Anda di halaman 1dari 58

Case Report Session

SYOK SEPSIS DAN INFEKSI DENGUE

Oleh:
Zahra Nadya Habaallah 1940312125

Preseptor:
Dr. dr. Rinang Mariko, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirabbil’alamin, puji dan syukur atas kehadirat Alah SWT dan shalawat
beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah case report session dengan judul “Infeksi
Dengue.” Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada preseptor


Dr.dr.Rinang Mariko, Sp.A(K) yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, penulis menerima kritik dan
saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah ini.

Padang, 15 April 2021

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

Sampai sekarang, sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan


mortalitas pada anak. Mortalitas akibat sepsis pada anak masih tinggi di Amerika
Serikat. Pada tahun 1966 mortalitas akibat sepsis sebesar 97%. Pada tahun 1990
mortalitas akibat sepsis sebesar 9%. Penurunan ini ialah karena penggunaan
antimikroba dan intervensi dini pada pasien sepsis. Walau demikian sepsis masih
merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak dimana lebih dari 4.300
kematian dalam satu tahun disebabkan oleh sepsis. Di negara-negara berkembang,
sepsis menyebabkan > 6.000.000 kematian pada bayi baru lahir dan balita setiap
tahunnya. Sepsis merupakan salah satu masalah pada anak yang penting untuk
diatasi dilihat dari tingkat mortalitasnya yang masih tinggi, terutama di negera-
negera berkembang seperti Indonesia. Belum ada data mengenai prevalensi sepsis
secara khusus di Indonesia. Sepsis yang tidak ditangani dengan baik dapat jatuh
kedalam keadaan syok septik yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Penanganan secara dini terhadap syok septik dapat mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas.

Dengue adalah penyakit infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk yang
menyebabkan komplikasi yang berat.Virus Dengue memiliki empat serotipe virus
dengue yaitu DENV-1, -2, -3, dan -4 yang berasal dari genus flavivirus dan famili
flaviviridae. Nyamuk Aedes Aegypti merupakan vektor utama yang
mentranmisikan virus yang menyebabkan dengue. Virus ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk betina yang sudah terinfeksi. DENV-2 dan DENV-3
disebut juga sebagai genotip orang Asia sering berhubungan dengan penyakit yang
1
lebih berat

Jika seseorang telah terinfeksi dengue sebelumnya dan kembali terinfeksi,


maka akan meningkatkan risiko untuk menjadi Dengue Shock Syndrome (DSS) dan
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). Nyamuk Aedes Aegypti berukuran kecil,
berwarna belang hitam dan putih, tropikal dan subtropikal dapat ditemukan di
Amerika Tengah, Amerika Latin, Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan
daerah vektor utama.2

Insiden dengue terus meningkat hingga tiga puluh kali lipat dalam lima
puluh tahun terakhir.1 Perkiraan terbaru pada tahun 2013 menunjukkan 390 juta
kasus infeksi dengue terjadi setiap tahun, dimana 96 jutanya bermanifestasi secara
klinis. Penelitian lain menunjukkan prevalensi dari dengue mencapai 3,9 juta orang
dari 128 negara berisiko terinfeksi virus dengue.3

Demam Berdarah Dengue masih menjadi persoalan di Indonesia karena


angka morbiditas DBD sekarang belum mencapai target pemerintah yaitu kurang
dari 49 per 100.000 penduduk. Data yang diperoleh dari Kementrian Kesehatan
(Kemenkes) menyebutkan tahun 2008 angka morbiditas DBD 59,02 per 100.000
penduduk. Jumlah ini menanjak naik dan mencapai puncak pada tahun 2010 yaitu
65,7 per 100.000 penduduk. Tahun berikutnya angka ini menurun pesat menjadi
27,67 per 100.000 penduduk. Angka morbiditas DBD kembali naik pada tahun
berikutnya menjadi 37,23 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2015 tercatat angka
kesakitan DBD mencapai 50,75 per 100.000 penduduk. Bali, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Utara merupakan provinsi dengan angka kejadian tertinggi di
Indonesia yaitu 257,75 ; 188,46 ; 92,96 per 100.000 penduduk masing-masingnya
pada tahun 2015. Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) menempati posisi ketujuh di
Indonesia dengan angka kejadian DBD terbanyak yaitu 73,24 per 100.000
penduduk. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian
nasional.3

1.2 Batasan Masalah

Karya tulis ini membahas tentang definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi,


patogenesis, gambaran klinis, penegakan diagnosis, tatalaksana syok sepsis dan
infeksi dengue.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai


definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis,
penegakan diagnosis, tatalaksana syok sepsis dan infeksi dengue.
1.4. Metode Penulisan

Karya tulis ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
berbagai sumber.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SEPSIS
2.1.1 EPIDEMIOLOGI
Sepsis masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak.4 Berdasarkan studi yang telah dilakukan, mortalitas akibat sepsis telah
berkurang dimana mortalitas akibat sepsis sekarang ialah sekitar 10%.5 Namun,
sepsis berat masih merupakan penyebab utama kematian pada anak dimana lebih
dari 4.300 anak meninggal setiap tahunnya karena sepsis (7% dari semua kematian
pada anak). Biaya perawatan akibat sepsis diperkirakan mencapai $1.97 biliar
dalam setahun.4,6 Insidensi sepsis paling tinggi pada bayi dibandingkan anak-anak
dan 15% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Infeksi yang paling
sering berhubungan dengan sepsis ialah infeksi traktus respiratorius (37%) dan
bakteriemia (25%).6 Tabel berikut (tabel 1) menunjukkan insidensi sepsis dalam
satu tahun di Amerika Serikat:

Tabel 1: Insidensi Sepsis di Ameriksa Serikat berdasarkan Umur 3

2.1.2 DEFINISI
Sepsis merupakan suatu keadaan dimana infeksi dalam tubuh mencetuskan
kaskade inflamasi yang dikenal dengan istilah systemic inflammatory response
syndrome (SIRS). SIRS merupakan kaskade inflamasi yang terjadi karena sistem
imun tubuh host tidak dapat mengatasi infeksi.5 Infeksi merupakan suatu keadaan
dimana ditemukan adanya mikroorganisme dan respons imun tetapi belum disertai
dengan adanya gejala klinis. Bila ditemukan gejala klinis maka digunakkan istilah
penyakit infeksi.7 Infeksi dapat berupa infeksi bakteri, riketsia, fungi, virus, maupun
protozoa. Infeksi dapat bersifat sistemik (bakteriemia, fungiemia, atau viremia)
maupun lokal (meningitis, pneumonia, atau pielonefritis). Selain infeksi, SIRS
memiliki berbagai etiologi lainnya (etiologi non-infeksi) yang bisa dilihat pada
tabel 2. Gejala pada sepsis muncul apabila sepsis sudah berkembang menjadi sepsis
berat. Definisi dari sepsis berat sendiri ialah suatu keadaan sepsis yang disertai oleh
disfungsi organ. Bila dibiarkan tanpa tatalaksana maka pasien dengan sepsis berat
dapat jatuh kedalam keadaan syok septik.5 Carcillo et al. mendefiniskan syok septik
pada populasi pediatrik sebagai takikardia (takikardia mungkin tidak terdapat pada
pasien dengan hipotermia) dengan tanda gangguan perfusi berupa denyut nadi
perifer yang lemah dibandingkan denyut jantung, gangguan kesadaran, capillary
refill time (CRT) lebih dari 2 detik, ekstremitas lembab dan dingin, atau penurunan
urine output pada anak dengan infeksi.8 Beda dengan populasi dewasa, hipotensi
tidak selalu didapatkan pada pasien syok septik karena pada anak hipotensi
merupakan tanda dari late shock atau decompensated shock. Maka dari itu, bila
tidak terdapat hipotensi tetap dapat ditegakkan definisi syok septik namun bila
terdapat hipotensi merupakan konfirmasi adanya keadaan syok pada anak.4 Tanpa
tatalaksana pasien dengan syok septik akan mengalami multiple organ dysfunction
syndrome (MODS) dan akhirnya kematian.4 MODS dapat didefinisikan sebagai
keadaan dimana terjadi gangguan fungsi organ yang memerlukan suatu intervensi.9
Tabel 2: Etiologi SIRS
Definisi dari sepsis, infeksi, SIRS, sepsis berat, serta syok septik telah
disusun oleh para pakar dalam bidang sepsis baik dewasa maupun anak dari 5
negara berbeda (Canada, France, Netherlands, United Kingdom, dan United States)
pada tahun 2002 dan dipublikasikan dalam bentuk consensus conference pada tahun
2005. Consensus conference dibuat untuk memberikan batasan yang dapat
digunakkan sebagai kriteria diagnosis sepsis pada populasi anak. Batasan ini perlu
dibuat karena gambaran sepsis pada populasi dewasa dan anak berbeda dipengaruhi
oleh perubahan fisiologis tumbuh kembang pada anak. Dalam consensus
conference populasi anak dibagi dalam berbagai kategori (tabel 3).4

Tabel 3: Kategori Populasi Anak berdasarkan Umur

Definisi atau batasan untuk sepsis dan SIRS pada populasi anak (tabel 4)
merupakan modifikasi dari batasan sepsis dan SIRS pada populasi dewasa.
Perbedaan utama ialah untuk menegakkan diagnosis SIRS pada anak harus
didapatkan abnormalitas suhu tubuh dan abnormalitas hitung leukosit (dimana pada
populasi dewasa SIRS sudah dapat ditegakkan bila ditemukan takikardia dan
takipnue saja). Selain itu kriteria numerik sebagai batasan untuk parameter denyut
jantung, laju pernapasan, hitung leukosit, dan tekanan darah dibedakan berdasarkan
umur anak; disesuaikan dengan nilai normal anak yang berhubungan dengan
fisiologi anak yang berbeda-beda tergantung dari umur anak (tabel 6).4
Tabel 4: Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik

Tabel 5: Kriteria Disfungsi Organ


Tabel 6: Batasan Nilai Normal Tanda Vital dan Hitung Leukosit Berdasarkan
Umur

Bradikardia pada bayi baru lahir (kurang dari 7 hari) merupakan tanda dari
SIRS namun pada anak diatas 7 tahun tidak dianggap sebagai tanda dari SIRS
karena bradikardia ditemukan sebagai tanda near-terminal event pada anak lebih
dari 7 tahun.4

2.1.3 ETIOLOGI
Sepsis dapat merupakan komplikasi dari suatu infeksi yang lokal maupun
dapat merupakan akibat dari invasi dan kolonisasi patogen yang sangat virulen.
Patogen yang dapat menyebabkan sepsis pada anak bervariasi bergantung pada usia
pasien serta status imun pasien.5,6,7 Pada neonatus dan bayi kurang dari 2 bulan
penyebab sepsis tersering ialah streptokokus grup B, Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, enterovirus, dan herpes simpleks virus. Pada anak yang lebih
dewasa penyebab sepsis tersering ialah Streptococcus pneumonia, Neisseria
meningitidis, dan Staphylococcus aureus baik yang sensitif terhadap methicilin
maupun yang resisten terhadap methicilin, Haemophilus influenzae tipe B,
Salmonella sp., dan Streptokokus grup A (community-acquired organisms).4,5,6,7
Bakteri gram negatif seringkali menyebabkan sepsis pada anak dengan status imun
yang buruk maupun anak yang sedang dirawat di rumah sakit (infeksi nosokomial).
Bakteri gram negatif yang dimaksud ialah Escherichia coli, Pseudomonas,
Acinetobacter, Klebsiella, Enterobacter, dan Serratia. Fungi seperti Candida dan
Aspergillus juga sering menyebabkan sepsis pada anak yang immunocompromised.
Sepsis yang disebabkan oleh patogen polimikrobial dapat terjadi pada pasien
dengan risiko tinggi seperti pemasangan kateter, penyakit gastrointestinal,
netropenia, maupun penyakit keganasan. Pseudobakteremia dapat terjadi akibat
cairan intravena, albumin, kriopresipitat, atau komponen darah yang terkontaminasi
(biasanya oleh organisme yang water-borne seperti Bukholderia cepacia,
Pseudomonas aeruginosa, dan Serratia).5,6 Tabel berikut (tabel 7) menerangkan
patogen yang dapat menyebabkan sepsis pada anak:

Tabel 7: Penyebab Sepsis pada

Pada bulan Agustus 2010 dilakukan terhadap pasien sepsis di PICU RSCM
Jakarta untuk mengetahui etiologi sepsis yang tersering serta sensitivitasnya
terhadap terapi antimikroba. Dari 39 subjek penelitian didapatkan 21 subjek dengan
hasil kultur darah yang positif dimana didapatkan kuman terbanyak penyebab
sepsis ialah Klebsiella pneumonia (24%) yang merupakan kuman gram negatif,
Serratia marcescens (14%), dan Burkholderia cepacia (14%). Selain itu juga
ditemukan fungi sebagai penyebab sepsis (19.0%) yaitu Candida albicans dan
Candida Tropicana.10

2.1.4 FAKTOR RISIKO


Faktor risiko terjadinya sepsis pada anak ialah sebagai berikut:
• Prematuritas 7
• Anak dengan usia diantara 3 bulan sampai 3 tahun 5
• Anak dengan cedera yang serius (seperti luka bakar yang luas) 5,7
• Anak dengan penyakit yang serius (seperti keganasan, galaktosemia,
sindroma nefrotik, kecanduan obat intravena, infeksi gonokokus pada
traktus urinarius) 5,7
• Anak yang sedang menjalani terapi antimikroba jangka panjang 5
• Anak dengan gizi buruk atau malnutrisi 5,7
• Anak dengan penyakit yang kronik 5
• Anak yang immunocompromised (pasien pasca transplantasi, anak yang
mendapat obat-obatan kemoterapi, anak yang mendapat kortikosteroid,
dan anak dengan defisiensi sistem imun: anak yang menderita
agamaglobulinemia, neutropenia dengan imunosupresi, anemia bulan
sabit, severe combined immunodeficiency syndrome, HIV-AIDS,
asplenia, defisiensi komplemen, atau neutrophil chemotactic factor
defect) 5,7
• Anak dimana dilakukan prosedur/ instrumentasi medik (seperti
pemasangan kateter intravena, kateter urin, intubasi endotrakeal, atau
atrioventricular shunt; dan dilakukan prosedur seperti pembedahan,
continous peritoneal dialysis, dan pemakaian katup jantung protesa) 5,7
Faktor risiko atau faktor predisposisi yang ditemukan pada anak berhubungan
dengan patogen tertentu seperti tertera pada tabel berikut (tabel 8):

Tabel 8: Faktor Predisposisi dan Patogen Penyebab Sepsis


2.1.5 PATOGENESIS
Proses terjadinya sepsis dimulai dari kolonisasi mikroorganisme yang dapat
membentuk suatu fokus infeksi. Mikroorganisme atau produk mikroorganisme
(toksin atau endotoksin) baik yang beredar dalam darah maupun yang berasal dari
suatu fokus infeksi akan menginduksi sistem imunitas sehingga terjadi perubahan
fisiologi tubuh pada sepsis. Toksin atau superantigen berhubungan dengan bakteri
gram positif, mikobakteria, dan virus dimana toksin yang diekspresikan oleh
patogen akan mengaktivasi limfosit dalam sirkulasi. Endotoksin adalah suatu
lipopolisakarida yang merupakan komponen dari dinding sel bakteri gram negatif,
fungi, atau yeast. Endotoksin akan berikatan dengan makrofag serta menyebabkan
aktivasi dan ekspresi dari gen-gen inflamasi. Adanya endotoksin serta toksin dalam
tubuh akan mencetuskan respons dari host berupa respons imun selular dan respons
imun humoral. Respons imun tubuh baik selular dan humoral merupakan upaya
tubuh tuntuk mempertahankan suasana fisiologis. Respons imun ini diperantarai
oleh substansi atau mediator-mediator inflamasi. Mediator endogen yang telah
teridentifikasi ialah TNF, interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, platelet
activating factor (PAF), interferon-γ, eicosanoids (leukotrienes B4, C4, D4, and E4;
thromboxane A2; prostaglandins E2 and I2), granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor, endothelium-derived relaxing factor, endothelin-1, complement
fragments C3a and C5a, toxic oxygen radicals, proteolytic enzymes dari
polymorphonuclear neutrophils, platelets, transforming growth factor-β, vascular
permeability factor, macrophage-derived procoagulant dan inflammatory cytokine,
bradykinin, thrombin, coagulation factors, fibrin, plasminogen activator inhibitor
(PAI-1), myocardial depressant substance, β-endorphin, heat shock proteins, and
adhesion molecules (endothelin-derived adhesion molecule [E-selectin];
intercellular adhesion molecule-1 [ICAM]; vascular adhesion molecule-1
[VCAM]). Bila produksi mediator inflamasi berlebihan maka hal tersebut akan
merugikan bagi tubuh.5,7
Pada sepsis, multiplikasi mikroorganisme patogen yang tidak terkendali
mencapai puncaknya dan menyebabkan induksi yang hebat dari sistem imunitas
tubuh sehingga terjadi kaskade inflamasi. Produksi mediator inflamasi berlebihan
(terjadi imbalans antara produksi mediator pro-inflamasi dan mediator anti-
inflamasi) sehingga menyebabkan disfungsi mikrosirkulasi tubuh. Disfungsi
mikrosirkulasi yang dimaksud ialah kerusakan endotel pembuluh darah,
pengeluaran substansi yang bersifat vasoaktif, perubahan tonus pembuluh darah,
serta obstruksi kapiler akibat agregasi komponen seluler. Aktivasi sistem
komplemen juga terjadi sebagai respons host terhadap infeksi. Aktivasi dari sistem
komplemen menyebabkan pengeluaran mediator vasoaktif yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, serta agregasi trombosit. Efek
merugikan dari mediator endogen adalah sebagai berikut:
• Tromboksan A2: menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit
• Prostaglandin: PGF 2α menyebabkan vasokonstriksi sedangkan PGI2
menyebabkan vasodilatasi
• Leukotriene: menyebabkan vasokonstriksi, bronkokonstriksi, serta
peningkatan permeabilitas kapiler
• Myocardial depressant factors: menyebabkan depresi kerja otot jantung
• Endogenous opiates seperti β-endorfin: menyebabkan depresi aktivitas
saraf simpatis, mengurangi kontraktilitas miokardium, dan menyebabkan
vasodilatasi
• TNF: Meningkatkan permeabilitas vascular sehingga terjadi capillary leak,
menurunkan tonus pembuluh darah, dan menyebabkan imbalans antara
perfusi dan kebutuhan metabolik jaringan
• TNF dan interleukin: Menstimulasi pengeluaran mediator-mediator
inflamasi, menyebabkan vasodilatasi 5,7
Selain itu, terjadi aktivasi dari sistem koagulasi serta inhibisi proses
fibrinolisis. Akibatnya, terbentuk thrombin yang membantu deposisi fibrin pada
mikrosirkulasi yang memperburuk disfungsi mikrosirkulasi.6
Akibat dari kaskade inflamasi banyak antara lain demam, produksi asam
laktat, serta syok. Demam terjadi karena adanya pirogen baik yang eksogen maupun
yang endogen. Pirogen eksogen yang dimaksud ialah patogen penyebab infeksi,
toksin, maupun endotoksin yang akan masuk ke dalam tubuh mencetuskan respons
inflamasi sehingga dihasilkan pirogen endogen seperti TNF, interleukin, serta
metabolit asam arakhidonat tromboksan, prostaglandin, serta leukotriene. Pirogen
endogen akan merangsang pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus
sehingga terjadi peningkatan thermostat suhu tubuh. Akibatnya terjadi kontraksi
otot tubuh, aktivitas metabolisme yang meningkat, serta vasokonstriksi perifer.
Ketiga hal ini akan mengkonservasi panas dalam tubuh sehingga terjadi demam.5
Pengeluaran mediator-mediator inflamasi menyebabkan kebutuhan
metabolik jaringan meningkat sedangkan terjadi gangguan perfusi perifer akibat
agregasi trombosit dan komponen seluler lainnya yang menyebabkan obstruksi
kapiler dan mengganggu mikrosirkulasi. Hal ini berakibat terjadi suatu
metabolisme anaerobik sebagai respons untuk mempertahankan kadar ATP dalam
tubuh. Metabolisme anaerobik berakibat produksi asam laktat yang meningkat. Hal
ini dapat berakibat terjadinya asidosis metabolik.5
Kaskade inflamasi yang tidak ditangani juga dapat berakibat terjadinya syok
septik. Syok septik merupakan kombinasi dari ketiga tipe klasik dari syok yakni
syok hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif. Permeabilitas kapiler
yang meningkat menyebabkan suatu capillary leak sehingga cairan intravascular
keluar dari pembuluh darah dan terjadi hipovolemia. Mediator inflamasi juga
menyebabkan kerja otot jantung berkurang sehingga terjadi penurunan daripada
cardiac output (CO) atau curah jantung. Mediator inflamasi juga berakibat
vasodilatasi kapiler sehingga resistensi vaskular sistemik berkurang. Akibat dari
hipovolemia, penurunan CO, dan penurunan resistensi vascular menyebabkan
disfungsi sistem sirkulasi yang disebut sebagai syok septik. Pada fase awal, tubuh
masih dapat mempertahankan tekanan darah melalui aktivasi jalur simpatis
sehingga terjadi peningkatan denyut jantung serta vasokonstriksi pembuluh darah
perifer. Namun, lama kelamaan, mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga
terjadi hipotensi. Perfusi ke organ-organ perifer berkurang akibat disfungsi sistem
sirkulasi. Hal tersebut dapat berujung disfungsi organ multipel/ MODS. Kegagalan
organ yang multipel mengganggu homeostasis tubuh sehingga akhirnya dapat
terjadi kematian.5
Gambar-gambar berikut menggambarkan patogenesis dari sepsis pada anak
(gambar 1, gambar 2, dan gambar 3):
Gambar 1: Patofisiologi Sindroma Sepsis

Gambar 2: Patofisiologi Proses Sepsis pada Anak


Gambar 3: Patofisiologi terjadinya Syok Septik

2.1.6 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis sepsis tidak spesifik tergantung dari fase sepsis dan
infeksi yang mendasari. Pada tiap fase sepsis terjadi perubahan hemodinamik yang
bila tidak ditangani dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik. Pada fase awal
sepsis, disebut juga sebagai fase hiperdinamik, cardiac output belum berkurang
namun justru meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan tubuh.
Pada fase ini gejala klinis yang dijumpai ialah gangguan regulasi suhu tubuh bisa
berupa hipertermia atau hipotermia, menggigil, takikardia, dan takipnea/
hiperventilasi. Manifestasi klinis fase awal sepsis sulit dibedakan dari penyakit
infeksi biasa teruatama pada neonatus dan anak dengan gangguan imunitas yang
berat.5,7 Manifestasi klinis lain yang kurang spesifik seperti penurunan tonus otot,
penurunan aktivitas anak, perubahan warna kulit menjadi lebih pucat, dan gangguan
menyusui/ penurunan napsu makan.6
Bila sepsis tidak segera ditangani maka cardiac output akan berkurang
sebagai efek dari kaskade inflamasi yang terjadi. Pada anak dapat dijumpai tanda-
tanda curah jantung yang berkurang berupa pemanjangan capillary refill time, nadi
perifer ataupun sentral menjadi lemah, ekstremitas teraba dingin, serta penurunan
urine output pasien. Pada beberapa anak penurunan curah jantung juga dapat
menyebabkan perubahan status mental dan kesadaran sehingga secara klinis tampak
konfusi, agitasi, letargi, ansietas, obtundasi, maupun koma. Ansietas dan agitasi
biasanya merupakan tanda awal dari syok septik. Hipotensi timbul bila syok sudah
tidak terkompensasi lagi oleh usaha tubuh (decompensated shock).5,7,8
Demam perlu dicari sebagai salah satu tanda infeksi. Demam merupakan
tanda infeksi pertama yang muncul pada anak-anak yang immune-competent.6 Suhu
tubuh sebaiknya diukur per rektal karena paling mendekati suhu inti tubuh.
Pengkuran suhu tubuh pada aksila, oral, atau membran timpani seringkali tidak
memberikan hasil yang akurat. Demam didefinisikan sebagai suhu inti tubuh yang
lebih atau sama dengan 38.0°C. Pada bayi demam seringkali timbul dipengaruhi
oleh over-bundling. Bila over-bundling dicurigai maka bayi perlu dibebaskan dari
pakaian dan dilakukan pengukuran ulang suhu tubuh 15-30 menit kemudian. Pada
bayi atau anak-anak yang immunocompromized dengan infeksi yang serius, selain
ditandai oleh demam, infeksi bisa juga ditandai oleh hipotermia. Hipotermia ialah
bila didapatkan suhu inti tubuh kurang dari 36.0°C.4
Gejala klinis lain yang dapat terlihat pada pasien sepsis ialah lesi kulit. Lesi
kulit yang mungkin dapat terlihat pada pasien sepsis antara lain berupa petekie,
purpura, eritema yang difus, ekimosis, ektima gangrenosum, dan gangren perifer
yang simetris. Petekie dan purpura terutama ditemukan pada penderita infeksi
mengingokokus. Bila petekie atau purpura disertai oleh manifestasi perdarahan
lainnya maka perlu dicurigai suatu disseminated intravascular coagulation (DIC).
Ektima gangrenosum ditemukan pada infeksi Pseudomona aeruginosa.5,7
Ikterus dapat dijumpai pada beberapa pasien sebagai suatu tanda infeksi
atau bila sudah terjadi MODS.5
Pada pasien dengan asidosis metabolik akan terlihat sesak napas dengan
pernapasan yang cepat dan dalam atau disebut pernapasan Kussmaul.5
Gejala klinis lainnya tergantung dari infeksi fokal yang terjadi pada anak.
Anak dengan meningitis, pneumonia, arthritis, selulitis, serta pielonefritis akan
memberikan gambaran klinis yang berbeda-beda.5
Dari pemeriksaan fisik dapat dinilai beberapa parameter dan ditentuk risiko
sepsis pada pasien baru (tabel 9).11
Tabel 9: Menilai Risiko Sepsis berdasarkan Pemeriksaan Fisik

2.1.6 DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya: (1) Infeksi, meliputi (a) faktor
predisposisi infeksi, (b) tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung, (c)
respon inflamasi; dan (2) tanda disfungsi/gagal organ. Alur penegakan diagnosis
sepsis dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:12
Gambar 4. Alur Penegakan Diagnosis Sepsis

1. Infeksi

Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi,


dan reaksi inflamasi. Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor
genetik, usia, status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas (asplenia,
penyakit kronis, transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat
terapi (steroid, antibiotika, tindakan invasif).12

Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Secara


klinis ditandai oleh demam atau hipotermia, atau adanya fokus infeksi.
Secara laboratoris, digunakan penanda (biomarker) infeksi: pemeriksaan
darah tepi (lekosit, trombosit, rasio netrofil:limfosit, shift to the left),
pemeriksaan morfologi darah tepi (granula toksik, Dohle body, dan
vakuola dalam sitoplasma), c-reactive protein (CRP), dan
prokalsitonin.12

memerlukan pembuktian adanya mikroorganisme yang dapat dilakukan


melalui pemeriksaan apus Gram, hasil kultur (biakan), atau polymerase
chain reaction (PCR). Pencarian fokus infeksi lebih lanjut dilakukan
dengan pemeriksan analisis urin, feses rutin, lumbal pungsi, dan
pencitraan sesuai indikasi.12

Secara klinis respon inflamasi terdiri dari:12

1. Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau


hipotermia (suhu inti <36°C).
2. Takikardia: rerata denyut jantung di atas normal sesuai usia tanpa
ad- anya stimulus eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau
peningkatan de- nyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih
dari 0,5 sampai 4 jam
3. Bradikardia (pada anak <1 tahun): rerata denyut jantung di bawah
normal sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta-
blocker, atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut
jantung yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam
4. Takipneu: rerata frekuensi nafas di atas normal

2. Kecurigaan Disfungsi Organ

Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan salah satu dari
3 tanda klinis: penurunan kesadaran (metode AVPU), gangguan
kardiovaskular (penurunan kualitas nadi, perfusi perifer, atau tekanan
arterial rerata), atau gangguan respirasi (peningkatan atau penurunan work
of breathing, sianosis).12

2.1.7 TATALAKSANA
Prinsip tatalaksana dari suatu sepsis ialah early recognition/ deteksi dini,
early antimicrobial therapy/ pemberian antibiotika secara dini, serta early goal-
directed therapy/ terapi tertuju lainnya secara dini. Tatalaksana dini ialah yang
terbaik untuk mencegah komplikasi daripada sepsis dan menurunkan angka
mortalitas akibat sepsis. Tatalaksana yang ditujukkan terhadap mediator-mediator
inflamasi yang terlibat dalam SIRS masih dalam tahap penelitian namun belum ada
hasil yang memuaskan.5
Bila diagnosis sepsis sudah ditegakkan, pasien sebaiknya dirawat di ruangan
unit intensive care dimana dapat dilakukan monitoring secara kontinu, serta
pemasangan central venous pressure (CVP) dan arterial blood pressure bila
diperlukan. Monitoring pasien dengan syok septik meliputi monitoring terhadap
kesadaran, tanda vital, capillary refill time, saturasi oksigen, CVP, dan urine output
setiap jam. Bila didapatkan kelainan pada parameter tersebut maka perlu dilakukan
resusitasi hingga didapatkan capillary refill time kurang dari 2 detik, denyut nadi
normal dan sama kuat dengan denyut jantung, ekstremitas hangat, urine output >
dari 1 ml/kgBB/jam, tekanan darah normal, dan pasien sadar.5
Administrasi antimikroba secara dini dapat menurunkan angka mortalitas.
Tujuan dari pemberian antimikroba ialah untuk pengendalian dari infeksi Pemilihan
jenis antimikroba tergantung dari faktor risiko pasien serta gejala klinis pasien. Pola
resistensi bakteri juga perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis
antimikroba.5,7,9 Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
antimikroba ialah sebagai berikut:
• Neonatus: Diberikan ampisilin dan sefotaksim atau gentamisin.
Ditambahkan asiklovir bila dicuragai infeksi virus herpes simpleks.
• Anak (seringkali terjadi infeksi N. meningitides, S. pneumonia, atau
Haemophilus influenza): Diberikan terapi empiris antimikroba sefalosporin
generasi ke-3 (seftriakson atau sefotaksim). Ditambahkan vankomisin bila
dicurigai S. pneumonia yang resisten atau infeksi S. aureus.
• Infeksi intra abdominal: Diberikan antimikroba untuk kuman-kuman
anaerob seperti metronidazol dan klindamisin.
• Infeksi kulit atau soft-tissue: Diberikan penisilin semisintetik atau
vankomisin ditambah dengan klindamisin.
• Sepsis nosokomial: Diberikan sefalosporin generasi ke-3 atau ke-4
(cefepime atau ceftazidin) yang sifatnya antipsuedomonas atau antimikroba
golongan penisilin yang efektif untuk kuman gram negatif seperti
piperasilin-tazobaktam atau karbamapenem ditambah dengan
aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin). Pada pasien dengan alat bantu
yang berada dalam tubuh, ditemukan kokus gram positif pada darah, atau
dicurigai infeksi S. aureus yang resisten terhadap metisilin dapat
ditambahkan vankomisin selain antimikroba yang telah disebutkan.
• Pasien immunocompromized: Sama seperti sepsis nosokomial.
Ditambahkan antifungal amfoterisin B atau flukonazol untuk tatalaksana
infeksi jamur secara empirik.
• Area yang endemis terhadap tick atau dicurigai infeksi rikettsia: Tambahkan
doksisiklin kepada regimen antimikroba yang sudah disebutkan diatas.
• Toxic shock syndrome: Diberikan penisilin dan klindamisin. Dapat
ditambahkan vankomisin bila dicurigai infeksi Staphylococcus aureus yang
resisten terhadap metisilin.5,6,10
IDAI merekomendasikan pemberian antibiotika inisial setelah diagnosis sepsis
ditegakkan. Antibiotika yang dipilih harus mempunyai spektrum luas yang bisa
mengatasi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang sering menyebabkan
sepsis. Bila nanti sudah didapatkan hasil biakan atau uji kepekaan, jenis antibiotika
dapat dirubah atau dipertahankan sesuai dengan hasil dan respons klinis pasien.4
Pada fase inisial, antibiotika yang dapat diberikan berupa:
• Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis +
aminoglikosida (garamisin 5-7 mg/kgBB/hari diberikan IV atau netilmisin
5-6 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 2 dosis)
• Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis +
sefotaksim 100 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 3 dosis
• Metronidazol dan klindamisin diberikan untuk kuman enterik Gram negatif
anaerob (bila dicurigai kuman penyebab anaerob karena ditemukan fokus
infeksi di rongga abdomen, rongga panggul, rongga mulut, atau daerah
rektum)4
Antibiotika yang digunakan untuk tatalaksana sepsis pada anak beserta dengan
dosisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini (tabel 11)14:

Tabel 10: Pengunaan Antibiotika pada Sepsis

Early goal-directed therapy merupakan prinsip tatalaksana untuk pasien


yang mengalami syok septik, meliputi resusitasi cairan, transfusi produk darah,
pemberian obat vasopressor/ inotropik, koreksi status metabolik, pemberian
kortikosteroid, serta pertimbangan bantuan pernapasan atau terapi pengganti
ginjal.5
Resusitasi cairan yang tidak adekuat berhubungan dengan peningkatan
risiko mortalitas sebanyak 40%. Sebaliknya resusitasi cairan sebanyak 60 ml/kgBB
berhubungan dengan meningkatnya survival anak tanpa meningkatkan insidensi
dari edema pulmunal. Penilaian apakah resusitasi cairan cukup atau tidak dinilai
dari denyut jantung, urine output, dan capillary refill time. Cairan ditambahkan 20
ml/kgBB sampai denyut jantung normal, urine output minimal 1 ml/kgBB/hari, dan
capillary refill time kurang dari 2 detik. Kadang diperlukan jumlah cairan yang
mencapai 100-200 ml/kgBB. Tipe cairan yang diberikan (kristal atau koloid) masih
merupakan perdebatan.5
Transfusi produk darah dilakukan bila didapatkan gangguan hematologik.
Hemoglobin perlu dikoreksi dan dipertahankan pada 10 g/dl untuk memastikan
bahwa oksigen ke jaringan perifer adekuat. Bila terjadi koagulopati, apalagi bila
pasien mengalami perdarahan aktif, dapat dikoreksi dengan transfusi fresh frozen
plasma (FFP), kriopresipitat, atau trombosit.5
Penggunaan obat vasopressor atau inotropik bertujuan menormalkan kerja
jantung untuk mempertahankan cardiac output. Ini karena pada anak dengan sepsis
seringkali disertai cardiac output yang rendah akibat disfungsi miokardium yang
progresif dan hal ini berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Obat pilihan
utama ialah dopamin diberikan 2-5 mcg/kgBB/menit, namun bila syok resisten
dopamin dapat diberikan epinefrin atau norepinefrin. Dobutamin diberikan bila
cardiac output rendah. Bila syok resisten epinefrin atau norepinefrin dapat
diberikan nitroprusside, milrinone, atau arginine vasopressin.2-3 Obat-obat
vasopressor yang digunakkan pada sepsis beserta dosisnya dapat dilihat pada tabel
berikut (tabel 12) 14:
Tabel 11: Penggunaan Vasopressor pada Sepsis

Status metabolik pasien harus dipertahankan dalam batas normal. Bila


terjadi gangguan elektrolit maka harus segera di koreksi. Pada pasien dengan
hipoglikemia diberikan 0.5-1g/kgBB glukosa. Pada pasien dengan hipokalsemia
diberikan kalsium klorida melalui vena sentral sebanyak 10-20 mg/kgBB. Bila
terjadi gangguan keseimbangan asam basa juga perlu dilakukan koreksi.5
Pasien sepsis juga perlu diberikan stress dose corticosteroids yakni
hidrokortison 50 mg/kgBB bolus diikuti oleh dosis rumatan 50mg/kgBB/hari.
Pemberian kortikosteroid dipertimbangkan pada pasien dengan syok yang tidak
responsif terhadap resusitasi cairan maupun katekolamin. Pada pasien-pasien
demikian kemungkinan besar terjadi insufisiensi kelenjar adrenal baik relatif
maupun absolut.5 IDAI merekomendasikan pemberian kortikosteroid berupa
metilprednisolon 30 mg/kgBB/dosis atau deksametason 3 mg/kgBB/dosis secara
IV 15-20 menit setelah diagnosis syok septik ditegakkan dan dapat diulang 4 jam
kemudian. Kortikosteroid dihentikkan bila tidak ada respons terhadap obat.7
Bantuan pernapasan diberikan pada pasien dengan acute respiratory
distress syndrome. Ini karena overdistensi paru-paru dapat berakibat dihasilkannya
sitokin-sitokin yang dapat memperburuk kaskade inflamasi.2 Bila tidak didapatkan
tanda ARDS maka cukup dipastikan bahwa jalan napas terbuka dan diberikan
oksigen.7
Renal replacement therapy dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan
anuria, oliguria, atau overload cairan yang hebat.5
Terapi lainnya yang perlu diberikan bersifat suportif berupa pemberian
obat-obatan untuk proteksi lambung dan pemberian obat antipiretik untuk
menurunkan demam. Obat-obatan untuk proteksi lambung diberikan untuk
mencegah terbentuknya stress ulcer. Obat yang dapat diberikan berupa antasida,
H2-reseptor blocker, atau sukralfat. Pemberian antipiretik ditujukan untuk
menurunkan demam karena demam meningkatkan konsumsi oksigen dan
kebutuhan metabolik yang dapat memperburuk perfusi oksigen ke jaringan perifer,
selain itu demam juga dapat meningkatkan ambang kejang pada anak, sehingga
demam perlu diturunkan dengan pemberian antipiretik.6
Pasien dengan sepsis tidak harus dipuasakan kecuali bila ada tanda-tanda
kegawatan seperti penurunan kesadaran dan sesak napas yang berat. Sebaiknya
makanan tetap diberikan secara enteral untuk mencegah atrofi traktus
gastrointestinal.6
Tatalaksana yang ditujukan terhadap sistem imunitas tubuh dan mediator-
mediator inflamasi sedang dalam tahap penelitian namun memberikan hasil yang
memuaskan untuk dilakukan secara klinis. Terapi yang dimaksud ialah sebagai
berikut:
• Intravenous immune globulin (IVIG): IVIG baik yang monoklonal maupun
yang poliklonal diberikan secara intravena dan mengandung antibody
terhadap berbagai endotoksin. Dengan penggunaan IVIG diharapkan dapat
menekan kaskade inflamasi dengan cara menghambat kerja dari endotoksin.
Sebuah penelitian telah dilakukan dimana ditemukan bahwa mortalitas pada
pasien yang mendapatkan IVIG lebih rendah dibandingkan pasien yang
hanya mendapatkan plasebo. Namun, beberapa penelitian yang telah
dilakukan pada populasi dewasa menunjukkan bahwa penggunaan IVIG
tidak memiliki efek yang signifikan dibandingkan dengan plasebo.
• Terapi dengan antibodi monoklonal
• Activated protein C: Pemberian Activated protein C telah diteliti memiliki
efek menghambat thrombosis dan inflamasi pada pasien dengan sepsis.
Pemberian dari activated protein C terbukti menurunkan morbiditas pada
pasien dengan sepsis meningokokus namun belum ada data mengenai
pemberian pada sepsis yang bukan disebabkan oleh meningokokus. Namun,
pemberian activated protein C berhubungan meningkatkan risiko terjadi
perdarahan yang serius.
• Transfusi leukosit, plasma, dan komplemen (buffy coat transfusions)
• Obat-obatan seperti pentoxyfylline, nitrous oxide synthesis inhibitors, dan
platelet activating receptor antagonists
• Plasma filtration dengan polymyxin B immobilized fiber
• Human growth hormone
Bagan berikut (gambar 5) merupakan algoritma tatalaksana pasien dengan
syok septik yang pelaksanaannya bertempat di IGD atau PICU.15 Tabel berikutnya
(tabel 13) merupakan rekomendasi surviving sepsis campaign mengenai tatalaksana
sepsis pada anak.16,17
Gambar 5: Algoritma Tatalaksana Syok Septik
Tabel 12: Rekomendasi Tatalaksana Sepsis Anak
Pasien yang telah mendapatkan antibiotika secara intravena untuk sepsis
atau bakteriemia dapat dipulangkan dan antibiotika diganti dengan rute oral bila:
• Bakteri sangat sensitif terhadap antibiotika yang telah diberikan
• Bakteriemia low-grade/ occult tanpa meningitis
• Anak dan orang tua bertanggung jawab untuk mengkonsumsi antibiotika
secara oral
• Usia anak lebih dari 6 bulan
• Kultur darah negatif setelah dilakukan terapi
• Pasien afebris 24-48 jam sebelum dilakukan penggantian antibiotika
menjadi oral
• CRP yang tinggi kembali normal setelah dilakukan terapi

2.2 INFEKSI DENGUE


2.2.1. Definisi
Dengue merupakan suatu penyakit yang ditularkan nyamuk disebabkan oleh
satu dari empat serotipe virus dengue yaitu DENV-1, -2, -3, dan -4. Infeksi akibat
satu serotipe akan memberikan imunitas seumur hidup untuk serotipe tersebut
namun tidak untuk serotipe lainnya, sehingga seseorang dapat mengalami infeksi
setidaknya sebanyak empat kali semasa hidupnya. Virus dengue ditransmisikan dari
orang ke orang melalui nyamuk Aedes utamanya A. Aegypti.18

2.2.2. Etiologi dan Transmisi


Virus dengue (DENV) merupakan virus ssRNA kecil dan terdiri dari empat
serotipe berbeda (DENV-1 sampai -4).Virus ini masuk kepada genus flavivirus dan
famili flaviviridae. DENV-2 dan DENV-3 disebut juga sebagai genotip orang Asia
sering berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.19
Berbagai serotipe dari DENV ditransmisikan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi terutama adalah A. Aegypti yang merupakan
spesies tropis dan subtropis dan menyebar secara luas. Nyamuk ini banyak
ditemukan dihabitat atau tempat-tempat yang terisi air, seringnya di wadah-wadah
atau tempat penampungan air buatan yang berhubungan dekat dengan perumahan
dan didalam ruangan.19
Virus dengue beredar didalam darah manusia yang mengalami viremia akan
dihisap oleh nyamuk betina selama nyamuk menghisap darah. Virus kemudian
menginfeksi melalui lambung nyamuk dan kemudian mengalami penyebaran
secara sistemik dalam periode waktu 8 – 12 hari.Setelah periode waktu tersebut
virus dapat ditransmisikan kepada manusia lainnya.19

2.2.3. Epidemiologi
Epidemik dengue diketahui terjadi secara berkala selama tiga abad terakhir
di wilayah tropis dan subtropis.Epidemik pertama dari dengue diketahui pada tahun
1653.Selama abad ke 18, 19 dan 20 epidemik dari penyakit menyerupai dengue
dilaporkan secara global.Selama periode tahun 1980 terjadi peningkatan insiden
dan distribusi dari virus yang meluas ke kepulauan Pasifik.Setiap 10 tahun, rata-
rata jumlah kasus yang dilaporkan ke WHO terus mengalami peningkatan secara
eksponensial. Dari tahun 2000 sampai 2008 rata-rata jumlah kasus yaitu sebanyak
1.656.870 atau sekitar tiga setengah kali dibandingkan tahun 1990 – 1999 dengan
jumlah 479.848 kasus.20
Di Indonesia, infeksi virus dengue masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang utama. Seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk, jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya makin meningkat. Pada
tahun 2015, terdapat sekitar 126.675 penderita di 34 provinsi dengan 1.299
diantaranya meninggal dunia.21

Gambar 6. Data kasus infeksi dengue yang dilaporkan ke WHO


Gambar 7. Negara dengan risiko transmisi dengue
2.2.4. Patofisiologi
Kebanyakan kasus infeksi dengue dengan entitas penyakit sebagai demam
berdarah dengue terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara
kejadian demam berdarah dengue (DBD) atau sindroma syok dengue (SSD)
menunjukkan adanya keterlibatan sistem imun dalam patogenesis DBD. Baik
imunitas alamiah seperti sistem komplemen atau sel NK dan imunitas didapat baik
humoral dan selular terlibat dalam proses ini. Peningkatan aktivasi imun terutama
pada infeksi sekunder mengarah pada respon sitokin yang berlebihan menyebabkan
suatu perubahan pada permeabilitas kapiler. Sebagai tambahan, produk-produk
viral seperti NS1 kemungkinan memiliki peranan dalam aktivasi komplemen dan
permeabilitas kapiler.19
Petanda utama pada DBD adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan kebocoran plasma, berkurangnya volume intravaskular dan
terjadinya syok pada kasus yang berat. Kebocoran yang terjadi bersifat unik dimana
terdapat kebocoran selektif plasma pada rongga pleura dan periotenal serta periode
kebocoran yang singkat (24 – 48 jam).Pemulihan cepat dari syok tanpa adanya
sekuele serta tidak ditemukannya inflamasi pada pleura dan peritoneum
mengindikasikan terjadinya perubahan fungsional pada vaskular dibandingkan
suatu kerusakan struktural pada endotel sebagai menkanisme yang mendasari.19
Berbagai sitokin dengan efek yang meningkatkan permeabilitas telah
diketahui berperan pada patogenesis DBD. Walaupun demikian, kepentingan
sitokin-sitokin pada DBD belum diketahui secara pasti.Penelitian menunjukkan
bahwa pola respon sitokin mungkin berhubungan dengan pengenalan dari sel T
yang spesifik terhadap dengue.Sel T yang reaktif tersebut diketahui memiliki
kekuragan fungsional dalam aktivitas sitolotik nya namun mengekspresikan
peningkatan produksi sitokin termasuk TNF-α, IFN-g dan kemokin lainnya.Pada
model hewan, TNF-α diketahui berpengaruh pada manifestasi berat termasuk
perdarahan.Aktivasi sitem komplemen juga dimungkinkan berperan dalam
meningkatkan permeabilitas kapiler, komplemen seperti C3a dan C5a diketahui
memiliki efek meningkatkan permeabilitas. Dalam penelitian terkini, antigen NS1
dari DENV diketahui mengatur aktivasi komplemen dan mungkin berperan dalam
patogenesis DBD.19
Faktor-faktor yang disebutkan tadi diperkirakan berinteraksi pada sel
endotel menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler melalui jalur nitrit
oksida.Sistem fibrinolitik diaktivasi dan faktor XII (faktor Hageman) ditekan.
Mekanisme perdarahan pada DBD belum diketahui, namun koagulasi intravaskular
diseminata yang ringan, kerusakan hepar, dan trombositopenia kemungkinan
bekerja sama secara sinergis. Permebilitas kapiler menyebabkan cairan, elektrolit,
protein kecil dan pada beberapa kasus sel darah merah bocor ke ruang
ekstravaskular. Hal tersebut ditambah dengan defisit akibat puasa, dan muntah
menyebabkan hemokonsentrasi, hipovolemia, peningkatan kerja jantung, hipoksia
jaringan, asidosis metabolik dan hiponatremia.21
Secara mikroskopis, terdapat edema perivaskular jaringan lunak dan
diapedesis sel darah merah secara luas. Terdapat pengehentian maturasi
megakariosit di sumsum tulang, namun mengalami peningkatan jumlah di kapiler
paru, glomerulus ginjal dan sinusoid hati serta limpa.21
Gambar 8. Perubahan patofisiologi pada DBD

2.2.5. Klasifikasi
Tanda dan gejala infeksi dengue tidak khas, sehingga menyulitkan
penegakkan diagnosis.Pendapat para pakar mengatakan bahwa dengue merupakan
suatu entitas penyakit dengan presentasi klinis beragam dan perubahan klinis serta
outcome yang tidak dapat diprediksi. WHO dalam panduannya telah melakukan
klasifikasi terhadap infeksi dengue mulai dari WHO 1997, kemudian WHO 2009
dan yang terakhir yaitu WHO 2011.22

Gambar 8.Klasifikasi WHO 2011


Gambar 9.Klasifikasi derajat keparahan DBD

2.2.6. Manifestasi Klinis


Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis, terdapat
spektrum manifestasi klinis yang luas, setelah masa inkubasi penyakit mulai dengan
tiba-tiba dan diikuti oleh tiga fase – febris, kritis dan penyembuhan.18
a. Fase febris
Pasien biasanya akan mengalami deman tinggi secara tiba-tiba. Fase ini
biasanya berlangsung kira-kira 2 – 7 hari diikuti oleh muka kemerahan, eritema
pada kulit, nyeri pada badan, myalgia, atralgia dan nyeri kepala.Beberapa pasien
mungkin mengalami suara serak, faring dan konjungtiva hiperemis.Anoreksia,
mual dan muntah sering terjadi.Sangat sulit membedakan dengue secara klinis
dengan demam non dengue pada fase ini. Tes tourniquet yang positif akan
meningkatkan kemungkinan diagnosis dari dengue. Gambaran-gambaran klinis
tersebut tidak bisa membedakan antara kasus berat dan yang tidak sehingga
pemantauan tanda-tanda bahaya serta parameter klinik lainnya penting untuk
diketahui dan diperhatikan.Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie atau
perdarahan mukosa mungkin dapat ditemukan.18
b. Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence)
ditandai dengan:

• Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar


• Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada
dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus
= RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
• Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma 4
• Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran,
sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi,
tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral
dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (<
1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
• Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok
tidak dapat segera diatasi.
c. Fase penyembuhan(convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan
kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum
dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial
rash seperti pada DD
Gambar 10.Grafik perjalanan klinis infeksi dengue

2.2.7. Diagnosis

Diagnosis demam dengue ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan


laboratorium. Diagnosis ini ditegakkan jika kita menemukan demam yang
tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-
7 hari yang disertai minimal dengan 2 gejala:23
- Nyeri kepala
- Nyeri retro-orbital
- Nyeri otot
- Nyeri sendi/tulang
- Ruam kulit makulopapular
- Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie.
Kriteria laboratorium
- Leukopenia ( ≤4.000 sel/mm3)
- Trombositopenia ( <100.000 sel/mm3)
- Peningkatan hematokrit (5%-10%)
Untuk membedakan demam dengue dari demam berdarah dengue adalah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Perbedaan kriteria klinis dan
laboratorium pada demam dengue dan demam berdarah dengue dapat terlihat pada
tabel 1.23

Tabel 13. Kriteria klinis dan laboratorium infeksi dengue.


DD/DBD Derajat Tanda dan gejala Laboratorium
DD Demam disertai minimal Leukopenia (jumlah
dengan 2 gejala leukosit ≤4000
- Nyeri kepala sel/mm3)
- Nyeri retro-orbital - Trombositopenia
- Nyeri otot (jumlah
- Nyeri sendi/ tulang trombosit
- Ruam kulit <100.000
makulopapular sel/mm3)
- Manifestasi perdarahan - Peningkatan
- Tidak ada tanda hematokrit (5%-
perembesan plasma 10%)
- Tidak ada bukti
perembesan
plasma

DBD I Demam dan manifestasi Trombositopenia


perdarahan (uji bendung <100.000 sel/mm3;
positif) dan tanda peningkatan
perembesan plasma hematokrit ≥20%
DBD II Seperti derajat I ditambah Trombositopenia
perdarahan spontan <100.000 sel/mm3;
peningkatan
hematokrit ≥20%
DBD III Seperti derajat I atau II Trombositopenia
ditambah kegagalan <100.000 sel/mm3;
sirkulasi (nadi lemah, peningkatan
tekanan nadi ≤ 20 mmHg, hematokrit ≥20%
hipotensi, gelisah, diuresis
menurun
DBD IV Syok hebat dengan Trombositopenia
tekanan darah dan nadi <100.000 sel/mm3;
yang tidak terdeteksi peningkatan
hematokrit ≥20%

2.2.8. Tatalaksana
Pada fase demam pasien dianjurkan tirah baring, selama masih demam
diberikan obat antipiretik atau kompres hangat. Untuk menurunkan suhu menjadi
<39oC, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan
(kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan dan asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit peroral, jus buah, susu, selain air putih,
dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Tidak boleh dilupakan monitor
suhu, jumlah trombosit serta kadar hematokrit sampai normal kembali.
8.1 Indikasi rawat :

1. Penderita tersangka DBD derajat 1 dengan panas 3 hari atau lebih


2. Tersangka DBD derajat 1 disertai : hiperpireksia atau tidak mau makan
atau muntah-muntah atau kejang-kejang atau Hematokrit cenderung
meningkat, trombosit cenderung turun, atau trombosit <100.000/mm3.
3. Seluruh derajat II, III, IV

8.2 Indikasi pulang :

1. Keadaan umum baik dan masa kritis berlalu (>7 hari sejak panas)
2. Tidak demam selama 48 jam tanpa antipiretik
3. Nafsu makan membaik
4. Secara klinis tampak perbaikan
5. Hematokrit stabil
6. 3 hari setelah syok teratasi
7. Output urin >1 cc/kgbb/jam
8. Jumlah trombosit >50.000/uL dengan kecenderungan meningkat
9. Tidak dijumpai distress pernapasan (yang disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis)

Pada saat kita menjumpai pasien tersangka infeksi dengue, maka bagan 1
dapat dipergunakan.
Gambar 11. Tatalaksana kasus tersangka infeksi dengue
Gambar 12. Tatalaksana kasus DBD Derajat 1
Gambar 13. Tatalaksana kasus DBD derajat 2
Gambar 14. Tatalaksana kasus DBD derajat 3 dan 4.
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas

Nama : An. HNS

Umur : 13 tahun 8 bulan

Tanggal Lahir : 5 Agustus 2007

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku bangsa : Minang

Pekerjaan : Pelajar SMP

Seorang pasien perempuan berumur 13 tahun masuk ke IGD RSUP Dr. M.


Djamil Padang pada tanggal 5 April 2021 dengan:

Keluhan utama : Tangan kaku dan ujung jari tangan dingin sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

• Demam tinggi sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, terus menerus,
tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang. Pasien lalu
mengonsumsi paracetamol 500 mg, tetapi keluhan tidak berkurang.
• Nyeri kepala sejak 3 hari yang lalu, nyeri diseluruh kepala, muncul tanpa
pencetus.
• Mual dan muntah 3x, 2 hari yang lalu, jumlah ½ gelas, muntah berisikan
sisa makanan yang dimakan tidak disertai darah tidak menyemprot.
• Nafsu makan berurang sejak 2 hari yang lalu
• Kaku dan kesemutan pada tangan kiri dan kanan sejak 2 hari yang lalu dan
kulit tampak pucat serta kuning. Pasien dibawa ke IGD RSUD Pariaman.
Di IGD dilakukan pemeriksaan laboratorium pada pasien dan ditemukan
hasil Hb: 12,5 g/dl, Ht: 36,4%, leukosit: 6.550, trombosit: 176.000, sehingga
ditemukan kesan normal. Pasien dirawat di RSUD Pariaman selama 1 hari
dan diberi cairan berupa ringer lactat, injeksi dextrose 5 mg, dan injeksi
antibiotik (cefotaxim) 1 gr. Setelahnya kondisi pasien berangsur membaik,
kaku pada kedua tangan tidak ada, kulit tidak tampak pucat dan kuning,
tetapi demam masih ada, serta ujung jari tangan tampak bewarna biru.
Pasien dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang karena tekanan darah rendah
(87/50 mmHg) dan demam (37,40C). Di IGD RSUP Dr. M. Djamil pasien
masih mengalami tekanan darah rendah (90/60 mmHg), pusing, demam
(36,80C), dan sakit kepala. Pasien lalu dipindahkan ke ICU. Di ICU pasien
masih mengalami tekanan darah rendah, pusing, dan sakit kepala. Pasien
dirawat di ICU selama 1 hari. Lalu pasien dipindahkan ke ruang rawat ketika
tekanan darah berangsur stabil (115/64 mmHg).
• Ruam di kulit ada di lengan kiri dan kanan
• Nyeri perut tidak ada.
• Sesak napas, batuk dan pilek tidak ada
• Nyeri otot dan sendi tidak ada.
• Mimisan dan perdarahan gusi tidak ada.
• Bengkak tidak ada
• Nafsu makan menurun.
• BAK warna dan jumlah biasa
• Sulit BAB

Riwayat Penyakit Dahulu :

• Riwayat suspek demam tifoid

Riwayat keluarga :

• Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama

Riwayat kehamilan :

• Pemeriksaan kehamilan ke bidan, teratur. Persalinan dibantu oleh bidan,


lahir pervaginam, langsung menangis kuat, berat badan lahir : 3700 gr.
Riwayat Makanan dan Minuman
• Bayi : ASI : 0-4 bulan Susu formula : 9 bulan
Buah, Biskuit : 4 bulan Bubur susu : 4 bulan
Nasi tim : 8 bulan
• Anak : Makanan utama : Nasi 3x /hari, menghabiskan 1 porsi
Daging : 1-2x/minggu
Ikan : 5-6 x/minggu
Telur : 5-6 x/minggu
Sayur : 5-6 x/minggu
Buah : 4-5 x/minggu
Kesan : ASI eksklusif, Gizi kualitas dan kuantitas cukup

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/Umur Booster/Umur
BCG 0 bulan
DPT : 1. 2 bulan
2. 3 bulan
3. 4 bulan
Polio : 1. 2 bulan
2. 3 bulan
3. 4 bulan
Hepatitis B : 0. 0 bulan
1. 2 bulan
2. 3 bulan
3. 4 bulan
Haemofilus influenza B :
1. 2 bulan
2. 3 bulan
3. 4 bulan
Campak 9 bulan

Kesan : Imunisasi Lengkap dan sesuai waktu


Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Umur Riwayat gangguan Umur


pertumbuhan & perkembangan
perkembangan mental
Ketawa 3 bulan Isap jempol -
Miring 3 bulan Gigit Kuku -
Tengkurap 3 bulan Sering mimpi -
Duduk 9 bulan Mengompol -
Merangkak 7 bulan Aktif sekali -
Berdiri 8 bulan Apatik -
Lari 18 bulan Membangkak -
Gigi pertama 6 bulan Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek -
Membaca 6 tahun Kesukaran belajar -
Prestasi di Sekolah baik

Kesan : Perkembangan anak sesuai

Riwayat keluarga :
Ayah Ibu
Nama : Hariandi Nur Putra Merry Amalia
Umur : 35 tahun 35 tahun
Pendidikan : SMA SMA
Pekerjaan : Buru Lepas IRT
Perkawinan : Pertama Pertama
Penyakit yang pernah diderita : Tidak Ada Tidak Ada

Saudara Kandung Umur Keadaan sekarang


1. An. N 8 tahun sehat
2. An. H 2 tahun sehat

Riwayat Perumahan dan Lingkungan

Rumah Tempat Tinggal : Rumah Permanen

Sumber Air Minum : galon

Buang Air Besar : Toilet Dalam Rumah

Pekarangan : cukup luas

Sampah : Setiap Hari Dijemput Petugas Pengumpul Sampah

Kesan : Higiene dan sanitasi baik

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis cooperative

Tekanan darah : 115/64 mmHg

Nadi : 87 x/ menit

Nafas : 20 x/ menit

Suhu : 37 oC

Tinggi Badan : 158 cm Berat Badan : 35 kg

BB/U : 35/49 x 100% = 71,4 %

TB/ U : 158/160 x 100% = 98,7 %

BB/TB : 35/46 x 100% = 76,08 %

Gizi : Gizi Kurang


Kulit : pucat (-), sianosis (-), rumple leed (+)

Kepala : normocephal, simetris

Rambut : hitam, tidak mudah di cabut

Mata : konjungtiva anemis (-/-) , sklera tidak ikterik (-/-)

Telinga & Hidung : tidak ada kelainan, epistaksis (-), diskret (-), nafas cuping

hidung (-)

Mulut : mukosa bibir dan mulut basah, tonsil T1-T1

Leher : 5+0 cm H2O

Dada :

Inspeksi : normochest,simetris saat dinamis dan statis, retraksi (-)

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : sonor kiri dan kanan

Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : teraba ictus cordis di 1 jari medial dari linae mid clavicula
sinistra RIC V
Perkusi : batas-batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-) gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal

Alat kelamin : tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas :

Atas : akral hangat, perfusi baik, refleks fisiologis normal,


refleks patologis tidak ada, edem -/-
Bawah : akral hangat, perfusi baik, refleks fisiologis normal,
refleks patologis tidak ada, edema -/-

Pemeriksaan Laboratorium :

• Darah :
Hb :14,4 g/dL
Leukosit :4.560 /mm3
Trombosit :131.000 /mm3
Ht : 42 %
Kesan : Trombositopenia

Diagnosa kerja : Suspek Syok sepsis dd Demam Dengue

Tatalaksana :

• IVFD Kaen 1B 1780 cc + KCL 18 meq/kolf


• Ceftriaxone 2x1,7 gr
• Paracetamol 3x500 mg p.o
• Diet ML TKTP 1000 kkal/hari

Edukasi :

• Tirah baring
• Minum air putih cukup, boleh ditambah dengan minuman lain seperti jus
buah, susu dll.
• Melakukan 3M+ (Menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air,
menngubur sampah, memakai kelambu/obat nyamuk).
BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien perempuan berumur 13 tahun masuk ke IGD RSUP


M.Djamil pada tanggal 5 April 2021 dengan keluhan tangan kaku dan ujung jari
tangan dingin sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien sebelumnya dibawa
ke RSUD Pariaman, diberikan tatalaksana berupa pemberian cairan dan antibiotik
lalu pasien dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang karena tekanan darah rendah
(87/50 mmHg) dan demam (37,40C). Di IGD didapatkan keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, tekanan darah (90/60 mmHg), suhu 36,80C, nadi 90x/menit,
napas 22x/menit.
Dari alloanamnesis dengan orang tua pasien didapatkan demam tinggi sejak
3 hari sebelum masuk rumah sakit, terus menerus, tidak menggigil, tidak
berkeringat, tidak disertai kejang. Suhu tubuh tertinggi adalah 400C. Pasien lalu
mengonsumsi paracetamol 500 mg, tetapi keluhan tidak berkurang. Demam
didefinisikan sebagai peningkatan temperatur tubuh lebih dari 37,5 C akibat
peningkatan pusat pengatur suhu dihipotalamus yang disebabkan oleh pirogen, baik
endogen yang berasal dari dalam tubuh sendiri maupun eksogen, seperti bakteri,
virus, jamur.
Pola demam dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Pada pasien ini
didapatkan demam tinggi tiba-tiba, terus menerus, tidak menggigil, tidak
berkeringat, dan tidak disertai kejang. Hal tersebut dapat menyinngkirkan
kemungkinan demam akibat penyakit lain seperti demam akibat virus lain yang
biasanya tidak menyebabkan demam yang sangat tinggi.
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya: Infeksi, meliputi faktor
predisposisi infeksi, tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung, respon
inflamasi; dan tanda disfungsi/gagal organ. Faktor-faktor predisposisi infeksi,
meliputi: faktor genetik, usia, status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas
(asplenia, penyakit kronis, transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat
terapi (steroid, antibiotika, tindakan invasif). Secara klinis infeksi ditandai oleh
demam, atau adanya fokus infeksi. Secara laboratoris, infeksi ditandai dengan
pemeriksaan darah tepi (lekosit, trombosit, hitung jenis) pemeriksaan morfologi
darah tepi (granula toksik, Dohle body, dan vakuola dalam sitoplasma), c-reactive
protein (CRP), dan prokalsitonin. Sepsis memerlukan pembuktian adanya
mikroorganisme yang dapat dilakukan melalui pemeriksaan apus Gram, hasil kultur
(biakan), atau polymerase chain reaction (PCR).
Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan salah satu dari
3 tanda klinis: penurunan kesadaran (metode AVPU), gangguan kardiovaskular
(penurunan kualitas nadi, perfusi perifer, atau tekanan arterial rerata), atau
gangguan respirasi (peningkatan atau penurunan work of breathing, sianosis).
Pada pasien ini terdapat faktor predisposisi infeksi berupa gizi kurang.
Selain itu, terdapat pula tanda infeksi berupa demam dan hasil pemeriksaan
laboratorium menujukkan adanya trombositopenia. Pada pemeriksaan urinalisis,
dari pemeriksaan makroskopis ditemukan adanya kekeruhan, serta terdapat
hematuria. Pada pasien ini direncakan pemeriksaan kultur urin. Pasien memiliki
tanda disfungsi organ berupa tekanan darah rendah dan sianosis pada ujung jari
tangan. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini
dicurigai mengalami syok sepsis karena dicurigai mengalami infeksi dan terdapat
tanda disfungsi organ.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah demam dengue karena pasien
mengalami demam tinggi, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan ptekie. Pada
pasien ini juga dilakukan pemeriksaan laboratorium. Didapatkan hasil berupa: Hb
12,8 g/dL, Leukosit 4.560 /mm3, Trombosit:137.000 /mm3, dan dapat ditemukan
kesan trombositopenia. Diagnosis demam dengue dapat terpenuhi karena terdapat
demam dan tiga gejala demam dengue. Pembuktian adanya infeksi dengue dapat
ditentukan melalui pemeriksaan serologis IgM dan IgG anti Dengue. Pada pasien
ini tidak ditemukan IgM dan IgG anti dengue, sehingga demam dengue dapat
disingkirkan.
Dari pemeriksaan antropometri pada pasien ini didapatkan tinggi badan : 158
cm, berat badan : 33,8 kg, BB/U: 69 %, TB/ : 98 %, BB/TB: 73 %. Presentase
BB/TB digunakan untuk menilai status gizi. Pasien ini tergolong ke gizi kurang ,
dimana dikatakan normal jika TB/BB 90-110%.
Pasien ini diberikan tatalaksana IVFD KAEN 1B 1780 cc, ceftriaxone 2x1,7
gr, dan paracetamol 3x500 mg. Pada pasien juga diberikan tatalaksana nutrisi
berupa diet ML TKTP 1000 kkal/hari. Disamping tatalaksana medikamentosa, yang
juga penting adalah bagaimana mengedukasi pasien dan keluarga. Infeksi dengue
merupakan suatu penyakit tropis yang berhubungan dengan kebersihan lingkungan.
Hal ini dikarenakan lingkungan yang tidak bersih dan banyak genangan air
merupakan tempat yang sangat baik untuk perkembangan nyamuk Aedes aegypti,
sebagai vector penularan infeksi dengue. Oleh karena itu sangat perlu dilakukan
usaha pencegahan infeksi dengue dengan cara membersihkan lingkungan sekitar.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah melakukan 3M+ yaitu menguras bak
mandi, menutup penampungan air, mengubur barang-barang bekas, menggunakann
obat nyamuk dan kelambu saat tidur.
Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Dengue control. What is Dengue. WHO 2016


(diakses 12/02/2018) https://www.who.int/denguecontrol/disease/en/

2. Sanyaoulu S, et al. Global Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An


Update. Journal of Human Virology & Retrovirology; 2017. h 5-6.

3. World Health Organization. Dengue control. Epidemiology. WHO 2016


(diakses 12/02/2018); Diunduh dari:
https://www.who.int/denguecontrol/epidemiology/en/

4. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, Members of the International Consensus


Conference on Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus
conference: Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr
Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8.

5. Enrione MA, Powell KR. Sepsis, Septic Shock, and Systemic Inflammatory
Response Syndrome. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. In: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF; editors. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. p.1094-9.

6. Guzman-Cottrill J, Nadel S, Goldstein B. The Systemic Inflammatory


Response Syndrome (SIRS), Sepsis, and Septic Shock. Principles and Practice
of Pediatric Infectious Diseases. 3rd ed. In: Long SS, Pickering LK, Prober CG;
editors. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.

7. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Sepsis dan Syok Septik.
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2008. p.358-63.

8. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee Members. Clinical practice
variables for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic
shock. Crit Care Med 2002; 30: 1365-78.

9. Fisher RG, Boyce TG. Moffet’s Pediatric Infectious Diseases: A Problem-


Oriented Approach. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2005. p.354-62.

10. Dewi R. Sepsis pada Anak: Pola Kuman dan Uji Kepekaan. Maj Kedokt Indon
2011; 61(3): 101-6.

11. BC Children’s Hospital. Clinical Practice Guideline: Pediatric Severe Sepsis


2011. Available at:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&c
ad=rja&uact=8&ved=0CDMQFjAC&url=http%3A%2F%2Fwww.childhealth
bc.ca%2Fguidelines%2Fcategory%2F67-sepsis-
guidelines%3Fdownload%3D232%253Asepsis-
guideline&ei=GMHJU9WyK4yPuASXhoKoCg&usg=AFQjCNGvD2WJLw
B973Z5LpMLFNJ3be9XKA&sig2=KQzAVC1f1AiXW_IrbaBMjQ.
Accessed 17 April 2021

12. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsesus Diagnosis dan Tatalaksana Sepsis
pada Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;2016

13. Arifin MRA. Hubungan Antara Hiperglikemia dan Mortalitas Pada Anak
dengan Sepsis di Ruang Rawat Inap Intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Jurnal Kedokteran Indonesia 2011; 2(1): 34-8.

14. Simmons ML, Durham SH, Carter CW. Pharmacologic Management of


Pediatric Patients With Sepsis. AACN Advanced Critical Care 2012; 23(4):
437-48.

15. El-wiher N, Cornell TT, Kissoon N, Shanley TP. Management and Treatment
Guidelines for Sepsis in Pediatric Patients. The Open Inflammation Journal
2011; 4: 101-9.

16. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
International Guideline for Management of Severe Sepsis and Septic Shock:
2012. Critical Care Medicine Journal 2013; 41(2): 613-9.

17. Khilnani P, Singhi A, Lodha R, Santhanam I, Sachdev A, Chugh K, et al.


Pediatric Sepsis Guidelines: Summary for resource-limited countries. Indian J
Crit Care Med 2010; 14(1): 41-52.

18. Central for Disease Control and Prevention U.S Department of Health and
Human Services. Dengue and dengue hemorrhagic fever. San Juan: U.S
Department of Health and Human Services; 2008. h.1.

19. World Health Organization. Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment,


Prevention and Control. France: WHO; 2009 [diakses 18/12 2017]; Diunduh
dari: http://www.who.int/tdr/dengue-diagnosis.

20. World Health Organization. Comprehensive of guidelines for prevention and


control of dengue and dengue haemorrhagic fever. India: WHO; 2011 [diakses
18/12 2017]; Diunduh dari: http://www.apps.searo.who.int/pds_docs.

21. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi DBD di
Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016. h.2-4.
22. Halstead SB. Dengue fever & dengue hemorrhagic fever. Dalam: Behrman RE,
Kliegeman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. 17th
Ed. Philadelphia: Saunders; 2004. h.1092-1095.

23. Hadinegoro SRS. New dengue case classification. Dalam: Hadinegoro SR,
Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG, penyunting. Pendidikan
kedokteran berkelanjutan LXIII update management of infection diseases abd
gastrointestinal disorder. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM; 2012. h.16-17

Anda mungkin juga menyukai