Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS KONSELING MAKANAN DAN PENANGANAN

TERHADAP ANAK YANG ALERGI SUSU SAPI

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat sidang aktif

Oleh :

Tribita Fajarini Kardi

1910631220051

Program Studi S1 Gizi

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Singaperbangsa Karawang

2019
Kata pengantar
Abstrak

Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian alergi terus meningkat tajam baik di
dalam negeri maupun luar negeri. World Allergy Organization (WAO) menyebutkan
22% penduduk dunia menderita alergi dan terus meningkat setiap tahun. Alergi
makanan merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh reaksi IgE terhadap bahan
(zat kimia) makanan. Alergi makanan dapat mengganggu fungsi otak dan sistem
organ tubuh serta mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui gambaran sensitivitas terhadap alergen makanan di Poli Alergi
Imunologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007. Data yang
digunakan merupakan data sekunder dari 208 responden yang memiliki rekam medik
dan yang melakukan tes tusuk kulit (skin prick test) di Poli Alergi Imunologi RSCM
tahun 2007. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan jenis alergen
makanan pada kelompok anak dan dewasa. Sebesar 49% responden sensitif terhadap
alergen makanan. Jenis makanan yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-
anak dan dewasa berturut-turut adalah udang, putih telur dan maizena. Susu sapi dan
tepung terigu merupakan jenis makanan yang paling banyak menyebabkan alergi
hanya pada anak-anak, sedangkan pada dewasa, makanan yang paling banyak
menyebabkan alergi adalah kepiting.
Abstract

The Level of Sensitivity of Food Allergens. In recent years, the occurrence of


allergy continues to increase rapidly both domestically and globally. World Allergy
Organization (WAO) revealed that 22% of the world population suffers from
allergies, and this number increases every year. Food allergy is a condition caused by
the reaction of IgE against substances (chemicals) in food. Food allergy can interfere
with brain function and body organ systems as well as affect the quality of life. The
purpose of this study is to know the level of sensitivity of food allergens in the
Immunology Allergy Poly RSCM in 2007. Data were collected from 208 patients
who have medical records and went through skin prick tests in the Immunology
Allergy Clinic RSCM in 2007. Univariate analysis was performed to describe the
types of food allergens within groups of children and adults. Around 49% of the
respondents were sensitive to food allergens. The types of foods that caused the most
allergies for children and adults are respectively shrimp, egg white and cornstarch.
Cow's milk and wheat flour are the types of food that caused most allergies for
children only, whereas for adults, the food that caused the most allergies is crab
Daftar isi
BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Istilah alergi dipakai dalam konteks reaksi hipersensitif yang disebabkan akibat reaksi
imun yang berakibat buruk terhadap jaringan atau mengganggu proses fisiologi
manusia. Rekasi imun dicetuskan oleh adanya kompleks biokimiawi atau respon
infalammasi yang menghasilkan gejala-gejala klinis. ( buku alergi makanan)

Meningkatnya angka kejadian alergi selama 20 tahun terakhir dapat menimbulkan


masalah bagi dunia kesehatan. Alergi ditimbulkan karena perubahan reaksi tubuh
(menjadi rentan) terhadap suatu bahan yang ada dalam lingkungan hidup kita sehari-
hari. Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang
menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya. Ada
berbagai cara alergen ancaman bagi masyarakat karena makanan merupakan
kebutuhan pokok, tetapi makanan juga dapat membahayakan jiwa.

Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin, pola makan,
jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor lingkungan. Penyakit alergi
merupakan gangguan kronik yang umum terjadi pada anak-anak dan dewasa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Oehling et al. dalam
Prawirohartono pada 400 anak umur 3-12 tahun didapatkan data bahwa 60%
penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki. Pola makan (eating
habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya populasi di
Skandinavia sering menderita alergi terhadap ikan.7 Prevalensi alergi makanan di
Indonesia adalah 5-11%. Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat terjadi
karena masih banyak masyarakat yang tidak melakukan tes alergi untuk memastikan
apakah mereka positif alergi makanan atau tidak. Persepsi mereka, jika setelah makan
makanan tertentu (telur, kepiting, udang, dan lain-lain) mereka merasa gatal-gatal,
maka mereka menganggap bahwa mereka alergi terhadap makanan itu sehingga data
yang ada tidak cukup mewakili. Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi
masih belum banyak ditemukan. Salah satu rumah sakit yang memiliki Poli Alergi
Imunologi untuk melakukan tes alergi adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
sensitivitas terhadap alergen makanan di Poli Alergi Imunologi RSCM baik pada
anak maupun dewasa.

Analisis univariat dilakukan terhadap jenis makanan yang biasanya menyebabkan


alergi pada kelompok anak maupun dewasa seperti kacang tanah, maizena, tomat,
coklat, soya, tepung terigu, pisang, stroberi, alpukat, putih telur, udang, kuning telur,
daging ayam, tuna, oyster, susu sapi dan kepiting. Analisis tersebut kemudian
diinterpretasikan secara deskriptif. (jurnal)

Di berbagai belahan dunia masalah alergi makanan rentan dialami oleh anak-anak.
Sekitar 20% anak usia satu 1 tahun pertama pernah mengalami reaksi terhadap
makanan yang diberikan termasuk yang disebabkan reaksi alergi. Kebanyakan dari
mereka adalah yang mengkonsumsi susu sapi atau susu formula. Alergi susu sering
kali disamakan dengan intoleransi laktosa karena gejala kedua kondisi ini memang
mirip. Padahal, keduanya merupakan kondisi yang sangat berbeda. Alergi susu sapi
terjadi ketika sistem kekebalan tubuh bayi bereaksi berlebihan terhadap protein dalam
susu, sedangkan intoleransi laktosa terjadi ketika bayi sulit mencerna laktosa (gula
alami pada susu). https://www.alodokter.com/alergi-susu
Tidak seperti intoleransi laktosa yang tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh, alergi
susu sapi justru terjadi akibat adanya reaksi sistem kekebalan tubuh anak dengan
protein yang terkandung di dalam susu sapi. Jenis protein yang paling sering
menyebabkan alergi adalah whey dan kasein. Bayi yang mengalami alergi bisa saja
alergi terhadap salah satu atau kedua protein tersebut. Reaksi yang muncul biasanya
terjadi dalam hitungan menit atau jam setelah mengonsumsi susu. Anak bisa saja
alergi terhadap susu apapun, karena dalam berbagai susu terdapat protein di
dalamnya, namun yang paling sering terjadi adalah alergi yang disebabkan oleh susu
sapi. https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/alergi-autoimun/alergi/gejala-dan-tanda-
anak-alergi-susu-sapi/
Manifestasi klinis yang timbul karena alergi susu sapi sangat bervariasi dan dapat
menjadi masalah yang mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak. Salah satu
manifestasi klinis yang terjadi adalah diare kronik akibat terjadinya suatu enteropati.
Enteropati akibat sensitisasi protein susu sapi ini dikenal dengan Cow’s Milk Protein
Sensitive Enteropathy (CMPSE). Menurut Walker Smith (1978) insiden CMPSE
adalah 7,6%, namun peneliti lain mendapat angka yang bervasiasi yaitu antara 0,3 –
8%.

Perlu dipahami bahwa CMPSE merupakan salah satu bentuk alergi yang melibatkan
reaksi imunologi, harus dibedakan dengan intoleransi susu sapi yang tidak melibatkan
reaksi imunologi. Selain itu perlu juga dipahami bahwa enteropati tidak hanya
disebebakan oleh alergi protein susu sapi tetapi juga dapat disebabkan oleh alergi
bahan makanan lain, infeksi, obat-obatan dan penyebab lainnya. Diagnosis CMPSE
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan sebagai diagnosis pasti
dengan biopsi usus.

CMPSE adalah sindroma klinis akibat sensitisasi seorang terhadap protein susu sapi
yang di absorpsi melalui mukosa usus yang permeabel. Sindroma ini ditandai oleh
gejala klinis yang khas seperti muntah, diare khusus, malabsorpsi, gangguan
pertumbuhan (failure to thrive) dan pada biopsi usus halusnya ditemukan mukosa
abnormal. (buku alergi makanan)

Salah satu penyakit non infeksi dan non degeneratif yang banyak memberi masalah
terhadap kehidupan ini. Di dalam tubuh penderita alergi, imunoglubin E (Ig E)
terdapat dalam kadar yang tinggi terutama imunoglobulin E yang spesifik terhadap
zat-zat tertentu. Mediator seperti histamin dan lain-lain dikeluarkan dari reaksi
imunoglobulin E dengan alergi tersebut. Mediator tersebut menimbulkan gejala-
gejala alergi seperti gatal-gatal di kulit, saluran cerna, mata, serta susunan saraf. (di
jurnal)

Alergi yang diperantarai oleh IgE merupakan jenis reaksi alergi yang paling diketahui
mekanismenya. Pada reaksi alergi yang diperantarai IgE, saat pertama kali memasuki
tubuh, sel dendritik sebagai salah satu APC yang terdapat di epitel akan memproses
alergen pada lokasi terjadinya kontak. Selanjutnya, alergen yang telah diproses ini
akan ditranspor ke kelenjar limfe dan mempresentasikan Major Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II ke sel T helper naif (TH0). Sel T selanjutnya akan
berdiferensiasi menjadi T helper 2 (TH2) dan sel T helper folikular (TFH) yang
berperan dalam produksi sitokin-sitokin, khususnya IL-4 yang menginduksi
diferensiasi lebih lanjut ke arah TH2. Melalui IL-4, TH2 dan TFH selanjutnya akan
menginduksi limfosit B untuk menukar produksi isotipe antibodi dari IgM menjadi
IgE. IgE yang dihasilkan akan menempel pada reseptor-reseptor IgE berafinitas tinggi
(FϲεRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil yang menandai terjadinya proses
sensitisasi. Sel mast, basofil dan eosinofil merupakan sel efektor dari reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (immediate hypersensitivity reactions) yang mengandung
granula berisi mediator-mediator reaksi alergi seperti histamin, heparin dan serotonin.

Pada beberapa individu dengan alergi susu sapi, tidak ditemukan kenaikan kadar IgE
yang spesifik terhadap protein susu sapi di sirkulasi darah dan tidak menunjukkan
hasil yang positif pula pada uji tusuk kulit. Karena tidak melibatkan kenaikan kadar
IgE seperti pada hipersensitivitas tipe I, reaksi ini disebut alergi yang tidak
diperantarai IgE (non IgE-mediated allergy) atau sering juga disebut sebagai delayed-
type allergic reaction. Mekanisme alergi ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan beberapa studi diperkirakan ada dua mekanisme yang dapat mendasari
respon alergi ini. Yang pertama adalah reaksi yang diperantarai TH1, dimana
kompleks imun yang terbentuk akan mengaktivasi komplemen- komplemen.
Mekanisme kedua adalah reaksi yang melibatkan interaksi sel limfosit T, sel mast
atau neuron, dimana interaksi ini menimbulkan perubahan fungsional pada motilitas
usus dan aktivitas otot polos saluran cerna. Sel limfosit T akan menginduksi sekresi
sitokin-sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13 yang akan mengaktivasi eosinofil,
sel mast, basofil dan makrofag untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi yang
pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi kronis dan manifestasi alergi susu sapi.

Berdasarkan respon imunologis yang mendasarinya, alergi susu sapi dapat


diklasifikasikan menjadi :

1. IgE mediated reaction


IgE mediated reaction disebut juga sebagai immediate hypersensitivity reaction
karena gejala klinis muncul dalam hitungan menit hingga 2 jam setelah paparan
dengan protein susu sapi.7,21 Gejala yang sering muncul bervariasi mulai dari reaksi
ringan seperti urtikaria, angioedem, ruam kulit, eksarsebasi akut DA, muntah, nyeri
perut, diare, rinokonjungtivitis hingga yang mengancam jiwa seperti bronkospasme
dan anafilaksis.30 Pada reaksi alergi tipe ini, didapatkan kenaikan kadar IgE susu sapi
yang positif pada skin prick test atau pemeriksaan kadar IgE spesifik.31

2. Non IgE mediated reaction


Pada non IgE mediated reaction, reaksi alergi tidak diperantarai oleh IgE, tetapi oleh
komponen imun lain seperti sel T.32 Manifestasi klinis biasanya muncul lebih
lambat, bisa lebih dari 2 jam hingga 72 jam setelah paparan dengan protein susu sapi
sehingga disebut juga delayed type hypersensitivity. Alergi jenis ini tidak
menunjukkan gejala yang spesifik dan dapat bermanifestasi sebagai kolik, refluks
gastroesofageal yang persisten, diare, eksarsebasi DA, allergic eosinophilic
gastroenteropathy, enterokolitis, anemia ataupun kegagalan pertumbuhan.

Sebetulnya semua makanan dapat menimbulkan alergi, namun antara satu makanan
dengan makanan yang lain mempunyai derajat alergenitas berbeda, misalnya yang
satu menimbulkan lebih banyak reaksi alergi dibandingkan makanan lainnya.
Kebanyakan dari mereka adalah yang mengkonsumsi susu sapi.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana konseling makanan dan penanganannya terhadap alergi susu sapi?


2. Bagaimana diagnosis awal dilihat dari sisi garis keturunan keluarga?
3. Bagaimana cara mencegah alergi protein susu sapi?
Tujuan Penelitian

1.

2.

3.

Kegunaan Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para orangtua
agar lebih memperhatikan buah hati mereka agar terhindar dari kasus alergi pada susu
sapi. Namun, penelitian ini juga dipaparkan berupa penanganan konseling makanan
sehingga anak yang mengalami alergi terhadap susu sapi masih bisa
menyeimbangkan asupan mereka dengan cara bahan pangan lain untuk
menyamaratakan kandungan yang ada dalam susu sapi.

Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil akhir ini diharapkan dapat menjadi literatur penelitian selanjutnya
dan dapat dikembangkan lebih luas. Selain itu, diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan penunjang dalam kegiatan belajar dan mengajar bagi mahasiswa di Indonesia.
Bab 2

Landasan teori/tinjauan pustaka

Penelitian terdahulu

Hasil penelitian terdahulu merupakan hasil referensi bagi peneliti untuk melakukan
penelitian ini. Dalam penelitian terdebut terdapat kesamaan permasalahan penelitian,
menjadikan gambaran mengenai penelitian, dan tentu saja pengetahuan penelitian.
Berikut berapa peneliti terdahulu yang menjadi bagian dari referensi dalam penelitian
ini :

1. Ina Rosalina, 2018 211


Dosen Universitas Padjadjaran Bandung melakukan penelitian “Cow’s Milk
Protein Sensitive Enterophaty”. Hasil penelitian ini yaitu tentang manifestasi
klinis yang terjadi akibat terjadinya suatu enteropati mengakibatkan diare
kronik. Selain itu faktor risiko seperti faktor genetik, kegagalan sistem
pertahanan terhadap alergen kedalam sirkulasi, pengelolaan gangguan tumbuh
kembang anak dan pengelolaan terhadap penyakit penyerta seperti infeksi,
serta pencegahan untuk seorang anak dengan risiko alergi makanan sejak
dalam kandungan.
2. Mulya Safri, 2008 212
Dosen Universitas Syiah Kuala melakukan penelitian mengenai konseling
makanan dan penelitian terhadap anak yang mengalami alergi susu sapi. Hasil
penelitian ini tentang manifestasi klinis yang terjadi pada alergi susu sapi
secara umum hampir sama dengan gejala alergi makanan lainnya.
Ketidakcermatan dalam menganalisa permasalahan kesehatan bisa disebabkan
karena terlalu cepat dalam memastikan anak yang menderita alergi. Terdapat
konseling pemberian susu dan alternatif untuk pengganti susu sapi, serta
asupan makanan untuk penderita susu sapi.
3. Endy Paryanto Prawirohartono, 2018 213
dr. Endy Paryanto melakukan penelitian “Makanan Sebagai Penyebab
Alergi”. Hasil penelitian tersebut membahas mengenai sumber alergi terbesar
berasal dari makanan yang dikonsumsi. Namun hal lain seperti perubahan
lingkungan, perubahan gaya hidup, perubahan pola makan dan perubahan
proses pengawetan makanan bisa menjadi pemicu terjadinya kasus alergi
terhadap makanan. Dalam karynya, disebutkan juga beberapa faktor seperti
faktor umur yang terjadi antara anak dan orang dewasa, jenis kelamin antara
perempuan dan laki-laki, pola makanan di beberapa negara, jenis makanan
awal yang dikonsumsi, bahan makanan penyebab alergi, serta gejala klinis
alergi makanan seperti sistem pencernaan, sistem pernapasan, kulit, saraf,
anafilaksi, dan gangguan pertumbuhan.

Untuk memperjelas pemetaan dari ketiga penelitian diatas disajikan tabel


sebagai berikut.
NAMA INA ROSALINA MULYA SAFRI ENDY
PARYANTO
TAHUN 2018 2008 2018
INSTANSI UNPAD UNIV.SYAH UGM
KUALA
JUDUL Cow’s Milk Protein Alergi Susu Sapi. Makanan Sebagai
Sensitive Bagaimana Penyebab Alergi
Enterophaty konseling makanan
dan
penaganannya?
TUJUAN mengetahui perihal mengetahui asupan mengetahui bahwa
membedakan alergi gizi bagi penderita banyak faktor yang
makanan yang alergi susu sapi bisa menyebabkan
melibatkan reaksi bisa seimbang alergi yang di
imunologi dengan dengan pangan dasari oleh
intoleransi susu lainnya sehingga makanan
sapi yang tidak kandungannya
melibatkan reaksi sama dengan anak
imunologi yang
mengkonsumsi
susu sapi
METODE Analisis dan
PENELITIAN observasi
TEKNIK Pengamatan dan Pengamatan dan Pengamatan dan
PENGUMPULAN observasi observasi observasi
DATA
HASIL
PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Pertahanan Tubuh Manusia dan Makanan sebagai penyebab alergi

1. Pertahanan Tubuh Manusia (teoritis)


Tubuh manusia secara terus menerus melawan invasi dari bakteria dam virus
yang ada di sekitar kita. Patogen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui
jaringan kulit yang terlukan maupun mukosa yang terdapat di saluran
pencernaan atau pernapasan. Kita memiliki kemampuan untuk melawan
infeksi tersebut yaitu dengan membentuk sel-sel imun. Sel, jaringan, dan
molekul di dalam tubuh yang saling bekerja sama untuk menciptakan
pertahanan terhadap infeksi dari luar tubuh disebut dengan sistem kekebalan
tubuh. Sementara reaksi yang terkoordinasi antara sel, jaringan, dan molekul
di dalam tubuh yang saling bekerja sama untuk menciptakan pertahanan
terhadap infeksi dari luar tubuh disebut dengan respons imun.

Kekebalan tubuh manusia dikelompokkan menjadi dua, yaitu innate immunity


dan adaptive immunity. Pengelompokkan ini didasarkan pada mekanisme
pertahanan yang dilakukan serta cara tubuh mendapatkan kekebalan tersebut.
Innate immunity sering disebut dengan imunitas bawaan atau imunitas alami
atau imunitas asli. Sementara adaptive immunity sering disebut dengan
imunitas khusus atau imunitas buatan.

Tubuh manusia memiliki serangkaian mekanisme dalam menghalangi


masuknya patogen, mencegah patogen berkembang serta mengeliminasi
patogen yang telah masuk ke dalam tubuh. Saat tubuh pertama kali
mengalami serangan infeksi, penghalang utama yang digunakan tubuh ialah
bagian terluar tubuh, yaitu jaringan kulit. Dari definisi yang dijelaskan
tersebut dikutip dari buku cetak Imunologi Gizi (Harry Freitag Luglio
Muhammad, 2018)

Berbeda dengan sistem imun didapat, tubuh memiliki sistem imun adaptif.
Sistem imun ini memerlukan beberapa hari untuk dapat diaktivasi. Sistem
imun adaptif bersifat spesifik pada satu jenis antigen tertentu dan memiliki
respons yang lebih kuat dibandinkan dengan sistem imun yang didapat.
Spesifitas dari sistem imun didapat ini adalah karena jenis-jenis sel ini bekerja
dengan mengenali resptor antigen yang terdapat di permukaan selnya. Dengan
demikian sistem imun dapat mengerahkan sumber dayanya untuk melakukan
penyerangan terhadap patogen dengan antigen yang spesifik tersebut.

Serangkaian sistem tubuh manusia terdiri dari sel, protein, dan komponen
lainnya yang saling berinteraksi satu sama lain. Untuk menjalankan peran-
peran tersebut dapat berupa bentuk, protein yang dihasilkan maupun
keberadaannya di dalam tubuh. Sel imun tersebut terdiri dari :
a. Sel makrofag
Makrofag adalah bentuk aktif dan matang dari sel monosit. Sel ini tinggal
di sebagian besar jaringan dari tubuh. Sebagai salah satu detektor utama
dari kehadiran petogen jaringan. Makrofag memiliki usia hidup yang
cukup lama dan dapat memiliki fungsi untuk mengeliminasi patogen
secara fagositosis (proses memakan sel lain) dan memiliki kemampuan
untuk menginisiasi rangkaian proses imun dengan cara menginduksi
inflamasi
b. Sel granulosit
Disebut sel granulosit karena sel ini terlihat memiliki granula pada
penampang selnya. Terdapat 3 jenis granulosit yaitu neutrofil, basofil, dan
eosinofil. Sel granulosit cenderung berusia lebih pendek karena hanya
dapat bertahan beberap hari saja. Selain itu sel neutrofil mampu
melakukan eliminasi terhadap patogen yang masuk ke dalam tubuh
dengan cara fagositesis dan pembentukan enzim. Berbeda dengan
neutrofil, sel basofil dan eosinofil tidak terlalu banyak diketahui. Kedua
sel ini berperan aktif dalam pertahanan tubuh dari parasit dan berkaitan
dengan kejadian alergi pada makanan.
c. Sel mast
Sel mast merupakan komponen imun yang tidak terlalu banyak dipahami.
Sel ini diketahui berkaitan dengan respons alergi dan juga terlibat pada
infeksi parasit.
d. Sel dendrik
Disebut sel dendrik karena memiliki tangan yang panjang seperti halnya
sel-sel dendrit di sistem saraf. Sel dendrit bertugas untuk menangkap dan
mematikan patogen dan memiliki fungsi dalam proses antigen yang
diperoleh dari proses fagositosis tersebut. Kemampuan sel dendrit ini
krusial untuk menjembatani antara respons imun didapat dan respons
imun adaptif.
e. Sel Natural Killer (NK)
Berbeda dengan sel-sel lainnya, sel NK ini memiliki sifat responsif
terhadap antigen, tetapi juga responsif terhadap infeksi yang tidak
memiliki antigen spesifik. Sel ini juga memiliki kemampuan untuk
menganli dan mebunuh sel-sel yang tidak normal seperti sel tumor dan
sel-sel yang terinfeksi virus.
f. Sel Limfosit
Sel ini memiliki kemampuan untuk mengaktivasi sistem imun adaptif
yang spesifik terhadap antigen yang dimiliki oleh patogen. Secara umum
sel ini terbagi menjadi dua, yaitu Limfosit B dan Limfosit T. Salah satu
fitur yang menarik dari komponen sistem limfosit ini ialah kedua
komponen, yaitu sel B dan sel T memiliki kemampuan untuk
berdiferensiasi menjadi sel memori. Sel memori ini akan mengingat jenis
antigen yang pernah teraktivasi dan bertahan dalam tubuh. Hal ini
memastikan bahwa ketika muncul serangan berikutnya dari patogen
dengan antigen yang sama, respon imun tubuh telah siap untuk
mengeliminasinya.

2. Makanan sebagai penyebab alergi (konseptual)


Sampai saat ini masih banyak pengertian yang tidak sesuai tentang alergi
makanan di masyarakat. Pengertian tersebut mengenai ketidaknormalan akibat
makanan tertentu dapat disebut dengan alergi makanan, dan juga informasi
dari berbagai sumber yang kurang tepat dan penelitian yang kurang sempurna
tentang alergi makanan.

Reaksi yang merugikan terhadap makanan (adverse reaction to food)


meningkat selama 2-3 dekade terakhir. Hal ini disebabkan karena perubahan
lingkungan, perubahan gaya hidup, perubahan pola makan, dan perubahan
proses produksi dan pengawetan makanan. Karena adanya beberapa macam
reaksi yang merugikan terhadap makanan, maka perlu dibedakan istilah-istilah
yang digunakan.

Menurut Endy Paryanto Prawihartono dalam karyanya yang berjudul


Makanan Sebagai Penyebab Alergi menyebutkan bahwa ada beberapa definisi
yang perlu disampaikan untuk membedakan beberapa macam reaksi yang
merugikan terhadap makanan.
a. Food intorelance/food sensitivity, yaitu reaksi terhadap makanan yang
berulang, tidak mengenakkan, bukan psikologis dengan latar belakang
bukan imunologis, farmakologis, pelepasan histamin non imunologis,
serta iritasi langsung.
b. Food allergy/food hypersensitivity, yaitu reaksi terhadap makanan yang
dapat berulang, mempunyai latar belakang reaksi imunologis yang
abnormal.
c. Food aversion (psychologically based food reaction, yaitu reaksi terhadap
makanan, tidak mengenakkan, karena faktor psikologis atau reaksi emosi
terhadap makanan, sehingga bilamana yang bersangkutan tidak
mengetahui memakan makanan tersebut maka reaksi tidak akan timbul.
d. Psychosocial and neurologic dysfunction, yaitu interaksi makanan-otak
pada pasien dengan kelainan psikologis dan neurologis seperti epilepsi,
migrain, dan attention deficit with hyperactivity.
Pada buku cetak pun dipaparkan berupa faktor-faktor penyebab terjadinya
alergi makanan diantarnya berupa faktor umur, jenis kelamin, pola makan, dan jenis
makanan awal yang diberikan.
1. Faktor umur
Risiko alergi terhadap jenis bahan makanan tertentu ternyata tergantung
pada umur. Jenis bahan makanan yang dapat menimbulkan alergi berbeda
antara anak dan orang dewasa. Pada bayi umur 0-3 bulan mengalami
alergi pada susu sapi paling banyak. Namun alergi susu sapi pada bayi
makin berkurang sesuai dengan peningkatan umur anak.

Gambar 1. Perbandingan frekuensi alergi makanan pada anak-anak dan


dewasa (Blanco, 1991)

Tabel 1. Alergi makanan pada bayi (0-12 bulan). (Esteban, 1992)


2. Jenis kelamin
Pada penelitian yang dilaporan oleh Oehling et al (1991) pada 400 orang
anak umur 3-12 tahun didapatkan bahwa 60% penderita alergi makanan
adalah perempuan dan 40% pada laki-laki.
3. Pola makan
Alergi makanan juga dipengaruhi oleh pola makan contohnya alergi pada
kacang kedelai di jepang dan alergi telur di Spanyol.
4. Jenis makanan awal
Bayi yang sejak lahir disusui ibunya mempunyai risiko rendah untuk
menderita alergi makanan, apabila ibu memantang bahan makanan yang
menyebabkan alergi. Manfaat bayi bila disusui ibunya dari segi alergi
makanan ialah rendahnya bayi terpapar protein asing, maturasi barrier
usus lebih cepat, adanya zat anti inflamasi dalam ASI, mengurangi infeksi,
adanya antibody, anti idiotipik yang menginduksi toleransi daripada
sensitasi.

2.3 Definisi Operasional

Pemberian susu adalah merupakan masalah yang tersendiri pada penderita


alergi susu sapi. Untuk menentukan penderita alergi susu sapi pilihan utama adalah
susu ektensif hidrolisat. Tetapi beberapa penderita juga bisa toleran terhadap susu
soya. Beberapa bayi dengan gejala alergi yang ringan dapat mengkonsumsi susu
hodrolisat parsial. Meskipun sebenarnya susu ini untuk pencegahan alergi bukan
untuk pengobatan Secara klinis dan laboratoris seringkali sulit untuk memastikan
anak menderita alergi susu sapi. Tidak mudah untuk menentukan pemillhan susu yang
terbaik untuk anak tersebut. Serihgkali sulit memastikan apakah seseorang alei gi susu
sapi atau intoleransi atau bereaksi terhadap kandungan tertentu dari kandungan yang
ada di dalam formula. Secara awal penderita diberikan susu ekstensif hidrolisat. Bila
gejala alergi membaik selanjutnya dilakukan provokasi formula berfurut turut yang
lebih beresiko seperti soya, parsial hidrolisat, dan susu formula yang minimal
kandungan AA, DHA, minyak kelapa sawit dan sebagainya. Formula yang paling
tepat adalah yang tidak menimbulkan gangguan. Bila timbul gejala pada salah satu
formula tersebut kita harus pilih formula satu tingkat lebih aman di atasnya. Bila susu
parsial hidrolisa dan soda timbul gangguan dilakukan provokasi terhadap susu
laktosa dan lemah rantai tunggal .

Banyak keraguan terhadap kualitas gizi susu pengganti susu sapi. Keraguan
tersebut seperti susu soya tidak menggemukkan, Susu hipoalergenik tidak mebuat
anak pintar karena tidak mengadung DHA dan sebagainya. Secara umum semua susu
formula yang beredar secara resmi kandungan gizinya sama. Karena mengikuti
standard RDA (Recomendation Dietery Allowence) dalam jumlah kalori, vitamin dan
mineral harus sesuai dengan kebutuhan bayi dalam mencapai tumbuh kembang yang
optimal. Keraguan bahwa susu formula tertentu tidak menggemukkan tidak beralasan
karena kandungan kalori, vitamin dan mineral tidak berbeda. Penggunaan apapun
merek susu formula yang sesuai kondisi dan usia anak selama tidak menimbulkan
gangguan fungsi tubuh adalah susu yang terbaik untuk anak tersebut. Bila
ketidakcocokan susu sapi terns dipaksakan pemberiannya, akan mengganggu fungsi
tubuh terutama saluran cerna sehingga membuat gangguan pertumbuhan dan
perkembangan anak.

2.4 Hipotesis Penelitian


Susu Soya dan Zat Gizi Lainnya

Susu sapi mengandung kalsium, vitamin D, vitamin B12, fosfor, vitamin C,


riboflavin, folat, niasin, begitu juga sedikit lemak jenuh dan kolesterol. Meski
sekarang ada banyak sekali susu alternatif yang beredar (misalnya susu almon, susu
oat, dan lain-lain), susu soya merupakan alternatif pertama susu sapi di pasaran.

Selain merupakan sumber protein yang sangat baik, susu soya juga mengandung
berbagai vitamin dan mineral. Susu ini sangat cocok diminum orang-orang yang
punya alergi terhadap susu sapi. Kelebihan lainnya, susu soya hanya mengandung
sedikit lemak jenuh dan tidak mengandung kolesterol sama sekali.

Walaupun tidak mengandung susu sapi, tetapi faktanya dapat terjadi reaksi silang
protein susu sapi dengan protein soya. Hingga 10-14 persen bayi yang punya alergi
susu sapi juga bisa mengalami reaksi alergi terhadap susu soya.

Kandungan vitamin D dan kalsium susu sapi sangat tinggi karena bermanfaat untuk
menjaga kekuatan tulang dan mencegah osteoporosis. Bagi anak-anak, kalsium dan
vitamin D yang cukup bisa mencegah perawakan pendek. Susu kedelai alami tidak
mengandung kalsium dan vitamin D. Namun berkat kemajuan zaman, sudah tersedia
susu kedelai yang diperkaya (fortifikasi) dengan kalsium, vitamin D, maupun zat gizi
lainya yang menyerupai susu sapi. Maka, dari segi kandungan kalsium, vitamin D,
serta mikronutrien lain. Para orangtua pun tidak khawarit akan perbedaan kandungan
gizi antaranya keduanya. Sebab, mikronutrien susu soya juga bisa diperkaya berkat
kecanggihan teknologi pangan saat ini. https://fajar.co.id/2019/05/28/nutrisi-dalam-
susu-soya-setara-dengan-susu-sapi/

2.4.1 Hipotesis Mayor

Zat Gizi Makro dan Mikro

Protein, lemak, serta karbohidrat termasuk zat gizi makro yang sangat penting
dalam pembentukan energi. Energi sangat bermanfaat untuk mendukung tumbuh
kembang anak. Bahan makanan seperti susu, telur, daging, dan kacang kedelai sangat
penting untuk kecukupan protein dan lemak. Salah satu kelainan yang mungkin
terjadi pada anak dengan kekurangan protein adalah malnutrisi akut (kwashiokor)
yang sering ditemukan pada anak dengan alergi.

Meski demikian, orangtua tidak perlu khawatir apabila anak mengalami alergi
terhadap susu sapi, karena alternatif lainnya dapat memberikan susu soya. Kandungan
protein pada susu kedelai jauh lebih tinggi dibandingkan susu sapi, yaitu 2,2-2,6 gram
per 100 kkal. Namun, sejumlah penelitian membuktikan pertumbuhan anak yang
mengonsumsi susu sapi setara dengan yang mengonsumsi susu kedelai.

Zat gizi mikro atau mikronutrien adalah vitamin dan mineral yang dibutuhkan
tubuh. Salah satu vitamin yang berpengaruh saat menghindari asupan susu sapi
adalah vitamin D. Sejumlah penelitian menyatakan, anak yang tidak mendapatkan
nutrisi pengganti dari susu sapi berisiko kekurangan vitamin D dan kalsium. Para
orangtua dapat menambahkan asupan nutrisi lain seperti buah-buahan dan sayur yang
mengandung vitamin dan mineral. Asupan kalsium dapat diperoleh dari ASI dan
formula kedelai yang difortifikasi dengan vitamin dan mineral.

Bahan makanan yang mengandung vitamin D dan kalsium dapat diperoleh dari
sumber lain seperti bayam, brokoli, produk olahan kedelai, ikan tuna, sarden, dan
telur. Vitamin D dari sinar matahari bisa didapatkan dengan mengajak anak berjemur
di luar rumah sebelum pukul 9 pagi.

2.4.2 Hipotesis Minor

British Nutrition Foundation, ESPGAN (European Society for Pediatric


Gastroenterology and Nutrition), WHO (World Health Organization) dan FAO (Food
Agriculture Organization) merekomendasikan penambahan DHA dan AA hanya
perlu untuk susu formula bayi prematur. Secara teoritis dan btikti klinis penambahan
tersebut hanya bermanfaat untuk bayi prematur, karena belum bisa mensintesa AA
dan DHA secara baik. Penambahan AA dan DHA secara langsung tidak terlalu penting
karena sebenamya tubuh bayi cukup bulan sudah bisa mensitesa atau memproduksi
sendiri AA dan DHA dari asam lemak esessial lain.

1. Susu formula soya

Susu formula soya adalah susu formula bebas laktosa untuk bayi dan anak yang
mengalami alergi terhadap protein susu sapi. Nutrilon soya adalah susu formula bebas
laktosa yang aman dipakai oleh bayi/ anak yang sedang menderita diare atau
memerlukan diet bebas laktosa. Soya menggunakan isolat protein kedelai sebagai
bahan dasar. Isolat protein kedelai tersebut memiliki kandungan protein tinggi yang
setara dengan susu sapi. Seperti halnya pada ASI, kalsium dan fosfor pada susu
formula soya memiliki perbandingan 2 : 1 untuk menunjang pembentukan tulang dan
gigi yang kuat. Susu formula ini juga ada yang mengandung asam lemak esensial,
yaitu,

Omega 6 dan Omega 3 dengan rasio yang tepat sebagai bahan dasar pembentukan
AA & DHA untuk tumbuh kembang otak yang optimal. Pemberian AA dan DiIA
secara langsung pada formula ini tidak terlalu penting karena sebenamya tubuh bayi
cukup bulan sudah bisa mensitesa atau memproduksi sendiri AA dan DHA dari asam
lemak esessial lain yang ada dalam kandungan susu tersebut.

Karbohidrat pada formula soya adalah maltodextrin, yaitu sejenis karbohidrat yang
dapat ditoleransi oleh sistem penccrnaan bayi yang terluka saat mengalami diare ataupun
oleh sistem pencemaan bayi yang memang alergi terhadap susu sapi. Susu formula
soya (kedelai) kurang lebih sama manfaat nutrisinya dibandingkan formula hidrosilat
ekstensif tetapi lebih murah dan rasanya lebih familiar.

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 170 bayi alergi susu sapi didapatkan susu
soya bisa diterima oleh sebagian besar bayi dengan alergi susu sapi baik IgE dan hon
lgE . Perkembangan IgE berkaitan dengan susu soya termasuk jarang. Susu soya
direkomendasikan untuk altematif pilihan pertama pada penderita alergi susu sapi
pada asia di atas 6 bulan. Tetapi bukan berarti penelitian ini merubah pemberian susu
formula soya di bawah usia 6 bulan. Anak yang mengalami alergi susu sapi, ternyata
didapatkan sekitar 30 - 40% mengalami alergi susu soya.

2. Susu Kambing

Pada beberapa negara secara tradisional susu kambing sering diberikan


terhadap penderita alergi susu sapi. Susu kambing bukan merupakan susu dengan
nutrisi yang lengkap untuk bayi. Kandungan bitamin tertentu sangat kecil, seperti
asam folat, vitamin B6, B12, C, dan D, tetapi kaya mineral. Susu kambing dan susu
sapi memiliki epitop yang identik sebagai bahan alergen. Sehingga susu kambing
biasanya tidak ditoleransi juga oleh penderita alergi susu sapi.

3. Susu formula ekstensif hidrolisa

Altenatif pengganti pada alergi susu sapi adalah susu formula yang
mengandung protein susu sapi hidrolisa (melalui pemrosesan khusus). Susu formula
ini rasanya memang tidak begitu enak dan relatif lebih mahal. Protein Whey sering
lebih mudah di denaturasi (dirusak) oleh panas dibandingkan protein kasein yang
lebih tahan terhadap panas. Sehingga proses denaturasi whey dapat diterima oleh
penderita alergi susu sapi evaporasi.

European Society of Paediatric Allergy dan Clinical Immunology (ESPACI)


mendefinisikan formula ekstensif hidrolisa adalah formula dengan bahan dasar
protein hidrolisa dengan fragmen yang cukup kecil untuk mencegah terjadinya alergi
pada anak. Fonrula ekstensif hidrolisa akan memenuhi criteria klinis bila secara klinis
dapat diterima 90% oleh penderita proven IgL-mediate alergi susu sapi (95%
confidence interval) seperti yang direkomendasikan American Academy of
Paediatrics Nutritional Committee. Sejauh ini sekitar 10% penderita alergi susu sapi
dapat menimbulkan reaksi terhadap susu formula ekstensif hidrolisa. Secara pasti
penderita yang alergi terhadap formula ekstensif hidrolisa belum diketahui,
diperkirakan lebih dari 19%. Pengalaman penggunaan hidrolisa kasein telah
dilakukan hampir 50 tahun lebih, Beberapa penelitian menunjukkan sangat efektif
untuk penderita alergi susu sapi. Susu Hidrolisa kasein yang terdapat dipasaran adalah
Nutramigen (Mead Johnson) dan Pregestimil (Mead Johnson). Sedangkan hidrolisa
whey dalam waktu terakhir ini mulai dijadikan altematif, dan tampaknja toleransi
secara klinik hampir sama dengan hidrolisa kasein. Beberapa contoh susu hidrolisa
whey adalah Aalfa-Re (nestle) dan Pepti- Junior (Nutricia). Protein Whey lebih
mudah didenaturasi dengan suhu panas tetapi kasein sangat tahan panas.

2.5 Operasional Variabel


Bab 3

Metode penelitian

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mendapatkan data yang
valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, atau dibuktikan, suatu
pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami,
memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang tertentu. Jenis-jenis metode
penelitian dapat dikelompokan menurut bidang, tujuan, metode, tingkat eksplanasi,
dan waktu. Menurut bidang, penelitian dapat dibedakan menjadi penelitian akademis,
profesional dan institusional. Dari segi tujuan, penelitian dapat dibedakan menjadi
penelitian murni dan terapan.

Dari segi metode penelitian, dapat dibedakan menjadi penelitian survey, penelitian
expofacto, eksperimen, naturalistik, policy research, evaluation research, action
research, sejarah, dan Research and development. Dari level of expalanation dapat
dibedakan menjadi penelitian deskriptif, komparatif dan asiosiatif. Dari segi waktu
dapat dibedakan menjadi penelitian cross sectional dan lonitudinal. Dibawah akan
diuraikan jenis metode penelitian menurut tujuan, metode, dan tingkat eksplanasi.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang sesuai adalah dengan
metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku cetak, surat kabar, majalah, jurnal, dan
sebagainya. Metode dokumentasi dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data berupa
jurnal dan artikel yang masih dalam ruang lingkup alergi makanan.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh bayi yang berumur 7-24 bulan di wilayah
Desa Wadas, Kecamatan Telukjambe Timur.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah bayi berumur 7-24 bulan terpilih. Jumlah sampel
dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus dua proposi. Dalam penelitian yang
didapat hasil adanya hubungan yang signifikat antara konsumsi susu pada balita.
Dengan memasukkan nilai proposi konsumsi susu pada bayi didapatkan jumlah
sampel minimal sejumlah 10 sampel.

Selanjutnya pemilihan sampel dilakukan dengan metode random sampling. Data bayi
satu desa dikumpulkan dengan cara meminta data ke Puskesmas Desa Wadas. Setelah
data diperoleh, data kemudian dinomori mulai dari data anak bayi RW 01 sampai RW
13. Kemudian dilakukan pengocokan secara acak sehingga terambil 10 data bayi.

3.4 Uji Validitas & Realibilitas


BAB IV

Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Wadas Kecamatan Telukjambe Timur Kabupaten


Karawang Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang disebut juga Kota Pangkal
Perjuangan pastinya memiliki catatan sejarah yang luar biasa, memaknai penamaan
Pangkal Perjuangan bukan hanya sebatas pada catatan sejarah penculikan Presiden ke
Rengas Dengklok namun jika ditelaah lebih jauh banyak hal yang belum terungkap
dari apa yang tersimpan dalam tanah Karawang selama ini.

Kabupaten Karawang yang sebelumnya meliputi wilayah Bekasi, Purwakarta,


Subang, dan Bogor timur dan Cianjur Utara ini berada dalam satu ikatan paksi panca
tengah yang merupakan pangkal dari peradaban moderm dan pankal dari kehidupan
awal di bumi.

Kabupaten Karawang memiliki beberapa kecamatan diantaranya Kecamatan Adiarsa


Barat, Tunggakjati, Nagasari, Karangpawitan, Telukjambe Timu, dan masih banyak
lagi. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Telukjambe Timur tepatnya di Desa
Wadas. Kepadatan penduduknya mencapai 10.198 jiwa. Mayoritas penduduk disini
bekerja sebagai buruh tani, PNS, dan Karyawan Swasta.

Kelurahan Desa Wadas memiliki Puskesmas Desa sendiri yang letaknya tepat
bersebelahan dengan Kantor Desa. Desa Wadas terdiri dari 6 Rukun Warga (RW)
yang masing-masing membina 1 posyandu. Data anak bayi dan balita yang tercatat di
catatan kader posyandu, rinciannya sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Bayi dan Balita Umur 7-36 Bulan di Desa Wadas
Kecamatan Telukjambe Timur Kabupaten Karawang

Jumlah bayi dan balita


No RW Posyandu
umur 7-36 bulan
1 01 Mawar X 86
2 02 Posyandu Anggrek 14 79
3 03 Posyandu Babakan Tengah 112
4 04 Posyandu Kemuning X 90
5 05 Posyandu Nusa Indah IX 134
6 06 Posyandu Kenanga 89
TOTAL 590
Dari masing-masing posyandu, dilakukan pula penelitian tentang konsumsi susu yang
diberikan pada bayi dan balita dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 4.2 Distribusi Asupan Susu yang Dikonsumsi Bayi dan Balita di Desa Wadas
Kecamatan Telukjambe Timur Kabupaten Karawang

Posyandu
Susu
Formula/Asi Nusa
Mawar Anggrek Babakan Kemuning
Indah Kenanga
X 14 Tengah X
IX
Asi 30 41 60 28 89 28

Formula Susu
45 24 34 36 36 43
Sapi

Formula Susu
7 4 10 7 4 14
Soya
Formula Susu
4 10 8 8 5 4
Kambing

Dari total yang telah dipaparkan pada tabel bahwa asupan susu yang dikonsumsi oleh
bayi dan balita terbanyak pada Asi yaitu sekitar 48%. Sementara terbanyak yang
dikonsumsi yaitu susu formula yakni sekitar 43%. Pada formula susu soya sekitar 5%
dan sisanya 4% untuk bayi dan balita yang mengkonsumsi formula susu kambing.

Tabel 4.3 Distribusi Persentase Pengetahuan Orangtua Mengenai Alergi Susu Sapi

Anda mungkin juga menyukai