Anda di halaman 1dari 50

ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe)

ICD10 : D.50.9

1. Definisi
Anemia defisiensi Besi (Fe) adalah anemia yang disebabkan defisiensi zat besi untuk mensintesis
hemoglobin normal yang disebabkan oleh konsumsi atau intake besi yang kurang, kehilangan darah
yang kronis atau kombinasi keduanya. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang tersering di
dunia.

2. Etiologi
 Intake yang kurang
 Absorpsi yang tidak adekuat
 Meningkatnya jumlah kebutuhan
 Kehilangan darah
a. Perinatal
i. Plasenta
1. Perdarahan transplasenta ke sirkulasi materna
2. Retroplasenta
3. Intraplasenta
4. Perdarahan janin atau saat sebelum lahir
5. Perdarahan feto-fetal pada kembar satu telur
6. Abnormalitas plasenta
ii. Umbilikus
1. Ruptur ataupun abnormalitas umbilical cord
2. Inadequat co

3. Patogenesis
Apabila tidak terdapat besi yang cukup untuk produksi hemoglobin normal maka akan terjadi anemia
dimana sel darah yang diproduksi kecil dan pucat(mikrositik hipokrom) .Keadaan anemia defisiensi
besi akan melalui 3 stadium yaitu :
1. Stadium 1 (deplesi besi)
Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot,imana kadar besi dalam serum
dan kadar hemoglobin masih normal.
2. Stadium 2 (defisiensi besi)
Kadar besi dalam serum mulai menurun,tetapi kadar Hb dalam darah masih normal.
3. Stadium 3 (anemia defisiensi besi)
Ditandai penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar feritin
dan besi dalam serum

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Anak tampak pucat, lemah, mudah lelah, sering berdebar-debar dan sakit tulang.
 Faktor predisposisi:
- Konsumsi besi yang kurang
- Absorbsi yang tidak adekuat
• Besi pada asi lebih sulit diabsorbsi dibandingkan susu sapi
• Pada pH lambung yang tinggi atau pada anak dengan konsumsi antasida
• Pada penyakit atau gangguan pada saluran pencernaan
- Kehilangan darah yang kronis
• Perinatal (perdarahan saat masih di dalam dikandungan )
o Putusnya tali pusat sebelum waktunya
o Pengikatan tali pusat yang tidak benar
o Setelah transfuse tukar
• Post natal
o Hipersensitifitas pada susu sapi
o Gastritis pada penggunaan steroid, NSID dan fenilbutazon
o Infeksi parasit
o Riwayat Henoch-Schonlein purpura
• Pada infant
o Peningkatan kebutuhan besi
• BBLR, prematuritas, multi gravida, hipoksia kronik, penyakit jantung bawaan
sianotik, kadar Hb yang rendah saat lahir,
o Kehilangan darah atau perdarahan saat persalinan
o Riwayat diet
 Pemberian susu sapi dan makanan padat yang terlalu cepat
 Makanan dengan kadar besi yang kurang
 Konsumsi vitamin C yang kurang
 Konsumsi daging yang kurang
 Pemberian ASI lebih dari 6 bulan tanpa suplementasi besi

b. Pemeriksaan Fisik
 Anemis, tidak ikterus, mungkin ditemukan atrofi papil lidah, pada anemia kronis dapat terjadi
pembesaran jantung dan bising sistolik fungsional yang dinamakan “Pan Systolik Murmur ”.
 Hepar dan lien tidak membesar.
Biasanya tidak tampak sakit berat karena perjalanan penyakit menahun kecuali bila Hb rendah
sekali

c. Pemeriksaan Penunjang

- Hemoglobin: nilai Hb yang rendah


- Kadar MCV < 79 CU, MCH < 27µg, MCHC < 32%,
- Pada apusan darah tepi: hipokrom-mikrositik, anisositosis, poikilositosis,sel pensil dan sel target
- Serum iron merendah dan IBC meningkat, kadar ferritin serum menurun.
- FEP (free erythrocyte protoporphyrin) yang meningkat
- Terapi percobaan dengan Sulfas ferosus 3 mg/kgBB per hari selama satu bulan.
Kriteria diagnosis menurut WHO:
- Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
- Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N:32-35%)
- Kadar Fe serum <50Ug/dl (N:80-180U/dl)
- Saturasi transferin <15% (N:20-50%)
- Ferritin <20mg/ml

5. Diagnosis Banding
Anemia Penyakit Kronik Thalasemia Hemoglobinopati
Thalasemia trait
Hemoglobinopati

6. Diagnosis Kerja
Anemia defisiensi besi

7. Tatalaksana

Terapi
1. Mencari faktor penyebab dan mengobati sesuai standar profesi misalnya terhadap ankilostomiasis
2. Memberikan makanan yang banyak mengandung Heme Fe seperti daging dan hati
3. Besi elemental 3-5mg/kgBB diberikan 3x sehari
4. Pemberian suplemen besi pada bayi dengan berat lahir rendah:
• Infant 1,5 – 2,0 kg : 2 mg/kgBB/hari
• Infant 1,0 – 1,5 kg : 3 mg/kgBB/hari
• Infant < 1 kg : 4 mg/kgBB/hari
5. Tranfusi: Diberikan packed red cell, apabila terdapat tanda-tanda gangguan oksigenasi atau kadar Hb
<6g%. Jumlah yang diberikan = kenaikan Hb yang diinginkan XBB (kg) X4, dengan catatan makin
rendah Hb anak maka dosis tiap kali transfusi perhari menjadi semakin kecil (berkisar antara 5-
10cc/kgBB/hari)

Edukasi
Menganjurkan pemberian ASI untuk bayi dan pemberian preparat besi pada bayi premature sampai usia 1
tahun atau pemberian makanan tambahan yang mengandung suplemen besi pada usia 4-6 bulan

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Kawsari, Zlotkin Stanley, Parkin P. Iron Deficiency Anemia in Childen. Canadian Paediatric
Surveilance. 2011.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


ANEMIA HEMOLITIK (THALASSEMIA)
ICD10 : D.56

1. Definisi
Merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan defek genetik (mutasi) pada gen-
gen globin yang ditandai oleh berkurangnya atau tidak disintesis satu atau lebih rantai globin
pembentuk hemoglobin

2. Etiologi
Delesi atau mutasi gen yang diturunkan atau diwariskan

3. Patogenesis
Kelainan pada thalasemia disebabkan oleh delesi genetik (Thalasemia a) atau karena adanya mutasi
genetik (Thalasemia B) Hilangnya salah satu gen tidak akan memberikan gejala klinis.Sedangkan
hilangnya 2 gen hanya akan bermanifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas.
Hilangnya 3 gen (penyakit H) menyebabkan anemia moderat dan gambaran klinis sebagai
thalassemia-a- intermedia

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan anemia umumnya: anak pucat yang lama (kronis), lemah, mudah lelah, sering berdebar,
perut membesar (akibat hepato splenomegali), gangguan pertumbuhan, riwayat transfusi
berulang, adanya riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (thalassemia).
b. Pemeriksaan Fisik
Anemis/pucat, pertumbuhan terganggu atau short stature, “Facies cooley”, pembesaran hati dan
limpa, gizi kurang/buruk, hiperpigmentasi kulit, pubertas terlambat.
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
 Kadar Hb Rendah
 Retikulosit tinggi
 “Blood film“: anisositosis, poikilositosis, hipokrom, seltarget(+), fragmentosit, seleritrosit muda
(normoblast).
 Kadar HbF lebih dari 1% dan atau ditemukan Hb Patologis pada Hb analisa
Radiologi:
 Pada tulang-tulang panjang akan tampak gambar osteoporosis serta kortek tulang menipis akibat
medulla yang melebar.
 Pada tulang tengkorak tampak atap tulang tengkorak yang menebal,kadang-kadang tampak
“HairBrushAppearrance”.
5. Diagnosis Banding
- Anemia defesiensi Fe
- Anemia Sideroblastik
- Anemia defisiensi G6PD

6. Diagnosis Kerja
Thalassemia β mayor

7. Tatalaksana
Terapi
1. Transfusi darah. Diberikan “Packed red cell leuco depleted” dan untuk pertama kali diberikan bila
Hb < 7g/dl yang diperiksa berturut-turut dengan jarak 2 minggu atau Hb ≥7g/dl disertai gejala:
perubahan muka, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang dan terdapat hematopoeitik
ekstrameduler. Pada penanganan selanjutnya, transfuse diberikan bila Hb <9g/dl dan dipertahankan
Hb12g/dl.
2. Pemberian “Iron Chelating Agent”atau kelasi besi jika didapatkan kadar ferritin ≥1000. Preparat
kelasi besi yang digunakan adalah Deferiprone (ferriprox) dengan dosis 50-100mg/hari
(3xperhari), Deferasirox (exjade) dengan dosis 75-100mg/hari (1xperhari) dan Deferoxamine
(desferal) dengan dosis 30-50 mg/kg selama 5 hari dalam seminggu.
3. Diet yang adekuat, roboransia.
4. Pemberian asam folat 2x5mg/hari, vitaminE 2 x 200IU/hari, Aspilet 80mg jika trombosit
>600.000/µl

Edukasi
 Seluruh keluarga diperiksa. Bila ada pembawa sifat diberikan marriage counseling sebelum menikah.
 Saran Keluarga Berencana.
- Bila mendapatkan anak dengan fenotif normal, dianjurkan untuk KB
- Bila tidak mendapatkan anak dengan fenotif normal, boleh punya anak lagi dengan kemungkinan
thalassemia atau membawa sifat thalassemia.
- Pencegahan terhadap infeksi, misalnya infeksi saluran pernapasan

8. Komplikasi dan Prognosis

Advitam: dubia ad bonam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam: dubia ad bonam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
ICD10:C.91.0

1. Definisi
Adalah suatu keganasan pada seri granulopoetik ditandai dengan akumulasi limfoblas di sum-sum
tulang dan merupakan keganasan tersering pada anak.

2. Patogenesis
Leukimia terjadi akibat proliferasi berlebihan sel darah putih yang imatur dalam jaringan tubuh yang
membentuk darah. Patologi dan manifestasi klinis sangat ditentukan oleh infiltrasi dan penggantian
setiap jaringan tubuh dengan sel sel leukimia yang nonfungsional. Tiga akibat utama dari dari
infiltrasi sumsum tulang adalah anemia,infeksi dengan netropenia dan tendensi terjadinya
perdarahan.

3. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Pucat mendadak, demam, perdarahan kulit berupa bercak kebiruan, perdarahan dari organ tubuh
lainnya misalny aepistaksis, perdarahan gusi, hematuria dan melena.
 Bisa timbul mual, muntah, pusing dan nyeri pada sendi.
 Sering demam dengan sebab yang tidak jelas.

b. Pemeriksaan Fisik
 Kulit : Tanda perdarahan; petechie, hematom, ekimosis,
 SSP : Nyeri kepala, muntah, papil edema, hemiparese, kejang, gejala TIK meningkat
 Mata : perdarahan subkonjungtiva hingga perdarahan retina
 THT : Linfadenopati, Miculicz syndrome
 Jantung : kardiomegali ec anemia, tahikardi, hipotensi dengan gejala gagl jantung
 Paru : Efusi pleura,
 Gastro intestinal : Hepato-splenomegali
 Ginjal : Hematuri, perbesaran ginjal, hipertensi
 Muskuluskeletal : nyeri tulang dan sendi, osteolisis, perdarahan sendi

c. Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi: leukositosis atau hiperleukositosis yang hebat atau limfositosis relative disertai
gambaran penekanan sum-sum tulang berupa anemia, trombositopenia, netropenia, disertai
adanya sel-sel blast (limfoblast>5%)
 BMP: sistem eritropoetik, granulopoetik tertekan, limfoblast≥10%
 Apabila terjadi infiltrasi ke SSP maka dapat ditemukan sel-sel leukemia dalam cairan
serebrospinalis
4. Diagnosis Banding
 AML
 Reaksi Leukemoid
 Anemia aplastik
 ITP
 Infiltrasi tulang pada solid tumor (metastasis)
 Rheumatoid Fever

5. Diagnosis Kerja
Leukemia Limfoblastik Akut Resiko Tinggi (ALL HR)
Leukemia Limfoblastik Akut Resiko Standar (ALL SR)

Klasifikasi:
Kelompok “ French American British” (FAB), mengklasifikasikan ALL dalam 3 golongan yaitu L 1,
L2 dan L3 berdasarkan gambaran pada histopatologinya.
Klasifikasi FAB ini dapat dipergunakan untuk meramalkan prognosa:
L1: lebih baik dari L
L2: lebih baik dari L3
L3: Prognosa Jelek

6. Tatalaksana
Terapi
Pengobatan
 Menggunakan Protokol Indonesia 2013, yang terbagi atas:
1. Protokol Indonesia 2013 ALL-SR
2. Protokol Indonesia 2013 ALL-HR

Edukasi
Mencegah perdarahan, infeksi selama dilakukan kemoterapi

7. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

8. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 5-20
9. Algoritma
Protokol 2013 ALL HR dan ALL SR

Kepustakaan
Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


HEMOFILIA
ICD10 : D.68.311

1. Definisi
Hemofilia merupakan suatu penyakit genetik atau gangguan perdarahan yang bersifat herediter
akibat kekurangan faktor pembekuan VIII dan IX. Saat ini dikenal dua bentuk hemofilia, yaitu
hemophilia A karena kekurangan faktor VIII (anti hemophilic factor) dan hemophilia B karena
kekurangan faktor IX (Christmas factor).

2. Etiologi
Kurangnya faktor pembekuan VIII (hemophilia A) dan IX (hemophilia B)

3. Patogenesis
Dasar abnormalitas pada hemofili adalah defisiensi atau gangguan fungsi salah satu faktor
pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A serta kelainan faktor IX pada Hemofilia B dan faktor
XI pada hemofilia C.Salah satu komplikasi berat pada penerita hemofilia adalah terbentuknya
neutralizing alloantibody atau inhibitor.Inhibitor adalah suatu poliklonal antibodi
immunoglobulin(Ig)G engan afinitas tinggi yang berfungsi menghancurkan substansi yang tidak
ikenali.Paa penerita hemofilia,inhibitor ini langsing melawan faktor VIII,IX an XI selama diberikan
terapi penggganti .

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Perdarahan yang sukar berhenti setelah atau tanpa adanya trauma/operasi
 Perdarahan pada sendi dan otot yang mengenai pembuluh darah besar.
 Riwayat/silsilah keluarga dengan hemofilia

b. Pemeriksaan Fisik
 Hemartrosis
 Hematom Intramuskular
 Hematuria
 Perdarahan mukosa (mulut, gigi, epistaksis, GEH)
 Resiko tinggi perdarahan:
o SSP( Intra cranial, intra spinal)
o Retrofaringeal
o Retroperitoneal
o Perdarahan karena trauma (femur, tibia, perineal, otot fleksi pada tangan dan bokong)

c. Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi: pada saat awal normal (Hb, leukosit, trombosit)
 Masa perdarahan normal, masa pembekuan memanjang, rumple leed negatif
 PTT atau aPTT memanjang. PT dan TT normal
 Pemeriksaan FVIII atau FIX kurang dari normal.

5. Diagnosis Banding
Penyakit Von Willebrand

6. Diagnosis Kerja
- Hemofilia A
- Hemofilia B

Tipe Persentasi Faktor Tipe perdarahan


VIII/IX
Berat (severe) <1 Spontan, hemartrosis dan perdarahan jaringan lunak,
Moderate/ 1–5 Perdarahan berat pada trauma ringan atau berat, hemartrosis,
Sedang kadang dengan perdarahan spontan
Mild/ringan 5-25 Perdarahan berat hanya pada trauma sedang dan berat atau
operasi

7. Tatalaksana
Terapi
a. Keadaan emergensi/penderita baru dan jenisnya belum jelas diberikan plasma segar.
b. Pengobatan khusus tergantung jenis dan derajat hemofilia:
 Hemofilia A diberi konsentrat faktorVIII
 Hemofilia B diberi konsentrat faktor IX
Bila tidak ada konsentrat:
 Hemofilia A diberi Kriopresipitat
 Hemofilia B diberi plasma segar
c. Pemberian konsentrat secara intravena selama 5-10menit, dosis sesuai derajat hemofilia
 Hemofilia Ringan: faktor pembekuan 5-10%, dosis Konsentrat 10 Iu/kgBB, akan meningkatkan
faktor VIII sebesar20%
 Hemofilia Sedang: faktor pembekuan1-5%, dosis konsentrat 15-25Iu/kgBB, akan meningkatkan
faktor VIII sebesar30-50%, dosis maintenans10-15Iu/kgBB setiap8-12jam
 Hemofilia Berat: faktor pembekuan <1%, dosis konsentrat 40-50Iµ/kgBB, akan meningkatkan
faktor VIII sebesar 80-100%, dosis maintenans 20-25Iu/kgBB setiap8-12jam
Pengobatan tergantung derajat hemofilia:
- Hemofilia berat : tidak menunggu perdarahan, langsung terapi substitusi dengan anti
hemophilia setiap hari sampai mencapai target faktor pembekuan>5%.
- Hemofilia sedang : tergantung adanya perdarahan terutama perdarahan sendi

Edukasi
Pencegahan perdarahan
- Semua penderita dibatasi aktivitas fisik, dinasehatkan dilarang olah raga yang menyebabkan
benturan fisik seperti sepak bola, beladiri, bersepeda
- Cara hidup penderita antara lain: jika sekolahnya bertingkat sebaiknya kelasnya di lantai bawah,
dirumah jangan banyak perabot (meja) yang banyak siku-siku, rak buku jangan tinggi sehingga
penderita tidak perlu memanjat untuk mengambilnya
8. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
 Perdarahan intracranial
 Kerusakan ginjal
 Hipertensi
 Splenomegali
 Artritis
 Atrofi otot
 Sirosis
 Hepatitis
 HIV

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


IMMUNE TROMBOSITOPENIA PURPURA(ITP)
ICD10 : D.69.3

1. Definisi
Immune thrombocytopenic purpura (ITP) yang disebut juga auto immune thrombocytopenic purpura,
morbus Wirlhof atau purpura hemorrhagica merupakan kelainan perdarahan (bleeding disorder),
akibat destruksi premature trombosit yang meningkat akibat auto antibody yang mengikat antigen
trombosit. Umumnya terjadi pada anak usia 2-4tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak
pertahun. ITP terjadi akut dan biasanya sembuh sendiri dalam 6 bulan, bila dalam waktu 6 bulan tidak
sembuh maka diagnosis menjadi ITP Kronis.

2. Etiologi
Idiopatik

3. Patogenesis
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang terdapat pada
membran trombosit,yang menyebabkan penghancuran terhadap trombosit yang diselimuti antibodi
(antibody-coated platelets) oleh makrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikuloendotelial.
Mega kariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat. Sedangkan kadar trombopeitin
dalam plasma merupakan progenitor proliferasi dan maturasi ari trombosit mengalami penurunan
yang berarti terutama pada ITP kronis.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
- Perdarahan spontan di bawah kulit, perdarahan dari hidung, perdarahan gusi, yang sering
didahului oleh demam/infeksi sebelumnya.
- Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus atau bakteri (infeksi saluran
napas atas, saluran cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola, varisela atau setelah
vaksinasi dengan virus hidup.
- Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit di dalam darah. Diawali dengan perdarahan
kulit berupa petekie hingga lebam. Perdarahan ini biasanya dilaporkan terjadi mendadak.
- Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin, aspirin dapat memicu terjadinya
kekambuhan. Obat yang mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko timbulnya perdarahan.

b. Pemeriksaan Fisik
- Adanya tanda-tanda perdarahan di kulit seperti petekie, ekimosis, epistaksis atau gusi berdarah
atau dapat pula terjadi anemia apabila perdarahan berlangsung lama/kronis. Rumple Leed test
positif.
- Tidak ada pembesaran hati dan limpa.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi:
Morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit biasanya normal.
Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
Anemia bisa terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak
Trombositopenia, besar trombosit umumnya normal, hanya kadang ditemui bentuk trombosit yang
lebih besar (giant platelets)
 Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
 BMP: Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik. Dilakukan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang bila gagal terapi selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
pembesaran hepar/lien/kelenjar getah bening dan pada laboratorium ditemukan bisitopenia.

5. Diagnosis Banding
- Penurunan produksi trombosit:
1. Kongenital: TAR syndrome, anemia fanconi, thrombositopenia amegakariositik
2. Didapat: leukemia,anemia aplastik, neuroblastoma, defisiensi nutrisi, obat-obatan

- Peningkatan destruksi trombosit:


1. Imun : Neonatal alloimmune Trombositopenia
2. Non imun : sindroma uremik hemolitik, DIC, penyakit jantung sianotik
- Gangguan kualitas trombosit: SindromWiskott-Aldrich, Sindrom Bernard Soulier, Anomali
May-Hegglin, Sindrom Gray Platelet
- Sekuestrasi: Sindrom Kasabach-Merrit, hipersplenisme

6. Diagnosis Kerja
- ITP Akut
- ITP Kronik

7. Tatalaksana
Terapi
1. Pengobatan
a. Pada penyakit pertama kali atau ITP akut
 Trombosit > 50 x 109/μl
Observasi sambil mencari kausa selama 2 minggu
Bila lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan atau trombosit menurun dengan perdarahan
yang masif, pengobatan dengan prednisone dengan dosis 2mg/kgBB/hari.
 Bila trombosit < 20 x 109/μl langsung diterapi prednisone
b. Pada ITP yang berulang
Bila ada perdarahan, trombosit turun, langsung diterapi prednison.
Keterangan:
- ITP akut, apabila terdapat episode perdarahan yang dapat mencapai remisi dalam beberapa hari
sampai minggu atau sampai waktu 6 bulan, biasanya terjadi pada anak usia 2-5 tahun
- ITP kronis/rekuren, apa bila episode trombositopenia terjadi dalam interval lebih dari 6 bulan,
biasanya terjadi pada anak usia >7tahun
2. Lama pengobatan:
 Bila remisi, prednisone tappering
 Bila eksarsebasi, terapi selama 6 bulan, kemudian stop
 Tak remisi, terapi 2 bulan, kemudian stop, diberi sitostatika (seperti: siklofosfamid,vincristin
atau vinblastin)
3. Alternatif lain dengan Imunoglobulin

Edukasi
Perawatan/PencegahanPerdarahan
Prinsip perawatan adalah mencegah perdarahan terutama perdarahan intrakranial:
- Penderita istirahat, menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan trauma kepala dan peningkatan
tekanan intracranial seperti lari, bersepeda, memanjat atau beladiri.
- Apa bila penderita batuk, segera diobati sesuai penyebab dan diberikan antitusif
- Mengusahakan defekasi yang baik dengan memberikan makanan yang mudah dicerna atau apa bila
kesulitan defekasi dilakukan klisma atau diberikan laksansia.
- Bila anak rewel, dicari dan diatasi faktor pencetusnya, kalau perlu diberikan sedatif.

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.

10. Algoritma

Kepustakaan

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


LIMFOMA HODGKIN
ICD10:C.81.7

1. Definisi
Limfoma Hodgkin merupakan penyakit yang progresif dengan perbesaran limfa nodus yang tidak
nyeri, disertai terhubungnya kelenjar limfe regional yang dikonfirmasi dengan hasil histopatologis
pada kelenjar yang dicurigai yang telah diinfiltrasi oleh sel-sel (histiosit, plasmosit, eosinofil dan
netrofil) dan sel Reed-Sternberg.

2. Etiologi
Idiopatik

3. Patogenesis
Sel reed sternberg mewakili komponen maligna Hogkin dimana asal usul sel ini sampai sekarang
belum diketahui .Sel ini tidak membawa penanda permukaan sel B dan T.Sel yang mirip reed
sternberg dari perbenihan tampak menimbulkan antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel
‘dendrit’ pada daerah parafolikel nodus limfatik.Berkurangnya kapasitas ‘memberitahukan ’ antigen
berkaitan dengan transformasi neoplasi sel ‘dendritik ’ mungkin menjelaskan adanya gangguan
imunitas sel T pada penyakit Hodgkin.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Ditemukan pembesaran kelenjar limfe (60-80% di temukan pembesaran kelenjar limfe leher)
yang tidak nyeri
 Penyebaran perbesaran kelenjar umumnya mulai dari saru regional ke yang lain
 Gangguan di luar limfe (batuk, sesak, disfagia dan perbesaran pembuluh darah colli)
 Demam tanpa diketahui penyebabnya.
 Penurunan berat badan lebih dari10% dalam waktu 6 minggu terakhir tanpa diketahui
penyebabnya.
 Berkeringat pada malam hari, lesu, nafsu makan menurun.

b. Pemeriksaan Fisik
 Limfadenopati, dapat sebagian ataupun generalisata dengan predileksi terutama daerah servikal
yang tidak terasa nyeri, diskret, elastis dan biasanya kenyal
 Splenomegali
 Gejala-gejala penyakit paru (bila yang terkena kelenjar getah bening mediastinum dan hilus)
 Gejala-gejala penyakit susunan saraf (biasanya muncul lambat).
c. Pemeriksaan Penunjang
 Gambaran Radiologis :
• Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening mediastinum
• Pada keadaan yang berat tampak gambaran sklerotik dan litik pada tulang (tersering pada
vertebra dan pelvis)
 USG abdomen : ditemukan pembesaran kelenjar getah bening paraaorta
 BMP: infiltrasi sel-sel limfoma pada sum-sum tulang

5. Diagnosis Banding
- Limfoma Non Hodgkin
- Metastasis
- Toxoplasmosis, Tuberkulosis, atipikal mikobakterium
- Thymus hyperplasia

6. Diagnosis Kerja
- Limfoma Hodgkin

7. Tatalaksana

Terapi
1. Stadium I dan II : Radioterapi.
2. Stadium III dan IV : Kemoterapi menurut protocol MOPP yang terdiri dari:
 Nitrogen mustard 6mg/m2
 Vincristin 1,4mg/ m2 pada hari pertama dan ke delapan
 Prednison 60mg/m2 mulai hari ke 1 – 14 kemudian tapering off
 Procarbazine100mg/ m2 mulai hari ke 1 – 14
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2 minggu, pengobatan diberikan selama18-24
bulan terus menerus.

Edukasi
Personal hygiene dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 63 – 73

10. Algoritma

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


LIMFOMA NON HODGKIN
ICD10:C.85.9

1. Definisi
Limfoma non Hodgkin adalah neoplasia dari sistem limfatik dan sel prekursornya dengan gangguan
genetik pada regulasi proliferasi, diferensiasi dan apoptosis.
Jika sum-sum tulang ikut terlibat, akan didapatkan gambaran klinis yang serupa dengan leukemia.

2. Etiologi
Idiopatik

3. Patogenesis
Perubahan pada limfosit normal menjadi sel limfoma (abnormal) adalah akibat mutasi gen pada salah
satu sel dari kelompok sel limfosit yang belum aktif yang berada di dalam proses tranformasi menjadi
imunoblas .Beberapa perubahan pada sel limfosit inaktif ialah ukuran bertambah besar dengan
kromatin yang lebih halus,nukleoli yang terlihat dan protein permukaan sel mengalami perubahan.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Pembengkakan kelenjar limfe pada daerah-daea dalam rah seperti leher, lipat paha, ketiak,
abdomen atau mediastinum.
 Terdapat gejala yang tidak khas seperti:
- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 6 bulan terakhir, tanpa diketahui penyebabnya.
- Sering demam, sering berkeringat malam, anak tampak lesu serta nafsu makan berkurang.

b. Pemeriksaan Fisik
 Abdomen: khususnya ileosecal, mesenterium, retroperitoneum dan ovarium:
o Nyeri perut, muntah
o Abstipasi, intussusepsi: pada anak > 6 tahun curiga NHL
o Gejala seperti apendisitis
o Ileus, asites dan gangguan berkemih
 Mediastinum:
o Terutama pada anterior dan bagian tengah mediastinum atau thymus area (batuk, dipsneu,
stridor, wheezing)
o Vena cava superior sindrom
o Efusi pleura
 Limfa nodus perifer:
o Tersering pada cervical, supraklavikular dan inguinal
o Limfanodus padat, multiple dan sering unilateral
 Gangguan pada SSP, kulit, otot, tulang, dada dan sistem lainnya, gejalanya tergantung lokasi.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Patologi Anatomi
 Rontgen thoraks : ditemukan pembesaran kelenjar getah bening mediastinum
 USG abdomen : ditemukan pembesaran kelenjar getah bening paraaorta
 BMP : infiltrasi sel-sel limfoma pada sumsum tulang.

5. Diagnosis Banding
- Limfoma Hodgkin
- Neuroblastoma
- Burkit limfoma
- Burkit like lymphoma
- Lymphoblastic lymphoma
- ALCL
- ALL

6. Diagnosis Kerja
Limfoma non Hodgkin

7. Tatalaksana
Terapi
Pengobatan
Kemoterapi menurut protocol COPP yang terdiri dari:
 Cyclophosphamide 800mg/m2/ hari pada hari pertama i.v
 Vincristin 2mg/m2/hari pada hari pertama i.v
 Prednison 60mg/m2 pada hari ke 1 – 7, kemudian tapering off
 Procarbazine100mg/m2 mulai hari pertama sampai hari ke-14 tapi tidak diberikan karena sulit
didapat.
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2 minggu, pengobatan diberikan selama 3 tahun
remisi terus menerus.

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
9. Referensi
Lanzkowsky,Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 63 – 73

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


TUMOR SEL GERMINAL(TERATOMA)
ICD10:C.62.90

1. Definisi
Merupakan tumor yang berkembang dari sel germinal embrional dan mungkin merupakan tumor dari
ektoderm, mesoderm dan endoderm.

2. Etiologi
Terbentuk dan berkembang selama kehidupan intrauterine yang berasal dari sel germinal pada saat
miosis pertama

3. Patogenesis
Teratoma tersusun atas berbagai jenis sel parenkimal yang berasal dari lebih dari satu lapisan
germinal dan sering berasal dari ketiga lapisan. Tumor ini berasal dari sel totipoten, umumnya pada
garis tengah atau para axial. Lokasi yang paling sering ditemukan adalah sacrococcygeal (57%).
Kemudian di gonad (29%). Lokasi gonad yang paling sering adalah pada ovarium, disusul testis.
Mediastinum (7%) retroperitoneal(4%) cervical(3%) dan intrakranial (3%). Sel sel beriferensiasi
sesuai lapisan germinal, yang terdiri dari berbagai jaringan pada tubuh, seperti rambut, gigi, lemak,
kulit, otot dan jaringan endokrin

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Teratoma tersusun atas berbagai jenis sel parenkimal yang berasal dari lebih dari satu lapisan
germinal dan sering berasal dari ketiga lapisan.Tumor ini berasal dari sel totipoten,umumnya
pada garis tengah atau para axial.Lokasi yang paling sering ditemukan adalah sacrococcygeal
(57%).kemudian di gonad (29%).Lokasi gonad yang paling sering adalah pada ovarium,disusul
testis. Mediastinum (7%) retroperitoneal(4%) cervical(3%) dan intrakranial (3%). Sel sel
beriferensiasi sesuai lapisan germinal, yang terdiri dari berbagai jaringan pada tubuh,seperti
rambut,gigi,lemak,kulit,otot,dan jaringan endokrin

b. Pemeriksaan Fisik
Tumor dapat diraba dengan ukuran bervariasi. Massa tumor biasanya terletak pada salah satu sisi
disamping garis tengah, walaupun ada beberapa yang membesar jauh dari tulang belakang. Massa
teraba keras/kistik atau cenderung berlobus-lobus atau irreguler. Kadang-kadang didapat
pelebaran vena pada dinding perut.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium:
Darah/urin rutin biasanya normal. Kimia darah dalam batas normal. Pada keadaan keganasan
dapat dijumpai peningkatan kadar alfafeto protein(AFP),β-hCG,dan LDH.
 Radiologi:
Pada BNO dapat dijumpai bayangan massa yang umumnya pada satu sisi abdomen dengan
udara terdorong ke dalam usus di luar massa tersebut. Dapat dijumpai bayangan kalsifikasi
yang irregular berupa bercak-bercak kornifikasi yang merupakan pembentukan tulang dan
gigi.
 Pada IVP: tampak pendorongan dari ginjal pada sisi yang sama dan mungkin akan mengalami
penekanan dengan tanda-tanda hidronefrosis karena penekanan ureter
 Patologianatomi

5. Diagnosis Banding
- Neuroblastoma
- Wilmstumor

6. Diagnosis Kerja
Teratoma

7. Tatalaksana
Terapi
Pengobatan
Terapi yang utama adalah pembedahan/pengangkatan massa tumor.
Bila dijumpai komponen ganas maka diberikan terapi radiasi atau pemberian kemoterapi berupa
Actinomycin D, Siklofosfamid danVincristin.

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier. 2011:
168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition. 2011: 63
– 73
10. Algoritma

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi
dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

TUMOR WILM
ICD10:C.64.9
1. Definisi
Tumor Wilms adalah tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefron. Tumor ini
merupakan tumor ganas ginjal primer terbanyak pada bayi dan anak, mencakup 6% dari seluruh
penyakit keganasan pada anak.

2. Etiologi
Belum diketahui dengan pasti namun diduga berhubungan dengan delesi kromosom 11.

3. Patogenesis
Tumor Willm dapat terjadi secara sporadik,berkaitan dengan sindroma genetik dan atau bersifat
familial.Oleh karena itu,Willms tumor diperkirakan merupakan abnormalitas genetik.Namun
demikian patofisiologi pasien ini sampai sekarang belum jelas benar..Tumor diperkirakan disebabkan
karena kegagalan jaringan blastoma berdiferensiasis menjadi struktur ginjal normal.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Adanya massa dalam perut (tumor abdomen) merupakan gejala awal tumor Wilms yang paling
sering(60%), kadang-kadang disertai nyeri perut.
 Hematuria (makroskopis) terdapat sekitar 25% kasus, akibat infiltrasi tumor ke dalam sistem
kaliks.
 Gejala lain berupa obstipasi, penurunan berat badan, diare, demam, malaise dan anoreksia. Pada
beberapa pasien dapat ditemukan nyeri perut yang bersifat kolik akibat adanya gumpalan darah
dalam saluran kencing

b. Pemeriksaan Fisik
 Tumor abdomen (berbatas tegas dan biasanya tidak melewati garis tengah
 Hipertensi (60% kasus)
 Demam
 Tanda-tanda sindrom yang berhubungan dengan tumor Wilms
 Pletore (karena polisitemia)
 Hematuria

c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
 LED meningkat.
 Padaurinalisa dapat ditemukan gross hematuria ataupun mikroskopis hematuria.
 Pada darah tepi dapat ditemukan anemia.
 Terjadi peningkatan pada alfafetoprotein.
Radiologis:
 Pemeriksaan USG harus segera dilakukan.
 Pada foto polos abdomen terdapat pembesaran ginjal
 PadaIVP: gambaran khas berupa distorsi dari pelvis renalis dan kaliks pada daerah yang terkena.
5. Diagnosis Banding
 Hepatoblastoma
 Tumor adrenokortikal
 Neuroblastoma
 Hidronefrosis
 Kistaginjal
 Mesoblastic nephroma
 Renal cell carcinoma

6. Diagnosis Kerja
Tumor Willm

7. Tatalaksana
Terapi
Prinsip pengobatan Tumor Willm adalah kombinasi dari pembedahan, kemoterapi dan radioterapi.
1. Pembedahan.
Dalam 24-48 jam setelah masuk rumah sakit diagnosis harus sudah ditegakkan dan segera
dilakukan moperasi.
2. Kemoterapi,tergantung stadium tumor.
a. Stadium I
Tidak diberikan kemoterapi pra bedah.
 Aktinomisin D15µg/kgbb/hari selama 5 hari dimulai dalam 24 jam setelah nefrektomi.
 Vinkristin1,5/m2 pada hari ke 1,7,15,21 paska bedah.
 Radioterapi tidak diberikan untuk:
1. Pasien kurang dari 2 tahun
2. Pasien berumur lebih dari 2 tahun, bila secara mikroskopis tidak ditemukan perluasan
sel tumor kedalam kapsul.
 Selanjutnya vinkristin dan aktinomisin D agar diberikan setelah 9 minggu, 3 bulan, 6
bulan, 12 bulan dan15 bulan paska bedah.

b. StadiumII
 Tidak diberikan kemoterapi prabedah. Aktinomisin D dan vinkristin diberikan dengan
dosis dan cara yang sama seperti pada stadium I.
 Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor dimulai bila mungkin dalam waktu 7 hari
setelah nefrektomi.
 Pemberian kemoterapi selanjutnya seperti pada stadium I, tetapi waktu pemberian:
6minggu, 3, 6, 9, 12 dan 15 bulan paska bedah.
c. StadiumIII
 Tidak diberikan kemoterapi pra bedah.
 Aktinomisin D dan Vinkristin diberikan dengan dosis dan cara yang sama seperti stadium I.
 Penyinaran terhadap seluruh abdomen.
 Kemoterapi pemeliharaan terdiri dari Vinkristin, Aktinomisin D dan Adreamisin.
Ketiganya diberikan pada 6 minggu,3 ,6 ,9 ,12 , 15 bulan paska bedah. Dosis dan cara
pemberian vinkristin dan aktinomisin D seperti biasa, sedangkan Adreamisan diberikan
dengan dosis 50mg/m2. Dosis pertama setelah penyinaran diturunkan menjadi 30mg/m 2.

d. StadiumIV
 Metastase ke paru-paru pada saat diagnosis dengan tumor primer dapat diangkat: tidak
diberikan kemoterapi pra bedah.
 Operasi pada hari I(nefrektomi), kemoterapi paska bedah seperti stadium II.
 Radioterapi diberikan sebagai berikut:
- Bila tumor pecah, penyinaran seluruh abdomen seperti pada stadium III, diberi 7 hari
setelah nefrektomi.
- Bila tumor tidak pecah, maka penyinaran seperti pada stadium II.
- Bila hanya terdapat metastase ke paru-paru, penyinaran terhadap lapangan paru ditunda
sampai penilaian respon kemoterapi yang pertama dilakukan.
- Bila metastase tidak menghilang diberikan penyinaran terhadap lapangan paru dengan
dosis 2.000 rad, untuk setiap lapangan paru dengan dosis ekstra 1.000 rad untuk setiap
metastase, sisa tumor diobati dengan operasi.
 Penyebaran hematogen: misalnya ke hati, tulang, dsb., pada saat didiagnosa diberikan
kemoterapi pra bedah, operasi dengan pengangkatan tumor primer.
 Kemoterapi paska bedah: Vinkristin, aktinomiosin D, dan Adreamisin 50mg/m 2
 Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor dan abdomen
 Kemoterapi pemeliharaan seperti pada stadium III
 Bila perlu dilakukan lobektomi hati sisa metastase
e. StadiumIV
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan penilaian secara individual demi pasien
(supportif)

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition. 2011:
125 – 133

10. Algoritma

Kepustakaan
Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)


RETINOBLASTOMA
ICD10:C.69.20

1. Definisi
Retinoblastoma adalah tumor ganas saraf retina embrional yang merupakan keganasan intraocular
yang paling sering terjadi pada anak.

2. Etiologi
Disebabkan oleh mutasi gen RB1 pada kromosom 13q14.

3. Patogenesis
Retinoblastoma biasanya tumbuh di bagian posterior retina. Terdiri dari sel sel ganas kecil, bulat yang
berlekatan erat dengan sitoplasma sedikit.Retinoblastoma ada 2, yaitu:
1.Tumor Endofitik
Tampak sebagai tumor tunggal dalam retina dengan fokus ganda. Tumbuh ke dalam dan mengisi ruang
vitreous.Mudah dilihat dengan oftalmoskop
2.Tumor Eksofitik
Tumbuh ke arah luar,menembus koroid, sklera dan N.Optikus. Diagnosis lebih sukar. Perluasan
retinoblastoma kedalam koroid biasanya terjadi pada tumor yang masif dan mungkin menunjukkan
peningkatan kemungkinan metastasis hematogen. Perluasan tumor melalui lamina kribosa dan sepanjang
saraf mata dapat menyebabkan keterlibatan susunan saraf pusat.Invasi koroid dan saraf mata
meningkatkan risiko penyakit metastase.
Retinoblastoma yang tidak ditangani dengan baik akan berkembang di dalam mata dan menyebabkan
lepasnya lapisan retina,nekrosis dan menginvasi nervus optikus ke arah sistem saraf pusat.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Pada tahap dini timbul gejala “cat's eye sign” dengan bintik hitam mata menjadi putih dan bila
terkena sinar mengkilat seperti mata kucing (cat’s eye sign). Sering kali penderita datang dengan
stadium yang sudah lanjut dalam bentuk bola mata membengkak atau menonjol, kadang menjadi
juling. Dapat adanya benjolan pada kelenjar limfe leher, sakit kepala, pusing dan nyeri pada
tulang

b. Pemeriksaan Fisik
Pada mata dijumpai adanya proptosis, leukoria unilateral atau bilateral. Pada leher dapat dijumpai
adanya pembesaran kelenjar limfe preaurikuler.

c. Pemeriksaan Penunjang
Tujuan: untuk menegakkan diagnosis dan staging
 USG orbita
 Ct scan dan MRI orbita dan kepala sangat berguna untuk mengevaluasi nervus optikus, orbital,
keterlibatan sistem saraf pusat dan adanya kalsifikasi intraokular
 Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan pada kasus yang diagnosisnya masih
meragukan dan merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah penyebaran ekstraokular
dari sel tumor
 Untuk melihat penyebaran ekstraokular: aspirasi dan biopsi sum-sum tulang, sitologi--cairan
serebrospinal, bone scan

5. Diagnosis Banding
Retinoblastoma intraokuler:
- Coat disease
- Persistent hyperplastic primary vitreus
- Retrolental fibroplasia
- Hamartoma retina
- Endoftalmitis
- Infeksi toksokara
- Hamartoma astrositik
- Medulo epitelioma
- Katarak
- Uveitis
Retinoblastoma Ekstraokular
- Selulitis orbital
- Neuroblastoma metastatik
- Rabdomiosarkoma orbital
- Leukemia
- limfoma

6. Diagnosis Kerja
Retinoblastoma

7. Tatalaksana

Terapi
Penatalaksanaan Retinoblastoma meliputi operasi (enukleasi), radioterapi dan kemoterapi.
1. Operatif/exenteratio orbita, dipertimbangkan apabila:
 Tumor meliputi >50% bola mata
 Dicurigai keterlibatan rongga orbita atau saraf optikus
 Terdapat keterlibatan segmen anterior dengan atau tanpa glaucoma neovaskular
2. Radioterapi:
Retinoblastoma termasuk jenis tumor yang respon terhadap radioterapi
 Stadium dini: dosis tiap hari:150-200rad(total dosis <2tahun: 3.500rad; total dosis >2 tahun:
4.000rad)
 Paska operatif: pelaksanaan segera bila keadaan umum baik
 Syarat radioterapi: Hb >8g%, leukosit >3.000/µl, trombosit >80.000/µl
3. Sitostatika:
 Siklofosfamid 300 mg/m2/ minggu i.v selama 3 minggu, dilanjutkan oral 250 mg/m2 dilanjutkan
oral 250 mg/m2 selama 5 hari berturut-turut dimulaihari 1-5.
 Methotrexate 20-25mg/m2/minggu dimulai hari ke-2
 Vincristin 2-2,5 mg/m2 /minggu, dimulai hari pertama minimal 6 minggu.
 Prednison dapat dipertimbangkan pemberiannya dengan dosis 40-50mg/m 2 peroral hari 1-4

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier. 2011:
168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition. 2011:
125 – 133

10. Algoritma

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)


OSTEOSARKOMA
ICD10:C.41.9

1. Definisi
Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang merupakan salah satu keganasan tersering pada
anak anak dan usia dewasa muda. Predileksi tersering pada lengan atas, tungkai, perbatasan dengan
lutut karena osteosarcoma muncul terutama pada daerah tulang besar dengan rasio pertumbuhan yang
cepat.

2. Etiologi
• Belum diketahui dengan jelas
• Berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan tulang
• Radiasi
• Alkilating agent dan antrasiklin mungkin dapat berhubungan dengan osteosarkoma sekunder
• Paget disease
• Genetik: diduga karena mutasi pada gen TP53 supresor

3. Patogenesis
Osteosarkoma lebih sering terjadi pada tulang ekstremitas yang posisinya dekat dengan metaphyseal
growth plate.Paling sering di daerah femur (42%) tibia ( 19%) dan humerus (10%).lokasi lainnya
adalah tengkorak ,rahang (8%) serta pelvis (8%).Osteogenik sarkoma secara histologis mempunyai
gambaran dari jaringan tulang atau osteoid serta gambaran pleomorf jaringannya. Pemeriksaan
histokimiad dapat menunjukkan adanya aktivitas alkali fofatase. Pada telangiektasis osteosarkoma
paa lesinya dapat ijumpai kantong darah yang dikelilingi sedikit elemen seluler yang sangat ganas.
Beberapa faktor risiko yang dikaitkan dengan patogenesis terjadinya osteosarkoma adalah : faktor
genetik (sindromFraumeni, Retinoblastoma familial, sindrom Werner, Rothmund Thompson,Bloom)
lesi tulang jinak ( Paget ,Osteomielitis kronis, displasia fibrosis,osteokondroma dll) Riwayat radiasi
dan atau kemoterapi, lokasi implan logam.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Penderita Osteosarkoma umumnya penderita mengeluh nyeri dan pembengkakan pada lokasi
tumor
b. Pemeriksaan Fisik
 Nyeri
 Palpasi adanya massa yang lunak dan panas
 Edema jaringan lunak
 Fraktur tulang (pada stadium lanjut)
 Keterbatasan Gerak
 Penurunan berat badan

c. Pemeriksaan Penunjang
 Foto X-Ray
Pada tulang menunjukkan reaksi periostal,gambaran litik dan sklerotik pada tulang,formasi
matrix osteoid di bawah periosteum dengan gambaran khas Codman ’s Triangle, Sun burst dan
moth eaten
Pada paru-paru dapat mengambarkan kemungkinan adanya metastase
 MRI
Untuk mengetahui eksistensi tumor, keterlibatan jaringan lunak sekitar serta mencari adanya
skip lessions.
 Bone scan(+) atau PET – CT ( optional )
Menyingkirkan adanya metastasis di tulang
 Biopsi (biopsi Aspirasi Jarum halus (FNAB), core biopsy)
Berguna untuk konfirmasi histopatologi penegakan diagnosis
 Laboratorium darah (LDH / ALP )
Untuk mengevaluasi status keadaan umum dan persiapan terapi
 Penilaian skor huvos untuk evaluasi histologik respons kemoterapi
Neo adjuvant pre operasi. Penilaian ini dilakukan secara semikuantitatif dengan
membandingkan luasnya area nekrosis terhadap sisa tumor yang riabel :
Grade 1 : sedikit atau tidak ada nekrosis (0 - 50%)
Grade 2 : nekrosis >50 - <90 %
Grade 3 : nekrosis 90 - 99 %
Grade 4 : nekrosis 100 %

5. Diagnosis Banding
 Ewings Sarcoma
 Osteomyelitis
 Osteoblastoma
 Giant Cell Tumor
 Aneurysmal bone cyst
 Fibrous Dysplasia

5. Diagnosis Kerja
Osteosarkoma
Klasifikasi Histologi

1. Intramedullary
a. High- grade intramedullary osteosarcoma
b. Low-grade intramedullary osteosarcoma
2. Surface
a. Parosteal osteosarcomas
b. Periosteal osteosarcomas
c. High –grade surface osteosarcoma
3. Extraskletal

Klasifikasi Stadium
Terdapat 2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkanMusculoskeletal Tumor Society (MSTS)
untuk stratifikasi tumor berdasarkan derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasar American
Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke 7.

Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking)


IA derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpa metastasis
IB derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanp ametastasis
IIA derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa metastasis
IIB derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, tanpa metastasis
III ditemukan adanya metastasis

Sistem Klasifikasi AJCC edisi ke 7


IA derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8
IB derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanyadiskontinuitas
IIA derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8
IIB derajat keganasan tinggi, ukuran > 8
III derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas
IVA metastasis paru
IVB metastasis lain

6. Tatalaksana
 Kemoterapi: preoperatif dan post operatif.
 Protokol standar: Doxorubicin dan Cisplatin dengan atau tanpa Metotrexate
 Operasi dengan prosedur Limb Salvage .Bila tidak memungkinkan, maka dilakukan tindakan
amputasi

Edukasi:
- Deteksi dini terhadap kelainan / benjolan yang tampak pada tulang
- Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

7. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam ; dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Beberapa faktor yang menentukan prognosis pada pasien osteosarkoma :
a. Lokasi tumor
b. Ukuran tumor
c. Umur pasien
d. Metastasis ( ada/tidak, lokasi metastasis )
e. Respons histologi terhadap kemoterapi
f. Tipe dan margin operasi
g. BMI (Body Mass Index): tidak begitu related denganosteosarcoma tetapi berhubungan dengan
prognosis
h. ALP dan LDH level: menggambarkan luasnya lesi

8. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133
Kawiyana S.Osteosarkoma dan penanganannya .Dalam : Jurnal orthopedi RSUP sanglah edisi maret
2010.Denpasar: Bagian/SMF Ortopedi dan traumatologi bagian bedah FK unud;201068-74.

9. Algoritma

Kepustakaan

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)


CARCINOMA NASOFARING
ICD10:C.11.9

1. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi
di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring

2. Etiologi
Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor lingkungan, genetik dan Virus Epstein-Barr
menjadi faktor yang diduga kuat menjadi penyebab awal pathogenesis pada penyakit ini.

3. Patogenesis
Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai
sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1,
LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita
karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma
nasofaring.
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-
Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita
karsinoma nasofaring. makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
1. Gejala Telinga
- Oklusi Tuba Eustachius
- Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat menekan tuba
eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa
telinga mendengung (tinnitus) pada pasien. Gejala ini merupakan tanda awal pada KNF.
- Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.
- Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne dan
webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
2. Gejala Hidung
- Epistaksis, dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya rapuh, sehingga
iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh darah tersebut pecah.
- Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam nasofaring dan menutupi
koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI.
Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.
4. Penanda tumor
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat secara
limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial Sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis.
Gejalanya antara lain :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen.
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
 Kesukaran pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N.
XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, Palatum, Faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, M. Trapezeus

b. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak
langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi. Dapat ditemukan tumor
berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau
tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang
tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan sitologi

c. Penunjang
- Rontgen : dapat mendeteksi adanya massa ketika sudah berukuran cukup besar
- CT Scan dan MRI : dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran
massa tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang
akan dilakukan
- Laboratorium: Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus epstein-barr telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring
- Pemeriksaan histopatologi samapai saat ini merupakan baku emas dalam penentuan diagnosis
penyakit keganasan

6. Diagnosis Banding
- Angiofibroma Juvenilis
- Hiperplasia Adenoid
- Tumor kelenjar parotis

7. Diagnosis Kerja
Tabel1 Formula Digsby
Gejala Nilai
Massa terlihat pada Nasofaring 25
Gejala khas di hidung 15
Gejala khas pendengaran 15
Sakit kepala unilateral atau bilateral 5
Gangguan neurologik saraf kranial 5
Eksoftalmus 5
Limfadenopati leher 25
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan.

8. Tatalaksana
Terapi
Prinsip penatalaksanaan karsinoma nasofaring didasarkan pada stadium karsinoma tersebut.
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III : Kemoradiasi
Stadium IV (N<6cm) : Kemoradiasi
Stadium IV (N>6cm) : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi.
Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Metastase jauh menyebabkan gangguan pada organ yang terkena
Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

10. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133
Mengetahui, Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)


PERIPHERAL PRIMITIVE NEUROECTOERMAL TUMOR (PNET)
ICD10:C.71.9

1. Definisi
Merupakan tumor yang sering ditemukan pada anak. Termasuk dalam kelompok sarkoma Ewing
yang merupakan tumor sel bulat kecil yang berasal dari jaringan neuroektodermal.

2. Etiologi
95% karena faktor genetic ( FLI onkogen pada kromosom 11q24 dan gen ERG pada kromosom
22q12)

3. Patogenesis
Terkait dengan translokasi kromosom spesifik yang kemudian membentuk gen gabungan/fusi yang
mengkode protein-protein. Gabungan gen terdiri dari domain transaktivasi dan domain pengikat DNA
yang merupakan salah satu dari keluarga faktor transkripsi yakni FLI1, ERG, ETV1, ETV4 dan FEV.
Protein yang dihasilkan bersifat sebagai faktor transkripsi aberan yang menderegulasi program
ekspresi gen sel-sel target, sehingga menampakkan fenotip neuroektodermal primitif

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
- Tergantung lokasi dari penyakit ini.
- Teraba massa dan nyeri
- Demam pada beberapa kasus
- Pucat
- Pada 10% kasus didapatkan fraktur
- Disfungi organ pada metastase (gangguan berkemih, kelemahan tungkai)

b. Pemeriksaan Fisik
- Teraba massa pembengkakkannya yang tegang, elastis, keras, terdapat nyeri tekan, tumbuh
dengan cepat dan terdapat peningkatan suhu local
- Febris

c. Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi (Rontgen, CT Scan dan MRI) : gambaran tumor primer berupa reaksi periosteal
(onion skin phenomenon) dan gambaran metastase
 Laboratorium: Anemia, Leukositosis, gambaran tumor lisis, fungsi ginjal dan hepar, elektrolit dan
laktat. Pertimbangkan untuk pemeriksaan VMA dan HVA dan CRP

5. Diagnosis Banding
Osteomielitis
Leukemia Akut

6. Diagnosis Kerja
Peripheral Primitive Neuroectoermal Tumor (Pnet)

7. Tatalaksana
Dengan kemoterapi, radioterapi dan pembedahan
Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi
- Relaps
- Kelainan muskuluskeletal
- Secondary tumor
- Masalah psikologikan dan sosial

Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari, Sp.A (K)


NEUROBLASTOMA
ICD10:C.74.90

1. Definisi
Adalah tumor embrional dari sistem saraf otonom dimana sel tidak berkembang sempurna. Umumnya
terjadi pada bayi usia rata-rata 17 bulan, yang berkembang dalam sistem saraf simpatik, biasanya
dalam medulla adrenal atau ganglia paraspinal.

2. Etiologi
Belum diketahui

3. Patogenesis
Neuroblastoma timbul dari primordial sel pial neural, yang bermigrasi selama sembriogenesis untuk
membentuk medulla adrenal dan ganglia simpatik. Sebagai hasilnya, neural blastomas terjadi di
medulla adrenal atau di mana saja sepanjang simpatik ganglia, terutama di retroperitoneum dan
mediastinum posterior.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri perut dan disertai terabanya benjolan di perut yang keras dan tidak nyeri, gangguan buang
air besar dan buang air kecil. Pada neuroblastoma mediastinum dapat disertai gejala batuk kering,
infeksi saluran napas dan sulit napas. Pada stadium lanjut dapat timbul parastesia dan nyeri di
tangan. Pada neuroblastoma cervical dapat timbul miosis unilateral, blefaroptosis dan diskolorasi
iris pada mata.

b. Pemeriksaan Fisik
Gejala yang berhubungan dengan massa retroperitoneal, kelenjar adrenal dan paraspinal:
 Teraba massa di dalam perut yang tidak nyeri dan keras
 Gangguan saluran pencernaan dan urinaria
 Kompresi pada pembuluh darah karena edema pada tungkai
 Gangguan sensoris
 Hilangnya kedali spingter

Gejala yang berhubungan dengan massa leher atau toraks:


 Linfadenopati cervical dan supraklavikular
 Kongesti dan edema pada wajah
 Disfungsi pernapasan
 Sakit kepala
 Proptosis orbita ekimotik
 Miosis
 Ptosis
 Eksoftalmus
 Anhidrosis
c. Pemeriksaan Penunjang
- Rontgen abdomen: melihat adanya massa seperti tumor adrenalis menggeser ginjal
- Laboratorium: peningkatan kadar katekolamin urina (VMA dan VA), mengkatnya feritin, neuron
spesifik enolase
- CT Scan untuk mengetahui keadaan tulang dari tengkorak, leher, toraks dan abdomen
- Pungki sumsum tulang untuk mengetahui lokasi dan metastase tumor

5. Diagnosis Banding
- Osteomielitis
- Rheumatoid arthritis
- VIP sindrom

6. Diagnosis Kerja
Neuroblastoma.
Berdasarkan system pediatric oncology group (POG) stadium neuroblastoma dibagi menjadi:
 Stadium A : tumor yang direseksi secara kasar
 Stadium B : tumor local tidak di reseksi
 Stadium C : metastasis ke kelenjar limfe yang berdekatan
 Stadium D : metastasis ke luar kelenjar limfe
 Stadium Ds : bayi dengan adrenal kecil terutama dengan penyakit metastasis terbatas pada kulit,
hati dan sumsum tulang
 Stadium D Neonatus

7. Tatalaksana
Terapi
o Neuroblastoma tahap I dan II : dapat hanya dengan terapi pembedahan saja sudah cukup atau
ditambah dengan kemoterapi dan radioterapi
o Neuroblastoma tahap III dan IV : memerlukan terapi intensif, termasuk kemoterapi, terapi radiasi,
pembedahan, transplantasi sumsum tulang
Kemoterai:
- Siklofosfamid
- Doksorubicin
- P 16

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


- Ad vitam : dubia ad malam
- Ad sanationam : dubia ad malam
- Ad functionam : dubia ad malam
9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)


CARCINOMA TESTIS
ICD10:C.62.90

11. Definisi
Merupakan pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel testis yang telah mengalami transformasi
yang berasal dari sel germinal ataupun jaringan stromal testis.

12. Etiologi
- Belum diketahui dengan jelas
- Kriptokidisme atau undesensus testis meningkatkan resiko 3-5 kali
- Diduga dapat terjadi karena pemaparan Dietilstilbesterol (DES)

13. Patogenesis
Patogenesis spesifik mengenai mekanisme induksi neoplasma belum ditemukan, namun diduga
berasal dari diferensiasi totipotental germ sel (primordial germ sel) dan non germs sel (selomik
epitelial). Mutasi pada kromosom segmen 12p pada rangkaian sel maligna dihubungkan dengan
peningkatan kejadian kasus ini.

14. Kriteria Diagnosis


a. Anamnesis
Adanya pembesaran testis yang sering kali tidak nyeri. 30 % penderita mengeluh nyeri dan terasa
berat pada skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut pada skrotum yang biasanya terjadi pada
perdarahan intraskrotum maupun torsio testis.
Tidak jarang pasien mengeluhkan adanya massa dalam perut sebelah atas, perbesaran kelenjar
getah bening pada leher dan adanya ginekomastia. Pada kasus dengan undescendent testis
biasanya terjadi pembengkakan pada area suprapubis, gangguan pada traktus urinaria, gangguan
pencernaan serta pembesaran kelenjar getah bening yang tidak diketahui infeksi primernya.

b. Pemeriksaan Fisik
 Pada daerah testis, didapatkan benjolan dengan konsisensi padat, keras, tidak nyeri pada
palpasi, permukaan tidak rata dan pada tes transluminasi hasilnya negative
 Didapatkan infiltrasi tumor pada funikulus dan epididimis
 Teraba massa di abdomen
 Perbesaran kelenjar getah bening
 Dapat ditemukan ginekomastia

c. Pemeriksaan Penunjang
 Ragiologi Diagnostik: MRI, USG dan CT Scan dapat menemukan adanya massa dan
penyebarannya, namun tidak dapat menentukan keganasan sel tumornya
 Tumor marker :
a. α- fetoprotein (AFP): meningkat > 90%, terutama pada keganasan germ tumor
b. β-hCG, meningkat terutama pada germinoma/disgerminoma, koriokarsinoma dan tumor
lisis setelah kemoterapi
 Histopatologi
1. Diagnosis Banding
Dilatasi rate testis
 Abses testis
 Hematom testis

2. Diagnosis Kerja
Germ sel:
 Matur teratoma
 Kista epidermoid
 Imatur teratoma
 Yolk sac tumor
Gonadal stromal
 Sel Leydig
 Sel Sertoli
 Gonadoblastoma

3. Tatalaksana
Terapi
- Eksisi total untuk mengurangi degenerasi dan rekurensi
- Kemoterapi pada Stadium II dan III atau yang relaps:
o Cisplatin dikombinasikan dengan actinomisin D, etoposide, vinblastine dan bleomicin juga
Cyclofosfamid

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

4. Komplikasi dan Prognosis


 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133
Mengetahui, Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)


CARCINOMA OVARIUM
ICD10:C.56.90

1. Definisi
Merupakan pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel ovarium yang telah mengalami
transformasi yang berasal dari sel germinal ataupun jaringan stromal. Hanya 1% dari total keganasan
pada anak.

2. Etiologi
 Belum jelas sepenuhnya
 Diduga karena:
- Incessant Ovarium
- Paparan dimetilbenzatrene
- Penggunaan estrogen
- Paritas yang tinggi

3. Patogenesis
Patofisiologi spesifik mengenai mekanisme induksi neoplasma belum ditemukan, namun diduga
berasal dari diferensiasi totipotental germ sel (primordial germ sel) dan non germs sel (selomik
epitelial). Mutasi pada kromosom segmen 12p pada rangkaian sel maligna dihubungkan dengan
peningkatan kejadian kasus ini.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Pada awal perjalanan penyakit gejala tidak jelas. Gejala biasanya muncul saat besar ovarium menekan
daerah sekitarnya (gangguan buang air besar dan kecil) atau terjadinya torsio sehingga pasien datang
dengan keluhan nyeri perut ataupun akut abdomen

b. Pemeriksaan Fisik
- Teraba massa tumor di daerah pelvis yang padat terfiksir dan ireguler
- Sering disertai asites
- Perbesaran kelenjar getah bening

c. Pemeriksaan Penunjang

 Ragiologi Diagnostik: MRI, USG dan CT Scan dapat menemukan adanya massa dan
penyebarannya, namun tidak dapat menentukan keganasan sel tumornya
 Tumor marker :
o α- fetoprotein (AFP): meningkat > 90%, terutama pada keganasan germ tumor
o β-hCG, meningkat terutama pada germinoma/disgerminoma, koriokarsinoma dan tumor
lisis setelah kemoterapi
 Histopatologi

5. Diagnosis Banding
 Kista Ovarium
 Abses ovarium

6. Diagnosis Kerja
Germ sel:
 Matur teratoma
 Kista epidermoid
 Imatur teratoma
 Yolk sac tumor
Gonadal stromal
 Sel Leydig
 Sel Sertoli
 Gonadoblastoma

7. Tatalaksana
Terapi
- Eksisi total untuk mengurangi degenerasi dan rekurensi
- Kemoterapi pada Stadium II dan III atau yang relaps:
o Cisplatin dikombinasikan dengan actinomisin D, etoposide, vinblastine dan bleomicin juga
Cyclofosfamid
Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi
dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

LANGERHANS CELL HISTIOCYTOSIS


ICD10:C.202.30

1. Definisi
Merupakan sekumpulan gejala yang ditandai oleh proliferasi non maligna yang abnormal dari sel-sel
histiosit yang berasal dari monosit yang menetap di dalam sel Langerhans (kulit).

2. Etiologi

3. Patogenesis
Patogenesis belum jelas. Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan banyak sel histiosit dan sel
monosit-makrofag

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
- Bercak kemerahan pada kulit,
- Telinga berair
- Demam
- Penurunan berat badan
- Nyeri tulang
- Diabetes insipidus

b. Pemeriksaan Fisik
Bercak pada kulit; pada bayi seringkali berupa dermatitis seboroik yang luas pada kepala, papula
kemerahan pada badan, abdomen dan lipatan paha menyerupai kandidiasis diaper
Exoptalmus
Perbesaran kelenjar getah bening
Dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali
Gambaran otitis media kronik

c. Pemeriksaan Penunjang
 Ragiologi Diagnostik:
o Rontgen : ditemukan daerah yang mengalami destruksi tulang (lytic lesion)
o CT-Scan : daerah litik yang disebut “hot spot”
 Hematologi: pansitopenia bila sudah menginvasi sumsum tulang
 Histopatologi : ditemukan sel birbeck granule pada sitoplasma
5. Diagnosis Banding
Dermatitis seboroik
Tuberculosis
Rheumatoid disorder
6. Diagnosis Kerja
Langerhans cell histiocytosis

7. Tatalaksana
Terapi
- Kemoterapi pada kelainan multifocal (sesuai protocol LCH)
- Radioterapi pada kelainan unifokal

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

10. Algoritma
Protokol Histiosis

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

Anda mungkin juga menyukai