Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Mutu Pelayanan Keperawatan


2.1.1 Pelayanan kesehatan
Pelayanan adalah produk yang dihasilkan oleh suatu organisasi dapat menghasilkan barang
atau jasa. Jasa diartikan juga sebagai pelayanan karena jasa itu menghasilkan pelayanan
(Supranto, 2006)

Kotler (1997) dan Tjiptono (2004), menjelaskan karakteristik dari pelayanan sebagai berikut :

a. Intangibility (tidak berwujud), yaitu suatu pelayanan mempunyai sifat tidak berwujud,
tidak dapat dirasakan atau dinikmati, tidak dapat dilihat, didengar dan dicium sebelum
dibeli oleh konsumen. Misalnya : pasien dalam suatu rumah sakit akan merasakan
bagaimana pelayanan keperawatan yang diterimanya setelah menjadi pasien rumah
sakit tersebut.

b. Inseparibility (tidak dapat dipisahkan), yaitu pelayanan yang dihasilkan dan


dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seseorang untuk
diserahkan kepada pihak lainnya, dia akan tetap merupakan bagian dari pelayanan
tersebut. Dengan kata lain, pelayanan dapat diproduksi dan dikonsumsi/dirasakan
secara bersamaan. Misalnya : pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien
dapat langsung dirasakan kualitas pelayanannya.

c. Variability (bervariasi), yaitu pelayanan bersifat sangat bervariasi karena merupakan


non standardized dan senantiasa mengalami perubahan tergantung dari siapa pemberi
pelayanan, penerima pelayanan dan kondisi di mana serta kapan pelayanan tersebut
diberikan. Misalnya : pelayanan yang diberikan kepada pasien di ruang rawat inap
kelas VIP berbeda dengan kelas tiga.
d. Perishability (tidak tahan lama), dimana pelayanan itu merupakan komoditas yang
tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Misalnya : jam tertentu tanpa ada pasien di
ruang perawatan, maka pelayanan yang biasanya terjadi akan hilang begitu saja
karena tidak dapat disimpan untuk dipergunakan lain waktu.

Definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2009) adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.

Menurut Donabedian (1988) aspek pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

a. Struktur, sarana fisik, perlengkapan, dan perangkat organisasi dan manajemen


mulai dari keuangan, SDM, dan sumber daya lainnya

b. Proses, semua kegiatan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mulai dari
dokter, perawat, apoteker dan professional lainnya dalam berinteraksi dan
berkomuniksi dengan klien.

c. Output, hasil akhir kegiatan dan pelayanan professional yang telah diberikan
kepada klien dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kepuasan klien

2.1.2 Pelayanan Keperawatan


Herderson (1966, dalam Kozier et al, 1997) menjelaskan pelayanan keperawatan sebagai
kegiatan membantu individu sehat atau sakit dalam melakukan upaya aktivitas untuk
membuat individu tersebut sehat atau sembuh dari sakit atau meninggal dengan tenang (jika
tidak dapat disembuhkan), atau membantu apa yang seharusnya dilakukan apabila ia
mempunyai cukup kekuatan, keinginan, atau pengetahuan.

Berdasarkan kebijakan Depkes RI (1998), mutu pelayanan keperawatan adalah pelayanan kepada
pasien yang berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien,
sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan dan akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan
kepada rumah sakit, serta dapat menghasilkan keunggulan kompetitif melalui pelayanan yang
bermutu, efisien, inovatif dan menghasilkan customer responsiveness.

Standar praktek keperawatan telah disahkan oleh MENKES Rl dalam Surat Keputusan Nomor :
660/Menkes/SK/IX/1987. Kemudian diperbaharui dan disahkan berdasarkan SK DIRJEN
YANMED Rl No : 00.03.2.6.7637, tanggal 18 Agustus 1993. Kemudian pada tahun 1996,DPP
PPNI menyusun standar profesi keperawatan SK No: 03/DPP /SKI/1996 yang terdiri dari standar
pelayanan keperawatan, praktek keperawatan, standar pendidikan keperawatan dan standar
pendidikan keperawatan berkelanjutan.

Mutu pelayanan keperawatan dapat merupakan suatu pelayanan keperawatan yang


komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang diberikan oleh perawat profesional
kepada pasien (individu, keluarga maupun masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana
perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan standar pelayanan. Namun
pada dasarnya, definisi mutu pelayanan keperawatan itu dapat berbeda-beda tergantung
dari sudut pandang mana mutu tersebut dilihat. (Rakhmawati, 2009)

Berbagai sudut pandang mengenai definisi mutu pelayanan keperawatan tersebut diantaranya
yaitu:

a. Sudut Pandang Pasien (Individu, Keluarga, Masyarakat)

Meishenheimer (1989) menjelaskan bahwa pasien atau keluarga pasien mendefinisikan


mutu sebagai adanya perawat atau tenaga kesehatan yang memberikan perawatan yang
terampil dan kemampuan perawat dalam memberikan perawatan. Sedangkan Wijono
(2000) menjelaskan mutu pelayanan berarti suatu empati, respek dan tanggap akan
kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara yang
ramah pada waktu mereka berkunjung. Pada umumnya mereka ingin pelayanan yang
mengurangi gejala secara efektif dan mencegah penyakit, sehingga pasien beserta
keluarganya sehat dan dapat melaksanakan tugas mereka sehari-hari tanpa gangguan fisik.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa mutu pelayanan


keperawatan didefinisikan oleh pasien (individu, keluarga, masyarakat) sebagai pelaksanaan
pelayanan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhannya yang berlandaskan rasa empati,
penghargaan, ketanggapan, dan keramahan dari perawat serta kemampuan perawat dalam
memberikan pelayanan. Selain itu melalui pelayanan keperawatan tersebut, juga dapat
menghasilkan peningkatan derajat kesehatan pasien.

a Sudut Pandang Perawat

Mutu berdasarkan sudut pandang perawat sering diartikan dengan memberikan pelayanan
keperawatan sesuai yang dibutuhkan pasien agar menjadi mandiri atau terbebas dari sakitnya
(Meishenheimer, 1989). Pendapat lainnya dikemukakan oleh Wijono (2000), bahwa mutu
pelayanan berarti bebas melakukan segala sesuatu secara profesional untuk meningkatkan
derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang maju, mutu pelayanan yang baik dan memenuhi standar yang baik. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perawat sebagai tenaga profesional yang memberikan
pelayanan keperawatan terhadap pasien mendefinisikan mutu pelayanan keperawatannya
sebagai kemampuan melakukan asuhan keperawatan yang profesional terhadap pasien
(individu, keluarga, masyarakat) dan sesuai standar keperawatan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

a Sudut Pandang Manajer Keperawatan

Mutu pelayanan difokuskan pada pengaturan staf, pasien dan masyarakat yang baik dengan
menjalankan supervisi, manajemen keuangan dan logistik dengan baik serta alokasi sumber
daya yang tepat (Wijono, 2000). Pelayanan keperawatan memerlukan manajemen yang
baik sehingga manajer keperawatan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan dengan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dengan baik yang
memfokuskan pada pengelolaan staf keperawatan dan pasien sebagai individu, keluarga dan
masyarakat. Selain itu pengelolaan pun mencakup pada manajemen keuangan dan logistik.

a Sudut Pandang Institusi Pelayanan

Meishenheimer (1989) mengemukakan bahwa mutu pelayanan diasumsikan sebagai


kemampuan untuk bertahan, pertimbangan penting mencakup tipe dan kualitas stafnya untuk
memberikan pelayanan, pertanggungjawaban intitusi terhadap perawatan terhadap pasien
yang tidak sesuai, dan menganalisis dampak keuangan terhadap operasional institusi.
Sedangkan Wijono (2000) menjelaskan bahwa mutu dapat berarti memiliki tenaga
profesional yang bermutu dan cukup. Selain itu mengharapkan efisiensi dan kewajaran
penyelenggaraan pelayanan, minimal tidak merugikan dipandang dari berbagai aspek
seperti tidak adanya pemborosan tenaga, peralatan, biaya, waktu dan sebagainya.

a Sudut Pandang Organisasi Profesi

Badan legislatif dan regulator sebagai pembuat kebijakan baik lokal maupun nasional
lebih menekankan pada mendukung konsep mutu pelayanan sambil menyimpan uang pada
program yang spesifik. Dan selain itu juga menekankan pada institusi-institusi pelayanan
keperawatan dan fasilitas pelayanan keperawatan. Badan akreditasi dan sertifikasi menyamakan
kualitas dengan mempunyai seluruh persyaratan administrasi dan dokumentasi klinik yang
lengkap pada periode waktu tertentu dan sesuai dengan standar pada level yang berlaku.
Sertifikat mengindikasikan bahwa institusi pelayanan keperawatan tersebut telah sesuai
standar minimum untuk menjamin keamanan pasien. Sedangkan akreditasi tidak hanya
terbatas pada standar pendirian institusi tetapi juga membuat standar sesuai undang-
undang yang berlaku (Meishenheimer , 1989).

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai organisasi profesi mempunyai


tanggung jawab dalam meningkatkan profesi keperawatan. Sehingga untuk meningkatkan
mutu pelayanan keperawatan, organisasi profesi tersebut membuat dan memfasilitasi
kebijakan regulasi keperawatan yang mencakup sertifikasi, lisensi dan akreditasi. Dimana
regulasi tersebut diperlukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pelayanan keperawatan yang
diberikan telah berdasarkan kaidah suatu profesi dan pemberi pelayanan keperawatan telah
memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan.

Tujuan standar keperawatan menurut Gilies (1989) adalah:

a. Meningkatkan asuhan keperawatan.

b. Mengurangi biaya asuhan keperawatan

c. Melindungi perawat dan kelalaian dalam melaksanakan tugas dan melindungi pasien
dan tindakan yang tidak terapeutik

Standar pelayanan keperawatan menurut Depkes Rl 1996 adalah :


a. Standar 1 : Falsafah Keperawatan

b. Standar 2 : Tujuan Asuhan Keperawatan

c. Standar 3 : Pengkajian Keperawatan

d. Standar 4 : Diagnosa Keperawatan.

e. Standar 5 : Perencanaan Keperawatan

f. Standar 6 : Intervensi Keperawatan

g. Staridar 7 : Evaluasi Keperawatan.

h. Standar 8 : Catatan Asuhan Keperawatan.

2.1.3 Mutu pelayanan


Pengertian mutu pelayanan kesehatan bersifat multi-dimensional yang berarti mutu dilihat dari
sisi pemakai pelayanan kesehatan dan penyelenggara pelayanan kesehatan (Azwar, 1996)

a. Dari pihak pemakai jasa pelayanan, mutu berhubungan erat dengan ketanggapan dan
keterampilan petugas kesehatan dalam memenuhi kebutuhan klien. komunikasi,
keramahan dan kesungguhan juga termasuk didalamnya.

b. Dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, mutu berhubungan dengan dokter,


paramedis, derajat mutu pemakaian dan playanan yang sesuai dengan perkembangan
teknologi.

Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), mutu pelayanan didefinisikan sebagai suatu hal yang
menunjukkan kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang dapat menimbulkan kepuasan klien
sesuai dengan tingkat kepuasan penduduk, serta pihak lain, pelayanan yang sesuai dengan kode
etik dan standard pelayanan yang professional yang telah ditetapkan.
Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu adalah penyesuaian terhadap keinginan pelanggan
dan sesuai dengan standar yang berlaku serta tercapainya tujuan yang diharapkan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kesehatan sesuatu hal yang dapat meningkatkan
kepuasan dan kenyamanan klien dengan menyelenggarakan sebuah pelayanan yang optimal
sesuai dengan kode etik dan standard pelayanan professional yang berlaku serta selalu
menerapkan pelayanan yang dinamis berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

2.1.4 Dimensi mutu pelayanan


Lima dimensi mutu pelayanan (Service Quality), terdiri dan:
a. Wujud nyata (tangibles) adalah wujud Iangsung yang meliputi fasilitas fisik, yang
mencakup kemutahiran peralatan yang digunakan, kondisi sarana, kondisi SDM
perusahaan dan keselarasan antara fasilitas fisik dengan jenis jasa yang diberikan.

b. Kehandalan (reliability) adalah aspek-aspek keandalan system pelayanan yang diberikan


oleh pemberi jasa yang meliputi kesesuaian pelaksanaan pelayanan dengan rencana
kepedulian perusahaan kepada permasalahan yang dialami pasien, keandalan penyampaian
jasa sejak awal, ketepatan waktu pelayanan sesuai dengan janji yang dibenikan,keakuratan
penanganan.

c. Ketanggapan (responsiveness) adalah keinginan untuk membantu dan menyediakan jasa


yang dibutuhkan konsumen. Hai ini meliputi kejelasan informasi waktu penyampaian jasa,
ketepatan dan kecepatan dalam pelayanan administrasi, kesediaan pegawai dalam
membantu konsumen, keluangan waktu pegawai dalam menanggapi permintaan pasien
dengan cepat.

d. Jaminan (assurance) adalah adanya jaminan bahwa jasa yang ditawarkan memberikan
jaminan keamanan yang meliputi kemampuan SDM, rasa aman selama berurusan dengan
karyawan, kesabaran karyawan, dan dukungan pimpinan terhadap staf. Dimensi kepastian
atau jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi :

1. Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki


oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan

2. Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian dan sikap para


karyawan

3. Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan


kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan sebagainya.

a Empati (empathy), berkaitan dengan memberikan perhatian penuh kepada konsumen yang
meliputi perhatian kepada konsumen, perhatian staf secara pribadi kepada konsumen,
pemahaman akan kebutuhan konsumen, perhatian terhadap kepentingan, kesesuaian waktu
pelayanan dengan kebutuhan konsumen. Dimensi empati ini merupakan penggabungan
dari dimensi :

1. Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memafaatkan jasa yang ditawarkan

2. Komunikasi (Communication), merupakan kemapuan melaukan komunikasi


untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari
pelanggan

3. Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha


perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan
2.1.5 Strategi mutu

a. Quality Assurance (Jaminan Mutu)

Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-an implementasi
pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini merupakan program untuk mendesain standar
pelayanan keperawatan dan mengevaluasi pelaksanaan standar tersebut (Swansburg, 1999).
Sedangkan menurut Wijono (2000), Quality Assurance sering diartikan sebagai menjamin
mutu atau memastikan mutu karena Quality Assurance berasal dari kata to assure yang
artinya meyakinkan orang, mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau menjaga.
Dimana dalam pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi, internal audit
dan surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua tujuan yaitu : organisasi mengikuti
prosedur pegangan kualitas, dan efektifitas prosedur tersebut untuk menghasilkan hasil yang
diinginkan.

Dengan demikian quality assurance dalam pelayanan keperawatan adalah kegiatan


menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu pelayanan keperawatan yang
diberikan sesuai dengan standar. Dimana metode yang digunakan adalah : audit internal
dan surveilan untuk memastikan apakah proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang
diberikan kepada pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP); evaluasi
proses; mengelola mutu; dan penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu sistem (input,
proses, outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan difokuskan hanya pada satu sisi
yaitu pada proses pemberian pelayanan keperawatan untuk menjaga mutu pelayanan
keperawatan.

a Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)

Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan merupakan perkembangan


dari Quality Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an. Continuous Quality
Improvement (Peningkatan mutu berkelanjutan) sering diartikan sama dengan Total Quality
Management karena semuanya mengacu pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu
menyeluruh. Namun menurut Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000) bahwa
ada perbedaan sedikit yaitu Total Quality Management dimaksudkan pada program industri
sedangkan Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijono (2000)
mengatakan bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya peningkatan
mutu secara terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan keperawatan yang komprehensif dan
baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang berlaku.

Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994) bahwa Quality Improvement
merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan pelayanan yang baik. Dan Continuous
Quality Improvement sebagai filosofi peningkatan mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang
dihubungkan dengan memberikan pelayanan yang baik yaitu yang dapat menimbulkan
kepuasan pelanggan (Shortell, Bennett & Byck, 1998)
Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality Improvement dalam pelayanan
keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan secara terus
menerus yang memfokuskan mutu pada perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan
pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai karakteristik-karakteristik yang dapat
mempengaruhi mutu dari outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.

a Total quality manajemen (TQM)

Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara meningkatkan
performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area
fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan
modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh

2.2 Indikator Penilaian Mutu Keperawatan


Mutu asuhan kesehatan sebuah rumah sakit akan selalu terkait dengan struktur, proses, dan
outcome sistem pelayanan RS tersebut. Mutu asuhan pelayanan RS juga dapat dikaji dari tingkat
pemanfaatan sarana pelayanan oleh masyarakat, mutu pelayanan dan tingkat efisiensi RS. Secara
umum aspek penilaian meliputi evaluasi, dokumen, instrumen, dan audit (EDIA) (Nursalam,
2014).

1. Aspek struktur (input)

Struktur adalah semua input untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi M1 (tenaga), M2
(sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana), M5 (pemasaran), dan lainnya.
Ada sebuah asumsi yang menyatakan bahwa jika struktur sistem RS tertata dengan baik akan
lebih menjamin mutu pelayanan. Kualitas struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas,
biaya (efisiensi), dan mutu dari masing-masing komponen struktur.

1 Proses

Proses adalah semua kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang mengadakan
interaksi secara professional dengan pasien. Interaksi ini diukur antara lain dalam bentuk
penilaian tentang penyakit pasien, penegakan diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi
tindakan, penanganan penyakit, dan prosedur pengobatan.

1 Outcome

Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain terhadap pasien.
a. Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi:

1. Angka infeksi nosocomial: 1-2%

2. Angka kematian kasar: 3-4%

3. Kematian pasca bedah: 1-2%


4. Kematian ibu melahirkan: 1-2%

5. Kematian bayi baru lahir: 20/1000

6. NDR (Net Death Rate): 2,5%

7. ADR (Anasthesia Death Rate) maksimal 1/5000

8. PODR (Post Operation Death Rate): 1%

9. POIR (Post Operative Infection Rate): 1%

b. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS:

1. Biaya per unit untuk rawat jalan

2. Jumlah penderita yang mengalami decubitus

3. Jumlah penderita yang mengalami jatuh dari tempat tidur

4. BOR: 70-85%

5. BTO (Bed Turn Over): 5-45 hari atau 40-50 kali per satu tempat tidur/tahun

6. TOI (Turn Over Interval): 1-3 hari TT yang kosong

7. LOS (Length of Stay): 7-10 hari (komplikasi, infeksi nosocomial; gawat darurat; tingkat
kontaminasi dalam darah; tingkat kesalahan; dan kepuasan pasien)

8. Normal tissue removal rate: 10%

c. Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan jumlah keluhan
pasien/keluarganya, surat pembaca dikoran, surat kaleng, surat masuk di kotak saran, dan
lainnya.
d. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri atas:

1. Jumlah dan presentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS dengan asal pasien.

2. Jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan jumlah
kunjungan SMF spesialis.

3. Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut di atas
dibandingkan dengan standar (indicator) nasional. Jika bukan angka standar nasional,
penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan hasil penacatatan mutu pada tahun-tahun
sebelumnya di rumah sakit yang sama, setelah dikembangkan kesepakatan pihak
manajemen/direksi RS yang bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staff lainnya
yang terkait.

e. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien:

1. Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi

2. Pasien diberi obat salah

3. Tidak ada obat/alat emergensi

4. Tidak ada oksigen

5. Tidak ada suction (penyedot lendir)

6. Tidak tersedia alat pemadam kebakaran

7. Pemakaian obat

8. Pemakaian air, listrik, gas, dan lainnya

Standar Nasional
BOR 75-80%
ALOS 1-10 hari
TOI 1-3 hari
BTO 5-45 hari
NDR < 2,5%
GDR < 3%
ADR 1,15.000
PODR < 1%
POIR < 1%
NTRR < 10%
MDR < 0,25%
IDR < 0,2%
Tabel 1. Standar Nasional Indikator Mutu Pelayanan

Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan,
mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus
harian rawat inap :

1. BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur)


Menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu
tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur
rumah sakit.Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
Rumus :
(jumlah hari perawatan di rumah sakit) 100%
(jumlah tempat tidur jumlah hari dalam satu periode)

1 ALOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat)

ALOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini
disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu
pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan
yang lebih lanjut.Secara umum nilai ALOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).
Rumus :
(jumlah lama dirawat)
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))

1 TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran)

TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari
telah diisi ke saat terisi berikutnya.Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi
penggunaan tempat tidur.Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.
Rumus :
((jumlah tempat tidur Periode) Hari Perawatan)
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))

1 BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur)

BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode,
berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu.Idealnya dalam satu tahun, satu
tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.
Rumus :
Jumlah pasien dirawat (hidup + mati)
(jumlah tempat tidur)

1 NDR (Net Death Rate)

NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap
1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Rumus :
Jumlah pasien mati > 48 jam 100%
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))
1 GDR (Gross Death Rate)

GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita
keluar.
Rumus :
Jumlah pasien mati seluruhnya 100%
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))

Menurut Nursalam (2014), ada enam indikator utama kualitas pelayanan kesehatan di rumah
sakit:

1. Keselamatan pasien (patient safety), yang meliputi: angka infeksi nosokomial, angka
kejadian pasien jatuh/kecelakaan, dekubitus, kesalahan dalam pemberian obat, dan tingkat
kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan

2. Pengelolaan nyeri dan kenyamanan

3. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan

4. Perawatan diri

5. Kecemasan pasien

6. Perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) pasien.

2.3 Keselamatan Pasien


Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variable untuk mengukur dan
mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan yang berdampak terhadap pelayanan
kesehatan.Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan angka kejadian
tidak diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga
sangat merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak rumah sakit. KTD bisa disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain beban kerja perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat,
penggunaan sarana yang kurang tepat dan lain sebagainya.

Indikator keselamatan pasien (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang
memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, misalnya untuk menunjukkan:

1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu

2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi
sebagaimana yang diharapkan

3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan


4. ketidaksepadanan antarunit pelayanan kesehatan (misalnya, pemerintah dengan swasta
atau urban dengan rural)

Indikator keselamatan pasien, sebagaimana dilaksanakan di SGH (Singapore General Hospital,


2006) meliputi:

a. Pasien jatuh disebabkan kelalaian perawat, kondisi kesadaran pasien, beban kerja
perawat, model tempat tidur, tingkat perlukaan, dan keluhan keluarga

b. Pasien melarikan diri atau pulang paksa, disebabkan kurangnya kepuasan pasien, tingkat
ekonomi pasien, respons pasien terhadap perawat, dan peraturan rumah sakit

c. Clinical incident diantaranya jumlah pasien flebitis, jumalah pasien ulkus decubitus,
jumlah pasien pneumonia, jumlah pasien tromboli, dan jumlah pasien edema paru karena
pemberian cairan yang berlebih

d. Sharp injury, meliputi bekas tusukan infus yang berkali-kali, kurangnya ketrampilan
perawat, dan complain pasien.

e. Medication incident, meliputi lima tidak tepat(jenis, obat, dosis, pasien, cara, waktu)

2.3.1 Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit


WHO Collaborating Centre for Patient safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan Nine
Life Saving Patient safety Solutions (Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah
Sakit). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih
100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.

Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak
bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error) mau pun yang dapat dicegah (error), berasal dari
berbagai proses asuhan pasien.

Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau
mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini
merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien,
guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk
menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi,
langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.

a. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike


Medication Names)
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah
salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini
merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di
pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek
atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk
pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang
dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.

a Pastikan Identifikasi Pasien

Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering
mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur
yang keliru orang; penyerahan bayi kepada bukan keluarganya, dsb. Rekomendasi ditekankan
pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam
proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem
layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk
membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.

a Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima/Pengoperan Pasien

Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan,
dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan,
pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan
protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi
para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah
terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.

a Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar

Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah.Kasus-kasus dengan


pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah
akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor
yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau
kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah
jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan;
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur;
dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur Time out sesaat sebelum memulai prosedur untuk
mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.

a Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated)

Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan
elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.Rekomendasinya
adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur
aduk/bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
a Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan

Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan
perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication
errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang
paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut
sebagai home medication list, sebagai perbandingan dengan daftar saat admisi, penyerahan
dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan
daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.

a Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube)

Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar
mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan
cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan
medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya
perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengenjakan pemberian medikasi serta
pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada
pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang yang benar).

a Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai

Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang
diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya
melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di
lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian
infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui
darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.

i. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi


Nosokomial

Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi
yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif
yang pimer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong
implementasi penggunaan cairan alcohol-based hand-rubs tersedia pada titik-titik pelayan
tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan
yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan
penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan/observasi dan tehnik-tehnik yang lain.

2.3.2 Aspek Hukum Terhadap Patient safety


Aspek hukum terhadap patient safety;; atau keselamatan pasien adalah sebagai berikut:

1. UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit

Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum :


1. Pasal 53 (3) UU No.36/2009; Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.

2. Pasal 32n UU No.44/2009; Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan


dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.

3. Pasal 58 UU No.36/2009

a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga


kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.

b. ..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan


penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.

1 Tanggung jawab Hukum Rumah sakit

a. Pasal 29b UU No.44/2009; Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,


antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai
dengan standar pelayanan Rumah Sakit.

b. Pasal 46 UU No.44/2009; Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum


terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan di RS.

c. Pasal 45 (2) UU No.44/2009; Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam


melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.

1 Bukan tanggung jawab Rumah Sakit

Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit; Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab
secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang
dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif.

1 Hak Pasien

a. Pasal 32d UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan


kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional

b. Pasal 32e UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan


yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi
c. Pasal 32j UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis,
alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan

d. Pasal 32q UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau


menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang
tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana

1 Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien

Pasal 43 UU No.44/2009

a. RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien

b. Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa,


dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian
yang tidak diharapkan.

c. RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi


keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri

d. Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk
mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.

2.4 Kenyamanan
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk mengubah berbagai
stimulus mekanis, kimia, termal, elektris menjadi potensial aksi yang dijalarkan ke sistem saraf
pusat. Nyeri merupakan suatu mekanisme protektif bagi tubuh yang akan muncul bila jaringan
tubuh rusak, sehingga individu akan bereaksi atau berespons untuk menghilangkan mengurangi
rangsang nyeri. Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial (Nursalam, 2014).

2.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

1. Arti nyeri terhadap individu

Persepsi adalah interpretasi pengalaman nyeri dimulai saat pertama pasien sadar adanya nyeri.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda, bisa dianggap sebagai respon positif atau negatif

1 Toleransi individu terhadap nyeri

Toleransi nyeri adalah toleransi seseorang yang berhubungan dengan intensitas nyeri dimana
individu dapat merespon nyeri lebih baik atau sebaliknya

1 Ambang nyeri
Ambang nyeri adalah intensitas rangsang terkecil yang akan menimbulkan rangsang nyeri, suatu
batas kemampuan seseorang untuk mau beradaptasi serta berespon terhadap nyeri

1 Pengalaman lampau

Pengalaman sebelumnya dapat mengubah sensasi pasien terhadap nyeri

1 Lingkungan

Lingkungan yang ramai, dingin, panas, lembab meningkatkan intensitas nyeri individu

1 Usia

Makin dewasa seseorang maka semakin dapat mentoleransi rasa sakit

1 Kebudayaan

Norma/aturan dapat menumbuhkan perilaku seseorang dalam memandang dan berasumsi


terhadap nyeri yang dirasakan

1 Kepercayaan

Ada keyakinan bhawa nyeri merupakan suatu penyucian atau pembersihan dan hukuman atas
dosa mereka terhadap Tuhan

1 Kecemasan dan stres

Stres dan kecemasan dapat mengahmbat keluarnya endorfin yang berfungsi menurunkan persepsi
nyeri

2.4.2 Angka tata laksana nyeri


2.4.3 Instrumen Intensitas Nyeri

1. Indikasi : dewasa dan anak (berusia lebih dari sembilan tahun) atau pasien pada
semua area perawatan yang mengerti tentang penggunaan angka untuk menentukan
tingkat dari intensitras rasa nyeri yang dirasakan.

2. Instruksi:

1. Menanyakan kepada pasien tentang berapa angka yang diberikan untuk


menggambarkan rasa nyeri yang saat ini dirasakan

1. Berikan penjelasan tentang skala nyeri yang diberikan

0 = tidak nyeri
1-3 = nyeri ringan, mengomel, sedikit mengganggu ADL
4-6 = nyeri sedang, cukup mengganggu ADL
7-10 = nyeri berat dan tidak mampu melakukan ADL

1. Tim kesehatan di dalam kolaborasinya dengan pasien/keluarga (bila perlu),


dapat menentukan intervensi yang dibutuhkan untuk menangani nyeri pasien.

2.5 Kepuasan Pasien


Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja
layanan kesehatan yang diperoleh setelah pasien membandingkannya dengan apa yang
diharapkan (Imbalo, 2006). Sedangkan Irawan (2003) mengatakan bahwa kepuasan adalah
perasaan senang atau kecewa dari seseorang yang mendapat kesan dari membandingkan hasil
pelayanan kinerja dengan harapan-harapannya. Sejalan dengan Oliver (1997, dalam Irawan,
2003) mengungkapkan kepuasan sebagai respon pemenuhan harapan dan kebutuhan pasien.
Respon ini sebagai hasil dari penilaian pasien bahwa produk/pelayanan sudah memberikan
tingkat pemenuhan kenikmatan.Tingkat pemenuhan kenikmatan dan harapan ini dapat lebih atau
kurang (Paparaya. 2009).

Pasien adalah orang dengan kebutuhan-kebutuhan yang sangat jauh berbeda dari orang
sehat.Kebutuhan-kebutuhannya pada saat itu bukan saja sangat menonjol tetapi mungkin sudah
dalam tingkatan ekstrim.Tidak saja harus makan agar penyakitnya cepat sembuh tetapi harus
disuapin.Tidak saja harus diberi obat tetapi harus disertai perhatian ekstra.

Bagi pasien kebutuhan yang paling menonjol bukanlah yang berkaitan dengan harga diri atau
untuk diakui kehebatannya tetapi adalah kebutuhan belongingness and social needs. Merasa
dicintai, didengarkan, tidak dianggap sebagai orang yang menyusahkan saja dan tidak pula
diperlakukan sebagai manusia yang tidak berguna (Tobing, 2008)

Ada beberapa cara mengukur kepuasan pelanggan:


a. Sistem keluhan dan saran

b. Survey kepuasan pelanggan

c. Pembeli bayangan

d. Analisis kehilangan pelanggan

Menurut Leonard L. Barry dan pasuraman Marketing servis competin through quality (New
York Freepress, 1991:16) yang dikutip Parasuraman dan Zeithaml (2001) mengidentifikasi lima
kelompok karakteristik yang digunakan oleh pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa
layanan, antara lain:

a. Tangible (kenyataan), yaitu berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan materi


komunikasi yang menarik, dan lain-lain.

b. Empati, yaitu kesediaan karyawan dan pengusaha untuk memberikan perhatian secara
pribadi kepada konsumen.

c. Cepat tanggap, yaitu kemauan dari karyawan dan pengusaha untuk membantu
pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat serta mendengar dan mengatasi keluhan
dari konsumen.

d. Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan,
terpercaya dan akurat dan konsisten.

e. Kepastian, yaitu berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan


kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan kepada konsumen.

Supardi (2008) mengatakan model kepuasan yang komprehensif dengan fokus utama pada
pelayanan barang dan jasa meliputi lima dimensi penilaian sebagai berikut :

a. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan


kepada pasien dengan cepat. Dalam pelayanan rumah sakit adalah lama waktu menunggu
pasien mulai dari mendaftar sampai mendapat pelayanan tenaga kesehatan.

b. Assurance (jaminan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada pasien


sehingga dipercaya. Dalam pelayanan rumah sakit adalah kejelasan tenaga kesehatan
memberikan informasi tentang penyakit dan obatnya kepada pasien.

c. Emphaty (empati), yaitu kemampuan petugas membina hubungan, perhatian, dan


memahami kebutuhan pasien. Dalam pelayanan rumah sakit adalah keramahan petugas
kesehatan dalam menyapa dan berbicara, keikutsertaan pasien dalam mengambil
keputusan pengobatan, dan kebebasan pasien memilih tempat berobat dan tenaga
kesehatan, serta kemudahan pasien rawat inap mendapat kunjungan keluarga/temannya.
d. Tangible (bukti langsung), yaitu ketersediaan sarana dan fasilitas fisik yang dapat
langsung dirasakan oleh pasien. Dalam pelayanan rumah sakit adalah kebersihan
ruangan pengobatan dan toilet

e. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada


pasien dengan tepat. Dalam pelayanan rumah sakit adalah penilaian pasien terhadap
kemampuan tenaga kesehatan.

No. Karakteristik 1 2 3 4
1. Reliability (Keandalan)

a. Perawat mampu menangani masalah


perawatan Anda dengan tepat dan
professional

a Perawat memberikan informasi


tentangfasilitas yang tersedia, cara
penggunaannya dan tata tertib yang berlaku di
RS

a Perawat memberitahu dengan jelas tentang


hal-hal yang harus dipatuhi dalam perawatan
Anda

a Perawat memberitahu dengan jelas tentang


hal-hal yang dilarang dalam perawatan Anda

a Ketepatan waktu perawat tiba di ruangan


ketika Anda membutuhkan

2. Assurance (jaminan)

a. Perawat mmeberi perhatian terhadap keluhan


yang anda rasakan

a Perawat dapat menjawab pertanyaan tentang


tindakan perawatan yang diberikan kepada
Anda
a Perawat jujur dalam memberikan informasi
tentang keadaan anda

a Perawat selalu memberi salam dan senyum


ketika bertemu dengan Anda

a Perawat teliti dan terampil dalam


melaksanakan tindakan keperawatan kepada
Anda

3. Tangibles (Kenyataan)

a. Perawat memberi informasi tentang


administrasi yang berlaku bagi pasien rawat
inap di RS

a Perawat selalu me.njaga kebersihan dan


kerapihan ruangan yang Anda tempati

a Perawat menjaga kebersihan dan kesiapan


alat-alat kesehatan yang digunakan

a Perawat menjaga kebersihan dan kelengkapan


fasilitas kamar mandi dan toilet

a Perawat sellau menjaga kerapian dan


penampilannya

4. Empathy (Empati)

a. Perawat memberikan informasi kepada Anda


tindakan perawatan yang akan dilaksanakan

a Perawat mudah ditemui dan dihubungi bila


Anda membutuhkan

a Perawat sering menengok dan memeriksa


keadaan Anda seperti mengukur tensi, suhu,
nadi, pernapasan, dan cairan infus

a Pelayanan yang diberikan perawat tidak


memandang pangkat/ status tetapi
berdasarkan kondisi Anda

a Perawat perhatian dan memberi dukungan


moril terhadap keadaan Anda (menanyakan
dan berbincang-bincang tentang keadaan
Anda)

5. Responsiveness (Tanggung Jawab)

a Perawat bersedia menawarkan bantuan


kepada Anda ketika mengalami kesulitan
walau tanpa diminta

a Perawat segera menangani Anda ketika


sampai di ruangan rawat inap

Perawat menyediakan waktu khusus untuk


membantu Anda berjalan, BAB, BAK, ganti
posisi tidur, dan lain-lain

a Perawat membantu Anda untuk memperoleh


Obat

Perawat membantu Anda untuk pelaksanaan


pelayanan foto dan laboratorium di RS ini

Keterangan:
1. = sangat tidak puas

2. = tidak puas

3. = puas

4. = sangat puas

Tabel 5. Instrumen kepuasan Pasien berdasarkan Lima Karakteristik (RATER)

2.6 Perawatan Diri

a Angka tidak terpenuhinya kebutuhan mandi, berpakaian, dan eliminasi yang disebabkan
oleh keterbatasan diri.

a Angka tidak terpenuhi kebutuhan diri (mandi, toilet pada tingkat ketergantungan parsial
dan total).

Persentase kebutuhan perawatan diri pasien :

Jumlah pasien yang tidak terpenuhi kebutuhan diri x 100 %


Jumlah pasien dirawat dengan tingkat ketergantungan parsial dan total

2.7 Kecemasan
Kecemasan merupakan reaksi yang pertama muncul atau dirasakan oleh pasien dan keluarganya
di saat pasien harus dirawat mendadak atau tanpa terencana begitu mulai masuk rumah sakit.
Kecemasan akan terus menyertai pasien dan keluarganya dalam setiap tindakan perawatan
terhadap penyakit yang diderita pasien.

Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subyektif individual, mempunyai kekuatan
tersendiri dan sulit untuk diobsevasi secara langsung.Perawat dapat mengidentifikasi cemas
lewat perubahan tingkah laku pasien.

Cemas adalah emosi tanpa objek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui dan didahului oleh
penglaman baru.Takut mempunyai sumber yang jelas dan obyeknya dapat didefinisikan.Takut
merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam dan cemas merupakan
respon emosi terhadap penilaian tersebut.

Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang mengancam keutuhan
serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku seperti rasa tidak berdaya,
rasa tidak mampu, rasa takut, dan fobia tertentu.

Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan


kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi (Nursalam,
2014).
2.7.1 Penilaian tingkat kecemasan
Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS) adalah penilaian kecemasan pada pasien dewasa
yang dirancang oleh William W. K. Zung, dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam
Diagostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-II). Terdapat 20 pertanyaan, dimana
setiap pertanyaan dinilai 1-4 (1: tidak pernah, 2: kadang-kadang, 3: sebagian waktu, 4: hampir
setiap waktu). Terdapat 15 pertanyaan ke arah peningkatan kecemasan dan 5 pertanyaan ke arah
penurunan kecemasan (Zung Self-Rating Anxiety Scale). Skala peringkat kecemasan
digambarkan pada tabel di bawah ini :

Hampir
Tidak Kadang- Sebagian
No Pertanyaan setiap
pernah kadang waktu
waktu
Saya merasa lebih gugup dan
1. 1 2 3 4
cemas dari biasanya
Saya merasa takut tanpa alasan
2. 1 2 3 4
sama sekali
Saya mudah marah atau merasa
3. 1 2 3 4
panic
Saya merasa seperti jatuh terpisah
4. 1 2 3 4
dan akan hancur berkeping-keping
Saya merasa bahwa semuanya
5. baik-baik saja dan tidak ada hal 4 3 2 1
buruk yang akan terjadi
6. Lengan dan kaki saya gemetar 1 2 3 4
Saya terganggu oleh nyeri kepala
7. 1 2 3 4
leher dan nyeri punggung
Saya merasa lemah dan mudah
8. 1 2 3 4
lelah
Saya merasa tenang dan dapat
9. 4 3 2 1
duduk diam dengan mudah
Saya merasakan jantung saya
10. 1 2 3 4
berdebar-debar
11. Saya merasa pusing tujuh keliling 1 2 3 4
Saya telah pingsan atau merasa
12. 1 2 3 4
seperti itu
Saya dapat bernapas dengan
13. 4 3 2 1
mudah
Saya merasa jari-jari tangan dan
14. 1 2 3 4
kaki mati rasa dan kesemutan
Saya merasa terganggu oleh nyeri
15. lambung atau gangguan 1 2 3 4
pencernaan
16 Saya sering buang air kecil 1 2 3 4
Tangan saya biasanya kering dan
17. 4 3 2 1
hangat
Wajah saya terasa panas dan
18. 1 2 3 4
merah merona
Saya mudah tertidur dan istirahat
19. 4 3 2 1
malam dengan baik
20. Saya mimpi buruk 1 2 3 4

Rentang penilaian 20-80, dengan pengelompokan antara lain:

1. Skor 20-44: normal/tidak cemas

2. Skor 45-59: kecdemasan ringan

3. Skor 60-74: kecemasan sedang

4. Skor 75-80: kecemasan berat

2.8 Pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2003:121) Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Jadi pengetahuan ini diperoleh dari
aktivitas pancaindra yaitu penglihatan, penciuman, peraba dan indra perasa, sebagian besar
pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Nursalam, 2014).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Penelitian Rogers (1974) dalam buku pendidikan dan perilaku kesehatan
(Notoatmodjo, 2003 dan Nursalam, 2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:

1. Awareness (kesadaran) ketika seseorang menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek);

2. Interst (tertarik), ketika seseorang mulai tertarik pada stimulus;

3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut baginya;

4. Trial (mencoba), ketika seseorang telah mencoba perilaku baru;

5. Adoption (adaptasi), ketika seseorang telah berprilaku baru yang sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun, berdasarkan penelitian selanjutnya, Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku


tidak selalu melewati tahapan di atas. Jika penerima perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini yaitu dengan didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif,
maka perilaku itu akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, perilaku itu tidak akan berlangsung lama (Nursalam,
2014).

2.8.1 Perencanaan Pulang (Discharge Planning)


Perencanaan pulang merupakan suatu proses yang dinamis dan sistematis dari penilaian,
persiapan, serta koordinasi yang dilakukan untuk memberikan kemudahan pengawasan
pelayanan kesehatan dan pelayanan social sebelum dan sesudah pulang. Perencanaan pulang
merupakan proses yang dinamis agar tim kesehatan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk
menyiapkan pasien melakukan perawatan mandiri di rumah. Perencanaan pulang didapatkan dari
proses interaksi ketika perawat professional, pasien dan keluarga berkolaborasi untuk
memberikan dan mengatur kontinuitas keperawatan. Perencanaan pulang diperlukan oleh pasien
dan harus berpusat pada masalh pasien, yaitu pencegahan, terapeutik, rehabilitatif, serta
perawatan rutin yang sebenarnya (Nursalam, 2014).

Perencanaan pulang akan menghasilkan sebuah hubungan yang terintegrasi yaitu antara
perawatan yang diterima pada waktu di rumah sakit dengan perawatan yang diberikan setelah
pasien pulang. Perawatan di rumah sakit akan bermakna jika dilanjutkan dengan perawatan di
rumah. Namun, sampai saat ini perencanaan pulang bagi pasien yang dirawat belum optimal
karena peran perawat masih terbatas pada pelaksanaan kegiatan rutinitas saja, yaitu hanya berupa
informasi tentang jadwal kontrol ulang.(Nursalam, 2014).
Perencanaan pulang bertujuan:

1. Menyiapkan pasien dengan keluarga secara fisik, psikologis dan social;

2. Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga;

3. Meningkatkan perawtan yang berkelanjutan pada pasien;

4. Membantu rujukan pasien pada system pelayanan yang lain;

5. Membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap
dalam memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan pasien;

6. Melaksanakan rentang perawatan antar rumah sakit dan masyarakat.

Perencanaan pulang bertujuan membantu pasien dan keluarga untuk dapat memahami
permasalahan dan upaya pencegahan yang harus ditempuh sehingga dapat mengurangi risiko
kambuh, serta menukar informasi antara pasien sebagai penerima pelayanan dengan perawat dari
pasien masuk sampai keluar rumah sakit (Nursalam, 2014).

Prinsip-prinsip dalam perencanaan pulang antara lain:

1. Pasien merupakan fokus dalam perencanaan pulang sehingga nilai keinginan dan
kebutuhan dari pasien perlu dikaji dan di evaluasi;
2. Kebutuhan dari pasien diidentifikasi lalu dikaitkan dengan masalah yang mungkin timbul
pada saat pasien pulang nanti, sehingga kemungkinan masalah yang timbul di rumah dapat
segera diantisipasi;

3. Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif karena merupakan pelayanan multi


disiplin dan setiap tim harus saling bekerja sama.

4. Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan dengan
pengetahuan dari tenaga atau sumber daya maupun fasilitas yang tersedia di masyarakat.

5. Perencanaan pulang dilakukan pada setiap system atau tatanan pelayanan kesehatan.

Komponen perencanaan pulang terdiri atas:

1. Perawatan di rumah meliputi pemberian pengajaran atau pendidikan kesehatan (health


education) mengenai diet, mobilisasi, waktu control dan tempat control pemberian
pelajaran disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan keluaraga mengenai perawatan
selama pasien di rumah nanti;

2. Obat-obat yang masih diminum dan jumlahnya, meliputi dosis, cara pemberian dan
waktu yang tepat minum obat;

3. Obat-obat yang dihentikan, karena meskipun ada obat-obatan tersebut sudah tidak
diminum lagi oleh pasien, obat-obat tersebut tetap dibawah pulang pasien;

4. Hasil pemeriksaan, termasuk hasil pemeriksaan luar sebelum MRS dan hasil pemeriksaan
selama MRS, semua diberikan ke pasien saat pulang;

5. Surat-surat seperti surat keterangan sakit, surat kontrol.

Faktor-faktor yang perlu dikaji dalam perencanaan pulang adalah:

1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit, terapi dan perawatan yang diperlukan;

2. Kebutuhan psikologis dan hubungan interpersonal di dalam keluarga;

3. Keinginan keluarga dan pasien menerima bantuan dan kemampuan mereka member
asuhan;

4. Bantuan yang diperlukan pasien;

5. Pemenuhan kebutuhan aktivitas hidup sehari-hari seperti makan, minum, eliminasi,


istirahat dan tidur, berpakaian, kebersihan diri, keamanan dari bahaya, komunikasi,
keagamaan, rekreasi dan sekolah;

6. Sumber dan sistem pendukung yang ada di masyarakat;


7. Sumber finansial dan pekerjaan;

8. Fasilitas yang ada di rumah dan harapan pasien setelah dirawat;

9. Kebutuhan perawatan dan supervisi di rumah.

Tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada pasien sebelum pasien diperbolehkan pulang
adalah sebagai berikut.

1. Pendidikan kesehatan: diharapkan bisa mengurangi angka kambuh atau komplikasi dan
meningkatkan pengetahuan pasien serta keluarga tentang perawatan pasca rawat.

2. Program pulang bertahan: bertujuan untuk melatih pasien untuk kembali ke lingkungan
keluarga dan masyarakat. Program ini meliputi apa yang harus dilakukan pasien di rumah
sakit dan apa yang harus dilakukan oleh keluarga.

3. Rujukan: integritas pelayan kesehatan harus mempunyai hubungan langsung antara


perawat komunitas atau praktik mandiri perawat dengan rumah sakit sehingga dapat
mengetahui perkembangan pasien di rumah.

Pengetahuan tentang perawatan penyakitnya:


Jumlah pasien yang kurang pengetahuan x 100%
Jumlah pasien yang dirawat pada periode tertentu

Perencanaan pasien pulang (discharge planning):


Jumlah pasien yang tidak dibuat pada periode tertentu x 100%
Jumlah pasien yang dirawat pada periode tertentu

DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, 2014. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional


Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika

Nursalam, 2015. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional


Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika

Azwar, A. 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan yang Lebih Bermutu. Jakarta: Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.

Gillies, D.A. 1994. Nursing Management, A System Approach. Third Edition. Philadelphia : WB
Saunders.
Kozier, Erb & Blais. 1997. Profesional Nursing Practice: Concept & Perspectives. Third
Edition. California : Addison Wesley Publishing. Inc

Meisenheimer, C.G. 1989. Quality Assurance for Home Health Care. Maryland: Aspen
Publication.

Rakhmawati, Windy. 2009. Pengawasan Dan Pengendalian Dalam Pelayanan Keperawatan


(Supervisi, Manajemen Mutu & Resiko). http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/03/pengawasan_dan_pengendalian_dlm_pelayanan_keperawatan.pdf,diaks
es 4 November 2015

Swansburg, R.C. & Swansburg, R.J. 1999. Introductory Management and Leadership for
Nurses. Canada : Jones and Barlett Publishers.

Tappen 1995. Nursing Leadership and Management: Concepts & Practice. Philadelphia : F.A.
Davis Company.

Tjiptono, F. 2004. Prinsip-prinsip Total Quality Service (TQS).Yogyakarta : Andi Press

Wijono, D. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Teori, Strategi dan Aplikasi.
Volume.1. Cetakan Kedua.Surabaya : Airlangga University Press.
- See more at: http://sakinahkreatif.blogspot.co.id/2015/12/mutu-pelayanan-
keperawatan.html#sthash.PhA4P1Cc.dpuf

Anda mungkin juga menyukai