Anda di halaman 1dari 235

Panduan Praktik Klinis

SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ALERGI MAKANAN

1. Pengertian (Definisi) Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun
spesifik yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan.
Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non
imunologik.
Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi
toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.
2. Anamnesis Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi
sesuai waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan
makanan, sedangkan gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari.
Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama.
Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi
3. Pemeriksaan Fisik Kulit
Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim
Mata
Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita
Saluran nafas atas
Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering
Saluran nafas bawah
Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan
Mulut
Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak
Saluran cerna bawah
Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan
dengan penurunan berat badan
Kardiovaskular
Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran
4. Pemeriksaan Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen
Penunjang hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan) dengan positive predictive value (PPV) > 95%.
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau
keadaan depresi imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu
alergen bahan makanan tertentu.
Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran
secara histologis.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Food challenge
6. Diagnosis 1. Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena
3. Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi
4. Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan
makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut.
Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar,
maka diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu
sebelum dilakukan provokasi.
7. Diagnosis Banding 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif
3. Reaksi karena gangguan psikologis
8. Terapi Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran)
Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai
pengganti.
Pengobatan
Kromolin, Nedokromil.
Glukokortikoid.
Beta adrenergic agonist
Metil Xantin
Simpatomimetika
Leukotrien antagonis
H1-Reseptor antagonis
Probotik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 1


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ALERGI MAKANAN

9. Edukasi 1. Penghindaran terhadap alergen


2. Kontrol teratur ke poli alergi
3. Dukungan keluarga terhadap penderita.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof.DR.Ariyanto Harsono,dr,SpAK
2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3. Zahrah Hikmah,dr,SpA
4. Azwin Mengindra Putera,dr,SpA
14. Indikator Medis Kekambuhan dan beratnya gejala (tingkat kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 7 hari.
15. Kepustakaan 1. Boyce A. J, et al. Guidelines for the diagnosis and management of food allergy in the United States:
report of the NAID sponsored expert panel.J Allergy Clin Imunol 2010;126(6): S5-58
2. Burks A. W, et al. NIAID Sponsored 2010 Guidelines for managing food allergy: applications in the
pediatric population. Pediatrics 2011;128;955-65
3. Dupont C. Food Allergy: Recent advances in pathophysiology and diagnosis. Ann Nutr Metab
2011;59(suppl 1):8–18.
4. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J
2010; 51(1): 4-9
5. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
6. Harsono A. Alergi makanan. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting.Buku
Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 270-84.
7. Wang j, Sampson H. A. Food allergy: recent advances in pathophysiology and treatment. Allergy
Asthma Immunol Res. 2009 October;1(1):19-29.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 2


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ALERGI OBAT

1. Pengertian (Definisi) Suatu respon abnormal yang terkait secara imunologis terhadap suatu obat pada seorang individu yang telah
tersensitisasi.
2. Anamnesis Gambaran terperinci gejala reaksi obat
Lama dan urutan gejala
Terapi yang telah diberikan
Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
Kapan obat dihentikan?
Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama
Riwayat sebelumnya
Reaksi obat lainnya
Alergi lainnya
Penyakit lainnya
3. Pemeriksaan Fisik Gejala sistemik:
Anafilaksis, serum sickness, SLE like, scleroderma like, drug rash with eosinophilia systemic symptoms
(DRESS), nekrolisis epidermal toksik, sindroma steven johnson, mikroskopik polyangitis
Gejala spesifik pada organ:
Kulit: Urtikaria/angioedema, pemphigus, purpura, ruam makulopapular, dermatitis kontak, foto dermatitis, acute
generalized exanthematouspustulosis (AGEP), fixed drug eruption (FDE), eritema multiformis, fibrosis sistemik
nefrogenik
Paru: Asma, batuk, pnemoni interstitial, organizing pneumoni
Hati: hepatitis kolestatik, hepatitis hepatoseluler
Ginjal: nefritis interstitial, nefritis membraneous
Darah:Anemia hemolitik, trombositopenia, netropenia
Jantung: Valvular diseases
Muskuloskeletal/neurological: polymiositis. meningitis aseptik, myasthenia gravis
4. Pemeriksaan penunjang Uji in vivo
Uji kulit
Uji provokasi untuk diagnostik pasti
Uji in vitro.
IgG dan IgM spesifik
Uji aglutinasi dan lisis sel darah merah
Uji pelepasan histamin
Uji sensitisasi jaringan
IgE RAST
5. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan penunjang: in vivo dan in vitro
7. Diagnosis banding 1. Alergi makanan
2. Infeksi
8. Terapi Penghentian obat yang dicurigai
Pengobatan
Antihistamin
Adrenalin
Pengobatan suportif
Kortikosteroid
9. Edukasi 1. Penghentian obat
2. Memberitahu riwayat obat penyebab alergi pada tenaga kesehatan saat berobat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof.DR.Ariyanto harsono,dr,SpAK
2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3. Zahrah Hikmah,dr,SpAK

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 3


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ALERGI OBAT

4. Azwin Mengindra Putera,dr,SpAK

14. Indikator Medis Tingkat kekambuhan gejala alergi (kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 10 hari.
15. Kepustakaan 1. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin
Munasir, Nia Kurniati. Penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,2007.h 295-307.

2. Alergi obat.Dalam: Antonius H. Pudjiaadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris,
Ellen P. Gndaputra, Eva Devita Harmoniati. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia,2010.h 1-4

3. Mirakian R, et al. BSACI guidelines for management of drug allergy. J Clin Exp Allergy 2008,39,43-61

4. Dowling P.J, et al. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105: 1-78

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 4


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

RINITIS ALERGI
1. Pengertian (Definisi) Gangguan fungsi pernafasan akibat inflamasi pada saluran hidung diakibatkan paparan alergen yang
diperantarai IgE.
2. Anamnesis Keluhan pilek berulang atau menetap, rinorea, gatal hidung, bersin-bersin, sumbatan hidung, sering bernafas
melalui mulut pada penderita dengan riwayat keluarga atopi. Bila parah terdapat gangguan tidur, gangguan
sekolah.
3. Pemeriksaan Fisik Rhinorea, adenoid face, maloklusi gigi, allergic gape, allergic shiners, transverse nasal crease, edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan.
Sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
4. Pemeriksaan penunjang 1. Uji kulit goresan
2. IgE total, IgE spesifik,
3. Eosinofil hapusan mukosa hidung.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa: pilek berulang dengan riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik: seperti dijelaskan di atas
3. Pemeriksaan penunjang: Uji kulit, IgE total/spesifik, eosinofil pada hapusan mukosa hidung
7. Diagnosis banding 1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus
4. Abnormalitas anatomis kongenital terutama diketahui sejak lahir
5. Benda asing
8. Terapi Penghindaran alergen
Farmakoterapi
Antihistamin H1 (Oral, Intranasal, Intraokuler)
Kortikosteroid intranasal
Kromolin (Intranasal, Intraokuler)
Dekongestan (Intranasal, Oral)
Antikolinergik
Antilekotrien
Imunoterapi
9. Edukasi 1. Penghindaran Alergen
2. Pengobatan memerlukan waktu yang lama
3. Pendidikan penggunaan obat harus benar (kortikosteroid hirupan atau semprotan)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof.DR.Ariyanto Harsono,dr,SpAK
2. DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3. Zahrah Hikmah,dr,SpA
4. Azwin Mengindra Putera,dr,SpA
14. Indikator Medis Gejala semakin memberat atau tidak sehingga mempengaruhi kualitas hidup (sekolah, sosial). 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Asha’aari A Z A, et al. Comparison of Serum Specific IgE with Skin Prick Test in the Diagnosis of
Allergy in Malaysia. Med J Malaysia 2011:6(3):202-6
2. Bousquet J, et al. Allergic rhinitis management pocket reference 2008. Allergy 2008: 63: 990–996
3. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010;
51(1): 4-9
4. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
5. Lim M Y, Leong J L. Allergic rhinitis: evidence-based practice. Singapore Med J 2010; 51(7) : 542
6. Munasir Z, Rakun M.W. Rinitis Alergik. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati.
Penyunting.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 246-52.
7. Oliver P, Raapc U, Holza M, Hörmannb K, Klimeka L. Pathophysiology of itching and sneezing in
allergic rhinitis. Swiss Med Wkly 2009;139(3–4):35 – 40
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 5


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL


1. Pengertian (Definisi) Arthritis Idiopatik Juvenile(AIJ) adalah radang sendi tanpa penyebab yang jelas (idiopatik) dengan durasi
penyakit paling sedikit 6 minggu serta pada anak berusia kurang dari 16 tahun.
2. Anamnesis Gejala morning stiffness atau fenomena gel (kekakuan setelah duduk atau tidak aktif dalam jangka waktu
lama). Keluhan atralgia yang sering terjadi di siang hari. Gejala lainya itu anak mendadak lemas di pagi
hari ataupun setelah tidur siang dan membaik selang beberapa waktu tanpa diobati.
Keluhan nyeri sendi mungkin tidak dominan tetapi anak sering berhenti menggunakan sendi secara
normal (misal: terjadi kontraktur atau lemas) tanpa mengeluh sakit. Anak AIJ sering absen dari kegitan
sekolah dan olahraga, ini juga mencerminkan keparahan penyakit atau kekambuhan AIJ.
AIJ subtipesistemik ditandai dengan demam yang spiking dan terjadi 1-2 kali setiap hari, pada waktu
yang sama, dengan suhu yang dapat kembali normal ataupun di bawah normal. Pola demam ini sangat
khas dan tidak didapatkan pada penyakit infeksi, keganasan ataupun Kawasaki. AIJ subtipesistemik
biasanya disertai ruam berwarna salmon pada tubuh dan ektremitas.
Sedangkan yang tipe psoriasis arthritis dapat menunjukkan gejala psoriasis yang khas tetapi kadang
manifestasinya juga tidak jelas. Yang harus diperhatikan adalah adanya gejala dactylis pada kuku anak.
Subtipeentesitis sering kali muncul dengan rasa sakit setelah latihan ataupun pada malam hari.
Perhatian harus diberikan bila anak merasa nyeri pada pantatdan punggung yang membaik dengan
aktivitas. Anak-anak ini tidak bisa berbaring di tempat tidur sepanjang pagi tapi harus bangun karena
sakit punggung.
3. PemeriksaanFisik Klinis
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri
ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan
ke arah AIJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis
kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis. Dan tanda-tanda penyakit lain penyebab nyeri sendi
dapat disingkirkan.
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan :
1. GejalaKlinis
2. Pemeriksaan lab
3. Pemerikasaanthoraksfoto
Maka AIJ dibagi dalam beberapa golongan:
1. Sistemik
2. Oligoarthritis
a) Persisten
b) Extended
3. Poliarthritis (factor reumatoid negative)
4. Poliarthritis (faktor rheumatoid positif)
5. Artritis psoriatic
6. Artritisterkaitentesitis
7. Artritis lain-lain
a) Tidak memenuhi katergori
b) Memenuhi lebih dari satu kategori
5. Diagnosis ARTHRITIS INDIOPATIK JUVENIL
6. Diagnosis Banding 1. GonitisTuberkulosis
2. Keganasan tulang
3. Keganasan darah (leukemia, neuroblastoma)
4. Growing pain
7. PemeriksaanPenunjang 1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear
Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis AIJ menjadi
lebih sempurna.
Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai leukositosis yang didominasi
netrofil.
Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda
reaktivasi penyakit.
Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa
peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan
IgM merupakan karakteristik tersendiri dari AIJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak
yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktivitas penyakit. Berbeda dengan orang dewasa
C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif, sering kali pada AIJ
poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk.
Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan
pada AIJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium.
Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada AIJ. Kekerapannya lebih tinggi pada
penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik
menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis
ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.
2. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 6


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL


periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian
dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan
tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter
tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut.
Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya
fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam
metafisis.
8. Terapi 1. NSAID (obat anti inflamasi non steroid) : aspirin, ibuprofen, meloxicam
2. Steroid: oral atau intra artikular
3. Obat-obat yang dapat memodifikasi perjalanan penyakit (DMARDs): hidroxychloroquine, methotreksat
4. Imunosupresan
5. Rehabilistasimedis
9. Edukasi 1. AIJ adalah penyakit kronis yang sebagianbesartidaksembuh total tetapidapatdikontrol
2. Penderita AIJ harus minum obat secara teratur serta control rutin ke poli rematologi anak.
3. Prognosis tergantung dari jenis AIJ serta keteraturan pengobatann.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis 1. Prof. DR. dr. Ariyanto Harsono SpA(K)
2. DR. dr. Anang Endaryanto SpA(K)
3. dr. Zahrah Hikmah
4. dr. Azwin M. Lubis
14. IndikatorMedis 1. Jumlah sendi yang terkena
2. Aktivitasanak
3. LED
4. Fotopolossendi
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari.
15. Kepustakaan 1. Ayaz NA, Ozen S, Bilginer Y, Ergüven M, Taskiran E, Yilmaz E, et al. MEFV mutations in systemic onset
juvenile idiopathic arthritis. Rheumatology (Oxford). Jan 2009;48(1):23-5.
2. Prakken B, Albani S, Martini A. Juvenile idiopathic arthritis. Lancet 2011; 377: 2138–49
3. Scola MP, Imagawa T, Boivin GP, Giannini EH, Glass DN, Hirsch R, et al. Expression of angiogenic
factors in juvenile rheumatoid arthritis: correlation with revascularization of human synovium engrafted
into SCID mice. Arthritis Rheum. Apr 2001;44(4):794-801.
4. Sherry DD,C Rabinovich E, Poduval M, Bhaskar A R S. Juvenile Idiopathic Arthritis. Available
at.http://emedicine.medscape.com/article/1007276
5. Wittkowski H, Frosch M, Wulffraat N, Goldbach-Mansky R, Kallinich T, Kuemmerle-Deschner J, et al.
S100A12 is a novel molecular marker differentiating systemic-onset juvenile idiopathic arthritis from other
causes of fever of unknown origin. Arthritis Rheum. Dec 2008;58(12):3924-31.
6. Yanagimachi M, Miyamae T, Naruto T, Hara T, Kikuchi M, Hara R, et al. Association of HLA-A(*)02:06
and HLA-DRB1(*)04:05 with clinical subtypes of juvenile idiopathic arthritis. J Hum Genet. Mar
2011;56(3):196-9.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 7


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DERMATITIS ATOPI
1. Pengertian (Definisi) Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus
yang hebat.
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif
biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
2. Anamnesis 1. Berulangdenganpenyebab yang sama
2. Rasa gatal
3. Keluargadenganriwayatalergi
4. Disertaidengangejalaalergilainnya
3. PemeriksaanFisik Onset
Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
Macam-macam lesi
Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan
eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan
pola permukaan kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik).
Bentuk klinis
· Bentuk infantil
Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang
lebih muda.
· Bentuk anak
Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan,
kaki dan periorbita.
· Bentuk dewasa
Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.
4. Kriteria Diagnosis Untuk Bayi :
Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi:
Kriteria mayor :
1. Riwayat keluarga DA
2. Dermatitis dengan tanda gatal
3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
Kriteria minor :
1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
2. Perifollicular accentuation
3. Chronic scalp scaling
4. Periauricular fissures

Untuk Anak :
Kriteria Hanifin untuk anak :
Krireria mayor (harus punya 3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi typical
3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence
5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
Kriteria minor
1. Xerosis
2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
4. Hand/foot dermatitis
5. Cheilitis
6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada
kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.
5. Diagnosis DERMATITIS ATOPI
6. Diagnosis Banding 1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatophytosisataur dermatophytids
3. Sindrom defesiensi imun
4. Sindrom Wiskott-Aldrich
5. Sindrom Hyper-IgE
6. Penyakit Neoplastik
7. Langerhans' cell histiocytosis
8. Penyakit Hodgkin
9. Dermatitis Numularis
10. Skabies
Dermatitis Seborrheic
7. PemeriksaanPenunjang Diagnosis DA berdasarkanpadaklinis, pemeriksaanpenunjangtidakterlaludibutuhkan:

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 8


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DERMATITIS ATOPI
1. IgEspesifik
2. Tesujikulit
8. Terapi Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa
perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi
faktor-faktor pencetus kekambuhan.
· Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air
pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi
selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)
karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi
memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah
mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-
in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
· Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa
menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang
berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus
diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik
dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian
diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan
terapi difokuskan pada hidrasi.
· Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal
pada DA bisa tak terkait dengan histamin.
· Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada
manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis
kontak.
· Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit.
Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten
penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah
terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan
menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
· Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat
juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan,
binatang dan debu rumah.
DA berat
Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.
Kortikosteroid sistemik.
Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus
diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
Thymopentin.
Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari
selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu.
Interferon-gamma.
Dosis yang digunakan antara 50 g-100 g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.
Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep
atau gel 5%.
Tacrolimus.
Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan
pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi
fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit.
Pimecrolimus
Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
Gammaglobulin
Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah
terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus.
Probiotik
Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2
bulan.

9. Edukasi 1. Pentingnya hidrasi kulit


2. Pentingnya mencari dan menghindari penyebab

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 9


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DERMATITIS ATOPI
3. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis 1. Prof. DR. dr. AriyantoHarsonoSpA(K)
2. DR. dr. AnangEndaryantoSpA(K)
3. dr. ZahrahHikmah
4. dr. Azwin M. Lubis
14. IndikatorMedis 1. Rasa gatal
2. Kulitkering
3. Ruam
4. Infeksisekunder
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Callard RE, Harper JI. The skin barrier, atopic dermatitis and allergy: a role for Langerhans cells?.Trends
Immunol. Jul 2007;28(7):294-8.
2. Haeck IM, Rouwen TJ, Timmer-de Mik L, et al. Topical corticosteroids in atopic dermatitis and the risk of
glaucoma and cataracts. J Am AcadDermatol. Feb 2011;64(2):275-81.
3. Huang JT, Abrams M, Tlougan B, Rademaker A, Paller AS. Treatment of Staphylococcus aureus
colonization in atopic dermatitis decreases disease severity. Pediatrics. May 2009;123(5):e808-14.
4. Irvine AD. Fleshing out filaggrin phenotypes. J Invest Dermatol. Mar 2007;127(3):504-7.
5. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of
Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777.

6. Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic
architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 10


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROMA STEVENS JOHNSON


1. Pengertian (Definisi) Sindroma Stevens Johnson (SSJ) adalah suatu manifestasi eritema multiforme yang berat, fatal dan jarang
terjadi, sehingga seringkali disebut eritema eksudativum multiform mayor, Reaksi hipersensitivitas yang terjadi
pada SSJ melibatkan kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata dan menyebabkan gangguan sistemik
yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema poliform bulosa, sindromamuko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis.
2. Anamnesis Gejala prodromal berkisarantara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyerimenelan, nyeri dada, muntah,
pegalototdanatralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di kulit, mukosa mulut, mukosa mata.
Bisa didahului dengan riwayat minum obat, makanan atau infeksi.
3. PemeriksaanFisik Kulit: Manifestasi di kulit bias berupa ruam yang awalnya macula kemudian menjadi papula, vesikel, bula
dan kadang eritema. Yang khas adalah didapatkan lesi target (target lesion). Bila bula kurang dari 10%
disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis
Necroticans (SSJ-TEN), lebihdari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sekitar 80% penyebab TEN
adalahobat.
Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta
berwarna merah,
Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefaro konjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit
dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasikornea.
Mukosa lain yang juga sering terkena gastrointestinal sehingga terjadi gangguan proses menelan makanan
dan menyebabkan dehidrasi dan kekurangan asupan, sehingga penting dilakukan alimentasi asupan secara
panenteral.
4. Kriteria Diagnosis 90 % diagnosis SSJberdasarkan
1. Anamnesis &gejalaklinik.
2. Adanya trias kelainan kulit, mukosa & mata.
3. Hubungan faktor penyebab
5. Diagnosis 90 SINDROMA STEVEN JOHNSON
6. Diagnosis Banding Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson:
1. Toxic EpidermolysisNecroticans. Sindroma Steven Johnson sangat dekat dengan TEN. SSJ dengan bula lebih
dari 30% disebut TEN. Seringkali diagnosis SSj overlap dengan TEN (SSJ-TEN)
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta
yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak terkena.
7. PemeriksaanPenunja Sampai saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik dalam mendukung diagnosis SSJ kecuali
ng biopsy kulit.(tidak rutin dilakukan). Pada pemeriksaan laboratorium bias didapatkan anemia, lekosit yang normal
atau sedikit meningkat, peningkatan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat
peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya circulating immune complex. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari biopsy kulit
dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.
8. Terapi Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ, sementara itu
kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumonia harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan
lebih bersifat suportif dan simptomatik:
1. Pasien dengan SSJ harus diperlakukan seperti pasien luka bakar dengan pengawasan special terhadap
hemodinamik, keseimbangan cairan dan elektrolit, serta control terhadap nyeri (jangan menggunakan
NSAID karena beresiko tinggi).
2. Bila telah terjadi dehidrasi ataupun gangguan elektrolit maka dilakukan rehidrasi dan koreksi.
3. Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan larutan burowi ataupun cairan saline (perawatan kulit
seperti perawatan luka bakar).
4. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan
makanan dan minuman.
5. Bila telah terjadi infeksi sekunder maka diberikan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi adalah
-lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spectrum luas,
selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi
infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2
kali/hari.
6. Kortikosteroid: deksametasondosisawal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB
intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
7. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah
sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi
FAS.
8. Konsultasi kebagian opthalmologi bila didapatkan kelainan mata, kebagian kulit dan kelamin untuk
perawatan bersama, dan kebagian bedah plastic sehubungan dengan perawatan lesi kulit terbuka yang
biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.
9. Edukasi 1. Perawatan pasien
2. Prognosis pasien
3. Penyebab terjadinya SSJ
10. Prognosis Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan skor SCORTEN, dengan variable sebagai berikut: usia> 40
tahun, keganasan, denyut jantung> 120 x/m, epidermal detachment>10%, BUN > 10 mmol/L, kadar gula darah>

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 11


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROMA STEVENS JOHNSON


14mmol/L, bikarbonat< 20mmol/L (masing-masing diberikan nilai 1, kemudian dijumlah). Perkiraan mortalitas
sebagai berikut:
SCORTEN 0-1 => 3.2%
SCORTEN 2 => 12.1%
SCORTEN 3 => 35.3%
SCORTEN 4 => 58.3%
SCORTEN 5 or more => 90%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. PenelaahKritis 1. Prof. DR. dr. Ariyanto HarsonoSpA(K)
2. DR. dr. Anang Endaryanto SpA(K)
3. dr. Zahrah Hikmah
4. dr. Azwin M. Lubis
14. IndikatorMedis Lesikulit
Lesimata
Lesimukosa lain
Infeksisekunder
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 21 hari.
15. Kepustakaan 1. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients.
Pediatrics 2001;108:485–92.
2. Darmstadt GL, Sidbury R. Steven Johnson Syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds):
Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004; 2181-4.
3. Gruchalla R: Understanding drug allergies. J Allergy ClinImmunol 2000;105:S637–44.
4. Metry DW, Jung P, Levy ML. Use of Intravenous Immunoglobuline in children with Steven Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Seven cases and review of literature. Pediatrics 2003;112:1430-
6.
5. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in
sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000;114:1164–73.
6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin N Am
2004;24:357-71.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 12


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPOGLIKEMIA
1. Pengertian (Definisi) Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia
2. Anamnesis - Apakah didapatkan gejala takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah ?
- Apakah didapatkan gejala pusing, gangguan penglihatan?
- Apakah didapatkan penurunan kesadaran, gangguan psikologis, perubahan tingkah laku?
3. Pemeriksaan Fisik Adrenergik: takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah
Neuropenik (penurunan penggunaan glukosa oleh otak): pusing, gangguan visual, somnolens. Gangguan
psikologis, perubahan tingkah laku
Kombinasi gejala di atas memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
4. Pemeriksaan - Darah : kadar
Penunjang hydroxybutirate, carnitine( free dan total) blood spot acyl carnitine, ammonia, lactate
- Urine : ketone, reducing substances, organic acids
5. Kriteria Diagnosis kadar glukosa plasma < 40 mg/dl
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain
7. Penyulit 1. Penurunan kesadaran
2. Kematian
8. Terapi Jika penderita sadar:
1. Berikan glukosa oral , misal jus jeruk, minum manis. Untuk berat 30 kg diperlukan 10 gram glukosa,
dan >30 kg diperlukan 15 gram glukosa.
2. Cek kadar glukosa 10-15menit dan ulang jika diperlukan. Pastikan kadar gula darah normal.
Jika penderita tidak sadar:
1. Pasang infuse dextrose (n0,5g/kg selama 5 menit) atau 2-3 ml/kg D10% atau 1ml/kg D25%)
2. Maintenans infuse dextrose
3. Recek kadar gula 10menit kemudian ( D12,5 kadar dextrose paling tinggi yang diberikan melalui
infuse perifer)
4. Berikan bolus dextrose jika perlu
Apabila akses iv sulit, maka glukosa dapat diberikan melalui nasogastric tube. Maintenans infuse pada
hipoglikemia bayi dapat dilakukan dengan GIR ( glucose infusion rate ) 6-8 mg/kg/menit.
Glukagon membantu dalam pemecahan glikogen. Pada kondisi cadangan glikogen masih cukup (mis.insulin
overdose) 1 mg glucagon im atau sc (0,5mg untuk neonates) dapat meningkatkan kadar gula darah. Glucagon
tidak akan meningkatkan kadar glukosa
9. Edukasi 1. Potensi kematian oleh karena hipoglikemia
2. Informed consent dari keluarga
10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA
b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP , dr, SpA(K)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 13


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPOGLIKEMIA

14. Indikator Medis 80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari
15. Kepustakaan 1. Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin
W, Tanz RR. Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78.
2. Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4.
Elsevier Mosby. Phiadelphia.hal 191-21.
3. Clarke W, Jones T, Rewers A, Dunger D, Klingensmith GJ. Assessment and Management of
Hypoglycemia In Children and Adolescent With Diabetes. Pediatric Diabetes 2009:10 (Suppl,12)134-
45.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 14


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

CONGENITAL ADRENAL HYPERPLASIA

1. Pengertian (Definisi) Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) merujuk grup defisiensi enzim pada sintesis steroid di korteks adrenal.

2. Anamnesis - Mual, muntah, diare pada usia bulan awal kelahiran


- Didapatkan sakit yang sama pada keluarga
- Bisa didapatkan genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih
besar dari pada anak seusia ( pubertas prekoks perifer)

3. Pemeriksaan Fisik - genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari pada
anak seusia ( pubertas prekoks perifer)
- tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemik
- Salt loosing crisis dapat terjadi pada usia dua minggu dengan gejala muntah, diare, dehidrasi,
hiperkalemia, dan hiponatremia.
- CAH laki-laki simple virilized sering datang pada usia 3-7 tahun, dengan pubertas awitan awal, advanced
bone age, dan prepubertal testis.
- Remaja dan dewasa wanita non klasik CAH sering datang dengan keluhan virilisasi, hirsutisme,
abnormal menstruasi, infertilitas, atau akne.

4. Pemeriksaan Hipoglikemia, hyponatremia, hyperkalemia dan metabolik asidosis


Penunjang Pada tipe defisiensi 21OH lase yaitu 95% tipe CAH akan didapatkan kenaikan dari 17 OHP

5. Kriteria Diagnosis Klinis dan laboratoris

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding 46 XY DSD

8. Terapi 1. Terapi medikamentosa


Pada tipe yang salt wasting dapat diberikan replacement therapy dengan glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Terapi glukokortikoid dapat doberikan dengan hydrocortisone 10-20 mg/m2. Pada
pasien yang baru terdiagnosis, utamanya pada bayi baru lahir, memerlukan dosis yang lebih tinggi.
Terapi mineralokortikoid dengan diberikan fludrokortisone (9 fluoro-cortisol) 0,1mg oral.Tidak tergantung
berat badan. Pada sakit berat diberikan hydrocortisone iv dan sodium chloride, misalnya pada operasi,
sakit, sakit berat. Dosis 20 mg hydrocortisone mempunyai efek mineralokortikoid setara 0,1 mg.
Terapi mineralokortikoid pada bayi diperlukan dosis lebih tinggi yaitu 0,15–0,30mg/hari, tergantung
suplementasi sodium oleh karena bayi insensitive terhadap mineralokortikoid..sehingga perlu dosis lebih
besar.
Suplementasi garam 1-2 g NaCl/hari. Salt loosing CAH dapat menghentikan terapi mineralokortikoid dan
suplementasi garam pada saat dewasa, oleh karena pada deasa lebih sensitive terhadap
mineralokortikoid.
Evaluasi pertumbuhan dilakukan tiap 3 bulan dan evaluasi bone age tiap tahun. Plasma 17OHP tidak
digunakan untuk monitor terapi oleh karena dapat terjadi variasi diurnal dan hyperresponsive terhadap
stres.
Pada anak besar terapi glukokortikoid dapat diberikan dexametasone atau prednisone.
2. Terapi bedah : klitororeduksi, vaginoplasti
3. Terapi suportif

9. Edukasi 1. Minum obat secara teratur


2. Dosis obat pada kondisi sakit
3. Kliroreduksi pada 46 XX CAH

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)

14. Indikator Medis 1. Pertumbuhan dan perkembangan optimal sesuai usia, bone age sesuai usia, tidak terjadi krisis adrenal

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 15


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

CONGENITAL ADRENAL HYPERPLASIA


2. 80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia simple case akan sembuh dalam waktu 3 hari
3. 80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia dengan tindakan operasi akan sembuh dalam waktu 7 hari

15. Kepustakaan 1. Saroj Nimkarn, Karen Lin Su, Maria I New. Steroid 21 Hydroylase Deficiency Congenital Adrenal
Hyperplasia. Pediatr Clin N Am 58: 2011:1281-1300.
2. Maria I New, Lucia Ghizzoni, Karen Lin Su. An Update of Congenital Adrenal Hyperplasia. Fima Lifshift,
ed. 2007. New York.
3. Miller L Walter, Achermann JC, Fluck CE. The Adrenal Corteks and Its Disorders. Dalam : Pediatric
Endocrinology, Third Edition. Philadelphia. 444-512.
4. Pediatric Endocrinology. Dalam: Styne DM, ed. Guide To Pediatric Endocrine Emergencies. Lippincolt
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004. 295-7.
5. Raine JE. Adrenal Disorders. Dalam Practical Endocrinology and Diabetes In Children. 2nd ed. 137-42.
2006.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 16


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIABETES MELLITUS TIPE 1

1. Pengertian (Definisi) Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai
dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau
keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan
-pankreas yang didasari proses autoimun

2. Anamnesis - Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun


- Riwayat keluarga dengan sakit yang sama.

3. Pemeriksaan Fisik - Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas,


- Didapatkan penurunan berat badan

4. Pemeriksaan 1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).*
Penunjang Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir.
atau
2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).**
Puasa dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam.
atau
3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa.
Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau
1,75 g/kg berat badan sampai dengan maksimum 75 g.
4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. Hyperglikemia

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding - Produksi berlebihan glukokortikoid atau katekolamin pada :


o Tumor hipotalamus atau hipofisis
o Tumor atau hiperplasia adrenal
o Feokromositoma
Pada keadaan ini didapatkan uji toleransi glukosa yang abnormal dan glukosuria tanpa ketosis, yang
disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
- Renal glukosuria.
Pada keadaan ini didapatkan glukosuria tanpa hiperglikemia maupun ketosis.

8. Terapi Medikamentosa
- Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
- Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia
dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin
harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama
sekali.
- Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan
dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin
menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut
:
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 17


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIABETES MELLITUS TIPE 1


25% berupa makan siang.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan malam.
10% berupa makanan kecil.
o Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.

9. Edukasi 1. Injeksi insulin secara teratur


2. Pengaturan pola makan sesuai kebutuhan kalori

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP , dr, SpA(K)

14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan
sembuh dalam waktu 4 hari.

15. Kepustakaan 1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005.
4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and
Monitoring Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29.
5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus
Guidelines for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands:
ISPAD, 2000.
6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
No 32. Surabaya: Oktober 2002; 11-22.
7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan
pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. February 13, 2002.
8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP
IDAI, 2000.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 18


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
1. Pengertian (Definisi) Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormon.

2. Anamnesis - Sesak , penurunan kesadaran, mual, muntah


- Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
- Riwayat keluarga dengan sakit yang sama.

3. Pemeriksaan Fisik - Penurunan kesadaran bahkan koma


- Tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemia
- Tanda-tanda sesak
- Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas,
- Didapatkan penurunan berat badan

4. Pemeriksaan 1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan
Penunjang kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun

5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut :


Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
Asidosis, bila pH darah < 7,3.
kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut :
Ringan: bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L.
Sedang: bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L.
Berat: bila pH darah < 7,1 , bikarbonat < 5 mmol/L.

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia,
uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia,
ensefalitis, dan lesi intrakranial.

8. Terapi Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan: 1) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), 2)
Menghentikan ketogenesis (insulin), 3) Koreksi gangguan elektrolit, 4) Mencegah komplikasi, 5) Mengenali dan
menghilangkan faktor pencetus.

9. Edukasi 1. Injeksi insulin


2. Pengaturan pola makan

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)

14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)

15. Kepustakaan 1. Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013].
Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing.
2. R A R Treasure, P B S Fowler H T Millington, Wise PH. Misdiagnosis of diabetic ketoacidosis as
hyperventilation syndrome. British Medical Journal. 1987;294:630.
3. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children
and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 19


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
4. Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53.
5. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis.
Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36.
6. Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications –
diabetic ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National Evidence-
Based Clinical Care Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra:
Australian Paediatric Endocrine Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35.
7. Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of
North America. 2005;52(6):1611-35.
8. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis.
QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80.
9. lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in
Birmingham, UK, 2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal
of Diabetes & Vascular Disease. 2009;9(6):278-82.
11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51.
12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and
Management. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78.
13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl
1:S62-7.
14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80.
15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33.
16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak
RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished]
17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1
pada Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30.
18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27.
19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of
hyperglycemic emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60.
20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of
intensive care. 2011;1(1):1-12.
21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents.
Archives of Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94.
22. Association AD. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care.
2002;25(Supplement 1):S100-8.
23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of
cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71.
24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al.
Accuracy of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples
During Metabolic Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1
Diabetic Patients. Diabetes care. 2003;26:1137-41.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 20


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPOTIROID KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis
hipotalamus-hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan
respon jaringan terhadap hormon tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone
tiroid sejak dalam kandungan.

2. Anamnesis - Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi,
hipotermia, konstipasi dan perkembangan yang terlambat.
- Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat
pengobatan selama hamil

3. Pemeriksaan Fisik - At Birth : postmaturity, makrosomia, large head, open posterior fontanella, maturasi tulang terlambat
- During early infancy : prolongen physiological jaundice, poor feeding, lethargy, somnolence, hypothermia,
constipasi, makroglossia, hoarse cry, umbilical hernia, dry, mottled skin, goitre

4. Pemeriksaan 1. TSH , FT4


Penunjang 2. Ultrasonografi ginjal (USG) tiroid
3. Congenital Hipothyroid newborn screening: Bila kadar TSH tinggi > 40 µU/ml dan T4 rendah, < 6 µg/ml,
bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50
µU/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian.

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. FT4 rendah dan TSH yang tinggi

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding Mongolisme


Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal tiroid secara rutin.
- epikantus (+)
- makroglosi (+)
- miksedema (-)
- retardasi motorik dan mental
- ”Kariotyping”, trisomi 21
8. Terapi Medikamentosa
Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin.

Umur Dosis µg/kg BB/hari


0-3 bulan 10-15
3-6 bulan 8-10
6-12 bulan 6-8
1-5 tahun 5-6
2-12 tahun 4-5
> 12 tahun 2-3

Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal.

9. Edukasi 1. Berobat secara teratur


2. Meminum obat sebelum makan saat perut kosong

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah, dr, SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)

14. Indikator Medis Perkembangan membaik. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari

15. Kepustakaan 1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric
Endocrinology. Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 21


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPOTIROID KONGENITAL
2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.
3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology –
The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90.
4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York :
Marcel Dekker, 1996 : 369-81.
5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 22


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DISORDER OF SEX DEVELOPMENT


1. Pengertian (Definisi) Kelainan bentuk genitalia eksterna/ fenotip yang jelas antara laki-laki atau perempuan

2. Anamnesis - Penggunaan progesterone atau androgen pada awal kehamilan


- Ibu yang mengalami virilasi
- Riwayat kematian perinatal
- Adanya keluarga yang menderita genitalia ambigua atau kelainan urologi
- Adanya keluarga yang mengalami hyperplasia adrenal kongenital
- Perempuan yang amenorrhea atau infertilitas

3. Pemeriksaan Fisik - Tentukan teraba gonad, posisi, ukuran, dan teksturnya


- Pengukuran panjang falus
- Tentukan posisi meatus dari uretra, adanya hipospadia, dan korda
- Tentukan derajat darifusi labioscrotal folds
- Tentukan apakah terdapat orifisium vagina?
- Tanda-tanda lain :
Hiperpigmentasi, dehdrasi, hipoglikemia, atau hipertensi
“Webbed neck”, low hairline
Kelainan kongenital lainnya
- Tanda virilisasi menggunakan skala Prader.

Skala virilisasi menurut Prader

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: Serum elektrolit, kadar gula darah, 17-OH Progesteron, LH, FSH, DHEA, rasio
Testoteron/DHT, estradiol
2. USG/CT-scan/MRI
3. Karyotiping
4. Genitografi
5. Laparoskopi/Biopsi gonad
6. Pemeriksaan Psikologi/Psikiatri

5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut :


Ditemukan kelainan pada bentuk genitalia
Pemeriksaan Karyotiping menunjukkan kelainan atau normal namun dengan tampilan fenotip
yang berbeda dengan hasil karyotiping
Pemeriksaan Laboratorium 17-OHP

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain

7. Penyulit 1. Krisis adrenal


2. Depresi
3. Gangguan orientasi seksual
4. Keganasan

8. Terapi Penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal,
koreksi secara pembedahan, dan psikologis

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 23


Multi-disiplin ilmu meliputi: Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Urologi, Bedah Plastik, Kandungan & Kebidanan,
Psikiatri, Genetika Klinik, Rehabilitasi Medik, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, dan Bagian Hukum Rumah
Sakit/ Kedokteran Forensik

9. Edukasi 3. Potensi fertilitas


4. Kapasitas fungsi seksual
5. Fungsi endokrin
6. Perubahan menjadi keganasan
7. Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
8. Faktor psikoseksual: identitas gender, peran gender, dan orientasi gender
9. Aspek kultural
10. Informed consent dari keluarga

10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)

14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)

15. Kepustakaan 1. Madhusmita M, Lee MM. Intersex Disorder. Dalam: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinologi. New
York: Elsevier Mosby, 2005; 103-122.
2. Witchel SF, Lee PA. Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA:
Saunders, 2002; 111-33.
3. Hyun Grace, TF Kolon. Apractical approach to intersex in the newborn period. Pediatr Ur Clin of
Nort Am 2004; 31 (3): 435-43.
4. Conte FA, Grumbach MM. Abnormalities of Sexual Determination & Differentiation. Dalam:
Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill, 2001; 511-46.
5. Zemel S, Slover RH. Disorders of Sexual Differentiation. Dalam: McDermot MT, ed. Endocrine
Secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc, 2002; 325-33.
6. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus Statement on Management of Intersex
Disorders. Pediatrics 2006; 118:e488-500.
7. Ono M, Harley VR. Disorders of sex development: new genes, new concepts. Nature Review
Endocrinology 2013; 9:79-91

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 24


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TURNER SYNDROME
1. Pengertian (Definisi) Kelainan genetik yang disebabkan delesi sebagian atau semua bagian dari seks kromosom X

2. Anamnesis Keterlambatan pertumbuhan dan pubertas

3. PemeriksaanFisik - Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah perawakan pendek dan pubertas terlambat (90%),
gejala lain dapat dilihat pada gambar :

- Manifestasi klinis lain dapa tjuga dijumpai lymphedema, anomaly jantung, anomaly ginjal, proses
autoimun : hipo/hipertiroid, rheumatic

4. PemeriksaanPenunjang 1. Karyotyping, dapat ditemukan 45 maupunmosaik


2. Ultrasonografi: untuk evaluasi anatomi ginjal
3. Echokardiografi: untuk evaluasi anatomi jantung
4. Regular tiroid skrining: FT4, TSH
5. Monitoring hipertensi
6. Oftalmologi: strabismus
7. THT: otitisrekuren, audiologi
8. Orthopedi: skoliosis
9. Evaluasi kognitif

5. Kriteria Diagnosis Manifestasi klinis (fenotip) dan ditunjang pemeriksaan karyo typing

6. Diagnosis pemeriksaan karyo typing 45,X ; 46,X,i(Xq) ; 46,X,r(X) ; 46,XXq2 ; 46,XXp2 ; 47,XXX ; 46,X,t(X;15)

7. Diagnosis Banding Sindroma Noonan

8. Terapi TERAPI MEDIKAMENTOSA


1. Terapi hormone pertumbuhan: 0,05mg/kg/hari
2. Oksandrolone (0,0625mg/kg/hari) jika terapi hormone pertumbuhan dimulainya terlambat
3. Induksi pubertas dengan estrogen usia lebih kurang 13 tahun. Pengaturan siklus withdrawal bleeding
dengan estrogen dan progesteron
TERAPI NON MEDIKAMENTOSA
1. Konseling psikologis
2. Pengaturan diet
3. Peer group support

9. Edukasi 1. Tujuan pengobatan :mencapa itingg badan optimal sesuai usia,


2. Memasuki pubertas optimal
3. Evaluasi psikoterapi, masalah visuospasia l dan kognitif.
4. Pilihan reproduksi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 25


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TURNER SYNDROME
10. Prognosis 1. Gejala fisik: tidak berbahaya
2. Kematian biasanya karena kelainan jantung
3. Sebagian besar infertile

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. PenelaahKritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP , dr, SpA(K)

14. IndikatorMedis FT4, TSH, BUN, kreatinin. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.

15. Kepustakaan 1. Nelly E Kirk, Fechner PY, Rosenfeld RG. Turner Syndrome. Dalam Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol2.
FimaLifshift,ed. New York. 2007: 305-19.
2. Saenger P. Turner Syndrome. Chapter 15. Dalam : Pediatric Endocrinology, Third Edition. Philadelphia.
2008.610-52.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 26


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GRAVES DISEASE
1. Pengertian (Definisi) Kelainan imunogenetik yang memiliki karakteristik klinis yaitu tiromegali, hipertiroidism dan oph thalmopati
infiltrative

2. Anamnesis Sulit tidur, mudah lelah saat aktivitas, cemas, dada berdebar, peningkatan nafsu makan, kehilangan berat
badan, tidak tahan udara panas,peningkatan frekuensi buang air besar. Riwayat keluarga (+) pada 60% kasus

3. PemeriksaanFisik Struma difus, takikardi, wide pulse pressure, proptosis, tremor, keringatberlebih, kelemahanototproksimal

4. PemeriksaanPenunjang FT 4 , TSH, antibody tiroid (terutamaTSH receptor antibodies / TRAbs), ambil anyodium radioaktif

5. Kriteria Diagnosis Struma difus, FT 4 meningkat, TSH menurun, TRAbs (+)

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding Adenoma tiroid, , Toxic multinodular goiter, sindroma McCune – Albright, tumor pituitari

8. Terapi ObatAntitiroid

Namaobat Dosis/hari Pemberian

Propiltiourasil 5-10 mg/kg Dalam 3 dosis

Metimazol 0.25-1.0 mg/kg Dalam 1 atau 2 dosis

Propanolol 0.5-2.0 mg/kg Dalam 3 dosis

Yodiumradioaktif
Indikasi : pasien Graves relaps dengan pengobatan anti tiroid jangka lama
: pasien dengan penyakit tiro kardiak berat
: pasien dengan multi nodulartoksik
: pasien yang hipersensitif terhadap obatan titiroid
Pembedahan
Indikasi : struma yang sangat besar dan resisten terhadap radio aktif
: ibu hamil dengan struma nodular yang alergi obatan titiroid
: pasien yang alergi obatan titiroid dan tidak ingin diterapi dengan Yodium radioaktif

9. Edukasi Kepatuhan minum obat

10. Prognosis Remisi sebesar 25% setiap 2 tahun pengobatan

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 27


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GRAVES DISEASE
14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.

15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. 6th edition. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009;250-82.
3. Dallas J, Foley T. Hyperthyroidism. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric Endocrinology 5th edition
Volume 2Growth, Adrenal, Sexual, Thyroid, Calcium, and Fluid Balance Disorders. New York: Informa
Healthcare USA, Inc. 2007; 415-42.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 28


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HASHIMOTO’S TYROIDITIS
1. Pengertian (Definisi) Penyaki tautoimun yang spesifik menyerang kelenjar tiroid

2. Anamnesis Usia > 6 tahun, pembesaran kelenjar tiroid, rasa tekanan di leher / kesulitan menelan, anak pendek dan gemuk
(disbanding teman sebaya), tidak tahan dingin, konstipasi, prestasi sekolah terganggu.

3. Pemeriksaan Fisik strumadifus, letargi. Retardasi pertumbuhan, kulit kering

Thyroid anti peroxidase antibodies (TPOAbs), Thyrotropin receptor-blocking antibodies (TRBAbs), FT 4 , TSH,
USG, skintigrafi, biopsy jarum halus bila antibody anti tiroid negatif
4. Pemeriksaan
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis TPOAbs (+) atauTRBAbs (+).FT 4

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium)

8. Terapi Levotiroksin (L-T 4 permukaan tubuh.

9. Edukasi 1. Kepatuhan minum obat


2. Dapat terjadi krisis tiroid yang menyebabkan kematian (gelisah, lekas marah, berkeringat banyak,

10. Prognosis Prognosis baik bila terapi ade kuat. Konsekuensi paling berat adalah retardasi pertumbuhan

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)

14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.

15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. Edisi 6. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009; 250-82.
3. Fisher D, grueters A. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. Dalam: Sperling M, penyunting.
Pediatric endocrinology, 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Inc. 2008; 227-53.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 29


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEFISIENSI HORMON PERTUMBUHAN


1. Pengertian (Definisi) Pada Growth Hormone stimulation test didapatkan hasil yang rendah

2. Anamnesis - Perawakan pendek disbanding anak sebaya,


- Tidak ada riwayat pubertas/ menstruasi orang tua tidak terlambat

3. PemeriksaanFisik - Perawakan pendek

4. Pemeriksaan Penunjang - Stimulasi hormone pertumbuhan dengan insulin/ clonidin


- IGF-1
- bone age

5. Kriteria Diagnosis - Tinggi badan di bawah persentil 3 atau -2 SD


- Kecepatan tumbuh di bawah P25
- Usiatulang terlambat > 2 tahun
- Kadar GH < 10 ng/ml pada 2 jenis uji provokasi
- IGF-1 rendah
- Tidak ada kelainan dismorfik tulang atau sindroma tertentu

6. Diagnosis Berdasarkan pemeriksaan fisik dan kadar hormone pertumbuhan

7. Diagnosis Banding Perawakan pendek familial, constitutional delay of growth and puberty, hipotiroid

8. Terapi Hormon pertumbuhan

9. Edukasi - Terapi secara teratur


- Efek samping terapi

10. Prognosis Tergantung etiologi

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Nur Rochmah,dr,SpA


b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)

14. Indikator Medis Pertumbuhan, IGF 1. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.

15. Kepustakaan - Rosen bloom AL, Connor EL. Hypopituitarism and Other Disorders of the Growth Hormone – Insulin Like
Growth Factor 1 Axis. In Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol 2. Hal 65-90.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 30


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIARE BERKEPANJANGAN

1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare berkepanjangan adalah diare akut yang berlangsung lebih dari 7 hari

infeksi

2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Adanya pemyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat

3. Pemeriksaan Fisik Pengukuran berat badan


Kesadaran
Tanda vital
Mata cowong
Adanya air mata
Turgor kulit
Bising usus
Extremitias (perfusi, capillary refill time)

Derajat dehidrasi ditentukan dengan kriteria WHO :


Dehidrasi berat : Minimal dua gejala: Letargi/ penurunan kesadaran, mata cowong, malas minum ataupun turgor

Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak gelisah /
iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun
Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang

4. Pemeriksaan Analisa feses


Penunjang Test malabsorbsi: clini test,floating test
Darah lengkap
Kultur feses, Kultur urine.Pemeriksaan serum elektrolit, pemeriksaan gas darah tidak rutin dilakukan.

5. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis


Derajat dehidrasi
Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Diare berkepanjangan

osis Banding Apendisitis akut


Intussusepsi
Infeksi saluran kemih

Resusitasi cairan dan elektrolit bila ada gangguan sesuai derajat dehidrasi
Identifikasi Penyebab diare
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas
6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Penatalaksanaan sesuai penyebab
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
Pengelolaan diit yang rasional

9. Edukasi Menjaga higiene dan sanitasi


Tanda-tanda dehidrasi
Tetap memberikan ASI
Diet sesuai etiologi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 31


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIARE BERKEPANJANGAN

10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K)


Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K)
Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K)
Andy Darma, dr, SpA

14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 14 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang

15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 32


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT

1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah
dalam tinja
Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh
(somnolen, koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral.

2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Adanya penyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat

3. Pemeriksaan Fisik Pengukuran berat badan


Kesadaran
Tanda vital
Mata cowong
Adanya air mata
Turgor kulit
Bising usus
Extremitias (perfusi, capillary refill time)

Derajat dehidrasi ditentukan dengan kriteria WHO :


Dehidrasi berat : Minimal dua gejala: Letargi/ penurunan kesadaran, mata cowong, malas minum

Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak
gelisah / iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun
Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang

4. Pemeriksaan Penunjang Analisa feses, urine


Darah lengkap, serum elektrolit, fungsi ginjal, analisa gas darah
Kultur feses,

5. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis


Derajat dehidrasi
Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Diare akut Dehidrasi berat

7. Diagnosis Banding Apendisitis akut


Intussusepsi
Infeksi saluran kemih

8. Terapi Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl
0.9%) yang dibagi sebagai berikut
Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya
jam berikutnya
Dapat diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat.
Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam
(anak).
Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6
bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa)
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 33


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT

9. Edukasi Menjaga higiene dan sanitasi


Tanda-tanda dehidrasi
Tetap memberikan ASI

10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K)


Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K)
Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K)
Andy Darma, dr, SpA

14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 7 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang

15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 34


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIARE KRONIK

1. Pengertian (Definisi) Diare Kronik adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam dengan atau tanpa disertai darah yang
berlangsun

2. Anamnesis - Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah
(adanya darah, bilious).
- Panas
- Kembung
- Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan
gangguan kesadaran
- Adanya pemyakit penyerta lain
- Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
- Intake
- Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat

3. Pemeriksaan Fisik - Pengukuran berat badan


- Kesadaran
- Tanda vital
- Derajat dehidrasi
- Bising usus
- Pemeriksaan anorectal
- Extremitias (perfusi, capillary refill time)
- Ada gagal tumbuh
- Ada malnutrisi
- Gejala lain yang menyertai

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa feses, urine


2. Darah lengkap
3. Kultur feses, Kultur urin
4. Pemeriksaan serum elektrolit, pemeriksaan gas darah tidak rutin dilakukan.
5. Uji malabsorbsi : Clini test, Floating test
6. Biopsi usus
7. BOF

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. Derajat dehidrasi
3. Komplikasi : sepsis , malnutrisi, gangguan tumbuh kembang

6. Diagnosis Diare Kronik

7. Diagnosis Banding Apendisitis akut


Intussusepsi
Infeksi saluran kemih

8. Terapi 1. Koreksi gangguan cairan dan elektrolit bila ada


2. Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
3. zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk
anak di atas 6 bulan).
4. Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
5. Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
6. Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
7. Pengobatan problem penyerta.
8. Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
9. Dietetik :
• Dalam keadaan berat mungkin diperlukan parenteral nutrisi
• Enteral continous drip feeding memberikan hasil baik dengan formula khusus (low lactose)
• Dalam keadaan malabsorbsi berat , serta alergi protein susu sapi dapat diberikan elemental atau semi
elemental formula

9. Edukasi 1. Menjaga higiene dan sanitasi


2. Tanda-tanda dehidrasi
3. Tetap memberikan ASI

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 35


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIARE KRONIK

10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K)


b. Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K)
c. Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K)
d. Andy Darma, dr, SpA

14. Indikator Medis Tidak dehidrasi


Diare berkurang
Tidak malnutrisi
Tidak gagal tumbuh

15. Kepustakaan 1. WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
2. UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
3. UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
4. Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders,
Philadelphia, Edisi 17 2004; p.1272-1276.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 36


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS

1. Pengertian (Definisi) Refluks gastroesofagus (RGE) adalah aliran balik isi lambung (berupa air liur, makanan/minumam, cairan
lambung, cairan pankreas, cairan empedu) ke dalam esofagus tanpa adanya usaha.
- Fisiologis : regurgitasi setelah minum/makan dengan waktu yang singkat, tidak ada keluhan lainnya.
- Patologis : regurgitasi berulang dengan waktu yang lebih lama, terjadi siang/malam, tidak bergantung
minum/makan, dapat disertai keluhan radang esofagus.

2. Anamnesis - Keluhan regurgitasi, dapat disertai darah


- Nyeri dada atau rasa terbakar
- Batuk, sesak
- Suara serak
- Anemia (pucat)
- Muntah darah/BAB darah
- Kesulitan menelan
- Gelisah
- Penurunan berat badan, kenaikan berat badan yang tidak optimal
- Pada bayi : rewel saat minum, menolak minum, aspirasi berulang

3. Pemeriksaan Fisik - Pengukuran berat badan


- Kesadaran
- Tanda vital
- Anemia
- Sesak (stridor, wheezing)

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Pemantauan pH esofagus
3. Endoskopi
4. Biopsi jaringan esofagus
5. Barium meal : mendeteksi kelainan anatomi saluran cerna atas

5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa


2. Gejala Klinis
3. Endoskopi
4. Biopsi

6. Diagnosis Penyakit refluks gastroesofageal

7. Diagnosis Banding Akalasia


Gastroparesis
Gastroenteritis
Ulkus peptik
Esophagitis/gastroenteritis eosinofilik
Alergi makanan
Pankreatitis
Appendisitis

8. Terapi 1. RGE fisiologis :


- Yakinkan orangtua bahwa regurgitasi adalah fisiologis
- ASI diteruskan
- Jika frekuensi berlebih (>4 kali sehari) dan bayi sudah mendapat susu formula, dapat diberikan
thickening milk modifikasi
- Posisi bayi setelah minum, terlentang dengan sudut 45-60 derajat antara pinggang dengan tempat tidur
- Prokinetik (cisaprid) 0,2 mg/kg/kali, 3 kali sehari, bila tatalaksana di atas tidak memberikan respon
2. RGE patologis (terbukti penyakit RGE) :
- H2 antagonis (ranitidin) 2 mg/kg/BB/hari, 2 kali sehari, atau
- Proton pump inhibitor (PPI), omeprazole 1-2 mg/kgBB/hari, sekali sehari
- Diberikan selama 1-2 bulan bergantungh respon klinis
- Bedah dilakukan bila tidak respon terapi atau RGE yang mengancam jiwa

9. Edukasi 1. Tanda-tanda kegawatan


2. Gangguan susunan saraf pusat
3. Tetap memberikan ASI

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 37


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K)


b. Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K)
c. Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K)
d. Andy Darma, dr, SpA

14. Indikator Medis Tatalaksana dengan H2 antagonis atau PPI membaik dalam 2 minggu

15. Kepustakaan 1. IDAI. Pedoman pelayanan medis. 2011


2. GRAMIK FK UNAIR. Sindroma gangguan motilitas saluran cerna. 2004
3. Sulaiman B. Gastroesophageal reflux disease (GERD) in children : from infancy to adolescence. Journal of
Medical sciences, 2011
4. Yvan Vandenplas, Colin D. Rudolph, at all. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines:
Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition (NASPGHAN) and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
(ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 2009

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 38


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENYAKIT HIRSCHPRUNG

1. Pengertian (Definisi) Penyakit Hirschprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di dalam pleksus
mienterikus dan submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen yang pendek yang
hanya mengenai daerah sfingter anal sampai daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil.

2. Anamnesis Pada bayi:


- Mekonium >48 jam
- Distensi abdominal setelah hari kedua
- Muntah
- Minum berkurang
Pada anak:
- Pada anak ditandai dengan distensi perut
- Gagal tumbuh
- Muntah
- Diare intermiten
- Konstipasi disusul dengan diare yang eksplosif
- enterokolitis

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan rektal


- Saluran anal dan ampula rekti yang kecil
- Biopsi Rektal

4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologis


- Foto polos abdomen: usus mengalami distensi, sedikit udara di rektum
- Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
- Colon in loop: tampak zona transisi

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. Pemeriksaan radiologis
3. Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Penyakit Hirschprung

7. Diagnosis Banding Konstipasi idiopatik

8. Terapi 1. Penanganan umum:


- Stabilisasi Penderita
- Antibiotik bila terjadi enterokolitis
- Evakuasi kolon dengan enema
2. Penanganan khusus:
- Kolostomi
- Dilanjutkan bedah definitif

9. Edukasi 1. Menjaga higiene dan sanitasi


2. Tetap memberikan ASI

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K)


b. Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K)
c. Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K)
d. Andy Darma, dr, SpA

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 39


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENYAKIT HIRSCHPRUNG

14. Indikator Medis - Secara umum prognosisnya baik


- 90% pasien mendapat tindakan pembedahan dan sembuh
- 10% pasien bermasalah dengan saluran cerna sehingga harus dilakukan kolostomi permanen.
- Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

15. Kepustakaan 1. Imseis, E. And C.E. Gariepy (2004). Hirschprung’s disease. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker.,
Goulet., Kleinman.et al.Ontario, BC Decker Inc.1 : 1031-1043
2. O;Neill.(2004).”Hirscphrung’s Disease”, 2006, from www.APSA Resources for parents Hirschprung’s Disease
Pt_1.htm.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 40


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL PADA ANAK

1. Pengertian (Definisi) Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut sampai dengan anus.
Darah dapat terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat
dengan pemeriksaan laboratorium.

Perdarahan Gastrointestinal dibagi menjadi:


1. Perdarahan gastrointestinal atas ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian proksimal dari
ligamentum Treitz
2. Perdarahan gastrointestinal bawah ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna dibawah ligamentum
Treitz

2. Anamnesis • Konfirmasi darah yang keluar benar- benar keluar dari traktus digestivus
• Jumlah darah yang keluar dan karakteristiknya
• Anak tampak sakit akut atau kronis
• Apakah perdarahan masih berlangsung
• Riwayat pemberian obat (antikoagulan, aspirin,dll)
• Riwayat penyakit terdahulu (epitaksis, penyakit hati, perdarahan)
• Riwayat muntah hebat kemudian disusul muntah darah

3. Pemeriksaan Fisik • Kesadaran dan tanda vital


• Tanda-tanda syok
• Peningkatan nadi 20/menit atau penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg saat dari duduk akan
berdiri merupakan tanda terjadi perdarahan yang cukup signifikan
• Tanda-tanda hipertensi portal, obstruksi intestinal, koagulopati, epistaksis, fisura ani dan hemoroid
• Pemeriksaan colok dubur

4. Pemeriksaan Penunjang • Apt test untuk membedakan darah bayi dan darah ibu
• Foto polos abdomen
• Esofagogastrodudodenoskopi
• Sigmoidoskopi dan kolonoskopi
• Biopsi
• Meckel scan

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. Derajat perdarahan
3. Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Perdarahan gastrointestinal atas atau bawah

7. Diagnosis Banding Hipertensi Portal


Tifus Abdominalis
Megakolon toksik
Tumor colon
NEC

8. Terapi 1. Resusitasi cairan


2. Kumbah lambung dengan menggunakan normal saline
3. Perdarahan dari pembuluh darah (varises, kelainan vaskuler) yang persisten:
Vasopresin 20 unit/1,73m2 selama 20 menit atau ocreotide 25-30 µg/m2/jam, keduanya dapat
diberikan selama 24 jam apabila diperlukan
Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube
Skleroterapi
Konsul bedah anak
4. Perdarahan akibat ulkus : antasida, dekompresi gaster, elektrokauter, injeksi epinefrin lokal,
pembedahan darurat.

9. Edukasi 1. Tanda-tanda syok


2. Tanda-tanda perdarahan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 41


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL PADA ANAK

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Subijanto MS, dr, SpA(K)


b. Dr. Reza Ranuh, dr, SpA(K)
c. Alpha Fardah Athiyyah, dr, SpA(K)
d. Andy Darma, dr, SpA

14. Indikator Medis Tidak anemia


Perdarahan berhenti

15. Kepustakaan 1. Suraatmaja, S. Kapita selekta Gastroenterologi Anak. 2010


2. UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2011

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 42


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

ANEMIA DEFISIENSI BESI


1. Pengertian (Definisi) Anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin.
2. Anamnesis kebutuhan besi meningkat (masa pertumbuhan yang cepat, menstruasi, infeksi kronis)
kekurangan besi yang diserap (pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari)
menderita perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)
pucat, lemah, lesu, gejala pika, penurunan nafsu makan
mengalami gangguan perilaku dan prestasi belajar
3. Pemeriksaan Fisik anemia tanpa disertai ikterus, organomegali dan limfadenopati
stomatitis angularis, atrofi papil lidah, koilonikia
takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
gangguan pertumbuhan
bila Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun, RDW meningkat
hapusan darah tepi: hipokromik mikrositik
kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi besi menurun
kadar feritin menurun
5. Diagnosis ANEMIA DEFISIENSI BESI
6. Diagnosis Banding Thalassemia (khususnya Thalassemia minor)
HbA 2 meningkat
feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
anemia karena infeksi menahun
pada umumnya anemia normokromik normositik, kadang-kadang terjadi anemia hipokromik
mikrositik
feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
kadar SI menurun dan TIBC menurun atau normal
keracunan timah hitam (Pb)
terdapat gejala lain keracunan Pb
Anemia sideroblastik
terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang
7. Pemeriksaan Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), RDW
Penunjang hapusan darah tepi
kadar besi serum (SI) dan TIBC, saturasi besi
kadar feritin
8. Terapi 1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian preparat besi (ferro sulphate/ferro fumarate/ferro gluconate) dosis 4-6 mg besi
elemental/kgBB/hari dibagi 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan
sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal. Ascorbic acid 100 mg/15 mg besi elemental (untuk
meningkatkan absorbsi besi).
2. BEDAH
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
3. SUPORTIF
Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani
(limpa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Respirologi, Gastro-Hepatologi,
Kardiologi)

9. Edukasi 1. Terapi
periksa kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu
kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal
misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual, gejala lain
dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
2. Tumbuh kembang
penimbangan berat badan setiap bulan
perubahan tingkah laku
daya konsentrasi dan kemampuan belajar anak usia sekolah, konsultasi ahli psikologi
aktivitas motorik
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 43


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

ANEMIA DEFISIENSI BESI


4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Pemberian preparat besi selama 2-3 bulan dan respon pemberian preparat besi dievaluasi dengan peningkatan
kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu.
15. Kepustakaan 1. Hilmann RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and
Management. New York; Mc Graw Hill, 1995: 72-85.
2. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. 2nd ed. New York; Churchill
Livingstone Inc, 1995: 35-50.
3. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. 1st ed. Philadelphia;
Saunders, 1974: 103-25.
4. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. In: Mc Millan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB,
penyunting. Oski’s Pediatrics: Principles and Practice. 3rd ed. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins,
1999: 1447-8.
5. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 10-3.
6. Suplementasi Besi pada Bayi dan Anak. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011: 1-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 44


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

THALASSEMIA
1. Pengertian (Definisi) Suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh
kekurangan sintesis rantai polipeptida yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.
2. Anamnesis pucat
gangguan nafsu makan
gangguan tumbuh kembang
perut membesar
3. Pemeriksaan Fisik anemia
bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
dapat ditemukan ikterus
gangguan pertumbuhan
splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
darah tepi
Hb rendah dapat mencapai 2-3 g%
gambaran morfologi eritrosit mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan
makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan
sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
Retikulosit meningkat
pemeriksaan khusus
HbF meningkat: 20-90% Hb total
Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar HbF.
pemeriksaan pedigree: kedua orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan HbA 2
meningkat (>3,5% dari Hb total).
pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala: gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak
lurus pada korteks
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas
5. Diagnosis THALASSEMIA
6. Diagnosis Banding anemia defisiensi besi
anemia karena infeksi menahun
anemia pada keracunan timah hitam (Pb)
anemia sideroblastik
7. Pemeriksaan hapusan darah tepi
Penunjang pemeriksaan khusus
Elektroforesis Hb
pemeriksaan pedigree
pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang
8. Terapi 1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian iron chelating agent: diberikan setelah kadar feritin serum sudah
transferin lebih 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kgBB/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal
selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
Deferiprone, dosis 50-75 mg/kgBB/hari, 3x/hari peroral, setiap hari.
Deferasirox, dosis 20-30 mg/kgBB/hari, 1x/hari peroral, setiap hari.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelat besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi.
Folic acid 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
2. BEDAH
Splenektomi dengan indikasi: Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan
kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (Packed Red Cell/PRC) melebihi 250 ml/kgBB
dalam satu tahun.
3. SUPORTIF
Transfusi darah:
Diberikan pada Hb «8 g/dL sampai kadar Hb 10-11 g/dL. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi
sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan
dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC 10 ml/kgBB/hari.
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
tumbuh kembang, kardiologi, gizi, endokrinologi, radiologi, gigi
9. Edukasi 1. Terapi
Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi
besi meningkat dan transfusi darah berulang.
Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat.
Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernafas. Bila hal ini
terjadi kelasi besi dihentikan.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 45


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

THALASSEMIA
2. Tumbuh kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, sehingga diperlukan perhatian dan
pemantauan tumbuh kembang penderita.
3. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar
(gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Kadar hemoglobin dipertahankan rata-rata 9,5 g/dL
15. Kepustakaan 1. Brozovic M, Henthorn J. Investigation of abnormal hemoglobins and thalassemia. In; Dacie JV, Lewis
SM, eds. Practical Hematology. 8th ed. Churchill Livingstone Edinburgh, 1995: 249.
2. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the Clinical Management of
Thalassemia. Thalassemia International Federation, April 2000.
3. Eleftheriou A. Clinical Management of Thalassemia. In: Compliance to Iron Chelation Therapy with
Desferrosamine. Thalassemia International Federation 2000: 14-6.
4. Miller DR, Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and Childhood. 5th ed. St.
Louis; Mosby Co, 1997: 619.
5. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000:
979.
6. Wahidiyat I, Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia. Naskah lengkap Kongres Nasional Ilmu
Kesehatan Anak (KONIKA) Jakarta, 1999: 293-6.
7. Talasemia. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 299-302.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 46


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


1. Pengertian Suatu keganasan primer organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang sebagai pembuat darah didominasi
(Definisi) oleh sel klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel ganas tersebut melalui darah ke semua organ
tubuh.
2. Anamnesis pucat
sering demam
perdarahan
berat badan turun
anoreksia
nyeri tulang
pembesaran kelenjar getah bening dan perut
3. Pemeriksaan Fisik Gejala klinis bervariasi luas, dapat berupa:
anemia dan tanda perdarahan: perdarahan kulit (ptekie, atraumatik ekimose), perdarahan gusi,
hematuria, perdarahan saluran cerna, dan perdarahan otak
pembesaran kelenjar limfe general
organomegali (hepatomegali, splenomegali, limfadenopati), massa di mediastinum
pada jantung terjadi gejala akibat anemia
infeksi: di mulut, saluran nafas atas/bawah, selulitis, sepsis
leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (tekanan intra kranial meningkat), perubahan
status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologic fokal
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
anemia normositik normokromik
pada hitung jenis terdapat limfositosis dan atau limfoblas. Jumlah limfoblas dapat mencapai 100%
pemeriksaan darah lengkap: lekosit bisa menurun, normal, atau meningkat atau hiperlekositosis
(>100.000/mm3). Trombositopenia, uji tourniquet positif dan waktu perdarahan memanjang.
retikulositopenia
kepastian diagnostik: pungsi sumsum tulang. Terdapat pendesakan eritropoiesis, trombopoesis, dan
granulopoesis. Sumsum tulang didominasi oleh limfoblas. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
immunophenotyping.
rontgen foto toraks AP dan lateral untuk melihat infiltrasi mediastinal
lumbal pungsi: untuk mengetahui ada infiltrasi ke cairan serebrospinal
5. Diagnosis LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
6. Diagnosis Banding Anemia aplastik
7. Pemeriksaan pemeriksaan darah lengkap
Penunjang hapusan darah tepi dan retikulosit
pungsi sumsum tulang
dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan immunophenotyping
rontgen foto toraks AP dan lateral
lumbal pungsi
8. Terapi 1. Protokol pengobatan
Protokol pengobatan menurut UKK Hemato-Onkologi ada 2 macam yaitu:
a. Protokol middle dose Metothrexate (Jakarta 1994) lihat lampiran
b. Protokol Nasional LLA 2006 lihat lampiran
2. Pengobatan suportif
Terapi suportif misalnya transfusi komponen darah, pemberian antibiotika, nutrisi, dan psikososial
9. Edukasi 1. Terapi
Komplikasi terapi adalah alopesia, depresi sumsum tulang, agranulositosis. Sepsis merupakan
komplikasi selama pengobatan sitostatik.
Pada pemberian kortikosteroid dapat terjadi perubahan perilaku, misalnya marah dan nafsu makan
yang berlebihan.
2. Tumbuh kembang
Pasien secepatnya masuk sekolah. Dalam jangka lama perlu diobservasi fungsi hormonal dan tumbuh
kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Remisi komplit dicapai setelah pengobatan selama 108-118 minggu.

15. Kepustakaan 1. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In: Clinical Hematology 3rd ed. Thieme, Stuttgart.
1986: 243-8.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 47


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


2. Margolin JF, Robin KR, Steuber CP. Acute Lymphoblastic Leukemia in Principle and Practice of
Pediatric Oncology, 6th ed. Lipincott. 2011: 518-65.
3. Munker R and Sakhalkar V. Acute Lymphoblastic Leukemia in Modern Hematology, Biology and
Clinical Management, 2nd ed. Munker R, Hiller E, Glass J, Paqutte R edsd.en Press. 2007: 173-93.
4. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000:
979.
5. Saha V and Chessells J. Childhood Lymphoblastic Leukemia in Evidence Based Pediatric Oncology,
2nd . Pinkerton Rshankar AG and Matthay K eds, Blackwell. 2007: 267-78.
6. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, Head D, Boyett J, Rubritz JE, et all. Persistence of
Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15 and Day 22 to 25 of Remission Induction Predicts a Dismal
Treatment Outcome in Children with Acute Lymphoblastic Leukemia. Blood, 2002: 100: 43-6.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 48


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)


1. Pengertian Kelainan perdarahan pada anak usia 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. Terjadi
(Definisi) akut, sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi pada usia <1 tahun atau >10 tahun, kronis dan
dihubungkan dengan kelainan imunitas.
2. Anamnesis riwayat infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna 1-3 minggu sebelumnya
riwayat perdarahan, gejala dan tipe perdarahan, lama perdarahan, riwayat sebelum perdarahan
riwayat pemberian obat-obatan misalnya heparin, sulphonamide, quinidine/quinine, aspirin
riwayat ibu menderita HIV, riwayat keluarga yang menderita trombositopenia atau kelainan hematologi
3. Pemeriksaan Fisik manifestasi perdarahan, tipe perdarahan termasuk perdarahan retina, derajat berat perdarahan
perabaan hati, limpa, kelenjar getah bening
infeksi
gambaran dismorfik yang diduga kelainan kongenital termasuk kelainan tulang, kehilangan
pendengaran
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
manifestasi perdarahan
trombositopenia
dihubungkan dengan kelainan imunitas
5. Diagnosis PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)
6. Diagnosis Banding Anemia aplastik
Leukemia
Septikemia
Penyakit imunologik
7. Pemeriksaan morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit
Penunjang Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit
Trombosit, masa perdarahan
8. Terapi PTI AKUT
bed rest (Masuk Rumah Sakit) dan roborantia
kortikosteroid Prednison 2 mg/kgBB/hari peroral selama 7 hari, kemudian tapering of dalam
periode 7 hari.
PTI KRONIS
Kortikosteroid
Prednison 2 mg/kgBB/hari/po atau iv selama 7 hari, kemudian tapering of dalam periode 7 hari.
Pada perdarahan emergensi: Methylprednisolone 8-12 mg /kgBB/iv atau Dexamethasone 0,5-1,0 mg
/kgBB/iv atau po, bersama-sama dengan IVIG atau transfusi trombosit.
Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Dosis inisial 0,8 g/kgBB, 1x pemberian. Diulang dengan dosis yang sama jika jumlah trombosit
<30x109 /l pada hari ke 3 (72 jam setelah infus pertama).
Pada perdarahan emergensi: 0,8 g/kgBB, 1-2 kali pemberian, bersama-sama dengan kortikosteroid
dan transfusi trombosit.
Pada PTI kronis: 0,4 g/kgBB/x, setiap 2-8 minggu.
Siklosporin
3-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis
Azatioprin
50-300 mg/m2 per os/hari selama 4 bulan

Transfusi trombosit pada umumnya tidak diberikan berhubung adanya zat anti terhadap trombosit
Splenektomi kadang-kadang dilakukan pada PTI akut dengan dugaan perdarahan otak. Dilakukan bersama
dengan transfusi trombosit dalam jumlah besar.
9. Edukasi Pemantauan tanda-tanda perdarahan
Pencegahan dan penanganan infeksi
10. Prognosis PTI AKUT
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

PTI KRONIS
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis PTI akut sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi lebih dari 6 bulan akan menjadi kronis dan
dihubungkan dengan kelainan imunitas.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 49


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)


15. Kepustakaan 1. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill
Livingstone; 1995: 202-3.
2. Lillyman JS. Disorders of Platellets. Thrombocytopenia and Thrombocytosis. Dalam: Lillyman JS,
Hann IM, penyunting. Paediatric Hematology. Edisi ke 1. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1992: 129-
68.
3. Beardsky DS. Platelet Abnormalities in Infancy and Childhood. Edisi ke 4. Philadelphia: Saunders;
1993: 1561-604.
4. Grabowski EF, Corrigan JJ. Hemostasis: General Considerations. Dalam: Miller DR, Baehner RL,
Miller LP, penyunting. Blood Diseases of Infancy and Childhood. Edisi ke 7. St. Louis: Mosby; 1995:
849-923.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 50


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

HEMOFILIA
1. Pengertian Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
(Definisi) Ada 3 jenis hemofilia:
Hemofilia A: defek faktor VIII
Hemofilia B: defek faktor IX
(prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1)
Hemofilia C: defek faktor XI (jarang)
Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX:
Ringan: 5-25% (5-25 U/dL)
Sedang: 1-5% (1-5 U/dL)
Berat: <1% (<1 U/dL)
2. Anamnesis riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat
lahir, perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur
nyeri/bengkak pada sendi
riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama
3. Pemeriksaan Fisik Ada perdarahan yang dapat berupa:
hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas)
sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi
kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu
perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
APTT memanjang
PPT normal
Serum Prothrombin Time pendek
kadar fibrinogen normal
Retraksi bekuan baik
kadar Faktor VIII/IX
5. Diagnosis HEMOFILIA
6. Diagnosis Banding Von Willebrand’s disease
Defisiensi Vitamin K
7. Pemeriksaan APTT
Penunjang PPT
Serum Prothrombin Time
Kadar fibrinogen
Retraksi bekuan
kadar Faktor VIII/IX
8. Terapi Hemofilia A
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian
diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk
mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FVIII
Hemofilia B
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga
mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi
hemolitik.
Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FIX
Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor
Indikasi FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari)
Epistaksis 10-15 20-30 1-2
Perdarahan oral 10-15 20-30 1-2
mukosa
Hemarthrosis 15-25 30-50 1-2
Hematoma 15-25 30-50 1-2
Hematuria persisten 15-25 30-50 1-2
Perdarahan GI 15-25 30-50 1-2 hari
setelah perdarahan stop
Perdarahan 15-25 30-50 min.3 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 51


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

HEMOFILIA
retroperitoneal
Trauma tanpa 20-25 40-50 2-3
perdarahan
Perdarahan lidah/ 20-25 40-50 3-4
retrofaring
Trauma dengan 50 100 10-14
perdarahan,bedah
Perdarahan 50 100 10-14
intrakranial

9. Edukasi 1. Menghindari trauma


2. RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation)
3. Pemantauan efek samping terapi
Pemeriksaan fungsi hati setiap 6 bulan
4. Tumbuh kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi kontraktur sendi. Hal ini dapat
dicegah dengan penanganan secara komprehensif.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Keluhan klinis berkurang (tidak didapatkan bengkak dan perdarahan) setelah pemberian AHF
15. Kepustakaan 1. Higartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke 7. St. Louis Mosby; 1995: 924-86.
2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill
Livingstone; 1995: 254-62.
3. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hereditary Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders).
Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting Nelson Text Book of Pediatric;
edisi ke 16. Philadelphia: WB Saunders Co.2000: 1508-11.
4. Rickard KA. Guidelines for therapy and optimal dosages of coagulation factors for treatment of
bleeding and surgery in haemophilia. Haemophilia; 1995 (suppl 1): 8-13.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 52


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K


1. Pengertian (Definisi) Perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang disebabkan oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan
Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
2. Anamnesis onset perdarahan
lokasi perdarahan
pola pemberian makanan
riwayat pemberian obat-obatan pada ibu selama kehamilan
3. Pemeriksaan Fisik ada perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain sebagainya
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
waktu pembekuan memanjang
APPT memanjang
PTT memanjang
Thrombin Time normal
USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan
5. Diagnosis PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K
6. Diagnosis Banding Gangguan hemostasis lain misalnya gangguan fungsi hati
7. Pemeriksaan waktu pembekuan
Penunjang APPT
PTT
Thrombin Time
USG, CT Scan atau MRI
8. Terapi Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari
Fresh Frozen Plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kgBB
9. Edukasi Pemberian Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali masing-masing 2 mg pada
waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun.
Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin K1 5 mg/hari selama trimester
ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan, selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan
diulang 24 jam kemudian.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Klinis membaik dan FH normal setelah pemberian vitamin K1 dan FFP
15. Kepustakaan 1. Willoughby MLN. Pediatric Hematology. Edinburg: London, 1977: 327-9.
2. Chalmers EA, Gibson BE. Acquired disorders of hemostasis during childhood. Dalam: Lilleyman J, Hann I,
BlanchetteV, Eds. Pediatric Hematology. Edisi ke 2. London: Churchill Livingstone, 2000: 629-49.
3. Sutor AH, Von Kries R, Cornelissen M, Mc Ninch AW, Andrew M. Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in
Infancy. Thromb Haemost 1999; 81: 456-61.
4. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Hemorrhagic Disease of The Newborn. Dalam: Permono B, Sutaryo,
Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2005: 182-96.
5. World Health Organization, Food and Agriculture Organization of United Nations, 2002. Vitamin K. Didapat
dari: http://www.fao.org/documents/showcdr.asp?urlfile=/DOCREP/004/Y2809E/y2809e00.htm. (Diakses
tanggal 8 Agustus 2005)
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 53


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

ANEMIA APLASTIK
1. Pengertian Suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.
(Definisi)

2. Anamnesis keluhan pucat, lemah, mudah lelah dan berdebar-debar


tanda-tanda infeksi
perdarahan
3. Pemeriksaan Fisik Gejala klinis bervariasi, dapat berupa:
anemia
febris
perdarahan
hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia aplastik
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
darah tepi
granulosit <500/mm3
trombosit <20.000/mm3
retikulosit <1.0%
sumsum tulang
hiposeluler <25%
5. Diagnosis ANEMIA APLASTIK
6. Diagnosis Banding Leukemia akut
Sindrom Fanconi: anemia aplastik konstitusional dengan anomali kongenital
Anemia Ekstrem-Damashek: anemia aplastik konstitusional tanpa anomali kongenital
Anemia aplastik konstitusional tipe II
Diskeratosis kongenital
7. Pemeriksaan pemeriksaan darah tepi
Penunjang pemeriksaan sumsum tulang
8. Terapi Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti:
pemeriksaan rektal
pengukuran suhu rektal
tindakan dokter gigi
Pada tindakan-tindakan diatas, resiko infeksi bakteri meningkat
Simptomatik
anemia: transfusi sel darah merah padat (PRC)
perdarahan profus atau trombosit<10.000/mm3: transfusi trombosit (tiap unit/10kgBB dapat
meningkatkan jumlah trombosit ±50.000/mm3) Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak
dianjurkan.
Kortikosteroid
Prednison 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis, untuk mengurangi fragilitas pembuluh kapiler,
diberikan selama 4-6 minggu
Siklosporin
5-15 mg/kgBB/hari setiap 12-24 jam tappering menjadi 3-10 mg/kgBB/hari
Efek samping
virilisme, hirsutisme, akne hebat, perubahan suara (reversible sebagian bila obat dihentikan)
pemberian jangka panjang dapat menimbulkan adenoma karsinoma hati kolestasis
hepatotoksik pada pemberian sublingual
9. Edukasi Hindari infeksi dan trauma yang dapat menyebabkan perdarahan
Pemantauan efek samping terapi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 54


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

ANEMIA APLASTIK

14. Indikator Medis Klinis membaik dan didapatkan parameter hematologi: granulosit >500/mm3, trombosit >20.000/mm3, retikulosit
<1.0%

15. Kepustakaan 1. Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. N Eng. J. Med 1997, 336: 1365-72.
2. Young NS. Bone Marrow Aplasia: The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education
Programme of The 26th Congress of The International Society of Hematology, Singapore: ISH, 1996.
3. Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia. Dalam: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ
dkk. Penyunting. Hematology: Basic Principles and Practice, edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone,
1995: 299-325.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 55


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

HIPERLEUKOSITOSIS
1. Pengertian (Definisi) Jumlah leukosit darah tepi yang melebihi 100.000/mm3
2. Anamnesis Tidak didapatkan keluhan yang khas dan spesifik.
3. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan metabolik yang mendasari.
4. Kriteria Diagnosis Jumlah leukosit darah tepi melebihi 100.000/mm3
5. Diagnosis HIPERLEUKOSITOSIS
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Pemeriksaan darah tepi
Penunjang Pemeriksaan serum elektrolit (natrium, kalium, kalsium, fosfat)
Pemeriksaan asam urat
8. Terapi Hiperhidrasi
Dektrosa 5% dalam NaCl 0,45%: 2-3 liter/m2/hari
Alkalinisasi urin
a. Tambahkan NaHCO 3 40 meq/liter
b. Untuk mempertahankan pH urin 7,0-8,0
c. Stop NaHCO 3 jika bikarbonat serum »30 mEq/L dan/atau pH urin>8,0
Pengobatan hiperurisemia
Allopurinol 300 mg/m2/hari atau 10 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 3 dosis (maksimum 800 mg/hari)
atau 200 mg/m2/hari iv (maksimum 600 mg/hari)

Diuresis
a. Target produksi urin 100 ml/m2/jam dan berat jenis urin <1.010
b. Dapat diberikan Furosemid 0,5-1 mg/kgBB/kali atau Mannitol 25% 0,5 g/kgBB selama 5-10
menit jika pasien mengalami oligouria, dapat diulang setiap 6 jam bila perlu
Tunda transfusi suspensi darah merah (PRC) karena dapat meningkatkan viskositas darah, terutama jika
lekosit > 300.0000/mm3
Monitor
a. elektrolit : Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin
b. darah lengkap
c. urin output, pH, berat jenis urin setiap 6 jam
d. tanda-tanda vital: respirasi, jantung dan susunan saraf pusat terutama bila terdapat
hiperkalemia atau hipokalsemia
9. Edukasi Kemungkinan terjadi komplikasi : sindroma lisis tumor, lekostasis, perdarahan, trombosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 56


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

HIPERLEUKOSITOSIS

14. Indikator Medis


15. Kepustakaan 1. Bunin NJ, Pin CH. Differing Complication of Hyperleukocytosis in Children with Acute Lymphoblastic
or Acute Nonlymphoblastic Leukemia. J Clin Oncol 1985; 3: 1590-5. Dikutip dari Lange B, D’Angio G,
Ross III AJ, O’Neill, Jr.JA, Packer RJ. Oncology Emergencies. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG,
Penyunting: Principles and Practice of Pediatric Oncology.ed 2. Philladelphia: JB Lippincott Company,
1993: 964-8.
2. Cuttner J, Holland JF, Norton L, dkk. Therapetic Leukopheresis for Hyperleukocytosis in Acute
Myelocytic Leukemia. Med Pediatric Oncology 1983;11:76. Dikutip dari Baer MR. Management of
Unusual Presentations of Acute Leukemia. Dalam: Bloomfield CD, Herzig GP, Penyunting.
Hematology-Oncology Clin Nort Am 1993: 7: 275-92.
3. Jones DP, Mahmoud H, Chesney RW. Tumor Lysis Syndromes: Pathogenesis and Management.
Pediatric Nephrol 1995: 9:206-12.
4. Martin G, Barragan E, Bolufer P, Chillon C, Garcia-Sanz R, Gomes T, dkk. Relevance of Presenting
White Blood Cell Count and Kinetics of Molecular Remission in The Prognosis of Acute Myeloid
Leukemia with CBFbeta/MYH 11 Rearrangement. Haematologica 2000. 85(7): 699-703

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 57


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

LIMFOMA NON HODGKIN (LNH)


1. Pengertian Keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat yang pada dasarnya merupakan keganasan sel limfosit.
(Definisi)

2. Anamnesis pembesaran perut


pembesaran kelenjar
sesak napas
nyeri
kesulitan menelan
pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher
3. Pemeriksaan Fisik Gejala klinis bervariasi, dapat berupa:
massa intraabdominal dan intratorakal (massa mediastinum) sering disertai efusi pleura
nyeri, disfagi, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher
limfadenopati supraklavikular atau aksiler, jarang sekali retroperitoneal
pembesaran limpa dan hati
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi, aspirasi sumsum tulang
bila memungkinkan pemeriksaan imunologik dan sitogenik
pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG
abdomen, scanning tulang
5. Diagnosis LIMFOMA NON HODGKIN
6. Diagnosis Banding Neuroblastoma
7. Pemeriksaan biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi, aspirasi sumsum tulang
Penunjang pemeriksaan imunologik dan sitogenik
pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG
abdomen, scanning tulang
8. Terapi Kemoterapi dengan protocol COMP
Fase induksi
Cyclophosphamide 1,2 g/m2 iv (hari ke 1)
Vincristine 2 mg/m2 iv (hari ke 3,10,18,26)
Methotrexate 300 mg/m2 iv (hari ke 12)
Methotrexate 6,25 mg/m2 it (hari ke 4,30,34)
Prednison 60 mg/m2 po (hari ke 3 sampai 30 kemudian diturunkan bertahap sampai hari ke 40)
Fase rumatan
Cyclophosphamide 1,0 g/m2 iv (minggu ke 0,4,8,12,16,20)
Vincristine 1,5 mg/m2 iv (minggu ke 0,2,4,6,8,10,12,14,16,18,20)
Methotrexate 300 mg/m2 iv (minggu ke 2,6,10,14,18)
Methotrexate 6,25 mg/m2 it (minggu ke 4,8,12,16,20)
Prednison 60 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke 0,4,8,12,16,20)
Kemoterapi dengan protocol CHOP
Cyclophosphamide 750 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
Adriamycine 50 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
Vincristine 2 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
Prednison 40 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
Selama kemoterapi periksa fungsi hati dan ginjal tiap bulan
9. Edukasi Pemantauan efek samping terapi
Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal tiap bulan.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai
kemoterapi

15. Kepustakaan 1. Patte C. Non Hodgkin’s Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting. Paediatric
Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 278-95.
2. Oberlin O, Mc Dowell HP. Hodgkin’s Disease. . Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting.
Paediatric Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 296-319.
3. Hudson MM, Donaldson SS. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting. Principles and Practice of
Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002: 661-705.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 58


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

LIMFOMA NON HODGKIN (LNH)


4. Margrath I. Malignant Non-Hodgkin’s Lymphomas in Children. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams
and Wilkins; 2002: 661-705.
5. Oberlin O. Hodgkin’s Disease. Dalam Voute PA, Kalifa C and Barret A penyunting. Cancer in Children
Clinical Management. Edisi ke 4. New York; Oxford University Press; 1999: 137-53.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 59


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

TUMOR WILMS
1. Pengertian Tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau
(Definisi) embrioma renal.

2. Anamnesis keluarga yang menderita tumor Wilms


penyakit lain yang menyertai
riwayat keluarga untuk kanker
kelainan kongenital yang lain
tumor jinak
3. Pemeriksaan Fisik tumor dalam perut (tumor abdomen), gejala paling sering (75-90%)
hematuria (makroskopis), 25% kasus
hipertensi (60% kasus)
anemia
penurunan berat badan
infeksi saluran kencing
demam
malaise
anoreksia
nyeri perut bersifat kolik
dapat dijumpai bersama kelainan kongenital lain, seperti aniridia, hemihipertrofi, anomali saluran
kemih atau genetalia, retardasi mental
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
IVP dan USG abdomen
LDH, VMA
histopatologi jaringan tumor
5. Diagnosis TUMOR WILMS
6. Diagnosis Banding Neuroblastoma
Limfoma
7. Pemeriksaan IVP dan USG abdomen
Penunjang LDH, VMA
histopatologi jaringan tumor
8. Terapi Operasi (pembedahan)
Kemoterapi
Radioterapi

Stadium I dan II dengan jenis sel favourable


operasi + kemoterapi (Vincristine dan Dactinomycine)
Stadium III dengan jenis sel favourable
operasi + kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine) + radioterapi
Stadium IV dengan jenis favourable
kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine) + radioterapi
Pada stadium II sampai IV dengan jenis unfavourable
operasi + kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine + Cyclophosphamide) + radioterapi
9. Edukasi Pemantauan efek samping terapi
Pemantauan tumbuh kembang
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpA
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
14. Indikator Medis Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai
kemoterapi

15. Kepustakaan 1. Breslow N, Olsham A, Beckwith JB, Green DM. Epidemiology of Wilms’ Tumor. MPO, 1993; 21: 172-
81.
2. De Camargo B, Weitzman S. Nephroblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barret A, penyunting.
Cancer in children: clinical management. Edisi ke 4. New York: Oxford; 1998: 259-73.
3. Lanzkowsky P. Wilms’ tumor. Dalam: Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke 2. New
York: Churchill Livingstone; 1995: 437-51.
4. Madden SL, Cook DM, Morris JF, Gashler A, Sukhatme VP, Rauscher FJ. Transcriptional repression
mediated by the WT1 Wilms’ tumor gene product. Science, 1991; 253: 1550-3.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 60


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya
2012-2014

TUMOR WILMS
5. Schwartz CE, Haber DE, Stanton VP, Strong LC, Skolnick MH, Housman DE. Familial predisposition
to Wilms’ tumor does not segregate with the WT1 gene. Genomics, 1991; 10: 927-30.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 61


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KOLESTASIS PADA BAYI


1. Pengertian (Definisi) Kolestasis adalah gangguan pembentukan, sekresi dan pengaliran empedu mulai dari hepatosit, saluran
empedu intrasel, ekstrasel dan ekstra-hepatal. Hal ini dapat menyebabkan perubahan indikator biokimia,
fisiologis, morfologis, dan klinis karena terjadi retensi bahan-bahan larut dalam empedu. Dikatakan kolestasis
apabila kadar bilirubin direk melebihi 2.0 mg/dl atau 20% dari bilirubin total.
2. Anamnesis Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat lahir, lingkar kepala,
pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin
terganggu)
Riwayat keluarga: riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar
keluarga.
Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat

3. PemeriksaanFisik 1. Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)


2. Kulit: ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema
3. Abdomen:
a. Liver : pembesaran/ukuran, konsistensi, permukaan.
b. Splenomegali.
c. Vena kolateral, asites.
4. Mata: ikterik
5. Lain-lain: jari tabuh, asteriksis, foetor hepaticus
4. Diagnosis Kolestasispadabayi
5. Diagnosis Banding • Anatomi : atresia bilier, kista koledokal, hipoplasia bilier
• Infeksi : toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, simplek herpes, sipilis
• Metabolik : galaktosemi, tirosinemi
• Endokrin : hipotiroit, hipokortisol
• Genetik : sindrom Alagille, PFIC
• Lain-lain : infeksi bakteri
6. PemeriksaanPenunjang 1. Gambaran darah tepi
2. Biokimia darah
Serum bilirubin direk dan indirek
ALT(SGPT), AST(SGOT)
Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT)
Masa protrombin
Albumin, globulin
Kolesterol, trigliserida
Gula darah puasa
Ureum, kreatinin
Asam empedu
3.Urin: rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur urin
4.DAT(aspirasi cairan duodenum)
5.Pemeriksaan etiologi: TORCH (toksoplasma, rubella, CMV, herpes simpleks), hepatitis virus B, C,
skrining sederhana penyakit metabolik (gula darah, trigliserida).
6.Pencitraan:

SG dua fase (puasa 4-6 jam dan sesudah minum),

T scan, MRI

kintigrafi
7. Kolangiografi intraoperatif untuk kasus kolestasis ekstrahepatik
8. Biopsi hati
7. Terapi A.Terapi operasi Kasai Porto-Hepatic-Enterostomy untuk kolestasis ekstrahepatik
B. Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya
C. Terapi suportif
1. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
2. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang
(Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil
3. Vitamin yang larut dalam lemak
- A 5000-25.000 IU
- D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
- E 25-200 IU/kk/hari
- K1 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu
4. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
5. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor
contohnya kolestipol, simvastatin
6. Pruritus:
- Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
- Rifampisin 10 mg/kg/hari
- Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 62


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KOLESTASIS PADA BAYI


8. Pemantauan A. Terapi
Dilihat progresifitas kondisi klinis seperti ikterus (berkurang, tetap, semakin kuning), besarnya hati, limpa,
asites, vena kolateral. Kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, AST, GGT, albumin, tes koagulasi dan
pencitraan.
B. Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien
dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan
mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis
perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan
bayi/anak.
9. Edukasi Penjelasan terutama pada perjalanan penyakit yg lama, dan prognosis yang kurang baik

10. Prognosis Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K)
Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K)

14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify
laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2010;50(5):526-30.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep
2010;12(1):30-9.
3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci
associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60.
4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis.
Orphanet J Rare Dis 2009;4:1.
5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver
disease after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 63


Panduan Praktik Klinis
SMF : Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HEPATITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Hepatitis adalah suatu keadaan inflamasi dan atau nekrosis hati.Hepatitis A merupakan penyebab terbanyak
hepatitis virus tetapi tidak menimbulkan kronisitas. Hepatitis B dan C karena bisa menjadi kronis akan
dibicarakan dalam bab tersendiri. Penyebab non virus kurang sering dijumpai tetapi perlu dipikirkan sebagai
diagnosis banding.

2. Anamnesis Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hari - minggu
timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan
riwayat kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik.

3. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: sebagian besar sakit ringan.


Kulit, sklera ikterik, nyeri tekan di daerah hati, hepatomegali; perhatikan tepi, permukaan, dan konsistensinya.
4. Diagnosis Hepatitis Akut
5. Diagnosis Banding Jaundice fisiologis, penyakit hemolitik, sepsis
Carotenemi
Hemolytic-uremic syndrome
Reye syndrome
Malaria, leptospira, brucellosis, infeksi berat
Batu empedu
Wilson’s disease, Cystic fibrosis, Systemic Lupus Erythremotasus (SLE). Keracunan obat seperti
acetaminofean,asam valproat, kombinasi obat anti tuberkulosa.
6. Pemeriksaan 1. Darah tepi: dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia: infestasi cacing, leukositosis: infeksi
Penunjang bakteri.
2. Urin: bilirubin urin
3. Biokimia:
a. Serum bilirubin direk dan indirek
b. ALT(SGPT) dan AST (SGOT)
c. Albumin, globulin
d. Glukosa darah
e. Koagulasi: faal hemostasis terutama waktu protrombin
4. Petanda serologis:
a. IgM antiHAV, HbsAg, IgM anti HBc, Anti HDV, Anti HCV, IgM Leptospira, kultur urin untuk
leptospira, kultur darah-empedu (Gal)
5. USG hati dan saluran empedu: Apakah terdapat kista duktus koledokus, batu saluran empedu,
kolesistitis; parenkim hati, besar limpa.
7. Terapi a. Terapi suportif: pembatasan aktivitas, pemberian makanan terutama harus cukup kalori. Hindari obat
hepatotoksik seperti parasetamol, INH, Rifampisin.
b. Medikamentosa:
Ursedeoksikolikasid (UDCA)
Obat anti virus: interferon, lamivudin, ribavirin.
Prednison khusus untuk VHA bentuk kolestatik.
Kolestasis berkepanjangan diberi vitamin larut dalam lemak dan terapi simptomatis untuk
menghilangkan rasa gatal yaitu kolestiramin.
Hepatitis fulminan dirawat intensif.
Konsultasi kepada ahli gastrohepatologi diperlukan bila
Timbul gejala-gejala ke arah fulminan:
Kesadaran menurun, terdapat gejala perdarahan, ALT dan AST lebih dari 1000 iu/l, serum bilirubin
lebih dari 10 mg/dl, pemanjangan waktu protrombin lebih dari 3 detik dari nilai normal.
Terjadi kolestasis yang memanjang (lebih dari 30 hari)
8. Pemantauan Penilaian kesadaran, suhu badan, derajat ikterus, besar hati.
Gejala perdarahan terutama dari saluran cerna.
Laboratorium:
Bilirubin direk, indirek, ALT dan AST, glukosa, albumin, PT diulang tiap 3-7 hari tergantung
perkembangan penyakit.
9. Edukasi Tentang perjalanan penyakit serta kemungkinan menjadi kronis pada infeksi HBV dan HCV
10. Prognosis Pada umumnya baik, angka kematian kurang dari 2%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K)


Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K)
14. Indikator Medis 80% Pasien akan semnuh dalam waktu 5 hari
15. Kepustakaan 1. Baris Z, Saltik Temizel IN, Uslu N, Usta Y, Demir H, Gurakan F, et al. Acute liver failure in children: 20-year
experience. Turk J Gastroenterol 2012;23(2):127-34.
2. Mohd Hanafiah K, Jacobsen KH, Wiersma ST. Challenges to mapping the health risk of hepatitis A virus
infection. Int J Health Geogr 2011;10:57.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 64


Panduan Praktik Klinis
SMF : Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HEPATITIS AKUT
3. Rapti IN, Hadziyannis SJ. Treatment of special populations with chronic hepatitis B infection. Expert Rev
Gastroenterol Hepatol 2011;5(3):323-39.
4. Selimoglu MA, Ertekin V, Karabiber H, Turgut A, Gursan N. Treatment results of chronic hepatitis B in
children: a retrospective study. Turk J Pediatr 2010;52(4):360-6.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 65


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ASCITES
1. Pengertian (Definisi) Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati
kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.
2. Patogenesis Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya:
Peningkatan tekanan hidrostatik:
Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), obstruksi vena cava inferior, perikarditis
konstriktif, penyakit jantung kongestif
Penurunantekananosmotikkoloid:
Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein-
lossing enteropathy
Peningkatanpermeabilitaskapiler peritoneal:
Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium
Kebocoran cairan di cavum peritoneal:
Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites
Micellanous:
Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic hemodialysis

3. Gejala Klinis Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut:
Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti
Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang
minimal
Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak
tegang
Tingkatan 4 : asites permagna
4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik:
Distensi abdomen
Bulging flanks
Timpani pada puncak asites
Fluid wave
Shifting dulness
Puddle sign
5. Pemeriksaan Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)
Penunjang Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial
dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar
pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih.
Gambaran ini disebut “dog’s ear” atau "Mickey Mouse" appearance. Caecum dan colon ascenden
tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan
gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.
Ultrasonografi
Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.
Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.
CT scan
Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah
sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior
(kantung Morison), dan kantung Douglas.
Parasentesis abdomen
Analisiscairanasitesdilakukanpada onset awalasites,
tindakantersebutmemerlukanrawatinapuntukobservasi.
Analisiscairanasites
1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan
infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.
5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.
6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.
7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial.
8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan
SAAG (perbedaan kadar albumin serum – kadar albumin asites)berhubungan langsung dengan tekanan portal:
bila lebih besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites); SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan
hipertensi portal (exudative ascites).
6. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
Komplikasi (apabilaterjadi)
7. Diagnosis Ascites
8. Diagnosis Banding
Tipe asites sesuai dengan SAAG

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 66


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ASCITES
Tinggi ( > or = 1.1 g/dl) Rendah ( < 1.1 g/dl)
Tumor peritonium
Sirosis
Asites pankreas
Hepatitis alkohol
Asites bilier
Gagal jantung
TBC peritonium
Gagal hati fulminan
Sindrom nefrotik
Trombosis vena porta
Obstruksi usus

9. Terapi 1. Penangananasitestergantungdaripenyebabnya, diuretikdan diet


rendahgaramsangatefektifpadaasiteskarenahipertensi portal.
Padaasiteskarenainflamasiataukeganasantidakmemberihasil.
Restriksicairandiperlukanbilakadarnatriumturunhingga<120 mmolperliter.
2. Kombinasispironolaktondanfurosemidsangatefektifuntukmengatasiasitesdalamwaktusingkat.
Dosisawaluntukspironolaktonadalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosisdanfurosemidsebesar 1-2
mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapatditingkatkansampai 6 mg/kgBB/dosis.
3. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut:
Parasentesis
Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver
Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus
Paracentesis :
Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50 cc/kg berat
badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah
penurunan volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit.
10.Monitoring Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan pengeluaran cairan.
Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring pemasukan (diet, kadar natrium
dalam obat dan cairan infus) dan produksi urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat
badan.
Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan
penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari.
11.Diet Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada pasien - pasien yang
dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu pembatasan dapat ditolerir sampai batas
2000 mg/hari (88 mmol/hari). Retriksi cairan tidak diperlukan kecuali pada kasus asites dengan serum sodium
level turun di bawah 120 mmol/L.
12. Edukasi Tentang perjalanan penyakit, biasanya terjadi pada fase akhir penyakit
13. Prognosis jelek
14. Tingkat Evidens IV
15. Tingkat Rekomendasi C
16. Penelaah Kritis Dr.Sjamsul Arief, MARS SpA(K)
Dr.Bagus Setyoboedi, SpA(K)
17. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari
18. Kepustakaan a. Amarapurkar DN, Punamiya S, Patel ND. An experience with covered transjugular intrahepatic
portosystemic shunt for refractory ascites from western India. annals of Hepatology 2006:103-8.
b. Gerbes AL, Gulberg V. Progress in treatment of massive ascites and hepatorenal syndrome World J
Gastroenterol 2006;12:516-9.
c. Seo JH, Kim SU, Park JY, Kim DY, Han K-H, Chon CY, et al. Predictors of Refractory Ascites
Development in Patients with Hepatitis B Virus-Related Cirrhosis Hospitalized to Control Ascitic
Decompensation. Yonsei Med J 2013;54(1):145-53.
d. Bjerre M, Holland-Fischer P, Grønbæk H, Frystyk J, Hansen TK, Vilstrup H, et al. Soluble membrane
attack complex in ascites in patients with liver cirrhosis without infections World J Hepatol
2010;2(6):221-5.
e. European Association for The Study of The Liver. EASL clinical practice guidelines on the
management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Of
Hepatol 2010;53:397-417.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 67


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GAGAL HATI FULMINAN

1. Pengertian (Definisi) Gagal hati fulminan adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh nekrosis sel hati yang luas, diikuti
kegagalan fungsi hati secara mendadak, yang ditandai dengan ensefalopati yang timbul dalam waktu kurang
dari 8 minggu setelah gejala pertama penyakit hati.

2. Patofisiologi Berdasar interval waktu antara timbulnya ikterus dan ensefalopati, gagal hati dibagi menjadi 3 kategori : hiper
akut, akut, dan sub akut.
KlasifikasiGagalHatiAkut

Interval
Edema
jaundice- Penyebab
Otak Prognosis
Ensefalopati
Virus A,B
Hiper-akut <7 hari Sering Sedang
Acetaminophen
Akut 8-28 hari Sering Jelek Non-A/B/C;obat
Sub-akut 29 hari - 12 mg Sering Jelek Non-A/B/C;obat
-
3. PemeriksaanFisik Gejala klinis sangat bervariasi, merupakan gabungan antara gejala kelainan hati dan ensefalopati, mulai yang
ringan sampai koma. Pada bayi perjalanan penyakit progresif dan bayi meninggal sebelum ikterus tampak.
Gejala hepatitis : lemah, panas, anoreksia, muntah, nyeri perut, ikterus, kencing keruh, tinja akolis.
Gejala neurologi : gangguan tingkah laku, pusing, sakit kepala, perubahan irama tidur, gangguan koordinasi
dengan flapping tremor, refleks tendon yang meningkat, dan refleks Babinsky positif, hingga fase akhir terjadi
hipotoni dan refleks-refleks menghilang.

Gradasi koma hepatikum yang terjadi adalah sebagai berikut:


Gradasi Tingkat Kejiwaan Tanda Gangguan
kesadaran Neurologi EEG
0 Normal Normal Tidakada Tidakada
Sub-klinis Normal Normal Gangguantesps Tidakada
ikometrik
1 Gangguan pola Lupa Tremor Gelombang
tidur tigafase
Gelisah Bingung Apraksia (5 Hz)

Agitasi Inkordinasi

Iritabel Tidakbisamenul
is
2 Lethargy Disorientasi Asteriksis Gelombang
waktu Disarthria tigafase
Respons Hilang Ataksia (5 Hz)
lambat hambatan Refleks
Kelakuan tak hipoaktif
terkontrol
3 Somnolence Disorientasitem Asteriksis Gelombang
pat Kekakuan otot tigafase
Confusion Agresif Tanda (5 Hz)
Babinsky
Refleks
hiperaktif
4 Koma Tidakada Deserebrasi Aktifitasgelo
mbang
Delta/
lambat

4. PemeriksaanPenunjan Pemeriksaanlaboratorium
g a. Serum transaminase : meningkat 70 – 100 kali
b. Bilirubin direk dan total : bilirubin > 4 mg/dl menunjukkan prognosis buruk
c. Alkali fosfatase : normal atau meningkat
d. Faal hemostasis : memanjang
e. Albumin serum :faseawal normal danmenurunpadafaselanjut. Kadar albumin rendahmenunjukkan
prognosis buruk
f. Hipoglikemia, khususnyapadabayi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 68


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GAGAL HATI FULMINAN

g. Peningkatan kadar serum kreatinin signifikan mengarah pada hepatorenal syndrome


h. Hiponatremiadanhipokalemia
i. Kadar fosfat rendah
j. Kadar serum ammonia meningkat secara dramatis
k. Peningkatan serum laktat sebagai akibat gangguan perfusi jaringan dan penurunan klirens oleh hati
l. Analisis gas darah : asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik sebagai akibat dari hepatopulmonary
syndrome
m. Pemeriksaan serologi terhadap etiologi gagal hati fulminan

Pemeriksaaanpenunjang lain
a. EEG
b. USG hati (Doppler)
c. CT scan atau MRI abdomen.
d. CT scan kepala
e. Biopsihati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
3. Komplikasi (apabilaterjadi)
6. Diagnosis Gagal Hati Fulminan
7. Terapi Tujuan pengobatan adalah mempertahankan fungsi otak, ginjal, pernafasan sampai terjadi regenerasi hati serta
mencegah terjadi komplikasi, dengan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan, meliputi :
a. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberiancairanintravena.
Mempertahankan kadar Natrium dan Kalium darah.
b. Diet
Tinggi kalori, tinggi karbohidrat dan cukup lemak. Protein 0,5-1 g/kgBB/hari.
c. Pengobatanterhadapperdarahan
Timbulnyaperdarahanmerupakanakibatdefisiensifaktor-faktorpembekuan, DIC, dantrombositopenia.
Vitamin K
Plasma segarbeku
Faktor pembekuan diberikan bila waktu protrombin memanjang lebih dari 10 detik
Antasiddanantagonisreseptor H 2 20 mg/kgBB/hari
Bilaterjadiperdarahandiberikandarahsegar
d. Pengobatanterhadapensefalopati
Neomisin 25 mg/kgBBtiap 8 jam
Laktulose enema 150cc dalam 500cc air 4 kali sehari
Laktulose oral 1 ml/kgBB 4 kali sehari
e. Pemberiansedatifharusdicegah
Bilakejangdiberi flumazenil (benzodiazepine-receptor antagonist)
Tidak boleh diberikan diazepam karena dapat menekan pusat pernapasan
f. Antibiotik
Jika diduga infeksi, sesuai hasil kultur.
g. Edema serebri
Kortikosteroitmasihkontroversi
Manitol 0.5-1 g/kgBB iv bilatekananintrakraniallebihdari 30 mmHg, dosispemeliharaan 0.25-0.5
g/kgBB iv 4 kali sehari.
h. Gangguanginjal
Peritoneal dialisisatauhemodialisisbilaterjadigagalginjal
i. Gangguanpernafasan
Intubasiendotrakhealdanventilasimekanikbilaterjadigagalnafas
AsidosisdiberiNatriumBicarbonatkarenadapatmemperbaikikesadarandanmeningkatkanalirandara
hdanoksigenkeotak
j. Usaha untukmenunjangfungsihati
Tranfusitukar (exchange transfusion)
Dialisis peritoneal padapenyakitWilsonuntukmembuangtembagadenganmenambah D-
penicillaminekedalamdialysate
Plasmapheresis pada gagal hati fulminan yang menunggu transplantasi
Charcoal haemoperfusion denganinfus prostacyclin
Transplantasihati

8. Pemantauan Tekanan darah, nadi, suhu tubuh, produksi urine dan jika memungkinkan dengan tekanan vena sentral.
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan fungsi hati, serum elektrolit, albumin, analisa gas
darah dan urine lengkap
9. Edukasi
10. Prognosis Mortalitas pada anak-anak sebesar 80-90% disebabkan edema serebri, sepsis, dan kerusakan multi organ.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 69


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GAGAL HATI FULMINAN

Angka keberhasilan hidup adalah sebesar 10-20%. Dipengaruhi oleh derajat koma, macam pengobatan, umur
penderita, dan tergantung pada kemampuan regenerasi hati serta komplikasi yang terjadi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis Dr.Sjamsul Arief, MARS SpA(K)
Dr.Bagus Setyoboedi, SpA(K)
14. IndikatorMedis Penderita akan dirawat selama 14 hari
15. Kepustakaan a. Narkewicz MR, Olio DD, Karpen SJ, et al: Pattern of diagnostic evaluation for the causes of pediatric
acuteliver failure: an opportunity for quality improvement. J Pediatr 2009; 155:801-806.
b. Suchy FJ,Fulminant Hepatic Failure. In: Kliegman RM, Behrman RE, Stanton BF, editors. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:4999-5008.
c. Bravo LC, Gregorio GV, Shafi F, Bock HL, Boudville I, Liu Y, et al. Etiology, Icidence And Outcomes of
Acute Hepatic Failure in 0-18 Year Old Filipino Children. SoutheaSt aSian J trop Med public health
2012;43(3):764-72.
d. Ranganathan SS, Sathiadas MG, Sumanasena S, Fernandopulle M, Lamabadusuriya SP,
Fernandopulle BMR. Fulminant Hepatic Failure and Paracetamol Overuse with Therapeutic Intent in
Febrile Children Indian J Pediatr 2006;73(10):871-5.
e. ÖZTÜRK Y S, SOYLU ÖB, KARADEM S, ASTARCIO LU H, ARSLAN N, et al. Fulminant
hepatic failure and serum phosphorus levels in children from the western part of Turkey. Turk J
Gastroenterol 2010;21(3):270-4.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 70


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPERTENSI PORTAL

1. Pengertian (Definisi) Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal diatas 10-12 mmHg yang menetap,
dimana tekanan dalam keadaan normal berkisar 4 – 8 mmHg.
Hipertensi portal juga didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang terjadi karena peningkatan
tekanan vena portal yang kronis. Merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada
anak dengan penyakit hati.

2. Anamnesis - Riwayat kuning


- Riwayat transfusi (penularan hepatitis B dan C)
- Riwayat penyakit hati dalam keluarga (hemochromatosis, Wilson disease)

3. PemeriksaanFisik - Pengukuranberatbadan
- Kesadaran
- Tanda vital
- Hematemesis
- Melena
- Ensefalopati akibat fungsi hati yang buruk
- Asites
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Pelebaran vena dinding perut dan caput medusa
- Ikterus
4. PemeriksaanPenunjang - Laboratorium:darah lengkap, tes fungsi hati, faal hemostasis, albumin, serologi hepatitis, defisiensi
alfa-1 antitripsin
- Radiologi: foto polos abdomen, USG Doppler, CT scan, MRI, CT-angiografi
- Endoskopi
- Biopsi hati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Intrahepatikatauekstrahepatik
3. Komplikasi
6 Diagnosis Hipertensi portal
7. Diagnosis Banding Ekstrahepatik:
- Obstruksi vena porta: trombosis vena porta
- Peningkatan aliran porta: arteriovenousfistula
Intrahepatik:
- Penyakit hepatoseluler: hepatitis virus (akuit/kronis), sirosis, fibrosis hepar kongenital,
1 - antitripsin, penyakit glycogen storage tipe IV, hepatotoksisitas
(methotrexate, nutrisi parenteral)
- Penyakit traktus bilier: atresia bilier ekstrahepatik, cystic fibrosis, kista duktus koledokus,
kolangitis sklerosis, gangguan saluran empedu intrahepatik
- Hipertensi portal idiopatik
Obstruksi postsinusoidal: sindrom Budd-Chiari, penyakit veno-occlusive (trombosis dan
malformasi kongenital segmen toraks vena cava inferior, perikarditis konstriktif, gangguan
katup trikuspid, miokardiopati kongestif berat)
8. Terapi Terapi perdarahan varises esofagus:
• Resusitasi cairan (cairan kristaloid maupun darah)
• Koreksi koagulopati: vitamin K, transfusi trombosit dan Fresh Frozen Plasma
• Pasang sonde lambung: monitor perdarahan
• Reseptor H 2 bloker (ranitidin)
• Medikamentosa:
- Octreotide / Somatostatin: 1 mcg/KgBB/jam sampai 12 jam setelah perdarahan berhenti
- Vasopressin: 0,33 U/KgBB selama 20 menit dan dilanjutkan dengan dosis yang sama tiap
jam
• Skleroterapi endoskopik
Terapi preventif perdarahanvarises esofagus:
• -blocker: propanolol 0,5 mg/KgBB/12 jam
• Skleroterapi preventif
• Ligasi Varises endoskopik (jarang)
• Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
• Splenektomi
• Devaskularisasi
• Transplantasi hati
9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Komplikasi
3 Nutrisi
10. Prognosis Dengantatalaksanaadekwat, 5YSR 80%
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 71


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPERTENSI PORTAL

12. Tingkat Rekomendasi C


13. PenelaahKritis Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K)
Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K)
14. IndikatorMedis Persentase kesembuhan ditentukan oleh fungsi hati, sumbatan vena porta (ekstrahepatal), episode
perdarahan serta usia dan kondisi fisik penderita. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Bosch J, Carlos J. Pathophysiology of portal hypertension and its complications. Dalam:
Bircher J, Benhamou JP, McIntyre, Rizzetto M, Rodes J, eds. Oxford textbook of Clinical
Hepatology. Edisi ke-2. New York: 1999;1:653-9
2. Dite P, Labrecque D, Fried M, et al. Esophageal varices. Dalam: World
Gastroenterology Organisation practice guideline. Munich, 2008.
Tersedia di http://guideline.gov/content.aspx?id=13000.
3. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: Report of the
Baveno V Consensus Workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal
hypertension. J Hepatol 2010;53:762-8
4. McIntyre, N. & Burroughs, A. Cirrhosis, portal hypertension and ascites. Dalam:
J.G.G. Ledingham & D.A. Warrell, eds. Concise Oxford textbook of medicine. Oxford: Oxford
University Press, 2000;5:36
5. Shneider BL. Portal hypertention. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,
eds. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: LWW.com, 2001;129-51
6. Suchy FJ. Portal Hypertension and Varises. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of Pediatrics. Edisike-18. Philadelphia: WB Saunders Co,
2007; 1709-1711

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 72


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TUMOR HATI PADA ANAK

1. Pengertian (Definisi) Massa padahati, dapat bersifat jinak maupun ganas (kanker), dan bisa primer atau merupakan metastase dari
organ lain.
2. Anamnesis Masa abdomen yang besar, atau pembesaran perut
Nyeri perut kanan
Nafsu makan menurun, penurunan berat badan
Muntah
Ikterus
Panas
Gatal-gatal pada kulit
Anemia
Nyeri punggung akibat penekanan tumor
Dapat juga terjadi krisis akut abdominal disertai pecahnya tumor dan hemoperitonium (biasanya pada
karsinoma hepatoseluler)
3. PemeriksaanFisik Pengukuranberatbadan
Kesadaran
Tanda vital
Status lokalis : ukuran,konsistensi,tepidanpermukaanhati
4. PemeriksaanPenunjan Laboratorium: darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati dan ginjal, serologi hepatitis B dan C, -
g fetoprotein / AFP (juga untuk monitoring terapi)
Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi
Radiologi: Foto polos dada, USG / USG Doppler, CT-scan / MRI

5. Kriteria Diagnosis • Selain menentukan diagnosa tumor hati perlu juga dilakukan penentuan stadium dari tumor tersebut
terutama pada tipe ganas
• Metode penentuan stadium tumor hati pada anak, salah satunya sebagai berikut:
- Stadium I : tumor dapat diangkat lengkap dengan pembedahan
- Stadium II : tumor dapat diangkat dengan pembedahan tapi masihmeninggalkan sedikit sisa
- Stadium III : tumor tidak dapat diangkat secara lengkap dengan pembedahan dan didapatkan
penyebaran pada kelenjar getah bening disekitarnya
- Stadium IV : tumor telah menyebar ke organ tubuh lain
- Kambuhan : tumor muncul lagi setelah pengobatan baik dihati maupun organ lain
6. Diagnosis Tumor hati
7. Diagnosis Banding • Abses hati
• Neuroblastoma
• Tumor Wilm’s
• Kolestasis/sirosis hati
8. Terapi • Penatalaksanaan tumor hati pada anak bergantung pada jenis dan stadium tumor, serta usia dan kondisi
fisik penderita.
• Pada tumor jinak biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat tumor tanpa disertai pengobatan yang
lainnya.
• Pada tumor ganas diperlukan kerjasama dengan dokter bedah anak dan ahli onkologi anak. Pengobatan
biasanya merupakan kombinasi antara :
- Pembedahan
- Kemoterapi
- Radioterapi
- Transplantasi hati
• Pengobatan berdasarkan jenis dan stadium tumor:
- Hepatoblastoma stadium I dan II :
Pengangkatan tumor dan diikuti kemoterapi 4 seri menggunakan cisplatin, vincristine, dan fluorouracil.
- Karsinoma hepatoseluler stadium I dan II
Pengangkatan tumor diikuti kemoterapi cisplatin dan atau doxorubicin
- Hepatoblastoma stadium III dan IV:
Beberapa alternatif pengobatan yang dapat dilakukan :
1. Kemoterapi untuk mengurangi ukuran tumor dilanjutkan pengangkatan sebanyak mungkin tumor
dan ditutup kemoterapi lagi
2. Pembedahan metastase tumor di paru
3. Kemoterapi
4. Radioterapi diikuti pembedahan
5. Penyuntikan obat kemoterapi langsung ke pembuluh darah hati
6. Kemoterapi dan kemoembolisasi
7. Transplantasi hati
- Karsinoma hepatoseluler stadium III dan IV
- Pengurangan ukuran tumor dengan menggunakan kemoterapi cisplatin dengan vincristine / fluorouracil
atau doxorubicin dilanjutkan pengangkatan tumor sebanyak mungkin
- Kambuhan
Dilakukan pengobatan ulang berdasarkan pengobatan sebelumnya

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 73


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TUMOR HATI PADA ANAK

• Selain pengobatan terhadap tumornya perlu juga dilakukan pengobatan suportif dengan mencegah dan
mengobati infeksi, efek samping pengobatan dan komplikasinya, serta memberikan rasa nyaman pada
penderita selama pengobatan. Perlu dilakukan pengamatan secara berkala untuk memonitor respon
terhadap pengobatan dan mewaspadai efek samping jangka panjang dari pengobatan.
9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Stadium tumor
3. Komplikasi
4. Metastase
5. Nutrisi
10. Prognosis UntukHepatoblastoma 5YSR dibawah 20%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. PenelaahKritis a. Sjamsul Arief, dr, MARS SpA(K)
b. Bagus Setyoboedi, dr, SpA(K)
14. IndikatorMedis Persentase kesembuhan ditentukan oleh jenis, stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik penderita.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 30 hari
15. Kepustakaan 1. Bektas H, Schrem H, Kleine M, et al. Primary liver tumours – presentation, diagnosis and surgical
treatment. Dalam: Liver Tumours – Epidemiology, Diagnosis, Prevention and Treatment. InTech, 2013;
(5):91-111.
2. Cynthia EH. Neoplasm of the liver. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1564
3. Czauderna P, Mackinlay G, Perilongo G, et al. Hepatocellular carcinoma in children: results of the first
prospective study of the International Society of Pediatric Oncology group. J ClinOncol, 2002; 20(12): 2798-
804.
4. Jacobson DR, 2004. Hepatocellular Carcinoma. Last Updated: June 23, 2004.
Tersedia di: http://www.emedicine.com/radio/topic332.htm
5. Katzenstein HM, Krailo MD, Malogolowkin MH, et al. Hepatocellular carcinoma in children and adolescents:
results from the Pediatric Oncology Group and the Children's Cancer Group intergroup study. J Clin Oncol
2002; 20(12): 2789-97
6. Malogolowkin MH, Stanley P, Steele DA, et al. Feasibility and toxicity of chemoembolization for children
with liver tumors. J ClinOncol2000; 18(6): 1279-84
7. Ortega JA, Douglas EC, Feusner JH, et al. Randomized comparison of cisplatin/vincristine/fluorouracil and
cisplatin/ continous infusion doxorubicin for treatment of pediatric hepatoblastoma: A report from the Child’s
Cancer Group and the Pediatric Oncology Group. J Clin Oncol, 2000; 18(14):2665-75

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 74


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN

1. Pengertian (Definisi) adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria
subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir
2. Anamnesis
1. Tidak biru
2. Tidak mau menetek
3. Nafas cepat (takipnea)
4. Berkeringat
5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
3. Pemeriksaan Fisik 1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau
2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan
3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif)
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas
2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten
6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa
diulang satu seri lagi
2. Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk sekolah)
3. Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan :
* koil Gianturco pada PDA kecil,
* Amplatzer Ductal Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141-
145.
2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB,
Driscoll DJ. Ed. Moss and Adams’Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The
Fetus and Young Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669.
3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company
Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 75


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GAGAL JANTUNG

1. Pengertian (Definisi) Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok
oksigen dan nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel.
2. Anamnesis 1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea",
"dyspnea d'effort", batuk, sianosis.
2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer
edema palpebra sering pada bayi.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kardiomegali
2. takikardia
3. irama gallop
4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus
paradoxus dan alternans
5. "tachypnea"
6. ronkhi basah
7. wheezing
8. Dyspneu sampai dengan sianosis
9. hepatomegali
10. bendungan vena leher
11. sembab perifer
12. edema palpebra sering pada bayi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas
2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Gagal jantung
6. Diagnosis Banding 1 Efusi pericardial
2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian
bawah : (bronkiolitis, pneumonia)
7. Pemeriksaan 1. Foto thorax
Penunjang 2. EKG
8. Terapi
1. O 2 40-50% dengan pelembab.
2. Sedasi dengan morphin 0,1-0,2 mg/kg/dosis s.c.setiap 4 jam kalau perlu, atau Phenobarbital 2-3
mg/kg/dosis p.o/i.m. setiap 8 jam selama 1-2 hari.
3. Eliminasi factor pencetus : demam diberi antipiretik, anemia ditanfusi PRC sampai PCV > 35%.
4. Atasi penyakit dasar seperti hipertensi, aritmia atau tirotoksikosis.
5. Digitalis : digoxin
6. Dopamine
7. Hydralazine : dosis 1 mg/kg - 5 mg/kg/hr oral dalam 3-4x
8. Captopril :
neonatus : 0,1-0,4 mg/kg/dose, 1-4 x/hari
bayi : 0,5-6,0 mg/kg/hr, tiap 6-24 jam
anak besar : 12,5 mg/dose oral tiap 12-24 jam
9. diuretika :
thiazide : chlorothiazide : 20-30 mg/kg/hr, oral.
Hydrocholorothiazide 2-3 mg/kg/hr (2 x)
Furosemid : 1-3 mg/kg/x intravena, 2-5 mg/hr/oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Penjelasan tentang penyakit yang mendasari
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh dalam waktu 10 hari

15. Kepustakaan 1. Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and
Libby P. Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 – 599.
2. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem
oriented approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129.
3. Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 234-
39, 249-53.
4. Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 76


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GAGAL JANTUNG

198312th Tokyo : Igaku Shoin/WB Saunders, Co.1187.


5. Ontoseno T. 2002. Konsep terbaru mengenai Gagal Jantung pada Anak. Dalam : Noer MS, Ismoedijanto
dan Untario MC. Penyunting. Bunga Rampai Pediatri. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSUD DR
Sutomo Surabaya. Hal : 122 – 142.
6. Ontoseno T.2004 . Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawan yang kritis pada neonatus.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya. Hal:
166- 184.
7. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 399-407.
8. Astasari D, Ontoseno T. Rahman M. Utamayasa A. Perubahan dimensi dan fungsi ventrikel kiri secara
ekokardiografi pada pasien dengan gagal jantung akibat pirau krir ke kanan setelah pemberian Carvedilol.
Karya Akhir, 2012.
9. Hoeper MM, Galie N, Simonneau G, Rubin LJ, 2002. New treatments for pulmonary arterial hypertension.
Am J Respir Crit Care Med;165:1209-16.
10. Humbert M, Sitbon O, Simonneau G, 2004. Treatment of pulmonary arterial hypertension. N Engl J
Med;351:1425-36
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 77


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL DAN INFEKSI/PNEUMONIA

1. Pengertian (Definisi) adalah defek pada septum yang menghubungkan antara ventrikel kanan dan kiri jantung yang disertai adanya
infeksi/peumonia

2. Anamnesis 1. Sesak nafas waktu istirahat


2. Lekas lelah
3. Nafas cepat
4. Batuk
5. Kenaikan berat badan lambat
6. kadang tanpa gejala
7. panas

3. Pemeriksaan Fisik 1. Dyspneu


2. Bising akhir sistole tepat sebelum S2, pada sela iga
3-4 Ips kiri.
3. Bising pansistolik derajat 3 atau lebih skala 6, nada tinggi kasar pm sela iga lps kiri
4. Bising pansistolik derajat 3-4 sekala 6, nada tinggi kasar pm sela iga 3-4 Ips kiri disertai bising diastolik
derajat 2/6 pendek nada rendah, pm sela iga 4 Imk kiri.
5. Bising sistolik lemah tipe ejeksi, pm Ips kiri bawah dengan S1 mengeras, setelah S1 terdengar klik sistolik
(pembuka katup pulmonal), S2 mengeras/sangat keras dan tunggal
6. panas
7. adanya suara nafas tambahan: ronchi basah halus

4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas


b. Memenuhi minimal 3 kriteria pemeriksaan fisik di atas
c. Ekokardiografi : didapatkan defek septum ventrikel

5. Diagnosis Defek Septum Ventrikel dan Infeksi/Pnemonia

6. Diagnosis Banding
1. ASD disertai infeksi/pnemonia
2. PDA disertai infeksi/pnemonia

7. Pemeriksaan a. Foto thorax


Penunjang b. EKG
c. Ekokardiografi

8. Terapi Terapi konservatif


1. Tatalaksana gagal jantung kalau ada (lihat : Gagal jantung)
2. Tatalaksana kelainan lain (infeksi, kurang gisi).
3. Pencegahan endokarditis infeksiosa

Operatif :
- VSD kecil : biasanya tidak perlu, kadang-kadang
menutup spontan.
- VSD sedang: kalau tidak ada gagal jantung dapat
ditunggu sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat
badan minimal 10 kg, sekarang operasi dapat
dipertimbangkan pada umur yang lebih muda.
- VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum
menetap: dikerjakan operasi paliatif setelah gagal
menangani gagal jantungnya (operasi tidak langsung
menutup defek, tetapi dengan operasi pengikatan
batang a. pulmonalis), setelah umur 4-6 tahun defek
belum menutup, dikerjakan koreksi total.

9. Edukasi a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


b. Penjelasan pemberian medikamentosa
c. Tindakan yang mungkin akan dilakukan :
1. Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan.
2. Tata cara tindakan medik yang akan dilakukan.
3. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
4. Alternatif tindakan medik lain dan resikonya masing-masing.
5. Progonosis penyakit apabila tindakan medik tersebut dilakukan
6.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 78


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL DAN INFEKSI/PNEUMONIA

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 14 hari (2 minggu).

15. Kepustakaan 1. William RV, Tani LY, Shaddy RE, 2001. Intermediate effects of treatment with metoprolol or carvedilol in
children with left ventricular systolic dysfunction. The journal of heart and lung transplantation; 21: 906-9
2. Van der Linde D, Konings E, Slager MA, et al, 2011. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease Worldwide.
JACC; 58: 2242-7
3. Vaidyanathan B, 2009. Is there a role for carvedilol in the management of pediatric heart failure. A meta
analysis and e-mail survey of expert opinion. Annuals Pediatric Cardiol; 2: 74-8
4. Hawkins A, Tulloh R, 2009. Treatment of pediatric pumonary hypertension. Vasc Health Risk Management;
5:509-24.
5. Humbert M, Morrel NW, Archer SL, Stenmark KR, MacLean MR, Lang IM, et al, 2004. Cellular and molecular
pathobiology of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol ; 43:13-24
6. Landzberg MJ, 2007. Congenital heart disease associated pulmonary arterial hypertension. Clin Chest
Med;28: 243-53
7. Limsuwan A, Pienvichit P, Khowsathit P, 2005. Beraprost therapy in children with pulmonary hypertension
secondary to congenital heart disease. Pediatr Cardiol; 26: 787-91

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 79


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

RENJATAN KARDIOGENIK

1. Pengertian (Definisi) adalah ketidak mampuan jantung akibat gangguan fungsi memompa untuk memasok darah yang cukup ke
jaringan agar kebutuhan metabolismenya terpenuhi

2. Anamnesis 1. Kulit dingin dan pucat


2. Gejala metabolik asidosis berat: nafas cepat dan dalam
3. Sesak/distres nafas
4. Edem perifer

3. Pemeriksaan Fisik 1. Akral dingin, basah dan pucat


2. Penurunan tekanan darah sampai tidak terukur, sulit atau tidak terabanya denyut nadi perifer (bandingkan
ekstremitas atas dan bawah), pulse pressure menyempit
3. Gejala metabolik asidosis berat : nafas kussmaul
4. Distres nafas sedang sampai berat
5. Edem perifer
6. Bendungan vena jugularis
7. Hipoperfusi multi organ
8. Suara jantung melemah, terdengar S3 dan S4

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi minimal 4 kriteria pemeriksaan fisik di atas

5. Diagnosis Renjatan kardiogenik

6. Diagnosis Banding
1. Renjatan hipovolemik
2. Renjatan sepsis
3. Renjatan neurogenik

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Serum elektrolit (Natrium, Kalium, Calsium, Klorida)
3. Analisa gas darah
4. EKG
5. Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis
6. foto polos dada
7. ekokardiografi

8. Terapi 1. Resusitasi cairan, kristaloid adalah pilihan utama,tahap kegawatan dan replacement disusul tahap
rumatan . Idealnya dengan pemasangan CVP, atau fluid challenge (pemberian cairan 200 ml atau 20
ml/kgBB iv dalam 30 menit), bila ada perbaikan perfusi selama/setelah pemberian, berarti hipovolemia,
pemberian diteruskan dengan rumatan. Tetapi, bila tampak sesak dengan hepatomegali progresif tanpa
ada perbaikan perfusi, cairan segera dihentikan, beri lasix sampai gejala sesak berkurang dilanjutkan
pemberian Dopamin dan Dobutamin seperti kalau menghadapi gagal jantung (dalam hal ini renjatan
kardiogenik). Kalau perlu diberikan norepineprin dengan dosis 0,5 mcg/kg/min dengan titrasi.
2. Meningkatkan curah jantung (koreksi disritmia, optimalisasi preload, meningkatkan kontraktilitas miokard,
menurunkan afterload)
3. Mengurangi beban jantung (sedasi, mempertahankan suhu tubuh tetap normal, intubasi dan ventilasi
mekanik, koreksi anemia)

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA


2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 10 hari.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 80


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

RENJATAN KARDIOGENIK

15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141-
145.
2. Bernstein D. Cardiac Therapeutics: Heart Failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Eds.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1586-1587
3. Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA, Gutgesel HP. Clinical synopsis of Moss and Adams’
Heart Disease in Infants, Children and Adolencents including the Fetus and Young Adult. Baltimore:
Williams & Wilkins, 2002. H. 814-827

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 81


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TETRALOGI FALLOT DAN SERANGAN SIANOSIS

1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang digambarkan dengan 4 macam kelainan:
- Stenosis pulmonalis (valvular, infundibular)
- Defek septum ventrikel
- Hipertrofi ventrikel kanan
- Overriding aorta pada septum ventrikel
2. Anamnesis 1. Biru, bertambah waktu bangun tidur, menangis atau
sesudah makan.
2. Sesak
3. Mudah lelah
4. Gangguan pertumbuhan
5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran.
6. Sering jongkok bila berjalan 20-50 meter, untuk
mengurangi sesak
7. Nafas cepat (takipneu)
8. Jari tabuh

3. Pemeriksaan Fisik 1. Sianosis bertambah waktu bangun tidur, menangis


atau sesudah makan.
2. Dispneu
3. Hipoksia (timbul sekitar umur 18 bulan)
4. Dapat terjadi apneu.
5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran.
6. Takipneu
7. Jari tabuh dengan kuku seperti gelas arloji.
8. Hipertrofi gingiva
9. Vena jugularis terlihat penuh/menonjol.
Jantung:
10. Bising sistolik keras nada rendah pm sela iga 4 Ips
kiri/VSD
11. Bising sistolik nada sedang, bentuk fusiform,
amplitude maksimum pada akhir sistole berakhir
dekat S2 pm sela iga 2-3 Ips kiri (stenosis
pulmonalis)
12. Stenosis pulmonalis ringan: bising kedua lebih
keras dengan amplitudo maksimum pada akhir
sistole, S2 kembar.
13. Stenosis pulmonalis berat: bising lemah, terdengar
pada permulaan sistole. S2 keras, tunggal, kadang
terdengar bising kontinyu pada punggung
(pembuluh darah kolateral).
14. Kadang dengan hepatomegali, dengan
hepatojugular reflux.

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi 2 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi 3 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi

5. Diagnosis Tetralogy of Fallot

6. Diagnosis Banding
1. Double Outlet Right Ventricle
2. Transpotitional of Great Artery
3. Total Anomaly Pulmonary Venous Drainage
4. Atresia tricuspid
5. Total acardia

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax


2. EKG
3. Ekokardiografi
4. Darah lengkap

8. Terapi 1. O2 nasal 2 lpm atau masker 6-8 lpm


2. Tindakan konservatif;
- Pada serangan hipoksia, dilakukan knee-chest position.
- Medikamentosa
- Morfin: 1/8 - 1/4 mg (0,1 mg/kb bb) (mengendurkan otot infundibulum).

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 82


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TETRALOGI FALLOT DAN SERANGAN SIANOSIS

- Propanolol (beta blocker), untuk mengurangi kontraktilitas miokard:


- oral: 0,5-1 mg/kg bb/6 jam;
- i.v.: 0,01-0,15 mg/kg bb/6-8 jam, selama 10 mnt.
4. Tindakan bedah (rujukan):
- Operasi paliatif: sebelum dilakukan koreksi total: dilakukan pada ahak BB< 10 kg dengan keluhan
yang jelas. (derajat III dan IV)
- Koreksi total: untuk anak dengan BB > 10 kg.
5. Tatalaksana gagat jantung kalau ada.
6. Tatalaksana radang paru kalau ada.

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
4. Tanda-tanda radang paru

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh dalam waktu 14 hari

15. Kepustakaan 1. Anderson RH, Mc Carthey FJ, Shinebourne EA, Tunan M. 1997. Tetralogy of Fallot. Pediatric Cardiology.
Vol. 2 Churchill Livingstone. London. Pp 774-775.
2. Kliegman RM,. Tetralogy of Fallot. In: Textbook of Pediatrics.Eds. Nelson WE, Behrman RE. 4rd ed. WB
Saunders Co. Philadelphia. 1992, p. 1149-1153.
3. Rutkowski. Common Complication in Infant wth Cyanotic Congenital Heart Disease.p 166-167.2009
4. Teddy Ontoseno. Serangan Sianosis. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak ke XXIII. Ed:
Soebijanto P, Erwin S, Bambang P.dkk. FK Unair. Surabaya,1991; hal.91.
5. Cicha I, Suzuki Y, Tateishi N, Maeda N. 1999 Rheological changes in human red blood cells under
oxydative stress. Pathophysiology 6 : 103-110.
6. Behrman RE. 2000. Tetralogy of Fallot.. In : Behrman RE, Kliegman RM, eds. Nelson Textbooks of
Pediatrics, 15th ed. Philadelphia : WB Saunders co. 1149-53.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 83


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM REUMATIK

1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul
setelah infeksi tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS)
dengan penyulit serius berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang
cenderung kambuh, akibat respons autoimun

2. Anamnesis Gejala mayor:


1. Karditis: takikardia, sesak, berdebar
2. Poli artritis: nyeri sendi hebat umumnya asimetris sehingga anak tidak mau jalan, sering nyeri berpindah-
pindah, bengkak, demam
3. Korea Sydenham: gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi
yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres, lidah dapat terjulur keluar dan
masuk mulut dengan cepat, pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak, koordinasi otot halus
sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap. Bila disuruh
membuka dan menutup kancing baju pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah
kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak
sesuai, kehilangan perhatian, gelisah, serta tidak koperatif.
4. Eritema marginatum: ruam tidak gatal, makular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke
bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada
batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah.
5. Nodulus subkutan
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Atralgia: nyeri sendi ringan, biasanya sendi besar
3. Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
3. Pemeriksaan Fisik Manifestasi mayor:
a. Karditis
b. Poliartritis
c. Korea
d. Eritema marginatum
e. Nodul subkutan

Manifestasi minor:
1. Demam
2. Arthralgia
4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau
b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus
beta hemolitikus golongan A sebelumnya.
5. Diagnosis Demam Reumatik
6. Diagnosis Banding 1. Artritis reumatoid
2. Artrids bakterial.
3. Artritis virus.
4. Reaksi alergi.
5. Bising fungsionil.
6. Kelainan jantung bawaan.
7. Miokarditis virus
8. Miokarditis bakterial lain.
9. Lupus eritematosus sistemik
7. Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap
b. LED
c. C-Reactive Protein
d. ASO
e. Kultur hapusan tenggorok
f. Foto thorax
g. EKG
h. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Iirah baring:
Tanpa Karditis:
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali:
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali:
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan gagal jantung:
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi
2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder
- Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila
berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 84


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM REUMATIK

- Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20
kg, diberikan selama 10 hari.
- Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama
10 hari
3. Analgesik dan anti-inflamasi
- Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
- Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali:
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu
- Karditis dengan kardiomegali atau gagal
jantung: Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2
minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu
ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.

9. Edukasi a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


b. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK

14. Indikator Medis 80% pasien sembuh dalam waktu 14 hari


15. Kepustakaan 1. Ayoub EM. Acute Rheumatic Fever. Dalam: Allen HD, Clark EB, Gutgesell HP, Driscoll DJ. Moss and
Adams’ Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents including the Fetus and Young Adult. Edisi ke
6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h.1226-41.
2. Oliver C. Rheumatic fever- Is it still a problem ? Journal of Antimicrobial chemotherapy.2000; 45: 13-21
3. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 304-10.
4. Taranta A, Markowitz M. Rheumatic Fever. Edisi ke 2. Dordrecht : Kluwer Academic Publishers, 1989.
5. Tandon R. Is it possible to Prevent Rheumatic Fever ? Indian Heart Journal 2004; 56: 677-67
6. Tani LY, Veasy LG, Minich LA and Shaddy RE. Rheumatic fever in Children younger than 5 years : Is the
presentation different ? Pediatrics 2003; 112; 1065-1068
7. WHO Technical reports series. RHEUMATIC FEVER AND RHEUMATIC HEART DISEASE. Geneva 2004.
8. WHO Study Group, Report of rheumatic fever and rheumatic heart Disease. WHO Geneva, 1988

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 85


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KARDIAK SIANOSIS

1. Pengertian (Definisi) adalah sianosis yang disebabkan adanya kelainan jantung

2. Anamnesis - Biru pada bibir, kuku, mukosa mulut, ujung hidung


- Sianosis sentral tanpa gejala distres pernafasan
(takipnea) tanpa disertai pernafasan cuping hidung
dan retraksi ruang iga
- Suhu tubuh masih hangat

3. Pemeriksaan Fisik 1. Sianosis bibir, kuku, mukosa mulut, konjunctiva, ujung hidung
90%)
2. Tes hiperoksia positip
3. Pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. (adanya duktus yang masih terbuka
mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama).

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)

5. Diagnosis Kardiak sianosis

6. Diagnosis Banding
1. Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn
2. Sianosis karena kelainan paru (pneumonia,
bronchiolitis berat, dan lain-lain)

7. Pemeriksaan Penunjang 1. PaO2 (right radial/brachial/temporal artery)


2. gula darah
3. Foto polos dada
4. Elektrokardiografi
5. Ekokardiografi
6. Darah lengkap
7. serum ferritin
8. Foto thorax
9.Kateterisasi
10.Angiokardiografi

8. Terapi - Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5- 37o C & kelembaban sekitar 50%).
- Bila curiga cardiac cyanosis, kuhsusnya ductal
dependent, segera berikan Prostaglandine E1
(Prostin VR Pediatric) 0,05 – 0,1 ug/kg/men drip
sampai KU membaik lalu turunkan step by step
sampai 0,01 ug/kg/men. Bila dosis awal tidak ada
respon, naikkan menjadi 0,4 ug/kg/men. Awas
apneu-fever- taki/bradi kardia, flushing hipotensi dan
cardiac arrest !
- Pemberian oksigen 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter Nasofaringeal
Pengobatan pada serangan sianosis:
1. Usahakan meningkatkan saturasi oksigen arterial dengan cara :
* Membuat posisi ”knee chest” atau ”fetus
* Ventilasi yang adekuat
2. Menghambat pusat nafas denga Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg/kg im atau s kutan
3. Bila serangan hebat bisa langsung diberikan Na Bic 1 meq/kg iv untuk mencegah asidosis metabolik
4. Bila Hb < 15 gr/dl bisa diberikan transfusi darah segar 5 ml/kg pelan sampai Hb 15-17 gr/dl
5. Propanolol 0,1 mg/kg iv terutama untuk prolonged spell diteruskan dosis rumatan 1 – 2 mg/kg oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 86


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KARDIAK SIANOSIS

3. Alit Utamayasa, da SpAK

14. Indikator Medis 80% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 1 bulan.

15. Kepustakaan 1. Gaiha M, Sethi HPS, Sudah R, Arora, Acharya NR. 1993. A clinico-Hematological study of Iron deficiency
anemia and its correlation withHyperviscosity Symptoms in Cyanotic Congenital Heart Disease. Indian
Heart Journal 45 (1). 53-55.
2. Lany LT. 1997. Uji Penapisan Anemia Relatif Pada Penderita Tetralogy Fallot. Penelitian Karya Akhir
Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak.
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya.
3. HH and Risau W. 1998. Systemic hypoxia changes the organ-specific distribution of vascular endothelial
growth factor and its receptors. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95: 15809-15814.
4. Neches WH, Park SC, Ettedguy JA. 1997.Tetralogy of Fallot and Tetralogy of Fallot with Pulmonary Atresia.
In : The Science and Practice of Pediatric Cardiology. Ed : Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR.2
ed. Williams & Wilkins A Waferly C. Baltimore*Philadelphia*London*Paris*Bangkok. Vol I : 1383-1411.
5. Ontoseno T. 2002a. Pattern of Tetralogy Fallot patients in Dr Soetomo Hospital, Surabaya. Folia Medica
Indonesiana. (2) : 133-135
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 87


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR

1. Pengertian (Definisi) adalah peningkatan frekuensi denyut jantung, antara 180-300 kali per menit, dengan bentuk
kompleks QRS yang seluruhnya normal.

2. Anamnesis 1. Fetal takikardia


2. hydrops
3. penurunan curah jantung: mendadak gelisah, tidak mau menetek, bernafas cepat dan tampak
pucat, muntah-muntah, nadi sangat cepat (200-300/menit) dan sering disertai gejala gagal
jantung atau renjatan.
4. Pada bentuk akut: pucat, gelisah, takipneu, sukar minum

3. Pemeriksaan Fisik 1. Takipneu


2. Denyut jantung 180-300 kali per menit (mungkin sulit dihitung)
3. Tanda-tanda gagal jantung

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi minimal poin 2 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. EKG:
5. Diagnosis Takikardia supraventrikuler

6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax


2. EKG

8. Terapi 1. Manuver Vagal (massage sinus karotikus, kantong es ditempelkan ke muka/ stimulasi
nasogastrik)
2. Adenosine iv bolus 50 ug/kg dinaikkan setiap 2 menit dosis sama sampai maksimal 250 ug/kg,
awas bronkhospame
3. Bila Adenosine tidak tersedia dan pasien shock, segera berikan Synchronized DC shock 0,5
joule/kg sampai maksimal 2 joule/kg lalu dilanjutkan dengan digitalisasi.
4. Digitalisasi cepat bila tanpa shock/gagal jantung, iv 0,03-0,04 mg/kgBB, pemberian pertama 1/2
dosis digitalisasi dilanjutkan 1/4 dosis lalu 1/4 dosis lagi selang 8 jam. Bila sudah kembali ke
irama sinus maka dilanjutkan dosis oral untuk rumatan. Kontra indikasi bila ada WPW.
5. Bila belum berhasil, berikan Phenylephrine 10 mg dalam 200 cc cairan drip cepat, awasi systole
jangan lebih dari 150-170 mmHg.
6. Bila belum berhasil, Propanolol atau Verapamil bisa dicoba (untuk > 1tahun). Verapamil : iv 0,05-
0,1 mg/kg BB dapat diulangi 2 X dalam 15 menit. Peroral 1-10 mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi
3 kali.
7. Amiodarone (bila akibat WPW atau postop), PO 10 mg/kg dibagi 2 dosis selama 5-10 hari lalu 5-
7 mg/kg/hari sampai beberapa minggu diturunkan 2-5 mg/kg, IV 5 mg/kg dlm 15-20 menit dapat
diulang maks 15 mg/kg dilanjutkan continous infusion 10-15 mg/kg/hari).
Digitalis maintenance untk cegah rekuren selama 3-6 bulan (bila umur > 8 tahun disertai WPW,
berikan Propanolol atau Atenolol)

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA


2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 7 hari (1 minggu).

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 88


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR

15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby,
2002. h.338-341.
2. Van Hare GF, Supraventricular Tachycardia. Dalam: Gillette PC, Garson A Jr, Ed. Clinical
Pediatric Arrithmias. Edisi ke-2. Philadelpia: W.B. Saunders Company, 1999. h.97-120.
3. Deal BJ. Supraventricular Tachycardia Mecanisms and Natural History. Dalam: Deal BJ, Woff
GS., Gelband H. Ed. Current Concepts in Diagnosis and Management of Arrithmias in Infants
and Children. New York: Futura Publishing Company, 1998. H. 117-143

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 89


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

INFEKSI SALURAN KEMIH


1. Pengertian (Definisi) - Infeksi saluran kemih adalah ditemukan mikroba bermakna pada saluran air kemih dari sampel urin
suprapubik berapapun jumlah kuman
kateterisasi uretra 04
5

2. Anamnesis - Gejala klinis tidak spesifik


- Infeksi saluran kemih atas gejala panas tinggi, disertai gejala sistemik
- Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut :
0-1bulan : Panas/hipotermi, gejala sistemik,ikterus (sepsis).
1 bln-2 thn : panas/hipotermia, gejala sistemik, nyeri perut/ pinggang.
2-6 thn : Panas, gejala sistemik, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, ngompol.
6-18 thn : Nyeri perut/pinggang, panas, tak dapat menahan kencing.
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik tergantung usia dan lokasi infeksi saluran kemih :
- Panas/hipotermia
- Nyeri ketok pinggang

4. Pemeriksaan Penunjang 1.
Pemeriksaan air kemih:
Urinalisis, Leukosit esterase, nitrit,
2. Biakan air kemih
3. Pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin
4. Ultrasonografi ginjal-buli buli (USG) bila diperlukan, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI pada kasus ISK atas,
komplek, dan atipik
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis sesuai usia penderita
2. Biakan air kemih merupakan baku emas
3. Pemeriksaan air kemih ada kuman (gram), piuri,torak, lekosit, , lekosit esterase,nitrit
4. Kimia darah: ureum,kreatinin
5. Pencitraan :USG ginjal-buli buli, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI bila diperlukan
6. Diagnosis Infeksi saluran kemih
7. Diagnosis Banding Penyakit dengan panas yang tidak diketahui sebabnya - ICD

8. Terapi Supportif
Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi

Medikamentosa
Antibiotik peroral
ISK bawah Amoksisilin klavulanat 20 – 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis

Antibiotik parentral
1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari.

ISK pada Neonatus 1. Seftriakson 75 mg/kg/hari sekali sehari


2 Sefotaksim 150 mg/kg/hari dibagi tiap 6 -8 jam
3 Seftasidim 100 – 150 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam
4 Gentamisin 7,5 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam
ISK atas/ ISK 5 Amikasin 15 mg/kg/hari sekali sehari
komplek/ ISK
Atipik
9. Edukasi 1. Berobat secara teratur
2. Menjaga kebersihan daerah genetalia
3. Pemakaian popok atau pempers harus diganti setiap buang air kemih atau buang air besar
4. Buang air besar secara teratur

10. Prognosis Infeksi saluran kemih atas


Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
Infeksi saluran kemih kompleks
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
b. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
c. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
d. M Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 12 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 90


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

INFEKSI SALURAN KEMIH


Penderita tidak panas
Biakan urin steril

15. Kepustakaan 1. Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric
Nephrology 2nd.Chennai.Replika Press.2007. 553-74.
2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P,
Yoshikawa N Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310
3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in
young children. N Engl J Med ; 348 :195-202.
4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric
Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70
5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics
2011;128:595-610
6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds.
Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142-
163.
7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34
8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal
lesions in children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9.
9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds.
Pediatric nephrology. Singapore. 391-402.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract
infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 91


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENYAKIT GINJAL KRONIK


1. Pengertian (Definisi) Pada Penyakit Ginjal Kronik (PGK) terjadi kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1.73m2

2. Anamnesis Riwayat PGK tergantung penyakit yang mendasari dan beratnya penurunan fungsi ginjal

3. Pemeriksaan Fisik Tergantung stadium PGK


Pucat
Nafsu makan menurun
Mudah lelah
Bengkak
Gagal tumbuh
Kadang kencing berkurang

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Urinalisis
3. Kimia darah: ureum, kreatinin, kadar hormone paratiroid, serum elektrolit, asam urat, serum albumin, protein
total, kolesterol (lipid profile)
4. Gas darah bila diperlukan
5. Laju filtrasi glomerulus yang ditentukan dengan rumus Haycock-Schwartz
6. Foto tangan kiri dan pelvis untuk pemeriksaan bone age.
7. Pencitraan: Thorax foto, USG ginjal/buli-buli, serta pemeriksaan lain bila diperlukan

5. Kriteria Diagnosis Anamnesis


Pemeriksaan penunjang

6. Diagnosis Penyakit ginjal kronik

7. Diagnosis Banding Gangguan tumbuh kembang – ICD

8. Terapi 1. Penyakit yang mendasari


2. Terapi konservatif
Nutrisi dengan kalori adekuat, protein dibatasi 1,8-2 g/kg BB/ hari.
Mengatur balans cairan masuk/keluar
Koreksi asidosis dengan NaHCO 3 1-2 mmol/kg BB/hari per oral
Koreksi IV-NaHCO 3 dengan dosis 0,3 x BB (kg) x (24-HCO 3 - serum) pemberian setengah dosis HCO 3 -
selama 2-4 jam secara infuse.
Koreksi gangguan elektrolit:
- Koreksi Natrium (Na): Defisit Na (mmol)= 0,6 x BB (kg) x (135 – serum Na)
- Koreksi Kalium (K): Defisit K (mmol)= 0,6 x BB (kg) x (4 – serum K). Koreksi kalium diberikan secara
infuse, dengan kecepatan maksimum 0,4 mmol/kgBB/ 1 jam
Terapi Hipertensi tergantung berat hipertensi. Dapat diberi kombinasi:
- Furosemid 1-4 mg/kg BB/hari dosis terbagi
- Amilodipin 0,05 mg/ kg BB/ hari, maksimal: 0,2 mg/kg BB/hari
- Nifedipin 0,25 mg/kg BB/ 6-8 jam, maksimal: 0,5 mg/kg BB/hari
- Captopril 0,1 mg/kg BB/ 8 jam, maksimal 6 mg/kg BB/ 8 jam
- Losartan 0,5-0,7 mg/ kgBB/hari, maksimal 1,4 mg/kg BB/hari
- Carvedilol 0,08 mg/kg BB/ 12 jam, maksimal 0,75 mg/kg BB/12 jam
Koreksi Anemia
- Hb< 10 g/dl, Ht< 30% terapi recombinant eritropoietin sub kutan seminggu dua kali, dosis: 50 unit/ kg
BB
- Asam folat: 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu diberikan bila terjadi defisiensi asam folat
3. Terapi pengganti ginjal
Dialysis – Peritoneal atau Hemodialysis
Cangkok ginjal

9. Edukasi Minum obat teratur


Membatasi minum sesuai dengan produksi urin
Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung garam
Dialysis secara teratur

10. Prognosis Tergantung stadium PGK


Pada umumnya kurang baik

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat C
Rekomendasi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 92


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENYAKIT GINJAL KRONIK


13. Penelaah Kritis a. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
b. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
c. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
d. M Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita akan membaik dalam waktu 4 minggu
Penderita dengan PGK Stadium I sampai dengan IV, LFG stabil
Penderita dengan PGK stadium V, gejala uremia membaik

15. Kepustakaan 1. Yap HK, Aragon ET. Chronic kidney disease staging. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds. Pediatric Nephrology.
Children Kidney Centre. Singapore.2012:19-25.
2. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite
Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
3. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:Evaluation, Classification, and Stratification, 2000
4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan , Trihono PP,
Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
5. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds.
Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
6. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney
Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-
52.
7. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds.
Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.
8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds.
Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.
9. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insuffi-ciency. In Avner ED,
Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology.
Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
11. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 93


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

BIOPSI GINJAL PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan pemeriksaan jaringan ginjal yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis histologik, membantu
menentukan strategi terapi dan untuk memastikan derajat perubahan aktif (reversibel) atau kronis (ireversibel)
dalam menentukan prognosis dan kemungkinan respon terhadap terapi. Biopsi ginjal juga dapat digunakan
untuk membantu penilaian penyakit genetik.
2. Indikasi Indikasi pasti:
Sindrom nefrotik resisten steroid atau dependen steroid
Glomerulonefritis progresif cepat
Glomerulonefritis akut atipikal atau yang tidak membaik
Kecurigaan nefritis tubulointerstisial akut
Sindrom hematuria rekuren
Proteinuria persisten non-ortostatik
Diagnosis penolakan alograf ginjal
Keterlibatan ginjal dalam penyakit sistemik (lupus eritematosus sistemik, Henoch-Schonlein purpura,
sindrom vaskulitis, penyakit Fabry)
Indikasi meragukan:
Penyakit ginjal kronik dengan etiologi tidak diketahui
Gangguan ginjal akut bukan akibat penyakit glomerulus atau tubulointerstisial
Evaluasi respon ginjal terhadap pengobatan
3. Kontraindikasi Kontraindikasi absolut:
Ginjal tunggal (kecuali ginjal transplan)
Gangguan koagulasi
Hipertensi berat yang tidak terkontrol
Pasien tidak kooperatif atau tanpa sedasi yang adekuat
Pielonefritis akut

Kontraindikasi relatif:
Gagal ginjal terminal
Kelainan ukuran, bentuk, dan/atau posisi ginjal
Pielonefritis kronis
Hidronefrosis
Neoplasma intrarenal (risiko penyebaran tumor intraabdominal)
Nefrokalsinosis
Anemia berat
Obesitas
Kondisi dimana biopsi ginjal mempunyai nilai diagnostik minimal:
Penyakit kistik ginjal
Kelainan tubulus ginjal
Proteinuria postural
4. Persiapan Penjadwalan:
Penjadwalan dilakukan sesuai jadwal operator (Nefrologi Anak) dengan konsultan radiologi selambat-
lambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal.
Bila sudah didapatkan jadwal yang pasti, diberitahukan kepada asisten operator (perawat Poli Nefrologi
Anak) untuk persiapan alat dan prosedur pengiriman bahan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum
acara biopsi ginjal.

Persiapan:
Surat persetujuan orang tua atau keluarga penderita (informed consent).
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan uji faal hemostasis.
Penderita diberikan Vitamin K 5 mg im 3 hari berturut-turut, mulai H-1, H0 dan H+1.
Penderita dipuasakan sejak 6 jam sebelum biopsi dimulai.
Sebelum berangkat ke tempat biopsi dengan menggunakan tempat tidur beroda, iv line sudah harus
terpasang pada tangan penderita.
5. Obat-obatan dan Kassa dan desinfektan (povidon-iodine dan alkohol 70%) untuk desinfeksi lapangan biopsi
peralatan 2 ampul Lidokain
2 atau 3 vial Midazolam (Dormicum) kemasan 5 mg/5 ml
2 buah disposable syringe 2,5 ml
2 buah disposable syringe 5,0 ml
1 buah mess kecil 15 G
1 set peralatan biopsi ginjal perkutan:
o Biopsy gun Magnum Bard
o Disposable core needle biopsy 16 G atau 18 G
atau
o Jarum Vim-Silverman
Plastik pembungkus USG probe (kondom Sutra™ merah)
Sarung tangan steril untuk semua operator
Penutup hidung dan mulut (masker) untuk semua operator dan yang hadir di ruang biopsi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 94


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

BIOPSI GINJAL PADA ANAK


Formulir pemeriksaan USG
Formulir permintaan pemeriksaan patologi anatomi
Tempat penyimpanan spesimen ginjal berisi formalin
3 buah bantal pasir
3 buah doek steril
6. Pelaksanaan Operator mencuci tangan kemudian memakai masker dan sarung tangan steril.
Asisten menyiapkan penderita di meja biopsi. Penderita dibaringkan telungkup. Perut penderita ditopang
satu buah bantal pasir untuk fiksasi ginjal. Pantat dan paha penderita difiksasi dengan meletakkan 2 buah
bantal pasir diatasnya.
Premedikasi penderita dengan Midazolam 0,1 mg/kgBB iv pelan.
Desinfeksi lapangan biopsi oleh operator dengan povidone-iodine dan alkohol. Lapangan biopsi ditutup
dengan doek steril.
Ahli radiologi menetapkan lokasi biopsi (daerah kutub bawah ginjal kiri) dan mengukur jarak korteks ginjal
dari kulit dengan bantuan ultrasonografi.
Setelah lokasi biopsi ditetapkan, operator melakukan insisi kecil di area biopsi, kemudian melakukan bius
lokal pada daerah tersebut dengan 2 ampul Lidokain.
Operator memasukkan jarum biopsi secara tegak lurus dengan tuntunan ultrasonografi sampai jarum
mencapai kapsula renalis sedalam jarak kulit ke korteks ginjal yang sudah diukur sebelumnya.
Setelah dipastikan jarum biopsi berada di lokasi yang tepat, operator melakukan biopsi.
Pelaksanaan biopsi maksimal sebanyak 3 kali dalam 1 sesi.
Setelah jaringan ginjal diperoleh, operator mengukur panjang jaringan dan memasukkannya ke dalam botol
berisi formalin.
Spesimen jaringan ginjal tersebut kemudian dikirim ke bagian Patologi Anatomi dengan formulir pengantar
yang telah disiapkan untuk pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, imunofluoresensi dan mikroskop
electron (bila memungkinkan).
Penderita ditidurkan telentang setelah luka biopsi ditutup dengan kassa.
7. Perawatan pasca biopsi Setelah biopsi dilakukan, penderita dibawa kembali ke ruangan dengan pemantauan sebagai berikut :
Penderita tidur telentang selama 24 jam.
Awasi tanda-tanda vital penderita tiap 15 menit pada jam pertama, kemudian tiap 30 menit pada jam kedua,
tiap jam pada 4 jam berikutnya. Bila keadaan umum penderita baik dan stabil, observasi dilanjutkan tiap 4
jam selama 24 jam berikutnya.
Lakukan pemeriksaan urine (makroskopik dan mikroskopik) setiap kali penderita kencing dalam 3 jam
pertama pasca biopsi. Ulangi pemeriksaan tersebut 24 jam berikutnya. Ukur urine 24 jam. Penderita
dianjurkan minum sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi risiko obstruksi
saluran kemih.
Bila timbul keluhan dan gejala nyeri perut atau hematuria, observasi diperketat dan batas waktu perawatan
pasca biopsi diperpanjang sampai keluhan dan gejala hilang. Bila perlu, lakukan pemeriksaan
ultrasonografi untuk mencari kausa.
Bila terjadi hematuria gross, tindakan yang harus dilakukan adalah :
o Pindahkan dan observasi penderita di ruang UPI.
o Berikan :
Karbazokrom sodium sulfonat (Adona AC) 5 ml iv bolus. Jangan diberikan asam traneksamat
(Transamin) oleh karena bahaya terjadinya pembentukan bekuan darah dalam saluran kemih.
Furosemid 2 mg/kgBB/hari iv.
Prednison 2 mg/kgBB/hari po selama 2 hari.
8. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya tidak terjadi komplikasi sesudah biopsi, akan tetapi bila didapatkan perdarahan di
tempat biopsi dan atau di aprenkim ginjal, pada umumnya gejala klinis akan membaik pada akhir
minggu pertama dengan terapi yang diberikan sesuai dengan komplikasi yang terjadi.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan ginjal dan
bahkan kematian.

9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
10. Tingkat Evidens I/II/III/IV
11. Tingkat Rekomendasi A/B/C
12. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
13. Indikator Medis 80% penderita biopsi ginjal anak akan dapat dipulangkan pada 1 hari sesudah prosedur
14. Kepustakaan 1. Chao SM, Tan PY, Chiang GSC. Renal biopsy and renal pathology. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 95


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

BIOPSI GINJAL PADA ANAK


Limited, 2005: 38-52.
2. Damanik MP. Biopsi ginjal. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:3-14.
3. Fogo AB. Renal pathology. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:565-97.
4. Ong J, Yap HK. Renal biopsy protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric
Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 417-22.Wirya IGNW. Biopsi ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:73-86.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 96


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIALISIS PERITONEAL PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu proses untuk mengeluarkan zat-zat yang menumpuk di dalam darah seperti ureum, kreatinin, fosfat,
kalium, air, dan lain-lain akibat kegagalan fungsi ginjal. Penumpukan zat-zat tersebut dalam darah dikeluarkan
ke dalam cairan dialisat yang berada di dalam rongga peritoneum.
Dapat dilakukan sebagai prosedur akut maupun kronik (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD atau
dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan)
2. Indikasi Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif)
Hipertensif refrakter
Asidosis berat dan persisten
Hiperkalemia (kalium >7 mEq/l) yang tidak dapat diatasi secara konservatif
Toksin berupa uremia dengan gejala pruritus, pleuritis, perikarditis, dan susunan saraf pusat
Toksin eksogen seperti litium, salisilat, etanol, methanol, bromide ethylene glycol, dan aminoglikosida
Azotemia berat (BUN >50 mg/dl, ureum >200 mg/dl, atau kreatinin >15 mg/dl), klirens kreatinin <15
ml/menit/1,73 m2
Pasca operasi bedah jantung dengan oliguria/anuria
3. Kontraindikasi Defek dinding perut atau infeksi
Distensi abdomen
Perforasi usus
Adesi atau reseksi usus
Ada hubungan antara rongga dada dan rongga perut
4. Persiapan Persiapan dan evaluasi pasien:
Tanyakan dan periksa pasien tentang operasi abdomen sebelumnya, adakah hernia, organomegali,
distensi usus, ileus, dan tumor usus. Bila terdapat, kateterisasi harus dipasang lewat pembedahan dan
visualisasi langsung
Jelaskan prosedur dan komplikasinya kepada pasien/keluarga pasien serta dapatkan izin tertulis (informed
consent)
Konsultasi ke Bedah Urologi untuk pelaksanaan prosedur pemasangan kateter Tenckhoff.
Keberhasilan dialisis peritoneal ditentukan oleh pemasangan akses dialisis. Pada anak lebih disukai double-
cuffed, sedangkan pada bayi kurang dari 3 kg dengan single cuffed. Kateter yang paling disukai adalah kateter
double cuffed Tenckhoff.
5. Pelaksanaan Periksa patensi dan kemungkinan kebocoran kateter Tenckhoff di ruang operasi dengan melakukan
pertukaran cairan sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat 1,5%.
Volume dialisis (fill volume) berdasarkan periode pasca insersi kateter Tenckhoff:
o Hari ke-1: 300 ml/m2 (anak >12 bulan), 200 ml/m2 atau 10 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-4: 500 ml/m2 (anak >12 bulan), 300 ml/m2 atau 15 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-8: 800 ml/m2 (anak >12 bulan), 400 ml/m2 atau 20 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-10: 900 ml/m2 (anak >12 bulan), 500 ml/m2 atau 25 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-2: 1000 ml/m2 (anak >12 bulan), 600 ml/m2 atau 30 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-3: 1100 ml/m2 (anak >12 bulan), 700 ml/m2 atau 35 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-4: 1200 ml/m2 (anak >12 bulan), 800 ml/m2 atau 40 ml/kg (anak usia <12 bulan)
Frekuensi dialisis:
o Lakukan pertukaran cairan sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat
1,5% sebanyak 5 kali segera sesudah dilakukan insersi kateter Tenckhoff
o Lakukan pertukaran cairan setiap 1 jam selama 24-48 jam sampai cairan dialisat tidak menunjukkan
darah
Berikan antibiotika Cefazolin intraperitoneal 125 mg/L selama maksimal 3 hari.
Bila didapatkan kebocoran, jangan menggunakan kateter selama 2 minggu. Lakukan dialisis volume rendah
(300 ml/m2) selama 2 minggu bila sangat diperlukan untuk memulai dialisis. Berikan antibiotika Cefazolin
intraperitoneal atau intravena selama minimal 5 hari.
Heparin intraperitoneal:
o Tambahkan heparin 250 U/L selama minimal 3 hari
o Naikkan dosis menjadi 500-1000 U/L bila cairan dialisat effluent masih bercampur darah
o Hentikan heparin bila cairan dialisat effluent sudah jernih dan tidak ada fibrin.
Periksa jumlah sel (cell count), Gram dan kultur cairan dialisat saat antibiotika dihentikan. Berikan terapi
sebagai peritonitis bila didapatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan dialisat.
2
Pa untuk meningkatkan adekuasi
dialisis.
6. Edukasi Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal
maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.
Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh
kembang dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan
sekuele.
7. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
8. Tingkat Evidens I/II/III/IV
9. Tingkat Rekomendasi A/B/C

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 97


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIALISIS PERITONEAL PADA ANAK


10. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
11. Indikator Medis 50% penderita dengan dialisis peritoneal akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan
12. Kepustakaan 1. Damanik MP. Dialisis peritoneal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:594-606.
2. Ha IS, Lai WM. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) and Automated peritoneal dialysis
(APD). Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current
Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 267-71.
3. Sekarwana N. Dialisis peritoneal. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:232-8.
4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1822-6.
5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds.
Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45.
6. Verrina E. Peritoneal dialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds.
Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1785-816.
7. Yap HK, Aragon ET. Peritoneal dialysis orders post Tenckhoff insertion. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay
WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 281-2.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 98


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Keadaan dimana terjadi gangguan fungsi ginjal secara akut yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi
ginjal (LFG) dan atau penurunan produksi urine yang bersifat reversibel. Gangguan ginjal ini
menyebabkan regulasi cairan, elektrolit, asam basa dan tekanan darah menjadi terganggu.
Definisi GgGA ini mencakup gangguan fungsi ginjal ringan sampai kegagalan fungsi ginjal tahap akhir
yang didasarkan pada suatu kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage) yang disesuaikan untuk
anak menjadi suatu kriteria pediatric RIFLE (gambar 1). Kriteria Risk, Injury, Failure menggambarkan
beratnya penurunan fungsi ginjal berdasarkan penurunan estimasi klirens kreatinin anak (melalui
perhitungan LFG anak) dan produksi urine (sensitivity factors); sedangkan kriteria Loss dan End-stage
menentukan prognosis fungsi ginjal selanjutnya dengan menggambarkan prognosis gangguan ginjal
(specificity factors).

Gambar 1. Kriteria pediatric RIFLE


2. Anamnesis 1. Anak dengan kondisi yang berhubungan dengan hipovolemia berat, yaitu anak dengan gejala klinis
muntah, diare dan penurunan asupan oral yang berisiko mengalami hipovolemia berat dan GgGA.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan poliuria seperti ketoasidosis diabetikum, asidosis tubulus
renalis dan tubulopati kronik, jika asupan cairan tidak cukup mengimbangi produksi urin yang banyak,
maka dapat terjadi hipovolemia berat dan GgA pre renal.
2. Anak dengan gejala yang mengarah pada penyakit ginjal dapat ditandai dengan oliguria onset akut,
edema dan gross hematuria, yang didahului oleh riwayat faringitis atau impetigo yang sesuai dengan
suatu glomerulobnefritis paska infeksi. Diare berdarah dengan oliguria atau anuria dapat merupakan suatu
sindrom hemolitik-uremik terkait diare, sedangkan anak dengan pneumonia dan oliguria yang disertai
anemia dan trombositopenia dapat merupakan sindrom hemolitik uremik terkait pneumonia. Gejala dan
tanda sistemik vaskulitis seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan
hemoptisis, menunjukkan kemungkinan suatu rapidly progressive glomerulonephritis yang terkait dengan
vaskulitis sistemik.
3. Anak sakit berat dengan faktor predisposisi untuk kegagalan multi organ, meliputi anak dengan sepsis dan
hipotensi, sering mengalami kegagalan multi organ yang berakibat pada GgGA dengan kondisi
oligoanuria, terutama dengan pemberian inotropik seperti nor adrenalin atau adrenalin; bayi dan anak
paska prosedur bypass kardiopulmoner; anak yang imunosupresif atau mengalami neutropenia seperti
pasien onkologi yang menjalani kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang dengan kondisi:sepsis dan
riwayat pengobatan yang nefrotoksik termasuk antibiotik seperti aminoglikosida atau amphotericin B, agen
kemoterapi seperti cisplatin dan penghambat calcineurin.
4. Bayi baru lahir dengan oliguria atau anuria lebih dari 72 jam memerlukan perhatian dan membutuhkan
tindak lanjut. Anuria atau oliguria tanpa adanya cidera iskemia menunjukkan suatu malformasi kongenital
mayor seperti katup uretra posterior, atau penyakit genetik seperti penyakit ginjal yang diturunkan secara
autosomal resesif. Pada bayi yang sakit dengan hematuria, dapat merupakan suatu trombosis vena
renalis bilateral.
3. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda hipovolemia yang dapat terlihat: takikardi, waktu pengisian kapiler yang buruk, penurunan
turgor kulit, membran mukosa kering, mata cowong, perubahan tekanan darah ortostatik.
Tanda sistemik vaskulitis seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan
hemoptisis.
4. Kriteria Diagnosis Perjalanan penyakit akut (<48 jam)
Penurunan fungsi ginjal berdasarkan peningkatan serum kreatinin dan/atau penurunan produksi urine
Penggunaan kriteria pRIFLE untuk menentukan stadium klinis GgGA
5. Diagnosis Gangguan ginjal akut dengan stadium Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage
6. Diagnosis Banding a. Pre-renal GgGA
b. Renal GgGA
c. Post-renal GgGA
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Sedimen Urin
Pemeriksaan mikroskopis untuk pemeriksaan sel, kristal, debris dan torak. Diagnosis glomerulonefritis
dapat ditentukan dengan adanya hematuria terkait eritrosit dismorfik dan torak eritrosit. Sel epitel tubuler

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 99


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


ginjal, sel torak tubuler atau torak dengan granular kasar dapat merupakan suatu nekrosis tubuler akut.
Piuria dapat merupakan suatu pielonefritis atau gangguan tubulointerstisial (piuria steril). Terdapatnya
eosinofil dapat merupakan suatu nefritis alergi interstisial akut. Kristal urin dapat menjadi suatu indikator
etiologi dasar pada tampilan klinis yang sesuai untuk GgGA seperti kristal asam urat pada sindrom
tumor lisis dan kistal kalsium oksalat pada keracunan etilen glikol. Jika tidak ditemukan kelainan maka
dapat merupakan GgGA pre renal atau karena obstruksi.
2. Darah lengkap untuk melihat adanya anemia, trombositopenia dan reticulositosis, yang dapat menjadi
suatu sindrom hemolitik uremik atau GN terkait vaskulitis. Hapusan darah tepi untuk melihat adanya
skistosit pada sindrom hemolitik uremik, atau sferosit pada nefritis lupus.
3. Pemeriksaan hemoglobin dalam urin atau mioglobin serum untuk menyingkirkan suatu nefropati pigmen,
jika riwayat penyakit menunjukkan suatu proses hemolisis intra vaskular atau rabdomiolisis.
4. Pemeriksaan kadar komplemen serum (C3 dan C4), anti-nuclear antibodies antibodi sitoplasmik anti
neutrofil, dan anti-glomerular basement membrane antibodies untuk membedakan berbagai jenis
penyakit glomerular. Komplemen serum C3 didapatkan rendah pada GN paska infeksi, Nefritis Lupus,
GN membranoproliferatif dan beberapa bentuk sindrom hemolitik uremik familial.
5. Pola khusus abnormalitas biokimiawi dapat terlihat pada beberapa penyebab khusus dari GgGA. Kadar
laktat dehidrogenase pada sindrom hemolitik uremik atau penyebab lain dari hemolisis. Hipokalsemia,
hiperfosfatemia dan hiperurikemia dapat timbul pada sindrom tumor lisis. Peningkatan kadar kreatin
kinase serum pada rabdomiolisis. Peningkatan pada gap anion dan osmolar dengan adanya GgGA,
dapat merupakan suatu keracunan glikol etilen.
6. Pencitraan
Ultrasonografi merupakan modalitas pencitraan awal untuk mendeteksi obstruksi saluran kemih atas
bilateral, obstruksi outlet vesica urinari atau obstruksi dari ginjal yang berfungsi tunggal. Dilatasi sistem
pelvikaliseal dapat dideteksi dalam 24 hingga 36 jam etelah onset terjadinya obstruksi saluran kemih
akut. Dilatasi saluran kemih atas dapat terlihat pada tahap awal obstruksi ureter jika didapatkan adanya
penurunan produksi urin. Pada obstruksi saluran kemih bagian bawah, dilatasi ureter, hipertropi ukuran
dan dinding vesica urinaria, dan adanya lesi terkait seperti ureterocele dapat terlihat melalui
ultrasonografi. Suatu peningkatan ekogenisitas dapat terlihat pada penyakit ginjal akut dan kronis. Pada
neonatus dengan trombosis vena renalis, pemindaian aliran doppler dapat menunjukkan suatu
penurunan aliran darah.
CT scan abdomen tanpa kontras dapat memperlihatkan kondisi pelvis renalis dan ureter proksimal, dan
sangat membantu dalam mengindetifikasi lokasi obsturksi ureteral, batu, tumor atau kondisi
abnormalitas kongenital. Pemindaian yang dengan kontras sebaiknya dihindari oleh karena risiko
terjadinya nefropati kontras.
Magnetic resonance urogram (MRU) statik berguna untuk mengidentifikasi morfologi sistem collecting
pada uropati obstruktif, tanpa memperhatikan fungsi ekskresi. Risiko fibrosis sistemik nefrogenik setelah
agen kontras gadolinium pada pasien dengan gagal ginjal membatasi penggunaan pemindaian dinamik
pada GgGA.
7. Biopsi ginjal diindikasikan jika dicurigai suatu rapidly progressive GN atau nefritis alergi interstisial
akut, etiologi yang tidak jelas dan GgGA yang memanjang untuk menilai tingkat kerusakan, untuk
membedakan antara nekrosis tubuler akut dan nekrosis kortikal akut.
8. Terapi Tujuan utama tata laksana GgGA adalah untuk menjaga homeostasis, sembari menunggu perbaikan
fungsi ginjal, yang dapat terjadi secara spontan atau menunggu penyebab dasar tertangani.
Adanya sarana dan efikasi dialisis menyebabkan perburukan pasien dengan GgGA umumnya bukan
karena kondisi GgGA tetapi karena faktor komorbid lainnya.
Terapi konservatif
1. Mempertahankan perfusi ginjal yang adekuat
o Pada pasien yang menderita sakit berat yang berisiko mengalami GgGA iskemia, perbaikan
faktor pre renal seperti, dehidrasi, curah jantung yang buruk, hipovolemia dan abnormalitas
elektrolit dan asam basa, sangat penting untuk mencegah perburukan GgGA.
o Kecuali terdapat kontraindikasi karena cairan berlebihan atau gagal jantung, seorang anak
dengan bukti klinis hipovolemia dan oliguria, sebaiknya diberikan cairan intravena selama 20-
30 menit, cairan kristaloid seperti normal salin (10 hingga 20 ml/kg) atau cairan koloid seperti
albumin 5%, jika hipotensif.
o Pemberian ini dapat diulang jika anak masih hipovolemik.
o Perbaikan aliran urin yang adekuat dan perbaikan fungsi ginjal melalui resusitasi cairan adalah
sesuai dengan kondisi penyakit pre renal.
o Namun, jika produksi urin tidak meningkat dan fungsi ginjal gagal untuk membaik dengan
kembalinya volume intra vaskular, pengawasan invasif mungkin diperlukan sehingga status
cairan anak dapat dinilai dengan baik dan membantu dalam tata laksana selanjutnya.
o Jika oliguria menetap setelah koreksi faktor pre renal yang adekuat, pemberian loop diuretic
dapat merangsang timbulnya diuresis: furosemid intravena 2-5 mg/kg/dosis (maksimum 240 mg
bolus) atau furosemid kontinyu 0.1-1 mg/kg/jam.
2. Mencegah cairan berlebih dan hipertensi
o Volume cairan sebaiknya dibatasi dengan memberikan cairan sesuai dengan insensible water
2
loss (400 ml/m per hari atau 30 ml/100 kcal), s e l a i n m e n g g a n t i k e h i l a n g a n
cairan melalui urin, sistem gastrontestinal dan lainnya.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 100


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


o Terapi sebaiknya ditujukan pada penurunan berat badan sebanyak 0,5 hingga 1 % per hari.
o Kelebihan cairan dapat memperberat hipertensi pada pasien dengan glomerulonefritis,
berakibat pada hiperternsi urgensi atau emergensi.
o Hipertensi emergensi penting untuk ditangani secara adekuat dengan agen anti hipertensi
intravena untuk mengontrol penurunan tekanan darah dalam menghindari perburukan edema
otak yang disebabakn oleh gangguan auto regulasi otak.
3. Mempertahankan nilai elektrolit dan asam basa
o Hiperkalemia:

pada elektrokardiografi seperti gelombang T puncak, glombang P datar, peningkatan interval


PR dan pelebaran kompleks QRS.
Kalsium intravena diberikan secara perlahan selama 15-30 menit:
Kalsium glukonas 10% 0,5 ml/kg berat badan hingga maksimum 20 ml.
Nebulisasi salbutamol :
- Berat badan <25 kg: 2,5 mg.
-
Salbutamol intravena 4 mg/kg.
Insulin intravena 1 IU/5 g dekstrosa:
0,1 U/kg berat badan insulin and dekstrosa 0,5 g/kg berat badan.
Amati kadar glukosa darah setiap 15 menit dan setiap 30 menit sampai kadar gula
darah stabil.
Peningkatan kadar kalium serum : 6 to <7 mmol/L:
Natrium polistirene sulfonat per oral atau rektal 1g/kg berat badan hingga maksimum
30 g
Koreksi asidosis
o Hiponatremia:
Restriksi cairan dan berikan loop diuretics jika oleh karena cairan yang berlebihan
Suplementasi natrium jika terjadi renal salt wasting.
o Hipokalsemia dan hiperfosfatermia: pengikat fosfat berbasis kalsium
o Asidosis metabolik berat dimana kadar bikarbonat serum <15 mmol/L atau pH <7.2:
Natrium bikarbonat intravena (3 mmol/kg berat badan)
Catatan: hati-hati pada pasien dengan cairan berlebih dan hipertensi.
4. Nutrisi adekuat
o Kebutuhan kalori
Defisit kumulatif energi berhubungan dengan angka mortalitas pada bayi dan anak yang
mengalami GgGA.
Karena diperlukan suatu restriksi cairan, meningkatkan konsentrasi makanan enteral atau
parenteral akan memperbaiki jumlah kalori pasien.
Namun, hal ini sering kali dibatasi oleh peningkatan osmolaritas jenis makanan yang
diberikan dan berakibat pada hipernatremia
Melalui dialisis awal dapat memberikan suatu optimalisasi nutrisi pasien.
o Asupan protein
Memastikan asupan kalori yang cukup dengan pemberian karbohidrat dan/atau lemak.
Pemberian asupan protein 2 g/kg/hari.
5. Penyesuaian dosis obat-obatan, terutama yang diekskresikan melalui ginjal.
6. Hindari kerusakan ginjal lebih lanjut dengan menghindari antibiotik nefrotoksik, Angiotensin
converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers, penghambat calcineurin dan
nefropati kontras.

Terapi Pengganti Ginjal Akut


Indikasi tradisional:
o Hiperkalemia berat yang tidak berespon pada terapi konservatif
o Asidosis yang tidak terkontrol yang dapat secara aman dikoreksi karena risiko cairan dan kadar
natrium yang berlebihan
o Kelebihan cairan yang berat dengan hipertensi yang tidak dapat terkontrol, edema paru atau
gagal jantung.
o Uremia progresif dengan kondisi umum yang menurun
o Kondisi hiperkatabolik dengan meningkatnya kadar urea dalam darah >10 mmol/L per hari.

Dialisis dilakukan sejak awal pada anak yang sakit berat dengan GgGA dengan tujuan
mempertahankan homeostasis dan memberikan cukup ruang untuk kebutuhan pengobatan dan
nutrisi yang diharapkan, karena restriksi cairan yang berat dapat berakibat pada nutrisi yang
inadekuat, kecenderungan menjadi hipoglikemia, memberikan volume ruang yang cukup untuk
transfusi darah, kesulitan dalam pemberian obat, seperti pemberian inotropik dan antibiotik
intravena.
9. Edukasi Pentingnya deteksi dini GgGA pada anak untuk menyelamatkan fungsi ginjal

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 101


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


Pentingnya mengenali penyebab GgGA supaya dapat dilakukan tata laksana yang cepat dan tepat.
Pentingnya melakukan tata laksana GgGA sesuai stadium klinis dengan cepat dan tepat, baik konservatif
maupun terapi pengganti ginjal.
Beratnya komplikasi GgGA yang dapat terjadi pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Pentingnya monitoring jangka panjang terhadap fungsi ginjal.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis a. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
b. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
c. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
d. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita GgGA anak akan membaik setelah 3 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Andreoli SP. Clinical evaluation of acute kidney injury in children. Dalam: Avner E, Harmon W,
Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Edisi 6. Berlin: Springer Verlag; 2009: 1603-1618.
2. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, Eds. Buku ajar
nefrologi anak. Edisi 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002: 490-508.
3. Bellomo R, Kellum JA, Ronco C. Defining and classifying acute renal failure: from advocacy to
consensus and validation of the RIFLE criteria. Intensive Care Med 2007; 33:409-413.
4. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P; Acute Dialysis Quality Initiative workgroup.
Acute renal failure - definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and information
technology needs: the Second International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality
Initiative (ADQI) Group. Crit Care 2004; 8:R204-212.
5. Himmelfarb J, Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology.
Kidney Int 2007; 10:971-976.
6. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for change? J Am Soc
Nephrol 2003; 14:2176-2177.
7. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C. The concept of acute kidney injury and the RIFLE criteria. Dalam:
Ronco C, Bellomo R, Kellum JA, eds. Acute kidney injury. Basel: Karger, 2007: 10-16.
8. Roesli RMA. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Edisi kedua. Bandung: Pusat Penerbitan
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr.Hasan Sadikin Bandung dan
Puspa Swara, 2011: 1-142.
9. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR. Management of acute kidney injury. Dalam: Yap HK, Liu ID, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology On-The-Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 1-13.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 102


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


1. Pengertian (Definisi) Suatu bentuk peradangan non-supuratif di glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan
inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik di
tempat lain dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, dan oliguria yang terjadi
secara akut.
2. Anamnesis Sembab periorbita pada pagi hari (75%)
Malaise, sakit kepala, muntah, panas dan anoreksia
Air kemih kemerahan seperti air daging
Menderita infeksi saluran nafas atas 8-14 hari sebelumnya atau infeksi kulit 3 minggu sebelumnya
3. Pemeriksaan Fisik Edema periorbita
Asites (kadang-kadang)
Takikardia, takipnea, rales pada paru, dan cairan dalam rongga pleura
Hipertensi (tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 menurut umur, jenis kelamin
dan tinggi badan) pada > 50% penderita
Air kemih merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Hematuria
3. Hipertensi
4. Azotemia
5. ASTO positif
5. Diagnosis Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
6. Diagnosis Banding 1. Penyakit-penyakit ginjal:
Glomerulonefritis kronis eksaserbasi akut
Glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati, hematuria berulang
ringan
Glomerulonefritis progresif
2. Penyakit-penyakit sistemik:
Purpura Henoch-Sch
Lupus eritematosus sistemik
Endokarditis bacterial subakut
3. Penyakit-penyakit infeksi:
Infeksi virus (morbili, parotitis, varisela, Echo)
Infeksi bakteri lain.

7. Pemeriksaan Penunjang Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak
granular, torak eritrosit
Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen
C3 <50 mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala
klinis menghilang
Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali
8. Terapi 1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi,
edema).
2. Antibiotika untuk eradikasi kuman:
Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari
Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi)
4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi):
Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari)
Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari)
5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari).
6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 103


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita GNAPS akan sembuh dalam waktu 1 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Kumar GV. Clinical study of post Streptococcal acute glomerulonephritis in children with special
reference to presentation. Curr Pediatr Res 2011;15(2):89-92.
2. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:323-61.
3. Pan CG, Avner ED. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1783-5.
4. Rauf S, Albar H, Aras J. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
glomerulonefritis akut pasca Streptokokus. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2012.
5. Rodriguez-Iturbe A, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:743-
53.
6. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritic syndrome. Dalam: Webb NJA,
Postlethwaite RJ, Eds. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press,
2003:197-225.
7. Srivastava RN, Bagga A. Acute glomerulonephritis. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 106-23.
8. Tasic V. Postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Geary DF, Schaefer F, Eds. Comprehensive
Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008:309-17.
9. Tse NK. Acute glomerulonephritis and rapidly progressive glomerulonephritis. Dalam: Chiu MC, Yap
HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong:
Medcom Limited, 2005: 103-8.
10. Yap HK, Lau PYW, Resontoc LPR, Thong WY. Management of acute glomerulonephritis. Dalam:
Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National
University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 113-9.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 104


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HEMODIALISIS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari darah melalui membran semipermeabel di dalam
ginjal buatan (dializer), dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis (dialisat).
2. Indikasi Gangguan ginjal akut:
Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif, hipertensi yang resisten terhadap antihipertensi,
dan membantu pengeluaran cairan pada pasien oliguria/anuria untuk memenuhi tunjangan nutrisi yang
meningkat serta memerlukan darah dan produk darat
Keadaan serius yang mengancam hidup pasien, atau gangguan metabolik yang tidak dapat dikontrol
dengan obat seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperurisemia, hiperfosfatemia
Keracunan atau kelebihan dosis obat (salisilat, glikol etilen, lithium)

Penyakit ginjal kronik:


Klirens kreatinin menurun sampai 5-10 ml/menit/1,73 m2
Osteodistrofi ginjal
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Komplikasi: hiperkalemia tidak terkontrol, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis, ensefalopati
uremik, neuropati uremik)
3. Prosedur pelaksanaan Periksa berat badan sebelum dan sesudah hemodialisis dengan menggunakan timbangan yang sama.
Usahakan mencapai target berat badan kering setiap selesai hemodialisis.

Laboratorium sebelum dan sesudah hemodialisis:


o darah lengkap
o fungsi ginjal (BUN, kreatinin)
o elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium, fosfat)
o analisis gas darah

Premedikasi untuk mencegah sindrom disekuilibrium dialysis:


o Fenobarbital intravena 3-5 mg/kg
o Manitol 0,5-1 g/kg
o dapat dihentikan bertahap bila sudah mencapai durasi maksimal hemodialisis (4 jam)

Akses vaskular dengan kateter double lumen:


o Neonatus: 5-7 F
o 3-6 kg: 7 F
o 6-15 kg: 8F
o >15 kg: 9 F
o 15-30 kg: 10 F
o >30 kg: 11.5 F

Blood line:
o anak = 60 ml
o dewasa = 120 ml

Dialyzer/hemofilter berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT):


o LPT 0,5 m2 (10-20 kg) FB 50 (volume 35 ml)
o LPT 0,7 m2 (20-30 kg) FB 70 (volume 45 ml)
o LPT 0,9 m2 (30-40 kg) FB 90 (volume 55 ml)
o LPT 1,1 m2 (>40 kg) FB 110 (volume 65 ml)

Volume ekstrakorporal:
o tidak melebihi 10-30% volume darah
o <10 kg: volume darah = 80 ml/kg
>10 kg: volume darah = 70 ml/kg
o Volume Ekstrakorporal = Volume Dialyzer + Volume Blood Line
o bila melebihi 10% volume darah, dapat dilakukan priming blood transfusion pada saat memulai
hemodialisis untuk “menambah” volume darah

Dialisat: bikarbonat

Blood flow untuk anak:


o 150-200 ml/m2/menit
o 5-7 ml/kg/menit
o BB <10 kg: 100 ml/menit
o BB 10-40 kg: 2,5 x BB (kg) + 100 ml/menit
o BB >40 kg: maksimal 250 ml/menit

Dialysate flow: 500 ml/menit (300-800 ml/menit)

Durasi (time/t):

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 105


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HEMODIALISIS PADA ANAK


o disesuaikan dengan laju klirens urea yang diinginkan:
sesi pertama = 30% klirens urea
sesi kedua = 50% klirens urea
sesi ketiga = 70% klirens urea
sesi keempat = 90% klirens urea (maksimal 4 jam)

o dihitung dengan rumus: Kt/V = -ln C 1 /C 0


K = koefisien urea (K 0 A)
t= time (durasi hemodialisis)
V = total body water (ml)
C 0 = kadar urea sebelum dialisis
C 1 = kadar urea pasca dialisis

o klirens urea dan ln C 1 /C 0 :


30 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 0,357
50 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 0,693
70 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 1,204
90 % klirens urea ln C 1 /C 0 = 2,032

o perhitungan koefisien urea (K) menggunakan tabel sebagai berikut:

Luas Koefisien Urea (K) berdasarkan Blood Flow (QB) ml/menit


Permuka
an Tubuh
2
(m2)/Blood 50 75 100 125 150 200 250 300
flow
0.4 49 71 89 103 114 130 141 149
0.7 50 - 96 - 130 154 171 184
1.0 50 - 97 - 133 159 178 192
1.3 50 - 98 - 137 166 188 203
1.6 50 - 99 - 141 173 197 215

o perhitungan total body water (V) menggunakan rumus Mellits Cheek:


Laki-laki (TB <132,7cm):
V (ml) = (-1,927 + (0,465 x BB) + (0,045 x TB)) x 1000
Laki-
V (ml) = (-21,993 + (0,406 x BB) + (0,209 x TB)) x 1000
Perempuan (TB <110,8 cm)
V (ml) = (0,076 + (0,507 x BB) + (0,013 x TB)) x 1000

V (ml) = (-10,313 + (0,252 x BB) + (0,154 x TB)) x 1000


TB dalam cm, BB dalam kg

o setelah memasukkan nilai K, V, dan ln C 1 /C 0, maka nilai t (durasi hemodialisis) dapat ditentukan,
dengan maksimal durasi 4 jam (sesuai jadwal rutin unit dialisis).

Ultrafiltrasi (UF):
o pertimbangkan berat badan, adanya kelebihan cairan, hipertensi, dan hemokonsentrasi
o maksimal 1,5±0,5 % BB/jam atau 5% berat badan untuk mencegah hipotensi berat selama dialisis
o 0,2 ml/kg/menit selama 4 jam dialisis
o pada gangguan ginjal akut, maksimal 0,2 ml/kg/menit
o lakukan sequential UF bila terjadi kelebihan cairan berat
Heparin (hentikan 1 jam sebelum hemodialisis selesai):
o Loading dose: regular = 50 U/kg (dewasa 1500 U)
-10 U/kg (dewasa 1000 U)
>15 kg: 10-20 U/kg
o Dosis rumatan: regular = 50 U/kg/jam (dewasa 750 U/jam)
dosis rendah = 5-10 U/kg/jam (dewasa 500 U/jam)
Suport tekanan darah:
o Infus normal salin 0,9% 10-20 ml/kg
o Infus albumin 5% 10 ml/kg
o Infus albumin 20% 1 g/kg atau 5 ml/kg
4. Edukasi Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal
maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 106


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HEMODIALISIS PADA ANAK


Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh
kembang dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan
sekuele.
5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
9. Indikator Medis 50% penderita dengan hemodialisis akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan
10. Kepustakaan 1. Lau SC. Hemodialysis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update
Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 280-6.
2. Reese L. Hemodialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1817-34.
3. Sekarwana N. Hemodialisis. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:223-31.
4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1822-6.
5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds.
Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45.
6. Sudjatmiko S, Oesman O. Hemodialisis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:615-27.
7. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Prasetyo RV. Continuous venovenous hemodialysis (CVVHD)
or hemodialfiltration (CVVHDF) protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric
Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 249-59.
8. Yap HK, Kanitkar M. Hemodialysis orders. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric
Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 260-4.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 107


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu vaskulitis sistemik pembuluh darah kecil dengan mediasi imunologis yang secara primer
menyerang kulit, saluran cerna, sendi dan ginjal. Gangguan ginjal diklasifikasikan oleh International
Study on Kidney Diseases in Children (ISKDC) menjadi 6 grup berdasarkan biopsi ginjal.
2. Anamnesis Gejala sistemik: ruam kulit (di pantat, tungkai bawah dan pergelangan kaki), artralgia, artritis, nyeri
perut, kencing berwarna seperti teh, gangguan ginjal akut, nyeri kepala, kejang, perdarahan paru
3. Pemeriksaan Fisik Ruam makuloeritematosa kemudian menjadi makulopapular dan purpura yang simetris di pantat,
tungkai bawah, pergelangan kaki, lengan, wajah, dan telinga
Artralgia dan artritis di tangan, kaki, pergelangan kaki dan lutut
Gangguan gastrointestinal: kolik abdomen, muntah, berak darah, melena, ileus, intususepsi
Gangguan ginjal: Hematuria mikroskopis dan makroskopis, sindrom nefrotik dan gangguan ginjal
akut
Gangguan saraf: nyeri kepala, ensefalopati ringan, kejang
Gangguan paru: perdarahan alveolar
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan The European League Against Rheumatism (EULAR) dan Pediatric Rheumatology
European Society (PReS):
Ruam makulopapular dan purpura (harus ada) di pantat, tungkai bawah, pergelangan kaki, lengan,
wajah, dan telinga
Disertai minimal 1 dari:
o Artralgia dan artritis
o Gangguan gastrointestinal
o Gangguan ginjal (harus ada)
o Deposisi IgA pada biopsi organ
5. Diagnosis Nefritis Henoch-Schönlein Purpura
6. Diagnosis Banding 1. Nefropati IgA
2. Nefritis lupus
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis: hematuria, proteinuria, torak.
2. Darah: darah lengkap, laju endap darah, fungsi ginjal, fungsi liver, elektrolit, asam urat,
bikarbonat, IgA serum, C3, C4, ANA, anti-dsDNA, ASTO, ANCA
3. USG abdomen untuk eksklusi intususepsi.
4. Biopsi ginjal dan kulit.

8. Terapi I. Terapi imunosupresan


Indikasi:
Proteinuria ringan-sedang:
2
o Proteinuria
o Sindrom nefrotik
o Proteinuria persisten antara 0,5-<1 g/hari/1,73m2 sesudah diterapi selama 3-6 bulan
, khususnya jika ada 1 gambaran:
Nyeri perut yang hebat
Ruam berulang
Hematuria makroskopis berulang
Penyakit berat:
o Sindrom nefritik-nefrotik
o Penurunan fungsi ginjal secara akut yang bukan oleh karena nekrosis tubular akut
o Gambaran crescents pada biopsi ginjal
Tanpa nefritis:
o Nyeri perut hebat
o Nyeri sendi berat yang menghalangi mobilisasi sehari-hari
o Artritis berulang
o Purpura berulang.

a. Proteinuria ringan-sedang, diberikan kombinasi imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n


dan MMF:
Predniso(lo)n oral 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 2 minggu sampai ruam dan
nyeri perut menghilang, kemudian diubah ke dosis harian. Dosis seharusnya secara
bertahap di turunkan 5 mg/hari setiap 2 minggu, tergantung pada hasil pemeriksaan urine.
Dosis bisa diubah menjadi alternate saat proteinuria turun menjadi <0,3 g/hari/1,73 m2 dan
diturunkan sampai minimal dosis untuk mengontrol penyakit.
Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral:
Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg
(catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet
4 mg, 8 mg dan 16 mg)
Mycophenolate mofetil (MMF) bisa ditambahkan dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12
jam sebagai steroid sparring agent.

b. Penyakit berat, diberikan kombinasi antara imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n dan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 108


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK


MMF, atau Metilprednisolon/ Predniso(lo)n dan CPA:
Metilprednisolon puls 10–30 mg/kg/dosis (maksimal 1 g) selama 3 hari tiap bulan sampai 6
siklus (6 bulan).
Terapi puls tidak dilanjutkan bila proteinuria turun sampai <0,3 g/hari/1,73m2 dan fungsi
ginjal pulih.
Predniso(lo)n per oral dimulai dengan 0,5–1,0 mg/kg (maksimal 30 mg) per hari setelah
tiap metilprednisolon puls selesai. Predniso(lo)n oral diturunkan bertahap 5 mg/hari pada
setiap metilprednisolon puls berikutnya. Penurunan dosis Predniso(lo)n oral seharusnya
dilanjutkan tiap bulan sampai 6–12 bulan dan dapat diubah menjadi alternate saat
proteinuria turun menjadi <1 g/hari/1,73m2. Sebagai alternatif, predniso(lo)n oral 1–2
mg/kg/hari (maksimal 60 mg/hari) setiap hari bisa digunakan sebagai terapi awal selama 3
bulan.
Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral:
Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg
(catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet
4 mg, 8 mg dan 16 mg)
MMF dimulai saat terapi steroid dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23
mg/kg/dosis tiap 12 jam, dosis maksimal 1 g tiap 12 jam).
Periksa darah lengkap tiap bulan.
Bila absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
Tunda pemberian MMF
Berikan GM-CSF (Leucogen ) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L.
Cek kadar mycophenolate jika perlu (target 2-4mg/L)
Efek samping :
Netropenia (khususnya dalam 1-6 bulan terapi), anemia, trombositopenia (jarang)
Gastritis, ulkus peptik, kolik abdomen, diare, perdarahan dan perforasi
gastrointestinal:
Mulai berikan ranitidin profilaksis 3 mg/kg/dosis tiap malam (maksimal 150 mg) atau
omeprazole 1 mg/kg/dosis tiap malam atau 2 kali sehari (maksimal 120 mg, 3 kali sehari).
Pertimbangkan pengubahan terapi ke Myfortic jika terdapat efek samping gastrointestinal.
Ekivalensi dengan Myfortic :
Myfortic 180 mg = MMF 250 mg
Myfortic 360 mg = MMF 500 mg.

atau

Cyclophosphamide (CPA) puls 500-1000 mg/m2:


o Tiap 4 minggu sebanyak 6 siklus
o Periksa darah lengkap:
Pada hari ke-7, 10, 14 sesudah puls untuk melihat titik nadir leukosit darah
Berkala tiap bulan.
Bila leukosit darah <4,0x109/L atau absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
Tunda pemberian CPA
Berikan GM-CSF (Leucogen ) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L
Turunkan dosis sebesar 20% pada pemberian selanjutnya.

II. Terapi suportif


Anti-proteinuria:
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
Anti-hipertensi:
o Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
o Nifedipin 0,25-1 mg/kg/dosis
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
o Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (tiap 12 jam)
Hindari obat anti-inflamasi non-steroid
III. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujukan ke Bagian Mata untuk monitor efek samping obat dan komplikasi hipertensi jangka
panjang.
9. Edukasi 1. Pentingnya kepatuhan dalam pengobatan jangka panjang.
2. Pentingnya memonitor kondisi klinis dan efek samping obat secara berkala dan bahwa terapi
farmakologik dapat dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 109


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK


13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita Henoch-Schönlein purpura nefritis anak akan terkontrol setelah 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Albar H. Nefritis Henoch-Schönlein. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo
RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:102-11.
2. Bagga A, Menon S. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical
Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 137-41.
3. Coppo R, Amore A. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1111-26.
4. Davian JC. Henoch-Schönlein purpura nephritis: pathophysiology treatment, and future
strategy. Clin J Am Soc Nephrol 2011;6:679-89.
5. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO
Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2.
6. Liu DI, Yap HK. Management of Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI,
Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University
Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 160-6.
7. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2002:323-61.
8. Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam:
Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39.
9. Van Why SK, Avner ED. Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1789.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 110


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPERTENSI PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan
umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
2. Anamnesis Hipertensi ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala.
Gejala-gejala dapat berupa sakit kepala, pusing, nyeri perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun,
keringat berlebihan, murmur, epistaksis, palpitasi, poliuri, proteinuri, hematuri, atau retardasi pertumbuhan.
Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya
efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran
dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat
ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil
atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
4. Kriteria Diagnosis Nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan umur, jenis kelamin
dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
5. Diagnosis Hipertensi
6. Diagnosis Banding 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik,
lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Sch nlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG,
IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab
hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif,
penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula
disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer dibagi dalam 2 tahap. Pemeriksaan tahap 2
Penunjang dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 didapatkan kelainan, dan jenis pemeriksaan yang dilakukan
disesuaikan dengan kelainan yang didapat.
2. Pemeriksaan tahap 1 meliputi pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal (urinalisis, biakan urin,
kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, darah lengkap dan USG ginjal); pemeriksaan
untuk mendeteksi penyakit endokrin (elektrolit serum, aktivitas renin plasma dan aldosteron, katekolamin
plasma, katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin, aldosteron dan metabolit steroid dalam urin (17
ketosteroid dan 17 hidrokortikosteroid)); dan evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target meliputi EKG
dan ekokardiografi yang dapat menunjukkan pembesaran ventrikel kiri; foto toraks yang dapat
menunjukkan adanya pembesaran jantung dengan edema paru; funduskopi dapat dilihat adanya kelainan
retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina; dan CT
scan kepala yang dapat menemukan atrofi otak yang bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa
gejala sisa.
3. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan untuk evaluasi diagnostik ke arah penyebab hipertensi sekunder seperti
anti Streptolisin O (ASTO), komplemen 3 (C3), kultur hapusan tenggorok/keropeng infeksi kulit, sel LE, uji
serologi untuk SLE, miksio sistouretrografi (MSU), biopsi ginjal, CT ginjal, Tc 99m DTPA atau DMSA scan,
renografi, arteriografi, Digital Subtraction Angiography (DSA), CT kelenjar adrenal atau abdomen, scanning
adrenal dengan l131 meta-iodobenzilguanidin, katekolamin vena kava, analisis aldosteron dan elektrolit
urin, uji supresi dengan deksametason, renin vena renalis.
8. Terapi Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap
penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan
gejala klinis, perlu diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas,
hiperlipidemia, kebiasaan merokok dan intoleransi glukosa.
Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95
berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan anak. Pada anak dengan hipertensi kronik, dianjurkan untuk
menurunkan tekanan darah sebesar 20-30% dalam waktu 60-90 menit.
Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.

I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke-
95 untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:

Golonga Jenis Dosis dan Dosis maksimal Efek samping


n obat obat interval Anak Dewasa
Angiotens Kaptopril 0,1 6 50 mg tiap 8 Teratogenik.
in mg/kg/kali, mg/kg/hari, jam Pemeriksaan serum
convertin tiap 8 jam tiap 8 jam 450 mg/hari kreatinin dan kalium
g enzyme Neonatus: Neonatus: berkala.
inhibitor 0,03 2 mg/kg/hari Dapat dibuat
(ACE-I) mg/kg/hari suspensi.
Lisinopril 0,1 0,2-1 5 mg/hari Hati-hati pemakaian
mg/kg/hari mg/kg/hari atau 10-20 pada penyakit ginjal

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 111


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPERTENSI PADA ANAK


mg/hari dengan proteinuria
dan diabetes
mellitus.
Angiotens Losartan 0,5-0,7 1,4 100 mg/hari Teratogenik.
in mg/kg/kali, mg/kg/kali, Pemeriksaan kadar
receptor tiap 24 tiap 24 jam serum kreatinin dan
blocker jam kalium.
(ARB) Losartan dapat
dibuat suspensi.
FDA membatasi
pemakaian losartan

tahun dan kreatinin

ml/menit/1,73 m2.
Calcium Amlodipi 0,05 0,2 0,6 Dapat menyebabkan
channel n mg/kg/hari mg/kg/hari mg/kg/hari takikardi dan
blocker , 20 mg/hari edema.
(CCB) tiap 24
jam
Nifedipin 0,25 0,5 20 mg,
mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6-8 jam
tiap 6-8 tiap 6-8 jam
jam
Extende 0,25-0,5 3 mg/kg/kali, 120 mg/hari
d mg/kg/kali, tiap 12-24
release tiap 12-24 jam
Nifedipin jam
Alpha and Labetalo 1-2 10 600 mg/kali, Kontraindikasi pada
beta l mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6 jam penderita asma dan
blocker tiap 12 tiap 6 jam gagal jantung,
jam diabetes mellitus
yang tergantung
insulin.
Carvedil 0,08 0,75 25 mg tiap
ol mg/kg/kali, mg/kg/kali, 12 jam
tiap 12 tiap 12 jam
jam
(naikkan
0,08
mg/kg/kali
tiap 1-2
minggu)
Beta Atenolol 0,5-1 8 100 mg/hari Non-cardioselective
blocker mg/kg/hari mg/kg/hari, agents.
, tiap 12-24 Tidak digunakan
tiap 12-24 jam pada penderita
jam diabetes mellitus,
Propano 0,2-0,5 2 mg/kg/kali, 80 mg/kali, asma, gagal
lol mg/kg/kali, tiap 6-12 tiap 6-12 jantung.
tiap 6-12 jam jam
jam
Central Klonidin 5-10 0,9 mg/hari 2,4 mg/hari Mulut kering atau
alpha mcg/kg/ha sedasi.
blocker ri, Rebound
tiap 8-12 hypertension.
jam Pemberian dengan
(naikkan beta blocker dapat
sampai menyebabkan
5-25 bradikardia.
mcg/kg/ha
ri,
tiap 6 jam)
Periphera Prazosin Test dose: 0,5 5 mg Dapat menyebabkan
l alpha 0,005 mg/kg/hari, tiap 6-12 hipotensi atau
antagonis mg/kg tiap 6-12 jam sinkop, terutama
ts (maksimu jam seteleh dosis
m 0,25 pertama

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 112


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPERTENSI PADA ANAK


mg)
0,025-0,1
mg/kg/kali,
tiap 8-12
jam
Diuretik Hidroklo 1-1,5 4 mg/kg/hari 50 mg Harus dimonitor
rotiazid mg/kg/kali, tiap 12-24 kadar elektrolit
tiap 12-24 jam secara periodik
jam Berguna sebagai
Furosem 0,5-1 12 240 mg terapi tambahan
id mg/kg/kali, mg/kg/hari tiap 4-6 jam, pada penyakit ginjal
tiap 6-24 maksimal 2 Hiperkalemia berat,
jam g/kali terutama bila
Spironol 1 3,3 100 mg/hari dikombinasi dengan
akton mg/kg/hari mg/kg/hari, ACE-I atau ARB
, tiap 6-12
tiap 12-24 jam
jam

Cara penurunan dosis obat anti hipertensi (Step-Down Therapy)


Penurunan obat antihipertensi secara bertahap perlu dilakukan pada anak, setelah tekanan darah terkontrol
dalam batas normal untuk suatu periode waktu. Petunjuk untuk langkah penurunan dosis obat-obat antihipertensi
pada anak dan rernaja seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Petunjuk untuk step-down therapy pada bayi, anak atau remaja

Bayi Kenaikan tekanan darah terkontrol untuk 1 bulan.


Dosis obat tidak ditingkatkan dan bayi terus tumbuh.
Bila tekanan darah tetap konstan dan terkontrol, dosis obat diturunkan setiap minggu dan
berangsur-angsur dihentikan.

Anak / Remaja
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah
dengan interval waktu 6-8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi.
Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila
memungkinkan berangsur-angsur dihentikan.

II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 113


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIPERTENSI PADA ANAK


4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry:
factors common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry:
technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor.
Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW,
Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1639-
47.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in
children and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda,
Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 227-39.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 114


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg
yang meliputi:
Hipertensi urgensi: peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan organ target dengan gejala klinis (sakit
kepala, mual, pandangan kabur)
Hipertensi emergensi: peningkatan tekanan darah dengan kerusakan organ target (otak, jantung, mata, ginjal)
dan gejala klinis
2. Anamnesis Pada krisis hipertensi dapat timbul ensefalopati hipertensif, hemiplegi, gangguan penglihatan dan
pendengaran, parese nervus fasialis, penurunan kesadaran, bahkan sampai koma. Dekompensasi kordis
dengan edema paru yang ditandai dengan gejala oleh gejala edema, dispnea, sianosis, takikardi, ronki,
kardiomegali, suara bising jantung, dan hepatomegali.
Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya
efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran
dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat
ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil
atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
4. Kriteria Diagnosis Peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg
Dengan atau tanpa kerusakan target organ (otak, jantung, mata, ginjal)
5. Diagnosis Krisis Hipertensi
6. Diagnosis Banding 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik,
lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Sch nlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG,
IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab
hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif,
penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula
disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.
7. Pemeriksaan 1. Funduskopi: kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah
Penunjang arteriol retina.
2. Foto toraks: pembesaran jantung dengan edema paru.
3. EKG: kadang-kadang ditemukan pembesaran ventrikel kiri.
4. CT-scan kepala: kadang-kadang ditemukan atrofi otak. Bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa
gejala sisa.
5. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer seperti pada protokol Hipertensi pada Anak.
8. Terapi Pada krisis hipertensi, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap dalam waktu 24 jam, dengan
penurunan awal sebesar 25% dalam 8 jam pertama.
Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.

I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut:

Obat Cara Dosis awal Respo Lamany Efek samping/


pemberian n awal a Komentar
respon
Nifedipin Oral atau 0,25-0,5 mg/kg, Hanya pada
sublingual tiap 30 menit, penderita yang
maks. 20 mg sadar baik
Diazoksid Intravena 1-3 mg/kg bolus, 15 4-24 jam Nausea,
cepat kemudian menit hiperglikemia,
(1-2 menit) 2-5 mg/kg/kali tiap retensi natrium,
6 jam, maks.150 takikardia,
mg hipotensi bila
bersama anti-
hipertensi lain,
gangguan
gastrointestinal,
hiperurisemia,
trombositopenia
Natrium Pompa infus 0,25-8 2 1-10 Membutuhkan
nitroprusid kontinyu mcg/kg/menit, menit menit pengawasan
naikkan 25% tiap terus menerus,
5-10 menit, maks. risiko keracunan
konsentrasi final = tiosianat

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 115


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


200 mcg/ml (terutama pada
(bila tidak gangguan ginjal
membaik dengan dan hati).
dosis maksimal Kontraindikasi:
>10 menit:stop koarktasio aorta,
karena toksik) tekanan
intrakranial
meningkat,
perdarahan
intrakranial.
Furosemid Intravena 1-5 mg/kg/kali, 2-5 2 jam Hiponatremia,
tiap 6 jam, menit hipokalemia
maks.240 mg
Pompa infus 0,1-1 mg/kg/jam
kontinyu
Klonidin Intravena, 0,002 mg/kg/kali, IV: 5 Beberap Mengantuk,
intramuskular ulangi tiap 4-6 menit a jam mulut kering,
jam, dosis bisa IM: rebound
dinaikkan 3x lipat lebih hypertension
lama
Gliseril Pompa infus 1-10 menit menit Bradikardia,
trinitrit kontinyu mcg/kg/menit, takikardia, sakit
maks. 400 kepala, muntah,
mcg/menit methemoglobine
mia
Keuntungan:
awitan dan
hilangnya efek
cepat,
mengurangi
spasme koroner,
afterload dan
preload
Nikardipin Pompa infus 1-3 mcg/kg/menit, 1-2 2-4 jam Peningkatan
kontinyu maks. 250 jam tekanan
mcg/menit intracranial,
reflex
tachycardia,
flushing, sakit
kepala,
hipotensi,
edema perifer,
gangguan
gastrointestinal

II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.

III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)


Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 116


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita krisis hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry:
factors common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry:
technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor.
Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW,
Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1639-
47.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in
children and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda,
Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 227-39.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 117


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TERAPI METILPREDNISOLON PULS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan pemberian terapi metil-prednisolon secara puls untuk anak.
2. Indikasi Gangguan imunitas tubuh
Terapi anti-penolakan untuk allograft rejection.
3. Persiapan Skrining terhadap infeksi:
o Infeksi Virus Varisela-zoster (VZV)
Periksa riwayat terakhir infeksi virus varisela-zoster atau imunisasi VZV
Konfirmasi kekebalan pasien terhadap varisela-zoster (titer IgG-VZV)
Periksa jika pasien baru terpapar (dalam 3 minggu sesudah kontak) terhadap VZV. Jika ragu,
periksa titer IgM-VZV.
o Infeksi lain
Pastikan pasien tidak mengalami infeksi dalam 2 minggu terakhir.
Memastikan tekanan darah dalam batas normal sebelum memulai pemberian metilprednisolon puls.
Pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum pemberian puls.
4. Prosedur pelaksanaan Hentikan prednison per oral.
Dosis metilprednisolon intravena: 10-30 mg/kg/tiap hari atau alternating berdasarkan protokol (dosis
tunggal maksimal 1 g/hari)
Berikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB (tergantung fungsi ginjal) sebelum pemberian infus
metilprednisolon puls.
Larutkan metilprednisolon sesuai kebutuhan dalam 20 ml cairan Dekstrosa 5% atau Dektrosa 5% 0,45%
salin.
Berikan metilprednisolon secara infus selama 30-60 menit.
Dosis kurang dari 250 mg dapat diberikan secara bolus pelan.
Efek samping pemberian secara bolus dosis besar meliputi aritmia jantung, pembuluh darah kolaps atau
henti jantung (mengandung benzil alkohol).
Monitor tanda vital meliputi denyut nadi, laju nafas, tekanan darah tiap 15 menit selama pemberian secara
infus; dilanjutkan tiap jam selama 4 jam pertama (post infus); lalu setiap 4 jam selama 24 jam.
5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
9. Indikator Medis 90% penderita yang mendapatkan terapi metilprednisolon puls tidak didapatkan komplikasi
10. Kepustakaan 1. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 186.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 118


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan inflamasi multisystem dan adanya circulating
autoantibodies terhadap self-antigens dengan keterlibatan ginjal yang diklasifikasikan berdasarkan
kriteria International Society of Nephrology/Renal Pathology Society menjadi 6 kelas melalui biopsi
ginjal.
2. Anamnesis Gejala sistemik: ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, nyeri sendi, nyeri pleuritik, bengkak,
kencing berbusa atau berwarna seperti teh, kejang, psikosis, pucat.
3. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pemeriksaan organ sistemik dan pengukuran tekanan darah.
4. Kriteria Diagnosis Adanya 4 dari 11 kriteria dari American College of Rheumatology 1997:
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus oral
5. Artritis
6. Pleuritis atau perikarditis
7. Gangguan ginjal (harus ada) berupa proteinuria persisten atau torak seluler
8. Gangguan neurologi
9. Gangguan hematologi
10. Gangguan imunologi
11. Antinuclear antibody (ANA) positif
5. Diagnosis Nefritis Lupus
6. Diagnosis Banding 1. Drug-induced lupus
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Diagnostik: komplemen C3 dan C4, anti-dsDNA, ANA, lupus anticoagulant, IgG dan IgM anti-
cardiolipin, IgG dan IgM anti-beta 2 glikoprotein, anti-ENA (bila memungkinkan) yaitu anti-Ro,
anti-La, anti-Sm, anti-RNP, anti-SCL70, anti-Jo1.
2. Keterlibatan organ sistemik: darah lengkap, retikulosit, hapusan darah tepi, direct Coomb’s test,
laju endap darah, CRP, sedimen urine, protein urine, BUN, kreatinin, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, fosfat, klorida), bikarbonat, asam urat, alkali fosfatase, albumin, SGOT, SGPT, bilirubin,
kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, foto toraks, ekokardiografi.
8. Terapi I. Terapi imunosupresan berupa kortikosteroid dan cortisteroid sparing agents
Steroid perlu dikombinasi dengan sparring agents (mycophenolate mofetil atau MMF,
calcineurin inhibitor atau CNI, cyclophosphamide atau CPA) untuk meminimalkan efek
samping steroid jangka panjang. Kombinasi yang disarankan adalah:
- Steroid + MMF ± CNI
- Steroid + CPA

Fase induksi selama 6 bulan:


Metilprednisolon puls intravena tiap 2-4 minggu dengan dosis 10-30 mg/kg/hari (maksimal 1
gram) selama 3 hari sebanyak 6 siklus.
Predniso(lo)n oral dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/kg/hari (maksimal 30 mg) tiap hari, dan
diturunkan bertahap 5 mg/hari dalam waktu 1 bulan sesudah pemberian metilprednisolon
puls dan tergantung aktivitas penyakit. Penurunan dosis predniso(lo)n oral dilakukan selama
6-12 bulan dan dapat diubah menjadi dosis selang sehari jika proteinuria turun hingga <0,3
mg/hari/1,73 m2 dan kadar C3, C4 serum normal sampai dosis minimal yang dapat
mengendalikan aktivitas penyakit.
Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral:
Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg
(catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet
4 mg, 8 mg dan 16 mg)
MMF oral dimulai bersamaan metilprednisolon puls dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12
jam (15-23 mg/kg/dosis tiap 12 jam). Dosis maksimal 1 g tiap 12 jam.
Cek darah lengkap tiap bulan.
Bila absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
Tunda pemberian MMF
Berikan GM-CSF (Leucogen ) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L.
Cek kadar mycophenolate jika perlu (target 2-4 mg/L)
Efek samping :
Netropenia (khususnya dalam 1-6 bulan terapi), anemia, trombositopenia (jarang)
Gastritis, ulkus peptik, kolik abdomen, diare, perdarahan dan perforasi gastrointestinal:
o Mulai berikan ranitidin profilaksis 3 mg/kg/dosis tiap malam (maksimal 150 mg) atau
omeprazole 1 mg/kg/dosis tiap malam atau 2 kali sehari (maksimal 120 mg, 3 kali
sehari).
o Pertimbangkan pengubahan terapi ke Myfortic jika terdapat efek samping

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 119


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


gastrointestinal.
Ekivalensi dengan Myfortic :
Myfortic 180 mg=MMF 250 mg
Myfortic 360 mg = MMF 500 mg.
CNI terdiri dari Cyclosporin A(CsA) dan tacrolimus (Tac)
Tambahkan CsA oral jika terdapat proteinuria persisten >1 g/hari/1.73 m2 setelah 3 bulan
terapi, dengan kreatinin serum normal
Dosis :
CsA: 3-6 mg/kg/hari (dosis tiap 12 jam) untuk mencapai kadar CsA darah 150-200
µg/L
Tac: 0.2 mg/kg/hari (dosis tiap 12 jam) untuk mencapai kadar Tac darah 8-10 µg/L
Gunakan diltiazem 15-30 mg tiap 8-12 jam untuk meningkatkan kadar CNI, naikkan 15
mg/dosis hingga maksimal 60 mg tiap 8-12 jam.
Monitor:
- Kadar CNI tiap 4-6 minggu setelah kadar yang diinginkan tercapai
- Kadar kreatinin serum tiap 4-6 minggu, dan jika meningkat 25%, turunkan dosis CNI
20% untuk melihat apakah terjadi nefrotoksik akibat CNI
- Kadar gula darah tiap 4-6 minggu, lalu tiap 3 bulan jika memakai Tac
- Kadar HbA1c tiap 6 bulan jika memakai Tac.
Efek samping yang umum didapatkan:
- Nefrotoksik
- Gejala neurologis (tremor, nyeri kepala)
- Hirsutisme dan hipertrofi gusi (CsA)
- Intoleransi glukosa dan diabetes melitus (Tac).
Interaksi obat yang penting diperhatikan:
- Antibiotika jenis makrolid meningkatkan kadar CNI
- Inhibitor HMG CoA reduktase (statin)
Pemakaian bersamaan dapat menyebabkan rabdomiolisis, mialgia dan kelemahan
otot (khususnya pada pemakaian simvastatin)
Monitor kadar kreatinin kinase atau aldolase tiap 4-6 minggu, lalu tiap 3 bulan jika
pasien memakai statin.
CNI dilanjutkan selama 3-6 bulan dan dihentikan saat remisi lengkap dicapai.

CPA puls 500-1000 mg/m2 diberikan tiap 4 minggu sebanyak 6 siklus.


Periksa darah lengkap:
Pada hari ke-7, 10, 14 sesudah puls untuk melihat titik nadir leukosit darah
Berkala tiap bulan.
Bila leukosit darah <4,0x109/L atau absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
Tunda pemberian CPA
Berikan GM-CSF (Leucogen ) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L
Turunkan dosis sebesar 20% pada pemberian selanjutnya.

Fase rumatan:
Predniso(lo)n oral diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
MMF oral di diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
CsA dan Tac diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis mencapai remisi, kemudian dapat
dipertimbangkan untuk dihentikan
CPA puls diberikan setiap 3 bulan selama 24 bulan (total masa pengobatan adalah 30
bulan), kemudian dihentikan.

II. Terapi suportif


Klorokuin difosfat (Resochin ) 3 mg/kg/hari
o skrining oftalmologi tiap 6 bulan untuk retinopati yang diinduksi klorokuin (gangguan
penglihatan warna, gangguan visus, pandangan kabur,fotofobia, skotoma, pigmentary
retinopathy reversibel)
Anti-proteinuria:
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
Anti-hipertensi:
o Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
o Nifedipin 0,25-1 mg/kg/dosis
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
o Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (tiap 12 jam)
Anti-kolesterol:

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 120


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


o Lovastatin 0,4-0,8 mg/kg/dosis (tiap 12-24 jam)
Anti-sindroma antifosfolipid:
o Aspirin 5 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
o Rivaroxaban (Xarelto ) 10 mg/hari
o Warfarin (sesuai International Normalized Ratio/INR)
Loading dose :
Hari 1: 0,2 mg/kg ( dosis maksimal 10 mg)
Hari 2-4 :jika INR = 1,1-1,3,ulang loading dose awal
Jika INR= 1,4-1,9, berikan 50% loading dose awal
Jika INR = 2-3, berikan 50% loading dose awal
Jika INR = 3,1-3,5, berikan 25% loading dose awal
Jika INR >3,5, tunda warfarin dan periksa INR tiap hari hingga INR <3,5, lalu restart
dengan memberikan 50% dosis sebelumnya
Dosis rumatan (hari ke-5 dan selanjutnya):
Jika INR =1,1-1,4, naikkan dosis 20 % dari dosis sebelumnya
Jika INR =1,5-1,9, naikkan dosis 10 % dari dosis sebelumnya
Jika INR = 2-3, dosis tetap
Jika INR =3,1-3,5, turunkan dosis 10 % dari dosis sebelumnya
Jika INR >3,tunda warfarin dan cek warfarin hingga INR <3,5, lalu restart dengan
memberikan 50 % dosis sebelumnya
Jika terdapat kesulitan dalam mempertahankan INR selama terapi, pasien dapat diterapi
dengan low molecular weight (LMW) heparin, atau warfarin dosis lebih rendah ditambah
aspirin.

Hindari obat anti-inflamasi non-steroid

III.Plasmaferesis
Indikasi : trombosis mikroangiopati.
Dosis : 5-10 siklus, tergantung respon yang tampak pada remisi microangiopathic hemolytic
anemia (MAHA), aktivitas lupus nefritis, dan perbaikan fungsi ginjal.
Dilakukan bersamaan dengan protokol imunosupresif yang dipilih.

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)


Rujukan ke Bagian Mata untuk monitor efek samping obat dan komplikasi hipertensi jangka
panjang.
9. Edukasi 1. Pentingnya kepatuhan dalam pengobatan jangka panjang.
2. Pentingnya memonitor kondisi klinis dan efek samping obat secara berkala dan bahwa terapi
farmakologik dapat dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita nefritis lupus anak akan remisi setelah 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Alatas H. Nefritis lupus. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:366-80.
2. Alatas H. Nefritis lupus pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo
RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:118-23.
3. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, Fitzgerald JD, et al. American
College of Rheumatology guidelines for screening, treatment and management of lupus
nephritis. Arthritis Care Res 2012; 64:797-808.
4. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the
classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997; 40:1725.
5. Hong X, Wong SN. Lupus nephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 146-
54.
6. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO
Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2.
7. Niaudet P, Salomon R. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 121


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


2009:1127-53.
8. Pan CG, Avner ED. Glomerulonephritis associated with systemic lupus erythematosus. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1788-9.
9. Sng A, Lau PYW, Liu DI, Yap HK. Management of lupus nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay
WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University
Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 136-53.
10. Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam:
Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 122


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENCEGAHAN NEFROPATI KONTRAS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan dimana didapatkan gangguan fungsi ginjal dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) sebesar dari harga dasar (baseline) dalam waktu 3 hari sesudah pemberian media
kontras secara intravaskular tanpa penyebab lain. Biasanya peningkatan kreatinin serum mencapai
puncak dalam 3-5 hari sesudah pemberian media kontras dan akan kembali ke baseline dalam waktu
1-3 minggu.
2. Faktor Risiko Faktor pasien:
o Penyakit ginjal kronik (PGK)
o Nefropati diabetik
o Hipovolemia
o Hipotensi
o Anemia
o Curah jantung menurun
o Penggunaan obat-obatan nefrotoksik
Faktor teknis prosedural:
o Dosis media kontras
Injeksi kontras multipel dalam 72 jam
Volume media kontras
o Rute media kontras
Intraarterial
o Jenis media kontras
Osmolalitas
Viskositas
3. Indikasi Pasien yang akan menjalani prosedur pemeriksaan dan/atau intervensi radiologis dengan kontras,
dengan kondisi klinis:
LFG <60 ml/menit/1,73 m2
Gangguan ginjal yang mendapatkan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dalam 24 jam
sebelum/sesudah prosedur
Hipovolemia yang berisiko mengalami nekrosis tubular akut
4. Tindakan Pencegahan 1. Gunakan metode pemeriksaan alternatif yang tidak memerlukan media kontras
2. Gunakan dosis media kontras yang lebih rendah
3. Hindari pelaksanaan prosedur berulang dalam waktu berdekatan antara 48-72 jam (minimal
interval ideal adalah 2 minggu)
4. Hindari hipovolemia
5. Hentikan penggunaan obat-obatan nefrotoksik (seperti OAINS, diuretika, aminoglikosida)
minimal 24 jam sebelum pemberian media kontras
6. Pemberian hidrasi:
Normal salin 0,9% dengan kecepatan 1 ml/kg/jam yang dimulai 12 jam sebelum prosedur
dan diteruskan sampai 12 jam sesudah prosedur (total waktu pemberian 24 jam)
Natrium bikarbonat 8,4% dengan kecepatan 3 ml/kg/jam selama 1 jam sebelum prosedur,
dilanjutkan dengan 1 ml/kg/jam selama 6 jam sesudah prosedur
N-acetylcysteine oral:
o 1 bulan-2 tahun: 400 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan
o >2 tahun: 600 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan
7. Monitor fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit serum (natrium, kalium, klorida) dan bikarbonat:
Baseline sebelum prosedur
Sesudah prosedur: 2 jam, 24 jam, 48 jam
8. Monitor produksi urine sebelum dan sesudah prosedur.
5. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal
minggu kedua. Bila didapatkan peningkatan serum kreatinin yang menetap, sebaiknya perlu
dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 3 bulan
pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan
terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian.
Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau
kemajuan pengobatan dan bila perlu dapat dilakukan dialisis.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika
terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele.
6. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
7. Tingkat Evidens I/II/III/IV
8. Tingkat Rekomendasi A/B/C
9. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 123


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PENCEGAHAN NEFROPATI KONTRAS PADA ANAK


4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
10. Indikator Medis 80% penderita nefropati kontras akan membaik dalam waktu 2 minggu perawatan
11. Kepustakaan 1. ACT investigators. Acetylcysteine for prevention of renal outcomes in patients undergoing
coronary and peripheral vascular angiography: main results from the randomized
Acetylcysteine for Contrast-Induced Nephropathy Trial (ACT). Circulation 2011; August
22 [Epub ahead of print].
2. Marenzi G, Assanelli E, Marana I, Lauri G, Campodonico J, Grazi M, et al. N- Acetylcysteine
and contrast-induced nephropathy in primary angioplasty. N Engl J Med 2006; 354:2773-
82.
3. Solomon R. The role of osmolality in the incidence of contrast-induced nephropathy: a
systematic review of angiographic contrast media in high risk patients. Kidney Int 2005;
68:2556-63.
4. Stacul F, van der Molen AJ, Reimer P, Webb JAW, Thomsen HS, Morcos SK, et al.
Contrast induced nephropathy: updated ESUR Contrast Media Safety Committee
guidelines. Eur Radiol 2011; August 25 [Epub ahead of print].
5. Yap HK, Resontoc LPR. Preventing contrast nephropathy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 14-7.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 124


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ANEMIA RENAL PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan dimana didapatkan penurunan jumlah sel darah merah akibat penyakit ginjal kronik (PGK)
dengan sebab multifaktorial, terutama defisiensi eritropoeitin.
2. Anamnesis Pucat
Lemah atau malaise, mudah lelah
Nyeri seluruh tubuh (mialgia)
Gejala ortostatik
Sinkop
Nyeri dada, jantung berdebar
Gangguan tidur, sulit konsentrasi
Nafsu makan menurun
Riwayat PGK
3. Pemeriksaan Fisik Konjungtiva anemis
Hipotensi ortostatik, takiaritmia
Takipnea
Hepatosplenomegali
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis anemia
2. Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia:
Pada anak <1 tahun bila kadar Hb kurang dari -2SD sesuai umur, yaitu:
o Lahir: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD)
o 1-3 hari: Hb 18,5 g/dl (rerata); Hb 14,5 g/dl (-2SD)
o 1 minggu: Hb 17,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD)
o 2 minggu: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 12,5 g/dl (-2SD)
o 1 bulan: Hb 14,0 g/dl (rerata); Hb 10,0 g/dl (-2SD)
o 2 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,0 g/dl (-2SD)
o 3-6 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,5 g/dl (-2SD)
o 6-24 bulan: Hb 12,0 g/dl (rerata); Hb 10,5 g/dl (-2SD)
Pada anak >1 tahun bila Hb kurang dari persentil ke-5 sesuai umur dan jenis kelamin, yaitu:
o 1-2 tahun: Hb 10,7 g/dl (laki-laki); Hb 10,8 g/dl (perempuan)
o 3-5 tahun: Hb 11,2 g/dl (laki-laki); Hb 11,1 g/dl (perempuan)
o 6-8 tahun: Hb 11,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan)
o 9-11 tahun: Hb 12,0 g/dl (laki-laki); Hb 11,9 g/dl (perempuan)
o 12-14 tahun: Hb 12,4 g/dl (laki-laki); Hb 11,7 g/dl (perempuan)
o 15-19 tahun: Hb 13,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan)
3. PGK
5. Diagnosis Anemia Renal
6. Diagnosis Banding 1. Anemia aplastik
2. Sirosis hati
3. Gangguan endokrin (hipertiroid, hipotiroid, hipoadrenal, hiperparatiroid).
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah tepi: indeks sel darah merah, hapusan darah tepi, hitung retikulosit
Pemeriksaan darah: panel besi (serum iron, ferritin, transferrin saturation, total iron-binding capacity (TIBC),
iron saturation), kadar vitamin B12 dan asam folat, fungsi hati (bilirubin, SGOT, SGPT), TSH, fungsi ginjal
(BUN, kreatinin), elektrolit dan bikarbonat
Biopsi sumsum tulang
Pemeriksaan radiologik didapatkan tanda bendungan pembuluh darah paru, dan kardiomegali
8. Terapi Pertimbangkan untuk mulai terapi bila Hb <11 g/dl.
Target terapi:
Hb 11-12 g/dl
Hct 33%.
1. Medikamentosa
rhEPO-alfa intravena (Eprex® atau Hemapo®)
o direkomendasikan untuk pasien dengan hemodialisis
o dosis awal: 50-75 U/kg 3x/minggu, periksa Hb/Hct tiap 1-2 minggu hingga target Hb/Hct
tercapai. Dosis dinaikkan hingga mencapai dosis maksimal 240 U/kg/dosis 3x/minggu
o dosis rumatan: 100-300 U/kg/minggu
o monitor tekanan darah untuk melihat perburukan hipertensi yang memerlukan terapi.
rhEPO-beta subcutan (Recormon®)
o direkomendasikan pada pasien pra-dialisis dan dengan dialisis peritoneal
o gunakan untuk pemberian secara subkutan bila terjadi aplasia sel darah merah murni pada
pemakaian rhEPO-alfa
o dosis: 75-150 U/kg/minggu. Dosis dinaikkan 25-50 U/kg/minggu tiap bulan hingga mencapai
dosis maksimal 240 U/kg/minggu. Target Hb/Hct seharusnya dapat dicapai dalam waktu 3
bulan.
Darbepoietin-alfa (Aranesp®)
o merupakan recombinant erythropoiesis stimulating protein terbaru (analog dengan rhEPO)
dengan 2 rantai oligosakarida tambahan, yang memberikan efek lebih lama, sehingga
membutuhkan frekuensi pemakaian lebih sedikit dibandingkan rhEPO
o diberikan secara subkutan atau intravena pada anak usia 7-16 tahun, dengan waktu paruh 21

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 125


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ANEMIA RENAL PADA ANAK


jam (12-25 jam) bila diberikan intravena dan 33 jam (16-44 jam) bila diberikan subkutan.
Bioavailabilitas pemberian subkutan 52%(32-70%)
o dosis awal: 0,45 mcg/kg/minggu subkutan atau intravena (diperkirakan setara dengan rhEPO
100 U/kg/minggu). Oleh karena Aranesp tersedia dalam prefilled syringe (Singapur) berisi 20
dan 40 mcg, dan akurasi dosis dipertanyakan bila sebagian isinya terbuang, maka penting
untuk menyesuaikan interval dosis sehingga lebih tepat bagi pasien dengan ukuran tubuh
berbeda (tabel 1)

o Pengurangan dosis darbepoetin-alfa secara bertahap


periksa darah lengkap tiap 2-4 minggu
jika Hb tidak naik minimal 1 g/dL dalam 4 minggu dan cadangan besi adekuat, dosis
darbepoetin-alfa dapat dinaikkan 25%. Peningkatan selanjutnya dilakukan dengan interval 4
minggu hingga respon yang diinginkan tercapai
jika Hb meningkat >2,5 g/dL dalam 4 minggu, dosis darbepoetin-alfa diturunkan 25-50%
tergantung kecepatan peningkatan Hb
jika Hb >14 g/dL, hentikan darbepoetin-alfa hingga Hb <13 g/dL, lalu kembali berikan
darbepoetin-alfa dengan dosis 25% lebih rendah dari dosis sebelumnya
perubahan dosis pada fase rumatan dilakukan dengan interval minimal tiap 2 minggu
jumlah maksimal darbepoetin-alfa yang aman diberikan dalam dosis tunggal atau ganda
belum dapat ditentukan. Dosis >3 mcg/kg/minggu selama lebih dari 28 minggu telah
diberikan pada pasien dengan PGK tanpa efek toksik darbepoetin-alfa sendiri.
Methoxy poliethylene glycol-epoetin beta (Mircera®)
o continuous erythropoetin receptor activator (CERA) adalah nama generik kelas obat baru dari
generasi ketiga erythropoietic-stimulating agents (ESAs)
o Mircera®, salah satu CERAs yang tersedia di pasaran, secara struktur sama dengan EPOs
sintetik yang sudah ada namun Mircera® terkoneksi dengan polyethylene glycol (PEG)
sehingga waktu paruh lebih lama (6x lebih lama daripada darbepoetin-alfa dan 20x lebih lama
daripada epoietin)
o pada pasien PGK, polyethylene glycol-epoetin beta bila diberikan secara intravena, waktu
paruhnya 134 jam (5,6 hari) dan klirens sistemik total 0,494 mL/jam/kg. Bila diberikan secara
subkutan, waktu paruhnya 139 jam (5,8 hari)
o penyesuaian dosis awal:
dosis awal 0,6 mcg/kg diberikan tiap 2 minggu secara intravena atau subkutan untuk
meningkatkan Hb >11 g/dL
jika kadar Hb ® dilanjutkan tiap bulan dengan dosis sebesar 2
kali dosis sebelumnya yang diberikan tiap 2 minggu
jika laju peningkatan Hb <1 g/dL selama lebih dari 1 bulan, dosis dapat ditingkatkan 25%
dari dosis sebelumnya
peningkatan selanjutnya sebesar 25% dapat dilakukan dalam interval 1 bulan hingga target
Hb tercapai
Mircera® tersedia dalam bentuk prefilled syringes berisi 30, 40, 50, 75, 100, 150, 200, 250
mcg methoxy polyethylene glycol-epoetin beta dalam 0,3 ml larutan
o titrasi dosis secara bertahap:
monitor darah lengkap tiap bulan
perlu monitor kadar Hb dan kepatuhan pada penyesuaian dosis karena belum banyak
pengalaman pada pasien dengan peritoneal dialisis
jika laju kenaikan Hb >2 g/dL dalam 1 bulan atau kadar Hb meningkat dan mencapai 12
g/dL, dosis diturunkan 25%
jika kadar Hb terus meningkat, terapi dihentikan hingga kadar Hb mulai turun, dan terapi
dimulai lagi dengan penurunan dosis 25% dari dosis sebelumnya
setelah dosis dihentikan, diharapkan Hb turun sebesar 0,35 g/dL tiap minggu
sebaiknya penyesuaian dosis dilakukan dengan interval minimal tiap 1 bulan
Pemberian hematinik:
o Suplemen besi
o Asam folat 50 mcg (neonatus), 0,1-0,25 mg (usia <4 tahun), 0,5-1,0 mg (usia >4 tahun)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 126


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ANEMIA RENAL PADA ANAK


oral/subkutan/ intravena/intramuskular
o Vitamin B12 20 mcg/kg
2. Suportif
Pemberian nutrisi yang adekuat
Koreksi hiperparatiroid sekunder
Hindari toksisitas aluminium
Atasi infeksi atau inflamasi kronis
Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 50% penderita anemia renal akan membaik dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Cano F, Alarcon C, Azocar M, Lizama C, Lillo AM, Delucchi A, et al. Continuous EPO receptor
activator therapy of anemia in children under peritoneal dialysis. Pediatr Nephrol 2011; 26:1303-10.
2. Lerner NB. Anemia of chronic disease and renal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor
NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2011:1653.
3. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. III. Clinical practice
recommendations for anemia in chronic kidney disease in children. Am J Kidney Dis 2006; 47(Suppl
3): S86-109.
4. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. 2007 update of hemoglobin target.
Am J Kidney Dis 2007; 50:471-530.
5. Sekarwana N. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:509-30.
6. Srivastava RN, Bagga A. Chronic renal failure. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 315-29.
7. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of chronic kidney disease. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:1661-92.
8. Yap HK. Anemia, renal osteodystrophy, growth failure in chronic renal failure. Dalam: Chiu MC, Yap
HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong:
Medcom Limited, 2005: 253-61.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Lau PYW. Renal anemia. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 32-40.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 127


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TERAPI SIKLOFOSFAMID PULS


PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL
1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan pemberian terapi siklofosfamid secara puls pada anak dengan penyakit ginjal.
2. Indikasi Vaskulitis terkait anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dengan necrotizing
glomerulonephritis atau glomerulonefritis kresentik:
o Induksi dengan metilprednisolon puls intravena 10-30 mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut
dan diberikan tiap bulan selama 6 bulan bersama dengan siklofosfamid intravena 500-1000
mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan.
o Predniso(lo)n oral 0,5-1 mg/kg/hari, dosis diturunkan bertahap sesuai respon.
o Fase rumatan: mikofenolat mofetil 600 mg/m2/dosis, diberikan 2 kali sehari selama 6 bulan.

Nefritis lupus ISN/RPS kelas III dan IV (terapi standar):


o Siklofosfamid puls intravena diberikan tiap bulan selama 6 bulan, lalu tiap 3 bulan selama 2½
tahun.
o Predniso(lo)n oral 0,5 mg/kg/hari, diturunkan bertahap 0,25 mg/kg alternating setelah tercapai
remisi.
3. Prosedur pelaksanaan Periksa berat badan dan tinggi badan, hitung luas permukaan tubuh saat masuk rumah sakit.
Pastikan pasien tidak ada tanda infeksi atau riwayat kontak dengan varisela zoster.
Pemeriksaan laboratorium :
o Darah lengkap
o Fungsi ginjal (BUN,kreatinin), elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfat, magnesium),
bikarbonat, asam urat
o Urinalisis.
Pemberian dosis siklofosfamid puls jika:
o Jumlah lekosit total >4,0x109/L atau
o Absolute neutrophil count >2,5x109/L.
Leukosit nadir (nilai terendah) terjadi 10-14 hari setelah pemberian puls:
o Pemeriksaan darah lengkap ulang pada hari ke- 7,10 dan 14.
o Jika leukosit nadir <1,0x109/L, turunkan dosis siklofosfamid berikutnya sebanyak 20%.
Pastikan hidrasi secara adekuat untuk mencegah terjadinya sistitis hemoragik :
o Kebutuhan cairan intravena 0,45% salin sebanyak 2 L/m2/hari.
o Tambahkan 10 ml KCl 7,45% per 500 ml kecuali pasien dengan gagal ginjal atau kalium
serum
o Berikan furosemid intravena jika pasien mengalami oliguria.
Monitor:
o Suhu badan, denyut nadi, laju nafas setiap jam dan tekanan darah setiap 4 jam
o Intake/output secara ketat
o Pastikan anak kencing setiap 2 jam saat terbangun dan setiap 3 jam saat tertidur untuk
mencegah terjadinya sistitis hemoragik.
Mulai siklofosfamid intravena dan diikuti Mesna® setelah 2 jam hidrasi intravena:
o Menit ke-0 Prometazin oral 0,5 mg/kg/dosis (maksimal 25 mg)
o Menit ke-15 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
(dilarutkan sebanyak 20 mg/ml dalam Dekstrosa 5%)
o Menit ke-30 Siklofosfamid intravena
Dosis = 500 mg/m2, 750 mg/m2, 1000 mg/m2
(dosis dapat dinaikkan tiap bulan sampai dosis
optimal tercapai untuk tiap pasien)
Dilarutkan dalam 100-150 ml Dekstrosa 5% atau
0,45% salin selama 1 jam.
Furosemid intravena 1 mg/kg (maksimal 2 mg/kg).
o Menit ke-90 Mulai kembali cairan intravena pra-siklofosfamid
o Jam ke-4½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-8½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-12 Timbang berat badan pasien:
Bila BB naik >1 kg : beri furosemid intravena 1 mg/kg
(maksimal 2 mg)
Bila pasien nefrotik berat atau oliguria:
ulangi laboratorium (BUN, kreatinin, natrium, kalium, klorida, magnesium
dan bikarbonat)
o Jam ke-12½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-16½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-24 Periksa pasien. Hentikan hidrasi bila klinis pasien
baik.
4. Efek samping Supresi sumsum tulang dengan netropenia.
Alopesia.
Toksisitas kandung kemih dengan sistitis hemoragik.
Kegagalan gonad: gagal ovarium pada 13% pasien <20 tahun dan pada 100% pasien >30 tahun.
Iritasi gastrointestinal: mual, muntah.
Gangguan elektrolit: hiponatremia, hipomagnesemia.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 128


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TERAPI SIKLOFOSFAMID PULS


PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL
Risiko keganasan.
5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
9. Indikator Medis 80% penderita yang mendapatkan terapi siklofosfamid puls tidak didapatkan komplikasi
10. Kepustakaan 1. Bosch X, Guilabert A, Espinosa G, Mirapeix E. Treatment of antineutrophil cytoplasmic
antibody-associated vasculitis. JAMA 2007;298:655-69.
2. Lehman TJ, Sherry DD, Wagner-Weiner L, McCurdy DK, Emery HM, Magilavy DB, et al.
Intermittent intravenous cyclophosphamide therapy for lupus nephritis. J Pediatr
1989;114:1055-60.
3. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 190-2.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 129


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid
dihentikan
2. Anamnesis Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid
dihentikan
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Dependen Steroid
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
Penunjang elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
Foto toraks AP
8. Terapi Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran
nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang
sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik
Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh
sering dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.

Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka
panjang.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 130


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK


3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 50% penderita sindrom nefrotik dependen steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 187-9.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 131


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
2. Anamnesis Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kambuh Jarang
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
Foto toraks AP
8. Terapi Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) pada pagi hari minimal selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama
4-16 minggu (masa pengobatan total 3-6 bulan)
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau
hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian
didapatkan serangan berulang sering, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan
lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik kambuh jarang akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 132


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK


2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 133


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
2. Anamnesis Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kambuh Sering
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
Penunjang elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
Foto toraks AP
8. Terapi Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran
nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang
sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik
Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.

Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka
panjang.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 134


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 50% penderita sindrom nefrotik kambuh sering akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 135


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK KONGENITAL DAN INFANTIL


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang terjadi sejak lahir (kongenital) atau pada usia 4 bulan sampai 1 tahun (infantil)
2. Anamnesis Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Usia: sejak lahir (kongenital), 4-12 bulan (infantil)
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kongenital atau Infantil
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
Foto toraks AP dan lateral kanan
Workup TB: uji tuberkulin, BTA lambung
8. Terapi Kontrol edema: transfusi albumin 20% 3-4 g/kg/hari selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg
saat transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai sampai tercapat target kadar albumin serum 1,5
g/dl.
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau
hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian
didapatkan serangan berulang, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik kongenital atau infantil akan memburuk dalam 1 bulan setelah terdiagnosis bila
tidak mendapatkan transfusi albumin yang adekuat
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 136


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK KONGENITAL DAN INFANTIL


2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 137


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid
2. Anamnesis Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
Foto toraks AP
8. Terapi Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas. Bila menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila
menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 4 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering
dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.
Bila tetap mengalami serangan:
o Metilprednisolon intravena 30 mg/kg (maksimal 1 gram) atau deksametason intravena 5 mg/kg
(maksimal 150 mg), diberikan selang sehari sebanyak 6 dosis; bergantian dengan predniso(lo)n oral 2
mg/kg/hari secara selang sehari.
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 138


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID PADA ANAK


11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 30% penderita sindrom nefrotik resisten steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Hari P, Bagga A, Mantan M. Short term efficacy of intravenous dexamethasone and
methylprednisolone therapy in steroid resistant nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2004; 41:993–
1000.
3. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
4. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
5. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
6. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
7. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
8. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
9. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 187-9.
10. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 139


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia.
2. Anamnesis Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
Penunjang elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
Foto toraks AP dan lateral kanan
Workup TB: uji tuberkulin, BTA lambung
8. Terapi Predniso(lo)n:
o Diberikan setelah workup TB selesai supaya tidak mempengaruhi hasil uji tuberkulin. Bila terinfeksi
TB, maka obat anti-tuberkulosis (OAT) diberikan bersamaan dengan predniso(lo)n
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari selama 4-6 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) pada pagi hari selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 4-16
minggu (masa pengobatan total 3-6 bulan)
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau
hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian
didapatkan serangan berulang, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 140


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK


2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 141


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

ASFIKSIA NEONATORUM

1. Pengertian Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang
(Definisi) menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis.

2. Anamnesis Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir.

3. Pemeriksaan Fisik Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap


Kulit sianosis
Tonus otot menurun
Denyut jantung <100 kali/ menit
Tidak ada respon terhadap reflek rangsangan

4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas
darah arteri apabila fasilitas tersedia
2. Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit
3. Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati
hipoksik iskemik
4. Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal

5. Diagnosis Asfiksia

6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, elektrolit, gula darah
Penunjang USG kepala
MRI kepala

8. Terapi Resusitasi
Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar
- Langkah awal resusitasi
Indikasi : bila terdapat salah satu jawaban tidak dari pertanyaan cukup bulan, bernapas atau
menangis, dan tonus otot baik
- Ventilasi tekanan positif (VTP)
Indikasi : apnu atau megap-megap, denyut jantung <100 x/menit, saturasi tetap di bawah nilai target
meskipun telah diberi O2 aliran bebas sampai 100%
- Ventilasi tekanan positif dan kompresi dada
Indikasi : denyut jantung <60 x/menit setelah 30 detik dilakukan VTP efektif

Terapi medikamentosa :

Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1
mL normal salin
- 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Hipovolemia
- Tidak ada respon dengan resusitasi
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 142


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

ASFIKSIA NEONATORUM
kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO 2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan
otak.

9. Edukasi Jaga kehangatan.


Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

Ad vitam : dubia ad malam


10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi

13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK


dr. Risa Etika, SpAK
dr. Martono Tri Utomo, SpAK
dr. Dina Angelika, SpA
dr. Kartika Darma Handayani, SpA

14. Indikator Medis Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan
Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi
lengkap (intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya
80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu

15. Kepustakaan 1. Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1-
302
2. American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5):
e1400-11.
3. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark
AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28.
4. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62.
5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease
and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 143


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM)

1. Pengertian Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes.
(Definisi) Kelainan spesifik yang sering ditemukan pada IDM :
Kelainan metabolisme
o Hipoglikemia
o Hipokalsemia
o Hipomagnesemia
Kelainan kardiorespirasi
o Asfiksia perinatal
o Hyaline membrane disease
o Kardiomiopati hipertropik
o Takipnea sementara pada neonatus
Kelainan hematologis
o Polisitemia dan hiperviskositas
o Hiperbilirubinemia
o Trombosis vena ginjal
Masalah morfologis dan fungsional
o Cedera lahir
o Kelainan bentuk bawaan (jantung, ginjal, saluran cerna, saraf, skeletal, wajah abnormal, mikroptalmos)

2. Anamnesis Riwayat ibu penderita diabetes


Riwayat bayi makrosomia
Riwayat bayi kecil untuk masa kehamilan
Riwayat ibu dengan penyakit ginjal, retina atau jantung

3. Pemeriksaan Fisik Pada saat lahir


IDM cenderung memiliki wajah sembab, pletorik, IDM juga gemetar dan hipereksitasi. Bayi dapat berukuran
besar atau kecil untuk masa kehamilan.
Setelah lahir
Hipoglikemia
Mungkin ditemui bersama dengan letargi, menyusu yang buruk, apnea, jitteriness pada 6-12 jam pertama
setelah kelahiran
Tanda gawat pernapasan
Penyakit jantung mungkin ditemui. Penyakit ini didiagnosis dengan rasio kardio-timus yang membesar pada
film rontgen dada atau melaui bukti fisik adanya gagal jantung
Kelainan bawaan mungkin tercatat pada pemeriksaan fisik

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis


Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Bayi dengan ibu diabetes melitus (IDM)

6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Hipotermia
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal
Penyakit neuromuskular
Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan Darah lengkap


Penunjang Hematokrit
o Pada saat lahir pada usia 4 sampai 24 jam
Kadar glukosa serum
o Diperiksa dengan menggunakan dextrostix pada saat lahir, tiap 6 jam selama 24 jam, dan selanjutnya
pada usia 36 dan 48 jam
o Pembacaan <45 mg/dL dengan menggunakan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran glukosa
serum
Kadar kalsium serum bila terdapat gejala kejang
o Jika kadar kalsium rendah, kadar magnesium serum harus diukur
Kadar bilirubin serum
o Seperti yang diindikasikan oleh pemeriksaan fisik
Pemeriksaan radiologi
o Tidak diperlukan kecuali terdapat bukti adanya masalah jantung, pernapasan, atau skeletal
Elektrokardiografi dan ekokardiografi : jika terdapat kardiomiopati hipertropik atau kelainan pembentukan
jantung
USG kepala
MRI kepala

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 144


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM)

8. Terapi Hipoglikemia
2-4 mL dekstrosa 10% selama 5 menit, diulang jika perlu
Infus glukosa 10% berkesinambungan dengan kecepatan 8-10 mg/kg/menit
Memulai pemberian asupan enteral sesegera mungkin
Kortikosteroid : pada hipoglikemia yang terus bertahan (hidrokortison 5 mg/kg/12 jam)
Mempertimbangkan pemberian glukagon dan epinefrin
Hipokalsemia
Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit
Memantau tanda ekstravasasi
Dosis juga diberikan melalui infus intravena berkesinambungan, 2-8 mL/kg/hari
Akan memberikan respon dalam 3-4 hari
Hipomagnesemia
Magnesium sulfat (MgSo4) 2mEq/kg/dosis setiap 6 jam IV atau IM

9. Edukasi Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus
Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik
sejalan dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C

Rekomendasi

13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK


dr. Risa Etika, SpAK
dr. Martono Tri Utomo, SpAK
dr. Dina Angelika, SpA
dr. Kartika Darma Handayani, SpA

14. Indikator Medis Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 1 minggu
15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40.
2. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 145


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK

1. Pengertian Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
(Definisi) laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.

2. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan
kesadaran.

3. Pemeriksaan Fisik Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan :
HIE Tingkat I
Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang-seling
Pemberian minum yang buruk
Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan
Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi
Tidak ada aktivitas kejang
Gejala hilang dalam 24 jam
HIE Tingkat II
Letargi
Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
Hipotonia
Denyut jantung menurun dan pupil konstriksi
50-70 % terdapat kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
HIE Tingkat III
Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
Koma
Flasidisitas
Tidak ada refleks
Pupil diam, sedikit reaktif
Apnea, bradikardia, hipotensi
Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis


Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis HIE Tingkat I


HIE Tingkat II
HIE Tingkat III

6. Diagnosis Banding Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
Darah lengkap
7. Pemeriksaan Gula darah
Penunjang Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
BUN dan serum kreatinin
Faal pembekuan darah
Faal hati
Analisa gas darah
Foto torak
Pungsi lumbal
EEG
USG kepala
MRI kepala

8. Terapi a. Upaya yang optimal adalah pencegahan


b. Resusitasi.
Ventilasi yang adekuat
Oksigenasi yang adekuat.
Perfusi yang adekuat
Koreksi asidosis metabolik
Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL
Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.
Ca glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak
diberikan secara intravena dalam waktu 5 menit.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 146


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK

Atasi kejang (lihat bab kejang pada neonatus)


Mencegah timbulnya edema cerebri. Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari.
Penggunaan glucocorticoid dan osmotic agents tidak direkomendasikan.
c. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat. Celah waktu (window of opportunity)
6-12 jam untuk mengurangi atau mencegah kerusakan otak pada neonatus yang timbul karena asfiksia
dengan cara memberikan suatu neuroprotektif :
Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan allopurinol, superoxide
dismutase, vitamin E, resusitasi dengan udara ruang
Hipotermi. Dengan cara selective head cooling, atau mild systemic hypothermia, atau selective head
cooling dan mild systemic hypothermia
Pemberian phenobarbital sebelum kejang dosis 40 mg/kg BB intravena dalam waktu 1 jam
Ca2+ channel blockers
Magnesium sulfat
d. Pengobatan suportif untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan

9. Edukasi Jaga kehangatan.


Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

10. Prognosis Asfiksia dengan HIE Tingkat I


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Asfiksia dengan HIE Tingkat II-III
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK
dr. Risa Etika, SpAK
dr. Martono Tri Utomo, SpAK
dr. Dina Angelika, SpA
dr. Kartika Darma Handayani, SpA

14. Indikator Medis Bayi bernapas spontan, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
Tidak didapatkan kejang
80% pasien akan sembuh dalam waktu 3 minggu

15. Kepustakaan 1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-
28.
2. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th
ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of
Neonatology 4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG, Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6th
ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35.
5. Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 147


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
(definisi) diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan
klinis bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.

2. Anamnesis Riwayat ikterus pada anak sebelumnya


Riwayat keluarga anemi dan pembesaran hati dan limpa
Riwayat penggunaan obat selama ibu hamil
Riwayat infeksi maternal
Riwayat trauma persalinan
Riwayat asfiksia

3. Pemeriksaan Fisik Umum :


Keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)
Khusus :
Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang
memadai.
Berdasarkan Kramer dibagi menjadi :

Derajat
Daerah ikterus Perkiraan kadar bilirubin
ikterus
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai 11,4 mg/dL
atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL

4. Kriteria Diagnosis Hiperbilirubinemia fisiologis


Terjadi peningkatan bilirubin indirek pada cukup bulan dengan puncak 6-8 mg/dL pada usia 3 hari
Kadar 12 mg/dL masih dalam batas fisiologis
Pada bayi prematur dapat meningkat 10-12 mg/dL pada usia 5 hari
Hiperbilirubinemia non fisiologis
Ikterus mulai sebelum berusia 36 jam
Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
Total bilirubin serum >15 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi susu formula
Total bilirubin serum >17 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi ASI
Ikterus klinis >8 hari pada bayi cukup bulan dan >14 hari pada bayi kurang bulan
Peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi
atau lebih dari persentil 90.

Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada
saat bayi pulang

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 148


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR


Nomogram- persentil ke-95 untuk kadar bilirubin serum
24 jam: 8 mg/ dL (137 M/ L)
48 jam: 14 mg/ dL (239 M/ L)
72 jam: 16 mg/ dL (273 M/ L)
84 jam: 17 mg/ dL (290 M/ L)
Hipebilirubinemia direk bila kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau kadar bilirubin direk
>20% dari bilirubin total bila bilirubin total >5 mg/dL.

5. Diagnosis Hiperbilirubinemia fisiologis


Hiperbilirubinemia non fisiologis
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
6. Diagnosis Kelainan kongenital susunan syaraf pusat
Banding Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan Bilirubin total


Penunjang Bilirubin direk dan indirek
Faal hati
Albumin
Golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan anak
Darah rutin
Hapusan darah
Retikulosit
Coomb test
Kadar enzim G6PD (pada riwayat keluarga dengan defisiensi G6PD)
USG abdomen (pada ikterus berkepanjangan)

8. Terapi a. Follow up pada bayi baru lahir yang pulang


dipulangkan sebelum 24 jam : kontrol ulang usia 72 jam
dipulangkan usia 24-47,9 jam : kontrol ulang usia 96 jam
dipulangkan usia 48-72 jam : kontrol ulang usia 120 jam

b. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada
gambar 2.

Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.

c. Penghentian fototerapi
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit
(TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL.

d. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 149


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi
menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB 5
di atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis
asidosis

Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup
bulan (sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat Bayi sakit
BB (g) Fototerapi Tranfusi tukar Fototerapi Tranfusi tukar
Kurang bulan
<1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 15-18 20-25 12-15 18-20

9. Edukasi Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab
dasar meningkatnya kadar bilirubin serum
Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk
neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi
Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk

10. Prognosis Hiperbilirubinemia fisiologis


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Hiperbilirubinemia non fisiologis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens I

12. Tingkat Level C


Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK
dr. Risa Etika, SpAK
dr. Martono Tri Utomo, SpAK
dr. Dina Angelika, SpA

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 150


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

dr. Kartika Darma Handayani, SpA

14. Indikator Medis Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal
Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50-60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan, gejala
klinis keseluruhan menghilang dalam 2 minggu
Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 7 hari
15. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and
drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300.
2. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339.
3. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
4. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar
neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
5. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 151


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian (definisi) Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).

2. Anamnesis Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gangguan pernapasan
Riwayat bayi prematur
Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan

3. Pemeriksaan Fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas

4. Kriteria Diagnosis Terdapat gejala klinis hipoglikemia


Kadar glukosa darah <45 mg/dL
Pemantauan glukosa di tempat tidur untuk penapisan dan deteksi awal
Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai laboratorium serum jika memungkinkan

5. Diagnosis Hipoglikemia

6. Diagnosis Banding Penyakit SSP (perdarahan, infeksi)


Sepsis
Asfiksia
Abnormalitas metabolik (hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi
piridoksin)
Insufisiensi adrenal

7. Pemeriksaan Gula darah


Penunjang Darah lengkap
Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
Faal pembekuan darah
Pungsi lumbal
USG kepala
MRI kepala

8. Terapi a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam
Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia
Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai

b. Penanganan hipoglikemia dengan gejala atau kadar glukosa <25 mg/dL


Bolus glukosa 10% 2 mL/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 mL/menit
Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kecepatan infus glukosa/ GIR 6-8 mg/kg/menit

GIR (mg/kg/menit) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi dextrose (%)


6 x BB (kg)
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena
sentral.
Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 4 jam
Bila kadar glukosa masih <25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas
Bila kadar 25-45 mg/dL, tanpa gejala klinis :
- Infus D10 diteruskan
- Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
- ASI diberikan bila bayi dapat minum
Bila kadar gluk dalam 2 kali pemeriksaan
- Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d)
- ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan pelan
- Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba

c. Kadar glukosa darah <45 mg/dL tanpa GEJALA :


ASI teruskan
Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas
Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila :
- Kadar < 25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi (lihat ad b)
- Kadar 25-45 mg/dL naikkan frekuensi minum

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 152


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR


- Kadar manajemen sebagai kadar glukosa normal

d. Kadar glukosa normal IV teruskan


IV teruskan
Periksa kadar glukosa tiap 12 jam
Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas (lihat ad b)
Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12 jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam
batas normal, pengukuran dihentikan

e. Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)


Konsultasi endokrin
Terapi : kortikosteroid hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral,
mencari kausa hipoglikemia lebih dalam
Bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain: somatostatin, glukagon, diazoxide, human
growth hormon, pembedahan. (jarang dilakukan)

9. Edukasi Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau
mendapatkan infus glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap
jam hasilnya >45 mg/ dL
Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi Level C

13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK


dr. Risa Etika, SpAK
dr. Martono Tri Utomo, SpAK
dr. Dina Angelika, SpA
dr. Kartika Darma Handayani, SpA

14. Indikator Medis Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal
80% membaik dalam 24 jam
80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
15. Kepustakaan problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7.
2. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 153


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian (definisi) Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas
sistem motorik atau otonomik

2. Anamnesis Riwayat hipoksik-iskemik ensefalopati


o general (asfiksia neonatorum)
o fokal (infark karena kelainan arteri atau vena)
Riwayat perdarahan intrakranial (intraventrikular, subdural, trauma )
Riwayat infeksi SSP (TORCH, meningitis, sepsis)
Riwayat gangguan metabolik
o transient (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
o kelainan metabolisme bawaan (a.l.: defisiensi piridoxin)
Riwayat kelainan kongenital SSP (hidrosefalus, hidransefali, porensefali, kelainan pembuluh darah otak)
Riwayat ensefalopati bilirubin (kern ikterus)
Riwayat maternal drug withdrawal (heroin, barbiturates, methadone, cocaine, morfin)
Idiopatik

3. Pemeriksaan Fisik Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak
jantung normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap
Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi
ekstremitas bawah
Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan
klonik beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik.
Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah.

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis


Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang : laboratorium, USG kepala, EEG

5. Diagnosis Neonatal seizures

6. Diagnosis Banding Jitteriness


Gerakan tidur mioklonus
Apnea pada saat tidur
Gerakan mengisap yang terputus

7. Pemeriksaan Darah lengkap


Gula darah
Penunjang Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
Faal pembekuan darah
Kadar billirubin dan faal hati
Pemeriksaan TORCH
Analisa gas darah
Pungsi lumbal
USG kepala
MRI kepala
EEG

8. Terapi Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
Terapi etiologi spesifik
o Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak
diberikan secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia)
o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
o Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti
dalam beberapa menit
Terapi antikejang
o Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat
diulang dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti.
o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1
mg/kg/menit
o Bila masih kejang dapat diberikan :
Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik)
Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam
o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kg BB/hari dapat diberikan secara
intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose
o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose
Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 154


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR


kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang.

9. Edukasi Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan
hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia
Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi Level C

13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK


dr. Risa Etika, SpAK
dr. Martono Tri Utomo, SpAK
dr. Dina Angelika, SpA
dr. Kartika Darma Handayani, SpA

14. Indikator Medis Tidak didapatkan gejala kejang


Bila penyebabnya sekunder (metabolik), 70% gejala menghilang dalam 24 jam bila penyebabnya
teratasi
80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu

15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 374-9.
2. Bergin AM. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 729-42..
3. Depkes RI. Klasifikasi kejang. Dalam: Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit).
Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
4. Young TE, Mangum B. Neofax. Dalam: Neofax, edisi ke-7, 2004: 154-155.
5. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 273-80.
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 84-92.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 155


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

SEPSIS NEONATORUM

1. Pengertian (Definisi) Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di
dalam darah pada neonatus.
FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin)
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan
atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C), waktu
pengisian kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi
TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif
Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
o Leukopenia (< 4.000 x 109/L)
o Netrofil muda >10%
o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
o CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
Klasifikasi :
1. Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang
timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran
pernafasan, progresif dan akhirnya syok
2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya
kelainan sistem susunan saraf pusat
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih
dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit

2. Anamnesis Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya
paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental)
Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang
invasif
Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain,
ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman
melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit

3. Pemeriksaan Fisik Suhu tubuh tidak stabil (<36 C atau >37,5 C)


Laju nadi >180 x/menit atau <100 x/menit
Laju nafas >60 x/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen,apnea atau laju nafas <30 x/menit
Letargi
Intoleransi glukosa: hiperglikemia (plasma glukosa >10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia ( <2,5
mmol/L atau < 45 mg/dL)
Intoleransi minum
Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)
Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan)
Pengisian kembali kapiler/ capillary refill time > 3 detik

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis


Gejala klinis
Kultur darah positif

5. Diagnosis Sepsis awitan dini


Sepsis awitan lambat

6. Diagnosis Banding Kelainan bawaan jantung, paru, dan organ-organ lain.

7. Pemeriksaan Darah rutin


Penunjang Hapusan darah tepi
Kadar C-reactive protein (CRP)
Kultur darah
Pungsi lumbal dan kultur cairan serebrospinal
Foto polos dada

8. Terapi 1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk
7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap
24 jam. Dosis Ampisilin untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur
7hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap,
kultur darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 156


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

SEPSIS NEONATORUM
cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif.
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto
abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP
normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.
6. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal,
maka diberikan Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian
antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
7. Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin.

9. Edukasi Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari
Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi

13. Penelaah Kritis dr. Agus Harianto, SpAK


dr. Risa Etika, SpAK
dr. Martono Tri Utomo, SpAK
dr. Dina Angelika, SpA
dr. Kartika Darma Handayani, SpA

14. Indikator Medis Gejala klinis sepsis tidak ada


Kultur darah negatif
80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu

15. Kepustakaan 1. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72.
3. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal
emergensi dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7.
4. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 157


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ABSES OTAK
1. Pengertian (Definisi) Proses peradangan purulen yang terisolir di antara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau
tidak
2. Anamnesis Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70-90%).
Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%).
Adanya riwayat penyakit jantung bawaan sianotik, infeksi sinus atau mastoid
Adanya riwayat prosedur bedah saraf, trauma kepala maupun kondisi imunosupresi
3. Pemeriksaan Fisik Panas tidak terlalu tinggi.
Kejang biasanya bersifat fokal.
Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma.
Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut.
Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia.
Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan gejala klinis yang spesifik
2. Hasil neuro imaging (CT Scan atau MRI dengan kontras)
5. Diagnosis Abses otak
6. Diagnosis Banding 1. Tumor di daerah serebropontin
2. Abses ekstradural
3. Empiema subdural
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium :
o Darah : jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah
meningkat pada 60% kasus
o Cairan Serebro Spinal (CSS) : dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra
kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi
2. Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT-scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis.
Stadium serebritis awal (1-3 hari), serebritis lanjut (4-9 hari), formasi kapsul dini (10-14 hari) dan
formasi kapsul lanjut (>14 hari)
Stadium awal hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras.
Pada stadium lanjut didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras.

8. Terapi Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium serebritis, abses
multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis
Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan:
1. Cefotaxime 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis atau Ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari IV dibagi
dalam 2 dosis
2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5 mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6
jam hari (maksimal 4 g/hari).
Antibiotik diberikan selama kurang lebih 6 minggu.
3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan:
a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV
dibagi dalam 3 dosis atau Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam. Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada
hari ke 5
Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan menghambat
pembentukan dinding abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis.
Penatalaksanaan bedah:
Aspirasi stereotactic
Kraniotomi
Neuroendoskopi
9. Edukasi 1. Penjelasan tentang komplikasi dan prognosis penderita. Sebelum era antibiotik mortalitas mencapai
40-60%.
2. Banyaknya komplikasi dan kematian disebabkan karena abses serebri yang multiple, adanya GCS
yang turun dan meningitis.
3. Penjelasan terhadap adanya rekurensi.
4. Keterlambatan diagnosis mempunyai kontribusi terhadap derajat berat penyakit.
10. Prognosis Angka mortalitas mencapai 4-12 %.
Kejang bersifat kronis cukup sering didapatkan dan terkadang bermanifestasi setelah beberapa tahun
pasca abses serebri
11. Tingkat Evidens 4
12. Tingkat Rekomendasi C

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 158


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ABSES OTAK
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Pengobatan dengan cefotaxime menunjukkkan angka kesembuhan 76 % pada kasus abses otak
Tingkat mortalitas setelah pasien menjalani tindakan bedah adalah sebesar 15%.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 minggu
15. Kepustakaan 1. Helweg-Larsen J, Astradsson A, Richhall H, Erdal J, Laursen A, Brennum J. Pyogenic brain abscess, a 15
year survey. BMC Infect Dis 2012;12:332.
2. Shachor-Meyouhas Y, Bar-Joseph G, Guilburd JN, Lorber A, Hadash A, Kassis I. Brain abscess in
children - epidemiology, predisposing factors and management in the modern medicine era. Acta Paediatr
2010;99(8):1163-7.
3. Jansson AK, Enblad P, Sjolin J. Efficacy and safety of cefotaxime in combination with metronidazole for
empirical treatment of brain abscess in clinical practice: a retrospective study of 66 consecutive cases. Eur
J Clin Microbiol Infect Dis 2004;23(1):7-14.
4. Kao PT, Tseng HK, Liu CP, Su SC, Lee CM. Brain abscess: clinical analisys of 53 cases. J Microbiol
Immunol Infect;36:129-136
5. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier;
2012. Hal 1241-61.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 159


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

BELL’S PALSY
1. Pengertian (Definisi) Suatu paralisis nervus fasialis unilateral yang bersifat mendadak, tidak diketahui sebabnya (idiopatik) yang
mengakibatkan ketidakmampuan pengontrolan otot wajah pada sisi yang terkena
2. Anamnesis Nyeri telinga didekat mastoid
Kesulitan menutup mata
Kesulitan menggunakan otot wajah secara normal
Kesulitan minum dan makan karena gangguan mulut pada sisi yang terkena
Riwayat infeksi saluran pernafasan sebelumnya
Bell’s palsy ditegakkan setelah kondisi-kondisi infeksi, inflamasi, injuri, neoplasma, penyakit metabolik,
dan kelainan kongenital dapat disingkirkan.
3. Pemeriksaan Fisik Parese nervus facialis unilateral.
Gangguan sensoris pada daerah yang terkena,
Drooling
Gangguan pengecapan
Gangguan pendengaran
Pengeluaran air mata berlebihan.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis yang spesifik
Pemeriksaan neurologi parese N VII perifer
5. Diagnosis Bell’s Palsy
6. Diagnosis Banding 1. Palsy nervus fasialis yang lain, yang terkait:
a. Infeksi
b. Penyakit metabolik
c. Injuri
d. Kelainan congenital
2. Lesi UMN supranuklear (lokasi lesi di atas nucleus fasialis di Pons) sepertiga atas N Fasialis normal,
sedangkan duapertiga di bawahnya mengalami paralysis
3. Tumor jinak skull
4. Aneurisma serebral
5. Meningioma
6. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan 1. ELISA terhadap HSV
Penunjang 2. Tidak ada pemeriksaan laboratorium lain yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy
3. Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan CT-scan/MRI
dilakukan bila dicurigai adanya fraktur atau metastase neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis
multiple, AIDS, dan CNS
4. Pemeriksaan Elektrofisiologi
- Untuk mengetahui fungsi N fasialis
- Jarang dilakukan
8. Terapi 1. Steroid
- Prednisolone oral 1 mg/kgbb/hari selama 10 hari
2. Anti virus
- Acyclovir oral 10-20 mg/kgbb/hari
3. Kombinasi steroid & anti virus
9. Edukasi Diterangkan bahwa sebagian Bell’s palsy akan membaik tanpa deformitas, tetapi 1/3 penderita mengalami
sekuele berupa: regenerasi motorik tidak lengkap dengan tanda epifora, inkompeten oral, & obstruksi nasal.
Regenerasi sensorik tidak lengkap (gangguan pengecapan), ageusia ( kehilangan pengecapan), diasthesia (
kehilangan sensasi atas stimulasi)
10. Prognosis 1. Pemulihan lengkap dengan gejala sisa
2. Pemulihan tidak lengkap pada fungsi motorik, tetapi tidak ada defek pada kosmetik
3. Kecacatan menetap yang nyata
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 160


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

BELL’S PALSY

14. Indikator Medis Angka kesembuhan dengan terapi steroid 88,2%, sedangkan dengan kombinasi steroid dan anti virus sekitar
91,2%
15. Kepustakaan 1. Eudocia CQ,Shafali SJ, Rajeev HM, Manveen KB, Anton YP. The benefits of steroids versus steroids
plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009; 339
2. Evangelos P, Anastasia G, M Arampatzi. Facial nerve palsy in childhood. The Japanese Society of Child
Neurology. 2010; 33. 644-650
3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF
ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1503-8.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 161


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

|
INFEKSI CYTOMEGALO VIRUS (CMV) KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Infeksi yang terjadi pada bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan
2. Anamnesis Mayoritas bayi yang lahir dengan infeksi CMV congenital adalah asimtomatik.
Pada bayi baru lahir, didapatkan IUGR, ikterus, bercak perdarahan dibawah kulit (ptekie sampai purpura),
bayi tidak bergerak aktif dan malas minum.
3. Pemeriksaan Fisik Letargi, hiper/hipotoni, ikterus, hepatomegaly, splenomegali,
Gejala neurologi: mikrosefali, chorioretinitis, kejang, tuli neural sensorik dan perubahan tonus otot
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis yang spesifik
2. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
3. IgM anti CMV positif
4. CT-Scan kepala tampak leukomalacia atau atrofi kortikal atau efusi subdural atau perdarahan otak
5. Diagnosis Infeksi CMV kongenital
6. Diagnosis Banding 1. Infeksi rubella kongenital
2. Toksoplasmosis congenital
7. Pemeriksaan 1. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
Penunjang serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
2. Deteksi antigen atau IgM CMV di darah
3. Pada ibu: serokonversi IgG diantara 2 sampel serum yang diambil dengan jark 2-3 minggu adalah
diagnosis yang nyata adanya infeksi primer.
4. Pemeriksaan SGOT meningkat > 300 IU, bilirubin direct > 30 mg/dl, dan trombositopenia 20.000-
125.000/mm3
5. CT Scan kepala: tampak leukomalasia periventrikular, atrofi kortikal, pembesaran ventrikel
unilateral/ bilateral, efusi subdural dan perdarahan otak
8. Terapi Gansiklovir 6 mg/kgBB/dosis IV drip dalam 1 jam, diberikan tiap 12 jam selama 6 minggu atau
Valgansiclovir oral dengan dosis 15 mg/kg BB setiap 12 jam selama 6 minggu
Terapi suportif

9. Edukasi 1. Menjelaskan pengobatan yang akan diberikan, jangka waktu pengobatan, cara pemberian dan efek
samping pengobatan ganciclovir yakni granulocytopenia, anemia, tromobositopenia.
2. Menjelaskan prognosis infeksi CMV sesuai dengan kelainan yang terjadi pada penderita
3. Jika infeksi CMV sudah dikonfirmasi, klasifikasikan simtomatik atau asimtimatik dan dilakukan
monitoring 1,3,6 dan 12 bulan dan secara periodik sampai usia sekolah dengan tujuan mendeteksi
sekuele dengan onset lambat.
4. Konseling orang tua apabila merencanakan memiliki anak lagi untuk berkonsultasi pada dokter agar
tidak terjadi penularan pada bayinya
10. Prognosis Bayi dengan congenital CMV 90% mengalami sekuele tumbuh kembang sperti palsi serebral, epilepsi,
gangguan sensori-neural, retardasi mental, gangguan tingkah laku dan kebutaan
Angka mortalitas mencapai 5-30%
Lesi intracranial pada neuroimaging berhubungan dengan gangguan intelektual >80% kasus
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis 1. 10-15% penderita dengan pengobatan gancyclovir mengalami sensorineural sekuele
2. Netropenia terjadi pada pada 63% anak yang sedang menjalani terapi gansiklovir dan 38% anak
yang menjalani terapi valgansiklovir
3. Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Buosenso D, Seranti D, Gargiullo L, Ceccareli M, Ranno O, Valentini P. Congenital cytomegalovirus
infection: current strategies and future perspectives. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012; 16:919-35
2. Cheeran MC, Lokensgard JR, Schleiss MR. Neuropathogenesis of congenital Cytomegalovirus
infection: disease mechanism and prospects for intervention. Clin Microbiol Rev. 2009; 22: 99-126
3. Nasetta L, Kimberlin D, Whitley R. Treatment of congenital cytomegalovirus infection: implications
for future therapeutic strategies. JAC . 2009; 63: 862-7
4. Kenneson A, Cannon MJ. Review and meta-analysis of the epidemiology of congenital
cytomegalovirus (CMV) infection. Rev Med Virol. 2007; 17: 253-76
5. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 457-8.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 162


Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 163
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PALSI SEREBRAL
1. Pengertian (Definisi) Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah
Sekelompok kelainan pergerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang terjadi karena
gangguan non progresif yang muncul pada masa perkembangan otak janin/bayi
2. Anamnesis Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta pertolongan pengobatan) :
Anak belum dapat berjalan;
Belum dapat duduk;
Terlambat bicara
Kaki gemetar
Gerakan kurang pada sisi badan
Mata juling.

Anamnesis saat kehamilan dan persalinan :


infeksi saat kehamilan (rubella, sifilis, tocoplasma, sitomegalovirus)
percobaan pengguguran
ibu dengan penyakit kronis,
Trauma
Toksemia
IUGR
ibu usia <17 tahun atau >35 tahun
perdarahan antepartum
trauma persalinan
asfiksia
berat lahir rendah, prematur
hipoglikemia
hiperbilirubinemia kern ikterus
syok
3. Pemeriksaan Fisik Paralisis spastik (paraparesis, diplegia, kuadriparesis, hemiparesis, monoparesis);
Atetosis;
Koreoatetosis;
Distonia/atonia;
Tremor;
Rigiditas;
Ataksia;
Kelainan bahasa;
Hiperkinesis/hipokinesis.
Disfungsi handung kemih;
Drooling
Malnutrisi
Gangguan pendengaran
Mata: gangguan visus, gerakan bola mata, strabismus, dan nistagmus
Gangguan pola tidur
Psikomotorik : gangguan tingkah laku dan lain-lainnya
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan aspek klinis dan anatomis, sindrom palsi serebral diklasifikasikan :
1. Abnormalitas motorik:
a. Tipe abnormalitas tonus (hipertoni atau hipotoni) atau tipe dari gerakan abnormal (ataxia,
distonia, choreoatetosis)
b. Keparahan keterbatasan fungsional
2. Gangguan penyerta (contoh: kejang, gangguan kgnitif, pendengaran, visual dan perilaku)
3. Anatomi dan temuan radiologi
a. Bagian tubuh yang terlibat contoh: diplegia, hemiplegia dan quadriplegia
b. Hasil pencitraan

Beberapa sindrom palsi serebral yang umum:


1. CP spastik diplegia
Kelumpuhan anggota gerak bilateral ekremitas bawah dengan derajat tertentu gangguan ekstremitas
atas, 80% kasus pada bayi prematur.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 163


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PALSI SEREBRAL
2. CP spastik Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus
kortikospinalis unilateral. 30% kasus.
3. CP spastic kuadriplegi
Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang
bisa dijumpai gangguan visus maupun auditori.
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor,
balismus maupun mioklonus.
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama.

5. Diagnosis Diagnosis CP secara umum berdasarkan pada anamnesa dan gejala klinik.
Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi :
1. Tim Inti :
• Neuropediatri
• Dokter Gigi
• Psikolog
• Perawat
• Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
• Pekerja Sosial (pengunjung rumah)
2. T im Konsultasi :
• Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
• Dokter Bedah (Ortopedi)
• Dokter Mata
• Dokter THT
• Psikiater Anak
Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)
6. Diagnosis Banding Inherited metabolic disorder
Metabolic myopathies
Metabolic neuropathy
Traumatic peripheral nerve lesion
Vascular malformation of the spinal cord
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dan prognosisnya :
- Pemeriksaan TORCH
- Neuro imaging : CT scan/ MRI (63% abnormal)
- Test perkembangan : gangguan bicara (90%
kasus)
- Psikologik : test IQ (juga penting untuk terapi
dan rehabilitasi)
- Audiometri untuk mendeteksi ketulian
8. Terapi A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas :
1. Benzodiazepin :
• Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
• Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak lebih 10 mg/dosis)
2. Baclofen 0.2 mg/kg setiap 8 jam
3. Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi gerakan involunter)
5. I n j e k s i Botox :
• Usia < 2 tahun belum direkomendasikan
Dosis rekomendasi 0.5-2 U/kgBB

B. Terapi Perkembangan
Rehabilitasi Medik dengan terapi fisik dan okupasi
C. Terapi bedah
1. Dorsal rhizotomy
2. Tendon lengthening
D. Lain-lain :
1. Pendidikan khusus
2. Penyuluhan psikologis
3. Rekreasi
9. Edukasi a. Bila diagnosis CP tegak, dianjurkan untuk melakukan komunikasi dan transfer informasi yang baik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 164


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PALSI SEREBRAL
kepada orang tua tentang kondisi dan prognosis penderita
b. CP tidak mempengaruhi fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan penderita dapat mempunyai
anak
10. Prognosis Anak dengan CP akan mengalami retardasi mental 52%, gangguan bahasa dan bicara 38%, gangguan
pendengaran 12%dan epilepsi 34-94%.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Prof. Darto Saharso SpA(K)
b. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Probabilitas mencapai usia 20 tahun mencapai 50% pada CP berat.
Kemampuan untuk duduk diusia 2 tahun mempunyai adalah prediksi untuk kemampuan mandiri di masa
mendatang.
Penderita CP yang memerlukan nasogastric tube selama tahun awal kehidupan mempunyai angka
mortalitas 5 kali lebih besar dibanding yang dengan oral feeding.

15. Kepustakaan 1. Ashwal, B. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: Report of the
Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the
Child Neurology Society. Neurology 2004;62:851-63.
2. Druschel C, Althuizes HC, Funk JF, Placzek R. Off label use of botulinum toxin in children under two years
of age: a systematic review. Toxins 2013;5:60-72.
3. Novak I, Hines M, Goldsmith S, Barclay R. Clinical prognostic messages from a systematic review on
cerebral palsy. Pediatrics 2012;130:1285-1312.
4. Gudiol MV, Calafat CB, Farres MG, Algra MH, Baxter KM, et al. Treadmill interventions with partial body
weight support in children under six years of age at risk of neuromotor delay: a report of a Cochrane
systematic review and meta analysis. Eur J Phys Rehabil Med 2013;49:67-91.
5. Jan MMS. Cerebral palsy: comprehensive review and update. Ann Saudi Med 2006;26:123-32.
6. Pakula AT, Braun KMV, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and epidemiology. Phys Med Rehabil
Clin N Am 2009;20:425-52.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 165


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

EPILEPSI LOBUS TEMPORALIS


1. Pengertian (Definisi) Kejang berulang tanpa provokasi yang berasal dari medial atau lateral lobus temporalis.
2. Anamnesis Semiologi kejang:
Biasanya berupa kejang parsial sederhana tanpa gangguan kesadaran, dengan atau tanpa aura, dan
dapat berupa kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran.
Aura dijumpai pada 80% penderita ELT.
Aura yang timbul dapat berupa gejala penciuman, ilusi, halusinasi penglihatan dan halusinasi pendengaran.
Fenomena psikis yang dapat timbul adalah dejavu, depersonalisasi dan derealisasi, juga dapat disertai
dengan perasaan cemas dan takut.
Otomatisasi gerak bibir, gerakan mengecap, mengunyah atau menelan berulang
3. Pemeriksaan Fisik Postur distonik unilateral tungkai
Penderita menjadi diam, mata melebar, pupil dilatasi
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis Kejang dengan semiologi khas aktivasi lobus temporalis
2. EEG: gelombang paku atau tajam regio temporal anterior, mid-temporal atau temporal posterior,
ataupun TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta activity)
3. MRI: abnormalitas regio temporalis atau Hipocampal mesial sclerosis
5. Diagnosis Epilepsi lobus temporalis
6. Diagnosis Banding 1. Epilepsi lobus frontalis
2. Epilepsi Rolandic
3. Continous spike wave during slow wave sleep
4. Landau Klefner syndrome
7. Pemeriksaan Pemeriksaan radiologi :
Penunjang MRI : dijumpai atropi hipokampus pada 87% penderita
Pemeriksaan EEG :
Gelombang paku dan gelombang tajam yang diikuti dengan gelombang lambat pada regio temporal
anterior, mid-temporal atau regio temporal posterior atau TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta
activity)
8. Terapi Carbamazepine dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 15-20
mg/KgBB/hari PO, atau
Asam valproat dosis awal 15 mg/kgBB/hari terbagi 2-3 dosis PO selama 2 tahun bebas kejang
Bila tidak ada respons dapat dilakukan stimulai N. Vagus atau pembedahan lobektomi temporal anterior.
9. Edukasi Gejala klinis
Pemahaman terhadap adanya kejang atau tidak
Terapi
- Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan OAE jangka panjang
- Pendidikan penanganan kejang akut
- Pemahaman terhadap efek samping obat
Tumbuh Kembang
Banyak terkait gangguan motorik, speech, tingkah laku maupun problem belajar
10. Prognosis Anak dengan abnormal imaging termasuk tumor, cortical dysplasia atau mesial temporal sclerosis
mempunyai kemungkinan menjadi intraktabel cukup tinggi dan dipertimbangkan untuk operasi resektif.
Rata-rata bebas kejang pasca temporal lobektomi dengan mesial temporal sclerosis adalah 86%.
Anak dengan epilepsy mempunyain resiko tinggi untuk komorbiditas dengan penyakit psikiatri
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Anak dengan OAE pertama yang gagal, 51% respon terhadap OAE kedua
Remisi mencapai 29% bila gagal diterapi dengan 2 macam obat dan 10% bila gagal diterapi dengan 3
obat
15. Kepustakaan 1. Nickels KC, Kisiel LC, Moseley BD, Wirell EC. Temporal lobe epilepsy in children. Ep Research and Treat
2011;2012:1-16.
2. Sillanpaa M, Haalaja L, Tomson T, Svern I. Carbamazepine. Dalam Shorvon S, Perucca E, Engel J ed.
Treatment of epilepsy 3rd ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2009. Hal 459-74.
3. Fernando C, Kahare P, Brode M, Anderman F. The Mesio-temporal lobe epilepsy syndrome. Dalam Roger
J, Bureau M, Dravet C ed. Epileptic syndrome in infancy, childhood and adolescence 4th ed. Hal 565-75.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 166


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROMA GUILLAIN-BARRÉ (SGB)


(=Guillain-Barré Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis)

1. Pengertian (Definisi) Suatu acute immune mediated polineuropathy yang mengenai system syaraf perifer, bersifat ascending
paralysis, kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi dalam 4 minggu, dimulai dari tungkai dan lengan
ke tubuh. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului
oleh infeksi virus.
2. Anamnesis Kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh pada sebagian
besar kasus, dan perubahan sensasi nyeri seiring hilangnya system syaraf otonom pada sebagian kasus.
Komplikasi SGB dapat mengancam hidup terutama apabila mengenai otot-otot pernafasan dan system
syaraf otonom.
Sering didahului infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya, sulit kencing (10-15%), nyeri (50%), sehingga anak
menjadi rewel dan iritabel
3. Pemeriksaan Fisik Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB) yang simetris.
Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama, dan kelemahan ini dapat mengenai otot-otot
pernafasan hingga membutuhkan respirator.
Instabilitas otonom (26%), berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim simpatis dan parasimpatis
dengan manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik, disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan
takikardia.
Ataksia (23%)
Gangguan saraf kranial (35-50%)
4. Kriteria Diagnosis Kelemahan motorik progresif dan asending
Pemeriksaan neurologi: kelemahan motorik dan arefleksia
Pemeriksaan neurofisiologi EMG-NCV spesifik
5. Diagnosis Sindroma Guillain Barre
6. Diagnosis Banding 1. Poliomyelitis
2. Myositis akut
3. Lesi medulla spinalis
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa LCS
48 jam I : normal
Minggu II : diikuti kenaikan kadar protein, tanpa/ disertai kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation)
2. Pemeriksaan elektrofisiologi
EMG dan NCV (Nerve Conduction Velocity)
Minggu I : terjadi pemanjangan / hilangnya F-response (88%), prolonge distal latencies (75%), blok pada
konduksi (50%)
Minggu II : terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%) dan penurunan
kecepatan konduksi (84%)
3. Pemeriksaan radiologi
MRI sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan dengan
menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras
8. Terapi 1. IVIG (Intravenous Imunoglobulin) 0,4 g/kgBB/hari, iv, selama 5 hari. Perbaikan klinis
mulai tampak setelah hari ke 2-3.
Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia,
perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom).
2. Steroid
3. Dexamethasone 0,5 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial)
4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama
5. Alat bantu pernafasan (respirator) apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan
9. Edukasi Memberikan penjelasan mengenai pengobatan
Memberikan penjelasan mengenai prognosis penderita
10. Prognosis 1. Sembuh sempurna (75-90%), 20% masih bisa berjalan sampai lebih dari 6 bulan
2. Sembuh dengan gejala sisa berupa drop foot atau tremor postural (25-36%)
3. Kambuh (kambuh atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu ke-4 = Chronic Inflamatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (CIDP))
4. Kematian (1-5%) akibat gagal nafas, terutama pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis 10% dengan kecacatan yang menetap
25 % memerlukan ventilator
5% meninggal
Perbaikan pada pemberian steroid iv 60,6%, pada steroid oral 47,1%, plasma exchange + IVIG 61%, IVIG

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 167


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SINDROMA GUILLAIN-BARRÉ (SGB)


(=Guillain-Barré Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis)

dibandingkan plasma exchange 58,2%


Pemberian IVIG dapat mencegah kematian 2,4-6,3%
Pemberian steroid dapat mencegah kekambuhan sebesar 6,5-14,3%
Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu
15. Kepustakaan 1. RAC Hughes, AV Swan, JC Raphael, R van Koningsveld, PA Van Doorn. Immunotherapy for Guillain-
Barre syndrome: a systematic review. Brain. 2007; 130: 2245-2257
2. M Fish, G Llewelyn. A Guillain-Barre Syndrome. ACNR. 2008; 8: 10-12
3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF
ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier 2012. Hal 1508-10.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 168


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIDROSEFALUS
1. Pengertian (Definisi) Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis,
disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai
tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinalis. Terdapat 2 tipe: komunikan dan non komunikan.
2. Anamnesis Pada anak :
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial :
- M untah proyektil
- Nyeri kepala
- Kejang
- Kesadaran menurun
3. Pemeriksaan Fisik Anak :
Pembesaran lingkar kepala
Papiledema
Bayi :
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala :
Kepala makin membesar
Vena-vena kepala prominen
Ubun-ubun melebar dan tegang
Sutura melebar
“Cracked-pot sign”, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah semangka pada perkusi kepala
Perkembangan motorik terlambat
Perkembangan mental terlambat
Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles)
“Cerebral cry”, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar
Nistagmus horizontal
“Sunset phenomena”, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita,
sklera tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis kepala yang membesar
Pemeriksaan fisik yang spesifik
Pemeriksaan penunjang CT Scan atau MRI kepala
5. Diagnosis Hidrosefalus
6. Diagnosis Banding 1. Ciri keluarga (familial feature)
2. Megaensefali
3. Hidransefali
4. Tumor otak
5. Cairan subdural (subdural effusion)
7. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan darah :
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
- X foto kepala kranium yang membesar atau sutura yang melebar
- USG kepala : dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
- CT-Scan/MRI kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan sekaligus mengevaluasi
struktur-struktur intraserebral lainnya.
- Analisis cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis untuk mengetahui kadar
protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi sisa.
- EEG untuk mengevaluasi kemajuan klinis. Abnormalitas EEG dapat ditemukan fokal, difus dan berguna
mendeteksi kejang.
8. Terapi Farmakologis :
mengurangi volume cairan serebrospinalis
Acetazolamide 25 mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis (maksimal 100mg/KgBB/hari)
Furosemide 1 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis

Pembedahan
Ventrikuloperitoneal shunt
Endoskopi
9. Edukasi Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala
yang progresif atau lebih dari normal.
Hidrosefalus membutuhkan perawatan jangka panjang
Komplikasi pemasangan shunt :malfungsi, infeksi dan terkadang membutuhkan revisi
Hidrosefalus yang tidak diterapi mortalitas mencapai 50%
10. Prognosis Prognosis jangka panjang sangat dipengaruhi oleh penyebab hidrosefalusnya
Hidrosefalus yang diterapi bedah survival rate mencapai 90% dan IQ normal pada 2/3 pasien
Mortalitas karena hidrosefalus dan terapinya antara 0 – 3% tergantung pada lamanya follow up.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 169


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

HIDROSEFALUS
Infeksi shunt terjadi antara 1 5 – 30 %.
Epilepsi terjadi 6 – 30% penderita
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis 60% anak dengan hidrocephalus dapat bersekolah (meskipun terdapat banyak kesulitan)
40% anak relatif dapat hidup normal
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3-5 hari perawatan
15. Kepustakaan 1. Ventakaramana NK. Hydrocephalus indian scenario – a review. Jour of pediatr neurosciences
2011;6:11-22.
2. Vinchon M. Pediatric hydrocephalus outcomes : a review. Fluid and barrier of the CNS 2012;9:1-10
3. Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin Pediatr Neurol
2009;16:9-15.
4. Groat J. Review of the treatment & management of hydrocephalus. US pharm 2013;13.
5. Menkes JH, Sarnat HB, Sarnat F. Malformations of the central nervous system. Dalam Menkes Jh,
Sarnat HB, Maria BL editor. Child Neurology 7th ed. Lippincott William and Wilkins, Philadelphia.
2006. Hal 330-49.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 170


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS


1. Pengertian (Definisi) Inflamasi parenkim otak yang disebabkan infeksi virus Herpes tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2).
2. Anamnesis • Demam
• Nyeri kepala
• Gejala psikiatrik
• Kejang
• Muntah
• Kelemahan otot fokal
• Hilangnya memori
• Gangguan status mental
• Fotofobia
• Kelainan gerakan
• Pada neonatus gejala mulai tampak pada usia 4-11 hari berupa letargik, malas minum, iritabel dan kejang
3. Pemeriksaan Fisik Gangguan kesadaran
Demam
Disfasia
Ataxia
Kejang fokal > general
Hemiparesis
Gangguan saraf otak
Hilangnya lapangan pandang dan papiledema.
Pada neonatus :
temperatur tidak stabil
Ubun-ubun besar menonjol
Tanda traktus piramidalis
Ikterus
Renjatan
Perdarahan
Distres nafas
Lesi kulit yang khas.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang spesifik
2. EEG spesifik
3. PCR CSS pada minggu pertama sakit
4. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala dengan kontras)
5. Biopsi otak
5. Diagnosis Ensefalitis herpes simpleks
6. Diagnosis Banding Meningitis aseptic
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisis CSS : Pada minggu pertama dapat normal, pleositosis mononuklear, peningkatan ringan
protein, kadar glukose normal/menurun ringan, jumlah sel normal. Kultur CSS dapat positif pada
neonates
2. PCR : sensitif dan spesifik
3. MRI : Merupakan pilihan utama, lesi bermakna pada lobus temporalis bagian medial dan bagian
inferior lobus frontalis
4. EEG: Cukup sensitif tapi tidak spesifik
5. Biopsi otak: Merupakan pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis
8. Terapi 1. Acylovir 10-20mg/KgBB/dosis setiap 8 jam IV drip dalam 1 jam selama 10 hari.
2. Terapi suportif lainnya (anti kejang, obat penurun panas, oksigenasi, nutrisi parenteral dan enteral).
9. Edukasi 1. Infeksi SSP HSV harus selalu dipertimbangkan pada anak-anak yang mengalami kejang parsial dengan
febris dan penurunan kesadaran.
2. Perlunya pemantauan jangka panjang terhadap komplikasi yang ditimbulkan pasca HSE.
3. Outcome neurologis yang buruk dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi aciclovir
10. Prognosis Jika tidak diterapi mortalitas HSE mencapai 70% dan jika hidup maka defisit neurologi yang berarti mencapai
97%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)


2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Gejala sisa neurologis serta cacat berat dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi acyclovir. 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Kelly C, Sohal A, Michael BD, Riordan A, Solomon T, Kneen R. Suboptimal management of central
nervous system infections in children: a multi-centre retrospective study. BMC Pediatrics
2012;12:145-52.
2. Ward KN, Ohrling A, Bryant NJ, Bowley JS, Ross EM, Verity CM. Herpes simplex serious

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 171


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS


neurological disease in young children: incidence and long-term outcome. Arch Dis Child
2012;97:162-165.
3. James SH, Kimberlin DW, Whitley RJ. Antiviral therapy for herpesvirus central nervous system
infections: neonatal herpes simplex virus infection, herpes simplex encephalitis, and congenital
cytomegalovirus infection. Antiviral Res. 2009; 83(3): 207–213.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 172


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KEJANG DEMAM

1. Pengertian (Definisi) Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38°C), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks
2. Anamnesis - Didapatkan riwayat panas disertai kejang
- Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik
Pemeriksaan neurologi dalam batas normal
4. Kriteria Diagnosis Kejang Demam Sederhana (KDS) :
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang Demam kompleks (KDK) :
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Diagnosis Kejang Demam
6. Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
2. X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang
fokal atau hemiparese.
3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis.
4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
8. Terapi 1. Penanganan Pada Saat Kejang
•Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-
0,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian.
•Turunkan demam :
Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO,
keduanya diberikan sehari 3-4 kali
Kompres : suhu >39°C : air hangat; suhu > 38°C : air biasa
•Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.
2. Pencegahan Kejang
• Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS
dengan Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan
antipiretik pada saat anak menderita penyakit
yang disertai demam.
9. Edukasi 1. Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik
2. Memberikan cara penanganan kejang yang benar
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam
5. Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 173


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

KEJANG DEMAM

12. Tingkat Rekomendasi C


13. Penelaah Kritis 1. dr. Prastiya Indra Gunawan SpA
2. Prof. dr. Darto Saharso SpA(K)
14. Indikator Medis - Hampir semua anak mempunyai prognosis yang baik
- Anak usia dibawah 12 bulan yang mengalami kejang demam mempunyai kemungkinan sebesar 50%
terjadi rekurensi .
- 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 hari
15. Kepustakaan 1. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizure: Guideline for the
neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics 2011;127:389-94.
2. Kundu GK, Rabin F, Nandi ER, Sheikh N, Akhter S. Etiology and risk factors of febrile seizure – an
update. Bangladesh J Child Helath 2010;34:103-12.
3. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizures: clinical practice
guidelines for the long-term management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics
2008;121:1281-6.
4. Berg AT, Shinnar S, Hausser WA, Leventhal JM. Predictors of recurrent febrile seizure: a
metaanalytic review. J Pediatr 1990;116:329-37
5. Shloma Shinnar. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology
principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 790-7.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 174


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MATI OTAK
1. Pengertian (Definisi) Mati Otak (MO) atau Brain Death adalah suatu diagnosis klinis berdasarkan hilangnya fungsi neurologis akibat
suatu koma ireversibel. Koma dan apnea merupakan persyaratan untuk mendiagnosa mati otak.
2. Anamnesis Koma dan apnea harus ada untuk mendiagnosis mati otak
Keadaan yang harus diperhatikan sebelum menentukan mati otak:
Hipotensi, hipotermi, dan gangguan metabolik yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi
harus dikoreksi
Sedatif, analgesik, agen blokade neuromuscular, dan antikejang seharusnya dihentikan dalam
jangka waktu tertentu berdasarkan eliminasi half-life dari setiap obat untuk meyakinkan bahwa obat-
obat tersebut tidak mempengaruhi pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mati otak direkomendasikan untuk dilakukan 2 orang dokter berbeda yang terlibat dalam
perawatan anak dipisah dalam suatu periode observasi.
Rekomendasi periode observasi untuk neonatus (37 minggu usia gestasi sampai usia 30 hari) adalah 24
jam dan 12 jam untuk bayi dan anak (>30 hari sampai usia 18 tahun). Pemeriksaan pertama adalah untuk
menentukan mati otak dan pemeriksaan kedua untuk mengkonfirmasi kondisi mati otak berdasarkan
kondisi yang tetap dan ireversibel.

3. Pemeriksaan Fisik Tahap 1


a. Identifikasi kausa koma
Traumatic brain injury
Anoxic brain injury
Penyakit metabolik yang diketahui
Penyakit lain yang harus dispesifikasikan
b. Koreksi dari faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi:
Temperatur inti tubuh >95° F(35°C)
Tekanan sistolik atau MAP dalam batas normal (tekanan sistolik tidak kurang dari 2 SD sesuai usia)
Obat sedatif/analgesik dieksklusi sebagi faktor perancu
Intoksikasi metabolic dieksklusi sebagai faktor perancu
Blokade neuromuscular dieksklusi sebagai faktor perancu

Jika semua semua faktor sudah dieksklusi bisa lanjut ke tahap 2. Tetapi bila ada faktor perancu langsung ke
tahap 4.

Tahap 2
Pemeriksaan fisik; (reflek spinal cord dapat diterima)
1. Tonus flaksid, pasien tidak berespon terhadap stimulus nyeri yang dalam
2. Refleks cahaya pupil: tidak ada respons terhadap cahaya bilateral, pupil dilatasi dan posisi di tengah.
3. Reflek cornea, batuk dan muntah tidak ada.
(Refleks kornea : tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan ujung kapas; Refleks
oro-faringeal : tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada faring posterior; Refleks trakeo-
bronkial: kateter penghisap dimasukkan melalui endotracheal tube hingga mencapai karina atau lebih
dalam. Tidak didapatkan refleks batuk)
4. Tidak didapatkan reflek sucking dan rooting
5. Refleks vestibulo-okular (tes kalori) : pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika ada perforasi
membrana timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat 30o dengan melakukan irigasi
membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan
jarak pemeriksaan antara 2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara langsung
terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO.
6. Tidak didapatkan usaha bernafas sewaktu dalam ventilasi mekanik

Jika ada elemen yang tidak bisa dilakukan maka langsung ke tahap 4.

Tahap 3
Tes apnea :
Tidak didapatkan usaha bernafas meskipun PaCO 2
60 mmHg dan a 20mmHg peningkatan diatas garis dasar PaCO 2 .

Jika tes apnea merupakan kontra indikasi atau tidak dapat dilakukan maka langsung ke tahap 4.

Prasyarat : penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi yang stabil
Sesuaikan setting ventilator untuk memelihara PaCO 2 berkisar 40 mmHg
Pra-oksigenasi dengan O 2 100% selama 5-10 menit
Diskoneksi dari ventilator
Berikan 100% O 2 melalui kateter trakea dengan aliran 6 l/menit
Monitoring O 2 saturasi dengan pulse oxymetri

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 175


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MATI OTAK
Ukur PaCO 2 mmHg setelah 5 menit lalu setelah 2 8 menit jika PaCO 2 tidak melebihi 60 mmHg
hubungkan kembali penderita dengan ventilator
Pemutusan hubungan dengan ventilator tidak boleh melebihi 10 menit pada satu kali pemeriksaan
2 Tes apnea positif : jika tidak ada usaha bernafas dengan PaCO >60mmHg
Jika selama tes apnea terjadi hipotensi yang bermakna, desaturasi
2
yang nyata atau aritmia kardiak,
secara langsung dilakukan pemeriksaan BGA, hubungkan segera kembali dengan ventilator. Seharusnya
pada keadaan PaCO 2 <60mmHg, hasil tes dikatakan belum pasti. Selanjutnya pertimbangan diserahkan
kepada pediatri untuk menentukan kapan tes dapat diulang atau tergantung dari tes lain untuk menegakkan
diagnosis klinis Mati otak.

Tahap 4
Tes tambahan
Diperlukan bila:
1. Jika ada komponen dari pemeriksaan atau tes apnea tidak dapat dilakukan
2. Jika ada ketidakjelasan hasil dari pemeriksan fisik
3. Jika ada efek medikasi yang nyata
Tes tambahan yakni:
1. EEG yang menyatakan electroserebral silence
2. Pemeriksaan Cerebral Blood Flow (CBF) yang menyatakan tidak ada perfusi cerebral

4. Kriteria Diagnosis Evaluasi prasyarat sebelum inisiasi mati otak


Evaluasi pemeriksaan fisik, tim penguji dan periode observasi
Tes apnea
Studi tambahan
5. Diagnosis Mati Otak
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan 1. EEG
Penunjang 2. Pemeriksaan CBF
8. Terapi -
9. Edukasi Penjelasan bahwa mati otak mempunyai prognosis yang buruk
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)


2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Pemeriksaan tambahan tidak diperlukan untuk mendiagnosis mati otak kecuali dalam keadaan tertentu
CBF studi dapat dilakukan dengan radionuclide CBF
15. Kepustakaan 1. Nakagawa TA, Ashwal SA, Mathur M, Mysore M. Guidelines for the determination of brain death in
infants and children : an update of the 1987 task force recommendations-executive summary. Ann Neur
2012;71(4):573-85
2. Tath B, Ekici B. Brain death in children.Turk Arch Ped 2011;46:94-8
3. Shewmon DA. Chronic brain death : Meta-analysis and conseptual consequences. Neurology
1998;51:1538-45
4. Monteiro LM, Bollen CW, van Huffelen AC, Ackerstaff RGA, Jansen NJG, van Vught AJ. Transcranial
doppler ultrasonography to confirm brain death: a meta analysis. Intensive Care Med 2006;32:1937-44.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 176


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MENINGITIS BAKTERI
1. Pengertian (Definisi) Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus.
2. Anamnesis Neonatus
G ejala tidak khas
Panas ±
Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
Pernafasan tidak teratur
Anak umur 2 bulan-2 tahun :
Gambaran klasik (-)
Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
Kadang-kadang “high pitched cry”
Anak umur > 2 tahun :
Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
Kejang
Gangguan kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik Neonatus
Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
Anak
Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis: panas, muntah, kejang
2. Pemeriksaan fisik: tanda rangsang meningeal positif pada anak
3. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal dari lumbal pungsi
5. Diagnosis Meningitis
6. Diagnosis Banding 1. Meningismus
2. Abses otak
3. Tumor otak
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal :
Meningitis Bakteri
Tekanan Meningkat
Warna Keruh
Total White blood cell >1000
Polymorphonuclear cells +++
Mononuclear celss +
Protein Meningkat
Glucosa
Gram stain Positive
Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT- Scan/MRI kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
Darah : LED, CRP, lekosit, hitung jenis, biakan
Air kemih : biakan
Cairan serebrospinal: biakan
8. Terapi Farmakologis :
a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris :
Pasien Antibiotik Dosis (iv)
Neonatus/ Ampicillin + 50-100 mg/kg tiap 6-8 jam
bayi<3bulan Cefotaxime/ 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Gentamicin 2,5 mg/kg tiap 8 jam
Neonatus Vancomycin + 15 mg/kg tiap 8-24 jam
prematur Ceftazidime 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Bayi usia > 3 Ceftriaxone / 100 mg/kg tiap 24 jam (max 4g)
bulan Cefotaxime 100 mg/kg tiap 8jam (max 12 g)

Durasi terapi antibiotik:

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 177


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MENINGITIS BAKTERI
Mikroorganisme Durasi terapi (hari)
Neisseria meningitides 7
Haemophilus influenza 7
Streptocccus pneumonia 10-14
Streptococus agalactiae 14-21
Basilus aerob gram negative 21
Listeria monocytogenes 21

b. Pengobatan simptomatis
• Menghentikan kejang :
Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian
dilanjutkan dengan :
Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
• Menurunkan panas :
Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO
diberikan 3-4 kali sehari
Kompres air hangat/biasa
Menurunkan proses inflamasi :
Deksamethason dosis 0.15 mg/kg iv tiap 6 jam selama 4 hari. Seharusnya dimulai sebelum
pemberian antibiotik yang pertama.
c. Pengobatan tambahan
Cairan intravena

2. Perawatan :
Pada waktu kejang :
Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
Hisap lendir
Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
Bila penderita tidak sadar lama:
Beri makanan melalui sonde
Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan
Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
Cegah kekeringan kornea dengan salep antibiotic
Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
Pemantauan ketat :
Tekanan darah
Pernafasan
Nadi
Produksi air kemih
Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
Fisioterapi dan rehabilitasi.

9. Edukasi 1. Deteksi dini terhadap kecurigaan meningitis bakteri dan kecepatan pemberian antibiotik sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pemberian antibiotik empiris seharusnya berdasarkan epidemiologi local, usia dan factor resiko
3. Penjelasan terhadap resiko komplikasi berupa peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus, infark
ataupun subdural efusi yang bisa terjadi.

10. Prognosis Faktor yang terkait dengan prognosis yang buruk


Etiologi:
Streptococcus pnenumonia
Bakteri enteric gram negative
Titer bakteri yang tinggi
Pasien:
Bayi baru lahir
Status imunitas yang buruk

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 178


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MENINGITIS BAKTERI
Derajat berat penyakit sewaktu MRS
Penyakit derajat berat
Adanya gejala neurologis fokal
Koma
Gangguan kardiovaskular
Tidak adanya panas
Tipe manajemen
Memerlukan perawatan intensif
Terapi antibakteri yang tidak adekuat
Tidak adanya terapi antiinflamasi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Imunoprofilaksis Vaksin H Influenzae type b efektif dan aman melindungi terhadap meningitis
Metaanalysis pemberian antibiotik untuk terapi meningitis bakteri selama 4-7 hari dan 7-14 hari tidak
didapatkan perbedaan bermakna
Pemberian deksamethason dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pendengarab pasca meningitis
bakteri
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 minggu
15. Kepustakaan 1. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier
2012. Hal 1241-61.
2. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. Hal 433-48.
3. Prats JG, Gaspar AJ, Riberio AB, Paula GD, Boas LV et al. Systematic review of dexamethasone as
adjuvant therapy for bacterial meningitis in children. Rev Paul Pediatr 2012;30:586-93.
4. Huy NT, Thao NTH, Diep DTN, Kikuchi M, Zamora J et al. Cerebrospinal fluid lactate concentration to
distinguish bacterial from aseptic meningitis: a systemic review and metaanalysis. Crit care
2010;14:2-15.
5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for the management
of bacterial meningitis. CID 2004;39:1267-83.
6. Beek D, Brouwer MC, Thwaites GE, Tunkel AR. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet
2012;380:1693-702.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 179


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

|
ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)
1. Pengertian (Definisi) Kelainan neurodegenerative otosomal resesif yang ditandai dengan kelemahan progresif lower motor neuron
(LMN) yang disebabkan oleh delesi homozygote dari Survival Motor Neuron 1 (SMN 1).
2. Anamnesis Kelemahan progresif tergantung pada tipe ASM.
Tipe I didapatkan kelemahan otot, kesulitan menghisap, menelan dan bernafas, riwayat sianosis
berkepanjangan saat lahir.
Tipe II didapatkan gangguan tumbuh kembang terutama gangguan motorik (belum bisa berdiri atau duduk),
tremor jari-jari.
Tipe III didapatkan kelemahan otot proksimal yang progresif lambat, kesulitan melakukan gerakan motorik
khusus misal naik tangga dan mendaki
Tipe IV gejala mirip tipe III
3. Pemeriksaan Fisik Sesuai dengan lesi LMN :
1.Kelemahan flaksid
2.Hipotonia
3.Refleks tendon menurun atau tidak ada
4.Fasikulasi
5.Atropi otot
4. Kriteria Diagnosis 1. Kelemahan otot tipe LMN yang progresif
2. NCV normal
3. CMAPs rendah
4. SMN 1 gen absen homozigote
5. Diagnosis Atropi spinal muscular
6. Diagnosis Banding 1. Distropi muscular kongenital
2. Miopati kongenital
3. Miastenia gravis
4. Gangguan metabolism karbohidrat
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Kadar craetinin kinase (CK) normal pada ASM tipe I dan sedikit meningkat pada 3 tipe lainnya
2. Analisa cairan serebro-spinal normal
3. Analisa kromosom, khususnya pada rantai 5q
4. NCV normal
5. Conduction Motor Action Potentials (CMAPs) dapat rendah normal atau menurun (tergantung tingkat
keparahan penyakitnya), pada kelemahan kronis, CMAPs mendekati normal karena telah terjadi
reinervasi dan kolateral
6. Biopsi otot pada awal penyakit tampak atropi serabut-serabut otot dan hipertropi kompensasi.
Tampak degenerasi atau hilangnya SMN dengan gambaran neurogenik pada morfologi otot
8. Terapi 1. Penatalaksanaan bersifat suportif, bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan
kecacatan
2. Ventilasi non mekanik dapat diberikan pada penderita yang mengalami kelemahan otot pernafasan
3. Percutaneous gastrostomy diberikan pada penderita dengan kelemahan otot menelan untuk mencegah
komplikasi dan memperbaiki nutrisi
4. Terapi pembedahan (koreksi skoliosis atau intervensi ortopedi lainnya) diindikasikan bila didapatkan
kemungkinan harapan hidup yang lama
9. Edukasi 1. Penjelasan bahwa atrapi spinal muscular adalah kelainan yang disebabkan genetik
2. Menjelaskan tipe dari atrapi spinal muscular yang berhubungan dengan tingkat keparahan dan
prognosisnya
3. Terapi yang diberikan hanya bersifat suportif untuk meningkatkan kulitas hidup penderita
4. Genetik konseling dilakukan pada orangtua penderita atrapi spinal muscular yang merencanakan
untuk kehamilan berikut.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA

14. Indikator Medis 1. Angka harapan hidup pada ASM tipe I usia 2 tahun adalah 32%, kebanyakan meninggal sebelum
usia 18 bulan
2. Pada ASM tipe II, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 77%
3. Pada ASM tipe III, angka harapan hidup tergantung onset penyakit. Bila onset < 3tahun angka
harapan usia 2 tahun 98% dan 20 tahun 34%. Bila onset > 3 tahun, angka harapan usia 2 tahun
100% dan 20 tahun 67%
4. Pada ASM tipe IV, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 100%
15. Kepustakaan 1. Lewelt A, Newcomb TM, Swoboda KJ. New therapeutic approaches to spinal muscular atrophy. Curr
Neurol Neurosci Rep. 2012; 1: 42-53
2. Wadman RI, Bosboom WM, Van den Berg LH, Wokke JH, Lannaccone ST, Vrancken AF. Drug
treatment for spinal muscular atrophy types II and III. Cochrane Database Syst Rev. 2011; 7: 12
3. Stavarchi M, Apostol P, Toma M, Cimponeiru D, Gavrila L. Spinal muscular atrophy disease: a
literature review for teurapeutic strategies. Journal of Medicine and Life. 2010; 1: 3-9

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 180


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

|
ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)
4. Montes J, Gordon AM, Pandya S, Devivo DC, Kafmann P. Clinical outcome measures in spinal
muscular atrophy. J Child Neurol, 2009; 24: 968-78
5. Sarnat HB, Menkes JH. Disease of the motor unit. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 969-78.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 181


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

STATUS EPILEPTIKUS
1. Pengertian (Definisi) Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang
tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi
dan fase II mekanisme tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan non-
konvulsif status epileptikus.
2. Anamnesis Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
Tingkat kesadaran di antara kejang
Riwayat kejang sebelumnya,
Riwayat kejang dalam keluarga
Panas,
Trauma kepala
Riwayat persalinan,
Tumbuh kembang
Penyakit yang sedang diderita dan dahulu.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
• Peningkatan cerebral blood flow dan
metabolisme
• Hipertensi, hiperpireksia
• Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
• Depresi pernafasan
• Disritmia jantung, hipotensi
• Hipoglikemia, hiponatremia
• Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan
DIC
4. Kriteria Diagnosis Bisa memakai salah satu dari kriteria dibawah:
Kejang berlangsung selama 30 menit atau lebih
Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih
5. Diagnosis Status epileptikus
6. Diagnosis Banding 1. Reaksi konversi
2. Syncope
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah)
dianjurkan untuk evaluasi penyebab
2. CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial
8. Terapi 1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit
pertama), yaitu ABC :
• Airway : Bebaskan jalan nafas
• Breathing : Pemberian pernafasan
buatan/bantuan nafas
• Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan.
2. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30
menit pertama) :
Rute intravena:
1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin
(Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB )
2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb
dilanjutkan maintenance
3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance

Rute intranasal:
Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB
Rute intramuscular:
Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB

3. Pemberian obat anti kejang lanjutan


4. Mencari penyebab status epileptikus
5. Penatalaksanaan penyakit dasar

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 182


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

STATUS EPILEPTIKUS
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi
dengan :
• Midazolam, atau
• Barbiturat (thiopental, phenobarbital,
pentobarbital)
9. Edukasi 1. Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif
maupun gangguan tingkah laku.
2. Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat,
farmakoresistensi dan mortalitas.
3. Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%.
10. Prognosis Tergantung pada :
• Penyakit dasar
• Kecepatan penanganan kejang
• Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Darto Saharso SpA(K)
2. dr Prastiya Indra Gunawan SpA
14. Indikator Medis Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan
menghasilkan mortalitas sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan penanganan
15. Kepustakaan 1. Sofou K, Kristjandottir R, Papachatzakis NE, Ahmadzadeh A, Uvebrant P. Management of prolonged
seizures and status epilepticus in childhood: a systematic review. J of Chikd Neurol 2009;24:918-26.
2. Meier H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, et al. EFNS guideline on the management of
stautus epilepticus. Eur J of Neurol 2006;13:445-50.
3. Brophy GM, Bell R, Allredge B, Bleck TP, Glausr T et al. Guidelines for the evaluation and
management of status epilepticus. Neurocrit care 2012;17:3-23.
4. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Seminars in neurology 2008;28:342-54.
5. Prasad K, Krishnan PR, Al Roomi K, Sequeira R. Anticonvulsant therapy for status epilepticus. Br J
Clin Pharmacol 2007;63:640-7.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 183


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

GAGAL TUMBUH (FAILURE TO THRIVE)

Failure to thrive (FTT) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai
1. Pengertian (Definisi) dengan seharusnya, tidak naik (flat growth) atau turun dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya (diketahui
dari grafik pertumbuhan), terutama pada usia dibawah 3 tahun. Istilah yang lebih tepat adalah fail to gain weight
bukan diterjemahkan sebagai gagal tumbuh, karena dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap
umur pada minimal 2 periode pengukuran (dapat memakai berat badan pada saat lahir). Tinggi badan dan lingkar
kepala yang juga merupakan parameter pertumbuhan mungkin masih normal.
Perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar
deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. FTT juga belum tentu gizi kurang atau gizi buruk

Masa neonatal : FTT dapat disebabkan oleh manajemen ASI yang salah, cara pemberian susu formula yang
2. Anamnesis salah (jumlah, cara pengenceran), kelainan metabolik, kelainan kromosom dan kelainan anatomis (rongga mulut,
gastrointestinal, dll)

Usia 3-6 bulan: kemungkinan penyebab antara lain underfeeding (karena kemiskinan), cara pembuatan formula
yang salah, intoleransi protein susu, disfungsi motorik oral, refluks gastroesofagus,kelainan anatomis sal
pencernaan atau gangguan malabsorbsi dan penyakit jantung bawaan.
Usia 7-12 bulan : keterlambatan pemberian makanan padat, intoleransi makanan, penyakit infeksi, disfungsi
motor oral, dan orang tua yang protektif.
Diatas usia 12 bulan: masalah seperti usia diatas ditambah dengan masalah psikososial

Dilakukan pengukuran BB, TB, dan lingkaran kepala. Kemudian ditentukan status gizi anak tersebut.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pasien yang gizinya masih cukup, tidak ditemukan gejala yang khas, sedangkan anak dengan gizi kurang
anak tampak kurus tanpa disertai kelainan fisis lain.
Pasien yang mengalami gizi buruk terlihat cengeng, kurus sekali, ditemukan wasting, ekstremitas hipo/atrofi,
crazy pavement dermatosis.
Pasien FTT akibat kelainan kromosom atau genetik dapat terlihat dismorfik.
Cari adanya kelainan fungsional atau kelainan anatomis,tanda infeksi.
Perhatikan terhadap kemungkinan adanya child abuse.
Pemeriksaan antropometris
4. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasar :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan antropometris
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemerisaan penunjang
Bayi Prematur
6. Diagnosis Banding Bayi dengan intra uterin growth restriction
Kelainan anatomis tulang: osteogenesis imperfecta,achondroplasia
Darah tepi lengkap
7. Pemeriksaan Urinalisis dan feses lengkap
Penunjang Kultur darah, urine
Uji tuberculin
Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi sesuai penyakit dasar yang dicurigai (misal:analisis gas darah bila
curiga adanya tubulopati, elektrolit, pemeriksaan laktat dan amoniak bila dicurigai penyakit inborn error, dll)
Pemeriksan radiologis bila dicurigai adanya kelainan anatomis
Mencari dan mengobati penyakit dasarnya apakah merupakan kelainan organik atau non organik
8. Terapi
Terapi Medikamentosa
Diberikan bila ditemukan penyakit yang mendasari (underlying disease)
Terapi Nutrisi
- Berikan menurut tahapan Asuhan Nutrisi Pediatri (Pediatric Nutrition Care)

- Hitung kebutuhan kalori serta protein menggunakan prinsip BB ideal menurut PB atau TB saat ini
dikalikan RDA kalori /protein sesuai dengan height age (PB atau TB saat ini ideal untuk usia berapa?),
dimulai dengan kalori BB aktual dan dinaikkan bertahap sampai kalori BB ideal atau dimulai 50-60 %
dari kalori BB ideal untuk menghindari refeeding syndrome

- Asupan mineral dan vitamin yang berlebihan tidak terindikasikan


- Atur jadwal makanan sesuai feeding rule ( 3x makan, 1-2 x snack, susu/asi 3-4x)
- Stop pemberian jus, punch, soda sampai berat badan normal

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 184


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

GAGAL TUMBUH (FAILURE TO THRIVE)

Evaluasi pemberian ASI pada bayi


- Perbaiki manajemen laktasi
- Pastikan jumlah asupan serta jadwal pemberian ASI disesuaikan dengan kebutuhan bayi (on demand).
Frekuensi pemberian berkisar antara 8-12 kali dalam 24 jam dengan lama pemberian minimal 10 menit
disetiap payudara untuk memastikan asupan hind-milk
Atasi masalah ibu misalnya kelelahan, stress, rasa lapar
Waspada bila berat badan tidak naik atau tetap dalam 2 minggu
9. Edukasi Waspada bila anak tidak mau makan selama > 1 bulan

FTT sederhana
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

FTT dengan kelainan kompleks


Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)
b. Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K)
c. Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K)
d. Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K)

14. Indikator Medis Berat badan naik, panjang /tinggi badan bertambah, lingkar kepala normal
1. Gahagan S. Failure to thrive: A consequences of undernutrition. Pediatr Rev. 2006;27:e-11.
15. Kepustakaan 2. Krugman SD,Dubowitz H. Failure to thrive. AAFP 2003: 68:879-84
3. Olsen OM, Petersen J, Skovgaard AM. Failure to thrive: the prevalence and concurrence of anthropometric
criteria in a general infant population. Arch Dis Child 2007: 92; 109-114
4. Khoshoo V, Reifen R.Use of energy-dense formula for treating infants with non-organic failure to thrive.
European Journal of Clinical Nutrition 2002:56;921-24
5. UKK NPM IDAI. Gagal Tumbuh. Dalam Standar Pelayanan Medis IDAI 2007

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 185


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi,
1. Pengertian (Definisi) dapat karena asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama.
Sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain.

Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat
ringan-sedang (gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis
yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis
didapatkan 3 bentuk ,yaitu : kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam
penatalaksanaannya hampir sama

- Kapan tubuh makin kurus


2. Anamnesis - Kapan timbul bengkak
- Kapan terjadi penurunan atau hilangnya nafsu makan
- Riwayat makan sebelum sakit
- Riwayat pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI
- Gejala dan tanda yang mengarah ke penyakit infeksi, misalnya diare,TB,campak,ISK, HIV
- Gejala yang mengarah ke penyakit kelainan anatomis, misalnya Hipertrofi Pyloric Stenosis,
Hierschsphrungs disease, malrotasi, post ileostomi, post colostomi, penakit jantung bawaan , dll
- Gejala yang mengarah pada penyakit keganasan
- Batuk kronik
- Kelainan kulit
- Kelainan mata
- Diuresis terakhir
- Latar belakang sosial anak
KEP ringan
3. Pemeriksaan Fisik Sering ditemukan gangguan pertumbuhan:
- Anak tampak kurus
- Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti
- Berat badan tidak bertambah, adakalanya berat badan bahkan turun
- Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal.
- Maturasi tulang terlambat
- Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/menurun
- Tebal lipatan kulit normal atau berkurang
- Anemia ringan
- Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat

KEP berat

Secara klinis terdapat 3 tipe, yaitu


- Kwashiorkor: Perubahan mental sampai apatis, anemia, rambut tipis kemerahan mudah dicabut /
rontok, gangguan sistem gastrointestinal, pembesaran hati, bercak merah kecoklatan di kulit dan
mudah terkelupas (crazy pavement dermtosis), atrofi otot, edema simetris pada kedua punggung kaki,
dapat sampai seluruh tubuh

- Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng,
kulit kering, dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang,
otot atrofi hingga kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah
lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya

- Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan.

- Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV

- KLINIS
4. Kriteria Diagnosis - ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva WHO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000)

Tabel 1. Klasifikasi KEP menurut WHO


Tanda KEP KEP sedang KEP berat
(gizi kurang) (gizi buruk)
Edema simetrik tidak Tidak/Ya
BB/TB <-2SD (70-90%) <-3SD severe wasting (<70%)
TB/U <-2SD (85-89%) <-3SD (severe stunting (<85%)
Ditegakkan berdasarkan :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan Klinis
2. Antropometris
3. Pemeriksaan penunjang (termasuk untuk mencari penyakit yang menyertai/underlying disease)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 186


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

Adanya edem maupun asites pada kwashiorkor atau marasmik-kwasiorkor perlu dibedakan dengan :
6. Diagnosis Banding - Sindroma nefrotik
- Sirosis hepatis
- Gagal jantung kongestif
- Pellagra Infantil

1. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein
7. Pemeriksaan serum (albumin, globulin), feritin.
Penunjang 2. Tes mantoux
3. Radiologi (dada, AP dan Lateral )
4. EKG

KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti
8. Terapi pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat
No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 Mulai Pemberian
Makanan (F-75)
7 Pemberian Makana
utk Tumbuh kejar
(F-100)

8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe


9 Stimulasi
10 Tindak lanjut

Medikamentosa

- Atasi : hipoglikemi, hipotermi, dan dehidrasi


- Hipoglikemi
Semua anak dengan KEP berat berisiko mengalami hipoglikemi. Pada saat datang ke rumah sakit,
anak harus segera diberi glukosa atau sukrosa 10%, atau makanan. Pemberian makan yang sering
penting untuk mencegah hipoglikemi.
Hipoglikemi dan hipotermi biasanya terjadi bersamaan dan sering merupakan tanda infeksi. Bila
ditemukan hipotermi, harus dicek terhadap kemungkina hipoglikemi.
Dikatakan hipoglikemi bila kadar gula darah < 3mmol/L (<54 mg/dl). Bila gula darah tidak bisa diukur
harus dianggap setiap anak dengan KEP berat menderita hipoglikemi.
Terapi
- Sukrosa atau glukosa 10% sebanyak 50ml per oral atau melalui sonde lambung
- Bila anak tidak sadar, berikan glukosa 10% intravena dengan dosis 5cc/kg BB . Jika tidak tersedia, beri
larutan glukosa 10% dengan sonde lambung
- Hipotermia
Hipotermi dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada anak dengan KEP berat. Dikatakan hipotermi
bila temperatur aksila <35ºC atau tidak terbaca pada thermometer. Temperatur rectal <35,5ºC.
Terapi
- Berikan makan atau minum manis segera
- Pastikan tubuh anak tertutup pakaian, termasuk kepala, selimuti dan tempatkan pemanas atau lampu
didekat anak, atau tempatkan anak pada dada atau perut telanjang ibu, kemudian selimuti ibu dan
anak.
- Dehidrasi
Sering terjadi overdiagnosis terhadap dehidrasi dan overestimasi penilaian derajat dehidrasi pada anak
dengan KEP berat. Hal ini disebabkan sulitnya menilai status dehidrasi secara akurat pada KEP berat
dengan hanya menggunakan tanda klinis. Anggap semua anak dengan diare cair mungkin mengalami
dehidrasi.
Terapi
- Tata laksana dehidrasi didasarkan derajat dehidrasi. Kebanyakan anak dengan dehidrasi dapat diatasi
dengan cairan rehidrasi oral (CRO). Pada rehidrasi ringan sedang (WHO rencana B), sebanyak 70-

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 187


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 30-
60 menit, kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde
lambung. Bila dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO
belum selesai. Jangan menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok.
- Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5%
sebanyak 15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
- Evaluasi setelah 1 jam
- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan
dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam
selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula F-75
Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan
cairan rumat sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara
perlahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi
Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau
tanda gagal jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung berikan transfusi “packed red cell” untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Berikan furosemid 1mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan
distress napas setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara 4-6g/dl, jangan diulangi
pemberian darah.
a. Antibiotik
- Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari
sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari.
- Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM
sekali sehari selama 7 hari.
b. Vitamin-mineral
- Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI,
> 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang
pada hari ke 15 atau sebelum pulang
- Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu
- MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari
- Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu
- Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix
- Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi.
Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung
bawaan,dll

B. DIETETIK
- Oral atau enteral
Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan
berat badan ideal (target berat badan)
Gizi buruk: lihat tabel (sesuai fase)
- Diet bisa diberikan peroral atau enteral melalui pipa nasogastrik pada kasus gangguan absorbsi
dengan continuous feeding atau intermiten
- Jenis diet pada fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat
- Bila didapatkan diare kronik (persisten) diberikan formula/diet elemental, semi elemental tergantung
beratnya kerusakan mukosa usus yang dapat menimbulkan malabsorbsi karbohidrat (laktosa), protein
dan lemak
- Nutrisi parenteral (Intravena): hanya atas indikasi tepat.
Bisa diberikan secara parsial atau total tergantung toleransi pemberian enteral (absorbsi) dan derajat
beratnya diare kronik, untuk memenuhi total kalori yang diperlukan sesuai kebutuhan.
- Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan, yaitu: BB < 7 kg diberi

- Makanan padat (solid) pada kasus diare kronik bisa dimulai dengan pemberian bubur BREDA (bubur
realimentasi daging ayam), modifikasi bubur rendah laktosa (soy based diet)
- Evaluasi : aksep

Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk

tabilisasi (F75) Transisi (F75 F100) Rehabilitasi (F100)

Energi 80-100 kkal/kgbb/hr 100-150 kkal/kgbb/hr 150-220/kgbb/hr

Protein 1-1.5 g/kgbb/hr 2-3 g/kgbb/hr 4-6 g/kgbb/hr

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 188


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

Cairan 100-130 ml/kgbb/hr bebas sesuai kebutuhan energi

Bila ada edema berat : 100


ml/kgbb/hr

Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula

Bahan makanan Per 1000 ml F 75 F100 F135


Formula WHO
Susu skim bubuk g 25 85 90
Gula pasir g 100 50 65
Minyak sayur g 30 60 75
Larutan elektrolit ml 20 20 27
Tambahan air s/d ml 1000 1000 1000
Nilai Gizi
Energi Kkal 750 1000 1350
Protein g 9 29 33
Laktosa g 13 42 48
Kalium mmol 36 59 63
Natrium mmol 6 19 22
Magnesium mmol 4,3 7,3 8
Seng mg 20 23 30
Tembaga (Cu) mg 2,5 2,5 3,4
% Energi Protein - 5 12 10
% Energi Lemak - 36 53 57
Osmolaritas mosm/l 413 419 508

- Cuci tangan sebelum menyiapkan makan


9. Edukasi - Gunakan bahan makanan yang baik dan aman
- Peralatan masak yang bersih dan cara memasak yang benar

10. Prognosis Gizi buruk tanpa penyakit berat


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

Gizi buruk dengan penyakit yang brat


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
1. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)
13. Penelaah Kritis 2. Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K)
3. Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K)
4. Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K)

14. Indikator Medis Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk:
15. Kepustakaan buku I,II. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003
2. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health
workers. Geneva: World Health Organization. 1999.
3. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009.
4. Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds.
Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 189


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

2003.p174-90
5. World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of
the Child with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the First-
Referral Level in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000
6. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas.IDAI 2011
7. Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in
infancyArchives of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73
8. Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease.
Pediatrics 1983;72;786
9. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea:
Comparison of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics,
1991;88:1010-18.
10. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent
diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr.
Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 190


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

OBESITAS

Obesitas adalah keadaan penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan dan ditandai dengan adanya
1. Pengertian (Definisi) gambaran klinis yang khas. Kelainan ini sering disertai komplikasi hiperlipidemia, obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS), dan non alcoholic steato hepatitis (NASH)
Obesitas terjadi bila asupan energI total melebihi pengeluaran energi total. Ketidakseimbangan energI ini dapat
disebabkan oleh asupan energi yang berlebih dan atau pengurangan pengeluaran energi, baik untuk
metabolisme, termoregulasi dan aktivitas fisik.
Peningkatan asupan energi ditemukan pada sindrom genetik, sedang pengurangan energi dijumpai pada
defisiensi hormon. Namun kelainan genetik dan hormonal tersebut ternyata tidak dapat menjelaskan peningkatan
berlebih berat badan pada kebanyakan pasien. Kebanyakan obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan misalnya pola makan, olah raga, jenis aktifitas sehari hari
Riwayat pertumbuhan/pertambahan berat badan
2. Anamnesis
Kapan mulai tambah gemuk
Riwayat masukan makanan
Riwayat obesitas dalam keluarga
Tidur mengorok
Aktivitas sehari hari
Perawakan pendek atau defek pertumbuhan linear pada anak dengan obesitas harus dicurigai kemungkinan
defisiensi growth hormone, hipotiroidisme, kelebihan kortisol, pseudohipoparatirodsme, atau sindrom genetik,
misalnya sindrom Prader Wili
Kulit kering, konstipasi, intoleransi terhadap cuaca dingin atau cepat lelah mengarah hoipotiroidisme.
Riwayat kerusakan pada SSP (misalnya infeksi, trauma, pendarahan, radiasi, kejang) mengarah pada obesitas
hipotalamikus dengan atau tanpa defisiensi growth hormone, atau hipotiroidisme hipotalamus. Riwayat sakit
kepala pagi hari, muntah, gangguan penglihatan dan miksi berlebih juga merupakan petunjuk bahwa obesitas
disebabkan oleh tumor atau massa di hipotalamus.
Tabel 1. Karakterikstik dan etiologi obesitas
Obesitas idiopatik Obesitas endogen

>90% kasus <10% kasus


Perawakan tinggi (umumnya persentil ke-50 Perawakan pendek (umumnya persentil ke-5 TB/U
TB/U)
Umumnya didapatkan riwayat obesitas pada Umumnya tidak didapatkan riwayat obesitas pada keluarga
keluarga
Fungsi mental normal Fungsi mental sering retardasi
Usia tulang : normal atau advanced Usia tulang : terlambat (delayed)
Pemeriksaan fisik umumnya normal Terdapat stigmata pada pemeriksaan fisik
Pengukuran TB, BB, BB/TB, body mass index (BMI) dan tekanan darah
3. Pemeriksaan Fisik Peningkatan berat badan di luar karakter keluarga
Obesitas pada anak yang pendek
Peningkatan berat badan progresif yang tidak disertai dengan peningkatan pertumbuhan linear yang sebanding
Muka tembem, dagu rangkap, leher pendek
Tonsil/adenoid
Kulit kering, intoleransi terhadap dingin, konstipasi, cepat lelah
Akumulasi lemak di leher dan badan, tetapi tidak pada ekstremitas
Striae ungu
Hipertensi
Rambut wajah yang berlebihan, jerawat, menstruasi irregular pada remaja perempuan
Perkembangan seksual yang tidak sesuai usianya
Payudara tampak besar
Perut membuncit, pendular
Ekstremitas, jari meruncing
Kaki bentuk X dan O
Genitalia, buried penis
Kriteria diagnosis
4. Kriteria Diagnosis 1. Berdasarkan kurva WHO Z score bila terletak
diatas +3SD disebut obesitas, diatas +2SD hingga +3SD disebut gizi lebih (overweight ).
2. Usia 2 tahun menggunakan kurva index massa tubuh (BMI) CDC 2000. Bila BMI terletak diatas
persentil 95 disebut obesitas. Sedangkan bila BMI terletak antara diatas persentil 85 (antara 85-95)
dikatakan gizi lebih (overweight).

Ditegakkan berdasarkan:
5. Diagnosis Tanda klinis/Pemeriksaan Fisik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 191


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

OBESITAS

Antropometris
Prader-Willis Syndrome
6. Diagnosis Banding Precoccius Puberty
Polycistis ovary syndrome
Dilakukan sesuai indikasi:
7. Pemeriksaan - Darah perifer lengkap
Penunjang - Tes toleransi glukosa oral
- Fungsi tiroid
- Profil lipid
- Sekresi dan fungsi growth hormone
- Kalsium, fosfat dan kadar hormon paratiroid bila dicurigai pseudohipoparatiroidisme
- Fungsi hati : SGOT, SGPT
- Foto orofaring AP dan Lat
- USG hati
- MRI otak dengan fokus hipotalamus dan hipofisis, bila terindikasi secara klinis
- Sleep studies untuk mendeteksi sleep apnea
Tata laksana komprehensif obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Tujuan utama
8. Terapi tata laksana obesitas adalah perbaikan kesehatan fisik jangka panjang melalui kebiasaan hidup yang sehat
secara permanen. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat tahap tata laksana dengan intensitas yang
meningkat. Prinsip tata laksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi.
Tahap I: Pencegahan Plus
Pada tahap ini, pasien overweight dan obesitas serta keluarga memfokuskan diri pada kebiasaan makan yang
sehat dan aktivitas fisik sebagai strategi pencegahan obesitas. Kebiasaan makan dan beraktivitas yang sehat
adalah sebagai berikut:
1. Mengonsumsi 5 porsi buah-buahan dan sayur-sayuran setiap hari. Setiap keluarga dapat meningkatkan
jumlah porsi menjadi 9 porsi per hari
2. Kurangi meminum minuman manis, seperti soda, punch.
3. Kurangi kebiasaan menonton televisi (ataupun bentuk lain menonton) hingga 2 jam per hari. Jika anak
berusia < 2 tahun maka sebaiknya tidak menonton sama sekali. Untuk membantu anak beradaptasi, maka
televisi sebaiknya dipindahkan dari kamar tidur anak.
4. Tingkatkan aktivitas fisik, 1 jam per hari. Bermain adalah aktivitas fisik yang tepat untuk anak-anak yang
masih kecil, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat melakukan kegiatan yang mereka sukai seperti
olahraga atau menari, bela diri, naik sepeda dan berjalan kaki.
5. Persiapkan makanan rumah lebih banyak ketimbang membeli makanan dari restoran.
6. Biasakan makan di meja makan bersama keluarga minimal 5 atau 6 kali per minggu.
7. Mengonsumsi sarapan bergizi setiap hari
8. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam perubahan gaya hidup
9. Biarkan anak untuk mengatur sendiri makanannya dan hindari terlalu mengekang perilaku makan anak,
terutama pada anak < 12 tahun.
10. Bantu keluarga mengatur perilaku sesuai kultur masing-masing

Tahap II: Manajemen Berat Badan Terstruktur


Tahap ini berbeda dari tahap I dalam hal lebih sedikitnya target perilaku dan lebih banyak dukungan kepada
anak dalam mencapai perubahan perilaku. Beberapa tujuan yang hendak dicapai, di samping tujuan-tujuan pada
tahap I adalah sebagai berikut:
1. Diet terencana atau rencana makan harian dengan makronutrien seimbang sebanding dengan rekomendasi
pada Dietary Reference Intake, diutamakan pada makanan berdensitas energi rendah.
2. Jadwal makan terencana beserta snack (3 kali makan disertai 2 kali snack, tanpa makanan ataupun
minuman mengandung kalori lainnya di luar jadwal)
3. Pengurangan waktu menonton televisi dan kegiatan menonton lainnya hingga 1 jam per hari.
4. Aktivitas fisik atau bermain aktif yang terencana dan terpantau selama 60 menit per hari.
5. Pemantauan perilaku ini sebaiknya tercatat
6. Reinforcement terencana untuk mencapai target perilaku

Tahap III: Intervensi multidisipliner menyeluruh


Pendekatan ini meningkatkan intensitas perubahan perilaku, frekuensi kunjungan dokter, dan dokter spesialis
yang terlibat untuk meningkatkan dukungan terhadap perubahan perilaku. Untuk implementasi tahap ini, hal-hal
berikut harus diperhatikan:
1. Program modifikasi perilaku dilaksanakan terstruktur, meliputi pemantauan makanan, diet jangka pendek,
dan penetapan target aktivitas fisik
2. Pengaturan keseimbangan energi negatif, hasil dari perubahan diet dan aktivitas fisik
3. Partisipasi orang tua dalam teknik modifikasi perilaku dibutuhkan oleh anak < 12 tahun
4. Orang tua harus dilatih untuk memperbaiki lingkungan rumah
5. Evaluasi sistemik, meliputi pengukuran tubuh, diet, aktivitas fisik harus dilakukan pada awal program dan
dipantau pada interval tertentu

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 192


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

OBESITAS

6. Tim multidisipliner yang berpengalaman dalam hal obesitas anak saling bekerja sama, meliputi pekerja
sosial, psikologi, perawat terlatih, dietiesien, physicial therapist, dokter spesialis anak dengan berbagai
subspesialisasi seperti nutrisi, endokrin, pulmonologi, kardiologi, hepatologi, dan tumbuh kembang, ahli gizi,
dokter spesialis olah raga, psikolog, guru, dokter spesialis bedah ortopedi, dan ahli kesehatan masyarakat.
7. Kunjungan ke dokter yang reguler harus dijadwalkan, tiap minggu selama minimum 8-12 minggu paling
efektif
8. Kunjungan secara berkelompok lebih efektif dalam hal biaya dan bermanfaat terapeutik.
Tahap IV: Intervensi pelayanan tersier
Intervensi tahap IV ditujukan untuk anak remaja yang obesitas berat. Intervensi ini adalah tahap lanjutan dari
tahap III. Anak-anak yang mengikuti tahap ini harus sudah mencoba tahap III dan memiliki pemahaman tentang
risiko yang muncul akibat obesitas dan mau melakukan aktivitas fisik berkesinambungan serta diet bergizi
dengan pemantauan.
Diet sangat rendah kalori, yaitu pada tahap awal dilakukan pembatasan kalori secara ekstrim lalu
dilanjutkan dengan pembatasan kalori secara moderat. Terapi ini tidak dianjurkan untuk anak dan remaja.
Obat-obatan: yang telah dipakai pada remaja adalah sibutramine yaitu suatu inhibitor re-uptake serotonin
dan orlistat yang menyebabkan malabsorpsi lemak melalui inhibisi lipase usus. Food and Drug
Administration (FDA) menyetujui penggunaan sibutramine untuk pasien >16 tahun dan orlistat untuk pasien
>12 tahun.
Bedah: mengingat semakin meningkatnya jumlah remaja dengan obesitas berat yang tidak berespons
terhadap intervensi perilaku, terdapat beberapa pilihan terapi bedah, baik gastric bypass atau gastric
banding. Tata laksana ini hanya dilakukan dengan indikasi yang ketat karena terdapat risiko perioperatif,
2
pascaprosedur, dan perlunya komitmen pasien seumur hidup. Kriteria seleksi meliputi BMI 40 kg/m
dengan masalah medis atau 50 kg/ m2, maturitas fisik (remaja perempuan berusia 13 tahun dan anak
remaja laki-laki berusia 15 ta hun, m a turita s e m os iona l da n kognitif, da n s uda h be rus a ha m e nurunka n
berat badan selama 6 bula n m e la lui progra m m odifika s i pe rila ku).

9. Edukasi Pemantauan pertumbuhan


Pendidikan / penjelasan bahaya atau komplikasi
Melibatkan orang tua dan keluarga dalam program kepatuhan
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)
b. Dr. Roedi Irawan, dr, SpA(K)
c. Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K)
d. Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K

14. Indikator Medis Penurunan berat badan 0,5 – 2 kg/ bulan


1. De Onis M, Blössner M. Prevalence and trends of overweight among preschool children in developing
15. Kepustakaan countries. Am J Clin Nutr. 2000; 72:1032-9.
2. Schneider MB, Brill SR. Obesity in children and adolescents. Pediatr.Rev.2005; 26:155-62.
3. Spear BA, Barlow SE, Ervin C, Ludwig D, Saelens B, Schetzina KE, et al. Recommendations for Treatment
of Child and Adolescent Overweight and Obesity. Pediatric .2007; 120:254-88.
4. BrillLau DCW, Douketis JD, Morrison KM, Hramiak IM, Sharma AM, Ur E & Members of the Obesity Canada
Clinical Practice. 2006 Canadian clinical practice guidelines on the management and prevention of
obesity in adults and children [summary]. Can. Med. Assoc J. 2007; 176(Suppl): 1-13.
5. Barlow SE and the Expert Committee. Expert committee recommendations regarding the prevention,
assessment, and treatment of child and adolescent overweight and obesity: summary report. Pediatric.
2007;120 (Suppl):164.
6. Davis M, Cleveland G, Hassink S, Johnson R, Paradis G, Resnicow K. Reommendations for Prevention of
Childhood Obesity. 2007; 120:229-53.
7. Daniels SR, Greer FR & the Committee on Nutrition. Lipid Screening and Cardiovascular Health in
Childhood. Pediatrics. 2008; 122:198-208.
8. Dilley KJ, Martin LA, Sullivan, Seshadri R, Binns HJ & the Pediatric Practice Research Group. Identification
of overweight status is associated with higher rates of screening for comorbidities of overweight in
pediatric primary care practice. Pediatrics. 2007; 119: e148 - e155.

9. Kavey REW, Allada Y, Daniels SR, Hayman LL, McCrindle BW, Newburger JW, et al. Cardiovascular risk
reduction in high-risk pediatric patients: a scientific statement from the American Heart Association
Expert Panel on Population and Prevention Science; the Councils on Cardiovascular Disease in the

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 193


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

OBESITAS

Young, Epidemiology and Prevention, Nutrition, Physical Activity and Metabolism, High Blood
Pressure Research, Cardiovascular Nursing, and the Kidney in Heart Disease; and the
Interdisciplinary Working Group on Quality of Care and Outcomes Research: Endorsed by the
American Academy of Pediatrics. Circulation. 2006 December 12; 114: 2710-38.
10. American Heart Association, Gidding SS, Dennison BA, Birch LL, Daniels SR, Gilman MW, Lichtenstein
AH, et al. Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners. Pediatrics.
2006; 117: 544-59.
11. Sjarif DR. Obesitas. Dalam: Trihono PP, penyunting. Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002.
12. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards: Length/height-for-age,
weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and
development. Geneva: World Health Organization; 2006.
13. Jolliffe C, Janssen I. Vascular Risk and Management of Obesity in Children and Adolescents, Vascular
Health and Risk Management. 2006 ;2:171-87.
14. Freedman D. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. In: Marcus K, Wabitsch M, eds. Obesity in
Childhood and Adolescence. Pediatr Adolesc Med.Basel, Karger. 2004 ;9:160-69.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 194


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr.Soetomo, Surabaya
2012-2014

DEFISIENSI VITAMIN A (Xerophthalmia)


Xeroftalmia adalah penyakit akibat defisiensi vitamin A yang bermanifestasi pada mata. Terdapat beberapa
1. Pengertian (Definisi) stadium klinis defisiensi vitain A pada mata, yakni :
- Butasenja / hemeralopia (XN)
- BercakBitot
- Xerosiskonyungtiva (X1)
- Xerosiskornea (X2)
- Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3A)
- Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3B)
- Keratomalacea / Prolaptustridis
- Corneal scar (XS)
XeroftalmiaseringkalimenyertaiKurangEnergi Protein (KEP)
- Sejakkapanterjadinyakelainanpadamata
2. Anamnesis - Bagaimanamulainya
- Obat yang sudahdiberikan
- Bagaimanamasukanmakanansehari-hari
- Apakahpasienmenderitacampakataudiarekroniksebelumnya
- Bercakbitot
3. PemeriksaanFisik - Kekeringanpadakonjungtivabulbi
- Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea
- Terdapatnyaprolaps/keratomalasea
- Tanda-tandamalnutrisi
- Bercakbitot
4. Kriteria Diagnosis - Kekeringanpadakonjungtivabulbi
- Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea
- Terdapatnyaprolaps/keratomalasea
- Tanda-tandaKEP berat

5. Diagnosis - Berdasarkan Anamnesa


- Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Laboratorium

6. Diagnosis Banding
- Kadar vitamin A serum (retinol)
7. PemeriksaanPenunj - Serum retinol < 20µg/dl indikator kadar serum rendah
ang
- Biladisertai KEP perbaiki status gizisesuaikeadaanklinis
8. Terapi - Pemberian vitamin A
- Usia<6 bulan: 50,000 SI, oral atau IM
- Usia 6-12 bulan : 100,000 SI, oral atau IM
- Usia> 1 tahun : 200,000 SI, oral atau IM
Diberikanpadahari ke-1, 2, dan 14 ataubilaadaperburukanklinis
Perawatan local
- Mata dibersihkan, diberisalepmataantibiotik, ditutupdengankainkasa yang
dibasahicairangaramfisiologik
- Pendidikangizikeluargadenganmengetahuisumberterbanyak vitamin A
9. Edukasi padaprodukhewanisepertitelur,daging, susu, keju. Sumbernabati (pro vit A/beta karoten
)terbanyakterdapatpadawortel, ketela, labukuning, sayurbayamdanbrokoli.
- Pemberian vitamin A oral setiap 6 bulan, dosisseperti di atas

10. Prognosis Bila ada kelainan anatomis/fungsional pada mata


Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi

13. PenelaahKritis a. Prof. Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)


b. Dr.Roedi Irawan, dr, SpA(K)
c. Siti Nurul Hidayati, dr, SpA(K)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 195


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr.Soetomo, Surabaya
2012-2014

DEFISIENSI VITAMIN A (Xerophthalmia)


d. Nur Aisiyah Widjaja,dr,SpA(K)

14. IndikatorMedis Kadar serum retinol >20µg/dl


1. Heird WC. Vitamin Deficiencies and Excesses In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors Nelson
15. Kepustakaan Textbook of Pediatrics 18thed, Philadelphia Saunders 2007 p. 177-88
2. Lo CW O’Bryan A. Laboratory Assessment of Nutritional Status In. Walker WA, Watkins JB, Duggan C,
editors Nutrition in Pediatrics, basic science and Clinical Applications 3rd ed. BC Decker Inc. 2003 p. 17-20
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk: buku II. Jakarta:
DepartemenKesehatan. 2003
4. Sethuraman U. Vitamine. Pediatrics 2006; 27:44-55
5. Ajaiyeoba A, Samaila E. Use of Bitot’s spot in screening of vitamine A deficiency in Nigerian Children.Afr.
J. Biomed. Res. 2001:4:155 - 57

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 196


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KERACUNAN

1. Pengertian (Definisi) Keracunan adalah terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ
serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian.

2. Anamnesis - Curiga keracunan pada anak: awitan penyakit akut


- Usia 1-5 tahun atau remaja
- Kondisi saat pasien ditemukan (benda yang ada di dekat pasien, seperti obat-obatan atau bahan kimia)
- Riwayat medis saat ini dan sebelumnya
- Kecelakaan atau disengaja
- Jenis, jumlah dan dosis saat terjadinya keracunan
- Tanda dan gejala yang dapat mengarah pada golongan racun spesifik disebut toxidromes
3. Pemeriksaan Fisik - Organofosfat: perubahan status mental, takipnea, bronkospasme, bradikardia atau takikardia, salvias,
miosis, poliuri, defekasi, emesis, lakrimasi, kejang, diaphoresis (keringat berlebihan)
- Salisilat (ringan 150-300 mg/kg: gangguan saluran cerna, tinnitus, takipnea)
(sedang 300-500 mg/kg: demam, diaphoresis dan agitasi)
(berat >500 mg/kg): disartria, koma, kejang, edema paru
-
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Diagnosis keracunan di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Syok anafilaksis
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
Tindakan emergensi :
8. Terapi Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing : Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak
adekwat
Circulation : Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
Identifikasi penyebab keracunan.
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab keracunan ini
tidak sampai menunda usaha-usaha penyelamatan penderita yang harus segera dilakukan.
Eliminasi racun.
A. Racun yang ditelan
Rangsang muntah
Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan bahan beracun,
bila sudah lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang muntah kecuali bila bahan beracun
tersebut mempunyai efek yang menghambat motilitas ( memperpanjang pengosongan )
lambung.
Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum mole atau
dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan :
Sirup Ipecac
Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan.
Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml
1 - 12 tahun 15 ml
> 12 tahun 30 ml
Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila sesudah 20 menit tidak
terjadi muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian ipecac dapat diulangi.
Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%, dapat menyebabkan muntah dalam 2 -
5 menit.
Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB secara subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
1. Keracunan hidrokarbon,kecuali bila hidrokarbon tersebut mengandung bahan-bahan
berbahaya seperti camphor, produk-produk yang mengandung halogenat atau aromatik,
logam berat dan pestisida.
2. Keracunan bahan korossif
3. Keracunan CNS stimulant ( seperti strichnin )
4. Penderita kejang
5. Penderita dengan gangguan kesadaran

Kumbah lambung
Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah menelan bahan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 197


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KERACUNAN
beracun,kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat pengosongan lambung.
Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada :
- Keracunan bahan korosif
- Keracunan hidrokarbon
- Kejang
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita-penderita dengan resiko aspirasi
jalan nafas harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri, kemudian dimasukkan pipa
orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr,pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam
fisiologis ( normal saline/ PZ ) atau 1/2 normal saline 100 ml atau kurang berulang-ulang
sampai bersih.

Pemberian Norit ( activated charcoal )


Jangan diberikan bersama obat muntah, pemberian norit harus menunggu paling tidak 30 - 60
menit sesudah emesis.
Dosis 1 gram/kg BB dan bisa diulang tiap 2 - 4 jam bila diperlukan,diberikan per oral atau
melalui pipa nasogastrik.
Indikasi pemberian norit untuk keracunan :
1. Obat2 analgesik/antiinflammasi : acetamenophen, salisilat, antiinflamasi non steroid,
morphine, propoxyphene.
2. Anticonvulsants/sedative : barbiturat, carbamazepine, chlordiazepoxide, diazepam,
phenytoin, sodium valproate.
3. Lain-lain: amphetamine, chlorpheniramine, cocaine, digitalis, quinine, theophylline, cyclic
anti – depressants
4. Norit tidak efektif pada keracunan Fe, lithium, cyanida,a sam basa kuat dan alkohol.

Catharsis
Efektivitasnya masih dipertanyakan.
Jangan diberikan bila ada gagal ginjal, diare berat, ileus paralitik atau trauma abdomen

Diuretika paksa ( Forced diuretic )


Diberikan pada keracunan salisilat dan phenobarbital ( alkalinisasi urine ).
Tujuan adalah untuk mendapatkan produksi urine 5,0 ml/kg/jam, hati-hati jangan sampai
terjadi overload cairan.
Harus dilakukan monitor dari elektrolit serum pada pemberian diuresis paksa.
Kontraindikasi : udema otak dan gagal ginjal

Dialysis
Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil. Bermanfaat hanya pada
bahan beracun yang bisa melewati filter dialisis ( dialysable toxin ) seperti phenobarbital,
salisilat, theophylline, methanol, ethylene glycol dan lithium.
Dialysis dilakukan bila : Asidosis berat
Gagal ginjal
Ada gejala gangguan visus
Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan.

Hemoperfusi masih merupakan kontroversi dan jarang digunakan.

B. Racun yang disuntikkan atau sengatan


- Immobilisasi
- Pemasangan torniquet diproksimal dari suntikan
- Berikan antidotum bila ada
C. Racun pada kulit dan mata
Lepaskan semua yang dipakai kemudian bersihkan dengan sabun dan siram dengan air
yang mengalir selama 15 menit. Jangan diberi antidotum
D. Racun yang dihisap melalui saluran nafas
Keluarkan penderita dari ruang yang mengandung gas racun.
Berikan oksigen
Kalau perlu lakukan pernafasan buatan
E. Pemberan antidotum kalau mungkin
F. Pengobatan Supportif
Pemberian cairan dan elektrolit
Perhatikan nutrisi penderita
Pengobatan simtomatik ( kejang, hipoglikemia, kelainan elektrolit dsb.)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 198


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

KERACUNAN
Memberikan informasi secara intensif kepada orang tua atau orang yang bertanggung jawab dalam perawatan
9. Edukasi anak dan kepada masyarakat mengenai :
Keracunan pada anak, bagaimana terjadinya, akibat yang terjadi serta bagaimana mencegahnya.
Bahan-bahan yang potensial dapat menyebabkan keracunan yang terdapat didalam atau sekitar rumah yang
seringkali tidak diketahui oleh orang tua.
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi keracunan.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K)
2. dr. Ira Dharmawati, Sp. A
3. dr. Hari Kushartono, Sp. A(K)
4. dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A
5. dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A
6. dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A
1. Terapi suportif harus segera diberikan sambil menunggu pemberian antidotum apabila zat toksik memiliki
14. Indikator Medis antidotum
2. Respon pemberian antidotum tergantung jenis zat toksiknya
3. Eliminasi racun dengan meningkatkan ekskresi melalui urin dapat dilakukan dengan pemberian natrium
bikarbonat dalam waktu 1-2 jam untuk mempertahan pH urine 7,5-8,5
4. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 5 hari
1. Aranoff SC. Food poisoning. Dalam: Behrman RE,Kliegman RM Eds.Nelson Textbook of
15. Kepustakaan Pediatrics.Philadelphia : Saunders, 1992; 1770 -74.
2. Dreisbach RH. Poisoning, Prevention, Diagnosis and Treatment. Dalam : Dreisbach Ed. Handbook of
Poisoning. California : Lange Medical Publication 1983; 3 - 103.
3. Hutchison JH,Cockburn F. Accidental poisoning in childhood. Dalam : Hutchison Ed. Practical pediatrics
problems. London : Lloyd-Luke, 1986; 673 - 89.
4. Madse M. Poisoning,ingestion and overdosis. Pediatric Critical Handout, University of Minesotta, 1998.
5. Olson KR. Comprehensive evaluation and treatment of poisoning and overdose. Dalam :Olson KR Ed.
Lange : Clinical manual : Poisoning and drug overdose. San Francisco :Apleton & Lange,Prentice Hall
International,1990; 1 - 57.
6. Pascoe DJ. Poisoning. Dalam : Pascoe Ed. Quick reference to pediatric emergencies. Philadelphia :
Lippincott; 1984; 86 - 142.
7. Pearson-Shaver AL,Steinbart CM. Evaluation of the poisoned child. Dalam : Holbrook PR Ed. Textbook
of Pediatric Critical Care. Philadelphia : Saunders,1993; 982 - 97.
8. Reece RM. Poisoning. Dalam:Reece RM ed. Manual of emergency
Pediatrics.Philadelphia:Saunders,1978; 203 - 37.
9. Rumack BH. Chemical and drug poisoning. Dalam : Behrman RE,Kliegman RM Eds. Nelson Tetbook of
Pediatrics.Philadelphia: Saunders, 1992; 1774 - 65.
10. Wolf AD,Berkowitz ID,Liebelt E,Rogers MC. Poisoning and the critically child. Dalam : Rogers MC Ed.
Textbook of Pediatric Intensive Care.Baltimore: William Wilkins,1996;1315-91

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 199


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

SYOK ANAFILAKSIS
Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
1. Pengertian (Definisi)
Penyebab anaphylaksis pada anak
2. Anamnesis 1. Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Alergen imunoterapi.
3. Gigitan atau sengatan serangga.
4. Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID.
5. Latex.
6. Vaksin.
7. Exercise induce.
8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah
dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamin.
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen.
3. Pemeriksaan Fisik Gejala kardiovaskular : hipotensi/renjatan.
Gejala saluran nafas : sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/
laring, gejala asma.
Gejala kulit : pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema.
Gejala intestinal : kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare.
Gejala SSP : pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada

Keracunan
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu

8. Terapi 1. Life support: Airway, Breathing, Circulation.


2. Hentikan obat/bahan yang diduga sebagai penyebab.
3. Adrenalin (1:1000) 0,01ml/kg BB, berikan sc (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa
diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.
4. Infus RL/NaCl/ cairan koloid 10-20 ml/kg/10 menit bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan
perfusi jaringan.
5. Bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma: Aminofilin intravena atau
bronkodilator (albuterol, terbutalin) parenteral atau nebulizer.
6. Antihistamin:Diphenhidranin 1-2 mg/kg BB i.m. atau i.v. atau 5 mg/kg BB per oral. Chlortrimeton untuk
gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus.
7. Kortikosteroid: Hidrokortison 6 - 8 mg/kg BB/6-8 jam. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter,
urtikaria persisten, atau angioedema yang masih menetap setelah fase akut teratasi.

Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi syok anafilaksis
9. Edukasi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K)
2. dr. Ira Dharmawati, Sp. A
3. dr. Hari Kushartono, Sp. A(K)
4. dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A
5. dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A
6. dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A

1. Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc
14. Indikator Medis (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 200


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

SYOK ANAFILAKSIS
2. Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
Tanda-tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2
detik, akral hangat.
3. Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita
yang menunjukkan gejala seperti asma
4. Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin
(dalaw waktu 48 jam)
5. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang
masih menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam)
6. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari

1. Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 – 94.
15. Kepustakaan 2. Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis – Life threatening
allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm.
3. Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed.
Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 449–52.
4. Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm
5. Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 101–14.
6. Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347–
61.
7. Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am 1999; 19(3): 533 –53.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 201


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

SYOK HIPOVOLEMIK

1. Pengertian (Definisi) Syok adalah sindroma klinis akut yang disebabkan kegagalan fungsi kardiovaskuler dalam menyediakan
kecukupan oksigen dan nutrien lain untuk metabolisme jaringan, yang disebabkan karena kekurangan cairan.

2. Anamnesis - Kehilangan cairan : muntah, diare, luka bakar, perdarahan, drainase bedah
- Masukan cairan : jenis, jumlah
- Produksi urin
- Perubahan berat badan
KOMPENSASI
3. Pemeriksaan Fisik
Takikardi; takipnea; CRT 2-3 detikl; iritabilitas ringan
DEKOMPENSASI

Kulit dingin; lembab; pucat; mottled;


IRREVERSIBLE
tekanan darah tidak teratur, nadi tidak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan
tanda-tanda kegagalan sistem organ lain
1. Gejala klinis
4. Kriteria Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Diagnosis syok hipovolemik di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
1. Syok Septik
6. Diagnosis Banding 2. Syok Kardiogenik
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
1. Bebaskan jalan napas dan oksigenasi dengan O2 100%.
8. Terapi 2. Pasang akses vaskuler (IV / IO) dan ambil sampel darah untuk laboratorium (darah lengkap, gula darah
acak, kalsium).
3. Bolus dengan cairan kristaloid / koloid isotonik 20 ml/kg secepatnya (< 10 menit), bisa diulang sampai
perfusi baik ATAU 60 ml/kg ATAU terdengar ronki ATAU hepatomegali (total waktu 10-15 menit).
4. Evaluasi tanda klinis syok setiap selesai bolus.
5. Koreksi hipoglikemi dan hipokalsemi.
Bila resusitasi cairan telah diberikan (2-3 kali bolus) dimana + 40-60% dari volume darah telah dimasukkan
namun belum ada respon adekuat, lakukan intubasi bila diperlukan. Evaluasi kemungkinan penyebab syok dan
lakukan tatalaksana lanjut sesuai penyebabnya.

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan
9. Edukasi yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, masih dapat ditolerir dibandingkan
kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan
penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. A. Latief Azis, Sp. A (K)
2. dr. Ira Dharmawati, Sp. A
3. dr. Hari Kushartono, Sp. A(K)
4. dr. Neurinda Permata Kusumastuti, Sp. A
5. dr. Arina Setyaningtyas, Sp. A
6. dr. Dwi Putri Lestari, Sp. A

14. Indikator Medis Pengisian kapiler harus tercapai dalam waktu 60 menit dengan tanda waktu pengisian kapiler < 2 detik,
denyut nadi normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan sentral, produski urin > 1mL/kgBB/jam,
kesadaran normal, tekanan darah normal sesuai usia dan saturasin oksigen > 95%.
80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 202


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012-2014

SYOK HIPOVOLEMIK
1. APLS. The pediatric emergency medicine course. Edisi ke-2. 1993.
15. Kepustakaan 2. Bell LM. Shock. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. Hal: 46-57.
3. Smith L, Hernan L. Shock states. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical
care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. Hal: 294-410.
4. Zingarelli B. Shock and reperfusion injury. Dalam: Nichols DG, et al, penyunting. Rogers’ textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Hal: 252-65.
5. Nadel S, Kissoon NT, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols DG, et al,
penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. Hal: 372-83.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 203


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

BRONKIOLITIS

1. Pengertian (Definisi) Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil
(bronkiolus)
Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza,
adenovirus, rhinovirus dan mycoplasma.
2. Anamnesis Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam
atau hanya subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang
berat bisa didapatkan cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita.
Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
3. Pemeriksaan Fisik Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan 50x/menit, 1-5 tahun 40x/menit.
Ekspiratory effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas
cuping hidung.
Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa
wheezing, sedang ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat
suara nafas nyaris tidak terdengar, wheezing bahkan dapat menghilang.
Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada AP dan lateral
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya
sesak pada bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)
2. Pada foto polos dada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengan diameter anteroposterior yang melebar pada
foto lateral. Dapat pula disertai bercak konsolidasi yang tersebar.
3. Analisa Gas Darah dapat menunjukkan keadaan hiperkarbia (PaCO 2 yang tinggi), asidosis respiratorik,
dan pada keadaan lanjut dapat terjadi asidosis metabolic dan gagal nafas.
4. Bila tersedia pemeriksaan deteksi cepat antigen RSV sebagai penyebab utama bronkiolitis dapat
dilakukan
6. Diagnosis Bronkiolitis
7. Diagnosis Banding 1. Asma bronkiale dalam serangan
2. Pneumonia
3. Aspirasi benda asing
4. Gagal jantung
5. Penyakit lain yang menyebabkan inflamasi pada saluran nafas misalnya cystic fibrosis
8. Terapi 1. Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah:
Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat
Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake peroral
Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur
Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya.
2. Oksigenasi, bila ada tanda gagal nafas dapat diberikan ventilasi mekanik
3. Pembersihan jalan nafas
4. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
5. Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit.
6. Obat-obatan:
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan infeksi bakteri atau disertai pneumonia
Kortikosteroid sistemik: dexametason 0,5 mg/kg (loading) dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Nebulasi dapat dilakukan dengan 2-agonis (misalnya salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang
diencerkan dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier. Penggunaan epinefrine maupun
hypertonic saline belum dianjurkan secara rutin
Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin
9. Edukasi 1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas akut yang masih ringan agar segera
diperiksakan ke dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 204


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

BRONKIOLITIS

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Landia Setiawati SpA(K)
2. dr. Retno Asih Setyoningrum SpA(K)
3. dr.Deddy Iskandar SpA
14. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis
2. Perbaikan analisa gas darah dan saturasi oksigen
15. Kepustakaan 1. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the
Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders,1990 : 360-70.
2. Goodman D. Bronchiolitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,2003 : 1415-7
3. Kleigman RM, Jenson HB, Stanton MF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia : WB
Saunders; 2009; 1456-59
4. Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New approaches to Respiratory Infection in Children. Ped Emerg
Med Clin of North Am 12002; 20: 93-110

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 205


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PNEUMONIA

1. Pengertian Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
(Definisi) Terbanyak adalah virus atau bakteri. Etiologi lain parasit dan aspirasi zat tertentu

2. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak.


Dapat didahului denganinfeksi saluran nafas akut bagian atas.
Gejala umum: batuk, demam tinggi, nafas cepat dan sesak nafas.
Pada keadaan yang berat bisa didapatkan cyanosis
Pada anak yang besar bisa didapatkan nyeri dada.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala yang tidak khas seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang, sulit
minum, dan perut kembung
3. Pemeriksaan Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan 50x/menit, 1-5 tahun 40x/menit.
Fisik Inspiratory effort ditandai dengan retraksi dinding dada, nafas cuping hidung
Gerakan dinding toraks dapat tertinggal pada daerah yang terkena infeksi, perkusi normal atau redup, auskultasi
paru dapat terdengar terdengar suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Tanda lainnya adalah demam tinggi, sianosis, dan dapat ditemukan tanda dehidrasi.
Pada infeksi oleh kuman atipik (mycoplasma, chlamydia) gejalanya tidak jelas maupun memberikan onset
akut seperti diatas. Panas seringkali tidak tinggi, batuk tidak produktif, tidak sesak, dan seringkali disertai sakit kepala
dan malaise.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Hitung Leukosit dan differerential count
4. Laju Endap Darah (LED)
5. C-Reactive Protein (CRP)
6. Procalcitonin
7. Kultur darah, sputum, swab oropharyngeal
5. Kriteria 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis 2. Pada foto polos dada terlihat infiltrat alveolar maupun interstitial yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru.
Kelainan gambaran radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi oleh kuman
atipikal yang gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang dapat dijumpai
berupa konsolidasi pada satu atau beberapa segmen atau lobus paru, penebalan pleura pada pleuritis, atau
adanya komplikasi pneumonia berupa atelektasis, efusi pleura, abses paru, pneumothorak,
pneumomediastinum dan pneumatokel
3. Analisa Gas Darah menunjukkan keadaan asidosis respiratorik, hipoksemia, sedang PaCO 2 dapat rendah,
normal atau meningkat tergantung kompensasi yang terjadi. Dalam keadaan lanjut bisa terjadi asidosis
metabolik, dan gagal nafas.
4. Peningkatan hitung leukosit dengan hitung jenis bergeser ke kiri pada infeksi bakterial
5. LED, CRP, dan procalcitonin meningkat pada infeksi bakterial
6. Pemeriksaan kultur darah dapat menunjang menentukan etiologi terutama pada kasus nasokomial. Sedang
kultur sputum dan swab oropharyngeal sering terkontaminasi flora normal
6. Diagnosis Pneumonia
7. Diagnosis 1. Infeksi saluran pernafasan bawah lainnya (Bronkiolitis, laringotrakeobronkitis)
Banding 2. Kelainan bawaan pada paru (cystic lung disease, bullae, hypoplasia, dan lain sebagainya)
3. Payah jantung
4. Sepsis
5. Pada bayi karena gejalanya yang tidak khas dapat menyerupai sepsis, meningitis dan ileus
8. Terapi 1. Untuk pneumonia ringan dapat diterapi secara rawat jalan dapat diberikan antibiotik peroral dengan amoksisilin
50-80 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis atau amoksisilin-asam klavulanat 50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis,
serta diberikan edukasi kepada orang tua
2. Untuk pneumonia berat dan sangat berat dianjurkan rawat inap dan diberikan terapi:
Ampisilin 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 4 dosis atau ampisilin-sulbaktam 100 mg/kg/hari iv dalam 4 dosis untuk
Community acquired pneumonia
Ceftriaxone 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 2 dosis atau antibiotik sesuai kultur untuk Hospital acquired
pneumonia
Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil pemeriksaan laboratoris, foto thorak
dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari
Oksigenasi, dapat diberikan secara nasal atau masker sesuai keadaan klinis. Bila ada tanda gagal nafas
diberikan bantuan ventilasi mekanik.
Pemberian cairan dan kalori yang cukup
Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
3. Untuk dugaan pneumonia atipik dapat diberikan eritromisin 50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau spiramisin 50
mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau klaritromisin 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10-14 hari.
4. Untuk dugaan Pneumonia Pneumocystic carinii dapat diberikan kotrimoksasol 20 mg/kg/hari dibagi 4 dosis.
5. Untuk keadaan khusus lainnya dapat diberikan Anti viral (Acyclovir, Gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto
Megalous Virus (CMV), Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada pneumonia karena
jamur, Imunoglobulin pada keadaan imunodefisiensi terutama imunitas humoral

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 206


Panduan Praktik Klinis
SMF: Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

PNEUMONIA

9. Edukasi 1. Pemberian imunisasi untuk mencegah pneumonia


2. Pengobatan secara dini bila didapatkan gejala infeksi saluran pernafasan
3. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
4. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
5. Untuk pneumonia ringan yang dirawat jalan harus dipastikan antibiotik dikonsumsi secara lengkap dan
kontrol secara teratur
6. Untuk pneumonia berat sebaiknya di rawat inap dan memerlukan jangka waktu tertentu sampai
pneumonianya dapat membaik
10. Prognosis Pneumonia ringan
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Pneumonia berat dan sangat berat
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Landia Setiawati, SpA(K)
2. dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA(K)
3. dr. Deddy Iskandar, SpA
14. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis
2. Perbaikan radiologis
3. Perbaikan parameter laboratorium
15. Kepustakaan 1. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin
N Am 2003; 21 : 437-51.
2. Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM,
Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 1432-5.
3. Gaston B. Pneumonia. Pediatr Rev 2002 : 23 : 132-40
4. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin
N Am 2003; 21: 437-51
5. Sandora TJ, Harper MB. Pneumonia in hospitalized children.
Pediatr Clin N Am 2005; 52: 1059-81
6. Mc Intosh K. Community-acquired pneumonia in children. N
Eng J Med 2002; 346: 429-36
7. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired bacterial pneumonia.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children, Edisi ke-7. Philadelphia:
Saunders Elsevier, 2006; 441-52.
8. Apisamthanarak A, Mundy LM. Etiology of community-acquired pneumonia.
Clin Chest Med 2005; 26: 47-55
9. Crawford SE, Dawn RS. Bacterial pneumonia, lung abscess and empyema.
Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine,
Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008; 501-54
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 207


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS


(GPPH)
1. Pengertian (Definisi) Gangguan penyesuaian diri perkembangan perhatian (inatensi), aktivitas (hiperaktivitas) dan kontrol
perilaku kurang (impulsif) yang telah berlangsung 6 bulan atau lebih dan terjadi sebelum usia 7 tahun
pada tingkat sampai menganggu penyesuaian diri dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan

2. Anamnesis 1.Tidak ada kelainan pendengaran


2. Tidak ada riwayat trauma
3. Tidak ada trauma persalinan
4. Tidak ada Penelantaraan anak
5. Tidak ada kelainan kongenital

3. Pemeriksaan Fisik 1. Tidak mampu memusatkan perhatiannya untuk waktu yang lama,
2. Perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus lain.
Rentang waktu pemusatan perhatian yang singkat, kemampuan menyimak yang rendah
3. Hiperaktivitas
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan Neurofisiologis.
d. Laporan prestasi akademis.
e. Behavior Rating scales yang diperoleh dari beberapa sumber ( guru dan orang tua ).
f. Harus memenuhi kriteria DSM IV.

1. Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi)


2.Impulsivitas
3. Hiperaktivas

5. Diagnosis GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS (GPPH)


6. Diagnosis Banding 1 .Penyakit kronis
2. Gangguan tidur (Sleep disorders).
3. Depresi.
4. Gangguan kecemasan.
5. Obsessive-compulsive disorders.
6. Gangguan sekunder akibat stres.
7. Pervasive developmental disorders.
8. Gangguan psikiatri lainnya.

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Pemeriksaan pendengaran
3. Pemeriksaan IQ
4. Bila perlu MRI kepala

8. Terapi 1. Terapi Perilaku


2. Metilfenidat :
-Short acting : 5-20 mg ( 2-3x/hari).
-Intermediate-acting : 20-40 mg ( pagi 20 mg, sore 20 mg)
-Long-acting : 18-72mg (1 kali/hari)
3. Amfetamin

9. Edukasi 1. Hubungan orang tua dan anak dipererat


2. Menghindari perlindungan orang tua yang berlebihan
3. Perhatian di sekolah oleh guru
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Irwanto, dr., SpA(K)
2. Ahmad Suryawan, dr., SpA(K)
3. Mira Irmawati, dr., SpA(K)
4. Prof. Moersintowarti B.Narendra, dr., MSc, SpA(K)
14. Indikator Medis 1. Perhatian membaik
2. Aktivitas menjadi normal
15. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics (2000), “Clinical practice guideline: diagnosis and evaluation of
the child with ADHD”, Pediatrics, vol. 105, h. 1158-70.
2. American Academy of Pediatrics (2001), “Clinical practice guideline:Treatment of the school-aged
child with ADHD”, Pediatrics, vol. 108, h. 1033-44.
3. Polaha, J., Cooper, S.L., Meadows, T., Kratochvil, C.J. (2005), “ The Assessment of Attention-
Deficit/Hyperactivity Disorder in Rural Primar Care: The Portability of American Academy of Pediatrics

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 208


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS


(GPPH)
Guidelines to “Real World” “, Pediatrics, vol 115, no 2, h. 120-6.
4. Reiff, M.I., (2001), Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, dalam : Bergman, A.B. (penyunting),
Twenty Common Problems in Pediatrics. Mc Graw-Hill, Singapura, h. 265-299.
5. Simms MD (2004), Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, dalam : Behrman, R.E., Kliegman,
R.M., Jenson, H.B. (penyunting) Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-17, W.B.Saunders Co,
Philadelphia, h. 107-10.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 209


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

CAMPAK

1. Pengertian (Definisi) - Campak, measles, atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit
ini sangat menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Penularan secara droplet (airborne).
2. Anamnesis - Campak mempunyai gejala klinis yang khas, terdiri dari 3 stadium, yaitu :
1. (Stadium masa tunas 10-12 hari)
2. Stadium prodromal 2-4 hari
3. Stadium erupsi 5-7 hari
4. Stadium konvalesen
- Stadium prodromal diawali dengan demam yang makin tinggi disertai batuk, pilek, nyeri telan, konjungtivitis
dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti muntah dan diare. Pada masa ini dapat ditemukan
tanda patognomonis adanya bercak Koplik’s, yaitu enantema di mukosa pipi di depan dari molar 3, yang
biasanya muncul 2 hari sebelum timbulnya ruam.
- Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam makulopapular pada kulit, yang dimulai dari belakang telinga, batas
antara rambut dan kulit, kemudian menyebar ke wajah, dada, perut, lengan dan kaki secara bersamaan.
Suhu akan mulai turun pada hari ke 2-3 ruam, dan ruam kemudian mengalami hiperpigmentasi dan
deskuamasi.
- Pada stadium konvalesen ruam akan berangsur menghilang sesuai dengan urutan timbulnya.
- Pada anak dengan gizi buruk gejala muntah dan diare bisa sangat berat.
- Bisa timbul komplikasi berupa otitits media, bronkopneumoni, mastoiditis, laryngitis akut, ensefalitis,
gastroenteritis, adenitis servikal, SSPE (subacute sclerosing panencephalitis), aktivasi tuberculosis, dan
gangguan gizi sampai kwashiorkor.
3. Pemeriksaan Fisik - Stadium prodromal didapatkan panas disertai 3C dan 1 K (cough, coryza, conjunctivitis, dan koplik’s spot)
- Stadium erupsi ditandai timbulnya ruam makulopapular yang bertahan 5-6 hari, yang dimulai dari batas
telinga kemudian menyebar ke wajah dan seluruh tubuh. Sekitar 2-3 hari setelah ruam muncul biasanya
panas akan menghilang.
- Stadium konvalesen setelah 3 hari ruam akan menjadi kehitaman dan mengelupas, dan menghilang
setelah 1-2 minggu sesuai urutan timbulnya.
- Penentuan status gizi penderita penting karena gizi buruk mempunyai komplikasi yang berat
- Gejala fisik lainnya ditemukan sesuai dengan timbulnya komplikasi yang terjadi.
4. Kriteria Diagnosis A. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan tambahan
1. Anamnesa :
Panas, batuk pilek dan konjuntivitis serta ditemukannya bercak Koplik’s (patognomonik)
2. Pemeriksaan fisik :
Adanya ruam makulopapular yang timbul pertama dari belakang telinga kemudian menyebar ke wajah,
dada dan seluruh tangan dan kaki.
3. Pemeriksaan Ig M spesifik campak (+) dan pemeriksaan virologi
4. kultur virus dari swab ginggiva atau urine

B. Untuk campak dengan komplikasi :


Ensefalitis
Pneumonia

5. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah lengkap : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi
2. Pemeriksaan serologi : Ig M spesifik campak
3. Feses lengkap jika diare
4. Pemeriksaan penunjang untuk komplikasi : pungsi lumbal, foto polos dada, CT scan/MRI kepala.
5. Analisa gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak sesuai indikasi

6. Diagnosis Campak
Campak dengan komplikasi (ICD 10: B05.1,2,3,4)

7. Diagnosis Banding 1. Rubela


2. Infeksi Adenovirus
3. Infeksi Enterovirus
4. Scarlet fever
5. Infeksius mononukleosus
6. Penyakit Kawasaki
7. Erupsi obat
8. Roseola infantum (eksantema subitum)
8. Terapi Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
1. Pemberian cairan yang cukup
2. Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya
komplikasi
3. Suplemen nutrisi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 210


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

CAMPAK

4. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder


5. Anti konvulsi apabila terjadi kejang
6. Pemberian vitamin A.
Indikasi rawat inap :
Hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.
Campak tanpa komplikasi :
1. Hindari penularan
2. Tirah baring di tempat tidur
3. Vitamin A pada usia <6 bulan 50.000 IU, usia 6 bulan – 1 tahun 100.000 IU, pada usia > 1 tahun
200.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.
4. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat
kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi.
Campak dengan komplikasi :
1. Ensefalopati/ensefalitis
Mengatasi kejang dengan diazepam
Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PPK ensefalitis
Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PPK ensefalitis
Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan
elektrolit
Pengobatan suportif dan simtomatis lain
2. Bronkopneumonia :
Antibiotika sesuai dengan PPK pneumonia
Oksigen nasal atau dengan masker
Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa/gas darah dan elektrolit
3. Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi
9. Edukasi 1. Perlunya isolasi
2. Penyakit yang swasirna
3. Penjelasan tentang komplikasi yang bisa terjadi
4. Imunisasi campak termasuk dalam program imunsasi nasional sejak tahun 1982.
Strategi reduksi campak terdiri dari :
a. Pengobatan pasien campak dengan memberikan vitamin A
b. Imunisasi campak
- PPI : diberikan pada umur 9 bulan.
Imunisasi campak dapat diberikan bersama vaksin MMR pada umur 12-15 bulan
- Mass campaign, bersamaan dengan Pekan Imunisasi nasional
- Catch-up immunization, diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1-6
c. Surveilans
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr, SpA(K), DTM&H
b. Prof. Dr. Soegeng Soegijanto dr, SpA(K), DTM&H
c. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
d. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
e. Dominicus Husada, dr, SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
f. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
14. Indikator Medis 1. Bebas panas
2. Tidak sesak dan tidak diare
3. Nafsu makan membaik
4. Ruam telah menghitam dan atau mengelupas
5. Setelah 7 hari perawatan
6. Tindak lanjut :
a. Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang perlu dipantau
terhadap adanya infeksi TB laten.
b. Pantau gejala klinis serta lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
c. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk, konsultasi pada Divisi Nutrisi & Metabolik
15. Kepustakaan 1. Parwati SB. Campak dalam perspektif perkembangan imunisasi dan diagnosis. Pediatri pencegahan
mutakhir I, CE IKA Unair, 2000 : 73-92.
2. Katz SL. Measles in Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ (eds). Krugman’s Infectious Diseases of Children, 8th
ed, St. Louis, Mosby, 1998 : 247-264.
3. Kristensen I, Aaby P, Jensen H, Routine vaccination and child survival : Follow up study in Guinea-Bissou,
West Africa. Br Med J. 2000; 321 : 1-8.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 211


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

CAMPAK

4. Joklik WK. Paramyxovirus in Joklik WK, Virology, 3rd ed. London, Prentice-Hall International Inc., 1988;
hal. 204-219.
5. Redd SC, Markowitz LE, Katz SL, Measles vaccine in Plotkin and Orenstein (eds), Vaccines, 3rd ed,
Philadelphia, WB Saunders, 1999 : 222-266.
6. Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema subitum
(roseola infantum) Br Med J, 1996; 312 : 101-2.
7. WHO. Manual for the laboratory diagnosis of measles virus infection. Geneva, 2000. WHO/V&B/00. 16.
8. Heifand RF, Health JL, Anderson LJ, Gonus D, Bellini WJ. Diagnosis of measles with an IgM-captured EIA
: the optimal timing of specimen collection after rash onset. J Infect Dis, 1997; 175 : 195-7.
9. Shann F. Meta analysis of trials of prophylactic antibiotics for children with measles : inadequate evidence
Br Med J, 1997; 314 : 334.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 212


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma
leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta

2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan
lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas
(handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
- 7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai

3) Pemeriksaan Fisik
Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita tampak sakit sedang sampai berat, kadang disertai penurunan kesadaran
Temperatur dapat sub febris normal atau sub normal
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes RL yang positif (>10 titik pada area
berdiameter 1 inchi), atau dijumpai gejala perdarahan spontsan, berupa petekiae, ekimosis,
perdarahan gusi, dan hypermenorhoea. Kadang dijumpai muntah darah dan berak darah
Pada penderita DHF grade 3 dan 4 apabila dilakukan tes RL umumnya negatif
Adanya kebocoran plasma yang bisa ditunjukkan dengan efusi pleura dan atau asites; ditunjang
dengan hasil pemeriksaan tambahan
Tanda vital
Nadi dapat normal pada DHF grade 1 dan grade 2, sedangkan untuk DHF grade 3 nadi dapat cepat
dan kecil, dan nadi tak teraba untuk DHF grade 1 dan grade 2.

diastole
Pada DHF grade 4 tekanan darah tak terukur
Frekuensi nafas dapat normal, cepat dangkal maupun cepat dan dalam (pernapasan Kuzmaul)
Hepatomegali

4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik


2.
pleura, sedangkan untuk DHF grade 3 dan DHF grade 4 berupa gangguan sirkulasi/syok
3.
perdarahan ringan sampai perdarahan masif yang mengancam nyawa.
4. Dapat ditunjang dengan hasil NS1 dan atau Ig M dan atau Ig G dengue positif

Diagnosis Demam Berdarah Dengue (ICD 10: A91)

6) Diagnosis Banding 1. Dengue fever


2. Trombositopenik purpura
3. Infeksi virus lain seprti morbili, rubella, chikungunya
4. Sepsis
5. ITP, leukemia, anemia aplastik
6. Syok karena sebab lain
7. Malaria, demam tifoid.
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai 0.000, ,
leukopenia, hasil hitung jenis menunjukkan limfopenia pada awal sakit dan netropenia pada akhir
perjalanan sakit
b. Photo / USG thorax didapatkan efusi pleura dextra
USG abdomen dijumpai adanya ascites
c. Pemeriksaan SGOT dan SGPT biasanya ada penignkatan walau tidak sampai 10 x harga normal,
dalam prosentasi kecil SGOT dan SGPT dapat meningkat > 10 x harga normal
d. Pemeriksaan Ig M dan Ig G Dengue
e. NS1
f. Elektrolit serum, gula darah acak, dan albumin
g. PPT dan APTT atas indikasi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 213


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

8) Terapi 1. Pemberian cairan intravena untuk mengatasi plasma leakage, prinsipnya


“ diberikan seminimal mungkin untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif”; “ disertai observasi ketat
dari waktu ke waktu sampai plasma leakage berhenti “
Pemberian infus cairan RLD5 pada DHF grade I dan II yang LFT normal/ atau RAD5 pada penderita DHF
grade I dan grade II yang SGOT dan SGPT nya > 10 x harga normal, dengan formula pemberian cairan
7-5-3
Pada penderita DHF grade 3 dan grade 4 syok diatasi secepat mungkin, kalau syok sudah teratasi
pemberian cairan mengikuti formula 7-5-3 (lampiran algoritme pemberian cairan penderita DHF)
2. Melakukan observasi ketat dari waktu ke waktu, meliputi
Keadaan umum, nafsu makan dan capillary refill time (CRT)
Tanda vital tekanan darah, nadi, frekuensi napas, temperatur
Produksi urine
Hematokrit
Laboratorium sesuai kebutuhan

Tanda klinis berhentinya plasma leakage adalah tanda vital yang stabil, disertai munculnya gejala mau
makan / minum serta mau bermain dari penderita
3. Lakukan deteksi sedini mungkin syok pada penderita dengue, sebab prolong syok memperburuk
prognosis
4. Pada penderita DHF yang tidak memberi respon dengan pemberian cairan seperti diatas, maka segera
cari kemungkinan dibawah, dan segera lakukan koreksi :
Plasma leakage
Perdarahan internal yang tersembunyi (“concealed internal bleeding”)
Hypoglycemia
Hyponatremia
Hypocalcemia
Asidosis
5. Pemberian transfusi darah diperlukan apabila terjadi perdarahan. Transfusi trombosit jarang diberikan

aktif.
Pada perdarahan masif dapat diberikan transfusi wholeblood. Tranfusi FFP atas indikasi.
6. Oksigen dan obat penurun panas atas indikasi
7. Steroid biasanya diperlukan pada komplikasi jantung dan mata
8. Inotropik, vasopressor, dan hemodialisis hanya pada kondisi tertentu
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar

10) Prognosis DHF grade 1 dan grade 2


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
DHF grade 3
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
DHF grade 4
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Penelaah Kritis a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
b. Dominicus Husada, dr, SpA(K)
c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
d. Leny Kartina, dr, SpA
e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam
2. Sudah tidak syok dalam 48 jam terakhir
3. Melewati hari kelima sakit
4. Nafsu makan membaik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 214


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

5. Hemodinamik stabil, produksi urine cukup


6. Tidak ada perdarahan
7. Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut
8. Trombosit lebih dari 50.000/mm3 dan cenderung meningkat
9. Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus
10. Setelah 5 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1.
Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO,
Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 215


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM TYPHOID

1. Pengertian (Definisi) Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi
2. Anamnesis Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat.
Bisa disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus.
Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan,
yaitu demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf

antipiretik turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada
siang hari.
Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung
Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang
biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau
sudah mendapat antibiotika
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu
ke-2 sakit didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas.
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir
minggu pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan
penderita bisa gaduh gelisah.
Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2
sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus
dan peritonitis
3. Pemeriksaan Fisik Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus
an kesadaran mulai komposmentis hingga
delirium atau penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali
dan splenomegali
Gejala klinik lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi
4. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah tepi, demam typhoid klasik akan mendapat leukopenia dan relative
lymphositosis
2. dengan titer 1/200. Widal terbaik dapat
dilakukan 2 kali dengan jarak 5-7 hari dan didapatkan peningkatan titer >4x.
3. Pemeriksaan serologi Ig M dengan metode Tubex (antibodi anti-Salmonella 09) dilakukan hari ke
d
4. Pemeriksaan kultur salmonella typhi dari specimen darah, dilakukan pada sebelum hari ke- 5
sakit dengan hasil positif. Biakan sumsum tulang dapat positif hingga minggu ke-4.
5. Atas indikasi tertentu dilakukan :
- Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, SGOT, SGPT, BUN dan serum kreatinin
- Pemeriksaan urine, atau kultur urine
- Pemeriksaan thorax photo
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan CT scan / MRI otak
5. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan :
- Gejala klinik
- Pemeriksaan darah tepi
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan kultur salmonella typhosa dari spesimen darah
6. Diagnosis Demam Tifoid (ICD10: A01.00)
7. Diagnosis Banding 1. Awal sakit adalah influenza, bronchitis, bronchopneumonia, gastroenteritis, infeksi virus dengue,
sepsis, UTI
2.
akuta, keganasan, UTI, hepatitis, shigellosis
8. Terapi 1. Kalau diperlukan diberi infus cairan sesuai dengan umur dan kebutuhan
2. Antibiotika
Penderita terapi ambulatoir dapat dipakai :
Chloramphenikol oral dengan dosis 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis sampai 2 minggu.
Monitor efek samping terutama dengan pemeriksaan retikulosit.
Amoxicillin oral dengan dosis 100 mg per kgBB sampai 2 minggu
Cefixime oral dengan dosis 10 – 15 mg per kgBB terbagi dalam 2 dosis selama 2 minggu
Pada penderita yang indikasi rawat inap, diberikan ceftriaxone 80 mg per kgBB per hari dibagi 2
kali, dengan lama pemberian selama 5 – 10 hari
Pada penderita yang disertai komplikasi pneumonia, otitis media akuta maupun infeksi saluran
kemih, ceftriaxone dengan dosis dan lama pemberian sama dengan diatas
Pada penderita yang resisten terhadap ceftriaxone, maka pemberian ciprofloxacine dengan
dosis 15 mg per kgBB dalam dosis terbagi selama 7 – 10 hari
3. Pada karier S. typhi (tetap ada dalam urin/feses selama lebih dari 6-12 bulan): amp[isilin
100/mg/kgBB/hari dibagi 4, selama 6-12 minggu ; atau kotrimoksasol 4-20 mg/kgBB/hari dibagi 2
selama 6-12 minggu

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 216


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM TYPHOID

4. Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai
komplikasi ensefalopati
5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan
6. Antipiretika sesuai kebutuhan
7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis
9. Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan
3) Prognosis penderita
4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral
5) Imunisasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
b. Dominicus Husada, dr, SpA(K)
c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
d. Leny Kartina, dr, SpA
e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
14. Indikator Medis 1. Bebeas demam 2x24 jam
2. Nafsu makan dan minum membaik
3. Perbaikan kondisi klinis penderita
4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik
5. Pemeriksaan darah lengkap
6. Setelah 7 hari perawatan
15. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS,McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27.Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.579-
84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter
JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004, h. 212-3

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 217


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )

1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran
plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul
rewel yg tak jelas penyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam
seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti
morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua
ekstremitas atas (handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan
atau gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting

3) Pemeriksaan Fisik
Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat
tampil rewel sekali
Temperature dapat febris, sub febris, normal atau sub normal
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede yang positif, atau
dijumpai gejala perdarahan spontan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan
hypermenorhoea
Dapat dijumpai gejala saluran napas atas berupa pilek, batuk, pharyngitis ringan
Pada hari sakit 1-3 dapat dijumpai flushing terutama pada muka
Pada hari sakit 3-5 dapat dijumpai ruam morbiliform
Dapat dijumpai adanya “convalescence rash” pada periode recovery
Dapat dijumpai hepatomegali

4) Kriteria Diagnosis 1.
Gejala dan tanda klinik sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik
Trombositopenia (<100.000/mm3). Sering disertai leukopenia (<4000/mm3)
2.
3.
Tanpa kebocoran plasma yang ditandai dengan tak didapatkannya peningkatan hematokrit, dan
atau tak dijumpai adanya ascites dan atau efusi pleura dextra.
4. NS1 antigen dengue + atau Ig M dengue +
Diagnosis Demam Dengue (ICD10: A90)
6) Diagnosis Banding 1. Undifferentiated fever
2. Dengue Hemorrhagic fever grade I dan grade II
3. Trombositopenik purpura, leukemia, anemia aplastik
4. Infeksi virus lain seperti campak, rubella, chikungunya
5. Demam tifoid, malaria
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (< 150.000, dapat > 100.000, tetapi ada

b.
Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue

c.
Photo / USG thorax menyingkirkan adanya efusi pleura
USG abdomen untuk menyingkirkan adanya ascites
d. ALT/AST dan gula darah acak jika diperlukan
8) Terapi 1. Kalau diperlukan diberikan infus cairan rumatan sesuai umur, dengan memenuhi kebutuhan
cairan sesuai formula Halliday Segar
2. Apabila trombosit <50.000 dan disertai tanda perdarahan aktif diberikan transfusi trombosit
3. Pada perdarahan massif dapat diberikan transfusi wholeblood
4. Parasetamol
5. Diazepam jika kejang (kejang demam)
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang
nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 218


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )

12) Tingkat Rekomendasi A


13) Penelaah Kritis a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
b. Dominicus Husada, dr, SpA(K)
c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
d. Leny Kartina, dr, SpA
e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H

14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam


2. Melewati hari kelima sakit
3. Nafsu makan membaik
4. Hemodinamik stabil, produksi urine cukup
5. Tidak ada perdarahan
6. Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut
7. Trombosit lebih dari 50.000/mm3 dan cenderung meningkat
8. Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus
15) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-
67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept
1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua.
WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak &
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari
HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 219


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIPHTHERIA

1. Pengertian (Definisi) suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga
melibatkan C. Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis..
2. Anamnesis Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir
atas. Dapat terjadi epistaxis …… Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan ……..
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau. Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah
perineum dan anal.
Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri
Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita
3. Pemeriksaan Fisik Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri.
Difteri Hidung
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata
Difteri Tonsil-Faring
Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal menuju laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan
submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala
selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai
kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung
atau saraf. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain
seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri faring, gejala merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.

4. Kriteria Diagnosis 1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan
klasikasi kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported.
Termasuk suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran.
Probable case bila suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut:
-kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed
-pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau petekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-insufisiensi renal akut
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6
minggu awitan sakit
-meninggal
Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tetapi hanya
bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 220


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIPHTHERIA

2. Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita.
3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan
menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk
menentukan toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap difteri.
5. Diagnosis Difteria (ICD10: A36.9)
6. Diagnosis Banding Difteri Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita) .
Diteri faring :
. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena
streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Difteri Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus
Difteri konjungtiva :
. Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain
7. Pemeriksaan a. Darah lengkap
Penunjang b. Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain…
c. Pengecatan gram
d. Urin lengkap
e. elektrokardiografi
f. bila perlu foto dada
g. Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak
8. Terapi 1.Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing
Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari
2.Tatalaksana medikamentosa
Tujuan mengobati penderita difteri adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteri
a. Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada
difteri sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva)
20.000 iu.
b. Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3).
Jika didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3)
c. Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS.
d. Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis.
9. Edukasi a. Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi
sesuai usia
b. Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat
c. Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus
d. Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan
pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah
neuritis seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam)

10. Prognosis Difteri berat :


Ad vitam : dubia ad malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 221


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

DIPHTHERIA

Ad sanationam : dubia ad malam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Difteri lain :
Pada umumnya dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis a. Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
b. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
c. Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
d. Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
e. Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)

14. Indikator Medis a. Bebas demam


b. Bisa makan dan minum
c. Membran menghilang
d. Hasil kultur hapusan tengorok dan hidung negatif
e. Komplikasi – jika ada- sudah membaik.
f. Setelah 14 hari perawatan
15. Kepustakaan a. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, et al, eds Red
book: 2006 Report of the committee on infectious diseases 27th ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2006: 277
b. Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in: Kliegman RM, Stenton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed Philadelphia: WB
Saunders, 2011; 929.
c. Christie AB, ed. Diphtheria. Infectious Diseases: Epidemiology and clinical practice. Edinburgh
London New York : Churchill Livingstone, 1987; 1183-209.
d. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Pedoman Penanggulangan KLB Diphteri di Jawa Timur. 2011.
e. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Diphtheria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison
GJ, Kaplan SL, eds. Feigin & Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases 6th ed 2009:1393-
1402
f. Guilfoile PG. Diphtheria. Dalam: Babcock H, Heyman D, eds. Deadly diseases and epidemics:
Diphtheria. New York, Chelsea House 2009
g. Halsey NA, Smith MHD. Diphtheria. Dalam: Warren KS, Mahmoud AAF, eds. Tropical and
Geographical Medicine. International Student Edition. New York : Mc Graw-Hill, 1990, 860-6.
h. Hodes HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979; 26 : 445.
i. McCloskey RV. Corynebacterium diphtheriae (Diphtheria). Dalam : Mandel GL, Douglas RG,
Bennett JE, eds. Principles and practice of Infectious Diseases. Churchill Living stone : John Wiley
& Sons inc. 1985; 1171-4.
j. Top FH, Wehrle PF,eds. Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The CV Mosby
Co. 1976 : 223-38.
k. Wharton M. Diphtheria. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugman’s Infectious Diseases
of Children. 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 222


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

INFEKSI VIRUS DENGUE

1) Pengertian (Definisi) Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang
imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery.
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau
gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik Penting menentukan hari sakit keberapa saat penderita datang
Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel
sekali
Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun
sekitar 37-38oC saat mau memasuki periode kritis.
Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit
(“flushing”), atau berupa ruam seperti morbili
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala
perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea
Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan
Dapat dijumpai hepatomegali
4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik
2. Leukopenia, mungkin disertai trombositopenia, SGOT (dan SGPT) meningkat
3. NS1 antigen dengue +
4. Ig M dengue +
Diagnosis 1. Diagnosis probable infeksi virus dengue berdasar adanya keluhan panas tinggi yang timbul mendadak
disertai 2 dari gejala yang lain (nyeri, flushing/ruam, tanda perdarahan RL tes +/perdarahan spontan) disertai
leukopenia, dan mungkin SGOT dan SGPT meningkat
2. Dalam perjalanan klinik setelah panas turun infeksi virus dengue akan menjadi :
- Undifferentiated fever yang tidak disertai trombositopenia dan plasma leakage, atau
- Dengue fever yang disertai trombositopenia tanpa plasma leakage atau
- Dengue haemorrhagic fever yang disertai trombositopenia dan plasma leakage atau
- Unusual clinical manifestation/expanded dengue syndrome, berupa infeksi virus dengue dengan keterlibatan
organ hepar (liver involvement), organ central nerve system (CNS involvement), organ jantung dan
keterlibatan organ lainnya atau adanya perdarahan yang massif
3. Untuk penderita infeksi virus dengue yang tak disertai trombositopenia dan plasma leakage, pemeriksaan
etiologi dengan memeriksa NS1 antigen dengue, Ig M dan Ig G dengue menjadi sangat perlu untuk diagnosis
infeksi virus dengue.
6) Diagnosis Banding 1. Infeksi virus Chikungunya
2. Demam typhoid awal
3. Exanthema subitum
4. Sepsis
5. Malaria
6. Morbili, rubella
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai leukopenia
b. SGOT biasanya sedikit meningkat sedangkan SGPT lebih jarang meningkat
c.
d. Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
e.
8) Terapi 1. Pada penderita yang datang pada periode febris, maka pengobatan yang diberikan :
Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali
Hindari asam salisilatdan ibuprofen
Antibiotika tidak diperlukan
Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya
Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita
tidak mau minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula
Halliday Segar yang dikenal sebagai formula cairan rumatan)
Berat badan ( kg ) Vol cairan rumatan 24 jam

10 100 cc / Kg BB
10 – 20 1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg
20 1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg
Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 223


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

INFEKSI VIRUS DENGUE

2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda
klinik sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat.
Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah :
Nyeri abdomen
Muntah persisten
Perdarahan
Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik
Lethargi/restlessness
Hepatomegali > 2 cm
Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat
Penderita tampak loyo, dan pada perabaan terasa dingin
3. Apabila ditetapkan rawat inap, maka pemberian cairan rumatan intravena diberikan, kemudian di follow up
apakah pada waktu panas mulai turun, penderita menjadi undifferentiated fever, dengue fever, dengue
haemorrhagic fever ataukah unusual clinical manifestation of dengue viral infection
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar.
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Penelaah Kritis a. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
b. Dominicus Husada, dr, SpA(K)
c. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
d. Leny Kartina, dr, SpA
e. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
f. Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
14) Indikator Medis Keadaan umum penderita
Tanda Vital
Setelah 5 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1.
Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO,
Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 224


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0)

1) Pengertian (Definisi) Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali.
2) Anamnesis a) Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemismalaria.
b) Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat, mialgia,
dan atralgia.
c) Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demamdengan interval
tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demampasien merasa lemah, nyeri
kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
d) Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atauinfeksi ber
ulang dari satu jenis Plasmodium), demam dapat berlangsung terus menerus (tanpa interval),
e) Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
f) Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage), dan stadium
berkeringat (sweating stage).
g) Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali bermanifestasisebagai kejang
h) Pada sebagian kasus akan didapatkan kesadaran yang menurun, atau urine berwarna coklat, atau
ikterus.
3) Pemeriksaan Fisik a) Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah , diare, ikterus, dan hepato-splenomegali.
b) Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu atau lebih kelainan
sebagai berikut:
Hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasite
Malaria serebral dengan kesadaran menurun
Anemia berat, kadar hemoglobin <7 g/dl
Perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata
Ikterus, kadar bilirubin serum >50 mg/dl
Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
Gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis <400 ml/24jam
Hiperpireksia
Edem paru
Syok, hipotensi, gangguan asam basa
Urine berwarna coklat (black water fever)
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Malaria Berat (ICD 10: B 50.0)
6) Diagnosis Banding a) Demam tifoid
b) Meningitis
c) Apendisitis
d) Gastroenteritis
e) Hepatitis
f) Influenza dan infeksi virus lainnya
g) Sepsis
h) Riketsiosis
7) Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan apus darah tepi:
Tebal: ada tidaknya Plasmodium
Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia
b) RDT
c) Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi:
i) DPL, HJ, LED
ii) Urinalisis
iii) SGOT, SGPT, bilirubin T/D/I
iv) Alkali fosfatase, albumin
v) Ureum, kreatinin
vi) AGD dan elektrolit
vii) Gula darah sewaktu
viii) EKG
ix) Foto toraks
x) Analisis cairan serbrospinalis
xi) Hitung parasit

8) Terapi a) Antipiretik apabila demam >39oC


b) Suportif
Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah
Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oralatau
parenteral
Pelihara keadaan nutrisi
Transfusi darah pack red cell 10 ml/kgbb atau whole blood 20 ml/kgbb apabila anemia
dengan Hb <7,1g/dl

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 225


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0)

Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai


Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP. Dialisis peritoneal
dilakukan pada gagal ginjal
Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen
Apabila terjadi gagal napas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila mungkin)
Pertahankan kadar gula darah normal
c) Medikamentosa

Pilihan utama: Artesunat intravena


Pengobatan malaria di tingkat RS dianjurkan untuk menggunakan artesunate intravena.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam
ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Larutan artesunat dibuat dengan mencampur 60 mg serbuk
kering artesunik dan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%,diencerkandengan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc dan
diberikan secara bolus perlahan-lahan.

Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya
diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan
dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. Artemeter
diberikan dengan dosis 1,6mg/kgbb intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya artemeter diberikan
1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat
minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.

Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral, Quinine


Kemasan dan cara pemberian kina parenteral

Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat
artemisinin parenteral. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500
mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan
dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai
penderita dapat minum obat, selanjutnya diberikan kina peroral sampai 7 hari.
Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan
kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgbb.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya
dalam Dextrose 5%
6) Klorokuin tidak lagi dapat digunakan untuk semua jenis malaria di Indonesia

9) Edukasi a) Pemakaian kelambu saat tidur


b) Penggunaan losion anti nyamuk
c) Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis malaria
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis a) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
b) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
c) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
d) Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
e) Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 226


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0)

14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik


2. Respon klinis dan parasitologis memadai
3. Tidak ada parasitemia
4. Tidak ditemukan komplikasi atau sudah membaik
5. Setelah 10 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove
Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h. 435-41.
2. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious
diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 337-48.
3. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia; 2004. h. 1139-43.
4. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting.
Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier
Science; 2003, h.1295-1301.
5. World Health Organization. Severe falciparum malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2000.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 227


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SEPSIS (ICD 10: A41.9)

1) Pengertian (Definisi) Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat,
disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia,
hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab
2) Anamnesis a) Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup :
- Riwayat luka bakar luas
- Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
- Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
- Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway

b) Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang
disusul dengan hipotensi
c) Gelisah dan agitasi
d) Letargi
e) Muntah

3) Pemeriksaan Fisik Penurunan kesadaran, letargi, agitasi


a) Hipotermia atau Hipertermia
b) Takikardia
c) Hiperventilasi
d) Gangguan perfusi
e) Perut kembung
f) Timbulnya petekia dan purpura
g) Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Sepsis (ICD 10: A 41.9)
6) Diagnosis Banding a) Sindroma Syok Dengue
b) Intoksikasi
c) Sindrom Kawasaki
d) Leptospirosis
e) Tuberkulosis
f) Malaria
g) Kriptokokosis
h) Penyakit Lyme
i) Rocky Mountain Spotted Fever
j) Keganasan
7) Pemeriksaan Penunjang a) Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, Hitung dengan hapusan darah tepi
b) Urinalisis
c) Foto Rontgen toraks
d) SGOT &SGPT serta Bilirubin T/D/I
e) Procalcitonin
f) Biakan darah berulang
g) Biakan urin
h) Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
i) Biakan jamur pada darah dan urin
j) Ureum & Kreatinin
k) Gula darah sewaktu
l) PT & APTT
m) Elektroli serum
n) FDP, D-dimer
8) Terapi a) Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat diberikan:
Ampisilin-Sulbactam (100-200 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 kali untuk Ampisilinnya) dan
Gentamisin (5-7 mg/kgBB/hari, sekali sehari)
Sefotaksim 100mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis
Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila didapatkan
kecurigaan bakteri anaerob.
Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara definitif.

b) Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam-basa.


c) Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian oksigen dan
mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
d) Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
e) Terapi Oksigen
f) Terapi cairan intravena TPN
g) Anti jamur sistemik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 228


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

SEPSIS (ICD 10: A41.9)

h) Parasetamol
i) Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
j) Inhalasi
k) Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi
l) Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
9) Edukasi a) Tirah baring
b) Imunisasi
c) Perbaiki nutrisi
d) Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
e) Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10) Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis a) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
b) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
c) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
d) Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
e) Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi atau sudah membaik
5. Hasil kultur negative
6. Setelah 14 hari perawatan
15) Kepustakaan a) Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
b) Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
c) Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
d) Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis
Journ, 1992; 11: 739-49

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 229


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TETANUS

1. Pengertian (Definisi) Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda
utama spasme tanpa gangguan kesadaran.
2. Anamnesis - Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar
cairan dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port d’entree
- Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada
BUMIL/WUS.
- Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia)
karena kekakuan otot masseter
- Anak atau bayi sadar
- Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan
- Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit
membuka mulut sampai terjadinya kejang
3. Pemeriksaan Fisik - Penderita sadar
- Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat
menetek, mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar.
- Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat
pasien ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau
kejang spontan
- Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak
spastik/boxing position)
- Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan
irama jantung sampai gangguan hemodinamika.
- Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya):
Derajat I (tetanus ringan)
Trismus
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
Trismus sedang
Kekakuan umum makin jelas
Dijumpai kejang rangsang tanpa kejang spontan

Derajat IIIa (tetanus berat)


Trismus berat
Otot sangat spastic, timbul kejang spontan
Takipnea, takikardi
Apneic spell
Derajat IIIb (Tetanus dengan gangguan saraf otonom)
Gangguan otonom berat
Hipertensi berat dan takikardi
Hipotensi dan bradikarddi
Hipertensi berat atau hipotensi berat
4. Pemeriksaan Penunjang Anamnesis dan gejala cukup khas sehingga sering tidak diperlukan pemeriksaan penunjang, kecuali
dalam keadaan meragukan untuk membuat diagnosis banding.
1. Pungsi Lumbal
2. Pemeriksaan darah rutin, preparat hapusan darah tepi atau biakan dan uji kepekaan
3. Foto thoraks
4. Elektrolit serum dan gula darah acak, atas indikasi
5. Kriteria Diagnosis 1. Sesuai dengan anamnesa
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Tetanus ( ICD 10: A35)
7. Diagnosis Banding 1. Trismus karena abses gigi/abses retrofaring/parafaring/peritonsiler
2. Sepsis neonatorum
3. Meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies
4. Keracunan striknin, epilepsy, efek simpang fenotiasin, tetani
5. Hipokalsemia
8. Terapi Terapi Dasar Tetanus
1. Pemberian antibiotik
Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/kali i.m tiap 12 jam
Metronidasol loading dose 15 mg/kgbb/dalam 1 jam selanjutnya 7,5 mg/kgbb/x tiap 6 jam
Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.
2. Imunisasi aktif-pasif

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 230


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TETANUS

Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv;
apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
3. Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan
syringe pump dengan dosis:
- Tetanus ringan : 0,8 cc/jam
- Tetanus sedang : 1,2 cc/jam
- Tetanus berat : 1,6 cc/jam
Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/24 jam
- neonatus 120 mg/24 jam
Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa
kurarisasi .
Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus.
Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada
gangguan saraf otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial
perlu dinaikkan secara titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya
reflex patella dan penurunan tekanan darah pada anak besar
4. Perawatan luka atau port d’entre
Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan
5. Terapi suportif
Bebaskan jalan nafas
Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
Pemberian oksigen
Perawatan dengan stimulasi minimal
Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak
memperkuat kejang
Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Pada tetanus ringan dan sedang


Diberikan teraoi dasar tetanus
Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)
Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi parenteral
Pada tetanus berat
Terapi dasar seperti diatas
Perawatan dilakukan di ICU seperti intubasi dan ventilator
Balans cairan dilakukan secara ketat
Apabila spasme sangat hebat, berikan pankuronium bromide 0,02 mg/kg IV, diikuti 0,05 mg/kg/kali
tiap 2-3 jam
Apabila terjadi
9. Edukasi Pencegahan
1. Imunisasi aktif
a) Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu,
diberikan ulangan pada usia 18 bulan dan 5 tahun
b) Eliminasi tetanus neonatorum dengan memberikan imunisasi TT pada ibu hamil dan
wanita usia subur minimal 5x suntikan toksoid (untuk mencapai tingkat TT lifelong card)
2. Pencegahan pada luka
Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
Luka ringan dan bersih
- Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus immunoglobulin
- Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT
Luka sedang/berat dan kotor
- Imunisasi (-)tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-500 U.
Tetanus toksoid pada sisi lain.
- Imunisasi (+), lamanya > 5 tahun: ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, atau tetanus
immunoglobulin 250-500 U
10. Prognosis Tetanus ringan dan sedang
Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 231


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

TETANUS

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam


Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
Tetanus berat dan tetanus neonatorum
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis a. Prof. DR. Ismoedijanto, dr, SpA(K)
b. Prof. DR. Soegeng Soegijanto dr, SpA(K)
c. Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K)
d. Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
e. Dominicus Husada, dr, SpA(K)
f. Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
14. Indikator Medis Perbaikan klinis, termasuk penderita sudah tidak panas dan sudah bisa makan dan minum
Tidak tampak spasme ataupun trismus
Luka/port d’entrée dirawat dengan baik
Setelah 10 hari perawatan
Sekuele
- Spasme berkurang setelah 2-3 minggu namun kekakuan dapat berlangsung sampai 6-8 minggu
pada kasus yang berat
- Gangguan otonon dimulai beberpa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu
Tumbuh Kembang
- Bisa terjadi gangguan tumbuh kembang pada kasus tetanus neonatorum karena akibat hipoksia
yang berat
15. Kepustakaan 1. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics,
17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004 : 951.
2. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nd ed, 2003 :
981.
3. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40.
4. Cristie AB, 1987. Tetanus dalam infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4th ed. Churchill
living stone, Edenburgh, hal. 759-786.
5. Irwantono FJ, Ismoedijanto, M. Faried Kaspan, Dwi Atmadji Soejoso. Parwati SB, 1978. evaluasi klinik
tetanus neonatorum selama 7 tahun. KONIKA IV, Yogyakarta.
6. Ismoedijanto, Koeswardoyo, Dwi AS, S. Soegianto, IGN Gde Ranuh, 1981. Diazepam dosis tinggi pada
tetanus neonatorum. Naskah lebgkap diskusi kelompok tetanus neonatorum, KONIKA V, Medan.
7. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis
Childhood, 53 : 737-79.
8. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. Clin
pharm therap 4 : 36-61.
9. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, hal. 1-
16.
10. Rizal Altway 2006. Perbandingan kriteria derajat berat penyakit tetanus antara kriteraia Surabaya dan
kriteria Ablett. Karya Akhir.
11. Ismoedijanto, Nasiruddin, B Wahyu. 2004. High dose diazepan in treatment of severe tetanus. South
East Asia Journal of Tropical medicine and hygine.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 232


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R50)

1) Pengertian (Definisi) Demam tanpa penyebab yang jelas adalah gejala demam akut dengan penyebab yang tidak jelas sesudah
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara teliti dalam periode demam kurang dari 7 hari.
2) Anamnesis a) Riwayat imunisasi
b) Adanya paparan terhadap infeksi
c) Adanya tanda-tanda keganasan seperti nyeri, pembesaran organ dan perdarahan
d) Adanya gejala:
nyeri menelan
nyeri telinga
batuk, sesak napas
muntah, diare
nyeri/menangis waktu buang air kecil
3) Pemeriksaan Fisik a) Suhu rektal >38oC
b) Tentukan derajat sakitnya
c) Subjektif (lihat tabel YOS)
Kualitas tangis
Reaksi terhadap orangtua
Tingkat kesadaran
Warna kulit/selaput lendir
Derajat hidrasi
Interaksi
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R 50)
6) Diagnosis Banding a) Dengue
b) Otitis media
c) Abses
d) Osteomielitis
e) Riketsia
f) Chlamydia
g) HIV
h) Infeksi HSV
i) Infeksi jamur
j) Keganasan
k) Autoimun dan penyakit kolagen
l) Infeksi Saluran Kemih
m) Pneumonia
n) Gastroenteritis bakterial
o) Meningitis
p) Endokarditis
7) Pemeriksaan a) Darah lengkap, LED
Penunjang b) Hitung jenis
o bakteremia menjadi 3-
menjadi 8-10%
Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung neutrofil absolut lebih sensitif dari hitung
leukosit atau batang absolut
enjadi 8-10%
c) Urinalisis
d) Procalsitonin
e) Biakan urin dan feses
f) Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bakteremia dapat berkembang
menjadi infeksi bakteri
g) Biakan darah dan urin jamur
h) Tes mantoux
i) Rontgen toraks
j) Ekokardiografi
k) USG/CT-scan kepala
l) USG/
m) Hapusan darah tebal dan tipis
n) ANA dan anti ds-DNA
o) IgG,A,M,E
p) CD4 dan CD8
q) BMP
r) Jika tersedia IgM dan IgG untuk penyakit riketsia seperti scrub typhus
8) Terapi a) Berdasarkan kecurigaan temuan klinis
b) Suportif
c) Paracetamol

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 233


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
2012 – 2014

Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R50)

d) Cairan parenteral
e) Antibiotika Empirik dapat digunakan :
Amoksisilin 60 –100 mg/kgbb/hr atau Amoksisilin-Clavulanat atau Ampisilin-Sulbactam
Seftriakson 50 –75 mg/kgbb/hr maksimum 2 g/hr
Bila alergi terhadap kedua obat tersebut, pilih obat lain sesuai dengan hasil ujiresistensi
9) Edukasi a) Nutrisi dan istirahat cukup

10) Prognosis Ad vitam : bonam


Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis a) Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
b) Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
c) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
d) Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
e) Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi atau sudah membaik
5. Setelah 10 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. Bannister BA, Begg NT, Gillespie SH. Pyrexia of unknown origin. Oxford: Blackwell Science; 1996.
h.414-27.
2. Lorin MI, Feigin RD. Fever of unknown origin. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook
ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 1012-22
3. Lorin MI. Fever: pathogenesis and treatment. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook
ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 148-52.
4. Miller ML, Szer L, Yogev R, Bernstein B. Fever of unknown origin. Pediatr Clin North Am. 1995;999-
1015.
5. Radhi AS, Carroll JE. Fever in pediatric practice. Edisi ke-1. London: Blackwell Scientific
Publications;1994, h. 15-236.
6. Shapiro ED. Fever without localizing signs. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting.Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA:
Elsevier Science;2003, h. 110-4.

Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak

Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,

Dodo Anondo, dr., MPH


Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 234

Anda mungkin juga menyukai