Anda di halaman 1dari 20

Refarat

PENETRATING TRAUMATIC INJURY

Oleh:
dr. Rifwanul Basir Nasution

Pembimbing:
dr. Maulidya Ayudika, Sp.BTKV

DIVISI BEDAH THORAKS DAN KARDIOVASKULAR


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Thorax dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior oleh thoracic inlet dan
inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar adalah dinding thorax yang disusun oleh vertebra
torakal, tulang iga, sternum, otot, dan jaringan ikat.
Rongga thorax dibatasi dengan rongga abdomen oleh diafragma. Rongga thorax dapat
dibagi ke dalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum.
Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior. Mediastinum terletak
diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-organ penting thorax selain
paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena cavae, esofagus, trakhea, dll.).
Thoracic inlet merupakan “pintu masuk” rongga thoraks yang disusun oleh: permukaan
ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan (lateral), serta
manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet memiliki sudut deklinasi sehingga bagian anterior
terletak lebih inferior dibanding bagian posterior. Manubrium sterni terletak kira-kira setinggi
vertebra torakal II. Batas bawah rongga thoraks atau thoracic outlet (pintu keluar thoraks) adalah
area yang dibatasi oleh sisi ventral vertebra torakal XII, lateral oleh batas bawah iga dan anterior
oleh processus xiphoideus.
Trauma thoraks merupakan penyebab yang sering terhadap mortalitas atau morbiditas, dan
dalam tiga dekade terakhir menjadi penyebab utama dalam kematian. Sekitar 20-25% kematian
yang disebabkan oleh trauma adalah disebabkan oleh trauma thoraks. Trauma tembus thoraks
terjadi sekitar 33% dari seluruh insiden trauma thoraks. Trauma tembus thorax terjadi karena
adanya paksaan mekanis yang mendadak pada daerah thoraks, biasanya seperti karena proyektil
atau pisau yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan sekitar.

2
BAB II

2.1 Definisi
Trauma tembus thorax adalah luka atau cedera mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax yang bersifat akut. 2 Trauma
thorax dapat meliputi kerusakan pada dinding dada, vertebra thoracalis, jantung, paru-paru, aorta
thoracalis dan pembuluh darah besar, namun jarang mengenai esofagus. 3

2.2 Epidemiologi
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax
menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak
penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat
dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma
tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan
torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang
akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.2
Trauma tembus thorax biasanya terjadi karena tindakan kriminal yang memiliki
mortalitas lebih tinggi dibanding trauma tumpul. Di Turki kejadian trauma tembus thorax ini
semakin meningkat dan menjadi masalah kesehatan umum yang selalu dihubungkan dengan
tindak kekerasan. Trauma tembus thorax ini kebanyakan terjadi pada laki-laki dengan
mekanisme trauma yang paling sering terjadi adalah luka tembak atau luka tusuk.4

2.3 Etiologi
Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat
penyebab trauma, terutama akibat luka tusukan benda tajam atau luka tembak. Pada luka tembak,
derajat ringan atau beratnya cedera juga tergantung pada jenis senjata yang digunakan, proyektil
serta kecepatan tembakan. Sementara itu, luka tusuk bisa disebabkan oleh berbagai senjata tajam
seperti pisau, pecahan kaca, belati atau bahan metal lainnya. Berat ringannya luka tusuk ini
tergantung dari beberapa hal, seperti :

3
1. Titik masuknya ke dinding dada (luka yang terjadi di bagian bawah puting, di depan dan di
bawah sudut scapula, diperkiran menjadi luka thoraco-abdomen.
2. Organ mana yang terlibat (pembuluh darah dinding dada, paru-paru, jantung, pembuluh
darah besar thorax, pleura visceral, esofagus, diafragma).
3. Bentuk dan ketajaman dari benda yang digunakan.
4. Benda yang digunakan sudah dicabut atau belum dari dinding dada.5

2.4 Patofisiologi
Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pada trauma thorax adalah akibat dari kegagalan
ventilasi, kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar dan kegagalan sirkulasi karena
perubahan hemodinamik.6 Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh trauma
thorax. Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak kuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan
oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation / perfusion mismatch (contoh
kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh tension
pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran.
Asidosis metabolic disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (Syok).7

2.5 Kelainan akibat trauma tembus Thorax


A. Pneumothorax terbuka (Sucking chest wound)
Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotorax
terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir.
Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan
dengan trakea.2
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Langkah
awal adalah menutup luka dengan kasa steril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan
penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter type valve dimana saat inspirasi kasa
penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup
terbuka untuk mencegah udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada
yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan
terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax

4
kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan
adalah Plastic wrap atau Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan
cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.2

B. Tension pneumothorax
Tension pneumothorax terjadi karena adanya mekanisme one-way-valve (fenomena
ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam
rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam
rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-
paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian
darah vena ke jantung (venous return); ini yang mengakibatkan kematian serta akan menekan
paru kontralateral.8
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi
mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada
pleura visceral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotorax
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa
robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumothorax, jika salah cara menutup defek ata luka tersebut dengan pembalut (occhusive
dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax
jua dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced
thoracic spine fractures).8
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak
boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Bila ada kemungkinan tension
pneumothorax sebaiknya tidak menunggu foto Rontgen. Dengan pungsi darurat rongga thorax
berupa tusukan sederhana dengan jarum di ruang antariga II, penderita dapat diselamatkan. 6
Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distress pernafasan, takikardi,
hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis
merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan
tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor
dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terjadi tension pneumothorax dapat
membedakan keduanya.2

5
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular
pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax
menjadi pneumothorax sederhana (catatan ; kemungkinan terjadi pneumotraks yang bertambah
akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitive selalu dibutuhkan
dengan pemasangan selang dada (Chest tube) pada sela iga ke 5 garis midaxilaris anterior.2

C. Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.
Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemothorax. Biasanya
perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.2
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya
diterapi dengan selang dada berukuran besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari
rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura dan dapat
dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya rupture diafragma
traumatic. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi
pada penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang dada
merupakan faktor utama.3
Hemothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari 15% pada foto
Rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan khusus. Hemothorax sedang, artinya
tampak bayangan yang menutup 15-35% pada foto Rontgen, dipungsi dan penderita diberi
transfusi. Pada pungsi sedapat mungkin dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata terjadi
kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada hemothorax besar (lebih dari 35%) dipasang
penyalir sekat air dan diberikan transfusi.8
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak
1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika
membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan.2
Hemotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang dari satu jam setelah trauma adalah
indikasi untuk operasi. Sebelum operasi sebaiknya ditentukan organ mana yang dicurigai
sehingga teknik pembedahan dapat disesuaikan. Perdarahan yang terjadi akibat fraktur iga

6
biasanya tidak banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun harus tetap diwaspadai akan adanya
perdarahan dari arteri interkostalis yang robek. Monitoring untuk semua kasus perdarahan dalam
rongga toraks setelah pemasangan water sealed drainage (WSD) adalah sebagai berikut:7
 0-3 cc/Kg BB/ jam................................observasi
 >3 - <5 cc/Kg BB/jam.....................observai ketat, bila berturut turut dalam 3
jam.........operasi
 3-5 cc/Kg BB/jam..................................operasi
Pembagian diatas didasarkan pada pembagian syok:
Kelas % darah hilang dari total Volume darah dalam cc (volume
volume darah dalam tubuh darah 80cc/kg BB)
I 15 < 750
II 30 75-1500
III 40 2000
IV >40 > 2000

Ligasi arteri interkostalis transtorakal posterior dapat mengakibatkan neuralgia interkostalis


tetapi tindakan ini cukup baik untuk menyelamatkan jiwa sementara. Tindakan yang terbaik
adalah torakotomi dan ligasi arteri interkostalis secara a vue.9

D. Hemotoraks masif
Hemothoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam
rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya
hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension
pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu
mendorong mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher.2
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas
menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks
masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi
rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan
kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat
dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan

7
pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang setinggi putting susu,
anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita
mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya
sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.
Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi
pendarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi.2
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak
200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan.
Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan
darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna
darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar
dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis putting susu
dan luka di daerah posterior, medial dari scapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan
dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus
dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli
bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.2

E. Cedera trakea dan bronkus


Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus,
manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna,
hemopneumothorax, krepitasi subkuntan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dservical
dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara massif. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemasangan pipa endotrakea (melalui control endoskop) di luar cedera untuk kemungkinan
ventilasi danmencegah aspirasi aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax
atau pneumothorax.2

F. Tamponade jantung
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma
tumpul juga dapat menyebabkan pericardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah
besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat
yang kaku dan walaupun relative sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat

8
aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung, mengeluarkan darah atau cairan perikard,
sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki
hemodinamik.1 Diagnosis tamponande jantung tidak mudah.2
Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena,
penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit
didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik. Distensi vena leher tidak ditemukan
bila penderita mengalami hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana
terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut
lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda
pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat
darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat
mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat
inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan
adanya temponande jantung.2
PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai
adanya temponande jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang
tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi)
merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian pericardium, tetapi banyak
penelitan yang melaporkan angka negative yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 % (medlinux).
Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan
USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak
menghambat resusitasi. Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita
dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada
tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk
mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan.2
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan
perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak
memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan indikasi untuk melakukan tindakan
perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi
torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik
dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.2 Walaupun kecurigaan besar

9
akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan
tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara. Pada tindakan ini menggunakan
plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik seldinger merupakan cara paling baik, tetapi
dalam keadaan yang lebih gawat, tindakan prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard.
Monitoring elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari
gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.2

2.6 Penanganan Trauma Toraks


Torakosintesis Jarum
Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension pneumothorax. Jika tindakan ini
dilakukan pada penderita bukan tension pneumothorax, dapat terjadi pneumothorax dan/atau
kerusakan pada parenkim paru.
1. Identifikasi thorax penderita dan status respirasi
2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan
3. Identifikasi sela iga, di linea midklavikula di sisi tension pneumothorax
4. Asepsis dan antisepsis dada
5. Anestesi local jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan
6. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan
7. Pertahankan Luer-Lok di ujung distal kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke
kulit secara langsung tepat di atas iga ke dalam sela iga
8. Tusuk pleura parietal
9. Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum memasuki
pleura parietal, menandakan tension pneumothorax telah diatasi
10. Pindahkan jarum dang anti Luer-Lok di ujung distal kateter. Tinggalkan kateter plastic di
tempatnya dan ditutup dengan plester atau kain kecil.10
Potensi morbiditas yang berhubungan dengan torakosentesis jarum termasuk
pneumothorax (dan potensi menjadi tension pneumothorax), tamponade jantung, perdarahan
(yang dapat mengancam jiwa), loculated intrapleural hematom, atelektasis, pneumonia, emboli
udara arteri (ketika torakosentesis jarum dilakukan dan tidak ada tension pneumothorax), dan
rasa sakit kepada pasien. 10

10
B. Chest Tube
1. Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi putting (sela iga V) anterior linea midaksilaris
pada area yang terkena
2. Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kain
3. Anestesi lokal kulit dan periosteum iga
4. Insisi transversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang telah ditentukan dan diseksi
tumpul melalui jaringan subkutan, tepat di atas iga
5. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat insisi untuk
mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan, bekuan darah, dll
6. Klem ujung proksimal tube torakostomi dan dorong tube ke dalam rongga pleura sesuai
panjang yang diinginkan hingga lubang terakhir berada di rongga pleura
7. Cari adanya “fogging” pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran udara
8. Sambung ujung tube torakostomi ke WSD
9. Jahit tube di tempatnya
10. Tutup dengan kain/kasa dan plester.2

C. Tatalaksanaan Awal Kegawatdaruratan


Dalam penanganan pasien pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat penting, maka
diperlukan suatu cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang harus
diberikan sesegera mungkin dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang. Terdapat suatu
pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment (Penilaian Awal) yang meliputi :

1. Persiapan

2. Triase

3. Primary survey (ABCDE)

4. Resusitasi

5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi

11
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis

7. Tambahan terhadap secondary survey

8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

9. Penanganan definitif

Primary Survey yang meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan
Exposure/Environmental) adalah bagian awal dari penanganan suatu kegawatdaruratan. Dalam
proses ini, fungsi vital pasien gawat harus dinilai secara cepat dan segera diberikan perawatan
untuk pertolongannya.

Primary Survey

Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaan-keadaan


yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :

A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal

B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi

C : Circulation, kontrol perdarahan

D : Disability, status neurologis

E : Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju penderita, tetapi cegah hipotermia

Airway

Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya merupakan
pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi airway akan menyebabkan
kematian dalam hitungan beberapa menit. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan
dengan cepat begitu memulai penilaian awal.

Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat
dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan segera diperbaiki dengan cara

12
mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau
dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya
dapat dipertahankan dengan orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal
(nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal
mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line immobilization).
Penilaian dari status klinis pasien dan penggunaan pulse oxymeter dapat membantu
menentukan perlu atau tidaknya tindakan airway definitif. Dalam memberi tindakan
orotrakeal ataupun nasotrakeal, harus selalu diperkirakan adanya cedera pada c-spine maka
in-line mobilisation harus tetap dikerjakan saat memberikan tindakan. Ketidakmampuan
melakukan intubasi trakea merupakan indikator jelas untuk melakukan airway surgical.

Breathing

Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan
ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik sederhana
seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang
spontan, maka penggunaan bagvalve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi.

Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan metode
berikut (American College of Surgeons, 2018) :
- Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang
adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap
pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita.
- Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak
terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan tanda akan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernafasan yang cepat – takipnea
mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
- Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang
adekuat.

13
Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan, penolong harus mengetahui dan mengenal
ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul dalam masalah ventilasi pasien
gawat darurat seperti tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open
pneumothorax
Tabel 2.1. Ciri-ciri Gejala yang sering muncul pada Pemeriksaan Masalah Ventilasi
Pasien
Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
1.Tension -ICR flat Stem Hipersonor Suara
pneumothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan

-Dilatasi vena menurun menurun

jugularis
-Deviasi
trakea
2.Massive -ICR flat Stem Beda Suara
hemothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan
meningkat menurun
-Pucat
3.Open Suara Hipersonor Suara
pneumothorax fremitus pernafasan
-ICR normal
menurun menurun
-Sesak nafas
-Luka
berlubang
dinding
toraks
(sucking
chest wound)

Penanganan yang dapat dilakukan adalah :

a. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit

14
b. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR II-Linea
midclavicularis

c. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube

d. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada
tiga sisi (flutter-type voice effect)

Circulation

Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh banyak jenis
perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah masalah sirkulasi utama yang
perlu dipertimbangkan. (American College of Surgeons, 2018)

Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi tentang ini :

a. Tingkat Kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan
penurunan kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar belum tentu normovolemik).

b. Warna Kulit

Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang wajah pucat
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.

c. Nadi

Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis (kirikanan) untuk
kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang
normal bukan jaminan bahwa normovolemia.

15
Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran
besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera
mungkin.

Tabel 2.2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentase Penderita
Semula
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Sampai 750 750 - 1500 1500 - 2000 >2000
Darah
(mL)
Kehilangan Sampai 15% 15% – 30% 30% – 40% >40%
Darah (%
volume darah)
Denyut Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
(mmHg) Naik
Frekuensi 14 – 20 20 - 30 30 - 40 >35
Pernafasan
Produksi Urin >30 20 - 30 5 -15 Tidak
(mL/jam) berarti
CNS/Status Sedikit cemas Agak Cemas, Bingung,
Mental cemas bingung lesu
(lethargic
)
Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid
Cairan dan darah dan
darah

Disability

Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis yang
cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan
respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis.

16
GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi
status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder. GSC (Glasgow Coma Scale)
adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien.

1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)

Perhatikan apakah penderita : a. Membuka mata spontan

b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan

c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari tangan)

d. Tidak memberikan respon

2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah


penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi

b. Disorientasi atau bingung

c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat

d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)

e. Tidak memberikan respon

3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah


penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah

b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri

c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri

d. Fleksi abnormal (decorticated)

e. Ektensi abnormal (decerebrate)

17
f. Tidak memberikan respon

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran)

Exposure

Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering
dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan
untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu. Jakarta: EGC, 2008.
2. American College of Surgeons. Trauma Toraks. Dalam: Advanced Trauma Life Support.
Chicago: American College of Surgeons, 2018.
3. Brunicardi F.C. Schwartz’s Principles Of Surgery. Edisi ke Delapan. McGraw-Hill’s, 2004
4. Yazici U et.al. Penetrating Chest Injuries : analysis of 99 cases. Turk J Med Sci. 2018; 42
(6): 1082-1085
5. Kuhajda I et.al. Penetrating Trauma. J Thorac Dis. 2017; 6(4): 461-465.
6. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia.2009. Diakses dari:
www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-I-Umum.html.p:1
tertanggal 7 Agustus 2009
7. Trauma Thorax. Website Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia.2009. Diakses dari:
www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-II-Kelainan-
spesifik.html. tertanggal 7 Agustus 2009.
8. Sjamsuhidajat R., de Jong W. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC, 2005
9. Rachmad K.B. Penanganan Trauma Toraks. Jakarta: Subbagian Bedah Toraks Bagian Ilmu
Bedah FKUI/RSUPNCM, 2002.
10. Harrison BP, Roberts JA. Evaluating and managing pneumothorax. Emerg Med
2005;37:18-25.

19
20

Anda mungkin juga menyukai