Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

RHINITIS ALERGI

Disusun oleh :

Ewin Sadana Hutapea 160100016

PEMBIMBING:

dr. Lia Restimulia, Sp.THT-KL

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya yang
senantiasa menyertai penulis sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salam tidak lupa pula penulis sampaikan kepada utusan-Nya, Nabi
Muhammad SAW, semoga kelak kita mendapatkan syafa’at Beliau di akhirat nanti.
Aamiin Aamiin yaa Rabbal’Alamiin. Dengan selesainya penulisan makalah ini
yang berjudul “Rhinitis Alergi” yang merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Lia
Restimulia, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, baik
dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan
bagi penulisan ilmiah.

Medan, September 2020

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

dr. Lia Restimulia, Sp.THT-KL

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 2
1.3 Manfaat ............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
2.1 Definisi Rhinitis Alergi ................................................................... 3
2.2 Epidemiologi .................................................................................... 3
2.2.1 Global ...................................................................................... 3
2.2.2 Indonesia ................................................................................. 3
2.3 Klasifikasi ........................................................................................ 4
2.4 Etiologi ............................................................................................. 4
2.5 Patofisioloigi .................................................................................... 6
2.6 Diagnosis .......................................................................................... 8
2.6.1 Anamnesis ............................................................................... 8
2.6.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................... 9
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 10
2.7 Diagnosa Banding ............................................................................ 11
2.8 Tatalaksana....................................................................................... 11
2.9 Komplikasi ....................................................................................... 14
2.10 Edukasi dan Prognosis ..................................................................... 14
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 16

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Cara Masuk Alergen ................................................................. 5
Gambar 2.2 Patofisiologi Alergi.................................................................... 8
Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi ............................. 13

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rinitis merupakan masalah kesehatan global, walaupun tidak bersifat serius
namun rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup serius karena
dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala yang dialami
dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Prevalensi rinitis alergi terus
meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Peningkatan ini disebabkan karena faktor
genetik dan lingkungan (Husni et al, 2020).
Menurut Brozek (2017), rhinitis alergi adalah kumpulan gejala akibat
peradangan yang terjadi di rongga hidung yang diperantarai oleh immunoglobulin
E (IgE) akibat paparan terhadap suatu alergen. Golongan alergen yang paling sering
menimbulkan rhinitis alergi adalah alergen indoor seperti tungau debu rumah dan
komponen sel epitel bulu peliharaan, serta alergen outdoor seperti serbuk sari dan
bagian tumbuhan. Penegakan diagnosis rhinitis alergi dapat dilakukan melalui
beberapa langkah yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Anamnesis penting untuk menentukan tingkat keparahan penyakit dan
frekuensi gejala. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda-tanda rhinitis
alergi seperti nasal crease, sekret hidung, deviasi septum, serta manifestasi rhinitis
alergi pada hidung, mata, dan orofaring. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan berupa skin test dan pemeriksaan kadar IgE. Dibandingkan dengan
beberapa kondisi medis yang lain, rhinitis alergi jarang sekali menimbulkan
masalah yang berat karena penyakit ini tidak menimbulkan kejadian morbiditas dan
mortalitas yang berat namun beban biaya menjadi suatu hal yang penting pada
kasus ini. Rhinitis alergi akan menurunkan kualitas hidup penderita, gangguan
jumlah dan kualitas tidur, fungsi kognitif sehingga pasien menjadi semakin lelah
dan tidak dapat menjalankan fungsinya, baik dalam pekerjaan atau sekolah.

1
2

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan Rhinitis Alergi serta untuk melengkapi
tugas di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan.
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan penulis serta
pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal tentang
Rhinitis Alergi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan
oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO-ARIA tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Prevalensi rinitis alergi di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia. Rinitis alergi dapat mengganggu produktivitas
kerja, prestasi di sekolah, aktivitas sehari-hari, bahkan dapat menyebabkan
gangguan psikologis seperti depresi. Keadaan seperti ini dapat menurunkan kualitas
hidup (Adelien & Puspa Z., 2018).
2.2 Epidemiologi
2.2.1 Global
Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia.
Di Amerika, prevalensi untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada usia dewasa dan
hampir 40% pada usia anak anak. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi ini dapat
menjadi suatu beban ekonomi yang berat karena pada umumnya pasien dengan
rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya dan
penurunan kualitas hidup (Min, Y.G., 2010). Pada suatu survei di Amerika
mengenai gejala rhinitis alergi pada pekerja, sekitar 55% (8267 pekerja) dengan
gejala rhinitis alergi menjadi tidak produktif selama 3.6 hari dalam satu tahun. Di
Asia Pasifik, prevalensi rhinitis alergi tinggi terutama pada negara dengan
pendapatan rendah dan menengah, yaitu sekitar 5-45% (Fauzi et al, 2015).
2.2.2 Indonesia
Belum ada data nasional mengenai prevalensi rhinitis alergi di Indonesia.
Suatu penelitian di Bandung menemukan prevalensi kasus rhinitis alergi di RS.

3
4

Hasan Sadikin sebanyak 38.2% dan sekitar 64.6% pasien rhinitis alergi tersebut
berada pada rentang usia 10-29 tahun dan sekitar 45.1% berprofesi sebagai pelajar
(Fauzi et al, 2015).
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan terdapatnya gejala (Huriyati E. & Hafiz A.,
2011) :
1. Intermitten, bila gejala terdapat:
• Kurang dari 4 hari per minggu
• Atau bila kurang dari 4 minggu
2. Persisten, bila gejala terdapat:
• Lebih dari 4 hari per minggu
• Dan bila lebih dari 4 minggu
Berdasarkan beratnya gejala (Huriyati E. & Hafiz A., 2011):
1. Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut :
• Gangguan tidur
• Gangguan aktivitas harian
• Gangguan pekerjaan atau sekolah
2. Sedang-berat, bila didapatkan salah satu atau lebih gejala-gejala tersebut
diatas.
2.4 Etiologi
Rhinitis Alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi. Penyebab alergi rinitis tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan anak-anak. Pada anak-anak yang mengalami gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab alergi rinitis dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa
alergen. Alergen yang menyebabkan alergi rinitis makan biasanya berupa serbuk
sari atau jamur. Alergi rinitis perenial (sepanjang tahun), yaitu debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
5

Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, bulu binatang peliharaan, serta kecoa dan


binatang pengerat. Faktor risiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet
serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor faktor udara. Kelembaban
yang tinggi merupakan faktor risiko untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Snow, J B. et al, 2003)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
a. Alergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara pernapasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
b. Alergen injektan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan, dan udang.
c. Alergen injeksi, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau mukosa
jaringan, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Gambar 2.1 Cara Masuk Alergen.


Dengan masuknya antigen ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari (Irawati et al. 2012) :
6

a. Primer respon
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi bertahan menjadi respon sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
kemungkinan adalah imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan.Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag
masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlangsung menjadi respon tersier .
c. Respon lebih tersier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
2.5 Patofisiologi
Menurut Irawati et al. (2012), Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi
yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu reaksi alergi fase langsung atau reaksi reaksi fase cepat
(RAFC) yangberlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya
dan reaksi alergi fase akhir atau reaksi reaksi fase lambat (RAFL) yang berlangsung
2-4 jam dengan puncak 6 -8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah antigen
akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histo kompatibilitas
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan
Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
7

akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE sirkulasi darah akan masuk ke


jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka rantai kedua IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL -
5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-
lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
mengantisipasi mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat
akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus,
juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Histamin juga akan mengantisipasi
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1). Histamin juga akan mengantisipasi mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
8

tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan terus berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsiapa hidung adalah akibat
perang dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP),
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala spertiasap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Gambar 2.2 Patofisiologi Alergi


2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan
dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung
termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan pasien.
9

Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore
(cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5
kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa
gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan,
hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya ketajaman penciuman) dan batuk
kronik. Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada
pagi hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan dan
pengaruh terhadap kualitas hidup perlu ditanyakan. Manifestasi penyakit alergi lain
sebelum atau bersamaan dengan rinitis, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu
timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak
boleh terlupakan (Huriyati E. & Hafiz A., 2011).
Gejala yang sering dikeluhkan pasien dengan rhinitis alergi antara lain, bersin,
rasa gatal pada hidung, gatal pada mata, gatal pada telinga dan langit-langit mulut
serta hidung yang terasa menyumbat. Dugaan adanya rhinitis alergi akan semakin
besar jika pada pasien terdapat dua atau lebih dari gejala yang ada dan keluhan
berlangsung lebih dari satu jam serta terjadi hampir setiap hari (Min Y.G., 2010).
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue) (Irawati et al. 2012).
10

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas
yang ada (Huriyati E. & Hafiz A., 2011).
1.Uji kulit cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui
jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa
dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas
tersedia.
2.IgE serum total. Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis
alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis
alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun
pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan
penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.
3.IgE serum spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang
diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi
dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST
(Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum
spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih
efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST,
Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih
singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja.
4.Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindaklanjuti
respon terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung.
5.Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test). Dilakukan bila ada keraguan dan
kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif,
tetapi hasil tes alergi selalu negatif.
6.Foto polos sinus paranasal/CT Scan/Mri. Dilakukan bila ada indikasi
keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai
respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi.
11

2.7 Diagnosa Banding


Diagnosis banding rhinitis alergi adalah sebagai berikut:
▪ Rhinitis lain: rhinitis vasomotor, rhinitis nonalergi, non-allergic rhinitis with
nasal eosinophilia syndrome (NARES), rhinitis gustatory, rhinitis
medikamentosa, rhinitis anatomic, rhinitis granulomatosa, atau rhinitis viral.
▪ Penyakit hidung lain: diskinesia silier, polip hidung, sinusitis akut, sinusitis
kronik.
2.8 Tatalaksana
Menurut Irawati et al. (2012), tatalaksana rhinitis alergi sebagai berikut :
• Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
• Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal
(non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore,
bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan
menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin
12

yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut


disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia
ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari
peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari
saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan alergen bekerja pada respon fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
• Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
13

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
• Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi.


14

2.9 Komplikasi
Menurut Irawati et al. (2012), komplikasi rhinitis alergi sebagai berikut :
• Polip Hidung
Beberapa penelitian mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidup.
• Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
• Sinusitis paranasal
2.10 Edukasi dan Prognosis

Edukasi terkait rhinitis alergi kepada pasien adalah dengan cara mengenali dan
menghindari alergen pencetus, alergen yang bersifat nonspesifik. Karena alergen
yang paling banyak menimbulkan rhinitis alergi adalah tungau debu rumah maka
upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan membersihkan seluruh
perlengkapan rumah dengan air bersuhu 60° C. Aspek edukasi lainnya adalah
terkait pengobatan rhinitis alergi. Pasien harus berobat secara teratur dan kontrol
rutin setiap 2-4 minggu untuk dapat dievaluasi respon terapinya sehingga dokter
dapat menentukan apakah diperlukan step up atau step down. Prognosis rhinitis
alergi cenderung baik karena jarang menyebabkan mortalitas tetapi penyakit ini
memiliki risiko komplikasi dan komorbid yang cukup tinggi, serta penurunan
kualitas hidup (Brozek, 2017), (Min Y.G., 2010).
BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis alergi adalah kumpulan gejala akibat peradangan yang terjadi di rongga
hidung yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) akibat paparan terhadap
suatu alergen. Anamnesis penting untuk menentukan tingkat keparahan penyakit
dan frekuensi gejala. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda-tanda
rhinitis alergi seperti nasal crease, sekret hidung, deviasi septum, serta manifestasi
rhinitis alergi pada hidung, mata, dan orofaring. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan berupa skin test dan pemeriksaan kadar IgE. Tatalaksana yang diberikan
yaitu, medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

Adelien and Puspa, Z., 2018, ‘Pemeriksaan Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung
pada Penderita Rinitis Alergi’, JK UNILA, vol. 2, no. 2, pp. 151-156.
Brozek JL. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines-2016
revision. 2017.
Fauzi, Sudiro, M., Lestari, B. W., 2015, ‘Prevalence of Allergic Rhinitis based on
World Health Organization ( ARIA-WHO ) questionnaire among Batch
2010 Students of the Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran’. Althea
Medical Journal, vol. 2, no. 4, pp. 620-625.
Huriyati E. & Hafiz A., 2011, ‘Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial’, Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, pp. 1-14.
Husni, T., Yusni, Fadhila, 2018, ‘Perbandingan Kadar Immunoglobulin E Serum
Pada Pasien Rinitis Alergi Dengan Faktor Risiko Genetik’, Journal of
Medical Science, vol. 1, no. 1, pp 55-60.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2012. ‘Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher’ .Edisi ketujuh. Jakarta:
FKUI

Min, Y., G. , 2010. ‘The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic


Rhinitis’. Allergy, Asthma and Immunology Research, vol. 2, no. 2, p. 65-76.
Snow, J B., Ballenger, J J. 2003. Allergi Rinitis.IN:Ballenger's
Otorhinolaryngology Bedah Kepala dan Leher Edition 9 th .Spain: SM
Decker; 708-731

Anda mungkin juga menyukai