Anda di halaman 1dari 242

Panduan Praktik Klinis

SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ALERGI MAKANAN

1. Pengertian (Definisi)  Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun spesifik
yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan.
 Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non
imunologik.
 Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi toksik,
reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.
2. Anamnesis  Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi sesuai
waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan makanan, sedangkan
gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari.
 Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama.
 Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
 Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi
3. Pemeriksaan Fisik Kulit
Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim
Mata
Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita
Saluran nafas atas
Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering
Saluran nafas bawah
Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan
Mulut
Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak
Saluran cerna bawah
Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan dengan
penurunan berat badan
Kardiovaskular
Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran
4. Pemeriksaan  Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen hirup seperti
Penunjang tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan)
dengan positive predictive value (PPV) > 95%.
 Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3%
sering ditemukan pada alergi makanan.
 IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml
pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi
imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu alergen bahan makanan tertentu.
 Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran secara
histologis.

5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa


2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Food challenge
6. Diagnosis 1. Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena
3. Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi
4. Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan makanan setiap
minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut alergen kalau pada 3 kali
provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak
ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar, maka diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang
berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi.

7. Diagnosis Banding 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif
3. Reaksi karena gangguan psikologis

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ALERGI MAKANAN

8. Terapi Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran)


Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai pengganti.
Pengobatan
Kromolin, Nedokromil.
Glukokortikoid.
Beta adrenergic agonist
Metil Xantin
Simpatomimetika
Leukotrien antagonis
H1-Reseptor antagonis
Probotik
9. Edukasi 1. Penghindaran terhadap allergen
2. Kontrol teratur ke poli alergi
3. Dukungan keluarga terhadap penderita.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Kekambuhan dan beratnya gejala (tingkat kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 7 hari.
15. Kepustakaan 1. Boyce A. J, et al. Guidelines for the diagnosis and management of food allergy in the United States: report of the
NAID sponsored expert panel.J Allergy Clin Imunol 2010;126(6): S5-58
2. Burks A. W, et al. NIAID Sponsored 2010 Guidelines for managing food allergy: applications in the pediatric
population. Pediatrics 2011;128;955-65
3. Dupont C. Food Allergy: Recent advances in pathophysiology and diagnosis. Ann Nutr Metab
2011;59(suppl 1):8–18.
4. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010; 51(1):
4-9
5. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune system and
allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
6. Harsono A. Alergi makanan. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting.Buku Ajar
Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 270-84.
7. Wang j, Sampson H. A. Food allergy: recent advances in pathophysiology and treatment. Allergy Asthma
Immunol Res. 2009 October;1(1):19-29.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ALERGI OBAT
1. Pengertian (Definisi) Suatu respon abnormal yang terkait secara imunologis terhadap suatu obat pada seorang individu yang telah
tersensitisasi.
2. Anamnesis Gambaran terperinci gejala reaksi obat
 Lama dan urutan gejala
 Terapi yang telah diberikan
 Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
 Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
 Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
 Kapan obat dihentikan?
 Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama
 Riwayat sebelumnya
 Reaksi obat lainnya
 Alergi lainnya
 Penyakit lainnya
3. Pemeriksaan Fisik Gejala sistemik:
Anafilaksis, serum sickness, SLE like, scleroderma like, drug rash with eosinophilia systemic symptoms
(DRESS), nekrolisis epidermal toksik, sindroma steven johnson, mikroskopik polyangitis
Gejala spesifik pada organ:
Kulit: Urtikaria/angioedema, pemphigus, purpura, ruam makulopapular, dermatitis kontak, foto dermatitis, acute
generalized exanthematouspustulosis (AGEP), fixed drug eruption (FDE), eritema multiformis, fibrosis sistemik
nefrogenik
Paru: Asma, batuk, pnemoni interstitial, organizing pneumoni
Hati: hepatitis kolestatik, hepatitis hepatoseluler
Ginjal: nefritis interstitial, nefritis membraneous
Darah:Anemia hemolitik, trombositopenia, netropenia
Jantung: Valvular diseases
Muskuloskeletal/neurological: polymiositis. meningitis aseptik, myasthenia gravis
4. Pemeriksaan penunjang Uji in vivo
 Uji kulit
 Uji provokasi untuk diagnostik pasti
Uji in vitro.
 IgG dan IgM spesifik
 Uji aglutinasi dan lisis sel darah merah
 Uji pelepasan histamin
 Uji sensitisasi jaringan
 IgE RAST
5. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan penunjang: in vivo dan in vitro
7. Diagnosis banding 1. Alergi makanan
2. Infeksi
8. Terapi Penghentian obat yang dicurigai
Pengobatan
 Antihistamin
 Adrenalin
 Pengobatan suportif
 Kortikosteroid
9. Edukasi 1. Penghentian obat
2. Memberitahu riwayat obat penyebab alergi pada tenaga kesehatan saat berobat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang
Lebong
2022 – 2023

ALERGI OBAT

13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A


2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis Tingkat kekambuhan gejala alergi (kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 10 hari.
15. Kepustakaan 1. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia
Kurniati. Penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 295-307.

2. Alergi obat.Dalam: Antonius H. Pudjiaadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris, Ellen P.
Gndaputra, Eva Devita Harmoniati. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Indonesia,2010.h 1-4

3. Mirakian R, et al. BSACI guidelines for management of drug allergy. J Clin Exp Allergy 2008,39,43-61

4. Dowling P.J, et al. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105: 1-78

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

RINITIS ALERGI

1. Pengertian (Definisi) Gangguan fungsi pernafasan akibat inflamasi pada saluran hidung diakibatkan paparan alergen yang
diperantarai IgE.
2. Anamnesis Keluhan pilek berulang atau menetap, rinorea, gatal hidung, bersin-bersin, sumbatan hidung, sering bernafas
melalui mulut pada penderita dengan riwayat keluarga atopi. Bila parah terdapat gangguan tidur, gangguan sekolah.

3. Pemeriksaan Fisik Rhinorea, adenoid face, maloklusi gigi, allergic gape, allergic shiners, transverse nasal crease, edema konjungtiva,
mata gatal dan kemerahan.
Sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
4. Pemeriksaan penunjang 1. Uji kulit goresan
2. IgE total, IgE spesifik,
3. Eosinofil hapusan mukosa hidung.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa: pilek berulang dengan riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik: seperti dijelaskan di atas
3. Pemeriksaan penunjang: Uji kulit, IgE total/spesifik, eosinofil pada hapusan mukosa hidung
7. Diagnosis banding 1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus
4. Abnormalitas anatomis kongenital terutama diketahui sejak lahir
5. Benda asing
8. Terapi Penghindaran alergen
Farmakoterapi
 Antihistamin H1 (Oral, Intranasal, Intraokuler)
 Kortikosteroid intranasal
 Kromolin (Intranasal, Intraokuler)
 Dekongestan (Intranasal, Oral)
 Antikolinergik
 Antilekotrien
Imunoterapi
9. Edukasi 1. Penghindaran Alergen
2. Pengobatan memerlukan waktu yang lama
3. Pendidikan penggunaan obat harus benar (kortikosteroid hirupan atau semprotan)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Gejala semakin memberat atau tidak sehingga mempengaruhi kualitas hidup (sekolah, sosial). 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 5 hari.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

RINITIS ALERGI

15. Kepustakaan 1. Asha’aari A Z A, et al. Comparison of Serum Specific IgE with Skin Prick Test in the Diagnosis of
Allergy in Malaysia. Med J Malaysia 2011:6(3):202-6
2. Bousquet J, et al. Allergic rhinitis management pocket reference 2008. Allergy 2008: 63: 990–996
3. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010; 51(1):
4-9
4. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune system
and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
5. Lim M Y, Leong J L. Allergic rhinitis: evidence-based practice. Singapore Med J 2010; 51(7) : 542
6. Munasir Z, Rakun M.W. Rinitis Alergik. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati.
Penyunting.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 246-52.
Oliver P, Raapc U, Holza M, Hörmannb K, Klimeka L. Pathophysiology of itching and sneezing in allergic rhinitis.
Swiss Med Wkly 2009;139(3–4):35 – 40

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL


1. Pengertian (Definisi) Arthritis Idiopatik Juvenile(AIJ) adalah radang sendi tanpa penyebab yang jelas (idiopatik) dengan durasi
penyakit paling sedikit 6 minggu serta pada anak berusia kurang dari 16 tahun.
2. Anamnesis  Gejala morning stiffness atau fenomena gel (kekakuan setelah duduk atau tidak aktif dalam jangka waktu lama).
Keluhan atralgia yang sering terjadi di siang hari. Gejala lainya itu anak mendadak lemas di pagi hari ataupun
setelah tidur siang dan membaik selang beberapa waktu tanpa diobati.
 Keluhan nyeri sendi mungkin tidak dominan tetapi anak sering berhenti menggunakan sendi secara normal (misal:
terjadi kontraktur atau lemas) tanpa mengeluh sakit. Anak AIJ sering absen dari kegitan sekolah dan olahraga, ini
juga mencerminkan keparahan penyakit atau kekambuhan AIJ.
 AIJ subtipesistemik ditandai dengan demam yang spiking dan terjadi 1-2 kali setiap hari, pada waktu yang sama,
dengan suhu yang dapat kembali normal ataupun di bawah normal. Pola demam ini sangat khas dan tidak
didapatkan pada penyakit infeksi, keganasan ataupun Kawasaki. AIJ subtipesistemik biasanya disertai ruam
berwarna salmon pada tubuh dan ektremitas.
 Sedangkan yang tipe psoriasis arthritis dapat menunjukkan gejala psoriasis yang khas tetapi kadang manifestasinya
juga tidak jelas. Yang harus diperhatikan adalah adanya gejala dactylis pada kuku anak.
 Subtipeentesitis sering kali muncul dengan rasa sakit setelah latihan ataupun pada malam hari. Perhatian harus
diberikan bila anak merasa nyeri pada pantatdan punggung yang membaik dengan aktivitas. Anak-anak ini tidak
bisa berbaring di tempat tidur sepanjang pagi tapi harus bangun karena
sakit punggung.
3. PemeriksaanFisik Klinis
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas
seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah AIJ yaitu
kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal,
nodul rematoid, tenosinovitis. Dan tanda-tanda penyakit lain penyebab nyeri sendi
dapat disingkirkan.
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan :
1. GejalaKlinis
2. Pemeriksaan lab
3. Pemerikasaanthoraksfoto
Maka AIJ dibagi dalam beberapa golongan:
1. Sistemik
2. Oligoarthritis
a) Persisten
b) Extended
3. Poliarthritis (factor reumatoid negative)
4. Poliarthritis (faktor rheumatoid positif)
5. Artritis psoriatic
6. Artritisterkaitentesitis
7. Artritis lain-lain
a) Tidak memenuhi katergori
b) Memenuhi lebih dari satu kategori
5. Diagnosis ARTHRITIS INDIOPATIK JUVENIL
6.Diagnosis Banding 1. GonitisTuberkulosis
2. Keganasan tulang
3. Keganasan darah (leukemia, neuroblastoma)
4. Growing pain
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
 Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody
(ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis AIJ menjadi lebih sempurna.
 Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai leukositosis yang didominasi netrofil.
 Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda reaktivasi
penyakit.
 Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa peneliti
mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan
karakteristik tersendiri dari AIJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak
dihubungkan dengan aktivitas penyakit. Berbeda dengan orang dewasa C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
 Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif, sering kali pada AIJ poliartritis,
anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk. Faktor Reumathoid
adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada AIJ lebih sering IgG-anti
IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium.
 Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada AIJ. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita
wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa
HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan
BW35 lebih sering ditemukan di Australia.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ARTHRITIS IDIOPATIK JUVENIL


2. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang
sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium
lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan.
Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan
gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional
sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran
radiologis yang khas yaitu ditemukannya
fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.
8. Terapi 1. NSAID (obat anti inflamasi non steroid) : aspirin, ibuprofen, meloxicam
2. Steroid: oral atau intra artikular
3. Obat-obat yang dapat memodifikasi perjalanan penyakit (DMARDs): hidroxychloroquine, methotreksat
4. Imunosupresan
5. Rehabilistasimedis
9. Edukasi 1. AIJ adalah penyakit kronis yang sebagianbesartidaksembuh total tetapidapatdikontrol
2. Penderita AIJ harus minum obat secara teratur serta control rutin ke poli rematologi anak.
3. Prognosis tergantung dari jenis AIJ serta keteraturan pengobatann.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Jumlah sendi yang terkena


2. Aktivitasanak
3. LED
4. Fotopolossendi
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari.
15. Kepustakaan 1. Ayaz NA, Ozen S, Bilginer Y, Ergüven M, Taskiran E, Yilmaz E, et al. MEFV mutations in systemic onset juvenile
idiopathic arthritis. Rheumatology (Oxford). Jan 2009;48(1):23-5.
2. Prakken B, Albani S, Martini A. Juvenile idiopathic arthritis. Lancet 2011; 377: 2138–49
3. Scola MP, Imagawa T, Boivin GP, Giannini EH, Glass DN, Hirsch R, et al. Expression of angiogenic factors in
juvenile rheumatoid arthritis: correlation with revascularization of human synovium engrafted into SCID mice.
Arthritis Rheum. Apr 2001;44(4):794-801.
4. Sherry DD,C Rabinovich E, Poduval M, Bhaskar A R S. Juvenile Idiopathic Arthritis. Available
at.http://emedicine.medscape.com/article/1007276
5. Wittkowski H, Frosch M, Wulffraat N, Goldbach-Mansky R, Kallinich T, Kuemmerle-Deschner J, et al. S100A12
is a novel molecular marker differentiating systemic-onset juvenile idiopathic arthritis from other causes of fever of
unknown origin. Arthritis Rheum. Dec 2008;58(12):3924-31.
6. Yanagimachi M, Miyamae T, Naruto T, Hara T, Kikuchi M, Hara R, et al. Association of HLA-A(*)02:06
and HLA-DRB1(*)04:05 with clinical subtypes of juvenile idiopathic arthritis. J Hum Genet. Mar 2011;56(3):196-
9.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

DERMATITIS ATOPI
1. Pengertian (Definisi)  Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat.
 Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif biasanya
disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.

2. Anamnesis 1. Berulangdenganpenyebab yang sama


2. Rasa gatal
3. Keluargadenganriwayatalergi
4. Disertaidengangejalaalergilainnya
3. PemeriksaanFisik Onset
Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
Macam-macam lesi
Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan eksudat
serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan pola permukaan
kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik).
Bentuk klinis
· Bentuk infantil
Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang lebih muda.
· Bentuk anak
Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan, kaki dan
periorbita.
· Bentuk dewasa
Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.

4. Kriteria Diagnosis Untuk Bayi :


Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi:
Kriteria mayor :
1. Riwayat keluarga DA
2. Dermatitis dengan tanda gatal
3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
Kriteria minor :
1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
2. Perifollicular accentuation
3. Chronic scalp scaling
4. Periauricular fissures

Untuk Anak :
Kriteria Hanifin untuk anak :
Krireria mayor (harus punya 3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi typical
3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence
5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
Kriteria minor
1. Xerosis
2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
4. Hand/foot dermatitis
5. Cheilitis
6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada kriteria
mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.
5. Diagnosis DERMATITIS ATOPI
6. Diagnosis Banding 1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatophytosisataur dermatophytids
3. Sindrom defesiensi imun
4. Sindrom Wiskott-Aldrich
5. Sindrom Hyper-IgE
6. Penyakit Neoplastik
7. Langerhans' cell histiocytosis
8. Penyakit Hodgkin
9. Dermatitis Numularis
10. Skabies Dermatitis Seborrheic

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
7. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis DA berdasarkanpadaklinis, pemeriksaanpenunjangtidakterlaludibutuhkan:
1. IgE spesifik
2. Tes uji kulit

8. Terapi Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa perawatan
kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor
pencetus kekambuhan.
· Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit
dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2
kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi
air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut.
Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik
diberikan 3-4 kali sehari dengan water- in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
· Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan
pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan
penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim
toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut; pilihannya adalah obat yang efektif
tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan
kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus
membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah
terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi.
· Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal pada DA
bisa tak terkait dengan histamin.
· Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen
penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak.
· Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit. Infeksi di
curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin
merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat
digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan
perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain
bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
· Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat juga
mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang dan debu
rumah.
DA berat
Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.
Kortikosteroid sistemik.
Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus
diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
Thymopentin.
Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari selama 6
minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu.
Interferon-gamma.
Dosis yang digunakan antara 50 g-100g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.
Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep atau gel
5%.
Tacrolimus.
Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan pada
luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi fibroblasts sehingga
tidak menyebabkan atropi kulit.
Pimecrolimus
Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
Gammaglobulin
Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah terapi
yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus.
Probiotik
Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2 bulan.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DERMATITIS ATOPI
3. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. IndikatorMedis 1. Rasa gatal


2. Kulit kering
3. Ruam
4. Infeksi sekunder
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Callard RE, Harper JI. The skin barrier, atopic dermatitis and allergy: a role for Langerhans cells?.Trends
Immunol. Jul 2007;28(7):294-8.
2. Haeck IM, Rouwen TJ, Timmer-de Mik L, et al. Topical corticosteroids in atopic dermatitis and the risk of
glaucoma and cataracts. J Am AcadDermatol. Feb 2011;64(2):275-81.
3. Huang JT, Abrams M, Tlougan B, Rademaker A, Paller AS. Treatment of Staphylococcus aureus colonization in
atopic dermatitis decreases disease severity. Pediatrics. May 2009;123(5):e808-14.
4. Irvine AD. Fleshing out filaggrin phenotypes. J Invest Dermatol. Mar 2007;127(3):504-7.
5. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th
Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777.

6. Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic
architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

SINDROMA STEVENS JOHNSON


1. Pengertian (Definisi) Sindroma Stevens Johnson (SSJ) adalah suatu manifestasi eritema multiforme yang berat, fatal dan jarang terjadi, sehingga
seringkali disebut eritema eksudativum multiform mayor, Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada SSJ melibatkan kelainan
pada kulit, mukosa orifisium serta mata dan menyebabkan gangguan sistemik yang berat, bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema poliform bulosa, sindromamuko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis.
2. Anamnesis Gejala prodromal berkisarantara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyerimenelan, nyeri dada, muntah,
pegalototdanatralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di kulit, mukosa mulut, mukosa mata. Bisa
didahului dengan riwayat minum obat, makanan atau infeksi.
3. Pemeriksaan Fisik  Kulit: Manifestasi di kulit bias berupa ruam yang awalnya macula kemudian menjadi papula, vesikel, bula dan kadang
eritema. Yang khas adalah didapatkan lesi target (target lesion). Bila bula kurang dari 10% disebut Steven Johnson
Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis Necroticans (SSJ-TEN), lebihdari
30% Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sekitar 80% penyebab TEN adalahobat.
 Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna
merah,
 Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefaro konjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka,
pada kasus berat terjadi erosi dan perforasikornea.
 Mukosa lain yang juga sering terkena gastrointestinal sehingga terjadi gangguan proses menelan makanan dan
menyebabkan dehidrasi dan kekurangan asupan, sehingga penting dilakukan alimentasi asupan secara
parenteral.

4. Kriteria Diagnosis 90 % diagnosis SSJ berdasarkan


1. Anamnesis & gejala klinik.
2. Adanya trias kelainan kulit, mukosa & mata.
3. Hubungan faktor penyebab
5. Diagnosis SINDROMA STEVEN JOHNSON
6. Diagnosis Banding Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson:
1. Toxic EpidermolysisNecroticans. Sindroma Steven Johnson sangat dekat dengan TEN. SSJ dengan bula lebih dari 30%
disebut TEN. Seringkali diagnosis SSj overlap dengan TEN (SSJ-TEN)
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta
yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak terkena.
7. Pemeriksaan Penunja Sampai saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik dalam mendukung diagnosis SSJ kecuali biopsy kulit.
ng (tidak rutin dilakukan). Pada pemeriksaan laboratorium bias didapatkan anemia, lekosit yang normal atau sedikit meningkat,
peningkatan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM
dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex.
Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari biopsy kulit
dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.
8. Terapi Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi
herpes simplex dan Mycoplasma pneumonia harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat suportif dan
simptomatik:
1. Pasien dengan SSJ harus diperlakukan seperti pasien luka bakar dengan pengawasan special terhadap hemodinamik,
keseimbangan cairan dan elektrolit, serta control terhadap nyeri (jangan menggunakan NSAID karena beresiko tinggi).
2. Bila telah terjadi dehidrasi ataupun gangguan elektrolit maka dilakukan rehidrasi dan koreksi.
3. Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan larutan burowi ataupun cairan saline (perawatan kulit seperti
perawatan luka bakar).
4. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan makanan dan
minuman.
5. Bila telah terjadi infeksi sekunder maka diberikan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi adalah β-lactam
dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika
yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari.
6. Kortikosteroid: deksametasondosisawal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB intravena
tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
7. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit.
Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
8. Konsultasi kebagian opthalmologi bila didapatkan kelainan mata, kebagian kulit dan kelamin untuk perawatan
bersama, dan kebagian bedah plastic sehubungan dengan perawatan lesi kulit terbuka yang biasanya dirawat
sebagaimana luka bakar.

9. Edukasi 1. Perawatan pasien


2. Prognosis pasien
3. Penyebab terjadinya SSJ

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROMA STEVENS JOHNSON


10. Prognosis Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan skor SCORTEN, dengan variable sebagai berikut: usia> 40 tahun,
keganasan, denyut jantung> 120 x/m, epidermal detachment>10%, BUN > 10 mmol/L, kadar gula darah>
14mmol/L, bikarbonat< 20mmol/L (masing-masing diberikan nilai 1, kemudian dijumlah). Perkiraan mortalitas sebagai
berikut:
 SCORTEN 0-1 => 3.2%
 SCORTEN 2 => 12.1%
 SCORTEN 3 => 35.3%
 SCORTEN 4 => 58.3%
 SCORTEN 5 or more => 90%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. PenelaahKritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. IndikatorMedis Lesikulit


Lesimata
Lesimukosa lain
Infeksisekunder
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 21 hari.
15. Kepustakaan 1. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics
2001;108:485–92.
2. Darmstadt GL, Sidbury R. Steven Johnson Syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds): Textbook
of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004; 2181-4.
3. Gruchalla R: Understanding drug allergies. J Allergy ClinImmunol 2000;105:S637–44.
4. Metry DW, Jung P, Levy ML. Use of Intravenous Immunoglobuline in children with Steven Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis: Seven cases and review of literature. Pediatrics 2003;112:1430- 6.
5. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in
sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000;114:1164–73.
6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin N Am
2004;24:357-71.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPOGLIKEMIA
1. Pengertian (Definisi) Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia
2. Anamnesis - Apakah didapatkan gejala takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah ?
- Apakah didapatkan gejala pusing, gangguan penglihatan?
- Apakah didapatkan penurunan kesadaran, gangguan psikologis, perubahan tingkah laku?
3. Pemeriksaan Fisik Adrenergik: takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah
Neuropenik (penurunan penggunaan glukosa oleh otak): pusing, gangguan visual, somnolens. Gangguan psikologis,
perubahan tingkah laku
Kombinasi gejala di atas memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
4. Pemeriksaan - Darah : kadar gula, kadar insulin, kortisol, growth hormone, non esertified fatty acid, acetoacetate, 3 β
Penunjang hydroxybutirate, carnitine( free dan total) blood spot acyl carnitine, ammonia, lactate
- Urine : ketone, reducing substances, organic acids
5. Kriteria Diagnosis kadar glukosa plasma < 40 mg/dl
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain
7. Penyulit 1. Penurunan kesadaran
2. Kematian
8. Terapi Jika penderita sadar:
1. Berikan glukosa oral , misal jus jeruk, minum manis. Untuk berat 30 kg diperlukan 10 gram glukosa, dan >30 kg
diperlukan 15 gram glukosa.
2. Cek kadar glukosa 10-15menit dan ulang jika diperlukan. Pastikan kadar gula darah normal. Jika penderita
tidak sadar:
1. Pasang infuse dextrose (n0,5g/kg selama 5 menit) atau 2-3 ml/kg D10% atau 1ml/kg D25%)
2. Maintenans infuse dextrose
3. Recek kadar gula 10menit kemudian ( D12,5 kadar dextrose paling tinggi yang diberikan melalui infuse perifer)
4. Berikan bolus dextrose jika perlu
Apabila akses iv sulit, maka glukosa dapat diberikan melalui nasogastric tube. Maintenans infuse pada hipoglikemia bayi
dapat dilakukan dengan GIR ( glucose infusion rate ) 6-8 mg/kg/menit.
Glukagon membantu dalam pemecahan glikogen. Pada kondisi cadangan glikogen masih cukup (mis.insulin overdose) 1
mg glucagon im atau sc (0,5mg untuk neonates) dapat meningkatkan kadar gula darah. Glucagon tidak akan meningkatkan
kadar glukosa

9. Edukasi 1. Potensi kematian oleh karena hipoglikemia


2. Informed consent dari keluarga
10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPOGLIKEMIA

14. Indikator Medis 80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari
15. Kepustakaan 1. Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin W, Tanz RR.
Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78.
2. Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4. Elsevier Mosby.
Phiadelphia.hal 191-21.
3. Clarke W, Jones T, Rewers A, Dunger D, Klingensmith GJ. Assessment and Management of Hypoglycemia In Children
and Adolescent With Diabetes. Pediatric Diabetes 2009:10 (Suppl,12)134- 45.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

CONGENITAL ADRENAL HYPERPLASIA

1. Pengertian (Definisi) Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) merujuk grup defisiensi enzim pada sintesis steroid di korteks adrenal.

2. Anamnesis - Mual, muntah, diare pada usia bulan awal kelahiran


- Didapatkan sakit yang sama pada keluarga
- Bisa didapatkan genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari
pada anak seusia ( pubertas prekoks perifer)

3. Pemeriksaan Fisik -
genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari pada anak
seusia ( pubertas prekoks perifer)
-
tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemik
-
Salt loosing crisis dapat terjadi pada usia dua minggu dengan gejala muntah, diare, dehidrasi, hiperkalemia, dan
hiponatremia.
-
CAH laki-laki simple virilized sering datang pada usia 3-7 tahun, dengan pubertas awitan awal, advanced bone age,
dan prepubertal testis.
-
Remaja dan dewasa wanita non klasik CAH sering datang dengan keluhan virilisasi, hirsutisme, abnormal
menstruasi, infertilitas, atau akne.

4. Pemeriksaan Hipoglikemia, hyponatremia, hyperkalemia dan metabolik asidosis


Penunjang Pada tipe defisiensi 21OH lase yaitu 95% tipe CAH akan didapatkan kenaikan dari 17 OHP

5. Kriteria Diagnosis Klinis dan laboratoris

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding 46 XY DSD

8. Terapi 1. Terapi medikamentosa


Pada tipe yang salt wasting dapat diberikan replacement therapy dengan glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Terapi glukokortikoid dapat doberikan dengan hydrocortisone 10-20 mg/m2. Pada pasien yang baru terdiagnosis,
utamanya pada bayi baru lahir, memerlukan dosis yang lebih tinggi.
Terapi mineralokortikoid dengan diberikan fludrokortisone (9 fluoro-cortisol) 0,1mg oral.Tidak tergantung berat
badan. Pada sakit berat diberikan hydrocortisone iv dan sodium chloride, misalnya pada operasi, sakit, sakit berat.
Dosis 20 mg hydrocortisone mempunyai efek mineralokortikoid setara 0,1 mg.
Terapi mineralokortikoid pada bayi diperlukan dosis lebih tinggi yaitu 0,15–0,30mg/hari, tergantung suplementasi
sodium oleh karena bayi insensitive terhadap mineralokortikoid..sehingga perlu dosis lebih besar.
Suplementasi garam 1-2 g NaCl/hari. Salt loosing CAH dapat menghentikan terapi mineralokortikoid dan
suplementasi garam pada saat dewasa, oleh karena pada deasa lebih sensitive terhadap mineralokortikoid.
Evaluasi pertumbuhan dilakukan tiap 3 bulan dan evaluasi bone age tiap tahun. Plasma 17OHP tidak digunakan untuk
monitor terapi oleh karena dapat terjadi variasi diurnal dan hyperresponsive terhadap stres.
Pada anak besar terapi glukokortikoid dapat diberikan dexametasone atau prednisone.
2. Terapi bedah : klitororeduksi, vaginoplasti
3. Terapi suportif

9. Edukasi 1. Minum obat secara teratur


2. Dosis obat pada kondisi sakit
3. Kliroreduksi pada 46 XX CAH

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


1. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Pertumbuhan dan perkembangan optimal sesuai usia, bone age sesuai usia, tidak terjadi krisis adrenal

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

CONGENITAL ADRENAL HYPERPLASIA


2. 80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia simple case akan sembuh dalam waktu 3 hari
3. 80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia dengan tindakan operasi akan sembuh dalam waktu 7 hari

15. Kepustakaan 1. Saroj Nimkarn, Karen Lin Su, Maria I New. Steroid 21 Hydroylase Deficiency Congenital Adrenal Hyperplasia.
Pediatr Clin N Am 58: 2011:1281-1300.
2. Maria I New, Lucia Ghizzoni, Karen Lin Su. An Update of Congenital Adrenal Hyperplasia. Fima Lifshift, ed.
2007. New York.
3. Miller L Walter, Achermann JC, Fluck CE. The Adrenal Corteks and Its Disorders. Dalam : Pediatric
Endocrinology, Third Edition. Philadelphia. 444-512.
4. Pediatric Endocrinology. Dalam: Styne DM, ed. Guide To Pediatric Endocrine Emergencies. Lippincolt
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004. 295-7.
5. Raine JE. Adrenal Disorders. Dalam Practical Endocrinology and Diabetes In Children. 2nd ed. 137-42. 2006.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIABETES MELLITUS TIPE 1

1. Pengertian (Definisi) Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai dengan adanya
hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel β-
pankreas yang didasari proses autoimun

2. Anamnesis - Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun


- Riwayat keluarga dengan sakit yang sama.

3. Pemeriksaan Fisik - Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas,


- Didapatkan penurunan berat badan

4. Pemeriksaan 1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).*
Penunjang Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir.
atau
2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).** Puasa
dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam.
atau
3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa.
Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau 1,75 g/kg
berat badan sampai dengan maksimum 75 g.
4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker proses
otoimun

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. Hyperglikemia

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding - Produksi berlebihan glukokortikoid atau katekolamin pada :


o Tumor hipotalamus atau hipofisis
o Tumor atau hiperplasia adrenal
o Feokromositoma
Pada keadaan ini didapatkan uji toleransi glukosa yang abnormal dan glukosuria tanpa ketosis, yang disebabkan oleh
peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
- Renal glukosuria.
Pada keadaan ini didapatkan glukosuria tanpa hiperglikemia maupun ketosis.

8. Terapi Medikamentosa
- Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
- Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia dapat
timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan
bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
- Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan dengan
rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun
dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut
:
 20% berupa makan pagi.
 10% berupa makanan kecil.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIABETES MELLITUS TIPE 1


 25% berupa makan siang.
 10% berupa makanan kecil.
 25% berupa makan malam.
 10% berupa makanan kecil.
o Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.

9. Edukasi 1. Injeksi insulin secara teratur


2. Pengaturan pola makan sesuai kebutuhan kalori

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan sembuh
dalam waktu 4 hari.

15. Kepustakaan 1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the American
Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005.
4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and Monitoring
Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29.
5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus Guidelines
for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands: ISPAD, 2000.
6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak No 32.
Surabaya: Oktober 2002; 11-22.
7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan pada Forum
Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. February 13,
2002.
8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP IDAI, 2000.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
1. Pengertian (Definisi) Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan dengan
resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon, katekolamin,
kortisol dan growth hormon.

2. Anamnesis - Sesak , penurunan kesadaran, mual, muntah


- Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
- Riwayat keluarga dengan sakit yang sama.

3. Pemeriksaan Fisik - Penurunan kesadaran bahkan koma


- Tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemia
- Tanda-tanda sesak
- Pada umumnya penderita DM tipe 1 tidak obesitas,
- Didapatkan penurunan berat badan

4. Pemeriksaan 1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan kadar
Penunjang bikarbonat < 15 mmol/L).
2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker proses
otoimun

5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut :


 Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
 Asidosis, bila pH darah < 7,3.
 kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut :
 Ringan: bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L.
 Sedang: bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L.
 Berat: bila pH darah < 7,1 , bikarbonat < 5 mmol/L.

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia, uremia,
gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia, ensefalitis, dan lesi
intrakranial.

8. Terapi Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan: 1) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), 2) Menghentikan
ketogenesis (insulin), 3) Koreksi gangguan elektrolit, 4) Mencegah komplikasi, 5) Mengenali dan menghilangkan faktor
pencetus.

9. Edukasi 1. Injeksi insulin


2. Pengaturan pola makan

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)

15. Kepustakaan 1. Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013]. Available
from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing.
2. R A R Treasure, P B S Fowler H T Millington, Wise PH. Misdiagnosis of diabetic ketoacidosis as hyperventilation
syndrome. British Medical Journal. 1987;294:630.
3. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
4. Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day management in
children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53.
5. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis. Indian
journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36.
6. Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications – diabetic
ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National Evidence- Based Clinical Care
Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra: Australian Paediatric Endocrine
Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35.
7. Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of North
America. 2005;52(6):1611-35.
8. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis. QJM :
monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80.
9. lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the American
Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in Birmingham, UK,
2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal of Diabetes & Vascular
Disease. 2009;9(6):278-82.
11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51.
12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and Management.
Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78.
13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl 1:S62-7.
14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80.
15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33.
16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr.
Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished]
17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1 pada
Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30.
18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27.
19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of hyperglycemic
emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60.
20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of intensive
care. 2011;1(1):1-12.
21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents. Archives of
Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94.
22. Association AD. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care. 2002;25(Supplement
1):S100-8.
23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of cerebral
edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71.
24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al. Accuracy
of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples During Metabolic
Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1 Diabetic Patients. Diabetes
care. 2003;26:1137-41.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPOTIROID KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-hipofisis-
tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan respon jaringan terhadap hormon
tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone tiroid sejak dalam kandungan.

2. Anamnesis - Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi, hipotermia,
konstipasi dan perkembangan yang terlambat.
- Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat pengobatan
selama hamil

3. Pemeriksaan Fisik - At Birth : postmaturity, makrosomia, large head, open posterior fontanella, maturasi tulang terlambat
- During early infancy : prolongen physiological jaundice, poor feeding, lethargy, somnolence, hypothermia,
constipasi, makroglossia, hoarse cry, umbilical hernia, dry, mottled skin, goitre

4. Pemeriksaan 1. TSH , FT4


Penunjang 2. Ultrasonografi ginjal (USG) tiroid
3. Congenital Hipothyroid newborn screening: Bila kadar TSH tinggi > 40 µU/ml dan T4 rendah, < 6 µg/ml, bayi
diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 µU/ml,
dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian.

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. FT4 rendah dan TSH yang tinggi

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding Mongolisme


Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal tiroid secara rutin.
- epikantus (+)
- makroglosi (+)
- miksedema (-)
- retardasi motorik dan mental
- ”Kariotyping”, trisomi 21
8. Terapi Medikamentosa
Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin.

Umur Dosis µg/kg BB/hari


0-3 bulan 10-15
3-6 bulan 8-10
6-12 bulan 6-8
1-5 tahun 5-6
2-12 tahun 4-5
> 12 tahun 2-3
Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal.

9. Edukasi 1. Berobat secara teratur


2. Meminum obat sebelum makan saat perut kosong

10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis Perkembangan membaik. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari

15. Kepustakaan 1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPOTIROID KONGENITAL
2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.
3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology – The
Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90.
4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York : Marcel
Dekker, 1996 : 369-81.
5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

DISORDER OF SEX DEVELOPMENT


1. Pengertian (Definisi) Kelainan bentuk genitalia eksterna/ fenotip yang jelas antara laki-laki atau perempuan

2. Anamnesis - Penggunaan progesterone atau androgen pada awal kehamilan


- Ibu yang mengalami virilasi
- Riwayat kematian perinatal
- Adanya keluarga yang menderita genitalia ambigua atau kelainan urologi
- Adanya keluarga yang mengalami hyperplasia adrenal kongenital
- Perempuan yang amenorrhea atau infertilitas

3. Pemeriksaan Fisik - Tentukan teraba gonad, posisi, ukuran, dan teksturnya


- Pengukuran panjang falus
- Tentukan posisi meatus dari uretra, adanya hipospadia, dan korda
- Tentukan derajat darifusi labioscrotal folds
- Tentukan apakah terdapat orifisium vagina?
- Tanda-tanda lain :
 Hiperpigmentasi, dehdrasi, hipoglikemia, atau hipertensi
 “Webbed neck”, low hairline
 Kelainan kongenital lainnya
- Tanda virilisasi menggunakan skala Prader.
- Skala virilisasi menurut Prader

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: Serum elektrolit, kadar gula darah, 17-OH Progesteron, LH, FSH, DHEA, rasio
Testoteron/DHT, estradiol
2. USG/CT-scan/MRI
3. Karyotiping
4. Genitografi
5. Laparoskopi/Biopsi gonad
6. Pemeriksaan Psikologi/Psikiatri

5. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut :


 Ditemukan kelainan pada bentuk genitalia
 Pemeriksaan Karyotiping menunjukkan kelainan atau normal namun dengan tampilan fenotip yang
berbeda dengan hasil karyotiping
 Pemeriksaan Laboratorium 17-OHP

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain

7. Penyulit 1. Krisis adrenal


2. Depresi
3. Gangguan orientasi seksual
4. Keganasan

8. Terapi Penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara
pembedahan, dan psikologis

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Multi-disiplin ilmu meliputi: Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Urologi, Bedah Plastik, Kandungan & Kebidanan,
Psikiatri, Genetika Klinik, Rehabilitasi Medik, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, dan Bagian Hukum Rumah Sakit/
Kedokteran Forensik

9. Edukasi 3. Potensi fertilitas


4. Kapasitas fungsi seksual
5. Fungsi endokrin
6. Perubahan menjadi keganasan
7. Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
8. Faktor psikoseksual: identitas gender, peran gender, dan orientasi gender
9. Aspek kultural
10. Informed consent dari keluarga

10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)

15. Kepustakaan 1. Madhusmita M, Lee MM. Intersex Disorder. Dalam: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinologi. New York:
Elsevier Mosby, 2005; 103-122.
2. Witchel SF, Lee PA. Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA:
Saunders, 2002; 111-33.
3. Hyun Grace, TF Kolon. Apractical approach to intersex in the newborn period. Pediatr Ur Clin of Nort
Am 2004; 31 (3): 435-43.
4. Conte FA, Grumbach MM. Abnormalities of Sexual Determination & Differentiation. Dalam: Greenspan FS,
Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2001;
511-46.
5. Zemel S, Slover RH. Disorders of Sexual Differentiation. Dalam: McDermot MT, ed. Endocrine Secrets.
Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc, 2002; 325-33.
6. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus Statement on Management of Intersex Disorders.
Pediatrics 2006; 118:e488-500.
7. Ono M, Harley VR. Disorders of sex development: new genes, new concepts. Nature Review Endocrinology
2013; 9:79-91

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

TURNER SYNDROME
1. Pengertian (Definisi) Kelainan genetik yang disebabkan delesi sebagian atau semua bagian dari seks kromosom X

2. Anamnesis Keterlambatan pertumbuhan dan pubertas

3. PemeriksaanFisik - Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah perawakan pendek dan pubertas terlambat (90%), gejala
lain dapat dilihat pada gambar :
- Manifestasi klinis lain dapa tjuga dijumpai lymphedema, anomaly jantung, anomaly ginjal, proses
autoimun : hipo/hipertiroid, rheumatic

4. PemeriksaanPenunjang 1. Karyotyping, dapat ditemukan 45 maupunmosaik


2. Ultrasonografi: untuk evaluasi anatomi ginjal
3. Echokardiografi: untuk evaluasi anatomi jantung
4. Regular tiroid skrining: FT4, TSH
5. Monitoring hipertensi
6. Oftalmologi: strabismus
7. THT: otitisrekuren, audiologi
8. Orthopedi: skoliosis
9. Evaluasi kognitif
5. Kriteria Diagnosis Manifestasi klinis (fenotip) dan ditunjang pemeriksaan karyo typing

6. Diagnosis pemeriksaan karyo typing 45,X ; 46,X,i(Xq) ; 46,X,r(X) ; 46,XXq2 ; 46,XXp2 ; 47,XXX ; 46,X,t(X;15)

7. Diagnosis Banding Sindroma Noonan

8. Terapi TERAPI MEDIKAMENTOSA


1. Terapi hormone pertumbuhan: 0,05mg/kg/hari
2. Oksandrolone (0,0625mg/kg/hari) jika terapi hormone pertumbuhan dimulainya terlambat
3. Induksi pubertas dengan estrogen usia lebih kurang 13 tahun. Pengaturan siklus withdrawal bleeding dengan
estrogen dan progesteron
TERAPI NON MEDIKAMENTOSA
1. Konseling psikologis
2. Pengaturan diet
3. Peer group support

9. Edukasi 1. Tujuan pengobatan :mencapa itingg badan optimal sesuai usia,


2. Memasuki pubertas optimal
3. Evaluasi psikoterapi, masalah visuospasia l dan kognitif.
4. Pilihan reproduksi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

TURNER SYNDROME
10. Prognosis 1. Gejala fisik: tidak berbahaya
2. Kematian biasanya karena kelainan jantung
3. Sebagian besar infertile

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. PenelaahKritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. IndikatorMedis FT4, TSH, BUN, kreatinin. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.

15. Kepustakaan 1. Nelly E Kirk, Fechner PY, Rosenfeld RG. Turner Syndrome. Dalam Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol2.
FimaLifshift,ed. New York. 2007: 305-19.
2. Saenger P. Turner Syndrome. Chapter 15. Dalam : Pediatric Endocrinology, Third Edition. Philadelphia.
2008.610-52.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GRAVES DISEASE
1. Pengertian (Definisi) Kelainan imunogenetik yang memiliki karakteristik klinis yaitu tiromegali, hipertiroidism dan oph thalmopati infiltrative

2. Anamnesis Sulit tidur, mudah lelah saat aktivitas, cemas, dada berdebar, peningkatan nafsu makan, kehilangan berat badan, tidak
tahan udara panas,peningkatan frekuensi buang air besar. Riwayat keluarga (+) pada 60% kasus

3. PemeriksaanFisik Struma difus, takikardi, wide pulse pressure, proptosis, tremor, keringatberlebih, kelemahanototproksimal

4. PemeriksaanPenunjang FT4 , TSH, antibody tiroid (terutamaTSH receptor antibodies / TRAbs), ambil anyodium radioaktif

5. Kriteria Diagnosis Struma difus, FT4 meningkat, TSH menurun, TRAbs (+)

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding Adenoma tiroid, , Toxic multinodular goiter, sindroma McCune – Albright, tumor pituitari

8. Terapi ObatAntitiroid

Namaobat Dosis/hari Pemberian

Propiltiourasil 5-10 mg/kg Dalam 3 dosis


Metimazol 0.25-1.0 mg/kg Dalam 1 atau 2 dosis
Propanolol 0.5-2.0 mg/kg Dalam 3 dosis
Yodiumradioaktif
Indikasi : pasien Graves relaps dengan pengobatan anti tiroid jangka lama
: pasien dengan penyakit tiro kardiak berat
: pasien dengan multi nodulartoksik
: pasien yang hipersensitif terhadap obatan titiroid
Pembedahan
Indikasi : struma yang sangat besar dan resisten terhadap radio aktif
: ibu hamil dengan struma nodular yang alergi obatan titiroid
: pasien yang alergi obatan titiroid dan tidak ingin diterapi dengan Yodium radioaktif

9. Edukasi Kepatuhan minum obat

10. Prognosis Remisi sebesar 25% setiap 2 tahun pengobatan

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang
Lebong
2022 – 2023

GRAVES DISEASE
14. Indikator Medis FT4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.

15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. 6th edition. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009;250-82.
3. Dallas J, Foley T. Hyperthyroidism. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric Endocrinology 5 th edition Volume
2Growth, Adrenal, Sexual, Thyroid, Calcium, and Fluid Balance Disorders. New York: Informa Healthcare USA,
Inc. 2007; 415-42.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HASHIMOTO’S TYROIDITIS
1. Pengertian (Definisi) Penyaki tautoimun yang spesifik menyerang kelenjar tiroid

2. Anamnesis Usia > 6 tahun, pembesaran kelenjar tiroid, rasa tekanan di leher / kesulitan menelan, anak pendek dan gemuk (disbanding
teman sebaya), tidak tahan dingin, konstipasi, prestasi sekolah terganggu.

3. Pemeriksaan Fisik strumadifus, letargi. Retardasi pertumbuhan, kulit kering

Thyroid anti peroxidase antibodies (TPOAbs), Thyrotropin receptor-blocking antibodies (TRBAbs), FT4 , TSH, USG,
skintigrafi, biopsy jarum halus bila antibody anti tiroid negatif
4. Pemeriksaan Penunjang

5. Kriteria Diagnosis TPOAbs (+) atauTRBAbs (+).FT4 ↓, TSH ↑

6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris

7. Diagnosis Banding GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium)

8. Terapi Levotiroksin (L-T4 )100 μg/m2 luas permukaan tubuh.

9. Edukasi 1. Kepatuhan minum obat


2. Dapat terjadi krisis tiroid yang menyebabkan kematian (gelisah, lekas marah, berkeringat banyak, hiperaktivitas →
delirium, koma).

10. Prognosis Prognosis baik bila terapi ade kuat. Konsekuensi paling berat adalah retardasi pertumbuhan

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis FT4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.

15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. Edisi 6. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009; 250-82.
3. Fisher D, grueters A. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. Dalam: Sperling M, penyunting. Pediatric
endocrinology, 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Inc. 2008; 227-53.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEFISIENSI HORMON PERTUMBUHAN


1. Pengertian (Definisi) Pada Growth Hormone stimulation test didapatkan hasil yang rendah

2. Anamnesis - Perawakan pendek disbanding anak sebaya,


- Tidak ada riwayat pubertas/ menstruasi orang tua tidak terlambat

3. PemeriksaanFisik - Perawakan pendek

4. Pemeriksaan Penunjang - Stimulasi hormone pertumbuhan dengan insulin/ clonidin


- IGF-1
- bone age

5. Kriteria Diagnosis - Tinggi badan di bawah persentil 3 atau -2 SD


- Kecepatan tumbuh di bawah P25
- Usiatulang terlambat > 2 tahun
- Kadar GH < 10 ng/ml pada 2 jenis uji provokasi
- IGF-1 rendah
- Tidak ada kelainan dismorfik tulang atau sindroma tertentu

6. Diagnosis Berdasarkan pemeriksaan fisik dan kadar hormone pertumbuhan

7. Diagnosis Banding Perawakan pendek familial, constitutional delay of growth and puberty, hipotiroid

8. Terapi Hormon pertumbuhan

9. Edukasi - Terapi secara teratur


- Efek samping terapi

10. Prognosis Tergantung etiologi

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C


a. dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis
b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Pertumbuhan, IGF 1. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.

15. Kepustakaan - Rosen bloom AL, Connor EL. Hypopituitarism and Other Disorders of the Growth Hormone – Insulin
Like Growth Factor 1 Axis. In Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol 2. Hal 65-90.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

DIARE BERKEPANJANGAN

1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare berkepanjangan adalah diare akut yang berlangsung lebih dari 7 hari
Diare kronik adalah diare dengan atau tanpa disertai darah yang berlangsung ≥ 14 hari bukan disebabkan oleh infeksi

2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah, bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan kesadaran
Adanya pemyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat

3. Pemeriksaan Fisik Pengukuran berat badan


Kesadaran
Tanda vital Mata
cowong Adanya
air mata Turgor
kulit Bising usus
Extremitias (perfusi, capillary refill time)

Derajat dehidrasi ditentukan dengan kriteria WHO :


Dehidrasi berat : Minimal dua gejala: Letargi/ penurunan kesadaran, mata cowong, malas minum ataupun turgor kulit
sangat menurun (≥2 detik)
Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak gelisah / iritabel,
Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun
Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang

4. Pemeriksaan Analisa feses


Penunjang Test malabsorbsi: clini test,floating test
Darah lengkap
Kultur feses, Kultur urine.Pemeriksaan serum elektrolit, pemeriksaan gas darah tidak rutin dilakukan.

5. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis


Derajat dehidrasi
Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Diare berkepanjangan

osis Banding Apendisitis akut


Intussusepsi
Infeksi saluran kemih

Resusitasi cairan dan elektrolit bila ada gangguan sesuai derajat dehidrasi Identifikasi
Penyebab diare
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun). Probiotik : 1
kapsul/1 bungkus per hari.
Penatalaksanaan sesuai penyebab Obat-
obat antidiare tidak dianjurkan.
Pengelolaan diit yang rasional

9. Edukasi Menjaga higiene dan sanitasi


Tanda-tanda dehidrasi
Tetap memberikan ASI
Diet sesuai etiologi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

DIARE BERKEPANJANGAN

10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

a. dr. Vebri Valentania Sp.A


13. Penelaah Kritis b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 14 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang

15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi Klinik
Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia, Edisi 17
2004; p.1272-1276.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT

1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah dalam tinja
Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh (somnolen,
koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral.

2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah, bilious).
 Panas
 Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan kesadaran
 Adanya penyakit penyerta lain
 Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
 Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat

3. Pemeriksaan Fisik  Pengukuran berat badan


 Kesadaran
 Tanda vital
 Mata cowong
 Adanya air mata
 Turgor kulit
 Bising usus
 Extremitias (perfusi, capillary refill time)

Derajat dehidrasi ditentukan dengan kriteria WHO :


Dehidrasi berat : Minimal dua gejala: Letargi/ penurunan kesadaran, mata cowong, malas minum ataupun
turgor kulit sangat menurun (≥2 detik)
Dehidrasi ringan-sedang : Minimal dua gejala, atau satu gejala dehidrasi berat dan satu gejala: Anak gelisah /
iritabel, Mata cowong, Anak tampak haus / ingin minum banyak ataupun Turgor kulit menurun
Tidak dehidrasi apabila tidak cukup gejala untuk klasifikasi dehidrasi berat atau ringan-sedang

4. Pemeriksaan Penunjang Analisa feses, urine


Darah lengkap, serum elektrolit, fungsi ginjal, analisa gas darah Kultur
feses,

5. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis


Derajat dehidrasi
Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Diare akut Dehidrasi berat

7. Diagnosis Banding Apendisitis akut


Intussusepsi
Infeksi saluran kemih

8. Terapi Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl 0.9%)
yang dibagi sebagai berikut
Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya
Usia ≥12 bulan : 30 ml/kg dalam 30 menit dilanjutkan 70 ml/kg dalam 2 ½ jam berikutnya Dapat
diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat. Juga beri
oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam (anak).
Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan)
dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun). Probiotik : 1
kapsul/1 bungkus per hari.
Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa) Obat-
obat antidiare tidak dianjurkan.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT

9. Edukasi Menjaga higiene dan sanitasi


Tanda-tanda dehidrasi
Tetap memberikan ASI

10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

a. dr. Vebri Valentania Sp.A


13. Penelaah Kritis b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 7 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang

15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi Klinik
Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia, Edisi 17
2004; p.1272-1276.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIARE KRONIK

1. Pengertian (Definisi) Diare Kronik adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam dengan atau tanpa disertai darah yang
berlangsung ≥ 14 hari

2. Anamnesis - Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya
darah, bilious).
- Panas
- Kembung
- Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
- Adanya pemyakit penyerta lain
- Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
- Intake
- Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat

3. Pemeriksaan Fisik - Pengukuran berat badan


- Kesadaran
- Tanda vital
- Derajat dehidrasi
- Bising usus
- Pemeriksaan anorectal
- Extremitias (perfusi, capillary refill time)
- Ada gagal tumbuh
- Ada malnutrisi
- Gejala lain yang menyertai

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa feses, urine


2. Darah lengkap
3. Kultur feses, Kultur urin
4. Pemeriksaan serum elektrolit, pemeriksaan gas darah tidak rutin dilakukan.
5. Uji malabsorbsi : Clini test, Floating test
6. Biopsi usus
7. BOF
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis
2. Derajat dehidrasi
3. Komplikasi : sepsis , malnutrisi, gangguan tumbuh kembang

6. Diagnosis Diare Kronik

7. Diagnosis Banding Apendisitis akut


Intussusepsi
Infeksi saluran kemih

8. Terapi 1. Koreksi gangguan cairan dan elektrolit bila ada


2. Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
3. zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di
atas 6 bulan).
4. Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
5. Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
6. Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
7. Pengobatan problem penyerta.
8. Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
9. Dietetik :
• Dalam keadaan berat mungkin diperlukan parenteral nutrisi
• Enteral continous drip feeding memberikan hasil baik dengan formula khusus (low lactose)
• Dalam keadaan malabsorbsi berat , serta alergi protein susu sapi dapat diberikan elemental atau semi elemental
formula

9. Edukasi 1. Menjaga higiene dan sanitasi


2. Tanda-tanda dehidrasi
3. Tetap memberikan ASI

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIARE KRONIK

10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

a. dr. Vebri Valentania Sp.A


13. Penelaah Kritis b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Tidak dehidrasi Diare


berkurang Tidak
malnutrisi Tidak
gagal tumbuh

15. Kepustakaan 1. WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
2. UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
3. UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
4. Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS

1. Pengertian (Definisi) Refluks gastroesofagus (RGE) adalah aliran balik isi lambung (berupa air liur, makanan/minumam, cairan lambung, cairan
pankreas, cairan empedu) ke dalam esofagus tanpa adanya usaha.
- Fisiologis : regurgitasi setelah minum/makan dengan waktu yang singkat, tidak ada keluhan lainnya.
- Patologis : regurgitasi berulang dengan waktu yang lebih lama, terjadi siang/malam, tidak bergantung
minum/makan, dapat disertai keluhan radang esofagus.

2. Anamnesis - Keluhan regurgitasi, dapat disertai darah


- Nyeri dada atau rasa terbakar
- Batuk, sesak
- Suara serak
- Anemia (pucat)
- Muntah darah/BAB darah
- Kesulitan menelan
- Gelisah
- Penurunan berat badan, kenaikan berat badan yang tidak optimal
- Pada bayi : rewel saat minum, menolak minum, aspirasi berulang

3. Pemeriksaan Fisik - Pengukuran berat badan


- Kesadaran
- Tanda vital
- Anemia
- Sesak (stridor, wheezing)

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Pemantauan pH esofagus
3. Endoskopi
4. Biopsi jaringan esofagus
5. Barium meal : mendeteksi kelainan anatomi saluran cerna atas
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Gejala Klinis
3. Endoskopi
4. Biopsi

6. Diagnosis Penyakit refluks gastroesofageal

7. Diagnosis Banding Akalasia


Gastroparesis
Gastroenteritis
Ulkus peptik
Esophagitis/gastroenteritis eosinofilik
Alergi makanan
Pankreatitis
Appendisitis

8. Terapi 1. RGE fisiologis :


- Yakinkan orangtua bahwa regurgitasi adalah fisiologis
- ASI diteruskan
- Jika frekuensi berlebih (>4 kali sehari) dan bayi sudah mendapat susu formula, dapat diberikan
thickening milk modifikasi
- Posisi bayi setelah minum, terlentang dengan sudut 45-60 derajat antara pinggang dengan tempat tidur
- Prokinetik (cisaprid) 0,2 mg/kg/kali, 3 kali sehari, bila tatalaksana di atas tidak memberikan respon
2. RGE patologis (terbukti penyakit RGE) :
- H2 antagonis (ranitidin) 2 mg/kg/BB/hari, 2 kali sehari, atau
- Proton pump inhibitor (PPI), omeprazole 1-2 mg/kgBB/hari, sekali sehari
- Diberikan selama 1-2 bulan bergantungh respon klinis
- Bedah dilakukan bila tidak respon terapi atau RGE yang mengancam jiwa

9. Edukasi 1. Tanda-tanda kegawatan


2. Gangguan susunan saraf pusat
3. Tetap memberikan ASI

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

a. dr. Vebri Valentania Sp.A


13. Penelaah Kritis b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Tatalaksana dengan H2 antagonis atau PPI membaik dalam 2 minggu

15. Kepustakaan 1. IDAI. Pedoman pelayanan medis. 2011


2. GRAMIK FK UNAIR. Sindroma gangguan motilitas saluran cerna. 2004
3. Sulaiman B. Gastroesophageal reflux disease (GERD) in children : from infancy to adolescence. Journal of Medical
sciences, 2011
4. Yvan Vandenplas, Colin D. Rudolph, at all. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint
Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
(NASPGHAN) and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN).
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 2009

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PENYAKIT HIRSCHPRUNG

1. Pengertian (Definisi) Penyakit Hirschprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di dalam pleksus mienterikus dan
submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen yang pendek yang hanya mengenai daerah sfingter
anal sampai daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil.

2. Anamnesis Pada bayi:


- Mekonium >48 jam
- Distensi abdominal setelah hari kedua
- Muntah
- Minum berkurang
Pada anak:
- Pada anak ditandai dengan distensi perut
- Gagal tumbuh
- Muntah
- Diare intermiten
- Konstipasi disusul dengan diare yang eksplosif
- Enterocolitis

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan rektal


- Saluran anal dan ampula rekti yang kecil
- Biopsi Rektal

4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologis


- Foto polos abdomen: usus mengalami distensi, sedikit udara di rektum
- Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi; Terdapat
daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi; Terdapat daerah
pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
- Colon in loop: tampak zona transisi

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. Pemeriksaan radiologis
3. Komplikasi (apabila terjadi)
6. Diagnosis Penyakit Hirschprung

7. Diagnosis Banding Konstipasi idiopatik

8. Terapi 1. Penanganan umum:


- Stabilisasi Penderita
- Antibiotik bila terjadi enterokolitis
- Evakuasi kolon dengan enema
2. Penanganan khusus:
- Kolostomi
- Dilanjutkan bedah definitive

9. Edukasi 1. Menjaga higiene dan sanitasi


2. Tetap memberikan ASI

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad


sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

a. dr. Vebri Valentania Sp.A


13. Penelaah Kritis b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PENYAKIT HIRSCHPRUNG

14. Indikator Medis - Secara umum prognosisnya baik


- 90% pasien mendapat tindakan pembedahan dan sembuh
- 10% pasien bermasalah dengan saluran cerna sehingga harus dilakukan kolostomi permanen.
- Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

15. Kepustakaan 1. Imseis, E. And C.E. Gariepy (2004). Hirschprung’s disease. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker., Goulet.,
Kleinman.et al.Ontario, BC Decker Inc.1 : 1031-1043
2. O;Neill.(2004).”Hirscphrung’s Disease”, 2006, from www.APSA Resources for parents Hirschprung’s Disease
Pt_1.htm.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL PADA ANAK

1. Pengertian (Definisi) Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut sampai dengan anus. Darah dapat
terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan
laboratorium.

Perdarahan Gastrointestinal dibagi menjadi:


1. Perdarahan gastrointestinal atas ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian proksimal dari ligamentum
Treitz
2. Perdarahan gastrointestinal bawah ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna dibawah ligamentum Treitz

2. Anamnesis • Konfirmasi darah yang keluar benar- benar keluar dari traktus digestivus
• Jumlah darah yang keluar dan karakteristiknya
• Anak tampak sakit akut atau kronis
• Apakah perdarahan masih berlangsung
• Riwayat pemberian obat (antikoagulan, aspirin,dll)
• Riwayat penyakit terdahulu (epitaksis, penyakit hati, perdarahan)
• Riwayat muntah hebat kemudian disusul muntah darah

3. Pemeriksaan Fisik • Kesadaran dan tanda vital


• Tanda-tanda syok
• Peningkatan nadi 20/menit atau penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg saat dari duduk akan berdiri
merupakan tanda terjadi perdarahan yang cukup signifikan
• Tanda-tanda hipertensi portal, obstruksi intestinal, koagulopati, epistaksis, fisura ani dan hemoroid
• Pemeriksaan colok dubur

4. Pemeriksaan Penunjang • Apt test untuk membedakan darah bayi dan darah ibu
• Foto polos abdomen
• Esofagogastrodudodenoskopi
• Sigmoidoskopi dan kolonoskopi
• Biopsi
• Meckel scan

5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis


2. Derajat perdarahan
3. Komplikasi (apabila terjadi)

6. Diagnosis Perdarahan gastrointestinal atas atau bawah

7. Diagnosis Banding Hipertensi Portal


Tifus Abdominalis
Megakolon toksik
Tumor colon NEC

8. Terapi 1. Resusitasi cairan


2. Kumbah lambung dengan menggunakan normal saline
3. Perdarahan dari pembuluh darah (varises, kelainan vaskuler) yang persisten:
 Vasopresin 20 unit/1,73m2 selama 20 menit atau ocreotide 25-30 µg/m2/jam, keduanya dapat diberikan
selama 24 jam apabila diperlukan
 Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube
 Skleroterapi
 Konsul bedah anak
4. Perdarahan akibat ulkus : antasida, dekompresi gaster, elektrokauter, injeksi epinefrin lokal,
pembedahan darurat.

9. Edukasi 1. Tanda-tanda syok


2. Tanda-tanda perdarahan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL PADA ANAK

12. Tingkat Rekomendasi C

a. dr. Vebri Valentania Sp.A


13. Penelaah Kritis b. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Tidak anemia


Perdarahan berhenti

15. Kepustakaan 1. Suraatmaja, S. Kapita selekta Gastroenterologi Anak. 2010


2. UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2011

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ANEMIA DEFISIENSI BESI


1. Pengertian (Definisi) Anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin.
2. Anamnesis  kebutuhan besi meningkat (masa pertumbuhan yang cepat, menstruasi, infeksi kronis)
 kekurangan besi yang diserap (pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari)
 menderita perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)
 pucat, lemah, lesu, gejala pika, penurunan nafsu makan
 mengalami gangguan perilaku dan prestasi belajar
3. Pemeriksaan Fisik  anemia tanpa disertai ikterus, organomegali dan limfadenopati
 stomatitis angularis, atrofi papil lidah, koilonikia
 takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
 gangguan pertumbuhan
 bila Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun, RDW meningkat
 hapusan darah tepi: hipokromik mikrositik
 kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi besi menurun
 kadar feritin menurun
5. Diagnosis ANEMIA DEFISIENSI BESI
6. Diagnosis Banding  Thalassemia (khususnya Thalassemia minor)
 HbA2 meningkat

feritin serum dan timbunan Fe tidak turun
 anemia karena infeksi menahun

pada umumnya anemia normokromik normositik, kadang-kadang terjadi anemia hipokromik
mikrositik

feritin serum dan timbunan Fe tidak turun

kadar SI menurun dan TIBC menurun atau normal
 keracunan timah hitam (Pb)

terdapat gejala lain keracunan Pb
 Anemia sideroblastik

terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang
7. Pemeriksaan  Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), RDW
Penunjang  hapusan darah tepi
 kadar besi serum (SI) dan TIBC, saturasi besi
 kadar ferritin
8. Terapi 1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian preparat besi (ferro sulphate/ferro fumarate/ferro gluconate) dosis 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari
dibagi 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar
hemoglobin normal. Ascorbic acid 100 mg/15 mg besi elemental (untuk meningkatkan absorbsi besi).
2. BEDAH
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
3. SUPORTIF
Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limpa, hati,
daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Respirologi, Gastro-Hepatologi, Kardiologi)

9. Edukasi 1. Terapi
 periksa kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu
 kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
 gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal misalnya
konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual, gejala lain dapat berupa
pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
2. Tumbuh kembang
 penimbangan berat badan setiap bulan
 perubahan tingkah laku
 daya konsentrasi dan kemampuan belajar anak usia sekolah, konsultasi ahli psikologi
 aktivitas motoric
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ANEMIA DEFISIENSI BESI

14. Indikator Medis Pemberian preparat besi selama 2-3 bulan dan respon pemberian preparat besi dievaluasi dengan peningkatan kadar
retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu.
15. Kepustakaan 1. Hilmann RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and
Management. New York; Mc Graw Hill, 1995: 72-85.
2. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. 2 nd ed. New York; Churchill
Livingstone Inc, 1995: 35-50.
3. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. 1 st ed. Philadelphia; Saunders,
1974: 103-25.
4. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. In: Mc Millan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB,
penyunting. Oski’s Pediatrics: Principles and Practice. 3rd ed. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 1999: 1447-
8.
5. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 10-3.
6. Suplementasi Besi pada Bayi dan Anak. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011: 1-6.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

THALASSEMIA
1. Pengertian (Definisi) Suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh
kekurangan sintesis rantai polipeptida yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.
2. Anamnesis  Pucat
 gangguan nafsu makan
 gangguan tumbuh kembang
 perut membesar
3. Pemeriksaan Fisik  anemia
 bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
 dapat ditemukan ikterus
 gangguan pertumbuhan
 splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 darah tepi
 Hb rendah dapat mencapai 2-3 g%
 gambaran morfologi eritrosit mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini
lebih kurang khas.
 Retikulosit meningkat
 pemeriksaan khusus
 HbF meningkat: 20-90% Hb total
 Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar HbF.
 pemeriksaan pedigree: kedua orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan HbA2
meningkat (>3,5% dari Hb total).
 pemeriksaan lain
 foto Ro tulang kepala: gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus
pada korteks
 foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas
5. Diagnosis THALASSEMIA
6. Diagnosis Banding  anemia defisiensi besi
 anemia karena infeksi menahun
 anemia pada keracunan timah hitam (Pb)
 anemia sideroblastic
7. Pemeriksaan  hapusan darah tepi
Penunjang  pemeriksaan khusus
 Elektroforesis Hb
 pemeriksaan pedigree
 pemeriksaan lain
 foto Ro tulang kepala
 foto tulang pipih dan ujung tulang Panjang
8. Terapi 1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian iron chelating agent: diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 μg/l atau saturasi transferin
lebih 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kgBB/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5
hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
Deferiprone, dosis 50-75 mg/kgBB/hari, 3x/hari peroral, setiap hari.
Deferasirox, dosis 20-30 mg/kgBB/hari, 1x/hari peroral, setiap hari.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelat besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi.
Folic acid 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
2. BEDAH
Splenektomi dengan indikasi: Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan
tekanan intraabdominal dan bahaya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (Packed Red Cell/PRC) melebihi 250 ml/kgBB dalam satu tahun.
3. SUPORTIF
Transfusi darah:
Diberikan pada Hb «8 g/dL sampai kadar Hb 10-11 g/dL. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang
yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC 10 ml/kgBB/hari.
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
tumbuh kembang, kardiologi, gizi, endokrinologi, radiologi, gigi

9. Edukasi 1. Terapi
 Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi
meningkat dan transfusi darah berulang.
 Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat.
 Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernafas. Bila hal ini terjadi
kelasi besi dihentikan.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

THALASSEMIA
2. Tumbuh kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, sehingga diperlukan perhatian dan pemantauan
tumbuh kembang penderita.
3. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal
hepar), gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Kadar hemoglobin dipertahankan rata-rata 9,5 g/dL


15. Kepustakaan 1. Brozovic M, Henthorn J. Investigation of abnormal hemoglobins and thalassemia. In; Dacie JV, Lewis SM, eds.
Practical Hematology. 8th ed. Churchill Livingstone Edinburgh, 1995: 249.
2. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the Clinical Management of
Thalassemia. Thalassemia International Federation, April 2000.
3. Eleftheriou A. Clinical Management of Thalassemia. In: Compliance to Iron Chelation Therapy with
Desferrosamine. Thalassemia International Federation 2000: 14-6.
4. Miller DR, Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis;
Mosby Co, 1997: 619.
5. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000: 979.
6. Wahidiyat I, Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia. Naskah lengkap Kongres Nasional Ilmu Kesehatan
Anak (KONIKA) Jakarta, 1999: 293-6.
7. Talasemia. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 299-302.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


1. Pengertian Suatu keganasan primer organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang sebagai pembuat darah didominasi
(Definisi) oleh sel klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel ganas tersebut melalui darah ke semua organ tubuh.

2. Anamnesis  pucat
 sering demam
 perdarahan
 berat badan turun
 anoreksia
 nyeri tulang
 pembesaran kelenjar getah bening dan perut
3. Pemeriksaan Fisik Gejala klinis bervariasi luas, dapat berupa:
 anemia dan tanda perdarahan: perdarahan kulit (ptekie, atraumatik ekimose), perdarahan gusi, hematuria,
perdarahan saluran cerna, dan perdarahan otak
 pembesaran kelenjar limfe general
 organomegali (hepatomegali, splenomegali, limfadenopati), massa di mediastinum
 pada jantung terjadi gejala akibat anemia
 infeksi: di mulut, saluran nafas atas/bawah, selulitis, sepsis
 leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (tekanan intra kranial meningkat), perubahan status mental,
kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologic fokal
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 anemia normositik normokromik
 pada hitung jenis terdapat limfositosis dan atau limfoblas. Jumlah limfoblas dapat mencapai 100%
 pemeriksaan darah lengkap: lekosit bisa menurun, normal, atau meningkat atau hiperlekositosis
(>100.000/mm3). Trombositopenia, uji tourniquet positif dan waktu perdarahan memanjang.
 retikulositopenia
 kepastian diagnostik: pungsi sumsum tulang. Terdapat pendesakan eritropoiesis, trombopoesis, dan
granulopoesis. Sumsum tulang didominasi oleh limfoblas. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
immunophenotyping.
 rontgen foto toraks AP dan lateral untuk melihat infiltrasi mediastinal
 lumbal pungsi: untuk mengetahui ada infiltrasi ke cairan serebrospinal
5. Diagnosis LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
6. Diagnosis Banding  Anemia aplastic
7. Pemeriksaan  pemeriksaan darah lengkap
Penunjang  hapusan darah tepi dan retikulosit
 pungsi sumsum tulang
 dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan immunophenotyping
 rontgen foto toraks AP dan lateral
 lumbal pungsi
8. Terapi 1. Protokol pengobatan
Protokol pengobatan menurut UKK Hemato-Onkologi ada 2 macam yaitu:
a. Protokol middle dose Metothrexate (Jakarta 1994) lihat lampiran
b. Protokol Nasional LLA 2006 lihat lampiran
2. Pengobatan suportif
Terapi suportif misalnya transfusi komponen darah, pemberian antibiotika, nutrisi, dan psikososial
9. Edukasi 1. Terapi
Komplikasi terapi adalah alopesia, depresi sumsum tulang, agranulositosis. Sepsis merupakan komplikasi
selama pengobatan sitostatik.
Pada pemberian kortikosteroid dapat terjadi perubahan perilaku, misalnya marah dan nafsu makan yang
berlebihan.
2. Tumbuh kembang
Pasien secepatnya masuk sekolah. Dalam jangka lama perlu diobservasi fungsi hormonal dan tumbuh kembang
anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Remisi komplit dicapai setelah pengobatan selama 108-118 minggu.

15. Kepustakaan 1. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In: Clinical Hematology 3rd ed. Thieme, Stuttgart.
1986: 243-8.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


2. Margolin JF, Robin KR, Steuber CP. Acute Lymphoblastic Leukemia in Principle and Practice of Pediatric
Oncology, 6th ed. Lipincott. 2011: 518-65.
3. Munker R and Sakhalkar V. Acute Lymphoblastic Leukemia in Modern Hematology, Biology and Clinical
Management, 2nd ed. Munker R, Hiller E, Glass J, Paqutte R edsd.en Press. 2007: 173-93.
4. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000: 979.
5. Saha V and Chessells J. Childhood Lymphoblastic Leukemia in Evidence Based Pediatric Oncology, 2nd .
Pinkerton Rshankar AG and Matthay K eds, Blackwell. 2007: 267-78.
6. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, Head D, Boyett J, Rubritz JE, et all. Persistence of Lymphoblasts
in Bone Marrow on Day 15 and Day 22 to 25 of Remission Induction Predicts a Dismal Treatment Outcome in
Children with Acute Lymphoblastic Leukemia. Blood, 2002: 100: 43-6.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)


1. Pengertian Kelainan perdarahan pada anak usia 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. Terjadi
(Definisi) akut, sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi pada usia <1 tahun atau >10 tahun, kronis dan dihubungkan
dengan kelainan imunitas.
2. Anamnesis  riwayat infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna 1-3 minggu sebelumnya
 riwayat perdarahan, gejala dan tipe perdarahan, lama perdarahan, riwayat sebelum perdarahan
 riwayat pemberian obat-obatan misalnya heparin, sulphonamide, quinidine/quinine, aspirin
 riwayat ibu menderita HIV, riwayat keluarga yang menderita trombositopenia atau kelainan hematologi
3. Pemeriksaan Fisik  manifestasi perdarahan, tipe perdarahan termasuk perdarahan retina, derajat berat perdarahan
 perabaan hati, limpa, kelenjar getah bening
 infeksi
 gambaran dismorfik yang diduga kelainan kongenital termasuk kelainan tulang, kehilangan pendengaran

4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik


 manifestasi perdarahan
 trombositopenia
 dihubungkan dengan kelainan imunitas
5. Diagnosis PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)
6. Diagnosis Banding  Anemia aplastik
 Leukemia
 Septikemia
 Penyakit imunologik
7. Pemeriksaan  morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit
Penunjang  Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit
 Trombosit, masa perdarahan
8. Terapi PTI AKUT
 bed rest (Masuk Rumah Sakit) dan roborantia
 kortikosteroid Prednison 2 mg/kgBB/hari peroral selama 7 hari, kemudian tapering of dalam periode
7 hari.
PTI KRONIS
Kortikosteroid
Prednison 2 mg/kgBB/hari/po atau iv selama 7 hari, kemudian tapering of dalam periode 7 hari. Pada
perdarahan emergensi: Methylprednisolone 8-12 mg /kgBB/iv atau Dexamethasone 0,5-1,0 mg
/kgBB/iv atau po, bersama-sama dengan IVIG atau transfusi trombosit.
Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Dosis inisial 0,8 g/kgBB, 1x pemberian. Diulang dengan dosis yang sama jika jumlah trombosit
<30x109 /l pada hari ke 3 (72 jam setelah infus pertama).
Pada perdarahan emergensi: 0,8 g/kgBB, 1-2 kali pemberian, bersama-sama dengan kortikosteroid dan transfusi
trombosit.
Pada PTI kronis: 0,4 g/kgBB/x, setiap 2-8 minggu.
Siklosporin
3-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis
Azatioprin
50-300 mg/m2 per os/hari selama 4 bulan

Transfusi trombosit pada umumnya tidak diberikan berhubung adanya zat anti terhadap trombosit
Splenektomi kadang-kadang dilakukan pada PTI akut dengan dugaan perdarahan otak. Dilakukan bersama dengan
transfusi trombosit dalam jumlah besar.
9. Edukasi Pemantauan tanda-tanda perdarahan
Pencegahan dan penanganan infeksi
10. Prognosis PTI AKUT
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam

PTI KRONIS
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis PTI akut sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi lebih dari 6 bulan akan menjadi kronis dan dihubungkan dengan
kelainan imunitas.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (PTI)


15. Kepustakaan 1. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone;
1995: 202-3.
2. Lillyman JS. Disorders of Platellets. Thrombocytopenia and Thrombocytosis. Dalam: Lillyman JS, Hann IM,
penyunting. Paediatric Hematology. Edisi ke 1. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1992: 129- 68.
3. Beardsky DS. Platelet Abnormalities in Infancy and Childhood. Edisi ke 4. Philadelphia: Saunders; 1993: 1561-
604.
4. Grabowski EF, Corrigan JJ. Hemostasis: General Considerations. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting. Blood Diseases of Infancy and Childhood. Edisi ke 7. St. Louis: Mosby; 1995: 849-923.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HEMOFILIA
1. Pengertian Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah. Ada 3 jenis
(Definisi) hemofilia:
Hemofilia A: defek faktor VIII
Hemofilia B: defek faktor IX
(prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1)
Hemofilia C: defek faktor XI (jarang)
Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX: Ringan:
5-25% (5-25 U/dL)
Sedang: 1-5% (1-5 U/dL)
Berat: <1% (<1 U/dL)
2. Anamnesis  riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat lahir,
perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur
 nyeri/bengkak pada sendi
 riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama
3. Pemeriksaan Fisik Ada perdarahan yang dapat berupa:
 hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
 hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas)
 sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi kontraktur
sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu
 perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 APTT memanjang
 PPT normal
 Serum Prothrombin Time pendek
 kadar fibrinogen normal
 Retraksi bekuan baik
 kadar Faktor VIII/IX
5. Diagnosis HEMOFILIA
6. Diagnosis Banding  Von Willebrand’s disease
 Defisiensi Vitamin K
7. Pemeriksaan  APTT
Penunjang  PPT
 Serum Prothrombin Time
 Kadar fibrinogen
 Retraksi bekuan
 kadar Faktor VIII/IX
8. Terapi Hemofilia A
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti
pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi
transfusi hemolitik. Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FVIII
Hemofilia B
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga mencapai
kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi hemolitik.
Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FIX
Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor
Indikasi FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari)
Epistaksis 10-15 20-30 1-2
Perdarahan oral 10-15 20-30 1-2
mukosa
Hemarthrosis 15-25 30-50 1-2
Hematoma 15-25 30-50 1-2
Hematuria persisten 15-25 30-50 1-2
Perdarahan GI 15-25 30-50 1-2 hari
setelah perdarahan stop
Perdarahan 15-25 30-50 min.3 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HEMOFILIA
retroperitoneal
Trauma tanpa 20-25 40-50 2-3
perdarahan
Perdarahan lidah/ 20-25 40-50 3-4
retrofaring
Trauma dengan 50 100 10-14
perdarahan,bedah
Perdarahan 50 100 10-14
Intracranial

9. Edukasi 1. Menghindari trauma


2. RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation)
3. Pemantauan efek samping terapi
Pemeriksaan fungsi hati setiap 6 bulan
4. Tumbuh kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi kontraktur sendi. Hal ini dapat dicegah
dengan penanganan secara komprehensif.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Keluhan klinis berkurang (tidak didapatkan bengkak dan perdarahan) setelah pemberian AHF
15. Kepustakaan 1. Higartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting
Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke 7. St. Louis Mosby; 1995: 924-86.
2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone;
1995: 254-62.
3. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hereditary Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders). Dalam:
Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting Nelson Text Book of Pediatric; edisi ke 16.
Philadelphia: WB Saunders Co.2000: 1508-11.
4. Rickard KA. Guidelines for therapy and optimal dosages of coagulation factors for treatment of bleeding and
surgery in haemophilia. Haemophilia; 1995 (suppl 1): 8-13.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K


1. Pengertian (Definisi) Perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang disebabkan oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan
Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
2. Anamnesis  onset perdarahan
 lokasi perdarahan
 pola pemberian makanan
 riwayat pemberian obat-obatan pada ibu selama kehamilan
3. Pemeriksaan Fisik  ada perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain sebagainya
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 waktu pembekuan memanjang
 APPT memanjang
 PTT memanjang
 Thrombin Time normal
 USG, CT Scan atau MRI untuk melihat lokasi perdarahan
5. Diagnosis PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K
6. Diagnosis Banding Gangguan hemostasis lain misalnya gangguan fungsi hati
7. Pemeriksaan  waktu pembekuan
Penunjang  APPT
 PTT
 Thrombin Time
 USG, CT Scan atau MRI
8. Terapi Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari
Fresh Frozen Plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kgBB
9. Edukasi Pemberian Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali masing-masing 2 mg pada waktu
bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun.
Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau
10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan, selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan
diulang 24 jam kemudian.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Klinis membaik dan FH normal setelah pemberian vitamin K1 dan FFP
15. Kepustakaan 1. Willoughby MLN. Pediatric Hematology. Edinburg: London, 1977: 327-9.
2. Chalmers EA, Gibson BE. Acquired disorders of hemostasis during childhood. Dalam: Lilleyman J, Hann I,
BlanchetteV, Eds. Pediatric Hematology. Edisi ke 2. London: Churchill Livingstone, 2000: 629-49.
3. Sutor AH, Von Kries R, Cornelissen M, Mc Ninch AW, Andrew M. Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in
Infancy. Thromb Haemost 1999; 81: 456-61.
4. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Hemorrhagic Disease of The Newborn. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG,
Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2005: 182-
96.
5. World Health Organization, Food and Agriculture Organization of United Nations, 2002. Vitamin K. Didapat dari:
http://www.fao.org/documents/showcdr.asp?urlfile=/DOCREP/004/Y2809E/y2809e00.htm. (Diakses tanggal 8 Agustus
2005)
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ANEMIA APLASTIK
1. Pengertian Suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.
(Definisi)

2. Anamnesis  keluhan pucat, lemah, mudah lelah dan berdebar-debar


 tanda-tanda infeksi
 perdarahan
3. Pemeriksaan Fisik Gejala klinis bervariasi, dapat berupa:
 anemia
 febris
 perdarahan
hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia aplastik
4. Kriteria Diagnosis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
darah tepi
 granulosit <500/mm3
 trombosit <20.000/mm3
 retikulosit <1.0%
sumsum tulang
 hiposeluler <25%
5. Diagnosis ANEMIA APLASTIK
6. Diagnosis Banding  Leukemia akut
 Sindrom Fanconi: anemia aplastik konstitusional dengan anomali kongenital
 Anemia Ekstrem-Damashek: anemia aplastik konstitusional tanpa anomali kongenital
 Anemia aplastik konstitusional tipe II
 Diskeratosis kongenital
7. Pemeriksaan  pemeriksaan darah tepi
Penunjang  pemeriksaan sumsum tulang
8. Terapi Hindari infeksi eksogen maupun endogen, seperti:
 pemeriksaan rektal
 pengukuran suhu rektal
 tindakan dokter gigi
Pada tindakan-tindakan diatas, resiko infeksi bakteri meningkat
Simptomatik
 anemia: transfusi sel darah merah padat (PRC)
 perdarahan profus atau trombosit<10.000/mm3: transfusi trombosit (tiap unit/10kgBB dapat meningkatkan
jumlah trombosit ±50.000/mm3) Transfusi trombosit untuk profilaksis tidak dianjurkan.
Kortikosteroid
 Prednison 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis, untuk mengurangi fragilitas pembuluh kapiler,
diberikan selama 4-6 minggu
Siklosporin
 5-15 mg/kgBB/hari setiap 12-24 jam tappering menjadi 3-10 mg/kgBB/hari Efek
samping
 virilisme, hirsutisme, akne hebat, perubahan suara (reversible sebagian bila obat dihentikan)
 pemberian jangka panjang dapat menimbulkan adenoma karsinoma hati kolestasis
 hepatotoksik pada pemberian sublingual

9. Edukasi  Hindari infeksi dan trauma yang dapat menyebabkan perdarahan


 Pemantauan efek samping terapi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ANEMIA APLASTIK

14. Indikator Medis Klinis membaik dan didapatkan parameter hematologi: granulosit >500/mm3, trombosit >20.000/mm3, retikulosit
<1.0%

15. Kepustakaan 1. Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. N Eng. J. Med 1997, 336: 1365-72.
2. Young NS. Bone Marrow Aplasia: The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education
Programme of The 26th Congress of The International Society of Hematology, Singapore: ISH, 1996.
3. Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia. Dalam: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ dkk.
Penyunting. Hematology: Basic Principles and Practice, edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone,
1995: 299-325.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPERLEUKOSITOSIS
1. Pengertian (Definisi) Jumlah leukosit darah tepi yang melebihi 100.000/mm3
2. Anamnesis Tidak didapatkan keluhan yang khas dan spesifik.
3. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan metabolik yang mendasari.
4. Kriteria Diagnosis Jumlah leukosit darah tepi melebihi 100.000/mm3
5. Diagnosis HIPERLEUKOSITOSIS
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan darah tepi
Penunjang  Pemeriksaan serum elektrolit (natrium, kalium, kalsium, fosfat)
 Pemeriksaan asam urat
8. Terapi Hiperhidrasi
Dektrosa 5% dalam NaCl 0,45%: 2-3 liter/m2/hari
Alkalinisasi urin
a. Tambahkan NaHCO3 40 meq/liter
b.
Untuk mempertahankan pH urin 7,0-8,0
c. Stop NaHCO3 jika bikarbonat serum »30 mEq/L dan/atau pH urin>8,0
Pengobatan hiperurisemia
Allopurinol 300 mg/m2/hari atau 10 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 3 dosis (maksimum 800 mg/hari) atau 200
mg/m2/hari iv (maksimum 600 mg/hari)

Diuresis
a. Target produksi urin 100 ml/m2/jam dan berat jenis urin <1.010
b. Dapat diberikan Furosemid 0,5-1 mg/kgBB/kali atau Mannitol 25% 0,5 g/kgBB selama 5-10 menit
jika pasien mengalami oligouria, dapat diulang setiap 6 jam bila perlu
Tunda transfusi suspensi darah merah (PRC) karena dapat meningkatkan viskositas darah, terutama jika lekosit
> 300.0000/mm3
Monitor
a. elektrolit : Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin
b. darah lengkap
c. urin output, pH, berat jenis urin setiap 6 jam
d. tanda-tanda vital: respirasi, jantung dan susunan saraf pusat terutama bila terdapat hiperkalemia
atau hipokalsemia
9. Edukasi Kemungkinan terjadi komplikasi : sindroma lisis tumor, lekostasis, perdarahan, trombosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPERLEUKOSITOSIS

14. Indikator Medis kadar leukosit kurang 50.000/μ


15. Kepustakaan 1. Bunin NJ, Pin CH. Differing Complication of Hyperleukocytosis in Children with Acute Lymphoblastic or
Acute Nonlymphoblastic Leukemia. J Clin Oncol 1985; 3: 1590-5. Dikutip dari Lange B, D’Angio G, Ross III
AJ, O’Neill, Jr.JA, Packer RJ. Oncology Emergencies. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, Penyunting: Principles
and Practice of Pediatric Oncology.ed 2. Philladelphia: JB Lippincott Company, 1993: 964-8.
2. Cuttner J, Holland JF, Norton L, dkk. Therapetic Leukopheresis for Hyperleukocytosis in Acute Myelocytic
Leukemia. Med Pediatric Oncology 1983;11:76. Dikutip dari Baer MR. Management of Unusual Presentations
of Acute Leukemia. Dalam: Bloomfield CD, Herzig GP, Penyunting. Hematology-Oncology Clin Nort Am
1993: 7: 275-92.
3. Jones DP, Mahmoud H, Chesney RW. Tumor Lysis Syndromes: Pathogenesis and Management. Pediatric
Nephrol 1995: 9:206-12.
4. Martin G, Barragan E, Bolufer P, Chillon C, Garcia-Sanz R, Gomes T, dkk. Relevance of Presenting White
Blood Cell Count and Kinetics of Molecular Remission in The Prognosis of Acute Myeloid Leukemia with
CBFbeta/MYH 11 Rearrangement. Haematologica 2000. 85(7): 699-703

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

LIMFOMA NON HODGKIN (LNH)


1. Pengertian Keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat yang pada dasarnya merupakan keganasan sel limfosit.
(Definisi)

2. Anamnesis  pembesaran perut


 pembesaran kelenjar
 sesak napas
 nyeri
 kesulitan menelan
 pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher
3. Pemeriksaan Fisik Gejala klinis bervariasi, dapat berupa:
 massa intraabdominal dan intratorakal (massa mediastinum) sering disertai efusi pleura
 nyeri, disfagi, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher
 limfadenopati supraklavikular atau aksiler, jarang sekali retroperitoneal
 pembesaran limpa dan hati
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi, aspirasi sumsum tulang
 bila memungkinkan pemeriksaan imunologik dan sitogenik
 pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen,
scanning tulang
5. Diagnosis LIMFOMA NON HODGKIN
6. Diagnosis Banding  Neuroblastoma
7. Pemeriksaan  biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi, aspirasi sumsum tulang
Penunjang  pemeriksaan imunologik dan sitogenik
 pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen,
scanning tulang
8. Terapi Kemoterapi dengan protocol COMP
Fase induksi
 Cyclophosphamide 1,2 g/m2 iv (hari ke 1)
 Vincristine 2 mg/m2 iv (hari ke 3,10,18,26)
 Methotrexate 300 mg/m2 iv (hari ke 12)
 Methotrexate 6,25 mg/m2 it (hari ke 4,30,34)
 Prednison 60 mg/m2 po (hari ke 3 sampai 30 kemudian diturunkan bertahap sampai hari ke 40)
Fase rumatan
 Cyclophosphamide 1,0 g/m2 iv (minggu ke 0,4,8,12,16,20)
 Vincristine 1,5 mg/m2 iv (minggu ke 0,2,4,6,8,10,12,14,16,18,20)
 Methotrexate 300 mg/m2 iv (minggu ke 2,6,10,14,18)
 Methotrexate 6,25 mg/m2 it (minggu ke 4,8,12,16,20)
 Prednison 60 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke 0,4,8,12,16,20)
Kemoterapi dengan protocol CHOP
 Cyclophosphamide 750 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
 Adriamycine 50 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
 Vincristine 2 mg/m2 iv (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
 Prednison 40 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke 1,4,7,10,13,16,19,22)
Selama kemoterapi periksa fungsi hati dan ginjal tiap bulan
9. Edukasi Pemantauan efek samping terapi
Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal tiap bulan.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai
kemoterapi

15. Kepustakaan 1. Patte C. Non Hodgkin’s Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting. Paediatric
Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 278-95.
2. Oberlin O, Mc Dowell HP. Hodgkin’s Disease. . Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting.
Paediatric Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 296-319.
3. Hudson MM, Donaldson SS. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting. Principles and Practice of Pediatric
Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002: 661-705.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

LIMFOMA NON HODGKIN (LNH)


4. Margrath I. Malignant Non-Hodgkin’s Lymphomas in Children. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting.
Principles and Practice of Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002:
661-705.
5. Oberlin O. Hodgkin’s Disease. Dalam Voute PA, Kalifa C and Barret A penyunting. Cancer in Children Clinical
Management. Edisi ke 4. New York; Oxford University Press; 1999: 137-53.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

TUMOR WILMS
1. Pengertian Tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau embrioma
(Definisi) renal.

2. Anamnesis  keluarga yang menderita tumor Wilms


 penyakit lain yang menyertai
 riwayat keluarga untuk kanker
 kelainan kongenital yang lain
 tumor jinak
3. Pemeriksaan Fisik  tumor dalam perut (tumor abdomen), gejala paling sering (75-90%)
 hematuria (makroskopis), 25% kasus
 hipertensi (60% kasus)
 anemia
 penurunan berat badan
 infeksi saluran kencing
 demam
 malaise
 anoreksia
 nyeri perut bersifat kolik
 dapat dijumpai bersama kelainan kongenital lain, seperti aniridia, hemihipertrofi, anomali saluran kemih
atau genetalia, retardasi mental
4. Kriteria Diagnosis  riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
 IVP dan USG abdomen
 LDH, VMA
 histopatologi jaringan tumor
5. Diagnosis TUMOR WILMS
6. Diagnosis Banding  Neuroblastoma
 Limfoma
7. Pemeriksaan  IVP dan USG abdomen
Penunjang  LDH, VMA
 histopatologi jaringan tumor
8. Terapi Operasi (pembedahan)
Kemoterapi
Radioterapi

Stadium I dan II dengan jenis sel favourable


operasi + kemoterapi (Vincristine dan Dactinomycine)
Stadium III dengan jenis sel favourable
operasi + kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine) + radioterapi
Stadium IV dengan jenis favourable
kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine) + radioterapi
Pada stadium II sampai IV dengan jenis unfavourable
operasi + kemoterapi (Vincristine, Dactinomycine dan Doxorubicine + Cyclophosphamide) + radioterapi
9. Edukasi Pemantauan efek samping terapi
Pemantauan tumbuh kembang
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai
kemoterapi

15. Kepustakaan 1. Breslow N, Olsham A, Beckwith JB, Green DM. Epidemiology of Wilms’ Tumor. MPO, 1993; 21: 172- 81.
2. De Camargo B, Weitzman S. Nephroblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barret A, penyunting. Cancer
in children: clinical management. Edisi ke 4. New York: Oxford; 1998: 259-73.
3. Lanzkowsky P. Wilms’ tumor. Dalam: Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke 2. New York:
Churchill Livingstone; 1995: 437-51.
4. Madden SL, Cook DM, Morris JF, Gashler A, Sukhatme VP, Rauscher FJ. Transcriptional repression mediated
by the WT1 Wilms’ tumor gene product. Science, 1991; 253: 1550-3.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

TUMOR WILMS
5. Schwartz CE, Haber DE, Stanton VP, Strong LC, Skolnick MH, Housman DE. Familial predisposition
to Wilms’ tumor does not segregate with the WT1 gene. Genomics, 1991; 10: 927-30.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

KOLESTASIS PADA BAYI


1. Pengertian (Definisi) Kolestasis adalah gangguan pembentukan, sekresi dan pengaliran empedu mulai dari hepatosit, saluran empedu intrasel,
ekstrasel dan ekstra-hepatal. Hal ini dapat menyebabkan perubahan indikator biokimia, fisiologis, morfologis, dan klinis
karena terjadi retensi bahan-bahan larut dalam empedu. Dikatakan kolestasis
apabila kadar bilirubin direk melebihi 2.0 mg/dl atau 20% dari bilirubin total.
2. Anamnesis Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat lahir, lingkar kepala,
pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin terganggu)
Riwayat keluarga: riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar keluarga.
Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat

3. PemeriksaanFisik 1. Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)


2. Kulit: ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema
3. Abdomen:
a. Liver : pembesaran/ukuran, konsistensi, permukaan.
b. Splenomegali.
c. Vena kolateral, asites.
4. Mata: ikterik
5. Lain-lain: jari tabuh, asteriksis, foetor hepaticus
4. Diagnosis Kolestasispadabayi
5. Diagnosis Banding • Anatomi : atresia bilier, kista koledokal, hipoplasia bilier
• Infeksi : toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, simplek herpes, sipilis
• Metabolik : galaktosemi, tirosinemi
• Endokrin : hipotiroit, hipokortisol
• Genetik : sindrom Alagille, PFIC
• Lain-lain : infeksi bakteri
6. PemeriksaanPenunjang 1. Gambaran darah tepi
2. Biokimia darah
 Serum bilirubin direk dan indirek
 ALT(SGPT), AST(SGOT)
 Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT)
 Masa protrombin
 Albumin, globulin
 Kolesterol, trigliserida
 Gula darah puasa
 Ureum, kreatinin
 Asam empedu
3. Urin: rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur urin
4.DAT(aspirasi cairan duodenum)
5. Pemeriksaan etiologi: TORCH (toksoplasma, rubella, CMV, herpes simpleks), hepatitis virus B, C, skrining
sederhana penyakit metabolik (gula darah, trigliserida).
6. Pencitraan:

SG dua fase (puasa 4-6 jam dan sesudah minum),

T scan, MRI

kintigrafi
7. Kolangiografi intraoperatif untuk kasus kolestasis ekstrahepatik
8. Biopsi hati
7. Terapi A. Terapi operasi Kasai Porto-Hepatic-Enterostomy untuk kolestasis ekstrahepatik
B. Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya
C. Terapi suportif
1. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
2. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang (Medium
chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil
3. Vitamin yang larut dalam lemak
- A 5000-25.000 IU
- D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
- E 25-200 IU/kk/hari
- K1 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu
4. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
5. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor
contohnya kolestipol, simvastatin
6. Pruritus:
- Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
- Rifampisin 10 mg/kg/hari
- Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

KOLESTASIS PADA BAYI


8. Pemantauan A. Terapi
Dilihat progresifitas kondisi klinis seperti ikterus (berkurang, tetap, semakin kuning), besarnya hati, limpa, asites, vena
kolateral. Kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, AST, GGT, albumin, tes koagulasi dan pencitraan.
B. Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan
kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan mengalami gangguan
pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan
membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan
bayi/anak.

9. Edukasi Penjelasan terutama pada perjalanan penyakit yg lama, dan prognosis yang kurang baik

10. Prognosis Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Vebri Valentania Sp.A
2. dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify
laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2010;50(5):526-30.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep
2010;12(1):30-9.
3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci
associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60.
4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis.
Orphanet J Rare Dis 2009;4:1.
5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver disease
after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HEPATITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Hepatitis adalah suatu keadaan inflamasi dan atau nekrosis hati.Hepatitis A merupakan penyebab terbanyak hepatitis virus
tetapi tidak menimbulkan kronisitas. Hepatitis B dan C karena bisa menjadi kronis akan dibicarakan dalam bab tersendiri.
Penyebab non virus kurang sering dijumpai tetapi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding.

2. Anamnesis Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hari - minggu timbul ikterus,
tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan riwayat kontak dengan
penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik.

3. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: sebagian besar sakit ringan.


Kulit, sklera ikterik, nyeri tekan di daerah hati, hepatomegali; perhatikan tepi, permukaan, dan konsistensinya.
4. Diagnosis Hepatitis Akut
5. Diagnosis Banding  Jaundice fisiologis, penyakit hemolitik, sepsis
 Carotenemi
 Hemolytic-uremic syndrome
 Reye syndrome
 Malaria, leptospira, brucellosis, infeksi berat
 Batu empedu
 Wilson’s disease, Cystic fibrosis, Systemic Lupus Erythremotasus (SLE). Keracunan obat seperti
acetaminofean,asam valproat, kombinasi obat anti tuberkulosa.
6. Pemeriksaan 1. Darah tepi: dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia: infestasi cacing, leukositosis: infeksi bakteri.
Penunjang 2. Urin: bilirubin urin
3. Biokimia:
a. Serum bilirubin direk dan indirek
b. ALT(SGPT) dan AST (SGOT)
c. Albumin, globulin
d. Glukosa darah
e. Koagulasi: faal hemostasis terutama waktu protrombin
4. Petanda serologis:
a. IgM antiHAV, HbsAg, IgM anti HBc, Anti HDV, Anti HCV, IgM Leptospira, kultur urin untuk
leptospira, kultur darah-empedu (Gal)
5. USG hati dan saluran empedu: Apakah terdapat kista duktus koledokus, batu saluran empedu, kolesistitis;
parenkim hati, besar limpa.

7. Terapi a. Terapi suportif: pembatasan aktivitas, pemberian makanan terutama harus cukup kalori. Hindari obat
hepatotoksik seperti parasetamol, INH, Rifampisin.
b. Medikamentosa:
Ursedeoksikolikasid (UDCA)
Obat anti virus: interferon, lamivudin, ribavirin. Prednison
khusus untuk VHA bentuk kolestatik.
Kolestasis berkepanjangan diberi vitamin larut dalam lemak dan terapi simptomatis untuk
menghilangkan rasa gatal yaitu kolestiramin.
Hepatitis fulminan dirawat intensif.
Konsultasi kepada ahli gastrohepatologi diperlukan bila
 Timbul gejala-gejala ke arah fulminan:
 Kesadaran menurun, terdapat gejala perdarahan, ALT dan AST lebih dari 1000 iu/l, serum bilirubin lebih
dari 10 mg/dl, pemanjangan waktu protrombin lebih dari 3 detik dari nilai normal.
 Terjadi kolestasis yang memanjang (lebih dari 30 hari)
8. Pemantauan  Penilaian kesadaran, suhu badan, derajat ikterus, besar hati.
 Gejala perdarahan terutama dari saluran cerna.
 Laboratorium:
Bilirubin direk, indirek, ALT dan AST, glukosa, albumin, PT diulang tiap 3-7 hari tergantung perkembangan
penyakit.
9. Edukasi Tentang perjalanan penyakit serta kemungkinan menjadi kronis pada infeksi HBV dan HCV
10. Prognosis Pada umumnya baik, angka kematian kurang dari 2%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A


dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis 80% Pasien akan semnuh dalam waktu 5 hari
15. Kepustakaan 1. Baris Z, Saltik Temizel IN, Uslu N, Usta Y, Demir H, Gurakan F, et al. Acute liver failure in children: 20-year
experience. Turk J Gastroenterol 2012;23(2):127-34.
2. Mohd Hanafiah K, Jacobsen KH, Wiersma ST. Challenges to mapping the health risk of hepatitis A virus
infection. Int J Health Geogr 2011;10:57.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HEPATITIS AKUT
3. Rapti IN, Hadziyannis SJ. Treatment of special populations with chronic hepatitis B infection. Expert Rev
Gastroenterol Hepatol 2011;5(3):323-39.
4. Selimoglu MA, Ertekin V, Karabiber H, Turgut A, Gursan N. Treatment results of chronic hepatitis B in
children: a retrospective study. Turk J Pediatr 2010;52(4):360-6.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ASCITES
1. Pengertian (Definisi) Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi
dapat pula disebabkan penyakit lain.
2. Patogenesis Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya:
 Peningkatan tekanan hidrostatik:
Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), obstruksi vena cava inferior, perikarditis konstriktif,
penyakit jantung kongestif
 Penurunantekananosmotikkoloid:
Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein- lossing
enteropathy
 Peningkatanpermeabilitaskapiler peritoneal:
Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium
 Kebocoran cairan di cavum peritoneal:
Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites
 Micellanous:
Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic hemodialysis

3. Gejala Klinis Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut:
 Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti
 Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang minimal
 Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak tegang
 Tingkatan 4 : asites permagna

4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik:


 Distensi abdomen
 Bulging flanks
 Timpani pada puncak asites
 Fluid wave
 Shifting dulness
 Puddle sign
5. Pemeriksaan Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)
Penunjang  Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial dinding abdomen
(Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar pada fossa paravesikal,
menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih. Gambaran ini disebut “dog’s ear” atau
"Mickey Mouse" appearance. Caecum dan colon ascenden tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal
fat line terdorong lebih ke lateral merupakan gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.
Ultrasonografi
 Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.
 Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan. CT scan
 Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah sedikit akan
terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior (kantung Morison), dan
kantung Douglas.
Parasentesis abdomen Analisiscairanasitesdilakukanpada onset
awalasites,
tindakantersebutmemerlukanrawatinapuntukobservasi.
Analisiscairanasites
1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan infeksi
bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.
5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.
6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.
7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial.
8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan
SAAG (perbedaan kadar albumin serum – kadar albumin asites)berhubungan langsung dengan tekanan portal: bila lebih
besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites); SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan hipertensi portal
(exudative ascites).

6. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis


2. Derajatdehidrasi
Komplikasi (apabilaterjadi)
7. Diagnosis Ascites
8. Diagnosis Banding
Tipe asites sesuai dengan SAAG

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ASCITES
Tinggi ( > or = 1.1 g/dl) Rendah ( < 1.1 g/dl)
Tumor peritonium
Sirosis
Asites pankreas
Hepatitis alkohol
Asites bilier
Gagal jantung Gagal
TBC peritonium
hati fulminan
Sindrom nefrotik
Trombosis vena porta
Obstruksi usus

9. Terapi 1. Penangananasitestergantungdaripenyebabnya, diuretikdan diet


rendahgaramsangatefektifpadaasiteskarenahipertensi portal.
Padaasiteskarenainflamasiataukeganasantidakmemberihasil.
Restriksicairandiperlukanbilakadarnatriumturunhingga<120 mmolperliter.
2. Kombinasispironolaktondanfurosemidsangatefektifuntukmengatasiasitesdalamwaktusingkat.
Dosisawaluntukspironolaktonadalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosisdanfurosemidsebesar 1-2
mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapatditingkatkansampai 6 mg/kgBB/dosis.
3. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut:
 Parasentesis
 Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver
 Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus
Paracentesis :
Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50 cc/kg berat badan.
Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan
volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit.
10.Monitoring Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan pengeluaran cairan. Pemantauan
keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus)
dan produksi urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan.
Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan penurunan
berat badan sebesar 0,5 kg per hari.

11.Diet Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada pasien - pasien yang dirawat akan
tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88
mmol/hari). Retriksi cairan tidak diperlukan kecuali pada kasus asites dengan serum sodium
level turun di bawah 120 mmol/L.
12. Edukasi Tentang perjalanan penyakit, biasanya terjadi pada fase akhir penyakit
13. Prognosis Jelek
14. Tingkat Evidens IV
15. Tingkat Rekomendasi C
16. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
17. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari
18. Kepustakaan a. Amarapurkar DN, Punamiya S, Patel ND. An experience with covered transjugular intrahepatic
portosystemic shunt for refractory ascites from western India. annals of Hepatology 2006:103-8.
b. Gerbes AL, Gulberg V. Progress in treatment of massive ascites and hepatorenal syndrome World J
Gastroenterol 2006;12:516-9.
c. Seo JH, Kim SU, Park JY, Kim DY, Han K-H, Chon CY, et al. Predictors of Refractory Ascites
Development in Patients with Hepatitis B Virus-Related Cirrhosis Hospitalized to Control Ascitic
Decompensation. Yonsei Med J 2013;54(1):145-53.
d. Bjerre M, Holland-Fischer P, Grønbæk H, Frystyk J, Hansen TK, Vilstrup H, et al. Soluble membrane attack
complex in ascites in patients with liver cirrhosis without infections World J Hepatol 2010;2(6):221-5.
e. European Association for The Study of The Liver. EASL clinical practice guidelines on the
management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Of Hepatol
2010;53:397-417.

Curup, 2022

Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GAGAL HATI FULMINAN

1. Pengertian (Definisi) Gagal hati fulminan adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh nekrosis sel hati yang luas, diikuti kegagalan
fungsi hati secara mendadak, yang ditandai dengan ensefalopati yang timbul dalam waktu kurang dari 8 minggu setelah
gejala pertama penyakit hati.

2. Patofisiologi Berdasar interval waktu antara timbulnya ikterus dan ensefalopati, gagal hati dibagi menjadi 3 kategori : hiper akut,
akut, dan sub akut.
KlasifikasiGagalHatiAkut

Interval
Edema
jaundice- Penyebab
Ensefalopati Otak Prognosis
Virus A,B
Hiper-akut <7 hari Sering Sedang
Acetaminophen
Akut 8-28 hari Sering Jelek Non-A/B/C;obat
Sub-akut 29 hari - 12 mg Sering Jelek Non-A/B/C;obat
-
3. PemeriksaanFisik Gejala klinis sangat bervariasi, merupakan gabungan antara gejala kelainan hati dan ensefalopati, mulai yang ringan sampai
koma. Pada bayi perjalanan penyakit progresif dan bayi meninggal sebelum ikterus tampak.
Gejala hepatitis : lemah, panas, anoreksia, muntah, nyeri perut, ikterus, kencing keruh, tinja akolis.
Gejala neurologi : gangguan tingkah laku, pusing, sakit kepala, perubahan irama tidur, gangguan koordinasi dengan
flapping tremor, refleks tendon yang meningkat, dan refleks Babinsky positif, hingga fase akhir terjadi hipotoni dan
refleks-refleks menghilang.

Gradasi koma hepatikum yang terjadi adalah sebagai berikut:


Gradasi Tingkat Kejiwaan Tanda Gangguan
kesadaran Neurologi EEG
0 Normal Normal Tidakada Tidakada
Sub-klinis Normal Normal Gangguantesps Tidakada
ikometrik
1 Gangguan pola Lupa Tremor Gelombang
tidur tigafase
Gelisah Bingung Apraksia (5 Hz)

Agitasi Inkordinasi

Iritabel Tidakbisamenul
is
2 Lethargy Disorientasi Asteriksis Gelombang
waktu Disarthria tigafase
Respons Hilang Ataksia (5 Hz)
lambat hambatan Refleks
Kelakuan tak hipoaktif
terkontrol
3 Somnolence Disorientasitem Asteriksis Gelombang
pat Kekakuan otot tigafase
Confusion Agresif Tanda (5 Hz)
Babinsky
Refleks
hiperaktif
4 Koma Tidakada Deserebrasi Aktifitasgelo
mbang
Delta/
lambat

4. PemeriksaanPenunjan g Pemeriksaanlaboratorium
a. Serum transaminase : meningkat 70 – 100 kali
b. Bilirubin direk dan total : bilirubin > 4 mg/dl menunjukkan prognosis buruk
c. Alkali fosfatase : normal atau meningkat
d. Faal hemostasis : memanjang
e. Albumin serum :faseawal normal danmenurunpadafaselanjut. Kadar albumin rendahmenunjukkan prognosis
buruk
f. Hipoglikemia, khususnyapadabayi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GAGAL HATI FULMINAN

g. Peningkatan kadar serum kreatinin signifikan mengarah pada hepatorenal syndrome


h. Hiponatremiadanhipokalemia
i. Kadar fosfat rendah
j. Kadar serum ammonia meningkat secara dramatis
k. Peningkatan serum laktat sebagai akibat gangguan perfusi jaringan dan penurunan klirens oleh hati
l. Analisis gas darah : asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik sebagai akibat dari hepatopulmonary
syndrome
m. Pemeriksaan serologi terhadap etiologi gagal hati fulminan

Pemeriksaaanpenunjang lain
a. EEG
b. USG hati (Doppler)
c. CT scan atau MRI abdomen.
d. CT scan kepala
e. Biopsihati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
3. Komplikasi (apabilaterjadi)
6. Diagnosis Gagal Hati Fulminan
7. Terapi Tujuan pengobatan adalah mempertahankan fungsi otak, ginjal, pernafasan sampai terjadi regenerasi hati serta mencegah
terjadi komplikasi, dengan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan, meliputi :
a. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
 Pemberiancairanintravena.
 Mempertahankan kadar Natrium dan Kalium darah.
b. Diet
Tinggi kalori, tinggi karbohidrat dan cukup lemak. Protein 0,5-1 g/kgBB/hari.
c. Pengobatanterhadapperdarahan
Timbulnyaperdarahanmerupakanakibatdefisiensifaktor-faktorpembekuan, DIC, dantrombositopenia.
 Vitamin K
 Plasma segarbeku
 Faktor pembekuan diberikan bila waktu protrombin memanjang lebih dari 10 detik
 Antasiddanantagonisreseptor H2 20 mg/kgBB/hari
 Bilaterjadiperdarahandiberikandarahsegar
d. Pengobatanterhadapensefalopati
 Neomisin 25 mg/kgBBtiap 8 jam
 Laktulose enema 150cc dalam 500cc air 4 kali sehari
 Laktulose oral 1 ml/kgBB 4 kali sehari
e. Pemberiansedatifharusdicegah
 Bilakejangdiberi flumazenil (benzodiazepine-receptor antagonist)
 Tidak boleh diberikan diazepam karena dapat menekan pusat pernapasan
f. Antibiotik
Jika diduga infeksi, sesuai hasil kultur.
g. Edema serebri
 Kortikosteroitmasihkontroversi
 Manitol 0.5-1 g/kgBB iv bilatekananintrakraniallebihdari 30 mmHg, dosispemeliharaan 0.25-0.5
g/kgBB iv 4 kali sehari.
h. Gangguanginjal
Peritoneal dialisisatauhemodialisisbilaterjadigagalginjal
i. Gangguanpernafasan
 Intubasiendotrakhealdanventilasimekanikbilaterjadigagalnafas
 AsidosisdiberiNatriumBicarbonatkarenadapatmemperbaikikesadarandanmeningkatkanalirandara
hdanoksigenkeotak
j. Usaha untukmenunjangfungsihati
 Tranfusitukar (exchange transfusion)
 Dialisis peritoneal padapenyakitWilsonuntukmembuangtembagadenganmenambah D-
penicillaminekedalamdialysate
 Plasmapheresis pada gagal hati fulminan yang menunggu transplantasi
 Charcoal haemoperfusion denganinfus prostacyclin
 Transplantasihati

8. Pemantauan Tekanan darah, nadi, suhu tubuh, produksi urine dan jika memungkinkan dengan tekanan vena sentral.
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan fungsi hati, serum elektrolit, albumin, analisa gas darah dan
urine lengkap
9. Edukasi
10. Prognosis Mortalitas pada anak-anak sebesar 80-90% disebabkan edema serebri, sepsis, dan kerusakan multi organ.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GAGAL HATI FULMINAN

Angka keberhasilan hidup adalah sebesar 10-20%. Dipengaruhi oleh derajat koma, macam pengobatan, umur penderita,
dan tergantung pada kemampuan regenerasi hati serta komplikasi yang terjadi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. IndikatorMedis Penderita akan dirawat selama 14 hari
15. Kepustakaan a. Narkewicz MR, Olio DD, Karpen SJ, et al: Pattern of diagnostic evaluation for the causes of pediatric
acuteliver failure: an opportunity for quality improvement. J Pediatr 2009; 155:801-806.
b. Suchy FJ,Fulminant Hepatic Failure. In: Kliegman RM, Behrman RE, Stanton BF, editors. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:4999-5008.
c. Bravo LC, Gregorio GV, Shafi F, Bock HL, Boudville I, Liu Y, et al. Etiology, Icidence And Outcomes of
Acute Hepatic Failure in 0-18 Year Old Filipino Children. SoutheaSt aSian J trop Med public health
2012;43(3):764-72.
d. Ranganathan SS, Sathiadas MG, Sumanasena S, Fernandopulle M, Lamabadusuriya SP, Fernandopulle BMR.
Fulminant Hepatic Failure and Paracetamol Overuse with Therapeutic Intent in Febrile Children Indian J
Pediatr 2006;73(10):871-5.
e. ÖZTÜRK Y, Berktafi S, SOYLU ÖB, KARADEM S, ASTARCIO⁄LU H, ARSLAN N, et al. Fulminant
hepatic failure and serum phosphorus levels in children from the western part of Turkey. Turk J
Gastroenterol 2010;21(3):270-4.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERTENSI PORTAL

1. Pengertian (Definisi) Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal diatas 10-12 mmHg yang menetap, dimana tekanan
dalam keadaan normal berkisar 4 – 8 mmHg.
Hipertensi portal juga didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang terjadi karena peningkatan tekanan vena portal
yang kronis. Merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak dengan penyakit hati.

2. Anamnesis - Riwayat kuning


- Riwayat transfusi (penularan hepatitis B dan C)
- Riwayat penyakit hati dalam keluarga (hemochromatosis, Wilson disease)

3. PemeriksaanFisik - Pengukuranberatbadan
- Kesadaran
- Tanda vital
- Hematemesis
- Melena
- Ensefalopati akibat fungsi hati yang buruk
- Asites
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Pelebaran vena dinding perut dan caput medusa
- Ikterus
4. PemeriksaanPenunjang - Laboratorium:darah lengkap, tes fungsi hati, faal hemostasis, albumin, serologi hepatitis, defisiensi alfa-1
antitripsin
- Radiologi: foto polos abdomen, USG Doppler, CT scan, MRI, CT-angiografi
- Endoskopi
- Biopsi hati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Intrahepatikatauekstrahepatik
3. Komplikasi
6 Diagnosis Hipertensi portal
7. Diagnosis Banding  Ekstrahepatik:
- Obstruksi vena porta: trombosis vena porta
- Peningkatan aliran porta: arteriovenousfistula
 Intrahepatik:
- Penyakit hepatoseluler: hepatitis virus (akuit/kronis), sirosis, fibrosis hepar kongenital, penyakit Wilson,
defisiensi α1 - antitripsin, penyakit glycogen storage tipe IV, hepatotoksisitas (methotrexate, nutrisi
parenteral)
- Penyakit traktus bilier: atresia bilier ekstrahepatik, cystic fibrosis, kista duktus koledokus, kolangitis
sklerosis, gangguan saluran empedu intrahepatik
- Hipertensi portal idiopatik
Obstruksi postsinusoidal: sindrom Budd-Chiari, penyakit veno-occlusive (trombosis dan
malformasi kongenital segmen toraks vena cava inferior, perikarditis konstriktif, gangguan katup trikuspid,
miokardiopati kongestif berat)
8. Terapi Terapi perdarahan varises esofagus:
• Resusitasi cairan (cairan kristaloid maupun darah)
• Koreksi koagulopati: vitamin K, transfusi trombosit dan Fresh Frozen Plasma
• Pasang sonde lambung: monitor perdarahan
• Reseptor H2 bloker (ranitidin)
• Medikamentosa:
- Octreotide / Somatostatin: 1 mcg/KgBB/jam sampai 12 jam setelah perdarahan berhenti
- Vasopressin: 0,33 U/KgBB selama 20 menit dan dilanjutkan dengan dosis yang sama tiap jam
• Skleroterapi endoskopik
Terapi preventif perdarahanvarises esofagus:
• -blocker: propanolol 0,5 mg/KgBB/12 jam
• Skleroterapi preventif
• Ligasi Varises endoskopik (jarang)
• Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
• Splenektomi
• Devaskularisasi
• Transplantasi hati

9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Komplikasi
3 Nutrisi
10. Prognosis Dengantatalaksanaadekwat, 5YSR 80%
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERTENSI PORTAL

12. Tingkat Rekomendasi C


13. PenelaahKritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. IndikatorMedis Persentase kesembuhan ditentukan oleh fungsi hati, sumbatan vena porta (ekstrahepatal), episode
perdarahan serta usia dan kondisi fisik penderita. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Bosch J, Carlos J. Pathophysiology of portal hypertension and its complications. Dalam: Bircher J,
Benhamou JP, McIntyre, Rizzetto M, Rodes J, eds. Oxford textbook of Clinical Hepatology. Edisi ke-2.
New York: 1999;1:653-9
2. Dite P, Labrecque D, Fried M, et al. Esophageal varices. Dalam: World Gastroenterology
Organisation practice guideline. Munich, 2008.
Tersedia di http://guideline.gov/content.aspx?id=13000.
3. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: Report of the Baveno V Consensus
Workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J Hepatol 2010;53:762-8
4. McIntyre, N. & Burroughs, A. Cirrhosis, portal hypertension and ascites. Dalam:
J.G.G. Ledingham & D.A. Warrell, eds. Concise Oxford textbook of medicine. Oxford: Oxford University Press,
2000;5:36
5. Shneider BL. Portal hypertention. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, eds. Liver
disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: LWW.com, 2001;129-51
6. Suchy FJ. Portal Hypertension and Varises. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of Pediatrics. Edisike-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1709-1711

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TUMOR HATI PADA ANAK

1. Pengertian (Definisi) Massa padahati, dapat bersifat jinak maupun ganas (kanker), dan bisa primer atau merupakan metastase dari
organ lain.
2. Anamnesis  Masa abdomen yang besar, atau pembesaran perut
 Nyeri perut kanan
 Nafsu makan menurun, penurunan berat badan
 Muntah
 Ikterus
 Panas
 Gatal-gatal pada kulit
 Anemia
 Nyeri punggung akibat penekanan tumor
Dapat juga terjadi krisis akut abdominal disertai pecahnya tumor dan hemoperitonium (biasanya pada karsinoma
hepatoseluler)
3. PemeriksaanFisik  Pengukuranberatbadan
 Kesadaran
 Tanda vital
 Status lokalis : ukuran,konsistensi,tepidanpermukaanhati
4. PemeriksaanPenunjan g  Laboratorium: darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati dan ginjal, serologi hepatitis B dan C, α-
fetoprotein / AFP (juga untuk monitoring terapi)
 Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi
 Radiologi: Foto polos dada, USG / USG Doppler, CT-scan / MRI

5. Kriteria Diagnosis • Selain menentukan diagnosa tumor hati perlu juga dilakukan penentuan stadium dari tumor tersebut terutama
pada tipe ganas
• Metode penentuan stadium tumor hati pada anak, salah satunya sebagai berikut:
- Stadium I : tumor dapat diangkat lengkap dengan pembedahan
- Stadium II : tumor dapat diangkat dengan pembedahan tapi masihmeninggalkan sedikit sisa
- Stadium III : tumor tidak dapat diangkat secara lengkap dengan pembedahan dan didapatkan
penyebaran pada kelenjar getah bening disekitarnya
- Stadium IV : tumor telah menyebar ke organ tubuh lain
- Kambuhan : tumor muncul lagi setelah pengobatan baik dihati maupun organ lain
6. Diagnosis Tumor hati
7. Diagnosis Banding • Abses hati
• Neuroblastoma
• Tumor Wilm’s
• Kolestasis/sirosis hati
8. Terapi • Penatalaksanaan tumor hati pada anak bergantung pada jenis dan stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik
penderita.
• Pada tumor jinak biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat tumor tanpa disertai pengobatan yang lainnya.
• Pada tumor ganas diperlukan kerjasama dengan dokter bedah anak dan ahli onkologi anak. Pengobatan biasanya
merupakan kombinasi antara :
- Pembedahan
- Kemoterapi
- Radioterapi
- Transplantasi hati
• Pengobatan berdasarkan jenis dan stadium tumor:
- Hepatoblastoma stadium I dan II :
Pengangkatan tumor dan diikuti kemoterapi 4 seri menggunakan cisplatin, vincristine, dan fluorouracil.
- Karsinoma hepatoseluler stadium I dan II
Pengangkatan tumor diikuti kemoterapi cisplatin dan atau doxorubicin
- Hepatoblastoma stadium III dan IV:
Beberapa alternatif pengobatan yang dapat dilakukan :
1. Kemoterapi untuk mengurangi ukuran tumor dilanjutkan pengangkatan sebanyak mungkin tumor dan
ditutup kemoterapi lagi
2. Pembedahan metastase tumor di paru
3. Kemoterapi
4. Radioterapi diikuti pembedahan
5. Penyuntikan obat kemoterapi langsung ke pembuluh darah hati
6. Kemoterapi dan kemoembolisasi
7. Transplantasi hati
- Karsinoma hepatoseluler stadium III dan IV
- Pengurangan ukuran tumor dengan menggunakan kemoterapi cisplatin dengan vincristine / fluorouracil
atau doxorubicin dilanjutkan pengangkatan tumor sebanyak mungkin
- Kambuhan
Dilakukan pengobatan ulang berdasarkan pengobatan sebelumnya

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TUMOR HATI PADA ANAK

• Selain pengobatan terhadap tumornya perlu juga dilakukan pengobatan suportif dengan mencegah dan mengobati
infeksi, efek samping pengobatan dan komplikasinya, serta memberikan rasa nyaman pada
penderita selama pengobatan. Perlu dilakukan pengamatan secara berkala untuk memonitor respon terhadap
pengobatan dan mewaspadai efek samping jangka panjang dari pengobatan.
9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Stadium tumor
3. Komplikasi
4. Metastase
5. Nutrisi
10. Prognosis UntukHepatoblastoma 5YSR dibawah 20%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. PenelaahKritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. IndikatorMedis Persentase kesembuhan ditentukan oleh jenis, stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik penderita.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 30 hari
15. Kepustakaan 1. Bektas H, Schrem H, Kleine M, et al. Primary liver tumours – presentation, diagnosis and surgical treatment. Dalam:
Liver Tumours – Epidemiology, Diagnosis, Prevention and Treatment. InTech, 2013; (5):91-111.
2. Cynthia EH. Neoplasm of the liver. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1564
3. Czauderna P, Mackinlay G, Perilongo G, et al. Hepatocellular carcinoma in children: results of the first prospective
study of the International Society of Pediatric Oncology group. J ClinOncol, 2002; 20(12): 2798- 804.
4. Jacobson DR, 2004. Hepatocellular Carcinoma. Last Updated: June 23, 2004.
Tersedia di: http://www.emedicine.com/radio/topic332.htm
5. Katzenstein HM, Krailo MD, Malogolowkin MH, et al. Hepatocellular carcinoma in children and adolescents: results
from the Pediatric Oncology Group and the Children's Cancer Group intergroup study. J Clin Oncol 2002; 20(12):
2789-97
6. Malogolowkin MH, Stanley P, Steele DA, et al. Feasibility and toxicity of chemoembolization for children with
liver tumors. J ClinOncol2000; 18(6): 1279-84
7. Ortega JA, Douglas EC, Feusner JH, et al. Randomized comparison of cisplatin/vincristine/fluorouracil and
cisplatin/ continous infusion doxorubicin for treatment of pediatric hepatoblastoma: A report from the Child’s Cancer
Group and the Pediatric Oncology Group. J Clin Oncol, 2000; 18(14):2665-75

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN

1. Pengertian (Definisi) adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria
subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir
2. Anamnesis
1. Tidak biru
2. Tidak mau menetek
3. Nafas cepat (takipnea)
4. Berkeringat
5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
3. Pemeriksaan Fisik 1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau
2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan
3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif)
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas
2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten
6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa diulang
satu seri lagi
2. Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk sekolah)
3. Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan :
* koil Gianturco pada PDA kecil,
* Amplatzer Ductal Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141- 145.
2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB, Driscoll
DJ. Ed. Moss and Adams’Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The Fetus and Young
Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669.
3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A Textbook
of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company
Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GAGAL JANTUNG

1. Pengertian (Definisi) Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok oksigen dan
nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel.
2. Anamnesis 1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea",
"dyspnea d'effort", batuk, sianosis.
2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer
edema palpebra sering pada bayi.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kardiomegali
2. takikardia
3. irama gallop
4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus
paradoxus dan alternans
5. "tachypnea"
6. ronkhi basah
7. wheezing
8. Dyspneu sampai dengan sianosis
9. hepatomegali
10. bendungan vena leher
11. sembab perifer
12. edema palpebra sering pada bayi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas
2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Gagal jantung
6. Diagnosis Banding 1 Efusi pericardial
2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian bawah
: (bronkiolitis, pneumonia)
7. Pemeriksaan 1. Foto thorax
Penunjang 2. EKG
8. Terapi 1. O2 40-50% dengan pelembab.
2.
Sedasi dengan morphin 0,1-0,2 mg/kg/dosis s.c.setiap 4 jam kalau perlu, atau Phenobarbital 2-3 mg/kg/dosis p.o/i.m.
setiap 8 jam selama 1-2 hari.
3.
Eliminasi factor pencetus : demam diberi antipiretik, anemia ditanfusi PRC sampai PCV > 35%.
4.
Atasi penyakit dasar seperti hipertensi, aritmia atau tirotoksikosis.
5.
Digitalis : digoxin
6.
Dopamine
7.
Hydralazine : dosis 1 mg/kg - 5 mg/kg/hr oral dalam 3-4x
8.
Captopril :
neonatus : 0,1-0,4 mg/kg/dose, 1-4 x/hari bayi
: 0,5-6,0 mg/kg/hr, tiap 6-24 jam
anak besar : 12,5 mg/dose oral tiap 12-24 jam
9.
diuretika :
thiazide : chlorothiazide : 20-30 mg/kg/hr, oral.
Hydrocholorothiazide 2-3 mg/kg/hr (2 x) Furosemid :
1-3 mg/kg/x intravena, 2-5 mg/hr/oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Penjelasan tentang penyakit yang mendasari
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh dalam waktu 10 hari

15. Kepustakaan 1. Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and Libby P.
Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 – 599.
2. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem oriented
approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129.
3. Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 234- 39, 249-
53.
4. Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GAGAL JANTUNG

198312th Tokyo : Igaku Shoin/WB Saunders, Co.1187.


5. Ontoseno T. 2002. Konsep terbaru mengenai Gagal Jantung pada Anak. Dalam : Noer MS, Ismoedijanto dan Untario
MC. Penyunting. Bunga Rampai Pediatri. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSUD DR Sutomo Surabaya.
Hal : 122 – 142.
6. Ontoseno T.2004 . Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawan yang kritis pada neonatus. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya. Hal: 166- 184.
7. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 399-407.
8. Astasari D, Ontoseno T. Rahman M. Utamayasa A. Perubahan dimensi dan fungsi ventrikel kiri secara ekokardiografi
pada pasien dengan gagal jantung akibat pirau krir ke kanan setelah pemberian Carvedilol. Karya Akhir, 2012.
9. Hoeper MM, Galie N, Simonneau G, Rubin LJ, 2002. New treatments for pulmonary arterial hypertension. Am J
Respir Crit Care Med;165:1209-16.
10. Humbert M, Sitbon O, Simonneau G, 2004. Treatment of pulmonary arterial hypertension. N Engl J Med;351:1425-
36

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL DAN INFEKSI/PNEUMONIA

1. Pengertian (Definisi) adalah defek pada septum yang menghubungkan antara ventrikel kanan dan kiri jantung yang disertai adanya
infeksi/pneumonia

2. Anamnesis 1. Sesak nafas waktu istirahat


2. Lekas lelah
3. Nafas cepat
4. Batuk
5. Kenaikan berat badan lambat
6. kadang tanpa gejala
7. panas

3. Pemeriksaan Fisik 1. Dyspneu


2. Bising akhir sistole tepat sebelum S2, pada sela iga 3-4
Ips kiri.
3. Bising pansistolik derajat 3 atau lebih skala 6, nada tinggi kasar pm sela iga lps kiri
4. Bising pansistolik derajat 3-4 sekala 6, nada tinggi kasar pm sela iga 3-4 Ips kiri disertai bising diastolik derajat
2/6 pendek nada rendah, pm sela iga 4 Imk kiri.
5. Bising sistolik lemah tipe ejeksi, pm Ips kiri bawah dengan S1 mengeras, setelah S1 terdengar klik sistolik
(pembuka katup pulmonal), S2 mengeras/sangat keras dan tunggal
6. panas
7. adanya suara nafas tambahan: ronchi basah halus

4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas


b. Memenuhi minimal 3 kriteria pemeriksaan fisik di atas
c. Ekokardiografi : didapatkan defek septum ventrikel

5. Diagnosis Defek Septum Ventrikel dan Infeksi/Pnemonia

6. Diagnosis Banding
1. ASD disertai infeksi/pnemonia
2. PDA disertai infeksi/pneumonia

7. Pemeriksaan a. Foto thorax


Penunjang b. EKG
c. Ekokardiografi

8. Terapi Terapi konservatif


1. Tatalaksana gagal jantung kalau ada (lihat : Gagal jantung)
2. Tatalaksana kelainan lain (infeksi, kurang gisi).
3. Pencegahan endokarditis infeksiosa

Operatif :
- VSD kecil : biasanya tidak perlu, kadang-kadang
menutup spontan.
- VSD sedang: kalau tidak ada gagal jantung dapat ditunggu
sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat badan minimal
10 kg, sekarang operasi dapat dipertimbangkan pada umur
yang lebih muda.
- VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum
menetap: dikerjakan operasi paliatif setelah gagal
menangani gagal jantungnya (operasi tidak langsung
menutup defek, tetapi dengan operasi pengikatan batang a.
pulmonalis), setelah umur 4-6 tahun defek belum
menutup, dikerjakan koreksi total.

9. Edukasi a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


b. Penjelasan pemberian medikamentosa
c. Tindakan yang mungkin akan dilakukan :
1. Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan.
2. Tata cara tindakan medik yang akan dilakukan.
3. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
4. Alternatif tindakan medik lain dan resikonya masing-masing.
5. Progonosis penyakit apabila tindakan medik tersebut dilakukan 6.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL DAN INFEKSI/PNEUMONIA

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 14 hari (2 minggu).

15. Kepustakaan 1. William RV, Tani LY, Shaddy RE, 2001. Intermediate effects of treatment with metoprolol or carvedilol in
children with left ventricular systolic dysfunction. The journal of heart and lung transplantation; 21: 906-9
2. Van der Linde D, Konings E, Slager MA, et al, 2011. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease Worldwide. JACC;
58: 2242-7
3. Vaidyanathan B, 2009. Is there a role for carvedilol in the management of pediatric heart failure. A meta analysis
and e-mail survey of expert opinion. Annuals Pediatric Cardiol; 2: 74-8
4. Hawkins A, Tulloh R, 2009. Treatment of pediatric pumonary hypertension. Vasc Health Risk Management; 5:509-
24.
5. Humbert M, Morrel NW, Archer SL, Stenmark KR, MacLean MR, Lang IM, et al, 2004. Cellular and molecular
pathobiology of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol ; 43:13-24
6. Landzberg MJ, 2007. Congenital heart disease associated pulmonary arterial hypertension. Clin Chest Med;28:
243-53
7. Limsuwan A, Pienvichit P, Khowsathit P, 2005. Beraprost therapy in children with pulmonary hypertension
secondary to congenital heart disease. Pediatr Cardiol; 26: 787-91

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

RENJATAN KARDIOGENIK

1. Pengertian (Definisi) adalah ketidak mampuan jantung akibat gangguan fungsi memompa untuk memasok darah yang cukup ke jaringan agar
kebutuhan metabolismenya terpenuhi

2. Anamnesis 1. Kulit dingin dan pucat


2. Gejala metabolik asidosis berat: nafas cepat dan dalam
3. Sesak/distres nafas
4. Edem perifer

3. Pemeriksaan Fisik 1. Akral dingin, basah dan pucat


2. Penurunan tekanan darah sampai tidak terukur, sulit atau tidak terabanya denyut nadi perifer (bandingkan ekstremitas
atas dan bawah), pulse pressure menyempit
3. Gejala metabolik asidosis berat : nafas kussmaul
4. Distres nafas sedang sampai berat
5. Edem perifer
6. Bendungan vena jugularis
7. Hipoperfusi multi organ
8. Suara jantung melemah, terdengar S3 dan S4

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi minimal 4 kriteria pemeriksaan fisik di atas

5. Diagnosis Renjatan kardiogenik

6. Diagnosis Banding
1. Renjatan hipovolemik
2. Renjatan sepsis
3. Renjatan neurogenik

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Serum elektrolit (Natrium, Kalium, Calsium, Klorida)
3. Analisa gas darah
4. EKG
5. Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis
6. foto polos dada
7. ekokardiografi

8. Terapi 1. Resusitasi cairan, kristaloid adalah pilihan utama,tahap kegawatan dan replacement disusul tahap rumatan .
Idealnya dengan pemasangan CVP, atau fluid challenge (pemberian cairan 200 ml atau 20 ml/kgBB iv dalam 30
menit), bila ada perbaikan perfusi selama/setelah pemberian, berarti hipovolemia, pemberian diteruskan dengan
rumatan. Tetapi, bila tampak sesak dengan hepatomegali progresif tanpa ada perbaikan perfusi, cairan segera
dihentikan, beri lasix sampai gejala sesak berkurang dilanjutkan pemberian Dopamin dan Dobutamin seperti kalau
menghadapi gagal jantung (dalam hal ini renjatan kardiogenik). Kalau perlu diberikan norepineprin dengan dosis 0,5
mcg/kg/min dengan titrasi.
2. Meningkatkan curah jantung (koreksi disritmia, optimalisasi preload, meningkatkan kontraktilitas miokard,
menurunkan afterload)
3. Mengurangi beban jantung (sedasi, mempertahankan suhu tubuh tetap normal, intubasi dan ventilasi mekanik, koreksi
anemia)

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A


dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 10 hari.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

RENJATAN KARDIOGENIK

15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141-
145.
2. Bernstein D. Cardiac Therapeutics: Heart Failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1586-1587
3. Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA, Gutgesel HP. Clinical synopsis of Moss and Adams’
Heart Disease in Infants, Children and Adolencents including the Fetus and Young Adult. Baltimore: Williams &
Wilkins, 2002. H. 814-827
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TETRALOGI FALLOT DAN SERANGAN SIANOSIS

1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang digambarkan dengan 4 macam kelainan:
- Stenosis pulmonalis (valvular, infundibular)
- Defek septum ventrikel
- Hipertrofi ventrikel kanan
- Overriding aorta pada septum ventrikel
2. Anamnesis 1. Biru, bertambah waktu bangun tidur, menangis atau
sesudah makan.
2. Sesak
3. Mudah lelah
4. Gangguan pertumbuhan
5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran.
6. Sering jongkok bila berjalan 20-50 meter, untuk
mengurangi sesak
7. Nafas cepat (takipneu)
8. Jari tabuh

3. Pemeriksaan Fisik 1. Sianosis bertambah waktu bangun tidur, menangis atau


sesudah makan.
2. Dispneu
3. Hipoksia (timbul sekitar umur 18 bulan)
4. Dapat terjadi apneu.
5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran.
6. Takipneu
7. Jari tabuh dengan kuku seperti gelas arloji.
8. Hipertrofi gingiva
9. Vena jugularis terlihat penuh/menonjol.
Jantung:
10. Bising sistolik keras nada rendah pm sela iga 4 Ips
kiri/VSD
11. Bising sistolik nada sedang, bentuk fusiform,
amplitude maksimum pada akhir sistole berakhir
dekat S2 pm sela iga 2-3 Ips kiri (stenosis
pulmonalis)
12. Stenosis pulmonalis ringan: bising kedua lebih
keras dengan amplitudo maksimum pada akhir
sistole, S2 kembar.
13. Stenosis pulmonalis berat: bising lemah, terdengar pada
permulaan sistole. S2 keras, tunggal, kadang terdengar
bising kontinyu pada punggung (pembuluh darah
kolateral).
14. Kadang dengan hepatomegali, dengan
hepatojugular reflux.

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi 2 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi 3 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi

5. Diagnosis Tetralogy of Fallot

6. Diagnosis Banding
1. Double Outlet Right Ventricle
2. Transpotitional of Great Artery
3. Total Anomaly Pulmonary Venous Drainage
4. Atresia tricuspid
5. Total acardia

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax


2. EKG
3. Ekokardiografi
4. Darah lengkap

8. Terapi 1. O2 nasal 2 lpm atau masker 6-8 lpm


2. Tindakan konservatif;
- Pada serangan hipoksia, dilakukan knee-chest position.
- Medikamentosa
- Morfin: 1/8 - 1/4 mg (0,1 mg/kb bb) (mengendurkan otot infundibulum).

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TETRALOGI FALLOT DAN SERANGAN SIANOSIS

- Propanolol (beta blocker), untuk mengurangi kontraktilitas miokard:


- oral: 0,5-1 mg/kg bb/6 jam;
- i.v.: 0,01-0,15 mg/kg bb/6-8 jam, selama 10 mnt.
4. Tindakan bedah (rujukan):
- Operasi paliatif: sebelum dilakukan koreksi total: dilakukan pada ahak BB< 10 kg dengan keluhan yang
jelas. (derajat III dan IV)
- Koreksi total: untuk anak dengan BB > 10 kg.
5. Tatalaksana gagat jantung kalau ada.
6. Tatalaksana radang paru kalau ada.

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
4. Tanda-tanda radang paru

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh dalam waktu 14 hari

15. Kepustakaan 1. Anderson RH, Mc Carthey FJ, Shinebourne EA, Tunan M. 1997. Tetralogy of Fallot. Pediatric Cardiology. Vol. 2
Churchill Livingstone. London. Pp 774-775.
2. Kliegman RM,. Tetralogy of Fallot. In: Textbook of Pediatrics.Eds. Nelson WE, Behrman RE. 4rd ed. WB
Saunders Co. Philadelphia. 1992, p. 1149-1153.
3. Rutkowski. Common Complication in Infant wth Cyanotic Congenital Heart Disease.p 166-167.2009
4. Teddy Ontoseno. Serangan Sianosis. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak ke XXIII. Ed:
Soebijanto P, Erwin S, Bambang P.dkk. FK Unair. Surabaya,1991; hal.91.
5. Cicha I, Suzuki Y, Tateishi N, Maeda N. 1999 Rheological changes in human red blood cells under oxydative stress.
Pathophysiology 6 : 103-110.
6. Behrman RE. 2000. Tetralogy of Fallot.. In : Behrman RE, Kliegman RM, eds. Nelson Textbooks of Pediatrics, 15th
ed. Philadelphia : WB Saunders co. 1149-53.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM REUMATIK

1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul setelah infeksi
tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS) dengan penyulit serius
berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang cenderung kambuh, akibat respons
autoimun

2. Anamnesis Gejala mayor:


1. Karditis: takikardia, sesak, berdebar
2. Poli artritis: nyeri sendi hebat umumnya asimetris sehingga anak tidak mau jalan, sering nyeri berpindah- pindah,
bengkak, demam
3. Korea Sydenham: gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil.
Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres, lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan
cepat, pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak, koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang
ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap. Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju pasien
menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah
menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai, kehilangan perhatian, gelisah, serta tidak koperatif.
4. Eritema marginatum: ruam tidak gatal, makular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain
mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai
proksimal, dan tidak melibatkan wajah.
5. Nodulus subkutan
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Atralgia: nyeri sendi ringan, biasanya sendi besar
3. Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik

3. Pemeriksaan Fisik Manifestasi mayor:


a. Karditis
b. Poliartritis
c. Korea
d. Eritema marginatum
e. Nodul subkutan

Manifestasi minor:
1. Demam
2. Arthralgia
4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau
b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus beta
hemolitikus golongan A sebelumnya.
5. Diagnosis Demam Reumatik
6. Diagnosis Banding 1. Artritis reumatoid
2. Artrids bakterial.
3. Artritis virus.
4. Reaksi alergi.
5. Bising fungsionil.
6. Kelainan jantung bawaan.
7. Miokarditis virus
8. Miokarditis bakterial lain.
9. Lupus eritematosus sistemik
7. Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap
b. LED
c. C-Reactive Protein
d. ASO
e. Kultur hapusan tenggorok
f. Foto thorax
g. EKG
h. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Iirah baring:
Tanpa Karditis:
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali:
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali:
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu Karditis
dengan gagal jantung:
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi
2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder
- Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila berat
badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM REUMATIK

- Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20 kg,
diberikan selama 10 hari.
- Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Analgesik dan anti-inflamasi
- Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
- Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali:
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu
- Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung:
Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2
minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu ditambah
salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.

9. Edukasi a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


b. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% pasien sembuh dalam waktu 14 hari


15. Kepustakaan 1. Ayoub EM. Acute Rheumatic Fever. Dalam: Allen HD, Clark EB, Gutgesell HP, Driscoll DJ. Moss and Adams’ Heart
Disease in Infants, Children, and Adolescents including the Fetus and Young Adult. Edisi ke
6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h.1226-41.
2. Oliver C. Rheumatic fever- Is it still a problem ? Journal of Antimicrobial chemotherapy.2000; 45: 13-21
3. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 304-10.
4. Taranta A, Markowitz M. Rheumatic Fever. Edisi ke 2. Dordrecht : Kluwer Academic Publishers, 1989.
5. Tandon R. Is it possible to Prevent Rheumatic Fever ? Indian Heart Journal 2004; 56: 677-67
6. Tani LY, Veasy LG, Minich LA and Shaddy RE. Rheumatic fever in Children younger than 5 years : Is the
presentation different ? Pediatrics 2003; 112; 1065-1068
7. WHO Technical reports series. RHEUMATIC FEVER AND RHEUMATIC HEART DISEASE. Geneva 2004.
8. WHO Study Group, Report of rheumatic fever and rheumatic heart Disease. WHO Geneva, 1988

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KARDIAK SIANOSIS

1. Pengertian (Definisi) adalah sianosis yang disebabkan adanya kelainan jantung

2. Anamnesis - Biru pada bibir, kuku, mukosa mulut, ujung hidung


- Sianosis sentral tanpa gejala distres pernafasan
(takipnea) tanpa disertai pernafasan cuping hidung dan
retraksi ruang iga
- Suhu tubuh masih hangat

3. Pemeriksaan Fisik 1. Sianosis bibir, kuku, mukosa mulut, konjunctiva, ujung hidung bila saturasi O2 arteri ≤ 85 %. (Newborn ≤ 90%)
2. Tes hiperoksia positip
3. Pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. (adanya duktus yang masih terbuka
mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama).

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)

5. Diagnosis Kardiak sianosis

6. Diagnosis Banding
1. Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn
2. Sianosis karena kelainan paru (pneumonia,
bronchiolitis berat, dan lain-lain)

7. Pemeriksaan Penunjang 1. PaO2 (right radial/brachial/temporal artery)


2. gula darah
3. Foto polos dada
4. Elektrokardiografi
5. Ekokardiografi
6. Darah lengkap
7. serum ferritin
8. Foto thorax
9.Kateterisasi
10.Angiokardiografi

8. Terapi - Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5- 37o C & kelembaban sekitar 50%).
- Bila curiga cardiac cyanosis, kuhsusnya ductal
dependent, segera berikan Prostaglandine E1 (Prostin VR
Pediatric) 0,05 – 0,1 ug/kg/men drip sampai KU
membaik lalu turunkan step by step sampai 0,01
ug/kg/men. Bila dosis awal tidak ada respon, naikkan
menjadi 0,4 ug/kg/men. Awas apneu-fever- taki/bradi
kardia, flushing hipotensi dan cardiac arrest !
- Pemberian oksigen 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter Nasofaringeal
Pengobatan pada serangan sianosis:
1. Usahakan meningkatkan saturasi oksigen arterial dengan cara :
* Membuat posisi ”knee chest” atau ”fetus
* Ventilasi yang adekuat
2. Menghambat pusat nafas denga Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg/kg im atau s kutan
3. Bila serangan hebat bisa langsung diberikan Na Bic 1 meq/kg iv untuk mencegah asidosis metabolik
4. Bila Hb < 15 gr/dl bisa diberikan transfusi darah segar 5 ml/kg pelan sampai Hb 15-17 gr/dl
5. Propanolol 0,1 mg/kg iv terutama untuk prolonged spell diteruskan dosis rumatan 1 – 2 mg/kg oral

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KARDIAK SIANOSIS

14. Indikator Medis 80% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 1 bulan.

15. Kepustakaan 1. Gaiha M, Sethi HPS, Sudah R, Arora, Acharya NR. 1993. A clinico-Hematological study of Iron deficiency anemia
and its correlation withHyperviscosity Symptoms in Cyanotic Congenital Heart Disease. Indian Heart Journal 45 (1).
53-55.
2. Lany LT. 1997. Uji Penapisan Anemia Relatif Pada Penderita Tetralogy Fallot. Penelitian Karya Akhir Untuk
memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya.
3. HH and Risau W. 1998. Systemic hypoxia changes the organ-specific distribution of vascular endothelial growth
factor and its receptors. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95: 15809-15814.
4. Neches WH, Park SC, Ettedguy JA. 1997.Tetralogy of Fallot and Tetralogy of Fallot with Pulmonary Atresia. In : The
Science and Practice of Pediatric Cardiology. Ed : Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR.2 ed. Williams &
Wilkins A Waferly C. Baltimore*Philadelphia*London*Paris*Bangkok. Vol I : 1383-1411.
5. Ontoseno T. 2002a. Pattern of Tetralogy Fallot patients in Dr Soetomo Hospital, Surabaya. Folia Medica
Indonesiana. (2) : 133-135
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR

1. Pengertian (Definisi) adalah peningkatan frekuensi denyut jantung, antara 180-300 kali per menit, dengan bentuk kompleks QRS
yang seluruhnya normal.

2. Anamnesis 1. Fetal takikardia


2. hydrops
3. penurunan curah jantung: mendadak gelisah, tidak mau menetek, bernafas cepat dan tampak pucat, muntah-
muntah, nadi sangat cepat (200-300/menit) dan sering disertai gejala gagal jantung atau renjatan.
4. Pada bentuk akut: pucat, gelisah, takipneu, sukar minum

3. Pemeriksaan Fisik 1. Takipneu


2. Denyut jantung 180-300 kali per menit (mungkin sulit dihitung)
3. Tanda-tanda gagal jantung

4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 2 kriteria anamnesis di atas


2. Memenuhi minimal poin 2 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. EKG:
5. Diagnosis Takikardia supraventrikuler

6. Diagnosis Banding
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax


2. EKG

8. Terapi 1. Manuver Vagal (massage sinus karotikus, kantong es ditempelkan ke muka/ stimulasi nasogastrik)
2. Adenosine iv bolus 50 ug/kg dinaikkan setiap 2 menit dosis sama sampai maksimal 250 ug/kg, awas
bronkhospame
3. Bila Adenosine tidak tersedia dan pasien shock, segera berikan Synchronized DC shock 0,5 joule/kg sampai
maksimal 2 joule/kg lalu dilanjutkan dengan digitalisasi.
4. Digitalisasi cepat bila tanpa shock/gagal jantung, iv 0,03-0,04 mg/kgBB, pemberian pertama 1/2 dosis digitalisasi
dilanjutkan 1/4 dosis lalu 1/4 dosis lagi selang 8 jam. Bila sudah kembali ke irama sinus maka dilanjutkan dosis oral
untuk rumatan. Kontra indikasi bila ada WPW.
5. Bila belum berhasil, berikan Phenylephrine 10 mg dalam 200 cc cairan drip cepat, awasi systole jangan lebih dari
150-170 mmHg.
6. Bila belum berhasil, Propanolol atau Verapamil bisa dicoba (untuk > 1tahun). Verapamil : iv 0,05- 0,1 mg/kg BB
dapat diulangi 2 X dalam 15 menit. Peroral 1-10 mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi 3 kali.
7. Amiodarone (bila akibat WPW atau postop), PO 10 mg/kg dibagi 2 dosis selama 5-10 hari lalu 5- 7 mg/kg/hari
sampai beberapa minggu diturunkan 2-5 mg/kg, IV 5 mg/kg dlm 15-20 menit dapat diulang maks 15 mg/kg
dilanjutkan continous infusion 10-15 mg/kg/hari).
Digitalis maintenance untk cegah rekuren selama 3-6 bulan (bila umur > 8 tahun disertai WPW, berikan
Propanolol atau Atenolol)

9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi


2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad


sanationam : dubia ad bonam Ad fumgsionam
: dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A


dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 7 hari (1 minggu).

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR

15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h.338-341.
2. Van Hare GF, Supraventricular Tachycardia. Dalam: Gillette PC, Garson A Jr, Ed. Clinical Pediatric Arrithmias. Edisi
ke-2. Philadelpia: W.B. Saunders Company, 1999. h.97-120.
3. Deal BJ. Supraventricular Tachycardia Mecanisms and Natural History. Dalam: Deal BJ, Woff GS., Gelband H. Ed.
Current Concepts in Diagnosis and Management of Arrithmias in Infants and Children. New York: Futura Publishing
Company, 1998. H. 117-143

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

INFEKSI SALURAN KEMIH


1. Pengertian (Definisi) - Infeksi saluran kemih adalah ditemukan mikroba bermakna pada saluran air kemih dari sampel urin
suprapubik berapapun jumlah kuman
kateterisasi uretra ≥5x104
porsi tengah ≥105
2. Anamnesis - Gejala klinis tidak spesifik
- Infeksi saluran kemih atas gejala panas tinggi, disertai gejala sistemik
- Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut : 0-
1bulan : Panas/hipotermi, gejala sistemik,ikterus (sepsis).
1 bln-2 thn : panas/hipotermia, gejala sistemik, nyeri perut/ pinggang.
2-6 thn : Panas, gejala sistemik, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, ngompol.
6-18 thn : Nyeri perut/pinggang, panas, tak dapat menahan kencing.
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik tergantung usia dan lokasi infeksi saluran kemih :
- Panas/hipotermia
- Nyeri ketok pinggang

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan air kemih:


Urinalisis, Leukosit esterase, nitrit,
2. Biakan air kemih
3. Pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin
4. Ultrasonografi ginjal-buli buli (USG) bila diperlukan, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI pada kasus ISK atas,
komplek, dan atipik
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Klinis sesuai usia penderita
2. Biakan air kemih merupakan baku emas
3. Pemeriksaan air kemih ada kuman (gram), piuri,torak, lekosit, , lekosit esterase,nitrit
4. Kimia darah: ureum,kreatinin
5. Pencitraan :USG ginjal-buli buli, skintigrafi ginjal, CT scan, MRI bila diperlukan
6. Diagnosis Infeksi saluran kemih
7. Diagnosis Banding Penyakit dengan panas yang tidak diketahui sebabnya - ICD

8. Terapi Supportif
Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi

Medikamentosa
Antibiotik peroral
ISK bawah Amoksisilin klavulanat 20 – 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis

Antibiotik parentral
1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari.

ISK pada Neonatus 1. Seftriakson 75 mg/kg/hari sekali sehari


2 Sefotaksim 150 mg/kg/hari dibagi tiap 6 -8 jam
3 Seftasidim 100 – 150 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam
4 Gentamisin 7,5 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam
ISK atas/ ISK 5 Amikasin 15 mg/kg/hari sekali sehari
komplek/ ISK
Atipik
9. Edukasi 1. Berobat secara teratur
2. Menjaga kebersihan daerah genetalia
3. Pemakaian popok atau pempers harus diganti setiap buang air kemih atau buang air besar
4. Buang air besar secara teratur

10. Prognosis Infeksi saluran kemih atas


Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam Infeksi
saluran kemih kompleks
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 12 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 90


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

INFEKSI SALURAN KEMIH


Penderita tidak panas
Biakan urin steril

15. Kepustakaan 1. Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric
Nephrology 2nd.Chennai.Replika Press.2007. 553-74.
2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P, Yoshikawa N
Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310
3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in young
children. N Engl J Med ; 348 :195-202.
4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric
Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70
5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics
2011;128:595-610
6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku ajar
Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142- 163.
7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34
8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal lesions in
children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9.
9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds.
Pediatric nephrology. Singapore. 391-402.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract
infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 91


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PENYAKIT GINJAL KRONIK


1. Pengertian (Definisi) Pada Penyakit Ginjal Kronik (PGK) terjadi kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1.73m2 ≥ 3 bulan

2. Anamnesis Riwayat PGK tergantung penyakit yang mendasari dan beratnya penurunan fungsi ginjal

3. Pemeriksaan Fisik  Tergantung stadium PGK


 Pucat
 Nafsu makan menurun
 Mudah lelah
 Bengkak
 Gagal tumbuh
 Kadang kencing berkurang

4. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Urinalisis
3. Kimia darah: ureum, kreatinin, kadar hormone paratiroid, serum elektrolit, asam urat, serum albumin, protein total,
kolesterol (lipid profile)
4. Gas darah bila diperlukan
5. Laju filtrasi glomerulus yang ditentukan dengan rumus Haycock-Schwartz
6. Foto tangan kiri dan pelvis untuk pemeriksaan bone age.
7. Pencitraan: Thorax foto, USG ginjal/buli-buli, serta pemeriksaan lain bila diperlukan

5. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Pemeriksaan penunjang

6. Diagnosis Penyakit ginjal kronik

7. Diagnosis Banding Gangguan tumbuh kembang – ICD

8. Terapi 1. Penyakit yang mendasari


2. Terapi konservatif
 Nutrisi dengan kalori adekuat, protein dibatasi 1,8-2 g/kg BB/ hari.
 Mengatur balans cairan masuk/keluar
 Koreksi asidosis dengan NaHCO3 1-2 mmol/kg BB/hari per oral
- -
Koreksi IV-NaHCO3 dengan dosis 0,3 x BB (kg) x (24-HCO3 serum) pemberian setengah dosis HCO3
selama 2-4 jam secara infuse.
 Koreksi gangguan elektrolit:
- Koreksi Natrium (Na): Defisit Na (mmol)= 0,6 x BB (kg) x (135 – serum Na)
- Koreksi Kalium (K): Defisit K (mmol)= 0,6 x BB (kg) x (4 – serum K). Koreksi kalium diberikan secara
infuse, dengan kecepatan maksimum 0,4 mmol/kgBB/ 1 jam
 Terapi Hipertensi tergantung berat hipertensi. Dapat diberi kombinasi:
- Furosemid 1-4 mg/kg BB/hari dosis terbagi
- Amilodipin 0,05 mg/ kg BB/ hari, maksimal: 0,2 mg/kg BB/hari
- Nifedipin 0,25 mg/kg BB/ 6-8 jam, maksimal: 0,5 mg/kg BB/hari
- Captopril 0,1 mg/kg BB/ 8 jam, maksimal 6 mg/kg BB/ 8 jam
- Losartan 0,5-0,7 mg/ kgBB/hari, maksimal 1,4 mg/kg BB/hari
- Carvedilol 0,08 mg/kg BB/ 12 jam, maksimal 0,75 mg/kg BB/12 jam
 Koreksi Anemia
- Hb< 10 g/dl, Ht< 30% terapi recombinant eritropoietin sub kutan seminggu dua kali, dosis: 50 unit/ kg BB
- Asam folat: 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu diberikan bila terjadi defisiensi asam folat
3. Terapi pengganti ginjal
 Dialysis – Peritoneal atau Hemodialysis
 Cangkok ginjal

9. Edukasi  Minum obat teratur


 Membatasi minum sesuai dengan produksi urin
 Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung garam
 Dialysis secara teratur

10. Prognosis  Tergantung stadium PGK


 Pada umumnya kurang baik

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat C
Rekomendasi

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 92
Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 93
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PENYAKIT GINJAL KRONIK


13. Penelaah Kritis a. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
b. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
c. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
d. M Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita akan membaik dalam waktu 4 minggu
 Penderita dengan PGK Stadium I sampai dengan IV, LFG stabil
 Penderita dengan PGK stadium V, gejala uremia membaik

15. Kepustakaan 1. Yap HK, Aragon ET. Chronic kidney disease staging. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds. Pediatric Nephrology.
Children Kidney Centre. Singapore.2012:19-25.
2. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds.
Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
3. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:Evaluation, Classification, and Stratification, 2000
4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan , Trihono PP, Pardede
SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
5. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric
Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
6. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney Disease. In
Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247- 52.
7. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds.
Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.
8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds.
Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.
9. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insuffi-ciency. In Avner ED, Harmon
WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology.
Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
11. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 94
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

BIOPSI GINJAL PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan pemeriksaan jaringan ginjal yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis histologik, membantu
menentukan strategi terapi dan untuk memastikan derajat perubahan aktif (reversibel) atau kronis (ireversibel) dalam
menentukan prognosis dan kemungkinan respon terhadap terapi. Biopsi ginjal juga dapat digunakan
untuk membantu penilaian penyakit genetik.
2. Indikasi Indikasi pasti:
 Sindrom nefrotik resisten steroid atau dependen steroid
 Glomerulonefritis progresif cepat
 Glomerulonefritis akut atipikal atau yang tidak membaik
 Kecurigaan nefritis tubulointerstisial akut
 Sindrom hematuria rekuren
 Proteinuria persisten non-ortostatik
 Diagnosis penolakan alograf ginjal
 Keterlibatan ginjal dalam penyakit sistemik (lupus eritematosus sistemik, Henoch-Schonlein purpura, sindrom
vaskulitis, penyakit Fabry)
Indikasi meragukan:
 Penyakit ginjal kronik dengan etiologi tidak diketahui
 Gangguan ginjal akut bukan akibat penyakit glomerulus atau tubulointerstisial
 Evaluasi respon ginjal terhadap pengobatan
3. Kontraindikasi Kontraindikasi absolut:
 Ginjal tunggal (kecuali ginjal transplan)
 Gangguan koagulasi
 Hipertensi berat yang tidak terkontrol
 Pasien tidak kooperatif atau tanpa sedasi yang adekuat
 Pielonefritis akut

Kontraindikasi relatif:
 Gagal ginjal terminal
 Kelainan ukuran, bentuk, dan/atau posisi ginjal
 Pielonefritis kronis
 Hidronefrosis
 Neoplasma intrarenal (risiko penyebaran tumor intraabdominal)
 Nefrokalsinosis
 Anemia berat
 Obesitas
Kondisi dimana biopsi ginjal mempunyai nilai diagnostik minimal:
 Penyakit kistik ginjal
 Kelainan tubulus ginjal
 Proteinuria postural
4. Persiapan Penjadwalan:
 Penjadwalan dilakukan sesuai jadwal operator (Nefrologi Anak) dengan konsultan radiologi selambat- lambatnya 1
(satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal.
 Bila sudah didapatkan jadwal yang pasti, diberitahukan kepada asisten operator (perawat Poli Nefrologi Anak) untuk
persiapan alat dan prosedur pengiriman bahan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal.

Persiapan:
 Surat persetujuan orang tua atau keluarga penderita (informed consent).
 Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan uji faal hemostasis.
 Penderita diberikan Vitamin K 5 mg im 3 hari berturut-turut, mulai H-1, H0 dan H+1.
 Penderita dipuasakan sejak 6 jam sebelum biopsi dimulai.
 Sebelum berangkat ke tempat biopsi dengan menggunakan tempat tidur beroda, iv line sudah harus terpasang
pada tangan penderita.

5. Obat-obatan dan  Kassa dan desinfektan (povidon-iodine dan alkohol 70%) untuk desinfeksi lapangan biopsi
peralatan  2 ampul Lidokain
 2 atau 3 vial Midazolam (Dormicum) kemasan 5 mg/5 ml
 2 buah disposable syringe 2,5 ml
 2 buah disposable syringe 5,0 ml
 1 buah mess kecil 15 G
 1 set peralatan biopsi ginjal perkutan:
o Biopsy gun Magnum Bard
o Disposable core needle biopsy 16 G atau 18 G
atau
o Jarum Vim-Silverman
 Plastik pembungkus USG probe (kondom Sutra™ merah)
 Sarung tangan steril untuk semua operator
 Penutup hidung dan mulut (masker) untuk semua operator dan yang hadir di ruang biopsi

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 95
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

BIOPSI GINJAL PADA ANAK


 Formulir pemeriksaan USG
 Formulir permintaan pemeriksaan patologi anatomi
 Tempat penyimpanan spesimen ginjal berisi formalin
 3 buah bantal pasir
 3 buah doek steril
6. Pelaksanaan  Operator mencuci tangan kemudian memakai masker dan sarung tangan steril.
 Asisten menyiapkan penderita di meja biopsi. Penderita dibaringkan telungkup. Perut penderita ditopang satu buah
bantal pasir untuk fiksasi ginjal. Pantat dan paha penderita difiksasi dengan meletakkan 2 buah bantal pasir diatasnya.
 Premedikasi penderita dengan Midazolam 0,1 mg/kgBB iv pelan.
 Desinfeksi lapangan biopsi oleh operator dengan povidone-iodine dan alkohol. Lapangan biopsi ditutup dengan
doek steril.
 Ahli radiologi menetapkan lokasi biopsi (daerah kutub bawah ginjal kiri) dan mengukur jarak korteks ginjal dari
kulit dengan bantuan ultrasonografi.
 Setelah lokasi biopsi ditetapkan, operator melakukan insisi kecil di area biopsi, kemudian melakukan bius lokal pada
daerah tersebut dengan 2 ampul Lidokain.
 Operator memasukkan jarum biopsi secara tegak lurus dengan tuntunan ultrasonografi sampai jarum mencapai
kapsula renalis sedalam jarak kulit ke korteks ginjal yang sudah diukur sebelumnya.
 Setelah dipastikan jarum biopsi berada di lokasi yang tepat, operator melakukan biopsi.
 Pelaksanaan biopsi maksimal sebanyak 3 kali dalam 1 sesi.
 Setelah jaringan ginjal diperoleh, operator mengukur panjang jaringan dan memasukkannya ke dalam botol berisi
formalin.
 Spesimen jaringan ginjal tersebut kemudian dikirim ke bagian Patologi Anatomi dengan formulir pengantar yang telah
disiapkan untuk pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, imunofluoresensi dan mikroskop electron (bila
memungkinkan).
 Penderita ditidurkan telentang setelah luka biopsi ditutup dengan kassa.

7. Perawatan pasca biopsi Setelah biopsi dilakukan, penderita dibawa kembali ke ruangan dengan pemantauan sebagai berikut :
 Penderita tidur telentang selama 24 jam.
 Awasi tanda-tanda vital penderita tiap 15 menit pada jam pertama, kemudian tiap 30 menit pada jam kedua, tiap jam
pada 4 jam berikutnya. Bila keadaan umum penderita baik dan stabil, observasi dilanjutkan tiap 4 jam selama 24 jam
berikutnya.
 Lakukan pemeriksaan urine (makroskopik dan mikroskopik) setiap kali penderita kencing dalam 3 jam pertama pasca
biopsi. Ulangi pemeriksaan tersebut 24 jam berikutnya. Ukur urine 24 jam. Penderita dianjurkan minum sebanyak-
banyaknya untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi risiko obstruksi saluran kemih.
 Bila timbul keluhan dan gejala nyeri perut atau hematuria, observasi diperketat dan batas waktu perawatan pasca
biopsi diperpanjang sampai keluhan dan gejala hilang. Bila perlu, lakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk mencari
kausa.
 Bila terjadi hematuria gross, tindakan yang harus dilakukan adalah :
o Pindahkan dan observasi penderita di ruang UPI.
o Berikan :
 Karbazokrom sodium sulfonat (Adona AC) 5 ml iv bolus. Jangan diberikan asam traneksamat
(Transamin) oleh karena bahaya terjadinya pembentukan bekuan darah dalam saluran kemih.
 Furosemid 2 mg/kgBB/hari iv.
 Prednison 2 mg/kgBB/hari po selama 2 hari.

8. Edukasi 1. Gejala klinis


Pada umumnya tidak terjadi komplikasi sesudah biopsi, akan tetapi bila didapatkan perdarahan di tempat biopsi
dan atau di aprenkim ginjal, pada umumnya gejala klinis akan membaik pada akhir minggu pertama dengan
terapi yang diberikan sesuai dengan komplikasi yang terjadi.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap komplikasi
yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan ginjal dan bahkan kematian.

9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad


sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
10. Tingkat Evidens I/II/III/IV
11. Tingkat Rekomendasi A/B/C
12. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

13. Indikator Medis 80% penderita biopsi ginjal anak akan dapat dipulangkan pada 1 hari sesudah prosedur
14. Kepustakaan 1. Chao SM, Tan PY, Chiang GSC. Renal biopsy and renal pathology. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 96
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

BIOPSI GINJAL PADA ANAK


Limited, 2005: 38-52.
2. Damanik MP. Biopsi ginjal. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:3-14.
3. Fogo AB. Renal pathology. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:565-97.
4. Ong J, Yap HK. Renal biopsy protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On
The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital,
2012: 417-22.Wirya IGNW. Biopsi ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E di s i 2 . Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:73-86.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 97
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIALISIS PERITONEAL PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu proses untuk mengeluarkan zat-zat yang menumpuk di dalam darah seperti ureum, kreatinin, fosfat, kalium, air, dan
lain-lain akibat kegagalan fungsi ginjal. Penumpukan zat-zat tersebut dalam darah dikeluarkan ke dalam cairan dialisat
yang berada di dalam rongga peritoneum.
Dapat dilakukan sebagai prosedur akut maupun kronik (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD atau dialisis
peritoneal mandiri berkesinambungan)
2. Indikasi  Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif)
 Hipertensif refrakter
 Asidosis berat dan persisten
 Hiperkalemia (kalium >7 mEq/l) yang tidak dapat diatasi secara konservatif
 Toksin berupa uremia dengan gejala pruritus, pleuritis, perikarditis, dan susunan saraf pusat
 Toksin eksogen seperti litium, salisilat, etanol, methanol, bromide ethylene glycol, dan aminoglikosida
 Azotemia berat (BUN >50 mg/dl, ureum >200 mg/dl, atau kreatinin >15 mg/dl), klirens kreatinin <15 ml/menit/1,73
m2
 Pasca operasi bedah jantung dengan oliguria/anuria
3. Kontraindikasi  Defek dinding perut atau infeksi
 Distensi abdomen
 Perforasi usus
 Adesi atau reseksi usus
 Ada hubungan antara rongga dada dan rongga perut
4. Persiapan Persiapan dan evaluasi pasien:
 Tanyakan dan periksa pasien tentang operasi abdomen sebelumnya, adakah hernia, organomegali, distensi usus, ileus,
dan tumor usus. Bila terdapat, kateterisasi harus dipasang lewat pembedahan dan visualisasi langsung
 Jelaskan prosedur dan komplikasinya kepada pasien/keluarga pasien serta dapatkan izin tertulis (informed consent)
 Konsultasi ke Bedah Urologi untuk pelaksanaan prosedur pemasangan kateter Tenckhoff.
Keberhasilan dialisis peritoneal ditentukan oleh pemasangan akses dialisis. Pada anak lebih disukai double- cuffed,
sedangkan pada bayi kurang dari 3 kg dengan single cuffed. Kateter yang paling disukai adalah kateter
double cuffed Tenckhoff.

5. Pelaksanaan  Periksa patensi dan kemungkinan kebocoran kateter Tenckhoff di ruang operasi dengan melakukan pertukaran cairan
sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat 1,5%.
 Volume dialisis (fill volume) berdasarkan periode pasca insersi kateter Tenckhoff:
o Hari ke-1: 300 ml/m2 (anak >12 bulan), 200 ml/m2 atau 10 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-4: 500 ml/m2 (anak >12 bulan), 300 ml/m2 atau 15 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-8: 800 ml/m2 (anak >12 bulan), 400 ml/m2 atau 20 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-10: 900 ml/m2 (anak >12 bulan), 500 ml/m2 atau 25 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-2: 1000 ml/m2 (anak >12 bulan), 600 ml/m2 atau 30 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-3: 1100 ml/m2 (anak >12 bulan), 700 ml/m2 atau 35 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-4: 1200 ml/m2 (anak >12 bulan), 800 ml/m2 atau 40 ml/kg (anak usia <12 bulan)
 Frekuensi dialisis:
o Lakukan pertukaran cairan sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat 1,5%
sebanyak 5 kali segera sesudah dilakukan insersi kateter Tenckhoff
o Lakukan pertukaran cairan setiap 1 jam selama 24-48 jam sampai cairan dialisat tidak menunjukkan darah
 Berikan antibiotika Cefazolin intraperitoneal 125 mg/L selama maksimal 3 hari.
 Bila didapatkan kebocoran, jangan menggunakan kateter selama 2 minggu. Lakukan dialisis volume rendah (300
ml/m2) selama 2 minggu bila sangat diperlukan untuk memulai dialisis. Berikan antibiotika Cefazolin intraperitoneal
atau intravena selama minimal 5 hari.
 Heparin intraperitoneal:
o Tambahkan heparin 250 U/L selama minimal 3 hari
o Naikkan dosis menjadi 500-1000 U/L bila cairan dialisat effluent masih bercampur darah
o Hentikan heparin bila cairan dialisat effluent sudah jernih dan tidak ada fibrin.
 Periksa jumlah sel (cell count), Gram dan kultur cairan dialisat saat antibiotika dihentikan. Berikan terapi sebagai
peritonitis bila didapatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan dialisat.
 Pada anak ≥2 tahun, volume dialisis dapat ditingkatkan sampai 1400 ml/m2 untuk meningkatkan adekuasi dialisis.

6. Edukasi  Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal maupun
lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
 Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.
 Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang
dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele.

7. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
8. Tingkat Evidens I/II/III/IV
9. Tingkat Rekomendasi A/B/C

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 98
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DIALISIS PERITONEAL PADA ANAK


10. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

11. Indikator Medis 50% penderita dengan dialisis peritoneal akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan
12. Kepustakaan 1. Damanik MP. Dialisis peritoneal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar N efrologi Anak. E dis i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:594-606.
2. Ha IS, Lai WM. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) and Automated peritoneal dialysis (APD).
Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1.
Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 267-71.
3. Sekarwana N. Dialisis peritoneal. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2011:232-8.
4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1822-
6.
5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45.
6. Verrina E. Peritoneal dialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1785-816.
7. Yap HK, Aragon ET. Peritoneal dialysis orders post Tenckhoff insertion. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 281-2.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 99
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi)  Keadaan dimana terjadi gangguan fungsi ginjal secara akut yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi ginjal (LFG)
dan atau penurunan produksi urine yang bersifat reversibel. Gangguan ginjal ini menyebabkan regulasi cairan,
elektrolit, asam basa dan tekanan darah menjadi terganggu.
 Definisi GgGA ini mencakup gangguan fungsi ginjal ringan sampai kegagalan fungsi ginjal tahap akhir yang
didasarkan pada suatu kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage) yang disesuaikan untuk anak
menjadi suatu kriteria pediatric RIFLE (gambar 1). Kriteria Risk, Injury, Failure menggambarkan beratnya
penurunan fungsi ginjal berdasarkan penurunan estimasi klirens kreatinin anak (melalui perhitungan LFG anak) dan
produksi urine (sensitivity factors); sedangkan kriteria Loss dan End-stage menentukan prognosis fungsi ginjal
selanjutnya dengan menggambarkan prognosis gangguan ginjal (specificity factors).

Gambar 1. Kriteria pediatric RIFLE

2. Anamnesis 1. Anak dengan kondisi yang berhubungan dengan hipovolemia berat, yaitu anak dengan gejala klinis muntah, diare dan
penurunan asupan oral yang berisiko mengalami hipovolemia berat dan GgGA. Beberapa kondisi yang berhubungan
dengan poliuria seperti ketoasidosis diabetikum, asidosis tubulus renalis dan tubulopati kronik, jika asupan cairan
tidak cukup mengimbangi produksi urin yang banyak, maka dapat terjadi hipovolemia berat dan GgA pre renal.
2. Anak dengan gejala yang mengarah pada penyakit ginjal dapat ditandai dengan oliguria onset akut, edema dan
gross hematuria, yang didahului oleh riwayat faringitis atau impetigo yang sesuai dengan suatu
glomerulobnefritis paska infeksi. Diare berdarah dengan oliguria atau anuria dapat merupakan suatu sindrom
hemolitik-uremik terkait diare, sedangkan anak dengan pneumonia dan oliguria yang disertai anemia dan
trombositopenia dapat merupakan sindrom hemolitik uremik terkait pneumonia. Gejala dan tanda sistemik vaskulitis
seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan hemoptisis, menunjukkan kemungkinan suatu
rapidly progressive glomerulonephritis yang terkait dengan vaskulitis sistemik.
3. Anak sakit berat dengan faktor predisposisi untuk kegagalan multi organ, meliputi anak dengan sepsis dan hipotensi,
sering mengalami kegagalan multi organ yang berakibat pada GgGA dengan kondisi oligoanuria, terutama dengan
pemberian inotropik seperti nor adrenalin atau adrenalin; bayi dan anak paska prosedur bypass kardiopulmoner;
anak yang imunosupresif atau mengalami neutropenia seperti pasien onkologi yang menjalani kemoterapi atau
transplantasi sumsum tulang dengan kondisi:sepsis dan riwayat pengobatan yang nefrotoksik termasuk antibiotik
seperti aminoglikosida atau amphotericin B, agen kemoterapi seperti cisplatin dan penghambat calcineurin.
4. Bayi baru lahir dengan oliguria atau anuria lebih dari 72 jam memerlukan perhatian dan membutuhkan tindak lanjut.
Anuria atau oliguria tanpa adanya cidera iskemia menunjukkan suatu malformasi kongenital mayor seperti katup
uretra posterior, atau penyakit genetik seperti penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal resesif. Pada bayi
yang sakit dengan hematuria, dapat merupakan suatu trombosis vena
renalis bilateral.

3. Pemeriksaan Fisik  Tanda-tanda hipovolemia yang dapat terlihat: takikardi, waktu pengisian kapiler yang buruk, penurunan turgor
kulit, membran mukosa kering, mata cowong, perubahan tekanan darah ortostatik.
 Tanda sistemik vaskulitis seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan hemoptisis.

4. Kriteria Diagnosis  Perjalanan penyakit akut (<48 jam)


 Penurunan fungsi ginjal berdasarkan peningkatan serum kreatinin dan/atau penurunan produksi urine
 Penggunaan kriteria pRIFLE untuk menentukan stadium klinis GgGA
5. Diagnosis Gangguan ginjal akut dengan stadium Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage
6. Diagnosis Banding a. Pre-renal GgGA
b. Renal GgGA
c. Post-renal GgGA
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Sedimen Urin
Pemeriksaan mikroskopis untuk pemeriksaan sel, kristal, debris dan torak. Diagnosis glomerulonefritis dapat
ditentukan dengan adanya hematuria terkait eritrosit dismorfik dan torak eritrosit. Sel epitel tubuler

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 100
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


ginjal, sel torak tubuler atau torak dengan granular kasar dapat merupakan suatu nekrosis tubuler akut. Piuria dapat
merupakan suatu pielonefritis atau gangguan tubulointerstisial (piuria steril). Terdapatnya eosinofil dapat
merupakan suatu nefritis alergi interstisial akut. Kristal urin dapat menjadi suatu indikator etiologi dasar pada
tampilan klinis yang sesuai untuk GgGA seperti kristal asam urat pada sindrom tumor lisis dan kistal kalsium
oksalat pada keracunan etilen glikol. Jika tidak ditemukan kelainan maka dapat merupakan GgGA pre renal atau
karena obstruksi.
2. Darah lengkap untuk melihat adanya anemia, trombositopenia dan reticulositosis, yang dapat menjadi suatu
sindrom hemolitik uremik atau GN terkait vaskulitis. Hapusan darah tepi untuk melihat adanya skistosit pada
sindrom hemolitik uremik, atau sferosit pada nefritis lupus.
3. Pemeriksaan hemoglobin dalam urin atau mioglobin serum untuk menyingkirkan suatu nefropati pigmen, jika
riwayat penyakit menunjukkan suatu proses hemolisis intra vaskular atau rabdomiolisis.
4. Pemeriksaan kadar komplemen serum (C3 dan C4), anti-nuclear antibodies antibodi sitoplasmik anti neutrofil,
dan anti-glomerular basement membrane antibodies untuk membedakan berbagai jenis penyakit glomerular.
Komplemen serum C3 didapatkan rendah pada GN paska infeksi, Nefritis Lupus, GN membranoproliferatif dan
beberapa bentuk sindrom hemolitik uremik familial.
5. Pola khusus abnormalitas biokimiawi dapat terlihat pada beberapa penyebab khusus dari GgGA. Kadar laktat
dehidrogenase pada sindrom hemolitik uremik atau penyebab lain dari hemolisis. Hipokalsemia, hiperfosfatemia
dan hiperurikemia dapat timbul pada sindrom tumor lisis. Peningkatan kadar kreatin kinase serum pada
rabdomiolisis. Peningkatan pada gap anion dan osmolar dengan adanya GgGA, dapat merupakan suatu keracunan
glikol etilen.
6. Pencitraan
 Ultrasonografi merupakan modalitas pencitraan awal untuk mendeteksi obstruksi saluran kemih atas bilateral,
obstruksi outlet vesica urinari atau obstruksi dari ginjal yang berfungsi tunggal. Dilatasi sistem pelvikaliseal dapat
dideteksi dalam 24 hingga 36 jam etelah onset terjadinya obstruksi saluran kemih akut. Dilatasi saluran kemih atas
dapat terlihat pada tahap awal obstruksi ureter jika didapatkan adanya penurunan produksi urin. Pada obstruksi
saluran kemih bagian bawah, dilatasi ureter, hipertropi ukuran dan dinding vesica urinaria, dan adanya lesi terkait
seperti ureterocele dapat terlihat melalui ultrasonografi. Suatu peningkatan ekogenisitas dapat terlihat pada
penyakit ginjal akut dan kronis. Pada neonatus dengan trombosis vena renalis, pemindaian aliran doppler dapat
menunjukkan suatu penurunan aliran darah.
 CT scan abdomen tanpa kontras dapat memperlihatkan kondisi pelvis renalis dan ureter proksimal, dan sangat
membantu dalam mengindetifikasi lokasi obsturksi ureteral, batu, tumor atau kondisi abnormalitas kongenital.
Pemindaian yang dengan kontras sebaiknya dihindari oleh karena risiko terjadinya nefropati kontras.
 Magnetic resonance urogram (MRU) statik berguna untuk mengidentifikasi morfologi sistem collecting pada
uropati obstruktif, tanpa memperhatikan fungsi ekskresi. Risiko fibrosis sistemik nefrogenik setelah agen kontras
gadolinium pada pasien dengan gagal ginjal membatasi penggunaan pemindaian dinamik pada GgGA.
7. Biopsi ginjal diindikasikan jika dicurigai suatu rapidly progressive GN atau nefritis alergi interstisial akut,
etiologi yang tidak jelas dan GgGA yang memanjang untuk menilai tingkat kerusakan, untuk
membedakan antara nekrosis tubuler akut dan nekrosis kortikal akut.

8. Terapi  Tujuan utama tata laksana GgGA adalah untuk menjaga homeostasis, sembari menunggu perbaikan fungsi
ginjal, yang dapat terjadi secara spontan atau menunggu penyebab dasar tertangani.
 Adanya sarana dan efikasi dialisis menyebabkan perburukan pasien dengan GgGA umumnya bukan karena
kondisi GgGA tetapi karena faktor komorbid lainnya.
 Terapi konservatif
1. Mempertahankan perfusi ginjal yang adekuat
o Pada pasien yang menderita sakit berat yang berisiko mengalami GgGA iskemia, perbaikan faktor pre
renal seperti, dehidrasi, curah jantung yang buruk, hipovolemia dan abnormalitas elektrolit dan asam
basa, sangat penting untuk mencegah perburukan GgGA.
o Kecuali terdapat kontraindikasi karena cairan berlebihan atau gagal jantung, seorang anak dengan bukti
klinis hipovolemia dan oliguria, sebaiknya diberikan cairan intravena selama 20- 30 menit, cairan
kristaloid seperti normal salin (10 hingga 20 ml/kg) atau cairan koloid seperti albumin 5%, jika
hipotensif.
o Pemberian ini dapat diulang jika anak masih hipovolemik.
o Perbaikan aliran urin yang adekuat dan perbaikan fungsi ginjal melalui resusitasi cairan adalah sesuai
dengan kondisi penyakit pre renal.
o Namun, jika produksi urin tidak meningkat dan fungsi ginjal gagal untuk membaik dengan kembalinya
volume intra vaskular, pengawasan invasif mungkin diperlukan sehingga status cairan anak dapat dinilai
dengan baik dan membantu dalam tata laksana selanjutnya.
o Jika oliguria menetap setelah koreksi faktor pre renal yang adekuat, pemberian loop diuretic dapat
merangsang timbulnya diuresis: furosemid intravena 2-5 mg/kg/dosis (maksimum 240 mg bolus) atau
furosemid kontinyu 0.1-1 mg/kg/jam.
2. Mencegah cairan berlebih dan hipertensi
o Volume cairan sebaiknya dibatasi dengan memberikan cairan sesuai dengan insensible water
2
loss (400 ml/m per hari atau 30 ml/100 kcal), s el ai n m e n g ga nt i k eh i l an ga n c ai
r an m el al ui ur i n, s i s t e m ga s t r on t es t i n al d an l ai nn y a.

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 101
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


o Terapi sebaiknya ditujukan pada penurunan berat badan sebanyak 0,5 hingga 1 % per hari.
o Kelebihan cairan dapat memperberat hipertensi pada pasien dengan glomerulonefritis, berakibat pada
hiperternsi urgensi atau emergensi.
o Hipertensi emergensi penting untuk ditangani secara adekuat dengan agen anti hipertensi intravena untuk
mengontrol penurunan tekanan darah dalam menghindari perburukan edema
otak yang disebabakn oleh gangguan auto regulasi otak.
3. Mempertahankan nilai elektrolit dan asam basa
o Hiperkalemia:
 Hiperkalemia emergensi dengan kadar kalium serum ≥7 mmol/L diikuti dengan perubahan pada
elektrokardiografi seperti gelombang T puncak, glombang P datar, peningkatan interval PR dan
pelebaran kompleks QRS.
 Kalsium intravena diberikan secara perlahan selama 15-30 menit:
 Kalsium glukonas 10% 0,5 ml/kg berat badan hingga maksimum 20 ml.
 Nebulisasi salbutamol :
- Berat badan <25 kg: 2,5 mg.
- Berat badan ≥25 kg: 5 mg.
 Salbutamol intravena 4 mg/kg.
 Insulin intravena 1 IU/5 g dekstrosa:
0,1 U/kg berat badan insulin and dekstrosa 0,5 g/kg berat badan.
Amati kadar glukosa darah setiap 15 menit dan setiap 30 menit sampai kadar gula darah
stabil.
 Peningkatan kadar kalium serum : 6 to <7 mmol/L:
 Natrium polistirene sulfonat per oral atau rektal 1g/kg berat badan hingga maksimum 30 g
 Koreksi asidosis
o Hiponatremia:
 Restriksi cairan dan berikan loop diuretics jika oleh karena cairan yang berlebihan
 Suplementasi natrium jika terjadi renal salt wasting.
o Hipokalsemia dan hiperfosfatermia: pengikat fosfat berbasis kalsium
o Asidosis metabolik berat dimana kadar bikarbonat serum <15 mmol/L atau pH <7.2:
 Natrium bikarbonat intravena (3 mmol/kg berat badan)
 Catatan: hati-hati pada pasien dengan cairan berlebih dan hipertensi.
4. Nutrisi adekuat
o Kebutuhan kalori
 Defisit kumulatif energi berhubungan dengan angka mortalitas pada bayi dan anak yang
mengalami GgGA.
 Karena diperlukan suatu restriksi cairan, meningkatkan konsentrasi makanan enteral atau parenteral
akan memperbaiki jumlah kalori pasien.
 Namun, hal ini sering kali dibatasi oleh peningkatan osmolaritas jenis makanan yang diberikan dan
berakibat pada hipernatremia
 Melalui dialisis awal dapat memberikan suatu optimalisasi nutrisi pasien.
o Asupan protein
 Memastikan asupan kalori yang cukup dengan pemberian karbohidrat dan/atau lemak.
 Pemberian asupan protein 2 g/kg/hari.
5. Penyesuaian dosis obat-obatan, terutama yang diekskresikan melalui ginjal.
6. Hindari kerusakan ginjal lebih lanjut dengan menghindari antibiotik nefrotoksik, Angiotensin converting
enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers, penghambat calcineurin dan nefropati kontras.

 Terapi Pengganti Ginjal Akut


Indikasi tradisional:
o Hiperkalemia berat yang tidak berespon pada terapi konservatif
o Asidosis yang tidak terkontrol yang dapat secara aman dikoreksi karena risiko cairan dan kadar natrium
yang berlebihan
o Kelebihan cairan yang berat dengan hipertensi yang tidak dapat terkontrol, edema paru atau gagal
jantung.
o Uremia progresif dengan kondisi umum yang menurun
o Kondisi hiperkatabolik dengan meningkatnya kadar urea dalam darah >10 mmol/L per hari.

Dialisis dilakukan sejak awal pada anak yang sakit berat dengan GgGA dengan tujuan mempertahankan
homeostasis dan memberikan cukup ruang untuk kebutuhan pengobatan dan nutrisi yang diharapkan, karena
restriksi cairan yang berat dapat berakibat pada nutrisi yang inadekuat, kecenderungan menjadi hipoglikemia,
memberikan volume ruang yang cukup untuk transfusi darah, kesulitan dalam pemberian obat, seperti
pemberian inotropik dan antibiotik
intravena.

9. Edukasi  Pentingnya deteksi dini GgGA pada anak untuk menyelamatkan fungsi ginjal

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 102
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GANGGUAN GINJAL AKUT PADA ANAK


 Pentingnya mengenali penyebab GgGA supaya dapat dilakukan tata laksana yang cepat dan tepat.
 Pentingnya melakukan tata laksana GgGA sesuai stadium klinis dengan cepat dan tepat, baik konservatif maupun
terapi pengganti ginjal.
 Beratnya komplikasi GgGA yang dapat terjadi pada jangka pendek maupun jangka panjang.
 Pentingnya monitoring jangka panjang terhadap fungsi ginjal.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita GgGA anak akan membaik setelah 3 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Andreoli SP. Clinical evaluation of acute kidney injury in children. Dalam: Avner E, Harmon W, Niaudet P,
Yoshikawa N, Eds. Edisi 6. Berlin: Springer Verlag; 2009: 1603-1618.
2. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, Eds. Buku ajar nefrologi
anak. Edisi2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002: 490-508.
3. Bellomo R, Kellum JA, Ronco C. Defining and classifying acute renal failure: from advocacy to consensus and
validation of the RIFLE criteria. Intensive Care Med 2007; 33:409-413.
4. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P; Acute Dialysis Quality Initiative workgroup. Acute renal
failure - definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and information technology needs: the Second
International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group. Crit Care 2004;
8:R204-212.
5. Himmelfarb J, Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology. Kidney Int
2007; 10:971-976.
6. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for change? J Am Soc Nephrol
2003; 14:2176-2177.
7. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C. The concept of acute kidney injury and the RIFLE criteria. Dalam: Ronco C,
Bellomo R, Kellum JA, eds. Acute kidney injury. Basel: Karger, 2007: 10-16.
8. Roesli RMA. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Edisi kedua. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr.Hasan Sadikin Bandung dan Puspa Swara, 2011:
1-142.
9. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR. Management of acute kidney injury. Dalam: Yap HK, Liu ID, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology On-The-Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 1-13.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 103
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


1. Pengertian (Definisi) Suatu bentuk peradangan non-supuratif di glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan inflamasi
glomeruli yang didahului oleh infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik di tempat lain dan
ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, dan oliguria yang terjadi
secara akut.
2. Anamnesis  Sembab periorbita pada pagi hari (75%)
 Malaise, sakit kepala, muntah, panas dan anoreksia
 Air kemih kemerahan seperti air daging
 Menderita infeksi saluran nafas atas 8-14 hari sebelumnya atau infeksi kulit 3 minggu sebelumnya
3. Pemeriksaan Fisik  Edema periorbita
 Asites (kadang-kadang)
 Takikardia, takipnea, rales pada paru, dan cairan dalam rongga pleura
 Hipertensi (tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 menurut umur, jenis kelamin dan
tinggi badan) pada > 50% penderita
 Air kemih merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Hematuria
3. Hipertensi
4. Azotemia
5. ASTO positif
5. Diagnosis Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
6. Diagnosis Banding 1. Penyakit-penyakit ginjal:
 Glomerulonefritis kronis eksaserbasi akut
 Glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati, hematuria berulang ringan
 Glomerulonefritis progresif
2. Penyakit-penyakit sistemik:
 Purpura Henoch-Schӧnlein
 Lupus eritematosus sistemik
 Endokarditis bacterial subakut
3. Penyakit-penyakit infeksi:
 Infeksi virus (morbili, parotitis, varisela, Echo)
 Infeksi bakteri lain.

7. Pemeriksaan Penunjang  Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak granular,
torak eritrosit
 Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen C3 <50
mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala klinis menghilang
 Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali

8. Terapi 1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi, edema).
2. Antibiotika untuk eradikasi kuman:
 Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari
 Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi)
4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi):
 Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
 Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari)
 Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
 Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari)
5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari).
6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru.

9. Edukasi 1. Gejala klinis


Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Bila
didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan
biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap komplikasi
yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat, pemantauan
tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat komplikasi yang
menimbulkan sekuele.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 104
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS


11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita GNAPS akan sembuh dalam waktu 1 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Kumar GV. Clinical study of post Streptococcal acute glomerulonephritis in children with special reference to
presentation. Curr Pediatr Res 2011;15(2):89-92.
2. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar N
efrologi Anak. E di s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:323-61.
3. Pan CG, Avner ED. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1783-5.
4. Rauf S, Albar H, Aras J. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
glomerulonefritis akut pasca Streptokokus. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2012.
5. Rodriguez-Iturbe A, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:743- 53.
6. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritic syndrome. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite
RJ, Eds. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:197-225.
7. Srivastava RN, Bagga A. Acute glomerulonephritis. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 106-23.
8. Tasic V. Postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Geary DF, Schaefer F, Eds. Comprehensive Pediatric
Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008:309-17.
9. Tse NK. Acute glomerulonephritis and rapidly progressive glomerulonephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 103-8.
10. Yap HK, Lau PYW, Resontoc LPR, Thong WY. Management of acute glomerulonephritis. Dalam: Yap
HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National
University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 113-9.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 105
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HEMODIALISIS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari darah melalui membran semipermeabel di dalam
ginjal buatan (dializer), dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis (dialisat).
2. Indikasi Gangguan ginjal akut:
 Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif, hipertensi yang resisten terhadap antihipertensi, dan
membantu pengeluaran cairan pada pasien oliguria/anuria untuk memenuhi tunjangan nutrisi yang meningkat serta
memerlukan darah dan produk darat
 Keadaan serius yang mengancam hidup pasien, atau gangguan metabolik yang tidak dapat dikontrol dengan obat
seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperurisemia, hiperfosfatemia
 Keracunan atau kelebihan dosis obat (salisilat, glikol etilen, lithium)

Penyakit ginjal kronik:


 Klirens kreatinin menurun sampai 5-10 ml/menit/1,73 m2
 Osteodistrofi ginjal
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
 Komplikasi: hiperkalemia tidak terkontrol, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis, ensefalopati uremik,
neuropati uremik)
3. Prosedur pelaksanaan  Periksa berat badan sebelum dan sesudah hemodialisis dengan menggunakan timbangan yang sama. Usahakan
mencapai target berat badan kering setiap selesai hemodialisis.

 Laboratorium sebelum dan sesudah hemodialisis:


o darah lengkap
o fungsi ginjal (BUN, kreatinin)
o elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium, fosfat)
o analisis gas darah

 Premedikasi untuk mencegah sindrom disekuilibrium dialysis:


o Fenobarbital intravena 3-5 mg/kg
o Manitol 0,5-1 g/kg
o dapat dihentikan bertahap bila sudah mencapai durasi maksimal hemodialisis (4 jam)

 Akses vaskular dengan kateter double lumen:


o Neonatus: 5-7 F
o 3-6 kg: 7 F
o 6-15 kg: 8F
o >15 kg: 9 F
o 15-30 kg: 10 F
o >30 kg: 11.5 F

 Blood line:
o anak = 60 ml
o dewasa = 120 ml

 Dialyzer/hemofilter berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT):


o LPT 0,5 m2 (10-20 kg)  FB 50 (volume 35 ml)
o LPT 0,7 m2 (20-30 kg)  FB 70 (volume 45 ml)
o LPT 0,9 m2 (30-40 kg)  FB 90 (volume 55 ml)
o LPT 1,1 m2 (>40 kg)  FB 110 (volume 65 ml)

 Volume ekstrakorporal:
o tidak melebihi 10-30% volume darah
o <10 kg: volume darah = 80 ml/kg
>10 kg: volume darah = 70 ml/kg
o Volume Ekstrakorporal = Volume Dialyzer + Volume Blood Line
o bila melebihi 10% volume darah, dapat dilakukan priming blood transfusion pada saat memulai hemodialisis
untuk “menambah” volume darah

 Dialisat: bikarbonat

 Blood flow untuk anak:


o 150-200 ml/m2/menit
o 5-7 ml/kg/menit
o BB <10 kg: 100 ml/menit
o BB 10-40 kg: 2,5 x BB (kg) + 100 ml/menit
o BB >40 kg: maksimal 250 ml/menit

 Dialysate flow: 500 ml/menit (300-800 ml/menit)

 Durasi (time/t):

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 106
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HEMODIALISIS PADA ANAK


o disesuaikan dengan laju klirens urea yang diinginkan:
 sesi pertama = 30% klirens urea
 sesi kedua = 50% klirens urea
 sesi ketiga = 70% klirens urea
 sesi keempat = 90% klirens urea (maksimal 4 jam)

o dihitung dengan rumus: Kt/V = -ln C1 /C0


K = koefisien urea (K0A)
t= time (durasi hemodialisis) V
= total body water (ml)
C0 = kadar urea sebelum dialisis C1
= kadar urea pasca dialisis

o klirens urea dan ln C1 /C0 :


 30 % klirens urea  ln C1 /C0 = 0,357
 50 % klirens urea  ln C1 /C0 = 0,693
 70 % klirens urea  ln C1 /C0 = 1,204
 90 % klirens urea  ln C1 /C0 = 2,032

o perhitungan koefisien urea (K) menggunakan tabel sebagai berikut:

Luas Koefisien Urea (K) berdasarkan Blood Flow (QB) ml/menit


Permuka
an Tubuh
(m2)/Blood 50 75 100 125 150 200 250 300
flow
0.4 49 71 89 103 114 130 141 149
0.7 50 - 96 - 130 154 171 184
1.0 50 - 97 - 133 159 178 192
1.3 50 - 98 - 137 166 188 203
1.6 50 - 99 - 141 173 197 215

o perhitungan total body water (V) menggunakan rumus Mellits Cheek:


Laki-laki (TB <132,7cm):
V (ml) = (-1,927 + (0,465 x BB) + (0,045 x TB)) x 1000
Laki-laki (TB ≥132,7cm)
V (ml) = (-21,993 + (0,406 x BB) + (0,209 x TB)) x 1000
Perempuan (TB <110,8 cm)
V (ml) = (0,076 + (0,507 x BB) + (0,013 x TB)) x 1000
Perempuan (TB ≥110,8cm)
V (ml) = (-10,313 + (0,252 x BB) + (0,154 x TB)) x 1000
TB dalam cm, BB dalam kg

o setelah memasukkan nilai K, V, dan ln C1 /C0, maka nilai t (durasi hemodialisis) dapat ditentukan, dengan
maksimal durasi 4 jam (sesuai jadwal rutin unit dialisis).

 Ultrafiltrasi (UF):
o pertimbangkan berat badan, adanya kelebihan cairan, hipertensi, dan hemokonsentrasi
o maksimal 1,5±0,5 % BB/jam atau 5% berat badan untuk mencegah hipotensi berat selama dialisis
o 0,2 ml/kg/menit selama 4 jam dialisis
o pada gangguan ginjal akut, maksimal 0,2 ml/kg/menit
o lakukan sequential UF bila terjadi kelebihan cairan berat
 Heparin (hentikan 1 jam sebelum hemodialisis selesai):
o Loading dose: regular = 50 U/kg (dewasa 1500 U)
dosis rendah = ≤15 kg: 5-10 U/kg (dewasa 1000 U)
>15 kg: 10-20 U/kg
o Dosis rumatan: regular = 50 U/kg/jam (dewasa 750 U/jam) dosis
rendah = 5-10 U/kg/jam (dewasa 500 U/jam)
 Suport tekanan darah:
o Infus normal salin 0,9% 10-20 ml/kg
o Infus albumin 5% 10 ml/kg
o Infus albumin 20% 1 g/kg atau 5 ml/kg
4. Edukasi  Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal maupun
lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
 Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 107
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HEMODIALISIS PADA ANAK


 Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang
dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan
sekuele.
5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

9. Indikator Medis 50% penderita dengan hemodialisis akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan
10. Kepustakaan 1. Lau SC. Hemodialysis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of
Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 280-6.
2. Reese L. Hemodialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1817-34.
3. Sekarwana N. Hemodialisis. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:223-31.
4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1822-
6.
5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45.
6. Sudjatmiko S, Oesman O. Hemodialisis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E dis i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:615-27.
7. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Prasetyo RV. Continuous venovenous hemodialysis (CVVHD) or
hemodialfiltration (CVVHDF) protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On
The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital,
2012: 249-59.
8. Yap HK, Kanitkar M. Hemodialysis orders. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-
On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University Hospital,
2012: 260-4.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 108
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu vaskulitis sistemik pembuluh darah kecil dengan mediasi imunologis yang secara primer
menyerang kulit, saluran cerna, sendi dan ginjal. Gangguan ginjal diklasifikasikan oleh International Study on
Kidney Diseases in Children (ISKDC) menjadi 6 grup berdasarkan biopsi ginjal.
2. Anamnesis  Gejala sistemik: ruam kulit (di pantat, tungkai bawah dan pergelangan kaki), artralgia, artritis, nyeri perut,
kencing berwarna seperti teh, gangguan ginjal akut, nyeri kepala, kejang, perdarahan paru
3. Pemeriksaan Fisik  Ruam makuloeritematosa kemudian menjadi makulopapular dan purpura yang simetris di pantat, tungkai bawah,
pergelangan kaki, lengan, wajah, dan telinga
 Artralgia dan artritis di tangan, kaki, pergelangan kaki dan lutut
 Gangguan gastrointestinal: kolik abdomen, muntah, berak darah, melena, ileus, intususepsi
 Gangguan ginjal: Hematuria mikroskopis dan makroskopis, sindrom nefrotik dan gangguan ginjal akut
 Gangguan saraf: nyeri kepala, ensefalopati ringan, kejang
 Gangguan paru: perdarahan alveolar

4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan The European League Against Rheumatism (EULAR) dan Pediatric Rheumatology
European Society (PReS):
 Ruam makulopapular dan purpura (harus ada) di pantat, tungkai bawah, pergelangan kaki, lengan, wajah, dan
telinga
 Disertai minimal 1 dari:
o Artralgia dan artritis
o Gangguan gastrointestinal
o Gangguan ginjal (harus ada)
o Deposisi IgA pada biopsi organ
5. Diagnosis Nefritis Henoch-Schönlein Purpura
6. Diagnosis Banding 1. Nefropati IgA
2. Nefritis lupus
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis: hematuria, proteinuria, torak.
2. Darah: darah lengkap, laju endap darah, fungsi ginjal, fungsi liver, elektrolit, asam urat, bikarbonat, IgA
serum, C3, C4, ANA, anti-dsDNA, ASTO, ANCA
3. USG abdomen untuk eksklusi intususepsi.
4. Biopsi ginjal dan kulit.

8. Terapi I. Terapi imunosupresan


Indikasi:
 Proteinuria ringan-sedang:
o Proteinuria ≥1 g/hari/1,73m2
o Sindrom nefrotik
o Proteinuria persisten antara 0,5-<1 g/hari/1,73m2 sesudah diterapi selama 3-6 bulan
, khususnya jika ada 1 gambaran:
 Nyeri perut yang hebat
 Ruam berulang
 Hematuria makroskopis berulang
 Penyakit berat:
o Sindrom nefritik-nefrotik
o Penurunan fungsi ginjal secara akut yang bukan oleh karena nekrosis tubular akut
o Gambaran crescents pada biopsi ginjal
 Tanpa nefritis:
o Nyeri perut hebat
o Nyeri sendi berat yang menghalangi mobilisasi sehari-hari
o Artritis berulang
o Purpura berulang.

a. Proteinuria ringan-sedang, diberikan kombinasi imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n dan MMF:


 Predniso(lo)n oral 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 2 minggu sampai ruam dan nyeri perut
menghilang, kemudian diubah ke dosis harian. Dosis seharusnya secara bertahap di turunkan 5 mg/hari
setiap 2 minggu, tergantung pada hasil pemeriksaan urine. Dosis bisa diubah menjadi alternate saat
proteinuria turun menjadi <0,3 g/hari/1,73 m2 dan diturunkan sampai minimal dosis untuk mengontrol
penyakit.
Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral:
Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg
(catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet 4 mg, 8
mg dan 16 mg)
 Mycophenolate mofetil (MMF) bisa ditambahkan dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12 jam sebagai
steroid sparring agent.

b. Penyakit berat, diberikan kombinasi antara imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n dan

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 109
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK


MMF, atau Metilprednisolon/ Predniso(lo)n dan CPA:
 Metilprednisolon puls 10–30 mg/kg/dosis (maksimal 1 g) selama 3 hari tiap bulan sampai 6 siklus (6
bulan).
Terapi puls tidak dilanjutkan bila proteinuria turun sampai <0,3 g/hari/1,73m2 dan fungsi ginjal pulih.
 Predniso(lo)n per oral dimulai dengan 0,5–1,0 mg/kg (maksimal 30 mg) per hari setelah tiap
metilprednisolon puls selesai. Predniso(lo)n oral diturunkan bertahap 5 mg/hari pada setiap
metilprednisolon puls berikutnya. Penurunan dosis Predniso(lo)n oral seharusnya dilanjutkan tiap bulan
sampai 6–12 bulan dan dapat diubah menjadi alternate saat proteinuria turun menjadi <1 g/hari/1,73m2.
Sebagai alternatif, predniso(lo)n oral 1–2 mg/kg/hari (maksimal 60 mg/hari) setiap hari bisa digunakan
sebagai terapi awal selama 3 bulan.
Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral:
Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg
(catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet 4 mg, 8
mg dan 16 mg)
 MMF dimulai saat terapi steroid dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23 mg/kg/dosis tiap 12
jam, dosis maksimal 1 g tiap 12 jam).
Periksa darah lengkap tiap bulan.
Bila absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
 Tunda pemberian MMF
 Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L. Cek kadar
mycophenolate jika perlu (target 2-4mg/L)
Efek samping :
 Netropenia (khususnya dalam 1-6 bulan terapi), anemia, trombositopenia (jarang)
 Gastritis, ulkus peptik, kolik abdomen, diare, perdarahan dan perforasi gastrointestinal:
Mulai berikan ranitidin profilaksis 3 mg/kg/dosis tiap malam (maksimal 150 mg) atau omeprazole 1
mg/kg/dosis tiap malam atau 2 kali sehari (maksimal 120 mg, 3 kali sehari). Pertimbangkan pengubahan
terapi ke Myfortic jika terdapat efek samping gastrointestinal. Ekivalensi dengan Myfortic:
Myfortic 180 mg = MMF 250 mg
Myfortic 360 mg = MMF 500 mg.

atau

 Cyclophosphamide (CPA) puls 500-1000 mg/m2:


o Tiap 4 minggu sebanyak 6 siklus
o Periksa darah lengkap:
 Pada hari ke-7, 10, 14 sesudah puls untuk melihat titik nadir leukosit darah
 Berkala tiap bulan.
Bila leukosit darah <4,0x109/L atau absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
 Tunda pemberian CPA
 Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L
 Turunkan dosis sebesar 20% pada pemberian selanjutnya.

II. Terapi suportif


 Anti-proteinuria:
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
 Anti-hipertensi:
o Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
o Nifedipin 0,25-1 mg/kg/dosis
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
o Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (tiap 12 jam)
 Hindari obat anti-inflamasi non-steroid
III. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
 Rujukan ke Bagian Mata untuk monitor efek samping obat dan komplikasi hipertensi jangka panjang.

9. Edukasi 1. Pentingnya kepatuhan dalam pengobatan jangka panjang.


2. Pentingnya memonitor kondisi klinis dan efek samping obat secara berkala dan bahwa terapi farmakologik
dapat dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 110
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

NEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA PADA ANAK


13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita Henoch-Schönlein purpura nefritis anak akan terkontrol setelah 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Albar H. Nefritis Henoch-Schönlein. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2011:102-11.
2. Bagga A, Menon S. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 137-41.
3. Coppo R, Amore A. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1111-26.
4. Davian JC. Henoch-Schönlein purpura nephritis: pathophysiology treatment, and future strategy. Clin J Am Soc
Nephrol 2011;6:679-89.
5. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO Clinical
Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2.
6. Liu DI, Yap HK. Management of Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 160-6.
7. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
Nefrologi Anak. E di s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:323-61.
8. Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam: Srivastava RN, Bagga A,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39.
9. Van Why SK, Avner ED. Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2011:1789.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 111
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERTENSI PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan
umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
2. Anamnesis  Hipertensi ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala.
 Gejala-gejala dapat berupa sakit kepala, pusing, nyeri perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun, keringat
berlebihan, murmur, epistaksis, palpitasi, poliuri, proteinuri, hematuri, atau retardasi pertumbuhan.
 Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya efedrin).
Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik  Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran dapat menurun
sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat ditemukan bunyi murmur dan
bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
 Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil atau
penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
4. Kriteria Diagnosis Nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan umur, jenis kelamin
dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
5. Diagnosis Hipertensi
6. Diagnosis Banding 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik, lupus
eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schӧnlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG, IgM, IgA, C3,
ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif, penyempitan
pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula
disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer dibagi dalam 2 tahap. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan bila pada
Penunjang pemeriksaan tahap 1 didapatkan kelainan, dan jenis pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan kelainan yang
didapat.
2. Pemeriksaan tahap 1 meliputi pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal (urinalisis, biakan urin, kolesterol,
albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, darah lengkap dan USG ginjal); pemeriksaan untuk mendeteksi
penyakit endokrin (elektrolit serum, aktivitas renin plasma dan aldosteron, katekolamin plasma, katekolamin urin dan
metabolitnya dalam urin, aldosteron dan metabolit steroid dalam urin (17 ketosteroid dan 17 hidrokortikosteroid)); dan
evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target meliputi EKG dan ekokardiografi yang dapat menunjukkan
pembesaran ventrikel kiri; foto toraks yang dapat menunjukkan adanya pembesaran jantung dengan edema paru;
funduskopi dapat dilihat adanya kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh
darah arteriol retina; dan CT scan kepala yang dapat menemukan atrofi otak yang bila segera ditangani gejala dapat
menghilang tanpa gejala sisa.
3. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan untuk evaluasi diagnostik ke arah penyebab hipertensi sekunder seperti anti
Streptolisin O (ASTO), komplemen 3 (C3), kultur hapusan tenggorok/keropeng infeksi kulit, sel LE, uji serologi untuk
SLE, miksio sistouretrografi (MSU), biopsi ginjal, CT ginjal, Tc 99m DTPA atau DMSA scan, renografi, arteriografi,
Digital Subtraction Angiography (DSA), CT kelenjar adrenal atau abdomen, scanning adrenal dengan l131 meta-
iodobenzilguanidin, katekolamin vena kava, analisis aldosteron dan elektrolit
urin, uji supresi dengan deksametason, renin vena renalis.

8. Terapi  Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap penyakit
kardiovaskular dan kerusakan organ target. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala klinis, perlu
diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia, kebiasaan
merokok dan intoleransi glukosa.
 Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95 berdasarkan usia,
jenis kelamin dan tinggi badan anak. Pada anak dengan hipertensi kronik, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah
sebesar 20-30% dalam waktu 60-90 menit.
 Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.

I. Medikamentosa
 Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke- 95 untuk
umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai berikut:

Golonga Jenis Dosis dan Dosis maksimal Efek samping


n obat obat interval Anak Dewasa
Angiotens Kaptopril 0,1 6 50 mg tiap 8 Teratogenik.
in mg/kg/kali, mg/kg/hari, jam Pemeriksaan serum
convertin tiap 8 jam tiap 8 jam 450 mg/hari kreatinin dan kalium
g enzyme Neonatus: Neonatus: berkala.
inhibitor 0,03 2 mg/kg/hari Dapat dibuat
(ACE-I) mg/kg/hari suspensi.
Lisinopril 0,1 0,2-1 5 mg/hari Hati-hati pemakaian
mg/kg/hari mg/kg/hari atau 10-20 pada penyakit ginjal

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 112
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERTENSI PADA ANAK


mg/hari dengan proteinuria
dan diabetes
mellitus.
Angiotens Losartan 0,5-0,7 1,4 100 mg/hari Teratogenik.
in mg/kg/kali, mg/kg/kali, Pemeriksaan kadar
receptor tiap 24 jam tiap 24 jam serum kreatinin dan
blocker kalium.
(ARB) Losartan dapat dibuat
suspensi. FDA
membatasi pemakaian
losartan hanya untuk
anak ≥6 tahun dan
kreatinin klirens ≥30
ml/menit/1,73 m2.

Calcium Amlodipi 0,05 0,2 0,6 Dapat menyebabkan


channel n mg/kg/hari mg/kg/hari mg/kg/hari takikardi dan edema.
blocker , 20 mg/hari
(CCB) tiap 24
jam
Nifedipin 0,25 0,5 20 mg,
mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6-8 jam
tiap 6-8 jam tiap 6-8 jam

Extende 0,25-0,5 3 mg/kg/kali, 120 mg/hari


d mg/kg/kali, tiap 12-24
release tiap 12-24 jam
Nifedipin jam
Alpha and Labetalo 1-2 10 600 mg/kali, Kontraindikasi pada
beta l mg/kg/kali, mg/kg/kali, tiap 6 jam penderita asma dan
blocker tiap 12 jam tiap 6 jam gagal jantung,
diabetes mellitus yang
tergantung
insulin.
Carvedil 0,08 0,75 25 mg tiap
ol mg/kg/kali, mg/kg/kali, 12 jam
tiap 12 jam tiap 12 jam
(naikkan
0,08
mg/kg/kali
tiap 1-2
minggu)

Beta Atenolol 0,5-1 8 100 mg/hari Non-cardioselective


blocker mg/kg/hari mg/kg/hari, agents.
, tiap 12-24 Tidak digunakan
tiap 12-24 jam pada penderita
jam diabetes mellitus,
Propano 0,2-0,5 2 mg/kg/kali, 80 mg/kali, asma, gagal
lol mg/kg/kali, tiap 6-12 tiap 6-12 jantung.
tiap 6-12 jam jam
jam
Central Klonidin 5-10 0,9 mg/hari 2,4 mg/hari Mulut kering atau
alpha mcg/kg/ha sedasi.
blocker ri, Rebound
tiap 8-12 hypertension.
jam Pemberian dengan
(naikkan beta blocker dapat
sampai menyebabkan
5-25 bradikardia.
mcg/kg/ha
ri,
tiap 6 jam)
Periphera Prazosin Test dose: 0,5 5 mg Dapat menyebabkan
l alpha 0,005 mg/kg/hari, tiap 6-12 hipotensi atau sinkop,
antagonis mg/kg tiap 6-12 jam terutama seteleh dosis
ts (maksimu jam pertama
m 0,25

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 113
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERTENSI PADA ANAK


mg)
0,025-0,1
mg/kg/kali,
tiap 8-12
jam
Diuretik Hidroklo 1-1,5 4 mg/kg/hari 50 mg Harus dimonitor
rotiazid mg/kg/kali, tiap 12-24 kadar elektrolit secara
tiap 12-24 jam periodik Berguna
jam sebagai terapi
Furosem 0,5-1 12 240 mg tambahan pada
id mg/kg/kali, mg/kg/hari tiap 4-6 jam, penyakit ginjal
tiap 6-24 maksimal 2 Hiperkalemia berat,
jam g/kali terutama bila
Spironol 1 3,3 100 mg/hari dikombinasi dengan
akton mg/kg/hari mg/kg/hari, ACE-I atau ARB
, tiap 6-12
tiap 12-24 jam
jam

 Cara penurunan dosis obat anti hipertensi (Step-Down Therapy)


Penurunan obat antihipertensi secara bertahap perlu dilakukan pada anak, setelah tekanan darah terkontrol dalam batas
normal untuk suatu periode waktu. Petunjuk untuk langkah penurunan dosis obat-obat antihipertensi pada anak dan rernaja
seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Petunjuk untuk step-down therapy pada bayi, anak atau remaja Bayi

Kenaikan tekanan darah terkontrol untuk 1 bulan.


Dosis obat tidak ditingkatkan dan bayi terus tumbuh.
Bila tekanan darah tetap konstan dan terkontrol, dosis obat diturunkan setiap minggu dan berangsur-angsur
dihentikan.

Anak / Remaja
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah dengan
interval waktu 6-8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi.
Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila
memungkinkan berangsur-angsur dihentikan.

II. Bedah
 Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
 Restriksi cairan.
 Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam,
olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
 Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
 Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat dibutuhkan pada
setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
Nefrologi Anak. E di s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 114
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERTENSI PADA ANAK


4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry: factors
common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry: technique
of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor.
Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor. Clinical
Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE,
editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1639- 47.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An
Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in children and
adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda, Maryland.
Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 227-39.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 115
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg yang
meliputi:
 Hipertensi urgensi: peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan organ target dengan gejala klinis (sakit kepala,
mual, pandangan kabur)
 Hipertensi emergensi: peningkatan tekanan darah dengan kerusakan organ target (otak, jantung, mata, ginjal) dan gejala
klinis
2. Anamnesis  Pada krisis hipertensi dapat timbul ensefalopati hipertensif, hemiplegi, gangguan penglihatan dan pendengaran, parese
nervus fasialis, penurunan kesadaran, bahkan sampai koma. Dekompensasi kordis dengan edema paru yang ditandai
dengan gejala oleh gejala edema, dispnea, sianosis, takikardi, ronki, kardiomegali, suara bising jantung, dan
hepatomegali.
 Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya efedrin).
Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik  Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran dapat menurun
sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat ditemukan bunyi murmur dan
bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
 Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil atau
penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
4. Kriteria Diagnosis  Peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg
 Dengan atau tanpa kerusakan target organ (otak, jantung, mata, ginjal)
5. Diagnosis Krisis Hipertensi
6. Diagnosis Banding 1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik, lupus
eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schӧnlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG, IgM, IgA, C3,
ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif, penyempitan
pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula disebabkan oleh
hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.

7. Pemeriksaan 1. Funduskopi: kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol
Penunjang retina.
2. Foto toraks: pembesaran jantung dengan edema paru.
3. EKG: kadang-kadang ditemukan pembesaran ventrikel kiri.
4. CT-scan kepala: kadang-kadang ditemukan atrofi otak. Bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa gejala sisa.
5. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer seperti pada protokol Hipertensi pada Anak.

8. Terapi  Pada krisis hipertensi, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap dalam waktu 24 jam, dengan penurunan awal
sebesar 25% dalam 8 jam pertama.
 Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.

I. Medikamentosa
 Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut:

Obat Cara Dosis awal Respo Lamany Efek samping/


pemberian n awal a Komentar
respon
Nifedipin Oral atau 0,25-0,5 mg/kg, Hanya pada
sublingual tiap 30 menit, penderita yang
maks. 20 mg sadar baik
Diazoksid Intravena 1-3 mg/kg bolus, 15 4-24 jam Nausea,
cepat kemudian menit hiperglikemia,
(1-2 menit) 2-5 mg/kg/kali tiap retensi natrium,
6 jam, maks.150 takikardia,
mg hipotensi bila
bersama anti-
hipertensi lain,
gangguan
gastrointestinal,
hiperurisemia,
trombositopenia
Natrium Pompa infus 0,25-8 2 1-10 Membutuhkan
nitroprusid kontinyu mcg/kg/menit, menit menit pengawasan terus
naikkan 25% tiap menerus, risiko
5-10 menit, maks. keracunan
konsentrasi final = tiosianat

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 116
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK


200 mcg/ml (terutama pada
(bila tidak gangguan ginjal
membaik dengan dan hati).
dosis maksimal Kontraindikasi:
>10 menit:stop koarktasio aorta,
karena toksik) tekanan
intrakranial
meningkat,
perdarahan
intrakranial.
Furosemid Intravena 1-5 mg/kg/kali, 2-5 2 jam Hiponatremia,
tiap 6 jam, menit hipokalemia
maks.240 mg
Pompa infus 0,1-1 mg/kg/jam
kontinyu
Klonidin Intravena, 0,002 mg/kg/kali, IV: 5 Beberap Mengantuk,
intramuskular ulangi tiap 4-6 menit a jam mulut kering,
jam, dosis bisa IM: rebound
dinaikkan 3x lipat lebih hypertension
lama
Gliseril Pompa infus 1-10 menit menit Bradikardia,
trinitrit kontinyu mcg/kg/menit, takikardia, sakit
maks. 400 kepala, muntah,
mcg/menit methemoglobine
mia Keuntungan:
awitan dan
hilangnya efek
cepat, mengurangi
spasme koroner,
afterload dan
preload

Nikardipin Pompa infus 1-3 mcg/kg/menit, 1-2 2-4 jam Peningkatan


kontinyu maks. 250 jam tekanan
mcg/menit intracranial,
reflex
tachycardia,
flushing, sakit
kepala,
hipotensi,
edema perifer,
gangguan
gastrointestinal

II. Bedah
 Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.

III. Suportif
 Restriksi cairan.
 Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam,
olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)


 Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
 Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat dibutuhkan pada
setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 117
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KRISIS HIPERTENSI PADA ANAK

14. Indikator Medis 80% penderita krisis hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
Nefrologi Anak. E di s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry: factors
common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry: technique
of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editor.
Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor. Clinical
Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE,
editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1639- 47.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An
Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in children and
adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda, Maryland.
Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 227-39.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 118
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

TERAPI METILPREDNISOLON PULS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan pemberian terapi metil-prednisolon secara puls untuk anak.
2. Indikasi  Gangguan imunitas tubuh
 Terapi anti-penolakan untuk allograft rejection.
3. Persiapan  Skrining terhadap infeksi:
o Infeksi Virus Varisela-zoster (VZV)
 Periksa riwayat terakhir infeksi virus varisela-zoster atau imunisasi VZV
 Konfirmasi kekebalan pasien terhadap varisela-zoster (titer IgG-VZV)
 Periksa jika pasien baru terpapar (dalam 3 minggu sesudah kontak) terhadap VZV. Jika ragu, periksa
titer IgM-VZV.
o Infeksi lain
 Pastikan pasien tidak mengalami infeksi dalam 2 minggu terakhir.
 Memastikan tekanan darah dalam batas normal sebelum memulai pemberian metilprednisolon puls.
 Pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum pemberian puls.
4. Prosedur pelaksanaan  Hentikan prednison per oral.
 Dosis metilprednisolon intravena: 10-30 mg/kg/tiap hari atau alternating berdasarkan protokol (dosis tunggal
maksimal 1 g/hari)
 Berikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB (tergantung fungsi ginjal) sebelum pemberian infus metilprednisolon
puls.
 Larutkan metilprednisolon sesuai kebutuhan dalam 20 ml cairan Dekstrosa 5% atau Dektrosa 5% 0,45% salin.
 Berikan metilprednisolon secara infus selama 30-60 menit.
 Dosis kurang dari 250 mg dapat diberikan secara bolus pelan.
 Efek samping pemberian secara bolus dosis besar meliputi aritmia jantung, pembuluh darah kolaps atau henti
jantung (mengandung benzil alkohol).
 Monitor tanda vital meliputi denyut nadi, laju nafas, tekanan darah tiap 15 menit selama pemberian secara infus;
dilanjutkan tiap jam selama 4 jam pertama (post infus); lalu setiap 4 jam selama 24 jam.

5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad


sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
9. Indikator Medis 90% penderita yang mendapatkan terapi metilprednisolon puls tidak didapatkan komplikasi
10. Kepustakaan 1. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 186.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 119
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang
Lebong
2022 – 2023

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan inflamasi multisystem dan adanya circulating
autoantibodies terhadap self-antigens dengan keterlibatan ginjal yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria
International Society of Nephrology/Renal Pathology Society menjadi 6 kelas melalui biopsi
ginjal.
2. Anamnesis  Gejala sistemik: ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, nyeri sendi, nyeri pleuritik, bengkak, kencing
berbusa atau berwarna seperti teh, kejang, psikosis, pucat.
3. Pemeriksaan Fisik  Dilakukan pemeriksaan organ sistemik dan pengukuran tekanan darah.
4. Kriteria Diagnosis  Adanya 4 dari 11 kriteria dari American College of Rheumatology 1997:
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus oral
5. Artritis
6. Pleuritis atau perikarditis
7. Gangguan ginjal (harus ada) berupa proteinuria persisten atau torak seluler
8. Gangguan neurologi
9. Gangguan hematologi
10. Gangguan imunologi
11. Antinuclear antibody (ANA) positif
5. Diagnosis Nefritis Lupus
6. Diagnosis Banding 1. Drug-induced lupus
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Diagnostik: komplemen C3 dan C4, anti-dsDNA, ANA, lupus anticoagulant, IgG dan IgM anti-
cardiolipin, IgG dan IgM anti-beta 2 glikoprotein, anti-ENA (bila memungkinkan) yaitu anti-Ro, anti-La,
anti-Sm, anti-RNP, anti-SCL70, anti-Jo1.
2. Keterlibatan organ sistemik: darah lengkap, retikulosit, hapusan darah tepi, direct Coomb’s test,
laju endap darah, CRP, sedimen urine, protein urine, BUN, kreatinin, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, fosfat, klorida), bikarbonat, asam urat, alkali fosfatase, albumin, SGOT, SGPT, bilirubin, kolesterol
total, HDL, LDL, trigliserida, foto toraks, ekokardiografi.
8. Terapi I. Terapi imunosupresan berupa kortikosteroid dan cortisteroid sparing agents
 Steroid perlu dikombinasi dengan sparring agents (mycophenolate mofetil atau MMF, calcineurin
inhibitor atau CNI, cyclophosphamide atau CPA) untuk meminimalkan efek samping steroid jangka
panjang. Kombinasi yang disarankan adalah:
- Steroid + MMF ± CNI
- Steroid + CPA

 Fase induksi selama 6 bulan:


 Metilprednisolon puls intravena tiap 2-4 minggu dengan dosis 10-30 mg/kg/hari (maksimal 1 gram)
selama 3 hari sebanyak 6 siklus.
 Predniso(lo)n oral dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/kg/hari (maksimal 30 mg) tiap hari, dan diturunkan
bertahap 5 mg/hari dalam waktu 1 bulan sesudah pemberian metilprednisolon puls dan tergantung
aktivitas penyakit. Penurunan dosis predniso(lo)n oral dilakukan selama 6-12 bulan dan dapat diubah
menjadi dosis selang sehari jika proteinuria turun hingga <0,3 mg/hari/1,73 m2 dan kadar C3, C4
serum normal sampai dosis minimal yang dapat mengendalikan aktivitas penyakit.
Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral:
Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg
(catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet 4 mg,
8 mg dan 16 mg)
 MMF oral dimulai bersamaan metilprednisolon puls dengan dosis 600 mg/m 2/dosis tiap 12 jam (15-23
mg/kg/dosis tiap 12 jam). Dosis maksimal 1 g tiap 12 jam.
Cek darah lengkap tiap bulan.
Bila absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
 Tunda pemberian MMF
 Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L. Cek
kadar mycophenolate jika perlu (target 2-4 mg/L)
Efek samping :
 Netropenia (khususnya dalam 1-6 bulan terapi), anemia, trombositopenia (jarang)
 Gastritis, ulkus peptik, kolik abdomen, diare, perdarahan dan perforasi gastrointestinal:
o Mulai berikan ranitidin profilaksis 3 mg/kg/dosis tiap malam (maksimal 150 mg) atau
omeprazole 1 mg/kg/dosis tiap malam atau 2 kali sehari (maksimal 120 mg, 3 kali sehari).
o Pertimbangkan pengubahan terapi ke Myfortic jika terdapat efek samping

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 120
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


gastrointestinal.
Ekivalensi dengan Myfortic:
Myfortic 180 mg=MMF 250 mg Myfortic
360 mg = MMF 500 mg.
 CNI terdiri dari Cyclosporin A(CsA) dan tacrolimus (Tac)
Tambahkan CsA oral jika terdapat proteinuria persisten >1 g/hari/1.73 m2 setelah 3 bulan terapi, dengan
kreatinin serum normal
Dosis :
 CsA: 3-6 mg/kg/hari (dosis tiap 12 jam) untuk mencapai kadar CsA darah 150-200 µg/L
 Tac: 0.2 mg/kg/hari (dosis tiap 12 jam) untuk mencapai kadar Tac darah 8-10 µg/L Gunakan diltiazem 15-
30 mg tiap 8-12 jam untuk meningkatkan kadar CNI, naikkan 15 mg/dosis hingga maksimal 60 mg tiap 8-12
jam.
Monitor:
- Kadar CNI tiap 4-6 minggu setelah kadar yang diinginkan tercapai
- Kadar kreatinin serum tiap 4-6 minggu, dan jika meningkat 25%, turunkan dosis CNI 20% untuk melihat
apakah terjadi nefrotoksik akibat CNI
- Kadar gula darah tiap 4-6 minggu, lalu tiap 3 bulan jika memakai Tac
- Kadar HbA1c tiap 6 bulan jika memakai Tac. Efek samping
yang umum didapatkan:
- Nefrotoksik
- Gejala neurologis (tremor, nyeri kepala)
- Hirsutisme dan hipertrofi gusi (CsA)
- Intoleransi glukosa dan diabetes melitus (Tac). Interaksi obat
yang penting diperhatikan:
- Antibiotika jenis makrolid meningkatkan kadar CNI
- Inhibitor HMG CoA reduktase (statin)
 Pemakaian bersamaan dapat menyebabkan rabdomiolisis, mialgia dan kelemahan otot (khususnya pada
pemakaian simvastatin)
 Monitor kadar kreatinin kinase atau aldolase tiap 4-6 minggu, lalu tiap 3 bulan jika pasien memakai
statin.
CNI dilanjutkan selama 3-6 bulan dan dihentikan saat remisi lengkap dicapai.

 CPA puls 500-1000 mg/m2 diberikan tiap 4 minggu sebanyak 6 siklus. Periksa darah
lengkap:
 Pada hari ke-7, 10, 14 sesudah puls untuk melihat titik nadir leukosit darah
 Berkala tiap bulan.
Bila leukosit darah <4,0x109/L atau absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
 Tunda pemberian CPA
 Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x109/L
 Turunkan dosis sebesar 20% pada pemberian selanjutnya.

 Fase rumatan:
 Predniso(lo)n oral diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap mempertahankan kondisi
remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
 MMF oral di diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap mempertahankan kondisi remisi,
dan sebaiknya tidak dihentikan
 CsA dan Tac diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis mencapai remisi, kemudian dapat dipertimbangkan
untuk dihentikan
 CPA puls diberikan setiap 3 bulan selama 24 bulan (total masa pengobatan adalah 30 bulan), kemudian
dihentikan.

II. Terapi suportif


 Klorokuin difosfat (Resochin) 3 mg/kg/hari
o skrining oftalmologi tiap 6 bulan untuk retinopati yang diinduksi klorokuin (gangguan penglihatan warna,
gangguan visus, pandangan kabur,fotofobia, skotoma, pigmentary retinopathy reversibel)
 Anti-proteinuria:
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
 Anti-hipertensi:
o Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
o Nifedipin 0,25-1 mg/kg/dosis
o Kaptopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
o Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (tiap 12 jam)
 Anti-kolesterol:

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 121
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


o Lovastatin 0,4-0,8 mg/kg/dosis (tiap 12-24 jam)
 Anti-sindroma antifosfolipid:
o Aspirin 5 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
o Rivaroxaban (Xarelto) 10 mg/hari
o Warfarin (sesuai International Normalized Ratio/INR) Loading
dose :
Hari 1: 0,2 mg/kg ( dosis maksimal 10 mg)
Hari 2-4 :jika INR = 1,1-1,3,ulang loading dose awal Jika INR=
1,4-1,9, berikan 50% loading dose awal Jika INR = 2-3, berikan
50% loading dose awal
Jika INR = 3,1-3,5, berikan 25% loading dose awal
Jika INR >3,5, tunda warfarin dan periksa INR tiap hari hingga INR <3,5, lalu restart dengan memberikan
50% dosis sebelumnya
Dosis rumatan (hari ke-5 dan selanjutnya):
Jika INR =1,1-1,4, naikkan dosis 20 % dari dosis sebelumnya Jika INR =1,5-
1,9, naikkan dosis 10 % dari dosis sebelumnya Jika INR = 2-3, dosis tetap
Jika INR =3,1-3,5, turunkan dosis 10 % dari dosis sebelumnya
Jika INR >3,tunda warfarin dan cek warfarin hingga INR <3,5, lalu restart dengan memberikan 50 % dosis
sebelumnya
Jika terdapat kesulitan dalam mempertahankan INR selama terapi, pasien dapat diterapi dengan low molecular
weight (LMW) heparin, atau warfarin dosis lebih rendah ditambah aspirin.

 Hindari obat anti-inflamasi non-steroid

III.Plasmaferesis
 Indikasi : trombosis mikroangiopati.
 Dosis : 5-10 siklus, tergantung respon yang tampak pada remisi microangiopathic hemolytic anemia (MAHA),
aktivitas lupus nefritis, dan perbaikan fungsi ginjal.
 Dilakukan bersamaan dengan protokol imunosupresif yang dipilih.

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)


 Rujukan ke Bagian Mata untuk monitor efek samping obat dan komplikasi hipertensi jangka panjang.

9. Edukasi 1. Pentingnya kepatuhan dalam pengobatan jangka panjang.


2. Pentingnya memonitor kondisi klinis dan efek samping obat secara berkala dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita nefritis lupus anak akan remisi setelah 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Alatas H. Nefritis lupus. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar Nefrologi
Anak. E dis i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:366-80.
2. Alatas H. Nefritis lupus pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H,
Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2011:118-23.
3. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, Fitzgerald JD, et al. American College of
Rheumatology guidelines for screening, treatment and management of lupus nephritis. Arthritis Care Res 2012;
64:797-808.
4. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic
lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997; 40:1725.
5. Hong X, Wong SN. Lupus nephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric Nephrology-An Update
of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 146- 54.
6. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO Clinical Practice
Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2.
7. Niaudet P, Salomon R. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 122
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

NEFRITIS LUPUS PADA ANAK


2009:1127-53.
8. Pan CG, Avner ED. Glomerulonephritis associated with systemic lupus erythematosus. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1788-9.
9. Sng A, Lau PYW, Liu DI, Yap HK. Management of lupus nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 136-53.
10. Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam: Srivastava RN,
Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 123
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PENCEGAHAN NEFROPATI KONTRAS PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan dimana didapatkan gangguan fungsi ginjal dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) sebesar
≥25% dari harga dasar (baseline) dalam waktu 3 hari sesudah pemberian media kontras secara intravaskular tanpa
penyebab lain. Biasanya peningkatan kreatinin serum mencapai puncak dalam 3-5 hari sesudah pemberian media
kontras dan akan kembali ke baseline dalam waktu
1-3 minggu.
2. Faktor Risiko  Faktor pasien:
o Penyakit ginjal kronik (PGK)
o Nefropati diabetik
o Hipovolemia
o Hipotensi
o Anemia
o Curah jantung menurun
o Penggunaan obat-obatan nefrotoksik
 Faktor teknis prosedural:
o Dosis media kontras
 Injeksi kontras multipel dalam 72 jam
 Volume media kontras
o Rute media kontras
 Intraarterial
o Jenis media kontras
 Osmolalitas
 Viskositas
3. Indikasi Pasien yang akan menjalani prosedur pemeriksaan dan/atau intervensi radiologis dengan kontras, dengan kondisi
klinis:
 LFG <60 ml/menit/1,73 m2
 Gangguan ginjal yang mendapatkan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dalam 24 jam sebelum/sesudah
prosedur
 Hipovolemia yang berisiko mengalami nekrosis tubular akut
4. Tindakan Pencegahan 1. Gunakan metode pemeriksaan alternatif yang tidak memerlukan media kontras
2. Gunakan dosis media kontras yang lebih rendah
3. Hindari pelaksanaan prosedur berulang dalam waktu berdekatan antara 48-72 jam (minimal interval ideal
adalah 2 minggu)
4. Hindari hipovolemia
5. Hentikan penggunaan obat-obatan nefrotoksik (seperti OAINS, diuretika, aminoglikosida) minimal 24 jam
sebelum pemberian media kontras
6. Pemberian hidrasi:
 Normal salin 0,9% dengan kecepatan 1 ml/kg/jam yang dimulai 12 jam sebelum prosedur dan
diteruskan sampai 12 jam sesudah prosedur (total waktu pemberian 24 jam)
 Natrium bikarbonat 8,4% dengan kecepatan 3 ml/kg/jam selama 1 jam sebelum prosedur, dilanjutkan
dengan 1 ml/kg/jam selama 6 jam sesudah prosedur
 N-acetylcysteine oral:
o 1 bulan-2 tahun: 400 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan
o >2 tahun: 600 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan
7. Monitor fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit serum (natrium, kalium, klorida) dan bikarbonat:
 Baseline sebelum prosedur
 Sesudah prosedur: 2 jam, 24 jam, 48 jam
8. Monitor produksi urine sebelum dan sesudah prosedur.
5. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua.
Bila didapatkan peningkatan serum kreatinin yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal.
Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 3 bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat,
pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan dan bila perlu
dapat dilakukan dialisis.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat komplikasi
yang menimbulkan sekuele.

6. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad


sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
7. Tingkat Evidens I/II/III/IV
8. Tingkat Rekomendasi A/B/C
9. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 124
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang
Lebong
2022 - 2023

PENCEGAHAN NEFROPATI KONTRAS PADA ANAK

10. Indikator Medis 80% penderita nefropati kontras akan membaik dalam waktu 2 minggu perawatan
11. Kepustakaan 1. ACT investigators. Acetylcysteine for prevention of renal outcomes in patients undergoing coronary and peripheral
vascular angiography: main results from the randomized Acetylcysteine for Contrast-Induced Nephropathy Trial
(ACT). Circulation 2011; August 22 [Epub ahead of print].
2. Marenzi G, Assanelli E, Marana I, Lauri G, Campodonico J, Grazi M, et al. N- Acetylcysteine and contrast-induced
nephropathy in primary angioplasty. N Engl J Med 2006; 354:2773- 82.
3. Solomon R. The role of osmolality in the incidence of contrast-induced nephropathy: a systematic review of
angiographic contrast media in high risk patients. Kidney Int 2005; 68:2556-63.
4. Stacul F, van der Molen AJ, Reimer P, Webb JAW, Thomsen HS, Morcos SK, et al. Contrast induced
nephropathy: updated ESUR Contrast Media Safety Committee guidelines. Eur Radiol 2011; August 25 [Epub
ahead of print].
5. Yap HK, Resontoc LPR. Preventing contrast nephropathy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric
Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 14-7.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 125
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ANEMIA RENAL PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan dimana didapatkan penurunan jumlah sel darah merah akibat penyakit ginjal kronik (PGK)
dengan sebab multifaktorial, terutama defisiensi eritropoeitin.
2. Anamnesis  Pucat
 Lemah atau malaise, mudah lelah
 Nyeri seluruh tubuh (mialgia)
 Gejala ortostatik
 Sinkop
 Nyeri dada, jantung berdebar
 Gangguan tidur, sulit konsentrasi
 Nafsu makan menurun
 Riwayat PGK
3. Pemeriksaan Fisik  Konjungtiva anemis
 Hipotensi ortostatik, takiaritmia
 Takipnea
 Hepatosplenomegali
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis anemia
2. Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia:
 Pada anak <1 tahun bila kadar Hb kurang dari -2SD sesuai umur, yaitu:
o Lahir: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD)
o 1-3 hari: Hb 18,5 g/dl (rerata); Hb 14,5 g/dl (-2SD)
o 1 minggu: Hb 17,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD)
o 2 minggu: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 12,5 g/dl (-2SD)
o 1 bulan: Hb 14,0 g/dl (rerata); Hb 10,0 g/dl (-2SD)
o 2 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,0 g/dl (-2SD)
o 3-6 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,5 g/dl (-2SD)
o 6-24 bulan: Hb 12,0 g/dl (rerata); Hb 10,5 g/dl (-2SD)
 Pada anak >1 tahun bila Hb kurang dari persentil ke-5 sesuai umur dan jenis kelamin, yaitu:
o 1-2 tahun: Hb 10,7 g/dl (laki-laki); Hb 10,8 g/dl (perempuan)
o 3-5 tahun: Hb 11,2 g/dl (laki-laki); Hb 11,1 g/dl (perempuan)
o 6-8 tahun: Hb 11,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan)
o 9-11 tahun: Hb 12,0 g/dl (laki-laki); Hb 11,9 g/dl (perempuan)
o 12-14 tahun: Hb 12,4 g/dl (laki-laki); Hb 11,7 g/dl (perempuan)
o 15-19 tahun: Hb 13,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan)
3. PGK
5. Diagnosis Anemia Renal
6. Diagnosis Banding 1. Anemia aplastik
2. Sirosis hati
3. Gangguan endokrin (hipertiroid, hipotiroid, hipoadrenal, hiperparatiroid).
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan darah tepi: indeks sel darah merah, hapusan darah tepi, hitung retikulosit
 Pemeriksaan darah: panel besi (serum iron, ferritin, transferrin saturation, total iron-binding capacity (TIBC),
iron saturation), kadar vitamin B12 dan asam folat, fungsi hati (bilirubin, SGOT, SGPT), TSH, fungsi ginjal (BUN,
kreatinin), elektrolit dan bikarbonat
 Biopsi sumsum tulang
 Pemeriksaan radiologik didapatkan tanda bendungan pembuluh darah paru, dan kardiomegali
8. Terapi Pertimbangkan untuk mulai terapi bila Hb <11 g/dl.
Target terapi:
 Hb 11-12 g/dl
 Hct 33%.
1. Medikamentosa
 rhEPO-alfa intravena (Eprex® atau Hemapo®)
o direkomendasikan untuk pasien dengan hemodialisis
o dosis awal: 50-75 U/kg 3x/minggu, periksa Hb/Hct tiap 1-2 minggu hingga target Hb/Hct tercapai. Dosis
dinaikkan hingga mencapai dosis maksimal 240 U/kg/dosis 3x/minggu
o dosis rumatan: 100-300 U/kg/minggu
o monitor tekanan darah untuk melihat perburukan hipertensi yang memerlukan terapi.
 rhEPO-beta subcutan (Recormon®)
o direkomendasikan pada pasien pra-dialisis dan dengan dialisis peritoneal
o gunakan untuk pemberian secara subkutan bila terjadi aplasia sel darah merah murni pada pemakaian
rhEPO-alfa
o dosis: 75-150 U/kg/minggu. Dosis dinaikkan 25-50 U/kg/minggu tiap bulan hingga mencapai dosis
maksimal 240 U/kg/minggu. Target Hb/Hct seharusnya dapat dicapai dalam waktu 3 bulan.
 Darbepoietin-alfa (Aranesp®)
o merupakan recombinant erythropoiesis stimulating protein terbaru (analog dengan rhEPO) dengan 2
rantai oligosakarida tambahan, yang memberikan efek lebih lama, sehingga membutuhkan frekuensi
pemakaian lebih sedikit dibandingkan rhEPO
o diberikan secara subkutan atau intravena pada anak usia 7-16 tahun, dengan waktu paruh 21

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 126
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ANEMIA RENAL PADA ANAK


jam (12-25 jam) bila diberikan intravena dan 33 jam (16-44 jam) bila diberikan subkutan. Bioavailabilitas
pemberian subkutan 52%(32-70%)
o dosis awal: 0,45 mcg/kg/minggu subkutan atau intravena (diperkirakan setara dengan rhEPO 100
U/kg/minggu). Oleh karena Aranesp tersedia dalam prefilled syringe (Singapur) berisi 20 dan 40 mcg,
dan akurasi dosis dipertanyakan bila sebagian isinya terbuang, maka penting untuk menyesuaikan
interval dosis sehingga lebih tepat bagi pasien dengan ukuran tubuh berbeda (tabel 1)

o Pengurangan dosis darbepoetin-alfa secara bertahap


 periksa darah lengkap tiap 2-4 minggu
 jika Hb tidak naik minimal 1 g/dL dalam 4 minggu dan cadangan besi adekuat, dosis darbepoetin-alfa
dapat dinaikkan 25%. Peningkatan selanjutnya dilakukan dengan interval 4 minggu hingga respon
yang diinginkan tercapai
 jika Hb meningkat >2,5 g/dL dalam 4 minggu, dosis darbepoetin-alfa diturunkan 25-50%
tergantung kecepatan peningkatan Hb
 jika Hb >14 g/dL, hentikan darbepoetin-alfa hingga Hb <13 g/dL, lalu kembali berikan
darbepoetin-alfa dengan dosis 25% lebih rendah dari dosis sebelumnya
 perubahan dosis pada fase rumatan dilakukan dengan interval minimal tiap 2 minggu
 jumlah maksimal darbepoetin-alfa yang aman diberikan dalam dosis tunggal atau ganda belum dapat
ditentukan. Dosis >3 mcg/kg/minggu selama lebih dari 28 minggu telah diberikan pada pasien
dengan PGK tanpa efek toksik darbepoetin-alfa sendiri.
 Methoxy poliethylene glycol-epoetin beta (Mircera®)
o continuous erythropoetin receptor activator (CERA) adalah nama generik kelas obat baru dari
generasi ketiga erythropoietic-stimulating agents (ESAs)
o Mircera®, salah satu CERAs yang tersedia di pasaran, secara struktur sama dengan EPOs sintetik yang
sudah ada namun Mircera® terkoneksi dengan polyethylene glycol (PEG) sehingga waktu paruh lebih
lama (6x lebih lama daripada darbepoetin-alfa dan 20x lebih lama daripada epoietin)
o pada pasien PGK, polyethylene glycol-epoetin beta bila diberikan secara intravena, waktu paruhnya 134
jam (5,6 hari) dan klirens sistemik total 0,494 mL/jam/kg. Bila diberikan secara subkutan, waktu
paruhnya 139 jam (5,8 hari)
o penyesuaian dosis awal:
 dosis awal 0,6 mcg/kg diberikan tiap 2 minggu secara intravena atau subkutan untuk
meningkatkan Hb >11 g/dL
 jika kadar Hb ≥11 g/dL tercapai, Mircera® dilanjutkan tiap bulan dengan dosis sebesar 2 kali dosis
sebelumnya yang diberikan tiap 2 minggu
 jika laju peningkatan Hb <1 g/dL selama lebih dari 1 bulan, dosis dapat ditingkatkan 25% dari dosis
sebelumnya
 peningkatan selanjutnya sebesar 25% dapat dilakukan dalam interval 1 bulan hingga target Hb tercapai
 Mircera® tersedia dalam bentuk prefilled syringes berisi 30, 40, 50, 75, 100, 150, 200, 250 mcg
methoxy polyethylene glycol-epoetin beta dalam 0,3 ml larutan
o titrasi dosis secara bertahap:
 monitor darah lengkap tiap bulan
 perlu monitor kadar Hb dan kepatuhan pada penyesuaian dosis karena belum banyak
pengalaman pada pasien dengan peritoneal dialisis
 jika laju kenaikan Hb >2 g/dL dalam 1 bulan atau kadar Hb meningkat dan mencapai 12 g/dL,
dosis diturunkan 25%
 jika kadar Hb terus meningkat, terapi dihentikan hingga kadar Hb mulai turun, dan terapi dimulai
lagi dengan penurunan dosis 25% dari dosis sebelumnya
 setelah dosis dihentikan, diharapkan Hb turun sebesar 0,35 g/dL tiap minggu
 sebaiknya penyesuaian dosis dilakukan dengan interval minimal tiap 1 bulan
 Pemberian hematinik:
o Suplemen besi
o Asam folat 50 mcg (neonatus), 0,1-0,25 mg (usia <4 tahun), 0,5-1,0 mg (usia >4 tahun)

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 127
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ANEMIA RENAL PADA ANAK


oral/subkutan/ intravena/intramuskular
o Vitamin B12 20 mcg/kg
2. Suportif
 Pemberian nutrisi yang adekuat
 Koreksi hiperparatiroid sekunder
 Hindari toksisitas aluminium
 Atasi infeksi atau inflamasi kronis
 Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang
terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Bila
didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan
biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap komplikasi
yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat, pemantauan
tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat komplikasi yang
menimbulkan sekuele.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 50% penderita anemia renal akan membaik dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Cano F, Alarcon C, Azocar M, Lizama C, Lillo AM, Delucchi A, et al. Continuous EPO receptor activator
therapy of anemia in children under peritoneal dialysis. Pediatr Nephrol 2011; 26:1303-10.
2. Lerner NB. Anemia of chronic disease and renal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2011:1653.
3. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. III. Clinical practice
recommendations for anemia in chronic kidney disease in children. Am J Kidney Dis 2006; 47(Suppl 3): S86-
109.
4. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. 2007 update of hemoglobin target. Am J
Kidney Dis 2007; 50:471-530.
5. Sekarwana N. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar N efrologi Anak. E dis i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:509-30.
6. Srivastava RN, Bagga A. Chronic renal failure. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 315-29.
7. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of chronic kidney disease. Dalam: Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1661-92.
8. Yap HK. Anemia, renal osteodystrophy, growth failure in chronic renal failure. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 253-61.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Lau PYW. Renal anemia. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 32-40.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19880218 201408 2 001
dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ
NIP. 19750601 200903 1 004
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001
Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 128
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TERAPI SIKLOFOSFAMID PULS


PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL
1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan pemberian terapi siklofosfamid secara puls pada anak dengan penyakit ginjal.
2. Indikasi  Vaskulitis terkait anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dengan necrotizing
glomerulonephritis atau glomerulonefritis kresentik:
o Induksi dengan metilprednisolon puls intravena 10-30 mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut dan diberikan tiap
bulan selama 6 bulan bersama dengan siklofosfamid intravena 500-1000 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan.
o Predniso(lo)n oral 0,5-1 mg/kg/hari, dosis diturunkan bertahap sesuai respon.
o Fase rumatan: mikofenolat mofetil 600 mg/m2/dosis, diberikan 2 kali sehari selama 6 bulan.

 Nefritis lupus ISN/RPS kelas III dan IV (terapi standar):


o Siklofosfamid puls intravena diberikan tiap bulan selama 6 bulan, lalu tiap 3 bulan selama 2½ tahun.
o Predniso(lo)n oral 0,5 mg/kg/hari, diturunkan bertahap 0,25 mg/kg alternating setelah tercapai remisi.

3. Prosedur pelaksanaan  Periksa berat badan dan tinggi badan, hitung luas permukaan tubuh saat masuk rumah sakit.
 Pastikan pasien tidak ada tanda infeksi atau riwayat kontak dengan varisela zoster.
 Pemeriksaan laboratorium :
o Darah lengkap
o Fungsi ginjal (BUN,kreatinin), elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfat, magnesium), bikarbonat,
asam urat
o Urinalisis.
 Pemberian dosis siklofosfamid puls jika:
o Jumlah lekosit total >4,0x109/L atau
o Absolute neutrophil count >2,5x109/L.
 Leukosit nadir (nilai terendah) terjadi 10-14 hari setelah pemberian puls:
o Pemeriksaan darah lengkap ulang pada hari ke- 7,10 dan 14.
o Jika leukosit nadir <1,0x109/L, turunkan dosis siklofosfamid berikutnya sebanyak 20%.
 Pastikan hidrasi secara adekuat untuk mencegah terjadinya sistitis hemoragik :
o Kebutuhan cairan intravena 0,45% salin sebanyak 2 L/m2/hari.
o Tambahkan 10 ml KCl 7,45% per 500 ml kecuali pasien dengan gagal ginjal atau kalium serum ≥4
mmol/L.
o Berikan furosemid intravena jika pasien mengalami oliguria.
 Monitor:
o Suhu badan, denyut nadi, laju nafas setiap jam dan tekanan darah setiap 4 jam
o Intake/output secara ketat
o Pastikan anak kencing setiap 2 jam saat terbangun dan setiap 3 jam saat tertidur untuk mencegah
terjadinya sistitis hemoragik.
 Mulai siklofosfamid intravena dan diikuti Mesna® setelah 2 jam hidrasi intravena:
o Menit ke-0  Prometazin oral 0,5 mg/kg/dosis (maksimal 25 mg)
o Menit ke-15  Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid (dilarutkan
sebanyak 20 mg/ml dalam Dekstrosa 5%)
o Menit ke-30  Siklofosfamid intravena
Dosis = 500 mg/m2, 750 mg/m2, 1000 mg/m2 (dosis dapat
dinaikkan tiap bulan sampai dosis
optimal tercapai untuk tiap pasien)
Dilarutkan dalam 100-150 ml Dekstrosa 5% atau 0,45% salin
selama 1 jam.
Furosemid intravena 1 mg/kg (maksimal 2 mg/kg).
o Menit ke-90  Mulai kembali cairan intravena pra-siklofosfamid
o Jam ke-4½  Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-8½  Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-12  Timbang berat badan pasien:
Bila BB naik >1 kg : beri furosemid intravena 1 mg/kg
(maksimal 2 mg) Bila
pasien nefrotik berat atau oliguria:
ulangi laboratorium (BUN, kreatinin, natrium, kalium, klorida, magnesium dan bikarbonat)
o Jam ke-12½  Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-16½  Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-24  Periksa pasien. Hentikan hidrasi bila klinis pasien
baik.

4. Efek samping  Supresi sumsum tulang dengan netropenia.


 Alopesia.
 Toksisitas kandung kemih dengan sistitis hemoragik.
 Kegagalan gonad: gagal ovarium pada 13% pasien <20 tahun dan pada 100% pasien >30 tahun.
 Iritasi gastrointestinal: mual, muntah.
 Gangguan elektrolit: hiponatremia, hipomagnesemia.

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 129
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TERAPI SIKLOFOSFAMID PULS


PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL
 Risiko keganasan.
5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam
: dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

9. Indikator Medis 80% penderita yang mendapatkan terapi siklofosfamid puls tidak didapatkan komplikasi
10. Kepustakaan 1. Bosch X, Guilabert A, Espinosa G, Mirapeix E. Treatment of antineutrophil cytoplasmic antibody-associated
vasculitis. JAMA 2007;298:655-69.
2. Lehman TJ, Sherry DD, Wagner-Weiner L, McCurdy DK, Emery HM, Magilavy DB, et al. Intermittent
intravenous cyclophosphamide therapy for lupus nephritis. J Pediatr 1989;114:1055-60.
3. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 190-2.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 130
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid dihentikan

2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)


 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid dihentikan

5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Dependen Steroid


6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit
Penunjang (kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m 2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari
sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m 2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang
sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6
bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran nafas atas
atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang sehari) untuk mencegah
serangan kambuh sindrom nefrotik
 Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168 mg/kg).
Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering dengan
kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.

 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi
berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.

9. Edukasi 1. Gejala klinis


Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan
mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6
minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 131
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK DEPENDEN STEROID PADA ANAK


3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 50% penderita sindrom nefrotik dependen steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines
from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 187-9.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap
HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 132
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kambuh Jarang
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit
(kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari sampai
proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m 2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang
sehari) pada pagi hari minimal selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 4-16 minggu (masa
pengobatan total 3-6 bulan)
 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi
berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula,
rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan
mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang
menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian didapatkan
serangan berulang sering, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad


sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik kambuh jarang akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 109-15.

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 133
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK KAMBUH JARANG PADA ANAK


2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from
KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-
6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap
HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 134
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kambuh Sering
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit
Penunjang (kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m 2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari
sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m 2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang
sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6
bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran nafas atas
atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang sehari) untuk mencegah
serangan kambuh sindrom nefrotik
 Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168 mg/kg).
Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas.

 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi
berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.

9. Edukasi 1. Gejala klinis


Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan
mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6
minggu selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 135
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK KAMBUH SERING PADA ANAK


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 50% penderita sindrom nefrotik kambuh sering akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines
from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National
University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 136
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK KONGENITAL DAN INFANTIL


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang terjadi sejak lahir (kongenital) atau pada usia 4 bulan sampai 1 tahun (infantil)
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Usia: sejak lahir (kongenital), 4-12 bulan (infantil)
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Kongenital atau Infantil
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit
(kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP dan lateral kanan
 Workup TB: uji tuberkulin, BTA lambung
8. Terapi  Kontrol edema: transfusi albumin 20% 3-4 g/kg/hari selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai sampai tercapat target kadar albumin serum 1,5 g/dl.
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula,
rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.

9. Edukasi 1. Gejala klinis


Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan
mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang
menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian didapatkan
serangan berulang, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2. Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3. Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4. Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik kongenital atau infantil akan memburuk dalam 1 bulan setelah terdiagnosis bila
tidak mendapatkan transfusi albumin yang adekuat
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005:
109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from
KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 137
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK KONGENITAL DAN INFANTIL


2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-
6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National
University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 138
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit
(kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari sampai
proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m 2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang
sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa pengobatan total 4-6
bulan)
 Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila
menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila
menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 4 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering dengan
kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.
 Bila tetap mengalami serangan:
o Metilprednisolon intravena 30 mg/kg (maksimal 1 gram) atau deksametason intravena 5 mg/kg (maksimal 150
mg), diberikan selang sehari sebanyak 6 dosis; bergantian dengan predniso(lo)n oral 2 mg/kg/hari secara selang
sehari.
 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi
berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah gula,
rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan
mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu
selama 6 bulan.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 139
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID PADA ANAK


11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 30% penderita sindrom nefrotik resisten steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005:
109-15.
2. Hari P, Bagga A, Mantan M. Short term efficacy of intravenous dexamethasone and methylprednisolone
therapy in steroid resistant nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2004; 41:993– 1000.
3. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines from
KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
4. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702.
5. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:72-90.
6. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1804-
6.
7. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
8. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku Ajar
N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426.
9. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 187-9.
10. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap
HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 140
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK


1. Pengertian (Definisi) Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia.
2. Anamnesis  Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Oliguria
 Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
 Nafsu makan menurun
 Diare
 Nyeri perut
 Atopi
 Riwayat keluarga sindrom nefrotik
3. Pemeriksaan Fisik  Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
 Gejala akut abdomen pada peritonitis
4. Kriteria Diagnosis 1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Diagnosis Sindrom Nefrotik
6. Diagnosis Banding 1. Gagal jantung
2. Kwashiorkor
7. Pemeriksaan  Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit
Penunjang (kalium, natrium, klorida, kalsium)
 Pemeriksaan urine: urinalisis dan sedimen urine, protein urine 24 jam
 Foto toraks AP dan lateral kanan
 Workup TB: uji tuberkulin, BTA lambung
8. Terapi  Predniso(lo)n:
o Diberikan setelah workup TB selesai supaya tidak mempengaruhi hasil uji tuberkulin. Bila terinfeksi TB,
maka obat anti-tuberkulosis (OAT) diberikan bersamaan dengan predniso(lo)n
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m 2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari
selama 4-6 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m 2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate (selang
sehari) pada pagi hari selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 4-16 minggu (masa
pengobatan total 3-6 bulan)
 Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat transfusi
berlangsung dan sesudah transfusi selesai
 Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
 Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua dan
mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia
yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu
selama 6 bulan pertama.
2. Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian didapatkan
serangan berulang, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan lainnya.
3. Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 109-15.

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 141
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROM NEFROTIK SERANGAN PERTAMA PADA ANAK


2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new guidelines
from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III
JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar N efrologi Anak. Ed i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome. Dalam: Yap
HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 142
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ASFIKSIA NEONATORUM

1. Pengertian Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang menyebabkan terjadinya
(Definisi) hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis.

2. Anamnesis Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir.

3. Pemeriksaan Fisik  Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap


 Kulit sianosis
 Tonus otot menurun
 Denyut jantung <100 kali/ menit
 Tidak ada respon terhadap reflek rangsangan

4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas darah
arteri apabila fasilitas tersedia
2. Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit
3. Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati hipoksik
iskemik
4. Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal

5. Diagnosis Asfiksia

6. Diagnosis Banding  Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
 Infeksi virus, sepsis atau meningitis
 Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
 Penyakit neuromuskular
 Trauma persalinan
 Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan  Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, elektrolit, gula darah
Penunjang  USG kepala
 MRI kepala

8. Terapi Resusitasi
 Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar
- Langkah awal resusitasi
Indikasi : bila terdapat salah satu jawaban tidak dari pertanyaan cukup bulan, bernapas atau menangis, dan
tonus otot baik
- Ventilasi tekanan positif (VTP)
Indikasi : apnu atau megap-megap, denyut jantung <100 x/menit, saturasi tetap di bawah nilai target meskipun
telah diberi O2 aliran bebas sampai 100%
- Ventilasi tekanan positif dan kompresi dada
Indikasi : denyut jantung <60 x/menit setelah 30 detik dilakukan VTP efektif

 Terapi medikamentosa :

Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1 mL
normal salin
- 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Hipovolemia
- Tidak ada respon dengan resusitasi
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan
analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 142
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ASFIKSIA NEONATORUM
kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.

9. Edukasi  Jaga kehangatan.


 Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
 Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

 Ad vitam : dubia ad malam


10. Prognosis  Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis  Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
 Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan
 Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi lengkap
(intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya
 80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu

15. Kepustakaan 1. Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1- 302
2. American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association guidelines
for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5): e1400-11.
3. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds.
Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28.
4. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62.
5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs;
edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal
emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang 143
Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM)

1. Pengertian Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes. Kelainan
(Definisi) spesifik yang sering ditemukan pada IDM :
 Kelainan metabolisme
o Hipoglikemia
o Hipokalsemia
o Hipomagnesemia
 Kelainan kardiorespirasi
o Asfiksia perinatal
o Hyaline membrane disease
o Kardiomiopati hipertropik
o Takipnea sementara pada neonatus
 Kelainan hematologis
o Polisitemia dan hiperviskositas
o Hiperbilirubinemia
o Trombosis vena ginjal
 Masalah morfologis dan fungsional
o Cedera lahir
o Kelainan bentuk bawaan (jantung, ginjal, saluran cerna, saraf, skeletal, wajah abnormal, mikroptalmos)

2. Anamnesis  Riwayat ibu penderita diabetes


 Riwayat bayi makrosomia
 Riwayat bayi kecil untuk masa kehamilan
 Riwayat ibu dengan penyakit ginjal, retina atau jantung

3. Pemeriksaan Fisik Pada saat lahir


IDM cenderung memiliki wajah sembab, pletorik, IDM juga gemetar dan hipereksitasi. Bayi dapat berukuran besar atau
kecil untuk masa kehamilan.
Setelah lahir
 Hipoglikemia
 Mungkin ditemui bersama dengan letargi, menyusu yang buruk, apnea, jitteriness pada 6-12 jam pertama setelah
kelahiran
 Tanda gawat pernapasan
 Penyakit jantung mungkin ditemui. Penyakit ini didiagnosis dengan rasio kardio-timus yang membesar pada film
rontgen dada atau melaui bukti fisik adanya gagal jantung
 Kelainan bawaan mungkin tercatat pada pemeriksaan fisik

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Bayi dengan ibu diabetes melitus (IDM)

6. Diagnosis Banding  Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
 Hipotermia
 Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal
 Penyakit neuromuskular
 Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan  Darah lengkap


Penunjang  Hematokrit
o Pada saat lahir pada usia 4 sampai 24 jam
 Kadar glukosa serum
o Diperiksa dengan menggunakan dextrostix pada saat lahir, tiap 6 jam selama 24 jam, dan selanjutnya pada usia
36 dan 48 jam
o Pembacaan <45 mg/dL dengan menggunakan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran glukosa serum
 Kadar kalsium serum bila terdapat gejala kejang
o Jika kadar kalsium rendah, kadar magnesium serum harus diukur
 Kadar bilirubin serum
o Seperti yang diindikasikan oleh pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan radiologi
o Tidak diperlukan kecuali terdapat bukti adanya masalah jantung, pernapasan, atau skeletal
 Elektrokardiografi dan ekokardiografi : jika terdapat kardiomiopati hipertropik atau kelainan pembentukan jantung
 USG kepala
 MRI kepala

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 144
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

BAYI DARI IBU PENDERITA DIABETES MELITUS (IDM)

8. Terapi Hipoglikemia
 2-4 mL dekstrosa 10% selama 5 menit, diulang jika perlu
 Infus glukosa 10% berkesinambungan dengan kecepatan 8-10 mg/kg/menit
 Memulai pemberian asupan enteral sesegera mungkin
 Kortikosteroid : pada hipoglikemia yang terus bertahan (hidrokortison 5 mg/kg/12 jam)
 Mempertimbangkan pemberian glukagon dan epinefrin
Hipokalsemia
 Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit
 Memantau tanda ekstravasasi
 Dosis juga diberikan melalui infus intravena berkesinambungan, 2-8 mL/kg/hari
 Akan memberikan respon dalam 3-4 hari
Hipomagnesemia
 Magnesium sulfat (MgSo4) 2mEq/kg/dosis setiap 6 jam IV atau IM

9. Edukasi  Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus
 Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik sejalan
dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C

Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal 80%
14. Indikator Medis
Pasien akan sembuh dalam waktu 1 minggu
15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems disease
and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40.
2. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-
7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 145
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK

1. Pengertian Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
(Definisi) laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.

2. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan kesadaran.

3. Pemeriksaan Fisik Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan :
HIE Tingkat I
 Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang-seling
 Pemberian minum yang buruk
 Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan
 Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi
 Tidak ada aktivitas kejang
 Gejala hilang dalam 24 jam
HIE Tingkat II
 Letargi
 Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
 Hipotonia
 Denyut jantung menurun dan pupil konstriksi
 50-70 % terdapat kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
HIE Tingkat III
 Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
 Koma
 Flasidisitas
 Tidak ada refleks
 Pupil diam, sedikit reaktif
 Apnea, bradikardia, hipotensi
 Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis  HIE Tingkat I


 HIE Tingkat II
 HIE Tingkat III

6. Diagnosis Banding  Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
 Infeksi virus, sepsis atau meningitis
 Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
 Penyakit neuromuskular
 Trauma persalinan
 Kelainan metabolisme bawaan
 Darah lengkap
7. Pemeriksaan  Gula darah
Penunjang  Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
 Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
 BUN dan serum kreatinin
 Faal pembekuan darah
 Faal hati
 Analisa gas darah
 Foto torak
 Pungsi lumbal
 EEG
 USG kepala
 MRI kepala

8. Terapi a. Upaya yang optimal adalah pencegahan


b. Resusitasi.
 Ventilasi yang adekuat
 Oksigenasi yang adekuat.
 Perfusi yang adekuat
 Koreksi asidosis metabolik
 Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL
 Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.
Ca glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan
secara intravena dalam waktu 5 menit.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 146
Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 147
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK


 Atasi kejang (lihat bab kejang pada neonatus)
 Mencegah timbulnya edema cerebri. Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari.
Penggunaan glucocorticoid dan osmotic agents tidak direkomendasikan.
c. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat. Celah waktu (window of opportunity) 6-12 jam
untuk mengurangi atau mencegah kerusakan otak pada neonatus yang timbul karena asfiksia dengan cara memberikan
suatu neuroprotektif :
 Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan allopurinol, superoxide
dismutase, vitamin E, resusitasi dengan udara ruang
 Hipotermi. Dengan cara selective head cooling, atau mild systemic hypothermia, atau selective head
cooling dan mild systemic hypothermia
 Pemberian phenobarbital sebelum kejang dosis 40 mg/kg BB intravena dalam waktu 1 jam
 Ca2+ channel blockers
 Magnesium sulfat
d. Pengobatan suportif untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan

9. Edukasi  Jaga kehangatan.


 Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
 Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

10. Prognosis Asfiksia dengan HIE Tingkat I


 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam
Asfiksia dengan HIE Tingkat II-III
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis  Bayi bernapas spontan, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
 Tidak didapatkan kejang
 80% pasien akan sembuh dalam waktu 3 minggu

15. Kepustakaan 1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark
AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711- 28.
2. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th
ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of Neonatology 4th ed.
Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,
Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6 th ed. New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35.
5. Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal
emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 148
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
(definisi) berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis bayi yang ditandai
oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.

2. Anamnesis  Riwayat ikterus pada anak sebelumnya


 Riwayat keluarga anemi dan pembesaran hati dan limpa
 Riwayat penggunaan obat selama ibu hamil
 Riwayat infeksi maternal
 Riwayat trauma persalinan
 Riwayat asfiksia

3. Pemeriksaan Fisik Umum :


Keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)
Khusus :
 Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang memadai.
 Berdasarkan Kramer dibagi menjadi :
Derajat
Daerah ikterus Perkiraan kadar bilirubin
ikterus
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai 11,4 mg/dL
atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL

4. Kriteria Diagnosis Hiperbilirubinemia fisiologis


 Terjadi peningkatan bilirubin indirek pada cukup bulan dengan puncak 6-8 mg/dL pada usia 3 hari
 Kadar 12 mg/dL masih dalam batas fisiologis
 Pada bayi prematur dapat meningkat 10-12 mg/dL pada usia 5 hari
Hiperbilirubinemia non fisiologis
 Ikterus mulai sebelum berusia 36 jam
 Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
 Total bilirubin serum >15 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi susu formula
 Total bilirubin serum >17 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi ASI
 Ikterus klinis >8 hari pada bayi cukup bulan dan >14 hari pada bayi kurang bulan
Peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih
dari persentil 90.

Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada saat bayi
pulang

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 149
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR


Nomogram- persentil ke-95 untuk kadar bilirubin serum
24 jam:  8 mg/ dL (137 M/ L)
48 jam:  14 mg/ dL (239 M/ L)
72 jam:  16 mg/ dL (273 M/ L)
84 jam:  17 mg/ dL (290 M/ L)
Hipebilirubinemia direk bila kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau kadar bilirubin direk
>20% dari bilirubin total bila bilirubin total >5 mg/dL.

5. Diagnosis  Hiperbilirubinemia fisiologis


 Hiperbilirubinemia non fisiologis
 Infeksi virus, sepsis atau meningitis
6. Diagnosis  Kelainan kongenital susunan syaraf pusat
Banding  Trauma persalinan
 Kelainan metabolisme bawaan

7. Pemeriksaan  Bilirubin total


Penunjang  Bilirubin direk dan indirek
 Faal hati
 Albumin
 Golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan anak
 Darah rutin
 Hapusan darah
 Retikulosit
 Coomb test
 Kadar enzim G6PD (pada riwayat keluarga dengan defisiensi G6PD)
 USG abdomen (pada ikterus berkepanjangan)

8. Terapi a. Follow up pada bayi baru lahir yang pulang


 dipulangkan sebelum 24 jam : kontrol ulang usia 72 jam
 dipulangkan usia 24-47,9 jam : kontrol ulang usia 96 jam
 dipulangkan usia 48-72 jam : kontrol ulang usia 120 jam

b. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada gambar 2.

Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.

c. Penghentian fototerapi
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit (TSB 18
mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL.

d. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 150
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi menunjukkan
tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB ≥5 di atas garis. Faktor
risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis asidosis

Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup bulan (sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat Bayi sakit
BB (g) Fototerapi Tranfusi tukar Fototerapi Tranfusi tukar
Kurang bulan
<1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 15-18 20-25 12-15 18-20

9. Edukasi  Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab dasar
meningkatnya kadar bilirubin serum
 Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk neonatus ke
fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi
 Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk

10. Prognosis Hiperbilirubinemia fisiologis


 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam
Hiperbilirubinemia non fisiologis
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens I

12. Tingkat Level C


Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 151
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

14. Indikator Medis  Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal
 Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50-60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan, gejala klinis
keseluruhan menghilang dalam 2 minggu
 Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari
 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 7 hari
15. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs;
edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300.
2. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339.
3. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan
perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
4. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar
neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
5. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of
gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal
emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 152
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian (definisi) Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).

2. Anamnesis  Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gangguan pernapasan
 Riwayat bayi prematur
 Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
 Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
 Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
 Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan

3. Pemeriksaan Fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas

4. Kriteria Diagnosis  Terdapat gejala klinis hipoglikemia


 Kadar glukosa darah <45 mg/dL
 Pemantauan glukosa di tempat tidur untuk penapisan dan deteksi awal
 Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai laboratorium serum jika memungkinkan

5. Diagnosis Hipoglikemia

6. Diagnosis Banding  Penyakit SSP (perdarahan, infeksi)


 Sepsis
 Asfiksia
 Abnormalitas metabolik (hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi piridoksin)
 Insufisiensi adrenal

7. Pemeriksaan  Gula darah


Penunjang  Darah lengkap
 Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
 Faal pembekuan darah
 Pungsi lumbal
 USG kepala
 MRI kepala

8. Terapi a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
 Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam
 Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
 Kadar glukosa ≤45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia
 Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai

b. Penanganan hipoglikemia dengan gejala atau kadar glukosa <25 mg/dL


 Bolus glukosa 10% 2 mL/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 mL/menit
 Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kecepatan infus glukosa/ GIR 6-8 mg/kg/menit

 GIR (mg/kg/menit) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi dextrose (%)


6 x BB (kg)
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena sentral.
 Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 4 jam
 Bila kadar glukosa masih <25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas
 Bila kadar 25-45 mg/dL, tanpa gejala klinis :
- Infus D10 diteruskan
- Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
- ASI diberikan bila bayi dapat minum
 Bila kadar glukosa ≥ 45 mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan
- Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d)
- ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan pelan
- Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba

c. Kadar glukosa darah <45 mg/dL tanpa GEJALA :


 ASI teruskan
 Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas
 Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila :
- Kadar < 25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi (lihat ad b)
- Kadar 25-45 mg/dL naikkan frekuensi minum

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 153
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

HIPOGLIKEMIA PADA BAYI BARU LAHIR


- Kadar ≥ 45 mg/dL manajemen sebagai kadar glukosa normal

d. Kadar glukosa normal IV teruskan


 IV teruskan
 Periksa kadar glukosa tiap 12 jam
 Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas (lihat ad b)
 Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12 jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam batas
normal, pengukuran dihentikan

e. Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)


 Konsultasi endokrin
 Terapi : kortikosteroid hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral, mencari
kausa hipoglikemia lebih dalam
 Bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain: somatostatin, glukagon, diazoxide, human growth
hormon, pembedahan. (jarang dilakukan)

9. Edukasi  Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau mendapatkan infus
glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap jam hasilnya >45 mg/ dL
 Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi Level C


dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis  Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal
 80% membaik dalam 24 jam
 80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
15. Kepustakaan problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7.
2. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal Emergensi
Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 154
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR

1. Pengertian (definisi) Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas sistem motorik
atau otonomik

2. Anamnesis  Riwayat hipoksik-iskemik ensefalopati


o general (asfiksia neonatorum)
o fokal (infark karena kelainan arteri atau vena)
 Riwayat perdarahan intrakranial (intraventrikular, subdural, trauma )
 Riwayat infeksi SSP (TORCH, meningitis, sepsis)
 Riwayat gangguan metabolik
o transient (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
o kelainan metabolisme bawaan (a.l.: defisiensi piridoxin)
 Riwayat kelainan kongenital SSP (hidrosefalus, hidransefali, porensefali, kelainan pembuluh darah otak)
 Riwayat ensefalopati bilirubin (kern ikterus)
 Riwayat maternal drug withdrawal (heroin, barbiturates, methadone, cocaine, morfin)
 Idiopatik

3. Pemeriksaan Fisik  Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak jantung
normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap
 Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi
ekstremitas bawah
 Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan klonik
beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik.
 Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah.

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Pemeriksaan penunjang : laboratorium, USG kepala, EEG

5. Diagnosis Neonatal seizures

6. Diagnosis Banding  Jitteriness


 Gerakan tidur mioklonus
 Apnea pada saat tidur
 Gerakan mengisap yang terputus

7. Pemeriksaa  Darah lengkap


 Gula darah
n  Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
Penunjang  Faal pembekuan darah
 Kadar billirubin dan faal hati
 Pemeriksaan TORCH
 Analisa gas darah
 Pungsi lumbal
 USG kepala
 MRI kepala
 EEG

8. Terapi  Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
 Terapi etiologi spesifik
o Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak diberikan
secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia)
o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
o Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti dalam
beberapa menit
 Terapi antikejang
o Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat diulang
dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti.
o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1 mg/kg/menit
o Bila masih kejang dapat diberikan :
 Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik)
 Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam
o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kg BB/hari dapat diberikan secara
intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose
o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose Penghentian
obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 155
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang
Lebong
2022 - 2023

KEJANG PADA BAYI BARU LAHIR


kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang.

9. Edukasi  Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan
hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia
 Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam Ad
fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi Level C


dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis  Tidak didapatkan gejala kejang


 Bila penyebabnya sekunder (metabolik), 70% gejala menghilang dalam 24 jam bila penyebabnya teratasi
 80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu

15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 374-9.
2. Bergin AM. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston:
Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 729-42..
3. Depkes RI. Klasifikasi kejang. Dalam: Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode
tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
4. Young TE, Mangum B. Neofax. Dalam: Neofax, edisi ke-7, 2004: 154-155.
5. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 273-80.
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal Emergensi
Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 84-92.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 156
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SEPSIS NEONATORUM

1. Pengertian (Definisi) Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di dalam
darah pada neonatus.
 FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin)
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan atau tanpa
retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C), waktu pengisian kapiler > 3 detik,
hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
 TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi
 TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif
 Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
o Leukopenia (< 4.000 x 109/L)
o Netrofil muda >10%
o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
o CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
 Klasifikasi :
1. Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang timbulnya
mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran pernafasan, progresif dan
akhirnya syok
2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya kelainan
sistem susunan saraf pusat
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih dari 48
jam saat dirawat di rumah sakit

2. Anamnesis  Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya paparan
terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental)
 Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang invasif
 Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain, ruangan
yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman
melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit

3. Pemeriksaan Fisik  Suhu tubuh tidak stabil (<36 ⁰C atau >37,5 ⁰C)
 Laju nadi >180 x/menit atau <100 x/menit
 Laju nafas >60 x/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen,apnea atau laju nafas <30 x/menit
 Letargi
 Intoleransi glukosa: hiperglikemia (plasma glukosa >10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia ( <2,5 mmol/L
atau < 45 mg/dL)
 Intoleransi minum
 Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
 Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)
 Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan)
 Pengisian kembali kapiler/ capillary refill time > 3 detik

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Gejala klinis
 Kultur darah positif

5. Diagnosis  Sepsis awitan dini


 Sepsis awitan lambat

6. Diagnosis Banding Kelainan bawaan jantung, paru, dan organ-organ lain.

7. Pemeriksaan  Darah rutin


Penunjang  Hapusan darah tepi
 Kadar C-reactive protein (CRP)
 Kultur darah
 Pungsi lumbal dan kultur cairan serebrospinal
 Foto polos dada

8. Terapi 1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur
≤7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap 24 jam. Dosis Ampisilin
untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur
≤7hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap, kultur
darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 157
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

SEPSIS NEONATORUM
cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif.
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto abdomen,
USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP normal, dan
kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.
6. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka diberikan
Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian antibiotika 10-14 hari. Pada kasus
meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
7. Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin.

9. Edukasi  Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari
 Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam Ad
fungsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Level C


Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis  Gejala klinis sepsis tidak ada


 Kultur darah negatif
 80% Pasien sembuh dalam waktu 2 minggu

15. Kepustakaan 1. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and drugs;
edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72.
3. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar.
Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7.
4. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal
emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 158
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ABSES OTAK
1. Pengertian (Definisi) Proses peradangan purulen yang terisolir di antara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau tidak

2. Anamnesis  Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70-90%).
 Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%).
 Adanya riwayat penyakit jantung bawaan sianotik, infeksi sinus atau mastoid
 Adanya riwayat prosedur bedah saraf, trauma kepala maupun kondisi imunosupresi
3. Pemeriksaan Fisik  Panas tidak terlalu tinggi.
 Kejang biasanya bersifat fokal.
 Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma.
 Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut.
 Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia.
 Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan gejala klinis yang spesifik
2. Hasil neuro imaging (CT Scan atau MRI dengan kontras)
5. Diagnosis Abses otak
6. Diagnosis Banding 1. Tumor di daerah serebropontin
2. Abses ekstradural
3. Empiema subdural
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium :
o Darah : jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah
meningkat pada 60% kasus
o Cairan Serebro Spinal (CSS) : dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial
(TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi
2. Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT-scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis.
Stadium serebritis awal (1-3 hari), serebritis lanjut (4-9 hari), formasi kapsul dini (10-14 hari) dan formasi
kapsul lanjut (>14 hari)
Stadium awal hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras. Pada
stadium lanjut didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras.

8. Terapi Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium serebritis, abses multipel dan
abses yang didapatkan pada daerah kritis
Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan:
1. Cefotaxime 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis atau Ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam
2 dosis
2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5 mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6 jam hari
(maksimal 4 g/hari).
Antibiotik diberikan selama kurang lebih 6 minggu.
3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan:
a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV dibagi
dalam 3 dosis atau Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan
0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam. Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada hari ke 5
Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan menghambat pembentukan
dinding abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis.
Penatalaksanaan bedah:
 Aspirasi stereotactic
 Kraniotomi
 Neuroendoskopi

9. Edukasi 1. Penjelasan tentang komplikasi dan prognosis penderita. Sebelum era antibiotik mortalitas mencapai 40-60%.
2. Banyaknya komplikasi dan kematian disebabkan karena abses serebri yang multiple, adanya GCS yang turun
dan meningitis.
3. Penjelasan terhadap adanya rekurensi.
4. Keterlambatan diagnosis mempunyai kontribusi terhadap derajat berat penyakit.

10. Prognosis  Angka mortalitas mencapai 4-12 %.


 Kejang bersifat kronis cukup sering didapatkan dan terkadang bermanifestasi setelah beberapa tahun pasca abses
serebri
11. Tingkat Evidens 4
12. Tingkat Rekomendasi C

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 158


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

ABSES OTAK
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  Pengobatan dengan cefotaxime menunjukkkan angka kesembuhan 76 % pada kasus abses otak
 Tingkat mortalitas setelah pasien menjalani tindakan bedah adalah sebesar 15%.
 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 minggu
15. Kepustakaan 1. Helweg-Larsen J, Astradsson A, Richhall H, Erdal J, Laursen A, Brennum J. Pyogenic brain abscess, a 15 year
survey. BMC Infect Dis 2012;12:332.
2. Shachor-Meyouhas Y, Bar-Joseph G, Guilburd JN, Lorber A, Hadash A, Kassis I. Brain abscess in children -
epidemiology, predisposing factors and management in the modern medicine era. Acta Paediatr 2010;99(8):1163-7.
3. Jansson AK, Enblad P, Sjolin J. Efficacy and safety of cefotaxime in combination with metronidazole for empirical
treatment of brain abscess in clinical practice: a retrospective study of 66 consecutive cases. Eur J Clin Microbiol
Infect Dis 2004;23(1):7-14.
4. Kao PT, Tseng HK, Liu CP, Su SC, Lee CM. Brain abscess: clinical analisys of 53 cases. J Microbiol Immunol
Infect;36:129-136
5. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM,
Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1241-61.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 159


Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 160
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

BELL’S PALSY
1. Pengertian (Definisi) Suatu paralisis nervus fasialis unilateral yang bersifat mendadak, tidak diketahui sebabnya (idiopatik) yang
mengakibatkan ketidakmampuan pengontrolan otot wajah pada sisi yang terkena
2. Anamnesis  Nyeri telinga didekat mastoid
 Kesulitan menutup mata
 Kesulitan menggunakan otot wajah secara normal
 Kesulitan minum dan makan karena gangguan mulut pada sisi yang terkena
 Riwayat infeksi saluran pernafasan sebelumnya
 Bell’s palsy ditegakkan setelah kondisi-kondisi infeksi, inflamasi, injuri, neoplasma, penyakit metabolik, dan
kelainan kongenital dapat disingkirkan.
3. Pemeriksaan Fisik  Parese nervus facialis unilateral.
 Gangguan sensoris pada daerah yang terkena,
 Drooling
 Gangguan pengecapan
 Gangguan pendengaran
 Pengeluaran air mata berlebihan.
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis yang spesifik
 Pemeriksaan neurologi parese N VII perifer
5. Diagnosis Bell’s Palsy
6. Diagnosis Banding 1. Palsy nervus fasialis yang lain, yang terkait:
a. Infeksi
b. Penyakit metabolik
c. Injuri
d. Kelainan congenital
2. Lesi UMN supranuklear (lokasi lesi di atas nucleus fasialis di Pons)  sepertiga atas N Fasialis normal,
sedangkan duapertiga di bawahnya mengalami paralysis
3. Tumor jinak skull
4. Aneurisma serebral
5. Meningioma
6. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan 1. ELISA terhadap HSV
Penunjang 2. Tidak ada pemeriksaan laboratorium lain yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s
palsy
3. Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan CT-scan/MRI
dilakukan bila dicurigai adanya fraktur atau metastase neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multiple,
AIDS, dan CNS
4. Pemeriksaan Elektrofisiologi
- Untuk mengetahui fungsi N fasialis
- Jarang dilakukan
8. Terapi 1. Steroid
- Prednisolone oral 1 mg/kgbb/hari selama 10 hari
2. Anti virus
- Acyclovir oral 10-20 mg/kgbb/hari
3. Kombinasi steroid & anti virus
9. Edukasi Diterangkan bahwa sebagian Bell’s palsy akan membaik tanpa deformitas, tetapi 1/3 penderita mengalami sekuele
berupa: regenerasi motorik tidak lengkap dengan tanda epifora, inkompeten oral, & obstruksi nasal.
Regenerasi sensorik tidak lengkap (gangguan pengecapan), ageusia ( kehilangan pengecapan), diasthesia ( kehilangan
sensasi atas stimulasi)
10. Prognosis 1. Pemulihan lengkap dengan gejala sisa
2. Pemulihan tidak lengkap pada fungsi motorik, tetapi tidak ada defek pada kosmetik
3. Kecacatan menetap yang nyata
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 161
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

BELL’S PALSY

14. Indikator Medis Angka kesembuhan dengan terapi steroid 88,2%, sedangkan dengan kombinasi steroid dan anti virus sekitar
91,2%
15. Kepustakaan 1. Eudocia CQ,Shafali SJ, Rajeev HM, Manveen KB, Anton YP. The benefits of steroids versus steroids plus
antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009; 339
2. Evangelos P, Anastasia G, M Arampatzi. Facial nerve palsy in childhood. The Japanese Society of Child
Neurology. 2010; 33. 644-650
3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed.
Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1503-8.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 162
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

INFEKSI CYTOMEGALO VIRUS (CMV) KONGENITAL


1. Pengertian (Definisi) Infeksi yang terjadi pada bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan
2. Anamnesis  Mayoritas bayi yang lahir dengan infeksi CMV congenital adalah asimtomatik.
 Pada bayi baru lahir, didapatkan IUGR, ikterus, bercak perdarahan dibawah kulit (ptekie sampai purpura), bayi tidak
bergerak aktif dan malas minum.
3. Pemeriksaan Fisik  Letargi, hiper/hipotoni, ikterus, hepatomegaly, splenomegali,
 Gejala neurologi: mikrosefali, chorioretinitis, kejang, tuli neural sensorik dan perubahan tonus otot
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis yang spesifik
2. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
3. IgM anti CMV positif
4. CT-Scan kepala tampak leukomalacia atau atrofi kortikal atau efusi subdural atau perdarahan otak
5. Diagnosis Infeksi CMV kongenital
6. Diagnosis Banding 1. Infeksi rubella kongenital
2. Toksoplasmosis congenital
7. Pemeriksaan 1. Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
Penunjang serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
2. Deteksi antigen atau IgM CMV di darah
3. Pada ibu: serokonversi IgG diantara 2 sampel serum yang diambil dengan jark 2-3 minggu adalah diagnosis
yang nyata adanya infeksi primer.
4. Pemeriksaan SGOT meningkat > 300 IU, bilirubin direct > 30 mg/dl, dan trombositopenia 20.000-
125.000/mm3
5. CT Scan kepala: tampak leukomalasia periventrikular, atrofi kortikal, pembesaran ventrikel
unilateral/ bilateral, efusi subdural dan perdarahan otak
8. Terapi  Gansiklovir 6 mg/kgBB/dosis IV drip dalam 1 jam, diberikan tiap 12 jam selama 6 minggu atau
 Valgansiclovir oral dengan dosis 15 mg/kg BB setiap 12 jam selama 6 minggu
 Terapi suportif

9. Edukasi 1. Menjelaskan pengobatan yang akan diberikan, jangka waktu pengobatan, cara pemberian dan efek samping
pengobatan ganciclovir yakni granulocytopenia, anemia, tromobositopenia.
2. Menjelaskan prognosis infeksi CMV sesuai dengan kelainan yang terjadi pada penderita
3. Jika infeksi CMV sudah dikonfirmasi, klasifikasikan simtomatik atau asimtimatik dan dilakukan monitoring
1,3,6 dan 12 bulan dan secara periodik sampai usia sekolah dengan tujuan mendeteksi sekuele dengan onset
lambat.
4. Konseling orang tua apabila merencanakan memiliki anak lagi untuk berkonsultasi pada dokter agar tidak
terjadi penularan pada bayinya
10. Prognosis  Bayi dengan congenital CMV 90% mengalami sekuele tumbuh kembang sperti palsi serebral, epilepsi, gangguan
sensori-neural, retardasi mental, gangguan tingkah laku dan kebutaan
 Angka mortalitas mencapai 5-30%
 Lesi intracranial pada neuroimaging berhubungan dengan gangguan intelektual >80% kasus
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis 1. 10-15% penderita dengan pengobatan gancyclovir mengalami sensorineural sekuele
2. Netropenia terjadi pada pada 63% anak yang sedang menjalani terapi gansiklovir dan 38% anak yang
menjalani terapi valgansiklovir
3. Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Buosenso D, Seranti D, Gargiullo L, Ceccareli M, Ranno O, Valentini P. Congenital cytomegalovirus
infection: current strategies and future perspectives. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012; 16:919-35
2. Cheeran MC, Lokensgard JR, Schleiss MR. Neuropathogenesis of congenital Cytomegalovirus infection:
disease mechanism and prospects for intervention. Clin Microbiol Rev. 2009; 22: 99-126
3. Nasetta L, Kimberlin D, Whitley R. Treatment of congenital cytomegalovirus infection: implications for
future therapeutic strategies. JAC . 2009; 63: 862-7
4. Kenneson A, Cannon MJ. Review and meta-analysis of the epidemiology of congenital cytomegalovirus
(CMV) infection. Rev Med Virol. 2007; 17: 253-76
5. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor. Child
Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 457-8.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 163
NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 164
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PALSI SEREBRAL
1. Pengertian (Definisi) Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah
Sekelompok kelainan pergerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang terjadi karena gangguan non
progresif yang muncul pada masa perkembangan otak janin/bayi
2. Anamnesis Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta pertolongan pengobatan) :
 Anak belum dapat berjalan;
 Belum dapat duduk;
 Terlambat bicara
 Kaki gemetar
 Gerakan kurang pada sisi badan
 Mata juling.

Anamnesis saat kehamilan dan persalinan :


 infeksi saat kehamilan (rubella, sifilis, tocoplasma, sitomegalovirus)
 percobaan pengguguran
 ibu dengan penyakit kronis,
 Trauma
 Toksemia
 IUGR
 ibu usia <17 tahun atau >35 tahun
 perdarahan antepartum
 trauma persalinan
 asfiksia
 berat lahir rendah, prematur
 hipoglikemia
 hiperbilirubinemia kern ikterus
 syok
3. Pemeriksaan Fisik  Paralisis spastik (paraparesis, diplegia, kuadriparesis, hemiparesis, monoparesis);
 Atetosis;
 Koreoatetosis;
 Distonia/atonia;
 Tremor;
 Rigiditas;
 Ataksia;
 Kelainan bahasa;
 Hiperkinesis/hipokinesis.
 Disfungsi handung kemih;
 Drooling
 Malnutrisi
 Gangguan pendengaran
 Mata: gangguan visus, gerakan bola mata, strabismus, dan nistagmus
 Gangguan pola tidur
 Psikomotorik : gangguan tingkah laku dan lain-lainnya
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan aspek klinis dan anatomis, sindrom palsi serebral diklasifikasikan :
1. Abnormalitas motorik:
a. Tipe abnormalitas tonus (hipertoni atau hipotoni) atau tipe dari gerakan abnormal (ataxia,
distonia, choreoatetosis)
b. Keparahan keterbatasan fungsional
2. Gangguan penyerta (contoh: kejang, gangguan kgnitif, pendengaran, visual dan perilaku)
3. Anatomi dan temuan radiologi
a. Bagian tubuh yang terlibat contoh: diplegia, hemiplegia dan quadriplegia
b. Hasil pencitraan

Beberapa sindrom palsi serebral yang umum:


1. CP spastik diplegia
Kelumpuhan anggota gerak bilateral ekremitas bawah dengan derajat tertentu gangguan ekstremitas atas, 80%
kasus pada bayi prematur.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 165
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PALSI SEREBRAL
2. CP spastik Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus kortikospinalis
unilateral. 30% kasus.
3. CP spastic kuadriplegi
Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan traktus
kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang bisa dijumpai
gangguan visus maupun auditori.
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor,
balismus maupun mioklonus.
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama.

5. Diagnosis Diagnosis CP secara umum berdasarkan pada anamnesa dan gejala klinik. Tim
diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi :
1. Tim Inti :
• Neuropediatri
• Dokter Gigi
• Psikolog
• Perawat
• Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
• Pekerja Sosial (pengunjung rumah)
2. T im Konsultasi :
• Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
• Dokter Bedah (Ortopedi)
• Dokter Mata
• Dokter THT
• Psikiater Anak
 Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)
6. Diagnosis Banding  Inherited metabolic disorder
 Metabolic myopathies
 Metabolic neuropathy
 Traumatic peripheral nerve lesion
 Vascular malformation of the spinal cord
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dan prognosisnya :
- Pemeriksaan TORCH
- Neuro imaging : CT scan/ MRI (63% abnormal)
- Test perkembangan : gangguan bicara (90%
kasus)
- Psikologik : test IQ (juga penting untuk terapi
dan rehabilitasi)
- Audiometri untuk mendeteksi ketulian
8. Terapi A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas :
1. Benzodiazepin :
• Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
• Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak lebih 10 mg/dosis)
2. Baclofen 0.2 mg/kg setiap 8 jam
3. Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi gerakan involunter)
5. I n je k s i Botox :
• Usia < 2 tahun belum direkomendasikan Dosis
rekomendasi 0.5-2 U/kgBB

B. Terapi Perkembangan
Rehabilitasi Medik dengan terapi fisik dan okupasi
C. Terapi bedah
1. Dorsal rhizotomy
2. Tendon lengthening
D. Lain-lain :
1. Pendidikan khusus
2. Penyuluhan psikologis
3. Rekreasi
9. Edukasi a. Bila diagnosis CP tegak, dianjurkan untuk melakukan komunikasi dan transfer informasi yang baik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 166
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

PALSI SEREBRAL
kepada orang tua tentang kondisi dan prognosis penderita
b. CP tidak mempengaruhi fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan penderita dapat mempunyai anak

10. Prognosis  Anak dengan CP akan mengalami retardasi mental 52%, gangguan bahasa dan bicara 38%, gangguan
pendengaran 12%dan epilepsi 34-94%.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  Probabilitas mencapai usia 20 tahun mencapai 50% pada CP berat.
 Kemampuan untuk duduk diusia 2 tahun mempunyai adalah prediksi untuk kemampuan mandiri di masa mendatang.
 Penderita CP yang memerlukan nasogastric tube selama tahun awal kehidupan mempunyai angka mortalitas 5 kali
lebih besar dibanding yang dengan oral feeding.

15. Kepustakaan 1. Ashwal, B. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: Report of the Quality
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology
Society. Neurology 2004;62:851-63.
2. Druschel C, Althuizes HC, Funk JF, Placzek R. Off label use of botulinum toxin in children under two years of age: a
systematic review. Toxins 2013;5:60-72.
3. Novak I, Hines M, Goldsmith S, Barclay R. Clinical prognostic messages from a systematic review on cerebral palsy.
Pediatrics 2012;130:1285-1312.
4. Gudiol MV, Calafat CB, Farres MG, Algra MH, Baxter KM, et al. Treadmill interventions with partial body weight
support in children under six years of age at risk of neuromotor delay: a report of a Cochrane systematic review and
meta analysis. Eur J Phys Rehabil Med 2013;49:67-91.
5. Jan MMS. Cerebral palsy: comprehensive review and update. Ann Saudi Med 2006;26:123-32.
6. Pakula AT, Braun KMV, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and epidemiology. Phys Med Rehabil Clin N
Am 2009;20:425-52.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 167
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

EPILEPSI LOBUS TEMPORALIS


1. Pengertian (Definisi) Kejang berulang tanpa provokasi yang berasal dari medial atau lateral lobus temporalis.
2. Anamnesis Semiologi kejang:
 Biasanya berupa kejang parsial sederhana tanpa gangguan kesadaran, dengan atau tanpa aura, dan dapat berupa
kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran.
 Aura dijumpai pada 80% penderita ELT.
 Aura yang timbul dapat berupa gejala penciuman, ilusi, halusinasi penglihatan dan halusinasi pendengaran.
 Fenomena psikis yang dapat timbul adalah dejavu, depersonalisasi dan derealisasi, juga dapat disertai dengan
perasaan cemas dan takut.
 Otomatisasi gerak bibir, gerakan mengecap, mengunyah atau menelan berulang
3. Pemeriksaan Fisik  Postur distonik unilateral tungkai
 Penderita menjadi diam, mata melebar, pupil dilatasi
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis Kejang dengan semiologi khas aktivasi lobus temporalis
2. EEG: gelombang paku atau tajam regio temporal anterior, mid-temporal atau temporal posterior, ataupun
TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta activity)
3. MRI: abnormalitas regio temporalis atau Hipocampal mesial sclerosis
5. Diagnosis Epilepsi lobus temporalis
6. Diagnosis Banding 1. Epilepsi lobus frontalis
2. Epilepsi Rolandic
3. Continous spike wave during slow wave sleep
4. Landau Klefner syndrome
7. Pemeriksaan Pemeriksaan radiologi :
Penunjang MRI : dijumpai atropi hipokampus pada 87% penderita
Pemeriksaan EEG :
Gelombang paku dan gelombang tajam yang diikuti dengan gelombang lambat pada regio temporal anterior, mid-
temporal atau regio temporal posterior atau TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta activity)

8. Terapi  Carbamazepine dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 15-20
mg/KgBB/hari PO, atau
 Asam valproat dosis awal 15 mg/kgBB/hari terbagi 2-3 dosis PO selama 2 tahun bebas kejang
 Bila tidak ada respons dapat dilakukan stimulai N. Vagus atau pembedahan lobektomi temporal anterior.
9. Edukasi  Gejala klinis
Pemahaman terhadap adanya kejang atau tidak
 Terapi
- Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan OAE jangka panjang
- Pendidikan penanganan kejang akut
- Pemahaman terhadap efek samping obat
 Tumbuh Kembang
Banyak terkait gangguan motorik, speech, tingkah laku maupun problem belajar
10. Prognosis  Anak dengan abnormal imaging termasuk tumor, cortical dysplasia atau mesial temporal sclerosis mempunyai
kemungkinan menjadi intraktabel cukup tinggi dan dipertimbangkan untuk operasi resektif.
 Rata-rata bebas kejang pasca temporal lobektomi dengan mesial temporal sclerosis adalah 86%.
 Anak dengan epilepsy mempunyain resiko tinggi untuk komorbiditas dengan penyakit psikiatri
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  Anak dengan OAE pertama yang gagal, 51% respon terhadap OAE kedua
 Remisi mencapai 29% bila gagal diterapi dengan 2 macam obat dan 10% bila gagal diterapi dengan 3 obat

15. Kepustakaan 1. Nickels KC, Kisiel LC, Moseley BD, Wirell EC. Temporal lobe epilepsy in children. Ep Research and Treat
2011;2012:1-16.
2. Sillanpaa M, Haalaja L, Tomson T, Svern I. Carbamazepine. Dalam Shorvon S, Perucca E, Engel J ed. Treatment
of epilepsy 3rd ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2009. Hal 459-74.
3. Fernando C, Kahare P, Brode M, Anderman F. The Mesio-temporal lobe epilepsy syndrome. Dalam Roger J, Bureau
M, Dravet C ed. Epileptic syndrome in infancy, childhood and adolescence 4th ed. Hal 565-75.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 168
dr. Rheyco Victoria, Sp.An
NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 169
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROMA GUILLAIN-BARRÉ (SGB)


(=Guillain-Barré Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis)

1. Pengertian (Definisi) Suatu acute immune mediated polineuropathy yang mengenai system syaraf perifer, bersifat ascending paralysis,
kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi dalam 4 minggu, dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh. Sering
disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului
oleh infeksi virus.
2. Anamnesis  Kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh pada sebagian besar
kasus, dan perubahan sensasi nyeri seiring hilangnya system syaraf otonom pada sebagian kasus.
 Komplikasi SGB dapat mengancam hidup terutama apabila mengenai otot-otot pernafasan dan system syaraf
otonom.
 Sering didahului infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya, sulit kencing (10-15%), nyeri (50%), sehingga anak menjadi
rewel dan iritabel
3. Pemeriksaan Fisik  Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB) yang simetris.
 Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama, dan kelemahan ini dapat mengenai otot-otot
pernafasan hingga membutuhkan respirator.
 Instabilitas otonom (26%), berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim simpatis dan parasimpatis dengan
manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik, disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan takikardia.
 Ataksia (23%)
 Gangguan saraf kranial (35-50%)

4. Kriteria Diagnosis  Kelemahan motorik progresif dan asending


 Pemeriksaan neurologi: kelemahan motorik dan arefleksia
 Pemeriksaan neurofisiologi EMG-NCV spesifik
5. Diagnosis Sindroma Guillain Barre
6. Diagnosis Banding 1. Poliomyelitis
2. Myositis akut
3. Lesi medulla spinalis
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa LCS
 48 jam I : normal
 Minggu II : diikuti kenaikan kadar protein, tanpa/ disertai kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation)
2. Pemeriksaan elektrofisiologi
EMG dan NCV (Nerve Conduction Velocity)
 Minggu I : terjadi pemanjangan / hilangnya F-response (88%), prolonge distal latencies (75%), blok pada konduksi
(50%)
 Minggu II : terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%) dan penurunan
kecepatan konduksi (84%)
3. Pemeriksaan radiologi
MRI  sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan dengan menggunakan kontras
gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras
8. Terapi 1. IVIG (Intravenous Imunoglobulin) 0,4 g/kgBB/hari, iv, selama 5 hari. Perbaikan klinis
mulai tampak setelah hari ke 2-3.
 Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia, perdarahan
karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom).
2. Steroid
3. Dexamethasone 0,5 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial)
4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama
5. Alat bantu pernafasan (respirator) apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan
9. Edukasi  Memberikan penjelasan mengenai pengobatan
 Memberikan penjelasan mengenai prognosis penderita
10. Prognosis 1. Sembuh sempurna (75-90%), 20% masih bisa berjalan sampai lebih dari 6 bulan
2. Sembuh dengan gejala sisa berupa drop foot atau tremor postural (25-36%)
3. Kambuh (kambuh atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu ke-4 = Chronic Inflamatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (CIDP))
4. Kematian (1-5%) akibat gagal nafas, terutama pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  10% dengan kecacatan yang menetap
 25 % memerlukan ventilator
 5% meninggal
 Perbaikan pada pemberian steroid iv 60,6%, pada steroid oral 47,1%, plasma exchange + IVIG 61%, IVIG

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 170
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SINDROMA GUILLAIN-BARRÉ (SGB)


(=Guillain-Barré Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis)

dibandingkan plasma exchange 58,2%


 Pemberian IVIG dapat mencegah kematian 2,4-6,3%
 Pemberian steroid dapat mencegah kekambuhan sebesar 6,5-14,3%
 Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu
15. Kepustakaan 1. RAC Hughes, AV Swan, JC Raphael, R van Koningsveld, PA Van Doorn. Immunotherapy for Guillain- Barre
syndrome: a systematic review. Brain. 2007; 130: 2245-2257
2. M Fish, G Llewelyn. A Guillain-Barre Syndrome. ACNR. 2008; 8: 10-12
3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed.
Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier 2012. Hal 1508-10.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 171
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIDROSEFALUS
1. Pengertian (Definisi) Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan
baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intrakanial yang
meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinalis. Terdapat 2 tipe: komunikan dan non komunikan.
2. Anamnesis  Pada anak :
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial :
- M untah proyektil
- Nyeri kepala
- Kejang
- Kesadaran menurun
3. Pemeriksaan Fisik Anak :
 Pembesaran lingkar kepala
 Papiledema
Bayi :
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala :
 Kepala makin membesar
 Vena-vena kepala prominen
 Ubun-ubun melebar dan tegang
 Sutura melebar
 “Cracked-pot sign”, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah semangka pada perkusi kepala
 Perkembangan motorik terlambat
 Perkembangan mental terlambat
 Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles)
 “Cerebral cry”, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar
 Nistagmus horizontal
 “Sunset phenomena”, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita, sklera
tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam.
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis kepala yang membesar
 Pemeriksaan fisik yang spesifik
 Pemeriksaan penunjang CT Scan atau MRI kepala
5. Diagnosis Hidrosefalus
6. Diagnosis Banding 1. Ciri keluarga (familial feature)
2. Megaensefali
3. Hidransefali
4. Tumor otak
5. Cairan subdural (subdural effusion)
7. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan darah :
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
- X foto kepala kranium yang membesar atau sutura yang melebar
- USG kepala : dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
- CT-Scan/MRI kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan sekaligus mengevaluasi struktur-
struktur intraserebral lainnya.
- Analisis cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis untuk mengetahui kadar protein dan
menyingkirkan kemungkinan ada infeksi sisa.
- EEG untuk mengevaluasi kemajuan klinis. Abnormalitas EEG dapat ditemukan fokal, difus dan berguna
mendeteksi kejang.
8. Terapi Farmakologis :
mengurangi volume cairan serebrospinalis
 Acetazolamide 25 mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis (maksimal 100mg/KgBB/hari)
 Furosemide 1 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis

Pembedahan
 Ventrikuloperitoneal shunt
 Endoskopi
9. Edukasi  Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala yang
progresif atau lebih dari normal.
 Hidrosefalus membutuhkan perawatan jangka panjang
 Komplikasi pemasangan shunt :malfungsi, infeksi dan terkadang membutuhkan revisi
 Hidrosefalus yang tidak diterapi mortalitas mencapai 50%
10. Prognosis  Prognosis jangka panjang sangat dipengaruhi oleh penyebab hidrosefalusnya
 Hidrosefalus yang diterapi bedah survival rate mencapai 90% dan IQ normal pada 2/3 pasien
 Mortalitas karena hidrosefalus dan terapinya antara 0 – 3% tergantung pada lamanya follow up.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 172
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

HIDROSEFALUS
 Infeksi shunt terjadi antara 1 5 – 30 %.
 Epilepsi terjadi 6 – 30% penderita
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  60% anak dengan hidrocephalus dapat bersekolah (meskipun terdapat banyak kesulitan)
 40% anak relatif dapat hidup normal
 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3-5 hari perawatan
15. Kepustakaan 1. Ventakaramana NK. Hydrocephalus indian scenario – a review. Jour of pediatr neurosciences 2011;6:11-22.
2. Vinchon M. Pediatric hydrocephalus outcomes : a review. Fluid and barrier of the CNS 2012;9:1-10
3. Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin Pediatr Neurol 2009;16:9-15.
4. Groat J. Review of the treatment & management of hydrocephalus. US pharm 2013;13.
5. Menkes JH, Sarnat HB, Sarnat F. Malformations of the central nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB,
Maria BL editor. Child Neurology 7th ed. Lippincott William and Wilkins, Philadelphia. 2006. Hal 330-49.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 173
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS


1. Pengertian (Definisi) Inflamasi parenkim otak yang disebabkan infeksi virus Herpes tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2).
2. Anamnesis • Demam
• Nyeri kepala
• Gejala psikiatrik
• Kejang
• Muntah
• Kelemahan otot fokal
• Hilangnya memori
• Gangguan status mental
• Fotofobia
• Kelainan gerakan
• Pada neonatus gejala mulai tampak pada usia 4-11 hari berupa letargik, malas minum, iritabel dan kejang
3. Pemeriksaan Fisik  Gangguan kesadaran
 Demam
 Disfasia
 Ataxia
 Kejang fokal > general
 Hemiparesis
 Gangguan saraf otak
 Hilangnya lapangan pandang dan papiledema. Pada
neonatus :
 temperatur tidak stabil
 Ubun-ubun besar menonjol
 Tanda traktus piramidalis
 Ikterus
 Renjatan
 Perdarahan
 Distres nafas
 Lesi kulit yang khas.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang spesifik
2. EEG spesifik
3. PCR CSS pada minggu pertama sakit
4. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala dengan kontras)
5. Biopsi otak
5. Diagnosis Ensefalitis herpes simpleks
6. Diagnosis Banding Meningitis aseptic
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisis CSS : Pada minggu pertama dapat normal, pleositosis mononuklear, peningkatan ringan protein, kadar
glukose normal/menurun ringan, jumlah sel normal. Kultur CSS dapat positif pada neonates
2. PCR : sensitif dan spesifik
3. MRI : Merupakan pilihan utama, lesi bermakna pada lobus temporalis bagian medial dan bagian inferior
lobus frontalis
4. EEG: Cukup sensitif tapi tidak spesifik
5. Biopsi otak: Merupakan pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis

8. Terapi 1. Acylovir 10-20mg/KgBB/dosis setiap 8 jam IV drip dalam 1 jam selama 10 hari.
2. Terapi suportif lainnya (anti kejang, obat penurun panas, oksigenasi, nutrisi parenteral dan enteral).
9. Edukasi 1. Infeksi SSP HSV harus selalu dipertimbangkan pada anak-anak yang mengalami kejang parsial dengan febris dan
penurunan kesadaran.
2. Perlunya pemantauan jangka panjang terhadap komplikasi yang ditimbulkan pasca HSE.
3. Outcome neurologis yang buruk dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi aciclovir
10. Prognosis Jika tidak diterapi mortalitas HSE mencapai 70% dan jika hidup maka defisit neurologi yang berarti mencapai
97%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A


dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis Gejala sisa neurologis serta cacat berat dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi acyclovir. 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Kelly C, Sohal A, Michael BD, Riordan A, Solomon T, Kneen R. Suboptimal management of central nervous
system infections in children: a multi-centre retrospective study. BMC Pediatrics 2012;12:145-52.
2. Ward KN, Ohrling A, Bryant NJ, Bowley JS, Ross EM, Verity CM. Herpes simplex serious

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 174
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS


neurological disease in young children: incidence and long-term outcome. Arch Dis Child 2012;97:162-
165.
3. James SH, Kimberlin DW, Whitley RJ. Antiviral therapy for herpesvirus central nervous system
infections: neonatal herpes simplex virus infection, herpes simplex encephalitis, and congenital
cytomegalovirus infection. Antiviral Res. 2009; 83(3): 207–213.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 175
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KEJANG DEMAM

1. Pengertian (Definisi) Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38°C), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks
2. Anamnesis - Didapatkan riwayat panas disertai kejang
- Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik
Pemeriksaan neurologi dalam batas normal
4. Kriteria Diagnosis Kejang Demam Sederhana (KDS) :
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang Demam kompleks (KDK) :
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Diagnosis Kejang Demam
6. Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari
penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
2. X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang fokal
atau hemiparese.
3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis.
4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
8. Terapi 1. Penanganan Pada Saat Kejang
• Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-
0,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama
20 menit kemudian.
•Turunkan demam :
 Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya
diberikan sehari 3-4 kali
 Kompres : suhu >39°C : air hangat; suhu > 38°C : air biasa
• Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.

2. Pencegahan Kejang
• Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS dengan
Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan antipiretik
pada saat anak menderita penyakit yang disertai
demam.
9. Edukasi 1. Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik
2. Memberikan cara penanganan kejang yang benar
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam
5. Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 176
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KEJANG DEMAM

12. Tingkat Rekomendasi C


13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis - Hampir semua anak mempunyai prognosis yang baik
- Anak usia dibawah 12 bulan yang mengalami kejang demam mempunyai kemungkinan sebesar 50% terjadi
rekurensi .
- 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 hari
15. Kepustakaan 1. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizure: Guideline for the
neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics 2011;127:389-94.
2. Kundu GK, Rabin F, Nandi ER, Sheikh N, Akhter S. Etiology and risk factors of febrile seizure – an update.
Bangladesh J Child Helath 2010;34:103-12.
3. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizures: clinical practice guidelines
for the long-term management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics 2008;121:1281-6.
4. Berg AT, Shinnar S, Hausser WA, Leventhal JM. Predictors of recurrent febrile seizure: a metaanalytic review. J
Pediatr 1990;116:329-37
5. Shloma Shinnar. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and
practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 790-7.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001

Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 177
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MATI OTAK
1. Pengertian (Definisi) Mati Otak (MO) atau Brain Death adalah suatu diagnosis klinis berdasarkan hilangnya fungsi neurologis akibat suatu
koma ireversibel. Koma dan apnea merupakan persyaratan untuk mendiagnosa mati otak.
2. Anamnesis  Koma dan apnea harus ada untuk mendiagnosis mati otak
 Keadaan yang harus diperhatikan sebelum menentukan mati otak:
 Hipotensi, hipotermi, dan gangguan metabolik yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi harus
dikoreksi
 Sedatif, analgesik, agen blokade neuromuscular, dan antikejang seharusnya dihentikan dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan eliminasi half-life dari setiap obat untuk meyakinkan bahwa obat- obat tersebut tidak
mempengaruhi pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan mati otak direkomendasikan untuk dilakukan 2 orang dokter berbeda yang terlibat dalam perawatan
anak dipisah dalam suatu periode observasi.
 Rekomendasi periode observasi untuk neonatus (37 minggu usia gestasi sampai usia 30 hari) adalah 24 jam dan 12
jam untuk bayi dan anak (>30 hari sampai usia 18 tahun). Pemeriksaan pertama adalah untuk menentukan mati otak
dan pemeriksaan kedua untuk mengkonfirmasi kondisi mati otak berdasarkan kondisi yang tetap dan ireversibel.

3. Pemeriksaan Fisik Tahap 1


a. Identifikasi kausa koma
 Traumatic brain injury
 Anoxic brain injury
 Penyakit metabolik yang diketahui
 Penyakit lain yang harus dispesifikasikan
b. Koreksi dari faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi:
 Temperatur inti tubuh >95° F(35°C)
 Tekanan sistolik atau MAP dalam batas normal (tekanan sistolik tidak kurang dari 2 SD sesuai usia)
 Obat sedatif/analgesik dieksklusi sebagi faktor perancu
 Intoksikasi metabolic dieksklusi sebagai faktor perancu
 Blokade neuromuscular dieksklusi sebagai faktor perancu

Jika semua semua faktor sudah dieksklusi bisa lanjut ke tahap 2. Tetapi bila ada faktor perancu langsung ke tahap 4.

Tahap 2
Pemeriksaan fisik; (reflek spinal cord dapat diterima)
1. Tonus flaksid, pasien tidak berespon terhadap stimulus nyeri yang dalam
2. Refleks cahaya pupil: tidak ada respons terhadap cahaya bilateral, pupil dilatasi dan posisi di tengah.
3. Reflek cornea, batuk dan muntah tidak ada.
(Refleks kornea : tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan ujung kapas; Refleks oro-faringeal :
tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada faring posterior; Refleks trakeo- bronkial: kateter penghisap
dimasukkan melalui endotracheal tube hingga mencapai karina atau lebih dalam. Tidak didapatkan refleks batuk)
4. Tidak didapatkan reflek sucking dan rooting
5. Refleks vestibulo-okular (tes kalori) : pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika ada perforasi membrana
timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat 30 o dengan melakukan irigasi membrana timpani pada satu
sisi dengan 10 cc air es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan jarak pemeriksaan antara 2 telinga
sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara langsung terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai
pada MO.
6. Tidak didapatkan usaha bernafas sewaktu dalam ventilasi mekanik Jika

ada elemen yang tidak bisa dilakukan maka langsung ke tahap 4.

Tahap 3
Tes apnea :
Tidak didapatkan usaha bernafas meskipun PaCO2
≥60 mmHg dan a ≥20mmHg peningkatan diatas garis dasar PaCO2 .

Jika tes apnea merupakan kontra indikasi atau tidak dapat dilakukan maka langsung ke tahap 4. Prasyarat :

penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi yang stabil


 Sesuaikan setting ventilator untuk memelihara PaCO2 berkisar 40 mmHg
 Pra-oksigenasi dengan O2 100% selama 5-10 menit
 Diskoneksi dari ventilator
 Berikan 100% O2 melalui kateter trakea dengan aliran 6 l/menit
 Monitoring O2 saturasi dengan pulse oxymetri

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 178
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MATI OTAK
 Ukur PaCO2 mmHg setelah 5 menit lalu setela2h 8 menit jika PaCO2tidak melebihi 60 mmHg hubungkan
kembali penderita dengan ventilator
 Pemutusan hubungan dengan ventilator tidak boleh melebihi 10 menit pada satu kali pemeriksaan
2  Tes apnea positif : jika tidak ada usaha bernafas dengan PaCO >60mmHg
 Jika selama tes apnea terjadi hipotensi yang bermakna, des2 aturasi yang nyata atau aritmia kardiak, secara
langsung dilakukan pemeriksaan BGA, hubungkan segera kembali dengan ventilator. Seharusnya
pada keadaan PaCO2 <60mmHg, hasil tes dikatakan belum pasti. Selanjutnya pertimbangan diserahkan kepada
pediatri untuk menentukan kapan tes dapat diulang atau tergantung dari tes lain untuk menegakkan diagnosis klinis
Mati otak.

Tahap 4
Tes tambahan
Diperlukan bila:
1. Jika ada komponen dari pemeriksaan atau tes apnea tidak dapat dilakukan
2. Jika ada ketidakjelasan hasil dari pemeriksan fisik
3. Jika ada efek medikasi yang nyata
Tes tambahan yakni:
1. EEG yang menyatakan electroserebral silence
2. Pemeriksaan Cerebral Blood Flow (CBF) yang menyatakan tidak ada perfusi cerebral

4. Kriteria Diagnosis  Evaluasi prasyarat sebelum inisiasi mati otak


 Evaluasi pemeriksaan fisik, tim penguji dan periode observasi
 Tes apnea
 Studi tambahan
5. Diagnosis Mati Otak
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan 1. EEG
Penunjang 2. Pemeriksaan CBF
8. Terapi -
9. Edukasi Penjelasan bahwa mati otak mempunyai prognosis yang buruk
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A


dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  Pemeriksaan tambahan tidak diperlukan untuk mendiagnosis mati otak kecuali dalam keadaan tertentu
 CBF studi dapat dilakukan dengan radionuclide CBF
15. Kepustakaan 1. Nakagawa TA, Ashwal SA, Mathur M, Mysore M. Guidelines for the determination of brain death in infants
and children : an update of the 1987 task force recommendations-executive summary. Ann Neur 2012;71(4):573-85
2. Tath B, Ekici B. Brain death in children.Turk Arch Ped 2011;46:94-8
3. Shewmon DA. Chronic brain death : Meta-analysis and conseptual consequences. Neurology 1998;51:1538-45
4. Monteiro LM, Bollen CW, van Huffelen AC, Ackerstaff RGA, Jansen NJG, van Vught AJ. Transcranial doppler
ultrasonography to confirm brain death: a meta analysis. Intensive Care Med 2006;32:1937-44.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 179
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MENINGITIS BAKTERI
1. Pengertian (Definisi) Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang membungkus
jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus.
2. Anamnesis Neonatus
 G ejala tidak khas
 Panas ±
 Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
 Pernafasan tidak teratur
Anak umur 2 bulan-2 tahun :
 Gambaran klasik (-)
 Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
 Kadang-kadang “high pitched cry”
Anak umur > 2 tahun :
 Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
 Kejang
 Gangguan kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik Neonatus
 Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
Anak
 Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis: panas, muntah, kejang
2. Pemeriksaan fisik: tanda rangsang meningeal positif pada anak
3. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal dari lumbal pungsi
5. Diagnosis Meningitis
6. Diagnosis Banding 1. Meningismus
2. Abses otak
3. Tumor otak
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal :
Meningitis Bakteri
Tekanan Meningkat
Warna Keruh
Total White blood cell >1000
Polymorphonuclear cells +++
Mononuclear celss +
Protein Meningkat
Glucosa ↓↓
Gram stain Positive
Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT- Scan/MRI kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
 Darah : LED, CRP, lekosit, hitung jenis, biakan
 Air kemih : biakan
 Cairan serebrospinal: biakan
8. Terapi Farmakologis :
a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris :
Pasien Antibiotik Dosis (iv)
Neonatus/ Ampicillin + 50-100 mg/kg tiap 6-8 jam
bayi<3bulan Cefotaxime/ 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Gentamicin 2,5 mg/kg tiap 8 jam
Neonatus Vancomycin + 15 mg/kg tiap 8-24 jam
prematur Ceftazidime 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Bayi usia > 3 Ceftriaxone / 100 mg/kg tiap 24 jam (max 4g)
bulan Cefotaxime 100 mg/kg tiap 8jam (max 12 g)

Durasi terapi antibiotik:

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 180
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MENINGITIS BAKTERI
Mikroorganisme Durasi terapi (hari)
Neisseria meningitides 7
Haemophilus influenza 7
Streptocccus pneumonia 10-14
Streptococus agalactiae Basilus 14-21
aerob gram negative 21
Listeria monocytogenes 21

b. Pengobatan simptomatis
• Menghentikan kejang :
 Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian
dilanjutkan dengan :
 Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
 Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
• Menurunkan panas :
 Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO
diberikan 3-4 kali sehari
 Kompres air hangat/biasa
 Menurunkan proses inflamasi :
 Deksamethason dosis 0.15 mg/kg iv tiap 6 jam selama 4 hari. Seharusnya dimulai sebelum
pemberian antibiotik yang pertama.
c. Pengobatan tambahan

Cairan intravena

2. Perawatan :
Pada waktu kejang :
 Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
 Hisap lendir
 Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
 Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh) Bila
penderita tidak sadar lama:
 Beri makanan melalui sonde
 Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan
 Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
 Cegah kekeringan kornea dengan salep antibiotic
 Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
 Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
 Pemantauan ketat :
 Tekanan darah
 Pernafasan
 Nadi
 Produksi air kemih
 Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
 Fisioterapi dan rehabilitasi.

9. Edukasi 1. Deteksi dini terhadap kecurigaan meningitis bakteri dan kecepatan pemberian antibiotik sangat penting untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pemberian antibiotik empiris seharusnya berdasarkan epidemiologi local, usia dan factor resiko
3. Penjelasan terhadap resiko komplikasi berupa peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus, infark ataupun
subdural efusi yang bisa terjadi.

10. Prognosis Faktor yang terkait dengan prognosis yang buruk


Etiologi:
 Streptococcus pnenumonia
 Bakteri enteric gram negative
 Titer bakteri yang tinggi
Pasien:
 Bayi baru lahir
 Status imunitas yang buruk

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 181
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MENINGITIS BAKTERI
Derajat berat penyakit sewaktu MRS
 Penyakit derajat berat
 Adanya gejala neurologis fokal
 Koma
 Gangguan kardiovaskular
 Tidak adanya panas
Tipe manajemen
 Memerlukan perawatan intensif
 Terapi antibakteri yang tidak adekuat
 Tidak adanya terapi antiinflamasi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  Imunoprofilaksis Vaksin H Influenzae type b efektif dan aman melindungi terhadap meningitis
 Metaanalysis pemberian antibiotik untuk terapi meningitis bakteri selama 4-7 hari dan 7-14 hari tidak
didapatkan perbedaan bermakna
 Pemberian deksamethason dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pendengarab pasca meningitis bakteri
 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 minggu

15. Kepustakaan 1. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero
DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier 2012. Hal 1241-61.
2. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child neurology.
Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. Hal 433-48.
3. Prats JG, Gaspar AJ, Riberio AB, Paula GD, Boas LV et al. Systematic review of dexamethasone as adjuvant
therapy for bacterial meningitis in children. Rev Paul Pediatr 2012;30:586-93.
4. Huy NT, Thao NTH, Diep DTN, Kikuchi M, Zamora J et al. Cerebrospinal fluid lactate concentration to
distinguish bacterial from aseptic meningitis: a systemic review and metaanalysis. Crit care 2010;14:2-15.
5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for the management of
bacterial meningitis. CID 2004;39:1267-83.
6. Beek D, Brouwer MC, Thwaites GE, Tunkel AR. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet
2012;380:1693-702.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 182
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)


1. Pengertian (Definisi) Kelainan neurodegenerative otosomal resesif yang ditandai dengan kelemahan progresif lower motor neuron
(LMN) yang disebabkan oleh delesi homozygote dari Survival Motor Neuron 1 (SMN 1).
2. Anamnesis Kelemahan progresif tergantung pada tipe ASM.
Tipe I didapatkan kelemahan otot, kesulitan menghisap, menelan dan bernafas, riwayat sianosis berkepanjangan saat lahir.
Tipe II didapatkan gangguan tumbuh kembang terutama gangguan motorik (belum bisa berdiri atau duduk), tremor jari-
jari.
Tipe III didapatkan kelemahan otot proksimal yang progresif lambat, kesulitan melakukan gerakan motorik khusus misal
naik tangga dan mendaki
Tipe IV gejala mirip tipe III

3. Pemeriksaan Fisik Sesuai dengan lesi LMN :


1.Kelemahan flaksid
2.Hipotonia
3.Refleks tendon menurun atau tidak ada
4.Fasikulasi
5.Atropi otot
4. Kriteria Diagnosis 1. Kelemahan otot tipe LMN yang progresif
2. NCV normal
3. CMAPs rendah
4. SMN 1 gen absen homozigote
5. Diagnosis Atropi spinal muscular
6. Diagnosis Banding 1. Distropi muscular kongenital
2. Miopati kongenital
3. Miastenia gravis
4. Gangguan metabolism karbohidrat
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Kadar craetinin kinase (CK) normal pada ASM tipe I dan sedikit meningkat pada 3 tipe lainnya
2. Analisa cairan serebro-spinal normal
3. Analisa kromosom, khususnya pada rantai 5q
4. NCV normal
5. Conduction Motor Action Potentials (CMAPs) dapat rendah normal atau menurun (tergantung tingkat
keparahan penyakitnya), pada kelemahan kronis, CMAPs mendekati normal karena telah terjadi reinervasi dan
kolateral
6. Biopsi otot pada awal penyakit tampak atropi serabut-serabut otot dan hipertropi kompensasi. Tampak
degenerasi atau hilangnya SMN dengan gambaran neurogenik pada morfologi otot
8. Terapi 1. Penatalaksanaan bersifat suportif, bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan kecacatan
2. Ventilasi non mekanik dapat diberikan pada penderita yang mengalami kelemahan otot pernafasan
3. Percutaneous gastrostomy diberikan pada penderita dengan kelemahan otot menelan untuk mencegah
komplikasi dan memperbaiki nutrisi
4. Terapi pembedahan (koreksi skoliosis atau intervensi ortopedi lainnya) diindikasikan bila didapatkan
kemungkinan harapan hidup yang lama

9. Edukasi 1. Penjelasan bahwa atrapi spinal muscular adalah kelainan yang disebabkan genetik
2. Menjelaskan tipe dari atrapi spinal muscular yang berhubungan dengan tingkat keparahan dan prognosisnya
3. Terapi yang diberikan hanya bersifat suportif untuk meningkatkan kulitas hidup penderita
4. Genetik konseling dilakukan pada orangtua penderita atrapi spinal muscular yang merencanakan untuk
kehamilan berikut.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Angka harapan hidup pada ASM tipe I usia 2 tahun adalah 32%, kebanyakan meninggal sebelum usia 18 bulan
2. Pada ASM tipe II, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 77%
3. Pada ASM tipe III, angka harapan hidup tergantung onset penyakit. Bila onset < 3tahun angka harapan usia 2
tahun 98% dan 20 tahun 34%. Bila onset > 3 tahun, angka harapan usia 2 tahun 100% dan 20 tahun 67%
4. Pada ASM tipe IV, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 100%

15. Kepustakaan 1. Lewelt A, Newcomb TM, Swoboda KJ. New therapeutic approaches to spinal muscular atrophy. Curr Neurol
Neurosci Rep. 2012; 1: 42-53
2. Wadman RI, Bosboom WM, Van den Berg LH, Wokke JH, Lannaccone ST, Vrancken AF. Drug
treatment for spinal muscular atrophy types II and III. Cochrane Database Syst Rev. 2011; 7: 12
3. Stavarchi M, Apostol P, Toma M, Cimponeiru D, Gavrila L. Spinal muscular atrophy disease: a
literature review for teurapeutic strategies. Journal of Medicine and Life. 2010; 1: 3-9

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 183
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)


4. Montes J, Gordon AM, Pandya S, Devivo DC, Kafmann P. Clinical outcome measures in spinal
muscular atrophy. J Child Neurol, 2009; 24: 968-78
5. Sarnat HB, Menkes JH. Disease of the motor unit. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor. Child
Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 969-78.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 184
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

STATUS EPILEPTIKUS
1. Pengertian (Definisi) Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi dan fase II mekanisme
tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan non-
konvulsif status epileptikus.
2. Anamnesis  Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
 Tingkat kesadaran di antara kejang
 Riwayat kejang sebelumnya,
 Riwayat kejang dalam keluarga
 Panas,
 Trauma kepala
 Riwayat persalinan,
 Tumbuh kembang
 Penyakit yang sedang diderita dan dahulu.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
• Peningkatan cerebral blood flow dan
metabolisme
• Hipertensi, hiperpireksia
• Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
• Depresi pernafasan
• Disritmia jantung, hipotensi
• Hipoglikemia, hiponatremia
• Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan
DIC
4. Kriteria Diagnosis Bisa memakai salah satu dari kriteria dibawah:
 Kejang berlangsung selama 30 menit atau lebih
 Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih
5. Diagnosis Status epileptikus
6. Diagnosis Banding 1. Reaksi konversi
2. Syncope
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah)
dianjurkan untuk evaluasi penyebab
2. CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial
8. Terapi 1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit pertama),
yaitu ABC :
• Airway : Bebaskan jalan nafas
• Breathing : Pemberian pernafasan
buatan/bantuan nafas
• Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan.
2. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30 menit
pertama) :
Rute intravena:
1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin
(Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB )
2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb
dilanjutkan maintenance
3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance

Rute intranasal:
Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB
Rute intramuscular:
Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB

3. Pemberian obat anti kejang lanjutan


4. Mencari penyebab status epileptikus
5. Penatalaksanaan penyakit dasar

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 185
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

STATUS EPILEPTIKUS
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi
dengan :
• Midazolam, atau
• Barbiturat (thiopental, phenobarbital,
pentobarbital)
9. Edukasi 1. Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif maupun
gangguan tingkah laku.
2. Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat, farmakoresistensi dan
mortalitas.
3. Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%.
10. Prognosis Tergantung pada :
• Penyakit dasar
• Kecepatan penanganan kejang
• Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
14. Indikator Medis  Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan menghasilkan mortalitas
sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
 Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan penanganan
15. Kepustakaan 1. Sofou K, Kristjandottir R, Papachatzakis NE, Ahmadzadeh A, Uvebrant P. Management of prolonged seizures
and status epilepticus in childhood: a systematic review. J of Chikd Neurol 2009;24:918-26.
2. Meier H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, et al. EFNS guideline on the management of stautus
epilepticus. Eur J of Neurol 2006;13:445-50.
3. Brophy GM, Bell R, Allredge B, Bleck TP, Glausr T et al. Guidelines for the evaluation and management of
status epilepticus. Neurocrit care 2012;17:3-23.
4. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Seminars in neurology 2008;28:342-54.
5. Prasad K, Krishnan PR, Al Roomi K, Sequeira R. Anticonvulsant therapy for status epilepticus. Br J Clin
Pharmacol 2007;63:640-7.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 186
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GAGAL TUMBUH (FAILURE TO THRIVE)

Failure to thrive (FTT) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan
1. Pengertian (Definisi) seharusnya, tidak naik (flat growth) atau turun dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya (diketahui dari grafik
pertumbuhan), terutama pada usia dibawah 3 tahun. Istilah yang lebih tepat adalah fail to gain weight bukan diterjemahkan
sebagai gagal tumbuh, karena dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap umur pada minimal 2 periode
pengukuran (dapat memakai berat badan pada saat lahir). Tinggi badan dan lingkar kepala yang juga merupakan parameter
pertumbuhan mungkin masih normal.
Perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar deviasi ke bawah
jika diplot pada grafik BB menurut umur. FTT juga belum tentu gizi kurang atau gizi buruk

Masa neonatal : FTT dapat disebabkan oleh manajemen ASI yang salah, cara pemberian susu formula yang salah (jumlah,
2. Anamnesis cara pengenceran), kelainan metabolik, kelainan kromosom dan kelainan anatomis (rongga mulut, gastrointestinal, dll)

Usia 3-6 bulan: kemungkinan penyebab antara lain underfeeding (karena kemiskinan), cara pembuatan formula yang
salah, intoleransi protein susu, disfungsi motorik oral, refluks gastroesofagus,kelainan anatomis sal pencernaan atau
gangguan malabsorbsi dan penyakit jantung bawaan.
Usia 7-12 bulan : keterlambatan pemberian makanan padat, intoleransi makanan, penyakit infeksi, disfungsi motor oral,
dan orang tua yang protektif.
Diatas usia 12 bulan: masalah seperti usia diatas ditambah dengan masalah psikososial

Dilakukan pengukuran BB, TB, dan lingkaran kepala. Kemudian ditentukan status gizi anak tersebut.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pasien yang gizinya masih cukup, tidak ditemukan gejala yang khas, sedangkan anak dengan gizi kurang anak tampak
kurus tanpa disertai kelainan fisis lain.
Pasien yang mengalami gizi buruk terlihat cengeng, kurus sekali, ditemukan wasting, ekstremitas hipo/atrofi, crazy
pavement dermatosis.
Pasien FTT akibat kelainan kromosom atau genetik dapat terlihat dismorfik. Cari
adanya kelainan fungsional atau kelainan anatomis,tanda infeksi.
Perhatikan terhadap kemungkinan adanya child abuse.
Pemeriksaan antropometris
4. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasar :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan antropometris
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemerisaan penunjang
Bayi Prematur
6. Diagnosis Banding Bayi dengan intra uterin growth restriction
Kelainan anatomis tulang: osteogenesis imperfecta,achondroplasia
Darah tepi lengkap Urinalisis
7. Pemeriksaan dan feses lengkap Kultur
Penunjang darah, urine
Uji tuberculin
Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi sesuai penyakit dasar yang dicurigai (misal:analisis gas darah bila curiga
adanya tubulopati, elektrolit, pemeriksaan laktat dan amoniak bila dicurigai penyakit inborn error, dll) Pemeriksan radiologis
bila dicurigai adanya kelainan anatomis
Mencari dan mengobati penyakit dasarnya apakah merupakan kelainan organik atau non organik
8. Terapi
Terapi Medikamentosa
Diberikan bila ditemukan penyakit yang mendasari (underlying disease)
Terapi Nutrisi
- Berikan menurut tahapan Asuhan Nutrisi Pediatri (Pediatric Nutrition Care)

- Hitung kebutuhan kalori serta protein menggunakan prinsip BB ideal menurut PB atau TB saat ini dikalikan RDA
kalori /protein sesuai dengan height age (PB atau TB saat ini ideal untuk usia berapa?), dimulai dengan kalori BB
aktual dan dinaikkan bertahap sampai kalori BB ideal atau dimulai 50-60 % dari kalori BB ideal untuk
menghindari refeeding syndrome

- Asupan mineral dan vitamin yang berlebihan tidak terindikasikan


- Atur jadwal makanan sesuai feeding rule ( 3x makan, 1-2 x snack, susu/asi 3-4x)
- Stop pemberian jus, punch, soda sampai berat badan normal

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 184
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GAGAL TUMBUH (FAILURE TO THRIVE)

Evaluasi pemberian ASI pada bayi


- Perbaiki manajemen laktasi
- Pastikan jumlah asupan serta jadwal pemberian ASI disesuaikan dengan kebutuhan bayi (on demand). Frekuensi
pemberian berkisar antara 8-12 kali dalam 24 jam dengan lama pemberian minimal 10 menit disetiap payudara
untuk memastikan asupan hind-milk
Atasi masalah ibu misalnya kelelahan, stress, rasa lapar
Waspada bila berat badan tidak naik atau tetap dalam 2 minggu
9. Edukasi Waspada bila anak tidak mau makan selama > 1 bulan

FTT sederhana
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam

FTT dengan kelainan kompleks Ad


vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam Ad
fumgsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Berat badan naik, panjang /tinggi badan bertambah, lingkar kepala normal
1. Gahagan S. Failure to thrive: A consequences of undernutrition. Pediatr Rev. 2006;27:e-11.
15. Kepustakaan 2. Krugman SD,Dubowitz H. Failure to thrive. AAFP 2003: 68:879-84
3. Olsen OM, Petersen J, Skovgaard AM. Failure to thrive: the prevalence and concurrence of anthropometric criteria in
a general infant population. Arch Dis Child 2007: 92; 109-114
4. Khoshoo V, Reifen R.Use of energy-dense formula for treating infants with non-organic failure to thrive.
European Journal of Clinical Nutrition 2002:56;921-24
5. UKK NPM IDAI. Gagal Tumbuh. Dalam Standar Pelayanan Medis IDAI 2007
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 185
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi, dapat karena
1. Pengertian (Definisi) asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama. Sering disertai dengan
kekurangan zat gizi lain.

Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat ringan-sedang
(gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya
dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis didapatkan 3 bentuk ,yaitu :
kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam penatalaksanaannya hampir sama

- Kapan tubuh makin kurus


2. Anamnesis - Kapan timbul bengkak
- Kapan terjadi penurunan atau hilangnya nafsu makan
- Riwayat makan sebelum sakit
- Riwayat pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI
- Gejala dan tanda yang mengarah ke penyakit infeksi, misalnya diare,TB,campak,ISK, HIV
- Gejala yang mengarah ke penyakit kelainan anatomis, misalnya Hipertrofi Pyloric Stenosis, Hierschsphrungs
disease, malrotasi, post ileostomi, post colostomi, penakit jantung bawaan , dll
- Gejala yang mengarah pada penyakit keganasan
- Batuk kronik
- Kelainan kulit
- Kelainan mata
- Diuresis terakhir
- Latar belakang sosial anak
KEP ringan
3. Pemeriksaan Fisik Sering ditemukan gangguan pertumbuhan:
- Anak tampak kurus
- Pertumbuhan linier berkurang atau terhenti
- Berat badan tidak bertambah, adakalanya berat badan bahkan turun
- Ukuran lingkar lengan atas lebih kecil dari normal.
- Maturasi tulang terlambat
- Rasio berat badan terhadap tinggi badan normal/menurun
- Tebal lipatan kulit normal atau berkurang
- Anemia ringan
- Aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat

KEP berat

Secara klinis terdapat 3 tipe, yaitu


- Kwashiorkor: Perubahan mental sampai apatis, anemia, rambut tipis kemerahan mudah dicabut / rontok,
gangguan sistem gastrointestinal, pembesaran hati, bercak merah kecoklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy
pavement dermtosis), atrofi otot, edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh

- Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng, kulit kering,
dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang, otot atrofi hingga
kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah lebih rendah dibandingkan
anak sehat yang sebaya

- Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan.

- Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV

- KLINIS
4. Kriteria Diagnosis - ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva WHO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000)

Tabel 1. Klasifikasi KEP menurut WHO


Tanda KEP KEP sedang KEP berat
(gizi kurang) (gizi buruk)
Edema simetrik tidak Tidak/Ya
BB/TB <-2SD (70-90%) <-3SD severe wasting (<70%)
TB/U <-2SD (85-89%) <-3SD (severe stunting (<85%)
Ditegakkan berdasarkan :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan Klinis
2. Antropometris
3. Pemeriksaan penunjang (termasuk untuk mencari penyakit yang menyertai/underlying disease)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 186
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

Adanya edem maupun asites pada kwashiorkor atau marasmik-kwasiorkor perlu dibedakan dengan :
6. Diagnosis Banding - Sindroma nefrotik
- Sirosis hepatis
- Gagal jantung kongestif
- Pellagra Infantil

1. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein serum
7. Pemeriksaan (albumin, globulin), feritin.
Penunjang 2. Tes mantoux
3. Radiologi (dada, AP dan Lateral )
4. EKG

KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti pada tabel di
8. Terapi bawah ini:
Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat
No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 Mulai Pemberian
Makanan (F-75)

7 Pemberian Makan
utk Tumbuh kejar
(F-100)

8 Mikronutrien
Tanpa Fe dengan Fe
9 Stimulasi
10 Tindak lanjut

Medikamentosa

- Atasi : hipoglikemi, hipotermi, dan dehidrasi


- Hipoglikemi
Semua anak dengan KEP berat berisiko mengalami hipoglikemi. Pada saat datang ke rumah sakit, anak harus
segera diberi glukosa atau sukrosa 10%, atau makanan. Pemberian makan yang sering penting untuk mencegah
hipoglikemi.
Hipoglikemi dan hipotermi biasanya terjadi bersamaan dan sering merupakan tanda infeksi. Bila ditemukan
hipotermi, harus dicek terhadap kemungkina hipoglikemi.
Dikatakan hipoglikemi bila kadar gula darah < 3mmol/L (<54 mg/dl). Bila gula darah tidak bisa diukur harus
dianggap setiap anak dengan KEP berat menderita hipoglikemi.
Terapi
- Sukrosa atau glukosa 10% sebanyak 50ml per oral atau melalui sonde lambung
- Bila anak tidak sadar, berikan glukosa 10% intravena dengan dosis 5cc/kg BB . Jika tidak tersedia, beri larutan
glukosa 10% dengan sonde lambung
- Hipotermia
Hipotermi dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada anak dengan KEP berat. Dikatakan hipotermi bila
temperatur aksila <35ºC atau tidak terbaca pada thermometer. Temperatur rectal <35,5ºC.
Terapi
- Berikan makan atau minum manis segera
- Pastikan tubuh anak tertutup pakaian, termasuk kepala, selimuti dan tempatkan pemanas atau lampu didekat anak,
atau tempatkan anak pada dada atau perut telanjang ibu, kemudian selimuti ibu dan anak.
- Dehidrasi
Sering terjadi overdiagnosis terhadap dehidrasi dan overestimasi penilaian derajat dehidrasi pada anak dengan
KEP berat. Hal ini disebabkan sulitnya menilai status dehidrasi secara akurat pada KEP berat dengan hanya
menggunakan tanda klinis. Anggap semua anak dengan diare cair mungkin mengalami dehidrasi.
Terapi
- Tata laksana dehidrasi didasarkan derajat dehidrasi. Kebanyakan anak dengan dehidrasi dapat diatasi dengan
cairan rehidrasi oral (CRO). Pada rehidrasi ringan sedang (WHO rencana B), sebanyak 70-

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 187
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 30- 60 menit,
kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde lambung. Bila
dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO belum selesai. Jangan
menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok.
- Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5% sebanyak
15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
- Evaluasi setelah 1 jam
- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan
 dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian lanjutkan
dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam,
selanjutnya mulai berikan formula F-75
 Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan cairan rumat
sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara perlahan (dalam 3 jam).
Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi
 Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal
jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda gagal jantung berikan
transfusi “packed red cell” untuk transfusi dengan jumlah yang sama. Berikan furosemid 1mg/kgBB
secara i.v pada saat transfusi dimulai.
 Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan distress napas
setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara 4-6g/dl, jangan diulangi pemberian darah.
a. Antibiotik
- Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari
sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari.
- Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM
sekali sehari selama 7 hari.
b. Vitamin-mineral
- Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI,
> 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang pada hari
ke 15 atau sebelum pulang
- Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu
- MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari
- Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu
- Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix
- Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi.
Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung
bawaan,dll

B. DIETETIK
- Oral atau enteral
 Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan berat
badan ideal (target berat badan)
 Gizi buruk: lihat tabel (sesuai fase)
- Diet bisa diberikan peroral atau enteral melalui pipa nasogastrik pada kasus gangguan absorbsi dengan
continuous feeding atau intermiten
- Jenis diet pada fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat
- Bila didapatkan diare kronik (persisten) diberikan formula/diet elemental, semi elemental tergantung beratnya
kerusakan mukosa usus yang dapat menimbulkan malabsorbsi karbohidrat (laktosa), protein dan lemak
- Nutrisi parenteral (Intravena): hanya atas indikasi tepat.
Bisa diberikan secara parsial atau total tergantung toleransi pemberian enteral (absorbsi) dan derajat beratnya
diare kronik, untuk memenuhi total kalori yang diperlukan sesuai kebutuhan.
- Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan, yaitu: BB < 7 kg diberi makanan
bayi, BB ≥ 7 kg diberi makanan usia anak
- Makanan padat (solid) pada kasus diare kronik bisa dimulai dengan pemberian bubur BREDA (bubur
realimentasi daging ayam), modifikasi bubur rendah laktosa (soy based diet)
- Evaluasi : akseptabilitas, toleransi, reaksi simpang, kenaikan berat badan ≥ 50 g/kgBB/minggu

Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk

□tabilisasi (F75) Transisi (F75  F100) Rehabilitasi (F100)

Energi 80-100 kkal/kgbb/hr 100-150 kkal/kgbb/hr 150-220/kgbb/hr

Protein 1-1.5 g/kgbb/hr 2-3 g/kgbb/hr 4-6 g/kgbb/hr

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 188
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

Cairan 100-130 ml/kgbb/hr bebas sesuai kebutuhan energi

Bila ada edema berat : 100


ml/kgbb/hr

Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula

Bahan makanan Per 1000 ml F 75 F100 F135


Formula WHO
Susu skim bubuk g 25 85 90
Gula pasir g 100 50 65
Minyak sayur g 30 60 75
Larutan elektrolit ml 20 20 27
Tambahan air s/d ml 1000 1000 1000
Nilai Gizi
Energi Kkal 750 1000 1350
Protein g 9 29 33
Laktosa g 13 42 48
Kalium mmol 36 59 63
Natrium mmol 6 19 22
Magnesium mmol 4,3 7,3 8
Seng mg 20 23 30
Tembaga (Cu) mg 2,5 2,5 3,4
% Energi Protein - 5 12 10
% Energi Lemak - 36 53 57
Osmolaritas mosm/l 413 419 508

- Cuci tangan sebelum menyiapkan makan


9. Edukasi - Gunakan bahan makanan yang baik dan aman
- Peralatan masak yang bersih dan cara memasak yang benar

10. Prognosis Gizi buruk tanpa penyakit berat


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam

Gizi buruk dengan penyakit yang brat


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk: buku I,II.
15. Kepustakaan Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003
2. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health
workers. Geneva: World Health Organization. 1999.
3. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009.
4. Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds. Nutrition in
Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 189
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KEP BERAT (MARASMUS, KWASHIORKOR, MARASMUS-KWASHIORKOR)

2003.p174-90
5. World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of the Child
with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the First- Referral Level in
Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000
6. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas.IDAI 2011
7. Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in infancyArchives
of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73
8. Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease. Pediatrics
1983;72;786
9. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea: Comparison
of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics, 1991;88:1010-18.
10. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent
diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr.
Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 190
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

OBESITAS

Obesitas adalah keadaan penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan dan ditandai dengan adanya gambaran klinis
1. Pengertian (Definisi) yang khas. Kelainan ini sering disertai komplikasi hiperlipidemia, obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), dan non
alcoholic steato hepatitis (NASH)
Obesitas terjadi bila asupan energI total melebihi pengeluaran energi total. Ketidakseimbangan energI ini dapat disebabkan
oleh asupan energi yang berlebih dan atau pengurangan pengeluaran energi, baik untuk metabolisme, termoregulasi dan
aktivitas fisik.
Peningkatan asupan energi ditemukan pada sindrom genetik, sedang pengurangan energi dijumpai pada defisiensi hormon.
Namun kelainan genetik dan hormonal tersebut ternyata tidak dapat menjelaskan peningkatan berlebih berat badan pada
kebanyakan pasien. Kebanyakan obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan misalnya pola makan, olah raga,
jenis aktifitas sehari hari
Riwayat pertumbuhan/pertambahan berat badan
2. Anamnesis
Kapan mulai tambah gemuk
Riwayat masukan makanan Riwayat
obesitas dalam keluarga Tidur
mengorok
Aktivitas sehari hari
Perawakan pendek atau defek pertumbuhan linear pada anak dengan obesitas harus dicurigai kemungkinan defisiensi growth
hormone, hipotiroidisme, kelebihan kortisol, pseudohipoparatirodsme, atau sindrom genetik, misalnya sindrom Prader Wili
Kulit kering, konstipasi, intoleransi terhadap cuaca dingin atau cepat lelah mengarah hoipotiroidisme.
Riwayat kerusakan pada SSP (misalnya infeksi, trauma, pendarahan, radiasi, kejang) mengarah pada obesitas hipotalamikus
dengan atau tanpa defisiensi growth hormone, atau hipotiroidisme hipotalamus. Riwayat sakit kepala pagi hari, muntah,
gangguan penglihatan dan miksi berlebih juga merupakan petunjuk bahwa obesitas disebabkan oleh tumor atau massa di
hipotalamus.
Tabel 1. Karakterikstik dan etiologi obesitas

Obesitas idiopatik Obesitas endogen

>90% kasus <10% kasus


Perawakan tinggi (umumnya persentil ke-50 Perawakan pendek (umumnya persentil ke-5 TB/U
TB/U)
Umumnya didapatkan riwayat obesitas pada Umumnya tidak didapatkan riwayat obesitas pada keluarga
Keluarga
Fungsi mental normal Fungsi mental sering retardasi
Usia tulang : normal atau advanced Usia tulang : terlambat (delayed)
Pemeriksaan fisik umumnya normal Terdapat stigmata pada pemeriksaan fisik
Pengukuran TB, BB, BB/TB, body mass index (BMI) dan tekanan darah
3. Pemeriksaan Fisik Peningkatan berat badan di luar karakter keluarga
Obesitas pada anak yang pendek
Peningkatan berat badan progresif yang tidak disertai dengan peningkatan pertumbuhan linear yang sebanding Muka tembem,
dagu rangkap, leher pendek
Tonsil/adenoid
Kulit kering, intoleransi terhadap dingin, konstipasi, cepat lelah
Akumulasi lemak di leher dan badan, tetapi tidak pada ekstremitas Striae
ungu
Hipertensi
Rambut wajah yang berlebihan, jerawat, menstruasi irregular pada remaja perempuan
Perkembangan seksual yang tidak sesuai usianya
Payudara tampak besar Perut
membuncit, pendular
Ekstremitas, jari meruncing
Kaki bentuk X dan O
Genitalia, buried penis
Kriteria diagnosis
4. Kriteria Diagnosis 1. Untuk usia ≤ 2 tahun menggunakan kurva WHO 2006. Berdasarkan kurva WHO Z score bila terletak diatas
+3SD disebut obesitas, diatas +2SD hingga +3SD disebut gizi lebih (overweight ).
2. Usia ≥ 2 tahun menggunakan kurva index massa tubuh (BMI) CDC 2000. Bila BMI terletak diatas persentil 95
disebut obesitas. Sedangkan bila BMI terletak antara diatas persentil 85 (antara 85-95) dikatakan gizi lebih
(overweight).

Ditegakkan berdasarkan:
5. Diagnosis Tanda klinis/Pemeriksaan Fisik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 191
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

OBESITAS

Antropometris
Prader-Willis Syndrome
6. Diagnosis Banding Precoccius Puberty
Polycistis ovary syndrome
Dilakukan sesuai indikasi:
7. Pemeriksaan - Darah perifer lengkap
Penunjang - Tes toleransi glukosa oral
- Fungsi tiroid
- Profil lipid
- Sekresi dan fungsi growth hormone
- Kalsium, fosfat dan kadar hormon paratiroid bila dicurigai pseudohipoparatiroidisme
- Fungsi hati : SGOT, SGPT
- Foto orofaring AP dan Lat
- USG hati
- MRI otak dengan fokus hipotalamus dan hipofisis, bila terindikasi secara klinis
- Sleep studies untuk mendeteksi sleep apnea
Tata laksana komprehensif obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Tujuan utama tata laksana
8. Terapi obesitas adalah perbaikan kesehatan fisik jangka panjang melalui kebiasaan hidup yang sehat secara permanen. Untuk
mencapai tujuan tersebut, terdapat empat tahap tata laksana dengan intensitas yang meningkat. Prinsip tata laksana obesitas
adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi.
Tahap I: Pencegahan Plus
Pada tahap ini, pasien overweight dan obesitas serta keluarga memfokuskan diri pada kebiasaan makan yang sehat dan
aktivitas fisik sebagai strategi pencegahan obesitas. Kebiasaan makan dan beraktivitas yang sehat adalah sebagai berikut:
1. Mengonsumsi 5 porsi buah-buahan dan sayur-sayuran setiap hari. Setiap keluarga dapat meningkatkan jumlah porsi
menjadi 9 porsi per hari
2. Kurangi meminum minuman manis, seperti soda, punch.
3. Kurangi kebiasaan menonton televisi (ataupun bentuk lain menonton) hingga 2 jam per hari. Jika anak berusia < 2
tahun maka sebaiknya tidak menonton sama sekali. Untuk membantu anak beradaptasi, maka televisi sebaiknya
dipindahkan dari kamar tidur anak.
4. Tingkatkan aktivitas fisik,  1 jam per hari. Bermain adalah aktivitas fisik yang tepat untuk anak-anak yang masih
kecil, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat melakukan kegiatan yang mereka sukai seperti olahraga atau
menari, bela diri, naik sepeda dan berjalan kaki.
5. Persiapkan makanan rumah lebih banyak ketimbang membeli makanan dari restoran.
6. Biasakan makan di meja makan bersama keluarga minimal 5 atau 6 kali per minggu.
7. Mengonsumsi sarapan bergizi setiap hari
8. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam perubahan gaya hidup
9. Biarkan anak untuk mengatur sendiri makanannya dan hindari terlalu mengekang perilaku makan anak, terutama pada
anak < 12 tahun.
10. Bantu keluarga mengatur perilaku sesuai kultur masing-masing

Tahap II: Manajemen Berat Badan Terstruktur


Tahap ini berbeda dari tahap I dalam hal lebih sedikitnya target perilaku dan lebih banyak dukungan kepada anak dalam
mencapai perubahan perilaku. Beberapa tujuan yang hendak dicapai, di samping tujuan-tujuan pada tahap I adalah sebagai
berikut:
1. Diet terencana atau rencana makan harian dengan makronutrien seimbang sebanding dengan rekomendasi pada
Dietary Reference Intake, diutamakan pada makanan berdensitas energi rendah.
2. Jadwal makan terencana beserta snack (3 kali makan disertai 2 kali snack, tanpa makanan ataupun minuman
mengandung kalori lainnya di luar jadwal)
3. Pengurangan waktu menonton televisi dan kegiatan menonton lainnya hingga 1 jam per hari.
4. Aktivitas fisik atau bermain aktif yang terencana dan terpantau selama 60 menit per hari.
5. Pemantauan perilaku ini sebaiknya tercatat
6. Reinforcement terencana untuk mencapai target perilaku

Tahap III: Intervensi multidisipliner menyeluruh


Pendekatan ini meningkatkan intensitas perubahan perilaku, frekuensi kunjungan dokter, dan dokter spesialis yang terlibat
untuk meningkatkan dukungan terhadap perubahan perilaku. Untuk implementasi tahap ini, hal-hal berikut harus
diperhatikan:
1. Program modifikasi perilaku dilaksanakan terstruktur, meliputi pemantauan makanan, diet jangka pendek, dan
penetapan target aktivitas fisik
2. Pengaturan keseimbangan energi negatif, hasil dari perubahan diet dan aktivitas fisik
3. Partisipasi orang tua dalam teknik modifikasi perilaku dibutuhkan oleh anak < 12 tahun
4. Orang tua harus dilatih untuk memperbaiki lingkungan rumah
5. Evaluasi sistemik, meliputi pengukuran tubuh, diet, aktivitas fisik harus dilakukan pada awal program dan dipantau
pada interval tertentu

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 192
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

OBESITAS

6. Tim multidisipliner yang berpengalaman dalam hal obesitas anak saling bekerja sama, meliputi pekerja sosial,
psikologi, perawat terlatih, dietiesien, physicial therapist, dokter spesialis anak dengan berbagai subspesialisasi
seperti nutrisi, endokrin, pulmonologi, kardiologi, hepatologi, dan tumbuh kembang, ahli gizi, dokter spesialis olah
raga, psikolog, guru, dokter spesialis bedah ortopedi, dan ahli kesehatan masyarakat.
7. Kunjungan ke dokter yang reguler harus dijadwalkan, tiap minggu selama minimum 8-12 minggu paling efektif
8. Kunjungan secara berkelompok lebih efektif dalam hal biaya dan bermanfaat terapeutik.
Tahap IV: Intervensi pelayanan tersier
Intervensi tahap IV ditujukan untuk anak remaja yang obesitas berat. Intervensi ini adalah tahap lanjutan dari tahap III.
Anak-anak yang mengikuti tahap ini harus sudah mencoba tahap III dan memiliki pemahaman tentang risiko yang muncul
akibat obesitas dan mau melakukan aktivitas fisik berkesinambungan serta diet bergizi dengan pemantauan.
 Diet sangat rendah kalori, yaitu pada tahap awal dilakukan pembatasan kalori secara ekstrim lalu dilanjutkan
dengan pembatasan kalori secara moderat. Terapi ini tidak dianjurkan untuk anak dan remaja.
 Obat-obatan: yang telah dipakai pada remaja adalah sibutramine yaitu suatu inhibitor re-uptake serotonin dan
orlistat yang menyebabkan malabsorpsi lemak melalui inhibisi lipase usus. Food and Drug Administration (FDA)
menyetujui penggunaan sibutramine untuk pasien >16 tahun dan orlistat untuk pasien
>12 tahun.
 Bedah: mengingat semakin meningkatnya jumlah remaja dengan obesitas berat yang tidak berespons terhadap
intervensi perilaku, terdapat beberapa pilihan terapi bedah, baik gastric bypass atau gastric banding. Tata laksana
ini hanya dilakukan dengan indikasi yang ketat karena terdapat risiko perioperatif, pascaprosedur, dan perlunya
komitmen pasien seumur hidup. Kriteria seleksi meliputi BM40I kg/m 2

dengan masalah medis atau 50 kg/ m2, maturitas fisik (remaja perempuan berusia 13 tahun dan anak
remaja laki-laki berusia 15 ta hun, ma turita s emos iona l da n kognitif, da n s uda h be rus a ha me nurunka n
berat badan selama  6 bula n me la lui progra m modifika s i pe rila ku).

9. Edukasi Pemantauan pertumbuhan


Pendidikan / penjelasan bahaya atau komplikasi
Melibatkan orang tua dan keluarga dalam program kepatuhan
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Penurunan berat badan 0,5 – 2 kg/ bulan


1. De Onis M, Blössner M. Prevalence and trends of overweight among preschool children in developing countries. Am J
15. Kepustakaan Clin Nutr. 2000; 72:1032-9.
2. Schneider MB, Brill SR. Obesity in children and adolescents. Pediatr.Rev.2005; 26:155-62.
3. Spear BA, Barlow SE, Ervin C, Ludwig D, Saelens B, Schetzina KE, et al. Recommendations for Treatment of Child
and Adolescent Overweight and Obesity. Pediatric .2007; 120:254-88.
4. BrillLau DCW, Douketis JD, Morrison KM, Hramiak IM, Sharma AM, Ur E & Members of the Obesity Canada
Clinical Practice. 2006 Canadian clinical practice guidelines on the management and prevention of
obesity in adults and children [summary]. Can. Med. Assoc J. 2007; 176(Suppl): 1-13.
5. Barlow SE and the Expert Committee. Expert committee recommendations regarding the prevention, assessment, and
treatment of child and adolescent overweight and obesity: summary report. Pediatric. 2007;120 (Suppl):164.
6. Davis M, Cleveland G, Hassink S, Johnson R, Paradis G, Resnicow K. Reommendations for Prevention of Childhood
Obesity. 2007; 120:229-53.
7. Daniels SR, Greer FR & the Committee on Nutrition. Lipid Screening and Cardiovascular Health in
Childhood. Pediatrics. 2008; 122:198-208.
8. Dilley KJ, Martin LA, Sullivan, Seshadri R, Binns HJ & the Pediatric Practice Research Group. Identification of
overweight status is associated with higher rates of screening for comorbidities of overweight in
pediatric primary care practice. Pediatrics. 2007; 119: e148 - e155.

9. Kavey REW, Allada Y, Daniels SR, Hayman LL, McCrindle BW, Newburger JW, et al. Cardiovascular risk
reduction in high-risk pediatric patients: a scientific statement from the American Heart Association
Expert Panel on Population and Prevention Science; the Councils on Cardiovascular Disease in the

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 193
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

OBESITAS

Young, Epidemiology and Prevention, Nutrition, Physical Activity and Metabolism, High Blood
Pressure Research, Cardiovascular Nursing, and the Kidney in Heart Disease; and the
Interdisciplinary Working Group on Quality of Care and Outcomes Research: Endorsed by the
American Academy of Pediatrics. Circulation. 2006 December 12; 114: 2710-38.
10. American Heart Association, Gidding SS, Dennison BA, Birch LL, Daniels SR, Gilman MW, Lichtenstein AH, et
al. Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners. Pediatrics. 2006;
117: 544-59.
11. Sjarif DR. Obesitas. Dalam: Trihono PP, penyunting. Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
12. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards: Length/height-for-age, weight-for-
age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and development. Geneva: World
Health Organization; 2006.
13. Jolliffe C, Janssen I. Vascular Risk and Management of Obesity in Children and Adolescents, Vascular Health and Risk
Management. 2006 ;2:171-87.
14. Freedman D. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. In: Marcus K, Wabitsch M, eds. Obesity in Childhood
and Adolescence. Pediatr Adolesc Med.Basel, Karger. 2004 ;9:160-69.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 00

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 194
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

DEFISIENSI VITAMIN A (Xerophthalmia)


Xeroftalmia adalah penyakit akibat defisiensi vitamin A yang bermanifestasi pada mata. Terdapat beberapa stadium
1. Pengertian (Definisi) klinis defisiensi vitain A pada mata, yakni :
- Butasenja / hemeralopia (XN)
- BercakBitot
- Xerosiskonyungtiva (X1)
- Xerosiskornea (X2)
- Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3A)
- Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3B)
- Keratomalacea / Prolaptustridis
- Corneal scar (XS)
XeroftalmiaseringkalimenyertaiKurangEnergi Protein (KEP)
- Sejakkapanterjadinyakelainanpadamata
2. Anamnesis - Bagaimanamulainya
- Obat yang sudahdiberikan
- Bagaimanamasukanmakanansehari-hari
- Apakahpasienmenderitacampakataudiarekroniksebelumnya
- Bercakbitot
3. PemeriksaanFisik - Kekeringanpadakonjungtivabulbi
- Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea
- Terdapatnyaprolaps/keratomalasea
- Tanda-tandamalnutrisi
- Bercakbitot
4. Kriteria Diagnosis - Kekeringanpadakonjungtivabulbi
- Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea
- Terdapatnyaprolaps/keratomalasea
- Tanda-tandaKEP berat

5. Diagnosis - Berdasarkan Anamnesa


- Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Laboratorium

6. Diagnosis Banding
- Kadar vitamin A serum (retinol)
7. PemeriksaanPenunj - Serum retinol < 20µg/dl indikator kadar serum rendah
ang
- Biladisertai KEP perbaiki status gizisesuaikeadaanklinis
8. Terapi - Pemberian vitamin A
- Usia<6 bulan: 50,000 SI, oral atau IM
- Usia 6-12 bulan : 100,000 SI, oral atau IM
- Usia> 1 tahun : 200,000 SI, oral atau IM
Diberikanpadahari ke-1, 2, dan 14 ataubilaadaperburukanklinis
Perawatan local
- Mata dibersihkan, diberisalepmataantibiotik, ditutupdengankainkasa yang
dibasahicairangaramfisiologik
- Pendidikangizikeluargadenganmengetahuisumberterbanyak vitamin
9. Edukasi A
padaprodukhewanisepertitelur,daging, susu, keju. Sumbernabati (pro vit A/beta karoten
)terbanyakterdapatpadawortel, ketela, labukuning, sayurbayamdanbrokoli.
- Pemberian vitamin A oral setiap 6 bulan, dosisseperti di atas

10. Prognosis Bila ada kelainan anatomis/fungsional pada mata Ad


vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam Ad
fumgsionam : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. PenelaahKritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 195
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEFISIENSI VITAMIN A (Xerophthalmia)

14. IndikatorMedis Kadar serum retinol >20µg/dl


1. Heird WC. Vitamin Deficiencies and Excesses In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors Nelson
15. Kepustakaan Textbook of Pediatrics 18thed, Philadelphia Saunders 2007 p. 177-88
2. Lo CW O’Bryan A. Laboratory Assessment of Nutritional Status In. Walker WA, Watkins JB, Duggan C, editors
Nutrition in Pediatrics, basic science and Clinical Applications 3rd ed. BC Decker Inc. 2003 p. 17-20
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk: buku II. Jakarta:
DepartemenKesehatan. 2003
4. Sethuraman U. Vitamine. Pediatrics 2006; 27:44-55
5. Ajaiyeoba A, Samaila E. Use of Bitot’s spot in screening of vitamine A deficiency in Nigerian Children.Afr. J.
Biomed. Res. 2001:4:155 – 57

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 0

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

KERACUNAN

1. Pengertian (Definisi) Keracunan adalah terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian.

2. Anamnesis - Curiga keracunan pada anak: awitan penyakit akut


- Usia 1-5 tahun atau remaja
- Kondisi saat pasien ditemukan (benda yang ada di dekat pasien, seperti obat-obatan atau bahan kimia)
- Riwayat medis saat ini dan sebelumnya
- Kecelakaan atau disengaja
- Jenis, jumlah dan dosis saat terjadinya keracunan
- Tanda dan gejala yang dapat mengarah pada golongan racun spesifik disebut toxidromes
3. Pemeriksaan Fisik - Organofosfat: perubahan status mental, takipnea, bronkospasme, bradikardia atau takikardia, salvias, miosis,
poliuri, defekasi, emesis, lakrimasi, kejang, diaphoresis (keringat berlebihan)
- Salisilat (ringan 150-300 mg/kg: gangguan saluran cerna, tinnitus, takipnea)
(sedang 300-500 mg/kg: demam, diaphoresis dan agitasi)
(berat >500 mg/kg): disartria, koma, kejang, edema paru
-
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Diagnosis keracunan di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Syok anafilaksis
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
Tindakan emergensi :
8. Terapi Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing : Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak adekwat
Circulation : Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
Identifikasi penyebab keracunan.
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab keracunan ini tidak
sampai menunda usaha-usaha penyelamatan penderita yang harus segera dilakukan.
Eliminasi racun.
A. Racun yang ditelan
Rangsang muntah
Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan bahan beracun, bila sudah
lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang muntah kecuali bila bahan beracun tersebut mempunyai
efek yang menghambat motilitas ( memperpanjang pengosongan ) lambung.
Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum mole atau dinding
belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan :
Sirup Ipecac
Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan.
Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml
1 - 12 tahun 15 ml
> 12 tahun 30 ml
Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila sesudah 20 menit tidak terjadi
muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian ipecac dapat diulangi.
Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%, dapat menyebabkan muntah dalam 2 - 5 menit.
Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB secara subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
1. Keracunan hidrokarbon,kecuali bila hidrokarbon tersebut mengandung bahan-bahan berbahaya
seperti camphor, produk-produk yang mengandung halogenat atau aromatik, logam berat dan
pestisida.
2. Keracunan bahan korossif
3. Keracunan CNS stimulant ( seperti strichnin )
4. Penderita kejang
5. Penderita dengan gangguan kesadaran

Kumbah lambung
Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah menelan bahan

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

KERACUNAN
beracun,kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat pengosongan lambung. Kumbah
lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada :
- Keracunan bahan korosif
- Keracunan hidrokarbon
- Kejang
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita-penderita dengan resiko aspirasi jalan nafas
harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri, kemudian dimasukkan pipa
orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr,pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam fisiologis
( normal saline/ PZ ) atau 1/2 normal saline 100 ml atau kurang berulang-ulang sampai bersih.

Pemberian Norit ( activated charcoal )


Jangan diberikan bersama obat muntah, pemberian norit harus menunggu paling tidak 30 - 60 menit
sesudah emesis.
Dosis 1 gram/kg BB dan bisa diulang tiap 2 - 4 jam bila diperlukan,diberikan per oral atau melalui pipa
nasogastrik.
Indikasi pemberian norit untuk keracunan :
1. Obat2 analgesik/antiinflammasi : acetamenophen, salisilat, antiinflamasi non steroid,
morphine, propoxyphene.
2. Anticonvulsants/sedative : barbiturat, carbamazepine, chlordiazepoxide, diazepam,
phenytoin, sodium valproate.
3. Lain-lain: amphetamine, chlorpheniramine, cocaine, digitalis, quinine, theophylline, cyclic anti –
depressants
4. Norit tidak efektif pada keracunan Fe, lithium, cyanida,a sam basa kuat dan alkohol.

Catharsis
Efektivitasnya masih dipertanyakan.
Jangan diberikan bila ada gagal ginjal, diare berat, ileus paralitik atau trauma abdomen

Diuretika paksa ( Forced diuretic )


Diberikan pada keracunan salisilat dan phenobarbital ( alkalinisasi urine ).
Tujuan adalah untuk mendapatkan produksi urine 5,0 ml/kg/jam, hati-hati jangan sampai terjadi
overload cairan.
Harus dilakukan monitor dari elektrolit serum pada pemberian diuresis paksa.
Kontraindikasi : udema otak dan gagal ginjal

Dialysis
Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil. Bermanfaat hanya pada bahan
beracun yang bisa melewati filter dialisis ( dialysable toxin ) seperti phenobarbital, salisilat,
theophylline, methanol, ethylene glycol dan lithium.
Dialysis dilakukan bila : Asidosis berat
Gagal ginjal
Ada gejala gangguan visus
Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan.

Hemoperfusi masih merupakan kontroversi dan jarang digunakan.

B. Racun yang disuntikkan atau sengatan


- Immobilisasi
- Pemasangan torniquet diproksimal dari suntikan
- Berikan antidotum bila ada
C. Racun pada kulit dan mata
Lepaskan semua yang dipakai kemudian bersihkan dengan sabun dan siram dengan air yang
mengalir selama 15 menit. Jangan diberi antidotum
D. Racun yang dihisap melalui saluran nafas
Keluarkan penderita dari ruang yang mengandung gas racun.
Berikan oksigen
Kalau perlu lakukan pernafasan buatan
E. Pemberan antidotum kalau mungkin
F. Pengobatan Supportif
Pemberian cairan dan elektrolit
Perhatikan nutrisi penderita
Pengobatan simtomatik ( kejang, hipoglikemia, kelainan elektrolit dsb.)

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

KERACUNAN
Memberikan informasi secara intensif kepada orang tua atau orang yang bertanggung jawab dalam perawatan anak dan
9. Edukasi kepada masyarakat mengenai :
Keracunan pada anak, bagaimana terjadinya, akibat yang terjadi serta bagaimana mencegahnya.
Bahan-bahan yang potensial dapat menyebabkan keracunan yang terdapat didalam atau sekitar rumah yang seringkali
tidak diketahui oleh orang tua.
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi keracunan.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

1. Terapi suportif harus segera diberikan sambil menunggu pemberian antidotum apabila zat toksik memiliki
14. Indikator Medis antidotum
2. Respon pemberian antidotum tergantung jenis zat toksiknya
3. Eliminasi racun dengan meningkatkan ekskresi melalui urin dapat dilakukan dengan pemberian natrium
bikarbonat dalam waktu 1-2 jam untuk mempertahan pH urine 7,5-8,5
4. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 5 hari
1. Aranoff SC. Food poisoning. Dalam: Behrman RE,Kliegman RM Eds.Nelson Textbook of
15. Kepustakaan Pediatrics.Philadelphia : Saunders, 1992; 1770 -74.
2. Dreisbach RH. Poisoning, Prevention, Diagnosis and Treatment. Dalam : Dreisbach Ed. Handbook of
Poisoning. California : Lange Medical Publication 1983; 3 - 103.
3. Hutchison JH,Cockburn F. Accidental poisoning in childhood. Dalam : Hutchison Ed. Practical pediatrics
problems. London : Lloyd-Luke, 1986; 673 - 89.
4. Madse M. Poisoning,ingestion and overdosis. Pediatric Critical Handout, University of Minesotta, 1998.
5. Olson KR. Comprehensive evaluation and treatment of poisoning and overdose. Dalam :Olson KR Ed. Lange :
Clinical manual : Poisoning and drug overdose. San Francisco :Apleton & Lange,Prentice Hall
International,1990; 1 - 57.
6. Pascoe DJ. Poisoning. Dalam : Pascoe Ed. Quick reference to pediatric emergencies. Philadelphia : Lippincott;
1984; 86 - 142.
7. Pearson-Shaver AL,Steinbart CM. Evaluation of the poisoned child. Dalam : Holbrook PR Ed. Textbook of
Pediatric Critical Care. Philadelphia : Saunders,1993; 982 - 97.
8. Reece RM. Poisoning. Dalam:Reece RM ed. Manual of emergency
Pediatrics.Philadelphia:Saunders,1978; 203 - 37.
9. Rumack BH. Chemical and drug poisoning. Dalam : Behrman RE,Kliegman RM Eds. Nelson Tetbook of
Pediatrics.Philadelphia: Saunders, 1992; 1774 - 65.
10. Wolf AD,Berkowitz ID,Liebelt E,Rogers MC. Poisoning and the critically child. Dalam : Rogers MC Ed.
Textbook of Pediatric Intensive Care.Baltimore: William Wilkins,1996;1315-91

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 0

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SYOK ANAFILAKSIS
Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
1. Pengertian (Definisi)
Penyebab anaphylaksis pada anak
2. Anamnesis 1. Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Alergen imunoterapi.
3. Gigitan atau sengatan serangga.
4. Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID.
5. Latex.
6. Vaksin.
7. Exercise induce.
8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah dilakukan
evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamin.
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen. Gejala
3. Pemeriksaan Fisik kardiovaskular : hipotensi/renjatan.
Gejala saluran nafas : sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/
laring, gejala asma.
Gejala kulit : pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema. Gejala
intestinal : kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare.
Gejala SSP : pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada

Keracunan
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu

8. Terapi 1. Life support: Airway, Breathing, Circulation.


2. Hentikan obat/bahan yang diduga sebagai penyebab.
3. Adrenalin (1:1000) 0,01ml/kg BB, berikan sc (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang
2-3 kali selang 10 – 15 menit.
4. Infus RL/NaCl/ cairan koloid 10-20 ml/kg/10 menit bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi
jaringan.
5. Bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma: Aminofilin intravena atau β adrenergik
bronkodilator (albuterol, terbutalin) parenteral atau nebulizer.
6. Antihistamin:Diphenhidranin 1-2 mg/kg BB i.m. atau i.v. atau 5 mg/kg BB per oral. Chlortrimeton untuk gejala-
gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus.
7. Kortikosteroid: Hidrokortison 6 - 8 mg/kg BB/6-8 jam. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter,
urtikaria persisten, atau angioedema yang masih menetap setelah fase akut teratasi.

Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi syok anafilaksis
9. Edukasi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin
1. Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc
14. Indikator Medis (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SYOK ANAFILAKSIS
2. Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan. Tanda-
tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2 detik, akral
hangat.
3. Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita yang
menunjukkan gejala seperti asma
4. Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin (dalaw
waktu 48 jam)
5. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang masih
menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam)
6. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari

1. Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 – 94.
15. Kepustakaan 2. Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis – Life threatening
allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm.
3. Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed.
Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 449–52.
4. Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm
5. Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 101–14.
6. Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347– 61.
7. Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy Clin
North Am 1999; 19(3): 533 –53.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 0

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SYOK HIPOVOLEMIK

1. Pengertian (Definisi) Syok adalah sindroma klinis akut yang disebabkan kegagalan fungsi kardiovaskuler dalam menyediakan kecukupan
oksigen dan nutrien lain untuk metabolisme jaringan, yang disebabkan karena kekurangan cairan.

2. Anamnesis - Kehilangan cairan : muntah, diare, luka bakar, perdarahan, drainase bedah
- Masukan cairan : jenis, jumlah
- Produksi urin
- Perubahan berat badan
KOMPENSASI
3. Pemeriksaan Fisik Tekanan darah N/↑ & mungkin tjd maldistribusi; fungsi organ vital masih baik Takikardi;
takipnea; CRT 2-3 detikl; iritabilitas ringan
DEKOMPENSASI
Perfusi mikrovaskuler ↓; pe↓ volume sirkulasi efektif
Kulit dingin; lembab; pucat; mottled; sianosis; kesadaran ↓; CRT>4 detik; hipotensi; nadi lemah; oliguria
IRREVERSIBLE
tekanan darah tidak teratur, nadi tidak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda
kegagalan sistem organ lain
1. Gejala klinis
4. Kriteria Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Diagnosis syok hipovolemik di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
1. Syok Septik
6. Diagnosis Banding 2. Syok Kardiogenik
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
1. Bebaskan jalan napas dan oksigenasi dengan O2 100%.
8. Terapi 2. Pasang akses vaskuler (IV / IO) dan ambil sampel darah untuk laboratorium (darah lengkap, gula darah acak,
kalsium).
3. Bolus dengan cairan kristaloid / koloid isotonik 20 ml/kg secepatnya (< 10 menit), bisa diulang sampai perfusi baik
ATAU 60 ml/kg ATAU terdengar ronki ATAU hepatomegali (total waktu 10-15 menit).
4. Evaluasi tanda klinis syok setiap selesai bolus.
5. Koreksi hipoglikemi dan hipokalsemi.
Bila resusitasi cairan telah diberikan (2-3 kali bolus) dimana + 40-60% dari volume darah telah dimasukkan namun belum
ada respon adekuat, lakukan intubasi bila diperlukan. Evaluasi kemungkinan penyebab syok dan lakukan tatalaksana lanjut
sesuai penyebabnya.

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang,
9. Edukasi dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Kehilangan
volume yang cukup besar dalam waktu lambat, masih dapat ditolerir dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat
atau singkat.
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab
yang mungkin dan untuk penanganan lansung.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat C
Rekomendasi
dr. Vebri Valentania Sp.A
13. Penelaah Kritis dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis  Pengisian kapiler harus tercapai dalam waktu 60 menit dengan tanda waktu pengisian kapiler < 2 detik, denyut
nadi normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan sentral, produski urin > 1mL/kgBB/jam, kesadaran normal,
tekanan darah normal sesuai usia dan saturasin oksigen > 95%.
 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SYOK HIPOVOLEMIK
1. APLS. The pediatric emergency medicine course. Edisi ke-2. 1993.
15. Kepustakaan 2. Bell LM. Shock. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi
ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. Hal: 46-57.
3. Smith L, Hernan L. Shock states. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care.
Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. Hal: 294-410.
4. Zingarelli B. Shock and reperfusion injury. Dalam: Nichols DG, et al, penyunting. Rogers’ textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Hal: 252-65.
5. Nadel S, Kissoon NT, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols DG, et al,
penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. Hal: 372-83.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

BRONKIOLITIS

1. Pengertian (Definisi) Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil (bronkiolus)
Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza, adenovirus,
rhinovirus dan mycoplasma.

2. Anamnesis Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam atau hanya
subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang berat bisa
didapatkan cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita.
Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
3. Pemeriksaan Fisik Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit. Ekspiratory
effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas cuping hidung.
Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa wheezing, sedang
ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat suara nafas nyaris tidak terdengar,
wheezing bahkan dapat menghilang.
Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah.

4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada AP dan lateral


penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya sesak pada
bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment Instrument)
2. Pada foto polos dada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengan diameter anteroposterior yang melebar pada foto
lateral. Dapat pula disertai bercak konsolidasi yang tersebar.
3. Analisa Gas Darah dapat menunjukkan keadaan hiperkarbia (PaCO2 yang tinggi), asidosis respiratorik, dan pada
keadaan lanjut dapat terjadi asidosis metabolic dan gagal nafas.
4. Bila tersedia pemeriksaan deteksi cepat antigen RSV sebagai penyebab utama bronkiolitis dapat dilakukan

6. Diagnosis Bronkiolitis
7. Diagnosis Banding 1. Asma bronkiale dalam serangan
2. Pneumonia
3. Aspirasi benda asing
4. Gagal jantung
5. Penyakit lain yang menyebabkan inflamasi pada saluran nafas misalnya cystic fibrosis
8. Terapi 1. Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah:
 Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat
 Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake peroral
 Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur
 Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya.
2. Oksigenasi, bila ada tanda gagal nafas dapat diberikan ventilasi mekanik
3. Pembersihan jalan nafas
4. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
5. Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit.
6. Obat-obatan:
 Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan infeksi bakteri atau disertai pneumonia
 Kortikosteroid sistemik: dexametason 0,5 mg/kg (loading) dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
 Nebulasi dapat dilakukan dengan 2-agonis (misalnya salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang
diencerkan dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier. Penggunaan epinefrine maupun hypertonic
saline belum dianjurkan secara rutin
 Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin
9. Edukasi 1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas akut yang masih ringan agar segera
diperiksakan ke dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 204


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

BRONKIOLITIS

12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis


2. Perbaikan analisa gas darah dan saturasi oksigen
15. Kepustakaan 1. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory
Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders,1990 : 360-70.
2. Goodman D. Bronchiolitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders,2003 : 1415-7
3. Kleigman RM, Jenson HB, Stanton MF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia : WB
Saunders; 2009; 1456-59
4. Wright RB, Pomerantz WJ, Luria JW. New approaches to Respiratory Infection in Children. Ped Emerg Med
Clin of North Am 12002; 20: 93-110

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 205


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PNEUMONIA

1. Pengertian Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Terbanyak adalah
(Definisi) virus atau bakteri. Etiologi lain parasit dan aspirasi zat tertentu
2. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak.
Dapat didahului denganinfeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejala
umum: batuk, demam tinggi, nafas cepat dan sesak nafas. Pada keadaan
yang berat bisa didapatkan cyanosis
Pada anak yang besar bisa didapatkan nyeri dada.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala yang tidak khas seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang, sulit minum, dan
perut kembung
3. Pemeriksaan Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit.
Fisik Inspiratory effort ditandai dengan retraksi dinding dada, nafas cuping hidung
Gerakan dinding toraks dapat tertinggal pada daerah yang terkena infeksi, perkusi normal atau redup, auskultasi paru dapat
terdengar terdengar suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Tanda lainnya adalah demam tinggi, sianosis, dan dapat ditemukan tanda dehidrasi.
Pada infeksi oleh kuman atipik (mycoplasma, chlamydia) gejalanya tidak jelas maupun memberikan onset akut seperti
diatas. Panas seringkali tidak tinggi, batuk tidak produktif, tidak sesak, dan seringkali disertai sakit kepala
dan malaise.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada
penunjang 2. Analisa Gas Darah
3. Hitung Leukosit dan differerential count
4. Laju Endap Darah (LED)
5. C-Reactive Protein (CRP)
6. Procalcitonin
7. Kultur darah, sputum, swab oropharyngeal
5. Kriteria 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis 2. Pada foto polos dada terlihat infiltrat alveolar maupun interstitial yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru.
Kelainan gambaran radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi oleh kuman atipikal
yang gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang dapat dijumpai berupa konsolidasi
pada satu atau beberapa segmen atau lobus paru, penebalan pleura pada pleuritis, atau adanya komplikasi pneumonia
berupa atelektasis, efusi pleura, abses paru, pneumothorak, pneumomediastinum dan pneumatokel
3. Analisa Gas Darah menunjukkan keadaan asidosis respiratorik, hipoksemia, sedang PaCO2 dapat rendah, normal atau
meningkat tergantung kompensasi yang terjadi. Dalam keadaan lanjut bisa terjadi asidosis metabolik, dan gagal
nafas.
4. Peningkatan hitung leukosit dengan hitung jenis bergeser ke kiri pada infeksi bakterial
5. LED, CRP, dan procalcitonin meningkat pada infeksi bakterial
6. Pemeriksaan kultur darah dapat menunjang menentukan etiologi terutama pada kasus nasokomial. Sedang kultur
sputum dan swab oropharyngeal sering terkontaminasi flora normal

6. Diagnosis Pneumonia
7. Diagnosis 1. Infeksi saluran pernafasan bawah lainnya (Bronkiolitis, laringotrakeobronkitis)
Banding 2. Kelainan bawaan pada paru (cystic lung disease, bullae, hypoplasia, dan lain sebagainya)
3. Payah jantung
4. Sepsis
5. Pada bayi karena gejalanya yang tidak khas dapat menyerupai sepsis, meningitis dan ileus
8. Terapi 1. Untuk pneumonia ringan dapat diterapi secara rawat jalan dapat diberikan antibiotik peroral dengan amoksisilin 50-80
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis atau amoksisilin-asam klavulanat 50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis, serta diberikan
edukasi kepada orang tua
2. Untuk pneumonia berat dan sangat berat dianjurkan rawat inap dan diberikan terapi:
 Ampisilin 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 4 dosis atau ampisilin-sulbaktam 100 mg/kg/hari iv dalam 4 dosis untuk
Community acquired pneumonia
 Ceftriaxone 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 2 dosis atau antibiotik sesuai kultur untuk Hospital acquired
pneumonia
 Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil pemeriksaan laboratoris, foto thorak dan jenis
kuman penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari
 Oksigenasi, dapat diberikan secara nasal atau masker sesuai keadaan klinis. Bila ada tanda gagal nafas diberikan
bantuan ventilasi mekanik.
 Pemberian cairan dan kalori yang cukup
 Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
3. Untuk dugaan pneumonia atipik dapat diberikan eritromisin 50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau spiramisin 50
mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau klaritromisin 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10-14 hari.
4. Untuk dugaan Pneumonia Pneumocystic carinii dapat diberikan kotrimoksasol 20 mg/kg/hari dibagi 4 dosis.
5. Untuk keadaan khusus lainnya dapat diberikan Anti viral (Acyclovir, Gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto
Megalous Virus (CMV), Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada pneumonia karena jamur,
Imunoglobulin pada keadaan imunodefisiensi terutama imunitas humoral

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 206


Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 207
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

PNEUMONIA

9. Edukasi 1. Pemberian imunisasi untuk mencegah pneumonia


2. Pengobatan secara dini bila didapatkan gejala infeksi saluran pernafasan
3. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
4. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
5. Untuk pneumonia ringan yang dirawat jalan harus dipastikan antibiotik dikonsumsi secara lengkap dan kontrol secara
teratur
6. Untuk pneumonia berat sebaiknya di rawat inap dan memerlukan jangka waktu tertentu sampai pneumonianya
dapat membaik
10. Prognosis Pneumonia ringan
Ad vitam : dubia ad bonam Ad
sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam
Pneumonia berat dan sangat berat Ad
vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam Ad
fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Perbaikan gejala klinis


2. Perbaikan radiologis
3. Perbaikan parameter laboratorium
15. Kepustakaan 1. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N Am
2003; 21 : 437-51.
2. Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM,
Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 1432-5.
3. Gaston B. Pneumonia. Pediatr Rev 2002 : 23 : 132-40
4. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N Am
2003; 21: 437-51
5. Sandora TJ, Harper MB. Pneumonia in hospitalized children.
Pediatr Clin N Am 2005; 52: 1059-81
6. Mc Intosh K. Community-acquired pneumonia in children. N
Eng J Med 2002; 346: 429-36
7. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired bacterial pneumonia. Dalam:
Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s disorders of
the respiratory tract in children, Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2006;
441-52.
8. Apisamthanarak A, Mundy LM. Etiology of community-acquired pneumonia. Clin
Chest Med 2005; 26: 47-55
9. Crawford SE, Dawn RS. Bacterial pneumonia, lung abscess and empyema. Dalam:
Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine,
Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008; 501-54
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS


(GPPH)
1. Pengertian (Definisi) Gangguan penyesuaian diri perkembangan perhatian (inatensi), aktivitas (hiperaktivitas) dan kontrol perilaku kurang
(impulsif) yang telah berlangsung 6 bulan atau lebih dan terjadi sebelum usia 7 tahun pada tingkat sampai menganggu
penyesuaian diri dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan

2. Anamnesis 1. Tidak ada kelainan pendengaran


2. Tidak ada riwayat trauma
3. Tidak ada trauma persalinan
4. Tidak ada Penelantaraan anak
5. Tidak ada kelainan kongenital

3. Pemeriksaan Fisik 1. Tidak mampu memusatkan perhatiannya untuk waktu yang lama,
2. Perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus lain.
Rentang waktu pemusatan perhatian yang singkat, kemampuan menyimak yang rendah
3. Hiperaktivitas
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan Neurofisiologis.
d. Laporan prestasi akademis.
e. Behavior Rating scales yang diperoleh dari beberapa sumber ( guru dan orang tua ).
f. Harus memenuhi kriteria DSM IV.

1. Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi)


2.Impulsivitas
3. Hiperaktivas

5. Diagnosis GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS (GPPH)


6. Diagnosis Banding 1 .Penyakit kronis
2. Gangguan tidur (Sleep disorders).
3. Depresi.
4. Gangguan kecemasan.
5. Obsessive-compulsive disorders.
6. Gangguan sekunder akibat stres.
7. Pervasive developmental disorders.
8. Gangguan psikiatri lainnya.

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah lengkap


2. Pemeriksaan pendengaran
3. Pemeriksaan IQ
4. Bila perlu MRI kepala

8. Terapi 1. Terapi Perilaku


2. Metilfenidat :
-Short acting : 5-20 mg ( 2-3x/hari).
-Intermediate-acting : 20-40 mg ( pagi 20 mg, sore 20 mg)
-Long-acting : 18-72mg (1 kali/hari)
3. Amfetamin

9. Edukasi 1. Hubungan orang tua dan anak dipererat


2. Menghindari perlindungan orang tua yang berlebihan
3. Perhatian di sekolah oleh guru
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Perhatian membaik


2. Aktivitas menjadi normal
15. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics (2000), “Clinical practice guideline: diagnosis and evaluation of the child with
ADHD”, Pediatrics, vol. 105, h. 1158-70.
2. American Academy of Pediatrics (2001), “Clinical practice guideline:Treatment of the school-aged child with
ADHD”, Pediatrics, vol. 108, h. 1033-44.
3. Polaha, J., Cooper, S.L., Meadows, T., Kratochvil, C.J. (2005), “ The Assessment of Attention- Deficit/Hyperactivity
Disorder in Rural Primar Care: The Portability of American Academy of Pediatrics
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN-HIPERAKTIVITAS


(GPPH)
Guidelines to “Real World” “, Pediatrics, vol 115, no 2, h. 120-6.
4. Reiff, M.I., (2001), Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, dalam : Bergman, A.B. (penyunting), Twenty Common
Problems in Pediatrics. Mc Graw-Hill, Singapura, h. 265-299.
5. Simms MD (2004), Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, dalam : Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Jenson, H.B.
(penyunting) Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-17, W.B.Saunders Co, Philadelphia, h. 107-10.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

CAMPAK

1. Pengertian (Definisi) - Campak, measles, atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini sangat
menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Penularan secara droplet (airborne).
2. Anamnesis - Campak mempunyai gejala klinis yang khas, terdiri dari 3 stadium, yaitu :
1. (Stadium masa tunas 10-12 hari)
2. Stadium prodromal 2-4 hari
3. Stadium erupsi 5-7 hari
4. Stadium konvalesen
- Stadium prodromal diawali dengan demam yang makin tinggi disertai batuk, pilek, nyeri telan, konjungtivitis dan
silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti muntah dan diare. Pada masa ini dapat ditemukan tanda
patognomonis adanya bercak Koplik’s, yaitu enantema di mukosa pipi di depan dari molar 3, yang biasanya muncul 2
hari sebelum timbulnya ruam.
- Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam makulopapular pada kulit, yang dimulai dari belakang telinga, batas antara
rambut dan kulit, kemudian menyebar ke wajah, dada, perut, lengan dan kaki secara bersamaan. Suhu akan mulai
turun pada hari ke 2-3 ruam, dan ruam kemudian mengalami hiperpigmentasi dan deskuamasi.
- Pada stadium konvalesen ruam akan berangsur menghilang sesuai dengan urutan timbulnya.
- Pada anak dengan gizi buruk gejala muntah dan diare bisa sangat berat.
- Bisa timbul komplikasi berupa otitits media, bronkopneumoni, mastoiditis, laryngitis akut, ensefalitis, gastroenteritis,
adenitis servikal, SSPE (subacute sclerosing panencephalitis), aktivasi tuberculosis, dan
gangguan gizi sampai kwashiorkor.

3. Pemeriksaan Fisik - Stadium prodromal didapatkan panas disertai 3C dan 1 K (cough, coryza, conjunctivitis, dan koplik’s spot)
- Stadium erupsi ditandai timbulnya ruam makulopapular yang bertahan 5-6 hari, yang dimulai dari batas telinga
kemudian menyebar ke wajah dan seluruh tubuh. Sekitar 2-3 hari setelah ruam muncul biasanya panas akan
menghilang.
- Stadium konvalesen setelah 3 hari ruam akan menjadi kehitaman dan mengelupas, dan menghilang setelah 1-2
minggu sesuai urutan timbulnya.
- Penentuan status gizi penderita penting karena gizi buruk mempunyai komplikasi yang berat
- Gejala fisik lainnya ditemukan sesuai dengan timbulnya komplikasi yang terjadi.
4. Kriteria Diagnosis A. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan tambahan
1. Anamnesa :
Panas, batuk pilek dan konjuntivitis serta ditemukannya bercak Koplik’s (patognomonik)
2. Pemeriksaan fisik :
Adanya ruam makulopapular yang timbul pertama dari belakang telinga kemudian menyebar ke wajah, dada dan
seluruh tangan dan kaki.
3. Pemeriksaan Ig M spesifik campak (+) dan pemeriksaan virologi
4. kultur virus dari swab ginggiva atau urine

B. Untuk campak dengan komplikasi :


Ensefalitis
Pneumonia

5. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah lengkap : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi
2. Pemeriksaan serologi : Ig M spesifik campak
3. Feses lengkap jika diare
4. Pemeriksaan penunjang untuk komplikasi : pungsi lumbal, foto polos dada, CT scan/MRI kepala.
5. Analisa gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak sesuai indikasi

6. Diagnosis Campak
Campak dengan komplikasi (ICD 10: B05.1,2,3,4)

7. Diagnosis Banding 1. Rubela


2. Infeksi Adenovirus
3. Infeksi Enterovirus
4. Scarlet fever
5. Infeksius mononukleosus
6. Penyakit Kawasaki
7. Erupsi obat
8. Roseola infantum (eksantema subitum)
8. Terapi  Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
1. Pemberian cairan yang cukup
2. Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya komplikasi
3. Suplemen nutrisi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo_Surabaya 210


Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

CAMPAK

4. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder


5. Anti konvulsi apabila terjadi kejang
6. Pemberian vitamin A.
 Indikasi rawat inap :
Hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.
 Campak tanpa komplikasi :
1. Hindari penularan
2. Tirah baring di tempat tidur
3. Vitamin A pada usia <6 bulan 50.000 IU, usia 6 bulan – 1 tahun 100.000 IU, pada usia > 1 tahun
200.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.
4. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran
pasien dan ada tidaknya komplikasi.
 Campak dengan komplikasi :
1. Ensefalopati/ensefalitis
 Mengatasi kejang dengan diazepam
 Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PPK ensefalitis
 Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PPK ensefalitis
 Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan elektrolit
 Pengobatan suportif dan simtomatis lain
2. Bronkopneumonia :
 Antibiotika sesuai dengan PPK pneumonia
 Oksigen nasal atau dengan masker
 Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa/gas darah dan elektrolit
3. Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi

9. Edukasi 1. Perlunya isolasi


2. Penyakit yang swasirna
3. Penjelasan tentang komplikasi yang bisa terjadi
4. Imunisasi campak termasuk dalam program imunsasi nasional sejak tahun 1982. Strategi
reduksi campak terdiri dari :
a. Pengobatan pasien campak dengan memberikan vitamin A
b. Imunisasi campak
- PPI : diberikan pada umur 9 bulan.
Imunisasi campak dapat diberikan bersama vaksin MMR pada umur 12-15 bulan
- Mass campaign, bersamaan dengan Pekan Imunisasi nasional
- Catch-up immunization, diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1-6
c. Surveilans
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Bebas panas


2. Tidak sesak dan tidak diare
3. Nafsu makan membaik
4. Ruam telah menghitam dan atau mengelupas
5. Setelah 7 hari perawatan
6. Tindak lanjut :
a. Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang perlu dipantau terhadap adanya
infeksi TB laten.
b. Pantau gejala klinis serta lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
c. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk, konsultasi pada Divisi Nutrisi & Metabolik
15. Kepustakaan 1. Parwati SB. Campak dalam perspektif perkembangan imunisasi dan diagnosis. Pediatri pencegahan mutakhir I, CE
IKA Unair, 2000 : 73-92.
2. Katz SL. Measles in Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ (eds). Krugman’s Infectious Diseases of Children, 8th ed, St.
Louis, Mosby, 1998 : 247-264.
3. Kristensen I, Aaby P, Jensen H, Routine vaccination and child survival : Follow up study in Guinea-Bissou, West
Africa. Br Med J. 2000; 321 : 1-8.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 211
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

CAMPAK

4. Joklik WK. Paramyxovirus in Joklik WK, Virology, 3rd ed. London, Prentice-Hall International Inc., 1988; hal.
204-219.
5. Redd SC, Markowitz LE, Katz SL, Measles vaccine in Plotkin and Orenstein (eds), Vaccines, 3rd ed,
Philadelphia, WB Saunders, 1999 : 222-266.
6. Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema subitum (roseola
infantum) Br Med J, 1996; 312 : 101-2.
7. WHO. Manual for the laboratory diagnosis of measles virus infection. Geneva, 2000. WHO/V&B/00. 16.
8. Heifand RF, Health JL, Anderson LJ, Gonus D, Bellini WJ. Diagnosis of measles with an IgM-captured EIA
: the optimal timing of specimen collection after rash onset. J Infect Dis, 1997; 175 : 195-7.
9. Shann F. Meta analysis of trials of prophylactic antibiotics for children with measles : inadequate evidence Br Med J,
1997; 314 : 334.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 212
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma
leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta trombositopenia ≤
100.000
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak jelas
peyebabnya
- 3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti morbili. Pada
periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan lokasi pada kedua extremitas
bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas (handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala saluran
cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
- 7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai

3) Pemeriksaan Fisik
 Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
 Penderita tampak sakit sedang sampai berat, kadang disertai penurunan kesadaran
 Temperatur dapat sub febris normal atau sub normal
 Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes RL yang positif (>10 titik pada area
berdiameter 1 inchi), atau dijumpai gejala perdarahan spontsan, berupa petekiae, ekimosis,
perdarahan gusi, dan hypermenorhoea. Kadang dijumpai muntah darah dan berak darah Pada
penderita DHF grade 3 dan 4 apabila dilakukan tes RL umumnya negatif
 Adanya kebocoran plasma yang bisa ditunjukkan dengan efusi pleura dan atau asites; ditunjang dengan
hasil pemeriksaan tambahan
 Tanda vital
Nadi dapat normal pada DHF grade 1 dan grade 2, sedangkan untuk DHF grade 3 nadi dapat cepat dan kecil,
dan nadi tak teraba untuk DHF grade 1 dan grade 2.

Pada DHF grade 3 terjadi penyempitan tekanan nadi ≤ 20 atau terjadi penurunan systole dan diastole
Pada DHF grade 4 tekanan darah tak terukur
Frekuensi nafas dapat normal, cepat dangkal maupun cepat dan dalam (pernapasan Kuzmaul)
 Hepatomegali

4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik


2. Gejala plasma leakage berupa peningkatan hematokrit ≥ 20 %, atau ditemukan adanya ascites dan efusi pleura,
sedangkan untuk DHF grade 3 dan DHF grade 4 berupa gangguan sirkulasi/syok
3. Gangguan hemostatik berupa trombositopenia ≤ 100.000 dan adanya tanda perdarahan mulai dari
perdarahan ringan sampai perdarahan masif yang mengancam nyawa.
4. Dapat ditunjang dengan hasil NS1 dan atau Ig M dan atau Ig G dengue positif

Diagnosis Demam Berdarah Dengue (ICD 10: A91)

6) Diagnosis Banding 1. Dengue fever


2. Trombositopenik purpura
3. Infeksi virus lain seprti morbili, rubella, chikungunya
4. Sepsis
5. ITP, leukemia, anemia aplastik
6. Syok karena sebab lain
7. Malaria, demam tifoid.
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (≤ 100.000, dan peningkatan hematokrit ≥ 20 % , leukopenia,
hasil hitung jenis menunjukkan limfopenia pada awal sakit dan netropenia pada akhir perjalanan sakit
b. Photo / USG thorax didapatkan efusi pleura dextra
USG abdomen dijumpai adanya ascites
c. Pemeriksaan SGOT dan SGPT biasanya ada penignkatan walau tidak sampai 10 x harga normal, dalam
prosentasi kecil SGOT dan SGPT dapat meningkat > 10 x harga normal
d. Pemeriksaan Ig M dan Ig G Dengue
e. NS1
f. Elektrolit serum, gula darah acak, dan albumin
g. PPT dan APTT atas indikasi

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 213
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

8) Terapi 1. Pemberian cairan intravena untuk mengatasi plasma leakage, prinsipnya


“ diberikan seminimal mungkin untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif”; “ disertai observasi ketat dari waktu
ke waktu sampai plasma leakage berhenti “
Pemberian infus cairan RLD5 pada DHF grade I dan II yang LFT normal/ atau RAD5 pada penderita DHF grade I
dan grade II yang SGOT dan SGPT nya > 10 x harga normal, dengan formula pemberian cairan 7-5-3
Pada penderita DHF grade 3 dan grade 4 syok diatasi secepat mungkin, kalau syok sudah teratasi pemberian
cairan mengikuti formula 7-5-3 (lampiran algoritme pemberian cairan penderita DHF)
2. Melakukan observasi ketat dari waktu ke waktu, meliputi Keadaan
umum, nafsu makan dan capillary refill time (CRT) Tanda vital
tekanan darah, nadi, frekuensi napas, temperatur Produksi urine
Hematokrit
Laboratorium sesuai kebutuhan
Observasi ketat dilakukan sampai plasma leakage nya berhenti (peristiwa plasma leakage ≤ 2 x 24 jam) Tanda klinis
berhentinya plasma leakage adalah tanda vital yang stabil, disertai munculnya gejala mau makan / minum serta mau
bermain dari penderita
3. Lakukan deteksi sedini mungkin syok pada penderita dengue, sebab prolong syok memperburuk prognosis
4. Pada penderita DHF yang tidak memberi respon dengan pemberian cairan seperti diatas, maka segera cari
kemungkinan dibawah, dan segera lakukan koreksi :
Plasma leakage
Perdarahan internal yang tersembunyi (“concealed internal bleeding”) Hypoglycemia
Hyponatremia
Hypocalcemia
Asidosis
5. Pemberian transfusi darah diperlukan apabila terjadi perdarahan. Transfusi trombosit jarang diberikan pada
penderita DHF, kecuali apabila didapat Trombositopenia ≤ 50.000 yang disertai tanda perdarahan aktif.
Pada perdarahan masif dapat diberikan transfusi wholeblood. Tranfusi FFP atas indikasi.
6. Oksigen dan obat penurun panas atas indikasi
7. Steroid biasanya diperlukan pada komplikasi jantung dan mata
8. Inotropik, vasopressor, dan hemodialisis hanya pada kondisi tertentu

9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan klinik
tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar

10) Prognosis DHF grade 1 dan grade 2


Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam DHF
grade 3
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fungsionam : dubia ad bonam/malam DHF
grade 4
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam


2. Sudah tidak syok dalam 48 jam terakhir
3. Melewati hari kelima sakit
4. Nafsu makan membaik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 214
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM BERDARAH DENGUE


( DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER )

5. Hemodinamik stabil, produksi urine cukup


6. Tidak ada perdarahan
7. Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut
8. Trombosit lebih dari 50.000/mm3 dan cenderung meningkat
9. Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus
10. Setelah 5 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 215
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM TYPHOID

1. Pengertian (Definisi) Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi
2. Anamnesis  Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat. Bisa
disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus.
 Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan, yaitu
demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf
 Demam bersifat stepladder, pada hari ≥ ke 5 sakit biasanya demam terus menerus tinggi, diberi antipiretik
turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada siang hari.
 Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung
 Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran
 Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang biasanya
terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau sudah mendapat
antibiotika
 Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit
didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas.
 Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir minggu
pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan penderita bisa gaduh
gelisah.
 Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2
sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus dan
peritonitis

3. Pemeriksaan Fisik  Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus
 Pada anak dapat dijumpai febris ≥ 5 hari, dengan kesadaran mulai komposmentis hingga delirium atau
penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali dan splenomegali
 Gejala klinik lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi

4. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah tepi, demam typhoid klasik akan mendapat leukopenia dan relative
lymphositosis
2. Pemeriksaan serologi widal O dilakukan hari ke ≥ 5 sakit dengan titer 1/200. Widal terbaik dapat
dilakukan 2 kali dengan jarak 5-7 hari dan didapatkan peningkatan titer >4x.
3. Pemeriksaan serologi Ig M dengan metode Tubex (antibodi anti-Salmonella 09) dilakukan hari ke
≥ 5 sakit dengan hasil ≥ + 4
4. Pemeriksaan kultur salmonella typhi dari specimen darah, dilakukan pada sebelum hari ke- 5 sakit
dengan hasil positif. Biakan sumsum tulang dapat positif hingga minggu ke-4.
5. Atas indikasi tertentu dilakukan :
- Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, SGOT, SGPT, BUN dan serum kreatinin
- Pemeriksaan urine, atau kultur urine
- Pemeriksaan thorax photo
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan CT scan / MRI otak
5. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan :
- Gejala klinik
- Pemeriksaan darah tepi
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan kultur salmonella typhosa dari spesimen darah
6. Diagnosis Demam Tifoid (ICD10: A01.00)
7. Diagnosis Banding 1. Awal sakit adalah influenza, bronchitis, bronchopneumonia, gastroenteritis, infeksi virus dengue, sepsis,
UTI
2. Phase lanjut ( ≥ minggu ke 2) tuberculosis, malaria, sepsis, infeksi saluran kemih, otitits media akuta,
keganasan, UTI, hepatitis, shigellosis
8. Terapi 1. Kalau diperlukan diberi infus cairan sesuai dengan umur dan kebutuhan
2. Antibiotika
Penderita terapi ambulatoir dapat dipakai :
Chloramphenikol oral dengan dosis 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis sampai 2 minggu. Monitor
efek samping terutama dengan pemeriksaan retikulosit.
Amoxicillin oral dengan dosis 100 mg per kgBB sampai 2 minggu
Cefixime oral dengan dosis 10 – 15 mg per kgBB terbagi dalam 2 dosis selama 2 minggu
Pada penderita yang indikasi rawat inap, diberikan ceftriaxone 80 mg per kgBB per hari dibagi 2 kali,
dengan lama pemberian selama 5 – 10 hari
Pada penderita yang disertai komplikasi pneumonia, otitis media akuta maupun infeksi saluran kemih,
ceftriaxone dengan dosis dan lama pemberian sama dengan diatas
Pada penderita yang resisten terhadap ceftriaxone, maka pemberian ciprofloxacine dengan dosis 15
mg per kgBB dalam dosis terbagi selama 7 – 10 hari
3. Pada karier S. typhi (tetap ada dalam urin/feses selama lebih dari 6-12 bulan): amp[isilin
100/mg/kgBB/hari dibagi 4, selama 6-12 minggu ; atau kotrimoksasol 4-20 mg/kgBB/hari dibagi 2
selama 6-12 minggu

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 216
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM TYPHOID

4. Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai
komplikasi ensefalopati
5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan
6. Antipiretika sesuai kebutuhan
7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis
9. Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan
3) Prognosis penderita
4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral
5) Imunisasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam


2. Nafsu makan dan minum membaik
3. Perbaikan kondisi klinis penderita
4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik
5. Pemeriksaan darah lengkap
6. Setelah 7 hari perawatan
15. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long
SS,McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in infectious diseases. Edisi
ke-27.Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.579- 84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter JH,
Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004, h. 212-3

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 217
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )

1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran
plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul rewel
yg tak jelas penyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan
lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas (handglove
like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting

3) Pemeriksaan Fisik
 Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
 Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil
rewel sekali
 Temperature dapat febris, sub febris, normal atau sub normal
 Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede yang positif, atau dijumpai
gejala perdarahan spontan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan hypermenorhoea
 Dapat dijumpai gejala saluran napas atas berupa pilek, batuk, pharyngitis ringan
 Pada hari sakit 1-3 dapat dijumpai flushing terutama pada muka
 Pada hari sakit 3-5 dapat dijumpai ruam morbiliform
 Dapat dijumpai adanya “convalescence rash” pada periode recovery
 Dapat dijumpai hepatomegali

4) Kriteria Diagnosis 1.
Gejala dan tanda klinik sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik
2.
Trombositopenia (<100.000/mm3). Sering disertai leukopenia (<4000/mm3)
3.
Tanpa kebocoran plasma yang ditandai dengan tak didapatkannya peningkatan hematokrit, dan atau tak
dijumpai adanya ascites dan atau efusi pleura dextra.
4. NS1 antigen dengue + atau Ig M dengue +
Diagnosis Demam Dengue (ICD10: A90)
6) Diagnosis Banding 1. Undifferentiated fever
2. Dengue Hemorrhagic fever grade I dan grade II
3. Trombositopenik purpura, leukemia, anemia aplastik
4. Infeksi virus lain seperti campak, rubella, chikungunya
5. Demam tifoid, malaria
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (< 150.000, dapat > 100.000, tetapi ada yang ≤
50.000 dengan hematokrit normal
b. Pada hari sakit ≤ 3, periksa NS1 Antigen Dengue
Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue Pada
hari sakit ≥ 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue
c. Photo / USG thorax menyingkirkan adanya efusi pleura
USG abdomen untuk menyingkirkan adanya ascites
d. ALT/AST dan gula darah acak jika diperlukan
8) Terapi 1. Kalau diperlukan diberikan infus cairan rumatan sesuai umur, dengan memenuhi kebutuhan cairan
sesuai formula Halliday Segar
2. Apabila trombosit <50.000 dan disertai tanda perdarahan aktif diberikan transfusi trombosit
3. Pada perdarahan massif dapat diberikan transfusi wholeblood
4. Parasetamol
5. Diazepam jika kejang (kejang demam)
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar

10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 218
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )

12) Tingkat Rekomendasi A


13) Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam


2. Melewati hari kelima sakit
3. Nafsu makan membaik
4. Hemodinamik stabil, produksi urine cukup
5. Tidak ada perdarahan
6. Tidak didapatkan muntah dan nyeri perut
7. Trombosit lebih dari 50.000/mm3 dan cenderung meningkat
8. Ada ruam penyembuhan pada sebagian kasus
15) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1- 67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept
1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO,
Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics
1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak &
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI,
penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 219
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

DIPHTHERIA

1. Pengertian (Definisi) suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga melibatkan C.
Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis..
2. Anamnesis Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir atas. Dapat terjadi
epistaxis …… Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan ……..
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra,
dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau. Pada
daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.
Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri
Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita

3. Pemeriksaan Fisik Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri.
Difteri Hidung
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata
Difteri Tonsil-Faring
Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle
atau ke distal menuju laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan submandibularis
bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala selanjutnya tergantung derajat
elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi
paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung atau saraf.
Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna. Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi,
stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal
dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri
faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra, dapat
disertai air mata bercampur darah
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.

4. Kriteria Diagnosis 1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan klasikasi
kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported. Termasuk
suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran. Probable case bila
suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut:
-kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed
-pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau petekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-insufisiensi renal akut
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6
minggu awitan sakit
-meninggal
Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tenggorok, ulkus kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina) atau ≥ 4X kenaikan serum antitoksin, tetapi hanya
bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri.

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 220
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 – 2023

DIPHTHERIA

2. Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita.
3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan
menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk menentukan
toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan
cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara
luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap difteri.
5. Diagnosis Difteria (ICD10: A36.9)
6. Diagnosis Banding Difteri Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita) .
Diteri faring :
Tonsilitis membranosa akuta oleh karena
streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Difteri Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus
Difteri konjungtiva :
Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain
7. Pemeriksaan a. Darah lengkap
Penunjang b. Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain…
c. Pengecatan gram
d. Urin lengkap
e. elektrokardiografi
f. bila perlu foto dada
g. Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak
8. Terapi 1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing dengan
selang waktu ≥ 24 jam. Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari
2. Tatalaksana medikamentosa
Tujuan mengobati penderita difteri adalah menginaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteri
a. Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada difteri
sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva)
20.000 iu.
b. Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3). Jika
didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3)
c. Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS.
d. Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis.
9. Edukasi a. Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi sesuai
usia
b. Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat
c. Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus
d. Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan
pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah neuritis
seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam)

10. Prognosis Difteri berat :


Ad vitam : dubia ad malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 221
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Kabupaten Rejang
Lebong
2022 – 2023

DIPHTHERIA

Ad sanationam : dubia ad malam Ad


fungsionam : dubia ad malam Difteri
lain :
Pada umumnya dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/
IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis a. Bebas demam


b. Bisa makan dan minum
c. Membran menghilang
d. Hasil kultur hapusan tengorok dan hidung negatif
e. Komplikasi – jika ada- sudah membaik.
f. Setelah 14 hari perawatan
15. Kepustakaan a. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, et al, eds Red book:
2006 Report of the committee on infectious diseases 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of
Pediatrics; 2006: 277
b. Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in: Kliegman RM, Stenton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed Philadelphia: WB Saunders,
2011; 929.
c. Christie AB, ed. Diphtheria. Infectious Diseases: Epidemiology and clinical practice. Edinburgh London
New York : Churchill Livingstone, 1987; 1183-209.
d. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Pedoman Penanggulangan KLB Diphteri di Jawa Timur. 2011.
e. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Diphtheria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ,
Kaplan SL, eds. Feigin & Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases 6th ed 2009:1393- 1402
f. Guilfoile PG. Diphtheria. Dalam: Babcock H, Heyman D, eds. Deadly diseases and epidemics:
Diphtheria. New York, Chelsea House 2009
g. Halsey NA, Smith MHD. Diphtheria. Dalam: Warren KS, Mahmoud AAF, eds. Tropical and
Geographical Medicine. International Student Edition. New York : Mc Graw-Hill, 1990, 860-6.
h. Hodes HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979; 26 : 445.
i. McCloskey RV. Corynebacterium diphtheriae (Diphtheria). Dalam : Mandel GL, Douglas RG, Bennett JE,
eds. Principles and practice of Infectious Diseases. Churchill Living stone : John Wiley & Sons inc. 1985;
1171-4.
j. Top FH, Wehrle PF,eds. Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The CV Mosby Co.
1976 : 223-38.
k. Wharton M. Diphtheria. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugman’s Infectious Diseases of
Children. 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 222
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

INFEKSI VIRUS DENGUE

1) Pengertian (Definisi) Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang
imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery.
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak jelas
peyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti morbili
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting

3) Pemeriksaan Fisik  Penting menentukan hari sakit keberapa saat penderita datang
 Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel sekali
 Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun sekitar 37-
38oC saat mau memasuki periode kritis.
 Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit
(“flushing”), atau berupa ruam seperti morbili
 Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala
perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea
 Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan
 Dapat dijumpai hepatomegali

4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik


2. Leukopenia, mungkin disertai trombositopenia, SGOT (dan SGPT) meningkat
3. NS1 antigen dengue +
4. Ig M dengue +
Diagnosis 1. Diagnosis probable infeksi virus dengue berdasar adanya keluhan panas tinggi yang timbul mendadak disertai 2 dari
gejala yang lain (nyeri, flushing/ruam, tanda perdarahan RL tes +/perdarahan spontan) disertai leukopenia, dan mungkin
SGOT dan SGPT meningkat
2. Dalam perjalanan klinik setelah panas turun infeksi virus dengue akan menjadi :
- Undifferentiated fever yang tidak disertai trombositopenia dan plasma leakage, atau
- Dengue fever yang disertai trombositopenia tanpa plasma leakage atau
- Dengue haemorrhagic fever yang disertai trombositopenia dan plasma leakage atau
- Unusual clinical manifestation/expanded dengue syndrome, berupa infeksi virus dengue dengan keterlibatan organ
hepar (liver involvement), organ central nerve system (CNS involvement), organ jantung dan keterlibatan organ lainnya
atau adanya perdarahan yang massif
3. Untuk penderita infeksi virus dengue yang tak disertai trombositopenia dan plasma leakage, pemeriksaan etiologi
dengan memeriksa NS1 antigen dengue, Ig M dan Ig G dengue menjadi sangat perlu untuk diagnosis
infeksi virus dengue.
6) Diagnosis Banding 1. Infeksi virus Chikungunya
2. Demam typhoid awal
3. Exanthema subitum
4. Sepsis
5. Malaria
6. Morbili, rubella
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai leukopenia
b. SGOT biasanya sedikit meningkat sedangkan SGPT lebih jarang meningkat
c. Pada hari sakit ≤ 3, periksa NS1 Antigen Dengue
d. Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
e. Pada hari sakit ≥ 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue
8) Terapi 1. Pada penderita yang datang pada periode febris, maka pengobatan yang diberikan :
 Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali
 Hindari asam salisilatdan ibuprofen
 Antibiotika tidak diperlukan
 Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya
 Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita tidak mau
minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula Halliday Segar yang
dikenal sebagai formula cairan rumatan)
Berat badan ( kg ) Vol cairan rumatan 24 jam

10 100 cc / Kg BB
10 – 20 1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg
 20 1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg
Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 223
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

INFEKSI VIRUS DENGUE

2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda klinik
sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat.
Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah :
 Nyeri abdomen
 Muntah persisten
 Perdarahan
 Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik
 Lethargi/restlessness
 Hepatomegali > 2 cm
 Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat
 Penderita tampak loyo, dan pada perabaan terasa dingin
3. Apabila ditetapkan rawat inap, maka pemberian cairan rumatan intravena diberikan, kemudian di follow up apakah
pada waktu panas mulai turun, penderita menjadi undifferentiated fever, dengue fever, dengue haemorrhagic fever
ataukah unusual clinical manifestation of dengue viral infection
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan klinik
tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar.
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14) Indikator Medis Keadaan umum penderita


Tanda Vital
Setelah 5 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010 sept 1. Available
from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 224
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0)

1) Pengertian (Definisi) Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali.
2) Anamnesis a) Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemismalaria.
b) Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat, mialgia, dan
atralgia.
c) Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demamdengan interval tertentu
(paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demampasien merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada
nafsu makan, mual atau muntah.
d) Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atauinfeksi ber ulang
dari satu jenis Plasmodium), demam dapat berlangsung terus menerus (tanpa interval),
e) Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
f) Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage), dan stadium
berkeringat (sweating stage).
g) Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali bermanifestasisebagai kejang
h) Pada sebagian kasus akan didapatkan kesadaran yang menurun, atau urine berwarna coklat, atau ikterus.

3) Pemeriksaan Fisik a) Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah , diare, ikterus, dan hepato-splenomegali.
b) Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu atau lebih kelainan sebagai
berikut:
 Hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasite
 Malaria serebral dengan kesadaran menurun
 Anemia berat, kadar hemoglobin <7 g/dl
 Perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata
 Ikterus, kadar bilirubin serum >50 mg/dl
 Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
 Gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis <400 ml/24jam
 Hiperpireksia
 Edem paru
 Syok, hipotensi, gangguan asam basa
 Urine berwarna coklat (black water fever)
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Malaria Berat (ICD 10: B 50.0)
6) Diagnosis Banding a) Demam tifoid
b) Meningitis
c) Apendisitis
d) Gastroenteritis
e) Hepatitis
f) Influenza dan infeksi virus lainnya
g) Sepsis
h) Riketsiosis
7) Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan apus darah tepi: Tebal:
ada tidaknya Plasmodium
Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia
b) RDT
c) Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi: i)DPL,
HJ, LED
ii) Urinalisis
iii) SGOT, SGPT, bilirubin T/D/I
iv)Alkali fosfatase, albumin
v) Ureum, kreatinin
vi)AGD dan elektrolit
vii) Gula darah sewaktu
viii) EKG
ix)Foto toraks
x) Analisis cairan serbrospinalis
xi)Hitung parasit

8) Terapi a) Antipiretik apabila demam >39oC


b) Suportif
 Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah
 Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oralatau
parenteral
 Pelihara keadaan nutrisi
 Transfusi darah pack red cell 10 ml/kgbb atau whole blood 20 ml/kgbb apabila anemia
dengan Hb <7,1g/dl

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 225
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0)

 Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai


 Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
 Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP. Dialisis peritoneal
dilakukan pada gagal ginjal
 Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen
 Apabila terjadi gagal napas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila mungkin)
 Pertahankan kadar gula darah normal
c) Medikamentosa

Pilihan utama: Artesunat intravena


Pengobatan malaria di tingkat RS dianjurkan untuk menggunakan artesunate intravena.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang
berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Larutan artesunat dibuat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dan 0,6
ml natrium bikarbonat 5%,diencerkandengan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc dan diberikan secara bolus perlahan-lahan.

Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4
mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. Artemeter diberikan
dengan dosis 1,6mg/kgbb intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgbb
intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, pengobatan
dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.

Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral, Quinine


Kemasan dan cara pemberian kina parenteral

Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin
parenteral. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan dekstrosa 5
% atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat minum
obat, selanjutnya diberikan kina peroral sampai 7 hari.
Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgbb.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya dalam
Dextrose 5%
6) Klorokuin tidak lagi dapat digunakan untuk semua jenis malaria di Indonesia

9) Edukasi a) Pemakaian kelambu saat tidur


b) Penggunaan losion anti nyamuk
c) Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis malaria
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 226
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

MALARIA BERAT (ICD 10: B50.0)

14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik


2. Respon klinis dan parasitologis memadai
3. Tidak ada parasitemia
4. Tidak ditemukan komplikasi atau sudah membaik
5. Setelah 10 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village,
IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h. 435-41.
2. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious
diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 337-48.
3. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia; 2004. h. 1139-43.
4. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting.
Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003,
h.1295-1301.
5. World Health Organization. Severe falciparum malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2000.
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 227
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SEPSIS (ICD 10: A41.9)

1) Pengertian (Definisi) Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat,
disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia,
hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab
2) Anamnesis a) Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup :
- Riwayat luka bakar luas
- Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
- Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
- Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway

b) Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang disusul
dengan hipotensi
c) Gelisah dan agitasi
d) Letargi
e) Muntah

3) Pemeriksaan Fisik Penurunan kesadaran, letargi, agitasi


a) Hipotermia atau Hipertermia
b) Takikardia
c) Hiperventilasi
d) Gangguan perfusi
e) Perut kembung
f) Timbulnya petekia dan purpura
g) Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Sepsis (ICD 10: A 41.9)
6) Diagnosis Banding a) Sindroma Syok Dengue
b) Intoksikasi
c) Sindrom Kawasaki
d) Leptospirosis
e) Tuberkulosis
f) Malaria
g) Kriptokokosis
h) Penyakit Lyme
i) Rocky Mountain Spotted Fever
j) Keganasan
7) Pemeriksaan Penunjang a) Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, Hitung dengan hapusan darah tepi
b) Urinalisis
c) Foto Rontgen toraks
d) SGOT &SGPT serta Bilirubin T/D/I
e) Procalcitonin
f) Biakan darah berulang
g) Biakan urin
h) Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
i) Biakan jamur pada darah dan urin
j) Ureum & Kreatinin
k) Gula darah sewaktu
l) PT & APTT
m) Elektroli serum
n) FDP, D-dimer
8) Terapi a) Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat diberikan:
 Ampisilin-Sulbactam (100-200 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 kali untuk Ampisilinnya) dan
Gentamisin (5-7 mg/kgBB/hari, sekali sehari)
 Sefotaksim 100mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis
 Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila didapatkan
kecurigaan bakteri anaerob.
 Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara definitif.

b) Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam-basa.


c) Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian oksigen dan
mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
d) Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
e) Terapi Oksigen
f) Terapi cairan intravena TPN
g) Anti jamur sistemik

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 228
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

SEPSIS (ICD 10: A41.9)

h) Parasetamol
i) Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
j) Inhalasi
k) Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi
l) Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
9) Edukasi a) Tirah baring
b) Imunisasi
c) Perbaiki nutrisi
d) Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
e) Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10) Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fungsionam : dubia
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik


2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi atau sudah membaik
5. Hasil kultur negative
6. Setelah 14 hari perawatan
15) Kepustakaan a) Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
b) Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
c) Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
d) Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis Journ,
1992; 11: 739-49
Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 229
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TETANUS

1. Pengertian (Definisi) Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda
utama spasme tanpa gangguan kesadaran.
2. Anamnesis - Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar cairan
dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port d’entree
- Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada BUMIL/WUS.
- Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia) karena
kekakuan otot masseter
- Anak atau bayi sadar
- Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan
- Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit membuka
mulut sampai terjadinya kejang

3. Pemeriksaan Fisik - Penderita sadar


- Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat menetek,
mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar.
- Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat pasien
ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau kejang spontan
- Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak
spastik/boxing position)
- Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan irama
jantung sampai gangguan hemodinamika.
- Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya):
Derajat I (tetanus ringan)
 Trismus
 Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
 Tidak dijumpai disfagia atau kejang
 Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
 Trismus sedang
 Kekakuan umum makin jelas
 Dijumpai kejang rangsang tanpa kejang spontan

Derajat IIIa (tetanus berat)


 Trismus berat
 Otot sangat spastic, timbul kejang spontan
 Takipnea, takikardi
 Apneic spell
Derajat IIIb (Tetanus dengan gangguan saraf otonom)
 Gangguan otonom berat
 Hipertensi berat dan takikardi
 Hipotensi dan bradikarddi
 Hipertensi berat atau hipotensi berat

4. Pemeriksaan Penunjang Anamnesis dan gejala cukup khas sehingga sering tidak diperlukan pemeriksaan penunjang, kecuali dalam
keadaan meragukan untuk membuat diagnosis banding.
1. Pungsi Lumbal
2. Pemeriksaan darah rutin, preparat hapusan darah tepi atau biakan dan uji kepekaan
3. Foto thoraks
4. Elektrolit serum dan gula darah acak, atas indikasi
5. Kriteria Diagnosis 1. Sesuai dengan anamnesa
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Tetanus ( ICD 10: A35)
7. Diagnosis Banding 1. Trismus karena abses gigi/abses retrofaring/parafaring/peritonsiler
2. Sepsis neonatorum
3. Meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies
4. Keracunan striknin, epilepsy, efek simpang fenotiasin, tetani
5. Hipokalsemia
8. Terapi Terapi Dasar Tetanus
1. Pemberian antibiotik
 Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/kali i.m tiap 12 jam
 Metronidasol loading dose 15 mg/kgbb/dalam 1 jam selanjutnya 7,5 mg/kgbb/x tiap 6 jam Bila
ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.
2. Imunisasi aktif-pasif

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 230
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TETANUS

 Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila
tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
 Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
3. Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
 Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
 Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan syringe
pump dengan dosis:
- Tetanus ringan : 0,8 cc/jam
- Tetanus sedang : 1,2 cc/jam
- Tetanus berat : 1,6 cc/jam
 Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/24 jam
- neonatus 120 mg/24 jam
 Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa kurarisasi .
 Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus.
 Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf
otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial perlu dinaikkan secara
titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya reflex patella dan penurunan tekanan
darah pada anak besar
4. Perawatan luka atau port d’entre
Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan
5. Terapi suportif
 Bebaskan jalan nafas
 Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
 Pemberian oksigen
 Perawatan dengan stimulasi minimal
 Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat
kejang
 Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
 Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Pada tetanus ringan dan sedang


 Diberikan teraoi dasar tetanus
 Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)
 Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi parenteral
Pada tetanus berat
 Terapi dasar seperti diatas
 Perawatan dilakukan di ICU seperti intubasi dan ventilator
 Balans cairan dilakukan secara ketat
 Apabila spasme sangat hebat, berikan pankuronium bromide 0,02 mg/kg IV, diikuti 0,05 mg/kg/kali tiap 2-3
jam
 Apabila terjadi aktifitas simpatis berlebihan, berikan ẞ blocker seperti propanolol/ἁẞ blocker labetalol

9. Edukasi Pencegahan
1. Imunisasi aktif
a) Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu,
diberikan ulangan pada usia 18 bulan dan 5 tahun
b) Eliminasi tetanus neonatorum dengan memberikan imunisasi TT pada ibu hamil dan wanita usia
subur minimal 5x suntikan toksoid (untuk mencapai tingkat TT lifelong card)
2. Pencegahan pada luka
 Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
 Luka ringan dan bersih
- Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus immunoglobulin
- Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT
 Luka sedang/berat dan kotor
- Imunisasi (-)tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-500 U.
Tetanus toksoid pada sisi lain.
- Imunisasi (+), lamanya > 5 tahun: ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, atau tetanus
immunoglobulin 250-500 U
10. Prognosis Tetanus ringan dan sedang
Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 231
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

TETANUS

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam


Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
Tetanus berat dan tetanus neonatorum
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14. Indikator Medis Perbaikan klinis, termasuk penderita sudah tidak panas dan sudah bisa makan dan minum Tidak
tampak spasme ataupun trismus
Luka/port d’entrée dirawat dengan baik
Setelah 10 hari perawatan
Sekuele
- Spasme berkurang setelah 2-3 minggu namun kekakuan dapat berlangsung sampai 6-8 minggu pada
kasus yang berat
- Gangguan otonon dimulai beberpa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu Tumbuh
Kembang
- Bisa terjadi gangguan tumbuh kembang pada kasus tetanus neonatorum karena akibat hipoksia yang berat

15. Kepustakaan 1. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics, 17 ed.
Philadelphia, Saunders, 2004 : 951.
2. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nd ed, 2003 : 981.
3. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40.
4. Cristie AB, 1987. Tetanus dalam infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4th ed. Churchill living
stone, Edenburgh, hal. 759-786.
5. Irwantono FJ, Ismoedijanto, M. Faried Kaspan, Dwi Atmadji Soejoso. Parwati SB, 1978. evaluasi klinik tetanus
neonatorum selama 7 tahun. KONIKA IV, Yogyakarta.
6. Ismoedijanto, Koeswardoyo, Dwi AS, S. Soegianto, IGN Gde Ranuh, 1981. Diazepam dosis tinggi pada tetanus
neonatorum. Naskah lebgkap diskusi kelompok tetanus neonatorum, KONIKA V, Medan.
7. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis Childhood, 53 :
737-79.
8. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. Clin pharm
therap 4 : 36-61.
9. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, hal. 1- 16.
10. Rizal Altway 2006. Perbandingan kriteria derajat berat penyakit tetanus antara kriteraia Surabaya dan kriteria Ablett.
Karya Akhir.
11. Ismoedijanto, Nasiruddin, B Wahyu. 2004. High dose diazepan in treatment of severe tetanus. South East Asia
Journal of Tropical medicine and hygine.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 232
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R50)

1) Pengertian (Definisi) Demam tanpa penyebab yang jelas adalah gejala demam akut dengan penyebab yang tidak jelas sesudah
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara teliti dalam periode demam kurang dari 7 hari.
2) Anamnesis a) Riwayat imunisasi
b) Adanya paparan terhadap infeksi
c) Adanya tanda-tanda keganasan seperti nyeri, pembesaran organ dan perdarahan
d) Adanya gejala:
 nyeri menelan
 nyeri telinga
 batuk, sesak napas
 muntah, diare
 nyeri/menangis waktu buang air kecil
3) Pemeriksaan Fisik a) Suhu rektal >38oC
b) Tentukan derajat sakitnya
c) Subjektif (lihat tabel YOS)
 Kualitas tangis
 Reaksi terhadap orangtua
 Tingkat kesadaran
 Warna kulit/selaput lendir
 Derajat hidrasi
 Interaksi
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R 50)
6) Diagnosis Banding a) Dengue
b) Otitis media
c) Abses
d) Osteomielitis
e) Riketsia
f) Chlamydia
g) HIV
h) Infeksi HSV
i) Infeksi jamur
j) Keganasan
k) Autoimun dan penyakit kolagen
l) Infeksi Saluran Kemih
m) Pneumonia
n) Gastroenteritis bakterial
o) Meningitis
p) Endokarditis
7) Pemeriksaan a) Darah lengkap, LED
Penunjang b) Hitung jenis
 Leukosit > 15.000/μl meningkatkan risiko bakteremia menjadi 3-5%, bila > 20.000/ μl risiko
menjadi 8-10%
 Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung neutrofil absolut lebih sensitif dari hitung
leukosit atau batang absolut
 Hitung absolut neutrofil > 10.000/μl meningkatkan risiko bakteremia menjadi 8-10%
c) Urinalisis
d) Procalsitonin
e) Biakan urin dan feses
f) Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bakteremia dapat berkembang menjadi
infeksi bakteri
g) Biakan darah dan urin jamur
h) Tes mantoux
i) Rontgen toraks
j) Ekokardiografi
k) USG/CT-scan kepala
l) USG/
m) Hapusan darah tebal dan tipis
n) ANA dan anti ds-DNA
o) IgG,A,M,E
p) CD4 dan CD8
q) BMP
r) Jika tersedia IgM dan IgG untuk penyakit riketsia seperti scrub typhus
8) Terapi a) Berdasarkan kecurigaan temuan klinis
b) Suportif
c) Paracetamol

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 233
Panduan Praktik Klinis
SMF : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Kabupaten Rejang Lebong
2022 - 2023

Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R50)

d) Cairan parenteral
e) Antibiotika Empirik dapat digunakan :
 Amoksisilin 60 –100 mg/kgbb/hr atau Amoksisilin-Clavulanat atau Ampisilin-Sulbactam
 Seftriakson 50 –75 mg/kgbb/hr maksimum 2 g/hr
 Bila alergi terhadap kedua obat tersebut, pilih obat lain sesuai dengan hasil ujiresistensi
9) Edukasi a) Nutrisi dan istirahat cukup

10) Prognosis Ad vitam : bonam


Ad sanationam : bonam Ad
fungsionam : bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis dr. Vebri Valentania Sp.A
dr. Indah Ratna Sari, Sp.A, M.Ked.Klin

14) Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik


2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi atau sudah membaik
5. Setelah 10 hari perawatan
15) Kepustakaan 1. Bannister BA, Begg NT, Gillespie SH. Pyrexia of unknown origin. Oxford: Blackwell Science; 1996. h.414-
27.
2. Lorin MI, Feigin RD. Fever of unknown origin. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook
ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 1012-22
3. Lorin MI. Fever: pathogenesis and treatment. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook
ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 148-52.
4. Miller ML, Szer L, Yogev R, Bernstein B. Fever of unknown origin. Pediatr Clin North Am. 1995;999- 1015.
5. Radhi AS, Carroll JE. Fever in pediatric practice. Edisi ke-1. London: Blackwell Scientific
Publications;1994, h. 15-236.
6. Shapiro ED. Fever without localizing signs. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting.Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier
Science;2003, h. 110-4.

Curup, 2022
Ketua Komite Medik SMF Ilmu Kesehatan Anak

dr. Neljun Iraldo Barasa, Sp.KJ dr. Vebri Valentania, Sp.A


NIP. 19750601 200903 1 004 NIP. 19880218 201408 2 001
Mengetahui
Direktur
RSUD Kabupaten Rejang Lebong

dr. Rheyco Victoria, Sp.An


NIP. 19800911 200804 1 001

Panduan Praktik Klinis_SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kabupaten Rejang Lebong 234

Anda mungkin juga menyukai