Anda di halaman 1dari 50

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/SMF KESEHATANANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Demam Berdarah Dengue


Kode ICD : A.91, R.57,1
Definisi
Infeksi dengue disertai dengan adanya bukti plasma leakage bertendensi menimbulkan
renjatan dan kematian
Anamnesis
1. Demam atau riwayat demam mendadak tinggi, terus menerus, 2-7 hari, dapat mencapai
40°C serta terjadi kejang demam.
2. Manifestasi perdarahan
3. Muntah
4. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di
bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
5. Bila syok: lemah, gelisah, produksi urine sedikit, kaki tangan dingin
6. Terdapat kasus DBD di lingkungan
Pemeriksaan fisik
1. Suhu tubuh dapat meningkat, normal atau hipotermi
2. Dijumpai facial flush
3. Manifestasi perdarahan
a. Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2 atau 2.5 cm2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
b. Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena (easy bruising).
c. Petekie
d. Perdarahan mukosa: epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna
e. Hematuria (jarang)
f. Menorrhagia (pada remaja dan dewasa)
4. Ruam makulopapular/rubellaform pada fase demam
5. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan
6. Splenomegali (jarang)
7. Terdapat hemostasis yang tidak normal,
8. Terdapat perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura/efusi pleura dan rongga
peritoneal/ascites)
9. Dapat disertai dengan hipovolemia, dan syok
10. Warning Signs: muntah persisten, nyeri perut, menolak asupan per oral, letargi atau
gelisah, hipotensi postural, oliguria
11. Gejala kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu turun antara hari ke 3-7 demam berupa:
kulit dingin dan lembab, sianosis sirkumoral, nadi lemah dan cepat. Pasien tampak letargi
atau gelisah kemudian jatuh dalam keadaan syok.
12. Tanda-tanda syok:
a. Nadi cepat dan lemah
b. Tekanan nadi sempit, diastolik cenderung naik atau hipotensi
c. Capillary refill time> 3 detik
d. Akral dingin
e. Gelisah
f. Pada profound shock (DBD grade IV), nadi tidak teraba dan TD tidak terukur
g. Oliguria hingga anuria
13. Pada prolonged shock dapat terjadi:
a. asidosis metabolik
b. gagal mutliorgan
c. perdarahan masif
d. gagal hati dan renal
e. ensefalopati
f. perdarahan intrakranial
14. Fase konvalesen
a. sinus bradikardi
b. aritmia
c. timbul ruam konvalesen
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Tersangka DBD: bila definisi kasus DBD belum terpenuhi
Definisi kasus DBD:
1. Demam,
2. Manifestasi perdarahan,
3. Disertai trombositopenia ≤100.000/µL,
4. Bukti plasma leakage berupa peningkatan hematokrit ≥20%, dapat disertai dengan
efusi pleura atau asites, hipoproteinemia, hipoalbuminemia
Berdasarkan tingkat keparahan DBD (harus memenuhi definisi kasus DBD):
DBD Derajat Tanda & Gejala Klinis Laboratorium

DBD I Deman dengan manifestasi - Trombositopenia


perdarahan tidak spontan (uji ≤100.000/mm3
bendung + atau easy bruishing) dan - Penngkatan Ht ≥ 20%
bukti kebocoran plasma
DBD II Sama dengan derajat I ditambah - Trombositopenia
perdarahan spontan ≤ 100.000/mm3
- Penngkatan Ht ≥ 20%
DBD III* Sama dengan derajat I atau II - Trombositopenia
ditambah kegagalan sirkulasi (nadi ≤100.000/mm3
lemah, tekanan nadi sempit ≤ 20 - Penngkatan Ht ≥ 20%
mmHg, hipotensi,
letar
i)
DBD IV* Sama - Trombositopenia
dengan derajat III ditambah syok ≤100.000/mm3
profunda dengan nadi tidak - Penngkatan Ht ≥ 20%
eraba dan tekanan darah tidak
terukur
* DSS
Diagnosis
Demam Berdarah Dengue
Diagnosis banding
1. Demam dengue
2. Infeksi virus lainnya seperti campak, rubella, demam chikunguya
3. Leptospira, malaria dan demam tifoid
4. ITP, leukemia, anemia aplastik
5. Sepsis atau meningitis bila mengalami demam disertai syok
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit dan trombosit) serta hitung jenis saat
awal
2. Pemeriksaan Hb, Ht, Trombosit, Leukosit secara berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue
5.
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti adanya diulang pada fase
Infeksi konvalesens
- + Infeksi pada 2-3 bulan diulang pada fase
sebelumnya konvalesens

6. SGOT dan SGPT


7. Gula darah sewaktu atas indikasi
8. Foto rontgen dada dalam posisi AP atauright lateral decubitus
9. USG Thoracoabdominal
10. AGD dan elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida) atas indikasi
11. CT/BT dan PT/aPTT atas indikasi
12. LP atas indikasi
13. CT-Scan atau MRI atas indikasi
Tatalaksana
1. Parasetamol (bila T > 38.5C)
2. Cairan per oral dan atau intravena (cairan rumatan, cairan rehidrasi sesuai derajat dehidrasi, atau
cairan resusitasi).
Cairan dapat berupa kristaloid dan/atau koloid.
- Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis. (saat terjadi Plasma leakage)
- Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon
pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
- Volume cairan rumatan + dehidrasi 5%-7% harus diberikan untuk menjaga volume dan cairan
intravaskular yang adekuat.
- Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan secara berkala berdasarkankeadaan klinis +
laboratorium.
- Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk menghitung
volume cairan.
Tabel 1. Kecepatan cairan intravena
Keterangan* Kecepatan cairan
(ml/kg/jam)
Setengah rumatan 1.5
Rumatan (R) 3
Rumatan + 5% defisit 5
Rumatan+ 7% defisit 7
Rumatan+ 10% defisit 10
*Catatan: sesuai untuk berat badan ≤ 20 kg
Sumber: World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011 dengan modifikasi.

3. Indikasi pemberian cairan intravena:


a. Asupan cairan oral tidak adekuat atau muntah
b. Saat Ht terus naik 10-20% (bersamaan dengan penurunan trombosit) walaupun telah
direhidrasi oral
c. Ancaman syok atau syok
4. Pemantauan KU, kesadaran, tanda vital dan diuresis secara berkala
5. Antagonis H2 dan penghambat pompa proton atas indikasi
6. Transfusi PRC, TC, FFP/ Cryo atau dapat Whole Blood atas indikasi
7. Vitamin K1 iv pada perdarahan masif
8. Antikonvulsan seperti fenitoin, fenobarbital dan diazepam jika terdapat kejang
9. Terapi oksigen atas indikasi
10. Kortikosteroid diberikan pada Ensefalopati Dengue
11. Antibiotik diberikan untuk Ensefalopati Dengue atau dugaan infeksi bakteri sekunder
12. Inotropik dan vasopressor kadang-kadang diperlukan pada Dengue Shock Syndrome
13. Hemodialisis atau plasmafaresis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan
14. Pemberian diuretik pada kasus-kasus dengan overload cairan

Skema sesuai derajat keparahan terlampir


Edukasi
1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Monitor tanda kegawatan
4. Melaksanakan upaya pencegahan 3M plus (menguras, menutup dan mengubur)
5. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
6. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk diberikan ke RT/RW tempat
tinggal pasien
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Tingkat evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Dept IKA RSMH Palembang
Taksrian lama rawat
5-7 hari
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup (> 1ml/KgBB/jam)
6. Tidak ditemukan distress napas dari efusi pleura dan atau asites
7. Trombosit > 50.000 dengan kecenderugan meningkat.
8. Hematokrit stabil
9. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun eksternal
10. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
11. Dua hari pasca syok
12. Mulai timbul ruam penyembuhan
Kepusatakaan
1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010
sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua.
WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control.2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak
& Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR,
Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2005.

Skema 1. Tatalaksana Tersangka DBD derajat I & II (tanpa syok)


Skema 2. Tatalaksana DBD Derajat I dan II

Skema 3. Tatalaksana DBD Derajat III


Skema 4. Tatalaksana DBD Derajat IV
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

PANDUAN PRAKTEKKLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATANANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Demam Dengue
Kode ICD : A.91
Definisi
Demam Dengue merupakan penyakit demam akut yang dapat disertai manifestasi perdarahan,
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus
Anamnesis
1. Demam mendadak tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C serta dapat terjadi kejang
demam.
2. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri retroorbital, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut
3. Lesu dan tidak mau makan
4. Ruam makulopapular
5. Manifestasi perdarahan
6. Konstipasi atau diare
7. Depresi umum
Pemeriksaan fisik
1. Demam: 39-40°C, umumnya berakhir 5-7 hari
2. Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada
3. Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubellaform
4. Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan atas,
dan tangan (Convalescent rash), berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit
yg normal, dapat disertai rasa gatal
5. Manifestasi perdarahan
a. Perdarahan kulit: uji bendung positif dan/atau petekie
b. Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang
terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia berat)
6. Tidak terdapat bukti plasma leakage
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Diagnosis klinis Demam Dengue ditegakkan atas dasar:
Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus,bifasik disertai dengan 2 atau
lebih gejala berikut:
 sakit kepala
 nyeri retro orbital
 arthralgia
 myalgia
 ruam
 manifestasi perdarahan
 lekopenia <4000/mm3
 trombositopenia <150.000/mm3
 tidak ditemukan bukti plasma leakage
ditambah minimal satu dari pernyataan berikut:
 Bukti serologis infeksi dengue yang mendukung
 Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah, atau di sekitar rumah
Diagnosis
Demam Dengue
Diferensial diagnosis
 Infeksi Virus: Virus Chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain seperti Campak,
Campak Jerman, dan virus lain yang menimbulkan ruam; Virus Eipstein
Barr,Enterovirus,Virus Influenza, virus Hepatitis A dan Hantavirus
 Infeksi Bakteri: Meningokokus, Leptospirosis, Demam Tifoid, Meiloidosis, Penyakit
riketsia, Demam Skarlatina
 Infeksi Parasit: Malaria
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit
dan trombosit) serta hitung jenis
2. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti adanya infeksi diulang
- + Infeksi pada 2-3 bulan diulang
sebelumnya
5. SGOT dan SGPT
6. Gula darah sewaktu atas indikasi
7. USG Thoraco Abdominal
Terapi
1. Pengambilan keputusan untuk observasi rawat jalan atau terapi/ rawat inap (Skema 1)
2. Parasetamol
3. Cairan per oral dan atau intravena (Cairan rumatan atau cairan rehidrasi sesuai derajat
dehidrasi apabila kurang asupan atau perdarahan berat yang tidak lazim)
4. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan diazepam bila kejang
Edukasi
1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Melaksanakan upaya pencegahan 3M +(Meguras, menutup, mengubur tempat
penampungan air, menaburkan bubuk abate, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk,
membersihkan lingkungan, fogging, mencegah gigitan nyamuk)
4. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
5. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk diberikan ke RT/RW tempat
tinggal pasien
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Level evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Dept IKA RSMH Palembang
Taksiran lama rawat
3-5 hari
Indikator Medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Trombosit > 50.000, Hematokrit stabil
7. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun eksternal
8. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
9. Kembalinya nafsu makan
10. Mulai timbul ruam penyembuhan
Kepustakaan
1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010
sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua.
WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak
& Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR,
Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2005.

Skema 1. Skrining pasien tersangka infeksi dengue


Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

PANDUAN PRAKTEKKLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATANANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

DemamTifoid
KodeICD : A01.0
Definisi
Demam Tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi
sistemik Salmonella typhi.
Anamnesis
1. Demam lebih dari 7 hari, timbul insidius, naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi, lisis
pada minggu ketiga (step-ladder temperature chart)
2. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, nyeri kepala
3. Gangguan GIT: anoreksia, nyeri perut, kembung, diare atau konstipasi, muntah
4. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
5. Hygienepersonal dan sanitasi kurang
Pemeriksaan fisik
Bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi, gejala yang dapat ditemuikan :
1. Rhagaden
2. Lidah tifoid
3. Rose Spot
4. Bradikardi relatif
5. Meteorismus
6. Hepatomegali
7. Kesadaran dapat menurun, dari apatis, delirium hingga koma
8. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Klasifikasi diagnosis:
 Demam Tifoid klinis
Panas lebih dari 7 hari, di dukung gejala klinik lain:
 Gangguan GIT : typhoid tongue, rhagaden, anoreksia, konstipasi/ diare
 Hepatomegali
 Tidak ditemukan penyebab lain dari panas.
 Demam Tifoid
Demam Tifoid klinis + Salmonella typhi (+) pada biakan darah, urine atau fees dan/atau
pemeriksaan serologis yang mendukung
 Demam Tifoid berat
Demam Tifoid + keadaan: lebih dari minggu kedua sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas,
hepatomegali dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul, aneosinofilia, SGOT/ SGPT
meningkat
 Ensefalopati Tifoid/Tifoid toksik
Demam Tifoid atau Demam Tifoid klinis disertai satu atau lebih gejala:
 kejang
 kesadaran menurun: soporous sampai koma
 kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
Diagnosis
Demam Tifoid
Diagnosis banding
1. Stadium dini: Influenza, Gastroenteritis, Bronkitis, infeksi Dengue, Bronkopneumonia
2. Tuberkulosis, infeksijamur sistemik, Malaria
3. Demam Tifoidberat: Sepsis, Leukemia, Limfoma
Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi perifer (tidak spesifik):
a. anemia (dapat terjadi akibat supresi sumusm tulang, defisiensi besi, atau perdarahan
usus)
b. leukopenia (jarang kurang dari 3000/µL)
c. limfositosis relatif
d. aneosinofilia
e. trombositopenia (terutama pada demam tifoid berat)
2. Pemeriksaan serologi:
a. antibodi anti-Salmonela O9, atau
b. kadar IgM dan IgG anti Salmonella
3. Pemeriksaan biakan empedu dari spesimen:
a. darah (minggu 1-2 perjalanan penyakit)
b. urine (minggu ke-2 dan selanjutnya)
c. sumsum tulang (sampai minggu ke 4)
4. Pemeriksaan radiologi:
a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus
atau perdarahan saluran cerna
5. EKG bila mencurigai miokarditis
6. Biakan feses saat pulang untuk deteksi karier, kemudian diulangi lagi 1 minggu
kemudian. Apabila 2 kali berturut-turut dalam interval 1 minggu Salmonella (-), berarti
penderita sembuh dan tidak merupakan carrier.
Tatalaksana
1. Antipiretikbilasuhutubuh>38,5°C
2. Antibiotik (berturut-turutsesuailinipengobatan)
Linipertama:
 Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau IV, dibagidalam 4
dosisselama 10 – 14 hari, kontraindikasipadaleukosit<2000/µl, dosismaksimal
2g/hariatau
 Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14 hariatau
 Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali, selama 10 hari
Linikedua/ multidrug resistenS.typhi
 Seftriakson 80 mg/kg/hari IVselama 5-7hari
 Cefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari per oralselama 10 hari
Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama, dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua
KarierS. typhi (S. typhitetapadadalamurinataufesesselamalebihdari 6-12 bulan):
 Ampisillin 100 mg/kg/hari, 4x hariatau
 Trimetoprim-sulfametoksazol 4-20 mg/kg/hariselama 6-12 minggu
 Lakukanpemeriksaan USG
kandungempeduuntukmenentukanadaatautidaknyakolelitiasisataudisfungsikandunge
mpedu
3. Kortikosteroid diberikan pada demam tifoid berat dengan perubahan status mental
(Ensefalopati Tifoid) atau syok yaitu dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV, dilanjutkan
1mg/kg/kali, setiap 6 jam sampai dengan 48 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan
meningkatkan angka relaps)
4. Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
Edukasi
1. Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
2. Indikasi rawat:
 Demam Tifoid klinis bila ada hiperpireksia, dehidrasi atau KU lemah.
 Semua Ensepalopati Tifoid
 Semua demam Tifoid dengan komplikasi
3. Imunisasi
 Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide) usia 2 tahun atau lebih (IM), diulang
tiap 3 tahun
 Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia 6 tahun dengan interval selang sehari
(1,3,5), ulangan setiap 3-5 tahun. Belum beredar di Indonesia, terutama
direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
4. Tirah baring
5. Isolasi memadai
6. Kebutuhan cairan dan kalori dipenuhi. Diet lunak, mudah dicerna, diet dapat disesuaikan
jika sudah tidak demam.
7. Higiene perorangan dan lingkungan karena penularan melalui fekal oral
Prognosis
Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat:
Ad vitam: bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad functional: ad bonam
Tingkat evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit TropisDepartemen IKA RSMH
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
Taksiran lama perawatan
7-10 hari
Kepustakaan
1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in
infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics;
2006, h.579-84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG,
Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-
11. Philadelphia; 2004, h. 212-3
5. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious disease,
5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
6. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

PANDUAN PRAKTEKKLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATANANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Difteri
KodeICD : A.36
Definisi
Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit
dan/atau mukosa
Anamnesis
1. Riwayat kontak dengan karier, baik melalui droplet, bahan muntahan atau debu
2. Bervariasi mulai dari gejala ringan yang menyerupai common cold dengan gejala demam
tidak terlalu tinggi, pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan
3. Anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan
4. Suara serak, sesak nafas, lesu, pucat, lemah, dan suara mengorok
Pemeriksaan fisik
1. Difteri nasal anterior:
 Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas
 Terdapat pseudomembran putih pada daerah septum nasi
2. Difteri faring atau tonsil
 Timbul pseudomembrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil
dan dinding faring, sukar diangkat meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
ke laring dan trakea, yang berdarah saat dilepaskan
 Limfadenitis servikal dan submandibular, dapat timbul bullneck bila limfadenitis
terjadi bersama dengan edema jaringan lunak leher yang luas.
 Bila terjadi perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia
 Dapat terjadi gagal napas
 Dapat terjadi paralisis palatum molle, baik uni- maupun bilateral, disertai kesulitan
menelan dan regurgitasi
3. Pada difteria laring, napas dapat berbunyi, stridor progresif, suara parau dan batuk
kering. Membran dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, koma dan kematian
4. Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi sebagai berikut:
a. Derajat I: Anaktenang, dispneuringan, stridorinspiratoar, retraksisuprasternal
b. Derajat II: Anakgelisah, dispneuhebat, stridormasihhebat, retraksi suprasternal
danepigastrium, sianosisbelumtampak
c. Derajat III: Anaksangatgelisah, dispneumakinhebat, stridormakinhebat, retraksi
suprasternal danepigastriumserta interkostal, sianosis
d. Derajat IV: Letargi, kesadaranmenurun, pernafasanmelemah, sianosis
5. Difteria dapat juga mengenai kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga.
Kriteria Diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Laboratorium: Isolasi C.diphtheria dari spesimen
Diagnosis berdasarkan CDC / WHO 2003 :
1. Tersangka: kriteria klinis (+), laboratorium (-), dan tidak ditemukan kasus sama yang
terbukti secara laboratorium di sekitartempattinggal penderita
2. Terbukti: kriteria klinis (+), laboratorium (+), atau ditemukannya kasus yang sama yang
terbukti secara laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
Kriteria klinis: adanya infeksi saluran nafas atas, demam dan terdapat
pseudomembran yang melekat erat pada tonsil, faring dan atau mukosa hidung.
Diagnosis
Difteria
Diagnosis banding
1. Difteria hidung: rhinorrhea(commoncold, sinusitis, adenoiditis), benda asing, lues
kongenital (snuffles)
2. Difteria tonsil-faring: tonsilitis membranosa akutolehStreptococcus mononukleosis
infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer,Epstein-Barr
Viruses, moniliasis, bloodyscrasia, pasca tonsilektomi, vincent angina, candidiasis
3. Difteria laring: laringitis/infectious croups yang lain (spasmodic croup), angioneurotic
edema, bendaasing
4. Difteria kulit: impetigo dan infeksi kulit oleh Streptococcus atau Staphylococcus
Pemeriksaan penunujang
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap: hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit dan hitung
jenis.
2. Pewarnaan gram dan pewarnaan khusus untuk C. Diphtheriae(Neisser/Albert) dari
sediaan apus pseudomembran
3. Diagnosis pasti dari isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler.
4. Foto rontgen toraks (atas indikasi)
5. Foto soft tissue leher (atas indikasi)
6. AGD dan elektrolit (atas indikasi)
7. EKG pada waktu penderita dirawat, dan diulang minimal 3 kali per minggu
8. Skin testsebelum pemberian ADS
9. Urine lengkap
10. Ureum dan kreatinin (atas indikasi)
Tatalaksana
Umum
1. Atasi obstruksi jalan nafas segera dengan konsultasi dengan ahli THT untuk melakukan tindakan trakeostomi
Trakeostomi dilakukan bila terdapat gangguan pernapasan yang progresif, atau obstruksi saluran napas deraja
II atau lebih
2. Pasien dirawat di ruang isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan apusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut (2 – 3 minggu)
3. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 – 3 minggu
4. Cairan parenteral diberikan untuk mempertahankan hemodinamika tetap baik
5. Pemenuhan kebutuhan kalori, protein, cairan dan elektrolit yang adekuat sesuai klinis menurut berat badan da
umur, bila tidak dapat oral dapat diberikan parenteral.
6. Dapat diinhalasi dengan nebulizer dengan NaCL 0.9% agar jalan napas tetap bebas serta untuk menjaga
kelembaban udara pada pasien dengan difteria laring
Spesifik
1. Segera diberikan Anti Difteria Serum (ADS) secara intravena (jika difteri dicurigai (tersangka difteri), ADS
harus segera diberikan tanpa menunggu hasil laboratorium), didahului dengan uji kulitdengan cara
menyuntikan 0,1 ml ADS yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:100. Uji kulit dibaca dalam 20 menit
dan dinyatakan positif bila timbul bentol berukuran 10 mm atau lebih.
Dosis ADS yang diberikan tergantung lokasi dan waktu ADS diberikan:
Tabel. Dosis dan cara pemberian ADS sesuai tipe difteri
TipeDifteria Dosis ADS (IU) Cara pemberian
Difteriahidung 20.000 IM
Difteria tonsil 40.000 IM atau IV
Difteria faring 40.000 IM atau IV
Difterialaring 40.000 IM atau IV
Kombinasilokasi di atas 80.000 IV
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV
Terlambatberobat (>72 jam), 80.000-100.000 IV
lokasidimanasaja
Sumber Krugman, 1992 (dengan modifikasi)

a. Hari I: Separuh dosis ADS diberikan secara intravena dengan pengenceran 20 kali dengan NaCl 0,9%atau
dekstrose 5%, atau dilarutkan dalam 200 ml NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, diberikan dalam 4-8 jam (tida
melebihi 1 ml/jam).Bila uji kulit positif lakukan desensitasidengan cara sebagai berikut (ADS diberikan
secara bertahap, sambil melihat tanda-tanda alergi/ anafilaktik):
Tabel. Desensitisasi ADS: Jalur intravena
Nomor dosis, Pengenceran serum Jumlah
diberikan tiap dalam NaCl 0,9% injeksi
interval 15 menit (ml)

1 1:1.000 0,1
2 1:1.000 0,3
3 1:1.000 0,6
4 1:100 0,1
5 1:100 0,3
6 1:100 0,6
7 1:10 0,1
8 1:10 0,3
9 1:10 0,6
10 Tanpa pengenceran 0,1
11 Tanpa pengenceran 0,3
12 Tanpa pengenceran 0,6
13 Tanpa pengenceran 1,0

b. Hari II: SeparuhdosisADS diberikansecaraintramuskular


2. Antibiotik:
Penisilin prokain 50.000-100.000 U/kg/hari selama 14 hari
Apabila hipersensitif terhadap penisilin diberikan eritromisin 40-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (4x sehar
selama 14 hari
3. Eliminasi difteri harus dibuktikan dengan dua kali beruturut-turut hasil biakan negatif setelah 24 jam antibiot
dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dengan atau tanpa bullnec
atau bila terdapat miokarditis.
5. Setiap penemuan kasus difteri (tersangka/terbukti) harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1 x 24
jam
6. Vaksinasi difteri diberikan saat masa penyembuhan penyakit
7. Pengobatan kontak (bekerja sama dengan petugas surveilans Dinas Kesehatan)
Kontak erat, atau kontak serumah:
a. Surveilans
b. Vaksinasi difteri (sesuai usia)
c. Biakan apusan hidung dan tenggorok untuk C. diphtheriae
d. Pemberian antibiotik:
Benzathine Penicillin G Intramuskular (dosis tunggal) dengan dosis
 600.000 IU untuk usia <6 tahun dan
 1.200.000 IU untuk usia 6 tahun atau lebih; atau
Eritromisin oral selama 7 hari dengan dosis
 40 mg/kg BB/hari untuk anak
 1 g/hari untuk dewasa

Algoritma tatalaksana:

Edukasi
1. Tirah baring
2. Prognosis pasien
3. Imunisasi DPT
4. Imunisasi catch up:

Tabel. Jadwal imunisasi DPT


Usia minimal Interval minimum pemberian
Dosis 1-2 Dosis 2-3 Dosis Dosis 4-
Usia dosis pertama
3-4 5
4 bln – 6 thn 6 minggu 4 minggu 4 minggu 6 bulan 6 bulan
(DTaP)
7 thn – 18 7 tahun 4 minggu * 4 minggu 6 bulan 6 bulan
thn(DTaP) 6 bulan**
Keterangan:
* Apabila dosis pertama diberikan saat usia < 12 bulan
**Apabila dosis kedua diberikan saat usia ≥ 12 bulan
Booster (Td) diberikan setiap 10 tahun (Td adalah vaksin dewasa dengan jumlah antigen sepersepuluh jumlah antigen pada anak)

5. Cari sumber penularan dan karier

Prognosis
Ad vitam: dubia ad malam
Prognosis tergantung pada:
• Usia
• Lanjutnya penyakit
• Lokasi
• Patogenisitas bakteri
• Cepat lambatnya pemberian toxin
Hari pertama 0,3% (mortalitas)
Hari kedua 4%
Hari ketiga 12%
> hari ketiga 25%
Adsanationam: bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
Tingkat evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis IKA RSMH
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
Taksiran lama perawatan
2-3 minggu
Kepustakaan
1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbookofpediatricinfectiousdiseases.
5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2009.
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practiceofpediatricinfectiousdiseases.
2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’sinfectiousdiseaseofchildren. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision makingstrategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002.
5. Red book, reportofcommittee on infectiousdisease, 24th ed.
Americanacademyofpediatrics 2009
6. Top FH, Wehrle PF. Diphtheria. Communicable and infectious disease. St Louis: Mosby;
1976. h. 223-38.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATANANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Malaria
Kode ICD : B50-54
Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih
spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-
splenomegali yang hidup dan berkembang dalam eritrosit manusaia dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk anopheles betina.
Anamnesis
1. Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemis
malaria dalam 1-4 minggu sebelumnya. Ada riwayat sakit malaria, pernah minum obat
malaria, dan riwayat mendapat transfusi.
2. Demam, lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah
perut, pucat, mialgia, atralgia, dan diare.
3. Pada malaria tanpa komplikasi hanya ditemukan gejala malaria tanpa tanda berat dan
bukti (klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
4. Pada malaria berat didapat keluhan tambahan gangguan kesadaran, demam tinggi, ikterik,
pucat, perdarahan hidung, gusi, atau saluran cerna, nafas cepat atau sesak nafas, warna
urine seperti teh tua atau kehitaman (black water fever), produksi urine sedikit, kejang
dan sangat lemah (prostration).
5. Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam
dengan interval tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demam
pasien merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
6. Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage),
dan stadium berkeringat (sweating stage).Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium
dingin seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Periode paroksisme berhubungan dengan
ruptur skizon:
 P. vivax dan P. ovale: demam tiap 48 jam
 P. malariae: demam tiap 72 jam
 P. falciparum: demam tidak khas dapat terus menerus
7. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atau
infeksi berulang dari satu jenis Plasmodium), demam terus menerus (tanpa interval),
8. Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.

Pemeriksaan fisik
1. Demam
2. Pucat pada konjungtiva palpebra atau telapak tangan
3. Splenomegali
4. Hepatomegali
5. Ikterik
6. Pada malaria berat dapat ditemukan tanda klinis lain :
a. Temperatur > 41C
b. Nadi filiformis
c. TD sistolik < 50 mmHg
d. Pucat
e. Takipneu
f. GCS < 11
g. Manifestasi perdarahan
h. Tanda dehidrasi
i. Ikterik
j. Terdengar ronchi
k. Oliguria hingga anuria
l. Kelainan neurologis berupa gejala rangsang meningeal dan atau refleks patologis
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Malaria tanpa komplikasi: infeksi simtomatik dengan parasitemia malaria tanpa tanda berat
dan bukti (klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
Malaria berat: infeksi simtomatik dengan parasitemia malaria dengan tanda berat dan bukti
(klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
Diagnosis
Malaria
Diagnosis banding
1. Demam tifoid
2. Meningitis
3. Apendisitis
4. Gastroenteritis
5. Hepatitis
6. Influenza dan infeksi virus lainnya
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan apus darah tepi (baku emas):
 Tebal: ada tidaknya Plasmodium
 Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia (hitung parasit)
dikerjakaan saat penegakan diagnosis dan diulang pada hari ke 3, 7 , 14 dan 28 setelah
pengobatan
2. Rapid diagnostic test (RDT) malaria
3. Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi:
a. Darah perifer lengkap
b. Urinalisis
c. SGOT, SGPT, bilirubin total/direk/indirek
d. Alkali fosfatase, albumin
e. Ureum, kreatinin
f. AGD dan elektrolit
g. Gula darah sewaktu
h. EKG
i. Foto toraks
j. Analisis cairan serbrospinalis
k. Biakan darah
4. Temuan laboratorium malaria berat:
 hipoglikemia (guladarah< 40 mg/dl)
 asidosismetabolik
 anemia normositik berat (Hb< 5 g/dl, Ht< 15%)
 haemoglobinuria
 hyperparasitaemia (> 2%/100 000/μlp ada daerah transmisi rendah atau >5% atau
250.000/ulpada daerah transmisi tinggi)
 hiperlaktatemia
 gangguan ginjal
Tatalaksana
1. Antipiretik apabila demam > 38.5oC
2. Suportif (atas indikasi)
 Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oral
atau parenteral
 Pelihara keadaan nutrisi
 Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg atau whole blood 20 ml/kg apabila anemia
dengan Hb <7,1g/dl
 Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai
 Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
 Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP.
 Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal
 Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen
 Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik
 Pertahankan kadar gula darah normal.
3. Medikamentosa
Plasmodium falciparum
Lini Pertama: Artemisinin-based combination therapy (ACT)
1. Artensunat + Amodiakuin + Primakuin
 Artesunat (10 mg/kg) + Amodiakuin (4 mg/kg) per oral dosis tunggal selama 3
hari (maks 4 tablet)
Setiap kemasan kombinasi artesunat-amodiakuin terdiri dari 2 blister yaitu blister
artesunat 12 tablet@50mgdanblisteramodiakuin: 12 tablet @ 200mg 153mg
amodiakuin basa
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal hanya pada hari pertama (maks 3
tablet)
Tiap tablet primakuin mengandung 15 mg basa.
Primakuin tidak boleh diberikan pada anak < 1 tahun dan penderita defisensi
G6PD
2. [Artemether + lumefantrine (Coartem)] + Primakuin
 Artemether ((5–14 kg: 1 tablet; 15–24 kg: 2 tablet; 25–34 kg: 3 tablet; and > 34
kg: 4 tablet),diberikan 2 kali sehariuntuk 3 hari, setaradengandosisartemether 2-4
mg/kg danlumefantrine 10-16 mg/kg.
Tiap tablet coartem mengandung 20 mg artemether dan 120 mg lumefantrine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosistunggal
3. [Dihidroartemisinin + piperaquin (Arterakine)] + Primakuin
 Dihydroartemisinin4 mg/kg/hari (2-10 mg/kg/hari) danpiperaquine 18 mg/kg/hari
(16-24 mg/kg/hari) satu kali sehariuntuk 3 hari
Tiap tablet arterakine mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg
piperaquine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosistunggal

Lini Kedua
Bila obat tidak tersedia, maka digunakan :
1. Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kg terbagi dalam 3 hari dengan perincian
Hari I: 10 mg/kg peroral + Primakuin 0,75 mg/kg peroral
Hari II: 10 mg/kg peroral
Hari III: 5 mg/kg peroral
2. Kombinasi kina + doksisiklin/klindamisin
 Kina dosis 30 mg/kg/hari peroral dibagi 3 dosis diberikan selama 7
hari.Kemasan tablet kina yang beredar di Indonesia: 200mg kina fosfat
atau kina sulfat.
 Doksisiklin diberikan untuk anak 8-14 tahun dengan dosis 2 mg/kg/hari
selama 7 hari. Sediaan doksisiklin yang tersedia tablet 50 mg dan 100 mg.
Untuk anak di bawah 8 tahun doksisiklin diganti clindamycin dengan dosis
10 mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
3. Kombinasi tetrasiklin/klindamisin + primakuin
 Tetrasiklin diberikan dengan dosis 4-5 mg/kg/6 jam selama 7 hari.
Untuk anak di bawah 8 tahun tetrasiklin diganti clindamycin dengan dosis
10 mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
 Primakuin diberikan dengan dosis 0,75 mg/kg/dosis tunggal hanya pada
hari pertama.

Plasmodium vivax &P. ovale:


Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Dosis dan lama pemberian Artesunat + Amodioakuin sama dengan pada malaria
falciparum + Primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14 hari
Lini Kedua
Kina + Primakuin
Kina 30mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari + primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14
hari
Pengobatan vivaks relaps
Dosis primakuin ditingkatkan 0,5 mg/kg/hari untuk 14 hari, regiman lainnya sama dengan
sebelumnya
Penderita defisiensi G6PD
Artesunat+Amodiakuin dengan dosis yang sama diberikan 1x/minggu selama 8-12
minggu

Plasmodium malariae
ACT 1x/hari selama 3 hari dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya
Pada daerah tertentu (Papua)
[Dihidroartemisinin + piperaquin (Arterakine)] + Primakuin
 Dihydroartemisinin4 mg/kg/hari (2-10 mg/kg/hari) danpiperaquine 18 mg/kg/hari
(16-24 mg/kg/hari) satu kali sehariuntuk 3 hari
Tiap tablet arterakine mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg
piperaquine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosistunggal

Penganganan malaria berat :

Pilihan utama: Artesunat intravena


Pengobatan malaria di tingkat RS dianjurkan untuk menggunakan artesunate intravena.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik
dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Larutan artesunat
dibuat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dan 0,6 ml natrium bikarbonat
5%, diencerkan dengan Dextrose 5% sebanyak 3 - 5 cc dan diberikan secara bolus
perlahan-lahan.
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kg per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24.
Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kg per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum
obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT
lainnya)+ primakuin.

Kemasan dan cara pemberian artemeter


Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan
minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 1,6mg/kg intramuskular dan diulang setelah 12
jam. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kg intramuskular satu kali sehari sampai
penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, pengobatan
dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.

Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral


Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang
tidak tersedia derivat artemisinin parenteral. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina
dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kg (bila umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg )
diencerkan dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kg diberikan
selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat, selanjutnya
diberikan kina peroral sampai 7 hari.

Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan
dapat menimbulkan kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kg.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan
pemberiannya dalam Dextrose 5%

Edukasi
1. Pemakaian kelambu saat tidur
2. Penggunaan losion anti nyamuk
3. Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis malaria
Prognosis
Malaria
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ada bonam
Malaria Berat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ada bonam
Level evidens
IV
Tingkat rekomendasi
C
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama rawat
7-10 hari

Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Respon klinis dan parasitologis memadai
3. Tidak ada parasitemia
4. Tidak ditemukan komplikasi
Kepustakaan
1. American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006,
h. 435-41.
2. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s
infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 337-48.
3. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia; 2004. h.
1139-43.
4. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober
CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1295-1301
5. World Health Organization. Severe falciparum malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg.
2000.
6. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Malaria. Dirjen PP & PL Depkes RI. 2012.
7. Depkes R. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malara di Indonesia: Gebrak Malaria
Ditjen PP 7 PL. Depkes RI. 2008.
8. WHO. Guidelines for the Treatment of Malaria. 2nd edition. 2010.
9. Harijanto, P. Eliminasi Malaria pada Era Desentrallisasi. Dalam : Jendele Data dan
Informasi Kesehatan : Epidemiologi Malaria di Indonesia. Triwulan I. 2011.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Morbili
Kode ICD : B05
Definisi
Campak, measles atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus
campak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa prodromal sampai
lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam, ditandai oleh panas tinggi diikuti dengan
keluarnya ruam yang kemudian menghitam pada akhir perjalanan penyakit.
Anamnesis
1. Demam tinggi terus menerus 38,5oC atau lebih
2. Disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila terkena cahaya
(fotofobia), seringkali diikuti diare
3. Timbul ruam kulit pada hari ke 4-5 demam, didahului oleh suhu yang meningkat lebih
tinggi dari semula.
4. Dapat mengalami kejang
5. Saat ruam timbul, anak masih demam, batuk dan diare dapat bertambah parah sehingga
anak mengalami sesak napas atau dehidrasi
6. Tanda penyembuhan: Adanya kulit kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi)
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga stadium:
1. Stadium prodromal: berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti dengan
batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda
patognomonik timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak
Koplik yang timbul 24 jam sebelum muncul ruam dan menghilang pada hari ketiga
timbulanya ruam.
2. Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular yang bertahan selama 5-
6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian
menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstremitas. Saat timbul ruam anak masih
demam
3. Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang
sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan
menghilang setelah 1-2 minggu.

Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan serologis jika diperlukan (IgM campak)
Diagnosis kerja
Campak (ICD 10: B05)
Diagnosis banding
1. Rubela
2. Demam skarlatina
3. Eksantema subitum
4. Infeksi stafilokokus
5. Ruam akibat obat-obatan
Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi: jumlah leukosit normal/turun atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi
bakteri
2. Apabila ada komplikasi ensefalopati dilakukan:
a. Pemeriksaan cairan serebrospinalis
b. Kadar elektrolit darah
c. Analisis gas darah
3. Feses lengkap apabila ada komplikasi enteritis
4. Apabila ada komplikasi bronkopneumonia dilakukan:
a. Pemeriksaan foto rontgen dada
b. Analisis gas darah
Terapi
1. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, anti konvulsi diberikan bila
terjadi kejang, dan vitamin A.
2. Indikasi rawat inap: hiperpireksia, dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya
komplikasi.
3. Pasien dirawat di ruang isolasi, tirah baring.
4. Vitamin A diberikan sekali sehari selama 2 hari dengan dosis 50.000 IU pada usia < 6
bulan, pada usia 6 bulan-1 tahun 100.000 IU oral pada usia 6 bulan-1 tahun dan, 200.000
IU oral pada usia > 1 tahun.
5. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai, jenis makanan disesuaikan dengan
tingkat kesadaran pasien dan ada-tidaknya komplikasi.
6. Pengobatan komplikasi yang sesuai
7. Imunisasi campak dapat diberikan untuk pencegahan anak yang kontak dengan kasus
campak, apabila vaksin campak diberikan 72 jam setelah kontak campak.
8. Immunoglobulin dapat diberikan untuk mencegah timbulnya campak pada individu
yang terpapar dalam 6 hari, terutama diindikasikan pada kasus immunocompromised.
Dosis yang direkomendasikan 0,25 mg/kg IM, untuk pasien imunokompromais dosis
yang diberikan 0,5 mg/kg IM (dosis maksimum 15 mL). Immunoglobulin diberikan pada
kelompok risiko tinggi terjadinya komplikasi yaitu bayi < 1 tahun, wanita hamil, dan anak
yang immunocompromised
Edukasi
1. Rawat di bangsal isolasi
2. Tirah baring
3. Menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin.
4. Melaksanakan cuci tangan 6 langkah
5. Penyakit Campak merupakan penyakit yang swasirna.
6. Menjelaskan risiko terjadinya komplikasi pada pasien dengan gizi buruk dan anak
berumur lebih kecil: diare dengan dehidrasi, otitis media, croup, bronkopneumonia,
ensefalitis akut, SSPE
7. Imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan, diulang saat masuk sekolah SD (program
BIAS), atau imunisasi MMR pada umur 12-15 bulan diulang saat umur 5-6 tahun.
8. Pada anak yang pernah menderita campak, imunisasi tidak perlu diberikan
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Tingkat evidens
III
Tingkat rekomendasi
C
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama rawat
3-5 hari
Indikator Medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis (tanpa sesak maupun diare)
3. Nafsu makan baik
4. Ruam kulit mulai menjadi kehitaman dan mengelupas.
Kepustakaan
1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious disease,
5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008. American Academy of Pediatrics. Measles.
Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006
Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL.
American Academy of Pediatrics; 2006, h. 441-52
3. Samuel LK. Measles (Rubeola). Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting.
Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 353-68
4. Maldonado YA. Rubeola virus (measles and subacute sclerosing panencephalitis). Dalam:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric
infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1148-55
5. Maldonado YA. Measles. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 1026-32.
6. American Academy of Pediatrics. Measles. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.
441-52

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

PANDUAN PRAKTEKKLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATANANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Omfalitis
Kode ICD : P 38.9
Definisi
Infeksi pada tali pusat yang umumnya terjadi pada periode neonatal. Umumnya disebabkan
oleh bakteri gram (+) dan/atau (-), namun dapat juga disebakan oleh bakteri anaerob.
Anamnesis
 Gejala muncul dalam dua minggu pertama kehidupan
 Kemerahan di sekitar tali pusat disertai keluar cairan berupa nanah yang berbau busuk
 Demam atau hipotermi
 Kuning
 Malas minum
 Iritabel
Pemeriksaan fisik
 Pada tali pusat dan daerah sekitarnya ditemukan tanda inflamasi berupa kemerahan,
bengkak, dan nyeri.
 Discharge berupa pus yang berbau busuk
 Dapat disertai gejala sistemik berupa peningkatan suhu > 38C, instabilitas temperatur
tubuh, jaundice,takikardi, pemanjangan CRT, takipneu, dan perut kembung.
Kriteria diagnosis
 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisik
Diagnosis
Omfalitis
Diagnosis banding
 Granuloma umbilical
 Tetanus neonatorum
 Selulitis
 Sepsis
Pemeriksaan penunjang
 Darah perifer lengkap
 CRP
 Pewarnaan gram, kultur dan resistensi dari apusan pus
 Kultur darah
Tatalaksana
 Terapi lokal:
Bersihkan umbilikus dengan alkohol 70% dan betadine.
 Terapi sistemik:
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis dan
- Gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis
Bila dicurigai disebabkan oleh kuman anaerob dapat diberikan metronidazol
Antibiotik kemudian dapat disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi dan/atau
perbaikan klins
Durasi pemberian antibiotik:
- Omfalitis tanpa komplikasi 7 hari
- Bila dijumpai komplikasi lain dapat diberikan selama 10-14 hari
Edukasi
- Perawatan pada tali pusar setelah melahirkan dengan menggunakan betadine, alkohol,
klorhideksin, bacitrasin atau silver sulfadiazine.
- Tidak menambahkan pemberian bahan topikal lain tali pusat selain yang disarankan
tenaga medis.
Prognosis
Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat :
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad functional : ad bonam
Tingkat evidens
III
Tingkat rekomendasi
C
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama perawatan
7-14 hari
Kepustakaan
1. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
2. Mullay LC, et al. Development of clinical sign based on algortihms for community based
assesment of omphalitis. F99.
3. Tolzis P. Staphylococcus epiderdimis and oterh coagulase-negative staphylococci. Dalam
: Long SS, Pickering LK, Prober CG, editor. Principles adn practice of pediatric disease.
Edisi ke-4. Philadelphia, PA : Elsevier Science. 2012. h 689-95.
4. Shah SS. Omphalitis. Dalam : The 5 minute pediatric consult. Schwartz W, editor. Edisi
ke-3. Philladelphia, PA : Lippincot Williams and Wilkins. 2003. H 582-3.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

PERTUSIS
ICD-10 : A37.9
Pengertian (Definisi)
Penyakit saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis
Anamnesis
Penyakit berlangsung selama 6-12 minggu, terdiri dari 3 stadium :
1. Stadium kataral : pilek, lakrimasi, batuk ringan, suhu tubuh biasanya normal, keparahan
batuk meningkat setelah 1-2 minggu
2. Stadium paroksismal : batuk paroxismal, batuk panjang diakhiri dengan suara whoop
saat inspirasi. , sianosis, lakrimasi
3. Stadium konvalescen
Pemeriksaan Fisik
1. Batuk-batuk panjang
2. Tidak ada inspirasi diantaranya dan di akhiri dengan Whoop saat inspirasi.
Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisis
3. Pemeriksaan penunjang (darah rutin, kultur sputum, swab tenggorokan)
Diagnosis
Pertusis
Diagnosis Banding
1. Trankeobronkitis
2. Bronkiolitis
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin: leukositosis dengan limfositosis absolut
2. Kultur sputum
3. Swab tenggorokan
Terapi
1. Antibiotika eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis diberikan selama 2 minggu.
2. Antitusif misalnya kodein 1 mg/tahun, 3 kali sehari dapat diberikan bila terjadi gejala
batuk yang hebat tanda adanya komplikasi baru.
3. Obat-obatan simptomatik diberikan sampai gejala-gejala spasmodik menghilang.

Edukasi

Prognosis
Ad vitam : dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad
Tingkat evidens

Tingkat Rekomendasi

Penelaah Kritis

Indikator Medis

Target

Kepustakaan
Wood N, Mc Intyre P. Pertussis: Review of Epidemiology, Diagnosis, Management, and
Prevention. Paediatric Respiratory Review 2008; 9: 201–212

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

PANDUAN PRAKTEKKLINIS (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Sepsis
Kode ICD : A41.9
Definisi
Sepsis: sindrom klinis hasil dari respon inflamasi sistemik (Systemic inflammatory response
syndrome/SIRS) terhadap infeksi (dugaan klinis/terbukti)
SIRS: respon klinis terhadap proses infeksi atau non-infeksi yang ditandai dengan minimal 2
keadaan berikut (salah satunya harus temperatur atau jumlah lekosit yang abnormal):
 suhu core 38,5oC atau <36oC
 takikardi atau bradikardi
 takipneu
 leukositosis, leukopenia atau hitung jenis bergeser ke kiri (netrofil imatur > 10%)
Infeksi: Adanya dugaan infeksi pathogen atau terbukti (berdasarkan hasil biakan positif,
pewarnaan jaringan, atau uji PCR) ATAU sindrom klinis yang sangat dicurigai berhubungan
dengan infeksi. Bukti infeksi meliputi temuan positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan,
atau laboratorium (misal: ditemukannya sel darah putih pada cairan tubuh yang seharusnya
steril, perforasi viscus, gambaran radiografi sesuai pneumonia, ruam petekie atau purpura,
atau purpura fulminans).
Sepsis berat: sepsis + disfungsi organ akut (minimal 1 organ: kardiovaskular atau sindrom
distress pernapasan akut) atau minimal 2 disfungsi organ lainnya.
Syok septik: sepsis + syok yang refrakter terhadap resusitasi cairan atau disfungsi
kardiovaskular
Anamnesis
1. Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang
mendasari timbulnya sepsis.
2. Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia,
vasodilatasi yang disusul dengan hipotensi
3. Gelisah dan agitasi
4. Letargifg
5. Muntah
6. BAK sedikit
7. Riwayat luka bakar luas
8. Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
9. Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
10. Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
11. Riwayat pemberian antibiotik atau antivirus
Pemeriksaan fisik
1. Penurunan kesadaran, letargi, agitasi
2. Hipotermia atau hipertermia
3. Takikardia atau bradikardi
4. Hiperventilasi
5. Gangguan perfusi atau hipotensi
6. Dehidrasi
7. Perut kembung
8. Timbulnya petekia dan purpura
9. Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Diagnosis kerja
Sepsis
Diagnosis banding
1. Intoksikasi
2. Sindrom Kawasaki
3. Leptospirosis
4. Tuberkulosis
5. Malaria
6. Kriptokokosis
7. Penyakit Lyme
8. Rocky Mountain Spotted Fever
9. Keganasan
Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, hitung jenis leukosit, dengan apus darah
tepi, LED
2. SGOT, SGPT, Bilirubin Total, Direk dan Indirek
3. Gula Darah Sewaktu
4. Ureum dan Creatinin
5. CRP
6. Procalcitonin
7. Elektrolit: Na, K, Ca, Cl
8. PT, aPTT, d-dimer, fibrinogen
9. Analisa gas darah
10. Urinalisis
11. Biakan darah berulang
12. Biakan urin
13. Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
14. Biakan jamur pada darah dan urin
15. Pemeriksaan radiologis
16. Laktat
Terapi
1. Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat diberikan:
a. Sefotaksim 100-150mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis atau Ampicillin (150-200
mg/kg/hari iv dalam 3 dosis) + Gentamisin (5-7 mg/kg/hari dalam 2 dosis atau dosis
tunggal)
b. Antibiotik spektrum luas sesuai pola kuman rumah sakit jika kuman berasal dari
health care associated infections (HAISs)
c. Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila didapatkan
kecurigaan bakteri anaerob.
d. Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara definitif.
2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam-basa.
3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian oksigen
dan mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
4. Terapi Oksigen
5. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
6. Terapi cairan intravena termasuk TPN
7. Glucose control: pertahankan kadar gula darah >70 mg/dl
8. Anti jamur sistemik atas indikasi
9. Antipiretik: parasetamol
10. Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
11. Terapi inhalasi
12. Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin
13. Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
14. Source control: drain dan debridement sumber infeks bila memungkinkan

Edukasi
1. Tirah baring
2. Imunisasi
3. Perbaiki nutrisi
4. Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
5. Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam: dubia
Tingkat evidens
III
Tingkat rekomendasi
C
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama rawat
10-15 hari
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi
Kepustakaan
1. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI.
Penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 2008. h358-63
2. Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson
WE. Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders.
Co, 1987: 568
3. Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3
Philadelphia: JB Lippincott, 1989. H 292-9
4. Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat
Infect Dis Journ, 1992; 11: 739-49
5. Goldstein B, Giroir B, Rnadoplph A; International Consensus Conference on Pediatric
Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference : definition for sepsis and
organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005. Jan;6(1):2-8
6. Dellinger RP, et al. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine, 2013.
Feb;41(2):580-637

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

Anda mungkin juga menyukai