Anda di halaman 1dari 21

REFERAT Oktober 2021

PITIRISIA ROSEA

Disusun Oleh:

Saharudin
N 111 21 011

PEMBIMBING KLINIK
dr. Seniwati Ismail, Sp. KK., FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Saharudin
No. Stambuk : N 111 21 011
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Referat : Pitiriasis Rosea
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Oktober 2021

Pembimbing Klinik Mahasiswa

dr. Seniwaty Ismail, Sp. KK., FINSDV Saharudin


N111 21 011
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pityriasis rosea adalah penyakit kulit inflamasi akut yang terjadi di
seluruh dunia, lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya,
terdapat ruam berukuran kecil yang berkembang di seluruh batang tubuh,
yang berlangsung selama 8 minggu dengan pruritus sedang sampai berat. 1
Istilah pitiriasis rosea Pitiriasis Rosea pertama kali digunakan oleh Gibert
pada tahun 1860 yang berarti sisik merah muda (mawar). Pitiriasis Rosea
adalah erupsi kulit akut, biasanya dimulai dengan plak bersisik oval tipis
tunggal pada batang tubuh (“herald patch”) dan biasanya tanpa gejala.
Awalnya timbul lesi setelah beberapa hari kemudian muncul banyak lesi
yang lebih kecil yang terletak di sepanjang garis belahan batangnya biasa
disebut pola pohon Natal. Pitiriasis Rosea paling umumnya terjadi pada
remaja, dewasa usia muda. Kemungkinan besar ruam (eksantema) disebabkan
oleh virus yang terkait dengan reaktivasi human herpes virus 7 (HHV-7) dan
kadang-kadang HHV-6, 2–5 virus yang bertanggung jawab atas rubeola.2
Pityriasis rosea, ditandai dengan erupsi awal plak (mother patch), yang
diikuti oleh erupsi oval bersisik umum biasanya di batang tubuh dan
ekstremitas proksimal di sepanjang garis Langer, memberikan karakteristik
"tampilan pohon Natal". Sekitar 20% pasien. Pitiriasis Rosea adalah
presentasi klinis yang termasuk morfologi ruam atipikal, ukuran lesi, jumlah
lesi, distribusi ruam, keterlibatan mukosa, simetri ruam, durasi penyakit, dan
keparahan gejala. Pitiriasis Rosea lebih rentan terjadi pada anak-anak
daripada orang dewasa.3
Penyakit ini biasanya dimulai dengan satu plaeritematosa diikuti oleh
erupsi sekunder dengan durasi dapat bervariasi dari 2 minggu sampai
beberapa bulan. di samping itu tanda khas dari Pitiriasis Rosea. Klasifikasi
Pitiriasis Rosea didasarkan pada morfologi daripada pada mekanisme
patogenetik yang mendasari presentasi penyakit yang berbeda sehingga dapat
membantu dalam mengidentifikasi bentuk Pitiriasis Rosea untuk menghindari
kesalahan diagnosis dan menetapkan tatalaksana.4

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan refarat ini untuk menguraikan mengenai Pitiriasis
Rosea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pitiriasis rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, dan tungkai atas yang
tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu
3-8 minggu.5
Pityriasis rosea dimulai dengan plak erimatosa seperti medali, yang
disebut patch herald. Patch herald adalah patch ovoid, erimatosa sedikit lebih
menonjol dengan diameter 5-10 mm dengan tepi skuamosa berwarna. Lesi
skunder berbentuk pohon natal ketika diatur sepanjang garis langer di bagian
belakang.10
Gatal bervariasi, dengan gatal sedang sampai berat. Gejala prodromal
dan permasalahan saluran nafas atas, seperti sakit tenggorokan, kelemahan,
kehilangan nafsu makan, dan demam ringan terjadi selama masa erupsi.10

2.2 Epidemiologi
Perkiraan kejadian Pitiriasis Rosea sekitar 0,5–2% pada kelompok usia
10–35 tahun. Penyakit ini membatasi diri dan sebagian besar kasus, erupsi
membaik dalam waktu 2-8 minggu. Insidennya adalah 170 kasus per 100.000
orang per tahun. Beberapa penelitian melaporkan bahwa prevalensi laki-laki
dan perempuan sama, sedangkan penelitian lain melaporkan bahwa wanita
lebih sering. Angka kejadian tertinggi Pitiriasis Rosea terjadi selama musim
dingin.6-7
2.3 Etiologi
Etiologi belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan
epidemiologis diduga disebabkan oleh infeksi. Berdasarkan bukti ilmiah,
diduga Pitiriasis Rosea merupakan eksantema virus yang berhubungan
dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV)-7 dan HHV-6.5
Pitiriasis Rosea dapat terjadi setelah pemberian obat, misalnya bismut,
arsenik, barbiturat, metoksipromazin, kaptopril, klonidin, interferon,
ketotifen, ergotamin, metronidazol, inhibitor tirosin kinase; dan telah
dilaporkan timbul setelah pemberian agen biologik, misalnya adalimumab.
Walaupun beberapa erupsi obat dapat menyerupai pitiriasis rosea, tetapi tidak
ada bukti yan meyakinkan bahwa pitiriasis rosea dapat disebabkan oleh obat.
Terdapat pula laporan erupsi menyerupai pitiriasis rosea yang timbul setelah
vaksinasi difteri, cacar, pneumokokus, virus Hepatitis B, BCG, dan virus
influenza H1 N1 4.

2.4 PATOGENESIS
Patogenesis pityriasis rosea masih belum diketahui secara langsung.
Berdasarkan sejarah, pityriasis rosea diduga disebabkan oleh agen infeksi,
dikarenakan kemiripan ruamnya yang diakibatkan oleh virus, jarang didapat
kasus berulang diduga karena respon imun yang bertahan lama setelah
pertama kali terinveksi, kejadiannya terjadi pada musim-musim tertentu, dan
timbul gejala seperti flu pada beberapa pasien.2
Dari beberapa bukti ilmiah yang didapatkan bahwa pityriasis rosea
merupakan kelainan kulit akibat reaktivasi Human Herpes Virus HHV-7 dan
HHV-6. RNA pada HHV-7 dan HHV-6, serta protien pada HHV-7 dan HHV-
6 didapatkan pada leukosist-leukosit yang menyebar pada periascular pasien
pityriasis rosea dan tidak di temukan pada orang sehat maupun pasien
penyakit peradangan kulit yang lain. DNA HHV-7 dan HHV-6 ditemukan
pada saliva pasien pityriasis rosea yang tidak didapatkan pada infeksi primer
HHV 7 dan HHV 6. Data ini menguatkan pernyataan bahwa pityriasis rosea
merupakan sistemik reaktivasi dari HHV 6 dan HHV 7.2
2.5 Gejala Klinis
Pityriasis rosea klasik dimulai dengan kemunculan lesi berbentuk bulat
atau oval, dengan diameter 2-5 cm, kadang-kadang ditutupi oleh sisik halus
(herald patch). Gejala yang biasa di dapati berupa sakit kepala dan demam.
Beberapa hari kemudian (5-15 hari) lesi skunder mulai muncul (herald patch)
tetapi lebih kecil di bagian batang tubuh. Pruritis biasanya ringan atau tidak
ada, erupsi berlangsung 4-6 minggu. Umumnya hanya muncul sekali seumur
hidup, lesi muncul antara usia 10-35 tahun.9

Gambar 1. Herald patch Gambar 2. Erupsi mengikuti garis


pembelahan pada batang tubuh

Pityriasis rosea jarang terjadi pada anak-anak dengan prevalensi 12%


pada berkulit putih usia di bawah 10-4 tahun, sedangkan pada anak berkulit
gelap 26%. Lesi papuler terjadi selama 4-16 hari. Mayoritas kasus terjadi pada
anak-anak dengan usia antara 3-9 tahun menunjuk pada tanda klasik.9

Gambar 3. Pityriasis rosea pada anak


Tabel 1. Kumpulan varian dan gambaran klinis pityriasis rosea.9

Varian Klinis Gambaran


Herald Patch Erupsi khas pityriasis rosea yang menegnai batang tubuh
di area tertentu (a), dan paha bagian proksimal

Pityriasis rosea Lesi tersebar pada daerah fleksura (aksila, lipatan paha),
inversus wajah, leher, dan daerah akral (telapak tangan dan telapak
kaki), tampa mempengaruhi batang tubuh

Pityriasis rosea Lesi terbatas pada ekstremita, dengan plak skuamosa yang
pada ektremitas khas, batang tubuh tidak terpengaruh.

Pityriasis akral Lesi secara eksklusif terletak pada telapak tangan,


rosea pergelangan tangan, telapak kaki, tampa keterlibatan di
fleksura.
Pityriasis rosea Lesi purpura berbentuk bulat dapat muncul dilokasi yang
purpura berbeda-beda dengan ruam yang khas pada btang tubuh

Pityriasis rosea Edem yang teraba, lesi eritematosa dengan sisik collarette
urtikaria perifer mengikuti garis belahan kulit

Eritema Muncul dengan lesi papuloskoamosa, bercampur dengan


multiform beberapa lesi targetoid yang menyerupai eritema multiform
tersebar di badan, wajah, leher atau lengan. Tidak ada
riwayat infeksi herpes simpleks

Pityriasis rosea Lesi papula kecil multipel, berdiameter 1-3 mm dengan


papular collarette perifer, terletak dibadan dan ektremitas proksimal,
di sepanjang garis belahan kulit. Biasanya muncul pada usia
muda

Pityriasis Biasa terjadi pada anak laki-laki berusia 9 tahun dengan lesi
folikuler rosea bersisik folikuler yang dominan, tersusun dalam konfigurasi
annular. Lesi awal terdiri dari plak pruritus terutama terletak
di perut, paha dan selangkangan, lima hari kemudian erupsi
folikel mulai timbul pada bagaian sentral dan collaratte
prifer, berkembang pada batang posterior. Gejala prodromal
termasuk sakit tenggorokan, malaise dan demam ringan
Pityriasis rosea Banyak terdapat lesi vesikuler disekitar plak berbentuk
vesikuler bulat. Vesikel berdiameter 2-6 mm dan mulai terasa gatal.
Terjadi pada anak-anak dan orang dewasa.

Giant pityriasis Dimensi patch herald lebih besar dari biasanya,


rosea digambarakan dengan ukuran dan bentuk sepasang atau
tunggal
Pityriasis rosea Memiliki tanda klasik, dengan patch herald dan erupsi
hipopigmentasi sekunder, tetapi dengan lesi hipopigmentasi, terutama pada
bagian batang tubuh. Lebih sering terjadi pada individu
berkulit gelap

Pityriasis rosea Pityriais rosea dengan keluhan gatal, nyeri dan sensai
akibat iritasi terbakar bersentuhan dengan keringat

Pityriasis Ruam eksantemetosa yang muncul setelah asupan beberapa


rosea-loke drug obat: ACE inhibitor,isotretinion, agen anti-inflamasi non-
eruption steroid, omeprazol, terbinafin, dan inhibitor tirosinkinase.
Tidak ada patch herald sebelumnya dan erupsinya
monomorf
2.6 Kriteria Diagnosnik
Klinis8
1. Anamnesis
 Terutama timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat, kelompok
usia 10-35 tahun. Lebih banyak dialami oleh perempuan.
 Gejala subjektif biasanya tidak ditemukan, tetapi dapat disertai gatal
ringan maupun sedang.
 Kelainan kulit diawali dengan lesi primer yang diikuti lesi sekunder.
 Timbul lesi sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan setelah lesi
primer, tetapi umumnya dalam waktu 2 minggu. Kadang-kadang lesi
primer dan sekunder timbul secara bersamaan.
 Dapat pula ditemukan demam yang tidak terlalu tinggi atau lemah badan.

2. Pemeriksaan fisik
 Gambaran klinis diawali dengan timbulnya lesi primer berupa
makula/plak sewarna kulit/merah muda/salmon-colored/hiperpigmentasi
yang berbatas tegas, umumnya berdiameter 2-4 cm1,2 dan berbentuk
lonjong atau bulat. Bagian tengah lesi memiliki karakteristik skuama
halus, dan pada bagian dalam tepinya terdapat skuama yang lebih jelas
membentuk gambaran skuama kolaret.8
Gambar 4. Gambaran Herald patch
 Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, memberi gambaran
yang khas, sama dengan lesi yang pertama hanya lebih kecil, susunannya
sejajar dengan kosta, sehingga menyerupai pohon cemara terbalik. Tempat
pridileksi pada batang tubuh, lengan atas bagian proksimal dan tungkai
atas.5

Gambar 5. Distribusi khas plak skunder di sepanjang garis belahan


dibagian belakang dengan pola pohon natal
Gambar 6. Skema diagram plak primer (herald patch) dan distribusi khas
plak skunder di sepanjang garis pembelahan pada batang tubuh
membentuk pola pohon natal

 Lesi primer biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju, tetapi
kadang-kadang ditemukan di leher atau ekstremitas proksimal seperti paha
atas atau lengan atas. Lesi primer jarang ditemukan di wajah, penis atau
kulit kepala berambut.8
 Lesi sekunder berupa makula/plak merah muda3 , multipel, berukuran
lebih kecil dari lesi primer, berbentuk bulat atau lonjong, yang mengikuti
Langer lines sehingga pada punggung membentuk gambaran christmas-
tree pattern.

Gambar 7. Arah garis langer


 Dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.
2.7 Diagnosis Banding7
 Sifilis sekunder
Pada sifilis sekunder terdapat riwayat chancre dan tidak terdapat
riwayat herald patch. Pada sifilis sekunder terdapat keterlibatan telapak
tangan dan kaki, pembesarasan kelenjer getang bening, kandiloma lata,
dan tes serelogik sifilis positif.5
 Tinea korporis
Gambaran klinis pityriasis rosea memang mirip dengan tinea korporis
karena terdapat eritema dan skuama di tepi lesi dan berbentuk anular.
Perbedaan nya pada pityriasis rosea, gatal tidak begitu berat seperti pada
tinea korporis.5
 Dermatitis numularis
Pada dermatitis numularis plak biasanya berbentuk sirkuler, bukan
oval seperti pada pityriasis rosea. Lesi lebih banyak ditemukan pada
tungkai bawah atau punggung tangan, tempat yang jarang ditemukan pada
pityriasis rosea.5
 Psoriasis gutata
pada pityriasis gutata biasanya berukuran lebih kecil daripada
pityriasis rosea dan tidak tersusun sesuai lipatan kulit, selain itu
skuamanya tebal. Bila terdapat keraguan, dapat dilakukan biopsi.5
 Pityriasis lichenoides chronica
Pada pityriasis lichenoides chronica penyakit berlangsung lebih lama,
lesi lebih kecil, skuama lebih tebal, tidak terdapat herald patch, dan lebih
sering terjadi pada ektreminitas. Bila terdapat keraguan, dapat dilakukan
biopsi.5
 Pitiriasis rosea-like drug eruption
Gambaran klinis dapat menyerupai pityriasis rosea klasik, tetapi
sering memberi gambaran atipikal. Lesi biasanya lebih besar, selanjutnya
terjadi hiperpigmentasi dan berubah menjadi dermatitis likenoid. Perlu
dilakukan pemeriksaan riwayat pamakaian obat.5

 Dermatitis seboroik
Pada dermatitis seberoik tidak ditemukan herald patch, lesi
berkembang perlahan, paling banyak dibadan bagian atas, leher, dan skalp,
warna lebih gelap, skuama lebih tebal dan berminyak. Kelainan akan
menetap bila tidak diobati.5

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus.
2. Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai
diagnosis banding.
3. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan pada kasus yang tidak dapat
ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.8

2.9 Tatalaksana
 Nonmedikamentosa8
Tidak ada

 Medikamentosa8
Prinsip: penyakit dapat sembuh spontan, penglihatan bersifat simtomatis.
Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai
berikut:
1. Topikal
Bila gatal sangat mengganggu:
 Larutan anti pruritus seperti calamine lotion.
 Kortikosteroid topikal.
2. Sistemik
 Apabila gatal sangat mengganggu dapat diberikan antihistamin seperti
setirizin 1x10 mg per hari.
 Kortikosteroid sistemik.
 Eritromisin oral 4x250 mg/hari selama 14 hari.
 Asiklovir1,4 3x400 mg/hari per oral selama 7 hari6 diindikasikan
sebagai terapi pada awal perjalanan penyakit yang disertai flu-like
symptoms atau keterlibatan kulit yang luas.
 Dapat pula dilakukan fototerapi: narrowband ultraviolet B (NB-UVB)
dengan dosis tetap sebesar 250 mJ/cm2 3 kali seminggu selama 4
minggu.

2.10 Pognosis
Qou ad vitam : ad bonam
Penyakit pityriasis rosea tidak memiliki komplikasi yang serius
Qou ad functionam : ad bonam
Lesi umumnya mengalami resolusi spontan dalam waktu 4-10 minggu, dan
sebagian kecil bertahan hingga 3 bulan. Lesi hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi pasca inflamasi dapat terjadi.
Qou ad sanationam : dubia ad bonam
Pityriasis rosea dapat rekuren, tetapi jarang terjadi.8

BAB III
KESIMPULAN

Pityriasis rosea dimulai dengan plak erimatosa seperti medali, yang disebut
patch herald. Patch herald adalah patch ovoid, erimatosa sedikit lebih menonjol
dengan diameter 5-10 mm dengan tepi skuamosa berwarna. Pityriasis rosea paling
umum terjadi pada remaja.
Penyebab pityriasis rosea belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran
klinis dan epidemiologis diduga disebabkan oleh infeksi. Berdasarkan bukti
ilmiah, diduga Pitiriasis Rosea merupakan eksantema virus yang berhubungan
dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV)-7 dan HHV-6. 5 Pitiriasis Rosea
dapat terjadi setelah pemberian obat, misalnya bismut, arsenik, barbiturat,
metoksipromazin, kaptopril, klonidin, interferon, ketotifen, ergotamin,
metronidazol, inhibitor tirosin kinase.
Gejala klasik pityriasis rosea dimulai dengan kemunculan lesi berbentuk
bulat atau oval, dengan diameter 2-5 cm, kadang –kadang ditutupi oleh sisik halus
(herald patch). Gatal berfariasi, dengan gatal sedang sampai berat. Gejala
prodromal dan permasalahn saluran pernapasan atas, seperti sakit tenggorokan,
kelemahan, kehilangan nafsu makan, dan demam ringan. Beberapa hari kemudian
(5-15 hari) lesi skunder mulai muncul berbentuk pohon natal ketika diatur
sepanjang garis langer dibagian belakang. Pruritis biasanya ringan atau tidak ada,
erupsi berlangsung selama 4-6 minngu. Umumnya hanya muncul sekali seumur
hidup, lesi muncul, antara usia 10-35 tahun. Terapi yang diberikan pada pityriasis
rosea dapat dipilih sesuai indikasinya :
1. Topikal
Bila gatal sangat mengganggu:
 Larutan anti pruritus seperti calamine lotion.
 Kortikosteroid topikal.
2. Sistemik
 Apabila gatal sangat mengganggu dapat diberikan antihistamin seperti
setirizin 1x10 mg per hari.
 Kortikosteroid sistemik.
 Eritromisin oral 4x250 mg/hari selama 14 hari.
 Asiklovir1,4 3x400 mg/hari per oral selama 7 hari6 diindikasikan sebagai
terapi pada awal perjalanan penyakit yang disertai flu-like symptoms atau
keterlibatan kulit yang luas.
 Dapat pula dilakukan fototerapi: narrowband ultraviolet B (NB-UVB) dengan
dosis tetap sebesar 250 mJ/cm2 3 kali seminggu selama 4 minggu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Zuniga, M.R, Torres, N. Perdemo, H.G. Effectiveness of acyclofir in the


treatment of pityriasis rosea. An Bras Dermatol. 2018;93(5):686-95.
2. Goldsmith AL, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefell DJ, Wolff K,
penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: McGraw-Hill; 2012.
3. Zawar V, Chuh A. Follicular pityriasis rosea. A case report and a new
classification of clinical variants of the disease. J Dermatol Case Rep.
2012;6(2):36–9.
4. Drago F, Ciccarese G, Rebora A, Broccolo F, Parodi A. Pityriasis Rosea: A
Comprehensive Classification. Dermatology. 2016;232(4):431–7.
5. Menaldi, S.L.S.W., Bramono, K., Indriatmi, W. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi-7. Jakarta : Badan Penertbit FKUI. 2016.
6. Mahajan K, Relhan V, Relhan A, Garg V. Pityriasis rosea: An update on
etiopathogenesis and management of difficult aspects. Indian J Dermatol.
2016;61(4):375–84.
7. Villalon-Gomez JM. Pityriasis Rosea: Diagnosis and Treatment. Am Fam
Physician. 2018;97(1):38–44.
8. Widaty, S., Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan
Venereologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI). 2017.
9. Urbina, F., Das, A., Sudy E. Clinical variants of pityriasis rosea. World
Journal of Clinical Case. 2017;5(6):203-211.
10. Yuksel, M. Pityriasis Rosea Recurrence is Much Higher than Previously
Known. Journal Compilation Acta Dermato-Venereologica. 2019;99.

Anda mungkin juga menyukai