Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma toraks tumpul dapat menyebabkan berbagai penyakit serius. Salah


satunya adalah kontusi pulmonum, di mana kondisi ini dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan, jika tidak dikenali secara dini dan
dikelola dengan tepat. Pada kontusio paru, kelainan klinis dan radiografis dapat
muncul secara tertunda. Pengenalan awal terhadap faktor risiko, gejala, dan tanda,
juga pengobatan agresif dapat mengurangi kerugian bagi pasien. Terdapat
beberapa perdebatan mengenai cara terbaik untuk mengelola paru-paru yang
bergantung pada ventilator dan pilihan disposisi untuk pasien yang kontusiasinya
hanya dapat dilihat pada tomografi komputer (computed tomography (CT))
(Mooloney, 2008).

Kontusio paru adalah kerusakan pada parenkim paru yang menyebabkan


edema dan akumulasi darah di ruang alveolar serta hilangnya struktur dan fungsi
paru normal. Kontusio paru biasanya disebabkan oleh trauma tumpul, namun juga
dapat diakibatkan oleh ledakan atau gelombang kejut yang berhubungan dengan
trauma tembus. Kekuatan dari trauma toraks tumpul dapat mengenai parenkim
paru. Kejadian ini menyebabkan kontusi paru, ditandai dengan perkembangan
infiltrat paru dengan perdarahan dalam jaringan paru-paru (Deunk, 2010).

Kontusio paru terjadi pada sekitar 20% dari pasien trauma tumpul dengan
Skor Keparahan Cidera lebih dari 15 serta merupakan cidera dada yang paling
umum pada anak-anak. Mortalitas dilaporkan dari 10% sampai 25%, di mana
pada pasien hidup 40-60% akan memerlukan ventilasi mekanis. Komplikasi luka
memar paru acute respiratory distress syndrome (ARDS), seperti yang
disebutkan, dan kegagalan pernafasan, atelektasis dan pneumonia (Deunk, 2010).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. ANATOMI
Paru-paru adalah salah satu organ dalam sistem pernapasan yang
berada di dalam kantong yang di bentuk oleh pleura parietalis dan viseralis.
Kedua paru sangat lunak, elastis dan berada dalam rongga torak, sifatnya
ringan dan terapung di air. Masing-masing paru memiliki apeks yang
tumpul yang menjorok ke atas mencapai bagian atas iga pertama
(Sherwood, 2012).
Pada paru-paru kiri terdapat satu fisura yaitu fisura obliges. Fisura
ini membagi paru-paru kiri atas menjadi dua lobus, yaitu :
 Lobus superior, bagian yang terletak di atas dan di depan fisura.
 Lobus inferior, bagian paru-paru yang terletak di belakang dan di bawah
fisura.
Pada paru-paru kanan terdapat dua fisura, yaitu : fisura oblique
(interlobularis primer) dan fisura transversal (interlobularis sekunder).
Kedua fisura ini membagi paru-paru kanan menjadi tiga lobus, lobius atas,
lobus tengah dan lobus bawah (Sherwood, 2012).
a. Dinding dada
Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk
dinding dada adalah tulang iga, columna vertebralis, thorakalis, sternum,
tulang clavicula dan scapula. Jaringan lunak yang membentuk dinding dada
adalah otot dan pembuluh darah (pembuluh darah interkostalis dan
thorakalis interna).
b. Dasar thorak
Dibentuk oleh otot diafragma dan dipersyarafi nervus frenikus.
Diafragma mempunyai lubang untuk jalan aorta, vena cava superior dan
esophagus.

2
c. Isi rongga thorak
Rongga pleura kanan dan kiri berisi paru – paru. Rongga ini
dibatasi oleh pleura visceralis dan parietalis. Rongga mediastinum dan
isinya terletak ditengah dada.

Gambar 1. Anatomi sistem respiratori

2. FISIOLOGI
a. Fisiologi pernafasan
Udara mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah
dengan tekanan rendah. Terdapat tiga tekanan yang berperan dalam
ventilaasi, yaitu:
1) Tekanan atmosfer, yaitu tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer pada benda dipermukaan bumi.
2) Tekanan intra alveolus (tekanan intra paru) adalah tekanan di dalam
alveolus.
3) Tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantong pleura (biasanya
disebut tekanan intra thorak), merupakan tekanan yang ditimbulkan
diluar paru di dalam rongga thorak.

3
Paru dalam keadaan  normal meregang untuk mengisi rongga
thorak yang lebih besar. Aliran udara masuk dan keluar paru terjadi karena
adanya perubahan siklik tekanan intra alveolar. Tekanan intra alveolar
dapat diubah dengan mengubah volume paru sesuai hukum Boyle (yang
menyatakan: “tekanan yang ditimbulkan oleh suatu gas berbanding
terbalik dengan volume gas”), resistensi saluran nafas mempengaruhi
kecepatan aliran (Sherwood, 2012).
Respirasi diawali dengan kontraksi otot respirasi utama yakni
diafragma dan otot interkosta eksternal, sedangkan permulaan ekspirasi
adalah relaksasi otot inspirasi (Sherwood, 2012)

B. DEFINISI
Kontusio paru adalah kerusakan jaringan paru yang menyebabkan
perdarahhan dan edema setempat (Smeltzer, 2002), sedangkan menurut Asih
(2003) diartikan sebagai memarnya parenkim paru yang sering disebabkan
oleh trauma tumpul. Kelainan ini dapat tidak terdiagnosa saat pemeriksaan
rontgen dada pertama, namun dalam keadaan fraktur scapula, fraktur rusuk
atau flail chest harus waspada kemungkinan adanya kontusio paru.
Kontusio paru adalah kerusakan pada parenkim paru yang
menyebabkan edema dan akumulasi darah di ruang alveolar dan hilangnya
struktur dan fungsi paru normal. Kontusio paru biasanya disebabkan oleh
trauma tumpul tetapi juga bisa diakibatkan oleh ledakan atau gelombang kejut
yang berhubungan dengan trauma tembus. Kekuatan yang terkait dengan
trauma toraks tumpul dapat mengenai parenkim paru. Hal ini menyebabkan
kontusi paru, ditandai dengan perkembangan infiltrat paru dan perdarahan ke
dalam jaringan paru-paru (Deunk, 2010).

C. EPIDEMIOLOGI
Kontusio paru terjadi pada sekitar 20% dari pasien trauma tumpul
dengan Skor Keparahan Cedera lebih dari 15 dan itu adalah cedera dada yang
paling umum pada anak-anak. Kematian dilaporkan kurang lebih 10-25%,
dan 40-60% dari pasien memerlukan ventilasi mekanis. Komplikasi kontusio

4
paru yaitu luka memar paru ARDS, seperti yang disebutkan, dan kegagalan
pernafasan, atelektasis dan pneumonia (Deunk, 2010).
Memar paru ditemukan pada 30-75% kasus pada cedera dada yang
parah. Dari orang yang memiliki beberapa cedera dengan skor keparahan
cedera lebih dari 15. Paru memar terjadi pada sekitar 17% (Chon, 2010).
Tingkat kematian akibat memar paru diperkirakan berkisar dari
14–40%, tergantung pada tingkat keparahan luka memar itu sendiri dan pada
cedera yang berhubungan. Memar kecil biasanya tidak meningkatkan
kemungkinan kematian maupun hasil yang buruk untuk orang-orang dengan
trauma tumpul dada. Pada satu studi menemukan bahwa tingkat mortalitas
35% pada orang memar paru dengan luka yang multiple. Dalam studi lain,.
11% orang dengan memar paru saja meninggal, sedangkan jumlah naik
menjadi 22% pada mereka dengan cedera tambahan (Chon, 2010).
Hal ini sulit untuk menentukan tingkat kematian (mortalitas)
karena memar paru jarang terjadi dengan sendirinya. Biasanya, kematian
orang dengan hasil memar paru dari cedera lainnya seperti cedera otak
traumatis umum.

D. ETIOLOGI
Penyebab utama terjadinya kontusio paru adalah trauma tumpul
pada dada. (Smeltzer, 2002). Penyebab lain:
 Kecelakaan lalu lintas
 Cedera ledakan atau gelombang kejut yang terkait dengan trauma penetrasi.
 Flail chest
 Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan
edema parenkim.

E. PATOFISIOLOGI
Kontusio paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke
dalam jaringan paru-paru, yang dapat menyebabkan paru menjadi kaku dan
kehilangan elastisitas normal. Kandungan air dari paru-paru meningkat
selama 72 jam pertama setelah cedera, pada kasus yang lebih serius

5
berpotensi menyebabkan edema paru. Sebagai hasil dari ini dan proses
patologis lainnya, memar paru berkembang dari waktu ke waktu dan dapat
menyebabkan hipoksia (Moloney, 2008).
Perdarahan dan edema; robeknya parenkim paru menyebabkan
cairan kapiler bocor ke dalam jaringan di sekitarnya. Kerusakan membran
kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil menyebabkan darah dan cairan
bocor ke dalam alveoli dan ruang interstisial (ruang sekitar sel) dari paru-
paru. Memar paru ditandai oleh microhemorrhages (pendarahan kecil) yang
terjadi ketika alveoli yang traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas
dan pembuluh darah. Darah awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan
kemudian edema terjadi oleh satu atau dua jam setelah cedera. Sebuah area
perdarahan di paru-paru yang mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh
daerah edema. Dalam pertukaran gas yang normal, karbon dioksida berdifusi
melintasi endotelium dari kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel
alveolar, oksigen berdifusi ke arah lain. Akumulasi cairan mengganggu
pertukaran gas, dan dapat menyebabkan alveoli terisi dengan protein dan
robek karena edema dan perdarahan. Semakin besar daerah cedera, kompromi
pernafasan lebih parah, menyebabkan konsolidasi (Moloney, 2008).

Gambar 2. Kontusio Paru

6
Memar paru dapat menyebabkan bagian paru-paru mengalami
konsolidasi, kolaps alveoli, dan atelektasis (kolaps paru parsial atau total).
Konsolidasi terjadi ketika bagian dari paru-paru yang biasanya diisi dengan
udara digantikan dengan bahan dari kondisi patologis, seperti darah. Selama
periode jam pertama setelah cedera, alveoli menebal di daerah luka dan dapat
menjadi konsolidasi. Sebuah penurunan jumlah surfaktan yang dihasilkan
juga berkontribusi pada rusaknya dan konsolidasi alveoli, inaktivasi surfaktan
meningkatkan tegangan permukaan paru (Chon, 2010).
Radang paru-paru, yang dapat terjadi ketika komponen darah
memasuki jaringan karena memar, juga bisa menyebabkan bagian dari paru-
paru rusak. Makrofag, neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen
darah bisa memasuki jaringan paru-paru dan melepaskan faktor-faktor yang
menyebabkan peradangan, meningkatkan kemungkinan kegagalan
pernapasan. Sebagai tanggapan terhadap peradangan, kelebihan lendir
diproduksi, berpotensi masuk ke bagian paru-paru dan menyebabkan
rusaknya paru-paru. Bahkan ketika hanya satu sisi dada yang terluka, radang
juga dapat mempengaruhi paru-paru lainnya. Akibatnya jaringan paru-paru
dapat menjadi edema, penebalan septa dari alveoli, dan perubahan lainnya.
Jika peradangan ini cukup parah, dapat menyebabkan disfungsi paru-paru
seperti yang terlihat pada sindrom distres pernapasan akut (Moloney, 2008).
Ventilasi/perfusi mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi
perfusi adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli
(ventilasi) adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi. Rasio
ini menurun pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat terisi dengan
udara, oksigen tidak sepenuhnya berikatan dengan hemoglobin, dan darah
meninggalkan paru-paru tanpa sepenuhnya mengandung oksigen. Kurangnya
inflasi paru-paru karena ventilasi mekanis tidak memadai atau yang terkait,
cedera seperti flail chest, juga dapat berkontribusi untuk kegagalan
ventilasi/perfusi. Akibat ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi, saturasi
oksigen darah berkurang. Vasokonstriksi pada hipoksik paru, di mana
pembuluh darah di dekat alveoli yang hipoksia mengerut (diameter
menyempit) sebagai respons terhadap kadar oksigen rendah, dapat terjadi

7
pada kontusio paru. Resistensi vaskular meningkat di bagian paru-paru yang
memar, yang mengarah pada penurunan jumlah darah yang mengalir ke
dalamnya, mengarahkan darah ke daerah yang lebih baik untuk berventilasi.
Jika sudah cukup parah, hipoksemia yang dihasilkan dari cairan dalam alveoli
tidak dapat dikoreksi hanya dengan memberikan oksigen tambahan, masalah
ini adalah penyebab sebagian besar kematian yang diakibatkan trauma (Chon,
2010).

F. KLASIFIKASI
Tipe kontusio pulmo menurut Wagner, 1998
Tipe 1 Due to direct chest wall compression against the lung
parenchyma; this accounts for the majority of cases.

Tipe 2 Due to shearing of lung tissue across the vertebral bodies


Tipe 3 Localized lesions due to fractured ribs, which directly injure the
underlying lung
Tipe 4 Due to underlying pleuropulmonary adhesions from prior lung
injury tearing the parenchyma

Derajat kontusio pulmo menurut Wagner, 1998:


Ringan
• < 18% dari volume paru terpengaruh
• Tidak dibutuhkan intubasi
Sedang
• 18-28% volume paru terpengaruh
• Intubasi diperlukan bergantung pada kondisi pasien
Berat
• > 28% volume paru terpengaruh
• Membutuhkan intubasi

G. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan derajat penyakit (Brunner dan Suddart, 2001):

8
 Ringan  nyeri saja.
 Sedang  sesak napas, mukus dan darah dalam percabangan bronchial,
batuk tetapi tidak mengeluarkan sekret.
 Berat  sesak napas hebat, takipnea, takhikardi, sianosis, agitasi, batuk
produktif dan kontinu, sekret berbusa, berdarah dan mukoid.
Tanda dan gejala klinis yang tampak termasuk dispnea, rales, hemoptisis,
dan takipnea. Kontusio hebat dapat juga mengakibatkan peningkatan puncak
tekanan jalan napas, hipoksemia, respiratori asidosis. Kontusio paru dapat
menyerupai ARDS, dimana keduanya berespon buruk terhadap fraksi oksigen
inspirasi yang tinggi (FiO2) (Raghavendran, 2009).
 Takikardi
 Dyspnoe
 Bronchoorhea/ Sekresi bercampur darah
 Takipnea
 Hipoksia
 Perubahan Kesadaran
 Membutuhkan waktu untuk berkembang, dan sebanyak setengah dari
kasus tidak menunjukkan gejala pada presentasi awal
 Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma.
 Pada kasus berat, gejala dapat terjadi secepat tiga atau empat jam
setelah trauma
 Hipoksemia
 Sianosis

H. PEMERIKSAAN
1. Laboratorium
Analisa Gas Darah (AGD): menilai kadar oksigen dan karbon dioksida
dalam darah arteri. Namun kadar gas mungkin tidak menunjukkan kelainan
pada awal perjalanan luka memar paru.

2. RO thorak

9
Gambar 3. Gambaran memar paru
Menunjukkan memar paru yang berhubungan dengan patah tulang
rusuk dan emfisema subkutan. Ro thoraks menunjukkan gambaran 
Infiltrat, tanda infiltrat kadang tidak muncul dalam 12-24 jam.

Gambar 4. Gambaran kontusio paru

X-ray dada adalah pemeriksaan lini pertama yang didapat pada trauma
thoraks tumpul untuk menilai cedera paru atau toraks. Karena rontgen
dada anterior-posterior supine awal biasanya didapat dalam evaluasi
trauma untuk segera mengenali cedera seperti pneumotoraks, hemothorax,
cedera aorta, atau kontraksi paru, banyak dari luka-luka ini akan
diidentifikasi sejak awal pemeriksaan. Dalam kasus kontusio paru,
cenderung muncul pada film polos awal jika sudah parah dan
menunjukkan gejala. Beberapa laporan menunjukkan bahwa kontusi paru
yang tidak dapat dilihat pada rontgen dada awal pada pasien yang
memiliki gejala minimal memiliki sedikit signifikansi klinis, dan bahwa
kontusi yang hanya terlihat pada CT di dada cenderung menyebabkan
morbiditas yang signifikan (Brunner, 2011).

10
Ukuran kontusio paru yang ditemukan pada rontgen dada secara
langsung berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala klinis dan prognosis
keseluruhan. Sinar X dada dapat menyesatkan, hilang sampai 58% dari
kontraksi paru pada radiografi awal. Pasien yang memiliki gejala takipnea,
hipoksia, dan distres pernapasan yang persisten atau memburuk mungkin
memiliki rontgen dada normal pada jam-jam awal setelah cedera, namun
film selanjutnya dapat menunjukkan adanya cedera interstisial yang
berkembang dengan Penyakit paru-paru. Ini menggarisbawahi perlunya
pemeriksaan berulang dan pencitraan lebih lanjut jika gejala terus
berlanjut. Tinjauan bagan prospektif oleh Tyburski dkk menunjukkan
bahwa sampai 25% pasien yang awalnya didiagnosis dengan kontusi paru
di departemen emergensi mengalami perburukan klinis dan radiografi
selama 24 jam. Temuan pada rontgen dada menunjukkan adanya kontusi
paru termasuk opasitas fokal atau diffuse homogenous pada beberapa
segmen paru dan lobus, terutama bila kekeruhan berada di luar batas
normal anatomis. Rontgen dada adalah pilihan pencitraan awal pada
pasien trauma toraks tumpul, namun jika temuan sinar X awal bersifat
negatif atau gejala pernafasan tetap ada, sinar X yang berulang dapat
menunjukkan adanya luka yang terus berlanjut. Dalam kasus tertentu,
radiografi lebih lanjut mungkin tidak diperoleh sampai 24 jam setelah
pencitraan awal. Sebuah tinjauan retrospektif oleh Pape menunjukkan
bahwa hanya 47% dari kontusio paru terlihat pada rontgen dada awal,
sementara 92% terbukti 24 jam setelah cedera. Kontusio paru mungkin
memerlukan waktu untuk terwujud pada radiograf, dan paling tidak,
Rontgen dada berulang harus diperoleh dalam 12-24 jam untuk pasien
stabil dengan gejala ringan sampai sedang. Jika gejala respiratori
memburuk, tomografi dada yang dihitung adalah pilihan terbaik untuk
pencitraan lebih lanjut untuk visualisasi paru-paru yang terluka dan harus
dipertimbangkan sebagai modal pencitraan berikutnya yang dikerjakan
setelah rontgen dada saat menilai adanya kontusio paru (Brunner, 2011).

11
3. CT Scan
Pemeriksaan CT scan akan menunjukkkan gambaran kontusio
lebih awal. Computed tomography dapat menggambarkan cedera paru-
paru dan kontusio yang tidak terlihat pada rontgen dada awal. Karena CT
mudah didapat, sangat akurat, dan mudah didapat di fasilitas gawat
darurat, hal ini dianggap sebagai gold standar untuk diagnosis kontusio
paru. Namun, pada pasien dengan kontusio paru ringan yang didiagnosis
dengan sinar X dada dan sedikit gejala klinis, CT mungkin tidak
diperlukan. Tinjauan retrospektif tiga tahun dari database trauma pediatrik
menunjukkan bahwa dari 46 pasien dengan kontusio paru yang
memerlukan rawat inap, hanya 31 yang positif mengalami kontusio pada
rontgen dada awal. Berdasarkan penelitian, tidak ada pasien yang memiliki
rontgen dada yang positif untuk kontusi paru dengan CT scan negatif
(Brunner, 2011).

Gambar 5. Gambaran kontusio paru pada CT scan potongan thorax

Penelitian lain menunjukkan bahwa kontusio paru okultisme yang


ditemukan hanya pada CT scan masih dapat memiliki morbiditas dan
mortalitas yang serius. Sebuah studi prospektif oleh Exadatyklos dkk juga
menunjukkan bahwa pada trauma toraks tumpul, 50% pasien dengan sinar-
X dada normal awal secara klinis. Luka intra thoraks yang signifikan
dicatat pada CT. Meskipun evaluasi awal oleh rontgen dada pada pasien
trauma akut diperlukan, CT dapat membiarkan dokter untuk mengatasi
kontroversi paru di awal perjalanan penyakit daripada Rontgen dada dan

12
lebih akurat dalam menentukan tingkat cedera dengan mengukur volume
paru-paru yang terluka. Rontgen dada awal telah ditemukan hanya sensitif
82% dan 57% spesifik bila dibandingkan dengan CT dada. Beberapa
penelitian menemukan bahwa CT dapat mendeteksi luka toraks tumpul
lainnya seperti patah tulang rusuk, hemothoraces, pneumotoraks, dan luka
aorta yang mungkin terjadi pada klinis. Sebuah tinjauan bagan retrospektif
oleh Deunk dan rekan mengevaluasi pasien yang didiagnosis dengan
kontusi paru oleh CT saja dibandingkan dengan pasien yang mengalami
kontusi paru di kedua dada dengan X-ray dan CT di dada.
Nilai utama CT terletak pada kemampuannya untuk mengukur
jumlah luka paru-paru, karena ini dapat membantu memprediksi
keseluruhan program di rumah sakit. CT akan membantu dalam
mendiagnosis penyakit ini. Sebelumnya dalam perjalanan bila
dibandingkan dengan rontgen dada, dan CT dapat memperbaiki visualisasi
cedera intraororik serius lainnya. Namun, masih ada perdebatan mengenai
signifikansi klinis dari penyakit paru lain yang ditemukan di CT tanpa
cedera serius atau gejala klinis lainnya (Brunner, 2011).

4. USG
Karena ultrasound telah menjadi modalitas pencitraan yang lebih
umum, ultrasound paru telah bermanfaat di tempat tidur imaging dari
berbagai cedera paru-paru seperti pneumotoraks, edema paru, dan
pneumonia. Telah disarankan oleh beberapa penelitian dan laporan kasus
bahwa ultra-suara mungkin merupakan tambahan yang berguna untuk
mendiagnosis kontusi paru, dengan sensitivitas 94,6% dan spesifisitas
96,1%.
Soldati and Ball keduanya menunjukkan bahwa ultrasound dapat
mengungkapkan sindrom interstisial alveolar dalam trauma yang
menandakan dari kontusio paru. Sebuah laporan kasus baru-baru ini oleh
Stone yang dideskripsikan dengan menggunakan ultrasound untuk
mendiagnosis kontroversi paru dengan memvisualisasikan adanya sliding
paru (untuk membuktikan pneumotoraks tidak ada) dan adanya garis A

13
dan B-garis pada ultrasound yang menandakan alveolar- pola interstisial.
Sementara ultrasound mungkin tidak memberikan bukti pasti kontusi paru.
Pemeriksaan ini adalah tambahan yang berguna untuk membantu
diagnosis saat sinar X dada dihentikan, CT scan tidak tersedia, atau pasien
terlalu tidak stabil untuk dibawa ke ruang radiologi (Brunner, 2011).

Gambar 6. Modalitas pencitraan dengan USG

I. PENATALAKSANAAN
A = Airway
- Usaha untuk membebaskan A harus melindungi vertebra servikal
- Dapat dengan chin lift atau jaw thrust
- Dapat pula dengan naso-pharyngeal airway atau oro-pharyngeal airway
- Selama memeriksa dan memperbaiki A tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi leher
- Pertimbangkan bantuan A definitif (krikotiroidotomy, ETT,dll) kalau ragu
berhasil
B = Breathing
- Kontrol airway pada penderita yang terganggu karena faktor mekanik,
gangguan ventilasi, atau ada gangguan kesadaran bisa dengan intubasi
ETT (oral/nasal) jika ETT tidak bisa (karena KI atau masalah teknis), bisa
surgical A / krikotiroidotomy
- Setiap penderita trauma, beri O2 jika tidak intubasi, bisa pakai sungkup
C = Circulation

14
- Jika ada perdarahan arteri luar, harus segera dihentikan, bisa dengan balut
tekan atau dengan spalk udara. Jangan pakai Torniquet, karena dapat
merusak jaringan dan menyababkan iskemia distal, sehingga torniquet
hanya dipakai jika ada amputasi traumatic
- Jika ada gangguan sirkulasi pasang iv line (sekalian ambil sampel darah
untuk diperiksa lab rutin).
- Infus RL / kristaloid lain 2-3 L. Jika tidak respon beri transfusi dari gol
darah yang sesuai. Kalau tidak ada beri gol darah O Rh – / gol O Rh + titer
rendah yang dihangatkan dulu untuk mencegah hipotermia
- Jangan beri vasopresor, steroid, bicarbonat natricus
D = Disability
- Tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda–tanda lateralisasi,
tingkat/level cidera spinal
- Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan GCS atau APVU
- Penurunan kesadaran dapat disebabkan :
1. ↓ oksigenasi (hipoksia) atau hipoperfusi (hipovolemi) ke otak
2. Trauma langsung pada otak / trauma kapitis
3. Obat-obatan, alkohol
E = Exposure
- Pemeriksaan Head to toe
- Periksa kemungkinan-kemungkinan trauma lain
- Jaga suhu tubuh pasien/cegah hipotermia (selimuti pasien)

Tujuan penatalaksanaan :
- Mempertahankan oksigenasi
- Mencegah/mengurangi edema

Tindakan :
- Bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control,
diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)

15
- Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang ventilasi
mekanik dengan continuous positive end-expiratory pressure (PEEP)
(Kwon, 2006).

a. Penatalaksanaan pada kontusio paru ringan :


1. Nebulizer
2. Postural drainage
3. Fisiotheraphy.
4. Pengisapan endotrakheal steril
5. Antimicrobial
6. Oksigenasi.
7. Pembatasan cairan.

b. Penatalaksanaan pada kontusio paru sedang :


1. Intubasi dan ventilator.
2. Diuretik.
3. NGT.
4. Kultur sekresi trakeobronchial.

c. Penatalaksanaan pada kontusio paru berat :


1. Intubasi ET dan ventilator.
2. Diuretic.
3. Pembatasan cairan.
4. Antimicrobial profilaktik.
5. Larutan koloid dan kristaloid.

J. KOMPLIKASI
Memar paru dapat mengakibatkan kegagalan pernafasan, sekitar
setengah dari kasus terjadi dalam beberapa jam dari trauma awal. Komplikasi
lainnya, termasuk infeksi akut dan sindrom gangguan pernapasan (ARDS).
Sekitar 50% pasien dengan ARDS memar paru, dan 80% pasien dengan

16
kontusio paru melibatkan lebih dari 20% dari volume paru-paru (Moloney,
2008).
Komplikasi terjadi pada 55% orang dengan jantung atau penyakit
paru-paru dan 13% dari mereka tanpa penyakit tertentu dengan memar paru
saja, 17% mengembangkan ARDS, sementara 78% orang dengan setidaknya
dua cedera tambahan mengembangkan kondisi. Pneumonia, komplikasi lain
potensial, berkembang pada sebanyak 20% dari orang dengan memar paru
(Moloney, 2008).
Infeksi paru-paru menurunkan kemampuan paru-paru untuk
membersihkan sekresi dan bakteri, sehingga meningkatkan risiko pneumonia.
Sampai 50% pasien dengan kontusi paru akan mengembangkan infeksi
saluran pernapasan bakteri. Sementara itu intubasi dini pada kontraksi paru
telah menurunkan tingkat kematian dini, pasien yang memerlukan intubasi
memiliki peningkatan risiko pneumonia terkait ventilator. Salah satu
penyebab utama kematian di akhir perjalanan kontusi paru adalah sepsis,
yang mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, terutama ventilasi mekanis
dan infeksi nosokomial (Brunneer, 2011).

17
BAB III
KESIMPULAN

Kontusio paru adalah kerusakan pada parenkim paru yang menyebabkan


edema dan akumulasi darah di ruang alveolar dan hilangnya struktur dan fungsi
paru normal. Kontusio paru biasanya disebabkan oleh trauma tumpul tetapi juga
bisa diakibatkan oleh ledakan atau gelombang kejut yang berhubungan dengan
trauma tembus. Kekuatan yang terkait dengan trauma toraks tumpul dapat
mengenai ke parenkim paru. Hal ini menyebabkan kontusi paru, ditandai dengan
perkembangan infiltrat paru dengan perdarahan ke dalam jaringan paru-paru.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang seperti rontgen
thorax, CT scan, USG. Penatalaksanaan pada pasien perlu dilakukan segera untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang terjadi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Yasmin. 2003. Medikal Bedah Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Brunner DI, Pritchard A, Hubert A. 2011. Pulmonary Contusion. AHC Med 12;6
Cohn SM, DuBose JJ. 2010. Pulmonary con- tusion: An update on recent
advances in clinical management. World J Surg 34:1959-1970
Deunk J, Poels TC, Brink M, et al. 2010. The clinical outcome of occult
pulmo- nary contusion on multidetector-row computed tomography in
blunt trauma patSients. J Trauma 68(2):387-394.
https://emedicine.medscape.com/article/905863-overview#a5 [Diakses Maret
2018]
https://www.radiologymasterclass.co.uk/gallery/chest/pulmonary-
disease/lung_contusion#top_2nd_img [Diakses Maret 2018]
http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTcontusion.html [Diakses Maret
2018]
Kwon A, Sorrels DL, Kurkchubasche AG, et al. 2006. Isolated computed
tomography diagnosis of pulmonary contusion does not correlate with
increased morbidity. J Pediatr Surgery 41:78-82.
Moloney JT, Fowler SJ, Chang W. 2008. Anesthetic management of thoracic
trauma. Curr Opin Anesthesiology 21:41-46.
Raghavendran K, Notter R, Davidson BA, et al. 2009. Lung contusion:
Inflammatory mechanisms and interaction with other injuries. Shock
32(2):122-130.
Smeltzer, Suzzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8.
Jakarta: EGC
Wagner RB, Crawford WO, Schimpf PP. 1988. Classification of parenchymal
injuries of the lung. Radiology 167:77-82.

19

Anda mungkin juga menyukai