Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Alergi susu sapi adalah suatu reaksi terhadap protein susu sapi yang
diperantarai oleh reaksi imunologi. Istilah alergi menurut World Allergy
Organization adalah reaksi hipersensitivitas yang diperankan oleh mekanisme
imunologi. Mekanismenya dapat diperantarai oleh IgE maupun non-IgE. Alergi
susu sapi yang tidak diperantarai IgE akan lebih sering mengenai saluran cerna,
sementara alergi yang diperantarai IgE dapat mengenai saluran cerna, kulit, dan
saluran napas serta berhubungan dengan risiko tinggi timbulnya alergi saluran
napas di kemudian hari seperti asma dan rhinitis alergi. Alergi susu sapi dapat
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:1
a. IgE mediated
Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE yang biasanya gejala klinis
alergi dapat muncul dalam waktu 30 hingga 1 jam setelah mengonsumsi susu sapi.
Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis
atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan
anafilaksis. Pada alergi dengan IgE mediated ini dapat dibuktikan dengan kadar
IgE susu sapi yang positif.1
b. Non-IgE mediated
Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE ini biasanya
diperantarai oleh IgM dan IgG. Gejala klinis alergi biasanya lebih lambat sejak 1-
3 hari setelah mengonsumsi susu sapi. Manifestasi yang dapat terjadi, yaitu:
allergicosinophilic, gastroenterophaty, kolik, enterocolitis, protokolitis, anemia,
dan gagal tumbuh1
2.3 Epidemiologi
Prevalensi alergi makanan di dunia sekitar 1-10%, dimana 6% anak
menunjukkan manifestasi klinis alergi pertama kali pada 1-3 tahun pertama, alergi
makanan terbanyak berupa alergi susu sapi (2,5%), alergi telur (1,5%) dan alergi
kacang (1%).3
Penelitian oleh Lozinsky et al (2015) menunjukkan alergi susu sapi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


mengenai sekitar 1,9%-4,9% bayi. Sebagian besar reaksi alergi susu sapi
diperantarai oleh IgE dengan prevalensi 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe non-
IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai
sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.5
Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu
sapi dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat.4 Di Indonesia, insidensi alergi susu sapi
sekitar 2-7,5%, dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih mungkin dapat terjadi
pada 0.5% bayi yang mendapat ASI eksklusif.1
Sebuah penelitian prospektif, menunjukkan bahwa 42% bayi yang
mengalami gejala akibat intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari
(sekitar 70% dalam waktu 4 minggu) setelah diberikannya susu sapi. Intoleransi
protein susu sapi telah didiagnosis pada 1,9-2,8% dari populasi umum bayi yang
berusia 2 tahun atau lebih muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun
kejadian ini turun menjadi sekitar 0,3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3
tahun.6
2.5 Patogenesis Alergi Susu Sapi
Saluran pencernaan memiliki sistem pertahanan yaitu sistem pertahanan
non spesifik berupa barier mukosa dari usus, motilitas usus, sekresi mukus, enzim,
dan sistem pertahanan spesifik seperti produksi dari IgA dan interaksi antigen
dengan Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) untuk mencegah terjadinya
kekebalan tubuh sekunder yang tidak diinginkan akibat dari absorpsi antigen asing
yang melewati barier sistem gastrointestinal. Individu normal memiliki
sebagian besar sel dendritik pada GALT, sehingga hal tersebut berperan dalam
respon tolerogenik.7
Reaksi hipersensitivitas terhadap makanan didefinisikan sebagai suatu
reaksi yang disebabkan karena memakan bahan makanan yang mengandung
protein. Hipersensitivitas terbagi menjadi intoleransi makanan dan alergi
makanan. Intoleransi makanan disebabkan oleh komponen spesifik pada suatu
makanan seperti agen farmakologi, contohnya monosodium glutamat atau
histamin yang dapat ditemukan pada ikan yang terkontaminasi, aktivasi sel mast
non spesifik akibat makanan yang mengiritasi contohnya stroberi atau bahan
pengawet, atau dapat juga disebabkan oleh faktor pejamu (defisiensi laktase).7,8

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Alergi makanan mengacu pada reaksi imun yang ditimbulkan akibat adanya
komponen protein pada makanan dan dapat dibagi menjadi mekanisme yang
diperantarai oleh IgE dan tidak diperantarai oleh IgE. Perbedaan dari keduanya
adalah reaksi yang diperantarai oleh IgE lebih mudah dikenali, namun juga dapat
melibatkan keduanya.7,8
Alergi susu sapi, yang merupakan alergen utamanya adalah protein yang
terkandung didalamnya yaitu casein dan whey. Casein yang membuat susu
menjadi kental, mengandung 6-86 % protein susu sapi, dapat di presipitasi dengan
zat asa (pH 4,6), terdiri dari 5 dasar casein yaitu α, αδ, β, K dan γ. Whey terdiri
dari betalaktoglobullin (BLG), alfalaktoglobulin (ALA), bovin serum albumin
(BSA) dan bovin gama globulin (BGG) dengan melibatkan kedua reaksi alergi
diatas sehingga ketepatan diagnosis sangat penting dalam menentukan
tatalaksana.9 
Mekanisme alergi yang diperantarai oleh IgE (reaksi hipersensitivitas
tipe I) terjadi ketika antigen dengan antibodi IgE yang berikatan dengan sel mast
dan dimulai dengan fase sensitisasi. Alergen yang tertelan kemudian
dipresentasikan oleh APC dan berikatan dengan limfosit Th, kemudian sel Th
bantuan APC berprolifasi menjadi Th1 dan Th2, dimana Th2 akan menghasilkan
IL-3, IL-4, IL13, Interferon-serta sitokinin lain yang kemudian merangsang
transformasi limfosit B menjadi sel antibody sekretorik (IgG, IgM, dan IgE).
Cross linking dari kedua antibodi IgE dengan antigen akan menyebabkan
degranulasi pada sel mastosit dan basofil, sehingga dilepaskannya histamin
(mediator inflamasi yang poten), prostglandin D2, leukotrien D, leukotrien C4,
bradikinin, dan lain-lain yang akan menimbulkan reaksi alergi.7,8,9 
Anak dengan atopi, terdapat kecenderungan lebih banyak membentuk
IgE, kemudian terjadi sensitasi sel mast pada saluran cerna, saluran nafas, dan
kulit serta organ tubuh lainnya. Selama terjadinya reaksi yang dihantarkan IgE
pada saluran cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang terserap juga akan
meningkat. Benda asing tersebut larut dalam lumen usus, kemudian diambil oleh
sel epitel saluran cerna, akibatnya akan terjadi supresi (penekanan) sistem imun
(toleransi). Antigen yang tidak larut (bakteri usus, virus, parasit) diambil oleh sel
epitel yang melapisi Plaques payeri sehingga terjadi pengaktifan dan pembentukan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


IgA.7
Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE disebabkan oleh berbagai
faktor, dimana mekanismenya berupa:
a. Reaksi hipersensitivitas tipe III, yaitu kompleks imun dari antibody IgA
atau IgG yang berikatan dengan antigen pada susu akibat bantuan dari reseptor Fc
sehingga terjadilah suatu reaksi, terutama pada gastrointestinal dapat terjadi 6 jam
setelah pemaparan berupa muntah, diare, dan kolik, serta terdapat peningkatan
lokal dari IgM dan sel plasma IgA.7,10 Jangka waktu 24 jam berikutnya akan
terlihat reaksi endotel, penebalan membran, penumpukan serat kolagen dan
infiltasi leukosit polimorf. Peningkatan lokal IgG dan C3 di dalam jaringan ikat
subepitelial menunjukkan adanya reaksi kompleks imun .7,9
b. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu reaksi yang ditimbulkan oleh
stimulasi antigen langsung pada sel Th1 dan CD4+ dari kompleks imun yang
mengaktivasi komplemen. Antigen menembus mukosa usus melalui Plaques
payeri, ditangkap oleh APC, sel dendrit atau makrofag. Antigen akan mengikat
MHC II yang akan menstimulasi Th1 menghasilkan IFN-γ. Sel akan bermigrasi
pada lamina propia yang menstimulasi Th1 untuk menghasilkan IFN-γ lebih
banyak. IFN-γ ini yang menyebabkan kerusakan pada mukosa usus akibatnya
terjadi perubahan fungsi dalam otot polos dan motalitas usus.7,9,10 Sitokin lainnya
adalah TNF-α, IL-1β akan menghasilkan berbagai metaloproteinase yang merusak
mukosa.7 
Mekanisme ini menghasilkan peradangan seluler berlangsung kronis
(pada sistem gastrointestinal, kulit, dan pernafasan). Ketika proses inflamasi
terlokalisir pada gastrointestinal, fagositosis imun dapat berkontribusi untuk
menjaga hiperpermeabilitas epitel dan berpotensi untuk meningkatkan pertahanan
terhadap paparan antigen protein susu sapi. Melibatkan Treg memory berupa
TNF-α dan IFN-γ, antagonis TGF-α dan IL-10 dalam mediasi toleransi oral.9

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Gambar 1. Reaksi Alergi yang diperantarai IgE dan Non IgE.7

Gambar 2. Reaksi Alergi Fase Lambat.9

1. Toleransi Oral
1. Definisi
Toleransi oral adalah keadaan tidak responsif sistemik yang merupakan
respons default terhadap antigen makanan di saluran pencernaan, meskipun
toleransi imun juga dapat diinduksi oleh rute lain, seperti kulit atau inhalasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Proses ini melindungi dari respon imun yang tidak tepat terhadap kebanyakan
antigen asing yang berasal dari makanan atau organisme komensal yang biasanya
ditemui di saluran pencernaan. Ketika toleransi oral tidak terjadi, reaktivitas imun
terhadap makanan atau mikroba dapat menyebabkan alergi makanan atau penyakit
radang usus.11,12
1. Penyerapan Antigen Gastrointestinal
Antigen dapat diperoleh secara langsung oleh fagosit usus, atau melewati
enterosit atau bagian terkait sel goblet sebelum ditangkap oleh sel dendritik (DC)
di lamina propria. Musin dari sel goblet bekerja pada DC untuk membuatnya lebih
tolerogenik. Subset DC regulator yang mengekspresikan CD103 bertanggung
jawab untuk pengiriman antigen ke kelenjar getah bening yang mengalir dan
induksi Treg. DC ini juga menanamkan kapasitas homing gastrointestinal,
memungkinkan Treg yang baru saja disiapkan untuk kembali ke lamina propria di
mana mereka berinteraksi dengan makrofag yang menghasilkan IL-10 dan Treg.
Selain Treg, energi sel T juga dapat berkontribusi pada toleransi oral.11
Antigen makanan mengalami pencernaan menjadi peptida dan asam
amino. Namun, sebagian kecil dapat mencapai sistem kekebalan yang mendasari
epitel usus dalam bentuk utuh, mampu berinteraksi dengan sel penyaji antigen.
Gangguan pencernaan protein makanan dengan antasida telah dikaitkan dengan
peningkatan induksi IgE ke antigen dalam makanan. Antigen yang mencapai
epitel usus dapat diangkut melalui rute yang berbeda tergantung pada sifat-
sifatnya, seperti ukuran dan kelarutan, yang dapat menyebabkan induksi toleransi
atau kekebalan. Microfold atau sel M adalah sel epitel pipih yang melapisi Peyer '
s patch, yang merupakan struktur limfoid terorganisir yang didistribusikan di
sepanjang jaringan mukosa. Sel M mengkhususkan diri dalam penyerapan antigen
partikulat seperti virus dan bakteri. Pengambilan sampel melalui sel M telah
dikaitkan dengan induksi produksi IgA, yang berkontribusi terhadap eksklusi
imun dengan menetralkan antigen di lumen.13
Antigen terlarut diserap oleh enterosit dan diangkut mengikuti dua rute
utama, rute transeluler (dalam vesikel) dan rute paraseluler (antar sel). Sel epitel
mengambil sampel antigen dari lumen, dan selama transcytosis, antigen tersebut
didegradasi dalam kompartemen lisosom, meskipun beberapa antigen dapat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


dilepaskan ke dalam ruang basolateral. Antigen yang terdegradasi sebagian dalam
vesikel endositik dapat dimuat ke MHCII dan eksosom ini dilepaskan dari
membran basolateral, untuk berinteraksi dengan sel dendritik (DC). Di bawah
kondisi homeostatik, sambungan ketat antara enterosit mencegah lewatnya antigen
paraseluler. Peningkatan transpor antigen utuh melalui sel epitel telah dikaitkan
dengan aktivitas alergeniknya. Sel goblet juga memiliki peran penting dalam
pengangkutan antigen terlarut. Antigen larut dengan berat molekul rendah yang
disuntikkan ke dalam lumen usus in vivo secara istimewa mengisi subset sel epitel
yang sesuai dengan sel goblet, menghasilkan bagian antigen terkait sel goblet
(GAPs). GAPs ini telah menghidupi sebuah ti gen kecuali i ve lyto
CD103+CX3CR1 - lamina propria DCs, subset DC yang telah dikaitkan dengan
pengembangan respons toleransi. Peningkatan sekresi musin oleh sel goblet
menginduksi peningkatan frekuensi GAP dan jumlah pengiriman antigen yang
lebih tinggi. Dengan demikian, jalur pengiriman antigen yang mendukung
interaksi dengan CD103+ DC atau produksi IgA dapat dikaitkan dengan induksi
toleransi oral (misalnya, melalui Peyer ' s, sel goblet, atau eksosom) sementara
resistensi yang lebih tinggi terhadap pencernaan proteolitik dan peningkatan
transpor paraseluler akan terkait dengan sensitisasi, meskipun kontribusi masing-
masing jalur ini terhadap toleransi dan imunisasi masih perlu ditentukan.14
Selain transportasi melalui epitel, fagosit usus seperti makrofag dan DC
memperpanjang dendrit antara enterosit dan antigen sampel langsung dari lumen
tanpa mengganggu persimpangan ketat antar sel. Antigen terlarut secara efisien
diambil dari lumen usus oleh makrofag CX3CR1+. Mereka mengirim tonjolan ke
sampel antigen dalam mekanisme yang bergantung pada ekspresi CX3CR1.
Sebaliknya, CD103+ DC kurang efisien dalam pengambilan sampel antigen
terlarut, meskipun mereka telah terbukti menangkap bakteri dengan menggunakan
dendrit intraepitel CX3CR1 tinggi makrofag tidak bermigrasi ke kelenjar getah
bening mesenterika (MLN) di bawah kondisi stabil, dan rasio kerjasama antara
CX3CR1 tinggi sel dan CD103+ DC yang bermigrasi diidentifikasi. Setelah
pengambilan antigen, makrofag CX3CR1+ mentransfer kompleks peptida-
MHCII melalui gap junction ke CD103+ DC, yang bermigrasi ke MLN dan
menyajikan antigen ke sel T naif.15

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Gambar 2.4.1 Transportasi antigen makanan melalui epitel usus.16

1. Induksi Toleransi di Usus


a. Peran Sel T Regulasi
Peran sel T dalam memediasi toleransi oral ditunjukkan dengan
menipisnya sel T CD4+ atau mentransfer toleransi dengan transfer adopsi sel T
CD4+. Meskipun sel T regulator yang diturunkan dari timus (Tregs) tidak
diperlukan untuk toleransi oral, CD4+CD25+ Foxp3+ Treg spesifik antigen yang
diinduksi perifer diperlukan untuk toleransi oral. Mutasi pada lokus Foxp3
dikaitkan dengan hilangnya toleransi perifer dan perkembangan alergi makanan
yang parah pada manusia, dan penipisan spesifik sel Foxp3+ membatalkan
toleransi oral. Secara keseluruhan, hasil ini mendukung peran kunci dari Foxp3+
Treg yang diinduksi dalam toleransi oral.16
Populasi Treg lainnya telah dijelaskan dalam konteks toleransi oral,
termasuk sel Th3 dan Tr1. Sel Th3 mengekspresikan TGF ( dideteksi oleh
ekspresi permukaan latencyactivated peptide atau LAP) yang diinduksi setelah
pemberian antigen, atau dengan pemberian antibodi anti-CD3 oral. Hubungan
antara sel Foxp3+ dan LAP/Th3 tidak jelas. Keduanya menekan melalui
mekanisme yang bergantung pada TGF, dan sel Th3 dapat menginduksi sel
Foxp3+ oleh TGF β produksi. Selanjutnya, Foxp3+ Treg yang diaktifkan dapat
mengekspresikan LAP di permukaannya. Jadi, ada kemungkinan bahwa ada
beberapa plastisitas antara himpunan bagian Treg ini dan bahwa mereka
menyajikan fungsi yang tumpang tindih. Sel Tr1 menekan respon imun melalui
IL10. Sel Tr1 memainkan peran kunci dalam pencegahan kolitis, tetapi peran
mereka dalam toleransi oral tidak jelas, dengan penelitian menunjukkan hasil yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


bertentangan. Sifat antigen atau model eksperimental yang digunakan dalam studi
ini dapat menentukan fenotipe Treg yang terlibat dalam respon toleransi oral.
Hubungan antara subset Treg yang berbeda tidak jelas karena mereka semua
memiliki kapasitas untuk menghasilkan IL-10 dan mereka menunjukkan penanda
permukaan yang tumpang tindih. Foxp3+ Treg dapat mengkondisikan DC untuk
menginduksi sel Tr1 yang mensekresi IL-10 melalui mekanisme yang bergantung
pada IL-27, sekali lagi menunjukkan interaksi potensial antara himpunan bagian
Treg ini.16
Terlepas dari induksi Treg, anergi dan deplesi sel T juga telah
ditunjukkan sebagai mekanisme toleransi oral. Anergi mengacu pada tidak
responsifnya sel T terhadap antigen, sedangkan deplesi adalah apoptosis sel T
spesifik antigen. Paparan antigen dosis tinggi menginduksi anergi atau deplesi
sedangkan antigen dosis rendah menyebabkan induksi Treg. Meskipun banyak
fokus di bidang toleransi oral telah difokuskan pada penekanan aktif oleh Treg,
peran energi sel T dan penghapusan dalam toleransi imun didukung oleh
penelitian manusia baru-baru ini yang akan dibahas nanti.16
b. Induksi Treg oleh DC di Usus
Situs induksi toleransi oral telah diidentifikasi sebagai MLN, sedangkan
Peyer ' tambalan tidak diperlukan karena toleransi oral dapat dibentuk tanpa
adanya struktur ini. Toleransi oral diprakarsai oleh CD103+ DC yang menangkap
antigen di lamina propria dan bermigrasi ke MLN, di mana mereka menginduksi
diferensiasi sel T naif menjadi Treg, melalui mekanisme yang bergantung pada
TGF β dan asam retinoat. CD103+ DC mengekspresikan RALDH2 tingkat tinggi,
suatu enzim yang memetabolisme retinal menjadi asam retinoat. Asam retinoat
juga diperlukan untuk memprogram sel T yang baru siap untuk pulang ke usus
melalui ekspresi reseptor kemokin. CCR9 dan integrin α 4 β 7. Sel stroma dari
MLN juga mengekspresikan RALDH2 tingkat tinggi dan mereka ditemukan
untuk diperlukan in vivo untuk menginduksi sel T usus-homing. Selain itu,
CD103+ DC mengekspresikan indoleamine tingkat tinggi 2,3-dioxygenase (IDO),
enzim yang terlibat dalam katabolisme triptofan, yang terlibat dalam induksi
Foxp3+ Treg. Setelah induksi Treg di MLN, Treg antigen spesifik bermigrasi ke
lamina propria di mana mereka diperluas. Migrasi Treg ke lamina propria

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


diperlukan untuk keberhasilan induksi toleransi oral, seperti tikus kekurangan
dalam β 7 integrin dan MADCAM serta tikus yang kekurangan CCR9, penanda
yang diperlukan untuk migrasi sel T ke lamina propria, memiliki gangguan
toleransi oral. Makrofag CX3CR1+ yang mengekspresikan IL-10 tingkat tinggi
diperlukan untuk ekspansi Treg di lamina propria, dan kegagalan ekspansi sel T
jaringan ini mengganggu perkembangan toleransi oral.15
Untuk menentukan kebutuhan CD103+ DC dalam toleransi oral,
Esterhazy et al. menggunakan berbagai model tikus untuk secara khusus mengikis
APC spesifik garis keturunan myeloid selama paparan antigen oral. DC klasik
diperlukan untuk toleransi oral dan induksi Treg perifer, sementara makrofag dan
sel turunan monosit dapat dibuang. CD103+CD11b yang bergantung pada IRF8
bermigrasi - DC memiliki ekspresi tertinggi dari Aldh1a2, Tgfb2, dan Itgb8
(coding untuk RALDH2, TGF- β 2 dan integrin beta-8, masing-masing) dan gen
lain yang terkait dengan generasi Treg dan usus, dan memiliki kapasitas tertinggi
untuk menginduksi Foxp3+ Treg. cDC yang bergantung pada IRF8 (mengandung
CD103+CD11b . yang bermigrasi - dan CD8 residen + CD11b rendah) diperlukan
untuk polarisasi Foxp3+ Treg perifer pada antigen oral in vivo, tetapi penipisan
sel-sel ini tidak berpengaruh pada toleransi oral. Temuan ini menunjukkan bahwa
meskipun CD103+CD11b - mungkin secara unik terlibat dalam polarisasi Foxp3+
Treg, ada redundansi dalam kontribusi himpunan bagian DC terhadap fenomena
toleransi oral.15

Gambar 2.4.2 Mekanisme toleransi oral.16

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


c. Situs Lain yang Terlibat dalam Induksi Toleransi Oral
Peran pelengkap hati dan MLN telah diidentifikasi. Setelah paparan
antigen dosis tinggi, toleransi oral dapat diinduksi dengan penghapusan CD8+ dan
CD4+ T spesifik sel antigen.Mekanisme ini dimediasi oleh plasmacytoid DCs
(pDCs) yang ada di hati dan MLN, dan terjadi di hati. Sebagai situs awal paparan,
pDC di hati terlibat dalam penghapusan cepat perdagangan sel T spesifik antigen
dari darah, diikuti oleh generasi Treg di MLN oleh CD103+ DC yang mengarah
pada penekanan lengkap hipersensitivitas kontak tipe lambat. Peran tonsil, yang
merupakan organ limfoid sekunder yang terletak di orofaring dan nasofaring, juga
telah diusulkan dalam pengembangan toleransi oral karena lokasi anatomisnya
yang istimewa. Amandel manusia sangat diperkaya dengan Treg CD4+ Foxp3+
total serta Treg spesifik alergen. Di antara subset DC berbeda yang ada pada
tonsil, pDC menginduksi Foxp3+ Treg in vitro dengan kapasitas supresi, dan
jumlah pDC tonsil ditemukan menurun pada donor atopik dibandingkan dengan
individu non-atopi. DC dari mukosa mulut dan submukosa tikus juga mampu
menghasilkan Treg supresif yang mengekspresikan IFNg dan IL10 di kelenjar
getah bening serviks. Hasil ini menunjukkan bahwa DC dari tonsil dan mukosa
sublingual juga dapat berpartisipasi dalam langkah pertama induksi toleransi oral
terhadap makanan dan aeroallergen. makrofag. Produksi GM-CSF bergantung
pada sinyal mikrobiota, dalam mekanisme yang dimediasi oleh produksi IL1-b
oleh makrofag. Antigen yang diserap juga mencapai hati melalui vena portal, di
mana ia disajikan oleh DC plasmacytoid yang menginduksi penghapusan sel T
antigen spesifik. Delesi dan anergi juga diinduksi dalam MLN sebagai respons
terhadap antigen dosis tinggi.17
d. Faktor-Faktor yang Terlibat dalam Induksi Toleransi Oral
Lingkungan kekebalan usus lokal menghadirkan faktor-faktor yang
mendorong pengembangan respons toleransi. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, sekresi musin dapat mendukung induksi Treg dengan meningkatkan
transpor antigen oleh sel goblet dan penyerapan oleh CD103+ DC tolerogenik.
Selain itu, MUC2 musin hiperglikosilasi mengkondisikan CD103+ DC dan sel
epitel usus menuju fenotipe pengatur. MUC2 menekan ekspresi sitokin inflamasi
dan meningkatkan TGF-α, IL-10, dan ekspresi RALDH dengan menginduksi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


faktor transkripsi - catenin melalui dektin-1. Faktor lain yang mempengaruhi
perkembangan toleransi oral adalah sekresi GM-CSF oleh ROR intestinal usus γ
t+ sel limfoid bawaan (ILC3) yang mempromosikan homeostasis Treg. Produksi
GMCSF diatur oleh sinyal mikroba, melalui pembicaraan silang antara IL1 -
memproduksi makrofag dan ILC3 di mukosa usus, dan bekerja pada DC usus dan
makrofag, mempromosikan fenotipe tolerogeniknya. Pada bayi yang memperoleh
nutrisi melalui ASI, perbedaan komposisi ASI seperti kadar sitokin atau adanya
imunoglobulin dapat mendorong perkembangan toleransi terhadap antigen yang
ada dalam ASI.16
D. Manifestasi Klinis
Gejala yang terjadi pada alergi susu sapi secara umum hampir sama
dengan gejala alergi makanan lainnya. Target organ utama reaksi terhadap alergi
susu sapi adalah kulit, saluran cerna dan saluran napas. Reaksi akut (jangka
pendek) yang sering terjadi adalah gatal dan anafilaksis. Sedangkan reaksi kronis
(jangka panjang) yang tejadi adalah asma, dermatitis (eksim kulit) dan gangguan
saluran cerna. Beberapa manifestasi reaksi simpang karena susu sapi melalui
mekanisme IgE dan Non IgE.18,19,20
Target organ yang sering terkena adalah kulit berupa urticaria dan
angioedema. Sistem saluran cerna yang terganggu adalah sindrom oral alergi,
gastrointestinal anafilaksis, allergic eosinophilic gastroenteritis. Saluran napas
yang terjadi adalah asma, pilek, batuk kronis berulang. Target multiorgan berupa
anafilaksis karena makanan atau anafilaksis dipicu karena aktifitas berkaitan
dengan makanan. 18,19,20
Selain target organ yang sering terjadi tersebut di atas, manifetasi klinis
lainnya berupa manifestasi tidak biasa (anussual manifestation). Diantaranya
adalah manifestasi kulit berupa vaskulitis, fixed skin eruption. Sistem saluran
cerna yang terganggu adalah chronic pulmonary disease (Heiner Syndrome),
hypersensitivity pneumonitis. Saluran cerna yang terjadi adalah konstipasi,
gastroesophageal refluk, saluran napas seperti hipersekresi bronkus (napas bunyi
grok-grok) dan obstruksi duktus nasolakrimalis (mata sering berair dan belekan).
Target multiorgan berupa irritability/sleeplessness in infants, artropati, nefropati
21,22
dan trombositopeni. Reaksi susu sapi yang timbul karena reaksi non IgE

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


berupa dermatitis atopik, ermatitis Herpetiformis, proktokolitis, entero kolitis,
alergi eosinophilic gastroenteritis, sindrom enteropati, penyakit celiac dan
sindrom Heiner. 22,23,24
Terdapat 3 pola klinis respon alergi protein susu pada anak yaitu reaksi
cepat, waktu dari setelah minum susu hingga timbulnya gejala. Reaksi sedang
(pencernaan), 45 menit hingga 20 jam. Sedangkan reaksi lambat (kulit dan saluran
cerna), lebih dari 20 jam. Reaksi awal kulit gejala timbul dalam 45 menit setelah
mengkonsumsi susu. Reaksi tersebut dapat berupa bintik merah (seperti campak)
atau gatal. Gejala lain berupa gangguan sistem saluran napas seperti napas
berbunyi (wheezing), atau rinoconjungtivitis (bersin, hidung dan mata gatal, dan
mata merah). Gejala tersebut bisa terjadi meskipun hanya rnengkonsumsi sedikit
susu sapi. Hampir semua (92%) penderita dalam kelompok ini dalam pemeriksaan
skin prick test terhadap susu sapi hasilnya positif. Anafilaksis susu sapi adaah
merupakan reaksi penting dalam kelompok ini.18,22,23,24
Dalam kelompok reaksi sedang gejala yang sering timbul adalah muntah,
diare dimulai setelah 45 menit hingga 20 jam setelah mendapatkan paparan dengan
susu. Menurut penelitian sekitar sepertiga dari kelompok ini didapatkan hasil
positif pada tes kulit (skin prick test). Gejala yang timbul dalam reaksi lambat
terjadi dalam sekitar 20 jam setelah terkena paparan susus sapi. Untuk terjadinya
reaksi ini dibutuhkan jumlah volume susu sapi yang cukup besar. Dalam kelompok
ini hanya sekitar 20 orang yang didapatkan hasil uji kulit yang positif. Uji ternpel
alergi (Patch Test) yang dilakukan selama 48 jam sering terdapat hasil positif pada
kelompok ini. Sebagian besar terjadi dalam usia lebih dari 6 bulan. Tanda dan
gejala yang sering timbul adalah diare, konstipasi (sulit uang air besar) dan
dermatitis (gangguan kulit). 22,25
2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. IgE spesifik
a. Uji tusuk kulit (Skin prick test )1
 Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung
(jika didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


 Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan. Hasil uji
tusuk kulit biasanya lebih kecil pada anak < 2 tahun sehingga perlu
interpretasi yang hati-hati.
 Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai
duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti alergi susu
sapi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena nilai duga negatif
sebesar > 95%.
b. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)1
 Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit,
tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara
uji tusuk kulit dengan uji IgE RAST.
 Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan karena
adanya lesi kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila penderita
tidak bisa lepas minum obat antihistamin.
 Kadar serum IgE spesifik antibodi untuk susu sapi dinyatakan positif jika
> 5 kIU/L pada anak usia ≤ 2 tahun dan >15 kIU/L pada anak usia > 2
tahun. Hasil uji ini mempunyai nilai duga positif <53% dan nilai duga
negatif 95%, sensitivitas 57% dan spesifitas 94%.
2. Uji eliminasi dan provokasi1
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPFC) merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini memerlukan
waktu dan biaya. Untuk itu dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi terbuka.
Uji eliminasi dan provokasi masih merupakan baku standar untuk diagnosis alergi
susu sapi. Selama eliminasi, bayi dengan gejala alergi ringan sampai sedang
diberikan susu formula terhidrolisat ekstensif, sedangkan bayi dengan gejala
alergi berat diberikan susu formula berbasis asam amino. Diet eliminasi selama 2-
4 minggu tergantung berat ringannya gejala. Diet eliminasi sampai 4 minggu bila
terdapat gejala AD berat disertai gejala saluran cerna kolitis alergi. Pada pasien
dengan riwayat alergi berat, uji provokasi dilakukan di bawah pengawasan dokter
dan dilakukan di rumah sakit atau di klinik. Anak dengan uji tusuk kulit dan uji
RAST negatif mempunyai risiko rendah mengalami reaksi akut berat pada saat uji
provokasi.1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi
sampai 3 hari pasca provokasi (untuk menyingkirkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat). Apabila uji provokasi negatif, maka bayi tersebut diperbolehkan minum
formula susu sapi. 1
3. Pemeriksaan darah pada tinja
Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit
untuk dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
seperti chromiun-51 labelled erythrocites pada feses dan reaksi orthotolidin
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibanding uji
guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi oleh berbagai substrat non-
hemoglobin sehingga memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%), spesivitas
(88-98%) dengan nilai duga positif palsu yang tinggi. 1
2.7 Tatalaksana
1. Nutrisi1
a. Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari
(complete avoidance) segala bentuk produk susu sapi tetapi harus
memberikan nutrisi yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang
bayi/anak.1
b. Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan
pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk
turunannya pada makanan sehari-hari. ASI tetap merupakan pilihan
terbaik pada bayi dengan alergi susu sapi. Suplementasi kalsium perlu
dipertimbangkan pada ibu menyusui yang membatasi protein susu sapi
dan produk turunannya.1
c. Bayi yang mengonsumsi susu formula:
 Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi adalah
susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang tidak
menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak dengan diagnosis alergi
susu sapi bila dilakukan uji klinis tersamar ganda dengan interval
kepercayaan 95%. Susu tersebut mempunyai peptida dengan berat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


molekul < 1500 kDa. Susu yang memenuhi kriteria tersebut ialah susu
terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino. Sedangkan susu
terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan bukan
merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi.1
 Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang dianjurkan
pada alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang. Apabila
anak dengan alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang
tidak mengalami perbaikan dengan susu terhidrolisat ekstensif, maka
dapat diganti menjadi formula asam amino. Pada anak dengan alergi
susu sapi dengan gejala klinis berat dianjurkan untuk mengonsum
formula asam amino.1
 Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat ekstensif atau
formula asam amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12 bulan, atau
paling tidak selama 6 bulan. Setelah itu uji provokasi diulang kembali,
bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi
dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka
eliminasi diet dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.1
 Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat
kendala biaya, maka sebagai alternatif bayi dapat diberikan susu formula
yang mengandung isolat protein kedelai dengan penjelasan kepada orang
tua kemungkinan adanya reaksi silang alergi terhadap protein kedelai
pada bayi. Secara keseluruhan angka kejadian alergi protein kedelai pada
bayi berkisar 10-20% dengan proporsi 25% pada bayi dibawah 6 bulan
dan 5% pada bayi diatas 6 bulan. Mengenai efek samping, dari beberapa
kajian ilmiah terkini menyatakan bahwa tidak terdapat bukti yang kuat
bahwa susu formula dengan isolate protein kedelai memberikan dampak
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan, metabolisme tulang,
sistem reproduksi, sistem imun, maupun fungsi neurologi pada anak.1
 Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu
menghindari adanya protein susu sapi dalam bubur susu atau biskuit
bayi.1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


 Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan alternatif karena
berisiko terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing, susu domba
dan sebagainya tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun
kecuali telah dibuat menjadi susu formula bayi. Saat ini belum tersedia
susu formula berbahan dasar susu mamalia selain sapi di Indonesia.
Selain itu perlu diingat pula adanya risiko terjadinya reaksi silang.1
1. Medikamentosa1
a. Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang
terjadi.
b. Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua
dapat digunakan dalam penanganan alergi.
c. Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau
dengan alergi makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang
berat, epinefrin harus dipersiapkan.
Pengobatan diberikan pada saat terjadi kegawatdaruratan alergi.
Pengobatan ini meliputi Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu,
seperti difenhidramin, 1-2mg/kg IM, IV, atau oral dengan dosis maksimum 50mg
dan generasi kedua, seperti ranitidine dapat digunakan dalam penanganan alergi
untuk reaksi-reaksi kulit dan gastrointestinal. Jika didapatkan riwayat reaksi alergi
cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi makanan yang berhubungan dengan
reaksi alergi yang berat, penggunaan adrenalin yang dapat disuntik harus
dipersiapkan, epinefrin secara injeksi intramuskular 0.01 mg/kg dengan dosis
maksimum or IM 0.5 mg. Dapat diulang setiap diulang setiap 5 menit bila
diperlukan.1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


Gambar 2.3.3 Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Asi Eksklusif1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


Gambar 2.4.3 Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Susu Formula1

1. Konseling Pemberian Susu dan Makanan pada Penderita Alergi


Susu Sapi
Pemberian susu sapi pada penderita alergi susu sapi memiliki tantangan
tersendiri. Banyak keraguan terhadap kualitas gizi susu pengganti susu sapi.
Keraguan tersebut seperti susu soya tidak menggemukkan, susu hipoalergenik
tidak membuat anak pintar karena tidak mengandung DHA dan sebagainya.
Padahal secara umum semua susu formula yang beredar secara resmi
kandungannya sama karena mengikuti standar RDA (Recommendation Dietary

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


Allowance) dalam jumlah kalori, vitamin, dan mineral yang harus sesuai dengan
kebutuhan bayi dalam mencapai tumbuh kembang yang optimal. Penggunaan
apapun merek susu formula yang sesuai kondisi dan usia anak selama tidak
menimbulkan gangguan fungsi tubuh adalah susu yang terbaik untuk anak
tersebut. Bila ketidakcocokan susu sapi terus dipaksakan, malah akan
mengganggu fungsi tubuh terutama saluran cerna sehingga membuat gangguan
pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu.26,27
2.9 Prognosis
Antigenitas dan alergenitas protein susu sapi ini diketahui berkaitan
dengan umur dan alergi yang kebanyakan berkurang atau menghilang di usia 2-3
tahun. Bahkan ada pula yang menyatakan alergi susu sapi hanya terjadi pada
tahun pertama kehidupan. Berdasarkan inilah pada usia tersebut dapat dicoba
diberikan lagi susu sapi sedikit demi sedikit dan dilihat apakah alergi masih ada
atau tidak.1,28
Bayi dengan alergi susu sapi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami alergi terhadap bahan makanan lain. Mereka juga memiliki risiko yang
lebih besar untuk mengalami asma atau bentuk alergi lainnya dalam usia
selanjutnya. Untuk itu, bagi anak yang mengalami alergi susu sapi, dianjurkan
untuk menghindari makanan yang juga memiliki sifat allergenitas tinggi, seperti
kacang, ikan, atau makanan laut, sampai usia 3 tahun. Walaupun demikian anak
yang memiliki alergi susu sapi tak selalu alergi terhadap daging sapi atau bulu
sapi, bahkan penelitian yang telah dilakukan hanya mendapatkan angka kurang
dari 10% dari penderita alergi susu sapi yang mengalami reaksi terhadap daging
sapi. Selain itu, proses pemanasan maupun pengolahan juga akan semakin
menurunkan sifat alergenitas daging sapi, karena daging sapi yang dimasak
dengan baik sangat jarang menimbulkan masalah pada penderita protein susu
sapi.4
Dalam kaitannya dengan sifat alergi yang dimilikinya, berbagai
penelitian telah memperlihatkan pola hubungan berkesinambungan proses
sensitisasi allergen dengan perkembangan dan perjalanan alergi yang dikenal
dengan nama allergic march, yaitu perjalanan alamiah penyakit alergi, yang mana
secara klinik akan terlihat berawal sebagai alergi pada saluran cerna (umumnya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


berupa diare karena alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi pada
lapisan kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi pada saluran napas (asma
bronkial, rhinitis alergi).1
2.9 Pencegahan
Pencegahan alergi dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan
sebelum anak tersensitisasi protein susu sapi, yaitu pada masa intrauterin.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi susu sapi yang hipoalergi
yaitu susu sapi partially hydrolyzed untuk merangsang pembentukan terjadinya
toleransi di masa yang akan datang. Ketika reaksi alergi tetap terjadi setelah
pemberian susu yang hipoalergi, maka pemberian susu harus digantikan oleh susu
lain seperti susu kedelai.29
Pada bayi, berdasarkan rekomendasi Eropa dan Amerika sebenarnya
bergantung pada pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan, diikuti dengan
penundaan pengenalan makanan padat pada anak dengan risiko atopik (seperti
atopik orang tua atau saudara kandung, atau anak-anak dengan dermatitis atopik).
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa bayi yang terkena alergi makanan
(dalam hal ini susu sapi) pada awal kehidupan bayi melalui rute oral cenderung
kurang akan memiliki alergi terhadap makanan dari bayi tanpa eksposur tersebut.
Alergi susu sapi seringkali terdapat pada anak yang memiliki alergi makanan
lainnya pada usia yang lebih tua. Pencegahan dan pengobatan yang baik adalah
penting dalam mencegah alergi terhadap makanan di masa yang akan datang.
Secara umum terdapat 3 (tiga) fase pencegahan terhadap alergi susu, yaitu:29-31
1. Pencegahan Primer
Yang dilakukan sebelum tersensitisasi. Dilakukan sejak prenatal pada
janin dengan keluarga yang memiliki bakat dermatitis atopi. Menghindari dengan
cara memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi partially hydrolyzed,
dengan tujuan untuk merangsang toleransi dari alergi susu sapi pada masa yang
akan datang, disebabkan masih mengandung sedikit partikel dari susu sapi,
sebagai contoh dengan merangsang IgG blocking agent. Tindakan pencegahan ini
juga dilakukan pada makanan alergi makanan lainnya, dan juga menghindari
merokok.29
2. Pencegahan Sekunder

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Dilakukan setelah sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi tidak
muncul. Kondisi sensitisasi ditentukan oleh pemeriksaan IgE spesifik dalam
serum atau darah tali pusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal
adalah usia 0-3 tahun. Penghindaran dilakukan dengan cara mengganti susu sapi
menjadi susu sapi non alergenik, seperti susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau
pengganti susu sapi seperti susu kedelai yang tidak membuat terjadinya sensitisasi
terjadinya manifestasi penyakit alergi. ASI eksklusif tampaknya juga dapat
mengurangi risiko alergi. 29
3. Pencegahan Tertier
Dilakukan pada anak-anak yang telah mengalami manifestasi sensitisasi
dan menunjukkan penyakit alergi awal seperti dermatitis atopic atau rinitis, tetapi
belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan
yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun.29
Penghindaran juga dilakukan dengan memberikan susu sapi hidrolisat
sempurna atau pengganti susu sapi. Penyediaan obat preventif seperti setirizin,
imunoterapi, imunomodulator tidak direkomendasikan karena belum terbukti
secara klinis bermanfaat.29

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


BAB 3
PENUTUP

Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang diperantarai secara
imunologis terhadap protein susu sapi, dengan manifestasi klinis bervariasi dari
ringan sampai berat, seperti ruam pada kulit, bengkak pada mata, masalah
pencernaan dan pernafasan hingga syok anafilaktik. Alergi susu sapi dapat
diperantarai oleh IgE maupun tidak, yang dapat dibedakan bedasarkan onset dan
cara diagnostik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah skin prick
test, atopy patch test, diet eliminasi dan oral food challenge,serta mengukur uji
IgE RAST.
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah diet eliminasi, dan dibagi
apakah bayi mendapatkan ASI eksklusif, susu formula, atau sudah mulai
mendapatkan makanan tambahan. pemberian antihistamin sebagai pengobatan
darurat.
Prognosis ASS pada anak-anak sangat baik, dengan tingkat toleransi
ASS mencapai 90% saat umur 6 tahun. Pada pasien alergi, pilihan pertama adalah
formula ekstensif terhidrolisat atau formula asam amino tergatung dari tingkat
keparahan alergi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan tatalaksana alergi susu sapi.
Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
2. Kliegman R, Behrman RE, Nelson WE. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
20. Canada: Elsevier; 2016.
3. Lozinsky A, Yüce A, Dalgiç B, Sekerel B, Çullu-Çokugras F, Çokugras H.
Consensus statement on diagnosis, treatment and follow-up of cow's milk
protein allergy among infants and children in Turkey. Turk J Pediatr.
2016;58(1):1-11.
4. Jackson KD, Howie LD, Akinbami LJ. Trends in allergic conditions among
children: United States, 1997-2011. NCHS Data Brief. 2013:1-8.
5. Lozinsky AC, Meyer R, Anagnostou K, Dziubak R, Reeve K, Godwin H, Fox
AT, Shah N. Cow’s Milk Protein Allergy from Diagnosis to Management: A
Very Different Journey for General Practitioners and Parents. Children. 2015;
2(3):317-329.
6. Dupont C, Bradatan E, Soulaines P, Nocerino R, Berni-Canani R. Tolerance
and growth in children with cows milk allergy fed a thickened extensively
hydrolyzed casein-based formula. BMC Pediatrics. 2016;16.
7. Giovanna V, Carla C, Alfina C, Domenico PA, Elena L. The
immunopathogenesis of cow’s milk protein allergy (CMPA). Ital J Pediatr.
2018;38:35.
8. Mansueto P, Giuseppe M, Maria LP, Maria EP, et al. Food Allergy in
gastoeneterologic diseases: review of literature. World J Gastroenterol.
2015;12(48): 44-52.
9. Burk AW, James JM, Hiegel A, Wilson G, et al. Atopic dermatitis and food
hypersensitivity reactions. J Pediatr 2015; 132:132-6.
10. Ki MS, Cardoso AL, Araujo GTB, et al. A survey on clinical presentation
and nutritional status of infants with suspected cow' milk allergy.  BMC
Pediatrics. 2015;10:25. 

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


11. Kraus TA, Toy L, Chan L, Childs J, Mayer L (2004) Failure to induce oral
tolerance to a soluble protein in patients with inflammatory bowel disease.
Gastroenterology 126(7):1771–1778.
12. Husby S, Mestecky J, Moldoveanu Z, Holland S, Elson CO (1994) Oral
tolerance in humans. T cell but not B cell tolerance after antigen feeding. J
Immunol 152(9):4663–4670.
13. Rios D, Wood MB, Li J, Chassaing B, Gewirtz AT, Williams IR (2016)
Antigen sampling by intestinal M cells is the principal pathway initiating
mucosal IgA production to commensal enteric bacteria. Mucosal Immunol
9(4): 907–916.
14. McDole JR, Wheeler LW, McDonald KG, Wang B, Konjufca V, Knoop KA,
Newberry RD, Miller MJ (2012) Goblet cells deliver luminal antigen to
CD103+ dendritic cells in the small intestine. Nature 483(7389):345–349.
15. Mazzini E, Massimiliano L, Penna G, Rescigno M (2014) Oral tolerance can
be established via gap junction transfer of fed antigens from CX3CR1(+)
macrophages to CD103(+) dendritic cells. Immunity 40(2):248–261.
16. Tordesillas L, Berin MC. Mechanism of Oral Tolerance. Clinical Reviews in
Allergy & Immunology. 2018;5:80-86.
17. Palomares O, Ruckert B, Jartti T, Kucuksezer UC, Puhakka T, Gomez E,
Fahrner HB, Speiser A, Jung A, Kwok WW, Kalogjera L, Akdis M, Akdis
CA (2012) Induction and maintenance of allergen-specific FOXP3+ Treg
cells in human tonsils as potential first-line organs of oral tolerance. JAllergy
Clin Immunol 129 (2):510–520, 520 e511–519.
18. Lifsehitz C, Alergy to cow milk. J.Ped. Neonatal 2005;2:l-7.
19. Sampson HA. Adverse reactions to foods.Dalam : middleton E, Reed CE,
Elliot EF, Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, penyunting. Allergy.
Principle and Practice.Edisi ke-4.St.Louis, Mosby, 1993:h 1661 – 86.
20. Host A. Halken S. Approach to feeding problems in the infant and young
child. Dalam: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, penyunting.
Peciiatric Allergy principles and practice. Missouri, Mosby, 2003.h.488-94.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


21. Hill DJ, Duke AM, Hosking CS,et al.Clinical manifestations of cow's milk
allergy in childhood:Il.The diagnosis value ofskin tests and RAST. Clin
Allergy 1988;18:481-90.
22. William LW, Bock SL. Skin testing and food challenges for evaluation of
food allergy. Immunology and Allergy Clinics of North Amer 1999;19:47-93.
23. Bishop MJ, Hasting. Natural history of cow's milk allergy. Clinical outcome.
J Pediatr 19%;116:862-7.
24. Vanto T, Helpplia S, Juntunen-Backman K, Kalimo Klemola T, Korpela R.
Prediction of the development of tolerance to milk in children with cow's
milk hypersensitivity. J Pediatr 20A4;144:218-22.
25. Eggesbo M, Halvorsen R, Tambs K. Prevalence of parentally perceived
adverse reaction to food in young children. Pediah A llergy Immunol
1999;fi :122-32.
26. Murari A, Dreborg S, Halken S, et al. Dietary prevention od allergic diseases
in infant and small shildren Part III: Critical review of published peer-
reviewed observational and interventional studies and final recommendation.
Pediatr Allergy Immunol. 2004;15:291-307.
27. Host A, Halken S. A prospective study of cow’s milk allergy in Danish
infants during the forst 3 years of life. Alergy 1990;45:587-96.
28. Zeiger RS, Sampson HA, Bocks SA, Burks JR, et al. Soy allergy in infants
and children with IgE associated cow’s allergy. J Periadtr1999;134:614-22
29. Konsensus penatalaksanaan alergi susu sapi. UKK Alergi & Imunologi,
Gastroenterohepatologi, Gizi & Metabolik IDAI 2009.
30. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et
alGuidelines for the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy
in infants. Arch Dis Child. 2007;92;902-8.
31. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GJ, Day AS, et al.
Guidelines for the use of infant formulas to treat cow’s milk protein allergy:
an Australian consensus panel opinion. MJA. 2008; 188: 109–12.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28

Anda mungkin juga menyukai