Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syok merupakan suatu sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi sehingga
terjadi ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan
serta kegagalan pembuangan sisa metabolisme.(Kurnarto H, 2011) Kondisi ini
merupakan suatu kegawatdaruratan medis dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.(Mayetti, 2016)
Pada tahun 2013 di seluruh dunia 2,6 juta neonatus meninggal dunia,
penyebab tersering adalah prematuritas (15,4%), komplikasi intrapartum
(10,5%),dan sepsis neonatal (6,7%). Pada tahun yang sama sebanyak 3,7 juta anak
usia 1-59 bulan meninggal dunia dengan penyebab tersering adalah pneumonia
(14,9%), diare (9,2%), dan malaria (7,3%). Sepsis akibat penyakit infeksi menular
dan hipovolemik akibat gastroenteritis merupakan penyebab syok terbanyak di
negara berkembang.(GBD, 2015) Sekitar 400.00 – 500.000 kejadian syok pada
anak di laporkan setiap tahunnya.(Nteziyaremyea J, 2017)
Pada sebuah studi observasi di Departemen Emergensi di University Medical
Center, University of Nevada School of Medicine, pada tahun 1998 sampai 2006,
ditemukan 147 kasus syok tanpa trauma. Angka kejadian untuk syok sepsis
adalah 57%, syok hipovolemik akibat gastroenteritis, gangguan metabolik,
tindakan pembedahan, atau perdarahan adalah 24%, syok distributif 14%, dan
syok kardiogenik adalah 5%. Angka kematian secara umum pada pasien syok
adalah 6% dan angka kematian pada syok sepsis adalah 5%.(Fisher J, 2010)
Gejala syok harus segera dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat
agar tidak terjadi komplikasi berupa kegagalan multi organ. Kecepatan waktu
teratasi gejala klinis syok memperbaiki keluaran pasien.(Kusumastuti N, 2013)
Berdasarkan studi observasional pada 1422 anak dengan syok, cepatnya waktu
teratasi syok dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas hingga 57%, tanpa
memandang etiologi syok tersebut. Setiap jam yang berlalu tanpa kembali
normalnya keadaan hipotensi atau capillary refill time (CRT) dikaitkan dengan
peningkatan odds ratio kematian akibat kegagalan multi organ. (Carcillo JA,
2009)
Apabila syok tidak ditangani segera akan menimbulkan kerusakan permanen
dan bahkan kematian. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang baik mengenai
syok dan penanganannya guna menghindari kerusakan organ lebih lanjut.
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, patofisilogi,
diagnosis dan tatalaksana syok pada anak.
1.3. Tujuan Penulisan
Mengetahui dan memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisilogi,
diagnosis dan tatalaksana syok pada anak.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada
berbagai literatur
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Syok adalah ketidakmampuan tubuh untuk menyediakan oksigen dan substrat
yang adekuat ke jaringan untuk mempertahankan fungsi organ.Tidak adekuatnya
suplai oksigen ke jaringan menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan
metabolisme tubuh. Keadaan ini dapat diakibatkan tidak sufisiennya transpor
glukosa dan oksigen, atau terdapat kegagalan fungsi mitokondria pada tahap
seluler(Gary Strange, 2012) (Brissaud et al, 2016).
Syok dibagi menjadi empat kategori mayor, yaitu, Syok Hipovolemik, Syok
Obstruktif, Syok Kardiogenik dan Syok Distributif. Syok distributif mencakup
syok anafilaktik, syok sepsis, dan syok neurogenik.( Arikan et al, 2008). Berikut
adalah definisi dari masing-masing syok,
1. Syok Hipovolemik
Syok yang terjadi akibat kehilangan cairan dari ruang intravaskular yang
terjadi sekunder karena asupan yang tidak adekuat atau kehilangan cairan
yang banyak (muntah, diare, perdarahan, sindrom kebocoran kapiler, atau
kehilangan cairan patologis melalui ginjal).(George et al,2009)
2. Syok Obstruktif
Syok obstruktif adalah syok yang. diakibatkan oleh ketidakmampuan
menghasilkan cardiac output yang adekuat akibat obstruksi fisik aliran darah.
Pada syok ini, volume intravaskular dan fungsi miokardium normal, dan
gangguan utam disebabkan oleh obstruksi fisik.(Carry et al, 2013)

3. Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik adalah gangguan fungsi sirkulasi mendadak dan


kompleks yang mengakibatkan hipoksia jaringan akibat berkurangnya curah
jantung pada keadaan volume intravaskular yang cukup.(Gary et al, 2012)
4. Syok Distributif
Syok distributif adalah syok yang diakibatkan oleh distribusi volume darah
yang buruk sehingga perfusi organ dan jaringan tidak dapat dicukupi.
Terdapat 3 jenis syok distributif, yaitu, syok sepsis, syok anafilaktik, dan syok
neurogenik. (Gary et al, 2012)
Syok sepsis adalah syok distributif yang disebabkan oleh sepsis. Sepsis
didefinisikan sebagai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dengan dugaan infeksi, maupun infeksi yang sudah dapat dibuktikan. Pada
keadaam ini terdapat kelainan peredaran darah dan seluler / metabolik yang
berat yang dapat secara substansial meningkatkan angka kematian penderita .
(Nteziyaremye J,2017)
Syok neurogenik dideskripsikan sebagai kehilangan tonus otonom secara
tiba tiba akibat cedera korda spinalis. (Brissaud et al, 2016) Syok anafilaktik
adalah syok yang disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.( Kliegman et al, 2007)
(Simons, 2013)
2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000-2003 WHO mencatat 6 penyebab kematian pada anak kurang
dari 5 tahun adalah pneumonia (19%), diare (18%), pneumonia neonatus atau
sepsis (10%), kelahiran prematur (10%), malaria (8%), dan asfiksia saat lahir
(8%) (Siniah D, 2012).
Pada tahun 2013 di seluruh dunia 2,6 juta neonatus meninggal dunia,
penyebab tersering adalah prematuritas (15,4%), komplikasi intrapartum
(10,5%),dan sepsis neonatal (6,7%). Pada tahun yang sama sebanyak 3,7 juta anak
usia 1-59 bulan meninggal dunia dengan penyebab tersering adalah pneumonia
(14,9%), diare (9,2%), dan malaria (7,3%). Sepsis akibat penyakit infeksi menular
dan hipovolemik akibat gastroenteritis merupakan penyebab syok kematian di
negara berkembang (GBD, 2015).
Pada sebuah studi obeservasi di departemen emergensi di University Medical
Center, University of Nevada School of Medicine, pada tahun 1998 sampai 2006,
diidentifikasi 147 kasus dengan syok tanpa trauma. Angka kejadian untuk syok
sepsis adalah 57%, syok hipovolemik akibat gastroenteritis, gangguan metabolik,
tindakan pembedahan, atau perdarahan adalah 24%, syok distributif 14%, dan
syok kardiogenik adalah 5%. Angka kematian secara umum pada pasien syok
adalah 6% dan angka kematian pada syok sepsis adalah 5% (Siniah D, 2012).
Pada saat kejadian epidemi dengue di Thailand, insiden haemorrhagic shock
syndrome pada 3.185 anak yang diambil secara acak adalah 7 dari 1.000 anak
mengalami dengue shock syndrome. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat,
insiden syok sepsis pada anak yang dirawat di rumah sakit adalah 0,56 per 1.000
kasus per tahun. Kejadian paling sering adalah pada neonatus, terutama bayi
dengan berat badan lahir rendah dan sangat rendah. Angka kematian akibat sepsis
yang berat adalah 10,3%, setengahnya adalah pasien yang memiliki komorbiditas
kronik (Siniah D, 2012).
Syok dapat memperberat beberapa penyakit akut pada anak yang dirawat di
negara berkembang dan syok memiliki angka kematian yang tingi. Pada sebuah
studi di Kenya pada Oktober 2013 sampai Februari 2016 didapatkan total anak
yang dirawat adalah 74.042 anak. Prevalensi anak yang dididagnosis syok secara
klinis adalah 1,5% (n=622). Syok terbanyak adalah syok hipovolemik akibat
dehidrasi/diare (94%), dengan angka kematian yang tinggi (34%) (Mbevi,2016).
2.3 Etiologi
Tabel x. Penyebab Umum Syok pada Anak ( Wheeler, 2013)
2.4 Patofisiologi
SYOK HIPOVOLEMIK
Kehilangan cairan dan elektolit
Muntah
Diare
Drainase nasogatrik tube
Kehilangan cairan melalui ginjal
Penggunaan diuretik
Diabetes melitus
Diabetes insipidus
Adrenal insufisiensi
Demam
Heat stroke
Kekurangan air
Keringat berlebihan
Sepsis
Luka bakar
Pankreatitis
Obstruksi usus halus
Hemoragik
Trauma
Fraktur
Ruptur lien
Ruptur hepar
cedera pembuluh darah besar,
perdarahan intrakranial
Perdarahan saluran cerna
Pembedahan
Syok Kardiogenik
Miokarditis
Kardiomiopati
Iskemia miokardial
Ventricular outflow tract obstruction
Distritmia akut
Post cardiopulmonary bypass
Syok obstruktif
Tension pneumotorak
Tamponade jantung
emboli paru.
Syok distributif
Syok sepsis
Syok anafilaktik
Syok neurogenik

Metabolisme sel secara aerob dapat menghasilkan 36 Adenosin Triphosphate,


sedangkan pada sel yang kekurangan oksigen (hipoksia) sel akan merubah sistem
metabolisme aerob menjadi anaerobi, yang mana hanya menghasilkan 2 ATP
molekul tiap molekul glukosa dan hasil pembentukan serta penimbunan asam
laktat. Pada akhirnya metabolisme sel tidak cukup menghasilkan energi untuk
homeostasis sel, sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran ion melalui
membran sel. Terjadi akumulasi natrium didalam sel dengan pengeluaran kalium
dan penumpukan kalsium sitosol. Sel menjadi membengkak, membran sel hancur,
dan terjadilah kematian sel. Kematian yang luas dari sel menghasilkan disfungsi
pada banyak organ, jika irreversible maka pasien meninggal. Kekacauan
metabolisme sel mungkin terjadi dari kekurangan oksigen yang absolut (hipoksia
syok) atau kombinasi hipoksia dan kekurangan substrat khususnya glukosa,
disebut sebagai iskemic syok. (PDG, 2013).
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami
dengan benar ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon
kompensasi kardiovaskular pada anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi
yang progresif. Gejala dan tanda syok yang dapat dengan mudah dilihat pada
orang dewasa mungkin tidak akan terlihat pada anak, mengakibatkan
terlambatnya pengenalan dan mengabaikan keadaan syok yang parah. Anak
memiliki besar persentase total cairan tubuh yang lebih dari dewasa tetapi untuk
melindungi mereka dari kolaps kardiovaskular, peningkatan sisa metabolik rata-
rata, peningkatan insensible water loss, dan penurunan renalconcentrating ability
biasanya membuat anak lebih mudah terjadi hipoperfusi pada organ. Gejala dan
tanda awal dari berkurangnya volume dapat tidak diketahui pada anak-anak, tapi
sejalan dengan perkembangan penyakit, penemuan gejala dan tanda menjadi dapat
ditemukan sama seperti orang dewasa. (Nelson ed 20).
Gambar x. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah
Respon kompensasi kardiovaskular pada anak dengan keadaan penurunan
ventrikular preload, melemahkan kontraksi miokard, dan perubahan dalam
pembuluh darah berbeda dari yang terjadi pada dewasa.pada pasien anak, cardiac
output (CO) lebih tergantung pada heart rate daripada stroke volume oleh karena
kekurangan massa otot ventrikel. Takikardi adalah yang terpenting pada anak
untuk mempertahankan CO yang adekuat pada kondisi penurunan
ventricularpreload, kelemahan kontraksi miokard, atau kelainan jantung
congenital yang digolongkan oleh anatomi left-to-right shunt. Stroke volume
tergantung oleh pengisian ventrikel (preload), ejeksi ventrikel (afterload), dan
kontraktilitas otot jantung (myocardial contractility). (PDG 2013, Nelson ed 20).
Tekanan darah selain dipengaruhi cardiac output (CO), juga dipengaruhi
oleh systemic vascular response (SVR). Anak memaksimalkan SVR untuk
mempertahankan tekanan darah yang normal, pada keadaan penurunan CO yang
signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi perifer yang dipengaruhi
sistem saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran darah diredistributsi dari
pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan organ splanknik ke
otak, jantung, paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan dari pembuluh
darah, endogen atau eksogen melalui zat-zat vasoaktif, dapat menormalkan
tekanan darah tanpa tergantung dari CO. Pada pasien anak, tekanan darah
merupakan indikator yang buruk dari hemostatis kardiovaskular. Evaluasi heart
rate dan perfusi end-organ, termasuk capillary refill, kualitas dari denyut perifer,
kesadaran, urine output, dan status asam-basa, lebih bernilai daripada tekanan
darah dalam menentukan status sirkulasi anak. (PDG, 2013).
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya
suplai oksigen dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan.
Akibat dari kekurangan oksigan dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini
tidak dapat mempertahankan produksi O2 aerob secara efisien. Pada keadaan
normal, metabolisme aerob menghasilkan 6 molekul adenosine trifosfat (ATP)
tiap 1 molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O2 terganggu, sehingga
sel hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul glukosa, sehingga
terjadi penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya metabolisme seluler
tidak lagi bisa menghasilkan energi yang cukup bagi komponen hemostasis
seluluer, sehingga terjadi kerusakan pompa ion membran dan terjadi penumpukan
natrium intraseluler, pengeluaran kalium dan penumpukan kalsium sitosol. (PDG,
2013)
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Kematian sel yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila
ireversibel, dapat terjadi kematian. (PDG, 2013).
Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari
transpor oksigen (syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport
substrat, biasanya glukosa ( syok iskemik). Hal yang paling sering terjadi adalah
kombinasi dari kedua hal diatas yaitu hipoksik dan iskemik. Atas dasar hal
tersebut diatas, maka sangatlah penting untuk memberikan oksigen pada keadaan
syok. (PDG, 2013)
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen
yang dibawa ke jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang
dipompa oleh jantung permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri
(CaO2), sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut : (PDG, 2013)
DO2 =CO (L/menit) x CaCO2 (ml/mL/cc)
CaCO2 tergantung pada banyaknya O2 yang terkandung di Hb (Saturasi O2 =
SaO2), sehingga didapatkan persamaan:
CaO2 = Hb (g/100ml) x SaO2 x 1,34 ml O2/g
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada
CaCO2, baik karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun
karena anemia yang menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan
kapasitas total pengiriman O2. Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu
jumlah darah yang dipompa tiap denyut jantung (Stroke Volume = SV) dan laju
jantung (HeartRate = HR). Stroke volume dipengaruhi oleh volume pengisian
ventrikel akhir diastolik (ventricular preload), kontaktilitas otot jantung dan
afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output diatas, pada keadaan
syok, dapat mengalami gangguan atau kerusakan. (PDG, 2013)

Gambar x. Patofsiologi Syok


Terpeliharanya perfusi yang adekuat tergantung dari 3 faktor utama, yaitu : (PDG,
2013)
1. Curah jantung (cardiac output = CO).
2. Integritas dan terpeliharanya tonus vasomotor pembuluh darah setempat,
termasuk arteri, vena dan pembuluh darah kapiler.
3. Kemampuan darah untuk membawa bahan metabolic dan membuang sisa
metabolik.
2.4.1 Syok Hipovolemik
Hipovolemia menyebabkan penurunan preload yang menyebabkan penurunan
stroke volume dan penurunan curah jantung. Aktivasi baroresptor perifer dan
sentral menghasilkan pengeluaran katekolamin yang menyebabkan takikardia
dan vasokonstriksi perifer yang pada awalnya cukup untuk menjaga tekanan
darah dengan sedikit atau tanpa bukti adanya hipotensi. Kehilangan akut
sebesar 10% sampai 15% dari volume darah dapat ditoleransi dengan baik dan
pada anak-anak yang sehat dapat dikompensasi. Kehilangan akut sebesar 25%
atau lebih dari volume darah yang bersirkulasi, seringkali menghasilkan
keadaan hipovolemik secara klinis yang memerlukan penanganan segera dan
agresif. (fuhrman, 2013)
Indikator yang paling dapat diandalkan dari syok hipovolemik dini yang
terkompensasi pada anak-anak adalah takikardia persisten, vasokonstriksi
kutaneous, dan penurunan tekanan nadi. Bukti klinis terbaik dari penurunan
perfusi jaringan adalah bercak kulit, pemanjangan pengisian kapiler,
ekstremitas dingin, dan penurunan urin output. Tekanan darah arteri sistemik
sering normal, akibat meningkatnya resistensi vaskular sistemik, membuat
pengukuran tekanan darah mempunyai makna yang terbatas dalam mengelola
pasien dengan syok hipovolemik yang terkompensasi. Status neurologis
biasanya normal atau hanya mengalami gangguan minimal. (fuhrman, 2013)
Kehilangan volume darah terus-menerus atau dengan penggantian volume
darah yang tertunda atau tidak memadai, kehilangan cairan intravaskular yang
melampaui kemampuan kompensasi tubuh, menyebabkan disfungsi sirkulasi
dan organ. Stroke volume dan curah jantung akan turun sehingga terjadinya
vasokontriksi sistemik dan hipovolemia yang menyebabkan iskemia dan
hipoksia pada sirkulasi viseral dan kutaneous. Perubahan metabolisme dan
fungsi seluler terjadi di area ini, mengakibatkan kerusakan pada pembuluh
darah, ginjal, hati, pankreas, dan usus. Pasien menjadi hipotensi, asidosis,
letargi atau koma, dan oliguria atau anuria. Tekanan darah arterial turun hanya
setelah kompensasi habis, yang mungkin terjadi lama dan hanya terjadi setelah
berkurangnya kardiak output yang berat. Fase terminal syok hipovolemik
ditandai oleh disfungsi miokard dan kematian sel luas. (fuhrman, 2013)
2.4.2 Syok Sepsis
Syok sepsis merupakan kombinasi unik dari syok distributif, syok hipovolemi
dan syok kardiogenik. Hipovolemi dapat terjadi akibat hilangnya cairan
inttravskular karena bocornya dinding kapiler. Syok kardiogenik berasal dari
efek depresan miokardial akibat sepsis sedangkan syok distributif dihasilkan
dari penurunan resistensi tekanan sistemik.(Turner, 2016)
Secara imunologis, tubuh manusia telah dipersiapkan untuk menghadapi
berbagai bahaya, baik fisik, kimiawai, maupu biologis. Tubuh yang
menghadapi ancaman akan mengenali bahaya tersebut melalu pattern
recognitiom receptors (PRR) yang selanjutnya mengaktifkan sistem
pertahanan awal yang dikenal sebagai innate immunity. Patogen yang terdapat
di alam, seperti bakteri gram negatif, gram positif, virus, parasit, dan jamur,
mempunyai molekul unik yang tidak dimiliki vertebrata yang dikenal sebagai
pathogen associated molecular patterns (PAMP). Molekul ini mengakifkan
innate immunity melalui PRR. Innate imunity yang teraktifasi akan
mengeleminasi patogen melalui kerjasama berbagai sel dan molekul imun
yang teraktifasi oleh mediator inflamasi. Setelah mengeleminasi patogen,
terjadi mekanisme umpan balik yang dengan sendirinya menghentikan proses
ini sekaligus mengembangkan sistem imun adaptif. (Pudjiadi A, 2013) Akan
tetapi, jika respon imun tersebut tidak efektif dalam mengeleminasi infeksi
tersebut, maka inflamasi akan terus berlanjut hingga menjadi tidak terkontrol
dan menyebabkan cedera terhadap organ yang menimbulkan perdarahan
maupun trombosis. (Sethuraman, 2008)
Sel imun yang teraktivasi melepaskan mediator inflamasi yang akan
memicu pelepasan phopholipase A2, platetelet-activating factor,
cyclooxygenase, komplemen dan sitokin yang penting untuk mengeleminasi
patogen. (Pudjiadi A, 2013) tumor necrosing factor (TNF) dan mediator
inflamasi lainnya dapat meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
menyebabka kebocoran dinding kapiler, menurunkan tonus vaskular, dan
ketidakseimbangan antara perfusi dan kebutuhan metabolik jaringan. TNF dan
interleukin (IL)-1 menstimulasi pelepasan mediator proinflamasi dan
antiinflamasi yang menyebabkan demam dan vasodilatasi. Mediator
proinflamasi tersebut adalah IL-6, IL-12, interferon-ɤ , dan faktor inhibisi
migrasi makrofag sedangkan sitokin antiinflamasi termasuk IL-10,
transforming grwoth factor-β, dan IL-4. Asam arakidonat juga dapat
menyebabkan terjadinya demam, takipnea, abnormalitas ventilasi perfusi dan
asidosis laktat. Nitric oxide (NO) dilepaskan dari endotel atau sel inflamasi
sebagai kontributor utama terhadap hipotensi. Depresi miokardial disebabkan
langsung oleh faktor depresan miokardial, TNF, dan beberapa interleukin.
(Turner, 2016) Ketika sistem imun tidak efektif dalam membunuh dan
eliminasi antigen, proses inflamasi menjadi tidak terkendali dan terjadilah
kegagalan sirkulasi, trombosis multipel dan disfungsi organ multipel. Hal ini
menyebabkan bervariasinya gambaran klinis sepsis dari ringan sampai berat
dengan disertai syok dan disfungsi organ multipel. (Pudjiadi A, 2013)

Gambar x. Hipotesis patofisiologi syok sepsis (Turner, 2016)

2.4.3 Syok Kardiogenik


Syok kardiogenik khas akibat gangguan fungsi sistol dan atau diastol yang
terjadi secara bersamaan. Syok kardiogenik sering terjadi pada bayi maupun
anak, merupakan penyebab primer maupun sekunder sebagai akibat stadium
lanjut dari semua jenis syok sehingga mengakibatkan gangguan kemampuan
jantung untuk mempertahankan perfusi sel yang adekuat (Teddy Ontoseno,
2013).
Otot jantung memiliki kemampuan untuk meningkatkan kontraktilitasnya
bila diregangkan. Peningkatan aliran balik vena dan peningkatan preload
menimbulkan peningkatan gaya untuk kontraksi ventrikel sehingga volume
sekuncup dan output jantung meningkat. Saat serat-serat otot jantung
meregang berlebihan, kontraktilitas menurun dan terjadi gagal jantung. Hal ini
sesuai dengan hukum Frank Sterling (Pardede, 2013).
Gangguan utama berupa penurunan kontraktilitas miokard sehingga terjadi
gangguan pengosongan ventrikel kiri dan mengakibatkan peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri akhirnya terjadi penurunan curah jantung dan cardiac
index. Ventrikel kiri menjadi overloaded, kondisi ini akhirnya terjadi
bendungan paru dan gagal jantung kongestif, peningkatn afterload serta makin
menurunnya volume sekuncup. Penurunan kontraktilitas dan peningkatan
afterload mengakibatkan overdistended ventrikel kiri, kondisi ini
mengakibatkan tegangan dinding ventrikel kiri dan konsumsi oksigen,
memperberat iskemia mikard yang telah terjadi (Teddy Ontoseno, 2013).
Disfungsi kontraktilitas jantung menyebabkan penurunan kardiak output
dan tekanan darah. Sedangkan, sistem neurohormonal melakukan kompensasi
dengan mengkatifkan katekolamin dan sistem renin angiotensin, hal ini
memicu takikardi, vasokonstriksi sistemik dan retensi cairan (Strange, 2012).
Respon ini sangat membahayakan pada syok kardiogenik karena takikardi
akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium yang dapat menyebabkan
pergeseran metabolisme menjadi anaerobik dan memicu peningkatan produksi
asam laktat. Selain itu, peningkatan vasokonstriksi, dan peningkatan afterload
dapat menyebabkan penurunan volume sekuncup dan makin memperburuk
kardiak output secara lebih lanjut (Pardede, 2013).
Syok kardiogenik terjadi oleh karena terganggunya keseimbangan antara
curah jantung dan kebutuhan metabolisme tubuh, dimana kebutuhan
metabolisme tubuh lebih dominan menimbulkan sindrom syok. Dengan
demikian keseimbangan antara curah jantung dan besarnya kebutuhan
metabolisme tubuh adalah ang terpenting. Walaupun secara absolut besarnya
curah jantung adalah normal bahkan meningkat, tetapi selama belum
memenuhi peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh maka akan terjadi
penurunan perfusi jaringan. Oleh karena itu sindrom syok bisa akibat curah
jantung yang menurun, curah jantung yang normal, atau meningkat (Teddy
Ontoseno, 2013).
Syok kardiogenik mengakibatkan sel di seluruh jaringan tubuh mengalami
hipoksia dan starvation, merangsang mekanisme kompensasi kompensasi
untuk menigkatkan curah jantung (stadium kompensasi). Bila mekanisme ini
tidak berhasil maka terjadi gangguan aktivitas metabolisme sel,
mengakibatkan penumpukan asam laktat yang bersifat toksik dan kekurangan
bahan-bahan yang diperlukan untuk mempertahankan aktivitas biologi sel.
Kondisi ini mengakibatkan asidosis, kematian sel, jaringan, kegagalan fungsi
organ tubuh dan kematian (Teddy Ontoseno,2013)
2.4.4 Syok Anafilaktik
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type
reaction), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis
diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast,
yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini
terjadi melalui 2 fase: (Koury SI, 2000)
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul
yang menimbulkan reaksi.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
cerna ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin
(IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
plasma. Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut
kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast dan basofil. Terjadi
kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan
mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler. Pada tahap selanjutnya
mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi
mediator sekunder dari netrofil, eosinofil dan trombosit, mediator primer
dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler
dan hemostasis. (Koury SI, 2000) (Finkelman F, 2007)
Sel mast dan basofil melepaskan isinya berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk
alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh
Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah preformed
mediators. (Finkelman F, 2007)
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin
(PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang
kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau
basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler
yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus, dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi. (Finkelman F, 2004)
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena gangguan distribusi dari volume dan aliran darah. Hal
ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung
menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi
penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita. (Johnson R, 2004)
2.4.5 Syok Neurogenik
Syok neurogenik dapat terjadi setelah trauma medula spinalis yang
menyebabkan hilangnya tonus simpatis vaskular dan refleks otonom yang
menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif. Kontraktilitas jantung tetap dapat
terjaga meskipun terjadi penurunan curah jantung akibat penurunan aliran balik
vena. (Arikan, 2008). Pada trauma medula spinalis terjadi trauma secara
neurologis dan hilangnya stimulasi simpatis yang menyebabkan kompensasi
berupa produksi epinefrin norepinefrin secara aktif tidak terjadi. (Vincent,
2008). Syok neurogenik biasanya ditandai dengan adanya hipotensi dengan
tekanan nadi yang lebar dengan bradikardi walaupun dengan resusitasi cairan
yang adekuat. (Arikan, 2008), (Papadakos P, 2005)
Hipotensi yang terjadi pada syok neurogenik menempatkan pasien pada
peningkatan risiko dari iskemia medula spinalis sekunder yang diakibatkan
oleh kegagalan autoregulasi. Istilah syok neurogenik yang digunakan sering
kali berubah-ubah, syok neurogenik menggambarkan perubahan hemodinamik
terkait trauma medula spinalis, sedangkan syok spinal ditandai dengan
hilangnya fungsi sensoris, motor atau refleks saraf spinal dibawah tingkat
cedera yang reversibel. Belum terdapat tes diagnostik definitif pada syok
neurogenik, akan tetapi secara klasiknya pasien akan mempunyai gejala
hipotensi dan bradikardi yang dapat diperburuk oleh adanya mengedan, dan
hipoksia. Kulit sering teraba hangat dan memerah pada awalnya. Hipotermia
dapat terjadi seiring dengan adanya vasodilatasi dan kehilangan panas tubuh
yang banyak. (Mack, 2013)
Trauma medula spinalis bagian servikal merupakan hal yang sering terjadi
pada anak dibanding dewasa diakibatkan oleh perbedaan struktur anatomi,
termasuk ukuran lingkar kepala yang besar dan belum berkembangnya otot
leher secara sempurna pada anak-anak. Hilangnya tonus simpatis pada syok
neurogenik, biasanya lebih sering terjadi pada cedera diatas Th 6. Terlebih lagi,
syok neurogenik dapat terjadi kapan saja setelah terjadinya cedera, seperti
beberapa minggu setelah munculnya gejala. Belum terdapat pencatatan
mengenai perubahan hemodinamik yang muncul pada trauma medula spinalis
akut pada anak anak. (Mack, 2013)
2.4.6 Syok Obstruktif
Syok obstruktif cukup jarang pada anak-anak, diakibatkan oleh
ketidakmampuan menghasilkan cardiac output yang adekuat meskipun
volume intravaskular dan fungsi miokardium normal. Penyebabnya adalah
pneumotoraks ventil, tamponade jantung, emboli paru. Gejala yang dapat
timbul adalah takikardi dan peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik.
Penyebab lain dari syok obstruktif yang lebih jarang adalah lesi jantung
kongenital yang ditandai dengan obstruksi saluran keluar ventrikel kiri,
termasuk stenosis aorta berat, koarktasio aorta, lengkung aorta terganggu, dan
sindroma jantung kiri hipoplastik. (Jonathan, 2009) (Carrie, 2013)
2.4.6.1 Pneumotoraks Ventil
Pneumotoraks ventil didefinisikan sebagai akumulasi udara di ruang pleura,
yang normalnya diisi oleh cairan pleura dalam jumlah sedikit.
Penyebabnya dapat secara spontan (lebih sering pada remaja laki-laki) atau
akibat sekunder dari gangguan di paru akibat trauma, asma, fibrosis kistik, dan
pneumonia. Penyebab lainnya adalah kasus iatrogenic seperti barotraumas
selama ventilasi positif atau selama pemasangan kateter vena sentral di
pembuluh darah dada. (Johnson, 2010)
Pneumotoraks dapat ditoleransi dengan baik pada beberapa pasien,
meskipun tanda dan gejala syok obstruktif dapat terjadi jika pneumotoraks
menjadi ventil. Udara di ruang pleura dapat terus terkumpul di bawah efek
katup satu arah dan menyebabkan udara masuk saat inspirasi tetapi tidak dapat
keluar saat ekspirasi. Akhirnya, udara yang cukup terakumulasi meningkatkan
tekanan intratorakal dari hemitoraks yang terkena dampak dan menyebabkan
kolaps paru-paru atau atelektasis lengkap. Udara yang terperangkap juga
menyebabkan pergeseran mediastinum, kompresi dan kolaps total dari paru-
paru dan pembuluh darah. Hal ini dapat membahayakan fungsi kardiovaskular
dan pernapasan. (Johnson, 2010)
2.4.6.2 Tamponade Jantung
Tamponade jantung didefinisikan sebagai kompresi jantung akibat kumpulan
komponen di perikardium yang mengganggu kerja jantung. Komponen yang
dimaksud dapat berupa cairan, pus, darah, maupun udara. Perubahan cairan
perikardial akut biasanya simtomatik, akumulasi cairan kronis dapat terjadi
dengan sedikit atau tidak ada gangguan hemodinamik.
Secara historis, penyebab paling umum dari efusi perikardial adalah
perikarditis menular, meskipun sebuah tinjauan baru-baru ini menunjukkan
bahwa penyebab idiopatik dan neoplastik lebih sering terjadi karena
keberhasilan vaksinasi pada anak-anak. Penyebab umum lainnya termasuk
sindrom postpericardiotomy (mengikuti operasi jantung untuk penyakit
jantung bawaan) dan trauma, yang paling sering menyebabkan
hemoperikardium.(Troughton, 2004) (Kuhn, 2008)
Patofisiologi tamponade jantung secara singkat, akibat peningkatan
tekanan intraperikardia membatasi vena kembali ke jantung dan menyebabkan
kompresi ventrikel kanan. Ada penurunan progresif dalam volume diastolik
ventrikel kanan saat pengisian diastolik berkurang, memburuknya curah
jantung. Pada tamponade berat, kembalinya vena selama inspirasi ke dalam
ventrikel kanan terkompresi membungkam septum interventrikular ke
ventrikel kiri, yang selanjutnya mengurangi curah jantung sistemik. Karena
tekanan perikardial meningkat dan melampaui tekanan diastolik ventrikel
akhir, volume ventrikel tumbuh lebih kecil dan lebih kecil dan output kardiak
memburuk.(Knudson, 2011)
Diagnosis tamponade jantung ditegakkan dengan tiga gejala Beck, yaitu
hipotensi, suara jantung yang redup, dan peningkatan tekanan vena jugularis.
Pasien mungkin mengalami dispnea, takikardia kompensasi, dan perfusi
buruk. Pada auskultasi, gesekan friksi dan suara jantung jauh mungkin ada.
Pulsus paradoxus, yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah
sistolik lebih besar dari atau sama dengan 10 mmHg selama inspirasi,
dihasilkan dari pengurangan inspirasi tekanan pleura yang menghasilkan
penurunan output ventrikel kiri dan tekanan sistolik arteri. Elektrokardiogram
dapat menunjukkan alternans listrik karena efusi yang besar.(Troughton,
2004) (Knudson, 2011) (Azam, 2011) (Keane, 2006)
2.4.6.3 Emboli Pulmonal
Emboli pulmonal (PE) jarang didiagnosis pada anak-anak, membuat
kejadian sebenarnya sulit untuk ditentukan. Kejadian PE mulai meningkat
mungkin disebabkan banyak anak bertahan dari kondisi fatal sebelumnya yang
menempatkan mereka pada peningkatan risiko pengembangan PE, seperti
penyakit jantung kongenital dan keganasan. Penyebab lainnya karena banyak
anak memerlukan kateterisasi vena sentral untuk akses vascular, yang
merupakan faktor risiko utama tromboemboli vena (VTE) dan dapat
menyebabkan PE.(Baird, 2010) (Victoria, 2009)
Mekanisme hipoksemia mungkin melibatkan beberapa mekanisme. Pada
beberapa pasien anak-anak, pirau intrakardiak kanan-ke-kiri melalui foramen
ovale yang paten dan saat tekanan atrium kanan meningkat dan akhirnya
melebihi tekanan atrium kiri, darah terdeoksigenasi dapat langsung dilipat ke
dalam sirkulasi sistemik. Sebagai tambahan, ketidaksesuaian V / Q diperparah
oleh penurunan curah jantung yang dihasilkan dari PE besar, yang
menyebabkan desaturasi vena campuran. PE meningkatkan afterload ventrikel
kanan (ventrikel kanan), menghasilkan peningkatan volume diastolik RV
akhir (EDV). Peningkatan RVEDV berdampak negatif pada hemodinamik
ventrikel kiri melalui interdependensi ventrikel. Secara khusus, lengkung
septum interventrikular ke ventrikel kiri (LV) dan mengganggu pengisian
diastolik, sehingga terjadi penurunan beban preload LV dan kemudian
menurunkan cardiac output dan hypotension. Fenomena fisiologis ini
dimanifestasikan oleh distres pernapasan, hipoksia, dan penurunan curah
jantung dengan tanda syok.(Tapson, 2004) (Patocka, 2012)
PE sering fatal dan sulit didiagnosis. Dalam sebuah tinjauan literatur baru-
baru ini yang membandingkan PE pediatrik dengan PE dewasa, kasus anak-
anak lebih sering didiagnosis pada otopsi dan dikaitkan dengan tingkat
kematian yang lebih tinggi daripada orang dewasa. Presentasi klinis sering
membingungkan, mungkin ditambah dengan kenyataan bahwa sangat sedikit
dokter anak yang memiliki banyak pengalaman dengan kelainan ini. Hasil tes
skrining, seperti saturasi oksigen, elektrokardiografi, dan radiografi dada,
mungkin normal. Dengan demikian, diperlukan kecurigaan klinis yang tinggi.
Evaluasi harus dilakukan dengan venografi spiral computed tomography (CT),
yang sekarang banyak dipertimbangkan sebagai studi pilihan karena> 90%
sensitivitas dan spesifisitas pada orang dewasa. Pemindaian Ventilasi / Perfusi
(V/Q) juga tersedia namun lebih sulit didapat dan diinterpretasikan pada
pediatri.(Baird, 2010) (McCrory, 2011)
2.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis dari syok dilihat dari gambaran umum kondisi pasien.
Selama keadaan syok, tubuh berusaha mempertahankan fungsi organ vital.
Perkembangan keadaan syok umumnya dibagi menjadi tiga fase: syok
kompensasi, tidak terkompensasi, dan ireversibel. Manifestasi klinis yang tampak
berbeda-beda pada setiap stadium syok. Manifestasi klinis juga akan berbeda
sesuai dengan jenis syok yang dialami oleh pasien. (Wheeler,2013)
Tabel: Manifestasi klinis sesuai stadium syok (Wheeler,2013)
Sistem Organ Kompensasi Dekompensasi Irreversibel

Sistem saraf Agitasi, ansietas → Perubahan status Trauma hipoksia-


pusat Letargi, somnolen mental, iskemia, nekrosis
ensefalopati, sel
trauma hipoksia-
iskemia

Jantung Takikardi Takikardi → Iskemia miokard,


bradikardi nekrosis sel

Paru Takipneu, Gagal nafas akut Gagal nafas akut


peingkatan kerja
nafas

Ginjal Oliguria, Nekrosis tubular Nekrosis tubular


peningkatan akut, gagal ginjal
osmolalitas urin, akut
peningkatan
natirum urin

Traktus Ileus, gangguan Pankreatitis, Perdarahan saluran


gastrointestinal makan, stress perdarahan saluran cerna,
gastritis cerna

Hati Trauma Nekrosis Gagal hati


centrilobular, centrilobular,
peningkatan shock liver
transamin

Hematologi Aktivasi DIC DIC


endothelial, aktivasi
platelet

Metabolisme Glikogenolisis, Deplesi glikogen, Hipoglikemia


glukoneogenesis, hipoglikemia
lipolisis, proteolisis

Sistem imun imunoparalisis imunoparalisis imunoparalisis

Tabel x. Manifestasi klinis sesuai jenis syok (Arkin, 2008)


Tipe Syok Mekanisme Manifestasi klinis

Hipovolemik CO berkurang, Takikardi, nadi lemah, mata atau fontanel


SVR meningkat cekung, oliguria, CRT memanjang
Kardiogenik CO berkurang, Aritmia, kadang takikardi, nadi lemah
SVR meningkat atau menghilang, hepatomegali, JVP
meningkat
Distributif
Anafilaktik CO meningkat Angioedema, distress nafas karena
kemudian SVR penyenmpitan airway, stridor, wheezing
Neurogenik berkurang hebat Nadi cepat dan lemah
CO normal, SVR
berkurang
Septik
Warm syok CO normal, SVR Akral hangat, takikardi, hipotensi,
berkurang hiperpnea, perubahan sikap mental
Cold syok CO berkurang, Akral dingin, takikardi, perfusi perifer
SVR meningkat kurang,, denyut nadi berkurang,
hiperpnea, perubahan sikap mental
Obstruktif Preload berkurang, Takikardi, hipotensi, deviasi trakea jika
CO berkurang, ada pneumotorak, pulsus paradoksus pada
SVR normal atau tamponade jantung
meningkat
Pemeriksaan darah lengkap dapat memperkirakan volume darah intravaskular
sesudah tercapai keseimbangan pasca perdarahan. Pemeriksaan kadar elektrolit
pada pasien syok hipovolemia dapat mengetahui kelainan karena kehilangan
elektrolit. Pasien syok distributif memerlukan pemeriksaan kultur bakteri atau
virus yang sesuai untuk mencari penyebab infeksi. Bila syok kardiogenik atau
syok obstruktif dicurigai, pemeriksaan ekokardiogram dapat membantu diagnosis,
dan pada kasus tamponade, dapat memandu pemasangan selang perikardium
untuk mengeluarkan cairan. Pasien syok disosiatif memerlukan pemeriksaan zat
yang diduga sebagai penyebab (karbon monoksida, methemoglobin). Tatalaksana
syok juga memerlukan pemeriksaan serial analisis gas darah untuk pemantauan
status oksigenasi, ventilasi (CO2) dan asidosis dan sering memeriksa kadar
elektrolit serum, kalsium, magnesium, fosfor, dan nitrogen urea darah. (Kliegman,
2016)
Tabel x: Tanda vital dan nilai laboratorium sesuai usia (Kurshartono, 2013)
Denyut Jantung Jumlah Tekanan
(kali/menit) Pernafasan
Usia Leukosit Sistolik
(kali/menit) 3 3
Takikardi Bradikardi (x10 /mm ) (mmHg)

0 - 1 minggu >180 <100 >50 >34 <65


1 minggu - 1 >180 <100 >40 >19,5/<5 <75
bulan
1 bulan - 1 >180 <90 >34 >17,5/<5 <100
tahun
>1 tahun - 5 >140 >22 >15,5/<6 <94
tahun
>5 tahun - 12 >130 Tidak >18 >13,5/<4,5 <105
tahun diterapkan
>12 tahun – >110 >14 >11/4,5 <117
18 tahun

Tabel x. Kriteria disfungsi organ (Kurshartono, 2013)


Kardiovaskula Walaupun sudah diberikan cairan bolus intravena >40ml/kg
r dalam 1 jam:

 Tekanan darah turun (hipotensi) <persentil ke-5 sesuai


usia atau tekanan sistolik <2SD dibawah normal sesuai
usia
 Membutuhkan obat-obatan vasoaktif untuk
memeprtahankan tekanan darah normal (dopamine
>5μg/kg/menit atau dobutamin, epinefrin, atau
norepinefrin dalam dosis berapapun)
 2 dari kriteria berikut
o Asisdosis metabolik yang tidak bisa dijelaskan: base
deficit >5mEq/L
o Peningkatan kadar laktat arteri >2 kali batas atas
normal
o Oliguri: produksi urin<0,5 ml/kg/jam
o Pemanjangan capillary refill time >5 detik
o Beda temperatur sentral dan perifer >30C
Respiratori  PaO/FiO2 <300 tanpa kelainan jantung sianotik atau
penyakit paru sebelumnya
 PaCO2 >65 torr atau 20 mmHg daitas nilai batas PaCO2
 Jelas membutuhkan oksigen atau FiO2 >50% untuk
mempertahankan saturasi >92%
 Membutuhkan nonelective ventilasi mekanik invasif atau
noninvasif
Neurologi  Glasgow Coma Scale (GCS) <11
 Perubahan status mental akut dengan penurunan GCS >3
poin dari batas dasar abnormal
Hematologi  Jumlah trombosit <80.000/mm3 atau menurun 50% dari
nilai tertinggi dalam 3 hari sebelumnya (untuk pasien-
pasien hemato/onkologi kornis)
 International normalized ratio (INR) >2
Ginjal  Kreatinin serum >2 kali batas atas normal sesuai usia atau
peningkatan 2 kali batas dasar kreatinin
Hepar  Bilirubin total >4mg/dl (tidak untuk bayi baru lahir)
 ALT 2 kali dari batas atas normal sesuai usia

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Tatalaksana Umum
Syok biasanya disertai dengan adanya kerusakan organ maka penanggulangan
syok harus dilakukan dengan cepat. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menangani syok adalah yang pertama mengenali tanda-tanda syok, penanganan
cepat tanda gawat darurat melalui tampilan keadaan umum, frekuensi napas,
pengisian darah perifer, dalam waktu 20-50 detik kemudian pemberian oksigen,
stabilisasi jalan nafas (patent airway), pemasangan IV line maupun intraosseous
dalam waktu 0-5 menit (Monsieurs et al., 2015).

A. Airway dan Breathing

Pasien syok harus segera mendapatkan oksigen 100% karena hipoksia yang
terjadi akan memicu koagulasi intravaskular disseminata (KID). Ketika target
perfusi jaringan sudah tercapai, oksigen harus dititrasi untuk menghindari terjadi
hiperoksia dan penumpukan radikal bebas. Tindakan intubasi perlu
dipertimbangkan pada pasien syok terutama yang tidak bisa mempertahankan
jalan napas atau gagal napas. Namun tindakan intubasi pada pasien syok yang
secara hemodinamik tidak stabil dapat terjadi vagal refleks maka dibutuhkan
pemberian ketamin sebelum dilakukan intubasi. (Monsieurs et al., 2015).

B. Circulation

Pemberian akses IV pada pasien syok setidaknya harus memiliki 2 jalur vena
perifer. Apabila akses vena perifer tidak dapat dilakukan maka perlu
dipertimbangkan pemasangan kateter umbilikal pada neonatus atau akses
intraosseous pada anak dan balita. Pemasangan Central Venous Pressure (CVP)
perlu dipertimbangkan apabila terjadi syok refrakter cairan dan yang
membutuhkan vasopressor dan inotoropik. Hal ini juga dianggap lebih
menguntungkan karena dapat bertahan lebih lama (Monsieurs et al., 2015).

Terapi cairan yang digunakan adalah kristaloid isotonis (ringer laktat, Nacl
0,9%) sebanyak 20 cc/ kgBB dalam waktu 5-20 menit. Apabila syok belum
teratasi pemberian ini dapat diulang sekali lagi. Pemberian cairan dibatasi apabila
penyebab syok diduga karena kegagalan fungsi jantung. Pemberian bolus cepat
pada syok dianggap tidak hanya mengembalikan volume intravaskular tapi juga
dapat menghentika ekspresi gen inflamasi dan koagulasi yang dapat meningkatkan
survival rate pada pasien syok. Pada syok kardiogenik pemberian cairan yang
dianjurkan adalah 5-10 cc/ kgBB/ jam sambil dilakukan pemantauan
hemodinamik untuk mencegah terjadinya gagal jantung. Pemberian cairan koloid
atau transfusi darah hanya dilakukan apabila terjadi kasus perdarahan akut atau
anemia dengan transfusi yang tidak adekuat walaupun telah diberikan loading
cairan sebanyak 2 kali (Monsieurs et al., 2015; Fisher, 2010).

Pemberian inotropik pada syok yang belum teratasi dengan pemberian cairan
yang adekuat maka inotropik dan obat vasoaktif dapat menjadi pilihan. Anak yang
mengalami penurunan Cardiac Output (CO) dan peningkatan resistensi vaskular
sistemik akan mengalami manifestasi klinis berupa akral dingin, produksi urin
yang menurun dan tekanan darah yang normal setelah resusitasi cairan, dobutamin
dapat menjadi pilihan. Vasodilator dapat diberikan apabila setelah diberi
doboutamin tekanan darah normal namun CO tetap rendah dan resistensi vaskular
sistemik tetap tinggi. Bila terjadi hipotensi setelah pemberian dobutamin dan
vasodilator maka dapat dipertimbangkan pemberian epinefrin dengan dosis
10mcg/ kgBB dengan maksimum single dose 1 mg. Setelah mendapat terapi
cairan yang adekuat, namun anak tetap mengalami resistensi vaskular sistemik
yang rendah akan terjadi manifestasi klinis akral hangat, tidak sianosis dengan
CRT yang pendek maka dapat diberikan norepinefrin. (Fisher, 2010; Kawasaki,
2017)

Monitoring secara klinis dan hemodinamik perlu dilakukan selama dan


setelah tatalaksana awal apakah syok sudah teratasi atau sudah terjadi tanda-tanda
overload cairan yaitu adanya ronkhi, sesak napas, irama gallop, hepatomegali,
peningktan tekanan vena sentral tanpa perbaikan hemodinamik. Tanda syok
teratasi berupa CRT < 2 detik, denyut nadi normal tanpa perbedaan kualitas nadi
perifer dan sentral, produksi urin lebih dari 1 cc/ kgBB/ jam, kesadaran normal,
tekanan darah normal sesuai usia dengan MAP 65-7 dan saturasi oksigen >95%
(Kawasaki, 2017)
Gambar x.x Algoritma tatalaksan syok pada anak (Kawasuki, 2017)

2.6.2 Tatalaksana Spesifik


2.6.2.1 Syok Hipovolemik
2.6.2.2 Syok Sepsis
1. Pertahankan pernapasan dan oksigenasi
Mempertahanakan pernapasan dan pemberian oksigen yang cukup
merupakan langkah awal pada seiap kegawatan. Sebagian kasus dengan
syok septik membutuhkan topangan ventilator walaupun jalan napasnya
cukup adekuat. Intubasi diberikan pada kodisi distres pernapasan atau
ketidakstabilan hemodinamik. Bila dibutuhkan induksi untuk tindakan
invasif dianjurkan menggunakan ketamin, karena ketamin tidak
menimbulkan hipotensi. (Kurshartono, 2013)
2. Resusitasi volume
Pada bayi dan anak yang mengalami syok membutuhkan resusitasi agresif
untuk mengembalikan volume intravaskular. Dianjurkan memberikan
bolus 20 ml/kgBB larutan garam fisilogis (kristaloid), dapat sampai 60
mg/kgBB dalam 10 menit sambil mengevaluasi tanda – tanda kelebihan
cairan. Jika ditemukan tanda – tanda kelebihan cairan seperti hati teraba
membesar, terdengar bunyi ronki pada auskultasi paru, maka pemberian
cairan resusitasi dihentikan. Pemberian koloid dapat dipertimbangkan bila
dengan pemberian cairan kristaloid belum memberikan respon perbaikan.
Kadar gula darah harus diperiksa dan dikoreksi segera bila konsentrasinya
rendah untuk menhindarkan destruksi jaringan saraf sebagai konsekuensi
dari hipoglikemia. (Kurshartono, 2013)
3. Inotropik dan obat vasoaktif
Bila syok belum teratasi dengan pemberian cairan yang adekuat, aka dapat
digunakan obat-obatan inotropik dan vasoaktif. Pemilihan obat inotropik
dan vasoaktif dilakukan berdasarkan gambaran klinis masing – masing
pasien. Anak dengan penurunan curah jantung dan peningkatan resistensi
vaskular sistemik dapat bermanifestasi dengan akral dingin, penurunan
produksi urine dan tekanan darah yang normal setelah resusitasi cairan.
Dobutamin merupakan pilihan pada kelompok ini. Bila setelah dobutamin
tekanan darah normal namun curah jantung tetap rendah dan resistensi
vaskular sistemik tetap tinggi, maka dapat ditambahkan vasodilator. Jika
curah jantung belum cukup namun tekanan darah masih normal dapat
dipertimbangkan pemberian epinferin, vasodilator dan inhibitor
fosfodiesterase. Bila terjadi hipotensi setelah pemberian dobutamin dan
vasodilator maka selanjutnya dapat diberikan epinferin dan bila perlu
penambahan volume. (Pudjiadi A, 2013)
Resistensi vaskular sistemik yang rendah ditandai dengan akral hangat,
tidak terdapat sianosis perifer, dan waktu isian kapiler yang pendek. Jika
kondisi ini terjadi setelah resusitasi cairan yang adekuat maka epinferin
merupakan pilihan utama. Pada kasus yang resisten nor-epinephrine,
dilaporkan juga penggunaan vasopresin. (Pudjiadi A, 2013)
4. Insufisiensi adrenal
Kurangnya respon pada pemberian katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin) dapat disebabkan oleh insufisiensi adrenal atau defisiensi
tiroid. Anak yang berisiko mengalami kondisi tersebut (misal purpura
fulminan, telah terpajan steroid sebelumnya atau menderita penyakit
sistem saraf pusat) harus segera diterapi dengan pemberian hidrokortison.
Dosis hidrokortison pada keadaan syok adalah 50 mg/kgBB bolus, diikuti
dengan 50 mg/kgBB infus kontinu selama 24 jam. Dalam kondisi sakit
kritis, dianjurkan pemberian hidrokortison 2 mg/kgBB diikuti dengan 2
mg/kgBB dalam 4 dosis terbagi atau 0,18 mg/kgBB/jam infus kontinu
selama 7 hari, untuk mencapai level kortisol dalam plasma sebesar 30
mg/dL. (Kurshartono, 2013)
5. Target resusitasi
Rivers dkk telah membuktikan bahwa mortalitas sepsis pada dewasa dapat
dikurangi dengan mempertahankan tekanan darah dalam kisaran normal
dan saturasi vena kava superior >70% dengan cara menggunakan zat
inotropik dan mempertahankan kadar hemoglobin 10 g/dL (metode early
goal directed therapy). Pasien dengan tekanan darah normal dan saturasi
vena kava superior >70% mempunyai nilai waktu protormbin lebih pendek
dan angka kematian yang lebih kecil dari kelompok kontrol. Hal ini
mendukung konsep yang menyatakan bahwa aliran darah yang tinggi akan
mengurangi risiko trombosis. (Pudjiadi A, 2013)
Pada anak, target resusitasi yang diharapkan dalam 1-6 jam pertama adalah
waktu isian kapiler <2 detik, kualitas nadi baik pada perabaan sentral
maupun perifer, akral hangat, produksi urin >1 mL/kg/jam, kesadaran
baik, anion gap menurun dan saturasi vena kava superior >70%. (Pudjiadi
A, 2013)
6. Eradikasi infeksi
Sepsis hanya dapat diatasi apabila infeksi dapat dibasmi. Oleh sebab itu,
pemberian antibiotik yang tepat atau upaya lain untuk menghilangkan
sumber infeksi sangat penting dilakukan. Pemberian antibiotik harus
mempertimbangkan faktor usia, pola resistensi kuman dan pertimbangan
lain sesuai diagnosis kerja. Kultur darah segera dikerjakan sebelum inisiasi
antibiotik. Pemberian antibiotik di unit gawat darurat sebaiknya tidak
menyebabkan penundaan tatalaksana resusitasi volume dan
kardiovaskuler. (Pudjiadi A, 2013)
Neonatus sebaiknya diterapi dengan ampisilin ditambah sefotaksim
dan/atau gentamisin. Asiklovir dapat diberikan bila dicurigai terdapat
klinis virus herpes simplek. Pada balita dan anak, infeksi yang didapat dari
komunitas dengan Neisseria meningitidis dan infeksi Haemophilus
influenzae dapat langsung ditatalaksana dengan sefalosporin generasi
ketiga (seftriakson atau sefotaksim). Resisten terhadap Streptococcus
pneumoniae membutuhkan pemberian vankomisin. (Turner, 2016)
2.6.2.3 Syok Kardiogenik
Penatalaksaan syok kardiogenik ditujukan untuk meningkatkan curah jantung
dengan cara memperbaiki kinerja jantung yaitu mengurangi preload, mengurangi
afterload, nmeningkatkan kontraktilitas miokardium, dan menurunkan laju
jantung. Dalam melakukan manipulasi pada kinerja jantung di atas, idealnya
dipasang kateter Swan-Ganz sehingga curah jantung, tekanan pengisian ventrikel,
tekanan atrium kanan dan tekanan baji pulmonal dapat diukur secara obyektif.
Namun pada bayi dan anak pemasangannya kateter ini relatif sulit sehingga jarang
dikerjakan (Pardede, 2013)
Takikardia dan distres pernapasan meningkatkan kebutuhan oksigen pada
jantung yang telah mengalami penurunan kemampuan mengantarkan oksigen ke
seluruh tubuh. Tujuan tatalaksana adalah menurunkan kebutuhan oksigen dengan
menurunkan kerja sistem pernapasan. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan
intubasi rapid sequence,sedasi dan mengontrol rasa nyeri. Menurunkan resisten
perifer dapat meningkatkan volume sekuncup dan cardiac output1 Terapi inisial
pada syok kardiogenik adalah pemberian oksigen dan ventilasi mekanik (Lyncoln,
2006).
Penatalaksanaan secara umum
Tatalaksana secara umum meliputi (Pardede, 2013; Lyncoln, 2006)
 Meminimalisir kebutuhan oksigen miokardium, dengan intubasi dan
ventilasi mekanik, sedasi, koreksi anemia dan mempertahankan pada suhu
tubuh normal
 Memaksimalkan kerja miokardium dengan mengoreksi disrtimia,
mengoptimalkan preload, meningkatkan kontraktilitas, dan menurunkan
afterload
 Menyingkirkan kemungkinan penyakit jantung kongenital dan traumatik
 Pemasangan infus untuk memberikan bolus cairan 10 mL/kg untuk
mengisi pembuluh darah yang kolaps
 Koreksi keseimbangan asam-basa dan elektrolit
 Pemasangan kateter vena sentral unutk mengukuran tekanan vena sentral
Penatalaksanaan syok pada anak dimulai dengan anamnesis cepat dan
pemeriksaan fisik untuk menemukan gejala klinis yang sugestif terhadap syok
kardiogenik, gejala tersebut dapat berupa gejala kardiak dan ekstrakardiak. Gejala
kardiak dapat ditemukan murmur, gallop dan denyut perifer, sementara pada
gejala ekstra kardiak dapat ditemukan tekanan pengisian yang tinggi dengan
manifestasi adanya rhonki, takipena, hepatomegalim turgor jugular dan edema
perifer. Dapat juga ditemukan manifesitasi berupa bintik-bintik pada kulit,
hipotensi, penurunan kesadaran dan keterlambatan pengisian kapiler.
Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan NT pro BNP, BNP,
peningkatan Troponin pada darah, peningkatan laktat, ditemukan gangguan pada
pemeriksaan radiologis, EKG dan ekokardiografi.
Penatalaksaan secara spesifik
1. Pemberian obat-obatan (Pardede, 2013)
Sesuai dengan kinjerja jantung yang terganggu, obat-obatab untuk
meningkatkan curah jantung dapat berupa obat-obatan inotropik, diuretik,
dan obat-obatan vasodilator.
a) Inotropik
 Dopamin dan dobutamin
Merupakan obat inotropik yang diberikan secara parenteral.
Kedua obat ini memiliki awitan kerja yang cepat dan lama
kerja yang singkat sehingga lebih disukai dibanding digoksin
untuk menangani gagal jantunh akut dan berat apalagi disertai
gangguan fungsi ginjal.
Dopamin maupun dobutamin bersifat simpatomimetik sehingga
dapat meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan denyut
jantung. Dosis dopamin (IV drip) biasanya 5-10
mg/kgBB/menit. Pada dosis 2-5 mg/kgBB/menit, dopamin
menimbulkan vasodilatasi ginjal, pada dosis 5-8
mg/kgBB/menit bersifat inotropik, pada dosis >8
mg/kgBB/menit dapat menyebabkan takikardia, pada dosis >10
mg/ kgBB/menit menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan pada
dosis 15-20 mg/ kgBB/menit menyebabkan vasokonstriksi.
Dosis dobutamin (IV drip) yang direkomendasikan adalah 5-8
mg/kgBB/menit.
 Digoksin
Digoksin merupakan preparat digitalis yang cukup sering
digunakan untuk mengobati gagal jantung pada anak. Pada
kasus gagal jantung, digoksin diberikan untuk meningkatkan
kontraktilitas miokardium. Pemberian digoksin merupakan
kontraindikasi pada kardimiopati hipertrofik, blok jantung
komplit atau temponade jantung. Digoksin harus diberikan
hati-hati karena sempitnya rentang keamanannya antara dosis
efektif dan dosis toksik.
Dosis oral digoksin untuk gagal jantung:

Usia Dosis digitalis total Dosis rumatan (mcg/kgBB/hari


(mcg/kg)

Kurang bulan 20 5

Bayi<30 hari 30 8

Usia <2 tahun 40-50 10-12

Usia>2 tahun 30-40 8-10

Digoksin dapat diberikan secara intravena dengan dosis 75%


dosis oral. Pemberian intravena harus dilakukan secara
perlahan selama 5-10 menit, jika terlalu cepat dapat terjadi
vasokonstriksi arteriol sistemik dan koroner.
 Milrinion
Milrinion termasuk dalam penghambat fosfodiesterase-3 yang
berkerja dengan cara menghambat hidrolisis 3’5’ siklik
adenosin monofosfat (cyclic AMP) intraseluler. Dengan
meningkatnya cAMP di dalam sel akan meningkatkan
vasodilatasi perifer dan koroner, meningkatkan kontraktilitas
miokardium, dan meningkatkan fungsi relaksasi miokardium.
Pemberian obat ini diawali dengan bolus 75 µg/kg diikuti
pemberian perinfus kontinu dengan dosis 0,5 µg/kg/menit
sampai 0,75 µg/kg/menit. Kerja obat milrinon selain sebagai
inotropik, juga sebagai vasodilator sehingga dapat
memperbaiki aliran darah ke paru. Efek samping milrinon
adalah hipotensi. Untuk mencegah hipotensi saat pemberian
bolus dapat disertai dengan pemberian cairan yang cukup.
b) Diuretik
 Furosemid
Furosemid adalah golongan diuretik kuat yang bekerja di ansa
henle ginjal. Furosemid biasanya dipakai pada anak dengan
dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Dapat diberikan secara oral atau
intravena dengan dosis yang sama. Furosemid menghambat
reabsorpsi air dan natrium di ginjal sehingga mengurangi beban
volume sirkulasi sehingga mengurangi preload jantung. Efek
samping adalah hipokalemia sehingga pada pemberian
furosemid, kadar eletrolit harus dimonitor secara rutin.
 Antagonis aldosteron
Pada penderita gagal jantung, kadar serum aldosteron
meningkat secara bermakna. Aldosteron menyebabkan cairan
yang sudah disekresi di ansa henle akan direabsorpsi kembali
di tubulus distal. Pemberian spironolakton, suatu diuretik
inhibitor aldosteron akan mengefektifkan kerja furosemid
dengan jalan mencegah reabsorpsi cairan di tubulus distal. Di
samping itu, spironolakton bersifat menahan kalium sehingga
jika digunakan bersamaan dengan furosemid, deplesi kalium
akan dicegah. Berbeda dengan furosemid, spironolakton hanya
dapat diberikan per oral. Diuretik sebaiknya tidak diberikan
secara berlebihan karena preload yang berkurang secara
berlebihan, selanjutnya akan mengurangi curah jantung dan
aliran darah ke ginjal yang pada akhirnya akan memicu respons
neurohumoral yang menyebabkan retensi cairan.
c) Vasodilator
Pada penderita gagal jantung, sebagai mekanisme kompensasi terhadap
penurunan curah jantung maka terjadi vasokonstriksi pembuluh darah
yang disebabkan oleh peningkatan tonus simpatik, katekolamin dan
juga aktivitas sistem renin-angiotensin. Vasokonstriksi yang
berlangsung lama akan merugikan ventrikel karena akan menambah
beban kerja ventrikel dan memperburuk kondisi gagal jantung. Pada
keadaan ini vasodilator merupakan pilihan yang tepat. Obat ini
mengurangi afterload dengan cara mengurangi resistensi vaskuler
perifer melalui vasodilatasi arteri atau bahkan vasodilatasi vena. Obat
ini meningkatkan isi sekuncup tanpa meningkatkan kontraktilitas
sehingga tidak menambah konsumsi oksigen pada otot jantung. Obat
ini terutama sangat bermanfaat untuk anak dengan gagal jantung akibat
kardiomiopati atau penderita dengan insufisiensi mitral atau aorta yang
berat atau pasca-bedah jantung dan sering digunakan bersama dengan
digitalis dan diuretik. Penggunaan vasodilator pada penderita PJB
dengan pirau kiri ke kanan yang besar (defek septum atrium, duktus
arteriosus persisten) juga dilaporkan bahwa hasilnya baik.
Hingga kini, ACE-inhibitor, masih merupakan obat pilihan untuk
penyakit kardiovaskuler, terutama untuk memperbaiki fungsi dan
anatomi pembuluh darah arteri, meregresi tunika media dan berperan
pada remodelling kardiovaskuler. Remodelling adalah adanya
perubahan intrinsik bentuk dan besar jantung serta struktur mikro di
dalamnya, sebagai respons terhadap beban tekanan atau volume.
Dalam menjalankan fungsinya, endotel pembuluh darah menunjukkan
sifat dualistik. Sifat ini secara simultan mengekspresikan dan
melepaskan zat-zat vasodilator dan vasokonstriktor, faktor yang
menyebabkan proliferasi dan mencegah proliferasi sel-sel otot polos
pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara sistem
antagonis ini dapat mengontrol secara optimal fungsi dinding
pembuluh darah. Zat vasokonstriktor terdiri dari angiotensin II,
endotelin-1, prostaglandin tromboksan A-2, dan superoksida,
sedangkan vasodilator yang menonjol adalah prostaglandin
prostasiklin dan nitrit oksida. Ketidakseimbangan antara vasodilator
dan vasokonstriktor menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Pada
kondisi ini, pembuluh darah lebih cenderung mengalami
vasokonstriksi dan sel-sel otot polosnya cenderung mengalami
hipertrofi.
ACE-inhibitor mempunyai kerja ganda yang cukup efektif, yaitu
secara simultan mencegah sintesis angiotensin II dan degradasi
bradikinin. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan
bradikinin akan meningkatkan sintesis dan penglepasan nitrit oksida,
dan prostasiklin. Melalui aktivitas antitropik bradikin dan penurunan
sintesis angiotensin II, ACE-inhibitor dapat meregresi remodelling
miokardium. Kaptopril merupakan obat golongan ACE-inhibitor yang
paling sering digunakan dengan dosis 0,3-6,0 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis, dimulai dengan dosis rendah. Pemberian harus dilakukan 1 jam
sebelum atau 2 jam setelah makan mengingat absorpsinya terganggu
oleh makanan. Pemberian jangka panjang dapat mengakibatkan
defisiensi Zinc yang menimbulkan penurunan rasa pada lidah sehingga
perlu dilakukan suplementasi Zinc. Kaptopril merupakan ACE-
inhibitor yang mengakibatkan dilatasi arteri dengan menghambat
produksi angiotensin II. Dilaporkan bahwa kaptopril juga mempunyai
efek venodilatasi. Efek samping kaptopril adalah hipotensi (dapat
menurunkan tekanan darah dalam 15 menit), retensi kalium
(menguntungkan jika diberikan bersama furosemid), edema dan batuk.
Pada penderita yang hipovolemik atau kadar natriumnya rendah,
pemberian kaptopril dapat mengakibatkan hipotensi berat.
1. Intervensi non-bedah (Pardede, 2013; Lyncoln 2006)
Dengan kemajuan di bidang kardiologi, penyakit jantung bawaan tertentu
dapat ditata laksana tanpa pembedahan. Teknik ini sudah dapat digunakan
untuk menatalaksana duktus arteriosus paten, defek septum atrial, defek
septum ventrikel, atau penyempitan katup atau pembuluh darah. Tindakan
ini dapat juga bersifat sementara/paliatif seperti tindakan balloon atrial
septostomi (BAS) untuk memperbaiki percampuran pada tingkat atrium
atau pemasangan stent pada pasien dengan duktus arteriosus paten dengan
duct dependent circulation.
2. Terapi bedah (Pardede, 2013; Lyncoln 206)
Beberapa kelainan jantung bawaan dapat bermanifestasi sebagai gagal
jantung kongestif dan syok kardiogenik. Terapi definitif pada gangguan ini
adalah dilakukan pembedahan.
Terapi bedah dikerjakan pada penyakit jantung bawaan yang tidak
berespons terhadap terapi medikamentosa. Terapi bedah dapat bersifat
sementara atau paliatif ataupun bersifat definitif atau korektif yaitu
memperbaiki kelainan anatomik yang ada. Berkat adanya kemajuan di
bidang pembedahan dan perawatan pasien pasca-bedah di ICU, banyak
neonatus dengan PJB kompleks yang berhasil diselamatkan.
Gambar x. Ttatalaksana syok kardiogenik pada anak (Brisuad, 2016)
2.6.2.4 Syok Anafilaktik
Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik setelah A,B,C dan menghentikan
kemungkinan penyebab syok seperti obat, sengatan serangga, radio kontras
atau alergen lainnya, setelah itu dapat dilakukan pemberian epinefrin.
Pemberian dosis epinefrin yang memadai sangat penting untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin memiliki indeks
terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin mempunyai efek
alpha-1, beta-1, beta-2 agonis yang penting dalam membalikkan gejala
anafilaksis. Efek agonis alpha-1 penting terhadap resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi
edema mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis
beta-1. Stimulasi dari reseptor beta-2 menyebabkan bronkodilatasi dan
penurunan pelepasan mediator sel mast dan basofil.(Simons F,)
Epinefrin konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara
intramuskular. Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan untuk
dilakukannya injeksi. Dosis pemberian epinefrin sebanyak 0,01 mg / kg/ kali
(sediaan 1 mg/ ml), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika
dosis awal tidak efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15
menit maksimal 3 kali pemberian. (Muraro A, 2007)
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah
termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Antihistamin H1 dan H2
dalam kombinasi telah dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa
manifestasi anafilaksis daripada antihistamin H1 saja. Diphenhydramine,
antihistamin H1 generasi pertama, paling sering digunakan dalam pengelolaan
anafilaksis. Dosis diphenhydramine sebanyak 1mg/ kg/ kali (sediaan 10mg/
ml) dengan dosis maksimal 50 mg/ kali secara IM atau IV. Nilai kembali klini
bila perbaikan monitoring 4-6 jam namun apabila reaksi berulang atau tidak
ada respon dapat diberikan kortikosteroid berupa deksametason dosis inisial 1
mg/ kg/ kali (sediaan 5mg/ ml) dengan dosis maksimal 16 mg. Dosis lanjutan
0,5-1 mg/ kg/ hari. Dalam hal terjadi spasme bronkus dapat ditambahkan
aminofilin dosis awal 5–6 mg/kgBB intravena yang diteruskan 0.4–0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus. (Muraro A, 2007)
Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan
agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah
dengan epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan
dosis maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin terus menerus mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi terus
meskipun disebutkan di atas intervensi, vasopresin atau vasopressor
potensial lainnya (agonis a1) mungkin lebih efektif. (Muraro A, 2007)
Pengamatan
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang mengalami
reaksi anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan jarang dapat
terjadi pada 72 jam akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu untuk observasi
harus didasarkan pada keparahan dari reaksi awal, kecukupan pengawasan,
ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke perawatan medis. Banyak penulis
menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam, namun waktu
pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien. (Muraro
A, 2007)
Pencegahan Syok Anafilaktik
Memberikan edukasi sifatnya sangat penting, terutama pada pasien muda dengan
anafilaksis terhadap makanan. Edukasi yang utama adalah meghindari faktor
alergen seperti makanan. Pertama-tama, menemukan alergen adalah yang
terpenting. Anamnesis mengenai riwayat alergi, riwayat adanya alergi pada
keluarga dapat membantu sebagai upaya preventif. Selain itu dapat pula dilakukan
tes untuk menemukan alergen dapat dilakukan dengan tes alergi (skin test).
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan edukasi
mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat anafilaksis di
tempat. Semua pengasuh anak harus memiliki pemahaman yang baik tentang ini
rencana perawatan, termasuk juga fasilitas penitipan anak dan sekolah. (Muraro A,
2007)
2.6.2.5 Syok Neurogenik
Penurunan resistensi sistemik vaskular menyebabkan hipovolemia relatif
karena peningkatan kapasitas vena dan pemberian cairan isotonik seringkali
diperlukan. Hipotensi akibat syok neurogenik sering kali refrakter terhadap
resusitasi cairan. Hipotensi yang terjadi pada pasien trauma tidak dapat
langsung diasumsikan sebagai syok neurogenik, melainkan dapat sebagai
manifestasi syok hipovolemik. Pasien yang mengalami trauma dengan
hipotensi harus diberikan cairan kristaloid pada awalnya (NaCl 0,9%, RL),
atau koloid (albumnin, produk darah), kemudian dievaluasi perdarahan yang
sedang berlangsung. Pasien harus diberikan resusitasi cairan yang memadai
secara hemodinamika sebelum dilakukan dekompresi tulang belakang secara
operatif. (Mack, 2013)
Hipotensi pada anak yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <70
mmHg ditambah dengan dua kali umur, harus dipertimbangkan dalam
mengatasi dan menatalaksana syok secara umum pada anak, akan tetapi pada
trauma medula spinalis tekanan darah harus dijaga lebih tinggi dari tekanan
darah minimum yang dapat diterima.(Mack, 2013)
Hipotensi harus segera ditatalaksana untuk menghindari iskemia sekunder
trauma medula spinalis, yang biasanya berhubungan dengan trauma bagian
servikal dan trauma kepala. Penggunaan manitol harus dihindari apabila
terjadi syok pada pasien dengan trauma kepala dan trauma medula spinalis,
yang mana saat ini yang direkomendasikan adalah penggunaan cairan yang
hipertonis sebagai terapi lini pertama. Phenylephrine (α1 agonis) sebagai
vasokontriktor perifer dapat digunakan pada pasien hipotensi dengan
kronotropik dan inotropik normal. Pemberian norepinefrin juga dapat
dipertimbangkan karena bekerja pada α1 dan β1. (Mack, 2013)
Phenylephrine merupakan non katekolamin sintetik yang menstimulasi
terutama reseptor α adrenergik secara langsung, hanya sebagian kecil bekerja
secara tidak langsung melalui pelepasan norepinefrin. Phenylephrine memiliki
masa kerja yang lebih panjang dari katekolamin karena langsung bekerja pada
reseptor. Venokontriksi yang terjadi lebih besar dari arterial kontriksi,
sehingga phenylephrine merupakan vasokontriktor yang sangat poten akan
tetapi dapat menyebabkan penurunan aliran darah dan perfusi jaringan.
(Soelting, 2005).
Secara struktur phenylephrine adalah3-hydroxyphenylethylamine, berbeda
dengan epinefrin dimana ditandai dengan tidak adanya struktur 4-hydroxyl
pada cincin benzena. Secara klinis, phenylephrine menyerupai efek
norepinefrin namun kurang poten dan efek lebih lama dengan stimulasi SSP
minimal. Phenylephrine 50-200 mcg intravena sering diberikan untuk
mengatasi penuruan tekanan darah sistemik karena blokade sistem saraf
simpatis akibat anestesi regional atau vasodilatasi perifer akibat kombinasi
agen inhalasi dan intravena. (Soelting, 2005).
Apabila terdapat bradikardi, maka pasien dapat diberikan atropin,
glycopyrrolate atau vasopressor infus dengan kronotropik, vasokontriktor dan
agen inotropik seperti dopamin atau norepinefrin. Penggunaan isoproterenol
dapat dipertimbangkan, apabila agen kronotropik sangat dibutuhkan. (Mack,
2013)
2.6.2.6 Syok Obstruktif
a. Pneumotoraks Ventil
Pengobatan pneumotoraks ventil memerlukan dekompresi jarum,
biasanya dilakukan dengan memasang jarum steril di ruang interkostal
kedua sepanjang jalur midclavicular. Pengobatan pasti memerlukan
penempatan tabung torakostomi.(Johnson, 2010) (Wheeler, 2007)
b. Tamponade Jantung
Perikardiosentesis adalah prosedur penyelamatan pilihan untuk
anak-anak dengan tamponade jantung dan dapat dilakukan dengan baik
dengan bimbingan echocardiographic di samping tempat tidur. Stabilisasi
medis dengan resusitasi cairan dan dukungan inotropik bersifat sementara
dan agak kontroversial karena resusitasi cairan dapat memperburuk
fisiologi tamponade, terutama pada anak-anak yang mengalami
normovolemik atau hipervolemik. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan intracardiac lebih jauh, sehingga meningkatkan tekanan
intraperikardial dan memburuknya tamponade.(Knudson, 2011) (Azam,
2011) (Keane, 2006)
c. Emboli Pulmonal
Pengobatan emboli paru akut pada anak-anak harus dimulai
dengan inisiasi infus heparin dengan atau tanpa agen fibrinolitik seperti
tPA, tergantung pada anak dan tingkat gumpalannya. Pada periode
resolusi, anak tersebut kemudian memerlukan setidaknya 3-6 bulan
antikoagulan dengan heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) atau
warfarin. (Wheeler, 2007)
Dapus BAB 1
1. Kusnarto H, Pudjiadi A. Syok. Dalam : Pudjiadi A, Latief A,
Budiwardhana N. Buku Ajar : Pediatrik Gawat Darurat. Jakarta: UKK
Pediatrik Gawat Darurat IDAI; 2011. p. 108 - 10.
2. Mayetti, Ihsan I. Tata Laksana Awal dan Rujukan Syok Pada Anak. Dalam
: Mayetti, Fitri Yani F, Ihsan I. Pendidikan Profesi Kedokteran Anak
Berkelanjutan IV (PROKAB IV). Padang: Bagian IKA FK Unand; 2016.
p. 36 - 47.
3. GBD 2013 Mortality and Causes of Death Collaborators. Global, regional,
and national age-sex specific all-cause and cause-spesific mortality for 240
causes of death, 1990-2013: a systematic analysis for the Global Burden of
Disease Study 2013. Lancet. 2015;385(9963):117-71.
4. Nteziyaremyea J, Paasib G, Burgoinec K, Sadiq Balyejjusaa J, Tegua C,
Olupot-Olupota P. Perspectives on aetiology, pathophysiology and
management of shock in African children. African Journal of Emergency
Medicine. 2017;7:20-6.
5. Fisher J, Nelson D, Beyersdorf H, J. Satkowiak L. Clinical Spectrum of
Shock in the Pediatric Emergency Department. Pediatric Emergency Care.
2010;26(9):622-5.
6. Kusumastuti N, Azis A, Kushartono H, Darmawati I, Setianingtyas A,
Lestari D. Goal Directed Therapy. Dalam : Suryawan A, Arief S,
Setyoboedi B, Athiyyah K, Irmawati M, Kusumastuti N. Continuing
Education : Shock In Pediatrics. Ed 1. Surabaya: Depertemen IKA FK
UNAIR; 2013. p. 131-44.
7. Carcillo JA, Kurc BA, Han YY, Day S, Greenwald BM, McCloskey K, et
all. Mortality and and Functional Morbidity After Use of PALS/APLS by
Community Physicians. Pediatrics. 2009;124:500.
Dapus definisi dan klasifikasi
1. Strange G. Pediatric emergency medicine. 3rd ed. New York: McGraw-Hill
Professional; 2012
2. Brissaud O, Botte A, Cambonie G, Dauger S, de Saint Blanquat L, Durand P
et al. Experts’ recommendations for the management of cardiogenic shock in
children. Annals of Intensive Care. 2016;6(1).
3. Arikan A, A. Citak A. Pediatric Shock. Signa Viate. Departement of Pediatric
Intensive Care Istanbul Faculty of of Medicine. 2008. Vol. 1. h. 13-21.
4. George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan
Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan
Perioperatif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan
Reanimasi Indonesia; 2009. p. 16-36.
5. Carrie M, Derek SW. Obstructive Shock. The Open Pediatric Medicine
Journal. 2013. 7: 35-7.
6. Kliegman, R. M, Marcdante, K. J, Jenson, H. B., Behrman, R. Dalam: Nelson
Essentials of Pediatrics. Edisi keenam. Jakarta : Elsevier Publications;2007. h.
166-70.
7. Simons F, Ardusso L, Dimov V, Ebisawa M, El-Gamal Y, Lockey R et al.
World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update of the
Evidence Base. International Archives of Allergy and Immunology.
2013;162(3):193-204.
8. Nteziyaremye J, Paasi G, Burgoine K, Sadiq Balyejjusa J, Tegu C, Olupot-
Olupot P. Perspectives on aetiology, pathophysiology and management of
shock in African children. African Journal of Emergency Medicine.
2017;7:S20-S26.
Dapus patofis syok hipovolemik
Fuhrma bradley, Zimmemar Jerry J. Pediatric Critical Care : shock state.
2013; 398-9

Dapus Syok Sepsis


1. Turner D, Cheifetz I. Shock. Dalam: Kliegman R, Stanton B, St Geme III
J, Schor N,. Nelson Textbook of Paediatrics. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier, Inc; 2016. p. 516-28.
2. Pudjiadi A. Syok Septik Pediatrik. Dalam: Pardede S, Djer M, Soesanti F,
Ambarsari C, Soebadi A, ed. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat
Darurat pada Anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM; 2013. p. 11-8.
3. Sethuraman U, Bhaya N. Pediatric shock. Therapy. 2008;5(4):405-423.
4. Kurshartono H. Septic Shock in Paediatrics. In: Suryawan A, Arief S,
Ugrasena I, Setyoboedi B, Utamayasa K, Athiyyah A et al., ed. Continuing
Education Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XLII. Surabaya: Departemen Anak Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR;
2013. p. 119-31.
Dapus syok obstruktif
9. Jonathan KM. Shock in Pediatric Emergency Medicine Third Edition. 2009.
p197-198.
10. Carrie M, Derek SW. Obstructive Shock. The Open Pediatric Medicine
Journal. 2013. 7: 35-7.
11. Johnson NN, Toledo A, Endom EE. Pneumothorax, pneumomediastinum, and
pulmonary embolism. PediatrClin North Am 2010; 57: 1357-83.
12. Wheeler DS, Wong HR, Shanley TP. Pediatric critical care medicine : Basic
science and clinical evidence. London: Springer 2007.
13. Troughton RW, Asher CR, Klein AL. Pericarditis. Lancet 2004; 363: 717-27.
14. Kuhn B, Peters J, Marx GR, Breitbart RE. Etiology, management, and
outcome of pediatric pericardial effusions. Pediatr Cardiol 2008; 29: 90-4.
15. Knudson JD. Diseases of the pericardium. Congenit Heart Dis 2011; 6: 504-
13.
16. Azam S, Hoit BD. Treatment of pericardial disease. Cardiovasc Ther 2011;
29: 308-14.
17. Keane JF, Lock JE, Fyler DC, Nadas AS. Nadas' pediatric cardiology. 2nd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier 2006.
18. Baird JS, Killinger JS, Kalkbrenner KJ, Bye MR, Schleien CL. Massive
pulmonary embolism in children. J Pediatr 2010; 156: 148-51.
19. Victoria T, Mong A, Altes T, et al. Evaluation of pulmonary embolism in a
pediatric population with high clinical suspicion. Pediatr Radiol 2009; 39: 35-
41.
20. McCrory MC, Brady KM, Takemoto C, Tobias JD, Easley RB. Thrombotic
disease in critically ill children. Pediatr Crit Care Med 2011; 12: 80-9.
21. Tapson VF. Acute pulmonary embolism. Cardiol Clin 2004; 22: 353-65, v.
22. Patocka C, Nemeth J. Pulmonary embolism in pediatrics. J Emerg Med 2012,
42: 105-16.

Dapus diagnosis
1. Wheeler, Derek S. “Pediatric Shock: An Overview”. The Open Pediatric
Medicine Journal. 7.1(2013): 2-9.
2. Arkin AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008; 3(1): 13-23.
3. Kliegman, Robert M et al. Nelson Textbook Of Pediatrics. Philadelphia.
Elsevier, 2016.

Dapus patofisiologi syok kardiogenik


Marr J. Shock. In: Strange G, Ahrens W, Schafermeyer R, Wiebe R, ed. by.
Pediatric Emergency Medicine. 3rd ed. China: McGraw-Hill Company; 2009. p.
197.

Ontoseno T. Pediatric Cardiogenic Shock. Dalam : Suryawan A, Arief S,


Setyoboedi B, Athiyyah K, Irmawati M, Kusumastuti N. Continuing Education :
Shock In Pediatrics. Ed 1. Surabaya: Depertemen IKA FK UNAIR; 2013. p. 84-8.

Dapus patofisiologi syok kardiogenik


Brissaud O, Botte A, Cambonie G, Dauger S, de Saint Blanquat L, Durand P et al.
Experts’ recommendations for the management of cardiogenic shock in children.
Annals of Intensive Care. 2016;6(1).
Djer M. Syok Kardiogenik. In: Pardede S, Djer M, Soesanti F, Ambarsari C,
Soebadi A, ed. by. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. 1st
ed. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2013. p. 1-9.

Smith L, Hernan L. Shock States. In: Boulevard J, ed. by. Pediatric Critical Care.
3rd ed. United State: Elsevier; 2006. p. 400-3Expert.

Dapus tatalaksana syok anafilaktik


1. Simons F, Ardusso L, Dimov V, Ebisawa M, El-Gamal Y, Lockey R et al.
World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update of the
Evidence Base. International Archives of Allergy and Immunology.
2013;162(3):193-204.
2. Muraro A, Roberts G, Clark A, Eigenmann P, Halken S, Lack G et al. The
management of anaphylaxis in childhood: position paper of the European
academy of allergology and clinical immunology. Allergy.
2007;62(8):857-871.
3. Emergency treatment of anaphylactic reactions. 4th ed. Resuscitation
Council (UK); 2016.

Patofsisologi syok anafilaktik


1. Koury SI, Herfel LU. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:
International edition Emergency Medicine. Eds: Tintinalli, Kellen,
Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto. 2000;242-246.
2. Finkelman F. Anaphylaxis: Lessons from mouse models. Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 2007;120(3):506-515.
3. Johnson R, Peebles R. Anaphylactic Shock: Pathophysiology,
Recognition, and Treatment. Seminars in Respiratory and Critical Care
Medicine. 2004;25(06):695-703.

Dapus etiologi

Wheeler, Derek S. "Pediatric Shock: An Overview." The Open Pediatric Medicine Journal
7.1 (2013): 3

Dapus epidemiologi
1.Sinniah D. Shock in children. IeJSME. 2012;6:129-136.
2. GBD 2013 Mortality and Causes of Death Collaborators. Global, regional, and
national age-sex specific all-cause and cause-spesific mortality for 240 causes of
death, 1990-2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study
2013. Lancet. 2015;385(9963):117-71.
3. Mbevi G, Ayieko P, Irimu G, Akech S, English M. Prevalence, aetiology,
treatment and outcomes of shock in children admitted to Kenyan hospitals. BMC
Medicine. 2016;14(1)

Dapus syok neurogenik


1. Arikan A., A. Citak A., Pediatric Shock. Signa Viate. Departement of Pediatric
Intensive Care Istanbul Faculty of of Medicine. 2008;1: 13-21.
2. Vincent, J.L. Hemodynamic Support of the Crically Ill Patient, in:
Anesthesiology. Longnecker, D. E., editor. USA: The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2008. p. 123-7.
3. Papadakos P, Szalados J. Critical care. St. Louis: Mosby; 2005.
4. Mack E. Neurogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal.
2013;7(1):16-18.
5. Soelting R, Hillier S. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 250-3.

Dapus tatalaksan syok umum

1. Monsieurs K, Nolan J, Bossaert L, Greif R, Maconochie I, Nikolaou N et al.


European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015. Resuscitation.
2015;95:1-80.
2. Fisher J, Nelson D, Beyersdorf H, Satkowiak L. Clinical Spectrum of Shock in
the Pediatric Emergency Department. Pediatric Emergency Care. 2010;26(9):622-
625.
3. Kawasaki T. Update on pediatric sepsis: a review. Journal of Intensive Care.
2017;5(1).

Anda mungkin juga menyukai