ALERGI MAKANAN
1. Pengertian (Definisi) Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun
spesifik yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan.
Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non
imunologik.
Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi
toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.
2. Anamnesis Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi
sesuai waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan
makanan, sedangkan gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari.
Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama.
Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi
3. Pemeriksaan Fisik Kulit
Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim
Mata
Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita
Saluran nafas atas
Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering
Saluran nafas bawah
Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan
Mulut
Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak
Saluran cerna bawah
Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan
dengan penurunan berat badan
Kardiovaskular
Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran
4. Pemeriksaan Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen
Penunjang hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan) dengan positive predictive value (PPV) > 95%.
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau
keadaan depresi imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu
alergen bahan makanan tertentu.
Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran
secara histologis.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Food challenge
6. Diagnosis 1. Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena
3. Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi
4. Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan
makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika
dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka
diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu
sebelum dilakukan provokasi.
7. Diagnosis Banding 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif
3. Reaksi karena gangguan psikologis
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 1 | 146
8. Terapi Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran)
Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai
pengganti.
Pengobatan
Kromolin, Nedokromil.
Glukokortikoid.
Beta adrenergic agonist
Metil Xantin
Simpatomimetika
Leukotrien antagonis
H1-Reseptor antagonis
Probotik
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 2 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
ALERGI MAKANAN
Palu,
dr. Roberthy David Maelissa, Sp. B., FinaCS dr. Suldiah., Sp. A
Pembina Utama Pembina Utama
NIP 196309301995031001 NIP 196103171988032003
Mengetahui :
Direktur RSUD Undata Palu
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 2 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian (Definisi) Arthritis Idiopatik Juvenile(AIJ) adalah radang sendi tanpa penyebab yang jelas (idiopatik) dengan durasi
penyakit paling sedikit 6 minggu serta pada anak berusia kurang dari 16 tahun.
2. Anamnesis Gejala morning stiffness atau fenomena gel (kekakuan setelah duduk atau tidak aktif dalam jangka waktu
lama). Keluhan atralgia yang sering terjadi di siang hari. Gejala lainya itu anak mendadak lemas di pagi
hari ataupun setelah tidur siang dan membaik selang beberapa waktu tanpa diobati.
Keluhan nyeri sendi mungkin tidak dominan tetapi anak sering berhenti menggunakan sendi secara normal
(misal: terjadi kontraktur atau lemas) tanpa mengeluh sakit. Anak AIJ sering absen dari kegitan sekolah
dan olahraga, ini juga mencerminkan keparahan penyakit atau kekambuhan AIJ.
AIJ subtipesistemik ditandai dengan demam yang spiking dan terjadi 1-2 kali setiap hari, pada waktu yang
sama, dengan suhu yang dapat kembali normal ataupun di bawah normal. Pola demam ini sangat khas
dan tidak didapatkan pada penyakit infeksi, keganasan ataupun Kawasaki. AIJ subtipesistemik biasanya
disertai ruam berwarna salmon pada tubuh dan ektremitas.
Sedangkan yang tipe psoriasis arthritis dapat menunjukkan gejala psoriasis yang khas tetapi kadang
manifestasinya juga tidak jelas. Yang harus diperhatikan adalah adanya gejala dactylis pada kuku anak.
Subtipeentesitis sering kali muncul dengan rasa sakit setelah latihan ataupun pada malam hari. Perhatian
harus diberikan bila anak merasa nyeri pada pantatdan punggung yang membaik dengan aktivitas. Anak-
anak ini tidak bisa berbaring di tempat tidur sepanjang pagi tapi harus bangun karena
sakit punggung.
3. Pemeriksaan Fisik Klinis
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas
seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah AIJ
yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis
kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis. Dan tanda-tanda penyakit lain penyebab nyeri sendi
dapat disingkirkan.
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan :
1. GejalaKlinis
2. Pemeriksaan lab
3. Pemerikasaanthoraksfoto
Maka AIJ dibagi dalam beberapa golongan:
1. Sistemik
2. Oligoarthritis
a) Persisten
b) Extended
3. Poliarthritis (factor reumatoid negative)
4. Poliarthritis (faktor rheumatoid positif)
5. Artritis psoriatic
6. Artritisterkaitentesitis
7. Artritis lain-lain
a) Tidak memenuhi katergori
b) Memenuhi lebih dari satu kategori
5. Diagnosis ARTHRITIS INDIOPATIK JUVENIL
6. Diagnosis Banding 1. GonitisTuberkulosis
2. Keganasan tulang
3. Keganasan darah (leukemia, neuroblastoma)
4. Growing pain
7. PemeriksaanPenunjang 1. Laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear
Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis AIJ menjadi
lebih sempurna.
b. Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai leukositosis yang didominasi netrofil.
c. Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda
reaktivasi penyakit.
d. Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa
peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan
IgM merupakan karakteristik tersendiri dari AIJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak
yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktivitas penyakit. Berbeda dengan orang dewasa
C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
e. Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif, sering kali pada AIJ
poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk.
Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan
pada AIJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium.
2. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 3 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
8. Terapi 1. NSAID (obat anti inflamasi non steroid) : aspirin, ibuprofen, meloxicam
2. Steroid: oral atau intra artikular
3. Obat-obat yang dapat memodifikasi perjalanan penyakit (DMARDs): hidroxychloroquine, methotreksat
4. Imunosupresan
Rehabilistasimedis
Palu,
Ketua Komite Medik Kepala KSM Anak
dr. Roberthy David Maelissa, Sp. B., FinaCS dr. Suldiah., Sp. A
Pembina Utama Pembina Utama
NIP 196309301995031001 NIP 196103171988032003
Mengetahui :
Direktur RSUD Undata Palu
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 3 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 4 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DERMATITIS ATOPI
1. Pengertian (Definisi) Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus
yang hebat.
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif
biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
2. Anamnesis 1. Berulangdenganpenyebab yang sama
2. Rasa gatal
3. Keluargadenganriwayatalergi
4. Disertaidengangejalaalergilainnya
3. PemeriksaanFisik Onset
Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
Macam-macam lesi
Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan
eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan
pola permukaan kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik).
Bentuk klinis
· Bentuk infantil
Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang
lebih muda.
· Bentuk anak
Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan,
kaki dan periorbita.
· Bentuk dewasa
Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.
4. Kriteria Diagnosis Untuk Bayi :
Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi:
Kriteria mayor :
1. Riwayat keluarga DA
2. Dermatitis dengan tanda gatal
3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
Kriteria minor :
1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
2. Perifollicular accentuation
3. Chronic scalp scaling
4. Periauricular fissures
Untuk Anak :
Kriteria Hanifin untuk anak :
Krireria mayor (harus punya 3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi typical
3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence
5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
Kriteria minor
1. Xerosis
2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
4. Hand/foot dermatitis
5. Cheilitis
6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada
kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.
5. Diagnosis DERMATITIS ATOPI
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 5 | 146
6. Diagnosis Banding 1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatophytosisataur dermatophytids
3. Sindrom defesiensi imun
4. Sindrom Wiskott-Aldrich
5. Sindrom Hyper-IgE
6. Penyakit Neoplastik
7. Langerhans' cell histiocytosis
8. Penyakit Hodgkin
9. Dermatitis Numularis
10. Skabies
Dermatitis Seborrheic
7. PemeriksaanPenunjang Diagnosis DA berdasarkan pada klinis, pemeriksaan penunjang tidak terlalu dibutuhkan:
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 6 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DERMATITIS ATOPI
1. IgEspesifik
2. Tesujikulit
8. Terapi Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa
perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi
faktor-faktor pencetus kekambuhan.
· Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air
pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi
selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)
karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi
memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah
mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-
in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
· Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa
menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang
berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus
diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik
dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian
diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan
terapi difokuskan pada hidrasi.
· Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal
pada DA bisa tak terkait dengan histamin.
· Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada
manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis
kontak.
· Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit.
Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten
penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah
terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan
menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
· Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat
juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan,
binatang dan debu rumah.
DA berat
Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.
Kortikosteroid sistemik.
Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus
diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
Thymopentin.
Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari
selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu.
Interferon-gamma.
Dosis yang digunakan antara 50 g-100g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.
Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep
atau gel 5%.
Tacrolimus.
Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan
pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi
fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit.
Pimecrolimus
Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
Gammaglobulin
Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah
terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus.
Probiotik
Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 7 | 146
bulan.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 8 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DERMATITIS ATOPI
3. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
14. IndikatorMedis 1. Rasa gatal
2. Kulitkering
3. Ruam
4. Infeksisekunder
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Callard RE, Harper JI. The skin barrier, atopic dermatitis and allergy: a role for Langerhans cells?.Trends
Immunol. Jul 2007;28(7):294-8.
2. Haeck IM, Rouwen TJ, Timmer-de Mik L, et al. Topical corticosteroids in atopic dermatitis and the risk of
glaucoma and cataracts. J Am AcadDermatol. Feb 2011;64(2):275-81.
3. Huang JT, Abrams M, Tlougan B, Rademaker A, Paller AS. Treatment of Staphylococcus aureus
colonization in atopic dermatitis decreases disease severity. Pediatrics. May 2009;123(5):e808-14.
4. Irvine AD. Fleshing out filaggrin phenotypes. J Invest Dermatol. Mar 2007;127(3):504-7.
5. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of
Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777.
6. Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic
architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 9 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
HIPOGLIKEMIA
1. Pengertian (Definisi) Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia
2. Anamnesis - Apakah didapatkan gejala takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah ?
- Apakah didapatkan gejala pusing, gangguan penglihatan?
- Apakah didapatkan penurunan kesadaran, gangguan psikologis, perubahan tingkah laku?
3. Pemeriksaan Fisik Adrenergik: takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah
Neuropenik (penurunan penggunaan glukosa oleh otak): pusing, gangguan visual, somnolens. Gangguan
psikologis, perubahan tingkah laku
Kombinasi gejala di atas memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
4. Pemeriksaan - Darah : kadar gula, kadar insulin
Penunjang - Urine : ketone, reducing substances, organic acids
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 10 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
HIPOGLIKEMIA
13. Indikator Medis 80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari
14. Kepustakaan 1. Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin W,
Tanz RR. Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78.
2. Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4. Elsevier
Mosby. Phiadelphia.hal 191-21.
3. Clarke W, Jones T, Rewers A, Dunger D, Klingensmith GJ. Assessment and Management of
Hypoglycemia In Children and Adolescent With Diabetes. Pediatric Diabetes 2009:10 (Suppl,12)134-
45.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 11 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian (Definisi) Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai dengan
adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan
sel β-pankreas yang didasari proses autoimun
4. Pemeriksaan 1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).*
Penunjang Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir.
atau
2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).**
Puasa dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam.
atau
3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa.
Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau
1,75 g/kg berat badan sampai dengan maksimum 75 g.
4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis
2. Hyperglikemia
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 12 | 146
8. Terapi Medikamentosa
- Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
- Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia
dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin
harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
- Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan
dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin
menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut
:
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 13 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
13. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan
sembuh dalam waktu 4 hari.
14. Kepustakaan 1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005.
4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and
Monitoring Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29.
5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus
Guidelines for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands:
ISPAD, 2000.
6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
No 32. Surabaya: Oktober 2002; 11-22.
7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan
pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
February 13, 2002.
8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP IDAI,
2000.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 14 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 15 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
1. Pengertian (Definisi) Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormon.
2. Anamnesis - Sesak , penurunan kesadaran, mual, muntah
- Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
- Riwayat keluarga dengan sakit yang sama.
3. Pemeriksaan Fisik - Penurunan kesadaran bahkan koma
- Tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemia
- Tanda-tanda sesak
- Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas,
- Didapatkan penurunan berat badan
4. Pemeriksaan 1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan
Penunjang kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut :
Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
Asidosis, bila pH darah < 7,3.
kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut :
Ringan: bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L.
Sedang: bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L.
Berat: bila pH darah < 7,1 , bikarbonat < 5 mmol/L.
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris
7. Diagnosis Banding KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia,
uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia,
ensefalitis, dan lesi intrakranial.
8. Terapi Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan: 1) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), 2)
Menghentikan ketogenesis (insulin), 3) Koreksi gangguan elektrolit, 4) Mencegah komplikasi, 5) Mengenali dan
menghilangkan faktor pencetus.
9. Edukasi 1. Injeksi insulin
2. Pengaturan pola makan
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
13. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)
14. Kepustakaan 1. Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013].
Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing.
2. R A R Treasure, P B S Fowler H T Millington, Wise PH. Misdiagnosis of diabetic ketoacidosis as
hyperventilation syndrome. British Medical Journal. 1987;294:630.
3. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children
and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 16 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
4. Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53.
5. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis.
Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36.
6. Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications – diabetic
ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National Evidence- Based Clinical
Care Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra: Australian Paediatric
Endocrine Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35.
7. Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of North
America. 2005;52(6):1611-35.
8. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis.
QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80.
9. lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in Birmingham,
UK, 2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal of Diabetes &
Vascular Disease. 2009;9(6):278-82.
11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51.
12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and
Management. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78.
13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl
1:S62-7.
14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80.
15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33.
16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak RSU
Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished]
17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1
pada Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30.
18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27.
19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of
hyperglycemic emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60.
20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of
intensive care. 2011;1(1):1-12.
21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents.
Archives of Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94.
22. Association AD. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care.
2002;25(Supplement 1):S100-8.
23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of
cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71.
24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al.
Accuracy of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples
During Metabolic Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1
Diabetic Patients. Diabetes care. 2003;26:1137-41.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 17 | 146
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 18 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
HIPOTIROID KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-
hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan respon jaringan
terhadap hormon tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone tiroid sejak dalam
kandungan.
2. Anamnesis - Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi,
hipotermia, konstipasi dan perkembangan yang terlambat.
- Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat
pengobatan selama hamil
3. Pemeriksaan Fisik - Paada saat lahir: postmature, makrosimia, fontanela anterior maturasi tulang terlambat
- Pada masa bayi awal :ikterus berkepanjangan, gangguan minum, somnolens, letargi, hipotermia,
konstipasi, makroglosi, hernia umbilikalis, gondok, kulit kering dan dan motltled
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
13. Indikator Medis Perkembangan membaik. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari
14. Kepustakaan 1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric
Endocrinology. Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 19 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
HIPOTIROID KONGENITAL
2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.
3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology –
The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90.
4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York :
Marcel Dekker, 1996 : 369-81.
5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 20 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah
dalam tinja
Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh
(somnolen, koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral.
2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Adanya penyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
8. Terapi Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl
0.9%) yang dibagi sebagai berikut
Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya
Usia Š12 bulan : 30 ml/kg dalam 30 menit dilanjutkan 70 ml/kg dalam 2 ½ jam berikutnya
Dapat diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat.
Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam
(anak).
Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6
bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa)
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 21 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
13. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 7 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang
14. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 22 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 23 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 24 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak
HEMOFILIA
1. Pengertian Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
(Definisi) Ada 3 jenis hemofilia:
Hemofilia A: defek faktor VIII
Hemofilia B: defek faktor IX
(prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1)
Hemofilia C: defek faktor XI (jarang)
Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX:
Ringan: 5-25% (5-25 U/dL)
Sedang: 1-5% (1-5 U/dL)
Berat: <1% (<1 U/dL)
2. Anamnesis riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat
lahir, perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur
nyeri/bengkak pada sendi
riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama
3. Pemeriksaan Fisik Ada perdarahan yang dapat berupa:
hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas)
sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi
kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu
perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
APTT memanjang
PPT normal
Serum Prothrombin Time pendek
kadar fibrinogen normal
Retraksi bekuan baik
kadar Faktor VIII/IX
5. Diagnosis HEMOFILIA
6. Diagnosis Banding Von Willebrand’s disease
Defisiensi Vitamin K
7. Pemeriksaan APTT
Penunjang PPT
Serum Prothrombin Time
Kadar fibrinogen
Retraksi bekuan
kadar Faktor VIII/IX
8. Terapi Hemofilia A
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian
diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik
2. Konsentrat FVIII
Hemofilia B
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga
mencapai kadar hemostatic
2. Konsentrat FIX
Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor
Indikasi FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari)
Epistaksis 10-15 20-30 1-2
Perdarahan oral 10-15 20-30 1-2
mukosa
Hemarthrosis 15-25 30-50 1-2
Hematoma 15-25 30-50 1-2
Hematuria persisten 15-25 30-50 1-2
Perdarahan GI 15-25 30-50 1-2 hari
setelah perdarahan stop
Perdarahan 15-25 30-50 min.3 hari
51
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 25 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
HEMOFILIA
retroperitoneal
Trauma tanpa 20-25 40-50 2-3
perdarahan
Perdarahan lidah/ 20-25 40-50 3-4
retrofaring
Trauma dengan 50 100 10-14
perdarahan,bedah
Perdarahan 50 100 10-14
Intracranial
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 26 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 27 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
3.Urin: rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur urin
4.Pencitraan:
USG
CT scan
7. Terapi
A Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya
B. Terapi suportif
1. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
2. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang
(Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil
3. Vitamin yang larut dalam lemak
- A 5000-25.000 IU
- D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
- E 25-200 IU/kk/hari
- K1 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu
4. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
5. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor
contohnya kolestipol, simvastatin
6. Pruritus:
- Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
- Rifampisin 10 mg/kg/hari
- Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 28 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
10. Prognosis Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
14. Kepustakaan 1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify
laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2010;50(5):526-30.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep
2010;12(1):30-9.
3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci
associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60.
4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis.
Orphanet J Rare Dis 2009;4:1.
5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver
disease after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 63 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak
1. Pengertian (Definisi) adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria
subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir
2. Anamnesis
1. Tidak biru
2. Tidak mau menetek
3. Nafas cepat (takipnea)
4. Berkeringat
5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
3. Pemeriksaan Fisik 1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau
2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan
3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif)
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas
2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten
6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa
diulang satu seri lagi
*
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141- 145.
2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB,
Driscoll DJ. Ed. Moss and Adams’Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The Fetus
and Young Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669.
3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company
Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 64 | 146
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 65 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
GAGAL JANTUNG
1. Pengertian (Definisi) Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok
oksigen dan nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel.
2. Anamnesis 1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea",
"dyspnea d'effort", batuk, sianosis.
2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer
edema palpebra sering pada bayi.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kardiomegali
2. takikardia
3. irama gallop
4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus
paradoxus dan alternans
5. "tachypnea"
6. ronkhi basah
7. wheezing
8. Dyspneu sampai dengan sianosis
9. hepatomegali
10. bendungan vena leher
11. sembab perifer
12. edema palpebra sering pada bayi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas
2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Gagal jantung
6. Diagnosis Banding 1 Efusi pericardial
2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian
bawah : (bronkiolitis, pneumonia)
7. Pemeriksaan 1. Foto thorax
Penunjang 2. EKG
8. Terapi 1. O2 40-50% dengan pelembab.
2. Sedasi dengan morphin 0,1-0,2 mg/kg/dosis s.c.setiap 4 jam kalau perlu, atau Phenobarbital 2-3
mg/kg/dosis p.o/i.m. setiap 8 jam selama 1-2 hari.
3. Eliminasi factor pencetus : demam diberi antipiretik, anemia ditanfusi PRC sampai PCV > 35%.
4. Atasi penyakit dasar seperti hipertensi, aritmia atau tirotoksikosis.
5. Digitalis : digoxin
6. Dopamine
7. Hydralazine : dosis 1 mg/kg - 5 mg/kg/hr oral dalam 3-4x
8. Captopril :
neonatus : 0,1-0,4 mg/kg/dose, 1-4 x/hari
bayi : 0,5-6,0 mg/kg/hr, tiap 6-24 jam
anak besar : 12,5 mg/dose oral tiap 12-24 jam
9. diuretika :
thiazide : chlorothiazide : 20-30 mg/kg/hr, oral.
Hydrocholorothiazide 2-3 mg/kg/hr (2 x)
Furosemid : 1-3 mg/kg/x intravena, 2-5 mg/hr/oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Penjelasan tentang penyakit yang mendasari
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Venice Sp. JP
2. dr. Hasanuddin Sp.JP
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 66 | 146
15. Kepustakaan 1. Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and
Libby P. Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 – 599.
2. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem
oriented approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129.
3. Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 234-
39, 249-53.
4. Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 67 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak
GAGAL JANTUNG
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 68 | 146
DEMAM REUMATIK
1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul setelah
infeksi tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS) dengan penyulit
serius berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang cenderung kambuh,
akibat respons autoimun
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Arthralgia
4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau
b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus
beta hemolitikus golongan A sebelumnya.
5. Diagnosis Demam Reumatik
6. Diagnosis Banding 1. Artritis reumatoid
2. Artrids bakterial.
3. Artritis virus.
4. Reaksi alergi.
5. Bising fungsionil.
6. Kelainan jantung bawaan.
7. Miokarditis virus
8. Miokarditis bakterial lain.
9. Lupus eritematosus sistemik
7. Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap
b. LED
c. C-Reactive Protein
d. ASO
e. Kultur hapusan tenggorok
f. Foto thorax
g. EKG
h. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Iirah baring:
Tanpa Karditis:
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali:
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali:
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan gagal jantung:
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi
2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder
- Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila
berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 69 | 146
DEMAM REUMATIK
- Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20
kg, diberikan selama 10 hari.
- Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama
10 hari
3. Analgesik dan anti-inflamasi
- Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
- Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali:
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu
- Karditis dengan kardiomegali atau gagal
jantung: Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2
minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu
ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.
9. Edukasi a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
b. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 70 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
4. Pemeriksaan Penunjang 1.
Pemeriksaan air kemih:
Urinalisis, Leukosit esterase, nitrit,
2. Biakan air kemih
3. Pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin
4. Ultrasonografi ginjal-buli buli (USG) bila diperlukan, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI pada kasus ISK atas,
komplek, dan atipik
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis sesuai usia penderita
2. Biakan air kemih merupakan baku emas
3. Pemeriksaan air kemih ada kuman (gram), piuri,torak, lekosit, , lekosit esterase,nitrit
4. Kimia darah: ureum,kreatinin
5. Pencitraan :USG ginjal-buli buli, skintigrafi ginjal, CT scan, bila diperlukan
6. Diagnosis Infeksi saluran kemih
7. Diagnosis Banding Penyakit dengan panas yang tidak diketahui sebabnya - ICD
8. Terapi Supportif
Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi
Medikamentosa
Antibiotik peroral
ISK bawah Amoksisilin klavulanat 20 – 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis
Antibiotik parentral
1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 71 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
14. Kepustakaan 1. Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric
Nephrology 2nd.Chennai.Replika Press.2007. 553-74.
2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P, Yoshikawa
N Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310
3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in
young children. N Engl J Med ; 348 :195-202.
4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric
Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70
5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics
2011;128:595-610
6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds.
Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142- 163.
7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34
8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal lesions
in children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9.
9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds.
Pediatric nephrology. Singapore. 391-402.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract
infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 72 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
7. Pemeriksaan Penunjang Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak
granular, torak eritrosit
Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen
C3 <50 mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala
klinis menghilang
Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali
8. Terapi 1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi,
edema).
2. Antibiotika untuk eradikasi kuman:
Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari
Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi)
4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi):
Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari)
Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari)
5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari).
6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 73 | 146
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 74 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 75 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
8. Terapi Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap
penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala
klinis, perlu diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas,
hiperlipidemia, kebiasaan merokok dan intoleransi glukosa.
Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95
berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan anak. Pada anak dengan hipertensi kronik, dianjurkan untuk
menurunkan tekanan darah sebesar 20-30% dalam waktu 60-90 menit.
Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.
I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke- 95
untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 76 | 146
(ACE-I) Lisinopril 0,1 0,2-1 5 mg/hari suspensi.
mg/kg/hari mg/kg/hari atau 10-20 Hati-hati pemakaian
pada penyakit ginjal
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 77 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 78 | 146
Periphera Prazosin Test dose: 0,5 5 mg Dapat menyebabkan
l alpha 0,005 mg/kg/hari, tiap 6-12 hipotensi atau
antagonis mg/kg tiap 6-12 jam sinkop, terutama
ts (maksimu jam seteleh dosis
m 0,25 pertama
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 79 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Tabel 1. Petunjuk untuk step-down therapy pada bayi, anak atau remaja
Anak / Remaja
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah
dengan interval waktu 6-8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi.
Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila
memungkinkan berangsur-angsur dihentikan.
II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Indikator Medis 80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
14. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 80 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 81 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut:
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 82 | 146
Natrium Pompa infus 0,25-8 2 1-10 Membutuhkan
nitroprusid kontinyu mcg/kg/menit, menit menit pengawasan
naikkan 25% tiap terus menerus,
5-10 menit, maks. risiko keracunan
konsentrasi final = tiosianat
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 83 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 84 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 85 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 86 | 146
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 87 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 88 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 89 | 146
Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 90 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 91 | 146
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 92 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 93 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 94 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 95 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
ASFIKSIA NEONATORUM
1. Pengertian Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang
(Definisi) menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis.
2. Anamnesis Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir.
4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas
darah arteri apabila fasilitas tersedia
2. Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit
3. Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati
hipoksik iskemik
4. Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal
5. Diagnosis Asfiksia
6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
7. Pemeriksaan Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, elektrolit, gula darah
Penunjang USG kepala
MRI kepala
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 96 | 146
8. Terapi Resusitasi
Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar
- Langkah awal resusitasi
Indikasi : bila terdapat salah satu jawaban tidak dari pertanyaan cukup bulan, bernapas atau
menangis, dan tonus otot baik
- Ventilasi tekanan positif (VTP)
Indikasi : apnu atau megap-megap, denyut jantung <100 x/menit, saturasi tetap di bawah nilai target
meskipun telah diberi O2 aliran bebas sampai 100%
- Ventilasi tekanan positif dan kompresi dada
Indikasi : denyut jantung <60 x/menit setelah 30 detik dilakukan VTP efektif
Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1
mL normal salin
- 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Hipovolemia
- Tidak ada respon dengan resusitasi
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 97 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
ASFIKSIA NEONATORUM
kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan
otak.
13. Indikator Medis Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan
Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi
lengkap (intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya
80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu
14. Kepustakaan 1. Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1-
302
2. American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5):
e1400-11.
3. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark
AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28.
4. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62.
5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease
and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 98 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes.
(Definisi) Kelainan spesifik yang sering ditemukan pada IDM :
Kelainan metabolisme
o Hipoglikemia
o Hipokalsemia
o Hipomagnesemia
Kelainan kardiorespirasi
o Asfiksia perinatal
o Hyaline membrane disease
o Kardiomiopati hipertropik
o Takipnea sementara pada neonatus
Kelainan hematologis
o Polisitemia dan hiperviskositas
o Hiperbilirubinemia
o Trombosis vena ginjal
Masalah morfologis dan fungsional
o Cedera lahir
o Kelainan bentuk bawaan (jantung, ginjal, saluran cerna, saraf, skeletal, wajah abnormal, mikroptalmos)
6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Hipotermia
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal
Penyakit neuromuskular
Kelainan metabolisme bawaan
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 99 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 146 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
8. Terapi Hipoglikemia
2-4 mL dekstrosa 10% selama 5 menit, diulang jika perlu
Infus glukosa 10% berkesinambungan dengan kecepatan 8-10 mg/kg/menit
Memulai pemberian asupan enteral sesegera mungkin
Kortikosteroid : pada hipoglikemia yang terus bertahan (hidrokortison 5 mg/kg/12 jam)
Mempertimbangkan pemberian glukagon dan epinefrin
Hipokalsemia
Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit
Memantau tanda ekstravasasi
Dosis juga diberikan melalui infus intravena berkesinambungan, 2-8 mL/kg/hari
Akan memberikan respon dalam 3-4 hari
Hipomagnesemia
Magnesium sulfat (MgSo4) 2mEq/kg/dosis setiap 6 jam IV atau IM
9. Edukasi Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus
Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik
sejalan dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin
Rekomendasi
14. Indikator Medis Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 1 minggu
15. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40.
2. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 145 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
(Definisi) laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.
2. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan
kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan :
HIE Tingkat I
Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang-seling
Pemberian minum yang buruk
Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan
Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi
Tidak ada aktivitas kejang
Gejala hilang dalam 24 jam
HIE Tingkat II
Letargi
Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
Hipotonia
Denyut jantung menurun dan pupil konstriksi
50-70 % terdapat kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
HIE Tingkat III
Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
Koma
Flasidisitas
Tidak ada refleks
Pupil diam, sedikit reaktif
Apnea, bradikardia, hipotensi
Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani
6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
Darah lengkap
7. Pemeriksaan Gula darah
Penunjang Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
BUN dan serum kreatinin
Faal pembekuan darah
Faal hati
Foto torak
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 146 | 146
8. Terapi a. Upaya yang optimal adalah pencegahan
b. Resusitasi.
Ventilasi yang adekuat
Oksigenasi yang adekuat.
Perfusi yang adekuat
Koreksi asidosis metabolik
Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL
Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.
Ca glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak
diberikan secara intravena dalam waktu 5 menit.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 147 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
14. Kepustakaan 1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-
28.
2. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th
ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of Neonatology
4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal
FG, Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6th ed.
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35.
5. Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 148 | 146
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 149 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
(definisi) diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis
bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.
Derajat
Daerah ikterus Perkiraan kadar bilirubin
ikterus
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai 11,4 mg/dL
atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL
Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada
saat bayi pulang
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 150 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 151 | 146
8. Terapi a. Follow up pada bayi baru lahir yang pulang
dipulangkan sebelum 24 jam : kontrol ulang usia 72 jam
dipulangkan usia 24-47,9 jam : kontrol ulang usia 96 jam
dipulangkan usia 48-72 jam : kontrol ulang usia 120 jam
b. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada
gambar 2.
Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.
c. Penghentian fototerapi
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit
(TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL.
d. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 152 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi
menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB Š5 di
atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis asidosis
Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup bulan
(sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat Bayi sakit
BB (g) Fototerapi Tranfusi tukar Fototerapi Tranfusi tukar
Kurang bulan
<1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 15-18 20-25 12-15 18-20
9. Edukasi Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab
dasar meningkatnya kadar bilirubin serum
Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk
neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi
Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 153 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
13. Indikator Medis Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal
Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50-60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan, gejala
klinis keseluruhan menghilang dalam 2 minggu
Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 7 hari
14. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and
drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300.
2. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339.
3. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
4. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar
neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
5. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 154 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian (definisi) Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).
2. Anamnesis Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gangguan pernapasan
Riwayat bayi prematur
Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
3. Pemeriksaan Fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas
5. Diagnosis Hipoglikemia
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 155 | 146
8. Terapi a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam
Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
Kadar glukosa Š45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia
Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 156 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
9. Edukasi Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau
mendapatkan infus glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap
jam hasilnya >45 mg/ dL
Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal
13. Indikator Medis Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal
80% membaik dalam 24 jam
80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
14. Kepustakaan problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7.
2. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 157 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1. Pengertian (definisi) Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas
sistem motorik atau otonomik
3. Pemeriksaan Fisik Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak
jantung normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap
Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi
ekstremitas bawah
Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan
klonik beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik.
Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 158 | 146
8. Terapi Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
Terapi etiologi spesifik
o Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak
diberikan secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia)
o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
o Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti
dalam beberapa menit
Terapi antikejang
o Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat
diulang dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti.
o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1
mg/kg/menit
o Bila masih kejang dapat diberikan :
Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik)
Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam
o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kg BB/hari dapat diberikan secara
intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose
o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose
Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 159 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
9. Edukasi Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan
hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia
Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya
14. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 374-9.
2. Bergin AM. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 729-42..
3. Depkes RI. Klasifikasi kejang. Dalam: Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit).
Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
4. Young TE, Mangum B. Neofax. Dalam: Neofax, edisi ke-7, 2004: 154-155.
5. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 273-80.
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 84-92.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 160 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
SEPSIS NEONATORUM
1. Pengertian (Definisi) Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di
dalam darah pada neonatus.
FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin)
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan atau
tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 36 0C atau > 37,50C), waktu pengisian
kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi
TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif
Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
o Leukopenia (< 4.000 x 109/L)
o Netrofil muda >10%
o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
o CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
Klasifikasi :
1. Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang timbulnya
mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran pernafasan,
progresif dan akhirnya syok
2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya
kelainan sistem susunan saraf pusat
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih
dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit
2. Anamnesis Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya
paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental)
Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang
invasif
Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain,
ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman
melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit
3. Pemeriksaan Fisik Suhu tubuh tidak stabil (<36 ⁰C atau >37,5 ⁰C)
Laju nadi >180 x/menit atau <100 x/menit
Laju nafas >60 x/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen,apnea atau laju nafas <30 x/menit
Letargi
Intoleransi glukosa: hiperglikemia (plasma glukosa >10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia ( <2,5
mmol/L atau < 45 mg/dL)
Intoleransi minum
Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)
Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan)
Pengisian kembali kapiler/ capillary refill time > 3 detik
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 161 | 146
8. Terapi 1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus
umur Š7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap 24 jam.
Dosis Ampisilin untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur Š7hari,
dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap, kultur
darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 162 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
SEPSIS NEONATORUM
cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif.
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto
abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP
normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.
6. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka
diberikan Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian antibiotika 10-
14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
7. Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin.
9. Edukasi Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari
Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari
14. Kepustakaan 1. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72.
3. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal
emergensi dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7.
4. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 163 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
PALSI SEREBRAL
1. Pengertian (Definisi) Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah
Sekelompok kelainan pergerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang terjadi karena
gangguan non progresif yang muncul pada masa perkembangan otak janin/bayi
2. Anamnesis Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta pertolongan pengobatan) :
Anak belum dapat berjalan;
Belum dapat duduk;
Terlambat bicara
Kaki gemetar
Gerakan kurang pada sisi badan
Mata juling.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 164 | 146
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan aspek klinis dan anatomis, sindrom palsi serebral diklasifikasikan :
1. Abnormalitas motorik:
a. Tipe abnormalitas tonus (hipertoni atau hipotoni) atau tipe dari gerakan abnormal (ataxia,
distonia, choreoatetosis)
b. Keparahan keterbatasan fungsional
2. Gangguan penyerta (contoh: kejang, gangguan kgnitif, pendengaran, visual dan perilaku)
3. Anatomi dan temuan radiologi
a. Bagian tubuh yang terlibat contoh: diplegia, hemiplegia dan quadriplegia
b. Hasil pencitraan
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 165 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
PALSI SEREBRAL
2. CP spastik Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus
kortikospinalis unilateral. 30% kasus.
3. CP spastic kuadriplegi
Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang
bisa dijumpai gangguan visus maupun auditori.
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor,
balismus maupun mioklonus.
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama.
5. Diagnosis Diagnosis CP secara umum berdasarkan pada anamnesa dan gejala klinik.
Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi :
1. Tim Inti :
• Neuropediatri
• Dokter Gigi
• Psikolog
• Perawat
• Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
• Pekerja Sosial (pengunjung rumah)
2. T im Konsultasi :
• Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
• Dokter Bedah (Ortopedi)
• Dokter Mata
• Dokter THT
• Psikiater Anak
Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)
6. Diagnosis Banding Inherited metabolic disorder
Metabolic myopathies
Metabolic neuropathy
Traumatic peripheral nerve lesion
Vascular malformation of the spinal cord
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dan prognosisnya :
- Pemeriksaan TORCH
- Neuro imaging : CT scan/ MRI (63% abnormal)
- Test perkembangan : gangguan bicara (90%
kasus)
- Psikologik : test IQ (juga penting untuk terapi
dan rehabilitasi)
- Audiometri untuk mendeteksi ketulian
8. Terapi A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas :
1. Benzodiazepin :
• Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
• Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak lebih 10 mg/dosis)
2. Baclofen 0.2 mg/kg setiap 8 jam
3. Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi gerakan involunter)
5. I n j e k s i Botox :
• Usia < 2 tahun belum direkomendasikan
Dosis rekomendasi 0.5-2 U/kgBB
B. Terapi Perkembangan
Rehabilitasi Medik dengan terapi fisik dan okupasi
C. Terapi bedah
1. Dorsal rhizotomy
2. Tendon lengthening
D. Lain-lain :
1. Pendidikan khusus
2. Penyuluhan psikologis
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 164 | 146
3. Rekreasi
9. Edukasi a. Bila diagnosis CP tegak, dianjurkan untuk melakukan komunikasi dan transfer informasi yang baik
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 165 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
PALSI SEREBRAL
kepada orang tua tentang kondisi dan prognosis penderita
b. CP tidak mempengaruhi fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan penderita dapat mempunyai
anak
10. Prognosis Anak dengan CP akan mengalami retardasi mental 52%, gangguan bahasa dan bicara 38%, gangguan
pendengaran 12%dan epilepsi 34-94%.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Probabilitas mencapai usia 20 tahun mencapai 50% pada CP berat.
Kemampuan untuk duduk diusia 2 tahun mempunyai adalah prediksi untuk kemampuan mandiri di masa
mendatang.
Penderita CP yang memerlukan nasogastric tube selama tahun awal kehidupan mempunyai angka
mortalitas 5 kali lebih besar dibanding yang dengan oral feeding.
14. Kepustakaan 1. Ashwal, B. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: Report of the Quality
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child
Neurology Society. Neurology 2004;62:851-63.
2. Druschel C, Althuizes HC, Funk JF, Placzek R. Off label use of botulinum toxin in children under two years
of age: a systematic review. Toxins 2013;5:60-72.
3. Novak I, Hines M, Goldsmith S, Barclay R. Clinical prognostic messages from a systematic review on cerebral
palsy. Pediatrics 2012;130:1285-1312.
4. Gudiol MV, Calafat CB, Farres MG, Algra MH, Baxter KM, et al. Treadmill interventions with partial body
weight support in children under six years of age at risk of neuromotor delay: a report of a Cochrane
systematic review and meta analysis. Eur J Phys Rehabil Med 2013;49:67-91.
5. Jan MMS. Cerebral palsy: comprehensive review and update. Ann Saudi Med 2006;26:123-32.
6. Pakula AT, Braun KMV, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and epidemiology. Phys Med Rehabil Clin
N Am 2009;20:425-52.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 166 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
KEJANG DEMAM
1. Pengertian (Definisi) Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38 °C), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks
2. Anamnesis - Didapatkan riwayat panas disertai kejang
- Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik
Pemeriksaan neurologi dalam batas normal
4. Kriteria Diagnosis Kejang Demam Sederhana (KDS) :
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang Demam kompleks (KDK) :
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Diagnosis Kejang Demam
6. Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
2. X-ray kepala, CT-Scan kepala tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang fokal
atau hemiparese.
3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis.
4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
8. Terapi 1. Penanganan Pada Saat Kejang
• Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-
0,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian.
•Turunkan demam :
Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO,
keduanya diberikan sehari 3-4 kali
Kompres : suhu >39°C : air hangat; suhu > 38°C : air biasa
• Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.
2. Pencegahan Kejang
• Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS
dengan Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan
antipiretik pada saat anak menderita penyakit
yang disertai demam.
9. Edukasi 1. Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik
2. Memberikan cara penanganan kejang yang benar
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam
5. Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 167 | 146
11. Tingkat Evidens IV
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 168 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
KEJANG DEMAM
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 169 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
MENINGITIS BAKTERI
1. Pengertian (Definisi) Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus.
2. Anamnesis Neonatus
G ejala tidak khas
Panas ±
Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
Pernafasan tidak teratur
Anak umur 2 bulan-2 tahun :
Gambaran klasik (-)
Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
Kadang-kadang “high pitched cry”
Anak umur > 2 tahun :
Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
Kejang
Gangguan kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik Neonatus
Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
Anak
Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis: panas, muntah, kejang
2. Pemeriksaan fisik: tanda rangsang meningeal positif pada anak
3. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal dari lumbal pungsi
5. Diagnosis Meningitis
6. Diagnosis Banding 1. Meningismus
2. Abses otak
3. Tumor otak
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal :
Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT- Scan kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
Darah : LED, CRP, lekosit, hitung jenis, biakan
Air kemih : biakan
Cairan serebrospinal: biakan
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 170 | 146
8. Terapi Farmakologis :
a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris :
Meningitis Bakteri
Tekanan Meningkat
Warna Keruh
Total White blood cell >1000
Polymorphonuclear cells +++
Mononuclear celss +
Protein Meningkat
Glucosa $$
Gram stain Positive
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 171 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
MENINGITIS BAKTERI
Mikroorganisme Durasi terapi (hari)
Neisseria meningitides 7
Haemophilus influenza 7
Streptocccus pneumonia 10-14
Streptococus agalactiae 14-21
Basilus aerob gram negative 21
Listeria monocytogenes 21
b. Pengobatan simptomatis
• Menghentikan kejang :
Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian
dilanjutkan dengan :
Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
• Menurunkan panas :
Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO
diberikan 3-4 kali sehari
Kompres air hangat/biasa
Menurunkan proses inflamasi :
Deksamethason dosis 0.15 mg/kg iv tiap 6 jam selama 4 hari. Seharusnya dimulai sebelum
pemberian antibiotik yang pertama.
c. Pengobatan tambahan
Cairan intravena
2. Perawatan :
Pada waktu kejang :
Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
Hisap lendir
Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
Bila penderita tidak sadar lama:
Beri makanan melalui sonde
Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan
Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
Cegah kekeringan kornea dengan salep antibiotic
Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
Pemantauan ketat :
Tekanan darah
Pernafasan
Nadi
Produksi air kemih
Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
Fisioterapi dan rehabilitasi.
9. Edukasi 1. Deteksi dini terhadap kecurigaan meningitis bakteri dan kecepatan pemberian antibiotik sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pemberian antibiotik empiris seharusnya berdasarkan epidemiologi local, usia dan factor resiko
3. Penjelasan terhadap resiko komplikasi berupa peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus, infark
ataupun subdural efusi yang bisa terjadi.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 172 | 146
10. Prognosis Faktor yang terkait dengan prognosis yang buruk
Etiologi:
Streptococcus pnenumonia
Bakteri enteric gram negative
Titer bakteri yang tinggi
Pasien:
Bayi baru lahir
Status imunitas yang buruk
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 173 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
MENINGITIS BAKTERI
Derajat berat penyakit sewaktu MRS
Penyakit derajat berat
Adanya gejala neurologis fokal
Koma
Gangguan kardiovaskular
Tidak adanya panas
Tipe manajemen
Memerlukan perawatan intensif
Terapi antibakteri yang tidak adekuat
Tidak adanya terapi antiinflamasi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Imunoprofilaksis Vaksin H Influenzae type b efektif dan aman melindungi terhadap meningitis
Metaanalysis pemberian antibiotik untuk terapi meningitis bakteri selama 4-7 hari dan 7-14 hari tidak
didapatkan perbedaan bermakna
Pemberian deksamethason dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pendengarab pasca meningitis
bakteri
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 minggu
14. Kepustakaan 1. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier
2012. Hal 1241-61.
2. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. Hal 433-48.
3. Prats JG, Gaspar AJ, Riberio AB, Paula GD, Boas LV et al. Systematic review of dexamethasone as
adjuvant therapy for bacterial meningitis in children. Rev Paul Pediatr 2012;30:586-93.
4. Huy NT, Thao NTH, Diep DTN, Kikuchi M, Zamora J et al. Cerebrospinal fluid lactate concentration to
distinguish bacterial from aseptic meningitis: a systemic review and metaanalysis. Crit care 2010;14:2-
15.
5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for the management
of bacterial meningitis. CID 2004;39:1267-83.
6. Beek D, Brouwer MC, Thwaites GE, Tunkel AR. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet
2012;380:1693-702.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 174 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
STATUS EPILEPTIKUS
1. Pengertian (Definisi) Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang tanpa
disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi dan
fase II mekanisme tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan non-
konvulsif status epileptikus.
2. Anamnesis Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
Tingkat kesadaran di antara kejang
Riwayat kejang sebelumnya,
Riwayat kejang dalam keluarga
Panas,
Trauma kepala
Riwayat persalinan,
Tumbuh kembang
Penyakit yang sedang diderita dan dahulu.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
• Peningkatan cerebral blood flow dan
metabolisme
• Hipertensi, hiperpireksia
• Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
• Depresi pernafasan
• Disritmia jantung, hipotensi
• Hipoglikemia, hiponatremia
• Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan
DIC
4. Kriteria Diagnosis Bisa memakai salah satu dari kriteria dibawah:
Kejang berlangsung selama 30 menit atau lebih
Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih
5. Diagnosis Status epileptikus
6. Diagnosis Banding 1. Reaksi konversi
2. Syncope
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah)
dianjurkan untuk evaluasi penyebab
2. CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 175 | 146
8. Terapi 1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit
pertama), yaitu ABC :
• Airway : Bebaskan jalan nafas
• Breathing : Pemberian pernafasan
buatan/bantuan nafas
• Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan.
2. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30
menit pertama) :
Rute intravena:
1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin
(Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB )
2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb
dilanjutkan maintenance
3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance
Rute intranasal:
Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB
Rute intramuscular:
Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 176 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
STATUS EPILEPTIKUS
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi
dengan :
• Midazolam, atau
• Barbiturat (thiopental, phenobarbital,
pentobarbital)
9. Edukasi 1. Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif
maupun gangguan tingkah laku.
2. Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat,
farmakoresistensi dan mortalitas.
3. Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%.
10. Prognosis Tergantung pada :
• Penyakit dasar
• Kecepatan penanganan kejang
• Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan
menghasilkan mortalitas sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan penanganan
14. Kepustakaan 1. Sofou K, Kristjandottir R, Papachatzakis NE, Ahmadzadeh A, Uvebrant P. Management of prolonged
seizures and status epilepticus in childhood: a systematic review. J of Chikd Neurol 2009;24:918-26.
2. Meier H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, et al. EFNS guideline on the management of
stautus epilepticus. Eur J of Neurol 2006;13:445-50.
3. Brophy GM, Bell R, Allredge B, Bleck TP, Glausr T et al. Guidelines for the evaluation and
management of status epilepticus. Neurocrit care 2012;17:3-23.
4. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Seminars in neurology 2008;28:342-54.
5. Prasad K, Krishnan PR, Al Roomi K, Sequeira R. Anticonvulsant therapy for status epilepticus. Br J
Clin Pharmacol 2007;63:640-7.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 177 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi, dapat
1. Pengertian (Definisi) karena asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama. Sering
disertai dengan kekurangan zat gizi lain.
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan-
sedang (gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang khas,
hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis didapatkan 3 bentuk
,yaitu : kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam penatalaksanaannya
hampir sama
- Kapan tubuh makin kurus
2. Anamnesis - Kapan timbul bengkak
- Kapan terjadi penurunan atau hilangnya nafsu makan
- Riwayat makan sebelum sakit
- Riwayat pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI
- Gejala dan tanda yang mengarah ke penyakit infeksi, misalnya diare,TB,campak,ISK, HIV
- Gejala yang mengarah ke penyakit kelainan anatomis, misalnya Hipertrofi Pyloric Stenosis,
Hierschsphrungs disease, malrotasi, post ileostomi, post colostomi, penakit jantung bawaan , dll
- Gejala yang mengarah pada penyakit keganasan
- Batuk kronik
- Kelainan kulit
- Kelainan mata
- Diuresis terakhir
- Latar belakang sosial anak
KEP ringan
3. Pemeriksaan Fisik Sering ditemukan gangguan pertumbuhan:
- Anak tampak kurus
- Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti
- Berat badan tidak bertambah, adakalanya berat badan bahkan turun
- Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal.
- Maturasi tulang terlambat
- Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/menurun
- Tebal lipatan kulit normal atau berkurang
- Anemia ringan
- Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat
KEP berat
- Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng, kulit
kering, dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang, otot
atrofi hingga kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah lebih
rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
- Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan.
- Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV
- KLINIS
4. Kriteria Diagnosis - ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva WHO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000)
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 178 | 146
Ditegakkan berdasarkan :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan Klinis
2. Antropometris
3. Pemeriksaan penunjang (termasuk untuk mencari penyakit yang menyertai/underlying disease)
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 179 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Adanya edem maupun asites pada kwashiorkor atau marasmik-kwasiorkor perlu dibedakan dengan :
6. Diagnosis Banding - Sindroma nefrotik
- Sirosis hepatis
- Gagal jantung kongestif
- Pellagra Infantil
1. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein
7. Pemeriksaan serum (albumin, globulin)
Penunjang 2. Tes mantoux
3. Radiologi (dada, AP dan Lateral )
4. EKG
KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti
8. Terapi pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat
No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 Mulai Pemberian
Makanan (F-75)
7 Pemberian Makan
utk Tumbuh kejar
(F-100)
Medikamentosa
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 180 | 146
dengan cairan rehidrasi oral (CRO). Pada rehidrasi ringan sedang (WHO rencana B), sebanyak 70-
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 181 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 30-
60 menit, kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde
lambung. Bila dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO
belum selesai. Jangan menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok.
- Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5%
sebanyak 15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
- Evaluasi setelah 1 jam
- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan
dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam
selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula F-75
Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan cairan
rumat sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara perlahan
(dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi
Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau
tanda gagal jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung berikan transfusi “packed red cell” untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Berikan furosemid 1mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan
distress napas setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara 4-6g/dl, jangan diulangi
pemberian darah.
a. Antibiotik
- Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari
sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari.
- Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM
sekali sehari selama 7 hari.
b. Vitamin-mineral
- Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI,
> 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang
pada hari ke 15 atau sebelum pulang
- Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu
- MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari
- Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu
- Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix
- Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi.
Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung
bawaan,dll
B. DIETETIK
- Oral atau enteral
Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan
berat badan ideal (target berat badan)
Gizi buruk: lihat tabel (sesuai fase)
- Diet bisa diberikan peroral atau enteral melalui pipa nasogastrik pada kasus gangguan absorbsi
dengan continuous feeding atau intermiten
- Jenis diet pada fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat
- Bila didapatkan diare kronik (persisten) diberikan formula/diet elemental, semi elemental tergantung
beratnya kerusakan mukosa usus yang dapat menimbulkan malabsorbsi karbohidrat (laktosa), protein
dan lemak
- Nutrisi parenteral (Intravena): hanya atas indikasi tepat.
Bisa diberikan secara parsial atau total tergantung toleransi pemberian enteral (absorbsi) dan derajat
beratnya diare kronik, untuk memenuhi total kalori yang diperlukan sesuai kebutuhan.
- Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan, yaitu: BB < 7 kg diberi
makanan bayi, BB Š 7 kg diberi makanan usia anak
- Makanan padat (solid) pada kasus diare kronik bisa dimulai dengan pemberian bubur BREDA (bubur
realimentasi daging ayam), modifikasi bubur rendah laktosa (soy based diet)
- Evaluasi : akseptabilitas, toleransi, reaksi simpang, kenaikan berat badan Š 50 g/kgBB/minggu
Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk
□tabilisasi (F75) Transisi (F75 F100) Rehabilitasi (F100)
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 182 | 146
Energi 80-100 kkal/kgbb/hr 100-150 kkal/kgbb/hr 150-220/kgbb/hr
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 183 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula
12. Tingkat C
Rekomendasi
13Indikator Medis Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk:
14. Kepustakaan buku I,II. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003
2. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health
workers. Geneva: World Health Organization. 1999.
3. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009.
4. Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds.
Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 184 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
2003.p174-90
5. World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of
the Child with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the First-
Referral Level in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000
6. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas.IDAI 2011
7. Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in
infancyArchives of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73
8. Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease.
Pediatrics 1983;72;786
9. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea:
Comparison of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics, 1991;88:1010-
18.
10. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent
diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr.
Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 185 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
SYOK ANAFILAKSIS
Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
1. Pengertian (Definisi)
Penyebab anaphylaksis pada anak
2. Anamnesis 1. Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Alergen imunoterapi.
3. Gigitan atau sengatan serangga.
4. Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID.
5. Latex.
6. Vaksin.
7. Exercise induce.
8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah
dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamin.
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen.
3. Pemeriksaan Fisik Gejala kardiovaskular : hipotensi/renjatan.
Gejala saluran nafas : sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/
laring, gejala asma.
Gejala kulit : pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema.
Gejala intestinal : kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare.
Gejala SSP : pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Keracunan
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
12. Tingkat C
Rekomendasi
1. Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc
13. Indikator Medis (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 186 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
SYOK ANAFILAKSIS
2. Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
Tanda-tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2
detik, akral hangat.
3. Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita
yang menunjukkan gejala seperti asma
4. Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin
(dalaw waktu 48 jam)
5. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang
masih menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam)
6. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari
1. Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 – 94.
14. Kepustakaan 2. Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis – Life threatening
allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm.
3. Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed.
Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 449–52.
4. Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm
5. Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 101–14.
6. Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347–
61.
7. Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am 1999; 19(3): 533 –53.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 187 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
BRONKIOLITIS
1. Pengertian (Definisi) Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil
(bronkiolus)
Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza,
adenovirus, rhinovirus dan mycoplasma.
2. Anamnesis Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam
atau hanya subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang
berat bisa didapatkan cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita.
Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
3. Pemeriksaan Fisik Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit.
Ekspiratory effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas
cuping hidung.
Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa
wheezing, sedang ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat suara
nafas nyaris tidak terdengar, wheezing bahkan dapat menghilang.
Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada AP dan lateral
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya
sesak pada bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)
2. Pada foto polosdada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengandiameteranteroposterior yangmelebarpada
fotolateral. Dapatpuladisertaibercakkonsolidasiyangtersebar.
6. Diagnosis Bronkiolitis
7. Diagnosis Banding 1. Asma bronkiale dalam serangan
2. Pneumonia
3. Aspirasi benda asing
4. Gagal jantung
5. Penyakit lain yang menyebabkan inflamasi pada saluran nafas misalnya cystic fibrosis
8. Terapi 1. Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah:
Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat
Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake peroral
Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur
Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya.
2. Oksigenasi, bila ada tanda gagal nafas dapat diberikan ventilasi mekanik
3. Pembersihan jalan nafas
4. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
5. Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit.
6. Obat-obatan:
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan infeksi bakteri atau disertai pneumonia
Kortikosteroid sistemik: dexametason 0,5 mg/kg (loading) dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Nebulasi dapat dilakukan dengan 2-agonis (misalnya salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang
diencerkan dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier. Penggunaan epinefrine maupun
hypertonic saline belum dianjurkan secara rutin
Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin
9. Edukasi 1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas akut yang masih ringan agar segera
diperiksakan ke dokter
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 188 | 146
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 189 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
BRONKIOLITIS
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis
2. Perbaikan analisa gas darah dan saturasi oksigen
14. Kepustakaan 1. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the
Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders,1990 : 360-70.
2. Goodman D. Bronchiolitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,2003 : 1415-7
3. Kleigman RM, Jenson HB, Stanton MF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia : WB
Saunders; 2009; 1456-59
4. Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New approaches to Respiratory Infection in Children. Ped Emerg
Med Clin of North Am 12002; 20: 93-110
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 205 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
PNEUMONIA
1. Pengertian Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
(Definisi) Terbanyak adalahvirus atau bakteri. Etiologi lainparasit danaspirasizattertentu
2. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak.
Dapat didahului denganinfeksi saluran nafas akut bagian atas.
Gejala umum: batuk, demam tinggi, nafas cepat dan sesak nafas.
Pada keadaan yang berat bisa didapatkan cyanosis
Pada anak yang besar bisa didapatkan nyeri dada.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala yang tidak khas seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang, sulit
minum, dan perut kembung
3. Pemeriksaan Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit.
Fisik Inspiratory effort ditandai dengan retraksi dinding dada, nafas cuping hidung
Gerakan dinding toraks dapat tertinggal pada daerah yang terkena infeksi, perkusi normal atau redup, auskultasi
paru dapat terdengar terdengar suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Tanda lainnya adalah demam tinggi, sianosis, dan dapat ditemukan tanda dehidrasi.
Pada infeksi oleh kuman atipik (mycoplasma, chlamydia) gejalanya tidak jelas maupun memberikan onset
akut seperti diatas. Panas seringkali tidak tinggi, batuk tidak produktif, tidak sesak, dan seringkali disertai sakit kepala
dan malaise.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Hitung Leukosit dan differerential count
4. Laju Endap Darah (LED)
5. C-Reactive Protein (CRP)
6. Kultur darah, sputum, swab oropharyngeal
5. Kriteria 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis 2. Pada foto polosdada terlihat infiltrat alveolar maupuninterstitial yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru.
Kelainan gambaran radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi oleh kuman
atipikal yang gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang dapat dijumpai
berupa konsolidasi pada satu atau beberapa segmen atau lobus paru, penebalan pleura pada pleuritis, atau
adanya komplikasi pneumonia berupa atelektasis, efusi pleura, abses paru, pneumothorak,
pneumomediastinum dan pneumatokel
3. Analisa Gas Darah menunjukkan keadaan asidosis respiratorik, hipoksemia, sedang PaCO2 dapat rendah,
normal atau meningkat tergantung kompensasi yang terjadi. Dalam keadaan lanjut bisa terjadi asidosis
metabolik, dan gagal nafas.
4. Peningkatan hitung leukosit dengan hitung jenis bergeser ke kiri pada infeksi bakterial
5. LED, CRP, dan procalcitonin meningkat pada infeksi bakterial
6. Pemeriksaan kultur darah dapat menunjang menentukan etiologi terutama pada kasus nasokomial. Sedang
kultur sputum dan swab oropharyngeal sering terkontaminasi flora normal
6. Diagnosis Pneumonia
7. Diagnosis 1. Infeksi saluran pernafasan bawah lainnya (Bronkiolitis, laringotrakeobronkitis)
Banding 2. Kelainan bawaan pada paru (cystic lung disease, bullae, hypoplasia, dan lain sebagainya)
3. Payah jantung
4. Sepsis
5. Pada bayi karena gejalanya yang tidak khas dapat menyerupai sepsis, meningitis dan ileus
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 206 | 146
8. Terapi 1. Untuk pneumonia ringan dapat diterapi secara rawat jalan dapat diberikan antibiotik peroral dengan amoksisilin
50-80 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis atau amoksisilin-asam klavulanat 50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis,
serta diberikan edukasi kepada orang tua
2. Untuk pneumonia berat dan sangat berat dianjurkan rawat inap dan diberikan terapi:
Ampisilin 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 4 dosis atau ampisilin-sulbaktam 100 mg/kg/hari iv dalam 4 dosis untuk
Community acquired pneumonia
Ceftriaxone 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 2 dosis atau antibiotik sesuai kultur untuk Hospital acquired
pneumonia
Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil pemeriksaan laboratoris, foto thorak
dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari
Oksigenasi, dapat diberikan secara nasal atau masker sesuai keadaan klinis. Bila ada tanda gagal nafas
diberikan bantuan ventilasi mekanik.
Pemberian cairan dan kalori yang cukup
Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
3. Untuk dugaan pneumonia atipik dapat diberikan eritromisin 50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau spiramisin 50
mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau klaritromisin 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10-14 hari.
4. Untuk dugaan Pneumonia Pneumocystic carinii dapat diberikan kotrimoksasol 20 mg/kg/hari dibagi 4 dosis.
5. Untuk keadaan khusus lainnya dapat diberikan Anti viral (Acyclovir, Gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto
Megalous Virus (CMV), Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada pneumonia karena
jamur, Imunoglobulin pada keadaan imunodefisiensi terutama imunitas humoral
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 207 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
PNEUMONIA
Pembina Utama
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 208 | 146
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 209 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma
leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta
trombositopenia Š 100.000
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan lokasi
pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas (handglove like
appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
- 7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai
3) Pemeriksaan Fisik
Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita tampak sakit sedang sampai berat, kadang disertai penurunan kesadaran
Temperatur dapat sub febris normal atau sub normal
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes RL yang positif (>10 titik pada area
berdiameter 1 inchi), atau dijumpai gejala perdarahan spontsan, berupa petekiae, ekimosis,
perdarahan gusi, dan hypermenorhoea. Kadang dijumpai muntah darah dan berak darah
Pada penderita DHF grade 3 dan 4 apabila dilakukan tes RL umumnya negatif
Adanya kebocoran plasma yang bisa ditunjukkan dengan efusi pleura dan atau asites; ditunjang
dengan hasil pemeriksaan tambahan
Tanda vital
Nadi dapat normal pada DHF grade 1 dan grade 2, sedangkan untuk DHF grade 3 nadi dapat cepat
dan kecil, dan nadi tak teraba untuk DHF grade 1 dan grade 2.
Pada DHF grade 3 terjadi penyempitan tekanan nadi Š 20 atau terjadi penurunan systole dan
diastole
Pada DHF grade 4 tekanan darah tak terukur
Frekuensi nafas dapat normal, cepat dangkal maupun cepat dan dalam (pernapasan Kuzmaul)
Hepatomegali
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 210 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 211 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 212 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DEMAM TYPHOID
1. Pengertian (Definisi) Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi
2. Anamnesis Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat.
Bisa disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus.
Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan,
yaitu demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf
Demam bersifat stepladder, pada hari Š ke 5 sakit biasanya demam terus menerus tinggi, diberi
antipiretik turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada
siang hari.
Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung
Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang
biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau sudah
mendapat antibiotika
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu ke-
2 sakit didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas.
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir
minggu pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan
penderita bisa gaduh gelisah.
Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2
sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus
dan peritonitis
3. Pemeriksaan Fisik Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus
Pada anak dapat dijumpai febris Š 5 hari, dengan kesadaran mulai komposmentis hingga
delirium atau penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali
dan splenomegali
Gejala klinik lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi
4. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah tepi, demam typhoid klasik akan mendapat leukopenia dan relative
lymphositosis
2. Pemeriksaan serologi widal O dilakukan hari ke Š 5 sakit dengan titer 1/200. Widal terbaik dapat
dilakukan 2 kali dengan jarak 5-7 hari dan didapatkan peningkatan titer >4x.
3. Pemeriksaan serologi Ig M dengan metode Tubex (antibodi anti-Salmonella 09) dilakukan hari ke
Š 5 sakit dengan hasil Š + 4
4. Pemeriksaan kultur salmonella typhi dari specimen darah, dilakukan pada sebelum hari ke- 5
sakit dengan hasil positif. Biakan sumsum tulang dapat positif hingga minggu ke-4.
5. Atas indikasi tertentu dilakukan :
- Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, SGOT, SGPT, BUN dan serum kreatinin
- Pemeriksaan urine, atau kultur urine
- Pemeriksaan thorax photo
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan CT scan otak
5. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan :
- Gejala klinik
- Pemeriksaan darah tepi
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan kultur salmonella typhosa dari spesimen darah
6. Diagnosis Demam Tifoid (ICD10: A01.00)
7. Diagnosis Banding 1. Awal sakit adalah influenza, bronchitis, bronchopneumonia, gastroenteritis, infeksi virus dengue,
sepsis, UTI
2. Phase lanjut ( Š minggu ke 2) tuberculosis, malaria, sepsis, infeksi saluran kemih, otitits media
akuta, keganasan, UTI, hepatitis, shigellosis
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 213 | 146
8. Terapi 1. Kalau diperlukan diberi infus cairan sesuai dengan umur dan kebutuhan
2. Antibiotika
Penderita terapi ambulatoir dapat dipakai :
Chloramphenikol oral dengan dosis 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis sampai 2 minggu.
Monitor efek samping terutama dengan pemeriksaan retikulosit.
Amoxicillin oral dengan dosis 100 mg per kgBB sampai 2 minggu
Cefixime oral dengan dosis 10 – 15 mg per kgBB terbagi dalam 2 dosis selama 2 minggu
Pada penderita yang indikasi rawat inap, diberikan ceftriaxone 80 mg per kgBB per hari dibagi 2
kali, dengan lama pemberian selama 5 – 10 hari
Pada penderita yang disertai komplikasi pneumonia, otitis media akuta maupun infeksi saluran
kemih, ceftriaxone dengan dosis dan lama pemberian sama dengan diatas
Pada penderita yang resisten terhadap ceftriaxone, maka pemberian ciprofloxacine dengan
dosis 15 mg per kgBB dalam dosis terbagi selama 7 – 10 hari
3. Pada karier S. typhi (tetap ada dalam urin/feses selama lebih dari 6-12 bulan): amp[isilin
100/mg/kgBB/hari dibagi 4, selama 6-12 minggu ; atau kotrimoksasol 4-20 mg/kgBB/hari dibagi 2
selama 6-12 minggu
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 214 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DEMAM TYPHOID
4. Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai
komplikasi ensefalopati
5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan
6. Antipiretika sesuai kebutuhan
7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis
9. Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan
3) Prognosis penderita
4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral
5) Imunisasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 1. Bebeas demam 2x24 jam
2. Nafsu makan dan minum membaik
3. Perbaikan kondisi klinis penderita
4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik
5. Pemeriksaan darah lengkap
6. Setelah 7 hari perawatan
14. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS,McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27.Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.579-
84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter
JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004, h. 212-3
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 215 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran
plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul
rewel yg tak jelas penyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam
seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti
morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua
ekstremitas atas (handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan
atau gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik
Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat
tampil rewel sekali
Temperature dapat febris, sub febris, normal atau sub normal
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede yang positif, atau
dijumpai gejala perdarahan spontan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan
hypermenorhoea
Dapat dijumpai gejala saluran napas atas berupa pilek, batuk, pharyngitis ringan
Pada hari sakit 1-3 dapat dijumpai flushing terutama pada muka
Pada hari sakit 3-5 dapat dijumpai ruam morbiliform
Dapat dijumpai adanya “convalescence rash” pada periode recovery
Dapat dijumpai hepatomegali
4) Kriteria Diagnosis 1.Gejala dan tanda klinik sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik
2.Trombositopenia (<100.000/mm3). Sering disertai leukopenia (<4000/mm3)
3.Tanpa kebocoran plasma yang ditandai dengan tak didapatkannya peningkatan hematokrit, dan
atau tak dijumpai adanya ascites dan atau efusi pleura dextra.
4. NS1 antigen dengue + atau Ig M dengue +
Diagnosis Demam Dengue (ICD10: A90)
6) Diagnosis Banding 1. Undifferentiated fever
2. Dengue Hemorrhagic fever grade I dan grade II
3. Trombositopenik purpura, leukemia, anemia aplastik
4. Infeksi virus lain seperti campak, rubella, chikungunya
5. Demam tifoid, malaria
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (< 150.000, dapat > 100.000, tetapi ada
yang Š 50.000 dengan hematokrit normal
b. Pada hari sakit Š 3, periksa NS1 Antigen Dengue
Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
Pada hari sakit Š 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue
c. Photo / USG thorax menyingkirkan adanya efusi pleura
USG abdomen untuk menyingkirkan adanya ascites
d. ALT/AST dan gula darah acak jika diperlukan
8) Terapi 1. Kalau diperlukan diberikan infus cairan rumatan sesuai umur, dengan memenuhi kebutuhan
cairan sesuai formula Halliday Segar
2. Apabila trombosit <50.000 dan disertai tanda perdarahan aktif diberikan transfusi trombosit
3. Pada perdarahan massif dapat diberikan transfusi wholeblood
4. Parasetamol
5. Diazepam jika kejang (kejang demam)
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang
nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 216 | 146
11) Tingkat Evidens IV
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 217 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 218 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DIPHTHERIA
1. Pengertian (Definisi) suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga
melibatkan C. Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis..
2. Anamnesis Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir
atas. Dapat terjadi epistaxis …… Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan ……..
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau. Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah
perineum dan anal.
Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri
Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita
3. Pemeriksaan Fisik Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri.
Difteri Hidung
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata
Difteri Tonsil-Faring
Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal menuju laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan
submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala
selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai
kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung
atau saraf. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain
seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri faring, gejala merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 219 | 146
4. Kriteria Diagnosis 1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan
klasikasi kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported.
Termasuk suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran.
Probable case bila suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut:
-kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed
-pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau petekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-insufisiensi renal akut
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6
minggu awitan sakit
-meninggal
Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tenggorok, ulkus kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina) atau Š 4X kenaikan serum antitoksin, tetapi hanya
bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 220 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DIPHTHERIA
2. Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita.
3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan
menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk
menentukan toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap difteri.
5. Diagnosis Difteria (ICD10: A36.9)
6. Diagnosis Banding Difteri Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita) .
Diteri faring :
Tonsilitis membranosa akuta oleh karena
streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Difteri Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus
Difteri konjungtiva :
Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain
7. Pemeriksaan a. Darah lengkap
Penunjang b. Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain…
c. Pengecatan gram
d. Urin lengkap
e. elektrokardiografi
f. bila perlu foto dada
g. Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak
8. Terapi 1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing
dengan selang waktu Š 24 jam. Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari
2. Tatalaksana medikamentosa
Tujuan mengobati penderita difteri adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteri
a. Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada
difteri sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva)
20.000 iu.
b. Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3).
Jika didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3)
c. Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS.
d. Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis.
9. Edukasi a. Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi
sesuai usia
b. Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat
c. Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus
d. Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan
pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah
neuritis seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam)
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 221 | 146
10. Prognosis Difteri berat :
Ad vitam : dubia ad malam
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 222 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
DIPHTHERIA
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 223 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1) Pengertian (Definisi) Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang
imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery.
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau
gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik Penting menentukan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel
sekali
Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun
sekitar 37-38oC saat mau memasuki periode kritis.
Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit
(“flushing”), atau berupa ruam seperti morbili
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala
perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea
Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan
Dapat dijumpai hepatomegaly
4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik
2. Leukopenia, mungkin disertai trombositopenia, SGOT (dan SGPT) meningkat
3. NS1 antigen dengue +
4. Ig M dengue +
Diagnosis 1. Diagnosis probable infeksi virus dengue berdasar adanya keluhan panas tinggi yang timbul mendadak
disertai 2 dari gejala yang lain (nyeri, flushing/ruam, tanda perdarahan RL tes +/perdarahan spontan) disertai
leukopenia, dan mungkin SGOT dan SGPT meningkat
2. Dalam perjalanan klinik setelah panas turun infeksi virus dengue akan menjadi :
- Undifferentiated fever yang tidak disertai trombositopenia dan plasma leakage, atau
- Dengue fever yang disertai trombositopenia tanpa plasma leakage atau
- Dengue haemorrhagic fever yang disertai trombositopenia dan plasma leakage atau
- Unusual clinical manifestation/expanded dengue syndrome, berupa infeksi virus dengue dengan keterlibatan
organ hepar (liver involvement), organ central nerve system (CNS involvement), organ jantung dan
keterlibatan organ lainnya atau adanya perdarahan yang massif
3. Untuk penderita infeksi virus dengue yang tak disertai trombositopenia dan plasma leakage, pemeriksaan
etiologi dengan memeriksa NS1 antigen dengue, Ig M dan Ig G dengue menjadi sangat perlu untuk diagnosis
infeksi virus dengue.
6) Diagnosis Banding 1. Infeksi virus Chikungunya
2. Demam typhoid awal
3. Exanthema subitum
4. Sepsis
5. Malaria
6. Morbili, rubella
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai leukopenia
b. SGOT biasanya sedikit meningkat sedangkan SGPT lebih jarang meningkat
c. Pada hari sakit Š 3, periksa NS1 Antigen Dengue
d. Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
e. Pada hari sakit Š 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 224 | 146
8) Terapi 1. Pada penderita yang datang pada periode febris, maka pengobatan yang diberikan :
Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali
Hindari asam salisilatdan ibuprofen
Antibiotika tidak diperlukan
Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya
Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita
tidak mau minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula
Halliday Segar yang dikenal sebagai formula cairan rumatan)
Berat badan ( kg ) Vol cairan rumatan 24 jam
10 100 cc / Kg BB
10 – 20 1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg
20 1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg
Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 225 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda
klinik sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat.
Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah :
Nyeri abdomen
Muntah persisten
Perdarahan
Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik
Lethargi/restlessness
Hepatomegali > 2 cm
Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat
Penderita tampak loyo, dan pada perabaan terasa dingin
3. Apabila ditetapkan rawat inap, maka pemberian cairan rumatan intravena diberikan, kemudian di follow up
apakah pada waktu panas mulai turun, penderita menjadi undifferentiated fever, dengue fever, dengue
haemorrhagic fever ataukah unusual clinical manifestation of dengue viral infection
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar.
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Indikator Medis Keadaan umum penderita
Tanda Vital
Setelah 5 hari perawatan
14) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1.
Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO,
Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 226 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
1) Pengertian (Definisi) Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat,
disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia,
hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab
2) Anamnesis a) Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup :
- Riwayat luka bakar luas
- Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
- Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
- Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
b) Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang
disusul dengan hipotensi
c) Gelisah dan agitasi
d) Letargi
e) Muntah
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 227 | 146
g) Anti jamur sistemik
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 228 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
h) Parasetamol
i) Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
j) Inhalasi
k) Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi
l) Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
9) Edukasi a) Tirah baring
b) Imunisasi
c) Perbaiki nutrisi
d) Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
e) Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10) Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi atau sudah membaik
5. Hasil kultur negative
6. Setelah 14 hari perawatan
14) Kepustakaan a) Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
b) Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
c) Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
d) Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis
Journ, 1992; 11: 739-49
Palu
Kepala KSM Anak
Pembina Utama
NIP 196103171988032003
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 229 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
TETANUS
1. Pengertian (Definisi) Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda
utama spasme tanpa gangguan kesadaran.
2. Anamnesis - Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar
cairan dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port d’entree
- Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada
BUMIL/WUS.
- Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia)
karena kekakuan otot masseter
- Anak atau bayi sadar
- Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan
- Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit
membuka mulut sampai terjadinya kejang
3. Pemeriksaan Fisik - Penderita sadar
- Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat
menetek, mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar.
- Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat
pasien ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau
kejang spontan
- Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak
spastik/boxing position)
- Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan
irama jantung sampai gangguan hemodinamika.
- Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya):
Derajat I (tetanus ringan)
Trismus
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
Trismus sedang
Kekakuan umum makin jelas
Dijumpai kejang rangsang tanpa kejang spontan
TETANUS
Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv;
apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
3. Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan
syringe pump dengan dosis:
- Tetanus ringan : 0,8 cc/jam
- Tetanus sedang : 1,2 cc/jam
- Tetanus berat : 1,6 cc/jam
Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/24 jam
- neonatus 120 mg/24 jam
Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa kurarisasi
.
Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus.
Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan
saraf otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial perlu
dinaikkan secara titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya reflex
patella dan penurunan tekanan darah pada anak besar
4. Perawatan luka atau port d’entre
Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan
5. Terapi suportif
Bebaskan jalan nafas
Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
Pemberian oksigen
Perawatan dengan stimulasi minimal
Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak
memperkuat kejang
Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 231 | 146
10. Prognosis Tetanus ringan dan sedang
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 232 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021
TETANUS
Palu,
Kepala KSM BedahKepala KSM Anak
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 233 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 234 | 146