Anda di halaman 1dari 14

ALERGI PAKAN (CUTANEOUS ADVERSE FOOD REACTIONS) PADA ANJING

PENDAHULUAN

Pada manusia, kisaran dari perbedaan reaksi yang merugikan pada makanan telah dapat dikenali. Hal ini termasuk alergi makanan yang dapat didefinisikan sebagai reaksi berlebihan dari immunologically-mediated terhadap substansi-substansi makanan. Alergi makanan harus dibedakan dari intoleransi makanan dimana mekanisme non-immunologi yang dilibatkan. Dalam Kedokteran Umum, metode pemilihan untuk demonstrasi alegi makanan adalah eliminasi diet yang diikuti dengan pengenalan dari pakan yang diseleksi dalam model berikutnya; metode tantangan yang dinamakan the double-blind placebo-controlled food challenge method telah

dianggap sebagai gold standard (Sampson, 1999). Sejumlah metode in vitro telah digunakan untuk mengevalusai pasien-pasien manusia dengan dugaan alergi makanan. Deteksi antibodi serum allergen-specific IgG (terutama IgG4) dianggap merefleksikan paparan sebelumnya terhadap antigen makanan dan tidak dianggap indikatif dari patogenesis yang terkait dengan makanan spesifik (Sampson, 1999). Pengukuran dari foodspecific serum IgE dapat menjadi faktor prediktif negatif yang bergunahasil negatif dianggap relevan dalam mengesampingkan adanya reaksi IgE-mediated terhadap makanan Tetapi, spesifisitas dari hasil yang positif ini rendah, meskipun pengukuran yang seksama terhadap konsentrasi food specific IgE telah digunakan untuk menghitung nilai prediktif positif dan negatif pada pasien-pasien dengan alergi makanan (Sicherer and Sampson, 1999; Yunginger et al., 2000; Sampson, 2001).

Dalam kedokteran hewan, alergi makanan dianggap sebagai penyebab dermatitis yang lebih umum dibandingkan dengan penyakit gastrointestinal, dan prevalensi dari alergi makanan bervariasi dari yang jarang terjadi sampai sering terjadi tergantung penulis yang berbeda (Chesney, 2001; Hillier and Griffin, 2001; Scott et al., 2001). Patofisiologi dari alergi makanan pada hewan tidak sepenuhnya dpaat dipahami. Oleh karenanya, telah diusulkan bahwa istilah cutaneous adverse food reactions lebih tepat digunakan dibandingkan dengan alergi makanan (food allergy) atau intoleransi pakan (food intolerance) karena mekanisme

imunopatogeniknya belum diketahui (Hillier and Griffin, 2001). Usaha dalam memperlihatkan dasar IgE-mediated pada anjing pada kasus-kasus yang terjadi secara alami sebelumnya kurang berhasil dengan memuaskan. Hal ini membuka keraguan terhadap peran dari IgE dan reaksi hipersensitivitas tipe 1 pada cutaneous adverse food reactions (Jeffers et al., 1991; Mueller and Tsohalis, 1998). Studi yang dilakukan saat ini ditujukan untuk mengukur konsentrasi serum antibodi spesifik IgG dan IgE dalam berbagai antigenantigen yang umum terdapat dalam makanan dalam suatu kelompok anjing percobaan. Konsentrasi antibodi dibandingkan diantara anjinganjing dengan atopik dermatitis (AD), penyakit gastrointestinal dan anjing-anjing tanpa gejala klinis. Pengukuran respon serologis dalam populasi yang besar akan dapat menyediakan beberapa wawasan mekanisme tipe imun yang mungkin terjadi pada beberapa kondisi tertentu. Gejala dari CAFRs (cutaneous adverse food reactions) dapat terjadi dalam predileksi yang sama dan secara klinis tidak dapat dibedakan dari Atopik Dermatitis (AD). Dalam studi retrospektif yang lebih mendetail, sebanyak 63% dari anjing-anjing yang didiagnosa dengan hipersensitivitas makanan berdasarkan eliminasi diet dan uji provokatif menyebabkan lesi kutaneus dan pruritus memberi kesan seperti AD (Chesney, 2002). Oleh

karena manifestasi klinis dari CAFRs dapat dibandingkan dengan yang terjadi pada AD, dapat dihipotesiskan bahwa pola reaksi kutaneus anjing dengan CAFRs dapat dibandingkan dengan anjing yang menderita AD. Untuk menguji hipothesis ini, respon inflamasi (sel T dan ekspresi dari sitokin dan faktor-faktor transkripsi yang mewakili Th1, Th2 dan regulatory T cells; ulasan oleh Wilson et al. (2009); Ozdemir et al. (2009)) pada kulit anjing dengan CAFRs yang diteliti setelah diet provokatif dengan pakan hewan alami dan eliminasi diet yang dilakukan selanjutnya.

DEFINISI DAN ETIOLOGI

Alergi pakan merupakan respon immun yang merugikan terhadap protein pakan.[1][2] Alergi pakan dibedakan dengan respon merugikan terhadap makanan lainnya, seperti intoleransi pakan, reaksi farmakologi, dan reaksi yang diperantarai toksin. Protein dalam pakan merupakan komponen alergi yang paling umum. Jenis-jenis alergi ini terjadi saat sistem immun tubuh salah mengenalinya sebagai bahaya. Beberapa protein atau fragmen protein resisten terhadap digesti dan beberapa yang tidak dapat dirombak oleh proses digesti akan di-tag (ditandai) oleh Immunoglobulin E (IgE). Penandaan ini akan mengecoh sistem immun untuk menganggap bahwa protein tersebut berbahaya. Respon kulit terhadap komponen pakan pada anjing umumnya mengacu pada istilah cutaneous adverse food reactions (CAFRs), karena dasar dari pola respon immunologi yang belum diketahui (Hillier and Griffin, 2001). Meskipun paparan alergen pada pakan terjadi pertama kali terjadi pada saluran pencernaan, hanya 20-30% anjing dengan CAFR

yang mengalami gejala gastrointestinal (Hillier and Griffin, 2001) sementara sebagian besar anjing hanya memperlihatkan gejala kutaneus.

Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa beberapa komposisi cenderung dapat menyebabkan alergi makanan ketimbang lainnya. Dalam urutan, yang paling umum dicurigai adalah daging sapi (beef), produk-produk sapi perah, ayam, domba, ikan, telur ayam, iagung, gandum, dan kacang kedelai. Hal yang perlu diperhatikan adalah, komposisi yang paling dicurigai merupakan komposisi yang paling umum terdapat dalam pakan anjing (doog food). Korelasi ini tidak terbentuk secara kebetulan. Beberapa protein dapat bersifat sedikit lebih antigenik dibandingkan dengan lainnya, sementara beberapa protein memiliki kesamaan bentuk dan kejadian terhadap reaksi alergi yang kemungkinan berhubungan dengan jumlah paparan. Alergi pakan dapat menyerang baik pada anjing maupun kucing. Tidak seperti atopi, tidak terdapat hubungan yang kuat antara ras tertentu/ spesifik dengan alergi pakan. Alergi pakan menyerang baik jantan maupun betina, yang disteril maupun yang tidak tanpa pandang bulu. Alergi dapat diperlihatkan sedikitnya umur lima bulan dan paling lama saat berumur 12 tahun, meskipun mayoritas kasus yang tercepat terjadi antara 2 dan 6 tahun. Beberapa hewan dengan alergi pakan juga bisa mengalami alergi kontak atau inhalan yang kambuhan (Foster& Smith, 2010)

GEJALA KLINIS

Gejala dari alergi pakan serupa dengan kebanyakan alergi yang terlihat pada anjing dan kucing. Gejala utamanya adalah gatal pada kulit yang terutama menyerang wajah, kaki, telinga, kaki depan, ketiak, dan area di sekeliling anus. Gejala lainnya termasuk infeksi telinga kronis atau berulang, kerontokan, garukan yang berlebihan, hot spots, dan infeksi kulit yang dapat merespon antibiotik tetapi kambuh kembali saat antibiotik

dihentikan. Terdapat bukti bahwa anjing dengan alergi pakan kadangkala mengalami peningkatan kejadian pergerakan isi perut. Suatu studi memperlihatkan bahwa anjing non-alergi mengalami pergerakan 1,5 kali per hari sementara anjing dengan alergi pakan mengalami lebih dari 3 kali per hari. Akan sulit untuk membedakan antara hewan yang menderita alergi pakan dengan hewan yang menderita atopi atau alergi lainnya berdasarkan gejala klinis. Tetapi, terdapat beberapa tanda yang akan meningkatkan kecurigaan terhadap alergi pakan yang mungkin terjadi. Salah satunya, anjing dengan problem telinga yang berulang, terutama infeksi jamur. Lainnya, seekor anjing yang sangat muda dengan tingkat problem kulit yang sedang sampai berat. Yang ketiga adalah, jika anjing menderita alergi sepanjang tahun atau jika gejala bermula saat musim dingin. Kemudian petunjuk terakhir adalah, anjing yang menderita gatal pada kulit yang amat sangat tetapi tidak merespon pemberian steroid. Gejala dari CAFRs dapat terjadi pada tempat predileksi yang sama dan tidak dapat dibedakan secara klinis dari Atopik Dermatitis (AD). Dalam studi retrospektif yang paling detail, sebanyak 63% anjing yang didiagnosa hipersensitifitas pakan berdasarkan uji eliminasi dan profokasi pakan memperlihatkan lesi-lesi kutaneus dan pruritus seperti AD (Chesney, 2002). Tetapi, CAFRs juga menghasilkan papular abdominal rash, otitis, seborrhoea atau pyoderma superfisial yang berulang (White, 1986; Carlotti et al., 1990).

Gambar 1. Gejala klinis alergi pakan pada kulit

PATOGENESIS

Saat sel immun bertemu dengan protein alergenik, antibodi IgE akan diproduksi; ini serupa dengan reaksi sistem immun terhadap patogen asing. Antibodi IgE mengenali protein alergenik sebagai bahaya dan menginisiasi reaksi alergi. Protein yang berbahaya adalah proteinprotein yang tidak dirombak karena adanya ikatan yang kuat pada protein tersebut. Antibodi IgE mengikat reseptor pada permukaan protein, membentuk tag (penanda), seperti halnya pada virus atau parasit yang ditandai (tagged). Tidaklah sepenuhnya jelas mengapa beberapa protein tidak terdenaturasi dan selanjutnya memicu reaksi alergi dan

hipersensitivitas sementara lainnya tidak (Anonim, 2010). Hipersensitivitas dikategorikan menurut bagian dari sistem immun yang diserang dan jumlah waktu yang dibutuhkan sampai terjadi respon. Terdapat empat tipe reaksi hipersensitivitas: Tipe 1, Immediate IgE-mediated, Tipe 2, Cytotoxic, Tipe 3, Immune complex-mediated, dan Tipe 4, Delayed cellmediated. Patofisiologi dari respon alergi dapat dibagi menjadi dua fase. Fase pertama merupakan respon akut yang terjadi segera setelah paparan terhadap alergen. Fase ini dapat surut atau berlanjut menjadi "late phase

reaction" yang memperpanjang gejala dari respon, dan berakhir dengan kerusakan jaringan. Beberapa alergi pakan disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap protein tertentu dalam pakan yang berbeda-beda. Protein memiliki bagian yang unik yang memungkinkannya menjadi suatu alergen, seperti kekuatan menstabilkan pada struktur tersier dan kuarterner yang mencegah degradasi selama digesti. Beberapa protein alergenik, secara teori, tidak dapat bertahan terhadap destruksi lingkungan saluran pencernaan, dan karenanya tidak akan memicu reaksi hipersensitivitas.

Respon akut Pada tahap awal dari alergi, reaksi hipersensitivitas tipe I dengan alergen, pertama kali masuk, menyebabkan respon dalam tipe sel immun yang disebut TH2 lymphocyte, yang termasuk dalam subset sel T yang memproduksi cytokine yang disebut interleukin-4 (IL-4). Sel TH2

berinteraksi dengan limfosit lainnya yaitu sel B, yang perannya adalah memproduksi antibodi. Bergabung dengan sinyal yang disediakan oleh IL-4, interaksi ini menstimulasi sel B untuk mulai memproduksi sejumlah besar tipe antibodi tertentu yang dikenal dengan IgE. IgE yang disekresikan bersirkulasi dalam darah dan mengikat IgE-specific receptor (suatu jenis Fc receptor yang disebut FcRI) pada permukaan dari sel immun jenis lain yang disebut mast cell dan basofil, yang keduanya terlibat dalam respon inflamasi akut. IgE-coated cells pada tahap ini peka terhadap alergen (Janeway, 2001)

Gambar 2. Proses degranulasi pada alergi. 1 - antigen; 2 - IgE antibody; 3 FcRI receptor; 4 - preformed mediators (histamine, proteases, chemokines, heparine); 5 - granula; 6 - mast cell; 7 mediator baru yang terbentuk (prostaglandins, leukotrienes, thromboxanes, PAF)

Gambar 3. Struktur histamin. Menyebabkan adanya rasa gatal selama reaksi alergi. Obat yang umumnya digunakan untuk menghentikan rasa gatal ini adalah antihistamin, yang mampu melawan histamin dalam sistem tubuh. Apabila paparan yang berlanjut dengan alergen yang sama terjadi, alergen dapat mengikat molekul-molekul IgE yang berlangsung pada permukaan mast cell atau basofil. Cross-linking antara IgE dengan Fc receptors terjadi ketika terdapat lebih dari satu IgE-receptor complex yang berinteraksi dengan molekul alergenik yang sama, dan mengaktivasi sel yang peka. Mast cell dan basofil yang teraktivasi mengalami proses yang dinamakan degranulasi, selama mengeluarkan histamin dan mediator kimia inflamasi lainnya (cytokines, interleukins, leukotrienes, dan

prostaglandin) dari granulanya kedalam jaringan disekelilingnya yang

menyebabkan beberapa efek sistemik, seperti vasodilatasi, sekresi mukus, stimulasi saraf, dan kontraksi otot polos. Hal ini dapat menyebabkan rhinorrhea, rasa gatal, dyspnea, dan anafilaksis. Tergantung dari individu, alergen dan model pengenalannya, serta gejalanya dapat bersifat sistemikluas (classical anaphylaxis), atau terlokalisir pada sistem tubuh tertentu; asma terlokalisir pada sistem respirasi dan eksema (eczema) terlokalisir pada dermis (Janeway, 2001). Late-phase response Setelah mediator kimia dari respon akut surut, seringkali dapat terjadi late phase response. Hal ini disebabkan karena migrasi dari leukositleukosit lainnya seperti neutrofil, limfosit, eosinofil, dan makrofag pada daerah awal. Reaksi biasanya terlihat 2-24 jam setelah reaksi awal (Grimbaldeston, 2006). Cytokines dari mast cell juga memainkan peran dalam efek-efek jangka panjang yang persisten.

DIAGNOSIS

Diagnosis untuk alergi pakan sebenarnya mudah. Tetapi karena adanya fakta bahwa beberapa permasalahan lain dapat menyebabkan gejala serupa dan bahwa seringkali hewan tidak hanya menderita karena alergi pakan saja, maka sangatlah penting supaya masalah lainnya diidentifikasi dengan benar dan diobati sebelum menangani diagnosa alergi pakan. Atopi, alergi gigitan kutu, hipersensitivitas parasit intestinal, sarcoptic mange, dan jamur atau infeksi bakterial dapat seluruhnya menyebabkan gejala yang serupa dengan alergi pakan. Setelah seluruh penyebab diatasi atau diobati, maka dapat dilakukan uji pakan (food trial). Food trial dan eliminasi pakan: Suatu food trial terdiri dari pemberian pakan hewan dengan sumber protein dan karbohidrat pakan baru untuk

sekurang-kurangnya 12 minggu. Sumber pakan baru dapat berupa protein dan karbohidrat yang belum pernah dimakan oleh hewan sebelumnya. Contohnya daging kelinci dan nasi, atau daging rusa dengan kentang. Terdapat seumlah pakan komersial seperti itu di pasaran. Sebagai tambahan, terdapat pakan khusus yang mengndung protein dan karbohidrat yang dapat dirombak menjadi molekul berukuran kecil yang tidak lagi memicu respon alergi. Pakan tersebut diistilahkan dengan pakan 'limited antigen' atau 'hydrolyzed protein.' Pakan Homemade seringkali digunakan, yang komposisinya dapat dipilih dengan hati-hati. Sehubungan dengan pakan yang digunakan, maka pakan tersebut haruslah merupakan pakan satu-satunya yang dimakan oleh hewan selama 12 minggu. Hal ini berarti tidak ada terapi dan obat yang ditambahkan, tulang atau kulit, dan hanya khusus diberikan pakan serta air. Sebagai tambahan, hewan juga tidak diijinkan berkeliaran, yang dapat menyebabkan hewan akan memiliki akses terhadap makanan lain atau sampah. Dokter hewan perlu menyarankan bahwa hewan hanya butuh ditempatkan pada diet khusus selama 3 minggu tetapi studi terbaru memperlihatkan bahwa pada anjing, hanya 26% yang merespon alergi pakan pada hari ke-21. Tetapi sebagian besar terjadi setelah 12 minggu. Oleh karenanya, sangatlah penting untuk mempertahankan diet hewan selama 12 minggu keseluruhan. Apabila anjing memperlihatkan

penurunan yang nyata atau pengurangan gejala, maka kemudian hewan dikembalikan pada pakan semula. Ini yang dinamakan 'provocative testing' dan uji ini penting untuk menegaskan diagnosis. Jika gejala kembali setelah hewan dikembalikan pada pakan asalnya, ,maka dapat diambil diagnosis terhadap alergi pakan. Jika tidak terdapat perubahan pada gejalanya, tetapi dugaan terhadap alergi masih kuat, maka uji coba pakan dengan menggunakan sumber pakan lain yang baru dapat dilakukan.

10

Pemeriksaan darah: Tidak terdapat bukti bahwa pemeriksaan darah akurat untuk mendiagnosa alergi pakan. Para ahli kulit kedokteran hewan bahkan menegaskan tidak adanya nilai uji ini dalam diagnosa alergi pakan apapun. Satu-satunya jalan yang secara akurat mendiagnosa alergi pakan adalah dengan uji pakan (food trial) seperti yang telah dijelaskan diatas. Meskipun uji kulit intradermal sangat baik untuk mendiagnosa atopi (alergi pernafasan), uji tersebut tidak efektif untuk uji alergi pakan. Meskipun pemeriksaan darah juga dapat digunakan untuk membantu dalam mendiagnosa atopi, tetapi uji-uji tersebut tidak bermanfaat dalam mendiagnosa alergi pakan. Dalam ulasan Foster& Smith (2010) terhadap buku-buku dan artikel terkait pada dermatologi dan alergi veteriner, mereka tidak menemukan ahli kulit yang mendukung pemeriksaan lain selain food trial sebagai bantuan diagnosis yang efektif. Maka untuk menegakkan diagnosa dan menangani alergi pakan, food trial haruslah dilakukan.

TERAPI

Terapi untuk alergi pakan adalah upaya penghindaran. Saat komposisi yang dicurigai dapat diidentifikasi melalui food trial, maka komposisi tersebut dapat dieliminasi dari pakan. Tindakan bantuan untuk jangka pendek bisa didapatkan melalui asam lemak, antihistamin, dan steroid, tetapi eliminasi produk pakan merupakan satu-satunya solusi untuk jangka panjang. Pemilik hewan memiliki dua pilihan. Mereka dapat memilih untuk memberi pakan hewan dengan pakan komersial atau pakan buatan sendiri (homemade). Jika pemilik memilih untuk membuat pakan sendiri, maka mereka dapat secara periodik mencoba hewan dengan komposisi yang baru dan menentukan komposisi mana yang menyebabkan alergi. Sebagai contoh, jika gejala hewan surut pada saat

11

pemberian pakan dengan daging kelinci dan kentang, kemudian pemilik dapat menambahkan daging sapi dalam pakannya selama dua minggu. Jika hewan tidak memperlihatkan gejala, maka kemudian bisa

ditambahkan lagi dengan ayam selama dua minggu. Apabila hewan mulai menunjukkan gejala, maka dapat diasumsikan bahwa daging ayam merupakan salah satu yang menyebabkan hewan menjadi alergi. Pemberian ayam dapat dihentikan dan setelah gejala hilang, komposisi yang berbeda dapat ditambahkan dan begitu seterusnya sampai seluruh komposisi yang dicurigai dapat diidentifikasi. Pakan selanjutnya dapat diformulasikan bebas dari sumber bahan penyebab alergi. Jika pakan buatan sendiri yang digunakan, maka penting untuk membuatnya seimbang dengan jumlah kandungan vitamin dan mineral yang tepat. Pakan buatan sendiri (homemade) untuk penggunaan jangka panjang seharusnya ditetapkan oleh ahli gizi veteriner. Perlu untuk waspada bahwa beberapa hewan dengan alergi pakan dapat mengembangkan alergi terhadap pakan yang baru jika diberi pakan tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama (Foster& Smith, 2010).

12

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Food Reactions. Allergies. Foodreactions.org. Kent, England. 2005. Accessed 27 Apr 2010. Carlotti, D.N., Remy, I., Prost, C., 1990. Food allergy in dogs and cats. A review and report of 43 cases. Veterinary Dermatology 1, 5562. Chesney, C.J., 2001. Systematic review of evidence for the prevalence of food sensitivity in dogs. Vet. Rec. 148, 445448. Chesney, C.J., 2002. Food hypersensitivity in the dog: a quantitative study. The Journal of Small Animal Practice 43, 203207. Foster, Drs., Smith. 2010. Food Allergies and Food Intolerance. Veterinary & Aquatic Services Department. Foster & Smith, Inc. Rhinelander. Wisconsin Grimbaldeston MA, Metz M, Yu M, Tsai M, Galli SJ (2006). "Effector and potential immunoregulatory roles of mast cells in IgE-associated acquired immune responses". Curr. Opin. Immunol. 18 (6): 75160. doi:10.1016/j.coi.2006.09.011. PMID 17011762. Hillier, A., Griffin, C.E., 2001. The ACVD task force on canine atopic dermatitis is there a relationship between canine atopic dermatitis

13

and cutaneous adverse reactions? Vet. Immunol. Immunopathol. 81, 227232. Janeway, Charles; Paul Travers, Mark Walport, and Mark Shlomchik (2001). Immunobiology; Fifth Edition. New York and London: Garland Science. pp. e-book. ISBN 0-8153-4101-6. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?call=bv.View..Show TOC&rid=imm.TOC&depth=10.. Jeffers, J.G., Shanley, K.J., Meyer, E.K., 1991. Diagnostic testing of dogs for food hypersensitivity. J. Am. Vet. Med. Assoc. 198, 245250. Mueller, R., Tsohalis, J., 1998. Evaluation of serum allergenspecific IgE for the diagnosis of food adverse reactions in the dog. Vet. Dermatol. 9, 167171. Sampson, H.A., 1999. Food allergy. Part 2. Diagnosis and management. J. Allergy Clin. Immunol. 103, 981989. Scott, D.W., Miller, W.H., Griffin, C.E., 2001. Muller and Kirks Small Animal Dermatology, sixth ed. Philadelphia, Saunders, pp. 615624. Sicherer, S.H., Sampson, H.A., 1999. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: pathophysiology, epidemiology, diagnosis, and management. J.AllergyClin. Immunol. 104 (3Pt 2), 114122. Yunginger, J.W., Ahlstedt, S., Eggleston, P.A., Homburger, H.A., Nelson, H.S., Ownby, D.R., Platts-Mills, T.A.E., Sampson, H.A., Sicherer, S.H., Weinstein, A.M., Williams, P.B., Wood, R.A., Zeiger, R.S., 2000. Quantitative IgE antibody assays in allergic diseases. J. Allergy Clin. Immunol. 105, 10771084.

14

Anda mungkin juga menyukai