Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Alergi merupakan masalah penting yang harus diperhatikan karena terdapat
pada semua lapisan masyarakat dan insidennya meningkat pada tiga periode terakhir.
Pada usia tahun pertama kehidupan, sistim imun seorang anak relatif masih imatur
dan sangat rentan. Bila ia mempunyai bakat atopik akan mudah tersensitisasi dan
berkembang menjadi penyakit alergi terhadap alergen tertentu misalnya makanan dan
inhalan.1
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada kondisi
tertentu bayi tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu formula (susu
sapi). Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada seorang bayi.
Penyakit alergi susu sapi sering merupakan penyakit atopik pertama pada seorang
anak. Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan prevalens alergi susu sapi
pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Di lain pihak produk-produk susu formula semakin banyak di pasaran.1,2
Diperkirakan insiden alergi susu sapi 2-3% bayi, sedangkan diantara bayi umur
1 tahun dengan dermatitis atopik 30-45% disebabkan alergi susu sapi. Di samping
gejala pada kulit, alergi susu sapi dapat menunjukkan gejala paru dan gejala saluran
cerna tipe segera bahkan gejala sistemik berupa reaksi anafilaksis. Diperkirakan
alergi susu sapi dapat juga memberikan gejala reaksi tipe lambat yang timbul setelah
24 jam berupa sindrom kolik pada usia bayi (infantile colic syndrome).1
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi
masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian
besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%, sedangkan
sisanya adalah tipe non-IgE.2

1
Upaya pencegahan terhadap alergi protein susu sapi telah banyak dilakukan di
berbagai negara maju. Pencegahan ini berupa pencegahan primer, sekunder atau
tersier. Rekomendasi pencegahan primer cukup bermakna dilakukan pada bayi baru
lahir yang memiliki risiko tinggi alergi yaitu ibu memiliki riwayat atopi atau saudara
kandung dengan riwayat penyakit alergi yang jelas dan/atau terbukti dengan
pemeriksaan IgE total tali pusat yang tinggi.3
1.2 Batasan Masalah
Penulisan makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, terapi, dan prognosis tentang alergi
susu sapi.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan
tentang alergi susu sapi serta sebagai pemenuhan salah satu syarat administrasi
kepegawaian di Dinas Kesehatan Kabupaten Agam.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah
wawasan bagi dokter khususnya dan pada semua ahli kesehatan pada umumnya.
1.5 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah dengan tinjauan pustaka dan merujuk
pada beberapa jurnal dan literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Alergi Susu Sapi (ASS) adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi
imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi dan reaksi dapat terjadi segera atau lambat. 1
Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang
diperantarai oleh IgE, walaupun demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi
imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara
keduanya. 1
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan insiden ASS adalah sekitar 2-3% pada keseluruhan bayi.
Sedangkan di antara bayi usia 1 tahun dengan dermatitis atopi, sekitar 30-45%
disebabkan oleh alergi susu sapi. Alergi susu sapi mempengaruhi 2-6% anak.
Prevalensi tertinggi terjadi selama 1 tahun pertama kehidupan. Sekitar 50% anak
menunjukkan perbaikan alergi susu sapi dalam tahun pertama, dan 80-90% dalam 5
tahun. Penelitian dari World Allergy Organization (WAO) memperkirakan sekitar 1,9-
4,9% anak mengalami alergi susu sapi. Data dari UK tahun 2008 juga
mengindikasikan sekitar 2,3% dari anak usia 1-3 tahun yang mengalami alergi susu
sapi, kebanyakan diperantarai non Ig-E alergi susu sapi.1,4
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi
masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian
besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%. Gejala
yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya
sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.2

3
2.3 Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:
a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis
timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam)
mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: urtikaria, angioedema,
ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis,
bronkospasme, dan anafilaksis. Dapat dibuktikan dengan kadar IgE susu sapi
yang positif (uji tusuk kulit atau uji RAST).
b. Non-IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE,
tetapi diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul lebih lambat (1-3
jam) setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: allergic
eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan
gagal tumbuh.2
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein
yang dapat merangsang produksi antibodi manusia. Protein susu sapi terdiri dari 2
fraksi, yaitu casein dan whey. Fraksi casein membuat susu berbentuk kental (milky)
dan merupakan 76-86% dari protein susu sapi. Fraksi casein dapat dipresipitasi
dengan zat asam pada pH 4,6 yang menghasilkan casein dasar, yaitu
dan.1
Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif
(albumin serum bovin, gamaglobulin bovin dan α-laktalbumin). Akan tetapi, dengan
pesteurisasi rutin tidak cukup untuk denaturasi protein ini tetapi malah meningkatkan
sifat alergenitas beberapa protein susu seperti α-laktoglobulin. 1
Fungsi utama saluran cerna adalah memproses makanan yang dikonsumsi
menjadi bentuk yang dapat diserap dan digunakan untuk energi dan pertumbuhan sel.

4
Selama proses ini berlangsung, mekanisme imunologik dan non-imunologik berperan
dalam pencegahan masuknya antigen asing ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir
kadar SIgA dalam usus masih rendah sehingga antigen mudah menembus mukosa
usus dan kemudian dibawa ke aliran darah sistemik.1

Tabel 2.1 Barier terhadap antigen makanan1


Barrier terhadap antigen makanan
Non imunologik
• Menghalangi antigen makanan masuk ke mukosa dengan cara:
- Peristaltik usus
- Lapisan mucus di usus
- Komposisi membran mikrovili usus
• Memecah antigen yang masuk dengan cara:
- Asam lambung dan pepsin
- Enzim pankreas
- Enzim usus
- Aktivitas lizosim sel epitel usus
Imunologik
• Menghalangi antigen masuk ke mukosa usus
- S-IgA spesifik dalam lumen usus
• Membersihkan antigen yang telah menembus mukosa usus
- IgA dan IgG spesifik dalam serum
- Sistem retikuloendotelial

2.5 Patogenesis
Patogenesis alergi susu sapi dibagi menjadi dua jenis yaitu tipe diperantarai
oleh IgE (IgE mediated) dan tidak diperantarai IgE (non IgE mediated). Alergi yang
diperantarai IgE terjadi ketika tubuh gagal mentoleransi suatu makanan sehingga
merangsang IgE. 5
Sel epithel intestinal mengekspresikan sejumlah reseptor pada permukaannya,
menangkap protein susu sapi sebagai alergen, lalu bertindak sebagai antigen
presenting cell (APC). Kemudian APC mempresentasikan alergen tersebut kepada sel
T CD4+. Alergen tersebut menginduksi sel T CD4+ tipe TH2 mensekresikan sitokin,

5
hususnya IL-4 dan IL-5 yang menyebabkan sel B memproduksi IgE. IgE. Setelah
dibentuk dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE berikatan dengan reseptor Fc pada sel mast
yang memiliki afinitas tinggi lalu membentuk reseptor spesifik allergen untuk
berinteraksi dengan alergen pada pajanan berikutnya. Hal ini disebut dengan fase
sensitisasi. Pada kontak berikutnya, protein susu yang berikatan silang dengan IgE
pada permukaan sel mast menyebabkan sel tersebut berdegranulasi dan terjadi
pelepasan mediator dengan segera sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe I.5,6

Gambar 2.1 Patogenesis IgE mediated pada Alergi6

Beberapa mediator yang dilepaskan sel mast dan mekanisme kerjanya dapat
dilihat pada tabel berikut.

6
Tabel 2.2 Cara Kerja Mediator Sel Mast pada Hipersensitivitas Tipe I6
Cara Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada
anafilaksis
Faktor kemotaksis netrofil pada
anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin
meningkatnya permeabilitas Faktor pengaktivasi trombosit
vaskuler) Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi
komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit

Reaksi karena mekanisme IgE mediated timbul dengan onset yang cepat, yaitu
dalam beberapa menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam) setelah paparan dengan
alergen. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa urtikaria, angioedema, ruam
kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme
dan anafilaksis. Hal ini dapat dibuktikan dengan kadar IgE susu sapi yang positif
yaitu dari uji tusuk kulit atau uji RAST.2
Proses alergi non IgE mediated belum diketahui betul, namun didukung oleh
beragam hipotesis, yaitu reaksi yang dimediasi oleh sel TH1, interaksi antara limfosit
T, sel mast dan neuron yang mengubah fungsi otot polos dan motilitas usus. Pada
alergi non IgE mediated gejala klinis timbul lebih lambat, yaitu 1-3 jam hingga
beberapa hari setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang timbul

7
berupa allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis, proktokolitis,
anemia, dan gagal tumbuh.2,5

2.6 Mekanisme Toleransi pada Alergi Susu Sapi


Sebagian besar bayi yang menderita ASS secara spontan akan menjadi toleran
terhadap protein susu sapi di kemudian hari. Dengan kata lain, alergi tersebut akan
menghilang seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada dampak negatif akibat
restriksi diet sebelum anak terbebas dari reaksi alergi, kerusakan jaringan akibat
inflamasi kronis alergi dan episode atopik potensial dalam kehidupan mendatang
menjadikan ASS harus ditangani dengan baik seawal mungkin. Beberapa studi telah
dilakukan dalam menemukan cara efektif untuk menginduksi toleransi, termasuk
imunoterapi spesifik allergen.7
Ada komponen imunitas humoral dan seluler yang terlibat dalam terjadinya
toleransi. Pada mekanisme humoral, yaitu subjek alergi yang dimediasi oleh IgE
menjadi toleran, kadar IgE spesifik allergen berkurang namun kadar IgG4 spesifik
allergen justru meningkat. Perubahan ini dimediasi oleh IL-10. Mekanismenya, IgG4
berperan dalam menghambat antibodi melalui kompetisi dengan allergen untuk
berikatan dengan IgE pada reseptor Fc𝜀 dan sebagai antiinflamasi sehubungan
dengan perubahan lengan fraksi antibodi sehingga terbentuk antibody bispesifik yang
mengurangi kapasitas ikatan silang. Selain itu, bayi yang menerima karbohidrat tidak
tercerna (prebiotik) selama periode 6 bulan pertama memiliki insiden yang lebih
rendah dalam terjadinya dermatitis atopi, yang mana berbanding lurus dengan kadar
Ig-fLC yang lebih rendah. Menurunnya kadar IgE spesifik allergen dan/atau Ig-fLC
serta meningkatnya kadar IgG4 spesifik allergen secara bersamaan berperan dalam
terjadinya toleransi.7

8
Melalui imunitas seluler, mekanisme toleransi secara esensial diperankan oleh
dua mekanisme utama, yaitu supresi terhadap efektor innate proalergi dan
upregulation aktivitas sel T regulator. Mekanisme terakhir merupakan cara utama
dalam menginduksi dan mempertahankan toleransi terhadap allergen karena juga
mempengaruhi mekanisme sebelumnya dalam progresi penyakit. Selain itu, sel T
fungsional dapat berperan dalam anergi sel T, dimana limfosit T secara fungsional
menjadi inaktif terhadap antigen.7

a. Inhibisi sel efektor innate proalergi


Selama terjadinya toleransu, sel efektor innate proalergi dapat menjadi
desensitisasi secara cepat terhadap allergen sehingga kemampuannya
mengeluarkan faktor inflamasi menjadi berkurang. Salah satu mekanisme yang
mungkin adalah adanya IgG4 spesifik allergen. Sebenarnya sel basofil menjadi
kurang responsif pada anak ASS yang secara klinis toleran. Berkurangnya
respons tersebut sebagian berhubungan dengan factor inhibisi dalam serum
berupa IgG4 spesifik allergen. Telah diketahui pula bahwa sekresi IL-10
mengurangi pelepasan sitokin proinflamasi dari sel mast dan menekan aktivitas
eosinophil. Studi eksperimental menunjukkan bahwa pengobatan sinbiotik
(prebiotik dan probiotik) mengurangi reaksi anafilaksis. Hal ini menunjukkan
bahwa toleransi terhadap protein susu sapi berhubungan dengan supresi
aktivitas sel efektor innate proalergi.
b. Upregulation fungsi sel T
Secara mekanis, sel T spesifik allergen secara fungsional dapat mengurangi
respons alergi melalui:
- Supresi terhadap sel mast, basofil dan eosinofil
- Supresi terhadap sel dendritik inflamatorik dan menginduksi toleransi sel
dendritik

9
- Supresi sel TH2 spesifik allergen
- Induksi awal terhadap IgG4 dan reduksi akhir terhadap produksi IgE
Semua mekanisme tersebut dapat dimediasi melalui sekresi IL-10 dan TGF-β
atau supresi sel dependen-kontak. Meningkaatnya frekuensi dan kapasitas supresif sel
T secara in vitro berhubungan dengan toleransi secara klinis terhadap protein susu
sapi. Studi eksperimental dengan pengobatan bervariasi, termasuk diet asam lemak
tidak tersaturasi rantai panjang, prebiotik, Bifidobacterium breve M-16V (probiotik),
sinbiotik (karbohidrat nondigestif + B. breve) atau peptida turunan protein susu sapi
berbanding lurus dengan frekuensi dan aktivitas sel T. Hal ini menunjukkan apakah
anak yang menjadi toleransi terhadap susu sapi setelah imunoterapi juga
menunjukkan peningkatan aktivitas dan fungsi sel T. Jadi, sel T berperan penting
dalam regulasi toleransi terhadap protein susu sapi.7
2.7 Manifestasi Klinis
Alergi susu sapi adalah penyakit yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak.
Pada bayi biasanya muncul dalam 6 bulan pertama kehidupan, mayoritas gejalanya
berkembang sebelum usia 1 bulan, sering dalam waktu 1 minggu setelah pengenalan
protein susu sapi di dalam dietnya. Bagaimanapun, bayi yang mendapatkan ASI juga
bisa muncul gejala alergi ini karena makanan yang dimakan oleh ibu mengandung
protein susu sapi dan mengalir melalui ASI ke anak. Jarang onset gejala alergi ini
setelah usia 12 bulan. Mayoritas anak yang alergi terhadap protein susu sapi ini
memiliki satu atau lebih gejala yang melibatkan 1 atau lebih sistem organ, terutama
sistem gastrointestinal dan atau kulit, seperti : lemah, allergic shiners, ulkus pada
mulut, nyeri sendi atau hipermobilitas, sulit tidur, keringat malam, dan sakit kepala.
Mayoritas reaksi bersifat ringan sampai sedang, tetapi ada juga yang mengancam jiwa
(pada saat terjadi reaksi anafilaksis).8

10
Gambar 2.2 Allergic Shiner’s19
Manifestasi klinis alergi susu sapi ini bervariasi, tidak ada gejala yang
patognomonik. Manifestasi klinis yang terjadi biasanya terhadap traktus
gastrointestinal (50-60%), kulit (50-60%), traktus respiratorius (20-30%). Gejalanya
bervariasi, mulai dari ringan-sedang sampai berat.9
Ada dua tampilan klinis alergi susu sapi ini, yaitu:
1. Langsung, muncul dalam waktu yang singkat setelah menelan protein susu sapi.
Gejala yang akan muncul, seperti : urtikaria, angioedem, muntah atau flare akut
pada dermatitis atopi dan muncul pada setengah pasien alergi terhadap susu sapi
ini. Biasanya pada orang ini, apabila dilakukan prick test maka hasilnya akan
positif (diameter > 3mm) atau immunoglobulin E spesifik serumnya positif.
2. Lambat, seperti : dermatitis atopi atau manifestasi gastrointestinal (proktokolitis
atau enteropati), biasanya muncul setelah beberapa jam atau beberapa hari.9
Alergi susu sapi ini bisa dimediasi oleh IgE dan bisa juga tidak dimediasi oleh
IgE. Reaksi yang dimediasi oleh IgE secara klinis lebih sering terjadi sebagai tipe
yang bermanifesi langsung dan bisa dikonfirmasi dengan skin prict test atau adanya
IgE spesifik. Reaksi yang tidak dimediasi oleh IgE terjadi karena adanya respon
imun, respon ini sulit dibuktikan dengan pemeriksaan yang spesifik. 9Manifestasinya:
1. Manifestasi berat
a. Traktus gastrointestinal : gagal tumbuh, defisiensi besi, dan enterophaty
b. Kulit : dermatitis atopic berat/ eksudatif

11
c. Traktus Respiratory : edema laring
d. Lain-lain : reaksi anafilaksis
2. Manifestasi ringan-sedang
a. Traktus gastrointestinal : regurgitasi dan muntah, diare, konstipasi, colitis,
kolik/ nyeri abdomen
b. Kulit : dermatitis atopi, angioedem, urtikaria, pembengkakan bibir
c. Traktus respiratorius : Rinitis, konjungtivitis, dan wheezing
d. Lain-lain : iritabilitas9
2.8 Diagnosis
Diagnosis ASS ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.10
2.8.1 Anamnesis :
1. Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi
2. Jumlah susu yang diminum/makanan mengandung susu sapi
3. Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria, alergi
makanan, dan alergi obat pada keluarga (orang tua, saudara, kakek, nenek dari
orang tua), dan pasien sendiri.
4. Gejala klinis pada kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik, rash
5. Saluran napas: batuk berulang terutama pada malam hari, setelah latihan,
asma, rinitis alergi
6. Saluran cerna : muntah, diare, kolik dan obstipasi.10
2.8.2 Pemeriksaan fisis :
Pada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria, dermatitis atopik allergic
shiner’s, Siemen grease, geographic tongue, mukosa hidung pucat, dan mengi.10

12
Gambar 2.3 Nasal crease20 Gambar 2.4 Geographic tongue20

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang


Untuk mendiagnosis adanya alergi susu sapi pada anak dapat dilakukan
beberapa tes penunjang atau tes diagnostik. Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi
terhadap susu sapi, yaitu:
a. Penentuan IgE spesifik dan Skin Prick Test (SPT)
Penentuan IgE spesifik dalam sampel darah dan Skin Prick Test (SPT) sangat
bermanfaat dalam mendiagnosis ASS pada usia berapa pun, tetapi kombinasi
keduanya tidak begitu diperlukan untuk menddiagnosis suatu alergi susu sapi.10
Adanya IgE spesifik susu sapi atau positifnya uji SPT menandakan telah terjadinya
sensitisasi dan proses imunologi yang dimediasi IgE telah ada, hanya saja hasil dari
pemeriksaan ini harus mempertimbangkan riwayat medis dan prosedur food
challenge.11 Semakin tinggi titer antibodi dan semakin luas reaksi SPT, semakin
tinggi pula kemungkinan seseorang individu terkena ASS.12,14 Meskipun begitu tes
secara oral tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi ASS pada beberapa kasus. Anak
dengan manifestasi gastrointestinal biasanya mendapatkan hasil tes negative pada IgE
spesifiknya dibandingkan dengan manifestasi di kulitnya, hal ini membuat hasil
negatif pada kasus ini tidak dapat menyingkirkan diagnosis ASS.14,15

13
b. Uji Eliminasi dan Provokasi
Double blind placebo controlled food challenge (DBPFC’s) merupakan uji
baku emas untuk mendiagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan
riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji RAST. Uji ini
memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah dilakukan
eliminasi diet selam 2-4 minggu, maka sebaiknya dilanjutkan dengan memberikan
formula dengan bahan dasar susu sapi (uji provokasi).15 Uji provokasi dilakukan
dibawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas resusitasi
yag lengkap. Pada uji tusuk kulot dan uji RAST negative akan mengurangi reaksi
akut berat pada saat uji provokasi.17
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sap I muncul kembali,
maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negative
bila tidak timbul gejala alergi susu sapi saat uji provokasi dan setelah satu minggu
kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun
demikan, orang tua dianjurkan untuk tetap mengawai kemungkinan terjadinya reaksi
tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah uji provokasi.17

c. Pemeriksaan darah tinja


Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit untuk
dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan seperti
chromium-51 labelled erythrocites pada fece dan reaksi orthodolin mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibanding uji guaiac/ benzidin. Uji guaiac
hasilnya diperngaruhi oleh berbagai substrat non-hemoglobin sehingga memberikan
sensitivitas yang rendah (30-70%), spesifitas (88-98%) dengan nilai duga postif palsu
yang tinggi. 11

14
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk alergi susu sapi amatlah banyak termasuk infeksi
virus berulang dan transient lactose intolerance. Regurgitasi menjadi salah satu
manifestasi yang terjadi pad 20% bayi baik dengan atau tanpa alergi protein susu
sapi. Refluks gastro-esofageal disebutkan menjadi salah satu manifestasi pada alergi
susu sapi. Alergi susu sapi juga dihubungkan dengan kolik infantil, di mana alergi
susu sapi berkontribusi sebesar 10% pada kejadian kolik infantil.9
Reaksi terhadap makanan lain seperti telur, soya, gandum, atau pun kacang
sering terjadi bersamaan dengan alergi susu sapi. Sehingga semua makanan yang
dapat merancukan diagnosis harus dihindari selama diagnostik dengan elimination
diet.9
Alergi susu sapi adalah suatu reaksi merugikan yang dimediasi oleh sistem
imun, yang mempunyai prevalensi 2 % dari bayi yang berumur di bawah 2 tahun.
Reaksi alergi pada pasien alergi susu sapi ini bisa dimediasi oleh IgE ataupun tanpa
dimediasi oleh IgE, dan spectrum klinisnya bisa berupa reaksi anafilaksis yang terjadi
secara langsung dan seperti reaksi alergi makanan yang muncul lambat berupa
dermatitis atopi.
Berikut ini terdapat variasi manifestasi klinis pasien alergi susu sapi beserta
diagnosis bandingnya.

Tabel 2.3 variasi manifestasi klinis pasien alergi susu sapi beserta diagnosis
bandingnya.21

15
Waktu Kemungkinan
munculnya terjadi pada bayi
Klinis yang
No Keadaan gejala setelah Tampilan klinis yang Diagnosis Banding
membedakan
menelan mendapatkan ASI
makanan eksklusif
1 Reaksi alergi akut Langsung, Angioeodem perioral/ Tidak berulang Mungkin Urtikaria idiopatik,
(nonanafilaksis) lebih dari 60 periorbital, eritem, setelah makanan gigitan serangga
menit urtikaria, muntah, diare yang dicurigai
dieliminasi. Insiden
sekitar 2% pada
bayi

2 Anafilaksis Langsung, Keterlibatan sistem Tidak berulang Sangat jarang Sepsis, gangguan
lebih dari 60 respirasi dan atau sistem setelah makanan sistem respirasi atau
menit kardiovaskular dengan yang dicurigai sistem
disertai gejala di atas dieliminasi. Insiden cardiovascular
sekitar 2% pada secara akut, kejang
bayi. Terapi
pilihannya adalah
adrenalin i.m

16
3 Sindrom Sekitar 2-4 Muntah hebat, Respon Tidak pernah Sepsis, Umumnya Dari
enterocolitis jam diare, tiba-tiba terhadap gastroenteritis, pada usia 3 anamnesis,
yang diinduksi pucat, syok resusitasi malrotasi, tahun tidak ada
oleh protein hipovolemik cairan. intususepsi, pemeriksaan
makanan (sekitar 20% gangguan labor yang khas
pasien) dengan metabolic
asidosis metabolic
dan
methemoglobinemi
a
4 Dermatitis Dalam Pruritic rash Sering umum. Ada Dermatitis Bervariasi, Skin prick test,
beberapa Biasanya pada seboroik, cendrung Antibodi IgE,
menit/ jam/ awal akrodermatitis meningkat eliminasi
hari pengenalan enterophatica sesuai usia
susu sapi
5 Esofagitis Perhari Muntah, penolakan Diagnosis Tidak pernah GERD, Tidak Endoskopi
makanan, gagal bedasarkan dilaporkan candidiasis diketahui
tumbuh, anamnesis, mukosa (plak
dismotilitas monitoring pH putih)
esophagus selama 24 jam
biasanya
normal, tidak
respon dengan
PPI.
6 GERD yang Dalam Regurgitasi Sebagian Ada GERD 12-18 bulan Diagnosis
diinduksi oleh hitungan berulang, intake respon denga idiopatik, klinis.
protein susu jam/ hari kurang, tidak mau PPI. Sekitar esofagitis Pemeriksaan
sapi makan 40% bayi eosinofilik, endoskopi jika
dengan GERD malrotasi terdapat

17
biasanya hematemesis
mengalami atau gagal
alergi susu tumbuh yang
sapi signifikan
7 Enteropati Dalam Muntah, diare, Ada riwayat Ada Intoleransi Tidak Biopsy usus
hitungan iritasi berat, gagal mengkonsumsi laktosa, diketahui kecil untuk
jam/ hari tumbuh, anemia susu sapi giardiasis, pemeriksaan
defisiensi besi, dalam dietnya penyakit histology,
kehilangan protein celiac, dissakarida
defisiensi duodenum dan
imun, mikroskopis
enteropati cairan
autoimun duodenum pada
giardia
8 Proktokolitis Dalam Perdarahan rectum Pada inspeksi, Ada Konstipasi 12 bulan Biopsy rectum
hitungan grade ringan pada perianal dengan fisura hanya jika
jam/hari bayi sehat normal. Dan anus, infantile tampilannya
biasanya anak IBD, penyakit atipik atau
sehat granulomatosa tidak respon
kronik, polip dengan terapi
juvenile

9 Kolik Dalam Menangis tiba-tiba Respon Ada Kolik 4-6 bulan Eliminasi dan
hitungan dengan idiopatik, provokasi susu
jam/ hari eliminasi diet, gangguan sapi
biasanya perkembangan,
terjadi segera infeksi saluran
setelah kemih
pengenalan

18
protein susu
sapi dalam diet
10 Konstipasi Dalam Buang air besar Respon Ada Penyakit 12-18 bulan Eliminasi dan
hitungan yang secara dengan Hirsprung, provokasi yang
jam/ hari frekuensi jarang dan eliminasi diet, konstipasi dikombinasikan
atau fesesnya keras biasanya yang transitnya dengan terapi
terjadi segera lama laksatif. Biopsy
setelah rectum pada
pengenalan bayi dengan
protein susu konstipasi berat
sapi dalam diet onset awal

19
2.10 Tatalaksana
Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari (complete
avoidance) segala bentuk produk susu sapi, tetapi harus memberikan nutrisi yang
seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang bayi/anak.2.

2.10.1. Nutrisi
Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan
pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk turunannya pada
makanan sehari-hari. ASI tetap merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan alergi
susu sapi. Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu menyusui yang
membatasi protein susu sapi dan produk turunannya.2
Bayi yang mengonsumsi susu formula, pilihan utama susu formula pada bayi
dengan alergi susu sapi adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu
yang tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak dengan diagnosis alergi
susu sapi bila dilakukan uji klinis tersamar ganda dengan interval kepercayaan 95%.
Susu tersebut mempunyai peptida dengan berat molekul < 1500 kDa. Susu yang
memenuhi kriteria tersebut ialah susu terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam
amino. Sedangkan susu terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan
bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi. 2
Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang dianjurkan pada alergi
susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang. Pada alergi susu sapi berat yang
tidak membaik dengan susu formula terhidrolisat ekstensif maka perlu diberikan susu
formula asam amino. 2
Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat ekstensif atau formula
asam amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12 bulan, atau paling tidak selama 6
bulan. Setelah itu uji provokasi diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali
berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala
timbul kembali maka eliminasi diet dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan
seterusnya. 2
Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu menghindari
adanya protein susu sapi dalam bubur susu atau biskuit bayi. 2
Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala
biaya, maka pada bayi di atas 6 bulan dapat diberikan susu formula kedelai dengan
penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi silang alergi terhadap
protein kedelai. Angka kejadian alergi kedelai pada pasien dengan alergi susu sapi
berkisar 10-35% % (tipe IgE 12-18%, tipe non IgE 30-60%).2
Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan alternatif karena berisiko
terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing, susu domba dan sebagainya tidak
boleh diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun kecuali telah dibuat menjadi susu
formula bayi. Saat ini belum tersedia susu formula berbahan dasar susu mamalia

20
selain sapi di Indonesia. Selain itu perlu diingat pula adanya risiko terjadinya reaksi
silang. 2
Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi
dari kedelai. Protein susu kedelai memiliki susunan asam amino yang hampir sama
dengan susu sapi sehingga susu kedelai digunakan sebagai pengganti susu sapi bagi
anak yang alergi terhadap protein hewani. Namun, harus diperhatikan bahwa alergi
terhadap susu kedelai dapat terjadi pada 30-40% anak yang alergi terhadap susu sapi.
Alergi susu kedelai dapat menyebabkan enterokolitis atau enteropati.22
Alergi susu kedelai mempunyai mekanisme yang sama dengan alergi susu sapi
yaitu yang dimediasi oleh IgE dan tanpa IgE. Anak yang alergi terhadap susu sapi
dan kedelai maka diberikan susu sapi hidrolisat. Protein pada susu kedelai
mempunyai kandungan yang cukup sama dengan protein yang terkandung pada susu
sapi. Komposisi gizi di dalam susu kedelai dan susu sapi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.22

Tabel 2.4 Komposisi Gizi Susu Kedelai Cair dan Susu Sapi (dalam 100 gram) 22

Rekomendasi diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi:


1. Untuk bayi dengan ASI eksklusif
Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu
selama 2-4 minggu.8 Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Bila gejala
menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila
gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak
menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain. 2
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat
diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada
makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah
kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul
kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila
gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan
seterusnya. 2
2. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula

21
Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan
mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat
ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula
asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama
2-4 minggu. 2
Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi.
Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan
diagnosis lain. 2
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula
berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif (untuk
kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam amino
(untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini
dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu
tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti
anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali
maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya. 2
3. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu penghindaran
protein susu sapi dalam bubur atau biskuit bayi.
4. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala
biaya maka susu formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan
dengan penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap
kedelai. Pemberian susu kedelai tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia 6 bulan.
5. Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung
penegakan diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE. 2

2.9.2. Medikamentosa
Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi.
Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua dapat
digunakan dalam penanganan alergi. Antihistamin H1 generasi 2 bisa digunakan pada
anak mulai umur 6 bulan. 2
Antihistamin H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai
aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin H1 oral
dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama contohnya :
klorpeniramin dan difenhidramin. Sedangkan AH1 generasi kedua contohnya
setirizin, levosetirizin dan loratadin, desloratadin. Generasi terbaru AH 1 oral
dianggap lebih baik karena mempunyai rasio efektivitas atau keamanan dan
farmakokinetika yang baik, dapat diminum sekali sehari, bekerja cepat dalam
mengurangi gejala hidung dan mata. Namun obat generasi baru ini kurang efektif
dalam mengatasi kongesti hidung. Efek samping AH 1 generasi pertama adalah

22
sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan AH 1 generasi kedua tidak dapat
menimbulkan efek sedasi dan efek antikolinergik.23
Tabel 2.4. Antihistamin untuk urtikaria dan angioedema23
Golongan/ obat Dosis Frekuensi
Antihistamin H1 (generasi ke-2)
Setirizin 0,25 mg/kg/kali 6-24 bulan: 2 kali sehari
>24 bulan: 1 kali sehari
Fexofenadin 6-11 tahun: 30 mg 2 kali sehari
< 12 tahun: 60 mg Sekali sehari
Dewasa: 120 mg
Loratadin 2-5 tahun: 5 mg Sekali sehari
>6 tahun: 10 mg
Desloratadin 6-11 bulan: 1 mg Sekali sehari
1-5 tahun: 1,25 mg
6-11 tahun: 2,5 mg
>12 tahun: 5 mg

Antihistamin H1 (generasi ke-1, sedatif


Hydroxizine 0,5-2 mg/kg/kali (dewasa Setiap 6-8 jam
25-100 mg)
Diphenhydramine 1-2 mg/kg/kali (dewasa Setiap 6-8 jam
50-100 mg)
Chlorpheniramin maleat 0,25 mg/kg/hari (terbagi Setiap 8 jam
(CTM) dalam 3 dosis)
Antihistamin H2
Cimetidine Bayi: 10-20 mg/kg/hari Tiap 6-12 jam (terbagi
Anak: 20-40 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis)

Ranitidine 1 bulan-16 tahun: 5-10 Tiap 12 jam (terbagi


mg/kg/hari dalam 2 dosis)
Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi
makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat, epinefrin harus
diberikan 0,01 mg/kgBB dalam larutan 1 : 1.000 maksimal 0,3 mg/kgBB secara
intravena. 2

23
Gambar 2.5 Alur Diagnosis dan Tatalaksana ASS pada Bayi dengan ASI Eksklusif 6
bulan2

24
Gambar 2.6 Alur Diagnosis dan Tatalaksana ASS pada Bayi dengan Makanan PASI
(Susu Formula)2

2.11. Pencegahan
Pencegahan terjadinya alergi susu sapi harus dilakukan sejak dini. Hal ini
terjadi saatsebelum timbul sensitisasi terhadap protein susu sapi, yaitu sejak
intrauterin. Penghindaranharus dilakukan dengan pemberian susu sapi hipoalergenik
yaitu susu sapi yang dihidrolisisparsial untuk merangsang timbulnya toleransi susu
sapi di kemudian hari. Bila sudah terjadisensitisasi terhadap protein susu sapi atau
sudah terjadi manifestasi penyakit alergi, makaharus diberikan susu sapi yang
dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi misalnya susu kacang
kedele. Alergi susu sapi yang sering timbul dapat memudahkan terjadinya alergi
makanan lain di kemudian hari bila sudah terjadi kerusakan saluran cerna yang

25
menetap. Pencegahan dan penanganan yang baik dan berkesinambungan sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya alergi makanan yang lebih berat di kemudian
hari. Tindakan pencegahan alergi susu sapi juga hampir sama seperti yang dilakukan
pada alergi lainnya.Secara umum tindakan pencegahan alergi susu sapi dilakukan
dalam 3 tahap yaitu:
 
a. Pencegahan primer 
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaran dilakukan sejak
pranatalpada janin dari keluarga yang mempunyai bakat atopik.
Penghindaran susu sapi berupa pemberian susu sapi hipoalergenik, yaitu susu
sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya dapat merangsang timbulnya dapat
merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari karena masih
mengandung sedikit partikel susu sapi, misalnya dengan merangsang timbulnya IgG
blocking agent . Tindakan pencegahan ini juga dilakukan terhadap makanan penyebab
alergi lain serta penghindaran asap rokok. Meskipun demikian AAAI hanya
merekomendasikan penghindaran pemberian kacang-kacangan selama kehamilan.
 
b. Pencegahan sekunder 
Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakit
alergi.Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik
dalam serum ataudarah talipusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang
optimal adalah usia 0 sampai 3tahun. Penghindaran susu sapi dengan cara
pemberian susu sapi non alergenik, yaitu sususapi yang dihidrolisis sempurna,
atau pengganti susu sapi misalnya susu kedele supaya tidak terjadi sensitisasi
lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi. Pemberian ASI eksklusif
terbukti dapat mengurangi risiko alergi, tetapi harus diperhatikan diet ibu saat
menyusui Selain itu juga disertai tindakan lain misalnya pemberian imunomodulator,
Th1-immunoajuvants, probiotik. Tindakan ini bertujuan mengurangi dominasi sel
limfosit Th2, diharapkan dapat terjadi dalam waktu 6 bulan.
 
c. Pencegahan tersier 
Dilakukan pada saat anak yang sudah mengalami
s e n s i t i f i t a s d a n m e n u n j u k k a n manifestasi penyakit alergi yang masih
dini misalnya dermatitis atopik atau rinitis tetapibelum menunjukkan gejala
alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan yang optimal adalah pada usia 6
bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi yang
dihidrolisis sempurna atau p e n g g a n t i   s u s u s a p i . P e m b e r i a n o b a t
pencegahan seperti setirizin, imunoterapi, imunomodulator  tidak
direkomendasikan karena secara klinis belum terbukti bermanfaat

26
2.12 Komplikasi
Gangguan pertumbuhan meliputi malnutrisi, berat badan sulit naik. Dampak
terhambatnya pertumbuhan terhadap perkembangan antara lain gangguan belajar,
gangguan pemusatan perhatian, gangguan emosi, agresif, keterlambatan bicara, dapat
memicu atau memperparah autisme.2

2.13 Prognosis
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka
remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua, dan 90% pada tahun
ketiga. Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50%
terutama pada jenis ; telur, kedelai, kacang, ikan, dan sereal serta alergi inhalan
meningkat 50-80% sebelum pubertas.2

27
BAB 3
KESIMPULAN

Penyakit alergi susu sapi sering merupakan penyakit atopik pertama pada
seorang anak. Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan prevalens alergi
susu sapi pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat. Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap
susu sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%,
sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE.
Tatalaksana alergi susu sapi dapat berupa tatalaksana nutrisi dan
medikamentosa. Pencegahan alergi susu sapi dapat berupa pencegahan primer,
sekunder atau tersier. Rekomendasi pencegahan primer cukup bermakna dilakukan
pada bayi baru lahir yang memiliki risiko tinggi alergi yaitu ibu memiliki riwayat
atopi atau saudara kandung dengan riwayat penyakit alergi yang jelas dan/atau
terbukti dengan pemeriksaan IgE total tali pusat yang tinggi.
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka
remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua, dan 90% pada tahun
ketiga.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Akib, Arwin AP, Munasir Z, Kurniati N. 2. Alergi Susu Sapi, dalam Buku Ajar
Alergi Imunologi Anak Edisi kedua. Jakarta: IDAI. 2008, hal 284-5.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2009.
3. Munasir Z, Sjawitri PS, Nasar SS, Kurniati N. Pemberian Bubur Formula
Protein Hidrosilat dan Bubur Soya dalam Pencegahan Alergi Susu Sapi. Sari
Pediatri. 2007; 8(4): 282-88.
4. Venter C, Brown T, Shah N, Walsh J, Fox AT. Diagnosis and Management of
Non IgE Mediated Cow’s Milk Allergy in Infancy- a UK Primary Care
Practical Guide. 2013; 3(23): 1-11.
5. Vitaliti G dkk. The immunopathogenesis of cow’s milk protein allergy
(CMPA). Italian Journal of Pediatrics. 2012;38(35):1-5.
6. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins Basic Pathology. USA: El Sevier
Inc; 2003. Terjemahan Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Buku Ajar Patologi
Robbins. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. Hlm113-
27.
7. Jo J, Garssen J, Knippels L, Sandalova E. Role of Cellular Immunity in Cow’s
Milk Allergy: Pathogenesis, Tolerance Induction, and Beyond. Mediators of
Inflammation. 2014; 1-10.
8. Lifschitz C, Szajewska H. Cow’s milk allergy : evidence-based diagnosis and
management for the practitioner. Eur J Pediatr. 2014. 174 : 141-150.
9. Greef ED, Wauters GV, Devreker T, Hauser B, and Vandenplas Y. Diagnosis
and management of cow’s milk protein allergy in infants. InTech, Available
from:http://www.intechopen.com/books/allergic-diseases-highlights-in-the-
clinic-mechanisms-andtreatment/diagnosis-and-management-of-cows-milk-
protein-allergy-in-infants.
10. Bishop MJ, Hasting. Natural history of cow’s milk allergy : Clinical outcome. J
Pediatr. 1990; 116:862-7.
11. Boyce JA, Assa’ad A, Burks AW, et al. Guidelines for the diagnosis and
management of food allergy in the United States: report of the NIAIDsponsored
expert panel. J Allergy Clin Immunol 2010;126:S1–58.
12. Rance F, Juchet A, Bremont F, et al. Correlations between skin prick tests using
commercial extracts and fresh foods, specific IgE, and food challenges. Allergy
1997;52:1031–5.
13. Skripak JM, Matsui EC, Mudd K, et al. The natural history of IgEmediated
cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol 2007;120:1172–7.
14. Sampson HA. Utility of food-specific IgE concentrations in predicting
symptomatic food allergy. J Allergy Clin Immunol 2001;107:891–6.
15. Verstege A, Mehl A, Rolinck-Werninghaus C, et al. The predictive value of the
skin prick test weal size for the outcome of oral food challenges. Clin Exp
Allergy 2005;35:1220–6.
16. Eggesbo M, Botten G, Halvorsen R, et al. The prevalence of CMA/ CMPI in
young children: the validity of parentally perceived reactions in a population-
based study. Allergy 2001;56:393–402.
17. Vandenplas Y, dkk. Arch Dis Child. 2007;92;902-8
18. Nowak - Wegrzyn A, Sampson HA. Med Clin N Am. 2006;90:97-127.
19. Scurlock AM, dkk. Immunol Allergy Clin Am.2005; 25:369-88.
20. Soepardi E, Iskandar N. Telinga hidung tenggorokan kepala leher edisi ke
enam. 2004. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
21. Allen KJ, David on GP, Day AS, et al. Management of cows’ milk protein
allergy in infants and young children: An expert panel perspective. J Paediatr
Child Health 2009 ; 45 : 481-86
22. Kattan Jacob D, Cocco Renata R, Jarvinen Kirsi M. Milk and Soy Allergy.
Pediatr Clin North Am. 2011: 58(2): 407-426.

29
23. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Jakarta:
IDAI.

30

Anda mungkin juga menyukai