat berasal dari makanan atau obat. Sebagian besar penyebab
alergi makanan adalah zat-zat protein tertentu dalam susu sapi, putih telur, gandum,
kedelai, udang, dll. Sedangkan dari obat, penisilin dan turunannya yang paling banyak
menimbulkan reaksi alergi. Jenis obat dengan kecenderungan besar menimbulkan
reaksialergi adalah jenis sul!a, barbiturat, antikon"ulsi, insulin dan anestesi local.

2.2. KLASIFIKASI ALERGI


Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara genetik
menunjukkan kepekaan terhadap alergen dengan memproduksi IgE secara
berlebihan.
2. Alergi obat reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap obat
tertentu.
3. Dermatitis kontak : reaksi hipersensitivitas IV yang disebabkan oleh zat kimia,
atau substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan lain-lain.
Menurut sumber lainnya menyebutkan bahwa alergi dibagi menjadi 4 macam, tipe I
sampai dengan III berhubungan dengan antibodi humoral, sedangkan macam ke IV
mencakup reaksi alergi lambat oleh antibodi seluler.

4
A. Type I (reaksi anafilaktis dini)
Setelah kontak pertama dengan antigen/alergen, di tubuh akan dibentuk antibodi
jenis IgE (proses sensibilisasi). Pada kontak selanjutnya, akan terbentuk kompleks antigen-
antibodi. Dalam proses ini zat-zat mediator (histamin, serotonin, brdikinin, SRS= slow
reacting substances of anaphylaxis) akan dilepaskan (released) ke sirkulasi tubuh. Jaringan
yang terutama bereaksi terhadap zat-zat tersebut ialah otototot polos (smooth muscles)
yang akan mengerut (berkontraksi). Juga terjadi peningkatan permeabilitas (ketembusan)
dari kapiler endotelial, sehingga cairan plasma darah akan meresap keluar dari pembuluh
ke jaringan. Hal ini mengakibatkan pengentalan darah dengan efek klinisnya hipovolemia
berat.
Gejala-gejala atau tanda-tanda dari reaksi dini anafilaktis ialah:
• shok anafilaktis
• urtikaria, edema Quincke
• kambuhnya/eksaserbasi asthma bronchiale
• rinitis vasomotorica Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas
langsung atau anafilaktik.
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari,
dan saluran gastrointestinal.Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai
dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit
setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal
hingga 10-12 jam.Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E
(IgE).Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil.Reaksi ini
diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE
spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai.
Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun,
peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi
cacing, mieloma, dll.Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas
tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan
Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk
beberapa alergi tertentu.

5
B. Type II (reaksi imu sitotoksis)
Reaksi ini terjadi antara antibodi dari kelas IgG dan IgM dengan bagian-bagian
membran sel yang bersifat antigen, sehingga mengakibatkan terbentuknya senyawa
komplementer. Contoh: reaksi setelah transfusi darah, morbus hemolitikus neonatorum,
anemia hemolitis, leukopeni, trombopeni dan penyakit-penyakit autoimun.
Tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin
E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan
akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Alergi
dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel
sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari Alergi tipe II
adalah:
a) Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal)

b) Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat


menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah).

6
c) Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal). merupakan penyakit autoimun yang
menyebabkan inflamasi pada glomerulus pada ginjal dan alveolus pada paru-paru.
Sindrom Goodpasture merupakan penyakit yang serius yang dapat menyebabkan
pendarahan pada paruparu dan gagal ginjal. Sindrom ini banyak terjadi pada pria
muda, tetapi dapat juga berkembang pada usia berapapun dan dapat menjangkiti
wanita. Sindrom Goodpasture dapat terjadi akibat reaksi pengobatan dengan obat
immunosupresan dan plasmaferesis (prosedur untuk membuang antibodi yang tidak
diinginkan dari plasma darah). Seseorang yang terkena sindrom ini bila terus
menerus terkena maka perlu dilakukan proses dialisis darah dan yang paling parah
adalah transplantasi ginjal.

C. Type III (reaksi berlebihan oleh kompleks imun = immune complex =


precipitate)
Reaksi ini merupakan reaksi inflamasi atau peradangan lokal/setempat (Type Arthus)
setelah penyuntikan intrakutan atau subkutan ke dua dari sebuah alergen. Proses ini

7
berlangsung di dinding pembuluh darah. Dalam reaksi ini terbentuk komplemen-
komplemen intravasal yang mengakibatkan terjadinya kematian atau nekrosis jaringan.
Contoh: fenomena Arthus, serum sickness, lupus eritematodes, periarteriitis nodosa, artritis
rematoida. Tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun.Hal ini disebabkan adanya
pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan.Hal ini
ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan
dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau
antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada
penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan
menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian
koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi
Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu
lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi.Beberapa contoh
sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus
yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora
Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu :
1. Reaksi Arthus Maurice
Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal
pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan
menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam
dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-
leukosit PMN.Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi
kompleks imun.Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat
menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.

8
Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah
besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut
dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar,
komplemen mulai diaktifkan.C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan
adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi
dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan
memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan
melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.

2. Reaksi serum sickness


Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai
konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus
dengan antiserum asal kuda.Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar
digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan
menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah
penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan
kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak
dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan
mungkin juga ditemui albuminaria sementara.Pada berbagai infeksi, atas dasar
yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan
beberapa bahan jaringan normal.Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi
disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah :
a) Demam reuma

9
Demam rheuma adalah penyakti sistemik yang berisfat subakut atau
khronik yang dalam perjalanan penyakit selanjutnya dapat sembuh dengan
sednririnya (self limited) atau menjurus pada deformitas katup jantung. Penyakit
ini banyak terjadi di negara-negara y a n g s e d a n g berkembang di mana
insiden infeksi Streptokokus β Hemolitikus masih tinggi.
Demam rheuma paling banyak mengenal golongan usia 5 – 15 tahun, dan
jarang dijumpai pada usia kurang dari 4 tahun atau di atas 50 tahun. Penyakit ini
adalah akibat dari respon reaksi antigen – antobodi yang terjadi dalam
jangkawaktu antara 1 – 4 minggu setelah terjadinya infeksi dengan Streptokokus
β Hemolitikus grup Amisalnya : tonsillitis nasofaringitis atau otitis media.
3. Artritis rheumatoid
Merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh
diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan
dalam waktu lama pada sendi.Penyakit ini menyerang persendian, biasanya
mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan
struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang.
Umumnya penyakit ini menyerang pada sendi-sendi bagian jari,
pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Pada penderita stadium lanjut akan
membuat si penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan kualitas
hidupnya menurun. Gejala yang lain yaitu berupa demam, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, lemah dan kurang darah. Namun kadang kala si penderita
tidak merasakan gejalanya. Diperkirakan kasus Rheumatoid Arthritis diderita
pada usia di atas 18 tahun dan berkisar 0,1% sampai dengan 0,3% dari jumlah
penduduk Indonesia.
3. Infeksi lain
4. Farmer’s lung
Adalah sebuah hipersensitivitas pneumonitis yang disebabkan oleh
penghisapan debu biologis yang berasal dari debu jerami atau produk pertanian
lainnya.Ini menghasilkan respon inflamasi hipersensitivitas tipe III dan menjadi
kondisi kronis yang berbahaya. Sementara, alergen yang dihirup sering
menyebabkan antibodi Ig E beredar dalam darah, jenis respon imun yang paling
sering itu disebabkan oleh paparan actinomycetes termofilik (paling sering
Saccharopolyspora rectivirgula ) yang menghasilkan IgG-jenis antibodi. Setelah
paparan berikutnya, antibodi IgG bergabung dengan alergen inhalasi untuk

10
membentuk kompleks imun di dinding alveoli paru-paru.Hal ini menyebabkan
cairan, protein, dan sel-sel menumpuk di dinding alveolar yang memperlambat
pertukaran darah-gas dan fungsi paru-paru.

D. Type IV (Reaksi lambat type tuberkulin)


Reaksi ini baru mulai beberapa jam atau sampai beberapa hari setelah terjadinya
kontak, dan merupakan reaksi dari t-limfosit yang telah tersensibilisasi. Prosesnya
merupakan proses inflamatoris atau peradangan seluler dengan nekrosis jaringan dan
pengubahan fibrinoid pembuluh-pembuluh yang bersangkutan. Contoh: reaksi tuberkulin
(pada tes kulit tuberkulosa), contact eczema, contact dermatitis, penyakit autoimun
(poliarthritis, colitis ulcerosa) dll.)
Tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat
(delayed-type).Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi
sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah
yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal
timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat
dilihat pada
tabel di bawah
ini :

11
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
1. Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis.Hal
tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit
yang peka terhadap siklofosfamid.Reaksi JM atau Cutaneous Basophil
Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan
pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi
biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang
merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil.Mekanisme
sebenarnya masih belum diketahui.Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi
CBH yang berat di tempat tungau menempel.Basofil kemudian melepas mediator
yang farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan
tungau tersebut.Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan
allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis.Hal-
hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit
hipersensitivitas.

2. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak


Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada
titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan
merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC)
memegang peranan pada reaksi ini.Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung

12
untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang
sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan
unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru.Oleh karena itu,
hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka karena
pekerjaan yang berhubungan dengan bahanbahan kimia seperti prikil klorida dan
kromat.Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu
mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi
pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis)
menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan
terbentuknya gelembung.

3. Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi
dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri
atas infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam
timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang
merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen
dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan.Dilain hal terjadi hal-
hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.Kelainan kulit yang khas pada
penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus
ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4. Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke
jaringan.Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi
berdegenerasi.Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier.Pada stadium ini,
dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan
gambaran patologik dari inflamasi kronik.

13
2.3. PATOFISIOLOGI ALERGI
Mediator alergi
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang termasuk sel mediator
adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia
yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin,
newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen
tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai
dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan
alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik
yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel.
Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang
menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil,
sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena
kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula
pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari
Lewis) dan bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma.
Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung dan bila
penglepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat meningkat
menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan tromboksan.
Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas dan
sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga
meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung
menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl chemotacting factor-anaphylazsis
(ECF-A) dilepaskan segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat
reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan menghalangi aksi newly
synthesized mediator dan histamin. Plateletes Activating Factor (PAF) menyebabkan
bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan
faktor XII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin dapat menyebabkan
kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak

14
ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi
trombosit yang juga akan menyebabkan kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar

Gambar.Jalur reaksi alergi


Fase sensitisasi
Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute diantaranya kulit, saluran nafas,
dan saluran pencernaan. Ketika masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen
Presenting Cells (APCs) di dalam endosom. Kemudian APC akan mempresentasikan
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II kepada sel limfosit T helper (Th0) di
dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah
proliferasi sel Th menjadi Th2. Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk
memproduksi Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat
menghasilkan interferon gamma (IFN-ɤ) untuk mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2
akan lebih aktif memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B menukar produksi antibodi
IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor IgE berafinitas tinggi (FcƐRI) pada
sel mast, basofil dan eosinofil.

Fase reaksi
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami degranulasi yaitu
suatu proses pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel yang berupa histamin,
prostaglandin, serta sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala klinis.

Fase reaksi lambat

15
Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan puncaknya setelah 6-9 jam.
Mediator inflamasi akan menginduksi sel imun seperti basofil, eosinofil dan monosit
bermigrasi ke tempat kontak dengan paparan alergen. Sel-sel tersebut akan mengeluarkan
substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan aktivitas imun berkepanjangan serta
kerusakan jaringan.
Mekanisme Transfer Alergi
Ibu yang memiliki riwayat alergi berpotensi mempengaruhi respon imun bayi melalui
plasenta dan air susu ibu (ASI). Transfer alergen makanan atau inhalan melalui plasenta
atau ASI juga diketahui bisa terjadi. Antibodi yang bisa diturunkan ke anak melalui
plasenta adalah IgG, IgA. Sedangkan antibodi yang bisa diturunkan melalui ASI yaitu IgA,
IgG, IgM, IgE. Transfer sitokin dan kemokin juga dapat terjadi. Misalnya, interferon-ɤ
(IFN-ɤ) dan interleukin-6 (IL-6) terdeteksi dalam kolustrum wanita normal dan ini dapat
diturunkan melalui ASI. Penelitian in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa transfer
tersebut dapat menyebabkan penurunan imunitas neonatus. Kemokin, misalnya IL-8
(sitokin yang diregulasi pada aktivasi sel T normal), IFN-ɤ-inducible protein dan monokin
yang diinduksi oleh IFN-ɤ juga terdeteksi dalam ASI ibu. Sitokin dan marker inflamasi
lainnya ditemukan dalam ASI ibu dengan riwayat atopi maupun tanpa riwayat atopi.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah kandungan asam lemak pada ASI, yang juga
mempengaruhi respon imun bayi. Selain faktor-faktor tersebut, sel juga ditransfer dalam
rahim, misalnya sel leukosit yang dapat diturunkan dari ibu kepada bayi. Hal ini penting
karena pada suatu penelitian menunjukkan bahwa sel T spesifik alergen diturunkan dari
satu induk tikus yang dapat mentransmisikan risiko asma kepada anaknya. Transfer sel
bertanggung jawab atas pewarisan risiko alergi dari ibu kepada fetus.

2.4. JENIS - JENIS ALERGI


Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara genetik
menunjukkan kepekaan terhadap alergen dengan memproduksi IgE secara
berlebihan.
2. Alergi obat : reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap obat
tertentu.
3. Dermatitis kontak : reaksi hipersensitivitas IV yang disebabkan oleh zat kimia, atau
substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan lain-lain.

16
2.5. ETIOLOGI ALERGI
Faktor penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis
makanan dan zat lain.
Pada dasarnya sistem kekebalan tubuh merupakan benteng pertahanan terhadap
benda asing yang masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit. Bila ada benda yang
membahayakan atau yang disebut ‘antigen’ masuk, maka sistem kekebalan tubuh akan
bereaksi dengan cara mendatangi antigen tersebut dan menghasilkan antibodi yang terdiri
dari imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD, IgE).
Antibodi ini akan datang ke tempat masuk antigen dan menghancurkannya. Antibodi
ini bersifat protektif dan membantu menghancurkan antigen dengan menempel di
permukaannya sehingga lebih mudah untuk dihancurkan.Imunoglobulin terdiri dari 5 tipe
IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE.Imunoglobulin yang dapat menimbulkan reaksi alergi adalah
IgE. Pada orang alergi produksi IgE dapat sangat berlebihan

Gambar : Sel Mast


Antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin dan
derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-
obatan lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain atau
lidokain serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum
17
(ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi
alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat
menimbulkan alergi misalnya zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin.
Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran tungau dari
debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat
juga dapat merangsang mediator alergi sehingga timbul manifestasi alergi.15
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan
maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu
Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan
manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap asing
oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga makanan tidak
terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian menimbulkan hipersensitivitas.

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:


1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pria.Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu
menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan
sistem imun.Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru
meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan
dengan populasi normal.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan
orang dewasa.Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim
immunologi yang belum sempurna.Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena
lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua
akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang
lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya
sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun

18
sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.Semakin sering obat digunakan, Semakin besar
pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai
dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus
(HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas
obat.

2.6. MANIFESTASI KLINIS


Gejala alergi yang terjadi dalam tubuh dapat dibedakan dari bagian di mana
alergiituterjadi. Beberapa bagian tubuh sering dipengaruhi oleh alergi
• Sistem pernafasan. Gejala alergi pada sistem pernapasan adalah batuk, pilek,hidung
tersumbat, bersin, sesak napas, mengi suara, mimisan, sakit telinga,kemerahan
telinga, tenggorokan gatal, suara serak.
• Sistem pencernaan. Gejala alergi terhadap sistem pencernaan: nyeri perut,
diare,sulit buang air besar, kembung, dan sering kentut.
• Kulit. Gejala alergi pada kulit bisa kulit gatal, kulit merah berbintik-bintik,
kulitmenebal, eksim, kulit menjadi kebiruan / hitam, bibir menjadi bengkak.
• Mata. Gejala alergi pada mata adalah: mata gatal, mata merah, mata berair,
mata belekan, warna kehitaman di bawah mata, bintitan.

2.7. FAKTOR RESIKO ALERGI


a. Riwayat Keluarga
Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk megembangakan respon
imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk sejak dini pada masa gestasi.
Berbagai regio kromosom terkait dengan atopi dan asam, terutama dengan lokus
pada kromosom 5,6,11,12,13, dan 1. Berbagai lokus genetik mempunyai asosiasi
dengan penyakit alergi, antara lain tiga lokus yang berhubungan dengan asam dan
dermatitis atopi yaitu 5q31-33, 11q13 dan 13q12-14. Kromosom 5q31-36 yang
mengandung gen sitokin IL-3, IL-4,IL-5,IL-13 dan GM – CSF yang diekspresikan
oleh sel Th-2 menunjukkan peran penting faktor genetik pada penyakit alergi.
Penelitin menyebutkan bahwa kelompok anak dengan gangguan mengi pada
usia kurang dari 3 tahun yang menetap sampai 6 tahun mempunyai prediposisi ibu

19
atopi ( asam, rinitis alergik, dermatitis atopik ), dibandingkan dengan kelompok
anak mengi tidak menetap ibu tidak atopi. Penelitian shah dan bavat menyebutkan
bahwa peningkatan kadar IgE total pada tali ousat merupakan faktor resiko
terjadinya alergi pada anak usia 1 tahun. Penelitian di Tasmania didapatkan
hubungan yang signifikan anatara asam dengan riwayat alergi dalam keluarga
dengan lebih dari 1 mayor gen yang sama. Penelitian Moffat menyebutkan
hubungan kromosom 11q dalam kehamilan sebagai phenotype terhadap IgE
spesific dan IgE total.
Atopy adalah kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE antibodi terpapar
alergi.Suatu studi apidemologi keluarga menyongkong kejdian alergi, bahwa faktor
genetik berpengaruh pada kelurga atropi. Bila salah satu orang tua mempunyai
penyakit alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua
mempunyai alergi, maka resiko pada anak 50-70%. Meskipun demikin, ada studi
lain yang menyatakan bahwa faktor genetik bukan satu-satunya faktor tentang
kejadian alergi tetapi ada faktor lain.
Kromosom 5q telah diketahui memiliki peranan pada pelepasan sitokin yang
mempengaruhi produksi IgE. Daerah MHC kromosom 6 telah menunjukkan
konsisten keterkaitan dengan asam-terkait fenotipe dalam beberapa studi dan
menjadi lokus utama dalam mempengaruhi penyakit alergi yang berperan dalam
pengenalan aeroallergen sedangkan kromosom 11 yang berperan sebagai reseptor
IgE dengan afinitas kuat pada mastosit.
b. Allergic March
Perjalanan alamiah penyakit alergi mengikuti suatu kurve yang disebut dengan
allergic march, dimana dermatitis atopik dan alergi makanan sering menjadi
menifestasi klinis pertama penyakit atopi pada usia sekitar 6 bulan/tahun pertama
dan dermatitis atopik ini akan menjadi asam atau rinitis alergik dikemudian hari.
Gejala penyakit atopi berubah menurut umur. Pada awal neonatus akan
menghasilkan antibodi IgE terhadap susu sapi dan protein telur, kemudian
bermanifestasi dermatitis atopik, gangguan gastrointestinal dan sewaktu-waktu
timbul gejala di sistem respirasi. Sensitisasi terhadap tungau debu rumah, bulu
kucing dan alergen dalam rumah yang lain akan timbul pada usia pra sekolah dan
usia sekolah.
c. Faktor Lingkungan

20
Faktor lingkungan adalah faktor yang cukup banyak berpengaruh terhadap
timbulnya gejala penyakit alergi.Adanya alergen di lingkungan hidup anak
meningkatkan resiko penyakit asam. Alergen yang sering mencetuskan penyakit
asam antara asam lain adalah serpihan kulit binatang peliharaan, tunggu debu,
rumah, jamur dan kecoa. Tunggu debu rumah dapat meningkatkan permeabilitas
mukosa bronchial sehingga memfasilitas allergen lain untuk memasuki epithelium
dan mensensitisasi sistem imun.
Penelitian di Taipei dengan kuesioner ISAAC didapatkan 3,694 ( 14,72% )
anak yang mengalami alergi dengan hasil pemeriksaan IgE spesifik adalah
Dermatophagoides pteronyssinus, D. Farinae dan Blomia tropicaliswere ( 90.79% ),
(88.24%), (84.63%). Alergi terhadap bulu anjing ( 8.69% ) dan kecoa ( 15.48% .
Alergen makanan didapatkan hasil kepiting, susu, putih telur, dan udang ( 88.08%,
22.45%, dan 21.44% ). Rosenstreich melaporkan hasil tes cukit kulit pada anak
asma didapatkan kecoa sebanyak 22,7%. Penelitian di Costa rica didapatkan
hubungan antara sensitisasi dari tungau debu rumah, rendahnya pendidikan orang
tua dn riwayat orang tua asma dengan kejadian asma. Alergen tersering pada asma
adalah tungau debu rumah diikuti hewan peliharaan, kecoa dan jamur. Penelitian
Sponk didapatkan bahwa terpaparnya tungau debu rumah usia 2 tahun akan
meningkatkan resiko asma usia 11 tahun.
Polusi udara secara langsung dapat menyebabkan inflamasi pada hidung yang
ditandai dengan hidung tersumbat dan meningkatnya produksi mukus sedangkan
efek tidak langsung adalah meningkatkan aktifitas Th2. Polutan mempunyai
peranan penting terhadap kejadian asma dan rinitis alergik dan yang paling
berperan adalah asap rokok. Pajanan terhadap asap rokok baik secara aktif maupun
pasif, berhubungan dengan peningkatan berbagai gangguan saluran nafas termasuk
asma dan rinitis. Selain itu asap kendaraan terutama asap diesel menyebabkan
peningkatan aktivitas Th2 serta produksi IgE. Bahan iritan saluran nafas seperti
sulfur dioksida, nitrogen oksida dan pertikel hasil pembakaran mesin diesel
menyebabkan peningkatan IgE dengan berbagai mekanisme dan inflamsi lokal
pada saluran pernafasan,sehingga terjadi peningkatan kontak antara jaringan
dengan alergen sehingga timbul respon imun.
Infeksi virus diduga mempermudah timbulnya alergi, hubungan ini terlihat
pada kejadian infeksi RSV di masa bayi dengan timbulnya asma pada kehidupan

21
berikutnya. Infeksi RSV akan menyebabkan kerusakan epitel saluran nafas yang
akan menyebabkan degranulasi sel mast dan menyebabkan spasme bronkus.
d. Faktor Regulasi Sitokin
Sel mast juga merupakan sumber dari beberapa sitokin yang mempengaruhi sel
yang berperan pada reaksi alergi.Pada individu yang cenderung untuk alergi,
paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktinasi sel Th2 dan produksi
IgE.Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang
berspons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen
yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat ( reaksi alergik ) sering
disebut sebagai alergen.
Atopi pada seseorang dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
kadar IgE spesifik, uji kulit terhadap alergen dan pola sekresi sitokin serta respon
sel limfosit Thelper (Th2). Produk sitokin dapat menggambarkan pola respon Th1
(IL-2,IFN,IL-12) dan Th2 ( IL-4,IL-5,IL13 ). Pola respon Th2 dihubungkan dengan
reaksi inflamasi alergi, sedangkan pola respons Th1 dihubungkan dengan
hipersensitivitas tipe lambat dab reaksi inflamasi infeksi.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4
yaitu Th2. Limfosit ini memperoduksi IL-3,IL-4,IL-5,IL-6, TNF serta GM-CSF.
IL-4 dan IL-13 akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing
untuk berferensiasi menjafi sel plasma yang kemudian memperoduksi IgE.
Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1.Zat ini
meragsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang
merangsang T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang
sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga
mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin
diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh
mediator sel mast.
Penyimpangan respon imun atau gangguan kesimbangan ke arah Th2 akan
memberikan kemudahan proses perkembangan alergi. Perkembangan
kecenderungan pada pola Th2 terjadi pada masa bayi dan anak.Telah diketahui
semasa dalam kandungan fetus barada dalam lingkungan pola respon Th2 dan
produksi IFN neonatus dari keluarga atopi cenderung rendah sehingga
kecenderungan ke arah Th2 lebih besar.Karena itu dapat dipahami bahwa alergi
meternal lebih berperan sebagai faktor genetik atopik.

22
e. Faktor Dietetik
Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan
dermatitis atopik pada bayi dan anak, terutama makanan yang banyak mengandung
protein seperti susu sapi, telur ayam, ikan laut dan kacang-kacang. Pemberian air
susu ibu ( ASI ) eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif terhadap
makan pada tahun pertama kehidupan. Pemberian ASI pada bayi cenderung
meningkatkan angka kejadian alergi. Dibanding dengan air susu sapi maka ASI
dapat mengurangi kejadian eksema sebanyak 7 kali lipat. Pemberian ASI ekslusif
selama 4 bulan atau lebih dapat menurunkan IgE total pada anak usia 6 tahun dan
11 tahun.

2.8. DIAGNOSIS ALERGI


Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dengan melakukan
anamnesis. Anamnesis diperjelas dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan sensitivitas IgE,
tes pada kulit atau allergen specific serum IgE measurements (RAST).
Skin-prick testing (SPT) dilakukan dengan ekstrak alergen, diujikan pada kulit.
Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik (RAST).
Pemeriksaan IgE total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki
kelemahan. IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi seperti infestasi
parasit, sehingga kurang spesifik. Sedangkan pemeriksaan IgE spesifik untuk mengukur
IgE spesifik alergen dalam serum pasien.
Adapun pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi adalah
skrining antibody IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation test
(CAST).

2.9. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan dengan menghindari hal-hal yang menyebabkan reaksi alergi,
seperti :
1. menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi
2. Jangan biarkan hewan berbulu masuk ke dalam rumah, jika alergi terhadap bulu
hewan
3. bersihkan debu dengan penyedot debu dan lap basah, minimal 2-3 kali seminggu,
jangan

23
4. menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.
5. Gunakan pembersih udara elektris (AC) untuk membuang debu rumah, jamur dan
pollen dari udara. Cuci dan ganti filter secara berkala.
6. Tutup perabot berbahan kain dengan lapisan yang bisa dicuci sesering mungkin.
7. Jangan menggunakan bahan/perabot yang dapat menampung debu di dalam kamar.
8. Untuk menghindari kontak dengan alergen, gunakan sarung tangan dan atau masker
ketika sedang bersih-bersih di dalam maupun di luar rumah.
9. Larang rokok dan penggunaan produk yang beraroma di rumah

2.10. PENATALAKSANAAN
2.10.1. PENANGANAN SECARA UMUM
Untuk reaksi alergi ringan-sedang
• Tenangkan dan yakinkan pasien bahwa ia akan baik-baik saja karena kecemasan dapat
memperparah keadaan.
• Kenali dan identifikasi penyebab alergi. Bila telah diketahui maka segera hindari
penderita dari penyebab.
• Penyebab alergi seperti sengatan lebah ditangani dengan cara mengeluarkan sengat
menggunakan pencungkil baik kuku ataupun kartu kredit. Jangan menggunakan pinset
atau penjepit lainnya karena dapat menghancurkan sengat dan menyebarkan racun lebih
banyak
• Bila penderita mengalami gatal-gatal segera berikan losio kalamin (pelembab yang
mengandung kalamin) atau sesuatu yang dingin.
• Awasi penderita untuk gejala-gejala peningkatan distress
• Panggil bantuan medis.

Untuk gejala ringan mungkin hanya membutuhkan pengobatan dokter yang ringan
seperti antialergi

Untuk reaksi parah:


• Periksa ABC. Tanda-tanda bahaya untuk pembengkakan jalan nafas adalah suara serak
dan berbunyi saat penderita mengambil nafas. Bila penderita mengalami kesulitan
bernafas dan sangat lemah atau mengalami penurunan kesadaran, segera panggil
bantuan. Bila perlu berikan bantuan nafas

24
• Tenangkan penderita
• Bila reaksi alergi adalah akibat sengatan lebah, hilangkan sengat dengan mencungkil.
Jangan menggunakan penjepit
• Bila penderita memiliki obat alergi segera berikan. Hindari pemberian melalui oral bila
penderita mengalami kesulitan bernafas
• Ambil tindakan untuk menghindari terjadinya syok. Baringkan penderita di tempat yang
datar, tinggikan kaki penderita sekitar 12 inchi dan selimuti penderita dengan jaket atau
kain. Jangan tempatkan penderita dengan posisi seperti ini bila penderita mengalami
cedera di bagian kepala, leher, punggung, atau kaki
• Bila penderita mengalami penurunan kesadaran, segera lakukan tindakan penanganan
penurunan kesadaran dan hubungi 118

2.10.2. PENATALAKSANAAN ALERGI OBAT


Prinsip Umum
Prioritas tatalaksana obat mengarah kepada daftar obat-obatan terutama yang terbukti
kuat menimbulkan reaksi alergi yang diperolehdari data anamnesis. Tiga hal yang menjadi
dasar tatalaksana alergi obat adalah menghindari faktor yang menimbulkan gejala,
pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara khusus
Tabel 1. Pembagian reaksi obat menurut mekanisme
Terbukti/diduga kuat Mungkin Menimbulkan reaksi
menimbulkan reaksi alergi menimbulkan pseudoalergi
reaksi alergi
Antibiotik β-laktam (penisilin, Kuinolon Opiat
sefalosporin,monobaktam, Sulfonamid Aspirin dan AINS
karbapenem)
Insulin Dilantin Heparin
Kemopapain Protamin Inhibitor ACE
Streptokinase Pelemas otot Aditif
Serum heterologous Anestesi lokal Larutan protein plasma
Tetanus (Toksoid–Tetanus/ Difteri- Kemoterapi Larutan penggantiberbahan
Td) gelatin
Lateks Transfusi Tartazin
Agen biologik baru (campak, Hemodilaisis Kontras

25
mumps, MMR, vaksin asal telur)

Jika memungkinkan, maka pencegahan pemberian obat merupakan pilihan utama.


Perlu diingat sebisa mungkin menghindari obat yang telah diketahui menimbulkan reaksi
alergi dan obat yang tidak memiliki efek klinis yang penting. Penapisan melalui uji tusuk
diperlukan terutama jika akan memberikan pengobatan anti serum asing seperti globulin
anti-timosit. Rute pemberian obat yang diketahui dapat menimbulkan reaksi paling berat
adalah rute intravena. Oleh karena itu, jika memungkinkan rute ini dihindari terutama pada
pasien dengan riwayat reaksi alergi obat yang berat. Perhatian khusus harus diberikan pada
antibiotik terutama penisilin karena sering menimbulkan reaksi anafilaksis. Ketika pernah
terjadi reaksi obat, maka pasien dan orang yang bertanggung jawab atas pasien wajib
dinformasikan dan dilakukan pencatatan di rekam medik.
Pengobatan reaksi cepat pada alergi obat prinsip nya adalah pemberian epinefrin,
pengehentian obat yang diberikan, pemberian antihistamin (jika terdapat urtikaria,
angioedema dan pruritus) dan pertimbangan untuk pemberian kortikosteroid oral.
Sedangkan untuk reaksi lambat, pada dasarnya sama dengan pada reaksi alergi obat cepat
kecuali pemberian epinefrin.Namun, reaksi alergi obat lambat dapat berlanjut meskipun
obat penyebab sudah dihentikan.

Cara-Cara Khusus
Terdapat beberapa cara khusus yang penting dalam tatalaksana alergi obat
diantaranya adalah threating through, test dosing, desensitisasi dan pramedikasi terhadap
obat-obat tertentu. Dalam keadaan ekstrim, yaitu saat obat kausal sangat diperlukan, maka
pilihan yang dapat diambil adalah obat diteruskan bersamaan pemberian anthistamin dan
kortikosteroid untuk menekan alergi. Hal ini disebut treating through, namun berisiko
potensial mengakibatkan reaksi berkembang menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan
memicu keterlibatan organ internal.2
Pada kondisi tes kulit atau RAST terhadap obat antibiotik tidak dapat dikerjakan dan
dipikirkan kemungkinan alergi rendah, tidak disertai reaksi berat dan mengancam nyawa,
maka dapat dikerjakan tes dosing atau provocative drug challenge/graded drug challenge/
incremental drug challenge. Tes ini tidak mengubah respon sistem imun. Prinsip dasar tes
ini adalah pemberian obat secara hati-hati dan bertahap, sehingga reaksi ringan yang
diketahui mungkin terjadi akan segera diketahui dan dapat dengan mudah diatasi. Tes ini
dapat dipakai sebagai satu-satunya cara absolut untuk menyatakan ada tidaknya hubungan

26
etiologi antara obat, sehingga bila penderita menunjukkan toleransi terhadap obat yang
diberikan, berarti tidak ada alergi. Tes ini terbagi menjadi tesdosing cepat dan lambat.
Pada tes dosing, obat diberikan dengan dosis awal yang kecil, kemudian ditingkatkan
serial sampai dicapai dosis penuh. Interval waktu peningkatan dosis yaitu 24-48 jam bila
dipikirkan reaksi hipersensitivitas lambat dan 20-30 menit bila dipikirkan reaksi lgE. Pada
tes dosing lambat dikerjakan bila reaksi yang diduga terjadi adalah reaksi lambat seperti
dermatitis. Pada kondisi ini jarak antara pemberian obat dijadikan 24-48 jam, prosedur
biasanya selesai dalam 2 minggu. Pemeriksaan tes dosing saat ini semakin sering
dikerjakan pada penderita HIV yang akan diberikan trimetoprim/sulfamtoksazole. Saat ini
sudah tersedia beberapa protokol untuk tes dosing terhadap beberapa obat seperti
sulfonamid, relaksan otot, asiklovir, zidovudine, pentamidin dan penisilamin, ihinbitor
ACE dan heparin. Selain itu, termasuk juga obat yang jarang menimbulkan reaksi alergi
seperti β-blocker dan obat-obatan yang dapat menimbulkan reaksi serupa alergi (pseudo-
alergi) seperti opiate, anestesi lokal, aspirin, dan tartazin.2,17,24
Desensitisasi adalah pilihan tatalaksana pada kondisi yang sudah dipastikan terdapat
alergi obat. Namun dmeikian, tidak ada pilihan obat yang lain. Desensitisasi sendiri dapat
dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi yang tidak terjadi melalui IgE, desensitisasi cepat
pada anafilaksis dan desensitisasi lambat.17
Pada reaksi yang melibatkan IgE, desensitisasi dikerjakan dengan tujuan
memperoleh reaksi yang ringan melalui eliminasi IgE. Terapi ini dilakukan dengan cara
induksi toleransi pada renderita yang mengalami reaksi alergi (melalui IgE), cepat dan
sistemik terhadap obat yang dapat dipastikan dengan tes kulit misalnya pada penisilin.
Teknik desenstisasi menggunakan protokol yang prinsip dasarnya adalah pemberian
bertahap dosis obat yang ditingkatkansecara perlahan, mulai dari dosis subalergenik dan
diteruskan sampai dosis penuh. Pada saat dilakukan desensitisasi, jika terapi dihentikan,
pada 50% penderita anafilaksis dapat terjadi kembali.
Pada obat-obat tertentu yang mekanisme reaksinya tidak melibatkan IgE,
desensitisasi telah dapat dilakukan dengan hasil yang baik. Obat-obat tesebut diantaranya
adalah aspirin, AINS, alopurinol, preparat emas, sulfametoksazol dan sulfasalazin.
Desensitisasi cepat pada anafilaksis dilakukan dengan pemberian dosis bertahap selama
beberapa jam seperti pada penisilin. Biasanya dimulai dengan jumlah p/1.000.000 sampai
1/100.000 dosis terapeutik. Jika pemberian melalui intravena, dosis yang diberikan
intravena dilipatgandakan setiap 15 menit dengan pemantauan penderita secara hati-hati.
Reaksi ringan, seperti urtikaria atau pruritus, biasanya dapat menghilang spontan, sehingga

27
pra-terapi dengan antihistamin atau steroid pada desensitisasi tidak dilakukan agar reaksi
ringan dapat diidentifikasi. Desensitisasi lambat dilakukan dengan carapeningkatan dosis
dan pemberian dengan jarak 24-48 jam, kecuali bila pengobatan diperlukan lebih cepat.
Prosedur ini memerlukan waktu 2 minggu atau lebih.2,26
Pada penderita yang pernah menunjukan reaksi serupa anafilaksis (non-lgE),
misalnya radiokontras, premedikasi atau terapi profilaksis atau pra-terapi penting
dilakukan sebelum pemberian obat.Premedikasi atau profilaksis dengan pemberian
antihistamin dan kortikosteroid saja atau dalam kombinasi dengan β-adrenergik bertujuan
menurunkan insidens dan reaksi beratmisalnya reaksi anafilaksis yang ditimbulkan zat
kontras.Baik tes dosing, desensitisasi, maupun premedikasi memiliki kebahayaan
menimbulkan reaksi alergi yang fatal, reaksi anafilaksis dan reaksi psikiatrik non-alergi.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan aspek medikolegal dan informed consent dalam
melakukan prosedur ini. Hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah obat yang
akan diberikan merupakan obat esensial yang tidak bisa digantikan obat lain, adanya ruang
bagi pasien untuk menolak setelah memahami keuntungan dan risiko tindakan, dan sarana
terapi darurat yang harus disiapkan saat melakukan prosedur.

2.10.3. PENATALAKSANAAN ALERGI MAKANAN


Setelah diagnosis alergi makanan ditegakkan, maka eliminasi makanan harus
dilakukan dengan ketat.Pada penelitian terhadap 400 orang anak dengan alergi makanan,
2/3 nya alergi terhadap 1 macam makanan saja dan hanya 9% alergi terhadap lebih dari 5
macam makanan. Reaksi alergi makanan umumnya sangat spesifik untuk 1 jenis makanan,
sehingga tidak perlu menghindarkan semua makanan yang termasuk golongan botanik
yang sama. Penghindaran yang ketat harus dilakukan juga oleh keluarga pasien dalam
menghindarkan serta membantu untuk mencarikan makanan pengganti sehingga terpenuhi
makanan yang rasanya enak dan disukai anak. Mengetahui dengan pasti makanan yang
akan diberikan untuk anak seperti membaca semua label makanan yang tercantum pada
botol atau kaleng apakah mengandung produk dari makanan yang harus dihindarkan.
Seperti produk dari susu sapi (casein, whey, lactoglobulin, dan lain-lain).
Pengobatan pada reaksi anafilaksis yang disebabkan makanan
• Penghentian makanan tersangka.
• Epinephrin 0,01 mg/kg dalam larutan 1:1000 diberikan subkutan, dapat diulang setelah
10-15 menit, dan dirawat di ruang gawat darurat.
• Antihistamin parenteral.

28
• Kortikosteroid parenteral.
• Diawasi minimal selama 4 jam setelah syok dapat diatasi.

2.11. PENGOBATAN ALERGI


Pengobatan alergi pada dasarnya adalah simtomatikatau sesuai dengan gejala. Prinsip
yang paling utama adalah proses penghindaran benda-benda yang diperkirakan merupakan
suatu alergen dengan tujuan agar pasien tidak berkontak dengannya. Apabila reaksi alergi
yang terjadi mengancam nyawa pasien, seperti terjadi pembengkakan di saluran nafas,
maka pasien harus segera dibawa ke rumah sakit untuk penatalaksanaan yang lebih baik.

2.11.1. Golongan kortikosteroid


Kortikosteroid merupakan derivat hormonkortikosteroid yang dihasilkan oleh
kelenjar adrenal.Hormon ini memainkan peran penting termasuk mengontrol respons
inflamasi.Kortikosteroid hormonal dapat digolongkan menjadi glukokortikoid dan
mineralokortikoid.Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat antiinfl amasinya nyata.Prototip
golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alami.Terdapat
juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan
betametason.Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang mempunyai aktivitas
utama menahan garam dan terhadap keseimbangan air dan elektrolit.Umumnya golongan
ini tidak mempunyai efek antiinfl amasi yang berarti, sehingga jarang digunakan.Pada
manusia, mineralokortikoid yang terpenting adalah aldosteron. 6 Berdasarkan cara
penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi dua, yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal.( Jones JB, 2004)
KT mempunyai kemampuan menekan inflamasi/peradangan dengan cara
menghambatfosfolipase A dan menekan IL-1α. Sebagai obat imunosupresan,
kortikosteroid dapat menghambat kemotaksis neutrofi l, menurunkan jumlah sel
Langerhans dan menekan pengeluaran sitokin, menekan reaksi alergi-imunologi, serta
menekan proliferasi/antimitotik. KT juga menyebabkan vasokonstriksi dan efek ini sejalan
dengan daya antiinfl amasi.( Boediardja SA, 2013).

Contoh golongan kortikosteroid


1. Hidrocortison

29
Hidrokortison memiliki efek imunosupresan, efek anti radang yang kuat,serta
meningkatkan tekanan darah dan kadar gula darah. Hidrokortison bekerja sebagai
antagonis fisiologis untuk insulin dengan meningkatkan glikogenolisis (penguraian
glikogen), lipolisis (penguraian lipid),dan proteinolisis (penguraian protein), menurunkan
pembentukan glikogen di hati, meningkatkan mobilisasi, asam amino dan badan keton
ekstrahepatik. Ini akan meningkatkan kadar glukosa di dalam darah

Komposisi Hydrocortisone asetat 1 % BNF ed 67


Indikasi Pengobatan insufisiensi korteks adrenal primer atau A to Z Drug
sekunder, gangguan rematik, penyakit kolagen, penyakit Facts
dermatologis, keadaan alergi, proses ophthalmic alergi
dan inflamasi, penyakit pernafasan, gangguan hematologi
(purpura trombositopenik idiopatik), penyakit neoplastik,
keadaan edematosa (akibat sindrom nefrotik), Penyakit
GI (kolitis ulserativa dan sariawan), multiple sclerosis,
meningitis tuberkulosis, trichinosis dengan keterlibatan
neurologis atau miokard.

Kontraindikasi Infeksi jamur sistemik; Penggunaan IM pada purpura A to Z Drug


thrombocytopenic idiopatik; pemberian vaksin virus Facts
hidup pada pasien yang menerima dosis kortikosteroid
imunosupresif.
Dosis Oleskan tipis 1-2 kali sehari BNF ed 57
DIH 17 th
Anak anak > 2 tahun :terapkan pada daerah yang terkena edition
2-4 kali sehari
(buteprote) berikan 1-2 kali sehari
Efek Samping >10% dermatologi , eczema (12,5%) 1%-10% DIH 17 th
dermatologi , pruritif (6%) kulit kering (2%) edition
Peringatan Anak anak mungkin menyerap jumlah proporsional lebih A to Z Drug
besar dari kortikosteroid topikal dan dengan demikian Facts
lebih rentan terhadap toksiistas sistemik

30
2. Dexamethason
Bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor steroid.Kompleks ini mengalami perubahan konformasi,
lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan
perantara efek fisiologik steroid (Suherman, 2007)

komposisi Dexamethasone mengandung 0,5 mg dexametasone ISO vol 49


/tablet t
Indikasi A to Z Drug
Pengujian hiperfungsi korteks adrenal; pengelolaan Facts
insidensi korteks adrenal primer atau sekunder, gangguan
rematik, penyakit kolagen, penyakit dermatologis,
keadaan alergi, proses alergi alergi, inflamasi, gangguan
hematologi, penyakit neoplastik, edema serebral yang
terkait dengan tumor otak primer atau metastasis,
kraniotomi atau cedera kepala. ,.

Kontraindikasi Infeksi jamur sistemik; Penggunaan IM pada purpura A to Z Drug


thrombocytopenic idiopatik; pemberian vaksin virus Facts
hidup; monoterapi topikal pada infeksi bakteri primer;
penggunaan intranasal pada infeksi lokal yang tidak
diobati yang melibatkan mukosa hidung; Penggunaan
oftalmik pada keratitis herpes simpleks akut superfisial,
penyakit jamur pada struktur okular, vaccinia, varicella
dan okular tuberkulosis.

Dosis dewasa (p.o) A to Z Drug


dosis awal : 0,75 – 9 mg/hari Facts
alternatif : 0,5 mg/ 6 jam selama 48 jam
custing : 2 mg/ 6 jam selama 48 jam

31
depresi : 1 mg
hirsutism : 0,5- 1mg/hari
Interaksi A to Z Drug
Facts
Efek Samping . SSP: Kejang-kejang; Tekanan intrakranial meningkat A to Z Drug
dengan papilledema (pseudotumor cerebri); vertigo; sakit Facts
kepala; neuritis; parestesia; psikosis
DERM: Gangguan penyembuhan luka; kulit rapuh tipis;
petechiae dan ecchymoses; eritema; lupus eritematosus
seperti lesi; atrofi lemak subkutan; striae; hirsutisme;
erupsi jerawat; dermatitis alergi; urtikaria; edema
angioneurotic, iritasi perineum; hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi. Aplikasi topikal: Pembakaran; gatal;
gangguan; eritema; kekeringan; folikulitis; hipertrikosis;
pruritus; dermatitis perioral; dermatitis kontak alergi;
menyengat, retak dan pengencangan kulit; infeksi
sekunder; atrofi kulit; striae; miliaria; telangiektasia EUL:
Katarak subkapsuler posterior; peningkatan IOP;
glaukoma; exophthalmos. Inhalasi oral: Mulut kering;
iritasi tenggorokan; suara serak; disfonia; batuk.
Intranasal: Iritasi hidung; pembakaran; pedas; kekeringan;
epistaksis atau lendir berdarah; kemacetan rebound;
bersin, rhinorrhea; keadaan kekurangan penciuman;
kehilangan rasa cita rasa; ketidaknyamanan tenggorokan
Ophthalmic: Glaukoma dengan kerusakan saraf optik;
ketajaman visual dan cacat lapangan; pembentukan
katarak subkapsular posterior; infeksi mata sekunder;
sementara terasa menyengat atau terbakar GI:
Pankreatitis; distensi abdomen; esophagitis ulseratif;
mual; muntah; peningkatan nafsu makan dan kenaikan
berat badan; tukak peptik dengan perforasi dan
perdarahan; perforasi usus GU: Meningkat atau
menurunnya jumlah dan motilitas spermatozoa. HEMA:

32
Leukositosis. META: Sodium dan retensi cairan;
hipokalemia; alkalosis hipokalemia; alkalosis metabolik;
hipokalsemia. RESP: Menghirup oral: Mengi.
LAINNYA: Efek muskuloskeletal (misalnya kelemahan,
miopati, kehilangan massa otot, osteoporosis, patah
tulang spontan); kelainan endokrin (misalnya,
penyimpangan menstruasi, keadaan cushingoid,
penekanan pertumbuhan pada anak-anak berkeringat,
penurunan toleransi karbohidrat, hiperglikemia,
glikosuria, peningkatan kebutuhan insulin atau
sulfonilurea pada penderita diabetes, reaksi anafilaktoid
atau reaksi hipersensitivitas); kejengkelan atau penutupan
infeksi; rasa tidak enak; leukositosis; kelelahan; insomnia.
Intra-artikular: Osteonekrosis; tendon pecah; infeksi;
atrofi kulit; suar pasca-injeksi; hipersensitivitas;
pembilasan wajah. Penggunaan topikal secara teoritis
dapat menghasilkan reaksi yang merugikan yang terlihat
dengan penggunaan sistemik karena penyerapan.

Peringatan Kategori kehamilan yang belum diketahui, ibu menyusui ; A to Z Drug


dieksresi dalam ASI , anak anak : rentan efek samping , Facts
lansia : dosis kecil/ diturunkan

3. Prednison
komposisi
Indikasi Indikasi gangguan endokrin; gangguan rematik; penyakit A to Z Drug
kolagen; penyakit dermatologis; keadaan alergi; proses Facts
alergi dan inflamasi; penyakit pernafasan; gangguan
hematologi; penyakit neoplastik; keadaan edematosa
(karena sindrom nefrotik); Penyakit GI; multiple
sclerosis; meningitis tuberkulosis; trichinosis dengan
keterlibatan neurologis atau miokard. Penggunaan tanpa
label: COPD; Duchenne's muscular dystrophy;

33
Gravesophthalmopathy.

Kontraindikasi Infeksi jamur sistemik; pemberian vaksin virus hidup A to Z Drug


Facts
Dosis DEWASA: PO 5 sampai 60 mg / hari. A to Z Drug
Facts
Interaksi Antolinolinesterase: Antagonis efek antikolinesterase A to Z Drug
pada myasthenia gravis. Facts
Antikoagulan, oral: Mengubah persyaratan dosis
antikoagulan. Barbiturat, hidantoin (misalnya fenitoin),
rifampisin: Penurunan efek farmakologis prednison.
Cyclosporine: Peningkatan toksisitas siklosporin.
Estrogen, ketokonazol, kontrasepsi oral: Berkurangnya
pembersihan prednison. Relaksan otot nondepolarisasi:
Dapat mempotensiasi, melawan, atau tidak berpengaruh
pada tindakan pemblokiran neuromuskular. Salisilat:
Mengurangi kadar serum dan khasiat salisilat.
Somatrem: Penghambatan efek mempromosikan
pertumbuhan somatrem.
Teofilin: Perubahan aktivitas farmakologis agen.

Efek Samping KARDIOVASKULAR: Hipotensi, bradikardia. A to Z Drug


SSP: neuropati perifer. Facts
DERMATOLOGIS: Alopecia, recall radiasi.
GI: Mual, muntah, diare, mucositis,
HEMATOLOGI: Penekanan sumsum tulang, nadir
neutrofil pada 11 hari, nadir trombosit pada 8 sampai 9
hari.
HYPERSENSITIVITY: Reaksi anafilaksis akut dengan
gejala dispnea, hipotensi, angioedema, dan urtikaria
umum.
MUSKULOSKELETAL: Arthralgias dan mialgia.

34
Peringatan Kehamilan: Kategori D. A to Z Drug
Laktasi: Belum ditentukan. Facts
Anak-anak: Keselamatan dan kemanjuran belum
ditetapkan.
Reaksi hipersensitivitas: Jangan gunakan adalah pasien
dengan riwayat reaksi hipersensitivitas berat terhadap
produk yang mengandung Cremophor EL (minyak jarak
polioksietilasi).
SSP: Neuropati perifer (distribusi sarung tangan dan kaus
kaki) sering terjadi.

2.11.2. GOLONGAN ANTIHISTAMIN


Loratadine
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi LORATADINE 10 mg Iso vol 49
Indikasi Gejala kelegaan (nasal dan nonnasal) gejala yang A to Z drug
berhubungan dengan rhinitis alergi musiman; facts
pengobatan urtikaria idiopatik kronis.
Dosis DEWASA DAN ANAK-ANAK ³ 6 thn: PO 10 mg A to Z drug
sekali sehari. facts
ANAK 2 sampai 5 thn: PO 5 mg sekali sehari.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap antihistamin; gunakan A to Z drug
pada wanita menyusui. facts
Efeksamping Nyeri payudara; arthralgia; mialgia A to Z drug
facts
perhatian Gunakan obat dengan hati-hati pada pasien dengan A to Z drug
gangguan hati. Hipersensitivitas: Hipersensitivitas facts
dapat terjadi.

Cetirizine

35
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi Tiap kapsul mengandung ceftrizine dihidroklorida (ISO vol 48)
10 mg
Indikasi Rhinitis Alergi Permanen Atau Musiman Dan Drug
Gejala Alergi Lainnya Termasuk Urtikaria; Information
Urtikaria Idiopatik Kronik Hand Book edisi
17
Dosis Dosis Pediatric : Drug
• rhinitis alergi , urtikaria kronik : Information
Oral : 6-12 bulan : 2,5 mg sekali sehari Hand Book edisi
12 bulan ke < 2 tahun : 2,5 mg sekali 17
sehari ; bisa meningkat sampai 2,5 mg setiap 12 jam
jika diperlukan
• Rhinitis alergi musiman, urtikaria kronik :
Oral : 2-5 tahun : Awal : 2,5 mg sekali
sehari ; dapat ditingkatkan sampai 2,5 mg setiap 12
jam atau 5 mg sekali sehari
Dosis Dewasa : Awal : 5 mg sekali sehari ; bisa
meningkat sampai 10 mg / hari
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap cetirizine, hidroksizin, Drug
atau komponen dari formulasi Information
Hand Book edisi
17
Efeksamping Sakit kepala, mengantuk, mulut kering,insomnia Drug
pada anak, sakit kepala, faringitis Information
Hand Book edisi
17
perhatian -

Chlorpheniramine Maleate
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi Klorpheniramine maleat 4 mg ISO VOL.49
Indikasi Kelegaan sementara bersin, gatal, mata berair, A to Z drug

36
hidung gatal atau tenggorokan, dan pilek yang facts
disebabkan oleh alergi hayati (alergi) rhinitis atau
alergi pernafasan lainnya.
Dosis Dewasa dan Anak di atas 12 tahun: PO 4 mg q 4 A to Z drug
sampai 6 jam (bentuk pelepasan segera) atau 8 facts
sampai 12 mg pada waktu tidur atau q 8 sampai 12
jam (bentuk pelepasan yang bertahan) (maks, 24 mg
/ 24 jam). Efidac: 16 mg q 24 jam (maks, 16 mg /
24 jam). SC / IM / IV: 5 sampai 20 mg sebagai
dosis tunggal (maks, 40 mg / 24 jam).
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap antihistamin; glaukoma A to Z drug
sudut sempit; stenosing tukak peptik; hipertrofi facts
prostat simtomatik; serangan asma; obstruksi leher
kandung kemih; obstruksi pyloroduodenal; Terapi
MAO; gunakan pada bayi yang baru lahir atau bayi
prematur dan ibu menyusui.
Efeksamping Reaksi hipersensitivitas; obstruksi A to Z drug
fotosensitivitasoduodenal facts

perhatian Overdosis dapat menyebabkan halusinasi, kejang, A to Z drug


dan kematian facts

Brompheniramine Maleate
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi
Indikasi Hilangnya gejala rhinitis alergi musiman dan A to Z drug
musiman, pengobatan rinitis vasomotor, facts
konjungtivitis alergi
Dosis DEWASA & ANAK (12 YR & LAMA): PO 4 mg A to Z drug
q 4 sampai 6 jam, atau 8 sampai 12 mg bentuk facts
pelepasan yang berkelanjutan q 8 sampai 12 jam
(maksimum 24 mg / hari). ANAK 6-12 YR: PO 2

37
mg q 4 sampai 6 jam (maksimum 12 mg / hari).
Berikan persiapan pelepasan yang berkelanjutan
hanya pada arah dokter. ANAK <6 YR: Gunakan
hanya sesuai petunjuk dokter.
Kontraindikasi Bayi baru lahir dan prematur; ibu menyusui; A to Z drug
glaukoma sudut sempit; stenosing tukak peptik; facts
hipertrofi prostat simtomatik; serangan asma;
obstruksi leher kandung kemih; obstruksi
pyloroduodenal; Terapi MAOI
Efeksamping Penebalan sekresi bronkial; dada sesak; mengi; A to Z drug
kotoran hidung; sakit tenggorokan; depresi facts
pernapasan
perhatian Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan A to Z drug
sirosis atau penyakit hati lainnya. Penyakit facts
pernafasan: Umumnya tidak disarankan untuk
mengobati gejala saluran pernapasan bagian bawah
termasuk asma.

Dexchlorpheniramine Maleate
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi
Indikasi Pengobatan rhinitis alergi musiman dan musiman; A to Z drug
rinitis vasomotor; konjungtivitis alergi. facts

Dosis DEWASA DAN ANAK-ANAK (12 tahun ke atas): A to Z drug


PO 6 mg pada waktu tidur atau q 8 sampai 10 jam. facts

Kontraindikasi Pengobatan gejala saluran pernapasan bagian A to Z drug


bawah; Terapi inhibitor MAO; setiap komponen facts
produk atau antihistamin lainnya dari struktur kimia
yang serupa
Efeksamping Kejutan anafilaksis; photosensitivitas; keringat A to Z drug
berlebih; panas dingin facts

38
perhatian Gunakan dengan hati-hati pada pasien hipertensi, A to Z drug
penyakit jantung, asma, hipertiroidisme, facts
peningkatan tekanan intraokular, diabetes mellitus,
hipertroi prostat, asma bronkial

Diphenhydramine HCl
aspek Informasi obat pustaka
komposisi Diphenhydramine HCl
Indikasi Langsung menghambat rangsangan labirin sampai 3 A to Z drug
jam. facts

Dosis DEWASA: PO 50 sampai 100 mg 30 menit A to Z drug


sebelum perjalanan, diikuti 50 sampai 100 mg q 4 facts
sampai 6 jam (maksimum 400 mg / hari). IM 50 mg
prn. IV 50 mg dalam 10 ml Sodium Chloride untuk
Injeksi yang diberikan lebih dari 2 menit. ANAK (6
sampai 12 YR): PO 25 sampai 50 mg q 6 sampai 8
jam (maksimal 150 mg / hari). IM 1,25 mg / kg qid
(maksimal 300 mg / hari). ANAK (2 sampai 6 YR):
PO Sampai 12,5 sampai 25 mg q 6 sampai 8 jam
(maksimal 75 mg / hari). IM 1,25 mg / kg qid
(maksimal 300 mg / hari).
Kontraindikasi Gunakan di neonatus; reaksi alergi terhadap A to Z drug
diphenhydramine facts

Efeksamping Ketat dada; mengi; penebalan sekresi bronkial A to Z drug


facts
perhatian Kehamilan: Kategori B. Laktasi: Ekskresi dalam A to Z drug
ASI. Anak-anak: Keselamatan dan kemanjuran facts
pada anak-anak <2 tahun tidak ditentukan. Pasien
berisiko khusus: Hati-hati pada penderita asma,
hipertrofi prostat, glaukoma sudut sempit, ulkus

39
peptikum stenosing, aritmia jantung.
Hipersensitivitas: Reaksi sebelumnya terhadap
diphenhydramine.

Promethazine HCl
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi
Indikasi Oral / Rektal: Ringan sementara pilek dan bersin A to Z drug
disebabkan oleh flu biasa; gejala rhinitis alergi facts
abadi dan musiman, rhinitis vasomotor,
konjungtivitis alergi
Parenteral: Pengobatan penyakit mabuk;
pencegahan dan pengendalian mual dan muntah
yang berhubungan dengan anestesi dan operasi;
reaksi alergi. IV: Adjunct to anestesi dan analgesia
dengan jumlah yang dikurangi meperidin atau
analgesik narkotika lainnya dalam situasi bedah
khusus (mis., Bronkoskopi berulang, operasi
oftalmik, pasien berisiko rendah).
Dosis Dewasa dan Anak di atas 2 thn: PO / PR 25 mg A to Z drug
pada waktu tidur; 12,5 mg sebelum makan dan pada facts
waktu tidur dapat diberikan jika perlu. Dosis
tunggal 25 mg pada waktu tidur atau 6,25 sampai
12,5 mg tid biasanya akan cukup.
Dewasa: IM / IV 25 mg; dapat mengulang dosis
dalam waktu 2 jam jika diperlukan.
Anak minimal 2 thn: IM / IV Tidak melebihi 50%
dosis orang dewasa.
Kontraindikasi Kefasihan fenotiazine sebelumnya, ikterus atau A to Z drug
depresi sumsum tulang; anak-anak yang sakit parah facts
atau mengalami dehidrasi; injeksi intra-arterial; ibu
menyusui; MAOI gunakan.
Efeksamping Reaksi hipersensitivitas; photosensitivitas; tingkat A to Z drug

40
prolaktin yang tinggi; sindrom ganas neuroleptik facts

perhatian Jika memungkinkan, hentikan 4 hari sebelum tes A to Z drug


kulit. facts

Triprolidine HCl
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi Triprolidine HCl
Indikasi Hilangnya gejala rhinitis alergi musiman dan A to Z drug
musiman, rinitis vasomotor, konjungtivitis alergi; facts
pengelolaan gejala pruritus alergi dan non-alergi,
urtikaria ringan dan angioedema ringan.
Dosis Dewasa dan Anak minimal 12 tahun: PO 2,5 mg q 4 A to Z drug
sampai 6 jam (maks, 10 mg / 24 jam). facts
Anak-anak 6 sampai 12 tahun: PO 1.25 mg q 4
sampai 6 jam (maks, 5 mg / 24 jam).
Anak-anak 4 sampai 6 thn: PO 0.94 mg q 4 sampai
6 jam (maks, 3,75 mg / 24 jam).
Anak-anak 2 sampai 4 thn: PO 0.625 mg q 4 sampai
6 jam (maks, 2,5 mg / 24 jam).
Anak-anak 4 bulan sampai 2 tahun: PO 0,31 mg q 4
sampai 6 jam (maks, 1,25 mg / 24 jam).
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap antihistamin; bayi baru A to Z drug
lahir atau prematur; ibu menyusui; glaukoma sudut facts
sempit; stenosing tukak peptik; hipertrofi prostat
simtomatik; serangan asma; obstruksi leher
kandung kemih; obstruksi pyloroduodenal; Terapi
MAO
Efeksamping Penebalan sekresi bronkial. Reaksi A to Z drug
hipersensitivitas; fotosensitivitas facts

perhatian Gunakan obat dengan hati-hati pada pasien dengan A to Z drug

41
predisposisi retensi urin, riwayat asma bronkial, facts
peningkatan tekanan intraokular, hipertiroidisme,
apnea tidur, penyakit kardiovaskular, atau
hipertensi.

Fexofenadine HCl
Inforemasi obat pustaka
komposisi Suspensi, Oral, sebagai hidroklorida: 30 mg/5 mL ISO VOL 49
(120 mL)
Tablet, Oral, sebagai hidroklorida: 30 mg, 60 mg,
180 mg
Tablet terdispersi, Oral, sebagai hidroklorida: 30
mg
Indikasi Gejala gejala gejala (nasal dan nonnasal) terkait A to Z drug
dengan rhinitis alergi musiman; pengobatan facts
manifestasi kulit yang tidak rumit dari urtikaria
idopatik kronis.
Dosis DEWASA DAN ANAK ³ 12 YR: PO 60 mg bid A to Z drug
atau 180 mg qd. ANAK 6 sampai 11 YR: PO 30 mg facts
bid.
Kontraindikasi A to Z drug
facts

Efeksamping SSP: Mengantuk; kelelahan. GI: Dispepsia; mual. A to Z drug


GU: Dismenore. LAIN: Infeksi virus (misalnya flu, facts
flu).
perhatian Pasien lanjut usia: Efek samping yang serupa pada A to Z drug
pasien ³ 60 tahun. Gangguan ginjal: Gunakan dosis facts
awal yang lebih rendah

Desloratadine
aspek Inforemasi obat pustaka
komposisi Sirup, oral: ISO VOL 45

42
Clarinex: 0.5 mg/mL (473 mL)

Tablet, Oral:
Clarinex: 5 mg
Generik: 5 mg

Tablet Dispersible, Oral:


Clarinex Reditabs: 2.5 mg, 5 mg
Generik: 2.5 mg, 5 mg
Indikasi Relief gejala nasal dan non-nasal dari rinitis alergi A to Z drug
musiman dan abadi; pada urtikaria idiopatik kronis facts
untuk menghilangkan gejala pruritus dan
pengurangan jumlah dan ukuran gatal-gatal.
Dosis Dewasa dan Anak-anak di bawah usia 12 tahun: PO A to Z drug
5 mg sekali sehari. Pada pasien dengan gangguan facts
ginjal atau hati, mulailah dengan 5 mg qod.
Kontraindikasi -
Efeksamping KARDIOVASKULAR: Takikardia. SSP: A to Z drug
Somnbence; kelelahan; pusing. ETS: Faringitis; facts
tenggorokan kering. GI: Mulut kering; mual.
HEPATIK: Peningkatan enzim hati dan bilirubin.
LAIN: Gejala mirip flu; mialgia; hipersensitivitas
perhatian Pilih dosis dengan hati-hati, yang mencerminkan A to Z drug
frekuensi penurunan fungsi hati, ginjal, atau jantung facts
yang lebih rendah dan komorbiditas. Penurunan
Ginjal atau Hepatik: Penyesuaian dosis disarankan.

2.11.3. GOLONGAN LAIN LAIN


1. Caladin lotion
komposisi Diphenhydramine HCl 2% calamine 5%, Zink oxide Martindle
10%, p2533
Indikasi Iritasi kulit, gatal gatal karena biang keringat , ruam A to Z Drug
popok, terbakar sinar matahari , utikaria Facts

43
Kontraindikasi Hipersenstifitas terhadap komponen formula Medscape
Dosis Pemakaian topikal atau pada kulit Martindle
p.158
Efek Samping Inhalasi : dapat mengiritasi selaput lendir Msds
Proses menelan : dpaat menyebabkan iritasi calamine
Kulit : menebabkan iritasi kulit yang rusak/melepuh
Mata : mengiritasi mata
Peringatan Hubungi dokter jika kondisi memburuk /tidak Medscape
membaik setelah 1 minggu. Penggunaan luar saja
hindari terkena mata.

2. Zinci oxid
komposisi Zinci oksida dan vaselin album FMS
Indikasi Zinc oxide merupakan astringent ringan yang digunakan Martindle 36
secara topikal sebagai penyejuk dan pelindung pada th edition
eczema, pada luka dan untuk hemorrhoids. Zinc oxide
digunakan sebagai pelindung dari radiasi sinar ultraviolet
dan untuk pelindung.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap zink oksida maupun bahan DIH 17 th
tambahan nya edition
Dosis -
Efek Samping -
Peringatan hubungi dokter jika kondisi memburuk atau tidak Medscape
membaik setelah 1 minggu, penggunaan luar saja, hindari
terkena mata

44
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu zat
(alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi.Namun, sebagian
besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan
respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Bentuk reaksi itu macam-macam, bisa berbentuk ruam kemerahan,
penyumbatan (kongesti), pilek, bersin, radang mata, asma, shock atau bahkan
kematian.
alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu: Alergi atopik adalah
reaksi yang terjadi secara genetik, Alergi obat reaksi imunologi yang berlebihan atau
tidak tepat terhadap obat tertentu, Dermatitis kontak adalah reaksi alergi yang
disebabkan oleh zat kimia, atau substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan
lain-lain.
Pengobatan pada alergi diobati sesuai dengan gejala. Prinsip yang paling
utama adalah proses penghindaran benda-benda yang diperkirakan merupakan
penyebab utama alergen dengan. Apabila reaksi alergi yang terjadi mengancam
nyawa pasien, seperti terjadi pembengkakan di saluran nafas, maka pasien harus
segera dibawa ke rumah sakit untuk penatalaksanaan yang lebih baik.

3.2.SARAN
Untuk pengembangan lebih lanjut maka penulis memberikan saran agar
pembaca turut berkenan untuk mencari dan menggali informasi melalui literatur
literatur serta jurnal internasional agar wawasan yang di peroleh mengenai alergi
lebih akurat.
Dan dengan melihat pembahasan dan mengetahui dampak dari pada alergi
tersebut, maka pembaca harus dapat menyadari betapa pentingnya menghindari
faktor utama penyebab alergi dan Jika memungkinkan, maka pencegahan
pemberian obat merupakan pilihan utama. Perlu diingat sebisa mungkin
menghindari obat yang telah diketahui menimbulkan reaksi alergi dan obat yang
tidak memiliki efek klinis yang penting.

45
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Boediardja SA. Kortikosteroid topikal: Penggunaan yang tepat dalam praktek dermatologi.
Jakarta: Departemen Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2013.

Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi
21. Jakarta: Salemba Medika

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.


Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi
6.Jakarta:EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC. Subowo. 2010.
Imunologi Klinik, Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC

Djuanda,adji,Prof,Dr,spkk,dkk.2010. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi.Jakarta.CMP


MEDIKA Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume
3, Jakarta:EGC

Harsono, Ariyanto. 2007. Alergi Makanan. Dalam: Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak
Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI

Hidayati W.B. Dari pertemuan ilmiah nasional PERALMUNI tentang alergi dan imunologi

Jones JB. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffi ths C, eds. Rook’s
textbook of dermatology. 7th ed. Australia: Blackwell Publ. 2004. p. 516-23.

Judarwanto, 2005. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. Dipresentasikan pada seminar
AUTISM UPDATE DI HOTEL NOVOTEL Jakarta tanggal 9 September 2005

Kresno, Siti Boedina. 1996. IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.Jakarta


: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kresno, Siti Boedina. 1996. IMUNOLOGI : Diagnosis dan ProsedurLaboratorium.Jakarta


: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

46
Subowo. 2010. Imunologi Klinik, Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto.Kresno, Siti Boedina.
1996.IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Mahdi, Andi Dinajani Setiawan. 2003. Prinsip diagnosa penyakit alergi Dalam Samsuridjal
Djauzi, editor: Penatalaksanaan penyakit alergi. Jakarta: Balai Pustaka.

Suherman., Suharti, K., 2007, Ascorbat, Purwantyastuti. Adrenokortikotropin,


Adrenokottikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya..Jakarta : Gaya Baru; 2007, h
496-513

Subowo. 2010.Imunologi Klinik, Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto

47

Anda mungkin juga menyukai