ALERGI MAKANAN
1. Pengertian (Definisi) Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun
spesifik yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan.
Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non
imunologik.
Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi
toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.
2. Anamnesis Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi
sesuai waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan
makanan, sedangkan gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari.
Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama.
Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi
3. Pemeriksaan Fisik Kulit
Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim
Mata
Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita
Saluran nafas atas
Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering
Saluran nafas bawah
Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan
Mulut
Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak
Saluran cerna bawah
Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan
dengan penurunan berat badan
Kardiovaskular
Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran
4. Pemeriksaan Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen
Penunjang hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan) dengan positive predictive value (PPV) > 95%.
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau
keadaan depresi imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu
alergen bahan makanan tertentu.
Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran
secara histologis.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Food challenge
6. Diagnosis 1. Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena
3. Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi
4. Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan
makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut.
Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar,
maka diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu
sebelum dilakukan provokasi.
7. Diagnosis Banding 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif
3. Reaksi karena gangguan psikologis
8. Terapi Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran)
Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai
pengganti.
Pengobatan
Kromolin, Nedokromil.
Glukokortikoid.
Beta adrenergic agonist
Metil Xantin
Simpatomimetika
Leukotrien antagonis
H1-Reseptor antagonis
Probotik
ALERGI MAKANAN
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ALERGI OBAT
1. Pengertian (Definisi) Suatu respon abnormal yang terkait secara imunologis terhadap suatu obat pada seorang individu yang telah
tersensitisasi.
2. Anamnesis Gambaran terperinci gejala reaksi obat
Lama dan urutan gejala
Terapi yang telah diberikan
Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
Kapan obat dihentikan?
Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama
Riwayat sebelumnya
Reaksi obat lainnya
Alergi lainnya
Penyakit lainnya
3. Pemeriksaan Fisik Gejala sistemik:
Anafilaksis, serum sickness, SLE like, scleroderma like, drug rash with eosinophilia systemic symptoms
(DRESS), nekrolisis epidermal toksik, sindroma steven johnson, mikroskopik polyangitis
Gejala spesifik pada organ:
Kulit: Urtikaria/angioedema, pemphigus, purpura, ruam makulopapular, dermatitis kontak, foto dermatitis, acute
generalized exanthematouspustulosis (AGEP), fixed drug eruption (FDE), eritema multiformis, fibrosis sistemik
nefrogenik
Paru: Asma, batuk, pnemoni interstitial, organizing pneumoni
Hati: hepatitis kolestatik, hepatitis hepatoseluler
Ginjal: nefritis interstitial, nefritis membraneous
Darah:Anemia hemolitik, trombositopenia, netropenia
Jantung: Valvular diseases
Muskuloskeletal/neurological: polymiositis. meningitis aseptik, myasthenia gravis
4. Pemeriksaan penunjang Uji in vivo
Uji kulit
Uji provokasi untuk diagnostik pasti
Uji in vitro.
IgG dan IgM spesifik
Uji aglutinasi dan lisis sel darah merah
Uji pelepasan histamin
Uji sensitisasi jaringan
IgE RAST
5. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan penunjang: in vivo dan in vitro
7. Diagnosis banding 1. Alergi makanan
2. Infeksi
8. Terapi Penghentian obat yang dicurigai
Pengobatan
Antihistamin
Adrenalin
Pengobatan suportif
Kortikosteroid
9. Edukasi 1. Penghentian obat
2. Memberitahu riwayat obat penyebab alergi pada tenaga kesehatan saat berobat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof.DR.Ariyanto harsono,dr,SpAK
2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3. Zahrah Hikmah,dr,SpAK
ALERGI OBAT
14. Indikator Medis Tingkat kekambuhan gejala alergi (kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 10 hari.
15. Kepustakaan 1. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin
Munasir, Nia Kurniati. Penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,2007.h 295-307.
2. Alergi obat.Dalam: Antonius H. Pudjiaadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris,
Ellen P. Gndaputra, Eva Devita Harmoniati. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia,2010.h 1-4
3. Mirakian R, et al. BSACI guidelines for management of drug allergy. J Clin Exp Allergy 2008,39,43-61
4. Dowling P.J, et al. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105: 1-78
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
RINITIS ALERGI
1. Pengertian (Definisi) Gangguan fungsi pernafasan akibat inflamasi pada saluran hidung diakibatkan paparan alergen yang
diperantarai IgE.
2. Anamnesis Keluhan pilek berulang atau menetap, rinorea, gatal hidung, bersin-bersin, sumbatan hidung, sering bernafas
melalui mulut pada penderita dengan riwayat keluarga atopi. Bila parah terdapat gangguan tidur, gangguan
sekolah.
3. Pemeriksaan Fisik Rhinorea, adenoid face, maloklusi gigi, allergic gape, allergic shiners, transverse nasal crease, edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan.
Sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
4. Pemeriksaan penunjang 1. Uji kulit goresan
2. IgE total, IgE spesifik,
3. Eosinofil hapusan mukosa hidung.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa: pilek berulang dengan riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik: seperti dijelaskan di atas
3. Pemeriksaan penunjang: Uji kulit, IgE total/spesifik, eosinofil pada hapusan mukosa hidung
7. Diagnosis banding 1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus
4. Abnormalitas anatomis kongenital terutama diketahui sejak lahir
5. Benda asing
8. Terapi Penghindaran alergen
Farmakoterapi
Antihistamin H1 (Oral, Intranasal, Intraokuler)
Kortikosteroid intranasal
Kromolin (Intranasal, Intraokuler)
Dekongestan (Intranasal, Oral)
Antikolinergik
Antilekotrien
Imunoterapi
9. Edukasi 1. Penghindaran Alergen
2. Pengobatan memerlukan waktu yang lama
3. Pendidikan penggunaan obat harus benar (kortikosteroid hirupan atau semprotan)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof.DR.Ariyanto Harsono,dr,SpAK
2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3. Zahrah Hikmah,dr,SpA
4. Azwin Mengindra Putera,dr,SpA
14. Indikator Medis Gejala semakin memberat atau tidak sehingga mempengaruhi kualitas hidup (sekolah, sosial). 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Asha’aari A Z A, et al. Comparison of Serum Specific IgE with Skin Prick Test in the Diagnosis of
Allergy in Malaysia. Med J Malaysia 2011:6(3):202-6
2. Bousquet J, et al. Allergic rhinitis management pocket reference 2008. Allergy 2008: 63: 990–996
3. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010;
51(1): 4-9
4. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
5. Lim M Y, Leong J L. Allergic rhinitis: evidence-based practice. Singapore Med J 2010; 51(7) : 542
6. Munasir Z, Rakun M.W. Rinitis Alergik. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati.
Penyunting.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 246-52.
7. Oliver P, Raapc U, Holza M, Hörmannb K, Klimeka L. Pathophysiology of itching and sneezing in
allergic rhinitis. Swiss Med Wkly 2009;139(3–4):35 – 40
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DERMATITIS ATOPI
1. Pengertian (Definisi) Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus
yang hebat.
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif
biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
2. Anamnesis 1. Berulangdenganpenyebab yang sama
2. Rasa gatal
3. Keluargadenganriwayatalergi
4. Disertaidengangejalaalergilainnya
3. PemeriksaanFisik Onset
Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
Macam-macam lesi
Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan
eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan
pola permukaan kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik).
Bentuk klinis
· Bentuk infantil
Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang
lebih muda.
· Bentuk anak
Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan,
kaki dan periorbita.
· Bentuk dewasa
Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.
4. Kriteria Diagnosis Untuk Bayi :
Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi:
Kriteria mayor :
1. Riwayat keluarga DA
2. Dermatitis dengan tanda gatal
3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
Kriteria minor :
1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
2. Perifollicular accentuation
3. Chronic scalp scaling
4. Periauricular fissures
Untuk Anak :
Kriteria Hanifin untuk anak :
Krireria mayor (harus punya 3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi typical
3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence
5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
Kriteria minor
1. Xerosis
2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
4. Hand/foot dermatitis
5. Cheilitis
6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada
kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.
5. Diagnosis DERMATITIS ATOPI
6. Diagnosis Banding 1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatophytosisataur dermatophytids
3. Sindrom defesiensi imun
4. Sindrom Wiskott-Aldrich
5. Sindrom Hyper-IgE
6. Penyakit Neoplastik
7. Langerhans' cell histiocytosis
8. Penyakit Hodgkin
9. Dermatitis Numularis
10. Skabies
Dermatitis Seborrheic
7. PemeriksaanPenunjang Diagnosis DA berdasarkanpadaklinis, pemeriksaanpenunjangtidakterlaludibutuhkan:
DERMATITIS ATOPI
1. IgEspesifik
2. Tesujikulit
8. Terapi Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa
perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi
faktor-faktor pencetus kekambuhan.
· Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air
pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi
selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)
karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi
memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah
mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-
in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
· Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa
menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang
berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus
diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik
dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian
diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan
terapi difokuskan pada hidrasi.
· Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal
pada DA bisa tak terkait dengan histamin.
· Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada
manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis
kontak.
· Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit.
Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten
penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah
terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan
menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
· Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat
juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan,
binatang dan debu rumah.
DA berat
Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.
Kortikosteroid sistemik.
Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus
diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
Thymopentin.
Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari
selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu.
Interferon-gamma.
Dosis yang digunakan antara 50 g-100 g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.
Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep
atau gel 5%.
Tacrolimus.
Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan
pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi
fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit.
Pimecrolimus
Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
Gammaglobulin
Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah
terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus.
Probiotik
Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2
bulan.
DERMATITIS ATOPI
3. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis 1. Prof. DR. dr. AriyantoHarsonoSpA(K)
2. DR. dr. AnangEndaryantoSpA(K)
3. dr. ZahrahHikmah
4. dr. Azwin M. Lubis
14. IndikatorMedis 1. Rasa gatal
2. Kulitkering
3. Ruam
4. Infeksisekunder
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Callard RE, Harper JI. The skin barrier, atopic dermatitis and allergy: a role for Langerhans cells?.Trends
Immunol. Jul 2007;28(7):294-8.
2. Haeck IM, Rouwen TJ, Timmer-de Mik L, et al. Topical corticosteroids in atopic dermatitis and the risk of
glaucoma and cataracts. J Am AcadDermatol. Feb 2011;64(2):275-81.
3. Huang JT, Abrams M, Tlougan B, Rademaker A, Paller AS. Treatment of Staphylococcus aureus
colonization in atopic dermatitis decreases disease severity. Pediatrics. May 2009;123(5):e808-14.
4. Irvine AD. Fleshing out filaggrin phenotypes. J Invest Dermatol. Mar 2007;127(3):504-7.
5. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of
Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777.
6. Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic
architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIPOGLIKEMIA
1. Pengertian (Definisi) Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia
2. Anamnesis - Apakah didapatkan gejala takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah ?
- Apakah didapatkan gejala pusing, gangguan penglihatan?
- Apakah didapatkan penurunan kesadaran, gangguan psikologis, perubahan tingkah laku?
3. Pemeriksaan Fisik Adrenergik: takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah
Neuropenik (penurunan penggunaan glukosa oleh otak): pusing, gangguan visual, somnolens. Gangguan
psikologis, perubahan tingkah laku
Kombinasi gejala di atas memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
4. Pemeriksaan - Darah : kadar
Penunjang hydroxybutirate, carnitine( free dan total) blood spot acyl carnitine, ammonia, lactate
- Urine : ketone, reducing substances, organic acids
5. Kriteria Diagnosis kadar glukosa plasma < 40 mg/dl
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain
7. Penyulit 1. Penurunan kesadaran
2. Kematian
8. Terapi Jika penderita sadar:
1. Berikan glukosa oral , misal jus jeruk, minum manis. Untuk berat 30 kg diperlukan 10 gram glukosa,
dan >30 kg diperlukan 15 gram glukosa.
2. Cek kadar glukosa 10-15menit dan ulang jika diperlukan. Pastikan kadar gula darah normal.
Jika penderita tidak sadar:
1. Pasang infuse dextrose (n0,5g/kg selama 5 menit) atau 2-3 ml/kg D10% atau 1ml/kg D25%)
2. Maintenans infuse dextrose
3. Recek kadar gula 10menit kemudian ( D12,5 kadar dextrose paling tinggi yang diberikan melalui
infuse perifer)
4. Berikan bolus dextrose jika perlu
Apabila akses iv sulit, maka glukosa dapat diberikan melalui nasogastric tube. Maintenans infuse pada
hipoglikemia bayi dapat dilakukan dengan GIR ( glucose infusion rate ) 6-8 mg/kg/menit.
Glukagon membantu dalam pemecahan glikogen. Pada kondisi cadangan glikogen masih cukup (mis.insulin
overdose) 1 mg glucagon im atau sc (0,5mg untuk neonates) dapat meningkatkan kadar gula darah. Glucagon
tidak akan meningkatkan kadar glukosa
9. Edukasi 1. Potensi kematian oleh karena hipoglikemia
2. Informed consent dari keluarga
10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA
b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP , dr, SpA(K)
HIPOGLIKEMIA
14. Indikator Medis 80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari
15. Kepustakaan 1. Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin
W, Tanz RR. Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78.
2. Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4.
Elsevier Mosby. Phiadelphia.hal 191-21.
3. Clarke W, Jones T, Rewers A, Dunger D, Klingensmith GJ. Assessment and Management of
Hypoglycemia In Children and Adolescent With Diabetes. Pediatric Diabetes 2009:10 (Suppl,12)134-
45.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) merujuk grup defisiensi enzim pada sintesis steroid di korteks adrenal.
3. Pemeriksaan Fisik - genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari pada
anak seusia ( pubertas prekoks perifer)
- tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemik
- Salt loosing crisis dapat terjadi pada usia dua minggu dengan gejala muntah, diare, dehidrasi,
hiperkalemia, dan hiponatremia.
- CAH laki-laki simple virilized sering datang pada usia 3-7 tahun, dengan pubertas awitan awal, advanced
bone age, dan prepubertal testis.
- Remaja dan dewasa wanita non klasik CAH sering datang dengan keluhan virilisasi, hirsutisme,
abnormal menstruasi, infertilitas, atau akne.
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis 1. Pertumbuhan dan perkembangan optimal sesuai usia, bone age sesuai usia, tidak terjadi krisis adrenal
15. Kepustakaan 1. Saroj Nimkarn, Karen Lin Su, Maria I New. Steroid 21 Hydroylase Deficiency Congenital Adrenal
Hyperplasia. Pediatr Clin N Am 58: 2011:1281-1300.
2. Maria I New, Lucia Ghizzoni, Karen Lin Su. An Update of Congenital Adrenal Hyperplasia. Fima Lifshift,
ed. 2007. New York.
3. Miller L Walter, Achermann JC, Fluck CE. The Adrenal Corteks and Its Disorders. Dalam : Pediatric
Endocrinology, Third Edition. Philadelphia. 444-512.
4. Pediatric Endocrinology. Dalam: Styne DM, ed. Guide To Pediatric Endocrine Emergencies. Lippincolt
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004. 295-7.
5. Raine JE. Adrenal Disorders. Dalam Practical Endocrinology and Diabetes In Children. 2nd ed. 137-42.
2006.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai
dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau
keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan
-pankreas yang didasari proses autoimun
4. Pemeriksaan 1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).*
Penunjang Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir.
atau
2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).**
Puasa dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam.
atau
3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa.
Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau
1,75 g/kg berat badan sampai dengan maksimum 75 g.
4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
8. Terapi Medikamentosa
- Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
- Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia
dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin
harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama
sekali.
- Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan
dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin
menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut
:
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan
sembuh dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005.
4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and
Monitoring Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29.
5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus
Guidelines for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands:
ISPAD, 2000.
6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
No 32. Surabaya: Oktober 2002; 11-22.
7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan
pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. February 13, 2002.
8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP
IDAI, 2000.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
1. Pengertian (Definisi) Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormon.
4. Pemeriksaan 1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan
Penunjang kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
7. Diagnosis Banding KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia,
uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia,
ensefalitis, dan lesi intrakranial.
8. Terapi Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan: 1) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), 2)
Menghentikan ketogenesis (insulin), 3) Koreksi gangguan elektrolit, 4) Mencegah komplikasi, 5) Mengenali dan
menghilangkan faktor pencetus.
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)
15. Kepustakaan 1. Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013].
Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing.
2. R A R Treasure, P B S Fowler H T Millington, Wise PH. Misdiagnosis of diabetic ketoacidosis as
hyperventilation syndrome. British Medical Journal. 1987;294:630.
3. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children
and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
4. Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53.
5. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis.
Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36.
6. Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications –
diabetic ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National Evidence-
Based Clinical Care Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra:
Australian Paediatric Endocrine Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35.
7. Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of
North America. 2005;52(6):1611-35.
8. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis.
QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80.
9. lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in
Birmingham, UK, 2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal
of Diabetes & Vascular Disease. 2009;9(6):278-82.
11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51.
12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and
Management. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78.
13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl
1:S62-7.
14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80.
15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33.
16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak
RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished]
17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1
pada Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30.
18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27.
19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of
hyperglycemic emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60.
20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of
intensive care. 2011;1(1):1-12.
21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents.
Archives of Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94.
22. Association AD. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care.
2002;25(Supplement 1):S100-8.
23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of
cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71.
24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al.
Accuracy of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples
During Metabolic Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1
Diabetic Patients. Diabetes care. 2003;26:1137-41.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIPOTIROID KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis
hipotalamus-hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan
respon jaringan terhadap hormon tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone
tiroid sejak dalam kandungan.
2. Anamnesis - Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi,
hipotermia, konstipasi dan perkembangan yang terlambat.
- Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat
pengobatan selama hamil
3. Pemeriksaan Fisik - At Birth : postmaturity, makrosomia, large head, open posterior fontanella, maturasi tulang terlambat
- During early infancy : prolongen physiological jaundice, poor feeding, lethargy, somnolence, hypothermia,
constipasi, makroglossia, hoarse cry, umbilical hernia, dry, mottled skin, goitre
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis Perkembangan membaik. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari
15. Kepustakaan 1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric
Endocrinology. Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82.
HIPOTIROID KONGENITAL
2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.
3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology –
The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90.
4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York :
Marcel Dekker, 1996 : 369-81.
5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: Serum elektrolit, kadar gula darah, 17-OH Progesteron, LH, FSH, DHEA, rasio
Testoteron/DHT, estradiol
2. USG/CT-scan/MRI
3. Karyotiping
4. Genitografi
5. Laparoskopi/Biopsi gonad
6. Pemeriksaan Psikologi/Psikiatri
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain
8. Terapi Penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal,
koreksi secara pembedahan, dan psikologis
14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)
15. Kepustakaan 1. Madhusmita M, Lee MM. Intersex Disorder. Dalam: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinologi. New
York: Elsevier Mosby, 2005; 103-122.
2. Witchel SF, Lee PA. Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA:
Saunders, 2002; 111-33.
3. Hyun Grace, TF Kolon. Apractical approach to intersex in the newborn period. Pediatr Ur Clin of
Nort Am 2004; 31 (3): 435-43.
4. Conte FA, Grumbach MM. Abnormalities of Sexual Determination & Differentiation. Dalam:
Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill, 2001; 511-46.
5. Zemel S, Slover RH. Disorders of Sexual Differentiation. Dalam: McDermot MT, ed. Endocrine
Secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc, 2002; 325-33.
6. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus Statement on Management of Intersex
Disorders. Pediatrics 2006; 118:e488-500.
7. Ono M, Harley VR. Disorders of sex development: new genes, new concepts. Nature Review
Endocrinology 2013; 9:79-91
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
TURNER SYNDROME
1. Pengertian (Definisi) Kelainan genetik yang disebabkan delesi sebagian atau semua bagian dari seks kromosom X
3. PemeriksaanFisik - Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah perawakan pendek dan pubertas terlambat (90%),
gejala lain dapat dilihat pada gambar :
- Manifestasi klinis lain dapa tjuga dijumpai lymphedema, anomaly jantung, anomaly ginjal, proses
autoimun : hipo/hipertiroid, rheumatic
5. Kriteria Diagnosis Manifestasi klinis (fenotip) dan ditunjang pemeriksaan karyo typing
6. Diagnosis pemeriksaan karyo typing 45,X ; 46,X,i(Xq) ; 46,X,r(X) ; 46,XXq2 ; 46,XXp2 ; 47,XXX ; 46,X,t(X;15)
TURNER SYNDROME
10. Prognosis 1. Gejala fisik: tidak berbahaya
2. Kematian biasanya karena kelainan jantung
3. Sebagian besar infertile
14. IndikatorMedis FT4, TSH, BUN, kreatinin. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.
15. Kepustakaan 1. Nelly E Kirk, Fechner PY, Rosenfeld RG. Turner Syndrome. Dalam Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol2.
FimaLifshift,ed. New York. 2007: 305-19.
2. Saenger P. Turner Syndrome. Chapter 15. Dalam : Pediatric Endocrinology, Third Edition. Philadelphia.
2008.610-52.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
GRAVES DISEASE
1. Pengertian (Definisi) Kelainan imunogenetik yang memiliki karakteristik klinis yaitu tiromegali, hipertiroidism dan oph thalmopati
infiltrative
2. Anamnesis Sulit tidur, mudah lelah saat aktivitas, cemas, dada berdebar, peningkatan nafsu makan, kehilangan berat
badan, tidak tahan udara panas,peningkatan frekuensi buang air besar. Riwayat keluarga (+) pada 60% kasus
3. PemeriksaanFisik Struma difus, takikardi, wide pulse pressure, proptosis, tremor, keringatberlebih, kelemahanototproksimal
4. PemeriksaanPenunjang FT 4 , TSH, antibody tiroid (terutamaTSH receptor antibodies / TRAbs), ambil anyodium radioaktif
7. Diagnosis Banding Adenoma tiroid, , Toxic multinodular goiter, sindroma McCune – Albright, tumor pituitari
8. Terapi ObatAntitiroid
Yodiumradioaktif
Indikasi : pasien Graves relaps dengan pengobatan anti tiroid jangka lama
: pasien dengan penyakit tiro kardiak berat
: pasien dengan multi nodulartoksik
: pasien yang hipersensitif terhadap obatan titiroid
Pembedahan
Indikasi : struma yang sangat besar dan resisten terhadap radio aktif
: ibu hamil dengan struma nodular yang alergi obatan titiroid
: pasien yang alergi obatan titiroid dan tidak ingin diterapi dengan Yodium radioaktif
GRAVES DISEASE
14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. 6th edition. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009;250-82.
3. Dallas J, Foley T. Hyperthyroidism. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric Endocrinology 5th edition
Volume 2Growth, Adrenal, Sexual, Thyroid, Calcium, and Fluid Balance Disorders. New York: Informa
Healthcare USA, Inc. 2007; 415-42.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HASHIMOTO’S TYROIDITIS
1. Pengertian (Definisi) Penyaki tautoimun yang spesifik menyerang kelenjar tiroid
2. Anamnesis Usia > 6 tahun, pembesaran kelenjar tiroid, rasa tekanan di leher / kesulitan menelan, anak pendek dan gemuk
(disbanding teman sebaya), tidak tahan dingin, konstipasi, prestasi sekolah terganggu.
Thyroid anti peroxidase antibodies (TPOAbs), Thyrotropin receptor-blocking antibodies (TRBAbs), FT 4 , TSH,
USG, skintigrafi, biopsy jarum halus bila antibody anti tiroid negatif
4. Pemeriksaan
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis TPOAbs (+) atauTRBAbs (+).FT 4
10. Prognosis Prognosis baik bila terapi ade kuat. Konsekuensi paling berat adalah retardasi pertumbuhan
14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. Edisi 6. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009; 250-82.
3. Fisher D, grueters A. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. Dalam: Sperling M, penyunting.
Pediatric endocrinology, 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Inc. 2008; 227-53.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
7. Diagnosis Banding Perawakan pendek familial, constitutional delay of growth and puberty, hipotiroid
14. Indikator Medis Pertumbuhan, IGF 1. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.
15. Kepustakaan - Rosen bloom AL, Connor EL. Hypopituitarism and Other Disorders of the Growth Hormone – Insulin Like
Growth Factor 1 Axis. In Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol 2. Hal 65-90.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DIARE BERKEPANJANGAN
1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare berkepanjangan adalah diare akut yang berlangsung lebih dari 7 hari
infeksi
2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Adanya pemyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak gelisah /
iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun
Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang
Resusitasi cairan dan elektrolit bila ada gangguan sesuai derajat dehidrasi
Identifikasi Penyebab diare
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas
6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Penatalaksanaan sesuai penyebab
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
Pengelolaan diit yang rasional
DIARE BERKEPANJANGAN
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 14 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang
15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah
dalam tinja
Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh
(somnolen, koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral.
2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Adanya penyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak
gelisah / iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun
Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang
8. Terapi Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl
0.9%) yang dibagi sebagai berikut
Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya
jam berikutnya
Dapat diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat.
Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam
(anak).
Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6
bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa)
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 7 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang
15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DIARE KRONIK
1. Pengertian (Definisi) Diare Kronik adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam dengan atau tanpa disertai darah yang
berlangsun
2. Anamnesis - Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah
(adanya darah, bilious).
- Panas
- Kembung
- Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan
gangguan kesadaran
- Adanya pemyakit penyerta lain
- Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
- Intake
- Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
DIARE KRONIK
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
15. Kepustakaan 1. WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
2. UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
3. UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
4. Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders,
Philadelphia, Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Refluks gastroesofagus (RGE) adalah aliran balik isi lambung (berupa air liur, makanan/minumam, cairan
lambung, cairan pankreas, cairan empedu) ke dalam esofagus tanpa adanya usaha.
- Fisiologis : regurgitasi setelah minum/makan dengan waktu yang singkat, tidak ada keluhan lainnya.
- Patologis : regurgitasi berulang dengan waktu yang lebih lama, terjadi siang/malam, tidak bergantung
minum/makan, dapat disertai keluhan radang esofagus.
14. Indikator Medis Tatalaksana dengan H2 antagonis atau PPI membaik dalam 2 minggu
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
1. Pengertian (Definisi) Penyakit Hirschprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di dalam pleksus
mienterikus dan submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen yang pendek yang
hanya mengenai daerah sfingter anal sampai daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil.
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
15. Kepustakaan 1. Imseis, E. And C.E. Gariepy (2004). Hirschprung’s disease. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker.,
Goulet., Kleinman.et al.Ontario, BC Decker Inc.1 : 1031-1043
2. O;Neill.(2004).”Hirscphrung’s Disease”, 2006, from www.APSA Resources for parents Hirschprung’s Disease
Pt_1.htm.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut sampai dengan anus.
Darah dapat terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat
dengan pemeriksaan laboratorium.
2. Anamnesis • Konfirmasi darah yang keluar benar- benar keluar dari traktus digestivus
• Jumlah darah yang keluar dan karakteristiknya
• Anak tampak sakit akut atau kronis
• Apakah perdarahan masih berlangsung
• Riwayat pemberian obat (antikoagulan, aspirin,dll)
• Riwayat penyakit terdahulu (epitaksis, penyakit hati, perdarahan)
• Riwayat muntah hebat kemudian disusul muntah darah
4. Pemeriksaan Penunjang • Apt test untuk membedakan darah bayi dan darah ibu
• Foto polos abdomen
• Esofagogastrodudodenoskopi
• Sigmoidoskopi dan kolonoskopi
• Biopsi
• Meckel scan
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
9. Edukasi 1. Terapi
periksa kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu
kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal
misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual, gejala lain
dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
2. Tumbuh kembang
penimbangan berat badan setiap bulan
perubahan tingkah laku
daya konsentrasi dan kemampuan belajar anak usia sekolah, konsultasi ahli psikologi
aktivitas motorik
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
THALASSEMIA
1. Pengertian (Definisi) Suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh
kekurangan sintesis rantai polipeptida yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.
2. Anamnesis pucat
gangguan nafsu makan
gangguan tumbuh kembang
perut membesar
3. Pemeriksaan Fisik anemia
bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
dapat ditemukan ikterus
gangguan pertumbuhan
splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
darah tepi
Hb rendah dapat mencapai 2-3 g%
gambaran morfologi eritrosit mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan
makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan
sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
Retikulosit meningkat
pemeriksaan khusus
HbF meningkat: 20-90% Hb total
Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar HbF.
pemeriksaan pedigree: kedua orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan HbA 2
meningkat (>3,5% dari Hb total).
pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala: gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak
lurus pada korteks
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas
5. Diagnosis THALASSEMIA
6. Diagnosis Banding anemia defisiensi besi
anemia karena infeksi menahun
anemia pada keracunan timah hitam (Pb)
anemia sideroblastik
7. Pemeriksaan hapusan darah tepi
Penunjang pemeriksaan khusus
Elektroforesis Hb
pemeriksaan pedigree
pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang
8. Terapi 1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian iron chelating agent: diberikan setelah kadar feritin serum sudah
transferin lebih 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kgBB/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal
selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
Deferiprone, dosis 50-75 mg/kgBB/hari, 3x/hari peroral, setiap hari.
Deferasirox, dosis 20-30 mg/kgBB/hari, 1x/hari peroral, setiap hari.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelat besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi.
Folic acid 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
2. BEDAH
Splenektomi dengan indikasi: Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan
kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (Packed Red Cell/PRC) melebihi 250 ml/kgBB
dalam satu tahun.
3. SUPORTIF
Transfusi darah:
Diberikan pada Hb «8 g/dL sampai kadar Hb 10-11 g/dL. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi
sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan
dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC 10 ml/kgBB/hari.
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
tumbuh kembang, kardiologi, gizi, endokrinologi, radiologi, gigi
9. Edukasi 1. Terapi
Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi
besi meningkat dan transfusi darah berulang.
Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat.
Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernafas. Bila hal ini
terjadi kelasi besi dihentikan.
THALASSEMIA
2. Tumbuh kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, sehingga diperlukan perhatian dan
pemantauan tumbuh kembang penderita.
3. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar
(gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Kadar hemoglobin dipertahankan rata-rata 9,5 g/dL
15. Kepustakaan 1. Brozovic M, Henthorn J. Investigation of abnormal hemoglobins and thalassemia. In; Dacie JV, Lewis
SM, eds. Practical Hematology. 8th ed. Churchill Livingstone Edinburgh, 1995: 249.
2. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the Clinical Management of
Thalassemia. Thalassemia International Federation, April 2000.
3. Eleftheriou A. Clinical Management of Thalassemia. In: Compliance to Iron Chelation Therapy with
Desferrosamine. Thalassemia International Federation 2000: 14-6.
4. Miller DR, Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and Childhood. 5th ed. St.
Louis; Mosby Co, 1997: 619.
5. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000:
979.
6. Wahidiyat I, Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia. Naskah lengkap Kongres Nasional Ilmu
Kesehatan Anak (KONIKA) Jakarta, 1999: 293-6.
7. Talasemia. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 299-302.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
15. Kepustakaan 1. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In: Clinical Hematology 3rd ed. Thieme, Stuttgart.
1986: 243-8.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Transfusi trombosit pada umumnya tidak diberikan berhubung adanya zat anti terhadap trombosit
Splenektomi kadang-kadang dilakukan pada PTI akut dengan dugaan perdarahan otak. Dilakukan bersama
dengan transfusi trombosit dalam jumlah besar.
9. Edukasi Pemantauan tanda-tanda perdarahan
Pencegahan dan penanganan infeksi
10. Prognosis PTI AKUT
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
PTI KRONIS
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis PTI akut sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi lebih dari 6 bulan akan menjadi kronis dan
dihubungkan dengan kelainan imunitas.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HEMOFILIA
1. Pengertian Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
(Definisi) Ada 3 jenis hemofilia:
Hemofilia A: defek faktor VIII
Hemofilia B: defek faktor IX
(prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1)
Hemofilia C: defek faktor XI (jarang)
Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX:
Ringan: 5-25% (5-25 U/dL)
Sedang: 1-5% (1-5 U/dL)
Berat: <1% (<1 U/dL)
2. Anamnesis riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat
lahir, perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur
nyeri/bengkak pada sendi
riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama
3. Pemeriksaan Fisik Ada perdarahan yang dapat berupa:
hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas)
sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi
kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu
perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
APTT memanjang
PPT normal
Serum Prothrombin Time pendek
kadar fibrinogen normal
Retraksi bekuan baik
kadar Faktor VIII/IX
5. Diagnosis HEMOFILIA
6. Diagnosis Banding Von Willebrand’s disease
Defisiensi Vitamin K
7. Pemeriksaan APTT
Penunjang PPT
Serum Prothrombin Time
Kadar fibrinogen
Retraksi bekuan
kadar Faktor VIII/IX
8. Terapi Hemofilia A
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian
diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk
mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FVIII
Hemofilia B
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga
mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi
hemolitik.
Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FIX
Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor
Indikasi FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari)
Epistaksis 10-15 20-30 1-2
Perdarahan oral 10-15 20-30 1-2
mukosa
Hemarthrosis 15-25 30-50 1-2
Hematoma 15-25 30-50 1-2
Hematuria persisten 15-25 30-50 1-2
Perdarahan GI 15-25 30-50 1-2 hari
setelah perdarahan stop
Perdarahan 15-25 30-50 min.3 hari
HEMOFILIA
retroperitoneal
Trauma tanpa 20-25 40-50 2-3
perdarahan
Perdarahan lidah/ 20-25 40-50 3-4
retrofaring
Trauma dengan 50 100 10-14
perdarahan,bedah
Perdarahan 50 100 10-14
intrakranial
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ANEMIA APLASTIK
1. Pengertian Suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.
(Definisi)
ANEMIA APLASTIK
14. Indikator Medis Klinis membaik dan didapatkan parameter hematologi: granulosit >500/mm3, trombosit >20.000/mm3, retikulosit
<1.0%
15. Kepustakaan 1. Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. N Eng. J. Med 1997, 336: 1365-72.
2. Young NS. Bone Marrow Aplasia: The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education
Programme of The 26th Congress of The International Society of Hematology, Singapore: ISH, 1996.
3. Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia. Dalam: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ
dkk. Penyunting. Hematology: Basic Principles and Practice, edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone,
1995: 299-325.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIPERLEUKOSITOSIS
1. Pengertian (Definisi) Jumlah leukosit darah tepi yang melebihi 100.000/mm3
2. Anamnesis Tidak didapatkan keluhan yang khas dan spesifik.
3. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan metabolik yang mendasari.
4. Kriteria Diagnosis Jumlah leukosit darah tepi melebihi 100.000/mm3
5. Diagnosis HIPERLEUKOSITOSIS
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Pemeriksaan darah tepi
Penunjang Pemeriksaan serum elektrolit (natrium, kalium, kalsium, fosfat)
Pemeriksaan asam urat
8. Terapi Hiperhidrasi
Dektrosa 5% dalam NaCl 0,45%: 2-3 liter/m2/hari
Alkalinisasi urin
a. Tambahkan NaHCO 3 40 meq/liter
b. Untuk mempertahankan pH urin 7,0-8,0
c. Stop NaHCO 3 jika bikarbonat serum »30 mEq/L dan/atau pH urin>8,0
Pengobatan hiperurisemia
Allopurinol 300 mg/m2/hari atau 10 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 3 dosis (maksimum 800 mg/hari)
atau 200 mg/m2/hari iv (maksimum 600 mg/hari)
Diuresis
a. Target produksi urin 100 ml/m2/jam dan berat jenis urin <1.010
b. Dapat diberikan Furosemid 0,5-1 mg/kgBB/kali atau Mannitol 25% 0,5 g/kgBB selama 5-10
menit jika pasien mengalami oligouria, dapat diulang setiap 6 jam bila perlu
Tunda transfusi suspensi darah merah (PRC) karena dapat meningkatkan viskositas darah, terutama jika
lekosit > 300.0000/mm3
Monitor
a. elektrolit : Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin
b. darah lengkap
c. urin output, pH, berat jenis urin setiap 6 jam
d. tanda-tanda vital: respirasi, jantung dan susunan saraf pusat terutama bila terdapat
hiperkalemia atau hipokalsemia
9. Edukasi Kemungkinan terjadi komplikasi : sindroma lisis tumor, lekostasis, perdarahan, trombosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
HIPERLEUKOSITOSIS
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
15. Kepustakaan 1. Patte C. Non Hodgkin’s Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting. Paediatric
Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 278-95.
2. Oberlin O, Mc Dowell HP. Hodgkin’s Disease. . Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting.
Paediatric Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 296-319.
3. Hudson MM, Donaldson SS. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting. Principles and Practice of
Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002: 661-705.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
TUMOR WILMS
1. Pengertian Tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau
(Definisi) embrioma renal.
15. Kepustakaan 1. Breslow N, Olsham A, Beckwith JB, Green DM. Epidemiology of Wilms’ Tumor. MPO, 1993; 21: 172-
81.
2. De Camargo B, Weitzman S. Nephroblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barret A, penyunting.
Cancer in children: clinical management. Edisi ke 4. New York: Oxford; 1998: 259-73.
3. Lanzkowsky P. Wilms’ tumor. Dalam: Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke 2. New
York: Churchill Livingstone; 1995: 437-51.
4. Madden SL, Cook DM, Morris JF, Gashler A, Sukhatme VP, Rauscher FJ. Transcriptional repression
mediated by the WT1 Wilms’ tumor gene product. Science, 1991; 253: 1550-3.
TUMOR WILMS
5. Schwartz CE, Haber DE, Stanton VP, Strong LC, Skolnick MH, Housman DE. Familial predisposition
to Wilms’ tumor does not segregate with the WT1 gene. Genomics, 1991; 10: 927-30.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
T scan, MRI
kintigrafi
7. Kolangiografi intraoperatif untuk kasus kolestasis ekstrahepatik
8. Biopsi hati
7. Terapi A.Terapi operasi Kasai Porto-Hepatic-Enterostomy untuk kolestasis ekstrahepatik
B. Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya
C. Terapi suportif
1. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
2. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang
(Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil
3. Vitamin yang larut dalam lemak
- A 5000-25.000 IU
- D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
- E 25-200 IU/kk/hari
- K1 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu
4. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
5. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor
contohnya kolestipol, simvastatin
6. Pruritus:
- Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
- Rifampisin 10 mg/kg/hari
- Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari
10. Prognosis Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K)
Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K)
14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify
laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2010;50(5):526-30.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep
2010;12(1):30-9.
3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci
associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60.
4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis.
Orphanet J Rare Dis 2009;4:1.
5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver
disease after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HEPATITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Hepatitis adalah suatu keadaan inflamasi dan atau nekrosis hati.Hepatitis A merupakan penyebab terbanyak
hepatitis virus tetapi tidak menimbulkan kronisitas. Hepatitis B dan C karena bisa menjadi kronis akan
dibicarakan dalam bab tersendiri. Penyebab non virus kurang sering dijumpai tetapi perlu dipikirkan sebagai
diagnosis banding.
2. Anamnesis Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hari - minggu
timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan
riwayat kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik.
HEPATITIS AKUT
3. Rapti IN, Hadziyannis SJ. Treatment of special populations with chronic hepatitis B infection. Expert Rev
Gastroenterol Hepatol 2011;5(3):323-39.
4. Selimoglu MA, Ertekin V, Karabiber H, Turgut A, Gursan N. Treatment results of chronic hepatitis B in
children: a retrospective study. Turk J Pediatr 2010;52(4):360-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ASCITES
1. Pengertian (Definisi) Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati
kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.
2. Patogenesis Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya:
Peningkatan tekanan hidrostatik:
Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), obstruksi vena cava inferior, perikarditis
konstriktif, penyakit jantung kongestif
Penurunantekananosmotikkoloid:
Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein-
lossing enteropathy
Peningkatanpermeabilitaskapiler peritoneal:
Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium
Kebocoran cairan di cavum peritoneal:
Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites
Micellanous:
Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic hemodialysis
3. Gejala Klinis Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut:
Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti
Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang
minimal
Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak
tegang
Tingkatan 4 : asites permagna
4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik:
Distensi abdomen
Bulging flanks
Timpani pada puncak asites
Fluid wave
Shifting dulness
Puddle sign
5. Pemeriksaan Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)
Penunjang Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial
dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar
pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih.
Gambaran ini disebut “dog’s ear” atau "Mickey Mouse" appearance. Caecum dan colon ascenden
tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan
gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.
Ultrasonografi
Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.
Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.
CT scan
Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah
sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior
(kantung Morison), dan kantung Douglas.
Parasentesis abdomen
Analisiscairanasitesdilakukanpada onset awalasites,
tindakantersebutmemerlukanrawatinapuntukobservasi.
Analisiscairanasites
1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan
infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.
5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.
6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.
7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial.
8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan
SAAG (perbedaan kadar albumin serum – kadar albumin asites)berhubungan langsung dengan tekanan portal:
bila lebih besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites); SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan
hipertensi portal (exudative ascites).
6. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
Komplikasi (apabilaterjadi)
7. Diagnosis Ascites
8. Diagnosis Banding
Tipe asites sesuai dengan SAAG
ASCITES
Tinggi ( > or = 1.1 g/dl) Rendah ( < 1.1 g/dl)
Tumor peritonium
Sirosis
Asites pankreas
Hepatitis alkohol
Asites bilier
Gagal jantung
TBC peritonium
Gagal hati fulminan
Sindrom nefrotik
Trombosis vena porta
Obstruksi usus
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Gagal hati fulminan adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh nekrosis sel hati yang luas, diikuti
kegagalan fungsi hati secara mendadak, yang ditandai dengan ensefalopati yang timbul dalam waktu kurang
dari 8 minggu setelah gejala pertama penyakit hati.
2. Patofisiologi Berdasar interval waktu antara timbulnya ikterus dan ensefalopati, gagal hati dibagi menjadi 3 kategori : hiper
akut, akut, dan sub akut.
KlasifikasiGagalHatiAkut
Interval
Edema
jaundice- Penyebab
Otak Prognosis
Ensefalopati
Virus A,B
Hiper-akut <7 hari Sering Sedang
Acetaminophen
Akut 8-28 hari Sering Jelek Non-A/B/C;obat
Sub-akut 29 hari - 12 mg Sering Jelek Non-A/B/C;obat
-
3. PemeriksaanFisik Gejala klinis sangat bervariasi, merupakan gabungan antara gejala kelainan hati dan ensefalopati, mulai yang
ringan sampai koma. Pada bayi perjalanan penyakit progresif dan bayi meninggal sebelum ikterus tampak.
Gejala hepatitis : lemah, panas, anoreksia, muntah, nyeri perut, ikterus, kencing keruh, tinja akolis.
Gejala neurologi : gangguan tingkah laku, pusing, sakit kepala, perubahan irama tidur, gangguan koordinasi
dengan flapping tremor, refleks tendon yang meningkat, dan refleks Babinsky positif, hingga fase akhir terjadi
hipotoni dan refleks-refleks menghilang.
Agitasi Inkordinasi
Iritabel Tidakbisamenul
is
2 Lethargy Disorientasi Asteriksis Gelombang
waktu Disarthria tigafase
Respons Hilang Ataksia (5 Hz)
lambat hambatan Refleks
Kelakuan tak hipoaktif
terkontrol
3 Somnolence Disorientasitem Asteriksis Gelombang
pat Kekakuan otot tigafase
Confusion Agresif Tanda (5 Hz)
Babinsky
Refleks
hiperaktif
4 Koma Tidakada Deserebrasi Aktifitasgelo
mbang
Delta/
lambat
4. PemeriksaanPenunjan Pemeriksaanlaboratorium
g a. Serum transaminase : meningkat 70 – 100 kali
b. Bilirubin direk dan total : bilirubin > 4 mg/dl menunjukkan prognosis buruk
c. Alkali fosfatase : normal atau meningkat
d. Faal hemostasis : memanjang
e. Albumin serum :faseawal normal danmenurunpadafaselanjut. Kadar albumin rendahmenunjukkan
prognosis buruk
f. Hipoglikemia, khususnyapadabayi
Pemeriksaaanpenunjang lain
a. EEG
b. USG hati (Doppler)
c. CT scan atau MRI abdomen.
d. CT scan kepala
e. Biopsihati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
3. Komplikasi (apabilaterjadi)
6. Diagnosis Gagal Hati Fulminan
7. Terapi Tujuan pengobatan adalah mempertahankan fungsi otak, ginjal, pernafasan sampai terjadi regenerasi hati serta
mencegah terjadi komplikasi, dengan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan, meliputi :
a. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberiancairanintravena.
Mempertahankan kadar Natrium dan Kalium darah.
b. Diet
Tinggi kalori, tinggi karbohidrat dan cukup lemak. Protein 0,5-1 g/kgBB/hari.
c. Pengobatanterhadapperdarahan
Timbulnyaperdarahanmerupakanakibatdefisiensifaktor-faktorpembekuan, DIC, dantrombositopenia.
Vitamin K
Plasma segarbeku
Faktor pembekuan diberikan bila waktu protrombin memanjang lebih dari 10 detik
Antasiddanantagonisreseptor H 2 20 mg/kgBB/hari
Bilaterjadiperdarahandiberikandarahsegar
d. Pengobatanterhadapensefalopati
Neomisin 25 mg/kgBBtiap 8 jam
Laktulose enema 150cc dalam 500cc air 4 kali sehari
Laktulose oral 1 ml/kgBB 4 kali sehari
e. Pemberiansedatifharusdicegah
Bilakejangdiberi flumazenil (benzodiazepine-receptor antagonist)
Tidak boleh diberikan diazepam karena dapat menekan pusat pernapasan
f. Antibiotik
Jika diduga infeksi, sesuai hasil kultur.
g. Edema serebri
Kortikosteroitmasihkontroversi
Manitol 0.5-1 g/kgBB iv bilatekananintrakraniallebihdari 30 mmHg, dosispemeliharaan 0.25-0.5
g/kgBB iv 4 kali sehari.
h. Gangguanginjal
Peritoneal dialisisatauhemodialisisbilaterjadigagalginjal
i. Gangguanpernafasan
Intubasiendotrakhealdanventilasimekanikbilaterjadigagalnafas
AsidosisdiberiNatriumBicarbonatkarenadapatmemperbaikikesadarandanmeningkatkanalirandara
hdanoksigenkeotak
j. Usaha untukmenunjangfungsihati
Tranfusitukar (exchange transfusion)
Dialisis peritoneal padapenyakitWilsonuntukmembuangtembagadenganmenambah D-
penicillaminekedalamdialysate
Plasmapheresis pada gagal hati fulminan yang menunggu transplantasi
Charcoal haemoperfusion denganinfus prostacyclin
Transplantasihati
8. Pemantauan Tekanan darah, nadi, suhu tubuh, produksi urine dan jika memungkinkan dengan tekanan vena sentral.
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan fungsi hati, serum elektrolit, albumin, analisa gas
darah dan urine lengkap
9. Edukasi
10. Prognosis Mortalitas pada anak-anak sebesar 80-90% disebabkan edema serebri, sepsis, dan kerusakan multi organ.
Angka keberhasilan hidup adalah sebesar 10-20%. Dipengaruhi oleh derajat koma, macam pengobatan, umur
penderita, dan tergantung pada kemampuan regenerasi hati serta komplikasi yang terjadi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis Dr.Sjamsul Arief, MARS SpA(K)
Dr.Bagus Setyoboedi, SpA(K)
14. IndikatorMedis Penderita akan dirawat selama 14 hari
15. Kepustakaan a. Narkewicz MR, Olio DD, Karpen SJ, et al: Pattern of diagnostic evaluation for the causes of pediatric
acuteliver failure: an opportunity for quality improvement. J Pediatr 2009; 155:801-806.
b. Suchy FJ,Fulminant Hepatic Failure. In: Kliegman RM, Behrman RE, Stanton BF, editors. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:4999-5008.
c. Bravo LC, Gregorio GV, Shafi F, Bock HL, Boudville I, Liu Y, et al. Etiology, Icidence And Outcomes of
Acute Hepatic Failure in 0-18 Year Old Filipino Children. SoutheaSt aSian J trop Med public health
2012;43(3):764-72.
d. Ranganathan SS, Sathiadas MG, Sumanasena S, Fernandopulle M, Lamabadusuriya SP,
Fernandopulle BMR. Fulminant Hepatic Failure and Paracetamol Overuse with Therapeutic Intent in
Febrile Children Indian J Pediatr 2006;73(10):871-5.
e. ÖZTÜRK Y S, SOYLU ÖB, KARADEM S, ASTARCIO LU H, ARSLAN N, et al. Fulminant
hepatic failure and serum phosphorus levels in children from the western part of Turkey. Turk J
Gastroenterol 2010;21(3):270-4.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIPERTENSI PORTAL
1. Pengertian (Definisi) Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal diatas 10-12 mmHg yang menetap,
dimana tekanan dalam keadaan normal berkisar 4 – 8 mmHg.
Hipertensi portal juga didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang terjadi karena peningkatan
tekanan vena portal yang kronis. Merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada
anak dengan penyakit hati.
3. PemeriksaanFisik - Pengukuranberatbadan
- Kesadaran
- Tanda vital
- Hematemesis
- Melena
- Ensefalopati akibat fungsi hati yang buruk
- Asites
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Pelebaran vena dinding perut dan caput medusa
- Ikterus
4. PemeriksaanPenunjang - Laboratorium:darah lengkap, tes fungsi hati, faal hemostasis, albumin, serologi hepatitis, defisiensi
alfa-1 antitripsin
- Radiologi: foto polos abdomen, USG Doppler, CT scan, MRI, CT-angiografi
- Endoskopi
- Biopsi hati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Intrahepatikatauekstrahepatik
3. Komplikasi
6 Diagnosis Hipertensi portal
7. Diagnosis Banding Ekstrahepatik:
- Obstruksi vena porta: trombosis vena porta
- Peningkatan aliran porta: arteriovenousfistula
Intrahepatik:
- Penyakit hepatoseluler: hepatitis virus (akuit/kronis), sirosis, fibrosis hepar kongenital,
1 - antitripsin, penyakit glycogen storage tipe IV, hepatotoksisitas
(methotrexate, nutrisi parenteral)
- Penyakit traktus bilier: atresia bilier ekstrahepatik, cystic fibrosis, kista duktus koledokus,
kolangitis sklerosis, gangguan saluran empedu intrahepatik
- Hipertensi portal idiopatik
Obstruksi postsinusoidal: sindrom Budd-Chiari, penyakit veno-occlusive (trombosis dan
malformasi kongenital segmen toraks vena cava inferior, perikarditis konstriktif, gangguan
katup trikuspid, miokardiopati kongestif berat)
8. Terapi Terapi perdarahan varises esofagus:
• Resusitasi cairan (cairan kristaloid maupun darah)
• Koreksi koagulopati: vitamin K, transfusi trombosit dan Fresh Frozen Plasma
• Pasang sonde lambung: monitor perdarahan
• Reseptor H 2 bloker (ranitidin)
• Medikamentosa:
- Octreotide / Somatostatin: 1 mcg/KgBB/jam sampai 12 jam setelah perdarahan berhenti
- Vasopressin: 0,33 U/KgBB selama 20 menit dan dilanjutkan dengan dosis yang sama tiap
jam
• Skleroterapi endoskopik
Terapi preventif perdarahanvarises esofagus:
• -blocker: propanolol 0,5 mg/KgBB/12 jam
• Skleroterapi preventif
• Ligasi Varises endoskopik (jarang)
• Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
• Splenektomi
• Devaskularisasi
• Transplantasi hati
9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Komplikasi
3 Nutrisi
10. Prognosis Dengantatalaksanaadekwat, 5YSR 80%
11. Tingkat Evidens IV
HIPERTENSI PORTAL
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Massa padahati, dapat bersifat jinak maupun ganas (kanker), dan bisa primer atau merupakan metastase dari
organ lain.
2. Anamnesis Masa abdomen yang besar, atau pembesaran perut
Nyeri perut kanan
Nafsu makan menurun, penurunan berat badan
Muntah
Ikterus
Panas
Gatal-gatal pada kulit
Anemia
Nyeri punggung akibat penekanan tumor
Dapat juga terjadi krisis akut abdominal disertai pecahnya tumor dan hemoperitonium (biasanya pada
karsinoma hepatoseluler)
3. PemeriksaanFisik Pengukuranberatbadan
Kesadaran
Tanda vital
Status lokalis : ukuran,konsistensi,tepidanpermukaanhati
4. PemeriksaanPenunjan Laboratorium: darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati dan ginjal, serologi hepatitis B dan C, -
g fetoprotein / AFP (juga untuk monitoring terapi)
Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi
Radiologi: Foto polos dada, USG / USG Doppler, CT-scan / MRI
5. Kriteria Diagnosis • Selain menentukan diagnosa tumor hati perlu juga dilakukan penentuan stadium dari tumor tersebut
terutama pada tipe ganas
• Metode penentuan stadium tumor hati pada anak, salah satunya sebagai berikut:
- Stadium I : tumor dapat diangkat lengkap dengan pembedahan
- Stadium II : tumor dapat diangkat dengan pembedahan tapi masihmeninggalkan sedikit sisa
- Stadium III : tumor tidak dapat diangkat secara lengkap dengan pembedahan dan didapatkan
penyebaran pada kelenjar getah bening disekitarnya
- Stadium IV : tumor telah menyebar ke organ tubuh lain
- Kambuhan : tumor muncul lagi setelah pengobatan baik dihati maupun organ lain
6. Diagnosis Tumor hati
7. Diagnosis Banding • Abses hati
• Neuroblastoma
• Tumor Wilm’s
• Kolestasis/sirosis hati
8. Terapi • Penatalaksanaan tumor hati pada anak bergantung pada jenis dan stadium tumor, serta usia dan kondisi
fisik penderita.
• Pada tumor jinak biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat tumor tanpa disertai pengobatan yang
lainnya.
• Pada tumor ganas diperlukan kerjasama dengan dokter bedah anak dan ahli onkologi anak. Pengobatan
biasanya merupakan kombinasi antara :
- Pembedahan
- Kemoterapi
- Radioterapi
- Transplantasi hati
• Pengobatan berdasarkan jenis dan stadium tumor:
- Hepatoblastoma stadium I dan II :
Pengangkatan tumor dan diikuti kemoterapi 4 seri menggunakan cisplatin, vincristine, dan fluorouracil.
- Karsinoma hepatoseluler stadium I dan II
Pengangkatan tumor diikuti kemoterapi cisplatin dan atau doxorubicin
- Hepatoblastoma stadium III dan IV:
Beberapa alternatif pengobatan yang dapat dilakukan :
1. Kemoterapi untuk mengurangi ukuran tumor dilanjutkan pengangkatan sebanyak mungkin tumor
dan ditutup kemoterapi lagi
2. Pembedahan metastase tumor di paru
3. Kemoterapi
4. Radioterapi diikuti pembedahan
5. Penyuntikan obat kemoterapi langsung ke pembuluh darah hati
6. Kemoterapi dan kemoembolisasi
7. Transplantasi hati
- Karsinoma hepatoseluler stadium III dan IV
- Pengurangan ukuran tumor dengan menggunakan kemoterapi cisplatin dengan vincristine / fluorouracil
atau doxorubicin dilanjutkan pengangkatan tumor sebanyak mungkin
- Kambuhan
Dilakukan pengobatan ulang berdasarkan pengobatan sebelumnya
• Selain pengobatan terhadap tumornya perlu juga dilakukan pengobatan suportif dengan mencegah dan
mengobati infeksi, efek samping pengobatan dan komplikasinya, serta memberikan rasa nyaman pada
penderita selama pengobatan. Perlu dilakukan pengamatan secara berkala untuk memonitor respon
terhadap pengobatan dan mewaspadai efek samping jangka panjang dari pengobatan.
9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Stadium tumor
3. Komplikasi
4. Metastase
5. Nutrisi
10. Prognosis UntukHepatoblastoma 5YSR dibawah 20%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. PenelaahKritis a. Sjamsul Arief, dr, MARS SpA(K)
b. Bagus Setyoboedi, dr, SpA(K)
14. IndikatorMedis Persentase kesembuhan ditentukan oleh jenis, stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik penderita.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 30 hari
15. Kepustakaan 1. Bektas H, Schrem H, Kleine M, et al. Primary liver tumours – presentation, diagnosis and surgical
treatment. Dalam: Liver Tumours – Epidemiology, Diagnosis, Prevention and Treatment. InTech, 2013;
(5):91-111.
2. Cynthia EH. Neoplasm of the liver. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1564
3. Czauderna P, Mackinlay G, Perilongo G, et al. Hepatocellular carcinoma in children: results of the first
prospective study of the International Society of Pediatric Oncology group. J ClinOncol, 2002; 20(12): 2798-
804.
4. Jacobson DR, 2004. Hepatocellular Carcinoma. Last Updated: June 23, 2004.
Tersedia di: http://www.emedicine.com/radio/topic332.htm
5. Katzenstein HM, Krailo MD, Malogolowkin MH, et al. Hepatocellular carcinoma in children and adolescents:
results from the Pediatric Oncology Group and the Children's Cancer Group intergroup study. J Clin Oncol
2002; 20(12): 2789-97
6. Malogolowkin MH, Stanley P, Steele DA, et al. Feasibility and toxicity of chemoembolization for children
with liver tumors. J ClinOncol2000; 18(6): 1279-84
7. Ortega JA, Douglas EC, Feusner JH, et al. Randomized comparison of cisplatin/vincristine/fluorouracil and
cisplatin/ continous infusion doxorubicin for treatment of pediatric hepatoblastoma: A report from the Child’s
Cancer Group and the Pediatric Oncology Group. J Clin Oncol, 2000; 18(14):2665-75
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria
subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir
2. Anamnesis
1. Tidak biru
2. Tidak mau menetek
3. Nafas cepat (takipnea)
4. Berkeringat
5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
3. Pemeriksaan Fisik 1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau
2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan
3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif)
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas
2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten
6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa
diulang satu seri lagi
2. Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk sekolah)
3. Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan :
* koil Gianturco pada PDA kecil,
* Amplatzer Ductal Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141-
145.
2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB,
Driscoll DJ. Ed. Moss and Adams’Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The
Fetus and Young Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669.
3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company
Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
GAGAL JANTUNG
1. Pengertian (Definisi) Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok
oksigen dan nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel.
2. Anamnesis 1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea",
"dyspnea d'effort", batuk, sianosis.
2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer
edema palpebra sering pada bayi.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kardiomegali
2. takikardia
3. irama gallop
4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus
paradoxus dan alternans
5. "tachypnea"
6. ronkhi basah
7. wheezing
8. Dyspneu sampai dengan sianosis
9. hepatomegali
10. bendungan vena leher
11. sembab perifer
12. edema palpebra sering pada bayi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas
2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Gagal jantung
6. Diagnosis Banding 1 Efusi pericardial
2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian
bawah : (bronkiolitis, pneumonia)
7. Pemeriksaan 1. Foto thorax
Penunjang 2. EKG
8. Terapi
1. O 2 40-50% dengan pelembab.
2. Sedasi dengan morphin 0,1-0,2 mg/kg/dosis s.c.setiap 4 jam kalau perlu, atau Phenobarbital 2-3
mg/kg/dosis p.o/i.m. setiap 8 jam selama 1-2 hari.
3. Eliminasi factor pencetus : demam diberi antipiretik, anemia ditanfusi PRC sampai PCV > 35%.
4. Atasi penyakit dasar seperti hipertensi, aritmia atau tirotoksikosis.
5. Digitalis : digoxin
6. Dopamine
7. Hydralazine : dosis 1 mg/kg - 5 mg/kg/hr oral dalam 3-4x
8. Captopril :
neonatus : 0,1-0,4 mg/kg/dose, 1-4 x/hari
bayi : 0,5-6,0 mg/kg/hr, tiap 6-24 jam
anak besar : 12,5 mg/dose oral tiap 12-24 jam
9. diuretika :
thiazide : chlorothiazide : 20-30 mg/kg/hr, oral.
Hydrocholorothiazide 2-3 mg/kg/hr (2 x)
Furosemid : 1-3 mg/kg/x intravena, 2-5 mg/hr/oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Penjelasan tentang penyakit yang mendasari
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh dalam waktu 10 hari
15. Kepustakaan 1. Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and
Libby P. Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 – 599.
2. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem
oriented approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129.
3. Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 234-
39, 249-53.
4. Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics.
GAGAL JANTUNG
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) adalah defek pada septum yang menghubungkan antara ventrikel kanan dan kiri jantung yang disertai adanya
infeksi/peumonia
6. Diagnosis Banding
1. ASD disertai infeksi/pnemonia
2. PDA disertai infeksi/pnemonia
Operatif :
- VSD kecil : biasanya tidak perlu, kadang-kadang
menutup spontan.
- VSD sedang: kalau tidak ada gagal jantung dapat
ditunggu sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat
badan minimal 10 kg, sekarang operasi dapat
dipertimbangkan pada umur yang lebih muda.
- VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum
menetap: dikerjakan operasi paliatif setelah gagal
menangani gagal jantungnya (operasi tidak langsung
menutup defek, tetapi dengan operasi pengikatan
batang a. pulmonalis), setelah umur 4-6 tahun defek
belum menutup, dikerjakan koreksi total.
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 14 hari (2 minggu).
15. Kepustakaan 1. William RV, Tani LY, Shaddy RE, 2001. Intermediate effects of treatment with metoprolol or carvedilol in
children with left ventricular systolic dysfunction. The journal of heart and lung transplantation; 21: 906-9
2. Van der Linde D, Konings E, Slager MA, et al, 2011. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease Worldwide.
JACC; 58: 2242-7
3. Vaidyanathan B, 2009. Is there a role for carvedilol in the management of pediatric heart failure. A meta
analysis and e-mail survey of expert opinion. Annuals Pediatric Cardiol; 2: 74-8
4. Hawkins A, Tulloh R, 2009. Treatment of pediatric pumonary hypertension. Vasc Health Risk Management;
5:509-24.
5. Humbert M, Morrel NW, Archer SL, Stenmark KR, MacLean MR, Lang IM, et al, 2004. Cellular and molecular
pathobiology of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol ; 43:13-24
6. Landzberg MJ, 2007. Congenital heart disease associated pulmonary arterial hypertension. Clin Chest
Med;28: 243-53
7. Limsuwan A, Pienvichit P, Khowsathit P, 2005. Beraprost therapy in children with pulmonary hypertension
secondary to congenital heart disease. Pediatr Cardiol; 26: 787-91
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
RENJATAN KARDIOGENIK
1. Pengertian (Definisi) adalah ketidak mampuan jantung akibat gangguan fungsi memompa untuk memasok darah yang cukup ke
jaringan agar kebutuhan metabolismenya terpenuhi
6. Diagnosis Banding
1. Renjatan hipovolemik
2. Renjatan sepsis
3. Renjatan neurogenik
8. Terapi 1. Resusitasi cairan, kristaloid adalah pilihan utama,tahap kegawatan dan replacement disusul tahap
rumatan . Idealnya dengan pemasangan CVP, atau fluid challenge (pemberian cairan 200 ml atau 20
ml/kgBB iv dalam 30 menit), bila ada perbaikan perfusi selama/setelah pemberian, berarti hipovolemia,
pemberian diteruskan dengan rumatan. Tetapi, bila tampak sesak dengan hepatomegali progresif tanpa
ada perbaikan perfusi, cairan segera dihentikan, beri lasix sampai gejala sesak berkurang dilanjutkan
pemberian Dopamin dan Dobutamin seperti kalau menghadapi gagal jantung (dalam hal ini renjatan
kardiogenik). Kalau perlu diberikan norepineprin dengan dosis 0,5 mcg/kg/min dengan titrasi.
2. Meningkatkan curah jantung (koreksi disritmia, optimalisasi preload, meningkatkan kontraktilitas miokard,
menurunkan afterload)
3. Mengurangi beban jantung (sedasi, mempertahankan suhu tubuh tetap normal, intubasi dan ventilasi
mekanik, koreksi anemia)
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 10 hari.
RENJATAN KARDIOGENIK
15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141-
145.
2. Bernstein D. Cardiac Therapeutics: Heart Failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Eds.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1586-1587
3. Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA, Gutgesel HP. Clinical synopsis of Moss and Adams’
Heart Disease in Infants, Children and Adolencents including the Fetus and Young Adult. Baltimore:
Williams & Wilkins, 2002. H. 814-827
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang digambarkan dengan 4 macam kelainan:
- Stenosis pulmonalis (valvular, infundibular)
- Defek septum ventrikel
- Hipertrofi ventrikel kanan
- Overriding aorta pada septum ventrikel
2. Anamnesis 1. Biru, bertambah waktu bangun tidur, menangis atau
sesudah makan.
2. Sesak
3. Mudah lelah
4. Gangguan pertumbuhan
5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran.
6. Sering jongkok bila berjalan 20-50 meter, untuk
mengurangi sesak
7. Nafas cepat (takipneu)
8. Jari tabuh
6. Diagnosis Banding
1. Double Outlet Right Ventricle
2. Transpotitional of Great Artery
3. Total Anomaly Pulmonary Venous Drainage
4. Atresia tricuspid
5. Total acardia
15. Kepustakaan 1. Anderson RH, Mc Carthey FJ, Shinebourne EA, Tunan M. 1997. Tetralogy of Fallot. Pediatric Cardiology.
Vol. 2 Churchill Livingstone. London. Pp 774-775.
2. Kliegman RM,. Tetralogy of Fallot. In: Textbook of Pediatrics.Eds. Nelson WE, Behrman RE. 4rd ed. WB
Saunders Co. Philadelphia. 1992, p. 1149-1153.
3. Rutkowski. Common Complication in Infant wth Cyanotic Congenital Heart Disease.p 166-167.2009
4. Teddy Ontoseno. Serangan Sianosis. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak ke XXIII. Ed:
Soebijanto P, Erwin S, Bambang P.dkk. FK Unair. Surabaya,1991; hal.91.
5. Cicha I, Suzuki Y, Tateishi N, Maeda N. 1999 Rheological changes in human red blood cells under
oxydative stress. Pathophysiology 6 : 103-110.
6. Behrman RE. 2000. Tetralogy of Fallot.. In : Behrman RE, Kliegman RM, eds. Nelson Textbooks of
Pediatrics, 15th ed. Philadelphia : WB Saunders co. 1149-53.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DEMAM REUMATIK
1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul
setelah infeksi tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS)
dengan penyulit serius berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang
cenderung kambuh, akibat respons autoimun
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Arthralgia
4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau
b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus
beta hemolitikus golongan A sebelumnya.
5. Diagnosis Demam Reumatik
6. Diagnosis Banding 1. Artritis reumatoid
2. Artrids bakterial.
3. Artritis virus.
4. Reaksi alergi.
5. Bising fungsionil.
6. Kelainan jantung bawaan.
7. Miokarditis virus
8. Miokarditis bakterial lain.
9. Lupus eritematosus sistemik
7. Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap
b. LED
c. C-Reactive Protein
d. ASO
e. Kultur hapusan tenggorok
f. Foto thorax
g. EKG
h. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Iirah baring:
Tanpa Karditis:
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali:
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali:
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan gagal jantung:
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi
2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder
- Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila
berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali.
DEMAM REUMATIK
- Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20
kg, diberikan selama 10 hari.
- Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama
10 hari
3. Analgesik dan anti-inflamasi
- Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
- Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali:
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu
- Karditis dengan kardiomegali atau gagal
jantung: Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2
minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu
ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KARDIAK SIANOSIS
3. Pemeriksaan Fisik 1. Sianosis bibir, kuku, mukosa mulut, konjunctiva, ujung hidung
90%)
2. Tes hiperoksia positip
3. Pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. (adanya duktus yang masih terbuka
mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama).
6. Diagnosis Banding
1. Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn
2. Sianosis karena kelainan paru (pneumonia,
bronchiolitis berat, dan lain-lain)
8. Terapi - Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5- 37o C & kelembaban sekitar 50%).
- Bila curiga cardiac cyanosis, kuhsusnya ductal
dependent, segera berikan Prostaglandine E1
(Prostin VR Pediatric) 0,05 – 0,1 ug/kg/men drip
sampai KU membaik lalu turunkan step by step
sampai 0,01 ug/kg/men. Bila dosis awal tidak ada
respon, naikkan menjadi 0,4 ug/kg/men. Awas
apneu-fever- taki/bradi kardia, flushing hipotensi dan
cardiac arrest !
- Pemberian oksigen 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter Nasofaringeal
Pengobatan pada serangan sianosis:
1. Usahakan meningkatkan saturasi oksigen arterial dengan cara :
* Membuat posisi ”knee chest” atau ”fetus
* Ventilasi yang adekuat
2. Menghambat pusat nafas denga Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg/kg im atau s kutan
3. Bila serangan hebat bisa langsung diberikan Na Bic 1 meq/kg iv untuk mencegah asidosis metabolik
4. Bila Hb < 15 gr/dl bisa diberikan transfusi darah segar 5 ml/kg pelan sampai Hb 15-17 gr/dl
5. Propanolol 0,1 mg/kg iv terutama untuk prolonged spell diteruskan dosis rumatan 1 – 2 mg/kg oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
KARDIAK SIANOSIS
14. Indikator Medis 80% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 1 bulan.
15. Kepustakaan 1. Gaiha M, Sethi HPS, Sudah R, Arora, Acharya NR. 1993. A clinico-Hematological study of Iron deficiency
anemia and its correlation withHyperviscosity Symptoms in Cyanotic Congenital Heart Disease. Indian
Heart Journal 45 (1). 53-55.
2. Lany LT. 1997. Uji Penapisan Anemia Relatif Pada Penderita Tetralogy Fallot. Penelitian Karya Akhir
Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak.
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya.
3. HH and Risau W. 1998. Systemic hypoxia changes the organ-specific distribution of vascular endothelial
growth factor and its receptors. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95: 15809-15814.
4. Neches WH, Park SC, Ettedguy JA. 1997.Tetralogy of Fallot and Tetralogy of Fallot with Pulmonary Atresia.
In : The Science and Practice of Pediatric Cardiology. Ed : Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR.2
ed. Williams & Wilkins A Waferly C. Baltimore*Philadelphia*London*Paris*Bangkok. Vol I : 1383-1411.
5. Ontoseno T. 2002a. Pattern of Tetralogy Fallot patients in Dr Soetomo Hospital, Surabaya. Folia Medica
Indonesiana. (2) : 133-135
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR
1. Pengertian (Definisi) adalah peningkatan frekuensi denyut jantung, antara 180-300 kali per menit, dengan bentuk
kompleks QRS yang seluruhnya normal.
6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
8. Terapi 1. Manuver Vagal (massage sinus karotikus, kantong es ditempelkan ke muka/ stimulasi
nasogastrik)
2. Adenosine iv bolus 50 ug/kg dinaikkan setiap 2 menit dosis sama sampai maksimal 250 ug/kg,
awas bronkhospame
3. Bila Adenosine tidak tersedia dan pasien shock, segera berikan Synchronized DC shock 0,5
joule/kg sampai maksimal 2 joule/kg lalu dilanjutkan dengan digitalisasi.
4. Digitalisasi cepat bila tanpa shock/gagal jantung, iv 0,03-0,04 mg/kgBB, pemberian pertama 1/2
dosis digitalisasi dilanjutkan 1/4 dosis lalu 1/4 dosis lagi selang 8 jam. Bila sudah kembali ke
irama sinus maka dilanjutkan dosis oral untuk rumatan. Kontra indikasi bila ada WPW.
5. Bila belum berhasil, berikan Phenylephrine 10 mg dalam 200 cc cairan drip cepat, awasi systole
jangan lebih dari 150-170 mmHg.
6. Bila belum berhasil, Propanolol atau Verapamil bisa dicoba (untuk > 1tahun). Verapamil : iv 0,05-
0,1 mg/kg BB dapat diulangi 2 X dalam 15 menit. Peroral 1-10 mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi
3 kali.
7. Amiodarone (bila akibat WPW atau postop), PO 10 mg/kg dibagi 2 dosis selama 5-10 hari lalu 5-
7 mg/kg/hari sampai beberapa minggu diturunkan 2-5 mg/kg, IV 5 mg/kg dlm 15-20 menit dapat
diulang maks 15 mg/kg dilanjutkan continous infusion 10-15 mg/kg/hari).
Digitalis maintenance untk cegah rekuren selama 3-6 bulan (bila umur > 8 tahun disertai WPW,
berikan Propanolol atau Atenolol)
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 7 hari (1 minggu).
TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR
15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby,
2002. h.338-341.
2. Van Hare GF, Supraventricular Tachycardia. Dalam: Gillette PC, Garson A Jr, Ed. Clinical
Pediatric Arrithmias. Edisi ke-2. Philadelpia: W.B. Saunders Company, 1999. h.97-120.
3. Deal BJ. Supraventricular Tachycardia Mecanisms and Natural History. Dalam: Deal BJ, Woff
GS., Gelband H. Ed. Current Concepts in Diagnosis and Management of Arrithmias in Infants
and Children. New York: Futura Publishing Company, 1998. H. 117-143
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
4. Pemeriksaan Penunjang 1.
Pemeriksaan air kemih:
Urinalisis, Leukosit esterase, nitrit,
2. Biakan air kemih
3. Pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin
4. Ultrasonografi ginjal-buli buli (USG) bila diperlukan, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI pada kasus ISK atas,
komplek, dan atipik
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis sesuai usia penderita
2. Biakan air kemih merupakan baku emas
3. Pemeriksaan air kemih ada kuman (gram), piuri,torak, lekosit, , lekosit esterase,nitrit
4. Kimia darah: ureum,kreatinin
5. Pencitraan :USG ginjal-buli buli, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI bila diperlukan
6. Diagnosis Infeksi saluran kemih
7. Diagnosis Banding Penyakit dengan panas yang tidak diketahui sebabnya - ICD
8. Terapi Supportif
Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi
Medikamentosa
Antibiotik peroral
ISK bawah Amoksisilin klavulanat 20 – 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis
Antibiotik parentral
1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari.
15. Kepustakaan 1. Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric
Nephrology 2nd.Chennai.Replika Press.2007. 553-74.
2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P,
Yoshikawa N Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310
3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in
young children. N Engl J Med ; 348 :195-202.
4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric
Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70
5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics
2011;128:595-610
6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds.
Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142-
163.
7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34
8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal
lesions in children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9.
9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds.
Pediatric nephrology. Singapore. 391-402.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract
infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
2. Anamnesis Riwayat PGK tergantung penyakit yang mendasari dan beratnya penurunan fungsi ginjal
15. Kepustakaan 1. Yap HK, Aragon ET. Chronic kidney disease staging. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds. Pediatric Nephrology.
Children Kidney Centre. Singapore.2012:19-25.
2. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite
Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
3. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:Evaluation, Classification, and Stratification, 2000
4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan , Trihono PP,
Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
5. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds.
Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
6. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney
Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-
52.
7. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds.
Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.
8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds.
Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.
9. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insuffi-ciency. In Avner ED,
Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology.
Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
11. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Kontraindikasi relatif:
Gagal ginjal terminal
Kelainan ukuran, bentuk, dan/atau posisi ginjal
Pielonefritis kronis
Hidronefrosis
Neoplasma intrarenal (risiko penyebaran tumor intraabdominal)
Nefrokalsinosis
Anemia berat
Obesitas
Kondisi dimana biopsi ginjal mempunyai nilai diagnostik minimal:
Penyakit kistik ginjal
Kelainan tubulus ginjal
Proteinuria postural
4. Persiapan Penjadwalan:
Penjadwalan dilakukan sesuai jadwal operator (Nefrologi Anak) dengan konsultan radiologi selambat-
lambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal.
Bila sudah didapatkan jadwal yang pasti, diberitahukan kepada asisten operator (perawat Poli Nefrologi
Anak) untuk persiapan alat dan prosedur pengiriman bahan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum
acara biopsi ginjal.
Persiapan:
Surat persetujuan orang tua atau keluarga penderita (informed consent).
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan uji faal hemostasis.
Penderita diberikan Vitamin K 5 mg im 3 hari berturut-turut, mulai H-1, H0 dan H+1.
Penderita dipuasakan sejak 6 jam sebelum biopsi dimulai.
Sebelum berangkat ke tempat biopsi dengan menggunakan tempat tidur beroda, iv line sudah harus
terpasang pada tangan penderita.
5. Obat-obatan dan Kassa dan desinfektan (povidon-iodine dan alkohol 70%) untuk desinfeksi lapangan biopsi
peralatan 2 ampul Lidokain
2 atau 3 vial Midazolam (Dormicum) kemasan 5 mg/5 ml
2 buah disposable syringe 2,5 ml
2 buah disposable syringe 5,0 ml
1 buah mess kecil 15 G
1 set peralatan biopsi ginjal perkutan:
o Biopsy gun Magnum Bard
o Disposable core needle biopsy 16 G atau 18 G
atau
o Jarum Vim-Silverman
Plastik pembungkus USG probe (kondom Sutra™ merah)
Sarung tangan steril untuk semua operator
Penutup hidung dan mulut (masker) untuk semua operator dan yang hadir di ruang biopsi
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Dialisis dilakukan sejak awal pada anak yang sakit berat dengan GgGA dengan tujuan
mempertahankan homeostasis dan memberikan cukup ruang untuk kebutuhan pengobatan dan
nutrisi yang diharapkan, karena restriksi cairan yang berat dapat berakibat pada nutrisi yang
inadekuat, kecenderungan menjadi hipoglikemia, memberikan volume ruang yang cukup untuk
transfusi darah, kesulitan dalam pemberian obat, seperti pemberian inotropik dan antibiotik
intravena.
9. Edukasi Pentingnya deteksi dini GgGA pada anak untuk menyelamatkan fungsi ginjal
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
7. Pemeriksaan Penunjang Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak
granular, torak eritrosit
Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen
C3 <50 mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala
klinis menghilang
Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali
8. Terapi 1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi,
edema).
2. Antibiotika untuk eradikasi kuman:
Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari
Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi)
4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi):
Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari)
Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari)
5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari).
6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Blood line:
o anak = 60 ml
o dewasa = 120 ml
Volume ekstrakorporal:
o tidak melebihi 10-30% volume darah
o <10 kg: volume darah = 80 ml/kg
>10 kg: volume darah = 70 ml/kg
o Volume Ekstrakorporal = Volume Dialyzer + Volume Blood Line
o bila melebihi 10% volume darah, dapat dilakukan priming blood transfusion pada saat memulai
hemodialisis untuk “menambah” volume darah
Dialisat: bikarbonat
Durasi (time/t):
o setelah memasukkan nilai K, V, dan ln C 1 /C 0, maka nilai t (durasi hemodialisis) dapat ditentukan,
dengan maksimal durasi 4 jam (sesuai jadwal rutin unit dialisis).
Ultrafiltrasi (UF):
o pertimbangkan berat badan, adanya kelebihan cairan, hipertensi, dan hemokonsentrasi
o maksimal 1,5±0,5 % BB/jam atau 5% berat badan untuk mencegah hipotensi berat selama dialisis
o 0,2 ml/kg/menit selama 4 jam dialisis
o pada gangguan ginjal akut, maksimal 0,2 ml/kg/menit
o lakukan sequential UF bila terjadi kelebihan cairan berat
Heparin (hentikan 1 jam sebelum hemodialisis selesai):
o Loading dose: regular = 50 U/kg (dewasa 1500 U)
-10 U/kg (dewasa 1000 U)
>15 kg: 10-20 U/kg
o Dosis rumatan: regular = 50 U/kg/jam (dewasa 750 U/jam)
dosis rendah = 5-10 U/kg/jam (dewasa 500 U/jam)
Suport tekanan darah:
o Infus normal salin 0,9% 10-20 ml/kg
o Infus albumin 5% 10 ml/kg
o Infus albumin 20% 1 g/kg atau 5 ml/kg
4. Edukasi Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal
maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
atau
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke-
95 untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:
ml/menit/1,73 m2.
Calcium Amlodipi 0,05 0,2 0,6 Dapat menyebabkan
channel n mg/kg/hari mg/kg/hari mg/kg/hari takikardi dan
blocker , 20 mg/hari edema.
(CCB) tiap 24
jam
Nifedipin 0,25 0,5 20 mg,
mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6-8 jam
tiap 6-8 tiap 6-8 jam
jam
Extende 0,25-0,5 3 mg/kg/kali, 120 mg/hari
d mg/kg/kali, tiap 12-24
release tiap 12-24 jam
Nifedipin jam
Alpha and Labetalo 1-2 10 600 mg/kali, Kontraindikasi pada
beta l mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6 jam penderita asma dan
blocker tiap 12 tiap 6 jam gagal jantung,
jam diabetes mellitus
yang tergantung
insulin.
Carvedil 0,08 0,75 25 mg tiap
ol mg/kg/kali, mg/kg/kali, 12 jam
tiap 12 tiap 12 jam
jam
(naikkan
0,08
mg/kg/kali
tiap 1-2
minggu)
Beta Atenolol 0,5-1 8 100 mg/hari Non-cardioselective
blocker mg/kg/hari mg/kg/hari, agents.
, tiap 12-24 Tidak digunakan
tiap 12-24 jam pada penderita
jam diabetes mellitus,
Propano 0,2-0,5 2 mg/kg/kali, 80 mg/kali, asma, gagal
lol mg/kg/kali, tiap 6-12 tiap 6-12 jantung.
tiap 6-12 jam jam
jam
Central Klonidin 5-10 0,9 mg/hari 2,4 mg/hari Mulut kering atau
alpha mcg/kg/ha sedasi.
blocker ri, Rebound
tiap 8-12 hypertension.
jam Pemberian dengan
(naikkan beta blocker dapat
sampai menyebabkan
5-25 bradikardia.
mcg/kg/ha
ri,
tiap 6 jam)
Periphera Prazosin Test dose: 0,5 5 mg Dapat menyebabkan
l alpha 0,005 mg/kg/hari, tiap 6-12 hipotensi atau
antagonis mg/kg tiap 6-12 jam sinkop, terutama
ts (maksimu jam seteleh dosis
m 0,25 pertama
Tabel 1. Petunjuk untuk step-down therapy pada bayi, anak atau remaja
Anak / Remaja
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah
dengan interval waktu 6-8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi.
Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila
memungkinkan berangsur-angsur dihentikan.
II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut:
II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Fase rumatan:
Predniso(lo)n oral diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
MMF oral di diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
CsA dan Tac diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis mencapai remisi, kemudian dapat
dipertimbangkan untuk dihentikan
CPA puls diberikan setiap 3 bulan selama 24 bulan (total masa pengobatan adalah 30
bulan), kemudian dihentikan.
III.Plasmaferesis
Indikasi : trombosis mikroangiopati.
Dosis : 5-10 siklus, tergantung respon yang tampak pada remisi microangiopathic hemolytic
anemia (MAHA), aktivitas lupus nefritis, dan perbaikan fungsi ginjal.
Dilakukan bersamaan dengan protokol imunosupresif yang dipilih.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka
panjang.
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka
panjang.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ASFIKSIA NEONATORUM
1. Pengertian Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang
(Definisi) menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis.
2. Anamnesis Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir.
4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas
darah arteri apabila fasilitas tersedia
2. Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit
3. Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati
hipoksik iskemik
4. Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal
5. Diagnosis Asfiksia
6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
7. Pemeriksaan Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, elektrolit, gula darah
Penunjang USG kepala
MRI kepala
8. Terapi Resusitasi
Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar
- Langkah awal resusitasi
Indikasi : bila terdapat salah satu jawaban tidak dari pertanyaan cukup bulan, bernapas atau
menangis, dan tonus otot baik
- Ventilasi tekanan positif (VTP)
Indikasi : apnu atau megap-megap, denyut jantung <100 x/menit, saturasi tetap di bawah nilai target
meskipun telah diberi O2 aliran bebas sampai 100%
- Ventilasi tekanan positif dan kompresi dada
Indikasi : denyut jantung <60 x/menit setelah 30 detik dilakukan VTP efektif
Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1
mL normal salin
- 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Hipovolemia
- Tidak ada respon dengan resusitasi
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan
ASFIKSIA NEONATORUM
kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO 2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan
otak.
14. Indikator Medis Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan
Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi
lengkap (intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya
80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu
15. Kepustakaan 1. Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1-
302
2. American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5):
e1400-11.
3. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark
AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28.
4. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62.
5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease
and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes.
(Definisi) Kelainan spesifik yang sering ditemukan pada IDM :
Kelainan metabolisme
o Hipoglikemia
o Hipokalsemia
o Hipomagnesemia
Kelainan kardiorespirasi
o Asfiksia perinatal
o Hyaline membrane disease
o Kardiomiopati hipertropik
o Takipnea sementara pada neonatus
Kelainan hematologis
o Polisitemia dan hiperviskositas
o Hiperbilirubinemia
o Trombosis vena ginjal
Masalah morfologis dan fungsional
o Cedera lahir
o Kelainan bentuk bawaan (jantung, ginjal, saluran cerna, saraf, skeletal, wajah abnormal, mikroptalmos)
6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Hipotermia
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal
Penyakit neuromuskular
Kelainan metabolisme bawaan
8. Terapi Hipoglikemia
2-4 mL dekstrosa 10% selama 5 menit, diulang jika perlu
Infus glukosa 10% berkesinambungan dengan kecepatan 8-10 mg/kg/menit
Memulai pemberian asupan enteral sesegera mungkin
Kortikosteroid : pada hipoglikemia yang terus bertahan (hidrokortison 5 mg/kg/12 jam)
Mempertimbangkan pemberian glukagon dan epinefrin
Hipokalsemia
Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit
Memantau tanda ekstravasasi
Dosis juga diberikan melalui infus intravena berkesinambungan, 2-8 mL/kg/hari
Akan memberikan respon dalam 3-4 hari
Hipomagnesemia
Magnesium sulfat (MgSo4) 2mEq/kg/dosis setiap 6 jam IV atau IM
9. Edukasi Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus
Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik
sejalan dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin
Rekomendasi
14. Indikator Medis Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 1 minggu
15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40.
2. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
(Definisi) laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.
2. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan
kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan :
HIE Tingkat I
Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang-seling
Pemberian minum yang buruk
Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan
Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi
Tidak ada aktivitas kejang
Gejala hilang dalam 24 jam
HIE Tingkat II
Letargi
Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
Hipotonia
Denyut jantung menurun dan pupil konstriksi
50-70 % terdapat kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
HIE Tingkat III
Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
Koma
Flasidisitas
Tidak ada refleks
Pupil diam, sedikit reaktif
Apnea, bradikardia, hipotensi
Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani
6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
Darah lengkap
7. Pemeriksaan Gula darah
Penunjang Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
BUN dan serum kreatinin
Faal pembekuan darah
Faal hati
Analisa gas darah
Foto torak
Pungsi lumbal
EEG
USG kepala
MRI kepala
14. Indikator Medis Bayi bernapas spontan, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
Tidak didapatkan kejang
80% pasien akan sembuh dalam waktu 3 minggu
15. Kepustakaan 1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-
28.
2. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th
ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of
Neonatology 4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG, Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6th
ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35.
5. Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
(definisi) diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan
klinis bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.
Derajat
Daerah ikterus Perkiraan kadar bilirubin
ikterus
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai 11,4 mg/dL
atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL
Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada
saat bayi pulang
b. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada
gambar 2.
Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.
c. Penghentian fototerapi
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit
(TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL.
d. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3
Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi
menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB 5
di atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis
asidosis
Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup
bulan (sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat Bayi sakit
BB (g) Fototerapi Tranfusi tukar Fototerapi Tranfusi tukar
Kurang bulan
<1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 15-18 20-25 12-15 18-20
9. Edukasi Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab
dasar meningkatnya kadar bilirubin serum
Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk
neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi
Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk
14. Indikator Medis Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal
Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50-60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan, gejala
klinis keseluruhan menghilang dalam 2 minggu
Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 7 hari
15. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and
drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300.
2. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339.
3. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
4. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar
neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
5. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (definisi) Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).
2. Anamnesis Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gangguan pernapasan
Riwayat bayi prematur
Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
3. Pemeriksaan Fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas
5. Diagnosis Hipoglikemia
8. Terapi a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam
Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia
Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai
9. Edukasi Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau
mendapatkan infus glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap
jam hasilnya >45 mg/ dL
Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal
14. Indikator Medis Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal
80% membaik dalam 24 jam
80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
15. Kepustakaan problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7.
2. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (definisi) Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas
sistem motorik atau otonomik
3. Pemeriksaan Fisik Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak
jantung normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap
Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi
ekstremitas bawah
Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan
klonik beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik.
Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah.
8. Terapi Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
Terapi etiologi spesifik
o Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak
diberikan secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia)
o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
o Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti
dalam beberapa menit
Terapi antikejang
o Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat
diulang dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti.
o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1
mg/kg/menit
o Bila masih kejang dapat diberikan :
Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik)
Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam
o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kg BB/hari dapat diberikan secara
intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose
o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose
Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan
9. Edukasi Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan
hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia
Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya
15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 374-9.
2. Bergin AM. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 729-42..
3. Depkes RI. Klasifikasi kejang. Dalam: Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit).
Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
4. Young TE, Mangum B. Neofax. Dalam: Neofax, edisi ke-7, 2004: 154-155.
5. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 273-80.
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 84-92.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
SEPSIS NEONATORUM
1. Pengertian (Definisi) Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di
dalam darah pada neonatus.
FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin)
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan
atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C), waktu
pengisian kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi
TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif
Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
o Leukopenia (< 4.000 x 109/L)
o Netrofil muda >10%
o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
o CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
Klasifikasi :
1. Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang
timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran
pernafasan, progresif dan akhirnya syok
2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya
kelainan sistem susunan saraf pusat
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih
dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit
2. Anamnesis Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya
paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental)
Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang
invasif
Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain,
ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman
melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit
8. Terapi 1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk
7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap
24 jam. Dosis Ampisilin untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur
7hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap,
kultur darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa
SEPSIS NEONATORUM
cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif.
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto
abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP
normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.
6. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal,
maka diberikan Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian
antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
7. Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin.
9. Edukasi Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari
Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari
15. Kepustakaan 1. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72.
3. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal
emergensi dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7.
4. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ABSES OTAK
1. Pengertian (Definisi) Proses peradangan purulen yang terisolir di antara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau
tidak
2. Anamnesis Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70-90%).
Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%).
Adanya riwayat penyakit jantung bawaan sianotik, infeksi sinus atau mastoid
Adanya riwayat prosedur bedah saraf, trauma kepala maupun kondisi imunosupresi
3. Pemeriksaan Fisik Panas tidak terlalu tinggi.
Kejang biasanya bersifat fokal.
Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma.
Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut.
Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia.
Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan gejala klinis yang spesifik
2. Hasil neuro imaging (CT Scan atau MRI dengan kontras)
5. Diagnosis Abses otak
6. Diagnosis Banding 1. Tumor di daerah serebropontin
2. Abses ekstradural
3. Empiema subdural
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium :
o Darah : jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah
meningkat pada 60% kasus
o Cairan Serebro Spinal (CSS) : dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra
kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi
2. Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT-scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis.
Stadium serebritis awal (1-3 hari), serebritis lanjut (4-9 hari), formasi kapsul dini (10-14 hari) dan
formasi kapsul lanjut (>14 hari)
Stadium awal hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras.
Pada stadium lanjut didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras.
8. Terapi Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium serebritis, abses
multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis
Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan:
1. Cefotaxime 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis atau Ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari IV dibagi
dalam 2 dosis
2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5 mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6
jam hari (maksimal 4 g/hari).
Antibiotik diberikan selama kurang lebih 6 minggu.
3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan:
a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV
dibagi dalam 3 dosis atau Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam. Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada
hari ke 5
Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan menghambat
pembentukan dinding abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis.
Penatalaksanaan bedah:
Aspirasi stereotactic
Kraniotomi
Neuroendoskopi
9. Edukasi 1. Penjelasan tentang komplikasi dan prognosis penderita. Sebelum era antibiotik mortalitas mencapai
40-60%.
2. Banyaknya komplikasi dan kematian disebabkan karena abses serebri yang multiple, adanya GCS
yang turun dan meningitis.
3. Penjelasan terhadap adanya rekurensi.
4. Keterlambatan diagnosis mempunyai kontribusi terhadap derajat berat penyakit.
10. Prognosis Angka mortalitas mencapai 4-12 %.
Kejang bersifat kronis cukup sering didapatkan dan terkadang bermanifestasi setelah beberapa tahun
pasca abses serebri
11. Tingkat Evidens 4
12. Tingkat Rekomendasi C
ABSES OTAK
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Pengobatan dengan cefotaxime menunjukkkan angka kesembuhan 76 % pada kasus abses otak
Tingkat mortalitas setelah pasien menjalani tindakan bedah adalah sebesar 15%.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 minggu
15. Kepustakaan 1. Helweg-Larsen J, Astradsson A, Richhall H, Erdal J, Laursen A, Brennum J. Pyogenic brain abscess, a 15
year survey. BMC Infect Dis 2012;12:332.
2. Shachor-Meyouhas Y, Bar-Joseph G, Guilburd JN, Lorber A, Hadash A, Kassis I. Brain abscess in
children - epidemiology, predisposing factors and management in the modern medicine era. Acta Paediatr
2010;99(8):1163-7.
3. Jansson AK, Enblad P, Sjolin J. Efficacy and safety of cefotaxime in combination with metronidazole for
empirical treatment of brain abscess in clinical practice: a retrospective study of 66 consecutive cases. Eur
J Clin Microbiol Infect Dis 2004;23(1):7-14.
4. Kao PT, Tseng HK, Liu CP, Su SC, Lee CM. Brain abscess: clinical analisys of 53 cases. J Microbiol
Immunol Infect;36:129-136
5. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier;
2012. Hal 1241-61.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
BELL’S PALSY
1. Pengertian (Definisi) Suatu paralisis nervus fasialis unilateral yang bersifat mendadak, tidak diketahui sebabnya (idiopatik) yang
mengakibatkan ketidakmampuan pengontrolan otot wajah pada sisi yang terkena
2. Anamnesis Nyeri telinga didekat mastoid
Kesulitan menutup mata
Kesulitan menggunakan otot wajah secara normal
Kesulitan minum dan makan karena gangguan mulut pada sisi yang terkena
Riwayat infeksi saluran pernafasan sebelumnya
Bell’s palsy ditegakkan setelah kondisi-kondisi infeksi, inflamasi, injuri, neoplasma, penyakit metabolik,
dan kelainan kongenital dapat disingkirkan.
3. Pemeriksaan Fisik Parese nervus facialis unilateral.
Gangguan sensoris pada daerah yang terkena,
Drooling
Gangguan pengecapan
Gangguan pendengaran
Pengeluaran air mata berlebihan.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis yang spesifik
Pemeriksaan neurologi parese N VII perifer
5. Diagnosis Bell’s Palsy
6. Diagnosis Banding 1. Palsy nervus fasialis yang lain, yang terkait:
a. Infeksi
b. Penyakit metabolik
c. Injuri
d. Kelainan congenital
2. Lesi UMN supranuklear (lokasi lesi di atas nucleus fasialis di Pons) sepertiga atas N Fasialis normal,
sedangkan duapertiga di bawahnya mengalami paralysis
3. Tumor jinak skull
4. Aneurisma serebral
5. Meningioma
6. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan 1. ELISA terhadap HSV
Penunjang 2. Tidak ada pemeriksaan laboratorium lain yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy
3. Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan CT-scan/MRI
dilakukan bila dicurigai adanya fraktur atau metastase neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis
multiple, AIDS, dan CNS
4. Pemeriksaan Elektrofisiologi
- Untuk mengetahui fungsi N fasialis
- Jarang dilakukan
8. Terapi 1. Steroid
- Prednisolone oral 1 mg/kgbb/hari selama 10 hari
2. Anti virus
- Acyclovir oral 10-20 mg/kgbb/hari
3. Kombinasi steroid & anti virus
9. Edukasi Diterangkan bahwa sebagian Bell’s palsy akan membaik tanpa deformitas, tetapi 1/3 penderita mengalami
sekuele berupa: regenerasi motorik tidak lengkap dengan tanda epifora, inkompeten oral, & obstruksi nasal.
Regenerasi sensorik tidak lengkap (gangguan pengecapan), ageusia ( kehilangan pengecapan), diasthesia (
kehilangan sensasi atas stimulasi)
10. Prognosis 1. Pemulihan lengkap dengan gejala sisa
2. Pemulihan tidak lengkap pada fungsi motorik, tetapi tidak ada defek pada kosmetik
3. Kecacatan menetap yang nyata
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
BELL’S PALSY
14. Indikator Medis Angka kesembuhan dengan terapi steroid 88,2%, sedangkan dengan kombinasi steroid dan anti virus sekitar
91,2%
15. Kepustakaan 1. Eudocia CQ,Shafali SJ, Rajeev HM, Manveen KB, Anton YP. The benefits of steroids versus steroids
plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009; 339
2. Evangelos P, Anastasia G, M Arampatzi. Facial nerve palsy in childhood. The Japanese Society of Child
Neurology. 2010; 33. 644-650
3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF
ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1503-8.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
|
INFEKSI CYTOMEGALO VIRUS (CMV) KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Infeksi yang terjadi pada bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan
2. Anamnesis Mayoritas bayi yang lahir dengan infeksi CMV congenital adalah asimtomatik.
Pada bayi baru lahir, didapatkan IUGR, ikterus, bercak perdarahan dibawah kulit (ptekie sampai purpura),
bayi tidak bergerak aktif dan malas minum.
3. Pemeriksaan Fisik Letargi, hiper/hipotoni, ikterus, hepatomegaly, splenomegali,
Gejala neurologi: mikrosefali, chorioretinitis, kejang, tuli neural sensorik dan perubahan tonus otot
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis yang spesifik
2. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
3. IgM anti CMV positif
4. CT-Scan kepala tampak leukomalacia atau atrofi kortikal atau efusi subdural atau perdarahan otak
5. Diagnosis Infeksi CMV kongenital
6. Diagnosis Banding 1. Infeksi rubella kongenital
2. Toksoplasmosis congenital
7. Pemeriksaan 1. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
Penunjang serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
2. Deteksi antigen atau IgM CMV di darah
3. Pada ibu: serokonversi IgG diantara 2 sampel serum yang diambil dengan jark 2-3 minggu adalah
diagnosis yang nyata adanya infeksi primer.
4. Pemeriksaan SGOT meningkat > 300 IU, bilirubin direct > 30 mg/dl, dan trombositopenia 20.000-
125.000/mm3
5. CT Scan kepala: tampak leukomalasia periventrikular, atrofi kortikal, pembesaran ventrikel
unilateral/ bilateral, efusi subdural dan perdarahan otak
8. Terapi Gansiklovir 6 mg/kgBB/dosis IV drip dalam 1 jam, diberikan tiap 12 jam selama 6 minggu atau
Valgansiclovir oral dengan dosis 15 mg/kg BB setiap 12 jam selama 6 minggu
Terapi suportif
9. Edukasi 1. Menjelaskan pengobatan yang akan diberikan, jangka waktu pengobatan, cara pemberian dan efek
samping pengobatan ganciclovir yakni granulocytopenia, anemia, tromobositopenia.
2. Menjelaskan prognosis infeksi CMV sesuai dengan kelainan yang terjadi pada penderita
3. Jika infeksi CMV sudah dikonfirmasi, klasifikasikan simtomatik atau asimtimatik dan dilakukan
monitoring 1,3,6 dan 12 bulan dan secara periodik sampai usia sekolah dengan tujuan mendeteksi
sekuele dengan onset lambat.
4. Konseling orang tua apabila merencanakan memiliki anak lagi untuk berkonsultasi pada dokter agar
tidak terjadi penularan pada bayinya
10. Prognosis Bayi dengan congenital CMV 90% mengalami sekuele tumbuh kembang sperti palsi serebral, epilepsi,
gangguan sensori-neural, retardasi mental, gangguan tingkah laku dan kebutaan
Angka mortalitas mencapai 5-30%
Lesi intracranial pada neuroimaging berhubungan dengan gangguan intelektual >80% kasus
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis 1. 10-15% penderita dengan pengobatan gancyclovir mengalami sensorineural sekuele
2. Netropenia terjadi pada pada 63% anak yang sedang menjalani terapi gansiklovir dan 38% anak
yang menjalani terapi valgansiklovir
3. Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Buosenso D, Seranti D, Gargiullo L, Ceccareli M, Ranno O, Valentini P. Congenital cytomegalovirus
infection: current strategies and future perspectives. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012; 16:919-35
2. Cheeran MC, Lokensgard JR, Schleiss MR. Neuropathogenesis of congenital Cytomegalovirus
infection: disease mechanism and prospects for intervention. Clin Microbiol Rev. 2009; 22: 99-126
3. Nasetta L, Kimberlin D, Whitley R. Treatment of congenital cytomegalovirus infection: implications
for future therapeutic strategies. JAC . 2009; 63: 862-7
4. Kenneson A, Cannon MJ. Review and meta-analysis of the epidemiology of congenital
cytomegalovirus (CMV) infection. Rev Med Virol. 2007; 17: 253-76
5. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 457-8.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
PALSI SEREBRAL
1. Pengertian (Definisi) Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah
Sekelompok kelainan pergerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang terjadi karena
gangguan non progresif yang muncul pada masa perkembangan otak janin/bayi
2. Anamnesis Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta pertolongan pengobatan) :
Anak belum dapat berjalan;
Belum dapat duduk;
Terlambat bicara
Kaki gemetar
Gerakan kurang pada sisi badan
Mata juling.
PALSI SEREBRAL
2. CP spastik Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus
kortikospinalis unilateral. 30% kasus.
3. CP spastic kuadriplegi
Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang
bisa dijumpai gangguan visus maupun auditori.
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor,
balismus maupun mioklonus.
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama.
5. Diagnosis Diagnosis CP secara umum berdasarkan pada anamnesa dan gejala klinik.
Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi :
1. Tim Inti :
• Neuropediatri
• Dokter Gigi
• Psikolog
• Perawat
• Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
• Pekerja Sosial (pengunjung rumah)
2. T im Konsultasi :
• Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
• Dokter Bedah (Ortopedi)
• Dokter Mata
• Dokter THT
• Psikiater Anak
Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)
6. Diagnosis Banding Inherited metabolic disorder
Metabolic myopathies
Metabolic neuropathy
Traumatic peripheral nerve lesion
Vascular malformation of the spinal cord
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dan prognosisnya :
- Pemeriksaan TORCH
- Neuro imaging : CT scan/ MRI (63% abnormal)
- Test perkembangan : gangguan bicara (90%
kasus)
- Psikologik : test IQ (juga penting untuk terapi
dan rehabilitasi)
- Audiometri untuk mendeteksi ketulian
8. Terapi A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas :
1. Benzodiazepin :
• Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
• Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak lebih 10 mg/dosis)
2. Baclofen 0.2 mg/kg setiap 8 jam
3. Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi gerakan involunter)
5. I n j e k s i Botox :
• Usia < 2 tahun belum direkomendasikan
Dosis rekomendasi 0.5-2 U/kgBB
B. Terapi Perkembangan
Rehabilitasi Medik dengan terapi fisik dan okupasi
C. Terapi bedah
1. Dorsal rhizotomy
2. Tendon lengthening
D. Lain-lain :
1. Pendidikan khusus
2. Penyuluhan psikologis
3. Rekreasi
9. Edukasi a. Bila diagnosis CP tegak, dianjurkan untuk melakukan komunikasi dan transfer informasi yang baik
PALSI SEREBRAL
kepada orang tua tentang kondisi dan prognosis penderita
b. CP tidak mempengaruhi fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan penderita dapat mempunyai
anak
10. Prognosis Anak dengan CP akan mengalami retardasi mental 52%, gangguan bahasa dan bicara 38%, gangguan
pendengaran 12%dan epilepsi 34-94%.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Prof. Darto Saharso SpA(K)
b. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Probabilitas mencapai usia 20 tahun mencapai 50% pada CP berat.
Kemampuan untuk duduk diusia 2 tahun mempunyai adalah prediksi untuk kemampuan mandiri di masa
mendatang.
Penderita CP yang memerlukan nasogastric tube selama tahun awal kehidupan mempunyai angka
mortalitas 5 kali lebih besar dibanding yang dengan oral feeding.
15. Kepustakaan 1. Ashwal, B. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: Report of the
Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the
Child Neurology Society. Neurology 2004;62:851-63.
2. Druschel C, Althuizes HC, Funk JF, Placzek R. Off label use of botulinum toxin in children under two years
of age: a systematic review. Toxins 2013;5:60-72.
3. Novak I, Hines M, Goldsmith S, Barclay R. Clinical prognostic messages from a systematic review on
cerebral palsy. Pediatrics 2012;130:1285-1312.
4. Gudiol MV, Calafat CB, Farres MG, Algra MH, Baxter KM, et al. Treadmill interventions with partial body
weight support in children under six years of age at risk of neuromotor delay: a report of a Cochrane
systematic review and meta analysis. Eur J Phys Rehabil Med 2013;49:67-91.
5. Jan MMS. Cerebral palsy: comprehensive review and update. Ann Saudi Med 2006;26:123-32.
6. Pakula AT, Braun KMV, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and epidemiology. Phys Med Rehabil
Clin N Am 2009;20:425-52.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Suatu acute immune mediated polineuropathy yang mengenai system syaraf perifer, bersifat ascending
paralysis, kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi dalam 4 minggu, dimulai dari tungkai dan lengan
ke tubuh. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului
oleh infeksi virus.
2. Anamnesis Kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh pada sebagian
besar kasus, dan perubahan sensasi nyeri seiring hilangnya system syaraf otonom pada sebagian kasus.
Komplikasi SGB dapat mengancam hidup terutama apabila mengenai otot-otot pernafasan dan system
syaraf otonom.
Sering didahului infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya, sulit kencing (10-15%), nyeri (50%), sehingga anak
menjadi rewel dan iritabel
3. Pemeriksaan Fisik Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB) yang simetris.
Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama, dan kelemahan ini dapat mengenai otot-otot
pernafasan hingga membutuhkan respirator.
Instabilitas otonom (26%), berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim simpatis dan parasimpatis
dengan manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik, disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan
takikardia.
Ataksia (23%)
Gangguan saraf kranial (35-50%)
4. Kriteria Diagnosis Kelemahan motorik progresif dan asending
Pemeriksaan neurologi: kelemahan motorik dan arefleksia
Pemeriksaan neurofisiologi EMG-NCV spesifik
5. Diagnosis Sindroma Guillain Barre
6. Diagnosis Banding 1. Poliomyelitis
2. Myositis akut
3. Lesi medulla spinalis
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa LCS
48 jam I : normal
Minggu II : diikuti kenaikan kadar protein, tanpa/ disertai kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation)
2. Pemeriksaan elektrofisiologi
EMG dan NCV (Nerve Conduction Velocity)
Minggu I : terjadi pemanjangan / hilangnya F-response (88%), prolonge distal latencies (75%), blok pada
konduksi (50%)
Minggu II : terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%) dan penurunan
kecepatan konduksi (84%)
3. Pemeriksaan radiologi
MRI sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan dengan
menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras
8. Terapi 1. IVIG (Intravenous Imunoglobulin) 0,4 g/kgBB/hari, iv, selama 5 hari. Perbaikan klinis
mulai tampak setelah hari ke 2-3.
Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia,
perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom).
2. Steroid
3. Dexamethasone 0,5 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial)
4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama
5. Alat bantu pernafasan (respirator) apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan
9. Edukasi Memberikan penjelasan mengenai pengobatan
Memberikan penjelasan mengenai prognosis penderita
10. Prognosis 1. Sembuh sempurna (75-90%), 20% masih bisa berjalan sampai lebih dari 6 bulan
2. Sembuh dengan gejala sisa berupa drop foot atau tremor postural (25-36%)
3. Kambuh (kambuh atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu ke-4 = Chronic Inflamatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (CIDP))
4. Kematian (1-5%) akibat gagal nafas, terutama pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis 10% dengan kecacatan yang menetap
25 % memerlukan ventilator
5% meninggal
Perbaikan pada pemberian steroid iv 60,6%, pada steroid oral 47,1%, plasma exchange + IVIG 61%, IVIG
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIDROSEFALUS
1. Pengertian (Definisi) Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis,
disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai
tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinalis. Terdapat 2 tipe: komunikan dan non komunikan.
2. Anamnesis Pada anak :
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial :
- M untah proyektil
- Nyeri kepala
- Kejang
- Kesadaran menurun
3. Pemeriksaan Fisik Anak :
Pembesaran lingkar kepala
Papiledema
Bayi :
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala :
Kepala makin membesar
Vena-vena kepala prominen
Ubun-ubun melebar dan tegang
Sutura melebar
“Cracked-pot sign”, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah semangka pada perkusi kepala
Perkembangan motorik terlambat
Perkembangan mental terlambat
Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles)
“Cerebral cry”, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar
Nistagmus horizontal
“Sunset phenomena”, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita,
sklera tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis kepala yang membesar
Pemeriksaan fisik yang spesifik
Pemeriksaan penunjang CT Scan atau MRI kepala
5. Diagnosis Hidrosefalus
6. Diagnosis Banding 1. Ciri keluarga (familial feature)
2. Megaensefali
3. Hidransefali
4. Tumor otak
5. Cairan subdural (subdural effusion)
7. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan darah :
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
- X foto kepala kranium yang membesar atau sutura yang melebar
- USG kepala : dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
- CT-Scan/MRI kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan sekaligus mengevaluasi
struktur-struktur intraserebral lainnya.
- Analisis cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis untuk mengetahui kadar
protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi sisa.
- EEG untuk mengevaluasi kemajuan klinis. Abnormalitas EEG dapat ditemukan fokal, difus dan berguna
mendeteksi kejang.
8. Terapi Farmakologis :
mengurangi volume cairan serebrospinalis
Acetazolamide 25 mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis (maksimal 100mg/KgBB/hari)
Furosemide 1 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis
Pembedahan
Ventrikuloperitoneal shunt
Endoskopi
9. Edukasi Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala
yang progresif atau lebih dari normal.
Hidrosefalus membutuhkan perawatan jangka panjang
Komplikasi pemasangan shunt :malfungsi, infeksi dan terkadang membutuhkan revisi
Hidrosefalus yang tidak diterapi mortalitas mencapai 50%
10. Prognosis Prognosis jangka panjang sangat dipengaruhi oleh penyebab hidrosefalusnya
Hidrosefalus yang diterapi bedah survival rate mencapai 90% dan IQ normal pada 2/3 pasien
Mortalitas karena hidrosefalus dan terapinya antara 0 – 3% tergantung pada lamanya follow up.
HIDROSEFALUS
Infeksi shunt terjadi antara 1 5 – 30 %.
Epilepsi terjadi 6 – 30% penderita
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis 60% anak dengan hidrocephalus dapat bersekolah (meskipun terdapat banyak kesulitan)
40% anak relatif dapat hidup normal
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3-5 hari perawatan
15. Kepustakaan 1. Ventakaramana NK. Hydrocephalus indian scenario – a review. Jour of pediatr neurosciences
2011;6:11-22.
2. Vinchon M. Pediatric hydrocephalus outcomes : a review. Fluid and barrier of the CNS 2012;9:1-10
3. Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin Pediatr Neurol
2009;16:9-15.
4. Groat J. Review of the treatment & management of hydrocephalus. US pharm 2013;13.
5. Menkes JH, Sarnat HB, Sarnat F. Malformations of the central nervous system. Dalam Menkes Jh,
Sarnat HB, Maria BL editor. Child Neurology 7th ed. Lippincott William and Wilkins, Philadelphia.
2006. Hal 330-49.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KEJANG DEMAM
1. Pengertian (Definisi) Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38°C), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks
2. Anamnesis - Didapatkan riwayat panas disertai kejang
- Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik
Pemeriksaan neurologi dalam batas normal
4. Kriteria Diagnosis Kejang Demam Sederhana (KDS) :
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang Demam kompleks (KDK) :
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Diagnosis Kejang Demam
6. Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
2. X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang
fokal atau hemiparese.
3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis.
4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
8. Terapi 1. Penanganan Pada Saat Kejang
•Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-
0,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian.
•Turunkan demam :
Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO,
keduanya diberikan sehari 3-4 kali
Kompres : suhu >39°C : air hangat; suhu > 38°C : air biasa
•Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.
2. Pencegahan Kejang
• Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS
dengan Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan
antipiretik pada saat anak menderita penyakit
yang disertai demam.
9. Edukasi 1. Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik
2. Memberikan cara penanganan kejang yang benar
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam
5. Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat
KEJANG DEMAM
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
MATI OTAK
1. Pengertian (Definisi) Mati Otak (MO) atau Brain Death adalah suatu diagnosis klinis berdasarkan hilangnya fungsi neurologis akibat
suatu koma ireversibel. Koma dan apnea merupakan persyaratan untuk mendiagnosa mati otak.
2. Anamnesis Koma dan apnea harus ada untuk mendiagnosis mati otak
Keadaan yang harus diperhatikan sebelum menentukan mati otak:
Hipotensi, hipotermi, dan gangguan metabolik yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi
harus dikoreksi
Sedatif, analgesik, agen blokade neuromuscular, dan antikejang seharusnya dihentikan dalam
jangka waktu tertentu berdasarkan eliminasi half-life dari setiap obat untuk meyakinkan bahwa obat-
obat tersebut tidak mempengaruhi pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mati otak direkomendasikan untuk dilakukan 2 orang dokter berbeda yang terlibat dalam
perawatan anak dipisah dalam suatu periode observasi.
Rekomendasi periode observasi untuk neonatus (37 minggu usia gestasi sampai usia 30 hari) adalah 24
jam dan 12 jam untuk bayi dan anak (>30 hari sampai usia 18 tahun). Pemeriksaan pertama adalah untuk
menentukan mati otak dan pemeriksaan kedua untuk mengkonfirmasi kondisi mati otak berdasarkan
kondisi yang tetap dan ireversibel.
Jika semua semua faktor sudah dieksklusi bisa lanjut ke tahap 2. Tetapi bila ada faktor perancu langsung ke
tahap 4.
Tahap 2
Pemeriksaan fisik; (reflek spinal cord dapat diterima)
1. Tonus flaksid, pasien tidak berespon terhadap stimulus nyeri yang dalam
2. Refleks cahaya pupil: tidak ada respons terhadap cahaya bilateral, pupil dilatasi dan posisi di tengah.
3. Reflek cornea, batuk dan muntah tidak ada.
(Refleks kornea : tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan ujung kapas; Refleks
oro-faringeal : tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada faring posterior; Refleks trakeo-
bronkial: kateter penghisap dimasukkan melalui endotracheal tube hingga mencapai karina atau lebih
dalam. Tidak didapatkan refleks batuk)
4. Tidak didapatkan reflek sucking dan rooting
5. Refleks vestibulo-okular (tes kalori) : pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika ada perforasi
membrana timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat 30o dengan melakukan irigasi
membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan
jarak pemeriksaan antara 2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara langsung
terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO.
6. Tidak didapatkan usaha bernafas sewaktu dalam ventilasi mekanik
Jika ada elemen yang tidak bisa dilakukan maka langsung ke tahap 4.
Tahap 3
Tes apnea :
Tidak didapatkan usaha bernafas meskipun PaCO 2
60 mmHg dan a 20mmHg peningkatan diatas garis dasar PaCO 2 .
Jika tes apnea merupakan kontra indikasi atau tidak dapat dilakukan maka langsung ke tahap 4.
Prasyarat : penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi yang stabil
Sesuaikan setting ventilator untuk memelihara PaCO 2 berkisar 40 mmHg
Pra-oksigenasi dengan O 2 100% selama 5-10 menit
Diskoneksi dari ventilator
Berikan 100% O 2 melalui kateter trakea dengan aliran 6 l/menit
Monitoring O 2 saturasi dengan pulse oxymetri
MATI OTAK
Ukur PaCO 2 mmHg setelah 5 menit lalu setelah 2 8 menit jika PaCO 2 tidak melebihi 60 mmHg
hubungkan kembali penderita dengan ventilator
Pemutusan hubungan dengan ventilator tidak boleh melebihi 10 menit pada satu kali pemeriksaan
2 Tes apnea positif : jika tidak ada usaha bernafas dengan PaCO >60mmHg
Jika selama tes apnea terjadi hipotensi yang bermakna, desaturasi
2
yang nyata atau aritmia kardiak,
secara langsung dilakukan pemeriksaan BGA, hubungkan segera kembali dengan ventilator. Seharusnya
pada keadaan PaCO 2 <60mmHg, hasil tes dikatakan belum pasti. Selanjutnya pertimbangan diserahkan
kepada pediatri untuk menentukan kapan tes dapat diulang atau tergantung dari tes lain untuk menegakkan
diagnosis klinis Mati otak.
Tahap 4
Tes tambahan
Diperlukan bila:
1. Jika ada komponen dari pemeriksaan atau tes apnea tidak dapat dilakukan
2. Jika ada ketidakjelasan hasil dari pemeriksan fisik
3. Jika ada efek medikasi yang nyata
Tes tambahan yakni:
1. EEG yang menyatakan electroserebral silence
2. Pemeriksaan Cerebral Blood Flow (CBF) yang menyatakan tidak ada perfusi cerebral
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
MENINGITIS BAKTERI
1. Pengertian (Definisi) Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus.
2. Anamnesis Neonatus
G ejala tidak khas
Panas ±
Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
Pernafasan tidak teratur
Anak umur 2 bulan-2 tahun :
Gambaran klasik (-)
Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
Kadang-kadang “high pitched cry”
Anak umur > 2 tahun :
Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
Kejang
Gangguan kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik Neonatus
Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
Anak
Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis: panas, muntah, kejang
2. Pemeriksaan fisik: tanda rangsang meningeal positif pada anak
3. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal dari lumbal pungsi
5. Diagnosis Meningitis
6. Diagnosis Banding 1. Meningismus
2. Abses otak
3. Tumor otak
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal :
Meningitis Bakteri
Tekanan Meningkat
Warna Keruh
Total White blood cell >1000
Polymorphonuclear cells +++
Mononuclear celss +
Protein Meningkat
Glucosa
Gram stain Positive
Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT- Scan/MRI kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
Darah : LED, CRP, lekosit, hitung jenis, biakan
Air kemih : biakan
Cairan serebrospinal: biakan
8. Terapi Farmakologis :
a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris :
Pasien Antibiotik Dosis (iv)
Neonatus/ Ampicillin + 50-100 mg/kg tiap 6-8 jam
bayi<3bulan Cefotaxime/ 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Gentamicin 2,5 mg/kg tiap 8 jam
Neonatus Vancomycin + 15 mg/kg tiap 8-24 jam
prematur Ceftazidime 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Bayi usia > 3 Ceftriaxone / 100 mg/kg tiap 24 jam (max 4g)
bulan Cefotaxime 100 mg/kg tiap 8jam (max 12 g)
MENINGITIS BAKTERI
Mikroorganisme Durasi terapi (hari)
Neisseria meningitides 7
Haemophilus influenza 7
Streptocccus pneumonia 10-14
Streptococus agalactiae 14-21
Basilus aerob gram negative 21
Listeria monocytogenes 21
b. Pengobatan simptomatis
• Menghentikan kejang :
Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian
dilanjutkan dengan :
Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
• Menurunkan panas :
Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO
diberikan 3-4 kali sehari
Kompres air hangat/biasa
Menurunkan proses inflamasi :
Deksamethason dosis 0.15 mg/kg iv tiap 6 jam selama 4 hari. Seharusnya dimulai sebelum
pemberian antibiotik yang pertama.
c. Pengobatan tambahan
Cairan intravena
2. Perawatan :
Pada waktu kejang :
Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
Hisap lendir
Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
Bila penderita tidak sadar lama:
Beri makanan melalui sonde
Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan
Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
Cegah kekeringan kornea dengan salep antibiotic
Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
Pemantauan ketat :
Tekanan darah
Pernafasan
Nadi
Produksi air kemih
Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
Fisioterapi dan rehabilitasi.
9. Edukasi 1. Deteksi dini terhadap kecurigaan meningitis bakteri dan kecepatan pemberian antibiotik sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pemberian antibiotik empiris seharusnya berdasarkan epidemiologi local, usia dan factor resiko
3. Penjelasan terhadap resiko komplikasi berupa peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus, infark
ataupun subdural efusi yang bisa terjadi.
MENINGITIS BAKTERI
Derajat berat penyakit sewaktu MRS
Penyakit derajat berat
Adanya gejala neurologis fokal
Koma
Gangguan kardiovaskular
Tidak adanya panas
Tipe manajemen
Memerlukan perawatan intensif
Terapi antibakteri yang tidak adekuat
Tidak adanya terapi antiinflamasi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Imunoprofilaksis Vaksin H Influenzae type b efektif dan aman melindungi terhadap meningitis
Metaanalysis pemberian antibiotik untuk terapi meningitis bakteri selama 4-7 hari dan 7-14 hari tidak
didapatkan perbedaan bermakna
Pemberian deksamethason dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pendengarab pasca meningitis
bakteri
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 minggu
15. Kepustakaan 1. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier
2012. Hal 1241-61.
2. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. Hal 433-48.
3. Prats JG, Gaspar AJ, Riberio AB, Paula GD, Boas LV et al. Systematic review of dexamethasone as
adjuvant therapy for bacterial meningitis in children. Rev Paul Pediatr 2012;30:586-93.
4. Huy NT, Thao NTH, Diep DTN, Kikuchi M, Zamora J et al. Cerebrospinal fluid lactate concentration to
distinguish bacterial from aseptic meningitis: a systemic review and metaanalysis. Crit care
2010;14:2-15.
5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for the management
of bacterial meningitis. CID 2004;39:1267-83.
6. Beek D, Brouwer MC, Thwaites GE, Tunkel AR. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet
2012;380:1693-702.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
|
ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)
1. Pengertian (Definisi) Kelainan neurodegenerative otosomal resesif yang ditandai dengan kelemahan progresif lower motor neuron
(LMN) yang disebabkan oleh delesi homozygote dari Survival Motor Neuron 1 (SMN 1).
2. Anamnesis Kelemahan progresif tergantung pada tipe ASM.
Tipe I didapatkan kelemahan otot, kesulitan menghisap, menelan dan bernafas, riwayat sianosis
berkepanjangan saat lahir.
Tipe II didapatkan gangguan tumbuh kembang terutama gangguan motorik (belum bisa berdiri atau duduk),
tremor jari-jari.
Tipe III didapatkan kelemahan otot proksimal yang progresif lambat, kesulitan melakukan gerakan motorik
khusus misal naik tangga dan mendaki
Tipe IV gejala mirip tipe III
3. Pemeriksaan Fisik Sesuai dengan lesi LMN :
1.Kelemahan flaksid
2.Hipotonia
3.Refleks tendon menurun atau tidak ada
4.Fasikulasi
5.Atropi otot
4. Kriteria Diagnosis 1. Kelemahan otot tipe LMN yang progresif
2. NCV normal
3. CMAPs rendah
4. SMN 1 gen absen homozigote
5. Diagnosis Atropi spinal muscular
6. Diagnosis Banding 1. Distropi muscular kongenital
2. Miopati kongenital
3. Miastenia gravis
4. Gangguan metabolism karbohidrat
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Kadar craetinin kinase (CK) normal pada ASM tipe I dan sedikit meningkat pada 3 tipe lainnya
2. Analisa cairan serebro-spinal normal
3. Analisa kromosom, khususnya pada rantai 5q
4. NCV normal
5. Conduction Motor Action Potentials (CMAPs) dapat rendah normal atau menurun (tergantung tingkat
keparahan penyakitnya), pada kelemahan kronis, CMAPs mendekati normal karena telah terjadi
reinervasi dan kolateral
6. Biopsi otot pada awal penyakit tampak atropi serabut-serabut otot dan hipertropi kompensasi.
Tampak degenerasi atau hilangnya SMN dengan gambaran neurogenik pada morfologi otot
8. Terapi 1. Penatalaksanaan bersifat suportif, bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan
kecacatan
2. Ventilasi non mekanik dapat diberikan pada penderita yang mengalami kelemahan otot pernafasan
3. Percutaneous gastrostomy diberikan pada penderita dengan kelemahan otot menelan untuk mencegah
komplikasi dan memperbaiki nutrisi
4. Terapi pembedahan (koreksi skoliosis atau intervensi ortopedi lainnya) diindikasikan bila didapatkan
kemungkinan harapan hidup yang lama
9. Edukasi 1. Penjelasan bahwa atrapi spinal muscular adalah kelainan yang disebabkan genetik
2. Menjelaskan tipe dari atrapi spinal muscular yang berhubungan dengan tingkat keparahan dan
prognosisnya
3. Terapi yang diberikan hanya bersifat suportif untuk meningkatkan kulitas hidup penderita
4. Genetik konseling dilakukan pada orangtua penderita atrapi spinal muscular yang merencanakan
untuk kehamilan berikut.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis 1. Angka harapan hidup pada ASM tipe I usia 2 tahun adalah 32%, kebanyakan meninggal sebelum
usia 18 bulan
2. Pada ASM tipe II, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 77%
3. Pada ASM tipe III, angka harapan hidup tergantung onset penyakit. Bila onset < 3tahun angka
harapan usia 2 tahun 98% dan 20 tahun 34%. Bila onset > 3 tahun, angka harapan usia 2 tahun
100% dan 20 tahun 67%
4. Pada ASM tipe IV, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 100%
15. Kepustakaan 1. Lewelt A, Newcomb TM, Swoboda KJ. New therapeutic approaches to spinal muscular atrophy. Curr
Neurol Neurosci Rep. 2012; 1: 42-53
2. Wadman RI, Bosboom WM, Van den Berg LH, Wokke JH, Lannaccone ST, Vrancken AF. Drug
treatment for spinal muscular atrophy types II and III. Cochrane Database Syst Rev. 2011; 7: 12
3. Stavarchi M, Apostol P, Toma M, Cimponeiru D, Gavrila L. Spinal muscular atrophy disease: a
literature review for teurapeutic strategies. Journal of Medicine and Life. 2010; 1: 3-9
|
ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)
4. Montes J, Gordon AM, Pandya S, Devivo DC, Kafmann P. Clinical outcome measures in spinal
muscular atrophy. J Child Neurol, 2009; 24: 968-78
5. Sarnat HB, Menkes JH. Disease of the motor unit. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 969-78.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
STATUS EPILEPTIKUS
1. Pengertian (Definisi) Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang
tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi
dan fase II mekanisme tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan non-
konvulsif status epileptikus.
2. Anamnesis Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
Tingkat kesadaran di antara kejang
Riwayat kejang sebelumnya,
Riwayat kejang dalam keluarga
Panas,
Trauma kepala
Riwayat persalinan,
Tumbuh kembang
Penyakit yang sedang diderita dan dahulu.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
• Peningkatan cerebral blood flow dan
metabolisme
• Hipertensi, hiperpireksia
• Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
• Depresi pernafasan
• Disritmia jantung, hipotensi
• Hipoglikemia, hiponatremia
• Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan
DIC
4. Kriteria Diagnosis Bisa memakai salah satu dari kriteria dibawah:
Kejang berlangsung selama 30 menit atau lebih
Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih
5. Diagnosis Status epileptikus
6. Diagnosis Banding 1. Reaksi konversi
2. Syncope
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah)
dianjurkan untuk evaluasi penyebab
2. CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial
8. Terapi 1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit
pertama), yaitu ABC :
• Airway : Bebaskan jalan nafas
• Breathing : Pemberian pernafasan
buatan/bantuan nafas
• Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan.
2. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30
menit pertama) :
Rute intravena:
1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin
(Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB )
2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb
dilanjutkan maintenance
3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance
Rute intranasal:
Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB
Rute intramuscular:
Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB
STATUS EPILEPTIKUS
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi
dengan :
• Midazolam, atau
• Barbiturat (thiopental, phenobarbital,
pentobarbital)
9. Edukasi 1. Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif
maupun gangguan tingkah laku.
2. Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat,
farmakoresistensi dan mortalitas.
3. Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%.
10. Prognosis Tergantung pada :
• Penyakit dasar
• Kecepatan penanganan kejang
• Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan
menghasilkan mortalitas sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan penanganan
15. Kepustakaan 1. Sofou K, Kristjandottir R, Papachatzakis NE, Ahmadzadeh A, Uvebrant P. Management of prolonged
seizures and status epilepticus in childhood: a systematic review. J of Chikd Neurol 2009;24:918-26.
2. Meier H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, et al. EFNS guideline on the management of
stautus epilepticus. Eur J of Neurol 2006;13:445-50.
3. Brophy GM, Bell R, Allredge B, Bleck TP, Glausr T et al. Guidelines for the evaluation and
management of status epilepticus. Neurocrit care 2012;17:3-23.
4. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Seminars in neurology 2008;28:342-54.
5. Prasad K, Krishnan PR, Al Roomi K, Sequeira R. Anticonvulsant therapy for status epilepticus. Br J
Clin Pharmacol 2007;63:640-7.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Failure to thrive (FTT) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai
1. Pengertian (Definisi) dengan seharusnya, tidak naik (flat growth) atau turun dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya (diketahui
dari grafik pertumbuhan), terutama pada usia dibawah 3 tahun. Istilah yang lebih tepat adalah fail to gain weight
bukan diterjemahkan sebagai gagal tumbuh, karena dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap
umur pada minimal 2 periode pengukuran (dapat memakai berat badan pada saat lahir). Tinggi badan dan lingkar
kepala yang juga merupakan parameter pertumbuhan mungkin masih normal.
Perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar
deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. FTT juga belum tentu gizi kurang atau gizi buruk
Masa neonatal : FTT dapat disebabkan oleh manajemen ASI yang salah, cara pemberian susu formula yang
2. Anamnesis salah (jumlah, cara pengenceran), kelainan metabolik, kelainan kromosom dan kelainan anatomis (rongga mulut,
gastrointestinal, dll)
Usia 3-6 bulan: kemungkinan penyebab antara lain underfeeding (karena kemiskinan), cara pembuatan formula
yang salah, intoleransi protein susu, disfungsi motorik oral, refluks gastroesofagus,kelainan anatomis sal
pencernaan atau gangguan malabsorbsi dan penyakit jantung bawaan.
Usia 7-12 bulan : keterlambatan pemberian makanan padat, intoleransi makanan, penyakit infeksi, disfungsi
motor oral, dan orang tua yang protektif.
Diatas usia 12 bulan: masalah seperti usia diatas ditambah dengan masalah psikososial
Dilakukan pengukuran BB, TB, dan lingkaran kepala. Kemudian ditentukan status gizi anak tersebut.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pasien yang gizinya masih cukup, tidak ditemukan gejala yang khas, sedangkan anak dengan gizi kurang
anak tampak kurus tanpa disertai kelainan fisis lain.
Pasien yang mengalami gizi buruk terlihat cengeng, kurus sekali, ditemukan wasting, ekstremitas hipo/atrofi,
crazy pavement dermatosis.
Pasien FTT akibat kelainan kromosom atau genetik dapat terlihat dismorfik.
Cari adanya kelainan fungsional atau kelainan anatomis,tanda infeksi.
Perhatikan terhadap kemungkinan adanya child abuse.
Pemeriksaan antropometris
4. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasar :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan antropometris
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemerisaan penunjang
Bayi Prematur
6. Diagnosis Banding Bayi dengan intra uterin growth restriction
Kelainan anatomis tulang: osteogenesis imperfecta,achondroplasia
Darah tepi lengkap
7. Pemeriksaan Urinalisis dan feses lengkap
Penunjang Kultur darah, urine
Uji tuberculin
Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi sesuai penyakit dasar yang dicurigai (misal:analisis gas darah bila
curiga adanya tubulopati, elektrolit, pemeriksaan laktat dan amoniak bila dicurigai penyakit inborn error, dll)
Pemeriksan radiologis bila dicurigai adanya kelainan anatomis
Mencari dan mengobati penyakit dasarnya apakah merupakan kelainan organik atau non organik
8. Terapi
Terapi Medikamentosa
Diberikan bila ditemukan penyakit yang mendasari (underlying disease)
Terapi Nutrisi
- Berikan menurut tahapan Asuhan Nutrisi Pediatri (Pediatric Nutrition Care)
- Hitung kebutuhan kalori serta protein menggunakan prinsip BB ideal menurut PB atau TB saat ini
dikalikan RDA kalori /protein sesuai dengan height age (PB atau TB saat ini ideal untuk usia berapa?),
dimulai dengan kalori BB aktual dan dinaikkan bertahap sampai kalori BB ideal atau dimulai 50-60 %
dari kalori BB ideal untuk menghindari refeeding syndrome
FTT sederhana
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)
b. Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K)
c. Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K)
d. Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K)
14. Indikator Medis Berat badan naik, panjang /tinggi badan bertambah, lingkar kepala normal
1. Gahagan S. Failure to thrive: A consequences of undernutrition. Pediatr Rev. 2006;27:e-11.
15. Kepustakaan 2. Krugman SD,Dubowitz H. Failure to thrive. AAFP 2003: 68:879-84
3. Olsen OM, Petersen J, Skovgaard AM. Failure to thrive: the prevalence and concurrence of anthropometric
criteria in a general infant population. Arch Dis Child 2007: 92; 109-114
4. Khoshoo V, Reifen R.Use of energy-dense formula for treating infants with non-organic failure to thrive.
European Journal of Clinical Nutrition 2002:56;921-24
5. UKK NPM IDAI. Gagal Tumbuh. Dalam Standar Pelayanan Medis IDAI 2007
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi,
1. Pengertian (Definisi) dapat karena asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama.
Sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain.
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat
ringan-sedang (gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis
yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis
didapatkan 3 bentuk ,yaitu : kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam
penatalaksanaannya hampir sama
KEP berat
- Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng,
kulit kering, dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang,
otot atrofi hingga kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah
lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
- Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan.
- Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV
- KLINIS
4. Kriteria Diagnosis - ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva WHO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000)
Adanya edem maupun asites pada kwashiorkor atau marasmik-kwasiorkor perlu dibedakan dengan :
6. Diagnosis Banding - Sindroma nefrotik
- Sirosis hepatis
- Gagal jantung kongestif
- Pellagra Infantil
1. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein
7. Pemeriksaan serum (albumin, globulin), feritin.
Penunjang 2. Tes mantoux
3. Radiologi (dada, AP dan Lateral )
4. EKG
KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti
8. Terapi pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat
No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 Mulai Pemberian
Makanan (F-75)
7 Pemberian Makana
utk Tumbuh kejar
(F-100)
Medikamentosa
100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 30-
60 menit, kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde
lambung. Bila dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO
belum selesai. Jangan menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok.
- Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5%
sebanyak 15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
- Evaluasi setelah 1 jam
- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan
dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam
selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula F-75
Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan
cairan rumat sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara
perlahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi
Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau
tanda gagal jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung berikan transfusi “packed red cell” untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Berikan furosemid 1mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan
distress napas setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara 4-6g/dl, jangan diulangi
pemberian darah.
a. Antibiotik
- Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari
sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari.
- Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM
sekali sehari selama 7 hari.
b. Vitamin-mineral
- Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI,
> 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang
pada hari ke 15 atau sebelum pulang
- Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu
- MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari
- Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu
- Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix
- Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi.
Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung
bawaan,dll
B. DIETETIK
- Oral atau enteral
Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan
berat badan ideal (target berat badan)
Gizi buruk: lihat tabel (sesuai fase)
- Diet bisa diberikan peroral atau enteral melalui pipa nasogastrik pada kasus gangguan absorbsi
dengan continuous feeding atau intermiten
- Jenis diet pada fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat
- Bila didapatkan diare kronik (persisten) diberikan formula/diet elemental, semi elemental tergantung
beratnya kerusakan mukosa usus yang dapat menimbulkan malabsorbsi karbohidrat (laktosa), protein
dan lemak
- Nutrisi parenteral (Intravena): hanya atas indikasi tepat.
Bisa diberikan secara parsial atau total tergantung toleransi pemberian enteral (absorbsi) dan derajat
beratnya diare kronik, untuk memenuhi total kalori yang diperlukan sesuai kebutuhan.
- Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan, yaitu: BB < 7 kg diberi
- Makanan padat (solid) pada kasus diare kronik bisa dimulai dengan pemberian bubur BREDA (bubur
realimentasi daging ayam), modifikasi bubur rendah laktosa (soy based diet)
- Evaluasi : aksep
Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk
Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula
12. Tingkat C
Rekomendasi
1. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)
13. Penelaah Kritis 2. Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K)
3. Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K)
4. Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K)
14. Indikator Medis Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk:
15. Kepustakaan buku I,II. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003
2. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health
workers. Geneva: World Health Organization. 1999.
3. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009.
4. Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds.
Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc
2003.p174-90
5. World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of
the Child with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the First-
Referral Level in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000
6. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas.IDAI 2011
7. Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in
infancyArchives of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73
8. Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease.
Pediatrics 1983;72;786
9. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea:
Comparison of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics,
1991;88:1010-18.
10. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent
diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr.
Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
OBESITAS
Obesitas adalah keadaan penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan dan ditandai dengan adanya
1. Pengertian (Definisi) gambaran klinis yang khas. Kelainan ini sering disertai komplikasi hiperlipidemia, obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS), dan non alcoholic steato hepatitis (NASH)
Obesitas terjadi bila asupan energI total melebihi pengeluaran energi total. Ketidakseimbangan energI ini dapat
disebabkan oleh asupan energi yang berlebih dan atau pengurangan pengeluaran energi, baik untuk
metabolisme, termoregulasi dan aktivitas fisik.
Peningkatan asupan energi ditemukan pada sindrom genetik, sedang pengurangan energi dijumpai pada
defisiensi hormon. Namun kelainan genetik dan hormonal tersebut ternyata tidak dapat menjelaskan peningkatan
berlebih berat badan pada kebanyakan pasien. Kebanyakan obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan misalnya pola makan, olah raga, jenis aktifitas sehari hari
Riwayat pertumbuhan/pertambahan berat badan
2. Anamnesis
Kapan mulai tambah gemuk
Riwayat masukan makanan
Riwayat obesitas dalam keluarga
Tidur mengorok
Aktivitas sehari hari
Perawakan pendek atau defek pertumbuhan linear pada anak dengan obesitas harus dicurigai kemungkinan
defisiensi growth hormone, hipotiroidisme, kelebihan kortisol, pseudohipoparatirodsme, atau sindrom genetik,
misalnya sindrom Prader Wili
Kulit kering, konstipasi, intoleransi terhadap cuaca dingin atau cepat lelah mengarah hoipotiroidisme.
Riwayat kerusakan pada SSP (misalnya infeksi, trauma, pendarahan, radiasi, kejang) mengarah pada obesitas
hipotalamikus dengan atau tanpa defisiensi growth hormone, atau hipotiroidisme hipotalamus. Riwayat sakit
kepala pagi hari, muntah, gangguan penglihatan dan miksi berlebih juga merupakan petunjuk bahwa obesitas
disebabkan oleh tumor atau massa di hipotalamus.
Tabel 1. Karakterikstik dan etiologi obesitas
Obesitas idiopatik Obesitas endogen
Ditegakkan berdasarkan:
5. Diagnosis Tanda klinis/Pemeriksaan Fisik
OBESITAS
Antropometris
Prader-Willis Syndrome
6. Diagnosis Banding Precoccius Puberty
Polycistis ovary syndrome
Dilakukan sesuai indikasi:
7. Pemeriksaan - Darah perifer lengkap
Penunjang - Tes toleransi glukosa oral
- Fungsi tiroid
- Profil lipid
- Sekresi dan fungsi growth hormone
- Kalsium, fosfat dan kadar hormon paratiroid bila dicurigai pseudohipoparatiroidisme
- Fungsi hati : SGOT, SGPT
- Foto orofaring AP dan Lat
- USG hati
- MRI otak dengan fokus hipotalamus dan hipofisis, bila terindikasi secara klinis
- Sleep studies untuk mendeteksi sleep apnea
Tata laksana komprehensif obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Tujuan utama
8. Terapi tata laksana obesitas adalah perbaikan kesehatan fisik jangka panjang melalui kebiasaan hidup yang sehat
secara permanen. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat tahap tata laksana dengan intensitas yang
meningkat. Prinsip tata laksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi.
Tahap I: Pencegahan Plus
Pada tahap ini, pasien overweight dan obesitas serta keluarga memfokuskan diri pada kebiasaan makan yang
sehat dan aktivitas fisik sebagai strategi pencegahan obesitas. Kebiasaan makan dan beraktivitas yang sehat
adalah sebagai berikut:
1. Mengonsumsi 5 porsi buah-buahan dan sayur-sayuran setiap hari. Setiap keluarga dapat meningkatkan
jumlah porsi menjadi 9 porsi per hari
2. Kurangi meminum minuman manis, seperti soda, punch.
3. Kurangi kebiasaan menonton televisi (ataupun bentuk lain menonton) hingga 2 jam per hari. Jika anak
berusia < 2 tahun maka sebaiknya tidak menonton sama sekali. Untuk membantu anak beradaptasi, maka
televisi sebaiknya dipindahkan dari kamar tidur anak.
4. Tingkatkan aktivitas fisik, 1 jam per hari. Bermain adalah aktivitas fisik yang tepat untuk anak-anak yang
masih kecil, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat melakukan kegiatan yang mereka sukai seperti
olahraga atau menari, bela diri, naik sepeda dan berjalan kaki.
5. Persiapkan makanan rumah lebih banyak ketimbang membeli makanan dari restoran.
6. Biasakan makan di meja makan bersama keluarga minimal 5 atau 6 kali per minggu.
7. Mengonsumsi sarapan bergizi setiap hari
8. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam perubahan gaya hidup
9. Biarkan anak untuk mengatur sendiri makanannya dan hindari terlalu mengekang perilaku makan anak,
terutama pada anak < 12 tahun.
10. Bantu keluarga mengatur perilaku sesuai kultur masing-masing
OBESITAS
6. Tim multidisipliner yang berpengalaman dalam hal obesitas anak saling bekerja sama, meliputi pekerja
sosial, psikologi, perawat terlatih, dietiesien, physicial therapist, dokter spesialis anak dengan berbagai
subspesialisasi seperti nutrisi, endokrin, pulmonologi, kardiologi, hepatologi, dan tumbuh kembang, ahli gizi,
dokter spesialis olah raga, psikolog, guru, dokter spesialis bedah ortopedi, dan ahli kesehatan masyarakat.
7. Kunjungan ke dokter yang reguler harus dijadwalkan, tiap minggu selama minimum 8-12 minggu paling
efektif
8. Kunjungan secara berkelompok lebih efektif dalam hal biaya dan bermanfaat terapeutik.
Tahap IV: Intervensi pelayanan tersier
Intervensi tahap IV ditujukan untuk anak remaja yang obesitas berat. Intervensi ini adalah tahap lanjutan dari
tahap III. Anak-anak yang mengikuti tahap ini harus sudah mencoba tahap III dan memiliki pemahaman tentang
risiko yang muncul akibat obesitas dan mau melakukan aktivitas fisik berkesinambungan serta diet bergizi
dengan pemantauan.
Diet sangat rendah kalori, yaitu pada tahap awal dilakukan pembatasan kalori secara ekstrim lalu
dilanjutkan dengan pembatasan kalori secara moderat. Terapi ini tidak dianjurkan untuk anak dan remaja.
Obat-obatan: yang telah dipakai pada remaja adalah sibutramine yaitu suatu inhibitor re-uptake serotonin
dan orlistat yang menyebabkan malabsorpsi lemak melalui inhibisi lipase usus. Food and Drug
Administration (FDA) menyetujui penggunaan sibutramine untuk pasien >16 tahun dan orlistat untuk pasien
>12 tahun.
Bedah: mengingat semakin meningkatnya jumlah remaja dengan obesitas berat yang tidak berespons
terhadap intervensi perilaku, terdapat beberapa pilihan terapi bedah, baik gastric bypass atau gastric
banding. Tata laksana ini hanya dilakukan dengan indikasi yang ketat karena terdapat risiko perioperatif,
2
pascaprosedur, dan perlunya komitmen pasien seumur hidup. Kriteria seleksi meliputi BMI 40 kg/m
dengan masalah medis atau 50 kg/ m2, maturitas fisik (remaja perempuan berusia 13 tahun dan anak
remaja laki-laki berusia 15 ta hun, m a turita s e m os iona l da n kognitif, da n s uda h be rus a ha m e nurunka n
berat badan selama 6 bula n m e la lui progra m m odifika s i pe rila ku).
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)
b. Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K)
c. Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K)
d. Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K
9. Kavey REW, Allada Y, Daniels SR, Hayman LL, McCrindle BW, Newburger JW, et al. Cardiovascular risk
reduction in high-risk pediatric patients: a scientific statement from the American Heart Association
Expert Panel on Population and Prevention Science; the Councils on Cardiovascular Disease in the
OBESITAS
Young, Epidemiology and Prevention, Nutrition, Physical Activity and Metabolism, High Blood
Pressure Research, Cardiovascular Nursing, and the Kidney in Heart Disease; and the
Interdisciplinary Working Group on Quality of Care and Outcomes Research: Endorsed by the
American Academy of Pediatrics. Circulation. 2006 December 12; 114: 2710-38.
10. American Heart Association, Gidding SS, Dennison BA, Birch LL, Daniels SR, Gilman MW, Lichtenstein
AH, et al. Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners. Pediatrics.
2006; 117: 544-59.
11. Sjarif DR. Obesitas. Dalam: Trihono PP, penyunting. Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002.
12. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards: Length/height-for-age,
weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and
development. Geneva: World Health Organization; 2006.
13. Jolliffe C, Janssen I. Vascular Risk and Management of Obesity in Children and Adolescents, Vascular
Health and Risk Management. 2006 ;2:171-87.
14. Freedman D. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. In: Marcus K, Wabitsch M, eds. Obesity in
Childhood and Adolescence. Pediatr Adolesc Med.Basel, Karger. 2004 ;9:160-69.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
6. Diagnosis Banding
- Kadar vitamin A serum (retinol)
7. PemeriksaanPenunj - Serum retinol < 20µg/dl indikator kadar serum rendah
ang
- Biladisertai KEP perbaiki status gizisesuaikeadaanklinis
8. Terapi - Pemberian vitamin A
- Usia<6 bulan: 50,000 SI, oral atau IM
- Usia 6-12 bulan : 100,000 SI, oral atau IM
- Usia> 1 tahun : 200,000 SI, oral atau IM
Diberikanpadahari ke-1, 2, dan 14 ataubilaadaperburukanklinis
Perawatan local
- Mata dibersihkan, diberisalepmataantibiotik, ditutupdengankainkasa yang
dibasahicairangaramfisiologik
- Pendidikangizikeluargadenganmengetahuisumberterbanyak vitamin A
9. Edukasi padaprodukhewanisepertitelur,daging, susu, keju. Sumbernabati (pro vit A/beta karoten
)terbanyakterdapatpadawortel, ketela, labukuning, sayurbayamdanbrokoli.
- Pemberian vitamin A oral setiap 6 bulan, dosisseperti di atas
12. Tingkat C
Rekomendasi
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KERACUNAN
1. Pengertian (Definisi) Keracunan adalah terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ
serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian.
5. Diagnosis Diagnosis keracunan di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Syok anafilaksis
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
Tindakan emergensi :
8. Terapi Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing : Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak
adekwat
Circulation : Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
Identifikasi penyebab keracunan.
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab keracunan ini
tidak sampai menunda usaha-usaha penyelamatan penderita yang harus segera dilakukan.
Eliminasi racun.
A. Racun yang ditelan
Rangsang muntah
Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan bahan beracun,
bila sudah lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang muntah kecuali bila bahan beracun
tersebut mempunyai efek yang menghambat motilitas ( memperpanjang pengosongan )
lambung.
Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum mole atau
dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan :
Sirup Ipecac
Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan.
Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml
1 - 12 tahun 15 ml
> 12 tahun 30 ml
Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila sesudah 20 menit tidak
terjadi muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian ipecac dapat diulangi.
Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%, dapat menyebabkan muntah dalam 2 -
5 menit.
Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB secara subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
1. Keracunan hidrokarbon,kecuali bila hidrokarbon tersebut mengandung bahan-bahan
berbahaya seperti camphor, produk-produk yang mengandung halogenat atau aromatik,
logam berat dan pestisida.
2. Keracunan bahan korossif
3. Keracunan CNS stimulant ( seperti strichnin )
4. Penderita kejang
5. Penderita dengan gangguan kesadaran
Kumbah lambung
Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah menelan bahan
KERACUNAN
beracun,kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat pengosongan lambung.
Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada :
- Keracunan bahan korosif
- Keracunan hidrokarbon
- Kejang
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita-penderita dengan resiko aspirasi
jalan nafas harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri, kemudian dimasukkan pipa
orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr,pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam
fisiologis ( normal saline/ PZ ) atau 1/2 normal saline 100 ml atau kurang berulang-ulang
sampai bersih.
Catharsis
Efektivitasnya masih dipertanyakan.
Jangan diberikan bila ada gagal ginjal, diare berat, ileus paralitik atau trauma abdomen
Dialysis
Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil. Bermanfaat hanya pada
bahan beracun yang bisa melewati filter dialisis ( dialysable toxin ) seperti phenobarbital,
salisilat, theophylline, methanol, ethylene glycol dan lithium.
Dialysis dilakukan bila : Asidosis berat
Gagal ginjal
Ada gejala gangguan visus
Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan.
KERACUNAN
Memberikan informasi secara intensif kepada orang tua atau orang yang bertanggung jawab dalam perawatan
9. Edukasi anak dan kepada masyarakat mengenai :
Keracunan pada anak, bagaimana terjadinya, akibat yang terjadi serta bagaimana mencegahnya.
Bahan-bahan yang potensial dapat menyebabkan keracunan yang terdapat didalam atau sekitar rumah yang
seringkali tidak diketahui oleh orang tua.
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi keracunan.
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K)
2. dr. Ira Dharmawati, Sp. A
3. dr. Hari Kushartono, Sp. A(K)
4. dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A
5. dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A
6. dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A
1. Terapi suportif harus segera diberikan sambil menunggu pemberian antidotum apabila zat toksik memiliki
14. Indikator Medis antidotum
2. Respon pemberian antidotum tergantung jenis zat toksiknya
3. Eliminasi racun dengan meningkatkan ekskresi melalui urin dapat dilakukan dengan pemberian natrium
bikarbonat dalam waktu 1-2 jam untuk mempertahan pH urine 7,5-8,5
4. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 5 hari
1. Aranoff SC. Food poisoning. Dalam: Behrman RE,Kliegman RM Eds.Nelson Textbook of
15. Kepustakaan Pediatrics.Philadelphia : Saunders, 1992; 1770 -74.
2. Dreisbach RH. Poisoning, Prevention, Diagnosis and Treatment. Dalam : Dreisbach Ed. Handbook of
Poisoning. California : Lange Medical Publication 1983; 3 - 103.
3. Hutchison JH,Cockburn F. Accidental poisoning in childhood. Dalam : Hutchison Ed. Practical pediatrics
problems. London : Lloyd-Luke, 1986; 673 - 89.
4. Madse M. Poisoning,ingestion and overdosis. Pediatric Critical Handout, University of Minesotta, 1998.
5. Olson KR. Comprehensive evaluation and treatment of poisoning and overdose. Dalam :Olson KR Ed.
Lange : Clinical manual : Poisoning and drug overdose. San Francisco :Apleton & Lange,Prentice Hall
International,1990; 1 - 57.
6. Pascoe DJ. Poisoning. Dalam : Pascoe Ed. Quick reference to pediatric emergencies. Philadelphia :
Lippincott; 1984; 86 - 142.
7. Pearson-Shaver AL,Steinbart CM. Evaluation of the poisoned child. Dalam : Holbrook PR Ed. Textbook
of Pediatric Critical Care. Philadelphia : Saunders,1993; 982 - 97.
8. Reece RM. Poisoning. Dalam:Reece RM ed. Manual of emergency
Pediatrics.Philadelphia:Saunders,1978; 203 - 37.
9. Rumack BH. Chemical and drug poisoning. Dalam : Behrman RE,Kliegman RM Eds. Nelson Tetbook of
Pediatrics.Philadelphia: Saunders, 1992; 1774 - 65.
10. Wolf AD,Berkowitz ID,Liebelt E,Rogers MC. Poisoning and the critically child. Dalam : Rogers MC Ed.
Textbook of Pediatric Intensive Care.Baltimore: William Wilkins,1996;1315-91
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
SYOK ANAFILAKSIS
Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
1. Pengertian (Definisi)
Penyebab anaphylaksis pada anak
2. Anamnesis 1. Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Alergen imunoterapi.
3. Gigitan atau sengatan serangga.
4. Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID.
5. Latex.
6. Vaksin.
7. Exercise induce.
8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah
dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamin.
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen.
3. Pemeriksaan Fisik Gejala kardiovaskular : hipotensi/renjatan.
Gejala saluran nafas : sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/
laring, gejala asma.
Gejala kulit : pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema.
Gejala intestinal : kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare.
Gejala SSP : pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Keracunan
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi syok anafilaksis
9. Edukasi
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K)
2. dr. Ira Dharmawati, Sp. A
3. dr. Hari Kushartono, Sp. A(K)
4. dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A
5. dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A
6. dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A
1. Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc
14. Indikator Medis (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.
SYOK ANAFILAKSIS
2. Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
Tanda-tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2
detik, akral hangat.
3. Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita
yang menunjukkan gejala seperti asma
4. Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin
(dalaw waktu 48 jam)
5. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang
masih menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam)
6. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari
1. Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 – 94.
15. Kepustakaan 2. Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis – Life threatening
allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm.
3. Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed.
Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 449–52.
4. Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm
5. Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 101–14.
6. Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347–
61.
7. Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am 1999; 19(3): 533 –53.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
SYOK HIPOVOLEMIK
1. Pengertian (Definisi) Syok adalah sindroma klinis akut yang disebabkan kegagalan fungsi kardiovaskuler dalam menyediakan
kecukupan oksigen dan nutrien lain untuk metabolisme jaringan, yang disebabkan karena kekurangan cairan.
2. Anamnesis - Kehilangan cairan : muntah, diare, luka bakar, perdarahan, drainase bedah
- Masukan cairan : jenis, jumlah
- Produksi urin
- Perubahan berat badan
KOMPENSASI
3. Pemeriksaan Fisik
Takikardi; takipnea; CRT 2-3 detikl; iritabilitas ringan
DEKOMPENSASI
5. Diagnosis Diagnosis syok hipovolemik di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
1. Syok Septik
6. Diagnosis Banding 2. Syok Kardiogenik
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
1. Bebaskan jalan napas dan oksigenasi dengan O2 100%.
8. Terapi 2. Pasang akses vaskuler (IV / IO) dan ambil sampel darah untuk laboratorium (darah lengkap, gula darah
acak, kalsium).
3. Bolus dengan cairan kristaloid / koloid isotonik 20 ml/kg secepatnya (< 10 menit), bisa diulang sampai
perfusi baik ATAU 60 ml/kg ATAU terdengar ronki ATAU hepatomegali (total waktu 10-15 menit).
4. Evaluasi tanda klinis syok setiap selesai bolus.
5. Koreksi hipoglikemi dan hipokalsemi.
Bila resusitasi cairan telah diberikan (2-3 kali bolus) dimana + 40-60% dari volume darah telah dimasukkan
namun belum ada respon adekuat, lakukan intubasi bila diperlukan. Evaluasi kemungkinan penyebab syok dan
lakukan tatalaksana lanjut sesuai penyebabnya.
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan
9. Edukasi yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, masih dapat ditolerir dibandingkan
kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan
penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung.
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K)
2. dr. Ira Dharmawati, Sp. A
3. dr. Hari Kushartono, Sp. A(K)
4. dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A
5. dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A
6. dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A
14. Indikator Medis Pengisian kapiler harus tercapai dalam waktu 60 menit dengan tanda waktu pengisian kapiler < 2 detik,
denyut nadi normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan sentral, produski urin > 1mL/kgBB/jam,
kesadaran normal, tekanan darah normal sesuai usia dan saturasin oksigen > 95%.
80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari.
SYOK HIPOVOLEMIK
1. APLS. The pediatric emergency medicine course. Edisi ke-2. 1993.
15. Kepustakaan 2. Bell LM. Shock. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. Hal: 46-57.
3. Smith L, Hernan L. Shock states. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical
care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. Hal: 294-410.
4. Zingarelli B. Shock and reperfusion injury. Dalam: Nichols DG, et al, penyunting. Rogers’ textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Hal: 252-65.
5. Nadel S, Kissoon NT, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols DG, et al,
penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. Hal: 372-83.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
BRONKIOLITIS
1. Pengertian (Definisi) Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil
(bronkiolus)
Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza,
adenovirus, rhinovirus dan mycoplasma.
2. Anamnesis Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam
atau hanya subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang
berat bisa didapatkan cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita.
Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
3. Pemeriksaan Fisik Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan 50x/menit, 1-5 tahun 40x/menit.
Ekspiratory effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas
cuping hidung.
Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa
wheezing, sedang ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat
suara nafas nyaris tidak terdengar, wheezing bahkan dapat menghilang.
Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada AP dan lateral
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya
sesak pada bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)
2. Pada foto polos dada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengan diameter anteroposterior yang melebar pada
foto lateral. Dapat pula disertai bercak konsolidasi yang tersebar.
3. Analisa Gas Darah dapat menunjukkan keadaan hiperkarbia (PaCO 2 yang tinggi), asidosis respiratorik,
dan pada keadaan lanjut dapat terjadi asidosis metabolic dan gagal nafas.
4. Bila tersedia pemeriksaan deteksi cepat antigen RSV sebagai penyebab utama bronkiolitis dapat
dilakukan
6. Diagnosis Bronkiolitis
7. Diagnosis Banding 1. Asma bronkiale dalam serangan
2. Pneumonia
3. Aspirasi benda asing
4. Gagal jantung
5. Penyakit lain yang menyebabkan inflamasi pada saluran nafas misalnya cystic fibrosis
8. Terapi 1. Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah:
Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat
Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake peroral
Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur
Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya.
2. Oksigenasi, bila ada tanda gagal nafas dapat diberikan ventilasi mekanik
3. Pembersihan jalan nafas
4. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
5. Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit.
6. Obat-obatan:
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan infeksi bakteri atau disertai pneumonia
Kortikosteroid sistemik: dexametason 0,5 mg/kg (loading) dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Nebulasi dapat dilakukan dengan 2-agonis (misalnya salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang
diencerkan dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier. Penggunaan epinefrine maupun
hypertonic saline belum dianjurkan secara rutin
Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin
9. Edukasi 1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas akut yang masih ringan agar segera
diperiksakan ke dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
BRONKIOLITIS
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Landia Setiawati SpA(K)
2. dr. Retno Asih Setyoningrum SpA(K)
3. dr.Deddy Iskandar SpA
14. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis
2. Perbaikan analisa gas darah dan saturasi oksigen
15. Kepustakaan 1. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the
Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders,1990 : 360-70.
2. Goodman D. Bronchiolitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,2003 : 1415-7
3. Kleigman RM, Jenson HB, Stanton MF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia : WB
Saunders; 2009; 1456-59
4. Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New approaches to Respiratory Infection in Children. Ped Emerg
Med Clin of North Am 12002; 20: 93-110
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
PNEUMONIA
1. Pengertian Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
(Definisi) Terbanyak adalah virus atau bakteri. Etiologi lain parasit dan aspirasi zat tertentu
PNEUMONIA
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
3. Pemeriksaan Fisik 1. Tidak mampu memusatkan perhatiannya untuk waktu yang lama,
2. Perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus lain.
Rentang waktu pemusatan perhatian yang singkat, kemampuan menyimak yang rendah
3. Hiperaktivitas
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan Neurofisiologis.
d. Laporan prestasi akademis.
e. Behavior Rating scales yang diperoleh dari beberapa sumber ( guru dan orang tua ).
f. Harus memenuhi kriteria DSM IV.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
CAMPAK
1. Pengertian (Definisi) - Campak, measles, atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit
ini sangat menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Penularan secara droplet (airborne).
2. Anamnesis - Campak mempunyai gejala klinis yang khas, terdiri dari 3 stadium, yaitu :
1. (Stadium masa tunas 10-12 hari)
2. Stadium prodromal 2-4 hari
3. Stadium erupsi 5-7 hari
4. Stadium konvalesen
- Stadium prodromal diawali dengan demam yang makin tinggi disertai batuk, pilek, nyeri telan, konjungtivitis
dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti muntah dan diare. Pada masa ini dapat ditemukan
tanda patognomonis adanya bercak Koplik’s, yaitu enantema di mukosa pipi di depan dari molar 3, yang
biasanya muncul 2 hari sebelum timbulnya ruam.
- Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam makulopapular pada kulit, yang dimulai dari belakang telinga, batas
antara rambut dan kulit, kemudian menyebar ke wajah, dada, perut, lengan dan kaki secara bersamaan.
Suhu akan mulai turun pada hari ke 2-3 ruam, dan ruam kemudian mengalami hiperpigmentasi dan
deskuamasi.
- Pada stadium konvalesen ruam akan berangsur menghilang sesuai dengan urutan timbulnya.
- Pada anak dengan gizi buruk gejala muntah dan diare bisa sangat berat.
- Bisa timbul komplikasi berupa otitits media, bronkopneumoni, mastoiditis, laryngitis akut, ensefalitis,
gastroenteritis, adenitis servikal, SSPE (subacute sclerosing panencephalitis), aktivasi tuberculosis, dan
gangguan gizi sampai kwashiorkor.
3. Pemeriksaan Fisik - Stadium prodromal didapatkan panas disertai 3C dan 1 K (cough, coryza, conjunctivitis, dan koplik’s spot)
- Stadium erupsi ditandai timbulnya ruam makulopapular yang bertahan 5-6 hari, yang dimulai dari batas
telinga kemudian menyebar ke wajah dan seluruh tubuh. Sekitar 2-3 hari setelah ruam muncul biasanya
panas akan menghilang.
- Stadium konvalesen setelah 3 hari ruam akan menjadi kehitaman dan mengelupas, dan menghilang
setelah 1-2 minggu sesuai urutan timbulnya.
- Penentuan status gizi penderita penting karena gizi buruk mempunyai komplikasi yang berat
- Gejala fisik lainnya ditemukan sesuai dengan timbulnya komplikasi yang terjadi.
4. Kriteria Diagnosis A. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan tambahan
1. Anamnesa :
Panas, batuk pilek dan konjuntivitis serta ditemukannya bercak Koplik’s (patognomonik)
2. Pemeriksaan fisik :
Adanya ruam makulopapular yang timbul pertama dari belakang telinga kemudian menyebar ke wajah,
dada dan seluruh tangan dan kaki.
3. Pemeriksaan Ig M spesifik campak (+) dan pemeriksaan virologi
4. kultur virus dari swab ginggiva atau urine
5. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah lengkap : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi
2. Pemeriksaan serologi : Ig M spesifik campak
3. Feses lengkap jika diare
4. Pemeriksaan penunjang untuk komplikasi : pungsi lumbal, foto polos dada, CT scan/MRI kepala.
5. Analisa gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak sesuai indikasi
6. Diagnosis Campak
Campak dengan komplikasi (ICD 10: B05.1,2,3,4)
CAMPAK
CAMPAK
4. Joklik WK. Paramyxovirus in Joklik WK, Virology, 3rd ed. London, Prentice-Hall International Inc., 1988;
hal. 204-219.
5. Redd SC, Markowitz LE, Katz SL, Measles vaccine in Plotkin and Orenstein (eds), Vaccines, 3rd ed,
Philadelphia, WB Saunders, 1999 : 222-266.
6. Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema subitum
(roseola infantum) Br Med J, 1996; 312 : 101-2.
7. WHO. Manual for the laboratory diagnosis of measles virus infection. Geneva, 2000. WHO/V&B/00. 16.
8. Heifand RF, Health JL, Anderson LJ, Gonus D, Bellini WJ. Diagnosis of measles with an IgM-captured EIA
: the optimal timing of specimen collection after rash onset. J Infect Dis, 1997; 175 : 195-7.
9. Shann F. Meta analysis of trials of prophylactic antibiotics for children with measles : inadequate evidence
Br Med J, 1997; 314 : 334.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma
leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan
lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas
(handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
- 7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai
3) Pemeriksaan Fisik
Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita tampak sakit sedang sampai berat, kadang disertai penurunan kesadaran
Temperatur dapat sub febris normal atau sub normal
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes RL yang positif (>10 titik pada area
berdiameter 1 inchi), atau dijumpai gejala perdarahan spontsan, berupa petekiae, ekimosis,
perdarahan gusi, dan hypermenorhoea. Kadang dijumpai muntah darah dan berak darah
Pada penderita DHF grade 3 dan 4 apabila dilakukan tes RL umumnya negatif
Adanya kebocoran plasma yang bisa ditunjukkan dengan efusi pleura dan atau asites; ditunjang
dengan hasil pemeriksaan tambahan
Tanda vital
Nadi dapat normal pada DHF grade 1 dan grade 2, sedangkan untuk DHF grade 3 nadi dapat cepat
dan kecil, dan nadi tak teraba untuk DHF grade 1 dan grade 2.
diastole
Pada DHF grade 4 tekanan darah tak terukur
Frekuensi nafas dapat normal, cepat dangkal maupun cepat dan dalam (pernapasan Kuzmaul)
Hepatomegali
Tanda klinis berhentinya plasma leakage adalah tanda vital yang stabil, disertai munculnya gejala mau
makan / minum serta mau bermain dari penderita
3. Lakukan deteksi sedini mungkin syok pada penderita dengue, sebab prolong syok memperburuk
prognosis
4. Pada penderita DHF yang tidak memberi respon dengan pemberian cairan seperti diatas, maka segera
cari kemungkinan dibawah, dan segera lakukan koreksi :
Plasma leakage
Perdarahan internal yang tersembunyi (“concealed internal bleeding”)
Hypoglycemia
Hyponatremia
Hypocalcemia
Asidosis
5. Pemberian transfusi darah diperlukan apabila terjadi perdarahan. Transfusi trombosit jarang diberikan
aktif.
Pada perdarahan masif dapat diberikan transfusi wholeblood. Tranfusi FFP atas indikasi.
6. Oksigen dan obat penurun panas atas indikasi
7. Steroid biasanya diperlukan pada komplikasi jantung dan mata
8. Inotropik, vasopressor, dan hemodialisis hanya pada kondisi tertentu
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DEMAM TYPHOID
1. Pengertian (Definisi) Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi
2. Anamnesis Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat.
Bisa disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus.
Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan,
yaitu demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf
antipiretik turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada
siang hari.
Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung
Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang
biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau
sudah mendapat antibiotika
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu
ke-2 sakit didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas.
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir
minggu pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan
penderita bisa gaduh gelisah.
Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2
sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus
dan peritonitis
3. Pemeriksaan Fisik Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus
an kesadaran mulai komposmentis hingga
delirium atau penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali
dan splenomegali
Gejala klinik lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi
4. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah tepi, demam typhoid klasik akan mendapat leukopenia dan relative
lymphositosis
2. dengan titer 1/200. Widal terbaik dapat
dilakukan 2 kali dengan jarak 5-7 hari dan didapatkan peningkatan titer >4x.
3. Pemeriksaan serologi Ig M dengan metode Tubex (antibodi anti-Salmonella 09) dilakukan hari ke
d
4. Pemeriksaan kultur salmonella typhi dari specimen darah, dilakukan pada sebelum hari ke- 5
sakit dengan hasil positif. Biakan sumsum tulang dapat positif hingga minggu ke-4.
5. Atas indikasi tertentu dilakukan :
- Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, SGOT, SGPT, BUN dan serum kreatinin
- Pemeriksaan urine, atau kultur urine
- Pemeriksaan thorax photo
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan CT scan / MRI otak
5. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan :
- Gejala klinik
- Pemeriksaan darah tepi
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan kultur salmonella typhosa dari spesimen darah
6. Diagnosis Demam Tifoid (ICD10: A01.00)
7. Diagnosis Banding 1. Awal sakit adalah influenza, bronchitis, bronchopneumonia, gastroenteritis, infeksi virus dengue,
sepsis, UTI
2.
akuta, keganasan, UTI, hepatitis, shigellosis
8. Terapi 1. Kalau diperlukan diberi infus cairan sesuai dengan umur dan kebutuhan
2. Antibiotika
Penderita terapi ambulatoir dapat dipakai :
Chloramphenikol oral dengan dosis 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis sampai 2 minggu.
Monitor efek samping terutama dengan pemeriksaan retikulosit.
Amoxicillin oral dengan dosis 100 mg per kgBB sampai 2 minggu
Cefixime oral dengan dosis 10 – 15 mg per kgBB terbagi dalam 2 dosis selama 2 minggu
Pada penderita yang indikasi rawat inap, diberikan ceftriaxone 80 mg per kgBB per hari dibagi 2
kali, dengan lama pemberian selama 5 – 10 hari
Pada penderita yang disertai komplikasi pneumonia, otitis media akuta maupun infeksi saluran
kemih, ceftriaxone dengan dosis dan lama pemberian sama dengan diatas
Pada penderita yang resisten terhadap ceftriaxone, maka pemberian ciprofloxacine dengan
dosis 15 mg per kgBB dalam dosis terbagi selama 7 – 10 hari
3. Pada karier S. typhi (tetap ada dalam urin/feses selama lebih dari 6-12 bulan): amp[isilin
100/mg/kgBB/hari dibagi 4, selama 6-12 minggu ; atau kotrimoksasol 4-20 mg/kgBB/hari dibagi 2
selama 6-12 minggu
DEMAM TYPHOID
4. Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai
komplikasi ensefalopati
5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan
6. Antipiretika sesuai kebutuhan
7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis
9. Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan
3) Prognosis penderita
4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral
5) Imunisasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
b. Dominicus Husada, dr, SpA(K)
c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
d. Leny Kartina, dr, SpA
e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
14. Indikator Medis 1. Bebeas demam 2x24 jam
2. Nafsu makan dan minum membaik
3. Perbaikan kondisi klinis penderita
4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik
5. Pemeriksaan darah lengkap
6. Setelah 7 hari perawatan
15. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS,McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27.Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.579-
84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter
JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004, h. 212-3
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran
plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul
rewel yg tak jelas penyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam
seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti
morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua
ekstremitas atas (handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan
atau gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik
Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat
tampil rewel sekali
Temperature dapat febris, sub febris, normal atau sub normal
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede yang positif, atau
dijumpai gejala perdarahan spontan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan
hypermenorhoea
Dapat dijumpai gejala saluran napas atas berupa pilek, batuk, pharyngitis ringan
Pada hari sakit 1-3 dapat dijumpai flushing terutama pada muka
Pada hari sakit 3-5 dapat dijumpai ruam morbiliform
Dapat dijumpai adanya “convalescence rash” pada periode recovery
Dapat dijumpai hepatomegali
4) Kriteria Diagnosis 1.
Gejala dan tanda klinik sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik
Trombositopenia (<100.000/mm3). Sering disertai leukopenia (<4000/mm3)
2.
3.
Tanpa kebocoran plasma yang ditandai dengan tak didapatkannya peningkatan hematokrit, dan
atau tak dijumpai adanya ascites dan atau efusi pleura dextra.
4. NS1 antigen dengue + atau Ig M dengue +
Diagnosis Demam Dengue (ICD10: A90)
6) Diagnosis Banding 1. Undifferentiated fever
2. Dengue Hemorrhagic fever grade I dan grade II
3. Trombositopenik purpura, leukemia, anemia aplastik
4. Infeksi virus lain seperti campak, rubella, chikungunya
5. Demam tifoid, malaria
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (< 150.000, dapat > 100.000, tetapi ada
b.
Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
c.
Photo / USG thorax menyingkirkan adanya efusi pleura
USG abdomen untuk menyingkirkan adanya ascites
d. ALT/AST dan gula darah acak jika diperlukan
8) Terapi 1. Kalau diperlukan diberikan infus cairan rumatan sesuai umur, dengan memenuhi kebutuhan
cairan sesuai formula Halliday Segar
2. Apabila trombosit <50.000 dan disertai tanda perdarahan aktif diberikan transfusi trombosit
3. Pada perdarahan massif dapat diberikan transfusi wholeblood
4. Parasetamol
5. Diazepam jika kejang (kejang demam)
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang
nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DIPHTHERIA
1. Pengertian (Definisi) suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga
melibatkan C. Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis..
2. Anamnesis Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir
atas. Dapat terjadi epistaxis …… Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan ……..
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau. Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah
perineum dan anal.
Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri
Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita
3. Pemeriksaan Fisik Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri.
Difteri Hidung
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata
Difteri Tonsil-Faring
Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal menuju laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan
submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala
selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai
kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung
atau saraf. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain
seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri faring, gejala merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.
4. Kriteria Diagnosis 1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan
klasikasi kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported.
Termasuk suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran.
Probable case bila suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut:
-kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed
-pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau petekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-insufisiensi renal akut
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6
minggu awitan sakit
-meninggal
Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tetapi hanya
bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri.
DIPHTHERIA
2. Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita.
3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan
menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk
menentukan toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap difteri.
5. Diagnosis Difteria (ICD10: A36.9)
6. Diagnosis Banding Difteri Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita) .
Diteri faring :
. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena
streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Difteri Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus
Difteri konjungtiva :
. Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain
7. Pemeriksaan a. Darah lengkap
Penunjang b. Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain…
c. Pengecatan gram
d. Urin lengkap
e. elektrokardiografi
f. bila perlu foto dada
g. Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak
8. Terapi 1.Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing
Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari
2.Tatalaksana medikamentosa
Tujuan mengobati penderita difteri adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteri
a. Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada
difteri sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva)
20.000 iu.
b. Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3).
Jika didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3)
c. Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS.
d. Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis.
9. Edukasi a. Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi
sesuai usia
b. Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat
c. Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus
d. Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan
pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah
neuritis seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam)
DIPHTHERIA
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang
imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery.
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau
gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik Penting menentukan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel
sekali
Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun
sekitar 37-38oC saat mau memasuki periode kritis.
Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit
(“flushing”), atau berupa ruam seperti morbili
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala
perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea
Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan
Dapat dijumpai hepatomegali
4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik
2. Leukopenia, mungkin disertai trombositopenia, SGOT (dan SGPT) meningkat
3. NS1 antigen dengue +
4. Ig M dengue +
Diagnosis 1. Diagnosis probable infeksi virus dengue berdasar adanya keluhan panas tinggi yang timbul mendadak
disertai 2 dari gejala yang lain (nyeri, flushing/ruam, tanda perdarahan RL tes +/perdarahan spontan) disertai
leukopenia, dan mungkin SGOT dan SGPT meningkat
2. Dalam perjalanan klinik setelah panas turun infeksi virus dengue akan menjadi :
- Undifferentiated fever yang tidak disertai trombositopenia dan plasma leakage, atau
- Dengue fever yang disertai trombositopenia tanpa plasma leakage atau
- Dengue haemorrhagic fever yang disertai trombositopenia dan plasma leakage atau
- Unusual clinical manifestation/expanded dengue syndrome, berupa infeksi virus dengue dengan keterlibatan
organ hepar (liver involvement), organ central nerve system (CNS involvement), organ jantung dan
keterlibatan organ lainnya atau adanya perdarahan yang massif
3. Untuk penderita infeksi virus dengue yang tak disertai trombositopenia dan plasma leakage, pemeriksaan
etiologi dengan memeriksa NS1 antigen dengue, Ig M dan Ig G dengue menjadi sangat perlu untuk diagnosis
infeksi virus dengue.
6) Diagnosis Banding 1. Infeksi virus Chikungunya
2. Demam typhoid awal
3. Exanthema subitum
4. Sepsis
5. Malaria
6. Morbili, rubella
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai leukopenia
b. SGOT biasanya sedikit meningkat sedangkan SGPT lebih jarang meningkat
c.
d. Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
e.
8) Terapi 1. Pada penderita yang datang pada periode febris, maka pengobatan yang diberikan :
Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali
Hindari asam salisilatdan ibuprofen
Antibiotika tidak diperlukan
Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya
Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita
tidak mau minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula
Halliday Segar yang dikenal sebagai formula cairan rumatan)
Berat badan ( kg ) Vol cairan rumatan 24 jam
10 100 cc / Kg BB
10 – 20 1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg
20 1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg
Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari
2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda
klinik sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat.
Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah :
Nyeri abdomen
Muntah persisten
Perdarahan
Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik
Lethargi/restlessness
Hepatomegali > 2 cm
Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat
Penderita tampak loyo, dan pada perabaan terasa dingin
3. Apabila ditetapkan rawat inap, maka pemberian cairan rumatan intravena diberikan, kemudian di follow up
apakah pada waktu panas mulai turun, penderita menjadi undifferentiated fever, dengue fever, dengue
haemorrhagic fever ataukah unusual clinical manifestation of dengue viral infection
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar.
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Penelaah Kritis a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
b. Dominicus Husada, dr, SpA(K)
c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
d. Leny Kartina, dr, SpA
e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
14) Indikator Medis Keadaan umum penderita
Tanda Vital
Setelah 5 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1.
Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO,
Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali.
2) Anamnesis a) Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemismalaria.
b) Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat, mialgia,
dan atralgia.
c) Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demamdengan interval
tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demampasien merasa lemah, nyeri
kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
d) Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atauinfeksi ber
ulang dari satu jenis Plasmodium), demam dapat berlangsung terus menerus (tanpa interval),
e) Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
f) Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage), dan stadium
berkeringat (sweating stage).
g) Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali bermanifestasisebagai kejang
h) Pada sebagian kasus akan didapatkan kesadaran yang menurun, atau urine berwarna coklat, atau
ikterus.
3) Pemeriksaan Fisik a) Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah , diare, ikterus, dan hepato-splenomegali.
b) Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu atau lebih kelainan
sebagai berikut:
Hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasite
Malaria serebral dengan kesadaran menurun
Anemia berat, kadar hemoglobin <7 g/dl
Perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata
Ikterus, kadar bilirubin serum >50 mg/dl
Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
Gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis <400 ml/24jam
Hiperpireksia
Edem paru
Syok, hipotensi, gangguan asam basa
Urine berwarna coklat (black water fever)
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Malaria Berat (ICD 10: B 50.0)
6) Diagnosis Banding a) Demam tifoid
b) Meningitis
c) Apendisitis
d) Gastroenteritis
e) Hepatitis
f) Influenza dan infeksi virus lainnya
g) Sepsis
h) Riketsiosis
7) Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan apus darah tepi:
Tebal: ada tidaknya Plasmodium
Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia
b) RDT
c) Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi:
i) DPL, HJ, LED
ii) Urinalisis
iii) SGOT, SGPT, bilirubin T/D/I
iv) Alkali fosfatase, albumin
v) Ureum, kreatinin
vi) AGD dan elektrolit
vii) Gula darah sewaktu
viii) EKG
ix) Foto toraks
x) Analisis cairan serbrospinalis
xi) Hitung parasit
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya
diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan
dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. Artemeter
diberikan dengan dosis 1,6mg/kgbb intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya artemeter diberikan
1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat
minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat
artemisinin parenteral. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500
mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan
dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai
penderita dapat minum obat, selanjutnya diberikan kina peroral sampai 7 hari.
Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan
kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgbb.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya
dalam Dextrose 5%
6) Klorokuin tidak lagi dapat digunakan untuk semua jenis malaria di Indonesia
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat,
disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia,
hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab
2) Anamnesis a) Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup :
- Riwayat luka bakar luas
- Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
- Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
- Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
b) Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang
disusul dengan hipotensi
c) Gelisah dan agitasi
d) Letargi
e) Muntah
h) Parasetamol
i) Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
j) Inhalasi
k) Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi
l) Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
9) Edukasi a) Tirah baring
b) Imunisasi
c) Perbaiki nutrisi
d) Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
e) Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10) Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis a) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
b) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
c) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
d) Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
e) Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi atau sudah membaik
5. Hasil kultur negative
6. Setelah 14 hari perawatan
15) Kepustakaan a) Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
b) Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
c) Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
d) Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis
Journ, 1992; 11: 739-49
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
TETANUS
1. Pengertian (Definisi) Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda
utama spasme tanpa gangguan kesadaran.
2. Anamnesis - Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar
cairan dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port d’entree
- Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada
BUMIL/WUS.
- Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia)
karena kekakuan otot masseter
- Anak atau bayi sadar
- Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan
- Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit
membuka mulut sampai terjadinya kejang
3. Pemeriksaan Fisik - Penderita sadar
- Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat
menetek, mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar.
- Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat
pasien ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau
kejang spontan
- Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak
spastik/boxing position)
- Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan
irama jantung sampai gangguan hemodinamika.
- Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya):
Derajat I (tetanus ringan)
Trismus
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
Trismus sedang
Kekakuan umum makin jelas
Dijumpai kejang rangsang tanpa kejang spontan
TETANUS
Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv;
apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
3. Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan
syringe pump dengan dosis:
- Tetanus ringan : 0,8 cc/jam
- Tetanus sedang : 1,2 cc/jam
- Tetanus berat : 1,6 cc/jam
Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/24 jam
- neonatus 120 mg/24 jam
Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa
kurarisasi .
Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus.
Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada
gangguan saraf otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial
perlu dinaikkan secara titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya
reflex patella dan penurunan tekanan darah pada anak besar
4. Perawatan luka atau port d’entre
Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan
5. Terapi suportif
Bebaskan jalan nafas
Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
Pemberian oksigen
Perawatan dengan stimulasi minimal
Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak
memperkuat kejang
Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
TETANUS
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Demam tanpa penyebab yang jelas adalah gejala demam akut dengan penyebab yang tidak jelas sesudah
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara teliti dalam periode demam kurang dari 7 hari.
2) Anamnesis a) Riwayat imunisasi
b) Adanya paparan terhadap infeksi
c) Adanya tanda-tanda keganasan seperti nyeri, pembesaran organ dan perdarahan
d) Adanya gejala:
nyeri menelan
nyeri telinga
batuk, sesak napas
muntah, diare
nyeri/menangis waktu buang air kecil
3) Pemeriksaan Fisik a) Suhu rektal >38oC
b) Tentukan derajat sakitnya
c) Subjektif (lihat tabel YOS)
Kualitas tangis
Reaksi terhadap orangtua
Tingkat kesadaran
Warna kulit/selaput lendir
Derajat hidrasi
Interaksi
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R 50)
6) Diagnosis Banding a) Dengue
b) Otitis media
c) Abses
d) Osteomielitis
e) Riketsia
f) Chlamydia
g) HIV
h) Infeksi HSV
i) Infeksi jamur
j) Keganasan
k) Autoimun dan penyakit kolagen
l) Infeksi Saluran Kemih
m) Pneumonia
n) Gastroenteritis bakterial
o) Meningitis
p) Endokarditis
7) Pemeriksaan a) Darah lengkap, LED
Penunjang b) Hitung jenis
o bakteremia menjadi 3-
menjadi 8-10%
Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung neutrofil absolut lebih sensitif dari hitung
leukosit atau batang absolut
enjadi 8-10%
c) Urinalisis
d) Procalsitonin
e) Biakan urin dan feses
f) Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bakteremia dapat berkembang
menjadi infeksi bakteri
g) Biakan darah dan urin jamur
h) Tes mantoux
i) Rontgen toraks
j) Ekokardiografi
k) USG/CT-scan kepala
l) USG/
m) Hapusan darah tebal dan tipis
n) ANA dan anti ds-DNA
o) IgG,A,M,E
p) CD4 dan CD8
q) BMP
r) Jika tersedia IgM dan IgG untuk penyakit riketsia seperti scrub typhus
8) Terapi a) Berdasarkan kecurigaan temuan klinis
b) Suportif
c) Paracetamol
d) Cairan parenteral
e) Antibiotika Empirik dapat digunakan :
Amoksisilin 60 –100 mg/kgbb/hr atau Amoksisilin-Clavulanat atau Ampisilin-Sulbactam
Seftriakson 50 –75 mg/kgbb/hr maksimum 2 g/hr
Bila alergi terhadap kedua obat tersebut, pilih obat lain sesuai dengan hasil ujiresistensi
9) Edukasi a) Nutrisi dan istirahat cukup
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,