Anda di halaman 1dari 6

ESSAY

MALABSORBSI, INTOLERANSI DAN ALERGI MAKANAN

Disusun oleh :

Nama : Arya Adhi Yoga Wikrama Jaya

Nim : 018.06.0031

Kelas : A

Blok : DIGESTIVE II

Dosen : dr. Kadek Dwi Pramana, Sp. PD., M.Biomed.

UNIVRSITAS ISLAM AL-AZHAR


FAKULTAS KEDOKTERAN
MATARAM
2020
Latar Belakang

Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat.
Umumnya masyarakat menganggap bahwa penyakit alergi hanya terbatas pada gatal-gatal di
kulit. Alergi sebenarnya dapat terjadi pada semua bagian tubuh, tergantung pada tempat
terjadinya reaksi alergi tersebut. Alergi merupakan manifestasi hiperresponsif dari organ
yang terkena seperti kulit, hidung, telinga, paru, atau saluran pencernaan. Pada hidung gejala
alergi yang timbul berupa pilek; pada paru-paru berupa asma; pada kulit berupa
urtikaria/biduran, eksema, serta dermatitis atopik; sedangkan pada mata berupa
konjungtivitis. Gejala hiperresponsif ini dapat terjadi karena timbulnya respon imun dengan
atau tanpa diperantarai oleh IgE.

Pembahasan

a. Alergi makanan

Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akibat induksi oleh


imunoglobulin E (IgE) yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan
sel mast atau sel basofil. Ketika antigen terikat, terjadi silang molekul IgE, sel mast
manusia dirangsang untuk berdegranulasi dan melepaskan histamin, leukotrein, kinin,
Plateletes Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari hipersensitivitas, dimana
histamin merupakan penyebab utama berbagai macam alergi.

Prevalensi alergi di dunia meningkat secara dramatis di negara maju dan


negara berkembang. Peningkatan alergi terutama terjadi pada anak dari
meningkatnya tren yang telah terjadi selama dua dekade terakhir. Meskipun begitu,
pelayanan untuk pasien dengan penyakit alergi jauh dari ideal. Prevalensi alergi telah
meningkat, maka alergi harus dianggap sebagai masalah kesehatan utama. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diperkirakan 300 juta orang memiliki asma,
sekitar 50% diantaranya tinggal di negara-negara berkembang dengan akses terbatas
terhadap obat esensial. Oleh karena itu, asma sering tidak terkontrol di daerah-
daerah. Empat ratus juta orang di seluruh dunia memiliki rhinitis, serta 5-15%
populasi anak di seluruh dunia menderita alergi.
Sebagian besar alergi makanan dasarnya reaksi hipersensitivitas tipe I yang
diperankan oleh antibodi IgE spesifik. Reaksi alergi makanan dapat juga didasari oleh
non IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi susu sapi yang diperankan oleh
reaksi antigenantibody-dependent cytotoxic (reaksi hipersensitivitas tipe II), dan
reaksi kompleks antigen antibodi (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan reaksi
imunologik lain seperti terdapat anti IgA gliadin antibodi pada penyakit Celiac.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV) gejalanya timbul
setelah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian dan sering memberikan gejala
pada saluran cerna. Sampai sekarang sulit membuktikan patogenesis alergi makanan
yang disebabkan hipersensitivitas tipe II dan tipe III. Diperkirakan sebagian besar
alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperankan oleh IgE
dan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau kombinasi dari keduanya. Sebagian besar
reaksi simpang makanan tergolong intoleransi makanan. Contohnya kontaminasi
toksik histamin yang dihasilkan ikan, toksin dari Salmonella atau Shigella, reaksi
farmakologis terhadap kafein dalam kopi, tiramin dari keju, reaksi metabolik pada
defisiensi enzim laktase dan reaksi idiosinkrasi akibat gangguan psikis.

Manifestasi alergi makanan tipe IgE dapat bermacam- macam, tergantung dari
tempat dan luas degranulasi sel mast, mulai dari urtikaria akut sampai reaksi
anafilaksis yang fatal. Organ target yang sering terkena adalah kulit, saluran cerna,
saluran napas atas, bawah dan sistemik. Tanda dan gejala disebabkan oleh pelepasan
histamin, leukotrien, prostaglandin dan sitokin. Manifestasi alergi makanan non IgE
pada saluran cerna berupa mual muntah, diare, steatorea, nyeri abdomen dan BB
menurun. Manifestasi alergen pada kulit dapat berupa urtikaria, angioedema,
dermatitis atopik, dan hepatitis hepertiformis.

Diagnosis alergi makanan tergantung terutama pada riwayat klinis.


Anamnesis, diperjelas oleh pemeriksaan fisik, tes sensitivitas IgE, tes kulit atau
alergen spesifik serum. Skin-prick testing (SPT) diujikan pada kulit, dilakukan
dengan ekstrak alergen. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total
dan IgE spesifik Radio Allergosorbent test (RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan
sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan karena kurang spesifik.
Hal tersebut disebabkan IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi
seperti infestasi parasit. Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan dengan mengukur IgE
spesifik alergen dalam serum pasien. Selain itu, pemeriksaan lainnya untuk
menegakkan diagnosis penyakit alergi adalah skrining antibodi IgE multi-alergen,
triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation test (CAST)..

b. Intoleransi makanan

Intoleransi makanan adalah reaksi abnormal terhadap makanan karena adanya


defek enzim atau defek transpor. Reaksi pada intoleransi makanan tidak diperantarai
sistem imun, berbeda dengan alergi makanan. Makanan yang dapat menyebabkan
intoleransi misalnya makanan yang mengandung laktosa, fruktosa, bahan aditif, dan
FODMAP (fermentable oligosaccharides, disaccharides, monosaccharides, and
polyols). Pasien dengan intoleransi makanan umumnya datang dengan nyeri perut,
kembung, dan diare. Gejala pada sistem organ lain seperti sesak napas, urtikaria, dan
angioedema juga dapat muncul namun lebih jarang. Gejala ini biasanya muncul dalam
hitungan jam dan dapat bertahan sampai hitungan jam hingga hari.

Prevalensi intoleransi makanan diestimasi secara global sebesar 15-20% dari


seluruh populasi. Namun, angka ini didapatkan berdasarkan laporan gejala yang
dialami oleh pasien sehingga tingkat prevalensi sebenarnya bisa jadi lebih rendah dari
angka tersebut. Intoleransi makanan lebih sering ditemukan pada pasien dengan
sindrom usus iritabel. Sekitar 50 – 84% pasien mengatakan bahwa gejala
gastrointestinal yang dialami berhubungan dengan intoleransi terhadap makanan.
Angka intoleransi makanan secara umum di Indonesia belum ada. Penelitian yang
telah dilakukan hanya terkait dengan intoleransi laktosa. Prevalensi malabsorpsi
laktosa pada anak usia 6 – 12 tahun adalah sekitar 58%.

Poin terpenting dari patofisiologi intoleransi makanan adalah proses ini tidak
dimediasi oleh sel imun dan tidak disebabkan oleh toksin. Hal inilah yang
membedakan antara intoleransi makanan dengan alergi makanan dan keracunan
makanan. Ada beberapa mekanisme yang diduga mendasari terjadinya intoleransi
makanan, yaitu defisiensi enzim, defek pada transporter, dan efek farmakologis dari
makanan yang dikonsumsi. Defisiensi enzim ini sering ditemukan pada kasus
intoleransi laktosa. Laktase merupakan enzim yang digunakan untuk memecah laktosa
menjadi galaktosa dan glukosa dan terletak di jejunum. Ada beberapa tipe defisiensi
laktase, yaitu primer, sekunder, kongenital, dan transisional.
Tata laksana utama intoleransi makanan adalah mengeliminasi makanan yang
menimbulkan gejala intoleransi. Eliminasi makanan merupakan tata laksana utama
dari intoleransi makanan. Pada pasien dengan intoleransi laktosa, maka susu dan
produk olahannya dieliminasi dari asupan sehari-hari. Selain itu, laktosa juga terdapat
di dalam roti, sereal, minuman pengganti sarapan, saus untuk salad, dan margarin.
Eliminasi ini dapat bersifat permanen, seperti pada pasien dengan defisiensi laktase
kongenital, atau bersifat sementara seperti pada kasus defisiensi transisional.

c. Malabsorbsi makanan

Malabsorpsi makanan adalah kondisi saluran pencernaan, khususnya usus


tidak dapat menyerap nutrisi dari makanan yang biasanya disebabkan oleh kerusakan
dari cacat atau rusaknya lapisan mukosa dari usus dimana sebagian besar nutrisi
terjadi. Nutrisi yang sulit diserap usus dapat berupa makronutrien (protein,
karbohidrat, dan lemak), mikronutrien (vitamin dan mineral), atau keduanya.
Gangguan penyerapan nutrisi ini dapat terjadi untuk satu macam nutrisi tertentu,
seperti intoleransi laktosa, atau pada beberapa macam nutrisi, seperti pada penderita
penyakit celiac atau penyakit Crohn. Kondisi ini bisa mengakibatkan seseorang
mengalami gizi buruk yang ditandai dengan pertambahan berat badan dan tinggi
badan yang tidak sesuai dengan umur.

Gejala malabsorpsi makanan bisa bermacam-macam, tergantung dari jenis


nutrisi yang tidak terserap dengan baik. Gejala tersebut meliputi: Malabsorpsi gula;
ditandai dengan perut kembung dan diare kronis, Malabsorpsi vitamin dan mineral;
ditandai dengan gejala anemia, tekanan darah rendah, gizi buruk, Malabsorpsi lemak;
ditandai dengan tinja yang berwarna terang atau berbau busuk, Malabsorpsi protein;
ditandai dengan edema (penumpukan cairan) dan rambut rontok atau kering.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan Tes darah. Tes ini untuk melihat
kadar nutrisi dalam darah, seperti vitamin B12, vitamin D, kalsium, karoten, albumin,
dan protein, Tes Pernapasan. Tes untuk menguji intoleransi laktosa ini dilakukan
dengan menguji napas pasien. Jika napas mengeluarkan gas hidrogen setelah
mengonsumsi laktosa, maka kemungkinan besar pasien tersebut menderita intoleransi
laktosa, Tes tinja. Di sini, kadar lemak dalam sampel tinja akan diteliti di
laboratorium, CT scan. Pemindaian ini dilakukan untuk melihat adanya masalah
struktur dalam saluran pencernaan.
Pengobatan malabsorbsi makanan dapat dilakukan Perubahan pola makan,
misalnya menghindari susu atau makanan berbahan susu untuk penderita intoleransi
laktosa, meningkatkan konsumsi makanan berkadar potasium tinggi untuk
mengimbangi elektrolit, atau diet bebas gluten bagi penderita penyakit celiac.
Pemberian suplemen vitamin berdosis tinggi ini bertujuan untuk menggantikan
vitamin atau mineral yang tidak terserap usus. Terapi enzim: Suplemen yang
mengandung enzim tertentu akan diberikan untuk menggantikan enzim yang tidak
terserap tubuh dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai