Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Nutrisi pada Bayi dan Balita


“Masalah Alergi Makanan”
Untuk Memenuhi Tugas Asuhan Kebidanan Pada Bayi dan Balita
Dosen Pembimbing Mega Ulfah, SST., M.keb.

Oleh:
Amalia Puspa Ningrum 145070601111019
Erdiana Dwi Putri 145070601111026
Hanifah Asgi Nur Azizah 145070601111032
Ayu Alviona 145070601111038
May Putri Arinda 145070601111045
Frista Eva Rosemary 145070607111004

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik sehingga
dapat memenuhitugas asuhan kebidanan pada bayi dan balita.Makalah ini kami susun
untuk memberikan informasimengenaimasalah pada bayi dan balita salah satunya
yaitu alergi makanan serta penalataksanaan yang dapat dilakukan sesuai wewenang
dan tanggung jawab bidan sebagai tenaga kesehatan di tingkat primer.Kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami buMega Ulfah, SST.,
M.keb. yang telahmembimbing kami dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kesalahan.Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca.Semoga makalah ini bermanfaat.Atas perhatianya,
kami ucapkan terima kasih.

Malang, 1 Mei 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i


DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3 Tujuan ........................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi .......................................................................................... 5
2.2 Patofisiologi...................................................................................5
2.3 Etiologi ......................................................................................... 6
2.4 Klasifikasi ...................................................................................... 7
2.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 8
2.6Diagnosa ......................................................................................13
2.7 Pencegahan ..................................................................................17
2.8 Penanganan .................................................................................. 18
2.9 Prognosis ..................................................................................... 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...................................................................................20
3.2 Saran............................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang
menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya
(Davies, 2003).Reaksi alergi dapat dipicu oleh makanan, antigen yang ada di
hampir semua jaringan tubuh yang mengandung pembuluh darah, otot polos, atau
mukosa dan epitel sekresi.
Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan, disebut juga reaksi simpang
makanan (adverse food reaction) adalah istilah umum yang dipakai untuk
menyatakan reaksi yang timbul setelah memakan suatu makanan. Reaksi alergi
makanan adalah reaksi simpang makanan akibat respons imunologik yang
abnormal, sedangkan intoleransi makanan akibat mekanisme non imunologis (
Siregar, 2001). Alergi makanan merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh
reaksi IgE terhadap bahan (zat kimia) makanan dan merupakan jenis alergi yang
mengkhawatirka (Chapman, 2006).Istilah alergi makanan juga dikenal sebagai
hipersensitivitas (terhadap) makanan yang mencakup reaksi imunologik terhadap
makanan atau bahan pelengkap makanan (Soesatyo, 2001).
Alergi memiliki prevalensi tertinggi pada bayi dan anak.Sebanyak 6-8% bayi
dan anak dilaporkan memiliki alergi (Luccioli, 2008). Di Indonesia, kejadian
alergi pada anak sebesar 5-11% (Chandra, 2011).
Terjadinya alergi makanan pada bayi disebabkan usus bayi masih
sensitive.Selaput lendir usus bayi belum memiliki pelindung yang dapat
diandalkan “melawan” benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya.Tanda khusus
alergi makanan adalah bayi sukar buang air, muntah, dan diare yang cukup
lama.Selain itu, timbul bercak-bercak merah (urtikaria), eksim, batuk, asma,
bersin, dan pilek yang tak kunjung sembuh (Wijaya, 2002).
Alergi dapat menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius dan
mempengaruhi kualitas hidup seseorang.Alergi pada anak dapat mengganggu

3
aktivitas sehari-hari. Dampak buruk dari alergi dapat mengganggu proses tumbuh
kembang anak (Sudewi, 2009).
Peran bidan dalam mendeteksi dini adanya alergi makanan pada bayi dan
balita sangat penting. Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas
mengenai alergi makanan pada bayi dan balita.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari alergi makanan?
2. Bagaimana patofisiologi dari terjadinya alergi makanan?
3. Apa saja etiologi terjadinya alergi makanan?
4. Apa saja klasifikasi dari alergi makanan?
5. Apa saja manifestasi klinis dari alergi makanan?
6. Bagaimanacara mendiagnosa terjadinya alergi makanan?
7. Bagaimana pencegahan alergi makanan yang dapat dilakukan?
8. Bagaimana penaganan terhadap alergi makanan yang dapat dilakukan?
9. Apa prognosis dari terjadinya alergi makanan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari alergi makanan.
2. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi alergi makanan.
3. Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari alergi makanan.
4. Untuk mengetahui dan memahamiklasifikasi dari alergi makanan.
5. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari alergi makanan.
6. Untuk mengetahui dan memahami diagnosa terjadinya alergi makanan.
7. Untuk mengetahui dan memahami pencegahan alergi makanan yang dapat
dilakukan.
8. Untuk mengetahui dan memahamipenanganan terjadinya alergi makanan yang
dapat dilakukan.
9. Untukmengetahui dan memahamiprognosis terjadinya alergi makanan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Menurut Dworkin (2000), alergi makanan merupakan suatu keadaan
dimana terdapat reaksi berlebihan terhadap makanan yang dicerna. Hal ini bisa
disebabkan oleh reaksi imun (IgE dan mekanisme imun lainnya) ataupun reaksi
non imun (intoleransi terhadap makanan). Beberapa jenis makanan yang memicu
reaksi imun berlebihan diantaranya adalah susu, kedelai, telur, ikan dan
terigu/gandum. Bahan pengawet sangat jarang mengakibatkan alergi makanan.
Alergi makanan akibat reaksi non-imun diantaranya disebabkan oleh efek toksik
dari toksin bakteri yang terkandung dalam makanan ataupun zat kimia dalam
makanan, makanan yang memicu pelepasan histamin, defisiensi enzim bawaan,
reaksi fisiologis &penyakit dari gastrointestinal itu sendiri, dan menurutBergman
(2001)istilah alergi makanan dapat disebut juga hipersensitifitas makanan.
2.2 Patofisiologi
Meski ada makanan yang bisa menjadi alergen.Makanan yang paling sering
menimbulkan alergi meliputi telur, susu sapi, kacang pohon, kacang tanah,
kedelai, gandum, makanan laut, buah sitrus, dan coklat.
Dalam keadaan normal, paparan antigen makanan melalui saluran
gastrointestinal menghasilkan respons IgA lokal dan penekanan preferensial
terhadap produksi antibodi IgM, IgG, dan IgE sistemik serta respon imun yang
dimediasi oleh sel terhadap antigen makanan.
Reaksi imunologis yang paling umum yang menyebabkan alergi makanan
klasik adalah reaksi anafilaksis tipe I, responsif anafilaksis, IgE, atau reaksi
hipersensitifitas langsung.Toleransi oral gagal berkembang pada individu yang
rentan secara genetis, dan keterpaparan terhadap antigen spesifik merangsang
produksi antigen spesifik IgE.Reaksi sitotoksik tipe II terjadi ketika antigen hadir
pada permukaan sel yang dikombinasikan dengan antibodi, baik IgG atau IgM,
dengan aktivasi komplemen dan sitolisis yang dihasilkan.Reaksi kompleks

5
antibodi tipe III atau antigen-antibodi terjadi saat antigen dan antibodi (IgG, IgM,
IgA) bergabung membentuk kompleks imun yang melengkapi.Kerusakan jaringan
bisa terjadi jika ada konsentrasi imun yang tinggi.Reaksi serum-sickness bisa
terjadi jika ada kelebihan antigen; Reaksi tipe Arthus dapat terjadi jika ada
kelebihan antibodi.Tipe IV atau reaksi hipersensitivitas tertunda terjadi ketika
antigen bereaksi dengan limfosit T yang peka dan menghasilkan produksi sel
sitotoksik dan sel yang melepaskan limfokin. Sejauh ini, hanya ada sedikit bukti
untuk mendukung mekanisme "murni" tipe II, III, atau IV dalam produksi
hipersensitivitas makanan penting secara klinis(Bergman, 2001).
2.3 Etiologi
Alergi makanan dipicu oleh reaksi non-imunologis meliputi :
a. Reaksi pada zat racun
Sejumlah reaksi terhadap zat racun diketahui mirip dengan alergi
makanan. Keracunan makanan akibat kontaminasi bakteri biasanya memicu
mual, nyeri perut dan seringkali muncul diare. Keracunan makanan dari ikan
(Scromboid Food Poisoning), yang jarang terjadi lebih menunjukkan gejala
yang sangat mirip dengan alergi makanan, termasuk perubahan warna kulit
yang tidak ada kaitannya dengan racun pada makanan. Perubahan warna kulit
ini bisa terjadi secara keseluruhan pada tubuh, urticaria dan angoedema.
Gejala yang muncul pada pernafasan juga mungkin terjadi yang mengarah
pada banyaknya jumlah histamin yang ada.
b. Reaksi Non-Toksik
Auriculotemporal syndrome (Frey’s syndrome) merupakan sindrome
yang muncul ketika makanan yang meningkatkan salivasi menyebabkan
reflek langsung dari percabangan syaraf trigeminal auriculotemporal yang
menghasilkan ruam seperti garis pada seluruh wajah.
Intoleransi laktosa akibat kurangnya enzim laktase merupakan
penyebab umum dari kondisi umum malabsorpsi karbohidrat. Ketika tidak ada
laktase yang mencukupi pada mukosa usus, diare dan kembung terjadi, dan
kondisi ini seringkali dikira alergi terhadap susu. Berdasarkan derajat

6
kurangnya enzim laktase, beberapa pasien mungkin bisa menerima sedikit
jumlah susu tanpa muncul gejala. Diare kronik pada bayi bisa terjadi karena
malabsorpsi karbohidrat yang disebabkan oleh fruktosa dari buah terutama jus
buah. Diarenya biasanya berbau tajam dan disertai kulit seperti terbakar pada
daerah peri anal dan area diaper pada bayi.
c. Reaksi Psikologikal
Beberapa orangtua mungkin akan percaya bahwa makanan tertentu
yang akan memicu beberapa gejala pada anaknya termasuk perubahan tingkah
laku. Kepercayaan tersebut biasanya membuat orangtua melarang anaknya
mengosumsi makanan tersebut sehingga memicu anak untuk tidak menyukai
makanan tersebut. Tenaga kesehatan harus waspada untuk memastikan
kepercayaan ini tidak menimbulkan malnutrisi akibat pembatasan konsumsi
makanan tertentu (Leung, 2016).
2.4 Klasifikasi
Sindrom yang mungkin termasuk hipersensitif pada makananseperti:
a. Angioedema
Sering disertai dengan urtikaria.Pada kasus ringan, edema pada bibir
dan periorbital, sedikit gatal-gatal, arthralgia ringan, dan malaise.Pada kasus
berat, edema pada lidah, pharyngeal, dan laryngotracheal, serta bengkak pada
sendi.Kematian mungkin terjadi dari asfiksia.
b. Anafilaksis
Reaksi segera dengan ringan kepala sampai pingsan, kemerahan atau
pucat, parestesia, umumnya gatal terutama telapak tangan dan telapak kaki,
jantung berdebar dan takikardi.Tanda dan gejala dari edema pulmonary, asma
bronchial, dan vaskuler kolaps.
c. Gastrointestinal intolerance
Pada kasus ringan, mual, diare, perut kembung, dan perut tidak
nyaman. Pada kasus berat, muntah yang kuat, sakit perut yang berat, diare
darah dan berlendir, dan dehidrasi.Jika mengalami gastrointestinal intolerance
yang berkepanjangan bisa menghasilkan malnutrisi dan pertumbuhan

7
terhambat.Manifestasi didominasi bekas oral pruritus dan gastrointestinal dan
gejala mulut, termasuk pembengkakkan pada bibir.
d. Sindrom fatigue tension
Kombinasi dari lelah, lesu, irritability, tidak bisa tidur, perilaku
terganggu, tidak tertarik, pucat, terkadang sering sakit kepala dengan
mengeluh sakit perut.Sindrom ini mungkin terkait dengan penyakit alergi
lainnya. Terjadi mungkin berhubungan alergi inhalansia tetapi sering terlihat
dipengaruhi oleh antigen makanan seperti banyak memakan susu sapi, sereal,
coklat, telur, dan babi. Sering sulit untuk mendiagnosa pada sindrom ini, dan
kecuali mungkin tingkat penyakit ringan dan kronik lainnya, teutama pada
pasien yang tidak ada bukti lain dari penyakit alergi.
e. Migrain
Dalam tambahan kasus yang lain, makanan tertentu mungkin
menimbulkan migrain. Reaksi hipersensitif dipertanyakan.Makanan tertentu
seperti coklat, cheddar, dan beberapa wine dan bir di mana signifikan jumlah
dari tyramine ditemukan dijelaskan dapat menimbulkan migrain
(Henry,1976).
2.5 Manifestasi klinis
Secara umum, Gejala gastrointestinal paling sering terjadi, dengan frekuensi
antara 50 sampai 80 persen, diikuti oleh gejala kutaneous (20 sampai 40 persen)
dan gejala pernafasan (dalam 4 sampai 25 persen). Gejala mungkin ringan atau
parah dan paling sering terjadi dalam hitungan menit sampai 1 sampai 2 jam
setelah memakan makanan (Bergman, 2001).
Manifestasi klinis alergi makanan
Gastrointestinal a. Sindroma alergi oral
b. Anafilaksis gastrointestinal
c. Sindrom enterocolitis yang
disebabkan makanan
d. Kolitis akibat makanan

8
e. Alergi gastroenteritis eosinofilik
f. gluten-sensitive enteropathy
g. infantile colic
Kutaneous a. urtikaria/Angioedema
b. Dermatitis atopik
c. Dermatitis herpetiformis
Pernafasan a. Alergi rhinitis
b. Asma
c. Sindroma heiner
Manifestasi umum a. Anafilaksis sistemik
b. Anafilaksis akibat olahraga
tergantung makanan
Hematologi a. Anemia
(Bergman, 2001).
1. Manifestasi Gastrointestinal
a. Sindroma alergi oral (Oral allergy syndrome)
Sindrom ini umumnya terjadi pada pasien alergi inhalan dengan birch,
mugwort, atau serbuk sari ragweed dan dikaitkan dengan konsumsi
berbagai buah segar dan sayuran mentah. Birch pollinosis dapat dikaitkan
dengan reaksi terhadap apel, ceri, buah persik, pir, plum, aprikot, kiwi,
hazelnut, kacang almond, kemiri, kenari, wortel mentah, dan kentang;
Pollinosis ragweed antara lain blewah, melon, semangka, dan pisang; dan
Mugwort pollinosis yaitu seledri, wortel, jintan, dill, peterseli, adas,
paprika hijau, dan adas manis. Gejala meliputi onset cepat pruritus,
pembakaran, danatau angioedema pada bibir, lidah, langit-langit mulut, dan
tenggorokan.Gejala biasanya sembuh dengan cepat, walaupun kadang-
kadang radang sariawan berkembang dan mukosa oral mungkin terasa
terbakar.Gejala gastrointestinal seperti kram perut, muntah, dan diare bisa
terjadi.Reaktivitas silang botani (sebagai hasil dari epitop bersama, profilin,

9
atau alergen pan) antara serbuk sari dan buah-buahan semacam itu, kacang
pohon, dan sayuran telah disarankan sebagai mekanisme yang mungkin.
b. Anafilaksis gastrointestinal
Anafilaksis gastrointestinal adalah bentuk hipersensitivitas
gastrointestinal IgE yang sering menyertai manifestasi sistemik alergi
makanan lainnya.Hal ini dapat bermanifestasi sebagai mual, muntah, sakit
perut, perut kembung, distensi abdomen, atau diare.
c. Sindrom enterocolitis yang disebabkan makanan (Food-induced
enterocolitis syndrome)
Gejala klasik termasuk muntah yang berkepanjangan dan diare, sering
mengakibatkan dehidrasi pada bayi berusia kurang dari 3 bulan.Beberapa
bayi mungkin mengalami malabsorpsi, enteropati akibat kehilangan
protein, dan kegagalan untuk berkembang.Susu sapi dan protein kedelai
adalah yang paling sering bertanggung jawab. Kotoran umumnya
mengandung darah okultisme, neutrofil polimorfonuklear, eosinofil, dan
kristal Charcot-Leyden. Biopsi jejunum biasanya menunjukkan atropi vili
dan peningkatan jumlah limfosit, eosinofil, dan sel mast.Tusukan dan
pengujian RAST biasanya negative.
d. Kolitis akibat makanan (Food-induced colitis)
Terjadi pada beberapa bulan pertama kehidupan dan paling sering
terjadi karena hipersensitivitas terhadap protein susu atau protein kedelai.
Bayi dengan kolitis akibat makanan umumnya tampak sehat dan memiliki
berat badan normal.Bayi ini biasanya memiliki darah okultisme atau kotor
di tinja mereka.Sampel biopsi kolon menunjukkan edema mukosa, eritema,
kerapuhan, ulserasi, dan infiltrasi eosinofilik.
e. Alergi gastroenteritis eosinofilik (Allergic-eosinophilic gastrointeritis)
Alergi gastroenteritis eosinofilik ditandai dengan infiltrasi saluran
gastrointestinal dengan eosinofil dan juga oleh eosinofilia perifer dan tidak
adanya vaskulitis.Anak-anak dengan keterlibatan mukosa biasanya
mengalami mual, muntah, sakit perut, diare berair dengan atau tanpa darah,

10
anemia defisiensi besi, kadang-kadang steatorrhea, dan kegagalan untuk
berkembang.Anak-anak dengan keterlibatan otot mungkin memiliki gejala
dan tanda-tanda sumbatan lambung atau obstruksi usus, tergantung pada
lokasi keterlibatan usus.Bentuk serosa ditandai dengan asites eosinofilik
dan distensi abdomen dan sangat jarang terjadi pada anak-anak.Selain
mekanisme yang dimediasi IgE, imunitas yang dimediasi sel mungkin juga
bertanggung jawab.Sel T yang secara khusus peka terhadap antigen dapat
melepaskan limfokin yang mampu menarik eosinophil.
f. Gluten-sensitive enteropathy
Enteropati sensitif gluten (penyakit seliaka) adalah kelainan di mana
kerusakan mukosa pada usus halus adalah akibat kepekaan permanen
terhadap gliadin.Manifestasi klinis utama adalah mudah tersinggung,
anoreksia, muntah, sakit perut, distensi perut, clubbing digital, kelelahan
otot, dan kegagalan untuk berkembang.Secara khas, biopsi jejunum
menunjukkan atrofi vili.Kedua sitotoksisitas sel dan pelengkap yang
dimediasi dan kerusakan akibat limfokin telah terlibat dalam patogenesis
kondisi tersebut.Antibodi antiendomisial atau transglutaminase dapat
membantu diagnosis(Bergman, 2001).
2. Manifestasi Kutaneous
a. Urtikaria/Angioedema
Urtikaria akut dan pada tingkat yang lebih rendah, angioedema adalah
salah satu manifestasi paling umum reaksi alergi terhadap makanan pada
anak-anak.Kontak dengan makanan juga dapat menyebabkan urtikaria
akut.Namun, alergi makanan jarang menjadi penyebab urtikaria kronis
kecuali makanan yang menyinggung dimakan hampir setiap hari.Jarang,
urtikaria dilihat sebagai bagian dari sindrom alergi oral.
b. Dermatitis atopik
Alergi makanan memainkan peran imunopatogenik pada 30 sampai 50
persen anak-anak dengan dermatitis atopik.Patogenesis dermatitis atopik
melibatkan efek fase awal dan akhir dari IgE yang dimediasi reaksi

11
hipersensitivitas makanan.Fase awal atau awal dari hasil reaksi membentuk
aktivasi sel mastase yang diinduksi IgE. Fase akhir ditandai oleh infiltrasi
seluler campuran (eosinofil, neutrofil, limfosit, dan basofil) pada 6 sampai 8
jam dan selanjutnya oleh infiltrasi sel bulat mononuklir yang tidak dapat
dibedakan dari yang terlihat pada kulit eczematous. Satu konsumsi tunggal
alergen makanan jarang menimbulkan lesi eczematous, namun konsumsi zat
alergi alergen kronis dapat menyebabkan perubahan klasik dermatitis atopik.
c. Dermatitis Herpetiformis
Enteropati sensitif gluten ditemukan pada 75 sampai 95 persen pasien
dengan dermatitis herpetiformis.Lesi kulit bisa jadi akibat reaksi lokal tipe
III.Antibodi IgA untuk endomutomi otot polos dan jejunum telah dilaporkan
pada pasien dengan dermatitis herpetiformis-associated gluten-sensitive
enteropathy(Bergman, 2001).
3. Manifestasi Pernafasan
a. Rhinitis Alergis
Makanan yang telah dicerna bisa jadi menyebabkan rhinitis alergis.
Alergen yang telah masuk ke dalam sistem pencernaan dapat
mengaktivasi nasal mast sel menjadi mast sel yang bisa hidup di
dimanapun di seluruh tubuh.
b. Asma
Alergi makanan dapat meningkatkan reaktivitas jalan napas sehingga
trigger atau faktor lingkungan lain bisa semakin mudah untuk memicu
serangan asma. Wheezing lebih sering terlihat pada sistemik anafilaktik
(Bergman, 2001).
4. Manifestasi Umum
a. Anafilaksis sistemik
Anafilaksis sistemik hampir selalu dipengaruhi oleh IgE dan
melibatkan banyak target organ. Gejala awalnya meliputi pruritus,
urticaria, nausea, vomiting, nyeri perut, angioedema, dan wheezing. Lalu
gejala ini bisa berubah cepat menjadi edema laringeal, dyspnea, stridor,

12
sianosis, nyeri dada, hipotensi, disritmia jantung, diare, dan shock. Derajat
reaksi anafilaksis bermacam-macam dan biasanya hanya muncul sebagian.
b. Anafilaksis yang diinduksi oleh latihan bergantung pada makanan
Anafilaksis terjadi ketika makanan sudah dicerna (contohnya tepung,
gandum atau seledri) yang berkaitan dengan latihan. Perbedaan aliran darah
ke usus meningkatkan absorpsi alergen makanan, meningkatkan pelepasan
histamin leukosit secara spontan dan meningkatkan kemampuan reaksi mast
sel ke stimuli fisik merupakan bentuk patogenesis dari kondisi ini (Bergman,
2001).
5. Manifestasi Hemologis
a. Anemia
Anemia zat besi mungkin juga terjadi pada anak yang memiliki alergi
susu sapi atau susu kedelai disamping kehilangan darah pada gastrointestinal.
Hal ini mungkin terjadi karena susu menginduksi syndrome enterokolitis,
kolitis diinduksi oleh susu, eosinophilik alergis, gastroenteritis dan Heiner
syndrome. (Bergman, 2001).
2.6 Diagnosa
Menurut Bergman (2001), ada beberapa penilaian secara klinis yang dapat
dilakukan mengenai alergi makanan meliputi :
a. Anamnesa
Anamnesa harus meliputi deskripsi dari gejala, jenis dan jumlah
makanan yang dapat memicu reaksi; makanannya dalam bentuk mentah/sudah
dimasak/ dimasak dengan cara tertentu; waktu sejak makanan dicerna sampai
munculnya gejala; usia anak saat muncul gejala; seberapa sering gejala terjadi;
adakah faktor lain yang juga memicu terjadinya gejala baik itu latihan fisik
maupun jenis makanan lain; rentang waktu sejak gejala terakhir muncul serta
deskripsi dari reaksi yang paling sering terjadi. Penggunaan obat perlu di
tanyakan juga oleh tenaga kesehatan. Adanya riwayat masuk rumah sakit
ataupun riwayat penyakit tertentu perlu dicatatat. Riwayat atopy
(hipersensitivitas) personal maupun keluarga meningkatkan kemungkinan

13
bahwa reaksi berlebihan lebih mengarah pada alergi daripada ke arah
mekanisme lainnya.
Catatan makanan yang dikonsumsi sangat bermanfaat untuk catatan
medis. Segala jenis makanan, minuman dan obat yang dikonsumsi dalam 12
sampai 24 jam sebelum kejadian dan karakteristik dari reaksi yang
ditimbulkan harus dicatat kronologisnya. Catatan tersebut kemudian ditinjau
untuk mengetahui apakah ada hubungan antara makanan yang telah
dikonsumsi dengan terjadinya gejala.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik keseluruhan harus dilakukan yang ditekankan pada
berat badan, tinggi badan, status nutrisi dan tanda-tanda vital. Pertumbuhan
yang sangat lambat mengindikasikan adanya penyakit kronis seperti gluten-
sensitive enteropathy atau cyctic fibrosis. Lesi ekzematous, wheezing dan
bengkak mata karena alergi mengindikasikan bahwa terdapat reaksi
berlebihan seperti pada atropy dan hipersensitivitas pada makanan.
Pemeriksaan fisik juga membantu menyingkirkan beberapa diagnosa
pembanding penyakit lainnya. Selama periode alergi akut, gejala yang
mengikuti bisa muncul seperti urticaria, angioedema, edema oropharingeal,
meningkatnya bising usus, wheezing dan hipotensi.

c. Pemeriksaan Diagnosa
(1) Skin Test
Skin test dengan menggunakan ekstrak makanan sering dilakukan
untuk skrining pada pasien dengan suspek alergi makanan yang
disebabkan oleh IgE.
(2) In Vitro Test untuk IgE Total dan Spesifik
Banyak anak yang mengalami alergi yang diinduksi oleh IgE
mengalami peningkatan kadar serum IgE. Bagaimanapun, peningkatan

14
serum IgE juga dapat dijumpai pada beberapa kondisi. Spesifik antibodi
serum IgE untuk alergen dapat diukur secara in vitro dengan teknik RAST
atau ELISA.

d. Elimination Diet dan Food Challenge Test


(1) Elimination Diet
Cara yang paling mudah dari elimination diet adalah dengan
membatasi mengasup makanan yang diduga memicu alergi selama 2
sampai 4 minggu. Jika hanya terdapat sedikit makanan yang memicu
alergi, maka hanya makanan tersebut yang dibatasi untuk tidak dimakan
(umumnya adalah telur, susu, makanan berbahan kedelai, terigu/gandum,
kacang-kacangan, ikan dan kerang). Jika tidak terdapat alergen makanan

15
yang bisa dipastikan tapi terdapat dugaan alergi makanan, membatasi
mengasup makanan yang umum menyebabkan alergi kemungkinan bisa
membantu. Jika gejala tidak berkurang dengan elimination diet,
mambatasi beberapa jenis makanan yang lebih lebih ketat bisa dilakukan.
Perawatan yang baik harus dilakukan untuk menghindari terjadinya
malnutrisi selama dilakukannya pembatasan mengasup makanan yang
ketat. Konsultasi dengan ahli gizi harus dilakukan sebelum implementasi
pembatasan mengasup makanan yang ketat. Pada kasus berat, pemberian
makanan dasar bisa dilakukan dengan tujuan untuk menyingkirkan
kemungkinan jenis makanan yang umumnya menjadi alergen juga perlu
dipertimbangkan. Penambahan protein hidrolisis hingga asam amino
(misalnya Vivonex dan Neocate) pada makanan dasar merupakan hal yang
paling dibatasi dalam elimination diet. Setelah dilakukan elimination diet,
diagnosa bisa lebih dipastikan dengan Food Challenge.
(2) Food Challenge Test
Single blind food challenge yang dapat diterima bila menimbulkan
gejala bisa diamati secara obyektif. Kerugian utamanya adalah
peningkatan kejadian hasil positif palsu, terutama karena adanya
interpretasi yang bias oleh pasien, orang tua, dan dokter. Doube blind food
challenge yang dikontrol placebo telah dianggap sebagai "standar emas"
untuk diagnosis alergi makanan yang memiliki keuntungan dari
objektivitas dan harus digunakan jika hasil positive open challenge saja
dengan respons subjektif pada bagian pasien, jika gejalanya tidak jelas
atau jika ada komponen psikologis untuk reaksi. Tantangan makanan
dengan makanan yang dimilikinya menyebabkan reaksi langsung atau
sistemik berbahaya dan harus dilatih spesialis.
Semua makanan diduga menyebabkan reaksi merugikan harus
dieliminasi selama 10 sampai 14 hari dan gejala harus diatasi sebelum
tantangan makanan terjadi.Tantangannya harus dilakukan pada perut
kosong. Makanan penyebab alergi diberikan dalam 21 mode gradasi,

16
dimulai dengan jumlah kecil, dan dosis berlipat ganda dengan tepat pada
interval kira-kira 15 menit sampai gejala terjadi atau ukuran porsi yang
wajar (misalnya 8 sampai 10 g makanan kering atau 6 sampai 100 g
makanan basah)yang telah tertelan. Pada blind challenge, suspek makanan
yang tersembunyi di beberapa makanan netral.Jika tantangan buta itu
negatif, makanannya harus dikonsumsi secara terbuka dalam jumlah yang
biasa di bawah observasi untuk menyingkirkan tantangan negatif palsu
yang langka.Tantangan positif menunjukkan efek hubungan sebab-akibat
tetapi tidak selalu berarti bahwa mekanisme imunologis ini bertanggung
jawab.
2.7 Pencegahan
Mungkin lebih berhati-hati untuk menghindari konsumsi kacang tanah
selama kehamilan dan menyusui selama makan untuk semua bayi, namun
kemanjuran dari strategi ini adalah tidak jelas. Pada bayi berisiko tinggi,
pemberian ASI eksklusif dengan pendamping makanan padat yang tertunda
sampai usia 6 bulan mungkin dapat menunda atau memodifikasi permulaan alergi
makanan dan terkait gangguan seperti dermatitis atopik. Tidak jelas apakah
kejadian gangguan alergi setelah usia 3 tahun diubah oleh intervensi ini. Karen
sejumlah kecil antigen makanan yang tertelan oleh ibu diekskresikan dalam ASI,
penghindaran makanan alergen oleh ibu menyusui sering
direkomendasikan(Bergman, 2001).

2.8 Penanganan
a. Perawatan makanan
Pengobatan definitif alergi makanan adalah menghindari suspek makanan
secara ketat.Reaksi gejala terhadap alergen makanan adalah umumnya sangat
spesifik, dan pasien jarang bereaksi untuk lebih dari satu jenis makanan
tumbuhan atau binatang.Melakukan sembarangan pada eliminasi makanan
tanpa diagnosis yang tegas dapat menyebabkan psikologis keetergantungan

17
pada diet yang tidak sehat dan juga kekurangan vitamin, malnutrisi, dan
kegagalan untuk berkembang jika beberapa makanan tidak sengaja dihindari.
Sebanyak 25 persen bayi yang ada alergi terhadap susu sapi juga alergi
terhadap kedelai. Bayi dengan hipersensitivitas terhadap susu sapi atau
kedelai harus diberi susu formula pengganti. Susu formula yang sumber
proteinnya bebas asam amino (mis., Vivonex dan Neocate). Formula ini
hypoallergenic dan di tolerensi oleh anak-anak.Kasein hidrolisat (seperti
Nutrumigen, Progestimil, dan Alimentum) juga telah berhasil digunakan.
Namun, itu mengandung peptida sedikit lebih besar dan secara signifikan
lebih dapat diidentifikasi secara imunologis protein susu sapi, sehingga
kurang sesuai untuk pengobatan alergi susu sapi.
b. Terapi medis
Penanganan gejala terhadap komplikasi akibat dari konsumsi makanan
yang tidak disengaja pada dasarnya sama dengan komplikasi akibat penyebab
lainnya. Pasien dengan riwayat masalah pernafasan, sesak tenggorokan, reaksi
sistemik, atau reaksi anafilaksis setelah terpapar makanan dengan mengajar
bagaimana mengelola sendiri epinefrin dan harus memiliki autoinjector
epinefrin dan antihistamin tersedia setiap saat(Bergman, 2001).
2.9 Prognosis
Sekitar 30-40 persen dari anak kehilangan hipersensitifitas makanan
mereka setelah 1 sampai 2 tahun dari menghindari allergen dan 80 sampai 85
persen mengatasi alergi makanan mereka pada usia 10 tahun. Hipersensitifitas
kacang, ikan, dan kerang cenderung lebih persisten, dengan mungkin hanya 5
sampai 10 persen menghindari alergi kacang.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Alergi makanan bukan didasari reaksi hipersensitivitas tipe I saja. Setelah
diagnosis alergi makanan ditegakkan, pengobatannya adalah eliminasi ketat.
Menghindari suatu jenis makanan harus diperhitungkan kerugiannya terutama
pada anak yang memerlukan makanan tersebut untuk pertumbuhan dan

19
perkembangan. Sebaiknya diganti dengan bahan lain yang sama atau hampir
sama nilai kalori dan nutriennya, serta penjelasan yang baik kepada orang tua dan
anak, dan seorang ahli gizi anak harus diikut sertakan untuk menghindari
terjadinya gizi kurang. Penjelasan yang jelas mengenai makanan yang harus
dihindarkan dan makanan yang diperbolehkan harus jelas tertulis, dan selalu
membaca terlebih dahulu daftar isi makanan siap pakai dari kaleng/botol.
Sebagian alergi makanan pada anak akan menghilang dengan bertambahnya
umur, kecuali untuk beberapa jenis makanan seperti ikan, kacang, dan tree nuts.
3.2 Saran
Sebagai bidan sebaiknya mengenali kemungkinan adanya tanda-tanda
alergi makanan pada bayi dan balita serta memahami tindakan segera yang dapat
dilakukan untuk mengurangi resiko yang akan memperberat keadaan alergi
tersebut. Sebagai orangtua bayi sebaiknya memberikan ASI eksklusif selama 6
bulan untuk mencegah terjadinya alergi makanan serta lebih memperhatikan
makanan apa saja yang diberikan kepada bayi dan balitanya.

DAFTAR PUSTAKA

Bergman, AB. 2001. Pediatrics: Twenty Common Problems in Pediatrics. Singapore:


McGrawn Hill.
Chandra, Yolanda, Asih Setiarini, dan Iris Rengganis. 2011. Gambaran Sensitivitas
terhadap Alergi Makanan.Makara, Kesehatan vol 15 no 1 pp 44-50.
Chapman JA et al. Food Allergy: A Practice Parameter. Annals Of Allergy’ Asthma
Immunol. 2006; 96(3):S1-S68.

20
Davies RJ. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat;
2003.
Dworkin, Paul H. 2000. Pediatrics. Ed. 4. Philadelphia:Lippincot Williams&Wilkins.
Henry, Kempe C., Silver H.K., dan Donough O. M., 1976. Current Pediatric
Diagnosis and treatment. Canada: Langt Medical Publications.
Leung, DYM, Stanley JS, Fransisco A, Cezmi, Hugh. 2016. Pediatric Allergy:
Principle and Practice 3rd Edition. USA: Elsevier Inc.
Luccioli, Stefano et al. 2008. Maternally Reported Food Allergies and Other Food-
Related Helath Problems in Infants: Characteristics and Associated Factors.
Pediatrics vol 122 pp 105-112
Siregar, Sjawitri P. 2001. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri, Vol 3,
No. 3: 168-174.
Soesatyo MHNE. 2001. Imunopatogenesis Alergi Makanan dalam buku Alergi
Makanan, ed. Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press
Wijaya, M. C. 2002. Mencegah dan Mengatasi Alergi dan Asma pada Balita. Jakarta:
Penerbit Kawan Pustaka.

21

Anda mungkin juga menyukai