PENDAHULUAN
1
Defek pada faktor pembekuan.
Jaringan paru mati (Pulmonary Infarction).
Kanker paru / Kanker pleural.
Pemasangan kateter vena sentral.
Operasi Thoraks atau operasi jantung.
Tuberkulosis.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1 (a) Anterior view dinding toraks. (b). Posterior view dari
dinding toraks
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding
anterior thorax. Musculus latissimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan musculus
gelang bahu lainnya membentuk lapisan musculus posterior dinding posterior thorax.
Tepi bawah musculus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika axillaris posterior.
Dada berisi organ vital yaitu paru dan jantung. Pernafasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu
3
musculus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar
sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi
motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi
putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru ± paru selama respirasi biasa /
tenang sekitar 75%.
4
2.2 Trauma Toraks
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraks yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum thoraks
yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan
keadaan gawat thoraks akut. Trauma thoraks atau cedera dada dapat menyebabkan
kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya
termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada).
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma toraks adalah 10 %, dimana
trauma toraks menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di
Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan
banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul toraks dan hanya ± 15-30
% dari trauma tembus toraks yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas
kasus trauma thoraks dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan
diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma
toraks.
Trauma toraks dapat berupa trauma tumpul dinding toraks ataupun trauma
tajam. Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks, biasanya
terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru dan hanya
sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi. Sedangkan trauma tajam toraks
terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma.
Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru, sekitar 10-30%
memerlukan operasi torakotomi.
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada
paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik
(sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai
O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat
5
jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu
terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation
Response Syndrome (SIRS), dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering
disebabkan oleh trauma toraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan
darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma,
kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh : tension
pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh
tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan
(syok).
2.3 Kelainan akibat Trauma Toraks
Kelainan yang terjadi akibat trauma toraks secara garis besar terbagi menjadi dua,
berdasarkan pada letak anatominya. Yaitu trauma dinding torak dan paru serta
jantung dan aorta yang akan dijelaskan sebagai berikut.
2.3.1 Trauma Dinding Toraks dan Paru
Pada kelainan yang terjadi pada trauma dinding toraks dan paru dapat
ditemukan kelainan sebagai berikut, antara lain :
2.3.2. Fraktur Iga
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami
trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat
terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan
ventilasi. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan
insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya
penyakit paru ± paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh
benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada
fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga
ke ± 4 sampai ke ± 9 ).
6
Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan lengkung iga
akan lebih melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik
tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan
fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan
potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti pneumothorax. Patah tulang iga
terbawah (10 sampai 12) harus dicurigai adanya cedera hepar atau lien. Pada
penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi.
Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus curiga fraktur iga. Foto Thoraks
harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan bukan untuk
mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan
kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat
bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.
2.4 Hemotoraks
Hemotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura . Sumber berasal dari
darah yang berada pada dinding dada , parenkim paru – paru , jantung atau pembuluh
darah besar . kondisi ini biasanya konsekuensi dari trauma tumpul atau tajam . Ini
juga merupakan komplikasi dari beberapa penyakit.
Mengukur frekuensi hemotoraks pada populasi umum sulit dilakukan.
Hemotoraks yang sangat sedikit dapat dikaitkan dengan fraktur iga single dan dapat
tidak terdeteksi atau tidak membutuhkan pengobatan. Karena kebanyakan
hemotoraks berkaitan dengan trauma, perkiraan kasar kejadiannya dapat diukur dari
statistic trauma. Sekitar 150.000 kematian terjadi karena trauma tiap tahunnya.
Sekitar 450.000 individu menjadi cacat permanen karena trauma, dan sebagian besar
dari grup ini adalah korban dari politrauma. Chest injury terjadi sekitar 60% dari
politrauma, karena itu perkiraan kasar dari kejadian hemothorax di Amerika Serikat
mendekati 300.000 kasus tiap tahunnya.
7
Hemotoraks dibagi berdasarkan klasifikasi sebagai berikut :
Hemotoraks Kecil : yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada
foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300 ml.
Hemotoraks Sedang : 15 – 35 % tertutup bayangan pada foto rontgen, perkusi
pekak sampai iga VI.jumlah darah sampai 800 ml
Hemotoraks Besar : lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai
cranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 ml
8
Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau
purpura Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks.
Adenomatoid malformasi kongenital kistik : malformasi ini kadang-
kadang mengalami komplikasi, seperti hemotoraks.
Penyebab dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
intercostal atau arteri mammaria internal yang disebabkan oleh cedera tajam atau
cedera tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebrata torakal juga dapat menyebabkan
hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi
operasi. Hematothorax dapat juga terjadi pada pasien yang memiliki
- Sebuah cacat pembekuan darah
- Trauma tumpul dada
- Kematian jaringan paru-paru (paru-paru infark)
- Kanker paru-paru atau pleura
- Menusuk dada ( ketika senjata seperti pisau atau memotong peluru paru-paru )
- Penempatan dari kateter vena sentral
- Operasi jantung
- Tuberkulosis
Selain itu terdapat pula hematoraks masif adalah terkumpulnya darah dengan
cepat lebih dari 1500 cc dalam rongga pleura.
Hemothoraks adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura (antara pleura
viseralisdan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada dinding dada
bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan mengaikibatkan darah
mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan penekanan pada paru.
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria
interna. Rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan
9
yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga
toraks.
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon
fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama:
hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah
dan kecepatan kehilangan darah.
10
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk
terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70-kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi dan
oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding dada.
Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan pasien mengalami dyspnea
dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang diperlukan untuk
memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah
faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan
jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk penyakit
metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk menghasilkan
respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam
penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan cara
ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar dan
gejala efusi pleura berdarah.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari
hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada
11
hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat
mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam hemothorax yang
terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan pleura viseral. Proses
adhesive ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya dan mencegah dari
berkembang sepenuhnya.
Adapun tanda dan gejala adanya hemotoraks dapat bersifat simptomatik
namun dapat juga asimptomatik. Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan
hemothoraks yang sangat minimal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan
symptom, diantaranya:
Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada
Tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin
Tachycardia
Dyspnea
Hypoxemia
Anxiety (gelisah)
Cyanosis
Anemia
Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena
Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical)
Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena
Dullness pada perkusi
Adanya krepitasi saat palpasi.
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang diperoleh dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan
penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisik
dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin didapatkan gerakan napas
tertinggal atau adanya pucat karena perdarahan kecuali hemothoraks akibat trauma.
12
Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada auskultasi
didapatkan bunyi napas menurun atau bahkan menghilang.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik, diantaranya:
Chest x-ray : adanya gambaran hipodense pada rongga pleura di sisi yang
terkena dan adanya mediastinum shift. Chest x-ray sebagi penegak
diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif dibandingkan lainnya.
13
Gambar 2.7 USG toraks pada pasien Hemotoraks
Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan
hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara
dari rongga pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik adalah
dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi darah,
dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks adalah
mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan cara:
Chest tube (Tube thoracostomy drainage) : tube thoracostomy drainage
merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks. Insersi chest
tube melalui dinding dada untuk drainase darah dan udara.
Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke
ukuran normal.
Indikasi untuk pemasangan thoraks tube antara lain:
Adanya udara pada rongga dada (pneumothorax)
Perdarahan di rongga dada (hemothorax)
Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax or
hemothorax)
abses paru atau pus di rongga dada (empyema).
Adapun langkah-langkah dalam pemasangan chest tube
thoracostomy adalah sebagai berikut:
Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
14
Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan
menggunakan alkohol atau povidin iodine pada ICS VI atau
ICS VII posterior Axillary Line
Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakn
lidokain
Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line
Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan
selanjutnya dihubungkan dengan WSD (Water Sealed
Drainage)
Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube
15
Perdarahan persisten, sebanyak 150-200cc/jam selama 2-4 jam
Diperlukan transfusi berulang untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik
Adanya sisa clot sebanyak 500cc atau lebih
16
Prognosis berdasarkan pada penyebab dari hemothoraks dan seberapa cepat
penanganan diberikan. Apabila penanganan tidak dilakukan segera maka kondisi
pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di rongga thoraks
yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum serta trakea ke sisi
yang sehat.
17
BAB 3
LAPORAN KASUS
Primary Survey
Airway : Paten.
Breathing :
18
o Look : Pergerakan dada asimetris (kanan tertinggal), RR: 28x/menit.
Sirkulasi : Nadi 98 x/menit, kuat regular, akral hangat ( Tax: 36,3o C), kering,
CRT< 2 detik, TD : 120/70 mmHg.
Disability : Kompos Mentis, GCS 15, pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya
+/+.
Event : Pasien jatuh dari sepeda motor meter. Dengan posisi jatuh bagian dada
terlebih dahulu.
2. Secondary survey :
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm), reflek
cahaya (+/+).
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), jejas (-/-),
Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
Leher :
Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), distensi vena jugularis (-).
19
Palpasi : Nyeri (-), trakea di tengah.
Thoraks :
Inspeksi : deformitas (+), , luka bakar (-), luka robek (-), memar (-).
Perkusi : Redup pada dada Dextra dan sonor pada dada sinistra.
Abdomen :
Perkusi: Timpani.
Pelvis :
Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
Femur :
Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
20
Ekstimitas : akral dingin(-/-). Edema (-/-)
Status Lokalis :
DL; Ot/PT; Ur/Cr; SE; BGA; Chest xray; cervical AP/lat; EKG.
Hasil Laboratorium :
21
PDW 10.2 [fL]
Cr : 0.76 mg/dl
Na : 137 mmol/l
SO2 : 99.6
22
3.5 Diagnosis Kerja :
Hemotoraks
3.6 Penatalaksanaan :
A:-
Observasi
23
Follow Up Pasien :
RR : 42x/menit
TD: 100/60
mmHg
N: 142x/menit
Produksi urine
250 cc/kgbb
Terpasang
chest tube (+)
WSD : ± 500 cc
Hasil Lab :
DL :
Hb : 9.6 [g/dL]
24
18/4/17 Sesak nafas Airway paten. HI GCS 15+ O2 via nasal
Hemotoraks+WSD canul 10~12
Spontan
lpm
breathing
adekuat. Cefriaxone 2x
1 gr (iv)
RR : 26x/menit
Ranitidine 2x
Sat O2 98%
50 mg (iv)
TD 110/80
Produksi
mmHg
urin+WSD.
N: 86x/menit
Cek DL.
Foto thorax
ulang
RR : 18x/menit
Inj.
25
Sat O2 98% Ceftriaxone 2x
1 gr (iv)
TD 110/80
mmHg Cek DL.
Thorax :
Simetris
Vesikuler (+/+)
, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-).
Abdomen :
Soeftl,
BU(+)N.
Hasil Lab :
Dl : HB 12
[g/dl]
26
CLEAR. WSD tpm
RR : 18x/menit Inj.
Ceftriaxone 2x
Sat O2 98%
1 gr (iv)
TD 120/70
Aff. WSD
mmHg
N: 98x/menit
Terpasang
chest tube (+)
WSD : ± 40cc
Vesikuler (+/+)
, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-).
27
breathing 2x50 mg (iv)
RR : 18x/menit Inj.
Ceftriaxone 2x
Sat O2 98%
1 gr (iv)
TD 120/70
Off wsd
mmHg
N: 98x/menit
Terpasang
chest tube (+)
WSD : ± 40cc
Vesikuler (+/+)
, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-).
28
BAB 4
PEMBAHASAN
Seorang pasien laki laki berusia 37 tahun dengan diagnose hemothorax. Diagnose
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Berdasarkan
patofiso terjadinya hempthorax dapat terjadi kerana trauma tumpul dan trauma tajam
pada dada. Pada pasien ini,terjadi hemotorak pada pasien ini adalah trauma tumpul
dada yang terjadi akibat jatuh dari ketinggian ± 5 meter dengan posisi dada terlebih
dahulu .
Gejala subjektif pada kasus hemothorax meliputi nyeri dada dan gejala objektif yang
meliputi gerakan serta pengembangan rongga dada yang tidak simetris, penurunan
suara nafas atau menghilang pada sisi trauma, dullness saat perkusi, krepitasi saat
dilakukan palpasi, sianosis, anemia, hipoksemia, tanda tanda syok seperti hipotensi,
nadi cepat dan akral dingin. Diagnosis hemotoraks ditegakkan berdasarkan pada
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan
nyeri dada yang memberat dengan menarik nafas disertai dengan sesak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada dada kanan, krepitasi, perkusi redup,
pergerakan dinding dada yang tertinggal, auskultasi didapatkan suara nafas yang
menjauh pada dinding dada sebelah kanan.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
hemothorax antara lain foto thorax yang didapatkan gambaran radioopaque, air fluid
level pada rongga pleura sisi yang terkena dan adanya mediastinum shift. Dari
pemeriksaan penunjang chest xray diperoleh gambaran radioopaque pada paru dextra,
air fluid level serta mediatinum shift.
Pemeriksaan darah lengkap pada pasien hemothorax menunjukkan kadar HB yang
turun akibat hilangnya jumlah darah pada kondisi hemothorax. Pemeriksaan darah
lengkap pada pasien ini didapartkan kadar HB 6.2 [g/dL].
29
Prinsip penataklaksanaan hemothoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien,
menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah dari rongga pleura.
Apabila pasien stabil dapat dilakukan pengeluaran cairan (darah) dari rongga pleura.
Pasien ini dilakukan pemasangan chest tube yang dihubungkan dengan WSD dan
didapatkan cairan (darah) dengan jumlah 600cc. Selain dapat mengetahui jenis cairan
yang terdapat pada lapangan paru tersebut, WSD juga dapat mengurangi gejala klinis
yang dialami pasien.
30
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
31
DAFTAR PUSTAKA
4. Bruce J.Simon. The Journal of Trauma_ Injury, Infection, and Critical CareJ
Trauma. 2005;59:1256–1267. Available from:
http://www.jtrauma.com/pt/re/jtrauma/pdfhandler.
7. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC :
Jakarta.
32
9. Hooker DR. Physiological effects of air concussion. Am J Physiol
1924;67(2):219 – 74.
12. Kleinman PK, Schlesinger AE. Mechanical factors associated with posterior
rib fractures: laboratory and case studies. Pediatr Radiol 1997;27:87– 91.
18. S. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary
contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
19. Setiawan, I., Tengadi K.A, Santoso, A. 1997. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 9. EGC. Jakarta.
20. Sjamsuhidajat, Jong W D. (2005). Buku Ajar ilmu bedah, Edisi 2, penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta.
33
21. Stanford Trauma Service Housestaff Manual Available from :
http://scalpel.stanford.edu/ICU/Stanford%20Trauma%20Service
%20rev%204-05.pdf
22. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995
24. Soepardi E A, Iskandar N. (2006). Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher. Bab VII, hal 132-156. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta
26. Viano D, Lau I, Asbury C. Biomechanics of the human chest, abdomen and
pelvis in lateral impact. Accid Anal Prev 1989;21:553– 74.
27. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary
contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
28. Wightman JM, Gladish SL. Explosions and blast injuries. Ann Emerg Med
2001;37:664– 78.
34