PENYAKIT ANAK
WIHDATUL UMMAH MEDICAL
CENTER
ALERGI MAKANAN
1. Pengertian (Definisi) • Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun
spesifik yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan.
• Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non
imunologik.
• Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi
toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.
2. Anamnesis • Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi
sesuai waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan
makanan, sedangkan gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari.
• Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama.
• Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
• Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi
3. Pemeriksaan Fisik Kulit
Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim
Mata
Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita
Saluran nafas atas
Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering
Saluran nafas bawah
Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan
Mulut
Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak
Saluran cerna bawah
Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan
dengan penurunan berat badan
Kardiovaskular
Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran
4. Pemeriksaan • Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen
Penunjang hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan) dengan positive predictive value (PPV) > 95%.
• Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
• IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau
keadaan depresi imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu alergen
bahan makanan tertentu.
• Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran
secara histologis.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Food challenge
6. Diagnosis 1. Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena
3. Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi
4. Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan
makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut.
Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar,
maka diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu
sebelum dilakukan provokasi.
7. Diagnosis Banding 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif
3. Reaksi karena gangguan psikologis
8. Terapi Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran)
Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai
pengganti.
Pengobatan
Kromolin, Nedokromil.
Glukokortikoid.
Beta adrenergic agonist
Metil Xantin
Simpatomimetika
Leukotrien antagonis
H1-Reseptor antagonis
Probotik
ALERGI MAKANAN
14. Indikator Medis Kekambuhan dan beratnya gejala (tingkat kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 7 hari.
15. Kepustakaan 1. Boyce A. J, et al. Guidelines for the diagnosis and management of food allergy in the United States:
report of the NAID sponsored expert panel.J Allergy Clin Imunol 2010;126(6): S5-58
2. Burks A. W, et al. NIAID Sponsored 2010 Guidelines for managing food allergy: applications in the
pediatric population. Pediatrics 2011;128;955-65
3. Dupont C. Food Allergy: Recent advances in pathophysiology and diagnosis. Ann Nutr Metab
2011;59(suppl 1):8–18.
4. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J
2010; 51(1): 4-9
5. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
6. Harsono A. Alergi makanan. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting.Buku
Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 270-84.
7. Wang j, Sampson H. A. Food allergy: recent advances in pathophysiology and treatment. Allergy
Asthma Immunol Res. 2009 October;1(1):19-29.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
2
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT ANAK
WIHDATUL UMMAH MEDICAL CENTER
ALERGI OBAT
1. Pengertian (Definisi) Suatu respon abnormal yang terkait secara imunologis terhadap suatu obat pada seorang individu yang telah
tersensitisasi.
2. Anamnesis Gambaran terperinci gejala reaksi obat
• Lama dan urutan gejala
• Terapi yang telah diberikan
• Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
• Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
• Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
• Kapan obat dihentikan?
• Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama
• Riwayat sebelumnya
• Reaksi obat lainnya
• Alergi lainnya
• Penyakit lainnya
3. Pemeriksaan Fisik Gejala sistemik:
Anafilaksis, serum sickness, SLE like, scleroderma like, drug rash with eosinophilia systemic symptoms
(DRESS), nekrolisis epidermal toksik, sindroma steven johnson, mikroskopik polyangitis
Gejala spesifik pada organ:
Kulit: Urtikaria/angioedema, pemphigus, purpura, ruam makulopapular, dermatitis kontak, foto dermatitis, acute
generalized exanthematouspustulosis (AGEP), fixed drug eruption (FDE), eritema multiformis, fibrosis sistemik
nefrogenik
Paru: Asma, batuk, pnemoni interstitial, organizing pneumoni
Hati: hepatitis kolestatik, hepatitis hepatoseluler
Ginjal: nefritis interstitial, nefritis membraneous
Darah:Anemia hemolitik, trombositopenia, netropenia
Jantung: Valvular diseases
Muskuloskeletal/neurological: polymiositis. meningitis aseptik, myasthenia gravis
4. Pemeriksaan penunjang Uji in vivo
• Uji kulit
• Uji provokasi untuk diagnostik pasti
Uji in vitro.
• IgG dan IgM spesifik
• Uji aglutinasi dan lisis sel darah merah
• Uji pelepasan histamin
• Uji sensitisasi jaringan
• IgE RAST
5. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan penunjang: in vivo dan in vitro
7. Diagnosis banding 1. Alergi makanan
2. Infeksi
8. Terapi Penghentian obat yang dicurigai
Pengobatan
• Antihistamin
• Adrenalin
• Pengobatan suportif
• Kortikosteroid
9. Edukasi 1. Penghentian obat
2. Memberitahu riwayat obat penyebab alergi pada tenaga kesehatan saat berobat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
ALERGI OBAT
14. Indikator Medis Tingkat kekambuhan gejala alergi (kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 10 hari.
15. Kepustakaan 1. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin
Munasir, Nia Kurniati. Penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,2007.h 295-307.
2. Alergi obat.Dalam: Antonius H. Pudjiaadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris,
Ellen P. Gndaputra, Eva Devita Harmoniati. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia,2010.h 1-4
3. Mirakian R, et al. BSACI guidelines for management of drug allergy. J Clin Exp Allergy 2008,39,43-61
4. Dowling P.J, et al. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105: 1-78
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
RINITIS ALERGI
1. Pengertian (Definisi) Gangguan fungsi pernafasan akibat inflamasi pada saluran hidung diakibatkan paparan alergen yang
diperantarai IgE.
2. Anamnesis Keluhan pilek berulang atau menetap, rinorea, gatal hidung, bersin-bersin, sumbatan hidung, sering bernafas
melalui mulut pada penderita dengan riwayat keluarga atopi. Bila parah terdapat gangguan tidur, gangguan
sekolah.
3. Pemeriksaan Fisik Rhinorea, adenoid face, maloklusi gigi, allergic gape, allergic shiners, transverse nasal crease, edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan.
Sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
4. Pemeriksaan penunjang 1. Uji kulit goresan
2. IgE total, IgE spesifik,
3. Eosinofil hapusan mukosa hidung.
5. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Penunjang
6. Diagnosis 1. Anamnesa: pilek berulang dengan riwayat atopi
2. Pemeriksaan fisik: seperti dijelaskan di atas
3. Pemeriksaan penunjang: Uji kulit, IgE total/spesifik, eosinofil pada hapusan mukosa hidung
7. Diagnosis banding 1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus
4. Abnormalitas anatomis kongenital terutama diketahui sejak lahir
5. Benda asing
8. Terapi Penghindaran alergen
Farmakoterapi
• Antihistamin H1 (Oral, Intranasal, Intraokuler)
• Kortikosteroid intranasal
• Kromolin (Intranasal, Intraokuler)
• Dekongestan (Intranasal, Oral)
• Antikolinergik
• Antilekotrien
Imunoterapi
9. Edukasi 1. Penghindaran Alergen
2. Pengobatan memerlukan waktu yang lama
3. Pendidikan penggunaan obat harus benar (kortikosteroid hirupan atau semprotan)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Gejala semakin memberat atau tidak sehingga mempengaruhi kualitas hidup (sekolah, sosial). 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 5 hari.
15. Kepustakaan 1. Asha’aari A Z A, et al. Comparison of Serum Specific IgE with Skin Prick Test in the Diagnosis of
Allergy in Malaysia. Med J Malaysia 2011:6(3):202-6
2. Bousquet J, et al. Allergic rhinitis management pocket reference 2008. Allergy 2008: 63: 990–996
3. Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010;
51(1): 4-9
4. Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
5. Lim M Y, Leong J L. Allergic rhinitis: evidence-based practice. Singapore Med J 2010; 51(7) : 542
6. Munasir Z, Rakun M.W. Rinitis Alergik. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati.
Penyunting.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 246-52.
7. Oliver P, Raapc U, Holza M, Hörmannb K, Klimeka L. Pathophysiology of itching and sneezing in
allergic rhinitis. Swiss Med Wkly 2009;139(3–4):35 – 40
Suraba ya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kes ehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soe badi, dr ., Sp.B, SpU(K) Sjams ul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 1 97703 1 001 NIP. 19510303 19 7612 1 001
Dire ktur RS UD Dr Soet omo Sura baya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DERMATITIS ATOPI
1. Pengertian (Definisi) • Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus
yang hebat.
• Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif
biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
2. Anamnesis 1. Berulangdenganpenyebab yang sama
2. Rasa gatal
3. Keluargadenganriwayatalergi
4. Disertaidengangejalaalergilainnya
3. PemeriksaanFisik Onset
Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
Macam-macam lesi
Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan
eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan
pola permukaan kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik).
Bentuk klinis
· Bentuk infantil
Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang
lebih muda.
· Bentuk anak
Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan,
kaki dan periorbita.
· Bentuk dewasa
Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.
4. Kriteria Diagnosis Untuk Bayi :
Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi:
Kriteria mayor :
1. Riwayat keluarga DA
2. Dermatitis dengan tanda gatal
3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
Kriteria minor :
1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
2. Perifollicular accentuation
3. Chronic scalp scaling
4. Periauricular fissures
Untuk Anak :
Kriteria Hanifin untuk anak :
Krireria mayor (harus punya 3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi typical
3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence
5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
Kriteria minor
1. Xerosis
2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
4. Hand/foot dermatitis
5. Cheilitis
6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada
kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.
5. Diagnosis DERMATITIS ATOPI
6. Diagnosis Banding 1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatophytosisataur dermatophytids
3. Sindrom defesiensi imun
4. Sindrom Wiskott-Aldrich
5. Sindrom Hyper-IgE
6. Penyakit Neoplastik
7. Langerhans' cell histiocytosis
8. Penyakit Hodgkin
9. Dermatitis Numularis
10. Skabies
Dermatitis Seborrheic
7. PemeriksaanPenunjang Diagnosis DA berdasarkanpadaklinis, pemeriksaanpenunjangtidakterlaludibutuhkan:
DERMATITIS ATOPI
1. IgEspesifik
2. Tesujikulit
8. Terapi Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa
perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi
faktor-faktor pencetus kekambuhan.
· Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air
pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi
selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)
karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi
memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah
mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-
in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
· Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa
menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang
berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus
diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik
dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian
diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan
terapi difokuskan pada hidrasi.
· Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal
pada DA bisa tak terkait dengan histamin.
· Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada
manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis
kontak.
· Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit.
Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten
penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah
terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan
menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
· Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat
juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan,
binatang dan debu rumah.
DA berat
Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan.
Kortikosteroid sistemik.
Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus
diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
Thymopentin.
Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari
selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu.
Interferon-gamma.
Dosis yang digunakan antara 50 υg-100υg /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.
Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep
atau gel 5%.
Tacrolimus.
Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan
pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi
fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit.
Pimecrolimus
Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
Gammaglobulin
Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah
terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus.
Probiotik
Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2
bulan.
DERMATITIS ATOPI
3. Prognosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis
6. Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic
architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
12
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT ANAK
WIHDATUL UMMAH MEDICAL CENTER
HIPOGLIKEMIA
1. Pengertian (Definisi) Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia
2. Anamnesis - Apakah didapatkan gejala takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah ?
- Apakah didapatkan gejala pusing, gangguan penglihatan?
- Apakah didapatkan penurunan kesadaran, gangguan psikologis, perubahan tingkah laku?
3. Pemeriksaan Fisik Adrenergik: takikardi, berkeringat, lemas, lapar, mual, muntah
Neuropenik (penurunan penggunaan glukosa oleh otak): pusing, gangguan visual, somnolens. Gangguan
psikologis, perubahan tingkah laku
Kombinasi gejala di atas memerlukan pemeriksaan kadar glukosa darah.
4. Pemeriksaan - Darah : kadar gula, kadar insulin, kortisol, growth hormone, non esertified fatty acid, acetoacetate, 3 β
Penunjang hydroxybutirate, carnitine( free dan total) blood spot acyl carnitine, ammonia, lactate
- Urine : ketone, reducing substances, organic acids
5. Kriteria Diagnosis kadar glukosa plasma < 40 mg/dl
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain
7. Penyulit 1. Penurunan kesadaran
2. Kematian
8. Terapi Jika penderita sadar:
1. Berikan glukosa oral , misal jus jeruk, minum manis. Untuk berat 30 kg diperlukan 10 gram glukosa,
dan >30 kg diperlukan 15 gram glukosa.
2. Cek kadar glukosa 10-15menit dan ulang jika diperlukan. Pastikan kadar gula darah normal.
Jika penderita tidak sadar:
1. Pasang infuse dextrose (n0,5g/kg selama 5 menit) atau 2-3 ml/kg D10% atau 1ml/kg D25%)
2. Maintenans infuse dextrose
3. Recek kadar gula 10menit kemudian ( D12,5 kadar dextrose paling tinggi yang diberikan melalui
infuse perifer)
4. Berikan bolus dextrose jika perlu
Apabila akses iv sulit, maka glukosa dapat diberikan melalui nasogastric tube. Maintenans infuse pada
hipoglikemia bayi dapat dilakukan dengan GIR ( glucose infusion rate ) 6-8 mg/kg/menit.
Glukagon membantu dalam pemecahan glikogen. Pada kondisi cadangan glikogen masih cukup (mis.insulin
overdose) 1 mg glucagon im atau sc (0,5mg untuk neonates) dapat meningkatkan kadar gula darah. Glucagon
tidak akan meningkatkan kadar glukosa
9. Edukasi 1. Potensi kematian oleh karena hipoglikemia
2. Informed consent dari keluarga
10. Prognosis Baik bila tidak muncul penyulit
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
HIPOGLIKEMIA
14. Indikator Medis 80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari
15. Kepustakaan 1. Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin
W, Tanz RR. Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78.
2. Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4.
Elsevier Mosby. Phiadelphia.hal 191-21.
3. Clarke W, Jones T, Rewers A, Dunger D, Klingensmith GJ. Assessment and Management of
Hypoglycemia In Children and Adolescent With Diabetes. Pediatric Diabetes 2009:10 (Suppl,12)134-
45.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) merujuk grup defisiensi enzim pada sintesis steroid di korteks adrenal.
3. Pemeriksaan Fisik - genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari pada
anak seusia ( pubertas prekoks perifer)
- tanda-tanda dehidrasi bahkan syok hipovolemik
- Salt loosing crisis dapat terjadi pada usia dua minggu dengan gejala muntah, diare, dehidrasi,
hiperkalemia, dan hiponatremia.
- CAH laki-laki simple virilized sering datang pada usia 3-7 tahun, dengan pubertas awitan awal, advanced
bone age, dan prepubertal testis.
- Remaja dan dewasa wanita non klasik CAH sering datang dengan keluhan virilisasi, hirsutisme,
abnormal menstruasi, infertilitas, atau akne.
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis 1. Pertumbuhan dan perkembangan optimal sesuai usia, bone age sesuai usia, tidak terjadi krisis adrenal
15. Kepustakaan 1. Saroj Nimkarn, Karen Lin Su, Maria I New. Steroid 21 Hydroylase Deficiency Congenital Adrenal
Hyperplasia. Pediatr Clin N Am 58: 2011:1281-1300.
2. Maria I New, Lucia Ghizzoni, Karen Lin Su. An Update of Congenital Adrenal Hyperplasia. Fima Lifshift,
ed. 2007. New York.
3. Miller L W alter, Achermann JC, Fluck CE. The Adrenal Corteks and Its Disorders. Dalam : Pediatric
Endocrinology, Third Edition. Philadelphia. 444-512.
4. Pediatric Endocrinology. Dalam: Styne DM, ed. Guide To Pediatric Endocrine Emergencies. Lippincolt
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004. 295-7.
5. Raine JE. Adrenal Disorders. Dalam Practical Endocrinology and Diabetes In Children. 2nd ed. 137-42.
2006.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai
dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau
keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan
sel β-pankreas yang didasari proses autoimun
4. Pemeriksaan 1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).*
Penunjang Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir.
atau
2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).**
Puasa dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam.
atau
3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa.
Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau
1,75 g/kg berat badan sampai dengan maksimum 75 g.
4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
8. Terapi Medikamentosa
- Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
- Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia
dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan ini, dosis insulin
harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
- Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan
dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin
menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut
:
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan
sembuh dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005.
4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and
Monitoring Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29.
5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus
Guidelines for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands: ISPAD,
2000.
6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
No 32. Surabaya: Oktober 2002; 11-22.
7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan
pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
February 13, 2002.
8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP
IDAI, 2000.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
1. Pengertian (Definisi) Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormon.
4. Pemeriksaan 1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan
Penunjang kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
7. Diagnosis Banding KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia,
uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia,
ensefalitis, dan lesi intrakranial.
8. Terapi Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan: 1) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi), 2) Menghentikan
ketogenesis (insulin), 3) Koreksi gangguan elektrolit, 4) Mencegah komplikasi, 5) Mengenali dan menghilangkan
faktor pencetus.
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)
15. Kepustakaan 1. Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013].
Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing.
2. R A R Treasure, P B S Fowler H T Millington, Wise PH. Misdiagnosis of diabetic ketoacidosis as
hyperventilation syndrome. British Medical Journal. 1987;294:630.
3. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children
and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
4. Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53.
5. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis.
Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36.
6. Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications –
diabetic ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National Evidence- Based
Clinical Care Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra: Australian
Paediatric Endocrine Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35.
7. Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of
North America. 2005;52(6):1611-35.
8. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis.
QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80.
9. lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in
Birmingham, UK, 2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal
of Diabetes & Vascular Disease. 2009;9(6):278-82.
11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51.
12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and
Management. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78.
13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl
1:S62-7.
14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80.
15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33.
16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak
RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished]
17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1
pada Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30.
18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27.
19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of
hyperglycemic emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60.
20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of
intensive care. 2011;1(1):1-12.
21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents.
Archives of Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94.
22. Association AD. Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes Mellitus. Diabetes care.
2002;25(Supplement 1):S100-8.
23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of
cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71.
24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al.
Accuracy of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples
During Metabolic Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1
Diabetic Patients. Diabetes care. 2003;26:1137-41.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIPOTIROID KONGENITAL
1. Pengertian (Definisi) Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis
hipotalamus-hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan
respon jaringan terhadap hormon tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone tiroid
sejak dalam kandungan.
2. Anamnesis - Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi,
hipotermia, konstipasi dan perkembangan yang terlambat.
- Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat
pengobatan selama hamil
3. Pemeriksaan Fisik - At Birth : postmaturity, makrosomia, large head, open posterior fontanella, maturasi tulang terlambat
- During early infancy : prolongen physiological jaundice, poor feeding, lethargy, somnolence, hypothermia,
constipasi, makroglossia, hoarse cry, umbilical hernia, dry, mottled skin, goitre
10. Prognosis Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
14. Indikator Medis Perkembangan membaik. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari
15. Kepustakaan 1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric
Endocrinology. Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82.
HIPOTIROID KONGENITAL
2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.
3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology –
The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90.
4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York :
Marcel Dekker, 1996 : 369-81.
5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: Serum elektrolit, kadar gula darah, 17-OH Progesteron, LH, FSH, DHEA, rasio
Testoteron/DHT, estradiol
2. USG/CT-scan/MRI
3. Karyotiping
4. Genitografi
5. Laparoskopi/Biopsi gonad
6. Pemeriksaan Psikologi/Psikiatri
6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan tambahan lain
8. Terapi Penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal,
koreksi secara pembedahan, dan psikologis
14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)
15. Kepustakaan 1. Madhusmita M, Lee MM. Intersex Disorder. Dalam: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinologi. New
York: Elsevier Mosby, 2005; 103-122.
2. Witchel SF, Lee PA. Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA:
Saunders, 2002; 111-33.
3. Hyun Grace, TF Kolon. Apractical approach to intersex in the newborn period. Pediatr Ur Clin of
Nort Am 2004; 31 (3): 435-43.
4. Conte FA, Grumbach MM. Abnormalities of Sexual Determination & Differentiation. Dalam:
Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill, 2001; 511-46.
5. Zemel S, Slover RH. Disorders of Sexual Differentiation. Dalam: McDermot MT, ed. Endocrine
Secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc, 2002; 325-33.
6. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus Statement on Management of Intersex
Disorders. Pediatrics 2006; 118:e488-500.
7. Ono M, Harley VR. Disorders of sex development: new genes, new concepts. Nature Review
Endocrinology 2013; 9:79-91
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
TURNER SYNDROME
1. Pengertian (Definisi) Kelainan genetik yang disebabkan delesi sebagian atau semua bagian dari seks kromosom X
3. PemeriksaanFisik - Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah perawakan pendek dan pubertas terlambat (90%),
gejala lain dapat dilihat pada gambar :
- Manifestasi klinis lain dapa tjuga dijumpai lymphedema, anomaly jantung, anomaly ginjal, proses
autoimun : hipo/hipertiroid, rheumatic
5. Kriteria Diagnosis Manifestasi klinis (fenotip) dan ditunjang pemeriksaan karyo typing
6. Diagnosis pemeriksaan karyo typing 45,X ; 46,X,i(Xq) ; 46,X,r(X) ; 46,XXq2 ; 46,XXp2 ; 47,XXX ; 46,X,t(X;15)
TURNER SYNDROME
10. Prognosis 1. Gejala fisik: tidak berbahaya
2. Kematian biasanya karena kelainan jantung
3. Sebagian besar infertile
13. PenelaahKritis
14. IndikatorMedis FT4, TSH, BUN, kreatinin. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.
15. Kepustakaan 1. Nelly E Kirk, Fechner PY, Rosenfeld RG. Turner Syndrome. Dalam Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol2.
FimaLifshift,ed. New York. 2007: 305-19.
2. Saenger P. Turner Syndrome. Chapter 15. Dalam : Pediatric Endocrinology, Third Edition. Philadelphia.
2008.610-52.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebai, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
GRAVES DISEASE
1. Pengertian (Definisi) Kelainan imunogenetik yang memiliki karakteristik klinis yaitu tiromegali, hipertiroidism dan oph thalmopati
infiltrative
2. Anamnesis Sulit tidur, mudah lelah saat aktivitas, cemas, dada berdebar, peningkatan nafsu makan, kehilangan berat
badan, tidak tahan udara panas,peningkatan frekuensi buang air besar. Riwayat keluarga (+) pada 60% kasus
3. PemeriksaanFisik Struma difus, takikardi, wide pulse pressure, proptosis, tremor, keringatberlebih, kelemahanototproksimal
4. PemeriksaanPenunjang FT 4 , TSH, antibody tiroid (terutamaTSH receptor antibodies / TRAbs), ambil anyodium radioaktif
7. Diagnosis Banding Adenoma tiroid, , Toxic multinodular goiter, sindroma McCune – Albright, tumor pituitari
8. Terapi ObatAntitiroid
Yodiumradioaktif
Indikasi : pasien Graves relaps dengan pengobatan anti tiroid jangka lama
: pasien dengan penyakit tiro kardiak berat
: pasien dengan multi nodulartoksik
: pasien yang hipersensitif terhadap obatan titiroid
Pembedahan
Indikasi : struma yang sangat besar dan resisten terhadap radio aktif
: ibu hamil dengan struma nodular yang alergi obatan titiroid
: pasien yang alergi obatan titiroid dan tidak ingin diterapi dengan Yodium radioaktif
GRAVES DISEASE
14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. 6th edition. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009;250-82.
3. Dallas J, Foley T. Hyperthyroidism. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric Endocrinology 5th edition
Volume 2Growth, Adrenal, Sexual, Thyroid, Calcium, and Fluid Balance Disorders. New York: Informa
Healthcare USA, Inc. 2007; 415-42.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HASHIMOTO’S TYROIDITIS
1. Pengertian (Definisi) Penyaki tautoimun yang spesifik menyerang kelenjar tiroid
2. Anamnesis Usia > 6 tahun, pembesaran kelenjar tiroid, rasa tekanan di leher / kesulitan menelan, anak pendek dan gemuk
(disbanding teman sebaya), tidak tahan dingin, konstipasi, prestasi sekolah terganggu.
Thyroid anti peroxidase antibodies (TPOAbs), Thyrotropin receptor-blocking antibodies (TRBAbs), FT 4 , TSH,
USG, skintigrafi, biopsy jarum halus bila antibody anti tiroid negatif
4. Pemeriksaan
Penunjang
5. Kriteria Diagnosis TPOAbs (+) atauTRBAbs (+).FT 4 ↓, TSH ↑
10. Prognosis Prognosis baik bila terapi ade kuat. Konsekuensi paling berat adalah retardasi pertumbuhan
14. Indikator Medis FT 4 , TSH. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2. Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical Pediatric
Endocrinology. Edisi 6. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009; 250-82.
3. Fisher D, grueters A. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. Dalam: Sperling M, penyunting.
rd
Pediatric endocrinology, 3 edition. Philadelphia: Elsevier Inc. 2008; 227-53.
Surabaya,
Ketua Komite edik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetoo Surabaya,
7. Diagnosis Banding Perawakan pendek familial, constitutional delay of growth and puberty, hipotiroid
14. Indikator Medis Pertumbuhan, IGF 1. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.
15. Kepustakaan - Rosen bloom AL, Connor EL. Hypopituitarism and Other Disorders of the Growth Hormone – Insulin Like
Growth Factor 1 Axis. In Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol 2. Hal 65-90.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DIARE BERKEPANJANGAN
1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare berkepanjangan adalah diare akut yang berlangsung lebih dari 7 hari
Diare kronik adalah diare dengan atau tanpa disertai darah yang berlangsung ≥ 14 hari bukan disebabkan oleh
Infeksi
2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Adanya pemyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
Resusitasi cairan dan elektrolit bila ada gangguan sesuai derajat dehidrasi
Identifikasi Penyebab diare
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas
6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Penatalaksanaan sesuai penyebab
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
Pengelolaan diit yang rasional
DIARE BERKEPANJANGAN
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 14 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang
15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah
dalam tinja
Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh
(somnolen, koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral.
2. Anamnesis Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
• Panas
• Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
• Adanya penyakit penyerta lain
• Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
• Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
8. Terapi Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl
0.9%) yang dibagi sebagai berikut
Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya
Usia ≥12 bulan : 30 ml/kg dalam 30 menit dilanjutkan 70 ml/kg dalam 2 ½ jam berikutnya
Dapat diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat.
Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam
(anak).
Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6
bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa)
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 7 hari
Tidak dehidrasi
Diare berkurang
15. Kepustakaan WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
Suparto, P. Studi mengenai Gastroenteritis Akuta Dengan Dehidrasi Pada Anak Melalui Pendekatan Epidemiologi
Klinik Desertasi, 1987.
Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders, Philadelphia,
Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DIARE KRONIK
1. Pengertian (Definisi) Diare Kronik adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam dengan atau tanpa disertai darah yang
berlangsung ≥ 14 hari
2. Anamnesis - Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah
(adanya darah, bilious).
- Panas
- Kembung
- Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan
gangguan kesadaran
- Adanya pemyakit penyerta lain
- Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
- Intake
- Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
DIARE KRONIK
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
15. Kepustakaan 1. WHO. Pocket book of Hospital care for children. 2005
2. UKK Gastrohepatologi IDAI. Modul Diare. 2010
3. UKK Gastrohepatologi. Buku Ajar Gastrohepatologi 2010
4. Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook of Pediatrics. Saunders,
Philadelphia, Edisi 17 2004; p.1272-1276.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo urabaya,
1. Pengertian (Definisi) Refluks gastroesofagus (RGE) adalah aliran balik isi lambung (berupa air liur, makanan/minumam, cairan
lambung, cairan pankreas, cairan empedu) ke dalam esofagus tanpa adanya usaha.
- Fisiologis : regurgitasi setelah minum/makan dengan waktu yang singkat, tidak ada keluhan lainnya.
- Patologis : regurgitasi berulang dengan waktu yang lebih lama, terjadi siang/malam, tidak bergantung
minum/makan, dapat disertai keluhan radang esofagus.
14. Indikator Medis Tatalaksana dengan H2 antagonis atau PPI membaik dalam 2 minggu
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr
Pembina Utama Madya
NIP. 19550613 198303 1 013
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
1. Pengertian (Definisi) Penyakit Hirschprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di dalam pleksus mienterikus
dan submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen yang pendek yang hanya
mengenai daerah sfingter anal sampai daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil.
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
15. Kepustakaan 1. Imseis, E. And C.E. Gariepy (2004). Hirschprung’s disease. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker.,
Goulet., Kleinman.et al.Ontario, BC Decker Inc.1 : 1031-1043
2. O;Neill.(2004).”Hirscphrung’s Disease”, 2006, from www.APSA Resources for parents Hirschprung’s Disease
Pt_1.htm.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr SoetomoSurabaya,
1. Pengertian (Definisi) Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut sampai dengan anus.
Darah dapat terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat
dengan pemeriksaan laboratorium.
2. Anamnesis • Konfirmasi darah yang keluar benar- benar keluar dari traktus digestivus
• Jumlah darah yang keluar dan karakteristiknya
• Anak tampak sakit akut atau kronis
• Apakah perdarahan masih berlangsung
• Riwayat pemberian obat (antikoagulan, aspirin,dll)
• Riwayat penyakit terdahulu (epitaksis, penyakit hati, perdarahan)
• Riwayat muntah hebat kemudian disusul muntah darah
4. Pemeriksaan Penunjang • Apt test untuk membedakan darah bayi dan darah ibu
• Foto polos abdomen
• Esofagogastrodudodenoskopi
• Sigmoidoskopi dan kolonoskopi
• Biopsi
• Meckel scan
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
9. Edukasi 1. Terapi
periksa kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu
kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal
misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar di ulu hati, nyeri abdomen dan mual, gejala lain
dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
2. Tumbuh kembang
penimbangan berat badan setiap bulan
perubahan tingkah laku
daya konsentrasi dan kemampuan belajar anak usia sekolah, konsultasi ahli psikologi
aktivitas motoric
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Pemberian preparat besi selama 2-3 bulan dan respon pemberian preparat besi dievaluasi dengan peningkatan
kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu.
15. Kepustakaan 1. Hilmann RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and
Management. New York; Mc Graw Hill, 1995: 72-85.
2. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. 2nd ed. New York; Churchill
Livingstone Inc, 1995: 35-50.
3. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. 1st ed. Philadelphia;
Saunders, 1974: 103-25.
4. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. In: Mc Millan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB,
penyunting. Oski’s Pediatrics: Principles and Practice. 3rd ed. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins,
1999: 1447-8.
5. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 10-3.
6. Suplementasi Besi pada Bayi dan Anak. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011: 1-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
THALASSEMIA
1. Pengertian (Definisi) Suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh
kekurangan sintesis rantai polipeptida yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.
2. Anamnesis • pucat
• gangguan nafsu makan
• gangguan tumbuh kembang
• perut membesar
3. Pemeriksaan Fisik • anemia
• bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
• dapat ditemukan ikterus
• gangguan pertumbuhan
• splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
4. Kriteria Diagnosis • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
• darah tepi
Hb rendah dapat mencapai 2-3 g%
gambaran morfologi eritrosit mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan
makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan
sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
Retikulosit meningkat
• pemeriksaan khusus
HbF meningkat: 20-90% Hb total
Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar HbF.
pemeriksaan pedigree: kedua orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan HbA 2
meningkat (>3,5% dari Hb total).
• pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala: gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak
lurus pada korteks
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas
5. Diagnosis THALASSEMIA
6. Diagnosis Banding • anemia defisiensi besi
• anemia karena infeksi menahun
• anemia pada keracunan timah hitam (Pb)
• anemia sideroblastik
7. Pemeriksaan • hapusan darah tepi
Penunjang • pemeriksaan khusus
Elektroforesis Hb
pemeriksaan pedigree
• pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang
8. Terapi 1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian iron chelating agent: diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 μg/l atau saturasi
transferin lebih 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kgBB/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal
selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
Deferiprone, dosis 50-75 mg/kgBB/hari, 3x/hari peroral, setiap hari.
Deferasirox, dosis 20-30 mg/kgBB/hari, 1x/hari peroral, setiap hari.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelat besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi.
Folic acid 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
2. BEDAH
Splenektomi dengan indikasi: Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan
kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (Packed Red Cell/PRC) melebihi 250 ml/kgBB
dalam satu tahun.
3. SUPORTIF
Transfusi darah:
Diberikan pada Hb «8 g/dL sampai kadar Hb 10-11 g/dL. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi sumsum
tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan
perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC 10 ml/kgBB/hari.
4 . Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
tumbuh kembang, kardiologi, gizi, endokrinologi, radiologi, gigi
9. Edukasi 1. Terapi
Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi
besi meningkat dan transfusi darah berulang.
Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat.
Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernafas. Bila hal ini
terjadi kelasi besi dihentikan.
THALASSEMIA
2. Tumbuh kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, sehingga diperlukan perhatian dan
pemantauan tumbuh kembang penderita.
3. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar
(gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis Remisi komplit dicapai setelah pengobatan selama 108-118 minggu.
15. Kepustakaan 1. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In: Clinical Hematology 3rd ed. Thieme, Stuttgart.
1986: 243-8.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Transfusi trombosit pada umumnya tidak diberikan berhubung adanya zat anti terhadap trombosit
Splenektomi kadang-kadang dilakukan pada PTI akut dengan dugaan perdarahan otak. Dilakukan bersama
dengan transfusi trombosit dalam jumlah besar.
9. Edukasi Pemantauan tanda-tanda perdarahan
Pencegahan dan penanganan infeksi
10. Prognosis PTI AKUT
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
PTI KRONIS
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis PTI akut sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi lebih dari 6 bulan akan menjadi kronis dan
dihubungkan dengan kelainan imunitas.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HEMOFILIA
1. Pengertian Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
(Definisi) Ada 3 jenis hemofilia:
Hemofilia A: defek faktor VIII
Hemofilia B: defek faktor IX
(prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1)
Hemofilia C: defek faktor XI (jarang)
Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX:
Ringan: 5-25% (5-25 U/dL)
Sedang: 1-5% (1-5 U/dL)
Berat: <1% (<1 U/dL)
2. Anamnesis • riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat
lahir, perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul “biru-biru” bila terbentur
• nyeri/bengkak pada sendi
• riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama
3. Pemeriksaan Fisik Ada perdarahan yang dapat berupa:
• hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
• hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas)
• sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi
kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu
• perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran
4. Kriteria Diagnosis • riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
• APTT memanjang
• PPT normal
• Serum Prothrombin Time pendek
• kadar fibrinogen normal
• Retraksi bekuan baik
• kadar Faktor VIII/IX
5. Diagnosis HEMOFILIA
6. Diagnosis Banding • Von Willebrand’s disease
• Defisiensi Vitamin K
7. Pemeriksaan • APTT
Penunjang • PPT
• Serum Prothrombin Time
• Kadar fibrinogen
• Retraksi bekuan
• kadar Faktor VIII/IX
8. Terapi Hemofilia A
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian
diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk
mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FVIII
Hemofilia B
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga
mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi
hemolitik.
Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FIX
Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor
Indikasi FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari)
Epistaksis 10-15 20-30 1-2
Perdarahan oral 10-15 20-30 1-2
mukosa
Hemarthrosis 15-25 30-50 1-2
Hematoma 15-25 30-50 1-2
Hematuria persisten 15-25 30-50 1-2
Perdarahan GI 15-25 30-50 1-2 hari
setelah perdarahan stop
Perdarahan 15-25 30-50 min.3 hari
HEMOFILIA
Retroperitoneal
Trauma tanpa 20-25 40-50 2-3
perdarahan
Perdarahan lidah/ 20-25 40-50 3-4
retrofaring
Trauma dengan 50 100 10-14
perdarahan,bedah
Perdarahan 50 100 10-14
intrakranial
14. Indikator Medis Keluhan klinis berkurang (tidak didapatkan bengkak dan perdarahan) setelah pemberian AHF
15. Kepustakaan 1. Higartner MW , Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke 7. St. Louis Mosby; 1995: 924-86.
2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill
Livingstone; 1995: 254-62.
3. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hereditary Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders).
Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting Nelson Text Book of Pediatric;
edisi ke 16. Philadelphia: WB Saunders Co.2000: 1508-11.
4. Rickard KA. Guidelines for therapy and optimal dosages of coagulation factors for treatment of
bleeding and surgery in haemophilia. Haemophilia; 1995 (suppl 1): 8-13.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis Klinis membaik dan FH normal setelah pemberian vitamin K1 dan FFP
15. Kepustakaan 1. Willoughby MLN. Pediatric Hematology. Edinburg: London, 1977: 327-9.
2. Chalmers EA, Gibson BE. Acquired disorders of hemostasis during childhood. Dalam: Lilleyman J, Hann I,
BlanchetteV, Eds. Pediatric Hematology. Edisi ke 2. London: Churchill Livingstone, 2000: 629-49.
3. Sutor AH, Von Kries R, Cornelissen M, Mc Ninch AW, Andrew M. Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in
Infancy. Thromb Haemost 1999; 81: 456-61.
4. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Hemorrhagic Disease of The Newborn. Dalam: Permono B, Sutaryo,
Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2005: 182-96.
5. World Health Organization, Food and Agriculture Organization of United Nations, 2002. Vitamin K. Didapat
dari: http://www.fao.org/documents/showcdr.asp?urlfile=/DOCREP/004/Y2809E/y2809e00.htm. (Diakses
tanggal 8 Agustus 2005)
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
ANEMIA APLASTIK
1. Pengertian Suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.
(Definisi)
ANEMIA APLASTIK
14. Indikator Medis Klinis membaik dan didapatkan parameter hematologi: granulosit >500/mm3, trombosit >20.000/mm3, retikulosit
<1.0%
15. Kepustakaan 1. Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. N Eng. J. Med 1997, 336: 1365-72.
2. Young NS. Bone Marrow Aplasia: The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education
Programme of The 26th Congress of The International Society of Hematology, Singapore: ISH, 1996.
3. Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia. Dalam: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ
dkk. Penyunting. Hematology: Basic Principles and Practice, edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone,
1995: 299-325.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIPERLEUKOSITOSIS
1. Pengertian (Definisi) Jumlah leukosit darah tepi yang melebihi 100.000/mm3
2. Anamnesis Tidak didapatkan keluhan yang khas dan spesifik.
3. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan metabolik yang mendasari.
4. Kriteria Diagnosis Jumlah leukosit darah tepi melebihi 100.000/mm3
5. Diagnosis HIPERLEUKOSITOSIS
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan • Pemeriksaan darah tepi
Penunjang • Pemeriksaan serum elektrolit (natrium, kalium, kalsium, fosfat)
• Pemeriksaan asam urat
8. Terapi Hiperhidrasi
Dektrosa 5% dalam NaCl 0,45%: 2-3 liter/m2/hari
Alkalinisasi urin
a. Tambahkan NaHCO 3 40 meq/liter
b. Untuk mempertahankan pH urin 7,0-8,0
c. Stop NaHCO 3 jika bikarbonat serum »30 mEq/L dan/atau pH urin>8,0
Pengobatan hiperurisemia
2
Allopurinol 300 mg/m /hari atau 10 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 3 dosis (maksimum 800 mg/hari)
atau 200 mg/m2/hari iv (maksimum 600 mg/hari)
Diuresis
a. Target produksi urin 100 ml/m2/jam dan berat jenis urin <1.010
b. Dapat diberikan Furosemid 0,5-1 mg/kgBB/kali atau Mannitol 25% 0,5 g/kgBB selama 5-10
menit jika pasien mengalami oligouria, dapat diulang setiap 6 jam bila perlu
Tunda transfusi suspensi darah merah (PRC) karena dapat meningkatkan viskositas darah, terutama jika
3
lekosit > 300.0000/mm
Monitor
a. elektrolit : Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin
b. darah lengkap
c. urin output, pH, berat jenis urin setiap 6 jam
d. tanda-tanda vital: respirasi, jantung dan susunan saraf pusat terutama bila terdapat
hiperkalemia atau hipokalsemia
9. Edukasi Kemungkinan terjadi komplikasi : sindroma lisis tumor, lekostasis, perdarahan, trombosis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
HIPERLEUKOSITOSIS
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai
Kemoterapi
15. Kepustakaan 1. Patte C. Non Hodgkin’s Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting. Paediatric
Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 278-95.
2. Oberlin O, Mc Dowell HP. Hodgkin’s Disease. . Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting.
Paediatric Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 296-319.
3. Hudson MM, Donaldson SS. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting. Principles and Practice of
Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002: 661-705.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
TUMOR WILMS
1. Pengertian Tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau
(Definisi) embrioma renal.
14. Indikator Medis Tidak didapatkan massa (CT scan/MRI) dan kadar LDH dalam batas normal (<480 U/L) setelah selesai
Kemoterapi
15. Kepustakaan 1. Breslow N, Olsham A, Beckwith JB, Green DM. Epidemiology of Wilms’ Tumor. MPO, 1993; 21: 172-
81.
2. De Camargo B, Weitzman S. Nephroblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barret A, penyunting.
Cancer in children: clinical management. Edisi ke 4. New York: Oxford; 1998: 259-73.
3. Lanzkowsky P. Wilms’ tumor. Dalam: Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke 2. New
York: Churchill Livingstone; 1995: 437-51.
4. Madden SL, Cook DM, Morris JF, Gashler A, Sukhatme VP, Rauscher FJ. Transcriptional repression
mediated by the WT1 Wilms’ tumor gene product. Science, 1991; 253: 1550-3.
TUMOR WILMS
5. Schwartz CE, Haber DE, Stanton VP, Strong LC, Skolnick MH, Housman DE. Familial predisposition
to Wilms’ tumor does not segregate with the WT1 gene. Genomics, 1991; 10: 927-30.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
61
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT ANAK
WIHDATUL UMMAH MEDICAL CENTER
10. Prognosis Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify
laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2010;50(5):526-30.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep
2010;12(1):30-9.
3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci
associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60.
4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis.
Orphanet J Rare Dis 2009;4:1.
5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver
disease after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HEPATITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Hepatitis adalah suatu keadaan inflamasi dan atau nekrosis hati.Hepatitis A merupakan penyebab terbanyak
hepatitis virus tetapi tidak menimbulkan kronisitas. Hepatitis B dan C karena bisa menjadi kronis akan
dibicarakan dalam bab tersendiri. Penyebab non virus kurang sering dijumpai tetapi perlu dipikirkan sebagai
diagnosis banding.
2. Anamnesis Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hari - minggu
timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan
riwayat kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik.
14. Indikator Medis 80% Pasien akan semnuh dalam waktu 5 hari
15. Kepustakaan 1. Baris Z, Saltik Temizel IN, Uslu N, Usta Y, Demir H, Gurakan F, et al. Acute liver failure in children: 20-year
experience. Turk J Gastroenterol 2012;23(2):127-34.
2. Mohd Hanafiah K, Jacobsen KH, Wiersma ST. Challenges to mapping the health risk of hepatitis A virus
infection. Int J Health Geogr 2011;10:57.
HEPATITIS AKUT
3. Rapti IN, Hadziyannis SJ. Treatment of special populations with chronic hepatitis B infection. Expert Rev
Gastroenterol Hepatol 2011;5(3):323-39.
4. Selimoglu MA, Ertekin V, Karabiber H, Turgut A, Gursan N. Treatment results of chronic hepatitis B in
children: a retrospective study. Turk J Pediatr 2010;52(4):360-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ASCITES
1. Pengertian (Definisi) Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati
kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.
2. Patogenesis Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya:
• Peningkatan tekanan hidrostatik:
Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), obstruksi vena cava inferior, perikarditis
konstriktif, penyakit jantung kongestif
• Penurunantekananosmotikkoloid:
Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein-
lossing enteropathy
• Peningkatanpermeabilitaskapiler peritoneal:
Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium
• Kebocoran cairan di cavum peritoneal:
Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites
• Micellanous:
Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic hemodialysis
3. Gejala Klinis Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut:
Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti
Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang
minimal
Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak
tegang
Tingkatan 4 : asites permagna
4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik:
• Distensi abdomen
• Bulging flanks
• Timpani pada puncak asites
• Fluid wave
• Shifting dulness
• Puddle sign
5. Pemeriksaan Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)
Penunjang • Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial
dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar
pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih.
Gambaran ini disebut “dog’s ear” atau "Mickey Mouse" appearance. Caecum dan colon ascenden
tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan
gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.
Ultrasonografi
• Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.
• Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.
CT scan
• Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah
sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior
(kantung Morison), dan kantung Douglas.
Parasentesis abdomen
Analisiscairanasitesdilakukanpada onset awalasites,
tindakantersebutmemerlukanrawatinapuntukobservasi.
Analisiscairanasites
1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan
infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.
5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.
6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.
7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial.
8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan
SAAG (perbedaan kadar albumin serum – kadar albumin asites)berhubungan langsung dengan tekanan portal:
bila lebih besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites); SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan
hipertensi portal (exudative ascites).
6. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
Komplikasi (apabilaterjadi)
7. Diagnosis Ascites
8. Diagnosis Banding
Tipe asites sesuai dengan SAAG
ASCITES
Tinggi ( > or = 1.1 g/dl) Rendah ( < 1.1 g/dl)
Tumor peritonium
Sirosis
Asites pankreas
Hepatitis alkohol
Asites bilier
Gagal jantung
TBC peritonium
Gagal hati fulminan
Sindrom nefrotik
Trombosis vena porta
Obstruksi usus
17. Indikator Medis 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari
18. Kepustakaan a. Amarapurkar DN, Punamiya S, Patel ND. An experience with covered transjugular intrahepatic
portosystemic shunt for refractory ascites from western India. annals of Hepatology 2006:103-8.
b. Gerbes AL, Gulberg V. Progress in treatment of massive ascites and hepatorenal syndrome World J
Gastroenterol 2006;12:516-9.
c. Seo JH, Kim SU, Park JY, Kim DY, Han K-H, Chon CY, et al. Predictors of Refractory Ascites
Development in Patients with Hepatitis B Virus-Related Cirrhosis Hospitalized to Control Ascitic
Decompensation. Yonsei Med J 2013;54(1):145-53.
d. Bjerre M, Holland-Fischer P, Grønbæk H, Frystyk J, Hansen TK, Vilstrup H, et al. Soluble membrane
attack complex in ascites in patients with liver cirrhosis without infections World J Hepatol
2010;2(6):221-5.
e. European Association for The Study of The Liver. EASL clinical practice guidelines on the
management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Of
Hepatol 2010;53:397-417.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kes ehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soe badi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjams ul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Mad ya Pembina Utama
NIP. 19490906 1 977 03 1 001 NIP. 19510303 19 7612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Gagal hati fulminan adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh nekrosis sel hati yang luas, diikuti
kegagalan fungsi hati secara mendadak, yang ditandai dengan ensefalopati yang timbul dalam waktu kurang
dari 8 minggu setelah gejala pertama penyakit hati.
2. Patofisiologi Berdasar interval waktu antara timbulnya ikterus dan ensefalopati, gagal hati dibagi menjadi 3 kategori : hiper
akut, akut, dan sub akut.
KlasifikasiGagalHatiAkut
Interval
Edema
jaundice- Penyebab
Otak Prognosis
Ensefalopati
Virus A,B
Hiper-akut <7 hari Sering Sedang
Acetaminophen
Akut 8-28 hari Sering Jelek Non-A/B/C;obat
Sub-akut 29 hari - 12 mg Sering Jelek Non-A/B/C;obat
-
3. PemeriksaanFisik Gejala klinis sangat bervariasi, merupakan gabungan antara gejala kelainan hati dan ensefalopati, mulai yang
ringan sampai koma. Pada bayi perjalanan penyakit progresif dan bayi meninggal sebelum ikterus tampak.
Gejala hepatitis : lemah, panas, anoreksia, muntah, nyeri perut, ikterus, kencing keruh, tinja akolis.
Gejala neurologi : gangguan tingkah laku, pusing, sakit kepala, perubahan irama tidur, gangguan koordinasi
dengan flapping tremor, refleks tendon yang meningkat, dan refleks Babinsky positif, hingga fase akhir terjadi
hipotoni dan refleks-refleks menghilang.
Agitasi Inkordinasi
Iritabel Tidakbisamenul
is
2 Lethargy Disorientasi Asteriksis Gelombang
waktu Disarthria tigafase
Respons Hilang Ataksia (5 Hz)
lambat hambatan Refleks
Kelakuan tak hipoaktif
terkontrol
3 Somnolence Disorientasitem Asteriksis Gelombang
pat Kekakuan otot tigafase
Confusion Agresif Tanda (5 Hz)
Babinsky
Refleks
hiperaktif
4 Koma Tidakada Deserebrasi Aktifitasgelo
mbang
Delta/
lambat
4. PemeriksaanPenunjan Pemeriksaanlaboratorium
g a. Serum transaminase : meningkat 70 – 100 kali
b. Bilirubin direk dan total : bilirubin > 4 mg/dl menunjukkan prognosis buruk
c. Alkali fosfatase : normal atau meningkat
d. Faal hemostasis : memanjang
e. Albumin serum :faseawal normal danmenurunpadafaselanjut. Kadar albumin rendahmenunjukkan
prognosis buruk
f. Hipoglikemia, khususnyapadabayi
Pemeriksaaanpenunjang lain
a. EEG
b. USG hati (Doppler)
c. CT scan atau MRI abdomen.
d. CT scan kepala
e. Biopsihati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
3. Komplikasi (apabilaterjadi)
6. Diagnosis Gagal Hati Fulminan
7. Terapi Tujuan pengobatan adalah mempertahankan fungsi otak, ginjal, pernafasan sampai terjadi regenerasi hati serta
mencegah terjadi komplikasi, dengan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan, meliputi :
a. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
• Pemberiancairanintravena.
• Mempertahankan kadar Natrium dan Kalium darah.
b. Diet
Tinggi kalori, tinggi karbohidrat dan cukup lemak. Protein 0,5-1 g/kgBB/hari.
c. Pengobatanterhadapperdarahan
Timbulnyaperdarahanmerupakanakibatdefisiensifaktor-faktorpembekuan, DIC, dantrombositopenia.
• Vitamin K
• Plasma segarbeku
• Faktor pembekuan diberikan bila waktu protrombin memanjang lebih dari 10 detik
• Antasiddanantagonisreseptor H 2 20 mg/kgBB/hari
• Bilaterjadiperdarahandiberikandarahsegar
d. Pengobatanterhadapensefalopati
• Neomisin 25 mg/kgBBtiap 8 jam
• Laktulose enema 150cc dalam 500cc air 4 kali sehari
• Laktulose oral 1 ml/kgBB 4 kali sehari
e. Pemberiansedatifharusdicegah
• Bilakejangdiberi flumazenil (benzodiazepine-receptor antagonist)
• Tidak boleh diberikan diazepam karena dapat menekan pusat pernapasan
f. Antibiotik
Jika diduga infeksi, sesuai hasil kultur.
g. Edema serebri
• Kortikosteroitmasihkontroversi
• Manitol 0.5-1 g/kgBB iv bilatekananintrakraniallebihdari 30 mmHg, dosispemeliharaan 0.25-0.5
g/kgBB iv 4 kali sehari.
h. Gangguanginjal
Peritoneal dialisisatauhemodialisisbilaterjadigagalginjal
i. Gangguanpernafasan
• Intubasiendotrakhealdanventilasimekanikbilaterjadigagalnafas
• AsidosisdiberiNatriumBicarbonatkarenadapatmemperbaikikesadarandanmeningkatkanalirandara
hdanoksigenkeotak
j. Usaha untukmenunjangfungsihati
• Tranfusitukar (exchange transfusion)
• Dialisis peritoneal padapenyakitWilsonuntukmembuangtembagadenganmenambah D-
penicillaminekedalamdialysate
• Plasmapheresis pada gagal hati fulminan yang menunggu transplantasi
• Charcoal haemoperfusion denganinfus prostacyclin
• Transplantasihati
8. Pemantauan Tekanan darah, nadi, suhu tubuh, produksi urine dan jika memungkinkan dengan tekanan vena sentral.
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan fungsi hati, serum elektrolit, albumin, analisa gas
darah dan urine lengkap
9. Edukasi
10. Prognosis Mortalitas pada anak-anak sebesar 80-90% disebabkan edema serebri, sepsis, dan kerusakan multi organ.
Angka keberhasilan hidup adalah sebesar ±10-20%. Dipengaruhi oleh derajat koma, macam pengobatan, umur
penderita, dan tergantung pada kemampuan regenerasi hati serta komplikasi yang terjadi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIPERTENSI PORTAL
1. Pengertian (Definisi) Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal diatas 10-12 mmHg yang menetap,
dimana tekanan dalam keadaan normal berkisar 4 – 8 mmHg.
Hipertensi portal juga didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang terjadi karena peningkatan
tekanan vena portal yang kronis. Merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak
dengan penyakit hati.
3. PemeriksaanFisik - Pengukuranberatbadan
- Kesadaran
- Tanda vital
- Hematemesis
- Melena
- Ensefalopati akibat fungsi hati yang buruk
- Asites
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Pelebaran vena dinding perut dan caput medusa
- Ikterus
4. PemeriksaanPenunjang - Laboratorium:darah lengkap, tes fungsi hati, faal hemostasis, albumin, serologi hepatitis, defisiensi
alfa-1 antitripsin
- Radiologi: foto polos abdomen, USG Doppler, CT scan, MRI, CT-angiografi
- Endoskopi
- Biopsi hati
5. Kriteria Diagnosis 1. GejalaKlinis
2. Intrahepatikatauekstrahepatik
3. Komplikasi
6 Diagnosis Hipertensi portal
7. Diagnosis Banding • Ekstrahepatik:
- Obstruksi vena porta: trombosis vena porta
- Peningkatan aliran porta: arteriovenousfistula
• Intrahepatik:
- Penyakit hepatoseluler: hepatitis virus (akuit/kronis), sirosis, fibrosis hepar kongenital,
penyakit Wilson, defisiensi α 1 - antitripsin, penyakit glycogen storage tipe IV, hepatotoksisitas
(methotrexate, nutrisi parenteral)
- Penyakit traktus bilier: atresia bilier ekstrahepatik, cystic fibrosis, kista duktus koledokus,
kolangitis sklerosis, gangguan saluran empedu intrahepatik
- Hipertensi portal idiopatik
Obstruksi postsinusoidal: sindrom Budd-Chiari, penyakit veno-occlusive (trombosis dan
malformasi kongenital segmen toraks vena cava inferior, perikarditis konstriktif, gangguan
katup trikuspid, miokardiopati kongestif berat)
8. Terapi Terapi perdarahan varises esofagus:
• Resusitasi cairan (cairan kristaloid maupun darah)
• Koreksi koagulopati: vitamin K, transfusi trombosit dan Fresh Frozen Plasma
• Pasang sonde lambung: monitor perdarahan
• Reseptor H 2 bloker (ranitidin)
• Medikamentosa:
- Octreotide / Somatostatin: 1 mcg/KgBB/jam sampai 12 jam setelah perdarahan berhenti
- Vasopressin: 0,33 U/KgBB selama 20 menit dan dilanjutkan dengan dosis yang sama tiap
jam
• Skleroterapi endoskopik
Terapi preventif perdarahanvarises esofagus:
• β-blocker: propanolol 0,5 mg/KgBB/12 jam
• Skleroterapi preventif
• Ligasi Varises endoskopik (jarang)
• Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
• Splenektomi
• Devaskularisasi
• Transplantasi hati
9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Komplikasi
3 Nutrisi
10. Prognosis Dengantatalaksanaadekwat, 5YSR 80%
11. Tingkat Evidens IV
HIPERTENSI PORTAL
14. IndikatorMedis Persentase kesembuhan ditentukan oleh fungsi hati, sumbatan vena porta (ekstrahepatal), episode
perdarahan serta usia dan kondisi fisik penderita. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Bosch J, Carlos J. Pathophysiology of portal hypertension and its complications. Dalam:
Bircher J, Benhamou JP, McIntyre, Rizzetto M, Rodes J, eds. Oxford textbook of Clinical
Hepatology. Edisi ke-2. New York: 1999;1:653-9
2. Dite P, Labrecque D, Fried M, et al. Esophageal varices. Dalam: World
Gastroenterology Organisation practice guideline. Munich, 2008.
Tersedia di http://guideline.gov/content.aspx?id=13000.
3. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: Report of the
Baveno V Consensus Workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal
hypertension. J Hepatol 2010;53:762-8
4. McIntyre, N. & Burroughs, A. Cirrhosis, portal hypertension and ascites. Dalam:
J.G.G. Ledingham & D.A. Warrell, eds. Concise Oxford textbook of medicine. Oxford: Oxford
University Press, 2000;5:36
5. Shneider BL. Portal hypertention. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,
eds. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: LWW.com, 2001;129-51
6. Suchy FJ. Portal Hypertension and Varises. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of Pediatrics. Edisike-18. Philadelphia: WB Saunders Co,
2007; 1709-1711
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Massa padahati, dapat bersifat jinak maupun ganas (kanker), dan bisa primer atau merupakan metastase dari
organ lain.
2. Anamnesis • Masa abdomen yang besar, atau pembesaran perut
• Nyeri perut kanan
• Nafsu makan menurun, penurunan berat badan
• Muntah
• Ikterus
• Panas
• Gatal-gatal pada kulit
• Anemia
• Nyeri punggung akibat penekanan tumor
Dapat juga terjadi krisis akut abdominal disertai pecahnya tumor dan hemoperitonium (biasanya pada
karsinoma hepatoseluler)
3. PemeriksaanFisik • Pengukuranberatbadan
• Kesadaran
• Tanda vital
• Status lokalis : ukuran,konsistensi,tepidanpermukaanhati
4. PemeriksaanPenunjan • Laboratorium: darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati dan ginjal, serologi hepatitis B dan C, α-
g fetoprotein / AFP (juga untuk monitoring terapi)
• Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi
• Radiologi: Foto polos dada, USG / USG Doppler, CT-scan / MRI
5. Kriteria Diagnosis • Selain menentukan diagnosa tumor hati perlu juga dilakukan penentuan stadium dari tumor tersebut
terutama pada tipe ganas
• Metode penentuan stadium tumor hati pada anak, salah satunya sebagai berikut:
- Stadium I : tumor dapat diangkat lengkap dengan pembedahan
- Stadium II : tumor dapat diangkat dengan pembedahan tapi masihmeninggalkan sedikit sisa
- Stadium III : tumor tidak dapat diangkat secara lengkap dengan pembedahan dan didapatkan
penyebaran pada kelenjar getah bening disekitarnya
- Stadium IV : tumor telah menyebar ke organ tubuh lain
- Kambuhan : tumor muncul lagi setelah pengobatan baik dihati maupun organ lain
6. Diagnosis Tumor hati
7. Diagnosis Banding • Abses hati
• Neuroblastoma
• Tumor Wilm’s
• Kolestasis/sirosis hati
8. Terapi • Penatalaksanaan tumor hati pada anak bergantung pada jenis dan stadium tumor, serta usia dan kondisi
fisik penderita.
• Pada tumor jinak biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat tumor tanpa disertai pengobatan yang
lainnya.
• Pada tumor ganas diperlukan kerjasama dengan dokter bedah anak dan ahli onkologi anak. Pengobatan
biasanya merupakan kombinasi antara :
- Pembedahan
- Kemoterapi
- Radioterapi
- Transplantasi hati
• Pengobatan berdasarkan jenis dan stadium tumor:
- Hepatoblastoma stadium I dan II :
Pengangkatan tumor dan diikuti kemoterapi 4 seri menggunakan cisplatin, vincristine, dan fluorouracil.
- Karsinoma hepatoseluler stadium I dan II
Pengangkatan tumor diikuti kemoterapi cisplatin dan atau doxorubicin
- Hepatoblastoma stadium III dan IV:
Beberapa alternatif pengobatan yang dapat dilakukan :
1. Kemoterapi untuk mengurangi ukuran tumor dilanjutkan pengangkatan sebanyak mungkin tumor
dan ditutup kemoterapi lagi
2. Pembedahan metastase tumor di paru
3. Kemoterapi
4. Radioterapi diikuti pembedahan
5. Penyuntikan obat kemoterapi langsung ke pembuluh darah hati
6. Kemoterapi dan kemoembolisasi
7. Transplantasi hati
- Karsinoma hepatoseluler stadium III dan IV
- Pengurangan ukuran tumor dengan menggunakan kemoterapi cisplatin dengan vincristine / fluorouracil
atau doxorubicin dilanjutkan pengangkatan tumor sebanyak mungkin
- Kambuhan
Dilakukan pengobatan ulang berdasarkan pengobatan sebelumnya
• Selain pengobatan terhadap tumornya perlu juga dilakukan pengobatan suportif dengan mencegah dan
mengobati infeksi, efek samping pengobatan dan komplikasinya, serta memberikan rasa nyaman pada
penderita selama pengobatan. Perlu dilakukan pengamatan secara berkala untuk memonitor respon
terhadap pengobatan dan mewaspadai efek samping jangka panjang dari pengobatan.
9. Edukasi 1. GejalaKlinis
2. Stadium tumor
3. Komplikasi
4. Metastase
5. Nutrisi
10. Prognosis UntukHepatoblastoma 5YSR dibawah 20%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. PenelaahKritis
14. IndikatorMedis Persentase kesembuhan ditentukan oleh jenis, stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik penderita.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 30 hari
15. Kepustakaan 1. Bektas H, Schrem H, Kleine M, et al. Primary liver tumours – presentation, diagnosis and surgical
treatment. Dalam: Liver Tumours – Epidemiology, Diagnosis, Prevention and Treatment. InTech, 2013;
(5):91-111.
2. Cynthia EH. Neoplasm of the liver. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1564
3. Czauderna P, Mackinlay G, Perilongo G, et al. Hepatocellular carcinoma in children: results of the first
prospective study of the International Society of Pediatric Oncology group. J ClinOncol, 2002; 20(12): 2798-
804.
4. Jacobson DR, 2004. Hepatocellular Carcinoma. Last Updated: June 23, 2004.
Tersedia di: http://www.emedicine.com/radio/topic332.htm
5. Katzenstein HM, Krailo MD, Malogolowkin MH, et al. Hepatocellular carcinoma in children and adolescents:
results from the Pediatric Oncology Group and the Children's Cancer Group intergroup study. J Clin Oncol
2002; 20(12): 2789-97
6. Malogolowkin MH, Stanley P, Steele DA, et al. Feasibility and toxicity of chemoembolization for children
with liver tumors. J ClinOncol2000; 18(6): 1279-84
7. Ortega JA, Douglas EC, Feusner JH, et al. Randomized comparison of cisplatin/vincristine/fluorouracil and
cisplatin/ continous infusion doxorubicin for treatment of pediatric hepatoblastoma: A report from the Child’s
Cancer Group and the Pediatric Oncology Group. J Clin Oncol, 2000; 18(14):2665-75
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria
subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir
2. Anamnesis 1. Tidak biru
2. Tidak mau menetek
3. Nafas cepat (takipnea)
4. Berkeringat
5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
3. Pemeriksaan Fisik 1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau
2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan
3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif)
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas
2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)
5. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten
6. Diagnosis Banding 1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thorax
2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa
diulang satu seri lagi
2. Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk sekolah)
3. Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan :
* koil Gianturco pada PDA kecil,
* Amplatzer Ductal Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan 1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141-
145.
2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB,
Driscoll DJ. Ed. Moss and Adams’Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The Fetus
and Young Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669.
3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company
Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
GAGAL JANTUNG
1. Pengertian (Definisi) Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok
oksigen dan nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel.
2. Anamnesis 1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea",
"dyspnea d'effort", batuk, sianosis.
2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer
edema palpebra sering pada bayi.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kardiomegali
2. takikardia
3. irama gallop
4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus
paradoxus dan alternans
5. "tachypnea"
6. ronkhi basah
7. wheezing
8. Dyspneu sampai dengan sianosis
9. hepatomegali
10. bendungan vena leher
11. sembab perifer
12. edema palpebra sering pada bayi.
4. Kriteria Diagnosis 1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas
2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas
5. Diagnosis Gagal jantung
6. Diagnosis Banding 1 Efusi pericardial
2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian
bawah : (bronkiolitis, pneumonia)
7. Pemeriksaan 1. Foto thorax
Penunjang 2. EKG
8. Terapi
1. O 2 40-50% dengan pelembab.
2. Sedasi dengan morphin 0,1-0,2 mg/kg/dosis s.c.setiap 4 jam kalau perlu, atau Phenobarbital 2-3
mg/kg/dosis p.o/i.m. setiap 8 jam selama 1-2 hari.
3. Eliminasi factor pencetus : demam diberi antipiretik, anemia ditanfusi PRC sampai PCV > 35%.
4. Atasi penyakit dasar seperti hipertensi, aritmia atau tirotoksikosis.
5. Digitalis : digoxin
6. Dopamine
7. Hydralazine : dosis 1 mg/kg - 5 mg/kg/hr oral dalam 3-4x
8. Captopril :
neonatus : 0,1-0,4 mg/kg/dose, 1-4 x/hari
bayi : 0,5-6,0 mg/kg/hr, tiap 6-24 jam
anak besar : 12,5 mg/dose oral tiap 12-24 jam
9. diuretika :
thiazide : chlorothiazide : 20-30 mg/kg/hr, oral.
Hydrocholorothiazide 2-3 mg/kg/hr (2 x)
Furosemid : 1-3 mg/kg/x intravena, 2-5 mg/hr/oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Penjelasan tentang penyakit yang mendasari
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
15. Kepustakaan 1. Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and
Libby P. Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 – 599.
2. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem
oriented approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129.
3. Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 234-
39, 249-53.
4. Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics.
GAGAL JANTUNG
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
NIP. 19550613 198303 1 013
1. Pengertian (Definisi) adalah defek pada septum yang menghubungkan antara ventrikel kanan dan kiri jantung yang disertai adanya
infeksi/pneumonia
Operatif :
- VSD kecil : biasanya tidak perlu, kadang-kadang
menutup spontan.
- VSD sedang: kalau tidak ada gagal jantung dapat
ditunggu sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat
badan minimal 10 kg, sekarang operasi dapat
dipertimbangkan pada umur yang lebih muda.
- VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum
menetap: dikerjakan operasi paliatif setelah gagal
menangani gagal jantungnya (operasi tidak langsung
menutup defek, tetapi dengan operasi pengikatan
batang a. pulmonalis), setelah umur 4-6 tahun defek
belum menutup, dikerjakan koreksi total.
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 14 hari (2 minggu).
15. Kepustakaan 1. William RV, Tani LY, Shaddy RE, 2001. Intermediate effects of treatment with metoprolol or carvedilol in
children with left ventricular systolic dysfunction. The journal of heart and lung transplantation; 21: 906-9
2. Van der Linde D, Konings E, Slager MA, et al, 2011. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease Worldwide.
JACC; 58: 2242-7
3. Vaidyanathan B, 2009. Is there a role for carvedilol in the management of pediatric heart failure. A meta
analysis and e-mail survey of expert opinion. Annuals Pediatric Cardiol; 2: 74-8
4. Hawkins A, Tulloh R, 2009. Treatment of pediatric pumonary hypertension. Vasc Health Risk Management;
5:509-24.
5. Humbert M, Morrel NW, Archer SL, Stenmark KR, MacLean MR, Lang IM, et al, 2004. Cellular and molecular
pathobiology of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol ; 43:13-24
6. Landzberg MJ, 2007. Congenital heart disease associated pulmonary arterial hypertension. Clin Chest
Med;28: 243-53
7. Limsuwan A, Pienvichit P, Khowsathit P, 2005. Beraprost therapy in children with pulmonary hypertension
secondary to congenital heart disease. Pediatr Cardiol; 26: 787-91
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS.,
Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
RENJATAN KARDIOGENIK
1. Pengertian (Definisi) adalah ketidak mampuan jantung akibat gangguan fungsi memompa untuk memasok darah yang cukup ke
jaringan agar kebutuhan metabolismenya terpenuhi
8. Terapi 1. Resusitasi cairan, kristaloid adalah pilihan utama,tahap kegawatan dan replacement disusul tahap
rumatan . Idealnya dengan pemasangan CVP, atau fluid challenge (pemberian cairan 200 ml atau 20
ml/kgBB iv dalam 30 menit), bila ada perbaikan perfusi selama/setelah pemberian, berarti hipovolemia,
pemberian diteruskan dengan rumatan. Tetapi, bila tampak sesak dengan hepatomegali progresif tanpa
ada perbaikan perfusi, cairan segera dihentikan, beri lasix sampai gejala sesak berkurang dilanjutkan
pemberian Dopamin dan Dobutamin seperti kalau menghadapi gagal jantung (dalam hal ini renjatan
kardiogenik). Kalau perlu diberikan norepineprin dengan dosis 0,5 mcg/kg/min dengan titrasi.
2. Meningkatkan curah jantung (koreksi disritmia, optimalisasi preload, meningkatkan kontraktilitas miokard,
menurunkan afterload)
3. Mengurangi beban jantung (sedasi, mempertahankan suhu tubuh tetap normal, intubasi dan ventilasi
mekanik, koreksi anemia)
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 10 hari.
RENJATAN KARDIOGENIK
15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 141-
145.
2. Bernstein D. Cardiac Therapeutics: Heart Failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Eds.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1586-1587
3. Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA, Gutgesel HP. Clinical synopsis of Moss and Adams’
Heart Disease in Infants, Children and Adolencents including the Fetus and Young Adult. Baltimore: Williams
& Wilkins, 2002. H. 814-827
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang digambarkan dengan 4 macam kelainan:
- Stenosis pulmonalis (valvular, infundibular)
- Defek septum ventrikel
- Hipertrofi ventrikel kanan
- Overriding aorta pada septum ventrikel
2. Anamnesis 1. Biru, bertambah waktu bangun tidur, menangis atau
sesudah makan.
2. Sesak
3. Mudah lelah
4. Gangguan pertumbuhan
5. Dapat terjadi kehilangan kesadaran.
6. Sering jongkok bila berjalan 20-50 meter, untuk
mengurangi sesak
7. Nafas cepat (takipneu)
8. Jari tabuh
15. Kepustakaan 1. Anderson RH, Mc Carthey FJ, Shinebourne EA, Tunan M. 1997. Tetralogy of Fallot. Pediatric Cardiology.
Vol. 2 Churchill Livingstone. London. Pp 774-775.
2. Kliegman RM,. Tetralogy of Fallot. In: Textbook of Pediatrics.Eds. Nelson WE, Behrman RE. 4rd ed. WB
Saunders Co. Philadelphia. 1992, p. 1149-1153.
3. Rutkowski. Common Complication in Infant wth Cyanotic Congenital Heart Disease.p 166-167.2009
4. Teddy Ontoseno. Serangan Sianosis. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak ke XXIII. Ed:
Soebijanto P, Erwin S, Bambang P.dkk. FK Unair. Surabaya,1991; hal.91.
5. Cicha I, Suzuki Y, Tateishi N, Maeda N. 1999 Rheological changes in human red blood cells under
oxydative stress. Pathophysiology 6 : 103-110.
6. Behrman RE. 2000. Tetralogy of Fallot.. In : Behrman RE, Kliegman RM, eds. Nelson Textbooks of
Pediatrics, 15th ed. Philadelphia : WB Saunders co. 1149-53.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DEMAM REUMATIK
1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul
setelah infeksi tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS)
dengan penyulit serius berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang
cenderung kambuh, akibat respons autoimun
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Arthralgia
4. Kriteria Diagnosis a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau
b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus
beta hemolitikus golongan A sebelumnya.
5. Diagnosis Demam Reumatik
6. Diagnosis Banding 1. Artritis reumatoid
2. Artrids bakterial.
3. Artritis virus.
4. Reaksi alergi.
5. Bising fungsionil.
6. Kelainan jantung bawaan.
7. Miokarditis virus
8. Miokarditis bakterial lain.
9. Lupus eritematosus sistemik
7. Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap
b. LED
c. C-Reactive Protein
d. ASO
e. Kultur hapusan tenggorok
f. Foto thorax
g. EKG
h. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Iirah baring:
Tanpa Karditis:
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali:
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali:
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan gagal jantung:
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi
2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder
- Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila
berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali.
DEMAM REUMATIK
- Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20
kg, diberikan selama 10 hari.
- Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama
10 hari
3. Analgesik dan anti-inflamasi
- Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
- Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali:
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu
- Karditis dengan kardiomegali
atau gagal jantung: Prednison 2 mg/kg/
BB/hari selama 2 minggu,dikurangi bertahap
selama 2 minggu
ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.
9. Edukasi a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
b. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
KARDIAK SIANOSIS
3. Pemeriksaan Fisik 1. Sianosis bibir, kuku, mukosa mulut, konjunctiva, ujung hidung bila saturasi O2 arteri ≤ 85 %. (Newborn ≤
90%)
2. Tes hiperoksia positip
3. Pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. (adanya duktus yang masih terbuka
mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama).
8. Terapi - Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5- 37o C & kelembaban sekitar 50%).
- Bila curiga cardiac cyanosis, kuhsusnya ductal
dependent, segera berikan Prostaglandine E1
(Prostin VR Pediatric) 0,05 – 0,1 ug/kg/men drip
sampai KU membaik lalu turunkan step by step
sampai 0,01 ug/kg/men. Bila dosis awal tidak ada
respon, naikkan menjadi 0,4 ug/kg/men. Awas
apneu-fever- taki/bradi kardia, flushing hipotensi dan
cardiac arrest !
- Pemberian oksigen 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter Nasofaringeal
Pengobatan pada serangan sianosis:
1. Usahakan meningkatkan saturasi oksigen arterial dengan cara :
* Membuat posisi ”knee chest” atau ”fetus
* Ventilasi yang adekuat
2. Menghambat pusat nafas denga Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg/kg im atau s kutan
3. Bila serangan hebat bisa langsung diberikan Na Bic 1 meq/kg iv untuk mencegah asidosis metabolik
4. Bila Hb < 15 gr/dl bisa diberikan transfusi darah segar 5 ml/kg pelan sampai Hb 15-17 gr/dl
5. Propanolol 0,1 mg/kg iv terutama untuk prolonged spell diteruskan dosis rumatan 1 – 2 mg/kg oral
9. Edukasi 1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
KARDIAK SIANOSIS
14. Indikator Medis 80% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 1 bulan.
15. Kepustakaan 1. Gaiha M, Sethi HPS, Sudah R, Arora, Acharya NR. 1993. A clinico-Hematological study of Iron deficiency
anemia and its correlation withHyperviscosity Symptoms in Cyanotic Congenital Heart Disease. Indian
Heart Journal 45 (1). 53-55.
2. Lany LT. 1997. Uji Penapisan Anemia Relatif Pada Penderita Tetralogy Fallot. Penelitian Karya Akhir
Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak.
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya.
3. HH and Risau W. 1998. Systemic hypoxia changes the organ-specific distribution of vascular endothelial
growth factor and its receptors. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95: 15809-15814.
4. Neches WH, Park SC, Ettedguy JA. 1997.Tetralogy of Fallot and Tetralogy of Fallot with Pulmonary Atresia.
In : The Science and Practice of Pediatric Cardiology. Ed : Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR.2
ed. Williams & Wilkins A Waferly C. Baltimore*Philadelphia*London*Paris*Bangkok. Vol I : 1383-1411.
5. Ontoseno T. 2002a. Pattern of Tetralogy Fallot patients in Dr Soetomo Hospital, Surabaya. Folia Medica
Indonesiana. (2) : 133-135
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR
1. Pengertian (Definisi) adalah peningkatan frekuensi denyut jantung, antara 180-300 kali per menit, dengan bentuk
kompleks QRS yang seluruhnya normal.
8. Terapi 1. Manuver Vagal (massage sinus karotikus, kantong es ditempelkan ke muka/ stimulasi
nasogastrik)
2. Adenosine iv bolus 50 ug/kg dinaikkan setiap 2 menit dosis sama sampai maksimal 250 ug/kg, awas
bronkhospame
3. Bila Adenosine tidak tersedia dan pasien shock, segera berikan Synchronized DC shock 0,5 joule/kg
sampai maksimal 2 joule/kg lalu dilanjutkan dengan digitalisasi.
4. Digitalisasi cepat bila tanpa shock/gagal jantung, iv 0,03-0,04 mg/kgBB, pemberian pertama 1/2 dosis
digitalisasi dilanjutkan 1/4 dosis lalu 1/4 dosis lagi selang 8 jam. Bila sudah kembali ke
irama sinus maka dilanjutkan dosis oral untuk rumatan. Kontra indikasi bila ada WPW.
5. Bila belum berhasil, berikan Phenylephrine 10 mg dalam 200 cc cairan drip cepat, awasi systole jangan
lebih dari 150-170 mmHg.
6. Bila belum berhasil, Propanolol atau Verapamil bisa dicoba (untuk > 1tahun). Verapamil : iv 0,05-
0,1 mg/kg BB dapat diulangi 2 X dalam 15 menit. Peroral 1-10 mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi
3 kali.
7. Amiodarone (bila akibat WPW atau postop), PO 10 mg/kg dibagi 2 dosis selama 5-10 hari lalu 5-
7 mg/kg/hari sampai beberapa minggu diturunkan 2-5 mg/kg, IV 5 mg/kg dlm 15-20 menit dapat diulang
maks 15 mg/kg dilanjutkan continous infusion 10-15 mg/kg/hari).
Digitalis maintenance untk cegah rekuren selama 3-6 bulan (bila umur > 8 tahun disertai WPW, berikan
Propanolol atau Atenolol)
14. Indikator Medis 90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 7 hari (1 minggu).
TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR
15. Kepustakaan
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby,
2002. h.338-341.
2. Van Hare GF, Supraventricular Tachycardia. Dalam: Gillette PC, Garson A Jr, Ed. Clinical
Pediatric Arrithmias. Edisi ke-2. Philadelpia: W.B. Saunders Company, 1999. h.97-120.
3. Deal BJ. Supraventricular Tachycardia Mecanisms and Natural History. Dalam: Deal BJ, Woff
GS., Gelband H. Ed. Current Concepts in Diagnosis and Management of Arrithmias in Infants
and Children. New York: Futura Publishing Company, 1998. H. 117-143
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
8. Terapi Supportif
Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi
Medikamentosa
Antibiotik peroral
ISK bawah Amoksisilin klavulanat 20 – 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis
Antibiotik parentral
1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari.
14. Indikator Medis 80% penderita akan sembuh dalam waktu 12 hari
15. Kepustakaan 1. Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric
nd
Nephrology 2 .Chennai.Replika Press.2007. 553-74.
2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P,
Yoshikawa N Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310
3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in
young children. N Engl J Med ; 348 :195-202.
4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric
Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70
5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics
2011;128:595-610
6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds.
Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142-
163.
7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34
8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal
lesions in children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9.
9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds.
Pediatric nephrology. Singapore. 391-402.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract
infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
2. Anamnesis Riwayat PGK tergantung penyakit yang mendasari dan beratnya penurunan fungsi ginjal
14. Indikator Medis 80% penderita akan membaik dalam waktu 4 minggu
• Penderita dengan PGK Stadium I sampai dengan IV, LFG stabil
• Penderita dengan PGK stadium V, gejala uremia membaik
15. Kepustakaan 1. Yap HK, Aragon ET. Chronic kidney disease staging. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds. Pediatric Nephrology.
Children Kidney Centre. Singapore.2012:19-25.
2. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite
Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
3. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:Evaluation, Classification, and Stratification, 2000
4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan , Trihono PP,
Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
5. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds.
Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
6. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney
Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-
52.
7. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds.
Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.
8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds.
Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.
9. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insuffi-ciency. In Avner ED,
Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology.
Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
11. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Kontraindikasi relatif:
• Gagal ginjal terminal
• Kelainan ukuran, bentuk, dan/atau posisi ginjal
• Pielonefritis kronis
• Hidronefrosis
• Neoplasma intrarenal (risiko penyebaran tumor intraabdominal)
• Nefrokalsinosis
• Anemia berat
• Obesitas
Kondisi dimana biopsi ginjal mempunyai nilai diagnostik minimal:
• Penyakit kistik ginjal
• Kelainan tubulus ginjal
• Proteinuria postural
4. Persiapan Penjadwalan:
• Penjadwalan dilakukan sesuai jadwal operator (Nefrologi Anak) dengan konsultan radiologi selambat-
lambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal.
• Bila sudah didapatkan jadwal yang pasti, diberitahukan kepada asisten operator (perawat Poli Nefrologi Anak)
untuk persiapan alat dan prosedur pengiriman bahan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara
biopsi ginjal.
Persiapan:
• Surat persetujuan orang tua atau keluarga penderita (informed consent).
• Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan uji faal hemostasis.
• Penderita diberikan Vitamin K 5 mg im 3 hari berturut-turut, mulai H-1, H0 dan H+1.
• Penderita dipuasakan sejak 6 jam sebelum biopsi dimulai.
• Sebelum berangkat ke tempat biopsi dengan menggunakan tempat tidur beroda, iv line sudah harus
terpasang pada tangan penderita.
5. Obat-obatan dan • Kassa dan desinfektan (povidon-iodine dan alkohol 70%) untuk desinfeksi lapangan biopsi
peralatan • 2 ampul Lidokain
• 2 atau 3 vial Midazolam (Dormicum) kemasan 5 mg/5 ml
• 2 buah disposable syringe 2,5 ml
• 2 buah disposable syringe 5,0 ml
• 1 buah mess kecil 15 G
• 1 set peralatan biopsi ginjal perkutan:
oBiopsy gun Magnum Bard
oDisposable core needle biopsy 16 G atau 18 G
atau
oJarum Vim-Silverman
• Plastik pembungkus USG probe (kondom Sutra™ merah)
• Sarung tangan steril untuk semua operator
• Penutup hidung dan mulut (masker) untuk semua operator dan yang hadir di ruang biopsi
13. Indikator Medis 80% penderita biopsi ginjal anak akan dapat dipulangkan pada 1 hari sesudah prosedur
14. Kepustakaan 1. Chao SM, Tan PY, Chiang GSC. Renal biopsy and renal pathology. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
2. Anamnesis 1. Anak dengan kondisi yang berhubungan dengan hipovolemia berat, yaitu anak dengan gejala klinis
muntah, diare dan penurunan asupan oral yang berisiko mengalami hipovolemia berat dan GgGA. Beberapa
kondisi yang berhubungan dengan poliuria seperti ketoasidosis diabetikum, asidosis tubulus renalis dan
tubulopati kronik, jika asupan cairan tidak cukup mengimbangi produksi urin yang banyak, maka dapat
terjadi hipovolemia berat dan GgA pre renal.
2. Anak dengan gejala yang mengarah pada penyakit ginjal dapat ditandai dengan oliguria onset akut,
edema dan gross hematuria, yang didahului oleh riwayat faringitis atau impetigo yang sesuai dengan
suatu glomerulobnefritis paska infeksi. Diare berdarah dengan oliguria atau anuria dapat merupakan suatu
sindrom hemolitik-uremik terkait diare, sedangkan anak dengan pneumonia dan oliguria yang disertai
anemia dan trombositopenia dapat merupakan sindrom hemolitik uremik terkait pneumonia. Gejala dan
tanda sistemik vaskulitis seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan
hemoptisis, menunjukkan kemungkinan suatu rapidly progressive glomerulonephritis yang terkait dengan
vaskulitis sistemik.
3. Anak sakit berat dengan faktor predisposisi untuk kegagalan multi organ, meliputi anak dengan sepsis dan
hipotensi, sering mengalami kegagalan multi organ yang berakibat pada GgGA dengan kondisi
oligoanuria, terutama dengan pemberian inotropik seperti nor adrenalin atau adrenalin; bayi dan anak
paska prosedur bypass kardiopulmoner; anak yang imunosupresif atau mengalami neutropenia seperti
pasien onkologi yang menjalani kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang dengan kondisi:sepsis dan
riwayat pengobatan yang nefrotoksik termasuk antibiotik seperti aminoglikosida atau amphotericin B, agen
kemoterapi seperti cisplatin dan penghambat calcineurin.
4. Bayi baru lahir dengan oliguria atau anuria lebih dari 72 jam memerlukan perhatian dan membutuhkan
tindak lanjut. Anuria atau oliguria tanpa adanya cidera iskemia menunjukkan suatu malformasi kongenital
mayor seperti katup uretra posterior, atau penyakit genetik seperti penyakit ginjal yang diturunkan secara
autosomal resesif. Pada bayi yang sakit dengan hematuria, dapat merupakan suatu trombosis vena
renalis bilateral.
3. Pemeriksaan Fisik • Tanda-tanda hipovolemia yang dapat terlihat: takikardi, waktu pengisian kapiler yang buruk, penurunan
turgor kulit, membran mukosa kering, mata cowong, perubahan tekanan darah ortostatik.
• Tanda sistemik vaskulitis seperti ruam malar atau purpurik, nyeri atau pembengkakan sendi dan
hemoptisis.
4. Kriteria Diagnosis • Perjalanan penyakit akut (<48 jam)
• Penurunan fungsi ginjal berdasarkan peningkatan serum kreatinin dan/atau penurunan produksi urine
• Penggunaan kriteria pRIFLE untuk menentukan stadium klinis GgGA
5. Diagnosis Gangguan ginjal akut dengan stadium Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage
6. Diagnosis Banding a. Pre-renal GgGA
b. Renal GgGA
c. Post-renal GgGA
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Sedimen Urin
Pemeriksaan mikroskopis untuk pemeriksaan sel, kristal, debris dan torak. Diagnosis glomerulonefritis
dapat ditentukan dengan adanya hematuria terkait eritrosit dismorfik dan torak eritrosit. Sel epitel tubuler
Dialisis dilakukan sejak awal pada anak yang sakit berat dengan GgGA dengan tujuan
mempertahankan homeostasis dan memberikan cukup ruang untuk kebutuhan pengobatan dan
nutrisi yang diharapkan, karena restriksi cairan yang berat dapat berakibat pada nutrisi yang
inadekuat, kecenderungan menjadi hipoglikemia, memberikan volume ruang yang cukup untuk
transfusi darah, kesulitan dalam pemberian obat, seperti pemberian inotropik dan antibiotik
intravena.
9. Edukasi • Pentingnya deteksi dini GgGA pada anak untuk menyelamatkan fungsi ginjal
14. Indikator Medis 80% penderita GgGA anak akan membaik setelah 3 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Andreoli SP. Cl in ica l e val ua ti on o f acute k idn e y inj ur y i n c hil dren . D al am : A vner E, Harmon W,
Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Edisi 6. Berlin: Springer Verlag; 2009: 1603-1618.
2. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, Eds. Buku ajar
nefrologi anak. Edisi2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002: 490-508.
3. Bellomo R, Kellum JA, Ronco C. Defining and classifying acute renal failure: from advocacy to
consensus and validation of the RIFLE criteria. Intensive Care Med 2007; 33:409-413.
4. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P; Acute Dialysis Quality Initiative workgroup.
Acute renal failure - definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and information technology
needs: the Second International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)
Group. Crit Care 2004; 8:R204-212.
5. Himmelfarb J, Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology.
Kidney Int 2007; 10:971-976.
6. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for change? J Am Soc
Nephrol 2003; 14:2176-2177.
7. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C. The concept of acute kidney injury and the RIFLE criteria. Dalam:
Ronco C, Bellomo R, Kellum JA, eds. Acute kidney injury. Basel: Karger, 2007: 10-16.
8. Roesli RMA. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Edisi kedua. Bandung: Pusat Penerbitan
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr.Hasan Sadikin Bandung dan
Puspa Swara, 2011: 1-142.
9. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR. Management of acute kidney injury. Dalam: Yap HK, Liu ID, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology On-The-Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 1-13.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
7. Pemeriksaan Penunjang • Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak
granular, torak eritrosit
• Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen
C3 <50 mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala
klinis menghilang
• Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali
8. Terapi 1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi,
edema).
2. Antibiotika untuk eradikasi kuman:
• Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari
• Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi)
4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi):
• Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
• Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari)
• Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
• Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari)
5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari).
6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru.
9. Edukasi 1. Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2. Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3. Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
• Blood line:
o anak = 60 ml
o dewasa = 120 ml
• Volume ekstrakorporal:
o tidak melebihi 10-30% volume darah
o <10 kg: volume darah = 80 ml/kg
>10 kg: volume darah = 70 ml/kg
o Volume Ekstrakorporal = Volume Dialyzer + Volume Blood Line
o bila melebihi 10% volume darah, dapat dilakukan priming blood transfusion pada saat memulai
hemodialisis untuk “menambah” volume darah
• Dialisat: bikarbonat
• Durasi (time/t):
o setelah memasukkan nilai K, V, dan ln C 1 /C 0, maka nilai t (durasi hemodialisis) dapat ditentukan,
dengan maksimal durasi 4 jam (sesuai jadwal rutin unit dialisis).
• Ultrafiltrasi (UF):
o pertimbangkan berat badan, adanya kelebihan cairan, hipertensi, dan hemokonsentrasi
o maksimal 1,5±0,5 % BB/jam atau 5% berat badan untuk mencegah hipotensi berat selama dialisis
o 0,2 ml/kg/menit selama 4 jam dialisis
o pada gangguan ginjal akut, maksimal 0,2 ml/kg/menit
o lakukan sequential UF bila terjadi kelebihan cairan berat
• Heparin (hentikan 1 jam sebelum hemodialisis selesai):
o Loading dose: regular = 50 U/kg (dewasa 1500 U)
dosis rendah = ≤15 kg: 5-10 U/kg (dewasa 1000 U)
>15 kg: 10-20 U/kg
o Dosis rumatan: regular = 50 U/kg/jam (dewasa 750 U/jam)
dosis rendah = 5-10 U/kg/jam (dewasa 500 U/jam)
• Suport tekanan darah:
o Infus normal salin 0,9% 10-20 ml/kg
o Infus albumin 5% 10 ml/kg
o Infus albumin 20% 1 g/kg atau 5 ml/kg
4. Edukasi • Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal
maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
• Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.
9. Indikator Medis 50% penderita dengan hemodialisis akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan
10. Kepustakaan 1. Lau SC. Hemodialysis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update
Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 280-6.
2. Reese L. Hemodialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1817-34.
3. Sekarwana N. Hemodialisis. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:223-31.
4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1822-6.
5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds.
Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45.
6. Sudjatmiko S, Oesman O. H em od i al isis . D al am : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku A jar N efrologi A nak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:615-27.
7. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Prasetyo RV. Continuous venovenous hemodialysis (CVVHD)
or hemodialfiltration (CVVHDF) protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-
On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National University
Hospital, 2012: 249-59.
8. Yap HK, Kanitkar M. Hemodialysis orders. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric
Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 260-4.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
atau
2
Cyclophosphamide (CPA) puls 500-1000 mg/m :
o Tiap 4 minggu sebanyak 6 siklus
o Periksa darah lengkap:
Pada hari ke-7, 10, 14 sesudah puls untuk melihat titik nadir leukosit darah
Berkala tiap bulan.
Bila leukosit darah <4,0x109/L atau absolute neutrophil count (ANC) < 1,5x109/L:
Tunda pemberian CPA
9
Berikan GM-CSF (Leucogen) selama 3-5 hari atau sampai ANC >2,5x10 /L
Turunkan dosis sebesar 20% pada pemberian selanjutnya.
14. Indikator Medis 80% penderita Henoch-Schönlein purpura nefritis anak akan terkontrol setelah 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Albar H. Nefritis Henoch-Schönlein. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo
RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:102-11.
2. Bagga A, Menon S. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical
Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 137-41.
3. Coppo R, Amore A. Henoch-Schönlein purpura. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1111-26.
4. Davian JC. Henoch-Schönlein purpura nephritis: pathophysiology treatment, and future
strategy. Clin J Am Soc Nephrol 2011;6:679-89.
5. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO
Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2.
6. Liu DI, Yap HK. Management of Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI,
Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University
Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 160-6.
7. Noer MS. Gl om erulonef ritis. D a lam : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2002:323-61.
8. Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam:
Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39.
9. Van Why SK, Avner ED. Henoch-Schönlein purpura nephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1789.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
I. Medikamentosa
• Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke-
95 untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Petunjuk untuk step-down therapy pada bayi, anak atau remaja
Anak / Remaja
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah
dengan interval waktu 6-8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi.
Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila
memungkinkan berangsur-angsur dihentikan.
II. Bedah
• Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
• Restriksi cairan.
• Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
• Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
• Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
9. Edukasi 1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis 80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hi p ert e nsi sist em ik. D a lam : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
I. Medikamentosa
• Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut:
II. Bedah
• Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
• Restriksi cairan.
• Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
14. Indikator Medis 80% penderita krisis hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2. Bahrun D. Hi p ert e nsi sist em ik . D a lam : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3. Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
4. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry:
factors common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5. Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry:
technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor.
Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9. Hadtstein C, Wühl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW,
Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1639-
47.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in
children and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children – National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda,
Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 227-39.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
9. Indikator Medis 90% penderita yang mendapatkan terapi metilprednisolon puls tidak didapatkan komplikasi
10. Kepustakaan 1. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor.
Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical Institute,
National University Hospital, 2012: 186.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
2. Anamnesis Gejala sistemik: ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, nyeri sendi, nyeri pleuritik, bengkak,
kencing berbusa atau berwarna seperti teh, kejang, psikosis, pucat.
3. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pemeriksaan organ sistemik dan pengukuran tekanan darah.
4. Kriteria Diagnosis Adanya 4 dari 11 kriteria dari American College of Rheumatology 1997:
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus oral
5. Artritis
6. Pleuritis atau perikarditis
7. Gangguan ginjal (harus ada) berupa proteinuria persisten atau torak seluler
8. Gangguan neurologi
9. Gangguan hematologi
10. Gangguan imunologi
11. Antinuclear antibody (ANA) positif
5. Diagnosis Nefritis Lupus
6. Diagnosis Banding 1. Drug-induced lupus
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Diagnostik: komplemen C3 dan C4, anti-dsDNA, ANA, lupus anticoagulant, IgG dan IgM anti-
cardiolipin, IgG dan IgM anti-beta 2 glikoprotein, anti-ENA (bila memungkinkan) yaitu anti-Ro,
anti-La, anti-Sm, anti-RNP, anti-SCL70, anti-Jo1.
2.Keterlibatan organ sistemik: darah lengkap, retikulosit, hapusan darah tepi, direct Coomb’s test,
laju endap darah, CRP, sedimen urine, protein urine, BUN, kreatinin, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, fosfat, klorida), bikarbonat, asam urat, alkali fosfatase, albumin, SGOT, SGPT, bilirubin,
kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, foto toraks, ekokardiografi.
8. Terapi I. Terapi imunosupresan berupa kortikosteroid dan cortisteroid sparing agents
Steroid perlu dikombinasi dengan sparring agents (mycophenolate mofetil atau MMF,
calcineurin inhibitor atau CNI, cyclophosphamide atau CPA) untuk meminimalkan efek
samping steroid jangka panjang. Kombinasi yang disarankan adalah:
- Steroid + MMF ± CNI
- Steroid + CPA
Fase rumatan:
Predniso(lo)n oral diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
MMF oral di diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
CsA dan Tac diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis mencapai remisi, kemudian dapat
dipertimbangkan untuk dihentikan
CPA puls diberikan setiap 3 bulan selama 24 bulan (total masa pengobatan adalah 30
bulan), kemudian dihentikan.
III.Plasmaferesis
Indikasi : trombosis mikroangiopati.
Dosis : 5-10 siklus, tergantung respon yang tampak pada remisi microangiopathic hemolytic
anemia (MAHA), aktivitas lupus nefritis, dan perbaikan fungsi ginjal.
Dilakukan bersamaan dengan protokol imunosupresif yang dipilih.
14. Indikator Medis 80% penderita nefritis lupus anak akan remisi setelah 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Alatas H. N ef rit is l up us. D al am : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:366-80.
2. Alatas H. Nefritis lupus pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo
RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:118-23.
3. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, Fitzgerald JD, et al. American
College of Rheumatology guidelines for screening, treatment and management of lupus nephritis.
Arthritis Care Res 2012; 64:797-808.
4. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the
classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997; 40:1725.
5. Hong X, W ong SN. Lupus nephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 146-
54.
6. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO
Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2.
7. Niaudet P, Salomon R. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P, Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
10. Indikator Medis 80% penderita nefropati kontras akan membaik dalam waktu 2 minggu perawatan
11. Kepustakaan 1. ACT investigators. Acetylcysteine for prevention of renal outcomes in patients undergoing
coronary and peripheral vascular angiography: main results from the randomized
Acetylcysteine for Contrast-Induced Nephropathy Trial (ACT). Circulation 2011; August
22 [Epub ahead of print].
2. Marenzi G, Assanelli E, Marana I, Lauri G, Campodonico J, Grazi M, et al. N- Acetylcysteine
and contrast-induced nephropathy in primary angioplasty. N Engl J Med 2006; 354:2773-
82.
3. Solomon R. The role of osmolality in the incidence of contrast-induced nephropathy: a
systematic review of angiographic contrast media in high risk patients. Kidney Int 2005;
68:2556-63.
4. Stacul F, van der Molen AJ, Reimer P, Webb JAW, Thomsen HS, Morcos SK, et al.
Contrast induced nephropathy: updated ESUR Contrast Media Safety Committee
guidelines. Eur Radiol 2011; August 25 [Epub ahead of print].
5. Yap HK, Resontoc LPR. Preventing contrast nephropathy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 14-7.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis 50% penderita anemia renal akan membaik dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Cano F, Alarcon C, Azocar M, Lizama C, Lillo AM, Delucchi A, et al. Continuous EPO receptor
activator therapy of anemia in children under peritoneal dialysis. Pediatr Nephrol 2011; 26:1303-10.
2. Lerner NB. Anemia of chronic disease and renal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor
NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2011:1653.
3. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. III. Clinical practice
recommendations for anemia in chronic kidney disease in children. Am J Kidney Dis 2006; 47(Suppl
3): S86-109.
4. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. 2007 update of hemoglobin target. Am
J Kidney Dis 2007; 50:471-530.
5. Sekarwana N. G agal ginj al k ronik. Da lam : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku A jar N efrologi A nak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:509-30.
6. Srivastava RN, Bagga A. Chronic renal failure. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 315-29.
7. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of chronic kidney disease. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:1661-92.
8. Yap HK. Anemia, renal osteodystrophy, growth failure in chronic renal failure. Dalam: Chiu MC, Yap
HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong:
Medcom Limited, 2005: 253-61.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Lau PYW. Renal anemia. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 32-40.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilm u Kes ehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soe bad i, dr., Sp.B, SpU(K) Sjams ul Arief, dr., M ARS., Sp. A(K)
Pem bina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 1 977 03 1 001 NIP. 19510303 19 7612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
3. Prosedur pelaksanaan • Periksa berat badan dan tinggi badan, hitung luas permukaan tubuh saat masuk rumah sakit.
• Pastikan pasien tidak ada tanda infeksi atau riwayat kontak dengan varisela zoster.
• Pemeriksaan laboratorium :
o Darah lengkap
o Fungsi ginjal (BUN,kreatinin), elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfat, magnesium),
bikarbonat, asam urat
o Urinalisis.
• Pemberian dosis siklofosfamid puls jika:
o Jumlah lekosit total >4,0x109/L atau
o Absolute neutrophil count >2,5x109/L.
• Leukosit nadir (nilai terendah) terjadi 10-14 hari setelah pemberian puls:
o Pemeriksaan darah lengkap ulang pada hari ke- 7,10 dan 14.
o Jika leukosit nadir <1,0x109/L, turunkan dosis siklofosfamid berikutnya sebanyak 20%.
• Pastikan hidrasi secara adekuat untuk mencegah terjadinya sistitis hemoragik :
o Kebutuhan cairan intravena 0,45% salin sebanyak 2 L/m2/hari.
o Tambahkan 10 ml KCl 7,45% per 500 ml kecuali pasien dengan gagal ginjal atau kalium
serum ≥4 mmol/L.
o Berikan furosemid intravena jika pasien mengalami oliguria.
• Monitor:
o Suhu badan, denyut nadi, laju nafas setiap jam dan tekanan darah setiap 4 jam
o Intake/output secara ketat
o Pastikan anak kencing setiap 2 jam saat terbangun dan setiap 3 jam saat tertidur untuk
mencegah terjadinya sistitis hemoragik.
• Mulai siklofosfamid intravena dan diikuti Mesna® setelah 2 jam hidrasi intravena:
o Menit ke-0 Prometazin oral 0,5 mg/kg/dosis (maksimal 25 mg)
o Menit ke-15 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
(dilarutkan sebanyak 20 mg/ml dalam Dekstrosa 5%)
o Menit ke-30 Siklofosfamid intravena
Dosis = 500 mg/m2, 750 mg/m2, 1000 mg/m2
(dosis dapat dinaikkan tiap bulan sampai dosis optimal
tercapai untuk tiap pasien)
Dilarutkan dalam 100-150 ml Dekstrosa 5% atau
0,45% salin selama 1 jam.
Furosemid intravena 1 mg/kg (maksimal 2 mg/kg).
o Menit ke-90 Mulai kembali cairan intravena pra-siklofosfamid o Jam ke-
4½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-8½ Mesna
intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-12 Timbang berat badan
pasien:
Bila BB naik >1 kg : beri furosemid intravena 1 mg/kg
(maksimal 2 mg) Bila
pasien nefrotik berat atau oliguria:
ulangi laboratorium (BUN, kreatinin, natrium, kalium, klorida, magnesium dan
bikarbonat)
o Jam ke-12½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-
16½ Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid o Jam ke-24 Periksa
pasien. Hentikan hidrasi bila klinis pasien
baik.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
• Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
• Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
• Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik kambuh jarang akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
• Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
• Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
• Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
14. Indikator Medis 50% penderita sindrom nefrotik kambuh sering akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. S i nd r om ne fr otik . D a lam : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku A jar N efrologi A nak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik kongenital atau infantil akan memburuk dalam 1 bulan setelah terdiagnosis bila
tidak mendapatkan transfusi albumin yang adekuat
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis 30% penderita sindrom nefrotik resisten steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Hari P, Bagga A, Mantan M. Short term efficacy of intravenous dexamethasone and
methylprednisolone therapy in steroid resistant nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2004; 41:993–
1000.
3. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
4. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
5. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:72-90.
6. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
7. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
8. Wirya IGNW. S in d rom n ef r otik . D a l am : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku A jar N efrologi A nak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
9. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Children’s Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 187-9.
10. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Children’s Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis 80% penderita sindrom nefrotik akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
15. Kepustakaan 1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ASFIKSIA NEONATORUM
1. Pengertian Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang
(Definisi) menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis.
2. Anamnesis Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir.
4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas
darah arteri apabila fasilitas tersedia
2. Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit
3. Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati
hipoksik iskemik
4. Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal
5. Diagnosis Asfiksia
6. Diagnosis Banding • Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
• Infeksi virus, sepsis atau meningitis
• Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
• Penyakit neuromuskular
• Trauma persalinan
• Kelainan metabolisme bawaan
7. Pemeriksaan • Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, elektrolit, gula darah
Penunjang • USG kepala
• MRI kepala
8. Terapi Resusitasi
• Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar
- Langkah awal resusitasi
Indikasi : bila terdapat salah satu jawaban tidak dari pertanyaan cukup bulan, bernapas atau
menangis, dan tonus otot baik
- Ventilasi tekanan positif (VTP)
Indikasi : apnu atau megap-megap, denyut jantung <100 x/menit, saturasi tetap di bawah nilai target
meskipun telah diberi O2 aliran bebas sampai 100%
- Ventilasi tekanan positif dan kompresi dada
Indikasi : denyut jantung <60 x/menit setelah 30 detik dilakukan VTP efektif
• Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1
mL normal salin
- 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Hipovolemia
- Tidak ada respon dengan resusitasi
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan
ASFIKSIA NEONATORUM
kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO 2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan
otak.
14. Indikator Medis • Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
• Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan
• Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi
lengkap (intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya
• 80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu
15. Kepustakaan 1. Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1-
302
2. American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5):
e1400-11.
3. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark
AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28.
4. Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62.
5. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease
and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes.
(Definisi) Kelainan spesifik yang sering ditemukan pada IDM :
• Kelainan metabolisme
o Hipoglikemia
o Hipokalsemia
o Hipomagnesemia
• Kelainan kardiorespirasi
o Asfiksia perinatal
o Hyaline membrane disease
o Kardiomiopati hipertropik
o Takipnea sementara pada neonatus
• Kelainan hematologis
o Polisitemia dan hiperviskositas
o Hiperbilirubinemia
o Trombosis vena ginjal
• Masalah morfologis dan fungsional
o Cedera lahir
o Kelainan bentuk bawaan (jantung, ginjal, saluran cerna, saraf, skeletal, wajah abnormal, mikroptalmos)
6. Diagnosis Banding • Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
• Hipotermia
• Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal
• Penyakit neuromuskular
• Kelainan metabolisme bawaan
8. Terapi Hipoglikemia
• 2-4 mL dekstrosa 10% selama 5 menit, diulang jika perlu
• Infus glukosa 10% berkesinambungan dengan kecepatan 8-10 mg/kg/menit
• Memulai pemberian asupan enteral sesegera mungkin
• Kortikosteroid : pada hipoglikemia yang terus bertahan (hidrokortison 5 mg/kg/12 jam)
• Mempertimbangkan pemberian glukagon dan epinefrin
Hipokalsemia
• Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit
• Memantau tanda ekstravasasi
• Dosis juga diberikan melalui infus intravena berkesinambungan, 2-8 mL/kg/hari
• Akan memberikan respon dalam 3-4 hari
Hipomagnesemia
• Magnesium sulfat (MgSo4) 2mEq/kg/dosis setiap 6 jam IV atau IM
9. Edukasi • Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus
• Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik
sejalan dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin
Rekomendasi
14. Indikator Medis Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 1 minggu
15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40.
2. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
(Definisi) laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.
2. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan
kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan :
HIE Tingkat I
• Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan berlebihan dan jitteriness berselang-seling
• Pemberian minum yang buruk
• Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan
• Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi
• Tidak ada aktivitas kejang
• Gejala hilang dalam 24 jam
HIE Tingkat II
• Letargi
• Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
• Hipotonia
• Denyut jantung menurun dan pupil konstriksi
• 50-70 % terdapat kejang, biasanya dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
HIE Tingkat III
• Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
• Koma
• Flasidisitas
• Tidak ada refleks
• Pupil diam, sedikit reaktif
• Apnea, bradikardia, hipotensi
• Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit ditangani
6. Diagnosis Banding • Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
• Infeksi virus, sepsis atau meningitis
• Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
• Penyakit neuromuskular
• Trauma persalinan
• Kelainan metabolisme bawaan
• Darah lengkap
7. Pemeriksaan • Gula darah
Penunjang • Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
• Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
• BUN dan serum kreatinin
• Faal pembekuan darah
• Faal hati
• Analisa gas darah
• Foto torak
• Pungsi lumbal
• EEG
• USG kepala
• MRI kepala
14. Indikator Medis • Bayi bernapas spontan, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
• Tidak didapatkan kejang
• 80% pasien akan sembuh dalam waktu 3 minggu
15. Kepustakaan 1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-
28.
2. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th
ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of
Neonatology 4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG, Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6th
ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35.
5. Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kes ehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soe bad i, dr., Sp.B, SpU(K) Sjams ul Arief, dr., MARS., Sp. A(K)
Pembina Utama Madya Pem bina Utama
NIP. 19490906 1 977 03 1 001 NIP. 19510303 19 7612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
(definisi) diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan
klinis bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.
Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada
saat bayi pulang
b. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada
gambar 2.
Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.
c. Penghentian fototerapi
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit
(TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL.
d. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3
Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi
menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB ≥5
di atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis
asidosis
Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup
bulan (sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat Bayi sakit
BB (g) Fototerapi Tranfusi tukar Fototerapi Tranfusi tukar
Kurang bulan
<1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 15-18 20-25 12-15 18-20
9. Edukasi • Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab
dasar meningkatnya kadar bilirubin serum
• Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk
neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi
• Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk
14. Indikator Medis • Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal
• Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50-60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan, gejala
klinis keseluruhan menghilang dalam 2 minggu
• Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari
• 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 7 hari
15. Kepustakaan
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and
drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300.
2. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339.
3. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
4. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar
neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
5. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetmo Surabaya,
1. Pengertian (definisi) Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).
2. Anamnesis • Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, dan gangguan pernapasan
• Riwayat bayi prematur
• Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
• Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
• Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus
• Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
3. Pemeriksaan Fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas
5. Diagnosis Hipoglikemia
8. Terapi a. Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
• Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam
• Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
• Kadar glukosa ≤45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia
• Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai
9. Edukasi • Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau
mendapatkan infus glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap
jam hasilnya >45 mg/ dL
• Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal
14. Indikator Medis • Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal
• 80% membaik dalam 24 jam
• 80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
15. Kepustakaan problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7.
2. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7.
3. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
4. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1. Pengertian (definisi) Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas
sistem motorik atau otonomik
3. Pemeriksaan Fisik • Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak
jantung normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap
• Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi
ekstremitas bawah
• Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan
klonik beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik.
• Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah.
8. Terapi • Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
• Terapi etiologi spesifik
o Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
o Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak
diberikan secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia)
o Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
o Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti
dalam beberapa menit
• Terapi antikejang
o Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat
diulang dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti.
o Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1
mg/kg/menit
o Bila masih kejang dapat diberikan :
Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik)
Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam
o Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kg BB/hari dapat diberikan secara
intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose
o Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose
Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan
9. Edukasi • Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan
hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia
• Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya
15. Kepustakaan 1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 374-9.
2. Bergin AM. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 729-42..
3. Depkes RI. Klasifikasi kejang. Dalam: Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit).
Metode tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
4. Young TE, Mangum B. Neofax. Dalam: Neofax, edisi ke-7, 2004: 154-155.
5. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 273-80.
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 84-92.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
SEPSIS NEONATORUM
1. Pengertian (Definisi) Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di
dalam darah pada neonatus.
• FIRS (Fetal inflammatory response syndrome/ Sindroma respon inflamasi janin)
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan : laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea dengan atau
tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau > 37,50C), waktu pengisian
kapiler > 3 detik, hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
• TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai gejala klinis infeksi
• TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS
Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai bakteremia / kultur darah positif
• Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
o Leukopenia (< 4.000 x 109/L)
o Netrofil muda >10%
o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
o CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
• Klasifikasi :
1. Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang
timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran
pernafasan, progresif dan akhirnya syok
2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya
kelainan sistem susunan saraf pusat
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih
dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit
2. Anamnesis • Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya
paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental)
• Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang
invasif
• Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain,
ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman
melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit
3. Pemeriksaan Fisik • Suhu tubuh tidak stabil (<36 ⁰C atau >37,5 ⁰C)
• Laju nadi >180 x/menit atau <100 x/menit
• Laju nafas >60 x/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen,apnea atau laju nafas <30 x/menit
• Letargi
• Intoleransi glukosa: hiperglikemia (plasma glukosa >10 mmol/L atau >170 mg/dl) atau hipoglikemia ( <2,5
mmol/L atau < 45 mg/dL)
• Intoleransi minum
• Tekanan darah < 2 SD menurut usia bayi
• Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (usia 1 hari)
• Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (usia < 1 bulan)
• Pengisian kembali kapiler/ capillary refill time > 3 detik
8. Terapi 1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk
neonatus umur ≤7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap
24 jam. Dosis Ampisilin untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur
≤7hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap,
kultur darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa
SEPSIS NEONATORUM
cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif.
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto
abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP
normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.
6. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal,
maka diberikan Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian
antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
7. Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin.
9. Edukasi • Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari
• Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari
15. Kepustakaan 1. Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72.
3. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal
emergensi dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7.
4. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20.
6. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
ABSES OTAK
1. Pengertian (Definisi) Proses peradangan purulen yang terisolir di antara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau
tidak
2. Anamnesis • Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70-90%).
• Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%).
• Adanya riwayat penyakit jantung bawaan sianotik, infeksi sinus atau mastoid
• Adanya riwayat prosedur bedah saraf, trauma kepala maupun kondisi imunosupresi
3. Pemeriksaan Fisik • Panas tidak terlalu tinggi.
• Kejang biasanya bersifat fokal.
• Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma.
• Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut.
• Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia.
• Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis dan gejala klinis yang spesifik
2. Hasil neuro imaging (CT Scan atau MRI dengan kontras)
5. Diagnosis Abses otak
6. Diagnosis Banding 1. Tumor di daerah serebropontin
2. Abses ekstradural
3. Empiema subdural
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium :
o Darah : jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah
meningkat pada 60% kasus
o Cairan Serebro Spinal (CSS) : dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra
kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi
2. Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT-scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis.
Stadium serebritis awal (1-3 hari), serebritis lanjut (4-9 hari), formasi kapsul dini (10-14 hari) dan
formasi kapsul lanjut (>14 hari)
Stadium awal hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras.
Pada stadium lanjut didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras.
8. Terapi Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium serebritis, abses
multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis
Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan:
1. Cefotaxime 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis atau Ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari IV dibagi
dalam 2 dosis
2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5 mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6
jam hari (maksimal 4 g/hari).
Antibiotik diberikan selama kurang lebih 6 minggu.
3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan:
a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV
dibagi dalam 3 dosis atau Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam. Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada
hari ke 5
Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan menghambat
pembentukan dinding abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis.
Penatalaksanaan bedah:
• Aspirasi stereotactic
• Kraniotomi
• Neuroendoskopi
9. Edukasi 1. Penjelasan tentang komplikasi dan prognosis penderita. Sebelum era antibiotik mortalitas mencapai
40-60%.
2. Banyaknya komplikasi dan kematian disebabkan karena abses serebri yang multiple, adanya GCS
yang turun dan meningitis.
3. Penjelasan terhadap adanya rekurensi.
4. Keterlambatan diagnosis mempunyai kontribusi terhadap derajat berat penyakit.
10. Prognosis • Angka mortalitas mencapai 4-12 %.
• Kejang bersifat kronis cukup sering didapatkan dan terkadang bermanifestasi setelah beberapa tahun
pasca abses serebri
11. Tingkat Evidens 4
12. Tingkat Rekomendasi C
ABSES OTAK
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis • Pengobatan dengan cefotaxime menunjukkkan angka kesembuhan 76 % pada kasus abses otak
• Tingkat mortalitas setelah pasien menjalani tindakan bedah adalah sebesar 15%.
• 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 minggu
15. Kepustakaan 1. Helweg-Larsen J, Astradsson A, Richhall H, Erdal J, Laursen A, Brennum J. Pyogenic brain abscess, a 15
year survey. BMC Infect Dis 2012;12:332.
2. Shachor-Meyouhas Y, Bar-Joseph G, Guilburd JN, Lorber A, Hadash A, Kassis I. Brain abscess in
children - epidemiology, predisposing factors and management in the modern medicine era. Acta Paediatr
2010;99(8):1163-7.
3. Jansson AK, Enblad P, Sjolin J. Efficacy and safety of cefotaxime in combination with metronidazole for
empirical treatment of brain abscess in clinical practice: a retrospective study of 66 consecutive cases. Eur
J Clin Microbiol Infect Dis 2004;23(1):7-14.
4. Kao PT, Tseng HK, Liu CP, Su SC, Lee CM. Brain abscess: clinical analisys of 53 cases. J Microbiol
Immunol Infect;36:129-136
5. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier;
2012. Hal 1241-61.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
BELL’S PALSY
1. Pengertian (Definisi) Suatu paralisis nervus fasialis unilateral yang bersifat mendadak, tidak diketahui sebabnya (idiopatik) yang
mengakibatkan ketidakmampuan pengontrolan otot wajah pada sisi yang terkena
2. Anamnesis • Nyeri telinga didekat mastoid
• Kesulitan menutup mata
• Kesulitan menggunakan otot wajah secara normal
• Kesulitan minum dan makan karena gangguan mulut pada sisi yang terkena
• Riwayat infeksi saluran pernafasan sebelumnya
• Bell’s palsy ditegakkan setelah kondisi-kondisi infeksi, inflamasi, injuri, neoplasma, penyakit metabolik,
dan kelainan kongenital dapat disingkirkan.
3. Pemeriksaan Fisik • Parese nervus facialis unilateral.
• Gangguan sensoris pada daerah yang terkena,
• Drooling
• Gangguan pengecapan
• Gangguan pendengaran
• Pengeluaran air mata berlebihan.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis yang spesifik
• Pemeriksaan neurologi parese N VII perifer
5. Diagnosis Bell’s Palsy
6. Diagnosis Banding 1. Palsy nervus fasialis yang lain, yang terkait:
a. Infeksi
b. Penyakit metabolik
c. Injuri
d. Kelainan congenital
2. Lesi UMN supranuklear (lokasi lesi di atas nucleus fasialis di Pons) sepertiga atas N Fasialis normal,
sedangkan duapertiga di bawahnya mengalami paralysis
3. Tumor jinak skull
4. Aneurisma serebral
5. Meningioma
6. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan 1. ELISA terhadap HSV
Penunjang 2. Tidak ada pemeriksaan laboratorium lain yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy
3. Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan CT-scan/MRI
dilakukan bila dicurigai adanya fraktur atau metastase neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis
multiple, AIDS, dan CNS
4. Pemeriksaan Elektrofisiologi
- Untuk mengetahui fungsi N fasialis
- Jarang dilakukan
8. Terapi 1. Steroid
- Prednisolone oral 1 mg/kgbb/hari selama 10 hari
2. Anti virus
- Acyclovir oral 10-20 mg/kgbb/hari
3. Kombinasi steroid & anti virus
9. Edukasi Diterangkan bahwa sebagian Bell’s palsy akan membaik tanpa deformitas, tetapi 1/3 penderita mengalami
sekuele berupa: regenerasi motorik tidak lengkap dengan tanda epifora, inkompeten oral, & obstruksi nasal.
Regenerasi sensorik tidak lengkap (gangguan pengecapan), ageusia ( kehilangan pengecapan), diasthesia (
kehilangan sensasi atas stimulasi)
10. Prognosis 1. Pemulihan lengkap dengan gejala sisa
2. Pemulihan tidak lengkap pada fungsi motorik, tetapi tidak ada defek pada kosmetik
3. Kecacatan menetap yang nyata
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
BELL’S PALSY
14. Indikator Medis Angka kesembuhan dengan terapi steroid 88,2%, sedangkan dengan kombinasi steroid dan anti virus sekitar
91,2%
15. Kepustakaan 1. Eudocia CQ,Shafali SJ, Rajeev HM, Manveen KB, Anton YP. The benefits of steroids versus steroids
plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009; 339
2. Evangelos P, Anastasia G, M Arampatzi. Facial nerve palsy in childhood. The Japanese Society of Child
Neurology. 2010; 33. 644-650
3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF
ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1503-8.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
9. Edukasi 1. Menjelaskan pengobatan yang akan diberikan, jangka waktu pengobatan, cara pemberian dan efek
samping pengobatan ganciclovir yakni granulocytopenia, anemia, tromobositopenia.
2. Menjelaskan prognosis infeksi CMV sesuai dengan kelainan yang terjadi pada penderita
3. Jika infeksi CMV sudah dikonfirmasi, klasifikasikan simtomatik atau asimtimatik dan dilakukan
monitoring 1,3,6 dan 12 bulan dan secara periodik sampai usia sekolah dengan tujuan mendeteksi
sekuele dengan onset lambat.
4. Konseling orang tua apabila merencanakan memiliki anak lagi untuk berkonsultasi pada dokter agar
tidak terjadi penularan pada bayinya
10. Prognosis • Bayi dengan congenital CMV 90% mengalami sekuele tumbuh kembang sperti palsi serebral, epilepsi,
gangguan sensori-neural, retardasi mental, gangguan tingkah laku dan kebutaan
• Angka mortalitas mencapai 5-30%
• Lesi intracranial pada neuroimaging berhubungan dengan gangguan intelektual >80% kasus
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis 1. 10-15% penderita dengan pengobatan gancyclovir mengalami sensorineural sekuele
2. Netropenia terjadi pada pada 63% anak yang sedang menjalani terapi gansiklovir dan 38% anak
yang menjalani terapi valgansiklovir
3. Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu perawatan
15. Kepustakaan 1. Buosenso D, Seranti D, Gargiullo L, Ceccareli M, Ranno O, Valentini P. Congenital cytomegalovirus
infection: current strategies and future perspectives. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012; 16:919-35
2. Cheeran MC, Lokensgard JR, Schleiss MR. Neuropathogenesis of congenital Cytomegalovirus
infection: disease mechanism and prospects for intervention. Clin Microbiol Rev. 2009; 22: 99-126
3. Nasetta L, Kimberlin D, Whitley R. Treatment of congenital cytomegalovirus infection: implications
for future therapeutic strategies. JAC . 2009; 63: 862-7
4. Kenneson A, Cannon MJ. Review and meta-analysis of the epidemiology of congenital
cytomegalovirus (CMV) infection. Rev Med Virol. 2007; 17: 253-76
5. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 457-8.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kes ehatan Ana k
Prof. Dr. Doddy M. Soe badi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjams ul Arief, dr., MARS., Sp. A(K)
Pembina Utama Mad ya Pembina Utama
NIP. 19490906 1 977 03 1 001 NIP. 19510303 19 7612 1 001
Dire ktur RS UD Dr Soetomo Surabaya,
PALSI SEREBRAL
1. Pengertian (Definisi) Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah
Sekelompok kelainan pergerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang terjadi karena
gangguan non progresif yang muncul pada masa perkembangan otak janin/bayi
2. Anamnesis Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta pertolongan pengobatan) :
• Anak belum dapat berjalan;
• Belum dapat duduk;
• Terlambat bicara
• Kaki gemetar
• Gerakan kurang pada sisi badan
• Mata juling.
PALSI SEREBRAL
2. CP spastik Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus
kortikospinalis unilateral. 30% kasus.
3. CP spastic kuadriplegi
Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang
bisa dijumpai gangguan visus maupun auditori.
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor,
balismus maupun mioklonus.
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama.
5. Diagnosis Diagnosis CP secara umum berdasarkan pada anamnesa dan gejala klinik.
Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi :
1. Tim Inti :
• Neuropediatri
• Dokter Gigi
• Psikolog
• Perawat
• Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
• Pekerja Sosial (pengunjung rumah)
2. T im Konsultasi :
• Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
• Dokter Bedah (Ortopedi)
• Dokter Mata
• Dokter THT
• Psikiater Anak
• Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)
6. Diagnosis Banding • Inherited metabolic disorder
• Metabolic myopathies
• Metabolic neuropathy
• Traumatic peripheral nerve lesion
• Vascular malformation of the spinal cord
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dan prognosisnya :
- Pemeriksaan TORCH
- Neuro imaging : CT scan/ MRI (63% abnormal)
- Test perkembangan : gangguan bicara (90%
kasus)
- Psikologik : test IQ (juga penting untuk terapi
dan rehabilitasi)
- Audiometri untuk mendeteksi ketulian
8. Terapi A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas :
1. Benzodiazepin :
• Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
• Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak lebih 10 mg/dosis)
2. Baclofen 0.2 mg/kg setiap 8 jam
3. Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi gerakan involunter)
5. I n j e k s i Botox :
• Usia < 2 tahun belum direkomendasikan
Dosis rekomendasi 0.5-2 U/kgBB
B. Terapi Perkembangan
Rehabilitasi Medik dengan terapi fisik dan okupasi
C. Terapi bedah
1. Dorsal rhizotomy
2. Tendon lengthening
D. Lain-lain :
1. Pendidikan khusus
2. Penyuluhan psikologis
3. Rekreasi
9. Edukasi a. Bila diagnosis CP tegak, dianjurkan untuk melakukan komunikasi dan transfer informasi yang baik
PALSI SEREBRAL
kepada orang tua tentang kondisi dan prognosis penderita
b. CP tidak mempengaruhi fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan penderita dapat mempunyai
anak
10. Prognosis • Anak dengan CP akan mengalami retardasi mental 52%, gangguan bahasa dan bicara 38%, gangguan
pendengaran 12%dan epilepsi 34-94%.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis • Probabilitas mencapai usia 20 tahun mencapai 50% pada CP berat.
• Kemampuan untuk duduk diusia 2 tahun mempunyai adalah prediksi untuk kemampuan mandiri di masa
mendatang.
• Penderita CP yang memerlukan nasogastric tube selama tahun awal kehidupan mempunyai angka
mortalitas 5 kali lebih besar dibanding yang dengan oral feeding.
15. Kepustakaan 1. Ashwal, B. Practice Parameter: Diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: Report of the
Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the
Child Neurology Society. Neurology 2004;62:851-63.
2. Druschel C, Althuizes HC, Funk JF, Placzek R. Off label use of botulinum toxin in children under two years
of age: a systematic review. Toxins 2013;5:60-72.
3. Novak I, Hines M, Goldsmith S, Barclay R. Clinical prognostic messages from a systematic review on
cerebral palsy. Pediatrics 2012;130:1285-1312.
4. Gudiol MV, Calafat CB, Farres MG, Algra MH, Baxter KM, et al. Treadmill interventions with partial body weight
support in children under six years of age at risk of neuromotor delay: a report of a Cochrane systematic
review and meta analysis. Eur J Phys Rehabil Med 2013;49:67-91.
5. Jan MMS. Cerebral palsy: comprehensive review and update. Ann Saudi Med 2006;26:123-32.
6. Pakula AT, Braun KMV, Allsopp MY. Cerebral palsy: classification and epidemiology. Phys Med Rehabil
Clin N Am 2009;20:425-52.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
8. Terapi • Carbamazepine dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 15-20
mg/KgBB/hari PO, atau
• Asam valproat dosis awal 15 mg/kgBB/hari terbagi 2-3 dosis PO selama 2 tahun bebas kejang
• Bila tidak ada respons dapat dilakukan stimulai N. Vagus atau pembedahan lobektomi temporal anterior.
9. Edukasi • Gejala klinis
Pemahaman terhadap adanya kejang atau tidak
• Terapi
- Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan OAE jangka panjang
- Pendidikan penanganan kejang akut
- Pemahaman terhadap efek samping obat
• Tumbuh Kembang
Banyak terkait gangguan motorik, speech, tingkah laku maupun problem belajar
10. Prognosis • Anak dengan abnormal imaging termasuk tumor, cortical dysplasia atau mesial temporal sclerosis
mempunyai kemungkinan menjadi intraktabel cukup tinggi dan dipertimbangkan untuk operasi resektif.
• Rata-rata bebas kejang pasca temporal lobektomi dengan mesial temporal sclerosis adalah 86%.
• Anak dengan epilepsy mempunyain resiko tinggi untuk komorbiditas dengan penyakit psikiatri
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis • Anak dengan OAE pertama yang gagal, 51% respon terhadap OAE kedua
• Remisi mencapai 29% bila gagal diterapi dengan 2 macam obat dan 10% bila gagal diterapi dengan 3
obat
15. Kepustakaan 1. Nickels KC, Kisiel LC, Moseley BD, Wirell EC. Temporal lobe epilepsy in children. Ep Research and Treat
2011;2012:1-16.
2. Sillanpaa M, Haalaja L, Tomson T, Svern I. Carbamazepine. Dalam Shorvon S, Perucca E, Engel J ed.
Treatment of epilepsy 3rd ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2009. Hal 459-74.
3. Fernando C, Kahare P, Brode M, Anderman F. The Mesio-temporal lobe epilepsy syndrome. Dalam Roger
J, Bureau M, Dravet C ed. Epileptic syndrome in infancy, childhood and adolescence 4th ed. Hal 565-75.
Suraba ya,
Ket ua Kom it e Medik Ket ua SMF Ilm u Kes ehat an Anak
Pr of. Dr . Dodd y M. Soe bad i, dr. , Sp. B, SpU( K) Sjams ul Ar ief, dr. , M ARS. , Sp. A( K)
Pem bina Ut am a Mad ya Pem bina Utam a
NIP. 19490906 1 977 03 1 001 NIP. 19510303 19 7612 1 001
Dire kt ur RS UD Dr Soet om o Surabaya,
1. Pengertian (Definisi) Suatu acute immune mediated polineuropathy yang mengenai system syaraf perifer, bersifat ascending paralysis,
kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi dalam 4 minggu, dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh.
Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului oleh infeksi
virus.
2. Anamnesis • Kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh pada sebagian
besar kasus, dan perubahan sensasi nyeri seiring hilangnya system syaraf otonom pada sebagian kasus.
• Komplikasi SGB dapat mengancam hidup terutama apabila mengenai otot-otot pernafasan dan system
syaraf otonom.
• Sering didahului infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya, sulit kencing (10-15%), nyeri (50%), sehingga anak
menjadi rewel dan iritabel
3. Pemeriksaan Fisik • Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB) yang simetris.
• Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama, dan kelemahan ini dapat mengenai otot-otot
pernafasan hingga membutuhkan respirator.
• Instabilitas otonom (26%), berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim simpatis dan parasimpatis
dengan manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik, disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan
takikardia.
• Ataksia (23%)
• Gangguan saraf kranial (35-50%)
4. Kriteria Diagnosis • Kelemahan motorik progresif dan asending
• Pemeriksaan neurologi: kelemahan motorik dan arefleksia
• Pemeriksaan neurofisiologi EMG-NCV spesifik
5. Diagnosis Sindroma Guillain Barre
6. Diagnosis Banding 1. Poliomyelitis
2. Myositis akut
3. Lesi medulla spinalis
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa LCS
• 48 jam I : normal
• Minggu II : diikuti kenaikan kadar protein, tanpa/ disertai kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation)
2. Pemeriksaan elektrofisiologi
EMG dan NCV (Nerve Conduction Velocity)
• Minggu I : terjadi pemanjangan / hilangnya F-response (88%), prolonge distal latencies (75%), blok pada
konduksi (50%)
• Minggu II : terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%) dan penurunan
kecepatan konduksi (84%)
3. Pemeriksaan radiologi
MRI sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan dengan
menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras
8. Terapi 1. IVIG (Intravenous Imunoglobulin) 0,4 g/kgBB/hari, iv, selama 5 hari. Perbaikan klinis
mulai tampak setelah hari ke 2-3.
• Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia,
perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom).
2. Steroid
3. Dexamethasone 0,5 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial)
4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama
5. Alat bantu pernafasan (respirator) apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan
9. Edukasi • Memberikan penjelasan mengenai pengobatan
• Memberikan penjelasan mengenai prognosis penderita
10. Prognosis 1. Sembuh sempurna (75-90%), 20% masih bisa berjalan sampai lebih dari 6 bulan
2. Sembuh dengan gejala sisa berupa drop foot atau tremor postural (25-36%)
3. Kambuh (kambuh atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu ke-4 = Chronic Inflamatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (CIDP))
4. Kematian (1-5%) akibat gagal nafas, terutama pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
HIDROSEFALUS
1. Pengertian (Definisi) Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis,
disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai
tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinalis. Terdapat 2 tipe: komunikan dan non komunikan.
2. Anamnesis • Pada anak :
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial :
- M untah proyektil
- Nyeri kepala
- Kejang
- Kesadaran menurun
3. Pemeriksaan Fisik Anak :
• Pembesaran lingkar kepala
• Papiledema
Bayi :
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala :
• Kepala makin membesar
• Vena-vena kepala prominen
• Ubun-ubun melebar dan tegang
• Sutura melebar
• “Cracked-pot sign”, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah semangka pada perkusi kepala
• Perkembangan motorik terlambat
• Perkembangan mental terlambat
• Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles)
• “Cerebral cry”, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar
• Nistagmus horizontal
• “Sunset phenomena”, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita,
sklera tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam.
4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis kepala yang membesar
• Pemeriksaan fisik yang spesifik
• Pemeriksaan penunjang CT Scan atau MRI kepala
5. Diagnosis Hidrosefalus
6. Diagnosis Banding 1. Ciri keluarga (familial feature)
2. Megaensefali
3. Hidransefali
4. Tumor otak
5. Cairan subdural (subdural effusion)
7. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan darah :
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
- X foto kepala kranium yang membesar atau sutura yang melebar
- USG kepala : dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
- CT-Scan/MRI kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan sekaligus mengevaluasi
struktur-struktur intraserebral lainnya.
- Analisis cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis untuk mengetahui kadar
protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi sisa.
- EEG untuk mengevaluasi kemajuan klinis. Abnormalitas EEG dapat ditemukan fokal, difus dan berguna
mendeteksi kejang.
8. Terapi Farmakologis :
mengurangi volume cairan serebrospinalis
• Acetazolamide 25 mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis (maksimal 100mg/KgBB/hari)
• Furosemide 1 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis
Pembedahan
• Ventrikuloperitoneal shunt
• Endoskopi
9. Edukasi • Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala
yang progresif atau lebih dari normal.
• Hidrosefalus membutuhkan perawatan jangka panjang
• Komplikasi pemasangan shunt :malfungsi, infeksi dan terkadang membutuhkan revisi
• Hidrosefalus yang tidak diterapi mortalitas mencapai 50%
10. Prognosis • Prognosis jangka panjang sangat dipengaruhi oleh penyebab hidrosefalusnya
• Hidrosefalus yang diterapi bedah survival rate mencapai 90% dan IQ normal pada 2/3 pasien
• Mortalitas karena hidrosefalus dan terapinya antara 0 – 3% tergantung pada lamanya follow up.
HIDROSEFALUS
• Infeksi shunt terjadi antara 1 5 – 30 %.
• Epilepsi terjadi 6 – 30% penderita
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis • 60% anak dengan hidrocephalus dapat bersekolah (meskipun terdapat banyak kesulitan)
• 40% anak relatif dapat hidup normal
• 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3-5 hari perawatan
15. Kepustakaan 1. Ventakaramana NK. Hydrocephalus indian scenario – a review. Jour of pediatr neurosciences
2011;6:11-22.
2. Vinchon M. Pediatric hydrocephalus outcomes : a review. Fluid and barrier of the CNS 2012;9:1-10
3. Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin Pediatr Neurol
2009;16:9-15.
4. Groat J. Review of the treatment & management of hydrocephalus. US pharm 2013;13.
5. Menkes JH, Sarnat HB, Sarnat F. Malformations of the central nervous system. Dalam Menkes Jh,
Sarnat HB, Maria BL editor. Child Neurology 7th ed. Lippincott William and Wilkins, Philadelphia.
2006. Hal 330-49.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis Gejala sisa neurologis serta cacat berat dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi acyclovir. 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 14 hari
15. Kepustakaan 1. Kelly C, Sohal A, Michael BD, Riordan A, Solomon T, Kneen R. Suboptimal management of central
nervous system infections in children: a multi-centre retrospective study. BMC Pediatrics
2012;12:145-52.
2. Ward KN, Ohrling A, Bryant NJ, Bowley JS, Ross EM, Verity CM. Herpes simplex serious
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KEJANG DEMAM
1. Pengertian (Definisi) Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38°C), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks
2. Anamnesis - Didapatkan riwayat panas disertai kejang
- Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain
3. Pemeriksaan Fisik Tidak spesifik
Pemeriksaan neurologi dalam batas normal
4. Kriteria Diagnosis Kejang Demam Sederhana (KDS) :
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang Demam kompleks (KDK) :
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Diagnosis Kejang Demam
6. Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali:
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
2. X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang
fokal atau hemiparese.
3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis.
4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
8. Terapi 1. Penanganan Pada Saat Kejang
•Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,4-
0,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian.
•Turunkan demam :
• Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO,
keduanya diberikan sehari 3-4 kali
• Kompres : suhu >39°C : air hangat; suhu > 38°C : air biasa
•Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.
2. Pencegahan Kejang
• Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS
dengan Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan
antipiretik pada saat anak menderita penyakit
yang disertai demam.
9. Edukasi 1. Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik
2. Memberikan cara penanganan kejang yang benar
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam
5. Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat
KEJANG DEMAM
14. Indikator Medis - Hampir semua anak mempunyai prognosis yang baik
- Anak usia dibawah 12 bulan yang mengalami kejang demam mempunyai kemungkinan sebesar 50%
terjadi rekurensi .
- 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 hari
15. Kepustakaan 1. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizure: Guideline for the
neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics 2011;127:389-94.
2. Kundu GK, Rabin F, Nandi ER, Sheikh N, Akhter S. Etiology and risk factors of febrile seizure – an
update. Bangladesh J Child Helath 2010;34:103-12.
3. American academy of pediatrics subcommittee on febrile seizures. Febrile seizures: clinical practice
guidelines for the long-term management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics
2008;121:1281-6.
4. Berg AT, Shinnar S, Hausser WA, Leventhal JM. Predictors of recurrent febrile seizure: a
metaanalytic review. J Pediatr 1990;116:329-37
5. Shloma Shinnar. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology
principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 790-7.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
MATI OTAK
1. Pengertian (Definisi) Mati Otak (MO) atau Brain Death adalah suatu diagnosis klinis berdasarkan hilangnya fungsi neurologis akibat
suatu koma ireversibel. Koma dan apnea merupakan persyaratan untuk mendiagnosa mati otak.
2. Anamnesis • Koma dan apnea harus ada untuk mendiagnosis mati otak
• Keadaan yang harus diperhatikan sebelum menentukan mati otak:
• Hipotensi, hipotermi, dan gangguan metabolik yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi
harus dikoreksi
• Sedatif, analgesik, agen blokade neuromuscular, dan antikejang seharusnya dihentikan dalam
jangka waktu tertentu berdasarkan eliminasi half-life dari setiap obat untuk meyakinkan bahwa obat-
obat tersebut tidak mempengaruhi pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan mati otak direkomendasikan untuk dilakukan 2 orang dokter berbeda yang terlibat dalam
perawatan anak dipisah dalam suatu periode observasi.
• Rekomendasi periode observasi untuk neonatus (37 minggu usia gestasi sampai usia 30 hari) adalah 24
jam dan 12 jam untuk bayi dan anak (>30 hari sampai usia 18 tahun). Pemeriksaan pertama adalah untuk
menentukan mati otak dan pemeriksaan kedua untuk mengkonfirmasi kondisi mati otak berdasarkan
kondisi yang tetap dan ireversibel.
Jika semua semua faktor sudah dieksklusi bisa lanjut ke tahap 2. Tetapi bila ada faktor perancu langsung ke
tahap 4.
Tahap 2
Pemeriksaan fisik; (reflek spinal cord dapat diterima)
1. Tonus flaksid, pasien tidak berespon terhadap stimulus nyeri yang dalam
2. Refleks cahaya pupil: tidak ada respons terhadap cahaya bilateral, pupil dilatasi dan posisi di tengah.
3. Reflek cornea, batuk dan muntah tidak ada.
(Refleks kornea : tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan ujung kapas; Refleks
oro-faringeal : tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada faring posterior; Refleks trakeo-
bronkial: kateter penghisap dimasukkan melalui endotracheal tube hingga mencapai karina atau lebih
dalam. Tidak didapatkan refleks batuk)
4. Tidak didapatkan reflek sucking dan rooting
5. Refleks vestibulo-okular (tes kalori) : pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika ada perforasi
membrana timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat 30o dengan melakukan irigasi
membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan
jarak pemeriksaan antara 2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara langsung
terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO.
6. Tidak didapatkan usaha bernafas sewaktu dalam ventilasi mekanik
Jika ada elemen yang tidak bisa dilakukan maka langsung ke tahap 4.
Tahap 3
Tes apnea :
Tidak didapatkan usaha bernafas meskipun PaCO 2
≥60 mmHg dan a ≥20mmHg peningkatan diatas garis dasar PaCO 2 .
Jika tes apnea merupakan kontra indikasi atau tidak dapat dilakukan maka langsung ke tahap 4.
Prasyarat : penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi yang stabil
• Sesuaikan setting ventilator untuk memelihara PaCO 2 berkisar 40 mmHg
• Pra-oksigenasi dengan O 2 100% selama 5-10 menit
• Diskoneksi dari ventilator
• Berikan 100% O 2 melalui kateter trakea dengan aliran 6 l/menit
• Monitoring O 2 saturasi dengan pulse oxymetri
MATI OTAK
• Ukur PaCO 2 mmHg setelah 5 menit lalu setela2h 8 menit jika PaCO 2 tidak melebihi 60 mmHg
hubungkan kembali penderita dengan ventilator
• Pemutusan hubungan dengan ventilator tidak boleh melebihi 10 menit pada satu kali pemeriksaan
2 • Tes apnea positif : jika tidak ada usaha bernafas dengan PaCO >60mmHg
• Jika selama tes apnea terjadi hipotensi yang bermakna, des2 aturasi yang nyata atau aritmia kardiak,
secara langsung dilakukan pemeriksaan BGA, hubungkan segera kembali dengan ventilator. Seharusnya
pada keadaan PaCO 2 <60mmHg, hasil tes dikatakan belum pasti. Selanjutnya pertimbangan diserahkan
kepada pediatri untuk menentukan kapan tes dapat diulang atau tergantung dari tes lain untuk menegakkan
diagnosis klinis Mati otak.
Tahap 4
Tes tambahan
Diperlukan bila:
1. Jika ada komponen dari pemeriksaan atau tes apnea tidak dapat dilakukan
2. Jika ada ketidakjelasan hasil dari pemeriksan fisik
3. Jika ada efek medikasi yang nyata
Tes tambahan yakni:
1. EEG yang menyatakan electroserebral silence
2. Pemeriksaan Cerebral Blood Flow (CBF) yang menyatakan tidak ada perfusi cerebral
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kes ehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp. A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
MENINGITIS BAKTERI
1. Pengertian (Definisi) Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus.
2. Anamnesis Neonatus
• G ejala tidak khas
• Panas ±
• Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
• Pernafasan tidak teratur
Anak umur 2 bulan-2 tahun :
• Gambaran klasik (-)
• Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
• Kadang-kadang “high pitched cry”
Anak umur > 2 tahun :
• Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
• Kejang
• Gangguan kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik Neonatus
• Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
Anak
• Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis: panas, muntah, kejang
2. Pemeriksaan fisik: tanda rangsang meningeal positif pada anak
3. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal dari lumbal pungsi
5. Diagnosis Meningitis
6. Diagnosis Banding 1. Meningismus
2. Abses otak
3. Tumor otak
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal :
Meningitis Bakteri
Tekanan Meningkat
Warna Keruh
Total White blood cell >1000
Polymorphonuclear cells +++
Mononuclear celss +
Protein Meningkat
Glucosa ↓↓
Gram stain Positive
Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT- Scan/MRI kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
• Darah : LED, CRP, lekosit, hitung jenis, biakan
• Air kemih : biakan
• Cairan serebrospinal: biakan
8. Terapi Farmakologis :
a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris :
Pasien Antibiotik Dosis (iv)
Neonatus/ Ampicillin + 50-100 mg/kg tiap 6-8 jam
bayi<3bulan Cefotaxime/ 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Gentamicin 2,5 mg/kg tiap 8 jam
Neonatus Vancomycin + 15 mg/kg tiap 8-24 jam
prematur Ceftazidime 100 mg/kg tiap 8-12 jam
Bayi usia > 3 Ceftriaxone / 100 mg/kg tiap 24 jam (max 4g)
bulan Cefotaxime 100 mg/kg tiap 8jam (max 12 g)
MENINGITIS BAKTERI
Mikroorganisme Durasi terapi (hari)
Neisseria meningitides 7
Haemophilus influenza 7
Streptocccus pneumonia 10-14
Streptococus agalactiae 14-21
Basilus aerob gram negative 21
Listeria monocytogenes 21
b. Pengobatan simptomatis
• Menghentikan kejang :
• Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal suppositoria, kemudian
dilanjutkan dengan :
• Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
• Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
• Menurunkan panas :
• Antipiretik : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO
diberikan 3-4 kali sehari
• Kompres air hangat/biasa
• Menurunkan proses inflamasi :
• Deksamethason dosis 0.15 mg/kg iv tiap 6 jam selama 4 hari. Seharusnya dimulai sebelum
pemberian antibiotik yang pertama.
c. Pengobatan tambahan
• Cairan intravena
2. Perawatan :
Pada waktu kejang :
• Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
• Hisap lendir
• Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
• Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
Bila penderita tidak sadar lama:
• Beri makanan melalui sonde
• Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan
• Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
• Cegah kekeringan kornea dengan salep antibiotic
• Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
• Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
• Pemantauan ketat :
• Tekanan darah
• Pernafasan
• Nadi
• Produksi air kemih
• Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
• Fisioterapi dan rehabilitasi.
9. Edukasi 1. Deteksi dini terhadap kecurigaan meningitis bakteri dan kecepatan pemberian antibiotik sangat
penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pemberian antibiotik empiris seharusnya berdasarkan epidemiologi local, usia dan factor resiko
3. Penjelasan terhadap resiko komplikasi berupa peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus, infark
ataupun subdural efusi yang bisa terjadi.
MENINGITIS BAKTERI
Derajat berat penyakit sewaktu MRS
• Penyakit derajat berat
• Adanya gejala neurologis fokal
• Koma
• Gangguan kardiovaskular
• Tidak adanya panas
Tipe manajemen
• Memerlukan perawatan intensif
• Terapi antibakteri yang tidak adekuat
• Tidak adanya terapi antiinflamasi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis • Imunoprofilaksis Vaksin H Influenzae type b efektif dan aman melindungi terhadap meningitis
• Metaanalysis pemberian antibiotik untuk terapi meningitis bakteri selama 4-7 hari dan 7-14 hari tidak
didapatkan perbedaan bermakna
• Pemberian deksamethason dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pendengarab pasca meningitis
bakteri
• 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 minggu
15. Kepustakaan 1. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice 5th ed. Philadelphia, Elsevier
2012. Hal 1241-61.
2. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. Hal 433-48.
3. Prats JG, Gaspar AJ, Riberio AB, Paula GD, Boas LV et al. Systematic review of dexamethasone as
adjuvant therapy for bacterial meningitis in children. Rev Paul Pediatr 2012;30:586-93.
4. Huy NT, Thao NTH, Diep DTN, Kikuchi M, Zamora J et al. Cerebrospinal fluid lactate concentration to
distinguish bacterial from aseptic meningitis: a systemic review and metaanalysis. Crit care
2010;14:2-15.
5. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for the management
of bacterial meningitis. CID 2004;39:1267-83.
6. Beek D, Brouwer MC, Thwaites GE, Tunkel AR. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet
2012;380:1693-702.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
14. Indikator Medis 1. Angka harapan hidup pada ASM tipe I usia 2 tahun adalah 32%, kebanyakan meninggal sebelum
usia 18 bulan
2. Pada ASM tipe II, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 77%
3. Pada ASM tipe III, angka harapan hidup tergantung onset penyakit. Bila onset < 3tahun angka
harapan usia 2 tahun 98% dan 20 tahun 34%. Bila onset > 3 tahun, angka harapan usia 2 tahun
100% dan 20 tahun 67%
4. Pada ASM tipe IV, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 100%
15. Kepustakaan 1. Lewelt A, Newcomb TM, Swoboda KJ. New therapeutic approaches to spinal muscular atrophy. Curr
Neurol Neurosci Rep. 2012; 1: 42-53
2. Wadman RI, Bosboom WM, Van den Berg LH, Wokke JH, Lannaccone ST, Vrancken AF. Drug
treatment for spinal muscular atrophy types II and III. Cochrane Database Syst Rev. 2011; 7: 12
3. Stavarchi M, Apostol P, Toma M, Cimponeiru D, Gavrila L. Spinal muscular atrophy disease: a
literature review for teurapeutic strategies. Journal of Medicine and Life. 2010; 1: 3-9
|
ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)
4. Montes J, Gordon AM, Pandya S, Devivo DC, Kafmann P. Clinical outcome measures in spinal
muscular atrophy. J Child Neurol, 2009; 24: 968-78
5. Sarnat HB, Menkes JH. Disease of the motor unit. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 969-78.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
STATUS EPILEPTIKUS
1. Pengertian (Definisi) Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang tanpa
disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi dan
fase II mekanisme tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan non- konvulsif
status epileptikus.
2. Anamnesis • Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
• Tingkat kesadaran di antara kejang
• Riwayat kejang sebelumnya,
• Riwayat kejang dalam keluarga
• Panas,
• Trauma kepala
• Riwayat persalinan,
• Tumbuh kembang
• Penyakit yang sedang diderita dan dahulu.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
• Peningkatan cerebral blood flow dan
metabolisme
• Hipertensi, hiperpireksia
• Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi :
• Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
• Depresi pernafasan
• Disritmia jantung, hipotensi
• Hipoglikemia, hiponatremia
• Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan
DIC
4. Kriteria Diagnosis Bisa memakai salah satu dari kriteria dibawah:
• Kejang berlangsung selama 30 menit atau lebih
• Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih
5. Diagnosis Status epilepticus
6. Diagnosis Banding 1. Reaksi konversi
2. Syncope
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah)
dianjurkan untuk evaluasi penyebab
2. CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial
8. Terapi 1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit
pertama), yaitu ABC :
• Airway : Bebaskan jalan nafas
• Breathing : Pemberian pernafasan
buatan/bantuan nafas
• Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan.
2. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30
menit pertama) :
Rute intravena:
1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin
(Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB )
2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb
dilanjutkan maintenance
3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance
Rute intranasal:
Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB
Rute intramuscular:
Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB
STATUS EPILEPTIKUS
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi
dengan :
• Midazolam, atau
• Barbiturat (thiopental, phenobarbital,
pentobarbital)
9. Edukasi 1. Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif
maupun gangguan tingkah laku.
2. Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat,
farmakoresistensi dan mortalitas.
3. Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%.
10. Prognosis Tergantung pada :
• Penyakit dasar
• Kecepatan penanganan kejang
• Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis • Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan
menghasilkan mortalitas sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
• Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan penanganan
15. Kepustakaan 1. Sofou K, Kristjandottir R, Papachatzakis NE, Ahmadzadeh A, Uvebrant P. Management of prolonged
seizures and status epilepticus in childhood: a systematic review. J of Chikd Neurol 2009;24:918-26.
2. Meier H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, et al. EFNS guideline on the management of
stautus epilepticus. Eur J of Neurol 2006;13:445-50.
3. Brophy GM, Bell R, Allredge B, Bleck TP, Glausr T et al. Guidelines for the evaluation and
management of status epilepticus. Neurocrit care 2012;17:3-23.
4. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Seminars in neurology 2008;28:342-54.
5. Prasad K, Krishnan PR, Al Roomi K, Sequeira R. Anticonvulsant therapy for status epilepticus. Br J
Clin Pharmacol 2007;63:640-7.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
Failure to thrive (FTT) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai
1. Pengertian (Definisi) dengan seharusnya, tidak naik (flat growth) atau turun dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya (diketahui dari
grafik pertumbuhan), terutama pada usia dibawah 3 tahun. Istilah yang lebih tepat adalah fail to gain weight bukan
diterjemahkan sebagai gagal tumbuh, karena dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap umur
pada minimal 2 periode pengukuran (dapat memakai berat badan pada saat lahir). Tinggi badan dan lingkar kepala
yang juga merupakan parameter pertumbuhan mungkin masih normal.
Perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar
deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. FTT juga belum tentu gizi kurang atau gizi buruk
Masa neonatal : FTT dapat disebabkan oleh manajemen ASI yang salah, cara pemberian susu formula yang
2. Anamnesis salah (jumlah, cara pengenceran), kelainan metabolik, kelainan kromosom dan kelainan anatomis (rongga mulut,
gastrointestinal, dll)
Usia 3-6 bulan: kemungkinan penyebab antara lain underfeeding (karena kemiskinan), cara pembuatan formula
yang salah, intoleransi protein susu, disfungsi motorik oral, refluks gastroesofagus,kelainan anatomis sal
pencernaan atau gangguan malabsorbsi dan penyakit jantung bawaan.
Usia 7-12 bulan : keterlambatan pemberian makanan padat, intoleransi makanan, penyakit infeksi, disfungsi
motor oral, dan orang tua yang protektif.
Diatas usia 12 bulan: masalah seperti usia diatas ditambah dengan masalah psikososial
Dilakukan pengukuran BB, TB, dan lingkaran kepala. Kemudian ditentukan status gizi anak tersebut.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pasien yang gizinya masih cukup, tidak ditemukan gejala yang khas, sedangkan anak dengan gizi kurang
anak tampak kurus tanpa disertai kelainan fisis lain.
Pasien yang mengalami gizi buruk terlihat cengeng, kurus sekali, ditemukan wasting, ekstremitas hipo/atrofi,
crazy pavement dermatosis.
Pasien FTT akibat kelainan kromosom atau genetik dapat terlihat dismorfik.
Cari adanya kelainan fungsional atau kelainan anatomis,tanda infeksi.
Perhatikan terhadap kemungkinan adanya child abuse.
Pemeriksaan antropometris
4. Kriteria Diagnosis Gejala Klinis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasar :
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan antropometris
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemerisaan penunjang
Bayi Prematur
6. Diagnosis Banding Bayi dengan intra uterin growth restriction
Kelainan anatomis tulang: osteogenesis imperfecta,achondroplasia
Darah tepi lengkap
7. Pemeriksaan Urinalisis dan feses lengkap
Penunjang Kultur darah, urine
Uji tuberculin
Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi sesuai penyakit dasar yang dicurigai (misal:analisis gas darah bila
curiga adanya tubulopati, elektrolit, pemeriksaan laktat dan amoniak bila dicurigai penyakit inborn error, dll)
Pemeriksan radiologis bila dicurigai adanya kelainan anatomis
Mencari dan mengobati penyakit dasarnya apakah merupakan kelainan organik atau non organik
8. Terapi
Terapi Medikamentosa
Diberikan bila ditemukan penyakit yang mendasari (underlying disease)
Terapi Nutrisi
- Berikan menurut tahapan Asuhan Nutrisi Pediatri (Pediatric Nutrition Care)
- Hitung kebutuhan kalori serta protein menggunakan prinsip BB ideal menurut PB atau TB saat ini
dikalikan RDA kalori /protein sesuai dengan height age (PB atau TB saat ini ideal untuk usia berapa?),
dimulai dengan kalori BB aktual dan dinaikkan bertahap sampai kalori BB ideal atau dimulai 50-60 %
dari kalori BB ideal untuk menghindari refeeding syndrome
FTT sederhana
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis Berat badan naik, panjang /tinggi badan bertambah, lingkar kepala normal
1. Gahagan S. Failure to thrive: A consequences of undernutrition. Pediatr Rev. 2006;27:e-11.
15. Kepustakaan 2. Krugman SD,Dubowitz H. Failure to thrive. AAFP 2003: 68:879-84
3. Olsen OM, Petersen J, Skovgaard AM. Failure to thrive: the prevalence and concurrence of anthropometric
criteria in a general infant population. Arch Dis Child 2007: 92; 109-114
4. Khoshoo V, Reifen R.Use of energy-dense formula for treating infants with non-organic failure to thrive.
European Journal of Clinical Nutrition 2002:56;921-24
5. UKK NPM IDAI. Gagal Tumbuh. Dalam Standar Pelayanan Medis IDAI 2007
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi,
1. Pengertian (Definisi) dapat karena asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama.
Sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain.
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat
ringan-sedang (gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis
yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis didapatkan
3 bentuk ,yaitu : kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam
penatalaksanaannya hampir sama
KEP berat
- Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng,
kulit kering, dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang,
otot atrofi hingga kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah
lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
- Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan.
- Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV
- KLINIS
4. Kriteria Diagnosis - ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva W HO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000)
1. Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein
7. Pemeriksaan serum (albumin, globulin), feritin.
Penunjang 2. Tes mantoux
3. Radiologi (dada, AP dan Lateral )
4. EKG
KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti
8. Terapi pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat
No FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 Mulai Pemberian
Makanan (F-75)
7 Pemberian Makana
utk Tumbuh kejar
(F-100)
Medikamentosa
100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 30-
60 menit, kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde
lambung. Bila dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO
belum selesai. Jangan menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok.
- Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5%
sebanyak 15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
- Evaluasi setelah 1 jam
- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan
• dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam selama
10 jam, selanjutnya mulai berikan formula F-75
• Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan
cairan rumat sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara
perlahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi
• Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau
tanda gagal jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung berikan transfusi “packed red cell” untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Berikan furosemid 1mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
• Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan
distress napas setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara 4-6g/dl, jangan diulangi
pemberian darah.
a. Antibiotik
- Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari
sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari.
- Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM
sekali sehari selama 7 hari.
b. Vitamin-mineral
- Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI,
> 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang
pada hari ke 15 atau sebelum pulang
- Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu
- MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari
- Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu
- Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix
- Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi.
Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung
bawaan,dll
B. DIETETIK
- Oral atau enteral
• Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan
berat badan ideal (target berat badan)
• Gizi buruk: lihat tabel (sesuai fase)
- Diet bisa diberikan peroral atau enteral melalui pipa nasogastrik pada kasus gangguan absorbsi
dengan continuous feeding atau intermiten
- Jenis diet pada fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat
- Bila didapatkan diare kronik (persisten) diberikan formula/diet elemental, semi elemental tergantung
beratnya kerusakan mukosa usus yang dapat menimbulkan malabsorbsi karbohidrat (laktosa), protein
dan lemak
- Nutrisi parenteral (Intravena): hanya atas indikasi tepat.
Bisa diberikan secara parsial atau total tergantung toleransi pemberian enteral (absorbsi) dan derajat
beratnya diare kronik, untuk memenuhi total kalori yang diperlukan sesuai kebutuhan.
- Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan, yaitu: BB < 7 kg diberi
makanan bayi, BB ≥ 7 kg diberi makanan usia anak
- Makanan padat (solid) pada kasus diare kronik bisa dimulai dengan pemberian bubur BREDA (bubur
realimentasi daging ayam), modifikasi bubur rendah laktosa (soy based diet)
- Evaluasi : akseptabilitas, toleransi, reaksi simpang, kenaikan berat badan ≥ 50 g/kgBB/minggu
Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk
Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula
12. Tingkat C
Rekomendasi
14. Indikator Medis Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk:
15. Kepustakaan buku I,II. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003
2. WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health
workers. Geneva: World Health Organization. 1999.
3. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009.
4. Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds.
Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc
2003.p174-90
5. World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of
the Child with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the First-
Referral Level in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000
6. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas.IDAI 2011
7. Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in
infancyArchives of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73
8. Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease.
Pediatrics 1983;72;786
9. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea:
Comparison of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics,
1991;88:1010-18.
10. Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent
diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr.
Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
OBESITAS
Obesitas adalah keadaan penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan dan ditandai dengan adanya
1. Pengertian (Definisi) gambaran klinis yang khas. Kelainan ini sering disertai komplikasi hiperlipidemia, obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS), dan non alcoholic steato hepatitis (NASH)
Obesitas terjadi bila asupan energI total melebihi pengeluaran energi total. Ketidakseimbangan energI ini dapat
disebabkan oleh asupan energi yang berlebih dan atau pengurangan pengeluaran energi, baik untuk
metabolisme, termoregulasi dan aktivitas fisik.
Peningkatan asupan energi ditemukan pada sindrom genetik, sedang pengurangan energi dijumpai pada
defisiensi hormon. Namun kelainan genetik dan hormonal tersebut ternyata tidak dapat menjelaskan peningkatan
berlebih berat badan pada kebanyakan pasien. Kebanyakan obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan misalnya pola makan, olah raga, jenis aktifitas sehari hari
Ditegakkan berdasarkan:
5. Diagnosis Tanda klinis/Pemeriksaan Fisik
OBESITAS
Antropometris
Prader-Willis Syndrome
6. Diagnosis Banding Precoccius Puberty
Polycistis ovary syndrome
Dilakukan sesuai indikasi:
7. Pemeriksaan - Darah perifer lengkap
Penunjang - Tes toleransi glukosa oral
- Fungsi tiroid
- Profil lipid
- Sekresi dan fungsi growth hormone
- Kalsium, fosfat dan kadar hormon paratiroid bila dicurigai pseudohipoparatiroidisme
- Fungsi hati : SGOT, SGPT
- Foto orofaring AP dan Lat
- USG hati
- MRI otak dengan fokus hipotalamus dan hipofisis, bila terindikasi secara klinis
- Sleep studies untuk mendeteksi sleep apnea
Tata laksana komprehensif obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Tujuan utama
8. Terapi tata laksana obesitas adalah perbaikan kesehatan fisik jangka panjang melalui kebiasaan hidup yang sehat
secara permanen. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat tahap tata laksana dengan intensitas yang
meningkat. Prinsip tata laksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi.
Tahap I: Pencegahan Plus
Pada tahap ini, pasien overweight dan obesitas serta keluarga memfokuskan diri pada kebiasaan makan yang
sehat dan aktivitas fisik sebagai strategi pencegahan obesitas. Kebiasaan makan dan beraktivitas yang sehat
adalah sebagai berikut:
1. Mengonsumsi 5 porsi buah-buahan dan sayur-sayuran setiap hari. Setiap keluarga dapat meningkatkan
jumlah porsi menjadi 9 porsi per hari
2. Kurangi meminum minuman manis, seperti soda, punch.
3. Kurangi kebiasaan menonton televisi (ataupun bentuk lain menonton) hingga 2 jam per hari. Jika anak
berusia < 2 tahun maka sebaiknya tidak menonton sama sekali. Untuk membantu anak beradaptasi, maka
televisi sebaiknya dipindahkan dari kamar tidur anak.
4. Tingkatkan aktivitas fisik, 1 jam per hari. Bermain adalah aktivitas fisik yang tepat untuk anak-anak yang
masih kecil, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat melakukan kegiatan yang mereka sukai seperti
olahraga atau menari, bela diri, naik sepeda dan berjalan kaki.
5. Persiapkan makanan rumah lebih banyak ketimbang membeli makanan dari restoran.
6. Biasakan makan di meja makan bersama keluarga minimal 5 atau 6 kali per minggu.
7. Mengonsumsi sarapan bergizi setiap hari
8. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam perubahan gaya hidup
9. Biarkan anak untuk mengatur sendiri makanannya dan hindari terlalu mengekang perilaku makan anak,
terutama pada anak < 12 tahun.
10. Bantu keluarga mengatur perilaku sesuai kultur masing-masing
OBESITAS
6. Tim multidisipliner yang berpengalaman dalam hal obesitas anak saling bekerja sama, meliputi pekerja
sosial, psikologi, perawat terlatih, dietiesien, physicial therapist, dokter spesialis anak dengan berbagai
subspesialisasi seperti nutrisi, endokrin, pulmonologi, kardiologi, hepatologi, dan tumbuh kembang, ahli gizi,
dokter spesialis olah raga, psikolog, guru, dokter spesialis bedah ortopedi, dan ahli kesehatan masyarakat.
7. Kunjungan ke dokter yang reguler harus dijadwalkan, tiap minggu selama minimum 8-12 minggu paling
efektif
8. Kunjungan secara berkelompok lebih efektif dalam hal biaya dan bermanfaat terapeutik.
Tahap IV: Intervensi pelayanan tersier
Intervensi tahap IV ditujukan untuk anak remaja yang obesitas berat. Intervensi ini adalah tahap lanjutan dari
tahap III. Anak-anak yang mengikuti tahap ini harus sudah mencoba tahap III dan memiliki pemahaman tentang
risiko yang muncul akibat obesitas dan mau melakukan aktivitas fisik berkesinambungan serta diet bergizi
dengan pemantauan.
− Diet sangat rendah kalori, yaitu pada tahap awal dilakukan pembatasan kalori secara ekstrim lalu
dilanjutkan dengan pembatasan kalori secara moderat. Terapi ini tidak dianjurkan untuk anak dan remaja.
− Obat-obatan: yang telah dipakai pada remaja adalah sibutramine yaitu suatu inhibitor re-uptake serotonin
dan orlistat yang menyebabkan malabsorpsi lemak melalui inhibisi lipase usus. Food and Drug
Administration (FDA) menyetujui penggunaan sibutramine untuk pasien >16 tahun dan orlistat untuk pasien
>12 tahun.
− Bedah: mengingat semakin meningkatnya jumlah remaja dengan obesitas berat yang tidak berespons
terhadap intervensi perilaku, terdapat beberapa pilihan terapi bedah, baik gastric bypass atau gastric
banding. Tata laksana ini hanya dilakukan dengan indikasi yang ketat karena terdapat risiko perioperatif,
2
pascaprosedur, dan perlunya komitmen pasien seumur hidup. Kriteria seleksi meliputi BM 4 0I kg /m
dengan masalah medis atau 5 0 kg / m2, maturitas fisik (remaja perempuan berusia 13 tahun dan anak
remaja laki-laki berusia 1 5 ta h u n , m a tu rita s e m o s io n a l d a n ko g n itif, d a n s u d a h b e ru s a h a m e n u ru n ka n
berat badan selama 6 b u la n m e la lu i p ro g ra m m o d ifika s i p e rila ku ).
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
9. Kavey REW, Allada Y, Daniels SR, Hayman LL, McCrindle BW, Newburger JW, et al. Cardiovascular risk
reduction in high-risk pediatric patients: a scientific statement from the American Heart Association
Expert Panel on Population and Prevention Science; the Councils on Cardiovascular Disease in the
OBESITAS
Young, Epidemiology and Prevention, Nutrition, Physical Activity and Metabolism, High Blood
Pressure Research, Cardiovascular Nursing, and the Kidney in Heart Disease; and the
Interdisciplinary Working Group on Quality of Care and Outcomes Research: Endorsed by the
American Academy of Pediatrics. Circulation. 2006 December 12; 114: 2710-38.
10. American Heart Association, Gidding SS, Dennison BA, Birch LL, Daniels SR, Gilman MW, Lichtenstein
AH, et al. Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners. Pediatrics.
2006; 117: 544-59.
11. Sjarif DR. Obesitas. Dalam: Trihono PP, penyunting. Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002.
12. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards: Length/height-for-age,
weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and
development. Geneva: World Health Organization; 2006.
13. Jolliffe C, Janssen I. Vascular Risk and Management of Obesity in Children and Adolescents, Vascular
Health and Risk Management. 2006 ;2:171-87.
14. Freedman D. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. In: Marcus K, Wabitsch M, eds. Obesity in
Childhood and Adolescence. Pediatr Adolesc Med.Basel, Karger. 2004 ;9:160-69.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
6. Diagnosis Banding
- Kadar vitamin A serum (retinol)
7. PemeriksaanPenunj - Serum retinol < 20µg/dl indikator kadar serum rendah
ang
- Biladisertai KEP perbaiki status gizisesuaikeadaanklinis
8. Terapi - Pemberian vitamin A
- Usia<6 bulan: 50,000 SI, oral atau IM
- Usia 6-12 bulan : 100,000 SI, oral atau IM
- Usia> 1 tahun : 200,000 SI, oral atau IM
Diberikanpadahari ke-1, 2, dan 14 ataubilaadaperburukanklinis
Perawatan local
- Mata dibersihkan, diberisalepmataantibiotik, ditutupdengankainkasa yang
dibasahicairangaramfisiologik
- Pendidikangizikeluargadenganmengetahuisumberterbanyak vitamin A
9. Edukasi padaprodukhewanisepertitelur,daging, susu, keju. Sumbernabati (pro vit A/beta karoten
)terbanyakterdapatpadawortel, ketela, labukuning, sayurbayamdanbrokoli.
- Pemberian vitamin A oral setiap 6 bulan, dosisseperti di atas
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. PenelaahKritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
KERACUNAN
1. Pengertian (Definisi) Keracunan adalah terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ
serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian.
5. Diagnosis Diagnosis keracunan di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Syok anafilaksis
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
Tindakan emergensi :
8. Terapi Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing : Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak
adekwat
Circulation : Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
Identifikasi penyebab keracunan.
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab keracunan ini
tidak sampai menunda usaha-usaha penyelamatan penderita yang harus segera dilakukan.
Eliminasi racun.
A. Racun yang ditelan
Rangsang muntah
Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan bahan beracun, bila
sudah lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang muntah kecuali bila bahan beracun tersebut
mempunyai efek yang menghambat motilitas ( memperpanjang pengosongan )
lambung.
Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum mole atau
dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan :
Sirup Ipecac
Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan.
Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml
1 - 12 tahun 15 ml
> 12 tahun 30 ml
Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila sesudah 20 menit tidak
terjadi muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian ipecac dapat diulangi.
Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%, dapat menyebabkan muntah dalam 2 -
5 menit.
Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB secara subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
1. Keracunan hidrokarbon,kecuali bila hidrokarbon tersebut mengandung bahan-bahan
berbahaya seperti camphor, produk-produk yang mengandung halogenat atau aromatik,
logam berat dan pestisida.
2. Keracunan bahan korossif
3. Keracunan CNS stimulant ( seperti strichnin )
4. Penderita kejang
5. Penderita dengan gangguan kesadaran
Kumbah lambung
Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah menelan bahan
KERACUNAN
beracun,kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat pengosongan lambung.
Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada :
- Keracunan bahan korosif
- Keracunan hidrokarbon
- Kejang
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita-penderita dengan resiko aspirasi
jalan nafas harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri, kemudian dimasukkan pipa
orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr,pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam
fisiologis ( normal saline/ PZ ) atau 1/2 normal saline 100 ml atau kurang berulang-ulang
sampai bersih.
Catharsis
Efektivitasnya masih dipertanyakan.
Jangan diberikan bila ada gagal ginjal, diare berat, ileus paralitik atau trauma abdomen
Dialysis
Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil. Bermanfaat hanya pada
bahan beracun yang bisa melewati filter dialisis ( dialysable toxin ) seperti phenobarbital,
salisilat, theophylline, methanol, ethylene glycol dan lithium.
Dialysis dilakukan bila : Asidosis berat
Gagal ginjal
Ada gejala gangguan visus
Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan.
KERACUNAN
Memberikan informasi secara intensif kepada orang tua atau orang yang bertanggung jawab dalam perawatan
9. Edukasi anak dan kepada masyarakat mengenai :
Keracunan pada anak, bagaimana terjadinya, akibat yang terjadi serta bagaimana mencegahnya.
Bahan-bahan yang potensial dapat menyebabkan keracunan yang terdapat didalam atau sekitar rumah yang
seringkali tidak diketahui oleh orang tua.
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi keracunan.
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1. Terapi suportif harus segera diberikan sambil menunggu pemberian antidotum apabila zat toksik memiliki
14. Indikator Medis antidotum
2. Respon pemberian antidotum tergantung jenis zat toksiknya
3. Eliminasi racun dengan meningkatkan ekskresi melalui urin dapat dilakukan dengan pemberian natrium
bikarbonat dalam waktu 1-2 jam untuk mempertahan pH urine 7,5-8,5
4. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 5 hari
1. Aranoff SC. Food poisoning. Dalam: Behrman RE,Kliegman RM Eds.Nelson Textbook of
15. Kepustakaan Pediatrics.Philadelphia : Saunders, 1992; 1770 -74.
2. Dreisbach RH. Poisoning, Prevention, Diagnosis and Treatment. Dalam : Dreisbach Ed. Handbook of
Poisoning. California : Lange Medical Publication 1983; 3 - 103.
3. Hutchison JH,Cockburn F. Accidental poisoning in childhood. Dalam : Hutchison Ed. Practical pediatrics
problems. London : Lloyd-Luke, 1986; 673 - 89.
4. Madse M. Poisoning,ingestion and overdosis. Pediatric Critical Handout, University of Minesotta, 1998.
5. Olson KR. Comprehensive evaluation and treatment of poisoning and overdose. Dalam :Olson KR Ed.
Lange : Clinical manual : Poisoning and drug overdose. San Francisco :Apleton & Lange,Prentice Hall
International,1990; 1 - 57.
6. Pascoe DJ. Poisoning. Dalam : Pascoe Ed. Quick reference to pediatric emergencies. Philadelphia :
Lippincott; 1984; 86 - 142.
7. Pearson-Shaver AL,Steinbart CM. Evaluation of the poisoned child. Dalam : Holbrook PR Ed. Textbook
of Pediatric Critical Care. Philadelphia : Saunders,1993; 982 - 97.
8. Reece RM. Poisoning. Dalam:Reece RM ed. Manual of emergency
Pediatrics.Philadelphia:Saunders,1978; 203 - 37.
9. Rumack BH. Chemical and drug poisoning. Dalam : Behrman RE,Kliegman RM Eds. Nelson Tetbook of
Pediatrics.Philadelphia: Saunders, 1992; 1774 - 65.
10. Wolf AD,Berkowitz ID,Liebelt E,Rogers MC. Poisoning and the critically child. Dalam : Rogers MC Ed.
Textbook of Pediatric Intensive Care.Baltimore: William Wilkins,1996;1315-91
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
SYOK ANAFILAKSIS
Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
1. Pengertian (Definisi)
Penyebab anaphylaksis pada anak
2. Anamnesis 1. Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2. Alergen imunoterapi.
3. Gigitan atau sengatan serangga.
4. Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID.
5. Latex.
6. Vaksin.
7. Exercise induce.
8. Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah
dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamin.
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen.
3. Pemeriksaan Fisik Gejala kardiovaskular : hipotensi/renjatan.
Gejala saluran nafas : sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/
laring, gejala asma.
Gejala kulit : pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema. Gejala
intestinal : kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Gejala SSP
: pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.
1. Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Keracunan
6. Diagnosis Banding
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi syok anafilaksis
9. Edukasi
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1. Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc
14. Indikator Medis (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 – 15 menit.
SYOK ANAFILAKSIS
2. Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
Tanda-tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2
detik, akral hangat.
3. Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita
yang menunjukkan gejala seperti asma
4. Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin
(dalaw waktu 48 jam)
5. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang
masih menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam)
6. 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari
1. Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 – 94.
15. Kepustakaan 2. Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis – Life threatening
allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm.
3. Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed.
Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 449–52.
4. Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm
5. Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 101–14.
6. Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347–
61.
7. Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am 1999; 19(3): 533 –53.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
SYOK HIPOVOLEMIK
1. Pengertian (Definisi) Syok adalah sindroma klinis akut yang disebabkan kegagalan fungsi kardiovaskuler dalam menyediakan
kecukupan oksigen dan nutrien lain untuk metabolisme jaringan, yang disebabkan karena kekurangan cairan.
2. Anamnesis - Kehilangan cairan : muntah, diare, luka bakar, perdarahan, drainase bedah
- Masukan cairan : jenis, jumlah
- Produksi urin
- Perubahan berat badan
KOMPENSASI
3. Pemeriksaan Fisik Tekanan darah N/↑ & mungkin tjd maldistribusi; fungsi organ vital masih baik
Takikardi; takipnea; CRT 2-3 detikl; iritabilitas ringan
DEKOMPENSASI
Perfusi mikrovaskuler ↓; pe↓ volume sirkulasi efektif
Kulit dingin; lembab; pucat; mottled; sianosis; kesadaran ↓; CRT>4 detik; hipotensi; nadi lemah; oliguria
IRREVERSIBLE
tekanan darah tidak teratur, nadi tidak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan
tanda-tanda kegagalan sistem organ lain
1. Gejala klinis
4. Kriteria Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Diagnosis syok hipovolemik di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
1. Syok Septik
6. Diagnosis Banding 2. Syok Kardiogenik
1. Darah rutin
7. Pemeriksaan 2. Analisa gas darah
Penunjang 3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
1. Bebaskan jalan napas dan oksigenasi dengan O2 100%.
8. Terapi 2. Pasang akses vaskuler (IV / IO) dan ambil sampel darah untuk laboratorium (darah lengkap, gula darah
acak, kalsium).
3. Bolus dengan cairan kristaloid / koloid isotonik 20 ml/kg secepatnya (< 10 menit), bisa diulang sampai
perfusi baik ATAU 60 ml/kg ATAU terdengar ronki ATAU hepatomegali (total waktu 10-15 menit).
4. Evaluasi tanda klinis syok setiap selesai bolus.
5. Koreksi hipoglikemi dan hipokalsemi.
Bila resusitasi cairan telah diberikan (2-3 kali bolus) dimana + 40-60% dari volume darah telah dimasukkan
namun belum ada respon adekuat, lakukan intubasi bila diperlukan. Evaluasi kemungkinan penyebab syok dan
lakukan tatalaksana lanjut sesuai penyebabnya.
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan
9. Edukasi yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, masih dapat ditolerir dibandingkan
kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan
penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung.
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis • Pengisian kapiler harus tercapai dalam waktu 60 menit dengan tanda waktu pengisian kapiler < 2 detik,
denyut nadi normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan sentral, produski urin > 1mL/kgBB/jam,
kesadaran normal, tekanan darah normal sesuai usia dan saturasin oksigen > 95%.
• 80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari.
SYOK HIPOVOLEMIK
1. APLS. The pediatric emergency medicine course. Edisi ke-2. 1993.
15. Kepustakaan 2. Bell LM. Shock. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. Hal: 46-57.
3. Smith L, Hernan L. Shock states. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical
care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. Hal: 294-410.
4. Zingarelli B. Shock and reperfusion injury. Dalam: Nichols DG, et al, penyunting. Rogers’ textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Hal: 252-65.
5. Nadel S, Kissoon NT, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols DG, et al,
penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. Hal: 372-83.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
BRONKIOLITIS
1. Pengertian (Definisi) Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil
(bronkiolus)
Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza,
adenovirus, rhinovirus dan mycoplasma.
2. Anamnesis Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam
atau hanya subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang
berat bisa didapatkan cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita.
Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
3. Pemeriksaan Fisik Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan ≥60x/menit, 2-12 bulan≥50x/menit, 1-5 tahun≥40x/menit.
Ekspiratory effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas
cuping hidung.
Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa
wheezing, sedang ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat
suara nafas nyaris tidak terdengar, wheezing bahkan dapat menghilang.
Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada AP dan lateral
2. Analisa Gas Darah
penunjang
3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
5. Kriteria Diagnosis 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya
sesak pada bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)
2. Pada foto polos dada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengan diameter anteroposterior yang melebar pada
foto lateral. Dapat pula disertai bercak konsolidasi yang tersebar.
3. Analisa Gas Darah dapat menunjukkan keadaan hiperkarbia (PaCO 2 yang tinggi), asidosis respiratorik,
dan pada keadaan lanjut dapat terjadi asidosis metabolic dan gagal nafas.
4. Bila tersedia pemeriksaan deteksi cepat antigen RSV sebagai penyebab utama bronkiolitis dapat
dilakukan
6. Diagnosis Bronkiolitis
7. Diagnosis Banding 1. Asma bronkiale dalam serangan
2. Pneumonia
3. Aspirasi benda asing
4. Gagal jantung
5. Penyakit lain yang menyebabkan inflamasi pada saluran nafas misalnya cystic fibrosis
8. Terapi 1. Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah:
• Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat
• Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake peroral
• Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur
• Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya.
2. Oksigenasi, bila ada tanda gagal nafas dapat diberikan ventilasi mekanik
3. Pembersihan jalan nafas
4. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
5. Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit.
6. Obat-obatan:
• Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan infeksi bakteri atau disertai pneumonia
• Kortikosteroid sistemik: dexametason 0,5 mg/kg (loading) dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
• Nebulasi dapat dilakukan dengan β2-agonis (misalnya salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang
diencerkan dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier. Penggunaan epinefrine maupun
hypertonic saline belum dianjurkan secara rutin
• Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin
9. Edukasi 1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup saat anak-anak
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas akut yang masih ringan agar segera
diperiksakan ke dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
BRONKIOLITIS
12. Tingkat C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
PNEUMONIA
1. Pengertian Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
Terbanyak adalah virus atau bakteri. Etiologi lain parasit dan aspirasi zat tertentu
(Definisi)
2. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak.
Dapat didahului denganinfeksi saluran nafas akut bagian atas.
Gejala umum: batuk, demam tinggi, nafas cepat dan sesak nafas.
Pada keadaan yang berat bisa didapatkan cyanosis
Pada anak yang besar bisa didapatkan nyeri dada.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala yang tidak khas seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang, sulit
minum, dan perut kembung
3. Pemeriksaan Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan ≥60x/menit, 2-12 bulan≥50x/menit, 1-5 tahun≥40x/menit.
Fisik Inspiratory effort ditandai dengan retraksi dinding dada, nafas cuping hidung
Gerakan dinding toraks dapat tertinggal pada daerah yang terkena infeksi, perkusi normal atau redup, auskultasi
paru dapat terdengar terdengar suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Tanda lainnya adalah demam tinggi, sianosis, dan dapat ditemukan tanda dehidrasi.
Pada infeksi oleh kuman atipik (mycoplasma, chlamydia) gejalanya tidak jelas maupun memberikan onset
akut seperti diatas. Panas seringkali tidak tinggi, batuk tidak produktif, tidak sesak, dan seringkali disertai sakit kepala
dan malaise.
4. Pemeriksaan 1. Foto polos dada
2. Analisa Gas Darah
penunjang
3. Hitung Leukosit dan differerential count
4. Laju Endap Darah (LED)
5. C-Reactive Protein (CRP)
6. Procalcitonin
7. Kultur darah, sputum, swab oropharyngeal
5. Kriteria 1. Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
2. Pada foto polos dada terlihat infiltrat alveolar maupun interstitial yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru.
Diagnosis Kelainan gambaran radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi oleh kuman
atipikal yang gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang dapat dijumpai
berupa konsolidasi pada satu atau beberapa segmen atau lobus paru, penebalan pleura pada pleuritis, atau
adanya komplikasi pneumonia berupa atelektasis, efusi pleura, abses paru, pneumothorak,
pneumomediastinum dan pneumatokel
3. Analisa Gas Darah menunjukkan keadaan asidosis respiratorik, hipoksemia, sedang PaCO 2 dapat rendah,
normal atau meningkat tergantung kompensasi yang terjadi. Dalam keadaan lanjut bisa terjadi asidosis
metabolik, dan gagal nafas.
4. Peningkatan hitung leukosit dengan hitung jenis bergeser ke kiri pada infeksi bakterial
5. LED, CRP, dan procalcitonin meningkat pada infeksi bakterial
6. Pemeriksaan kultur darah dapat menunjang menentukan etiologi terutama pada kasus nasokomial. Sedang
kultur sputum dan swab oropharyngeal sering terkontaminasi flora normal
6. Diagnosis Pneumonia
7. Diagnosis 1. Infeksi saluran pernafasan bawah lainnya (Bronkiolitis, laringotrakeobronkitis)
2. Kelainan bawaan pada paru (cystic lung disease, bullae, hypoplasia, dan lain sebagainya)
Banding
3. Payah jantung
4. Sepsis
5. Pada bayi karena gejalanya yang tidak khas dapat menyerupai sepsis, meningitis dan ileus
8. Terapi 1. Untuk pneumonia ringan dapat diterapi secara rawat jalan dapat diberikan antibiotik peroral dengan amoksisilin
50-80 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis atau amoksisilin-asam klavulanat 50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis,
serta diberikan edukasi kepada orang tua
2. Untuk pneumonia berat dan sangat berat dianjurkan rawat inap dan diberikan terapi:
• Ampisilin 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 4 dosis atau ampisilin-sulbaktam 100 mg/kg/hari iv dalam 4 dosis untuk
Community acquired pneumonia
• Ceftriaxone 100 mg/kg/hari iv dibagi dalam 2 dosis atau antibiotik sesuai kultur untuk Hospital acquired
pneumonia
• Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil pemeriksaan laboratoris, foto thorak
dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari
• Oksigenasi, dapat diberikan secara nasal atau masker sesuai keadaan klinis. Bila ada tanda gagal nafas
diberikan bantuan ventilasi mekanik.
• Pemberian cairan dan kalori yang cukup
• Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.
3. Untuk dugaan pneumonia atipik dapat diberikan eritromisin 50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau spiramisin 50
mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, atau klaritromisin 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis selama 10-14 hari.
4. Untuk dugaan Pneumonia Pneumocystic carinii dapat diberikan kotrimoksasol 20 mg/kg/hari dibagi 4 dosis.
5. Untuk keadaan khusus lainnya dapat diberikan Anti viral (Acyclovir, Gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto
Megalous Virus (CMV), Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada pneumonia karena
jamur, Imunoglobulin pada keadaan imunodefisiensi terutama imunitas humoral
PNEUMONIA
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
3. Pemeriksaan Fisik 1. Tidak mampu memusatkan perhatiannya untuk waktu yang lama,
2. Perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus lain.
Rentang waktu pemusatan perhatian yang singkat, kemampuan menyimak yang rendah
3. Hiperaktivitas
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis.
b. Pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan Neurofisiologis.
d. Laporan prestasi akademis.
e. Behavior Rating scales yang diperoleh dari beberapa sumber ( guru dan orang tua ).
f. Harus memenuhi kriteria DSM IV.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
CAMPAK
1. Pengertian (Definisi) - Campak, measles, atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit
ini sangat menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Penularan secara droplet (airborne).
2. Anamnesis - Campak mempunyai gejala klinis yang khas, terdiri dari 3 stadium, yaitu :
1. (Stadium masa tunas 10-12 hari)
2. Stadium prodromal 2-4 hari
3. Stadium erupsi 5-7 hari
4. Stadium konvalesen
- Stadium prodromal diawali dengan demam yang makin tinggi disertai batuk, pilek, nyeri telan, konjungtivitis
dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti muntah dan diare. Pada masa ini dapat ditemukan
tanda patognomonis adanya bercak Koplik’s, yaitu enantema di mukosa pipi di depan dari molar 3, yang
biasanya muncul 2 hari sebelum timbulnya ruam.
- Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam makulopapular pada kulit, yang dimulai dari belakang telinga, batas
antara rambut dan kulit, kemudian menyebar ke wajah, dada, perut, lengan dan kaki secara bersamaan.
Suhu akan mulai turun pada hari ke 2-3 ruam, dan ruam kemudian mengalami hiperpigmentasi dan
deskuamasi.
- Pada stadium konvalesen ruam akan berangsur menghilang sesuai dengan urutan timbulnya.
- Pada anak dengan gizi buruk gejala muntah dan diare bisa sangat berat.
- Bisa timbul komplikasi berupa otitits media, bronkopneumoni, mastoiditis, laryngitis akut, ensefalitis,
gastroenteritis, adenitis servikal, SSPE (subacute sclerosing panencephalitis), aktivasi tuberculosis, dan
gangguan gizi sampai kwashiorkor.
3. Pemeriksaan Fisik - Stadium prodromal didapatkan panas disertai 3C dan 1 K (cough, coryza, conjunctivitis, dan koplik’s spot)
- Stadium erupsi ditandai timbulnya ruam makulopapular yang bertahan 5-6 hari, yang dimulai dari batas
telinga kemudian menyebar ke wajah dan seluruh tubuh. Sekitar 2-3 hari setelah ruam muncul biasanya
panas akan menghilang.
- Stadium konvalesen setelah 3 hari ruam akan menjadi kehitaman dan mengelupas, dan menghilang
setelah 1-2 minggu sesuai urutan timbulnya.
- Penentuan status gizi penderita penting karena gizi buruk mempunyai komplikasi yang berat
- Gejala fisik lainnya ditemukan sesuai dengan timbulnya komplikasi yang terjadi.
4. Kriteria Diagnosis A. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan tambahan
1. Anamnesa :
Panas, batuk pilek dan konjuntivitis serta ditemukannya bercak Koplik’s (patognomonik)
2. Pemeriksaan fisik :
Adanya ruam makulopapular yang timbul pertama dari belakang telinga kemudian menyebar ke wajah,
dada dan seluruh tangan dan kaki.
3. Pemeriksaan Ig M spesifik campak (+) dan pemeriksaan virologi
4. kultur virus dari swab ginggiva atau urine
5. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah lengkap : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi
2. Pemeriksaan serologi : Ig M spesifik campak
3. Feses lengkap jika diare
4. Pemeriksaan penunjang untuk komplikasi : pungsi lumbal, foto polos dada, CT scan/MRI kepala.
5. Analisa gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak sesuai indikasi
6. Diagnosis Campak
Campak dengan komplikasi (ICD 10: B05.1,2,3,4)
CAMPAK
CAMPAK
4. Joklik WK. Paramyxovirus in Joklik WK, Virology, 3rd ed. London, Prentice-Hall International Inc., 1988;
hal. 204-219.
5. Redd SC, Markowitz LE, Katz SL, Measles vaccine in Plotkin and Orenstein (eds), Vaccines, 3rd ed,
Philadelphia, WB Saunders, 1999 : 222-266.
6. Toit DR, Ward KN, Brown DW G, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema subitum
(roseola infantum) Br Med J, 1996; 312 : 101-2.
7. WHO. Manual for the laboratory diagnosis of measles virus infection. Geneva, 2000. W HO/V&B/00. 16.
8. Heifand RF, Health JL, Anderson LJ, Gonus D, Bellini WJ. Diagnosis of measles with an IgM-captured EIA
: the optimal timing of specimen collection after rash onset. J Infect Dis, 1997; 175 : 195-7.
9. Shann F. Meta analysis of trials of prophylactic antibiotics for children with measles : inadequate evidence
Br Med J, 1997; 314 : 334.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma
leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta
trombositopenia ≤ 100.000
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti morbili dengan
lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas
(handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
- 7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai
3) Pemeriksaan Fisik
• Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
• Penderita tampak sakit sedang sampai berat, kadang disertai penurunan kesadaran
• Temperatur dapat sub febris normal atau sub normal
• Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes RL yang positif (>10 titik pada area
berdiameter 1 inchi), atau dijumpai gejala perdarahan spontsan, berupa petekiae, ekimosis,
perdarahan gusi, dan hypermenorhoea. Kadang dijumpai muntah darah dan berak darah
Pada penderita DHF grade 3 dan 4 apabila dilakukan tes RL umumnya negatif
• Adanya kebocoran plasma yang bisa ditunjukkan dengan efusi pleura dan atau asites; ditunjang
dengan hasil pemeriksaan tambahan
• Tanda vital
Nadi dapat normal pada DHF grade 1 dan grade 2, sedangkan untuk DHF grade 3 nadi dapat cepat
dan kecil, dan nadi tak teraba untuk DHF grade 1 dan grade 2.
Pada DHF grade 3 terjadi penyempitan tekanan nadi ≤ 20 atau terjadi penurunan systole dan
diastole
Pada DHF grade 4 tekanan darah tak terukur
Frekuensi nafas dapat normal, cepat dangkal maupun cepat dan dalam (pernapasan Kuzmaul)
• Hepatomegali
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DEMAM TYPHOID
1. Pengertian (Definisi) Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi
2. Anamnesis • Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat.
Bisa disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus.
• Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan,
yaitu demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf
• Demam bersifat stepladder, pada hari ≥ ke 5 sakit biasanya demam terus menerus tinggi, diberi
antipiretik turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada
siang hari.
• Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung
• Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran
• Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang
biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau
sudah mendapat antibiotika
• Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu
ke-2 sakit didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas.
• Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir
minggu pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan penderita
bisa gaduh gelisah.
• Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2
sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus
dan peritonitis
3. Pemeriksaan Fisik • Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus
• Pada anak dapat dijumpai febris ≥ 5 hari, dengan kesadaran mulai komposmentis hingga
delirium atau penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali
dan splenomegali
• Gejala klinik lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi
4. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah tepi, demam typhoid klasik akan mendapat leukopenia dan relative
lymphositosis
2. Pemeriksaan serologi widal O dilakukan hari ke ≥ 5 sakit dengan titer 1/200. Widal terbaik dapat
dilakukan 2 kali dengan jarak 5-7 hari dan didapatkan peningkatan titer >4x.
3. Pemeriksaan serologi Ig M dengan metode Tubex (antibodi anti-Salmonella 09) dilakukan hari ke
≥ 5 sakit dengan hasil ≥ + 4
4. Pemeriksaan kultur salmonella typhi dari specimen darah, dilakukan pada sebelum hari ke- 5
sakit dengan hasil positif. Biakan sumsum tulang dapat positif hingga minggu ke-4.
5. Atas indikasi tertentu dilakukan :
- Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, SGOT, SGPT, BUN dan serum kreatinin
- Pemeriksaan urine, atau kultur urine
- Pemeriksaan thorax photo
- Pemeriksaan USG abdomen
- Pemeriksaan CT scan / MRI otak
5. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan :
- Gejala klinik
- Pemeriksaan darah tepi
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan kultur salmonella typhosa dari spesimen darah
6. Diagnosis Demam Tifoid (ICD10: A01.00)
7. Diagnosis Banding 1. Awal sakit adalah influenza, bronchitis, bronchopneumonia, gastroenteritis, infeksi virus dengue,
sepsis, UTI
2. Phase lanjut ( ≥ minggu ke 2) tuberculosis, malaria, sepsis, infeksi saluran kemih, otitits media
akuta, keganasan, UTI, hepatitis, shigellosis
8. Terapi 1. Kalau diperlukan diberi infus cairan sesuai dengan umur dan kebutuhan
2. Antibiotika
Penderita terapi ambulatoir dapat dipakai :
Chloramphenikol oral dengan dosis 50-100 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis sampai 2 minggu.
Monitor efek samping terutama dengan pemeriksaan retikulosit.
Amoxicillin oral dengan dosis 100 mg per kgBB sampai 2 minggu
Cefixime oral dengan dosis 10 – 15 mg per kgBB terbagi dalam 2 dosis selama 2 minggu
Pada penderita yang indikasi rawat inap, diberikan ceftriaxone 80 mg per kgBB per hari dibagi 2
kali, dengan lama pemberian selama 5 – 10 hari
Pada penderita yang disertai komplikasi pneumonia, otitis media akuta maupun infeksi saluran
kemih, ceftriaxone dengan dosis dan lama pemberian sama dengan diatas
Pada penderita yang resisten terhadap ceftriaxone, maka pemberian ciprofloxacine dengan
dosis 15 mg per kgBB dalam dosis terbagi selama 7 – 10 hari
3. Pada karier S. typhi (tetap ada dalam urin/feses selama lebih dari 6-12 bulan): amp[isilin
100/mg/kgBB/hari dibagi 4, selama 6-12 minggu ; atau kotrimoksasol 4-20 mg/kgBB/hari dibagi 2
selama 6-12 minggu
DEMAM TYPHOID
4. Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai
komplikasi ensefalopati
5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan
6. Antipiretika sesuai kebutuhan
7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis
9. Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan
3) Prognosis penderita
4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral
5) Imunisasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
1) Pengertian (Definisi) Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran
plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul
rewel yg tak jelas penyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam
seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul “convalescence rash” berupa ruam seperti
morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua
ekstremitas atas (handglove like appearance)
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan
atau gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik
• Penting menetapkan hari sakit keberapa saat penderita datang
• Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat
tampil rewel sekali
• Temperature dapat febris, sub febris, normal atau sub normal
• Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede yang positif, atau
dijumpai gejala perdarahan spontan, berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, dan
hypermenorhoea
• Dapat dijumpai gejala saluran napas atas berupa pilek, batuk, pharyngitis ringan
• Pada hari sakit 1-3 dapat dijumpai flushing terutama pada muka
• Pada hari sakit 3-5 dapat dijumpai ruam morbiliform
• Dapat dijumpai adanya “convalescence rash” pada periode recovery
• Dapat dijumpai hepatomegali
4) Kriteria Diagnosis 1.Gejala dan tanda klinik sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik
2.Trombositopenia (<100.000/mm3). Sering disertai leukopenia (<4000/mm3)
3.Tanpa kebocoran plasma yang ditandai dengan tak didapatkannya peningkatan hematokrit, dan
atau tak dijumpai adanya ascites dan atau efusi pleura dextra.
4. NS1 antigen dengue + atau Ig M dengue +
Diagnosis Demam Dengue (ICD10: A90)
6) Diagnosis Banding 1. Undifferentiated fever
2. Dengue Hemorrhagic fever grade I dan grade II
3. Trombositopenik purpura, leukemia, anemia aplastik
4. Infeksi virus lain seperti campak, rubella, chikungunya
5. Demam tifoid, malaria
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia (< 150.000, dapat > 100.000, tetapi ada
yang ≤ 50.000 dengan hematokrit normal
b. Pada hari sakit ≤ 3, periksa NS1 Antigen Dengue
Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
Pada hari sakit ≥ 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue
c. Photo / USG thorax menyingkirkan adanya efusi pleura
USG abdomen untuk menyingkirkan adanya ascites
d. ALT/AST dan gula darah acak jika diperlukan
8) Terapi 1. Kalau diperlukan diberikan infus cairan rumatan sesuai umur, dengan memenuhi kebutuhan
cairan sesuai formula Halliday Segar
2. Apabila trombosit <50.000 dan disertai tanda perdarahan aktif diberikan transfusi trombosit
3. Pada perdarahan massif dapat diberikan transfusi wholeblood
4. Parasetamol
5. Diazepam jika kejang (kejang demam)
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang
nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
DIPHTHERIA
1. Pengertian (Definisi) suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga
melibatkan C. Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis..
2. Anamnesis Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir
atas. Dapat terjadi epistaxis …… Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan ……..
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau. Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah
perineum dan anal.
Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri
Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita
3. Pemeriksaan Fisik Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri.
Difteri Hidung
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata
Difteri Tonsil-Faring
Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal menuju laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan
submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala
selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai
kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung
atau saraf. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain
seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri faring, gejala merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telinga-
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.
4. Kriteria Diagnosis 1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan
klasikasi kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported.
Termasuk suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran.
Probable case bila suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut:
-kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed
-pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau petekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-insufisiensi renal akut
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6
minggu awitan sakit
-meninggal
Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tenggorok, ulkus kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina) atau ≥ 4X kenaikan serum antitoksin, tetapi hanya
bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri.
DIPHTHERIA
2. Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita.
3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan
menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk
menentukan toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap difteri.
5. Diagnosis Difteria (ICD10: A36.9)
6. Diagnosis Banding Difteri Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita) .
Diteri faring :
. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena
streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Difteri Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus
Difteri konjungtiva :
Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain
7. Pemeriksaan a. Darah lengkap
Penunjang b. Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain…
c. Pengecatan gram
d. Urin lengkap
e. elektrokardiografi
f. bila perlu foto dada
g. Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak
8. Terapi 1.Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing
dengan selang waktu ≥ 24 jam. Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari
2.Tatalaksana medikamentosa
Tujuan mengobati penderita difteri adalah menginaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteri
a. Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada
difteri sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva)
20.000 iu.
b. Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3).
Jika didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3)
c. Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS.
d. Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis.
9. Edukasi a. Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi
sesuai usia
b. Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat
c. Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus
d. Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan
pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah
neuritis seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam)
DIPHTHERIA
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang
imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery.
2) Anamnesis - 1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain
- 2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
- 3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea
- 4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit “flushing”, ruam seperti
morbili
- 5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau
gejala saluran cerna berupa diare ringan.
- 6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3) Pemeriksaan Fisik • Penting menentukan hari sakit keberapa saat penderita datang
• Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel
sekali
• Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun
sekitar 37-38oC saat mau memasuki periode kritis.
• Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit
(“flushing”), atau berupa ruam seperti morbili
• Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala
perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea
• Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan
• Dapat dijumpai hepatomegaly
4) Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinik
2. Leukopenia, mungkin disertai trombositopenia, SGOT (dan SGPT) meningkat
3. NS1 antigen dengue +
4. Ig M dengue +
Diagnosis 1. Diagnosis probable infeksi virus dengue berdasar adanya keluhan panas tinggi yang timbul mendadak
disertai 2 dari gejala yang lain (nyeri, flushing/ruam, tanda perdarahan RL tes +/perdarahan spontan) disertai
leukopenia, dan mungkin SGOT dan SGPT meningkat
2. Dalam perjalanan klinik setelah panas turun infeksi virus dengue akan menjadi :
- Undifferentiated fever yang tidak disertai trombositopenia dan plasma leakage, atau
- Dengue fever yang disertai trombositopenia tanpa plasma leakage atau
- Dengue haemorrhagic fever yang disertai trombositopenia dan plasma leakage atau
- Unusual clinical manifestation/expanded dengue syndrome, berupa infeksi virus dengue dengan keterlibatan
organ hepar (liver involvement), organ central nerve system (CNS involvement), organ jantung dan
keterlibatan organ lainnya atau adanya perdarahan yang massif
3. Untuk penderita infeksi virus dengue yang tak disertai trombositopenia dan plasma leakage, pemeriksaan
etiologi dengan memeriksa NS1 antigen dengue, Ig M dan Ig G dengue menjadi sangat perlu untuk diagnosis
infeksi virus dengue.
6) Diagnosis Banding 1.
Infeksi virus Chikungunya
2.
Demam typhoid awal
3.
Exanthema subitum
4.
Sepsis
5.
Malaria
6.
Morbili, rubella
7) Pemeriksaan Penunjang a. Darah lengkap, dijumpai leukopenia
b. SGOT biasanya sedikit meningkat sedangkan SGPT lebih jarang meningkat
c. Pada hari sakit ≤ 3, periksa NS1 Antigen Dengue
d. Pada hari sakit ke 4 periksa NS1 Antigen Dengue dan Ig M-Ig G Dengue
e. Pada hari sakit ≥ 5 periksa Ig M dan Ig G Dengue
8) Terapi 1. Pada penderita yang datang pada periode febris, maka pengobatan yang diberikan :
• Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali
• Hindari asam salisilatdan ibuprofen
• Antibiotika tidak diperlukan
• Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya
• Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita
tidak mau minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula
Halliday Segar yang dikenal sebagai formula cairan rumatan)
Berat badan ( kg ) Vol cairan rumatan 24 jam
10 100 cc / Kg BB
10 – 20 1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg
20 1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg
Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari
2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda
klinik sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat.
Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah :
Nyeri abdomen
Muntah persisten
Perdarahan
Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik
Lethargi/restlessness
Hepatomegali > 2 cm
Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat
Penderita tampak loyo, dan pada perabaan terasa dingin
3. Apabila ditetapkan rawat inap, maka pemberian cairan rumatan intravena diberikan, kemudian di follow up
apakah pada waktu panas mulai turun, penderita menjadi undifferentiated fever, dengue fever, dengue
haemorrhagic fever ataukah unusual clinical manifestation of dengue viral infection
9) Edukasi 1) Perjalanan klinik infeksi virus dengue secara umum, dan keberadaan penderita dalam perjalanan
klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan. Pengobatan utama adalah cairan.
3) Prognosis penderita
4) Program 4M Plus (menguras, menutup, mengubur, dan mencegah perindukan/sarang nyamuk)
5) Identifikasi kasus lain di lingkungan sekitar.
10) Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi A
13) Penelaah Kritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali.
2) Anamnesis a) Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemismalaria.
b) Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat, mialgia,
dan atralgia.
c) Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demamdengan interval
tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demampasien merasa lemah, nyeri
kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
d) Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atauinfeksi ber
ulang dari satu jenis Plasmodium), demam dapat berlangsung terus menerus (tanpa interval),
e) Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
f) Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage), dan stadium
berkeringat (sweating stage).
g) Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali bermanifestasisebagai kejang
h) Pada sebagian kasus akan didapatkan kesadaran yang menurun, atau urine berwarna coklat, atau
ikterus.
3) Pemeriksaan Fisik a) Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah , diare, ikterus, dan hepato-splenomegali.
b) Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu atau lebih kelainan
sebagai berikut:
• Hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasite
• Malaria serebral dengan kesadaran menurun
• Anemia berat, kadar hemoglobin <7 g/dl
• Perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata
• Ikterus, kadar bilirubin serum >50 mg/dl
• Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
• Gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis <400 ml/24jam
• Hiperpireksia
• Edem paru
• Syok, hipotensi, gangguan asam basa
• Urine berwarna coklat (black water fever)
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Malaria Berat (ICD 10: B 50.0)
6) Diagnosis Banding a) Demam tifoid
b) Meningitis
c) Apendisitis
d) Gastroenteritis
e) Hepatitis
f) Influenza dan infeksi virus lainnya
g) Sepsis
h) Riketsiosis
7) Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan apus darah tepi:
Tebal: ada tidaknya Plasmodium
Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia
b) RDT
c) Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi:
i)DPL, HJ, LED
ii) Urinalisis
iii) SGOT, SGPT, bilirubin T/D/I
iv) Alkali fosfatase, albumin
v) Ureum, kreatinin
vi) AGD dan elektrolit
vii) Gula darah sewaktu
viii) EKG
ix) Foto toraks
x) Analisis cairan serbrospinalis
xi) Hitung parasite
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan
2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. Artemeter
diberikan dengan dosis 1,6mg/kgbb intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya artemeter diberikan
1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat
minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat
artemisinin parenteral. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500
mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan
dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai
penderita dapat minum obat, selanjutnya diberikan kina peroral sampai 7 hari.
Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan
kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgbb.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya
dalam Dextrose 5%
6) Klorokuin tidak lagi dapat digunakan untuk semua jenis malaria di Indonesia
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat,
disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia,
hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab
2) Anamnesis a) Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup :
- Riwayat luka bakar luas
- Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
- Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
- Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
b) Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang
disusul dengan hipotensi
c) Gelisah dan agitasi
d) Letargi
e) Muntah
h) Parasetamol
i) Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
j) Inhalasi
k) Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi
l) Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
9) Edukasi a) Tirah baring
b) Imunisasi
c) Perbaiki nutrisi
d) Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
e) Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
10) Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
11) Tingkat Evidens IV
12) Tingkat Rekomendasi C
13) Penelaah Kritis
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
TETANUS
1. Pengertian (Definisi) Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda
utama spasme tanpa gangguan kesadaran.
2. Anamnesis - Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar
cairan dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port d’entree
- Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada
BUMIL/WUS.
- Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia)
karena kekakuan otot masseter
- Anak atau bayi sadar
- Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan
- Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit
membuka mulut sampai terjadinya kejang
3. Pemeriksaan Fisik - Penderita sadar
- Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat
menetek, mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar.
- Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat
pasien ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau
kejang spontan
- Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak
spastik/boxing position)
- Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan
irama jantung sampai gangguan hemodinamika.
- Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya):
Derajat I (tetanus ringan)
• Trismus
• Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
• Tidak dijumpai disfagia atau kejang
• Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
• Trismus sedang
• Kekakuan umum makin jelas
• Dijumpai kejang rangsang tanpa kejang spontan
TETANUS
• Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv;
apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
• Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
3. Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
• Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
• Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan
syringe pump dengan dosis:
- Tetanus ringan : 0,8 cc/jam
- Tetanus sedang : 1,2 cc/jam
- Tetanus berat : 1,6 cc/jam
• Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/24 jam
- neonatus 120 mg/24 jam
• Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa
kurarisasi .
• Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus.
• Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada
gangguan saraf otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial
perlu dinaikkan secara titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya reflex
patella dan penurunan tekanan darah pada anak besar
4. Perawatan luka atau port d’entre
Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan
5. Terapi suportif
• Bebaskan jalan nafas
• Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
• Pemberian oksigen
• Perawatan dengan stimulasi minimal
• Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak
memperkuat kejang
• Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
• Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
TETANUS
14. Indikator Medis Perbaikan klinis, termasuk penderita sudah tidak panas dan sudah bisa makan dan minum
Tidak tampak spasme ataupun trismus
Luka/port d’entrée dirawat dengan baik
Setelah 10 hari perawatan
Sekuele
- Spasme berkurang setelah 2-3 minggu namun kekakuan dapat berlangsung sampai 6-8 minggu
pada kasus yang berat
- Gangguan otonon dimulai beberpa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu
Tumbuh Kembang
- Bisa terjadi gangguan tumbuh kembang pada kasus tetanus neonatorum karena akibat hipoksia
yang berat
15. Kepustakaan 1. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics,
17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004 : 951.
2. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nd ed, 2003 :
981.
3. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40.
4. Cristie AB, 1987. Tetanus dalam infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4th ed. Churchill
living stone, Edenburgh, hal. 759-786.
5. Irwantono FJ, Ismoedijanto, M. Faried Kaspan, Dwi Atmadji Soejoso. Parwati SB, 1978. evaluasi klinik
tetanus neonatorum selama 7 tahun. KONIKA IV, Yogyakarta.
6. Ismoedijanto, Koeswardoyo, Dwi AS, S. Soegianto, IGN Gde Ranuh, 1981. Diazepam dosis tinggi pada
tetanus neonatorum. Naskah lebgkap diskusi kelompok tetanus neonatorum, KONIKA V, Medan.
7. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis
Childhood, 53 : 737-79.
8. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. Clin
pharm therap 4 : 36-61.
9. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, hal. 1-
16.
10. Rizal Altway 2006. Perbandingan kriteria derajat berat penyakit tetanus antara kriteraia Surabaya dan
kriteria Ablett. Karya Akhir.
11. Ismoedijanto, Nasiruddin, B Wahyu. 2004. High dose diazepan in treatment of severe tetanus. South
East Asia Journal of Tropical medicine and hygine.
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,
1) Pengertian (Definisi) Demam tanpa penyebab yang jelas adalah gejala demam akut dengan penyebab yang tidak jelas sesudah
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara teliti dalam periode demam kurang dari 7 hari.
2) Anamnesis a) Riwayat imunisasi
b) Adanya paparan terhadap infeksi
c) Adanya tanda-tanda keganasan seperti nyeri, pembesaran organ dan perdarahan
d) Adanya gejala:
• nyeri menelan
• nyeri telinga
• batuk, sesak napas
• muntah, diare
• nyeri/menangis waktu buang air kecil
3) Pemeriksaan Fisik a) Suhu rektal >38oC
b) Tentukan derajat sakitnya
c) Subjektif (lihat tabel YOS)
• Kualitas tangis
• Reaksi terhadap orangtua
• Tingkat kesadaran
• Warna kulit/selaput lendir
• Derajat hidrasi
• Interaksi
4) Kriteria Diagnosis a) Sesuai dengan anamnesis
b) Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5) Diagnosis kerja Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R 50)
6) Diagnosis Banding a) Dengue
b) Otitis media
c) Abses
d) Osteomielitis
e) Riketsia
f) Chlamydia
g) HIV
h) Infeksi HSV
i) Infeksi jamur
j) Keganasan
k) Autoimun dan penyakit kolagen
l) Infeksi Saluran Kemih
m) Pneumonia
n) Gastroenteritis bakterial
o) Meningitis
p) Endokarditis
7) Pemeriksaan a) Darah lengkap, LED
Penunjang b) Hitung jenis
• Leukosit > 15.000/μl meningkatkan risiko bakteremia menjadi 3-5%, bila > 20.000/ μl risiko
menjadi 8-10%
• Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung neutrofil absolut lebih sensitif dari hitung
leukosit atau batang absolut
• Hitung absolut neutrofil > 10.000/μl meningkatkan risiko bakteremia menjadi 8-10%
c) Urinalisis
d) Procalsitonin
e) Biakan urin dan feses
f) Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bakteremia dapat berkembang
menjadi infeksi bakteri
g) Biakan darah dan urin jamur
h) Tes mantoux
i) Rontgen toraks
j) Ekokardiografi
k) USG/CT-scan kepala
l) USG/
m) Hapusan darah tebal dan tipis
n) ANA dan anti ds-DNA
o) IgG,A,M,E
p) CD4 dan CD8
q) BMP
r) Jika tersedia IgM dan IgG untuk penyakit riketsia seperti scrub typhus
8) Terapi a) Berdasarkan kecurigaan temuan klinis
b) Suportif
c) Paracetamol
d) Cairan parenteral
e) Antibiotika Empirik dapat digunakan :
• Amoksisilin 60 –100 mg/kgbb/hr atau Amoksisilin-Clavulanat atau Ampisilin-Sulbactam
• Seftriakson 50 –75 mg/kgbb/hr maksimum 2 g/hr
• Bila alergi terhadap kedua obat tersebut, pilih obat lain sesuai dengan hasil ujiresistensi
9) Edukasi a) Nutrisi dan istirahat cukup
Surabaya,
Ketua Komite Medik Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
Prof. Dr. Doddy M. Soebadi, dr., Sp.B, SpU(K) Sjamsul Arief, dr., MARS., Sp.A(K)
Pembina Utama Madya Pembina Utama
NIP. 19490906 197703 1 001 NIP. 19510303 197612 1 001
Direktur RSUD Dr Soetomo Surabaya,