Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

ALERGI MAKANAN PADA ANAK

PEMBIMBING :

dr. Keswari Aji Patriawati, MSc, SpA

Disusun Oleh :
Jacky Harianto Wijaya Wong
1361050260

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RS UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 7 MEI 2018 – 21 JULI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
kemudahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat
dalam Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Universitas
Kristen Indonesia dengan judul “Alergi Makanan pada Anak”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Keswari Aji Patriawati, MSc, SpA selaku pembimbing atas pengarahannya selama
penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan
masih perlu banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari
pembaca.

Jakarta, 25 Mei 2018

Penulis,

Jacky Harianto Wijaya Wong

NIM :1361050260

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 4
2.4 Klasifikasi 5
2.5 Patofisiologi 6
2.6 Jenis Alergen pada Anak 12
2.7 Diagnosis 15
2.8 Tatalaksana 27
2.9 Pencegahan 29
2.10Komplikasi 29
2.11Prognosis 29

BAB III KESIMPULAN 31

DAFTAR PUSTAKA 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Meningkatnya angka kejadian alergi selama 20 tahun terakhir dapat


menimbulkan masalah bagi dunia kesehatan. Alergi ditimbulkan karena perubahan
reaksi tubuh (menjadi rentan) terhadap suatu bahan yang ada dalam lingkungan
sehari-hari. Ada berbagai cara alergen masuk ke dalam tubuh yaitu melalui saluran
pernafasan (alergen inhalatif/hirup), alergen kontak, melalui suntikan atau sengatan,
(1)
dan alergi makanan.
Istilah alergi makanan juga dikenal sebagai hipersensitivitas (terhadap)
makanan yang mencakup reaksi imunologis terhadap makanan atau bahan pelengkap
makanan. Alergi makanan merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh reaksi
immunoglobulin E (IgE) terhadap bahan (zat kimia) makanan. Kejadian alergi
makanan merupakan ancaman bagi masyarakat karena makanan merupakan
kebutuhan pokok, tetapi makanan juga dapat membahayakan jiwa. Kejadian alergi
makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin, pola makan, jenis makanan,
(1)
dan faktor lingkungan.
Penyakit alergi merupakan gangguan kronis yang umum terjadi pada anak-
anak. Pola makan (eating habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh.
Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%. Prevalensi alergi makanan
yang kecil ini dapat terjadi karena masih banyak masyarakat yang tidak melakukan
(1)
tes alergi untuk memastikan apakah mereka positif alergi makanan atau tidak.
Tatalaksana alergi makanan adalah dengan menghindari alergen yang telah
teridentifikasi untuk mencegah reaksi alergi makanan akut dan kronis. Berbagai
pendekatan alternatif dengan imunomodulatif sedang dieksplorasi sebagai cara untuk
mencegah reaksi alergi makanan yang dimediasi oleh IgE, meskipun sebagian besar
belum terdapat di praktek klinis. Oleh karena itu, penghindaran pola makan yang

1
ketat adalah pilihan tatalaksana yang tepat. Asupan makanan bebas alergen
merupakan tantangan yang besar bagi keluarga dan berpotensi untuk menjadi beban
sosial, psikologis, keuangan dan nutrisi.(2)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Alergi makanan didefinisikan sebagai efek yang berlawanan terhadap
kesehatan (adverse health effect) yang timbul sebagai respon imun spesifik akibat
paparan bahan makanan tertentu. Adapun makanan adalah suatu zat apa pun — baik
diproses, tidak diproses sempurna, ataupun mentah — yang dimaksudkan untuk
dikonsumsi manusia, termasuk minuman, permen karet, zat aditif makanan, dan
suplemen makanan. Zat yang digunakan hanya sebagai obat, produk tembakau, dan
kosmetik (seperti produk perawatan bibir) yang mungkin tertelan tidak termasuk
dalam kelompok makanan.(3)
Alergen makanan didefinisikan sebagai komponen spesifik dari makanan atau
bahan-bahan di dalam makanan (biasanya protein, tetapi dapat juga berupa hapten
kimia) yang dikenali oleh sel-sel imun spesifik dan menimbulkan reaksi imunologi
spesifik dimana dapat memberikan gejala klinis yang khas. Beberapa alergen (paling
sering berasal dari buah dan sayuran) menyebabkan reaksi alergi terutama jika
dimakan mentah. Namun, sebagian besar alergen makanan masih dapat menyebabkan
reaksi bahkan ketika makanan tersebut sudah matang atau telah mengalami
pencernaan di lambung dan usus. Sebuah fenomena yang disebut reaktivitas silang
(cross-reactivity) dapat terjadi ketika antibodi bereaksi tidak hanya dengan alergen
yang sebenarnya, tetapi juga dengan alergen yang menyerupai atau mirip. Pada alergi
makanan, reaktivitas silang terjadi ketika alergen makanan memiliki kemiripan
struktural atau bagian tertentu dengan alergen makanan atau aeroalergen yang
berbeda, yang selanjutnya dapat memicu reaksi berlawanan/adverse reaction yang
serupa dengan yang dipicu oleh alergen makanan yang sebenarnya.(3)

2.2 Epidemiologi
Penyakit alergi merupakan gangguan kronis yang umum terjadi pada anak-

3
anak dan dewasa. Berdasarkan jurnal Candra pada tahun 2011 didapatkan data bahwa
dari 400 anak yang berumur 3-12 tahun, penderita alergi makanan dengan jenis
kelamin perempuan adalah sebesar 60% dan 40% sisanya adalah laki-laki. Pola
makan (eating habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya
populasi di Skandinavia sering menderita alergi terhadap ikan. Prevalensi alergi
makanan di Indonesia adalah 5-11%. Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat
terjadi karena masih banyak masyarakat yang tidak melakukan tes alergi untuk
memastikan apakah mereka positif alergi makanan atau tidak.(1)

Prevalensi alergi makanan yang sebenarnya sulit untuk ditetapkan karena


beberapa alasan, yaitu: (3)
• Meskipun lebih dari 170 makanan telah dilaporkan menyebabkan reaksi
yang dimediasi oleh IgE, kebanyakan studi prevalensi hanya berfokus pada
makanan yang paling umum dijumpai.
• Insiden dan prevalensi alergi makanan mungkin telah berubah dari waktu ke
waktu, dan banyak penelitian telah menunjukkan peningkatan prevalensi yang
sebenarnya selama 10-20 tahun terakhir.
• Studi mengenai insiden dan prevalensi alergi makanan sulit untuk
dibandingkan karena inkonsistensi dan adanya kekurangan dalam desain
penelitian, serta terdapat variasi dalam definisi alergi makanan.

2.3 Etiologi
Alergi makanan terutama disebabkan oleh respons imun terhadap protein
makanan. Reaksi alergi terhadap zat aditif makanan non-protein jarang terjadi.
Normalnya, respons imun non inflamasi dihasilkan untuk mencerna makanan dalam
proses yang disebut toleransi oral. Faktor lingkungan dan genetik, walaupun
alasannya masih belum jelas, dapat mengarah pada respons imun yang tidak
diinginkan dan berlawanan terhadap kesehatan.(4)

4
Sensitisasi (misalnya perkembangan respon imun IgE) terhadap alergen
terutama diasumsikan terjadi dari ingesti, walaupun hal ini tidak selalu terjadi.
Sebagai contoh, sindrom alergi oral (pollen-food related syndrome) menggambarkan
respons alergi terhadap buah-buahan mentah tertentu atau sayuran yang memiliki
protein homolog dengan serbuk sari; rute awal sensitisasi adalah paparan respirasi
terhadap protein serbuk sari daripada paparan oral terhadap protein makanan. Kulit
dapat menjadi rute sensitisasi potensial lainnya.
Faktor risiko atau asosiasi pada anafilaksis yang disebabkan oleh makanan
fatal meliputi: (1) adanya asma, terutama pada pasien dengan penyakit asma yang
tidak terkontrol; (2) riwayat episode anafilaksis sebelumnya dengan makanan yang
dicurigai; (3) kegagalan untuk mengenali gejala awal anafilaksis.(4)

2.4 Klasifikasi
Reaksi yang berlawanan terhadap makanan adalah reaksi yang tidak
diinginkan setelah mengkonsumsi makanan atau zat aditif makanan. Reaksi ini dibagi
menjadi intoleransi makanan (misalnya intoleransi laktosa), yang mana merupakan
respon fisiologis yang berlawanan, dan alergi makanan, yang mana merupakan
respons imunologi yang berlawanan, dapat dimediasi oleh IgE maupun tidak
dimediasi oleh IgE.(5)

5
Tabel 1. Klasifikasi Alergi Makanan (5)
Dimediasi oleh IgE Campuran IgE dan Non-IgE Tidak Dimediasi oleh IgE
 Kutan: Urtikaria,  Kutan: Dermatitis  Kutan: Dermatitis
angioedema, ruam atopik, dermatitis kontak, dermatitis
morbiliform, flushing, kontak herpetiformis
urtikaria kontak  Gastrointestinal:  Gastrointestinal: Food
 Gastrointestinal: Esofagitis eosinofilik protein induced
Sindrom alergi oral, dan gastroenteritis enterocolitis,
anafilaksis  Respirasi: Asma proktokolitis, sindrom
gastrointestinal enteropati, penyakit
 Respirasi: Celiac, food protein
Rinokonjungtivitis induced enteropathy
akut, bronkospasme  Respirasi: Sindrom
 Sistemik: Syok Heiner (food induced
anafilaktik pulmonary
hemosiderosis)
 Tidak terklasifikasi

2.5 Patofisiologi
Alergen
Hampir semua alergen adalah protein, tetapi tidak semua protein adalah
alergen. Antigen protein dapat menunjukkan aktivitas alergenik dengan menginduksi
produksi IgE, yang harus mengarah pada respons hipersensitivitas tipe 1 setelah
pemaparan berikutnya terhadap protein yang sama. Sifat biokimia dari alergen,
faktor-faktor yang menstimulasi respon imun alamiah di sekitar substansi alergen
pada saat terpapar, stabilitas alergen di jaringan, sistem pencernaan, kulit, atau

6
mukosa, dan dosis serta lamanya menetap di organ limfatik selama interaksi dengan
sistem imun adalah semua faktor yang dapat menyebabkan antigen menjadi alergen.(5)
Kebanyakan alergen adalah protein dengan berat molekul 10-70 kDa; molekul
<10 kDa tidak menjembatani molekul antibodi IgE yang berdekatan pada permukaan
sel mast atau basofil; kebanyakan molekul >70 kDa tidak melewati permukaan
mukosa, sebuah sifat yang diperlukan untuk mencapai antigen presenting cells
(APCs) dan menstimulasi sistem imun.(5)

Gambar 1. Kaskade Alergi (5)

7
Sel T
Setiap individu berpotensi terpapar alergen. Individu atopik merespons
paparan alergen dengan ekspansi cepat sel T-helper tipe 2 (Th2) yang mengeluarkan
sitokin, seperti interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13, yang mendukung sintesis IgE dan
eosinofilia. Alergen-antibodi IgE spesifik yang berhubungan dengan respons atopik
yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan serum atau reaksi langsung positif terhadap
ekstrak alergen pada skin prick test. Sitokin IL-4 dan IL-13 memainkan peran kunci
dalam peralihan imunoglobulin isotipe ke IgE (Gambar 140-1). IL-5 dan IL-9 penting
dalam diferensiasi dan perkembangan eosinofil. Kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-9
berkontribusi pada aktivasi sel mast.(5)
Sebagian kecil dari respons imun terhadap alergen menghasilkan proliferasi
sel T helper tipe 1 (Th1). Sel-sel Th1 biasanya terlibat dalam eradikasi organisme
intraseluler, seperti mikobakteria, karena kemampuan sitokin Th1 untuk
mengaktifkan fagosit dan meningkatkan produksi opsonisasi dan komplemen.
Komponen Th1 dari respons imun spesifik alergen berkontribusi terhadap kronisitas
dan fase efektor penyakit alergi.(5)

Antigen-Presenting Cells (APC)


Sel dendritik, sel Langerhans, monosit, dan makrofag memiliki kemampuan
untuk mempresentasikan alergen ke sel T dan dengan demikian dapat memodulasi
inflamasi alergi dengan mengendalikan perkembangan sel T. APC adalah kelompok
heterogen sel yang membawakan presentasi antigen dalam konteks major
histocompatibility complex (MHC) dan ditemukan terutama di organ limfoid dan
kulit. Sel dendritik (DC) dan sel Langerhans bertanggung jawab terhadap respons
imun primer atau fase sensitisasi alergi. Monosit dan makrofag berkontribusi untuk
mengaktifkan respons sel T memori setelah paparan berulang terhadap alergen, yang
menjadi ciri fase elisitasi alergi.(5)

8
Imunoglobulin E dan Reseptornya
Respon alergi akut tergantung pada IgE dan kemampuannya untuk berikatan
secara selektif dengan rantai α dari FcεRI afinitas tinggi atau FcεRII afinitas rendah
(CD23). Cross-linking antara reseptor dan molekul IgE yang terikat oleh alergen
mengawali kaskade sinyal intraseluler kompleks diikuti oleh pelepasan berbagai
mediator alergi inflammasi dari sel mast dan basofil. Molekul FcεRI juga ditemukan
pada permukaan DC, misalnya sel Langerhans, tetapi berbeda dari struktur yang
ditemukan pada sel mast/basofil dimana molekul FcεRI yang ditemukan pada DC
tidak memiliki rantai β. CD23 ditemukan pada sel B, eosinofil, trombosit, dan DC.
Cross-linking dan agregasi FcεRI pada sel mast dan basofil juga dapat menyebabkan
anafilaksis.(5)

Eosinofil
Penyakit alergi ditandai oleh eosinofilia pada darah perifer dan jaringan.
Eosinofil terlibat baik dalam respon imun alamiah dan adaptif serta, seperti sel mast,
mengandung granul intraseluler padat yang merupakan sumber protein inflamasi.
Granul protein merupakan protein dasar utama, neurotoksin yang berasal dari
eosinofil, peroksidase, dan protein kationik. Granul protein eosinofil merusak sel-sel
epitel, menginduksi peningkatan respons saluran napas, dan menyebabkan
degranulasi dari basofil dan sel mast. Eosinofil juga merupakan sumber prostaglandin
dan leukotrien; khususnya, cysteinyl leukotriene C4 yang mengkontraksikan otot
polos saluran nafas dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Produk
sekretorik lainnya dari eosinofil adalah sitokin (IL-4, IL-5, TNF-α), enzim proteolitik,
dan oksigen reaktif intermediet, yang semuanya secara signifikan meningkatkan
inflamasi alergi pada jaringan.(5)

Sel Mast
Sel mast berasal dari sel-sel progenitor hematopoietik CD34 yang berada di
sumsum tulang. Saat memasuki sirkulasi, sel ini melakukan perjalanan ke jaringan

9
perifer dan mengalami maturasi sebagai jaringan spesifik. Perkembangan dan
kelangsungan hidup sel mast bergantung pada interaksi antara reseptor tirosin kinase
yang diekspresikan pada permukaan sel mast dan fibroblast-derived c-kit ligand stem
cell factor. Tidak seperti basofil matur, sel mast yang matur biasanya tidak
bersirkulasi di dalam darah. Sebaliknya, sel mast didistribusikan secara luas di
seluruh jaringan ikat, di mana sel ini berada di sekitar pembuluh darah dan di bawah
permukaan epitel yang terpapar ke lingkungan eksternal, seperti saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan kulit. Terdapat 2 kelompok sel mast yang dikenal pada
manusia yaitu sel mast dengan triptase dan sel mast dengan triptase dan kimase. Sel
mast dengan triptase adalah tipe dominan yang ditemukan di paru dan mukosa usus
halus, sedangkan sel mast dengan triptase dan kimase adalah tipe dominan yang
ditemukan pada kulit, submukosa gastrointestinal, dan pembuluh darah.(5)

Alergi Makanan
Alergi makanan sebagian besar disebabkan oleh mekanisme mediasi oleh sel
dan atau oleh IgE. Pada individu yang rentan terpapar alergen tertentu, maka akan
dibentuk antibodi IgE spesifik terhadap makanan yang berikatan dengan reseptor Fcε
pada sel mast, basofil, makrofag, dan sel dendritik. Ketika alergen makanan
menembus pelindung/barrier mukosa dan mencapai antibodi IgE yang terikat sel,
mediator dilepaskan untuk menginduksi vasodilatasi, kontraksi otot polos, dan sekresi
mukus, sehingga menghasilkan gejala immediate hypersensitivity (alergi). Sel mast
teraktivasi dan makrofag melepaskan beberapa sitokin yang menarik dan
mengaktifkan sel-sel lainnya, seperti eosinofil dan limfosit, yang menyebabkan
inflamasi berkepanjangan. Gejala yang timbul selama reaksi akut yang dimediasi oleh
IgE dapat mempengaruhi kulit (urtikaria, angioedema, flushing), saluran
gastrointestinal (pruritus oral, angioedema, mual, nyeri abdomen, muntah, diare),
saluran pernafasan (hidung tersumbat, rinorea, pruritus nasal, bersin, edema laring,

10
dispnea, mengi), dan sistem kardiovaskular (disritmia, hipotensi, kehilangan
kesadaran).(5)
Dalam bentuk utama lainnya dari alergi makanan, limfosit, terutama sel T
spesifik terhadap alergen makanan, mengeluarkan berbagai sitokin dalam jumlah
sangat banyak yang mengarah pada “delayed". Proses inflamasinya lebih kronis
dalam mempengaruhi kulit (pruritus, ruam eritematosa), saluran gastrointestinal
(gagal tumbuh, cepat kenyang, nyeri abdomen, muntah, diare), maupun saluran
pernafasan (hemosiderosis paru yang diinduksi oleh makanan). Campuran IgE dan
respons seluler terhadap alergen makanan juga dapat menyebabkan gangguan kronis
seperti dermatitis atopik, asma, dan esofagitis eosinofilik alergi serta gastroenteritis.(5)
Anak-anak dengan alergi makanan yang dimediasi IgE dapat tersensitisasi
oleh alergen makanan yang menembus barrier gastrointestinal, yang disebut sebagai
alergen makanan kelas 1, atau oleh alergen makanan yang secara parsial homolog
terhadap serbuk sari tanaman dan menembus saluran pernafasan, yang disebut
sebagai alergen makanan kelas 2. Makanan apa pun dapat menjadi alergen makanan
kelas 1, tetapi telur, susu, kacang tanah, kacang kedelai, kacang-kacangan lainnya,
dan gandum merupakan 90% alergen yang didapatkan selama masa kanak-kanak.
Paparan dan sensitisasi terhadap protein-protein ini terjadi sangat awal dalam
kehidupan. Hampir semua alergi susu berkembang saat usia 12 bulan dan semua
alergi telur pada usia 18 bulan, serta usia rata-rata reaksi alergi kacang pertama kali
adalah 14 bulan, Rekomendasi saat ini adalah untuk memperkenalkan telur, produk
kacan-kacangan, gandum, dan makanan alergenik lainnya setelah 4-6 bulan
pemberian ASI eksklusif.(5)
Alergen makanan kelas 2 biasanya adalah protein nabati, buah atau kacang
yang secara parsial homolog dengan protein serbuk sari. Dengan berkembangnya
rinitis alergi musiman dari serbuk sari, konsumsi berikutnya dari buah atau sayuran
mentah dipicu oleh sindrom alergi oral. Pencernaan makanan alergenik intermiten
dapat menyebabkan gejala akut seperti urtikaria atau anafilaksis, sedangkan paparan

11
yang lama dapat menyebabkan gangguan kronis seperti dermatitis atopik dan asma.
Sensitivitas yang dimediasi oleh sel biasanya berkembang menjadi alergen kelas 1.(5)

2.6 Jenis Alergen pada Anak


a) Kacang tanah
Berdasarkan jurnal Candra tahun 2011 didapatkan bahwa kejadian alergi
kacang pada anak meningkat dua kali lipat dari tahun 1997-2002 diperoleh data
bahwa sebesar 7,4% anak sensitif terhadap alergen kacang tanah (positif). Makanan
di Indonesia banyak yang menggunakan kacang seperti gado-gado, ketoprak, dan
lain-lain. Tidak hanya itu, kacang juga merupakan salah satu makanan selingan yang
suka dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Selain itu, minyak kacang tanah
merupakan bahan dasar umum dari banyak susu formula bayi, tetapi kini beberapa
produk susu formula tidak lagi mengandung minyak kacang. Pertimbangan lain
adalah kemungkinan adanya reaksi silang antara kacang tanah dengan kacang kedelai,
(1)
yang juga merupakan bahan dasar susu formula bayi.

b) Maizena
Maizena merupakan tepung yang terbuat dari jagung. Alergi jagung jarang
terjadi namun ketika terjadi alergi dapat menimbulkan gejala hingga parah.

c) Udang
Salah satu makanan laut yang dapat menyebabkan alergi adalah udang.
Berdasarkan jurnal Candra tahun 2011 dapat dilihat bahwa udang merupakan jenis
makanan yang paling banyak menyebabkan alergi makanan dibanding makanan yang
lain. Menurut Munasir, penelitian di Poli Alergi Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI)/ RSCM diperoleh hasil tes tusuk kulit (skin prick test)
terhadap 69 anak dengan asma berusia tiga tahun ke atas yaitu 37,53% alergi terhadap

12
(1)
udang kecil.

d) Tomat
Alergi terhadap tomat jarang terjadi dan penyebabnya bisa ada pada biji, kulit
dan jus tomat. Berdasarkan jurnal Candra tahun 2011 diketahui bahwa sebanyak 5,9%
anak yang sensitif terhadap alergen tomat (positif).

e) Coklat
Protein yang terdapat pada coklat dapat menimbulkan reaksi sistem imun.
Sebanyak 2,9% anak yang sensitif terhadap alergen coklat (positif). Prevalensi yang
kecil ini menunjukkan bahwa alergi terhadap coklat atau biji coklat masih jarang
(1)
terjadi.

f) Kacang kedelai (Soya)


Protein di kedelai dapat menyebabkan alergi. Anak yang sensitif terhadap
alergen soya (positif) adalah sebanyak 7,4%. Anak banyak mengkonsumsi bentuk
olahan dari kacang kedelai seperti tahu, tempe, atau kecap. Tidak hanya itu, anak juga
sudah minum susu formula sejak bayi. Adanya kemungkinan reaksi silang antara
kacang tanah dengan kacang kedelai, yang merupakan bahan dasar susu formula
(1)
bayi.

g) Tepung terigu
Tepung terigu yang terbuat dari gandum dapat membuat alergi. Sebagian
besar masyarakat mengkonsumsi tepung terigu dalam bentuk olahan untuk makanan
sehari-hari atau makanan selingan. Sebanyak 10,3% anak yang sensitif terhadap
alergen tepung terigu (positif). Anak-anak banyak yang mengkonsumsi tepung terigu
dalam bentuk olahan seperti roti, kue, dan lain-lain.

13
h) Kuning telur
Telur merupakan protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Telur terdiri dari putih telur dan kuning telur. Kuning telur banyak
mengandung lemak sedangkan putih telur banyak mengandung protein. Sumber
penyebab alergi makanan adalah protein. Hal ini yang menyebabkan kuning telur
kurang bersifat alergenik dibanding putih telur. Sebanyak 8,8% anak yang sensitif
(1)
terhadap alergen kuning telur (positif) di Poli Alergi Imunologi RSCM tahun 2007.

i) Daging ayam
Berdasarkan jurnal Candra tahun 2011 didapatkan sebanyak 7,4% anak yang
sensitif terhadap alergen daging ayam (positif) di Poli Alergi Imunologi RSCM tahun
(1)
2007.

j) Tuna
Salah satu jenis ikan yang dapat menyebabkan alergi adalah ikan tuna.
Alergen yang terdapat pada ikan adalah allergen-M. Sebanyak 4,4% anak yang
(1)
sensitif terhadap alergen tuna (positif) di Poli Alergi Imunologi RSCM tahun 2007.

k) Kerang (oyster)
Berdasarkan jurnal Candra tahun 2011 didapatkan sebanyak 8,8% anak yang
sensitif terhadap alergen oyster (positif).

l) Susu sapi
Protein susu sapi dapat menimbulkan alergi baik dalam bentuk susu murni
atau bentuk lain seperti es krim, keju dan kue. Sebanyak 10,3% anak yang sensitif
(1)
terhadap alergen susu sapi (positif) di Poli Alergi Imunologi RSCM tahun 2007.

14
2.7 Diagnosis
Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Banyak jenis uji diagnostik untuk menegakkan
diagnosis alergi makanan, yang dapat dipilih untuk dilakukan di poliklinik dengan
mudah, praktis, dan murah.(6)

a) Anamnesis
Anamnesis yang menyeluruh dan terperinci adalah bagian terpenting dari
evaluasi dan menentukan tes laboratorium spesifik apa yang harus dilakukan. Edukasi
diperlukan terkait hasil pemeriksaan dan pasien harus menghindari makanan pemicu.
Rincian anamnesis yang harus ada adalah penjelasan mengenai hal berikut: gejala
klinis pasien; riwayat perjalanan penyakit mulai dari gejala hingga resolusinya;
jumlah kejadian yang terjadi untuk setiap makanan yang dicurigai; kemungkinan
mengkonsumsi makanan yang dicurigai namun tanpa disertai gejala; kuantitas
makanan yang dapat menimbulkan gejala, termasuk jumlah yang paling sedikit untuk
memicu gejala jika ada lebih dari satu kejadian; dan faktor terkait seperti olahraga
(food-dependent exercise-induced anaphylaxis), obat (terutama obat anti refluks) dan
konsumsi alkohol yang menyertai makanan yang dicurigai.(2)
Riwayat anafilaksis atau reaksi yang berat membutuhkan riwayat perjalanan
penyakit yang akurat dan mencakup fasilitas untuk mendapatkan bahan makanan
(restoran, rumah, atau sekolah) dimana reaksi alergi tersebut terjadi. Hal ini juga
dapat mengarahkan kecurigaan terhadap pemicu yang kurang jelas, terutama rempah-
rempah. Catatan medis di unit/instalasi gawat darurat dapat membantu. Hal tersebut
juga penting dalam kondisi di mana mengi/wheezing telah menjadi bagian dari reaksi,
untuk mengetahui apakah terdapat gejala asma sebagai respons terhadap pemicu yang
ada. Jika tidak, maka makanan dapat menjadi pemicu.(2)

15
Manifestasi Gastrointestinal
Alergi makanan pada gastrointestinal adalah bentuk alergi pertama pada bayi
dan anak yang biasanya bermanifestasi sebagai mudah teriritasi, muntah atau
"spitting up", diare, dan berat badan yang kurang. Hipersensitivitas sel yang tidak
dimediasi IgE lebih mendominasi, sehingga tes alergi standar seperti prick skin test
dan tes in vitro untuk antibodi IgE spesifik terhadap makanan hanya memiliki sedikit
nilai untuk diagnostik.(5)
Food protein induced enterocolitis syndrome (FPIES) biasanya bermanifestasi
dalam beberapa bulan pertama kehidupan dengan adanya muntah intermiten, mudah
teriritasi, dan diare berkepanjangan, sehingga dapat menyebabkan dehidrasi. Muntah
umumnya terjadi 1-3 jam setelah diberi makan, dan paparan yang terus-menerus
dapat menyebabkan distensi abdomen, diare berdarah, anemia, dan gagal tumbuh.
Gejala paling sering dipicu oleh susu sapi atau formula yang berbasis protein kedelai.
Kehilangan darah biasanya ringan, tetapi kadang-kadang dapat menyebabkan
anemia.(5)
Food protein–induced enteropathy bermanifestasi dalam beberapa bulan
pertama kehidupan dengan adanya diare, disertai dengan steatorea dan berat badan
yang kurang. Gejalanya berupa diare berkepanjangan, muntah pada 65% kasus, gagal
tumbuh, distensi abdomen, mudah kenyang, dan malabsorpsi. Anemia, edema, dan
hipoproteinemia dapat terjadi. Sensitivitas terhadap susu sapi merupakan penyebab
paling umum dari enteropati ini pada bayi, tetapi dapat juga dikaitkan dengan
sensitivitas terhadap kedelai, telur, gandum, beras, ayam, dan ikan pada anak yang
lebih tua. Penyakit celiac, merupakan bentuk yang paling berat dari Food protein–
induced enteropathy, terjadi pada sekitar 1: 100 dari populasi Amerika Serikat,
meskipun hanya "diam" atau asimtomatik pada banyak pasien. Bentuk full-blown
ditandai dengan hilangnya vili absorptif secara luas dan hiperplasia kripta, yang
menyebabkan malabsorpsi, diare kronis, steatorea, distensi abdomen, flatulens, dan
penurunan berat badan atau gagal tumbuh. Ulkus oral dan gejala-gejala
ekstraintestinal lainnya dapat terjadi secara sekunder akibat malabsorpsi.

16
Esofagitis eosinofilik (EoE) dapat muncul sejak usia bayi sampai remaja,
lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Pada anak-anak, keadaan ini dimediasi
terutama oleh sel dan bermanifestasi sebagai refluks gastroesofagus kronis, emesis
intermiten, penolakan terhadap makanan, nyeri abdomen, disfagia, mudah teriritasi,
gangguan tidur, dan kegagalan dalam merespons pengobatan untuk refluks.
Gastroenteritis eosinofilik terjadi pada semua usia dan menyebabkan gejala yang
mirip dengan EoE serta penurunan berat badan yang menonjol atau gagal tumbuh,
dimana keduanya merupakan gejala utama dari gangguan ini.(5)
Sindrom alergi oral (pollen associated food allergy syndrome) adalah
hipersensitivitas yang dimediasi oleh IgE dan terjadi pada banyak anak yang lebih tua
dengan rinitis alergi yang diinduksi serbuk sari. Gejala biasanya berhubungan dengan
orofaring dan terdiri dari pruritus oral onset cepat, kesemutan dan angioedema pada
bibir, lidah, palatum, dan tenggorokan, serta terkadang didapatkan sensasi pruritus di
telinga dan rasa sesak di tenggorokan. Gejala umumnya disebabkan oleh aktivasi sel
mast lokal setelah kontak dengan buah segar dan protein nabati yang bereaksi silang
dengan serbuk sari seperti apel, wortel, kentang, seledri, kacang hazel, kiwi, ceri, dan
pir. Alergi gastrointestinal akut umumnya bermanifestasi sebagai nyeri abdomen akut
dan muntah yang menyertai gejala alergi dimediasi IgE di target organ lainnya.(5)

Manifestasi Kulit
Alergi makanan pada kulit juga umum terjadi pada bayi dan anak. Dermatitis
atopik adalah bentuk eksim yang umumnya dimulai pada awal masa bayi dan ditandai
dengan pruritus, relaps kronis, serta berhubungan dengan asma dan rinitis alergi.
Setidaknya 30% anak-anak dengan dermatitis atopik sedang sampai berat memiliki
alergi makanan, semakin muda usia anak dan semakin berat eksim, semakin mungkin
alergi makanan memainkan peran patogenik pada gangguan tersebut.(5)
Urtikaria akut dan angioedema adalah salah satu gejala alergi makanan yang
paling umum. Gejala awal dapat terjadi sangat cepat, dalam beberapa menit setelah
menelan alergen. Gejala disebabkan oleh aktivasi sel mast yang mengandung IgE

17
pada alergen makanan yang diserap dan diedarkan dengan cepat ke seluruh tubuh.
Makanan yang paling sering dicurigai pada anak-anak adalah telur, susu, kacang
tanah, dan kacang-kacangan lainnya, serta dapat juga bereaksi terhadap berbagai biji-
bijian dan buah-buahan. Urtikaria kronis dan angioedema jarang disebabkan oleh
alergi makanan.
Dermatitis perioral adalah dermatitis kontak yang disebabkan oleh zat dalam
pasta gigi, gusi, lipstik, hingga obat-obatan. Perioral flushing didapatkan pada bayi
yang diberi makan buah jeruk dan dapat disebabkan oleh asam benzoat dalam
makanan tersebut. Dapat juga terjadi selama diberikan susu. Flushing juga bisa
disebabkan oleh sindrom nervus aurikulotemporal (Frey) yang dapat menghilang
secara spontan.(5)

Manifestasi Respirasi
Alergi makanan pada respirasi jarang terjadi sebagai gejala terisolasi.
Meskipun banyak orang tua percaya bahwa hidung tersumbat pada bayi disebabkan
oleh alergi susu, penelitian menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi. Gejala-gejala
rinokonjungtivitis yang diinduksi oleh makanan biasanya disertai gejala-gejala alergi
pada target organ lain, seperti kulit, dan terdiri dari gejala-gejala rinitis alergi yang
khas (pruritus periokular, kongesti hidung dan pruritus, bersin, rinore). Mengi terjadi
pada sekitar 25% reaksi alergi makanan yang dimediasi IgE, tetapi hanya sekitar 10%
pasien asma yang mengalami gejala pernapasan yang diinduksi makanan.(5)

18
Tabel 2. Gejala Klinis Alergi Makanan (5)

19
Anafilaksis
Anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi alergis multisistem yang serius
dengan onset cepat dan berpotensi fatal. Selain onset cepat pada gejala kulit,
pernapasan, dan gastrointestinal, pasien dapat menunjukkan gejala kardiovaskular
seperti hipotensi, vaskular, kolaps, dan disritmia jantung, yang dapat disebabkan oleh
pelepasan mediator sel mast secara masif.(5)

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan pada anak-anak dengan riwayat
reaksi alergi makanan. Namun, hasil pemeriksaan biasanya normal kecuali jika reaksi
tersebut terjadi secara akut. Pengecualian utama adalah dermatitis atopik, yang mana
merupakan kondisi kronis yang dapat memburuk selama reaksi akut. Pemeriksaan
lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan abdomen, tanda-tanda kekurangan gizi,
atau kegagalan tumbuh yang signifikan pada anak-anak dengan asupan nutrisi
terbatas.(2)

c) Pemeriksaan Penunjang
Tes cukit kulit (skin prick test) dan tes laboratorium in vitro berguna untuk
memberikan gambaran sensitisasi IgE, didefinisikan sebagai adanya antibodi IgE
spesifik terhadap makanan. Hasil tes kulit negatif sebenarnya menyingkirkan bentuk
alergi makanan yang dimediasi IgE. Sebaliknya, sebagian besar anak-anak dengan
respon tes kulit positif terhadap makanan tidak bereaksi ketika makanan dicerna,
sehingga lebih banyak uji definitif, seperti tes kuantitatif IgE, yang diperlukan untuk
membuat diagnosis alergi makanan.(5)
Tidak ada penelitian laboratorium untuk membantu mengidentifikasi makanan
yang bertanggung jawab untuk reaksi yang dimediasi sel. Sehingga diet eliminasi
diikuti oleh food challenge adalah satu-satunya cara untuk menegakkan diagnosis.
Sebelum uji ini dimulai, makanan yang dicurigai tidak boleh dikonsumsi selama 10-
14 hari untuk alergi makanan yang dimediasi IgE dan hingga 8 minggu untuk

20
beberapa gangguan yang diperantarai sel, seperti EoE. Jika gejala menetap meskipun
telah menghindari alergen secara tepat, maka kemungkinan gangguan yang didapati
pada anak bukan merupakan suatu alergi makanan.(5)

Gambar 4. Skema diagnosis alergi makanan (5)

21
Tes Cukit Kulit (Prick Test)


Tes cukit kulit (prick test) merupakan tes penapisan dengan sensitivitas dan
spesifisitas tinggi, cepat, dan relatif tidak mahal. Prinsip tes ini adalah memasukkan
sejumlah kecil alergen ke epidermis yang kemudian akan berikatan dengan IgE yang
melekat di permukaan sel mast yang selanjutnya akan mengeluarkan berbagai
mediator yang menyebabkan indurasi yang dapat diukur.(6)
Tes ini dilakukan dengan membubuhkan beberapa tetes alergen berbeda,
larutan histamin (kontrol positif), dan pelarut (kontrol negatif) pada daerah volar
lengan bawah. Jarum ditusukkan ke epidermis. Hasil reaksi dibaca dalam 15 menit.
Kriteria pembacaan yaitu hasil positif satu (+1) apabila indurasi berdiameter 1 mm
lebih besar dari diameter kontrol negatif, (+2) indurasi berdiameter 1-3 mm lebih
besar dari diameter kontrol negatif, (+3) indurasi berdiameter >3 mm lebih besar dari
diameter kontrol negatif disertai flare, dan (+4) indurasi berdiameter >5 mm dari
diameter kontrol negatif disertai flare.
Hasil tes cukit kulit terhadap makanan positif menunjukkan kemungkinan
alergi makanan yang diperantarai IgE hanya 50% (akurasi prediksi positif <50%).
Namun, hasil uji cukit kulit negatif menyingkirkan kemungkinan alergi makanan
yang diperantarai IgE (akurasi prediksi negatif >95%). Bila uji cukit kulit negatif,
tetapi pada anamnesis diduga kuat ada sindrom alergi mulut, dapat dilakukan uji
menggunakan zat makanan dalam bentuk segar, misalnya susu sapi segar dan putih
telur segar, langsung pada bibir atau mulut.(6)

22
Gambar 2. Skin prick test (6)

Tes Tempel (Patch Test)


Test tempel kurang bermanfaat dalam penegakan diagnosis karena hanya


dapat mendeteksi reaksi alergi fase lambat yang diperantarai IgE dan reaksi tipe IV.
Namun, apabila tes dilakukan dalam 30 menit, dapat mendeteksi reaksi alergi fase
cepat. Kombinasi tes tempel dengan tes cukit kulit atau pemeriksaan IgE serum
spesifik akan meningkatkan nilai prediksi positif hingga 100% pada kasus alergi susu
sapi dan telur ayam, sehingga tidak diperlukan tes provokasi makanan. Tes ini
memiliki kelemahan, yaitu sulit menjaga keping alergen yang digunakan tetap kontak
pada permukaan kulit, khususnya pada pasien anak.(6)

23
Gambar 3. Patch test (6)

Uji IgE Spesifik


Uji ini digunakan untuk mengevaluasi kasus alergi makanan yang diperantarai
IgE. Kelebihan cara ini dibanding tes cukit kulit adalah dapat dilakukan pada pasien
alergi yang tidak dapat berhenti dari pengobatan anti-histamin serta jika tes cukit kulit
tidak mungkin dilakukan pada kelainan kulit yang luas. Seperti pada tes cukit kulit,
hasil negatif tes ini dapat menyingkirkan alergi makanan yang diperantarai IgE;
namun, bila positif, tidak memastikan diagnosis.(6)
Tingkat IgE spesifik terhadap makanan dalam serum adalah ≥ 15 kUA/L
untuk susu (≥ 5 kUA/L untuk anak ≤ 1 thn), ≥ 7 kUA/L untuk telur (≥ 2 kUA L untuk
anak < 2 thn), dan ≥ 14 kUA/L untuk kacang dihubungkan dengan >95% anak
dengan kemungkinan reaktivitas klinis terhadap makanan tersebut. Reaksi alergi
makanan yang dimediasi IgE secara umum adalah makanan yang sangat spesifik,
sehingga pembatasan asupan nutrisi dengan menghindari seluruh legum, biji-bijian
serealia, atau produk hewani, tidak dibenarkan.(6)

24
Tes Provokasi Makanan
Tes provokasi makanan merupakan pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis alergi makanan, mengingat tidak ada pemeriksaan yang dapat
secara akurat memprediksi reaksi klinis yang timbul bila pasien terpajan makanan
tersebut. Tes provokasi makanan dapat dilakukan secara terbuka, single-blind
(penderita tidak mengetahui makanan yang diberikan), atau double-blind (penderita
dan peneliti tidak mengetahui makanan yang diberikan). Keuntungan metode double-
blind ialah dapat mengurangi angka positif palsu. 50% tes provokasi terbuka yang
hasilnya positif akan memberikan hasil negatif dengan cara double-blind placebo-
controlled food challenge (DBPCFC), sementara tes provokasi terbuka yang hasilnya
negatif akan memastikan bahwa alergi terhadap makanan tersebut dapat
disingkirkan.(6)
Tes ini dilakukan di rumah sakit dengan pengawasan ketat dokter ahli dan
harus tersedia sarana penanganan reaksi anafilaktik. Pasien harus bebas dari pengaruh
obat-obatan, antara lain anti-histamin, kortikosteroid, teofilin dan agonis beta, juga
harus bebas dari makanan yang akan diuji selama 7-14 hari, atau selama 12 minggu
pada kasus gangguan gastrointestinal. Tes provokasi makanan terbagi dalam 3
tahap:(6)
1) Eliminasi
Sebelum eliminasi, penderita harus mengonsumsi makanan yang akan diuji
setiap hari selama 2 minggu. Setelah itu, pasien harus menghindari konsumsi
makanan yang akan diuji selama 4 hari. Pada hari ke-5, dilakukan tes provokasi
dalam keadaan lambung kosong. Pada kasus tertentu, yang melibatkan saluran
cerna, seperti pada gastroesofagitis eosinofilik atau pada coeliac disease,
diperlukan waktu eliminasi yang lebih lama (6 minggu sampai 3 bulan) guna
memberi kesempatan bagi proses penyembuhan mukosa saluran cerna.(6)

25
2) Provokasi


Pasien diberi makanan yang diduga menimbulkan reaksi alergi. Makanan


harus dalam keadaan murni. Pada alergi tipe tetap, dosis makanan bentuk kering
ialah 8-10 g, sementara bentuk cair 100 mL (jumlah tersebut dilipatgandakan
untuk daging/ikan). Untuk kasus yang diduga non-IgE, dosis makanan 0,3-0,6
g/kg berat badan diberikan dalam dosis tunggal atau dalam 2 dosis terbagi.
Ekstrak makanan diletakkan di mukosa mulut (lipatan mukosa bibir bawah)
selama 2 menit untuk penapisan. Observasi dilakukan terhadap gejala lokal
ataupun sistemik. Bercak eritematosa di daerah pipi dan dagu serta edema bibir
yang disertai konjungtivitis atau rinitis menandakan tes positif. Selama tes
provokasi, pasien diobservasi ketat. Tekanan darah dan nadi diawasi secara
kontinu, gejala alergi yang timbul pada saluran napas, kulit, dan saluran cerna
diobservasi dan dicatat minimal pada 2 jam pertama setelah provokasi. Gejala
alergi pada saluran napas dapat dinilai secara objektif menggunakan spirometri.
Munculnya gejala pada tes provokasi makanan ini bevariasi; dapat timbul
dalam waktu singkat, seperti pada kasus yang diperantarai IgE, atau timbul
lambat, seperti pada kasus non-IgE (sehingga perlu pemberian makanan secara
kontinu selama 1-3 hari untuk menimbulkan gejala). Pada pasien anak, gejala
yang dapat timbul ialah rasa gatal di palatum, sesak napas, rasa gatal dan
kemerahan pada kulit, menarik-narik telinga karena gatal, atau diare. Apabila
gejala klinis timbul, tes provokasi dihentikan dan pasien diberi pengobatan
darurat yang sesuai. Jika reaksi yang timbul minimal (meragukan), tes dapat
diulang keesokan harinya.(6)

3) Rechallenge (provokasi ulang)


Setelah makanan penyebab alergi dapat diidentifikasi, langkah
selanjutnya adalah rechallenge, yaitu memasukkan makanan tersebut dalam diet
pasien, tetapi tidak sampai menimbulkan gejala. Hal ini dapat terjadi karena pada

26
alergi jenis siklik, penghindaran alergen selama 2 bulan atau lebih akan
menghilangkan gejala. Jika rechallenge pertama ternyata positif, makanan
tersebut harus dihindari selama beberapa bulan sebelum rechallenge kedua.
Rechallenge harus dilakukan secara periodik sampai pasien benar-benar bebas
gejala ketika mengonsumsi makanan tersebut. Namun, apabila gejala alergi
masih timbul dalam waktu 2 tahun, makanan tersebut harus dihindari untuk
seterusnya.(6)

2.8 Tatalaksana
Identifikasi yang tepat dan eliminasi makanan yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas adalah satu-satunya penatalaksanaan yang divalidasi untuk alergi
makanan. Eliminasi menyeluruh terhadap makanan yang umum menyebabkan alergi
(susu, telur, kedelai, gandum, beras, ayam, ikan, kacang-kacangan) sangat sulit
karena penggunaannya yang luas dalam berbagai makanan olahan. Anak-anak dengan
asma dan alergi makanan yang dimediasi IgE, alergi kacang, atau riwayat reaksi berat
sebelumnya harus diberikan epinefrin yang dapat diinjeksi secara mandiri dan
rencana darurat tertulis jika terjadi kecelakaan ingesti.(5)
Anak-anak harus dievaluasi kembali secara berkala untuk menentukan apakah
mereka telah kehilangan reaktivitas klinisnya. Sejumlah uji klinis dapat mengevaluasi
efektivitas imunoterapi oral, sublingual, dan epikutan (patch) untuk pengobatan alergi
makanan yang dimediasi IgE (susu, telur, kacang tanah). Menggabungkan
imunoterapi oral dengan pengobatan anti-IgE (omalizumab) mungkin lebih efektif
daripada imunoterapi oral saja. Selanjutnya, susu yang dipanaskan secara ekstensif
atau telur dalam produk yang dipanggang dapat ditoleransi oleh mayoritas anak-anak
alergi susu dan telur. Mengkonsumsi secara teratur produk susu dan telur yang
dipanggang dapat mempercepat resolusi alergi susu dan telur.(5)
Untuk pasien dengan reaksi ringan, seperti urtikaria lokal, gatal pada mulut,
atau nyeri abdomen ringan, pengobatan terbatas pada antihistamin oral. Jika pasien
memiliki gejala sistemik, pilihan pengobatannya adalah epinefrin yang disuntikkan

27
sendiri/self-injectable epinephrine yang diberikan melalui injeksi intramuskular pada
paha bagian lateral. Pasien harus diedukasi mengenai kapan menggunakan self-
injector dan teknik yang tepat. Pasien juga harus diinstruksikan untuk mendapatkan
bantuan medis segera jika terjadi anafilaksis.(4)

Penatalaksanaan Anafilaksis
Pemberian epinefrin intramuskular secara cepat adalah terapi lini pertama
untuk anafilaksis yang diinduksi makanan. Mempertahankan akses untuk adrenalin
auto-injector (AAI) serta penggunaan AAI adalah langkah penting untuk manajemen
yang efektif dari alergi makanan yang dimediasi IgE. Indikasi pemberian AAI harus
diberikan secara individual dengan mempertimbangkan riwayat medis dan kebutuhan
keluarga.(7)
Langkah selanjutnya adalah menentukan kapan epinefrin harus digunakan.
Hasil terbaik diberikan ketika epinefrin diberikan segera setelah gejala awal
anafilaksis terjadi. Oleh karena itu, diperlukan pengenalan gejala awal sehingga dapat
menggunakan AAI dengan segera.(7)
Anti-histamin H1 telah lama digunakan untuk reaksi kulit yang ringan,
terisolasi, dan tidak progresif untuk membantu meredakan pruritus, urtikaria,
angioedema dan konjungtivitis. Namun, antagonis reseptor H1 dan H2 tidak dapat
digunakan sebagai pengganti epinefrin, tetapi hanya sebagai obat ajuvan selama
anafilaksis. Pemberian profilaksis anti-histamin dapat menutupi gejala-gejala awal
anafilaksis dan menyebabkan pengobatan yang terlambat dengan epinefrin. Agonis
beta-2 adrenergik yang diinhalasi telah digunakan untuk meredakan gejala batuk dan
mengi di samping epinefrin, tetapi bukan sebagai pengganti epinefrin. Kortikosteroid
oral atau intravaskular sering diberikan selama reaksi akut untuk mencegah episode
anafilaksis berkepanjangan atau bifasik. Intervensi lain termasuk oksigen tambahan
dan cairan yang dapat dipertimbangkan setelah pemberian epinefrin tergantung pada
gejala pasien.(7)

28
2.9 Pencegahan
Tidak ada konsensus mengenai apakah alergi makanan dapat dicegah. Tidak
ada bukti yang cukup untuk mendukung pembatasan asupan nutrisi ibu selama
kehamilan, menyusui, atau menunda pengenalan berbagai makanan alergenik untuk
bayi dari keluarga atopik. Pemberian ASI eksklusif pada usia 4-6 bulan pertama dapat
mengurangi penyakit alergi dalam beberapa tahun pertama kehidupan bayi yang
berisiko tinggi untuk memiliki penyakit alergi. Makanan yang berpotensi alergenik
(telur, susu, gandum, kacang-kacangan, dan ikan) harus diperkenalkan setelah periode
pemberian ASI eksklusif dan dapat mencegah perkembangan alergi di kemudian hari.
Penggunaan whey formula yang dihidrolisis secara parsial dapat bermanfaat jika
menyusui tidak dapat dilanjutkan selama 4-6 bulan atau setelah disapih, terutama
untuk mencegah eksim pada keluarga berisiko tinggi, tetapi pendekatannya masih
kontroversial. Suplemen probiotik juga dapat mengurangi insidensi dan tingkat
keparahan eksim.(5)

2.10 Komplikasi
Reaksi anafilaksis yang berat, termasuk kematian, dapat terjadi setelah
mengkonsumsi makanan. Kematian terjadi akibat edema laring yang berat,
bronkospasme ireversibel, hipotensi refrakter, atau kombinasi keduanya. Kacang-
kacangan, ikan, dan kerang adalah makanan yang paling sering terlibat dalam reaksi
anafilaksis berat yang diinduksi makanan, meskipun reaksi anafilaksis terhadap
berbagai macam makanan telah dilaporkan. Kematian yang disebabkan oleh reaksi
terhadap susu juga semakin meningkat.(4)

2.11 Prognosis
Secara umum, kebanyakan bayi dan anak menjadi lebih toleran secara klinis
terhadap hipersensitivitas makanan. Secara khusus, sebagian besar anak memiliki
alergi terhadap susu, telur, kedelai dan gandum. Alergi kacang-kacangan, ikan, dan
kerang lebih persisten. Studi berbasis populasi umumnya menunjukkan bahwa 85%

29
anak memiliki alergi terhadap susu atau telur pada usia 3-5 tahun. Namun, penelitian
yang dilaporkan dari pusat rujukan menunjukkan lebih banyak persistensi alergi
dengan telur, susu, dan kedelai, dengan hanya sekitar 50% pasien yang dapat
mengatasi alergi tersebut pada usia 8-12 tahun. Alergi pada anak semakin menghilang
saat berusia remaja. Sekitar 20% bayi dan anak kecil mengalami resolusi alergi
kacang saat mencapai usia sekolah. Anak-anak dengan alergi makanan yang tidak
dimediasi IgE, seperti proktokolitis dan enterokolitis, biasanya dapat teratasi pada
tahun pertama kehidupan.(4)

30
BAB III
KESIMPULAN

Alergi makanan didefinisikan sebagai efek yang berlawanan terhadap


kesehatan (adverse health effect) yang timbul sebagai respon imun spesifik akibat
paparan bahan makanan tertentu. Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Identifikasi yang tepat
dan eliminasi makanan yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas adalah satu-
satunya penatalaksanaan yang divalidasi untuk alergi makanan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Candra Y, Setiarini A, Rengganis I. Gambaran Sensitivitas Terhadap Alergen


Makanan. Makara, Kesehatan 2011;15(1):44-50.
2. Bock SA, Sampson HA. Evaluation of Food Allergy. In: Leung DY, Szefler
SJ, Bonilla FA, Akdis GA, Sampson HA editors. Pediatric Allergy Principles
and Practice. 3th ed. New York: Elsevier. 2016. p.371-4, 420.
3. Boyce JA, Assa’ad A, Burks AW, Jones S, Sampson HA, Wood RA.
Guidelines for the Diagnosis and Management of Food Allergy in the United
States. Summary of the NIAID-Sponsored Expert Panel Report [Internet].
National Institute of Allergy and Infectious Diseases; 2010 (cited 2018 May
14). Available at: https://www.foodallergy.org/sites/default/files/migrated-
files/file/niaid-clinician-summary.pdf.
4. Sicherer SH. Food Allergies [Internet]. Medscape; 2018 (cited 2018 May 15).
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/135959-
overview#showall.
5. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA, Sicherer SH. Allergic Disorders. In:
Abzug MJ, Adams DR, Adelson SL, Aiken JJ, Akay B, Akdis CA,
Alessandrini EA. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier. 2016. p.1074-7, 1137-43.
6. Christanto A, Oedono T. Uji Diagnostik Alergi Makanan. CDK
2011;38(6):465-7.
7. Comberiati P, Cipriani F, Schwarz A, Posa D, Host C, Peroni DG. Diagnosis
and treatment of pediatric food allergy: an update. Italian Journal of Pediatrics
2015;41(13):1-8.

32

Anda mungkin juga menyukai