Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma Thoraks atau cedera thoraks didefinisikan sebagai kerusakan terhadap
tubuh yang disebabkan oleh pertukaran dengan energi lingkungan yang melebihi gaya
yang dimilki oleh tubuh yang mengenai thoraks.1
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan
diseluruh kota besar didunia dan diperkiraan 16.000 kasus kematian akibat
trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma toraks di amerika. Sedangkan
insiden penderita trauma toraks di amerika serikat diperkirakan 12 penderita per
seribu populasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar
20-25%.2
Di Australia, 45% dari trauma tumpul meng enai rongga toraks. Dengan
adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan
trauma. Trauma toraks dapat meningkatkan kematian akibat Pneumotoraks 38%,
Hematotoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Nugroho, 2015).
Pada trauma dada biasanya disebabkan oleh benda tajam, kecelakaan lalu lintas
atau luka tembak.Bila tidak mengenai jantung, biasanya dapat menembus rongga
paru-paru. Akibatnya, selain terjadi pendarahan dari rongga paru-paru, udara juga
akan masuk ke dalam rongga paru-paru. Oleh karena itu, pau-paru pada sisi yang luka
akan mengempis. Penderita Nampak kesakitan ketika bernapas dan mendadak merasa
sesak dan gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang.2
Trauma tumpul thoraks sebanyak 96.3% dari seluruh trouma thoraks,
sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam. Penyebab terbanyak dari
trauma tumpul thoraks masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas
(70%). Sedangkan mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma
thoraks lebih tinggi (15,7%) dari pada yang tidak disertai trauma thoraks (12,8%).
Pengolahan trauma thoraks kaidah klasik dari pengolahan trauma pada umumnya
yakni pengolahan jalan nafas, pemberian ventilasi dan kontrol hemodianamik.3

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai definisi, anatomi dan fisiologi, klasifikasi,
patofisiologi, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, komplikasi
dan prognosis dari trauma thoraks.

1
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami dan menambah
pengetahuan mengenai trauma thoraks.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini mengacu pada berbagai literatur dan kepustakaan
berupa buku, jurnal dan internet.

1.5 Manfaat Penulisan


Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi mengenai trauma
thoraks.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trauma Thoraks atau cedera thoraks didefinisikan sebagai kerusakan terhadap


tubuh yang disebabkan oleh pertukaran dengan energi lingkungan yang melebihi gaya
yang dimilki oleh tubuh yang mengenai thoraks.1

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Dindng dada terdiri dari os costae, os sternum dan os vertebrae thorakalis dan
semuanya dibungkus oleh meskulus interkostalis dalam struktur semirigid. Batas
terendah dari cavum thorakalis ini dinamakan diagframa. Walaupun ruang thoraks
terdiri dari 2 jalan yang berhubungan dengan lingkungan luar (esophagus dan trakea)
akan tetapi ruang itu sendiri sebenarnya merupakan suatu struktur yang tertutup. Pada
bagian interior, ronga thoraks terdiri dari 3 bagian (mediastnum dan 2 paru-paru).
Pada mediastinum superior terdiri atas jaringan lunak yang terdiri atas esofagus,
trakea, jantung, aorta, dan pembuluh darah besar lainnya.2

Gambar 1. Anatomi dinding thoraks

Dada berisi organ vital paru dan jantung. Pernapasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernapasan, yaitu
m. Interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga
udara akan terhisap masuk melalui trakea dan bronkus.2

Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus, mengembang dan mengempis


tergantung mengembang atau mengecilnya rongga dada. Dinding dada yang
mengembang akan menyebabkan paru-paru mengembang sehingga udara terhisap ke
alveolus. Sebaliknya bila m. Interkostalis melemas, dinding dada mengecil kembali

3
dan udara terdorong keluar. Sementara itu, karena tekanan intraabdomen, diafragma
akan naik ketika tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini, yaitu lenturnya dinding toraks,
kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intraabdomen menyebabkan ekspirasi jika otot
interkostal dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi.
Dengan demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif. 2

Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi paru dapat
dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam toraks bersamaan
dengan mengembangnya toraks. Kekuatan tiupan harus melebihi kelenturan dinding
dada, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intraabdomen. Hal ini dilakukan pada
ventilasi dengan respirator atau pada resusitasi dengan napas buatan mulut ke mulut. 2

Adanya lubang di dinding dada atau di pleura visceralis akan menyebabkan


udara masuk kedalam rongga pleura, sehingga pleura visceralis terlepas dari pleura
parietalis dan paru tidak lagi ikut dengan gerak napas dinding toraks dan diafragma.
Hal ini terjadi pada pneumotoraks. Jika dipasang penyalir tertutup yang diberi
tekanan negatif, udara ini akan terhisap dan paru dapat dikembangkan lagi. 2

2.3 Klasifikasi

Menurut Marijata (2006), berdasarkan penyebabnya trauma toraks dibagi


menjadi 2, yaitu:

1. Trauma toraks terbuka


Akibat luka tusuk atau luka yang menembus/membuat lubang.
Patologi pembedahan : trauma yang menusuk pada dinding dada akibat
pisau, tembakan pistol, atau luka lain besar kemungkinannya terjadi
komplikasi berupa pneumotoraks, kerusakan organ visceral intratorakal,
dan infeksi.
2. Trauma toraks tertutup
Akibat trauma tumpul, deselerasi, atau luka remuk.

Patologi pembedahan : trauma tumpul langsung pada dinding dada terjadi


akibat luka tabrak, terkena dashboard dan kemudi setir yang dapat
menyebabkan patah tulang iga, dada flail (flail chest) dengan gerakan
paradoksal, ruptur diafragma, atau komplikasi kardiovaskuler yang serius.
Kekerasan deselerasi, yang dapat terjadi pada kecelakaan pesawat dan
mobil besar kemungkinannya menyebabkan ruptur aorta descenden distal
arteri subclavia dan ruptur diafragma. Luka yang remuk/hancur
menyebabkan perdarahan intraalveolar, hematom pulmo dan hipoksia.

4
2.4 Patofisiologi

Secara singkat patofisiologi dari trauma toraks meliputi : 3

1. Perdarahan
 Keluar (exsanguinasi)
 Tertampung pada rongga pleura (hematotoraks)
 Perdarahan kecil-kecil, masuk kedalam jaringan (hematoma)
 Perdarahan intraalveolar, diikuti kolapsnya kapiler-kapiler dan
atelektasis, hingga tahanan perifer di paru meningkat, diikuti aliran
darah menurun dan akan terjadi gangguan pertukaran gas.
 Perdarahan tertampung pada cavum pericardii (tamponade cordis)
2. Kerusakan akveoli/jalan napas/pleura sehingga pernapasan bocor
 Tertampung pada cavum pleura (pneumotoraks)
 Tempat kebocoran bersifat katub/ventil, terjadi pneumotoraks desakan
(tension pneumotorax)
 Udara masuk kedalam jaringan bawah kulit (emfisema kutis)
 Udara masuk kedalam jaringan di mediastinum (emfisema mediastinum)
3. Patah tulang iga
 Timbulnya rasa nyeri, sehingga penderita tidak mau bernafas (terjadi
gangguan ventilasi) dan tidak mau batuk (sekret/dahak terkumpul/tidak
bisa keluar).
 Terjadi fail chest bila patah tulang iga jamak dan segmental (lebih dari
satu tempat)
4. Kompresi pada dada dapat menimbulkan terjadinya asfiksia traumatika
5. ”luka menghisap” pada dinding dada , paru mengempis/kolaps

2.5 Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari trauma toraks terdiri dari : 4,6


I. Gejala trauma dada :
1. Nyeri
Akibat fraktur costae atau komplikasi pulmo maupun kardivaskular.
2. Dyspneu
Akibat fraktur, pneumotoraks, hematotoraks, flail chest, ruptur
diafragma, ruptur trakhea atau bronkhus utama atau kerusakan serius
organ viseral; pernapasan yang tiba-tiba meningkat (sesak napas

5
memburuk secara cepat) merupakan ciri khas terjadinya pneumotoraks
desak (tension pneumothorax).
II. Tanda trauma dada :
1. Syok
Akan parah jika brhubungan dengan kerusakan organ dalam
2. Trauma dinding dada
Akan tampak memar, suara menyedot dari dinding dada, gerakan
dinding dada paradoksal, atau nyeri pada fraktur kosta.
3. Emfisema
Ada sensasi krepitasi di bawah tangan pemeriksa akibat udara yang
masuk ke subkutan, disebabkan fraktur kosta atau rupturnya trakhea
daerah servikal/bronkhus.
4. Emfisema Mediastnum dengan Mediastinitis
Ditandai dengan nyeri atau suara ngik-ngik dari laring dan suara klik
parakardial yang terjadi bersamaan dengan suara jantung dicurigai
adanya rutur esofagus atau trakhea.
5. Deviasi trakhea
Akibat pneumotoraks hebat atau hematoraks pada sisi sebelahnya, akibat
kolapsnya paru pada sisi yang sama.
6. Peningkatan Tekanan Vena Jugularis (Jugular Vwenous Pressure/JVP)
terjadi pada tamponade kordis akibat hemoperikardiva
7. Paru
Hipersonor menunjukkan pneumotoraks, dan suara napas yang menurun
atau hilang menunukkan hemothoraks, pneumothoraks atau kolaps paru.

Tabel gawat dada : 2

PENYEBAB KLINIS
Obstruksi jalan napas - sianosis, pucat, stridor
- otot napas bantuan +
- retraksi supraklavikula dan interkostal

Hemotoraks masif - anemia, syok hipovolemik


- sesak napas
- pekak pada perkusi
- suara napas berkurang
- tekanan vena sentral tidak meninggi

Tamponade jantung - syok kardiogenik


- tekanan vena meninggi (leher)
- bunyi jantung berkurang

6
Pneumotoraks tension - hemitoraks mengembang
- gerakan hemitoraks kurang
- suara napas berkurang
- emfisema subkutis
- trakea terdorong kesisi lateral

Toraks instabil - gerakan napas paradoksal


- sesak napas, sianosis

Pneumotoraks terbuka - inpeksi luka


- kebocoran udra terdengar dan tampak
pneumotoraks

Kebocoran trakea-bronkial - emfisema


- infeksi

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada keadaan trauma toraks terdiri dari : 4
1. Foto X-ray dada. Harus dilakukan dan akan menunjukkan adanya fraktur
fraktur kosta, pneumothoraks, hematothoraks, ruptur diafragma, kontusi
pulmo dan ateletaksis. Cedera pada aorta dan cabang-cabang mayornya akan
terjadi perdarahan dan bayangan mediastinum bagian atas akan meluas.
Pada hemoperikardiva akan terlihat bayangan jantung melebar.
2. Elektrokardiogram (EKG). Dilakukan bila dicurigai terjadinya trauma
cardial
3. Aortografi. Sebaiknya dilakukan jika dicurigai kerusakan arteri besar,
khususnya jika ada perlusan mediastinal pada foto x-ray dada.

2.7 Penatalaksanaan

Penilaian awal penderita trauma terdiri dari :


a. Primary survey
b. Secoundary survey

a. Primary Survey (ABCS)1


A. AIRWAY dengan control servikal
Trauma utama pada airway harus dikenal dan diketahui selama primary
survey. Patensi airway harus dinilai dengan mendengarkan gerakan udara
pada hidung penderita, mulut dan dada serta dengan inspeksi pada daerah

7
orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan
mengobservasi retraksi otot-otot interkosta dan supraklavikular. Trauma laring
dapat bersaan dengan trauma thoraks. Walaupun gejala klinis yang ada
kadang tidak jelas, sumbatan airway karena trauma laring merupakan cidera
yang mengancam nyawa. Trauma pada dada bagian atas, menyebabkan
dislokasi ke arah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular,
dan dapat menimbulkan sumbatan airway atas, juga terjadi bila displacement
fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan trakea. Hal
ini juga dapat menyebabkan trauma pembuluh darah pada ekstremitas yang
homolateral karena kompresi fragmen fraktur atau laserasi cabang utama
arkus aorta. Trauma ini diketahui bila ada: sumbatan airway atas (stridor),
adanya tanda berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih dapat
bicara), dan trauma yang luas pada dasar leher akan menyebabkan terabanya
defek pada regio sendi sternoklavikular. Penanganan pada trauma ini adalah
menstabilkan patensi dari airway yang terbaik dengan intubasi endotrakeal,
walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup
besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari trauma yang
terjadi dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan
pointed clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur secara
manual. Tindakan di atas dilakukan pada posisi berbaring jika kondisi
penderita stabil.

B. BREATHING
Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing
dan vena-vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai
dengan observasi, palpasi, dan didengarkan. Gejala yang terpenting dari
trauma thoraks adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi dan
perubahan pola pernafasan, terutama pernafasan yang dengan lambat
memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma.
Tetapi bila sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen
jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis trauma thoraks yang penting dan
empengaruhi breathing ( yang harus dikenal dan diketahui selama Primary
Survey ) adalah keadaan dibawah ini :
1. Tension pneumothoraks
2. pneumothoraks terbuka (sucking chest wound)
3. Flail chest
4. Hemothoraks masif

8
C. CIRCULATION
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi, dan keteraturan. Pada
penderita hipovolemia, denyut nadi a.radialis dan a.dorsalis pedis mungkin tidak
teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus
diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna
dan temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Monitor
jantung dan pulse oximeter harus dipasang pada penderita yang dicurigai trauma
thoraks terutama pada daerah sternum atau trauma deselerasi yang hebat harus
dicurigai adanya trauma miokard apabila ada disritmia. Hipoksia ataupun asidosis
mungkin terjadi. Kontraksi ventrikel prematur, disritmia, mungkin membutuhkan
terapi dengan Bolus lidokain segera (1 mg/kg) dilanjutkan dengan Drip Lidokain
(2-4 mg/menit).
Pulseless Electric Activity (PEA, secara formal dikenal sebagai
Electromechanical dissociation), merupakan suatu manifestasi dari EKG yang
memperlihatkan irama, sedangkan pada perabaan nadi tidak ditemukan
pneumothoraks, hipovolemia, atau bahkan lebih buruk lagi ruptur jantung. Trauma
thoraks yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan pada primary
survey adalah:
1. Hemothoraks masif
2. Tamponade jantung

b. Secondary survey1
Secondary survey meliputi pemeriksaan fisik, rontgen thoraks samping jika
kondisi pasien memungkinkan penilaian analisis gas darah dan pulse oxymetri serta
pengawasan EKG. Disamping menilai pengembangan paru dan adanya cairan, pada
pemeriksaan rontgen thoraks dapat dinilai adanya pelebaran mediastinum, pergeseran
midline dan hilangnya gambaran rinci anatomis. Fraktur tulang iga multiple dan
fraktur costae pertama atau kedua menunjukkan adanya tekanan berat menuju thoraks
dan jaringan di bawahnya.
Sedikitnya ada delapan trauma yang mengancam nyawa meliputi:
1. Simple pneumothoraks
2. Hematoraks
3. Kontusio paru
4. Trauma tracheobronchial tree
5. Trauma tumpul jantung
6. Ruptur aorta traumatik
7. Ruptur diafragma traumatik

9
8. Ruptur tumpul esofagus

Penatalaksanaan trauma thoraks


a. Trauma Thoraks Terbuka
Penutupan luka dada yang terbuka dan menghisap harus segera dilakukan .
dapat dilakukan dengan penutupan maupun jahitan sementara dan kemudian
dilakukan prosedur elektif. Torakotomi perlu dilakukan jika ada trauma organ
viseral intrathorakal, pengambilan benda asing di rongga pleura dan atau bila ada
infeksi (swarte).

b. Fraktur Costa Simpel


Trauma yang paling sering terjadi pada dinding torakal dimana nyeri yang
menyertai saat bernafas dapat menyebabkan ventilasi berkurang, retensi sputum,
ateletaksis dan pneumonia, terutama pada orang tua.
Terapi :
a. mengurangi nyeri dengan analgesik, atau blok nervus intercostalis
dan atau paravertebra.
b. Fisioterapi dan diusahakan batuk
c. Sedasi menggunakan Chlorpromazine (largactil) atau Diazepam
(valium)
d. Operasi diindikasi untuk fragmen sternum yang overlap

c. Flail Chest
Ketika terjadi gerakan paradoksal, maka respirasi menjadi tidak adekuat dan
terjadi hipoksia, hiperkapnea, asidosis dan penurunan pengisisan jantung
(penurunan kardiak output) dan retensi sputum dengan ateletaksis mungkin
terjadi.
Terapi :
 Untuk kasus ringan :
- Analgesik adekuat
- Sedasi
- Posisi tubuh dan fisioterafi
- Oksigen intranasal
- Respirator dengan mouthpiece
 Untuk kasus berat : trakheostomi dan respirasi tekanan positif intermiten
diperlukan paling tidak selama 10 hari. Jika tidak ada insufisiensi respirasi,

10
analis gas drah serial perlu dilakukan untuk menentukan perlunya
trakheostomi dan bantuan pernapasan.

d. Pneumothoraks
Kemungkinan terjadi akibat :
1) fraktur costae yang menusuk paru
2) fraktur costae dengan tusukan ke paru dengan sistem katup
menyebabkan pneumotoraks desak (tension pnemothorax)
3) ruptur trakhe atau bronkhus utama, menyebabkan tension
pnemothorax
4) trauma dada terbuka, menyebabkan pneumothoraks hisap
(sucking pneumothorax)

Terapi :
 shallow pneumothorax tidak mengganggu pernapasan, sehingga tidak
membutuhkan terapi, respirasi tekanan positif intermiten diperlukan pada
kondisi tertentu
 deep pneumothorax membutuhkan insersi interkostal dan kemudian ujung
distal dibenamkan ke dalam air (underwater seal)
 tension pneumothorax membutuhkan insersi segera WSD atau jarum pada
underwater seal.
 tension pneumothorax akibat ruptur trakhea atau bronkus utama dicurigai
terjadi jika paru gagal berkembang setelanh pemasngan drainase pada
rongga pleura dan dapat dikonfirmasi dengan bronkoskopi. Kemudian
torakotomi dan perbaikan perlu dilakukan.

e. Hematotoraks
Dapat terjadi dari :
 pembuluh darah parietal (interkostal, mammaria interna), jika
perdarahan terus menerus berlangsung.
 Pembuluh darah pulmo berhubungan dengan trauma paru, jika
perdarahan tekanan rendah terjadi, biasanya berhenti sendiri/spontan.
 Trauma diafragma dan subdiafragma, jika darah dari diafragma
yang ruptur dan atau organ abdomen bagian atas terhisap ke rongga
pleura.
Terapi :
 Minimal – observasi ketat

11
 Sedang – diaspirasi dengan syringe, jarum dan two-way tap (pungsi dua
arah), secara menyeluruh dan sesering mungkin bila dibutuhkan
 Banyak (gross) – WSD
 Kontinyu – torakotomi dan mempertahankan hemostasis
 Menjendal (clotted) – enzim fibrinolitik intrapleural dapat digunakan
 Terinfeksi – pembentukan empyema akan membutuhkan thorakotomi dan
drainase
Pada semua kasus, transfusi darah, antibiotik dan analgesik diberikan jika
ada indikasi.

f. Kontusi/Laserasi Pulmo
Jarang menyebabkan hemoptisis profuse yang terus menerus.
Terapi :
 Tindakan suportif yang sering dilakukan adalah membersihkan jalan nafas dan
trakeostomi
 Jika perlu dilakukan dranase hematotoraks
 Hematom pulmo yang masif perlu diexcisi
 Bagian paru yang terdapat laserasi jarang dilakukan perbaikan/repair

e. Ruptur Trakhea atau Bronkhus Utama


Sering terlewat tetapi cenderung terjadi pada trauma dada yang lebih parah.
Mungkin muncul sebagai :
 Pnemotoraks desak akut (acute tension pneumothorax), karena kebocoran
udara yang persisten ke dalam rongga pleura
 Ateletaksis kronis dan infeksi paru berulang jika kebocoran udara menutup
secara spontan. Diagnosis dibuat melalui bronkoskopi.

Terapi :
 Akut : thorakotomi dan perbaikan/repair
 Kronis : thorakotomi dan pneumonektomi jika paru tidak
dapat mengembang atau sekret bronkhus terinfeksi, atau thorakotomi dan
anastomosis bronkial jika paru dapat mengembang dan sekret bronkhus
tidak terinfeksi

f. Ruptur Esofagus

12
Ruptur esofagus jarang terjadi tetapi dapat terjadi akibat luka yang menusuk
atau luka tubrukan. Esofagus juga dapat sobek dari dalam karena esofagoskopi
atau pedang yang tertelan.
Ruptur esofagus terjadi sebagai emfisema mediastinum dan mediastinitis dan
bila dicurigai, diagnosis dibuat berdasarkan esofagoskopi dan foto x-ray dengan
kontras oral (gastrografin).
Terapi :
- Thorakostomi dan perbaikan/repair
- Terapi pengganti intravena atau pemberian makanan lewat jejunostomi
- Trakheostomi dan tindakan suportif jika berhubungan dengan ruptur trakhea

g. Trauma Jantung
Hemoperikardia, laserasi dan kontusi kardial, ruptur kardial, ruptur
perikardial, dan cedera pada mekanisme katup dapat terjadi setelah tubrukan,
deselerasi dan luka remuk/hancur.
Diagnosis seringkali susah ditegakkan tetapi tamponade kordis dengan
tekanan arteri rendah, tekanan vena tinggi, pulsus paradoksus dan pembesaran
bayangan jantung akan menimbulkan kecurigaan.
Elektrokardiografi menunjukkan perubahan non spesifik, anomali QRS dan
berbagai macam aritmia.
Terapi : jika terjadi tamponade, perlu dilakukan perikardisintesis atau
thorakotomi.

h. Ruptur Aorta Thorakalis


Biasanya cepat berkembang menjadi fatal. Ruptur sering terjadi dibagian
distal arteri subclavia sinister dan biasanya akibat trauma deselerasi. Jika pasien
bertahan hidup, biasanya karena dinding pleura mediastinum dan adventitia aorta
terdapat hematom yang pulsating.
Ketika pasien tiba dirumah sakit dalam keadaan hidup, kecurigaan diagnosis
jika foto X-ray menggambarkan perluasan mediastinum superior dan pergeseran
trakhea. Kemudian aortogram lewat arteri brakhialis dextra akan menunjukkan
letak defek.
Terapi : thorakotomi dada kiri dan penyambungan dengan jahitan atau
diganti dengan prosthese memanfaatkan by-pass atrium kiri ke arteri femoralis.

i. Ruptur Duktus Thoraksikus


Merupakan komplikasi yang terjadi akibat trauma tubrukan atau cedera
hiperekstensi pada vertebra. Sesak napas akibat chylothoraks (biasanya bagian

13
kanan) dan diagnosis ditegakkan dari parasintesis, hasilnya cairan seperti susu
berisi droplet lemak, kholesterol, limfosit dan mengandung tinggi protein.
Terapi :
- Aspirasi sesering mungkin aau kateter interkostal dan penghisapan
(Suction)
- Thorakotomi dan ligasi duktus thoraksikus antara chylii sisterna dan di
bagian luka perlu dilakukan jika cara konservatif gagal.

2.8 Prognosis
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana
trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di
Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan
banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10% dari trauma tumpul thorax dan hanya 15-30%
dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus
trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh
oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.1

14
BAB III
PENUTUP

Trauma Thoraks merupakan kerusakan terhadap tubuh yang disebabkan oleh


pertukaran dengan energi lingkungan yang melebihi gaya yang dimilki oleh tubuh
yang mengenai thoraks.
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan
diseluruh kota besar didunia dan diperkiraan 16.000 kasus kematian akibat
trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma toraks.
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul thoraks masih didominasi oleh
korban kecelakaan lalu lintas, sedangkan mortalitas pada setiap trauma yang disertai
dengan trauma thoraks lebih tinggi dari pada yang tidak disertai trauma thoraks.
Pengolahan trauma thoraks kaidah klasik dari pengolahan trauma pada umumnya
yakni pengolahan jalan nafas, pemberian ventilasi dan kontrol hemodianamik.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Adepoju F.G, Adeboye A. Chemical Eye Injuries: Presentation and


Management Difficulties. Annals of African Medicine. Vol 6. 2007. American
College of Surgeon Committee On Trauma, Advanced Trauma Life support
untuk Dokter, Ed.8, 2008;98-113
2. Sjamsuhidajat, R., de Jong W., 1997, Buku-Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi,
EGC, Jakarta: 512-524
3. Anonym, 2000, Standar Pelayanan Medis RSUP DR.Sardjito, jilid 3, 2nd ed,
Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 167-172
4. Marijata, 2006, Trauma Dada dalam Pengantar Dasar Bedah Klinis, Unit
Pelayanan Kampus (UPK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta: 18-26
5. Anonym, 2021, Primary Trauma Care,
http://www.primarytraumacare.org/PTCMain/Training/pfd/PTC_INDO.pdf
6. Anonym, 2021, Chest Injury, http://www.madsci.com/manu/trau_che.htm#60

16

Anda mungkin juga menyukai