Anda di halaman 1dari 11

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada
kondisi tertentu bayi tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu
formula. Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan insidens alergi susu
sapi pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Di lain pihak produk-produk susu formula semakin banyak di pasaran.
Kasus alergi susu sapi tergolong tinggi. Namun perlu diketahui, bayi bukan
alergi terhadap susunya tapi alergi pada protein susu sapi. ASI merupakan pilihan
paling tepat bagi bayi. Namun tidak semua bayi beruntung mendapatkan ASI.
Susu formula yang bisa diberikan kepada anak yang menunjukkan reaksi
alergi adalah susu hipoalergenik. Susu ini mengandung protein susu sapi yang
diproses secara khusus. European Society of Pediatric Allergy dan Clinical
Immunology (ESPACI) mendefiniskan formula hidrolisis ekstensif adalah susu
formula dengan bahan dasar protein hidrolisis dengan pecahan yang kecil untuk
mencegah terjadinya alergi pada anak. Pengalaman penggunaan hidrolisis kasein
telah dilakukan selama lebih dari 50 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan
pemakaian susus jenis ini efektif bagi penderita alergi protein susu sapi.













2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Alergi Susu Sapi
Alergi susu sapi (ASS) adalah reaksi simpang terhadap protein susu sapi yang
diperantarai reaksi imunologi. Istilah alergi yang dipergunakan dalam panduan ini
sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh World Allergy Organization, yaitu
alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diperankan oleh mekanisme imunologi.
Mekanisme tersebut bisa diperantarai oleh IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I, reaksi
cepat) maupun non-IgE (reaksi hipersensitivitas tipe III atau IV, reaksi lambat).
Alergi susu sapi yang tidak diperantarai IgE lebih sering mengenai saluran cerna,
sementara ASS yang diperantarai IgE dapat mengenai saluran cerna, kulit, dan
saluran napas serta berhubungan dengan risiko tinggi timbulnya alergi saluran napas
di kemudian hari seperti asma dan rinitis alergi.

2.2. Angka Kejadian
Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu
sapi masih mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%,
sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah
gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi
klinis berat.

2.3. Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:
a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala
klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam)
setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: urtikaria,
angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare,
rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis. Dapat dibuktikan
dengan kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau uji RAST).
b. Non-IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai
oleh IgE, tetapi diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul
lebih lambat (1-3 jam) setelah mengkonsumsi protein susu sapi.
Manifestasi klinis: allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik,
enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.
3


2.4. Diagnosis
a. Anamnesis
- Alergi susu sapi dapat menyebabkan beragam gejala dan keluhan, baik
pada saluran cerna, saluran napas, maupun kulit. Luasnya gejala yang
timbul dapat mempersulit pengenalan, menyebabkan misdiagnosis atau
kadang-kadang overdiagnosis.
- Awitan gejala ASS, waktu antar pemberian susu sapi dan timbulnya gejala,
dan jumlah susu yang diminum hingga menimbulkan gejala.
- Riwayat atopi pada orangtua dan saudara kandung perlu ditanyakan.
Risiko atopi meningkat jika ayah/ibu kandung atau saudara kandung
menderita atopi, dan bahkan risikonya lebih tinggi jika kedua orangtua
sama-sama penderita atopi.
- Riwayat atau gejala alergi sebelumnya.

b. Gejala pada saluran cerna
- Edema dan gatal pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika
makanan yang mensensitisasi kontak dengan mukosa.
- Muntah dan/atau diare, terutama pada bayi, bisa ringan, melanjut, atau
intractable dan dapat berupa muntah atau buang air besar berdarah.
Alergi susu sapi dapat menyebabkan kolik infantil. Jika
hipersensitivitas berat, dapat terjadi kerusakan mukosa usus, dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan berat badan.
- Konstipasi kronik yang tidak responsif terhadap laksatif.

c. Gejala pada kulit
- Dermatitis atopi merupakan kelainan kulit paling sering dijumpai pada
alergi susu sapi, menempati urutan kedua setelah gejala saluran cerna.
Erupsi yang kemerahan pada umumnya terjadi setelah sensitisasi 1-2
minggu dan sering mengalami eksaserbasi.
- Urtikaria dan angioedema.

d. Gejala pada saluran napas
- Rinitis kronis atau berulang, otitis media, batuk kronis, dan mengi
4

merupakan manifestasi alergi susu sapi yang cukup sering.
e. Gejala hematologi
Pucat akibat anemia defisiensi karena perdarahan mikro pada saluran cerna.

f. Pemeriksaan fisis
- Kondisi umum: status gizi, status hidrasi, kadang tampak pucat
- Kulit: dermatitis atopi, urtikaria, angioedema
- Saluran napas: tanda rinitis alergi (konka edema dan pucat) atau asma
(mengi), otitis media efusi
- Saluran cerna: meteorismus, skibala, fisura ani

g. Pemeriksaan penunjang
i. IgE spesifik
a. Uji tusuk kulit (Skin prick test )
- Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 1 minggu
sebelum pemeriksaan
- Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung
(jika didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil).
- Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan.
- Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai
duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti alergi susu sapi
yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena nilai duga negatif sebesar >
95%.

b. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
- Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit,
tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji
tusuk kulit dengan uji IgE RAST.
- Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan karena adanya
lesi kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas
minum obat antihistamin.
- Kadar serum IgE spesifik antibodi untuk susu sapi dinyatakan positif jika >
5 kIU/L pada anak usia 2 tahun dan >15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun.
5

Hasil uji ini mempunyai nilai duga positif <53% dan nilai duga negatif 95%,
sensitivitas 57% dan spesifitas 94%.

c. Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placcebo Contolled Food Chalange (DBPFCs)merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini
dilakukan berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk
kulit atau uji RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi
menghilang setelah dilakukan eliminasi diet selama 2-4 minggu, maka
sebaiknya dilanjutkan dengan memberikan formula dengan bahan dasar susu
sapi (uji provokasi). Uji provokasi dilakukan dibawah pengawasan dokter dan
dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Pada uji
tusuk kulit dan uji RAST negatif akan mengurangi reaksi akut berat pada saat
uji provokasi.
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji
provokasi dan setelah satu minggu kemudian, maka bayi tersebut
diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun demikian, orang tua
dianjurkan untuk tetap mengawasi kemungkinan terjadinya reaksi tipe
lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah uji provokasi.

d. Pemeriksaan darah pada tinja
Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit
untuk dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
seperti chromiun-51 labelled erythrocites pada feses dan reaksi orthotolidin
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibanding uji
guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi oleh berbagai substrat
non-hemoglobin sehingga memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%),
spesivitas (88-98%) dengan nilai duga positif palsu yang tinggi.

2.5. Tatalaksana
Prinsip utama dalam tata laksana ASS adalah menghindari susu sapi dan
makanan yang mengandung susu sapi sambil mempertahankan diet bergizi dan
seimbang untuk bayi dan ibu yang menyusui. Pada bayi yang diberikan ASI eksklusif,
6

ibu perlu mendapat penjelasan berbagai makanan yang mengandung protein susu sapi
yang perlu dihindari. Konsultasi dengan ahli gizi perlu dipertimbangkan. Pada anak
yang mendapat susu formula, diberikan susu pengganti berupa susu terhidrolisis
sempurna/ekstensif atau susu formula asam amino pada kasus yang berat. Susu formula
kedelai dapat dicoba untuk diberikan pada anak berusia di atas 6 bulan apabila susu
terhidrolisis ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya.

1. Nutrisi
1.1. Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari (complete
avoidance) segala bentuk produk susu sapi tetapi harus memberikan nutrisi
yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang bayi/anak.
1.2. Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan
pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk turunannya
pada makanan sehari-hari. ASI tetap merupakan pilihan terbaik pada bayi
dengan alergi susu sapi. Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan
pada ibu menyusui yang membatasi protein susu sapi dan produk
turunannya.
1.3. Bayi yang mengonsumsi susu formula:
- Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi adalah
susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang tidak
menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak dengan diagnosis
alergi susu sapi bila dilakukan uji klinis tersamar ganda dengan interval
kepercayaan 95%. Susu tersebut mempunyai peptida dengan berat
molekul < 1500 kDa. Susu yang memenuhi kriteria tersebut ialah susu
terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino. Sedangkan susu
terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan bukan
merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi.
- Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang dianjurkan
pada alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang. Pada
alergi susu sapi berat yang tidak membaik dengan susu formula
terhidrolisat ekstensif maka perlu diberikan susu formula asam amino.
- Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat ekstensif
atau formula asam amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12 bulan,
atau paling tidak selama 6 bulan. Setelah itu uji provokasi diulang
kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan
susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali
maka eliminasi diet dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
1.4. Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu
7

menghindari adanya protein susu sapi dalam bubur susu atau biskuit bayi.
1.5. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat
kendala biaya, maka pada bayi di atas 6 bulan dapat diberikan susu
formula kedelai dengan penjelasan kepada orangtua mengenai
kemungkinan reaksi silang alergi terhadap protein kedelai. Angka kejadian
alergi kedelai pada pasien dengan alergi susu sapi berkisar 10 35% % (tipe
IgE 12-18%, tipe non IgE 30-60%).
1.6. Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan alternatif karena
berisiko terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing, susu domba dan
sebagainya tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun kecuali
telah dibuat menjadi susu formula bayi. Saat ini belum tersedia susu formula
berbahan dasar susu mamalia selain sapi di Indonesia. Selain itu perlu diingat
pula adanya risiko terjadinya reaksi silang.

Indikasi rawat
- Dehidrasi berat
- Gizi buruk
- Anafilaksis
- Anemia yang memerlukan transfusi darah

2.4. Prognosis
Pada umumnya alergi susu sapi tidak menetap, sebagian besar penderita akan
menjadi toleran sesuai dengan bertambahnya usia. Umumnya diketahui bahwa ASS akan
membaik pada usia 3 tahun: sekitar 50% toleran pada usia 1 tahun, 70% usia 2 tahun, dan
85% usia 3 tahun. Pada anak dengan alergi yang tidak diperantarai IgE, toleransi lebih
cepat terjadi yaitu pada usia sekitar 1 tahun yang dapat dibuktikan dengan memakai
metode uji provokasi. Pada anak dengan alergi yang diperantarai IgE sebaiknya
pemberiannya ditunda lebih lama lagi dan untuk menentukan waktu yang tepat, dapat
dibantu dengan panduan tes alergi.






8


































Gambar 1. Alur diagnosis dan tata laksana alergi susu
9

sapi pada bayi dengan ASI eksklusif (6 bulan)































Gambar 2. Alur diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi
10

pada bayi dengan PASI (susu formula)
BAB 3
KESIMPULAN

Pengetahuan tentang alergi susu sapi merupakan salah satu upaya
memulihkan status gizi pada bayi dan anak agar dapat terhindar dari alergi susu sapi.
Kegiatan penyuluhan dan penjelasan mengenai alergi susu sapi yang tepat serta
sesuai dengan umur bayi diharapkan memiliki dampak positif terhadap pengetahuan
dan keterampilan ibu dalam menyediakan ASI secara mandiri yang pada gilirannya
akan meningkatkan keadaan gizi sasaran dan terhindar dari alergi susu sapi. Air susu
ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada kondisi tertentu bayi
tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu formula. Pada beberapa
tahun terakhir ini terdapat peningkatan insidens alergi susu sapi pada bayi dan anak
dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat. Di lain pihak
produk-produk susu formula semakin banyak di pasaran.
Selain itu karena kegiatan penyuluhan ini dilaksanakan di poli klinik anak
sehat departemen anak RSUP Haji Adam Malik Medan maka hal ini juga dapat
menjadi bagian dari kegiatan untuk memberikan informasi yang baik dan bermanfaat
bagi ibu-ibu di poliklinik anak sehat, serta meningkatkan partisipasi masyarakat di
sekitar RSUP Haji Adam Malik Medan.













11


DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus penatalaksanaan alergi susu sapi. UKK Alergi & Imunologi,
Gastroenterohepatologi, Gizi & Metabolik IDAI 2009.
2. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et al.
Guidelines for the diagnosis and management of cows milk protein allergy in
infants. Arch Dis Child. 2007;92;902-8.
3. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GJ, Day AS, et al. Guidelines
for the use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian
consensus panel opinion. MJA. 2008; 188: 109-12.
4. Crittenden RS, Bennett LE. Cows Milk Allergy: A Complex Disorder. Journal of
the American College of Nutrition. 2005;24: 582-91S.
5. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician.
2008;54:1258-64
6. Hays T, Wood RA. Systematic Review of the Role of Hydrolyzed Infant Formulas
in Allergy Prevention Arch Pediatr Adolesc Med. 2005;159:810-6

Anda mungkin juga menyukai