Anda di halaman 1dari 146

Panduan Praktik Klinis

KSM Anak RSUD UNDATA Palu


2019 – 2021

ALERGI MAKANAN

1. Pengertian (Definisi)  Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun
spesifik yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan.
 Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non
imunologik.
 Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi
toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.
2. Anamnesis  Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi
sesuai waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan
makanan, sedangkan gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari.
 Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama.
 Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
 Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi
3. Pemeriksaan Fisik Kulit
Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim
Mata
Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita
Saluran nafas atas
Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering
Saluran nafas bawah
Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan
Mulut
Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak
Saluran cerna bawah
Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan
dengan penurunan berat badan
Kardiovaskular
Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran
4. Pemeriksaan  Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen
Penunjang hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan) dengan positive predictive value (PPV) > 95%.
 Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
 IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau
keadaan depresi imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu
alergen bahan makanan tertentu.
 Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran
secara histologis.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Food challenge
6. Diagnosis 1. Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena
3. Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi
4. Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan
makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika
dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka
diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu
sebelum dilakukan provokasi.
7. Diagnosis Banding 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif
3. Reaksi karena gangguan psikologis

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 1 | 146
8. Terapi Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran)
Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai
pengganti.
Pengobatan
Kromolin, Nedokromil.
Glukokortikoid.
Beta adrenergic agonist
Metil Xantin
Simpatomimetika
Leukotrien antagonis
H1-Reseptor antagonis
Probotik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 2 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ALERGI MAKANAN

9. Edukasi 1. Penghindaran terhadap alergen


2. Kontrol teratur ke poli alergi
3. Dukungan keluarga terhadap penderita.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Kekambuhan dan beratnya gejala (tingkat kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 7 hari.
14. Kepustakaan 1. Boyce A. J, et al. Guidelines for the diagnosis and management of food allergy in the United States:
report of the NAID sponsored expert panel.J Allergy Clin Imunol 2010;126(6): S5-58
2. Burks A. W, et al. NIAID Sponsored 2010 Guidelines for managing food allergy: applications in the
pediatric population. Pediatrics 2011;128;955-65
3. Dupont C. Food Allergy: Recent advances in pathophysiology and diagnosis. Ann Nutr Metab
2011;59(suppl 1):8–18.
4. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J
2010; 51(1): 4-9
5. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
6. Harsono A. Alergi makanan. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting.Buku
Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 270-84.
7. Wang j, Sampson H. A. Food allergy: recent advances in pathophysiology and treatment. Allergy
Asthma Immunol Res. 2009 October;1(1):19-29.

Palu,

Ketua Komite Medik Kepala KSM Anak

dr. Roberthy David Maelissa, Sp. B., FinaCS dr. Suldiah., Sp. A
Pembina Utama Pembina Utama
NIP 196309301995031001 NIP 196103171988032003

Mengetahui :
Direktur RSUD Undata Palu

dr. I Komang Adi Sujendra, Sp. PD


NIP 196503251990031014

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 2 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL

1. Pengertian (Definisi) Arthritis Idiopatik Juvenile(AIJ) adalah radang sendi tanpa penyebab yang jelas (idiopatik) dengan durasi
penyakit paling sedikit 6 minggu serta pada anak berusia kurang dari 16 tahun.
2. Anamnesis  Gejala morning stiffness atau fenomena gel (kekakuan setelah duduk atau tidak aktif dalam jangka waktu
lama). Keluhan atralgia yang sering terjadi di siang hari. Gejala lainya itu anak mendadak lemas di pagi
hari ataupun setelah tidur siang dan membaik selang beberapa waktu tanpa diobati.
 Keluhan nyeri sendi mungkin tidak dominan tetapi anak sering berhenti menggunakan sendi secara normal
(misal: terjadi kontraktur atau lemas) tanpa mengeluh sakit. Anak AIJ sering absen dari kegitan sekolah
dan olahraga, ini juga mencerminkan keparahan penyakit atau kekambuhan AIJ.
 AIJ subtipesistemik ditandai dengan demam yang spiking dan terjadi 1-2 kali setiap hari, pada waktu yang
sama, dengan suhu yang dapat kembali normal ataupun di bawah normal. Pola demam ini sangat khas
dan tidak didapatkan pada penyakit infeksi, keganasan ataupun Kawasaki. AIJ subtipesistemik biasanya
disertai ruam berwarna salmon pada tubuh dan ektremitas.
 Sedangkan yang tipe psoriasis arthritis dapat menunjukkan gejala psoriasis yang khas tetapi kadang
manifestasinya juga tidak jelas. Yang harus diperhatikan adalah adanya gejala dactylis pada kuku anak.
 Subtipeentesitis sering kali muncul dengan rasa sakit setelah latihan ataupun pada malam hari. Perhatian
harus diberikan bila anak merasa nyeri pada pantatdan punggung yang membaik dengan aktivitas. Anak-
anak ini tidak bisa berbaring di tempat tidur sepanjang pagi tapi harus bangun karena
sakit punggung.
3. Pemeriksaan Fisik Klinis
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas
seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah AIJ
yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis
kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis. Dan tanda-tanda penyakit lain penyebab nyeri sendi
dapat disingkirkan.
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan :
1. GejalaKlinis
2. Pemeriksaan lab
3. Pemerikasaanthoraksfoto
Maka AIJ dibagi dalam beberapa golongan:
1. Sistemik
2. Oligoarthritis
a) Persisten
b) Extended
3. Poliarthritis (factor reumatoid negative)
4. Poliarthritis (faktor rheumatoid positif)
5. Artritis psoriatic
6. Artritisterkaitentesitis
7. Artritis lain-lain
a) Tidak memenuhi katergori
b) Memenuhi lebih dari satu kategori
5. Diagnosis ARTHRITIS INDIOPATIK JUVENIL
6. Diagnosis Banding 1. GonitisTuberkulosis
2. Keganasan tulang
3. Keganasan darah (leukemia, neuroblastoma)
4. Growing pain
7. PemeriksaanPenunjang 1. Laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear
Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis AIJ menjadi
lebih sempurna.
b. Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai leukositosis yang didominasi netrofil.
c. Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda
reaktivasi penyakit.
d. Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa
peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan
IgM merupakan karakteristik tersendiri dari AIJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak
yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktivitas penyakit. Berbeda dengan orang dewasa
C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
e. Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif, sering kali pada AIJ
poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk.
Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan
pada AIJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium.

2. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 3 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL

8. Terapi 1. NSAID (obat anti inflamasi non steroid) : aspirin, ibuprofen, meloxicam
2. Steroid: oral atau intra artikular
3. Obat-obat yang dapat memodifikasi perjalanan penyakit (DMARDs): hidroxychloroquine, methotreksat
4. Imunosupresan
Rehabilistasimedis

9. Edukasi 1. AIJ adalah penyakit kronis yang sebagianbesartidaksembuh total tetapidapatdikontrol


2. Penderita AIJ harus minum obat secara teratur serta control rutin ke poli rematologi anak.
3. Prognosis tergantung dari jenis AIJ serta keteraturan pengobatann.

10. Prognosis 1. Ad vitam : dubia ad bonam


2. Ad sanationam : dubia ad malam
3. Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


13. Indikator Medis 1. Jumlah sendi yang terkena
2. Aktivitasanak
3. LED
4. Fotopolossendi
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari.
14. Kepustakaan 1. Ayaz NA, Ozen S, Bilginer Y, Ergüven M, Taskiran E, Yilmaz E, et al. MEFV mutations in systemic onset
juvenile idiopathic arthritis. Rheumatology (Oxford). Jan 2009;48(1):23-5.
2. Prakken B, Albani S, Martini A. Juvenile idiopathic arthritis. Lancet 2011; 377: 2138–49
3. Scola MP, Imagawa T, Boivin GP, Giannini EH, Glass DN, Hirsch R, et al. Expression of angiogenic factors
in juvenile rheumatoid arthritis: correlation with revascularization of human synovium engrafted into SCID
mice. Arthritis Rheum. Apr 2001;44(4):794-801.
4. Sherry DD,C Rabinovich E, Poduval M, Bhaskar A R S. Juvenile Idiopathic Arthritis. Available
at.http://emedicine.medscape.com/article/1007276
5. Wittkowski H, Frosch M, Wulffraat N, Goldbach-Mansky R, Kallinich T, Kuemmerle-Deschner J, et al.
S100A12 is a novel molecular marker differentiating systemic-onset juvenile idiopathic arthritis from other
causes of fever of unknown origin. Arthritis Rheum. Dec 2008;58(12):3924-31.
6. Yanagimachi M, Miyamae T, Naruto T, Hara T, Kikuchi M, Hara R, et al. Association of HLA-A(*)02:06
5. and HLA-DRB1(*)04:05 with clinical subtypes of juvenile idiopathic arthritis. J Hum Genet. Mar
2011;56(3):196-9.

Palu,
Ketua Komite Medik Kepala KSM Anak

dr. Roberthy David Maelissa, Sp. B., FinaCS dr. Suldiah., Sp. A
Pembina Utama Pembina Utama
NIP 196309301995031001 NIP 196103171988032003

Mengetahui :
Direktur RSUD Undata Palu

dr. I Komang Adi Sujendra, Sp. PD


Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 2 | 146
NIP 196503251990031014

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 3 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 4 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DERMATITIS ATOPI
1. Pengertian (Definisi)  Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus
yang hebat.
 Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif
biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
2. Anamnesis 1. Berulangdenganpenyebab yang sama
2. Rasa gatal
3. Keluargadenganriwayatalergi
4. Disertaidengangejalaalergilainnya
3. PemeriksaanFisik Onset
Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
Macam-macam lesi
Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan
eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan
pola permukaan kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik).
Bentuk klinis
· Bentuk infantil
Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang
lebih muda.
· Bentuk anak
Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan,
kaki dan periorbita.
· Bentuk dewasa
Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.
4. Kriteria Diagnosis Untuk Bayi :
Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi:
Kriteria mayor :
1. Riwayat keluarga DA
2. Dermatitis dengan tanda gatal
3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
Kriteria minor :
1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
2. Perifollicular accentuation
3. Chronic scalp scaling
4. Periauricular fissures

Untuk Anak :
Kriteria Hanifin untuk anak :
Krireria mayor (harus punya 3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi typical
3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence
5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
Kriteria minor
1. Xerosis
2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
4. Hand/foot dermatitis
5. Cheilitis
6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada
kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.
5. Diagnosis DERMATITIS ATOPI

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 5 | 146
6. Diagnosis Banding 1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatophytosisataur dermatophytids
3. Sindrom defesiensi imun
4. Sindrom Wiskott-Aldrich
5. Sindrom Hyper-IgE
6. Penyakit Neoplastik
7. Langerhans' cell histiocytosis
8. Penyakit Hodgkin
9. Dermatitis Numularis
10. Skabies
Dermatitis Seborrheic
7. PemeriksaanPenunjang Diagnosis DA berdasarkan pada klinis, pemeriksaan penunjang tidak terlalu dibutuhkan:

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 6 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DERMATITIS ATOPI
1. IgEspesifik
2. Tesujikulit
8. Terapi Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa
perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi
faktor-faktor pencetus kekambuhan.
· Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air
pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi
selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)
karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi
memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah
mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-
in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
· Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa
menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang
berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus
diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik
dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian
diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan
terapi difokuskan pada hidrasi.
· Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal
pada DA bisa tak terkait dengan histamin.
· Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada
manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis
kontak.
· Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit.
Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten
penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah
terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan
menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
· Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat
juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan,
binatang dan debu rumah.
DA berat
Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.
Kortikosteroid sistemik.
Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus
diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
Thymopentin.
Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari
selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu.
Interferon-gamma.
Dosis yang digunakan antara 50 g-100g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.
Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep
atau gel 5%.
Tacrolimus.
Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan
pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi
fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit.
Pimecrolimus
Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
Gammaglobulin
Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah
terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus.
Probiotik
Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 7 | 146
bulan.

9. Edukasi 1. Pentingnya hidrasi kulit


2. Pentingnya mencari dan menghindari penyebab

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 8 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DERMATITIS ATOPI
3. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
14. IndikatorMedis 1. Rasa gatal
2. Kulitkering
3. Ruam
4. Infeksisekunder
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Callard RE, Harper JI. The skin barrier, atopic dermatitis and allergy: a role for Langerhans cells?.Trends
Immunol. Jul 2007;28(7):294-8.
2. Haeck IM, Rouwen TJ, Timmer-de Mik L, et al. Topical corticosteroids in atopic dermatitis and the risk of
glaucoma and cataracts. J Am AcadDermatol. Feb 2011;64(2):275-81.
3. Huang JT, Abrams M, Tlougan B, Rademaker A, Paller AS. Treatment of Staphylococcus aureus
colonization in atopic dermatitis decreases disease severity. Pediatrics. May 2009;123(5):e808-14.
4. Irvine AD. Fleshing out filaggrin phenotypes. J Invest Dermatol. Mar 2007;127(3):504-7.
5. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of
Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777.

6. Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic
architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 9 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPOGLIKEMIA
1. Pengertian (Definisi) Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia
2. Anamnesis - Apakah didapatkan gejala takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah ?
- Apakah didapatkan gejala pusing, gangguan penglihatan?
- Apakah didapatkan penurunan kesadaran, gangguan psikologis, perubahan tingkah laku?
3. Pemeriksaan Fisik Adrenergik: takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah
Neuropenik (penurunan penggunaan glukosa oleh otak): pusing, gangguan visual, somnolens. Gangguan
psikologis, perubahan tingkah laku
Kombinasi gejala di atas memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
4. Pemeriksaan - Darah : kadar gula, kadar insulin
Penunjang - Urine : ketone, reducing substances, organic acids

5. Kriteria Diagnosis kadar glukosa plasma < 40 mg/dl


6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain
7. Penyulit 1. Penurunan kesadaran
2. Kematian
8. Terapi Jika penderita sadar:
1. Berikan glukosa oral , misal jus jeruk, minum manis. Untuk berat 30 kg diperlukan 10 gram glukosa,
dan >30 kg diperlukan 15 gram glukosa.
2. Cek kadar glukosa 10-15menit dan ulang jika diperlukan. Pastikan kadar gula darah normal.
Jika penderita tidak sadar:
1. Pasang infuse dextrose (n0,5g/kg selama 5 menit) atau 2-3 ml/kg D10% atau 1ml/kg D25%)
2. Maintenans infuse dextrose
3. Recek kadar gula 10menit kemudian ( D12,5 kadar dextrose paling tinggi yang diberikan melalui
infuse perifer)
4. Berikan bolus dextrose jika perlu
Apabila akses iv sulit, maka glukosa dapat diberikan melalui nasogastric tube. Maintenans infuse pada
hipoglikemia bayi dapat dilakukan dengan GIR ( glucose infusion rate ) 6-8 mg/kg/menit.
Glukagon membantu dalam pemecahan glikogen. Pada kondisi cadangan glikogen masih cukup (mis.insulin
overdose) 1 mg glucagon im atau sc (0,5mg untuk neonates) dapat meningkatkan kadar gula darah. Glucagon
tidak akan meningkatkan kadar glukosa
9. Edukasi 1. Potensi kematian oleh karena hipoglikemia
2. Informed consent dari keluarga
10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 10 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPOGLIKEMIA

13. Indikator Medis 80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari
14. Kepustakaan 1. Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin W,
Tanz RR. Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78.
2. Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4. Elsevier
Mosby. Phiadelphia.hal 191-21.
3. Clarke W, Jones T, Rewers A, Dunger D, Klingensmith GJ. Assessment and Management of
Hypoglycemia In Children and Adolescent With Diabetes. Pediatric Diabetes 2009:10 (Suppl,12)134-
45.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 11 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DIABETES MELLITUS TIPE 1

1. Pengertian (Definisi) Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai dengan
adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan
sel β-pankreas yang didasari proses autoimun

2. Anamnesis - Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun


- Riwayat keluarga dengan sakit yang sama.

3. Pemeriksaan Fisik - Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas,


- Didapatkan penurunan berat badan

4. Pemeriksaan 1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).*
Penunjang Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir.
atau
2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).**
Puasa dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam.
atau
3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa.
Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau
1,75 g/kg berat badan sampai dengan maksimum 75 g.
4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis
2. Hyperglikemia

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding - Produksi berlebihan glukokortikoid atau katekolamin pada :


o Tumor hipotalamus atau hipofisis
o Tumor atau hiperplasia adrenal
o Feokromositoma
Pada keadaan ini didapatkan uji toleransi glukosa yang abnormal dan glukosuria tanpa ketosis, yang
disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
- Renal glukosuria.
Pada keadaan ini didapatkan glukosuria tanpa hiperglikemia maupun ketosis.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 12 | 146
8. Terapi Medikamentosa
- Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
- Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia
dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin
harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
- Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan
dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin
menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut
:
 20% berupa makan pagi.
 10% berupa makanan kecil.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 13 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DIABETES MELLITUS TIPE 1


 25% berupa makan siang.
 10% berupa makanan kecil.
 25% berupa makan malam.
 10% berupa makanan kecil.
o Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.
9. Edukasi 1. Injeksi insulin secara teratur
2. Pengaturan pola makan sesuai kebutuhan kalori

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan
sembuh dalam waktu 4 hari.

14. Kepustakaan 1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005.
4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and
Monitoring Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29.
5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus
Guidelines for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands:
ISPAD, 2000.
6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
No 32. Surabaya: Oktober 2002; 11-22.
7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan
pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
February 13, 2002.
8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP IDAI,
2000.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 14 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 15 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
1. Pengertian (Definisi) Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormon.
2. Anamnesis - Sesak , penurunan kesadaran, mual, muntah
- Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
- Riwayat keluarga dengan sakit yang sama.
3. Pemeriksaan Fisik - Penurunan kesadaran bahkan koma
- Tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemia
- Tanda-tanda sesak
- Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas,
- Didapatkan penurunan berat badan

4. Pemeriksaan 1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan
Penunjang kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut :
 Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
 Asidosis, bila pH darah < 7,3.
 kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut :
 Ringan: bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L.
 Sedang: bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L.
 Berat: bila pH darah < 7,1 , bikarbonat < 5 mmol/L.
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia,
uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia,
ensefalitis, dan lesi intrakranial.
8. Terapi Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan: 1) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), 2)
Menghentikan ketogenesis (insulin), 3) Koreksi gangguan elektrolit, 4) Mencegah komplikasi, 5) Mengenali dan
menghilangkan faktor pencetus.
9. Edukasi 1. Injeksi insulin
2. Pengaturan pola makan

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)

14. Kepustakaan 1. Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013].
Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing.
2. R A R Treasure, P B S Fowler H T Millington, Wise PH. Misdiagnosis of diabetic ketoacidosis as
hyperventilation syndrome. British Medical Journal. 1987;294:630.
3. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children
and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 16 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
4. Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53.
5. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis.
Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36.
6. Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications – diabetic
ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National Evidence- Based Clinical
Care Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra: Australian Paediatric
Endocrine Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35.
7. Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of North
America. 2005;52(6):1611-35.
8. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis.
QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80.
9. lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in Birmingham,
UK, 2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal of Diabetes &
Vascular Disease. 2009;9(6):278-82.
11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51.
12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and
Management. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78.
13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl
1:S62-7.
14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80.
15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33.
16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak RSU
Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished]
17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1
pada Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30.
18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27.
19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of
hyperglycemic emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60.
20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of
intensive care. 2011;1(1):1-12.
21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents.
Archives of Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94.
22. Association AD. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care.
2002;25(Supplement 1):S100-8.
23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of
cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71.
24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al.
Accuracy of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples
During Metabolic Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1
Diabetic Patients. Diabetes care. 2003;26:1137-41.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 17 | 146
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 18 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPOTIROID KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-
hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan respon jaringan
terhadap hormon tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone tiroid sejak dalam
kandungan.
2. Anamnesis - Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi,
hipotermia, konstipasi dan perkembangan yang terlambat.
- Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat
pengobatan selama hamil

3. Pemeriksaan Fisik - Paada saat lahir: postmature, makrosimia, fontanela anterior maturasi tulang terlambat
- Pada masa bayi awal :ikterus berkepanjangan, gangguan minum, somnolens, letargi, hipotermia,
konstipasi, makroglosi, hernia umbilikalis, gondok, kulit kering dan dan motltled

4. Pemeriksaan 1. TSH , FT4


Penunjang 2. Ultrasonografi ginjal (USG) tiroid
3. Congenital Hipothyroid newborn screening: Bila kadar TSH tinggi > 40 µU/ml dan T4 rendah, < 6 µg/ml,
bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50
µU/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian.
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis
2. FT4 rendah dan TSH yang tinggi
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding Mongolisme


Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal tiroid secara rutin.
- epikantus (+)
- makroglosi (+)
- miksedema (-)
- retardasi motorik dan mental
- ”Kariotyping”, trisomi 21
8. Terapi Medikamentosa
Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin.

Umur Dosis µg/kg BB/hari

0-3 bulan 10-15


3-6 bulan 8-10
6-12 bulan 6-8
1-5 tahun 5-6
2-12 tahun 4-5
> 12 tahun 2-3

Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal.


9. Edukasi 1. Berobat secara teratur
2. Meminum obat sebelum makan saat perut kosong

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Indikator Medis Perkembangan membaik. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari

14. Kepustakaan 1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric
Endocrinology. Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 19 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPOTIROID KONGENITAL
2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.
3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology –
The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90.
4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York :
Marcel Dekker, 1996 : 369-81.
5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 20 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT

1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah
dalam tinja
Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh
(somnolen, koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral.

2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
 Panas
 Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
 Adanya penyakit penyerta lain
 Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
 Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat

3. Pemeriksaan Fisik  Pengukuran berat badan


 Kesadaran
 Tanda vital
 Mata cowong
 Adanya air mata
 Turgor kulit
 Bising usus
 Extremitias (perfusi, capillary refill time)

Derajat dehidrasi ditentukan dengan kriteria WHO :


Dehidrasi berat : Minimal dua gejala: Letargi/ penurunan kesadaran, mata cowong, malas minum
ataupun turgor kulit sangat menurun (Š2 detik)
Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak
gelisah / iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun
Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang

4. Pemeriksaan Penunjang Analisa feses, urine


Darah lengkap, serum elektrolit, fungsi ginjal, analisa gas darah
Kultur feses,

5. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis


Derajat dehidrasi
Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Diare akut Dehidrasi berat

7. Diagnosis Banding Apendisitis akut


Intussusepsi
Infeksi saluran kemih

8. Terapi Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl
0.9%) yang dibagi sebagai berikut
Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya
Usia Š12 bulan : 30 ml/kg dalam 30 menit dilanjutkan 70 ml/kg dalam 2 ½ jam berikutnya
Dapat diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat.
Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam
(anak).
Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6
bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa)
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 21 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak

DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT

9. Edukasi Menjaga higiene dan sanitasi


Tanda-tanda dehidrasi
Tetap memberikan ASI

10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 7 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang

14. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 22 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ANEMIA DEFISIENSI BESI


1. Pengertian (Definisi) Anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin.
2. Anamnesis  kebutuhan besi meningkat (masa pertumbuhan yang cepat, menstruasi, infeksi kronis)
 kekurangan besi yang diserap (pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari)
 menderita perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)
 pucat, lemah, lesu, gejala pika, penurunan nafsu makan
 mengalami gangguan perilaku dan prestasi belajar
3. Pemeriksaan Fisik  anemia tanpa disertai ikterus, organomegali dan limfadenopati
 stomatitis angularis, atrofi papil lidah, koilonikia
 takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
 gangguan pertumbuhan
 bila Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun, RDW meningkat
 hapusan darah tepi: hipokromik mikrositik
 kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi besi menurun
 kadar feritin menurun
5. Diagnosis ANEMIA DEFISIENSI BESI
6. Diagnosis Banding  Thalassemia (khususnya Thalassemia minor)
 HbA2 meningkat
 feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
 anemia karena infeksi menahun
 pada umumnya anemia normokromik normositik, kadang-kadang terjadi anemia hipokromik
mikrositik
 feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
 kadar SI menurun dan TIBC menurun atau normal
 keracunan timah hitam (Pb)
 terdapat gejala lain keracunan Pb
 Anemia sideroblastik
 terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang
7. Pemeriksaan  Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), RDW
Penunjang  hapusan darah tepi
 kadar besi serum (SI) dan TIBC, saturasi besi
 kadar ferritin
8. Terapi 1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian preparat besi (ferro sulphate/ferro fumarate/ferro gluconate) dosis 4-6 mg besi
elemental/kgBB/hari dibagi 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai
2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal. Ascorbic acid 100 mg/15 mg besi elemental (untuk
meningkatkan absorbsi besi).
2. BEDAH
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
3. SUPORTIF
Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani
(limpa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Respirologi, Gastro-Hepatologi,
Kardiologi)
9. Edukasi 1. Terapi
 periksa kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu
 kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
 gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal
misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual, gejala lain dapat
berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
2. Tumbuh kembang
 penimbangan berat badan setiap bulan
 perubahan tingkah laku
 daya konsentrasi dan kemampuan belajar anak usia sekolah, konsultasi ahli psikologi
 aktivitas motoric
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 23 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak

ANEMIA DEFISIENSI BESI


13. Indikator Medis Pemberian preparat besi selama 2-3 bulan dan respon pemberian preparat besi dievaluasi dengan peningkatan
kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu.
14. Kepustakaan 1. Hilmann RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and
Management. New York; Mc Graw Hill, 1995: 72-85.
2. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. 2 nd ed. New York; Churchill
Livingstone Inc, 1995: 35-50.
3. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. 1 st ed. Philadelphia;
Saunders, 1974: 103-25.
4. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. In: Mc Millan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB,
penyunting. Oski’s Pediatrics: Principles and Practice. 3rd ed. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 1999:
1447-8.
5. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 10-3.
6. Suplementasi Besi pada Bayi dan Anak. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011: 1-6.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 24 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak

HEMOFILIA
1. Pengertian Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
(Definisi) Ada 3 jenis hemofilia:
Hemofilia A: defek faktor VIII
Hemofilia B: defek faktor IX
(prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1)
Hemofilia C: defek faktor XI (jarang)
Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX:
Ringan: 5-25% (5-25 U/dL)
Sedang: 1-5% (1-5 U/dL)
Berat: <1% (<1 U/dL)
2. Anamnesis  riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat
lahir, perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur
 nyeri/bengkak pada sendi
 riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama
3. Pemeriksaan Fisik Ada perdarahan yang dapat berupa:
 hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
 hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas)
 sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi
kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu
 perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 APTT memanjang
 PPT normal
 Serum Prothrombin Time pendek
 kadar fibrinogen normal
 Retraksi bekuan baik
 kadar Faktor VIII/IX
5. Diagnosis HEMOFILIA
6. Diagnosis Banding  Von Willebrand’s disease
 Defisiensi Vitamin K
7. Pemeriksaan  APTT
Penunjang  PPT
 Serum Prothrombin Time
 Kadar fibrinogen
 Retraksi bekuan
 kadar Faktor VIII/IX
8. Terapi Hemofilia A
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian
diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik
2. Konsentrat FVIII
Hemofilia B
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga
mencapai kadar hemostatic
2. Konsentrat FIX
Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor
Indikasi FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari)
Epistaksis 10-15 20-30 1-2
Perdarahan oral 10-15 20-30 1-2
mukosa
Hemarthrosis 15-25 30-50 1-2
Hematoma 15-25 30-50 1-2
Hematuria persisten 15-25 30-50 1-2
Perdarahan GI 15-25 30-50 1-2 hari
setelah perdarahan stop
Perdarahan 15-25 30-50 min.3 hari

51

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 25 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HEMOFILIA
retroperitoneal
Trauma tanpa 20-25 40-50 2-3
perdarahan
Perdarahan lidah/ 20-25 40-50 3-4
retrofaring
Trauma dengan 50 100 10-14
perdarahan,bedah
Perdarahan 50 100 10-14
Intracranial

9. Edukasi 1. Menghindari trauma


2. RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation)
3. Pemantauan efek samping terapi
Pemeriksaan fungsi hati setiap 6 bulan
4. Tumbuh kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi kontraktur sendi. Hal ini dapat
dicegah dengan penanganan secara komprehensif.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Indikator Medis Keluhan klinis berkurang (tidak didapatkan bengkak dan perdarahan) setelah pemberian AHF
14. Kepustakaan 1. Higartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting
Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke 7. St. Louis Mosby; 1995: 924-86.
2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill
Livingstone; 1995: 254-62.
3. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hereditary Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders). Dalam:
Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting Nelson Text Book of Pediatric; edisi ke
16. Philadelphia: WB Saunders Co.2000: 1508-11.
4. Rickard KA. Guidelines for therapy and optimal dosages of coagulation factors for treatment of bleeding
and surgery in haemophilia. Haemophilia; 1995 (suppl 1): 8-13.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 26 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K


1. Pengertian (Definisi) Perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang disebabkan oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan
Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
2. Anamnesis  onset perdarahan
 lokasi perdarahan
 pola pemberian makanan
 riwayat pemberian obat-obatan pada ibu selama kehamilan
3. Pemeriksaan Fisik  ada perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain sebagainya
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 waktu pembekuan memanjang
 APPT memanjang
 PTT memanjang
 Thrombin Time normal
 USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan
5. Diagnosis PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K
6. Diagnosis Banding Gangguan hemostasis lain misalnya gangguan fungsi hati
7. Pemeriksaan  waktu pembekuan
Penunjang  APPT
 PTT
 Thrombin Time

8. Terapi Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari


Fresh Frozen Plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kgBB
9. Edukasi Pemberian Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali masing-masing 2 mg pada
waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun.
Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin K1 5 mg/hari selama trimester
ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan, selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan
diulang 24 jam kemudian.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis Klinis membaik dan FH normal setelah pemberian vitamin K1 dan FFP
14. Kepustakaan 1. Willoughby MLN. Pediatric Hematology. Edinburg: London, 1977: 327-9.
2. Chalmers EA, Gibson BE. Acquired disorders of hemostasis during childhood. Dalam: Lilleyman J, Hann I,
BlanchetteV, Eds. Pediatric Hematology. Edisi ke 2. London: Churchill Livingstone, 2000: 629-49.
3. Sutor AH, Von Kries R, Cornelissen M, Mc Ninch AW, Andrew M. Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in
Infancy. Thromb Haemost 1999; 81: 456-61.
4. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Hemorrhagic Disease of The Newborn. Dalam: Permono B, Sutaryo,
Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2005: 182-96.
5. World Health Organization, Food and Agriculture Organization of United Nations, 2002. Vitamin K. Didapat
dari: http://www.fao.org/documents/showcdr.asp?urlfile=/DOCREP/004/Y2809E/y2809e00.htm. (Diakses
tanggal 8 Agustus 2005)
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 27 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KOLESTASIS PADA BAYI


1. Pengertian (Definisi) Kolestasis adalah gangguan pembentukan, sekresi dan pengaliran empedu mulai dari hepatosit, saluran empedu
intrasel, ekstrasel dan ekstra-hepatal. Hal ini dapat menyebabkan perubahan indikator biokimia, fisiologis,
morfologis, dan klinis karena terjadi retensi bahan-bahan larut dalam empedu. Dikatakan kolestasis
apabila kadar bilirubin direk melebihi 2.0 mg/dl atau 20% dari bilirubin total.
2. Anamnesis Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat lahir, lingkar kepala,
pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin
terganggu)
Riwayat keluarga: riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar
keluarga.
Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat
3. PemeriksaanFisik 1. Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)
2. Kulit: ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema
3. Abdomen:
a. Liver : pembesaran/ukuran, konsistensi, permukaan.
b. Splenomegali.
c. Vena kolateral, asites.
4. Mata: ikterik
5. Lain-lain: jari tabuh, asteriksis, foetor hepaticus
4. Diagnosis Kolestasispadabayi
5. Diagnosis Banding • Anatomi : atresia bilier, kista koledokal, hipoplasia bilier
• Infeksi : toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, simplek herpes, sipilis
• Metabolik : galaktosemi, tirosinemi
• Endokrin : hipotiroit, hipokortisol
• Genetik : sindrom Alagille, PFIC
• Lain-lain : infeksi bakteri
6. PemeriksaanPenunjang 1. Gambaran darah tepi
2. Biokimia darah
 Serum bilirubin direk dan indirek
 Masa protrombin
 Albumin, globulin
 Kolesterol, trigliserida
 Gula darah puasa
 Ureum, kreatinin

3.Urin: rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur urin

4.Pencitraan:

USG

CT scan

7. Terapi
A Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya
B. Terapi suportif
1. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
2. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang
(Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil
3. Vitamin yang larut dalam lemak
- A 5000-25.000 IU
- D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
- E 25-200 IU/kk/hari
- K1 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu
4. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
5. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor
contohnya kolestipol, simvastatin
6. Pruritus:
- Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
- Rifampisin 10 mg/kg/hari
- Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 28 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KOLESTASIS PADA BAYI


8. Pemantauan A. Terapi
Dilihat progresifitas kondisi klinis seperti ikterus (berkurang, tetap, semakin kuning), besarnya hati, limpa,
asites, vena kolateral. Kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, AST, GGT, albumin, tes koagulasi dan
pencitraan.
B. Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien
dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan
mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis perlu
dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan
bayi/anak.
9. Edukasi Penjelasan terutama pada perjalanan penyakit yg lama, dan prognosis yang kurang baik

10. Prognosis Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
14. Kepustakaan 1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify
laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2010;50(5):526-30.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep
2010;12(1):30-9.
3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci
associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60.
4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis.
Orphanet J Rare Dis 2009;4:1.
5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver
disease after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 63 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak

DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN

1. Pengertian (Definisi) adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria
subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir
2. Anamnesis
1. Tidak biru
2. Tidak mau menetek
3. Nafas cepat (takipnea)
4. Berkeringat
5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
3. Pemeriksaan Fisik 1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau
2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan
3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif)
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas
2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten
6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa
diulang satu seri lagi
*

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Venice Sp. JP
2. dr. Hasanuddin Sp.JP

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141- 145.
2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB,
Driscoll DJ. Ed. Moss and Adams’Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The Fetus
and Young Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669.
3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company
Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 64 | 146
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 65 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

GAGAL JANTUNG

1. Pengertian (Definisi) Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok
oksigen dan nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel.
2. Anamnesis 1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea",
"dyspnea d'effort", batuk, sianosis.
2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer
edema palpebra sering pada bayi.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kardiomegali
2. takikardia
3. irama gallop
4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus
paradoxus dan alternans
5. "tachypnea"
6. ronkhi basah
7. wheezing
8. Dyspneu sampai dengan sianosis
9. hepatomegali
10. bendungan vena leher
11. sembab perifer
12. edema palpebra sering pada bayi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas
2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Gagal jantung
6. Diagnosis Banding 1 Efusi pericardial
2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian
bawah : (bronkiolitis, pneumonia)
7. Pemeriksaan 1. Foto thorax
Penunjang 2. EKG
8. Terapi 1. O2 40-50% dengan pelembab.
2. Sedasi dengan morphin 0,1-0,2 mg/kg/dosis s.c.setiap 4 jam kalau perlu, atau Phenobarbital 2-3
mg/kg/dosis p.o/i.m. setiap 8 jam selama 1-2 hari.
3. Eliminasi factor pencetus : demam diberi antipiretik, anemia ditanfusi PRC sampai PCV > 35%.
4. Atasi penyakit dasar seperti hipertensi, aritmia atau tirotoksikosis.
5. Digitalis : digoxin
6. Dopamine
7. Hydralazine : dosis 1 mg/kg - 5 mg/kg/hr oral dalam 3-4x
8. Captopril :
neonatus : 0,1-0,4 mg/kg/dose, 1-4 x/hari
bayi : 0,5-6,0 mg/kg/hr, tiap 6-24 jam
anak besar : 12,5 mg/dose oral tiap 12-24 jam
9. diuretika :
thiazide : chlorothiazide : 20-30 mg/kg/hr, oral.
Hydrocholorothiazide 2-3 mg/kg/hr (2 x)
Furosemid : 1-3 mg/kg/x intravena, 2-5 mg/hr/oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Penjelasan tentang penyakit yang mendasari
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Venice Sp. JP
2. dr. Hasanuddin Sp.JP

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh dalam waktu 10 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 66 | 146
15. Kepustakaan 1. Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and
Libby P. Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 – 599.
2. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem
oriented approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129.
3. Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 234-
39, 249-53.
4. Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 67 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak

GAGAL JANTUNG

198312th Tokyo : Igaku Shoin/WB Saunders, Co.1187.


5. Ontoseno T. 2002. Konsep terbaru mengenai Gagal Jantung pada Anak. Dalam : Noer MS, Ismoedijanto
dan Untario MC. Penyunting. Bunga Rampai Pediatri. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSUD DR
Sutomo Surabaya. Hal : 122 – 142.
6. Ontoseno T.2004 . Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawan yang kritis pada neonatus. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya. Hal: 166- 184.
7. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 399-407.
8. Astasari D, Ontoseno T. Rahman M. Utamayasa A. Perubahan dimensi dan fungsi ventrikel kiri secara
ekokardiografi pada pasien dengan gagal jantung akibat pirau krir ke kanan setelah pemberian Carvedilol.
Karya Akhir, 2012.
9. Hoeper MM, Galie N, Simonneau G, Rubin LJ, 2002. New treatments for pulmonary arterial hypertension.
Am J Respir Crit Care Med;165:1209-16.
10. Humbert M, Sitbon O, Simonneau G, 2004. Treatment of pulmonary arterial hypertension. N Engl J
Med;351:1425-36
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 68 | 146
DEMAM REUMATIK

1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul setelah
infeksi tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS) dengan penyulit
serius berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang cenderung kambuh,
akibat respons autoimun

2. Anamnesis Gejala mayor:


1. Karditis: takikardia, sesak, berdebar
2. Poli artritis: nyeri sendi hebat umumnya asimetris sehingga anak tidak mau jalan, sering nyeri berpindah-
pindah, bengkak, demam
3. Korea Sydenham: gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang
labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres, lidah dapat terjulur keluar dan masuk
mulut dengan cepat, pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak, koordinasi otot halus sukar. Tulisan
tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap. Bila disuruh membuka dan menutup
kancing baju pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan
emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai, kehilangan
perhatian, gelisah, serta tidak koperatif.
4. Eritema marginatum: ruam tidak gatal, makular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian
lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh
dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah.
5. Nodulus subkutan
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Atralgia: nyeri sendi ringan, biasanya sendi besar
3. Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
3. Pemeriksaan Fisik Manifestasi mayor:
a. Karditis
b. Poliartritis
c. Korea
d. Eritema marginatum
e. Nodul subkutan

Manifestasi minor:
1. Demam
2. Arthralgia
4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau
b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus
beta hemolitikus golongan A sebelumnya.
5. Diagnosis Demam Reumatik
6. Diagnosis Banding 1. Artritis reumatoid
2. Artrids bakterial.
3. Artritis virus.
4. Reaksi alergi.
5. Bising fungsionil.
6. Kelainan jantung bawaan.
7. Miokarditis virus
8. Miokarditis bakterial lain.
9. Lupus eritematosus sistemik
7. Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap
b. LED
c. C-Reactive Protein
d. ASO
e. Kultur hapusan tenggorok
f. Foto thorax
g. EKG
h. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Iirah baring:
Tanpa Karditis:
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali:
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali:
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan gagal jantung:
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi
2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder
- Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila
berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali.
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 69 | 146
DEMAM REUMATIK

- Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20
kg, diberikan selama 10 hari.
- Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama
10 hari
3. Analgesik dan anti-inflamasi
- Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
- Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali:
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu
- Karditis dengan kardiomegali atau gagal
jantung: Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2
minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu
ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.
9. Edukasi a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
b. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Venice Sp. JP
2. dr. Hasanuddin Sp.JP

14. Indikator Medis 80% pasien sembuh dalam waktu 14 hari


15. Kepustakaan 1. Ayoub EM. Acute Rheumatic Fever. Dalam: Allen HD, Clark EB, Gutgesell HP, Driscoll DJ. Moss and
Adams’ Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents including the Fetus and Young Adult. Edisi ke
6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h.1226-41.
2. Oliver C. Rheumatic fever- Is it still a problem ? Journal of Antimicrobial chemotherapy.2000; 45: 13-21
3. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 304-10.
4. Taranta A, Markowitz M. Rheumatic Fever. Edisi ke 2. Dordrecht : Kluwer Academic Publishers, 1989.
5. Tandon R. Is it possible to Prevent Rheumatic Fever ? Indian Heart Journal 2004; 56: 677-67
6. Tani LY, Veasy LG, Minich LA and Shaddy RE. Rheumatic fever in Children younger than 5 years : Is the
presentation different ? Pediatrics 2003; 112; 1065-1068
7. WHO Technical reports series. RHEUMATIC FEVER AND RHEUMATIC HEART DISEASE. Geneva 2004.
8. WHO Study Group, Report of rheumatic fever and rheumatic heart Disease. WHO Geneva, 1988

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 70 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

INFEKSI SALURAN KEMIH


1. Pengertian (Definisi) - Infeksi saluran kemih adalah ditemukan mikroba bermakna pada saluran air kemih dari sampel urin
suprapubik berapapun jumlah kuman
kateterisasi uretra Š5x104
porsi tengah Š105
2. Anamnesis - Gejala klinis tidak spesifik
- Infeksi saluran kemih atas gejala panas tinggi, disertai gejala sistemik
- Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut :
0-1bulan : Panas/hipotermi, gejala sistemik,ikterus (sepsis).
1 bln-2 thn : panas/hipotermia, gejala sistemik, nyeri perut/ pinggang.
2-6 thn : Panas, gejala sistemik, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, ngompol.
6-18 thn : Nyeri perut/pinggang, panas,tak dapat menahan kencing.
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik tergantung usia dan lokasi infeksi saluran kemih :
- Panas/hipotermia
- Nyeri ketok pinggang

4. Pemeriksaan Penunjang 1.
Pemeriksaan air kemih:
Urinalisis, Leukosit esterase, nitrit,
2. Biakan air kemih
3. Pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin
4. Ultrasonografi ginjal-buli buli (USG) bila diperlukan, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI pada kasus ISK atas,
komplek, dan atipik
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis sesuai usia penderita
2. Biakan air kemih merupakan baku emas
3. Pemeriksaan air kemih ada kuman (gram), piuri,torak, lekosit, , lekosit esterase,nitrit
4. Kimia darah: ureum,kreatinin
5. Pencitraan :USG ginjal-buli buli, skintigrafi ginjal, CT scan, bila diperlukan
6. Diagnosis Infeksi saluran kemih
7. Diagnosis Banding Penyakit dengan panas yang tidak diketahui sebabnya - ICD

8. Terapi Supportif
Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi

Medikamentosa
Antibiotik peroral
ISK bawah Amoksisilin klavulanat 20 – 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis

Antibiotik parentral
1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari.

ISK pada Neonatus 1. Seftriakson 75 mg/kg/hari sekali sehari


2 Sefotaksim 150 mg/kg/hari dibagi tiap 6 -8 jam
3 Seftasidim 100 – 150 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam
4 Gentamisin 7,5 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam
ISK atas/ ISK 5 Amikasin 15 mg/kg/hari sekali sehari
komplek/ ISK
Atipik
9. Edukasi 1. Berobat secara teratur
2. Menjaga kebersihan daerah genetalia
3. Pemakaian popok atau pempers harus diganti setiap buang air kemih atau buang air besar
4. Buang air besar secara teratur

10. Prognosis Infeksi saluran kemih atas


Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
Infeksi saluran kemih kompleks
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 12 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 71 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

INFEKSI SALURAN KEMIH


Penderita tidak panas
Biakan urin steril

14. Kepustakaan 1. Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric
Nephrology 2nd.Chennai.Replika Press.2007. 553-74.
2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P, Yoshikawa
N Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310
3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in
young children. N Engl J Med ; 348 :195-202.
4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric
Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70
5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics
2011;128:595-610
6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds.
Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142- 163.
7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34
8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal lesions
in children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9.
9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds.
Pediatric nephrology. Singapore. 391-402.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract
infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 72 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


1. Pengertian (Definisi) Suatu bentuk peradangan non-supuratif di glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan
inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik di
tempat lain dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, dan oliguria yang terjadi
secara akut.
2. Anamnesis  Sembab periorbita pada pagi hari (75%)
 Malaise, sakit kepala, muntah, panas dan anoreksia
 Air kemih kemerahan seperti air daging
 Menderita infeksi saluran nafas atas 8-14 hari sebelumnya atau infeksi kulit 3 minggu sebelumnya
3. Pemeriksaan Fisik  Edema periorbita
 Asites (kadang-kadang)
 Takikardia, takipnea, rales pada paru, dan cairan dalam rongga pleura
 Hipertensi (tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 menurut umur, jenis kelamin
dan tinggi badan) pada > 50% penderita
 Air kemih merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Hematuria
3. Hipertensi
4. Azotemia
5. ASTO positif
5. Diagnosis Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
6. Diagnosis Banding 1. Penyakit-penyakit ginjal:
 Glomerulonefritis kronis eksaserbasi akut
 Glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati, hematuria berulang
ringan
 Glomerulonefritis progresif
2. Penyakit-penyakit sistemik:
 Purpura Henoch-Schönlein
 Lupus eritematosus sistemik
 Endokarditis bacterial subakut
3. Penyakit-penyakit infeksi:
 Infeksi virus (morbili, parotitis, varisela, Echo)
 Infeksi bakteri lain.

7. Pemeriksaan Penunjang  Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak
granular, torak eritrosit
 Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen
C3 <50 mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala
klinis menghilang
 Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali
8. Terapi 1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi,
edema).
2. Antibiotika untuk eradikasi kuman:
 Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari
 Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi)
4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi):
 Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
 Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari)
 Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
 Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari)
5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari).
6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 73 | 146
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 74 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis 80% penderita GNAPS akan sembuh dalam waktu 1 minggu perawatan
14. Kepustakaan 1. Kumar GV. Clinical study of post Streptococcal acute glomerulonephritis in children with special
reference to presentation. Curr Pediatr Res 2011;15(2):89-92.
2. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:323-61.
3. Pan CG, Avner ED. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2011:1783-5.
4. Rauf S, Albar H, Aras J. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
glomerulonefritis akut pasca Streptokokus. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2012.
5. Rodriguez-Iturbe A, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:743-
53.
6. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritic syndrome. Dalam: Webb NJA,
Postlethwaite RJ, Eds. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press,
2003:197-225.
7. Srivastava RN, Bagga A. Acute glomerulonephritis. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 106-23.
8. Tasic V. Postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Geary DF, Schaefer F, Eds. Comprehensive
Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008:309-17.
9. Tse NK. Acute glomerulonephritis and rapidly progressive glomerulonephritis. Dalam: Chiu MC, Yap
HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong:
Medcom Limited, 2005: 103-8.
10. Yap HK, Lau PYW, Resontoc LPR, Thong WY. Management of acute glomerulonephritis. Dalam: Yap
HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National
University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 113-9.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 75 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERTENSI PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan
umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
2. Anamnesis  Hipertensi ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala.
 Gejala-gejala dapat berupa sakit kepala, pusing, nyeri perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun,
keringat berlebihan, murmur, epistaksis, palpitasi, poliuri, proteinuri, hematuri, atau retardasi pertumbuhan.
 Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya
efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik  Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran dapat
menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat ditemukan
bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
 Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil atau
penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
4. Kriteria Diagnosis Nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan umur, jenis kelamin
dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
5. Diagnosis Hipertensi
6. Diagnosis Banding 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik,
lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schönlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG,
IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab
hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif,
penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula
disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer dibagi dalam 2 tahap. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan
Penunjang bila pada pemeriksaan tahap 1 didapatkan kelainan, dan jenis pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan
dengan kelainan yang didapat.
2. Pemeriksaan tahap 1 meliputi pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal (urinalisis, biakan urin,
kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, darah lengkap dan USG ginjal); pemeriksaan untuk
mendeteksi penyakit endokrin (elektrolit serum, aktivitas renin plasma dan aldosteron, katekolamin plasma,
katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin, aldosteron dan metabolit steroid dalam urin (17 ketosteroid
dan 17 hidrokortikosteroid)); dan evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target meliputi EKG dan
ekokardiografi yang dapat menunjukkan pembesaran ventrikel kiri; foto toraks yang dapat menunjukkan
adanya pembesaran jantung dengan edema paru; funduskopi dapat dilihat adanya kelainan retina berupa
perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina; dan CT scan kepala
yang dapat menemukan atrofi otak yang bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa gejala sisa.
3. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan untuk evaluasi diagnostik ke arah penyebab hipertensi sekunder seperti anti
Streptolisin O (ASTO), komplemen 3 (C3), kultur hapusan tenggorok/keropeng infeksi kulit, sel LE, uji serologi
untuk SLE, CT ginjal

8. Terapi  Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap
penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala
klinis, perlu diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas,
hiperlipidemia, kebiasaan merokok dan intoleransi glukosa.
 Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95
berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan anak. Pada anak dengan hipertensi kronik, dianjurkan untuk
menurunkan tekanan darah sebesar 20-30% dalam waktu 60-90 menit.
 Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.

I. Medikamentosa
 Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke- 95
untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:

Golonga Jenis Dosis dan Dosis maksimal Efek samping


n obat obat interval Anak Dewasa
Angiotens Kaptopril 0,1 6 50 mg tiap 8 Teratogenik.
in mg/kg/kali, mg/kg/hari, jam Pemeriksaan serum
convertin tiap 8 jam tiap 8 jam 450 mg/hari kreatinin dan kalium
g enzyme Neonatus: Neonatus: berkala.
inhibitor 0,03 2 mg/kg/hari Dapat dibuat
mg/kg/hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 76 | 146
(ACE-I) Lisinopril 0,1 0,2-1 5 mg/hari suspensi.
mg/kg/hari mg/kg/hari atau 10-20 Hati-hati pemakaian
pada penyakit ginjal

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 77 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERTENSI PADA ANAK


mg/hari dengan proteinuria
dan diabetes
mellitus.
Angiotens Losartan 0,5-0,7 1,4 100 mg/hari Teratogenik.
in mg/kg/kali, mg/kg/kali, Pemeriksaan kadar
receptor tiap 24 tiap 24 jam serum kreatinin dan
blocker jam kalium.
(ARB) Losartan dapat
dibuat suspensi.
FDA membatasi
pemakaian losartan
hanya untuk anak Š6
tahun dan kreatinin
klirens Š30
ml/menit/1,73 m2.
Calcium Amlodipi 0,05 0,2 0,6 Dapat menyebabkan
channel n mg/kg/hari mg/kg/hari mg/kg/hari takikardi dan
blocker , 20 mg/hari edema.
(CCB) tiap 24
jam
Nifedipin 0,25 0,5 20 mg,
mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6-8 jam
tiap 6-8 tiap 6-8 jam
jam
Extende 0,25-0,5 3 mg/kg/kali, 120 mg/hari
d mg/kg/kali, tiap 12-24
release tiap 12-24 jam
Nifedipin jam
Alpha and Labetalo 1-2 10 600 mg/kali, Kontraindikasi pada
beta l mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6 jam penderita asma dan
blocker tiap 12 tiap 6 jam gagal jantung,
jam diabetes mellitus
yang tergantung
insulin.
Carvedil 0,08 0,75 25 mg tiap
ol mg/kg/kali, mg/kg/kali, 12 jam
tiap 12 tiap 12 jam
jam
(naikkan
0,08
mg/kg/kali
tiap 1-2
minggu)
Beta Atenolol 0,5-1 8 100 mg/hari Non-cardioselective
blocker mg/kg/hari mg/kg/hari, agents.
, tiap 12-24 Tidak digunakan
tiap 12-24 jam pada penderita
jam diabetes mellitus,
Propano 0,2-0,5 2 mg/kg/kali, 80 mg/kali, asma, gagal
lol mg/kg/kali, tiap 6-12 tiap 6-12 jantung.
tiap 6-12 jam jam
jam
Central Klonidin 5-10 0,9 mg/hari 2,4 mg/hari Mulut kering atau
alpha mcg/kg/ha sedasi.
blocker ri, Rebound
tiap 8-12 hypertension.
jam Pemberian dengan
(naikkan beta blocker dapat
sampai menyebabkan
5-25 bradikardia.
mcg/kg/ha
ri,
tiap 6 jam)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 78 | 146
Periphera Prazosin Test dose: 0,5 5 mg Dapat menyebabkan
l alpha 0,005 mg/kg/hari, tiap 6-12 hipotensi atau
antagonis mg/kg tiap 6-12 jam sinkop, terutama
ts (maksimu jam seteleh dosis
m 0,25 pertama

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 79 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERTENSI PADA ANAK


mg)
0,025-0,1
mg/kg/kali,
tiap 8-12
jam
Diuretik Hidroklo 1-1,5 4 mg/kg/hari 50 mg Harus dimonitor
rotiazid mg/kg/kali, tiap 12-24 kadar elektrolit
tiap 12-24 jam secara periodik
jam Berguna sebagai
Furosem 0,5-1 12 240 mg terapi tambahan
id mg/kg/kali, mg/kg/hari tiap 4-6 jam, pada penyakit ginjal
tiap 6-24 maksimal 2 Hiperkalemia berat,
jam g/kali terutama bila
Spironol 1 3,3 100 mg/hari dikombinasi dengan
akton mg/kg/hari mg/kg/hari,
ACE-I atau ARB
, tiap 6-12
tiap 12-24 jam
jam

 Cara penurunan dosis obat anti hipertensi (Step-Down Therapy)


Penurunan obat antihipertensi secara bertahap perlu dilakukan pada anak, setelah tekanan darah terkontrol
dalam batas normal untuk suatu periode waktu. Petunjuk untuk langkah penurunan dosis obat-obat antihipertensi
pada anak dan rernaja seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Petunjuk untuk step-down therapy pada bayi, anak atau remaja

Bayi Kenaikan tekanan darah terkontrol untuk 1 bulan.


Dosis obat tidak ditingkatkan dan bayi terus tumbuh.
Bila tekanan darah tetap konstan dan terkontrol, dosis obat diturunkan setiap minggu dan berangsur-
angsur dihentikan.

Anak / Remaja
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah
dengan interval waktu 6-8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi.
Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila
memungkinkan berangsur-angsur dihentikan.

II. Bedah
 Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
 Restriksi cairan.
 Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
 Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
 Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Indikator Medis 80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
14. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 80 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERTENSI PADA ANAK


4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry: factors
common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry:
technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor.
Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman
RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1639- 47.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in children
and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi
4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda,
Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 227-39.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 81 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg
yang meliputi:
 Hipertensi urgensi: peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan organ target dengan gejala klinis (sakit
kepala, mual, pandangan kabur)
 Hipertensi emergensi: peningkatan tekanan darah dengan kerusakan organ target (otak, jantung, mata, ginjal)
dan gejala klinis
2. Anamnesis  Pada krisis hipertensi dapat timbul ensefalopati hipertensif, hemiplegi, gangguan penglihatan dan pendengaran,
parese nervus fasialis, penurunan kesadaran, bahkan sampai koma. Dekompensasi kordis dengan edema paru
yang ditandai dengan gejala oleh gejala edema, dispnea, sianosis, takikardi, ronki, kardiomegali, suara bising
jantung, dan hepatomegali.
 Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya
efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik  Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran dapat
menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat ditemukan
bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
 Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil atau
penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
4. Kriteria Diagnosis  Peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg
 Dengan atau tanpa kerusakan target organ (otak, jantung, mata, ginjal)
5. Diagnosis Krisis Hipertensi
6. Diagnosis Banding 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik,
lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schönlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG,
IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab
hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif,
penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula
disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.
7. Pemeriksaan 1. Funduskopi: kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah
Penunjang arteriol retina.
2. Foto toraks: pembesaran jantung dengan edema paru.
3. EKG: kadang-kadang ditemukan pembesaran ventrikel kiri.
4. CT-scan kepala: kadang-kadang ditemukan atrofi otak. Bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa
gejala sisa.
5. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer seperti pada protokol Hipertensi pada Anak.
8. Terapi  Pada krisis hipertensi, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap dalam waktu 24 jam, dengan
penurunan awal sebesar 25% dalam 8 jam pertama.
 Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.

I. Medikamentosa
 Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut:

Obat Cara Dosis awal Respo Lamany Efek samping/


pemberian n awal a Komentar
respon
Nifedipin Oral atau 0,25-0,5 mg/kg, Hanya pada
sublingual tiap 30 menit, penderita yang
maks. 20 mg sadar baik
Diazoksid Intravena 1-3 mg/kg bolus, 15 4-24 jam Nausea,
cepat kemudian menit hiperglikemia,
(1-2 menit) 2-5 mg/kg/kali tiap retensi natrium,
6 jam, maks.150 takikardia,
mg hipotensi bila
bersama anti-
hipertensi lain,
gangguan
gastrointestinal,
hiperurisemia,
trombositopenia

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 82 | 146
Natrium Pompa infus 0,25-8 2 1-10 Membutuhkan
nitroprusid kontinyu mcg/kg/menit, menit menit pengawasan
naikkan 25% tiap terus menerus,
5-10 menit, maks. risiko keracunan
konsentrasi final = tiosianat

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 83 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


200 mcg/ml (terutama pada
(bila tidak gangguan ginjal
membaik dengan dan hati).
dosis maksimal Kontraindikasi:
>10 menit:stop koarktasio aorta,
karena toksik) tekanan
intrakranial
meningkat,
perdarahan
intrakranial.
Furosemid Intravena 1-5 mg/kg/kali, 2-5 2 jam Hiponatremia,
tiap 6 jam, menit hipokalemia
maks.240 mg
Pompa infus 0,1-1 mg/kg/jam
kontinyu
Klonidin Intravena, 0,002 mg/kg/kali, IV: 5 Beberap Mengantuk,
intramuskular ulangi tiap 4-6 menit a jam mulut kering,
jam, dosis bisa IM: rebound
dinaikkan 3x lipat lebih hypertension
lama
Gliseril Pompa infus 1-10 menit menit Bradikardia,
trinitrit kontinyu mcg/kg/menit, takikardia, sakit
maks. 400 kepala, muntah,
mcg/menit methemoglobine
mia
Keuntungan:
awitan dan
hilangnya efek
cepat,
mengurangi
spasme koroner,
afterload dan
preload
Nikardipin Pompa infus 1-3 mcg/kg/menit, 1-2 2-4 jam Peningkatan
kontinyu maks. 250 jam tekanan
mcg/menit intracranial,
reflex
tachycardia,
flushing, sakit
kepala,
hipotensi,
edema perifer,
gangguan
gastrointestinal

II. Bedah
 Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.

III. Suportif
 Restriksi cairan.
 Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)


 Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
 Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 84 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
13. Indikator Medis 80% penderita krisis hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
14. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry: factors
common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry:
technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor.
Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman
RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1639- 47.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in children
and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi
4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda,
Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 227-39.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 85 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid
dihentikan
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid
dihentikan
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Dependen Steroid
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
Penunjang elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m 2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran
nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang
sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik
 Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering
dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.

 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 86 | 146
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 87 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK


3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis 50% penderita sindrom nefrotik dependen steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
14. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-
426.
8. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 187-9.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam:
Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 88 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kambuh Jarang
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m 2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) pada pagi hari minimal selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 4-
16 minggu (masa pengobatan total 3-6 bulan)
 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau
hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian didapatkan
serangan berulang sering, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik kambuh jarang akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
14. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 89 | 146
Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK


2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-
426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam:
Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 90 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kambuh Sering
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
Penunjang elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m 2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran
nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang
sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik
 Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.

 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.

9. Edukasi 1. Gejala klinis


Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 91 | 146
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 92 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis 50% penderita sindrom nefrotik kambuh sering akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
14. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-
426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 93 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia.
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
Penunjang elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
Foto toraks AP dan lateral kanan
Workup TB: uji tuberkulin, BTA lambung
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Diberikan setelah workup TB selesai supaya tidak mempengaruhi hasil uji tuberkulin. Bila terinfeksi
TB, maka obat anti-tuberkulosis (OAT) diberikan bersamaan dengan predniso(lo)n
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari selama 4-6 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) pada pagi hari selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 4-16
minggu (masa pengobatan total 3-6 bulan)
 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau
hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian
didapatkan serangan berulang, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
14. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 94 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK


2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-
426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam:
Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 95 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ASFIKSIA NEONATORUM

1. Pengertian Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang
(Definisi) menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis.

2. Anamnesis Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir.

3. Pemeriksaan Fisik  Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap


 Kulit sianosis
 Tonus otot menurun
 Denyut jantung <100 kali/ menit
 Tidak ada respon terhadap reflek rangsangan

4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas
darah arteri apabila fasilitas tersedia
2. Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit
3. Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati
hipoksik iskemik
4. Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal

5. Diagnosis Asfiksia

6. Diagnosis Banding  Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
 Infeksi virus, sepsis atau meningitis
 Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
 Penyakit neuromuskular
 Trauma persalinan
 Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan  Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, elektrolit, gula darah
Penunjang  USG kepala
 MRI kepala

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 96 | 146
8. Terapi Resusitasi
 Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar
- Langkah awal resusitasi
Indikasi : bila terdapat salah satu jawaban tidak dari pertanyaan cukup bulan, bernapas atau
menangis, dan tonus otot baik
- Ventilasi tekanan positif (VTP)
Indikasi : apnu atau megap-megap, denyut jantung <100 x/menit, saturasi tetap di bawah nilai target
meskipun telah diberi O2 aliran bebas sampai 100%
- Ventilasi tekanan positif dan kompresi dada
Indikasi : denyut jantung <60 x/menit setelah 30 detik dilakukan VTP efektif

 Terapi medikamentosa :

Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1
mL normal salin
- 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Hipovolemia
- Tidak ada respon dengan resusitasi
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 97 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ASFIKSIA NEONATORUM
kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan
otak.

9. Edukasi  Jaga kehangatan.


 Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
 Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

 Ad vitam : dubia ad malam


10. Prognosis  Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi

13. Indikator Medis  Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
 Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan
 Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi
lengkap (intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya
 80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu

14. Kepustakaan 1. Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1-
302
2. American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5):
e1400-11.
3. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark
AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28.
4. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62.
5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease
and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 98 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM)

1. Pengertian Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes.
(Definisi) Kelainan spesifik yang sering ditemukan pada IDM :
 Kelainan metabolisme
o Hipoglikemia
o Hipokalsemia
o Hipomagnesemia
 Kelainan kardiorespirasi
o Asfiksia perinatal
o Hyaline membrane disease
o Kardiomiopati hipertropik
o Takipnea sementara pada neonatus
 Kelainan hematologis
o Polisitemia dan hiperviskositas
o Hiperbilirubinemia
o Trombosis vena ginjal
 Masalah morfologis dan fungsional
o Cedera lahir
o Kelainan bentuk bawaan (jantung, ginjal, saluran cerna, saraf, skeletal, wajah abnormal, mikroptalmos)

2. Anamnesis  Riwayat ibu penderita diabetes


 Riwayat bayi makrosomia
 Riwayat bayi kecil untuk masa kehamilan
 Riwayat ibu dengan penyakit ginjal, retina atau jantung

3. Pemeriksaan Fisik Pada saat lahir


IDM cenderung memiliki wajah sembab, pletorik, IDM juga gemetar dan hipereksitasi. Bayi dapat berukuran
besar atau kecil untuk masa kehamilan.
Setelah lahir
 Hipoglikemia
 Mungkin ditemui bersama dengan letargi, menyusu yang buruk, apnea, jitteriness pada 6-12 jam pertama
setelah kelahiran
 Tanda gawat pernapasan
 Penyakit jantung mungkin ditemui. Penyakit ini didiagnosis dengan rasio kardio-timus yang membesar pada
film rontgen dada atau melaui bukti fisik adanya gagal jantung
 Kelainan bawaan mungkin tercatat pada pemeriksaan fisik

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Bayi dengan ibu diabetes melitus (IDM)

6. Diagnosis Banding  Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
 Hipotermia
 Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal
 Penyakit neuromuskular
 Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan  Darah lengkap


Penunjang  Hematokrit
o Pada saat lahir pada usia 4 sampai 24 jam
 Kadar glukosa serum
o Diperiksa dengan menggunakan dextrostix pada saat lahir, tiap 6 jam selama 24 jam, dan selanjutnya
pada usia 36 dan 48 jam
o Pembacaan <45 mg/dL dengan menggunakan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran glukosa
serum
 Kadar kalsium serum bila terdapat gejala kejang
o Jika kadar kalsium rendah, kadar magnesium serum harus diukur
 Kadar bilirubin serum
o Seperti yang diindikasikan oleh pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan radiologi
o Tidak diperlukan kecuali terdapat bukti adanya masalah jantung, pernapasan, atau skeletal
 Elektrokardiografi dan ekokardiografi : jika terdapat kardiomiopati hipertropik atau kelainan pembentukan
jantung

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 99 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 146 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM)

8. Terapi Hipoglikemia
 2-4 mL dekstrosa 10% selama 5 menit, diulang jika perlu
 Infus glukosa 10% berkesinambungan dengan kecepatan 8-10 mg/kg/menit
 Memulai pemberian asupan enteral sesegera mungkin
 Kortikosteroid : pada hipoglikemia yang terus bertahan (hidrokortison 5 mg/kg/12 jam)
 Mempertimbangkan pemberian glukagon dan epinefrin
Hipokalsemia
 Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit
 Memantau tanda ekstravasasi
 Dosis juga diberikan melalui infus intravena berkesinambungan, 2-8 mL/kg/hari
 Akan memberikan respon dalam 3-4 hari
Hipomagnesemia
 Magnesium sulfat (MgSo4) 2mEq/kg/dosis setiap 6 jam IV atau IM

9. Edukasi  Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus
 Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik
sejalan dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C

Rekomendasi

14. Indikator Medis Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 1 minggu
15. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40.
2. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 145 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK

1. Pengertian Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
(Definisi) laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.

2. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan
kesadaran.

3. Pemeriksaan Fisik Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan :
HIE Tingkat I
 Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang-seling
 Pemberian minum yang buruk
 Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan
 Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi
 Tidak ada aktivitas kejang
 Gejala hilang dalam 24 jam
HIE Tingkat II
 Letargi
 Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
 Hipotonia
 Denyut jantung menurun dan pupil konstriksi
 50-70 % terdapat kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
HIE Tingkat III
 Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
 Koma
 Flasidisitas
 Tidak ada refleks
 Pupil diam, sedikit reaktif
 Apnea, bradikardia, hipotensi
 Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis  HIE Tingkat I


 HIE Tingkat II
 HIE Tingkat III

6. Diagnosis Banding  Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
 Infeksi virus, sepsis atau meningitis
 Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
 Penyakit neuromuskular
 Trauma persalinan
 Kelainan metabolisme bawaan
 Darah lengkap
7. Pemeriksaan  Gula darah
Penunjang  Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
 Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
 BUN dan serum kreatinin
 Faal pembekuan darah
 Faal hati
 Foto torak

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 146 | 146
8. Terapi a. Upaya yang optimal adalah pencegahan
b. Resusitasi.
 Ventilasi yang adekuat
 Oksigenasi yang adekuat.
 Perfusi yang adekuat
 Koreksi asidosis metabolik
 Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL
 Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.
Ca glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak
diberikan secara intravena dalam waktu 5 menit.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 147 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK

 Atasi kejang (lihat bab kejang pada neonatus)


 Mencegah timbulnya edema cerebri. Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari.
Penggunaan glucocorticoid dan osmotic agents tidak direkomendasikan.
c. Pengobatan suportif untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan

9. Edukasi  Jaga kehangatan.


 Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
 Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

10. Prognosis Asfiksia dengan HIE Tingkat I


 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam
Asfiksia dengan HIE Tingkat II-III
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi
13. Indikator Medis  Bayi bernapas spontan, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
 Tidak didapatkan kejang
 80% pasien akan sembuh dalam waktu 3 minggu

14. Kepustakaan 1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-
28.
2. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th
ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of Neonatology
4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal
FG, Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6th ed.
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35.
5. Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 148 | 146
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 149 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
(definisi) diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis
bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.

2. Anamnesis  Riwayat ikterus pada anak sebelumnya


 Riwayat keluarga anemi dan pembesaran hati dan limpa
 Riwayat penggunaan obat selama ibu hamil
 Riwayat infeksi maternal
 Riwayat trauma persalinan
 Riwayat asfiksia

3. Pemeriksaan Fisik Umum :


Keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)
Khusus :
 Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang
memadai.
 Berdasarkan Kramer dibagi menjadi :

Derajat
Daerah ikterus Perkiraan kadar bilirubin
ikterus
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai 11,4 mg/dL
atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL

4. Kriteria Diagnosis Hiperbilirubinemia fisiologis


 Terjadi peningkatan bilirubin indirek pada cukup bulan dengan puncak 6-8 mg/dL pada usia 3 hari
 Kadar 12 mg/dL masih dalam batas fisiologis
 Pada bayi prematur dapat meningkat 10-12 mg/dL pada usia 5 hari
Hiperbilirubinemia non fisiologis
 Ikterus mulai sebelum berusia 36 jam
 Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
 Total bilirubin serum >15 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi susu formula
 Total bilirubin serum >17 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi ASI
 Ikterus klinis >8 hari pada bayi cukup bulan dan >14 hari pada bayi kurang bulan
Peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi
atau lebih dari persentil 90.

Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada
saat bayi pulang

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 150 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR


Nomogram- persentil ke-95 untuk kadar bilirubin serum
24 jam:  8 mg/ dL (137 M/ L)
48 jam:  14 mg/ dL (239 M/ L)
72 jam:  16 mg/ dL (273 M/ L)
84 jam:  17 mg/ dL (290 M/ L)
Hipebilirubinemia direk bila kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau kadar bilirubin direk
>20% dari bilirubin total bila bilirubin total >5 mg/dL.

5. Diagnosis  Hiperbilirubinemia fisiologis


 Hiperbilirubinemia non fisiologis
 Infeksi virus, sepsis atau meningitis
6. Diagnosis  Kelainan kongenital susunan syaraf pusat
Banding  Trauma persalinan
 Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan  Bilirubin total


Penunjang  Bilirubin direk dan indirek
 Faal hati
 Albumin
 Golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan anak
 Darah rutin
 Hapusan darah

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 151 | 146
8. Terapi a. Follow up pada bayi baru lahir yang pulang
 dipulangkan sebelum 24 jam : kontrol ulang usia 72 jam
 dipulangkan usia 24-47,9 jam : kontrol ulang usia 96 jam
 dipulangkan usia 48-72 jam : kontrol ulang usia 120 jam

b. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada
gambar 2.

Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.

c. Penghentian fototerapi
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit
(TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL.

d. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 152 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi
menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB Š5 di
atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis asidosis

Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup bulan
(sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat Bayi sakit
BB (g) Fototerapi Tranfusi tukar Fototerapi Tranfusi tukar
Kurang bulan
<1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 15-18 20-25 12-15 18-20

9. Edukasi  Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab
dasar meningkatnya kadar bilirubin serum
 Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk
neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi
 Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk

10. Prognosis Hiperbilirubinemia fisiologis


 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam
Hiperbilirubinemia non fisiologis
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens I

12. Tingkat Level C


Rekomendasi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 153 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR


 dr. Kartika Darma Handayani, SpA

13. Indikator Medis  Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal
 Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50-60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan, gejala
klinis keseluruhan menghilang dalam 2 minggu
 Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari
 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 7 hari
14. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and
drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300.
2. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339.
3. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
4. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar
neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
5. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 154 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian (definisi) Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).

2. Anamnesis  Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gangguan pernapasan
 Riwayat bayi prematur
 Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
 Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
 Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
 Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan

3. Pemeriksaan Fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas

4. Kriteria Diagnosis  Terdapat gejala klinis hipoglikemia


 Kadar glukosa darah <45 mg/dL
 Pemantauan glukosa di tempat tidur untuk penapisan dan deteksi awal
 Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai laboratorium serum jika memungkinkan

5. Diagnosis Hipoglikemia

6. Diagnosis Banding  Penyakit SSP (perdarahan, infeksi)


 Sepsis
 Asfiksia
 Abnormalitas metabolik (hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi
piridoksin)
 Insufisiensi adrenal

7. Pemeriksaan  Gula darah


Penunjang  Darah lengkap
 Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
 Faal pembekuan darah
 Pungsi lumbal
 USG kepala
 MRI kepala

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 155 | 146
8. Terapi a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
 Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam
 Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
 Kadar glukosa Š45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia
 Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai

b. Penanganan hipoglikemia dengan gejala atau kadar glukosa <25 mg/dL


 Bolus glukosa 10% 2 mL/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 mL/menit
 Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kecepatan infus glukosa/ GIR 6-8 mg/kg/menit

 GIR (mg/kg/menit) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi dextrose (%)


6 x BB (kg)
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena
sentral.
 Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 4 jam
 Bila kadar glukosa masih <25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas
 Bila kadar 25-45 mg/dL, tanpa gejala klinis :
- Infus D10 diteruskan
- Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
- ASI diberikan bila bayi dapat minum
 Bila kadar glukosa Š 45 mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan
- Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d)
- ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan pelan
- Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba

c. Kadar glukosa darah <45 mg/dL tanpa GEJALA :


 ASI teruskan
 Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas
 Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila :
- Kadar < 25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi (lihat ad b)
- Kadar 25-45 mg/dL naikkan frekuensi minum

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 156 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR


- Kadar Š 45 mg/dL manajemen sebagai kadar glukosa normal

d. Kadar glukosa normal IV teruskan


 IV teruskan
 Periksa kadar glukosa tiap 12 jam
 Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas (lihat ad b)
 Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12 jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam
batas normal, pengukuran dihentikan

e. Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)


 Konsultasi endokrin
 Terapi : kortikosteroid hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral,
mencari kausa hipoglikemia lebih dalam
 Bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain: somatostatin, glukagon, diazoxide, human
growth hormon, pembedahan. (jarang dilakukan)

9. Edukasi  Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau
mendapatkan infus glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap
jam hasilnya >45 mg/ dL
 Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi Level C

13. Indikator Medis  Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal
 80% membaik dalam 24 jam
 80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
14. Kepustakaan problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7.
2. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 157 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian (definisi) Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas
sistem motorik atau otonomik

2. Anamnesis  Riwayat hipoksik-iskemik ensefalopati


o general (asfiksia neonatorum)
o fokal (infark karena kelainan arteri atau vena)
 Riwayat perdarahan intrakranial (intraventrikular, subdural, trauma )
 Riwayat infeksi SSP (TORCH, meningitis, sepsis)
 Riwayat gangguan metabolik
o transient (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
o kelainan metabolisme bawaan (a.l.: defisiensi piridoxin)
 Riwayat kelainan kongenital SSP (hidrosefalus, hidransefali, porensefali, kelainan pembuluh darah otak)
 Riwayat ensefalopati bilirubin (kern ikterus)
 Riwayat maternal drug withdrawal (heroin, barbiturates, methadone, cocaine, morfin)
 Idiopatik

3. Pemeriksaan Fisik  Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak
jantung normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap
 Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi
ekstremitas bawah
 Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan
klonik beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik.
 Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah.

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Pemeriksaan penunjang : laboratorium, USG kepala, EEG

5. Diagnosis Neonatal seizures

6. Diagnosis Banding  Jitteriness


 Gerakan tidur mioklonus
 Apnea pada saat tidur
 Gerakan mengisap yang terputus

7. Pemeriksaan  Darah lengkap


 Gula darah
Penunjang  Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
 Faal pembekuan darah
 Kadar billirubin dan faal hati
 Pemeriksaan TORCH
 Analisa gas darah
 Pungsi lumbal
 USG kepala
 MRI kepala
 EEG

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 158 | 146
8. Terapi  Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
 Terapi etiologi spesifik
o Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak
diberikan secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia)
o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
o Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti
dalam beberapa menit
 Terapi antikejang
o Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat
diulang dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti.
o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1
mg/kg/menit
o Bila masih kejang dapat diberikan :
 Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik)
 Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam
o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kg BB/hari dapat diberikan secara
intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose
o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose
Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 159 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR


kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang.

9. Edukasi  Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan
hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia
 Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi Level C

13. Indikator Medis  Tidak didapatkan gejala kejang


 Bila penyebabnya sekunder (metabolik), 70% gejala menghilang dalam 24 jam bila penyebabnya
teratasi
 80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu

14. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 374-9.
2. Bergin AM. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 729-42..
3. Depkes RI. Klasifikasi kejang. Dalam: Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit).
Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
4. Young TE, Mangum B. Neofax. Dalam: Neofax, edisi ke-7, 2004: 154-155.
5. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 273-80.
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 84-92.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 160 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SEPSIS NEONATORUM

1. Pengertian (Definisi) Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di
dalam darah pada neonatus.
 FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin)
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan atau
tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 36 0C atau > 37,50C), waktu pengisian
kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
 TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi
 TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif
 Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
o Leukopenia (< 4.000 x 109/L)
o Netrofil muda >10%
o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
o CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
 Klasifikasi :
1. Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang timbulnya
mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran pernafasan,
progresif dan akhirnya syok
2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya
kelainan sistem susunan saraf pusat
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih
dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit

2. Anamnesis  Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya
paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental)
 Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang
invasif
 Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain,
ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman
melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit

3. Pemeriksaan Fisik  Suhu tubuh tidak stabil (<36 ⁰C atau >37,5 ⁰C)
 Laju nadi >180 x/menit atau <100 x/menit
 Laju nafas >60 x/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen,apnea atau laju nafas <30 x/menit
 Letargi
 Intoleransi glukosa: hiperglikemia (plasma glukosa >10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia ( <2,5
mmol/L atau < 45 mg/dL)
 Intoleransi minum
 Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
 Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)
 Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan)
 Pengisian kembali kapiler/ capillary refill time > 3 detik

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Kultur darah positif

5. Diagnosis  Sepsis awitan dini


 Sepsis awitan lambat

6. Diagnosis Banding Kelainan bawaan jantung, paru, dan organ-organ lain.

7. Pemeriksaan  Darah rutin


Penunjang  Hapusan darah tepi
 Kadar C-reactive protein (CRP)
 Kultur darah
 Pungsi lumbal dan kultur cairan serebrospinal
 Foto polos dada

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 161 | 146
8. Terapi 1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus
umur Š7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap 24 jam.
Dosis Ampisilin untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur Š7hari,
dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap, kultur
darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 162 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SEPSIS NEONATORUM
cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif.
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto
abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP
normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.
6. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka
diberikan Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian antibiotika 10-
14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
7. Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin.

9. Edukasi  Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari
 Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi

13. Indikator Medis  Gejala klinis sepsis tidak ada


 Kultur darah negatif
 80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu

14. Kepustakaan 1. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72.
3. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal
emergensi dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7.
4. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 163 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

PALSI SEREBRAL
1. Pengertian (Definisi) Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah
Sekelompok kelainan pergerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang terjadi karena
gangguan non progresif yang muncul pada masa perkembangan otak janin/bayi
2. Anamnesis Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta pertolongan pengobatan) :
Anak belum dapat berjalan;
Belum dapat duduk;
Terlambat bicara
Kaki gemetar
Gerakan kurang pada sisi badan
Mata juling.

Anamnesis saat kehamilan dan persalinan :


infeksi saat kehamilan (rubella, sifilis, tocoplasma, sitomegalovirus)
percobaan pengguguran
ibu dengan penyakit kronis,
Trauma
Toksemia
IUGR
ibu usia <17 tahun atau >35 tahun
perdarahan antepartum
trauma persalinan
asfiksia
berat lahir rendah, prematur
hipoglikemia
hiperbilirubinemia kern ikterus
syok
3. Pemeriksaan Fisik  Paralisis spastik (paraparesis, diplegia, kuadriparesis, hemiparesis, monoparesis);
 Atetosis;
 Koreoatetosis;
 Distonia/atonia;
 Tremor;
 Rigiditas;
 Ataksia;
 Kelainan bahasa;
 Hiperkinesis/hipokinesis.
 Disfungsi handung kemih;
 Drooling
 Malnutrisi
 Gangguan pendengaran
 Mata: gangguan visus, gerakan bola mata, strabismus, dan nistagmus
 Gangguan pola tidur
 Psikomotorik : gangguan tingkah laku dan lain-lainnya

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 164 | 146
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan aspek klinis dan anatomis, sindrom palsi serebral diklasifikasikan :
1. Abnormalitas motorik:
a. Tipe abnormalitas tonus (hipertoni atau hipotoni) atau tipe dari gerakan abnormal (ataxia,
distonia, choreoatetosis)
b. Keparahan keterbatasan fungsional
2. Gangguan penyerta (contoh: kejang, gangguan kgnitif, pendengaran, visual dan perilaku)
3. Anatomi dan temuan radiologi
a. Bagian tubuh yang terlibat contoh: diplegia, hemiplegia dan quadriplegia
b. Hasil pencitraan

Beberapa sindrom palsi serebral yang umum:


1. CP spastik diplegia
Kelumpuhan anggota gerak bilateral ekremitas bawah dengan derajat tertentu gangguan ekstremitas
atas, 80% kasus pada bayi prematur.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 165 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

PALSI SEREBRAL
2. CP spastik Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus
kortikospinalis unilateral. 30% kasus.
3. CP spastic kuadriplegi
Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang
bisa dijumpai gangguan visus maupun auditori.
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor,
balismus maupun mioklonus.
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama.
5. Diagnosis Diagnosis CP secara umum berdasarkan pada anamnesa dan gejala klinik.
Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi :
1. Tim Inti :
• Neuropediatri
• Dokter Gigi
• Psikolog
• Perawat
• Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
• Pekerja Sosial (pengunjung rumah)
2. T im Konsultasi :
• Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
• Dokter Bedah (Ortopedi)
• Dokter Mata
• Dokter THT
• Psikiater Anak
 Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)
6. Diagnosis Banding  Inherited metabolic disorder
 Metabolic myopathies
 Metabolic neuropathy
 Traumatic peripheral nerve lesion
 Vascular malformation of the spinal cord
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dan prognosisnya :
- Pemeriksaan TORCH
- Neuro imaging : CT scan/ MRI (63% abnormal)
- Test perkembangan : gangguan bicara (90%
kasus)
- Psikologik : test IQ (juga penting untuk terapi
dan rehabilitasi)
- Audiometri untuk mendeteksi ketulian
8. Terapi A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas :
1. Benzodiazepin :
• Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
• Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak lebih 10 mg/dosis)
2. Baclofen 0.2 mg/kg setiap 8 jam
3. Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi gerakan involunter)
5. I n j e k s i Botox :
• Usia < 2 tahun belum direkomendasikan
Dosis rekomendasi 0.5-2 U/kgBB

B. Terapi Perkembangan
Rehabilitasi Medik dengan terapi fisik dan okupasi
C. Terapi bedah
1. Dorsal rhizotomy
2. Tendon lengthening
D. Lain-lain :
1. Pendidikan khusus
2. Penyuluhan psikologis
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 164 | 146
3. Rekreasi

9. Edukasi a. Bila diagnosis CP tegak, dianjurkan untuk melakukan komunikasi dan transfer informasi yang baik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 165 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

PALSI SEREBRAL
kepada orang tua tentang kondisi dan prognosis penderita
b. CP tidak mempengaruhi fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan penderita dapat mempunyai
anak
10. Prognosis  Anak dengan CP akan mengalami retardasi mental 52%, gangguan bahasa dan bicara 38%, gangguan
pendengaran 12%dan epilepsi 34-94%.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis  Probabilitas mencapai usia 20 tahun mencapai 50% pada CP berat.
 Kemampuan untuk duduk diusia 2 tahun mempunyai adalah prediksi untuk kemampuan mandiri di masa
mendatang.
 Penderita CP yang memerlukan nasogastric tube selama tahun awal kehidupan mempunyai angka
mortalitas 5 kali lebih besar dibanding yang dengan oral feeding.

14. Kepustakaan 1. Ashwal, B. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: Report of the Quality
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child
Neurology Society. Neurology 2004;62:851-63.
2. Druschel C, Althuizes HC, Funk JF, Placzek R. Off label use of botulinum toxin in children under two years
of age: a systematic review. Toxins 2013;5:60-72.
3. Novak I, Hines M, Goldsmith S, Barclay R. Clinical prognostic messages from a systematic review on cerebral
palsy. Pediatrics 2012;130:1285-1312.
4. Gudiol MV, Calafat CB, Farres MG, Algra MH, Baxter KM, et al. Treadmill interventions with partial body
weight support in children under six years of age at risk of neuromotor delay: a report of a Cochrane
systematic review and meta analysis. Eur J Phys Rehabil Med 2013;49:67-91.
5. Jan MMS. Cerebral palsy: comprehensive review and update. Ann Saudi Med 2006;26:123-32.
6. Pakula AT, Braun KMV, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and epidemiology. Phys Med Rehabil Clin
N Am 2009;20:425-52.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 166 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEJANG DEMAM

1. Pengertian (Definisi) Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38 °C), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks
2. Anamnesis - Didapatkan riwayat panas disertai kejang
- Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik
Pemeriksaan neurologi dalam batas normal
4. Kriteria Diagnosis Kejang Demam Sederhana (KDS) :
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang Demam kompleks (KDK) :
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Diagnosis Kejang Demam
6. Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
2. X-ray kepala, CT-Scan kepala tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang fokal
atau hemiparese.
3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis.
4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
8. Terapi 1. Penanganan Pada Saat Kejang
• Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-
0,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian.
•Turunkan demam :
 Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO,
keduanya diberikan sehari 3-4 kali
 Kompres : suhu >39°C : air hangat; suhu > 38°C : air biasa
• Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.

2. Pencegahan Kejang
• Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS
dengan Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan
antipiretik pada saat anak menderita penyakit
yang disertai demam.
9. Edukasi 1. Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik
2. Memberikan cara penanganan kejang yang benar
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam
5. Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 167 | 146
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 168 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEJANG DEMAM

12. Tingkat Rekomendasi C


13. Indikator Medis - Hampir semua anak mempunyai prognosis yang baik
- Anak usia dibawah 12 bulan yang mengalami kejang demam mempunyai kemungkinan sebesar 50%
terjadi rekurensi .
- 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 hari
14. Kepustakaan 1. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizure: Guideline for the
neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics 2011;127:389-94.
2. Kundu GK, Rabin F, Nandi ER, Sheikh N, Akhter S. Etiology and risk factors of febrile seizure – an
update. Bangladesh J Child Helath 2010;34:103-12.
3. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizures: clinical practice
guidelines for the long-term management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics
2008;121:1281-6.
4. Berg AT, Shinnar S, Hausser WA, Leventhal JM. Predictors of recurrent febrile seizure: a metaanalytic
review. J Pediatr 1990;116:329-37
5. Shloma Shinnar. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology
principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 790-7.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 169 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

MENINGITIS BAKTERI
1. Pengertian (Definisi) Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus.
2. Anamnesis Neonatus
G ejala tidak khas
 Panas ±
Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
Pernafasan tidak teratur
Anak umur 2 bulan-2 tahun :
Gambaran klasik (-)
Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
 Kadang-kadang “high pitched cry”
Anak umur > 2 tahun :
Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
Kejang
Gangguan kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik Neonatus
 Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
Anak
 Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis: panas, muntah, kejang
2. Pemeriksaan fisik: tanda rangsang meningeal positif pada anak
3. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal dari lumbal pungsi
5. Diagnosis Meningitis
6. Diagnosis Banding 1. Meningismus
2. Abses otak
3. Tumor otak
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal :

Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT- Scan kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
Darah : LED, CRP, lekosit, hitung jenis, biakan
Air kemih : biakan
Cairan serebrospinal: biakan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 170 | 146
8. Terapi Farmakologis :
a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris :

Durasi terapi antibiotik:

Meningitis Bakteri
Tekanan Meningkat
Warna Keruh
Total White blood cell >1000
Polymorphonuclear cells +++
Mononuclear celss +
Protein Meningkat
Glucosa $$
Gram stain Positive

Pasien Antibiotik Dosis (iv)


Neonatus/ Ampicillin + 50-100 mg/kg tiap 6-8 jam
bayi<3bulan Cefotaxime/ 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Gentamicin 2,5 mg/kg tiap 8 jam
Neonatus Vancomycin + 15 mg/kg tiap 8-24 jam
prematur Ceftazidime 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Bayi usia > 3 Ceftriaxone / 100 mg/kg tiap 24 jam (max 4g)
bulan Cefotaxime 100 mg/kg tiap 8jam (max 12 g)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 171 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

MENINGITIS BAKTERI
Mikroorganisme Durasi terapi (hari)
Neisseria meningitides 7
Haemophilus influenza 7
Streptocccus pneumonia 10-14
Streptococus agalactiae 14-21
Basilus aerob gram negative 21
Listeria monocytogenes 21

b. Pengobatan simptomatis
• Menghentikan kejang :
Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian
dilanjutkan dengan :
Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
• Menurunkan panas :
Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO
diberikan 3-4 kali sehari
Kompres air hangat/biasa
 Menurunkan proses inflamasi :
 Deksamethason dosis 0.15 mg/kg iv tiap 6 jam selama 4 hari. Seharusnya dimulai sebelum
pemberian antibiotik yang pertama.
c. Pengobatan tambahan
 Cairan intravena

2. Perawatan :
Pada waktu kejang :
Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
Hisap lendir
Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
Bila penderita tidak sadar lama:
Beri makanan melalui sonde
Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan
Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
Cegah kekeringan kornea dengan salep antibiotic
Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
Pemantauan ketat :
Tekanan darah
Pernafasan
Nadi
Produksi air kemih
Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
Fisioterapi dan rehabilitasi.

9. Edukasi 1. Deteksi dini terhadap kecurigaan meningitis bakteri dan kecepatan pemberian antibiotik sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pemberian antibiotik empiris seharusnya berdasarkan epidemiologi local, usia dan factor resiko
3. Penjelasan terhadap resiko komplikasi berupa peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus, infark
ataupun subdural efusi yang bisa terjadi.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 172 | 146
10. Prognosis Faktor yang terkait dengan prognosis yang buruk
Etiologi:
 Streptococcus pnenumonia
 Bakteri enteric gram negative
 Titer bakteri yang tinggi
Pasien:
 Bayi baru lahir
 Status imunitas yang buruk

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 173 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

MENINGITIS BAKTERI
Derajat berat penyakit sewaktu MRS
 Penyakit derajat berat
 Adanya gejala neurologis fokal
 Koma
 Gangguan kardiovaskular
 Tidak adanya panas
Tipe manajemen
 Memerlukan perawatan intensif
 Terapi antibakteri yang tidak adekuat
 Tidak adanya terapi antiinflamasi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis  Imunoprofilaksis Vaksin H Influenzae type b efektif dan aman melindungi terhadap meningitis
 Metaanalysis pemberian antibiotik untuk terapi meningitis bakteri selama 4-7 hari dan 7-14 hari tidak
didapatkan perbedaan bermakna
 Pemberian deksamethason dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pendengarab pasca meningitis
bakteri
 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 minggu
14. Kepustakaan 1. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier
2012. Hal 1241-61.
2. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. Hal 433-48.
3. Prats JG, Gaspar AJ, Riberio AB, Paula GD, Boas LV et al. Systematic review of dexamethasone as
adjuvant therapy for bacterial meningitis in children. Rev Paul Pediatr 2012;30:586-93.
4. Huy NT, Thao NTH, Diep DTN, Kikuchi M, Zamora J et al. Cerebrospinal fluid lactate concentration to
distinguish bacterial from aseptic meningitis: a systemic review and metaanalysis. Crit care 2010;14:2-
15.
5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for the management
of bacterial meningitis. CID 2004;39:1267-83.
6. Beek D, Brouwer MC, Thwaites GE, Tunkel AR. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet
2012;380:1693-702.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 174 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

STATUS EPILEPTIKUS
1. Pengertian (Definisi) Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang tanpa
disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi dan
fase II mekanisme tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan non-
konvulsif status epileptikus.
2. Anamnesis Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
Tingkat kesadaran di antara kejang
Riwayat kejang sebelumnya,
Riwayat kejang dalam keluarga
Panas,
Trauma kepala
Riwayat persalinan,
Tumbuh kembang
Penyakit yang sedang diderita dan dahulu.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
• Peningkatan cerebral blood flow dan
metabolisme
• Hipertensi, hiperpireksia
• Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
• Depresi pernafasan
• Disritmia jantung, hipotensi
• Hipoglikemia, hiponatremia
• Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan
DIC
4. Kriteria Diagnosis Bisa memakai salah satu dari kriteria dibawah:
 Kejang berlangsung selama 30 menit atau lebih
 Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih
5. Diagnosis Status epileptikus
6. Diagnosis Banding 1. Reaksi konversi
2. Syncope
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah)
dianjurkan untuk evaluasi penyebab
2. CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 175 | 146
8. Terapi 1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit
pertama), yaitu ABC :
• Airway : Bebaskan jalan nafas
• Breathing : Pemberian pernafasan
buatan/bantuan nafas
• Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan.
2. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30
menit pertama) :
Rute intravena:
1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin
(Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB )
2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb
dilanjutkan maintenance
3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance

Rute intranasal:
Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB
Rute intramuscular:
Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB

3. Pemberian obat anti kejang lanjutan


4. Mencari penyebab status epileptikus
5. Penatalaksanaan penyakit dasar

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 176 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

STATUS EPILEPTIKUS
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi
dengan :
• Midazolam, atau
• Barbiturat (thiopental, phenobarbital,
pentobarbital)
9. Edukasi 1. Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif
maupun gangguan tingkah laku.
2. Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat,
farmakoresistensi dan mortalitas.
3. Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%.
10. Prognosis Tergantung pada :
• Penyakit dasar
• Kecepatan penanganan kejang
• Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis  Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan
menghasilkan mortalitas sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
 Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan penanganan
14. Kepustakaan 1. Sofou K, Kristjandottir R, Papachatzakis NE, Ahmadzadeh A, Uvebrant P. Management of prolonged
seizures and status epilepticus in childhood: a systematic review. J of Chikd Neurol 2009;24:918-26.
2. Meier H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, et al. EFNS guideline on the management of
stautus epilepticus. Eur J of Neurol 2006;13:445-50.
3. Brophy GM, Bell R, Allredge B, Bleck TP, Glausr T et al. Guidelines for the evaluation and
management of status epilepticus. Neurocrit care 2012;17:3-23.
4. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Seminars in neurology 2008;28:342-54.
5. Prasad K, Krishnan PR, Al Roomi K, Sequeira R. Anticonvulsant therapy for status epilepticus. Br J
Clin Pharmacol 2007;63:640-7.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 177 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi, dapat
1. Pengertian (Definisi) karena asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama. Sering
disertai dengan kekurangan zat gizi lain.

Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan-
sedang (gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang khas,
hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis didapatkan 3 bentuk
,yaitu : kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam penatalaksanaannya
hampir sama
- Kapan tubuh makin kurus
2. Anamnesis - Kapan timbul bengkak
- Kapan terjadi penurunan atau hilangnya nafsu makan
- Riwayat makan sebelum sakit
- Riwayat pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI
- Gejala dan tanda yang mengarah ke penyakit infeksi, misalnya diare,TB,campak,ISK, HIV
- Gejala yang mengarah ke penyakit kelainan anatomis, misalnya Hipertrofi Pyloric Stenosis,
Hierschsphrungs disease, malrotasi, post ileostomi, post colostomi, penakit jantung bawaan , dll
- Gejala yang mengarah pada penyakit keganasan
- Batuk kronik
- Kelainan kulit
- Kelainan mata
- Diuresis terakhir
- Latar belakang sosial anak
KEP ringan
3. Pemeriksaan Fisik Sering ditemukan gangguan pertumbuhan:
- Anak tampak kurus
- Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti
- Berat badan tidak bertambah, adakalanya berat badan bahkan turun
- Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal.
- Maturasi tulang terlambat
- Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/menurun
- Tebal lipatan kulit normal atau berkurang
- Anemia ringan
- Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat

KEP berat

Secara klinis terdapat 3 tipe, yaitu


- Kwashiorkor: Perubahan mental sampai apatis, anemia, rambut tipis kemerahan mudah dicabut / rontok,
gangguan sistem gastrointestinal, pembesaran hati, bercak merah kecoklatan di kulit dan mudah
terkelupas (crazy pavement dermtosis), atrofi otot, edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat
sampai seluruh tubuh

- Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng, kulit
kering, dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang, otot
atrofi hingga kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah lebih
rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya

- Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan.

- Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV
- KLINIS
4. Kriteria Diagnosis - ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva WHO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000)

Tabel 1. Klasifikasi KEP menurut WHO


Tanda KEP KEP sedang KEP berat
(gizi kurang) (gizi buruk)
Edema simetrik tidak Tidak/Ya
BB/TB <-2SD (70-90%) <-3SD severe wasting (<70%)
TB/U <-2SD (85-89%) <-3SD (severe stunting (<85%)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 178 | 146
Ditegakkan berdasarkan :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan Klinis
2. Antropometris
3. Pemeriksaan penunjang (termasuk untuk mencari penyakit yang menyertai/underlying disease)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 179 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

Adanya edem maupun asites pada kwashiorkor atau marasmik-kwasiorkor perlu dibedakan dengan :
6. Diagnosis Banding - Sindroma nefrotik
- Sirosis hepatis
- Gagal jantung kongestif
- Pellagra Infantil

1. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein
7. Pemeriksaan serum (albumin, globulin)
Penunjang 2. Tes mantoux
3. Radiologi (dada, AP dan Lateral )
4. EKG

KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti
8. Terapi pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat
No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 Mulai Pemberian
Makanan (F-75)

7 Pemberian Makan
utk Tumbuh kejar
(F-100)

8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe


9 Stimulasi
10 Tindak lanjut

Medikamentosa

- Atasi : hipoglikemi, hipotermi, dan dehidrasi


- Hipoglikemi
Semua anak dengan KEP berat berisiko mengalami hipoglikemi. Pada saat datang ke rumah sakit, anak
harus segera diberi glukosa atau sukrosa 10%, atau makanan. Pemberian makan yang sering penting
untuk mencegah hipoglikemi.
Hipoglikemi dan hipotermi biasanya terjadi bersamaan dan sering merupakan tanda infeksi. Bila
ditemukan hipotermi, harus dicek terhadap kemungkina hipoglikemi.
Dikatakan hipoglikemi bila kadar gula darah < 3mmol/L (<54 mg/dl). Bila gula darah tidak bisa diukur
harus dianggap setiap anak dengan KEP berat menderita hipoglikemi.
Terapi
- Sukrosa atau glukosa 10% sebanyak 50ml per oral atau melalui sonde lambung
- Bila anak tidak sadar, berikan glukosa 10% intravena dengan dosis 5cc/kg BB . Jika tidak tersedia, beri
larutan glukosa 10% dengan sonde lambung
- Hipotermia
Hipotermi dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada anak dengan KEP berat. Dikatakan hipotermi
bila temperatur aksila <35ºC atau tidak terbaca pada thermometer. Temperatur rectal <35,5ºC.
Terapi
- Berikan makan atau minum manis segera
- Pastikan tubuh anak tertutup pakaian, termasuk kepala, selimuti dan tempatkan pemanas atau lampu
didekat anak, atau tempatkan anak pada dada atau perut telanjang ibu, kemudian selimuti ibu dan anak.
- Dehidrasi
Sering terjadi overdiagnosis terhadap dehidrasi dan overestimasi penilaian derajat dehidrasi pada anak
dengan KEP berat. Hal ini disebabkan sulitnya menilai status dehidrasi secara akurat pada KEP berat
dengan hanya menggunakan tanda klinis. Anggap semua anak dengan diare cair mungkin mengalami
dehidrasi.
Terapi
- Tata laksana dehidrasi didasarkan derajat dehidrasi. Kebanyakan anak dengan dehidrasi dapat diatasi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 180 | 146
dengan cairan rehidrasi oral (CRO). Pada rehidrasi ringan sedang (WHO rencana B), sebanyak 70-

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 181 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 30-
60 menit, kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde
lambung. Bila dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO
belum selesai. Jangan menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok.
- Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5%
sebanyak 15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
- Evaluasi setelah 1 jam
- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan
 dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam
selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula F-75
 Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan cairan
rumat sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara perlahan
(dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi
 Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau
tanda gagal jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung berikan transfusi “packed red cell” untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Berikan furosemid 1mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
 Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan
distress napas setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara 4-6g/dl, jangan diulangi
pemberian darah.
a. Antibiotik
- Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari
sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari.
- Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM
sekali sehari selama 7 hari.
b. Vitamin-mineral
- Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI,
> 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang
pada hari ke 15 atau sebelum pulang
- Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu
- MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari
- Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu
- Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix
- Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi.
Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung
bawaan,dll

B. DIETETIK
- Oral atau enteral
 Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan
berat badan ideal (target berat badan)
 Gizi buruk: lihat tabel (sesuai fase)
- Diet bisa diberikan peroral atau enteral melalui pipa nasogastrik pada kasus gangguan absorbsi
dengan continuous feeding atau intermiten
- Jenis diet pada fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat
- Bila didapatkan diare kronik (persisten) diberikan formula/diet elemental, semi elemental tergantung
beratnya kerusakan mukosa usus yang dapat menimbulkan malabsorbsi karbohidrat (laktosa), protein
dan lemak
- Nutrisi parenteral (Intravena): hanya atas indikasi tepat.
Bisa diberikan secara parsial atau total tergantung toleransi pemberian enteral (absorbsi) dan derajat
beratnya diare kronik, untuk memenuhi total kalori yang diperlukan sesuai kebutuhan.
- Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan, yaitu: BB < 7 kg diberi
makanan bayi, BB Š 7 kg diberi makanan usia anak
- Makanan padat (solid) pada kasus diare kronik bisa dimulai dengan pemberian bubur BREDA (bubur
realimentasi daging ayam), modifikasi bubur rendah laktosa (soy based diet)
- Evaluasi : akseptabilitas, toleransi, reaksi simpang, kenaikan berat badan Š 50 g/kgBB/minggu

Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk
□tabilisasi (F75) Transisi (F75  F100) Rehabilitasi (F100)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 182 | 146
Energi 80-100 kkal/kgbb/hr 100-150 kkal/kgbb/hr 150-220/kgbb/hr

Protein 1-1.5 g/kgbb/hr 2-3 g/kgbb/hr 4-6 g/kgbb/hr

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 183 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

Cairan 100-130 ml/kgbb/hr bebas sesuai kebutuhan energi

Bila ada edema berat : 100


ml/kgbb/hr

Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula

Bahan makanan Per 1000 ml F 75 F100 F135


Formula WHO
Susu skim bubuk g 25 85 90
Gula pasir g 100 50 65
Minyak sayur g 30 60 75
Larutan elektrolit ml 20 20 27
Tambahan air s/d ml 1000 1000 1000
Nilai Gizi
Energi Kkal 750 1000 1350
Protein g 9 29 33
Laktosa g 13 42 48
Kalium mmol 36 59 63
Natrium mmol 6 19 22
Magnesium mmol 4,3 7,3 8
Seng mg 20 23 30
Tembaga (Cu) mg 2,5 2,5 3,4
% Energi Protein - 5 12 10
% Energi Lemak - 36 53 57
Osmolaritas mosm/l 413 419 508

- Cuci tangan sebelum menyiapkan makan


9. Edukasi - Gunakan bahan makanan yang baik dan aman
- Peralatan masak yang bersih dan cara memasak yang benar

10. Prognosis Gizi buruk tanpa penyakit berat


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

Gizi buruk dengan penyakit yang brat


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi

13Indikator Medis Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk:
14. Kepustakaan buku I,II. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003
2. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health
workers. Geneva: World Health Organization. 1999.
3. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009.
4. Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds.
Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 184 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

2003.p174-90
5. World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of
the Child with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the First-
Referral Level in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000
6. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas.IDAI 2011
7. Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in
infancyArchives of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73
8. Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease.
Pediatrics 1983;72;786
9. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea:
Comparison of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics, 1991;88:1010-
18.
10. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent
diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr.
Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 185 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SYOK ANAFILAKSIS
Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
1. Pengertian (Definisi)
Penyebab anaphylaksis pada anak
2. Anamnesis 1. Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Alergen imunoterapi.
3. Gigitan atau sengatan serangga.
4. Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID.
5. Latex.
6. Vaksin.
7. Exercise induce.
8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah
dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamin.
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen.
3. Pemeriksaan Fisik Gejala kardiovaskular : hipotensi/renjatan.
Gejala saluran nafas : sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/
laring, gejala asma.
Gejala kulit : pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema.
Gejala intestinal : kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare.
Gejala SSP : pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada

Keracunan
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu

8. Terapi 1. Life support: Airway, Breathing, Circulation.


2. Hentikan obat/bahan yang diduga sebagai penyebab.
3. Adrenalin (1:1000) 0,01ml/kg BB, berikan sc (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa
diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.
4. Infus RL/NaCl/ cairan koloid 10-20 ml/kg/10 menit bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan
perfusi jaringan.
5. Bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma: Aminofilin intravena atau β adrenergik
bronkodilator (albuterol, terbutalin) parenteral atau nebulizer.
6. Antihistamin:Diphenhidranin 1-2 mg/kg BB i.m. atau i.v. atau 5 mg/kg BB per oral. Chlortrimeton untuk
gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus.
7. Kortikosteroid: Hidrokortison 6 - 8 mg/kg BB/6-8 jam. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter,
urtikaria persisten, atau angioedema yang masih menetap setelah fase akut teratasi.
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi syok anafilaksis
9. Edukasi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
1. Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc
13. Indikator Medis (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 186 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SYOK ANAFILAKSIS

2. Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
Tanda-tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2
detik, akral hangat.
3. Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita
yang menunjukkan gejala seperti asma
4. Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin
(dalaw waktu 48 jam)
5. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang
masih menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam)
6. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari

1. Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 – 94.
14. Kepustakaan 2. Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis – Life threatening
allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm.
3. Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed.
Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 449–52.
4. Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm
5. Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 101–14.
6. Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347–
61.
7. Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am 1999; 19(3): 533 –53.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 187 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

BRONKIOLITIS

1. Pengertian (Definisi) Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil
(bronkiolus)
Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza,
adenovirus, rhinovirus dan mycoplasma.
2. Anamnesis Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam
atau hanya subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang
berat bisa didapatkan cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita.
Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
3. Pemeriksaan Fisik Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit.
Ekspiratory effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas
cuping hidung.
Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa
wheezing, sedang ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat suara
nafas nyaris tidak terdengar, wheezing bahkan dapat menghilang.
Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada AP dan lateral
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya
sesak pada bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)
2. Pada foto polosdada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengandiameteranteroposterior yangmelebarpada
fotolateral. Dapatpuladisertaibercakkonsolidasiyangtersebar.

6. Diagnosis Bronkiolitis
7. Diagnosis Banding 1. Asma bronkiale dalam serangan
2. Pneumonia
3. Aspirasi benda asing
4. Gagal jantung
5. Penyakit lain yang menyebabkan inflamasi pada saluran nafas misalnya cystic fibrosis
8. Terapi 1. Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah:
 Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat
 Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake peroral
 Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur
 Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya.
2. Oksigenasi, bila ada tanda gagal nafas dapat diberikan ventilasi mekanik
3. Pembersihan jalan nafas
4. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
5. Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit.
6. Obat-obatan:
 Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan infeksi bakteri atau disertai pneumonia
 Kortikosteroid sistemik: dexametason 0,5 mg/kg (loading) dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
 Nebulasi dapat dilakukan dengan 2-agonis (misalnya salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang
diencerkan dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier. Penggunaan epinefrine maupun
hypertonic saline belum dianjurkan secara rutin
 Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin
9. Edukasi 1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas akut yang masih ringan agar segera
diperiksakan ke dokter

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 188 | 146
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 189 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

BRONKIOLITIS

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis
2. Perbaikan analisa gas darah dan saturasi oksigen
14. Kepustakaan 1. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the
Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders,1990 : 360-70.
2. Goodman D. Bronchiolitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,2003 : 1415-7
3. Kleigman RM, Jenson HB, Stanton MF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia : WB
Saunders; 2009; 1456-59
4. Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New approaches to Respiratory Infection in Children. Ped Emerg
Med Clin of North Am 12002; 20: 93-110

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 205 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

PNEUMONIA

1. Pengertian Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
(Definisi) Terbanyak adalahvirus atau bakteri. Etiologi lainparasit danaspirasizattertentu
2. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak.
Dapat didahului denganinfeksi saluran nafas akut bagian atas.
Gejala umum: batuk, demam tinggi, nafas cepat dan sesak nafas.
Pada keadaan yang berat bisa didapatkan cyanosis
Pada anak yang besar bisa didapatkan nyeri dada.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala yang tidak khas seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang, sulit
minum, dan perut kembung
3. Pemeriksaan Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit.
Fisik Inspiratory effort ditandai dengan retraksi dinding dada, nafas cuping hidung
Gerakan dinding toraks dapat tertinggal pada daerah yang terkena infeksi, perkusi normal atau redup, auskultasi
paru dapat terdengar terdengar suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Tanda lainnya adalah demam tinggi, sianosis, dan dapat ditemukan tanda dehidrasi.
Pada infeksi oleh kuman atipik (mycoplasma, chlamydia) gejalanya tidak jelas maupun memberikan onset
akut seperti diatas. Panas seringkali tidak tinggi, batuk tidak produktif, tidak sesak, dan seringkali disertai sakit kepala
dan malaise.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Hitung Leukosit dan differerential count
4. Laju Endap Darah (LED)
5. C-Reactive Protein (CRP)
6. Kultur darah, sputum, swab oropharyngeal

5. Kriteria 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis 2. Pada foto polosdada terlihat infiltrat alveolar maupuninterstitial yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru.
Kelainan gambaran radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi oleh kuman
atipikal yang gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang dapat dijumpai
berupa konsolidasi pada satu atau beberapa segmen atau lobus paru, penebalan pleura pada pleuritis, atau
adanya komplikasi pneumonia berupa atelektasis, efusi pleura, abses paru, pneumothorak,
pneumomediastinum dan pneumatokel
3. Analisa Gas Darah menunjukkan keadaan asidosis respiratorik, hipoksemia, sedang PaCO2 dapat rendah,
normal atau meningkat tergantung kompensasi yang terjadi. Dalam keadaan lanjut bisa terjadi asidosis
metabolik, dan gagal nafas.
4. Peningkatan hitung leukosit dengan hitung jenis bergeser ke kiri pada infeksi bakterial
5. LED, CRP, dan procalcitonin meningkat pada infeksi bakterial
6. Pemeriksaan kultur darah dapat menunjang menentukan etiologi terutama pada kasus nasokomial. Sedang
kultur sputum dan swab oropharyngeal sering terkontaminasi flora normal
6. Diagnosis Pneumonia
7. Diagnosis 1. Infeksi saluran pernafasan bawah lainnya (Bronkiolitis, laringotrakeobronkitis)
Banding 2. Kelainan bawaan pada paru (cystic lung disease, bullae, hypoplasia, dan lain sebagainya)
3. Payah jantung
4. Sepsis
5. Pada bayi karena gejalanya yang tidak khas dapat menyerupai sepsis, meningitis dan ileus

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 206 | 146
8. Terapi 1. Untuk pneumonia ringan dapat diterapi secara rawat jalan dapat diberikan antibiotik peroral dengan amoksisilin
50-80 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis atau amoksisilin-asam klavulanat 50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis,
serta diberikan edukasi kepada orang tua
2. Untuk pneumonia berat dan sangat berat dianjurkan rawat inap dan diberikan terapi:
 Ampisilin 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 4 dosis atau ampisilin-sulbaktam 100 mg/kg/hari iv dalam 4 dosis untuk
Community acquired pneumonia
 Ceftriaxone 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 2 dosis atau antibiotik sesuai kultur untuk Hospital acquired
pneumonia
 Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil pemeriksaan laboratoris, foto thorak
dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari
 Oksigenasi, dapat diberikan secara nasal atau masker sesuai keadaan klinis. Bila ada tanda gagal nafas
diberikan bantuan ventilasi mekanik.
 Pemberian cairan dan kalori yang cukup
 Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
3. Untuk dugaan pneumonia atipik dapat diberikan eritromisin 50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau spiramisin 50
mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau klaritromisin 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10-14 hari.
4. Untuk dugaan Pneumonia Pneumocystic carinii dapat diberikan kotrimoksasol 20 mg/kg/hari dibagi 4 dosis.
5. Untuk keadaan khusus lainnya dapat diberikan Anti viral (Acyclovir, Gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto
Megalous Virus (CMV), Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada pneumonia karena
jamur, Imunoglobulin pada keadaan imunodefisiensi terutama imunitas humoral

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 207 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

PNEUMONIA

9. Edukasi 1. Pemberian imunisasi untuk mencegah pneumonia


2. Pengobatan secara dini bila didapatkan gejala infeksi saluran pernafasan
3. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
4. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
5. Untuk pneumonia ringan yang dirawat jalan harus dipastikan antibiotik dikonsumsi secara lengkap dan
kontrol secara teratur
6. Untuk pneumonia berat sebaiknya di rawat inap dan memerlukan jangka waktu tertentu sampai
pneumonianya dapat membaik
10. Prognosis Pneumonia ringan
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Pneumonia berat dan sangat berat
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis
2. Perbaikan radiologis
3. Perbaikan parameter laboratorium
14. Kepustakaan 1. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin
N Am 2003; 21 : 437-51.
2. Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM,
Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 1432-5.
3. Gaston B. Pneumonia. Pediatr Rev 2002 : 23 : 132-40
4. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin
N Am 2003; 21: 437-51
5. Sandora TJ, Harper MB. Pneumonia in hospitalized children.
Pediatr Clin N Am 2005; 52: 1059-81
6. Mc Intosh K. Community-acquired pneumonia in children. N
Eng J Med 2002; 346: 429-36
7. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired bacterial pneumonia.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children, Edisi ke-7. Philadelphia:
Saunders Elsevier, 2006; 441-52.
8. Apisamthanarak A, Mundy LM. Etiology of community-acquired pneumonia.
Clin Chest Med 2005; 26: 47-55
9. Crawford SE, Dawn RS. Bacterial pneumonia, lung abscess and empyema.
Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine,
Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008; 501-54
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 208 | 146
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 209 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma
leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta
trombositopenia Š 100.000
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan lokasi
pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas (handglove like
appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
- 7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai

3) Pemeriksaan Fisik
 Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
 Penderita tampak sakit sedang sampai berat, kadang disertai penurunan kesadaran
 Temperatur dapat sub febris normal atau sub normal
 Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes RL yang positif (>10 titik pada area
berdiameter 1 inchi), atau dijumpai gejala perdarahan spontsan, berupa petekiae, ekimosis,
perdarahan gusi, dan hypermenorhoea. Kadang dijumpai muntah darah dan berak darah
Pada penderita DHF grade 3 dan 4 apabila dilakukan tes RL umumnya negatif
 Adanya kebocoran plasma yang bisa ditunjukkan dengan efusi pleura dan atau asites; ditunjang
dengan hasil pemeriksaan tambahan
 Tanda vital
Nadi dapat normal pada DHF grade 1 dan grade 2, sedangkan untuk DHF grade 3 nadi dapat cepat
dan kecil, dan nadi tak teraba untuk DHF grade 1 dan grade 2.

Pada DHF grade 3 terjadi penyempitan tekanan nadi Š 20 atau terjadi penurunan systole dan
diastole
Pada DHF grade 4 tekanan darah tak terukur
Frekuensi nafas dapat normal, cepat dangkal maupun cepat dan dalam (pernapasan Kuzmaul)
 Hepatomegali

4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik


2. Gejala plasma leakage berupa peningkatan hematokrit Š 20 %, atau ditemukan adanya ascites dan efusi
pleura, sedangkan untuk DHF grade 3 dan DHF grade 4 berupa gangguan sirkulasi/syok
3. Gangguan hemostatik berupa trombositopenia Š 100.000 dan adanya tanda perdarahan mulai dari
perdarahan ringan sampai perdarahan masif yang mengancam nyawa.
4. Dapat ditunjang dengan hasil NS1 dan atau Ig M dan atau Ig G dengue positif

Diagnosis Demam Berdarah Dengue (ICD 10: A91)

6) Diagnosis Banding 1. Dengue fever


2. Trombositopenik purpura
3. Infeksi virus lain seprti morbili, rubella, chikungunya
4. Sepsis
5. ITP, leukemia, anemia aplastik
6. Syok karena sebab lain
7. Malaria, demam tifoid.
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (Š 100.000, dan peningkatan hematokrit Š 20 % ,
leukopenia, hasil hitung jenis menunjukkan limfopenia pada awal sakit dan netropenia pada akhir
perjalanan sakit
b. Photo / USG thorax didapatkan efusi pleura dextra
USG abdomen dijumpai adanya ascites
c. Pemeriksaan SGOT dan SGPT biasanya ada penignkatan walau tidak sampai 10 x harga normal,
dalam prosentasi kecil SGOT dan SGPT dapat meningkat > 10 x harga normal
d. Pemeriksaan Ig M dan Ig G Dengue
e. Elektrolit serum, gula darah acak, dan albumin
f. PPT dan APTT atas indikasi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 210 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

8) Terapi 1. Pemberian cairan intravena untuk mengatasi plasma leakage, prinsipnya


“ diberikan seminimal mungkin untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif”; “ disertai observasi ketat
dari waktu ke waktu sampai plasma leakage berhenti “
Pemberian infus cairan RLD5 pada DHF grade I dan II yang LFT normal/ atau RAD5 pada penderita DHF
grade I dan grade II yang SGOT dan SGPT nya > 10 x harga normal, dengan formula pemberian cairan
7-5-3
Pada penderita DHF grade 3 dan grade 4 syok diatasi secepat mungkin, kalau syok sudah teratasi
pemberian cairan mengikuti formula 7-5-3 (lampiran algoritme pemberian cairan penderita DHF)
2. Melakukan observasi ketat dari waktu ke waktu, meliputi
Keadaan umum, nafsu makan dan capillary refill time (CRT)
Tanda vital tekanan darah, nadi, frekuensi napas, temperatur
Produksi urine
Hematokrit
Laboratorium sesuai kebutuhan
Observasi ketat dilakukan sampai plasma leakage nya berhenti (peristiwa plasma leakage Š 2 x 24 jam)
Tanda klinis berhentinya plasma leakage adalah tanda vital yang stabil, disertai munculnya gejala mau
makan / minum serta mau bermain dari penderita
3. Lakukan deteksi sedini mungkin syok pada penderita dengue, sebab prolong syok memperburuk
prognosis
4. Pada penderita DHF yang tidak memberi respon dengan pemberian cairan seperti diatas, maka segera
cari kemungkinan dibawah, dan segera lakukan koreksi :
Plasma leakage
Perdarahan internal yang tersembunyi (“concealed internal bleeding”)
Hypoglycemia
Hyponatremia
Hypocalcemia
Asidosis
5. Pemberian transfusi darah diperlukan apabila terjadi perdarahan. Transfusi trombosit jarang diberikan
pada penderita DHF, kecuali apabila didapat Trombositopenia Š 50.000 yang disertai tanda perdarahan
aktif.
Pada perdarahan masif dapat diberikan transfusi wholeblood. Tranfusi FFP atas indikasi.
6. Oksigen dan obat penurun panas atas indikasi
7. Steroid biasanya diperlukan pada komplikasi jantung dan mata
8. Inotropik, vasopressor, dan hemodialisis hanya pada kondisi tertentu
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar

10) Prognosis DHF grade 1 dan grade 2


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
DHF grade 3
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
DHF grade 4
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam
2. Sudah tidak syok dalam 48 jam terakhir
3. Melewati hari kelima sakit
4. Nafsu makan membaik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 211 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

5. Hemodinamik stabil, produksi urine cukup


6. Tidak ada perdarahan
7. Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut
8. Trombosit lebih dari 50.000/mm 3 dan cenderung meningkat
9. Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus
10. Setelah 5 hari perawatan
14) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1.
Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO,
Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 212 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DEMAM TYPHOID

1. Pengertian (Definisi) Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi
2. Anamnesis  Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat.
Bisa disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus.
 Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan,
yaitu demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf
 Demam bersifat stepladder, pada hari Š ke 5 sakit biasanya demam terus menerus tinggi, diberi
antipiretik turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada
siang hari.
 Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung
 Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran
 Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang
biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau sudah
mendapat antibiotika
 Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu ke-
2 sakit didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas.
 Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir
minggu pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan
penderita bisa gaduh gelisah.
 Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2
sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus
dan peritonitis
3. Pemeriksaan Fisik  Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus
 Pada anak dapat dijumpai febris Š 5 hari, dengan kesadaran mulai komposmentis hingga
delirium atau penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali
dan splenomegali
 Gejala klinik lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi
4. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah tepi, demam typhoid klasik akan mendapat leukopenia dan relative
lymphositosis
2. Pemeriksaan serologi widal O dilakukan hari ke Š 5 sakit dengan titer 1/200. Widal terbaik dapat
dilakukan 2 kali dengan jarak 5-7 hari dan didapatkan peningkatan titer >4x.
3. Pemeriksaan serologi Ig M dengan metode Tubex (antibodi anti-Salmonella 09) dilakukan hari ke
Š 5 sakit dengan hasil Š + 4
4. Pemeriksaan kultur salmonella typhi dari specimen darah, dilakukan pada sebelum hari ke- 5
sakit dengan hasil positif. Biakan sumsum tulang dapat positif hingga minggu ke-4.
5. Atas indikasi tertentu dilakukan :
- Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, SGOT, SGPT, BUN dan serum kreatinin
- Pemeriksaan urine, atau kultur urine
- Pemeriksaan thorax photo
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan CT scan otak
5. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan :
- Gejala klinik
- Pemeriksaan darah tepi
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan kultur salmonella typhosa dari spesimen darah
6. Diagnosis Demam Tifoid (ICD10: A01.00)
7. Diagnosis Banding 1. Awal sakit adalah influenza, bronchitis, bronchopneumonia, gastroenteritis, infeksi virus dengue,
sepsis, UTI
2. Phase lanjut ( Š minggu ke 2) tuberculosis, malaria, sepsis, infeksi saluran kemih, otitits media
akuta, keganasan, UTI, hepatitis, shigellosis

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 213 | 146
8. Terapi 1. Kalau diperlukan diberi infus cairan sesuai dengan umur dan kebutuhan
2. Antibiotika
Penderita terapi ambulatoir dapat dipakai :
Chloramphenikol oral dengan dosis 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis sampai 2 minggu.
Monitor efek samping terutama dengan pemeriksaan retikulosit.
Amoxicillin oral dengan dosis 100 mg per kgBB sampai 2 minggu
Cefixime oral dengan dosis 10 – 15 mg per kgBB terbagi dalam 2 dosis selama 2 minggu
Pada penderita yang indikasi rawat inap, diberikan ceftriaxone 80 mg per kgBB per hari dibagi 2
kali, dengan lama pemberian selama 5 – 10 hari
Pada penderita yang disertai komplikasi pneumonia, otitis media akuta maupun infeksi saluran
kemih, ceftriaxone dengan dosis dan lama pemberian sama dengan diatas
Pada penderita yang resisten terhadap ceftriaxone, maka pemberian ciprofloxacine dengan
dosis 15 mg per kgBB dalam dosis terbagi selama 7 – 10 hari
3. Pada karier S. typhi (tetap ada dalam urin/feses selama lebih dari 6-12 bulan): amp[isilin
100/mg/kgBB/hari dibagi 4, selama 6-12 minggu ; atau kotrimoksasol 4-20 mg/kgBB/hari dibagi 2
selama 6-12 minggu

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 214 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DEMAM TYPHOID

4. Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai
komplikasi ensefalopati
5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan
6. Antipiretika sesuai kebutuhan
7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis
9. Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan
3) Prognosis penderita
4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral
5) Imunisasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 1. Bebeas demam 2x24 jam
2. Nafsu makan dan minum membaik
3. Perbaikan kondisi klinis penderita
4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik
5. Pemeriksaan darah lengkap
6. Setelah 7 hari perawatan
14. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS,McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27.Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.579-
84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter
JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004, h. 212-3
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 215 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )

1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran
plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul
rewel yg tak jelas penyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam
seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti
morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua
ekstremitas atas (handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan
atau gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting

3) Pemeriksaan Fisik
 Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
 Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat
tampil rewel sekali
 Temperature dapat febris, sub febris, normal atau sub normal
 Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede yang positif, atau
dijumpai gejala perdarahan spontan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan
hypermenorhoea
 Dapat dijumpai gejala saluran napas atas berupa pilek, batuk, pharyngitis ringan
 Pada hari sakit 1-3 dapat dijumpai flushing terutama pada muka
 Pada hari sakit 3-5 dapat dijumpai ruam morbiliform
 Dapat dijumpai adanya “convalescence rash” pada periode recovery
 Dapat dijumpai hepatomegali

4) Kriteria Diagnosis 1.Gejala dan tanda klinik sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik
2.Trombositopenia (<100.000/mm3). Sering disertai leukopenia (<4000/mm3)
3.Tanpa kebocoran plasma yang ditandai dengan tak didapatkannya peningkatan hematokrit, dan
atau tak dijumpai adanya ascites dan atau efusi pleura dextra.
4. NS1 antigen dengue + atau Ig M dengue +
Diagnosis Demam Dengue (ICD10: A90)
6) Diagnosis Banding 1. Undifferentiated fever
2. Dengue Hemorrhagic fever grade I dan grade II
3. Trombositopenik purpura, leukemia, anemia aplastik
4. Infeksi virus lain seperti campak, rubella, chikungunya
5. Demam tifoid, malaria
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (< 150.000, dapat > 100.000, tetapi ada
yang Š 50.000 dengan hematokrit normal
b. Pada hari sakit Š 3, periksa NS1 Antigen Dengue
Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
Pada hari sakit Š 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue
c. Photo / USG thorax menyingkirkan adanya efusi pleura
USG abdomen untuk menyingkirkan adanya ascites
d. ALT/AST dan gula darah acak jika diperlukan
8) Terapi 1. Kalau diperlukan diberikan infus cairan rumatan sesuai umur, dengan memenuhi kebutuhan
cairan sesuai formula Halliday Segar
2. Apabila trombosit <50.000 dan disertai tanda perdarahan aktif diberikan transfusi trombosit
3. Pada perdarahan massif dapat diberikan transfusi wholeblood
4. Parasetamol
5. Diazepam jika kejang (kejang demam)
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang
nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 216 | 146
11) Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 217 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )

12) Tingkat Rekomendasi A


13) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam
2. Melewati hari kelima sakit
3. Nafsu makan membaik
4. Hemodinamik stabil, produksi urine cukup
5. Tidak ada perdarahan
6. Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut
7. Trombosit lebih dari 50.000/mm 3 dan cenderung meningkat
8. Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus
14) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-
67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept
1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua.
WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak &
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari
HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 218 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DIPHTHERIA

1. Pengertian (Definisi) suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga
melibatkan C. Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis..
2. Anamnesis Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir
atas. Dapat terjadi epistaxis …… Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan ……..
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau. Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah
perineum dan anal.
Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri
Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita
3. Pemeriksaan Fisik Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri.
Difteri Hidung
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata
Difteri Tonsil-Faring
Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal menuju laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan
submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala
selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai
kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung
atau saraf. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain
seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri faring, gejala merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 219 | 146
4. Kriteria Diagnosis 1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan
klasikasi kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported.
Termasuk suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran.
Probable case bila suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut:
-kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed
-pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau petekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-insufisiensi renal akut
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6
minggu awitan sakit
-meninggal
Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tenggorok, ulkus kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina) atau Š 4X kenaikan serum antitoksin, tetapi hanya
bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 220 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DIPHTHERIA

2. Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita.
3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan
menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk
menentukan toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap difteri.
5. Diagnosis Difteria (ICD10: A36.9)
6. Diagnosis Banding Difteri Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita) .
Diteri faring :
Tonsilitis membranosa akuta oleh karena
streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Difteri Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus
Difteri konjungtiva :
Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain
7. Pemeriksaan a. Darah lengkap
Penunjang b. Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain…
c. Pengecatan gram
d. Urin lengkap
e. elektrokardiografi
f. bila perlu foto dada
g. Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak
8. Terapi 1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing
dengan selang waktu Š 24 jam. Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari
2. Tatalaksana medikamentosa
Tujuan mengobati penderita difteri adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteri
a. Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada
difteri sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva)
20.000 iu.
b. Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3).
Jika didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3)
c. Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS.
d. Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis.
9. Edukasi a. Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi
sesuai usia
b. Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat
c. Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus
d. Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan
pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah
neuritis seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 221 | 146
10. Prognosis Difteri berat :
Ad vitam : dubia ad malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 222 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

DIPHTHERIA

Ad sanationam : dubia ad malam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Difteri lain :
Pada umumnya dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis a. Bebas demam
b. Bisa makan dan minum
c. Membran menghilang
d. Hasil kultur hapusan tengorok dan hidung negatif
e. Komplikasi – jika ada- sudah membaik.
f. Setelah 14 hari perawatan
14. Kepustakaan a. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, et al, eds Red
book: 2006 Report of the committee on infectious diseases 27th ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2006: 277
b. Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in: Kliegman RM, Stenton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed Philadelphia: WB
Saunders, 2011; 929.
c. Christie AB, ed. Diphtheria. Infectious Diseases: Epidemiology and clinical practice. Edinburgh
London New York : Churchill Livingstone, 1987; 1183-209.
d. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Pedoman Penanggulangan KLB Diphteri di Jawa Timur. 2011.
e. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Diphtheria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison
GJ, Kaplan SL, eds. Feigin & Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases 6th ed 2009:1393-
1402
f. Guilfoile PG. Diphtheria. Dalam: Babcock H, Heyman D, eds. Deadly diseases and epidemics:
Diphtheria. New York, Chelsea House 2009
g. Halsey NA, Smith MHD. Diphtheria. Dalam: Warren KS, Mahmoud AAF, eds. Tropical and
Geographical Medicine. International Student Edition. New York : Mc Graw-Hill, 1990, 860-6.
h. Hodes HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979; 26 : 445.
i. McCloskey RV. Corynebacterium diphtheriae (Diphtheria). Dalam : Mandel GL, Douglas RG,
Bennett JE, eds. Principles and practice of Infectious Diseases. Churchill Living stone : John Wiley
& Sons inc. 1985; 1171-4.
j. Top FH, Wehrle PF,eds. Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The CV Mosby
Co. 1976 : 223-38.
k. Wharton M. Diphtheria. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugman’s Infectious Diseases
of Children. 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96.

Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 223 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

INFEKSI VIRUS DENGUE

1) Pengertian (Definisi) Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang
imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery.
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau
gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik  Penting menentukan hari sakit keberapa saat penderita datang
 Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel
sekali
 Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun
sekitar 37-38oC saat mau memasuki periode kritis.
 Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit
(“flushing”), atau berupa ruam seperti morbili
 Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala
perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea
 Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan
 Dapat dijumpai hepatomegaly
4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik
2. Leukopenia, mungkin disertai trombositopenia, SGOT (dan SGPT) meningkat
3. NS1 antigen dengue +
4. Ig M dengue +
Diagnosis 1. Diagnosis probable infeksi virus dengue berdasar adanya keluhan panas tinggi yang timbul mendadak
disertai 2 dari gejala yang lain (nyeri, flushing/ruam, tanda perdarahan RL tes +/perdarahan spontan) disertai
leukopenia, dan mungkin SGOT dan SGPT meningkat
2. Dalam perjalanan klinik setelah panas turun infeksi virus dengue akan menjadi :
- Undifferentiated fever yang tidak disertai trombositopenia dan plasma leakage, atau
- Dengue fever yang disertai trombositopenia tanpa plasma leakage atau
- Dengue haemorrhagic fever yang disertai trombositopenia dan plasma leakage atau
- Unusual clinical manifestation/expanded dengue syndrome, berupa infeksi virus dengue dengan keterlibatan
organ hepar (liver involvement), organ central nerve system (CNS involvement), organ jantung dan
keterlibatan organ lainnya atau adanya perdarahan yang massif
3. Untuk penderita infeksi virus dengue yang tak disertai trombositopenia dan plasma leakage, pemeriksaan
etiologi dengan memeriksa NS1 antigen dengue, Ig M dan Ig G dengue menjadi sangat perlu untuk diagnosis
infeksi virus dengue.
6) Diagnosis Banding 1. Infeksi virus Chikungunya
2. Demam typhoid awal
3. Exanthema subitum
4. Sepsis
5. Malaria
6. Morbili, rubella
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai leukopenia
b. SGOT biasanya sedikit meningkat sedangkan SGPT lebih jarang meningkat
c. Pada hari sakit Š 3, periksa NS1 Antigen Dengue
d. Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
e. Pada hari sakit Š 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 224 | 146
8) Terapi 1. Pada penderita yang datang pada periode febris, maka pengobatan yang diberikan :
 Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali
 Hindari asam salisilatdan ibuprofen
 Antibiotika tidak diperlukan
 Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya
 Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita
tidak mau minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula
Halliday Segar yang dikenal sebagai formula cairan rumatan)
Berat badan ( kg ) Vol cairan rumatan 24 jam

10 100 cc / Kg BB
10 – 20 1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg
 20 1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg
Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 225 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

INFEKSI VIRUS DENGUE

2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda
klinik sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat.
Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah :
 Nyeri abdomen
 Muntah persisten
 Perdarahan
 Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik
 Lethargi/restlessness
 Hepatomegali > 2 cm
 Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat
 Penderita tampak loyo, dan pada perabaan terasa dingin
3. Apabila ditetapkan rawat inap, maka pemberian cairan rumatan intravena diberikan, kemudian di follow up
apakah pada waktu panas mulai turun, penderita menjadi undifferentiated fever, dengue fever, dengue
haemorrhagic fever ataukah unusual clinical manifestation of dengue viral infection
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar.
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Indikator Medis Keadaan umum penderita
Tanda Vital
Setelah 5 hari perawatan
14) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1.
Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO,
Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 226 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SEPSIS (ICD 10: A41.9)

1) Pengertian (Definisi) Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat,
disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia,
hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab
2) Anamnesis a) Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup :
- Riwayat luka bakar luas
- Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
- Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
- Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway

b) Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang
disusul dengan hipotensi
c) Gelisah dan agitasi
d) Letargi
e) Muntah

3) Pemeriksaan Fisik Penurunan kesadaran, letargi, agitasi


a) Hipotermia atau Hipertermia
b) Takikardia
c) Hiperventilasi
d) Gangguan perfusi
e) Perut kembung
f) Timbulnya petekia dan purpura
g) Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Sepsis (ICD 10: A 41.9)
6) Diagnosis Banding a) Sindroma Syok Dengue
b) Intoksikasi
c) Sindrom Kawasaki
d) Leptospirosis
e) Tuberkulosis
f) Malaria
g) Kriptokokosis
h) Penyakit Lyme
i) Rocky Mountain Spotted Fever
j) Keganasan
7) Pemeriksaan Penunjang a) Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, Hitung dengan hapusan darah tepi
b) Urinalisis
c) Foto Rontgen toraks
d) SGOT &SGPT serta Bilirubin T/D/I
e) Procalcitonin
f) Biakan darah berulang
g) Biakan urin
h) Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
i) Biakan jamur pada darah dan urin
j) Ureum & Kreatinin
k) Gula darah sewaktu
l) PT & APTT
m) Elektroli serum

8) Terapi a) Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat diberikan:


 Ampisilin-Sulbactam (100-200 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 kali untuk Ampisilinnya) dan
Gentamisin (5-7 mg/kgBB/hari, sekali sehari)
 Sefotaksim 100mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis
 Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila didapatkan
kecurigaan bakteri anaerob.
 Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara definitif.

b) Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam-basa.


c) Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian oksigen dan
mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
d) Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
e) Terapi Oksigen
f) Terapi cairan intravena TPN

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 227 | 146
g) Anti jamur sistemik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 228 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

SEPSIS (ICD 10: A41.9)

h) Parasetamol
i) Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
j) Inhalasi
k) Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi
l) Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
9) Edukasi a) Tirah baring
b) Imunisasi
c) Perbaiki nutrisi
d) Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
e) Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10) Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi atau sudah membaik
5. Hasil kultur negative
6. Setelah 14 hari perawatan
14) Kepustakaan a) Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
b) Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
c) Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
d) Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis
Journ, 1992; 11: 739-49
Palu
Kepala KSM Anak

Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 229 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

TETANUS

1. Pengertian (Definisi) Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda
utama spasme tanpa gangguan kesadaran.
2. Anamnesis - Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar
cairan dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port d’entree
- Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada
BUMIL/WUS.
- Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia)
karena kekakuan otot masseter
- Anak atau bayi sadar
- Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan
- Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit
membuka mulut sampai terjadinya kejang
3. Pemeriksaan Fisik - Penderita sadar
- Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat
menetek, mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar.
- Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat
pasien ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau
kejang spontan
- Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak
spastik/boxing position)
- Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan
irama jantung sampai gangguan hemodinamika.
- Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya):
Derajat I (tetanus ringan)
 Trismus
 Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
 Tidak dijumpai disfagia atau kejang
 Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
 Trismus sedang
 Kekakuan umum makin jelas
 Dijumpai kejang rangsang tanpa kejang spontan

Derajat IIIa (tetanus berat)


 Trismus berat
 Otot sangat spastic, timbul kejang spontan
 Takipnea, takikardi
 Apneic spell
Derajat IIIb (Tetanus dengan gangguan saraf otonom)
 Gangguan otonom berat
 Hipertensi berat dan takikardi
 Hipotensi dan bradikarddi
 Hipertensi berat atau hipotensi berat
4. Pemeriksaan Penunjang Anamnesis dan gejala cukup khas sehingga sering tidak diperlukan pemeriksaan penunjang, kecuali
dalam keadaan meragukan untuk membuat diagnosis banding.
1. Pungsi Lumbal
2. Pemeriksaan darah rutin, preparat hapusan darah tepi atau biakan dan uji kepekaan
3. Foto thoraks
4. Elektrolit serum dan gula darah acak, atas indikasi
5. Kriteria Diagnosis 1. Sesuai dengan anamnesa
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Tetanus ( ICD 10: A35)
7. Diagnosis Banding 1. Trismus karena abses gigi/abses retrofaring/parafaring/peritonsiler
2. Sepsis neonatorum
3. Meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies
4. Keracunan striknin, epilepsy, efek simpang fenotiasin, tetani
5. Hipokalsemia
8. Terapi Terapi Dasar Tetanus
1. Pemberian antibiotik
 Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/kali i.m tiap 12 jam
 Metronidasol loading dose 15 mg/kgbb/dalam 1 jam selanjutnya 7,5 mg/kgbb/x tiap 6 jam
Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.
2. Imunisasi aktif-pasif
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 230 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

TETANUS

 Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv;
apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
 Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
3. Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
 Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
 Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan
syringe pump dengan dosis:
- Tetanus ringan : 0,8 cc/jam
- Tetanus sedang : 1,2 cc/jam
- Tetanus berat : 1,6 cc/jam
 Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/24 jam
- neonatus 120 mg/24 jam
 Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa kurarisasi
.
 Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus.
 Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan
saraf otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial perlu
dinaikkan secara titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya reflex
patella dan penurunan tekanan darah pada anak besar
4. Perawatan luka atau port d’entre
Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan
5. Terapi suportif
 Bebaskan jalan nafas
 Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
 Pemberian oksigen
 Perawatan dengan stimulasi minimal
 Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak
memperkuat kejang
 Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
 Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Pada tetanus ringan dan sedang


 Diberikan teraoi dasar tetanus
 Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)
 Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi parenteral
Pada tetanus berat
 Terapi dasar seperti diatas
 Perawatan dilakukan di ICU seperti intubasi dan ventilator
 Balans cairan dilakukan secara ketat
 Apabila spasme sangat hebat, berikan pankuronium bromide 0,02 mg/kg IV, diikuti 0,05 mg/kg/kali
tiap 2-3 jam
 Apabila terjadi aktifitas simpatis berlebihan, berikan ß blocker seperti propanolol/ãß blocker labetalol
9. Edukasi Pencegahan
1. Imunisasi aktif
a) Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu,
diberikan ulangan pada usia 18 bulan dan 5 tahun
b) Eliminasi tetanus neonatorum dengan memberikan imunisasi TT pada ibu hamil dan
wanita usia subur minimal 5x suntikan toksoid (untuk mencapai tingkat TT lifelong card)
2. Pencegahan pada luka
 Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
 Luka ringan dan bersih
- Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus immunoglobulin
- Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT
 Luka sedang/berat dan kotor
- Imunisasi (-)tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-500 U.
Tetanus toksoid pada sisi lain.
- Imunisasi (+), lamanya > 5 tahun: ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, atau tetanus
immunoglobulin 250-500 U

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 231 | 146
10. Prognosis Tetanus ringan dan sedang
Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 232 | 146
Panduan Praktik Klinis
KSM Anak RSUD UNDATA Palu
2019 – 2021

TETANUS

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam


Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
Tetanus berat dan tetanus neonatorum
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Indikator Medis Perbaikan klinis, termasuk penderita sudah tidak panas dan sudah bisa makan dan minum
Tidak tampak spasme ataupun trismus
Luka/port d’entrée dirawat dengan baik
DDESetelah 10 hari perawatan
Sekuele
- Spasme berkurang setelah 2-3 minggu namun kekakuan dapat berlangsung sampai 6-8 minggu
pada kasus yang berat
- Gangguan otonon dimulai beberpa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu
Tumbuh Kembang
- Bisa terjadi gangguan tumbuh kembang pada kasus tetanus neonatorum karena akibat hipoksia
yang berat
14. Kepustakaan 1. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatric
17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004 : 951.
2. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2 nd ed, 20
981.
3. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40.
4. Cristie AB, 1987. Tetanus dalam infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4th ed. Churc
living stone, Edenburgh, hal. 759-786.
5. Irwantono FJ, Ismoedijanto, M. Faried Kaspan, Dwi Atmadji Soejoso. Parwati SB, 1978. evaluasi klinik
tetanus neonatorum selama 7 tahun. KONIKA IV, Yogyakarta.
6. Ismoedijanto, Koeswardoyo, Dwi AS, S. Soegianto, IGN Gde Ranuh, 1981. Diazepam dosis tinggi pad
tetanus neonatorum. Naskah lebgkap diskusi kelompok tetanus neonatorum, KONIKA V, Medan.
7. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis
Childhood, 53 : 737-79.
8. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. C
pharm therap 4 : 36-61.
9. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, ha
16.
10. Rizal Altway 2006. Perbandingan kriteria derajat berat penyakit tetanus antara kriteraia Surabaya dan
kriteria Ablett. Karya Akhir.
11. Ismoedijanto, Nasiruddin, B Wahyu. 2004. High dose diazepan in treatment of severe tetanus. South
East Asia Journal of Tropical medicine and hygine.

Palu,
Kepala KSM BedahKepala KSM Anak

dr. dr. Suldiah Sp.A


Pembina Utama
NIP 196103171988032003

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 233 | 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA Palu 234 | 146

Anda mungkin juga menyukai