Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

ILMU KESEHATAN ANAK


DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

Pembimbing:
dr. I. Dewa Ayu Agung Sridaraswari, Sp. A

Oleh:
dr. Denny Arvi Makhirfandi

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD SUMBERGLAGAH
KAB. MOJOKERTO
PROGRAM DOKTER INTERNSHIP
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul “Dengue Haemorrhagic Fever” telah


diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi program pendidikan dokter internsip PIDI
angkatan IV periode 2021-2022 pada wahana RSUD Sumberglagah

Mojokerto, 26 Januari 2022

Pembimbing,

dr. I. Dewa Ayu Agung Sridaraswari, Sp. A


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya, laporan kasus Pediatri tentang Dengue Haemorrhaegic Fever
(DHF) dapat saya selesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai bagian dari
proses belajar selama program dokter internship Angkatan IV di RSUD
Sumberglagah dan saya menyadari bahwa laporan kasus ini tidaklah sempurna.
Untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan dalam pembuatan laporan ini.
Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing, dr. I. Dewa Ayu Agung
Sridaraswari, Sp. A atas bimbingan dan bantuannya dalam penyusunan Laporan
kasus ini. Saya sangat menghargai segala kritik dan masukan sehingga laporan
kasus ini bisa menjadi lebih baik dan dapat lebih berguna bagi pihak-pihak yang
membacanya di kemudian hari.

Mojokerto, 26 Januari 2022

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Demam berdarah dengue (DBD) merupakan infeksi arboviral yang
ditularkan oleh nyamuk yang endemik di sebagian besar negara tropis dan
subtropis. Penularan penyakit dengue terjadi melalui vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopticus. Berbagai manifestasi klinis seperti demam,
manifestasi perdarahan, pembesaran organ hati. Pada negara-negara endemik
dengue, dengue merupakan penyebab hepatitis virus akut dan gagal hati
(Fernando et al., 2016) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan
pedoman demam berdarah dengue dimana kerusakan organ berat sebagai salah
satu kategori demam berdarah berat selain manifestasi lain seperti kebocoran
plasma parah dan perdarahan. Kegagalan hati merupakan komplikasi infeksi
dengue yang menyebabkan angka kematian tinggi karena dapat menyebabkan
encephalopati, perdarahan, gangguan metabolik.
Di Indonesia, jumlah kasus DBD pada tahun 2019 dan 2020 berturut-
turut 138.127 dan 108.303 kasus. Jumlah kematian karena DBD pada tahun 2019
dan 2020 berturut-turut 747 dan 919 kasus kematian (RI, 2020). Jumlah penderita
DBD di Jawa Timur tahun 2020 sebanyak 8.567 penderita, dengan jumlah
kematian sebanyak 73 orang. Insiden rate (Incidence Rate) atau Angka Kesakitan
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Timur pada tahun 2020 sebesar 21,5
per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2020). Di
Surabaya, insiden rate (Incidence Rate) atau Angka Kesakitan Demam Berdarah
Dengue (DBD) pada tahun 2019 sebesar 9,56 per 100.000. Anak Indonesia adalah
kelompok rentan mengalami infeksi dengue, dimana sejak tahun 2016 sampai
2019 kasus usia 0–14 tahun insidensnya berturut-turut 54,74%, 51,66%, 51,76%,
53,08%, dan sampai pertengahan tahun 2020 mencapai 53,41% (Dinas Kesehatan
Surabaya, 2019). Pada bulan Agustus 2020 Studi epidemiologi dengue di
Surabaya didapatkan hasil 135 anak penderita DBD, dan 38 di antaranya
mengalami DBD derajat III dan IV. Pada 35 anak mayoritas berusia 5-12 tahun,
berstatus gizi buruk dengan masa perawatan 3-5 hari. Sebanyak 5% anak
meninggal dalam perawatan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2020).
Atas dasar uraian sebelumnya maka penulis tertarik untuk Mengambil
Laporan kasus dengan judul Dengue Hemmoragic Fever
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Dengue


2.1.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae
(WHO, 2011). Demam berdarah dengue merupakan penyakit febris akut yang
ditemukan di daerah tropis dengan penyebaran geografis sama dengan malaria.
Penyakit ini memiliki manifestasi klinis diantaranya demam, nyeri otot dan/ atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diathesis hemoragik.

2.1.2 Etiologi
Struktur virus dengue secara kasar berbentuk bulat, dengan diameter
sekitar 50 nm. Virus dengue (50 nm) mengandung single-strand Ribonucleic
Acid/ RNA untai tunggal sebagai genom (WHO, 2011). Virion terdiri dari
nukleokapsid dengan simetri kubik tertutup dalam. amplop lipoprotein. Genom
virus dengue memiliki panjang 11.644 nukleotida, dan terdiri dari tiga gen protein
struktural yang mengkode nukleokaprid atau protein inti (C), protein terkait
membran (M), protein amplop (E), dan tujuh protein non-struktural gen protein
(NS) (WHO, 2011).
Protein kapsid (C) merupakan protein dasar yang sangat responsif terhadap
penempelan nukleokapsid yang terus berinteraksi dengan RNA tetapi hanya
sedikit yang mengetahui tentang protein C. Struktur ptotein C memperlihatkan
suatu struktur dimer yang mempunyai beban tertinggi dan mempunyai distribusi
yang asimetris diresidu dasar diatas protein permukaan. Protein DENV prM
(membran), yang penting dalam pembentukan dan pematangan partikel virus,
terdiri dari tujuh untai antiparalel yang distabilkan oleh tiga ikatan disulfida.
Protein M dapat digunakan untuk membedakan respon antibodi terhadap antivirus
(Perera and Kuhn, 2008). Protein DENV E (amplop), ditemukan sebagai dimer
pada permukaan partikel virus dewasa, penting dalam perlekatan awal partikel ini
ke sel inang (Modis, et al., 2003; Perera and Kuhn, 2008).
Adapun protein non-struktural meliputi glikoprotein amplop, NS1, NS2A,
NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5, dimana protein nonstruktural berperan
dalam replikasi virus (Rodenhuis-Zybert, Wilschut, & Smit, 2010; WHO, 2011).
NS1 adalah glikoprotein 48-kDa yang sangat terkonservasi di antara semua
flavivirus. NS1 adalah satu-satunya protein yang secara terus menerus
disekresikan oleh sel inang yang terinfeksi. NS1 disekresikan dalam bentuk
heksamer, yang terdiri dari tiga dimer dengan rongga pusat hidrofobik memiliki
70 molekul lipid, dengan komposisi hampir sama dengan high-density lipoprotein
(Rodenhuis-Zybert et al., 2010; WHO, 2011).

Gambar 1: Penampang virus dengue yang menunjukkan komponen struktural


Sumber: (Modis, et al., 2003; Perera and Kuhn, 2008)

Virus dengue memiliki 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN- 2, DEN- 3, dan


DEN- 4, yang masing-masing serotipe memiliki interaksi berbeda dengan antibodi
manusia. Serotipe yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah DEN-3.
Perbedaan serotipe pada virus dengue dari keempat serotipe ini dikaitkan dengan
epidemi dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Infeksi dengan satu serotipe
memberi imunitas seumur hidup terhadap serotipe virus yang menginfeksi.
Individu dilindungi dari infeksi dengan tiga serotipe yang lain melalui adanya
cross-protection selama dua sampai tiga bulan setelah infeksi dengue pertama
karena secara antigenik sama. Setelah periode singkat, seseorang dapat terinfeksi
salah satu dari tiga serotipe dengue yang lain atau infeksi multiple dan setiap
individu memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadi severe dengue (WHO,
2011)..

2.1.3 Epidemiologi
Setiap tahun lebih dari satu miliar orang terinfeksi dan lebih dari satu juta
orang meninggal karena penyakit yang ditularkan melalui vektor, di mana
penyakit yang dibawa oleh nyamuk merupakan proporsi yang signifikan. Aedes
aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor yang efisien untuk penyakit
arboviral pada manusia. Saat ini penyakit arboviral masih menjadi masalah
kesehatan global karena penyebaran geografisnya yang cepat terutama selama 30
tahun terakhir, peningkatan secara cepat baik distribusi dan dampak yang
ditimbulkan bagi kesehatan masyarakat (WHO, 2022).
Dengue memiliki pola epidemiologi yang berbeda, terkait dengan empat
serotipe virus. Serotipe virus ini dapat ada bersama dalam suatu wilayah, dan
memang banyak negara yang hiper-endemik dimana memiliki keempat serotipe
dengue (WHO, 2022). Sejumlah besar penelitian telah memetakan distribusi
global atau regional A. aegypti dan A. albopictus, baik dari segi ekologis dan
habitat dengan hasil bahwa kedua spesies ini telah terdistribusi secara luas di
semua benua termasuk Amerika Utara dan Eropa. Infeksi dengue ditemukan
sebagai penyakit yang paling luas penyebarannya (WHO, 2022).
Insiden demam berdarah telah meningkat secara dramatis di seluruh dunia
dalam beberapa dekade terakhir (Waggoner, et al., 2016). Menurut data WHO
2022 jumlah kasus infeksi dengue terjadi 390 juta per tahun dengan rerata jumlah
infeksi dengue 96 juta (67-136 juta) bermanifestasi secara klinis (dengan tingkat
variasi keparahan penyakit) (Bhatt, et al., 2013; WHO, 2022). Studi lain
menjelaskan prevalensi DBD memperkirakan 3,9 miliar orang berisiko terinfeksi
virus dengue di 129 negara khusunya Asia (Brady, et al., 2012). Jumlah kasus
infeksi dengue dilaporkan ke WHO meningkat lebih dari 8 kali lipat selama dua
dekade terakhir, dari 505.430 kasus pada tahun 2000, menjadi lebih dari 2,4 juta
pada tahun 2010, dan 5,2 juta pada tahun 2019. Kematian yang dilaporkan antara
tahun 2000 dan 2015 meningkat dari 960 menjadi 4032, namun jumlah total kasus
tampaknya menurun selama tahun 2020 dan 2021 bisa disebabkan hambatan
pelaporan kasus di beberapa negara selama pandemi COVID-19 (WHO, 2022).
Jumlah kasus infeksi dengue terbesar dilaporkan secara global terjadi pada
tahun 2019. Semua wilayah terkena dampaknya, dengan penularan terjadi
pertama kali di Afghanistan kemudian menyebar ke Amerika sebanyak 3,1 juta
dan 25.000 kasusu diantaranya menjadi infeksi dnegue berat. Selanjutnya jumlah
kasus yang tinggi dilaporkan di Bangladesh (101.000), Malaysia (131.000)
Filipina (420.000),Vietnam (320.000) di Asia (WHO, 2022). Pada tahun 2020,
infeksi dengue menyerang beberapa negara, dengan laporan peningkatan jumlah
kasus di Bangladesh, Brasil, Kepulauan Cook, Ekuador, India, Indonesia,
Maladewa, Mauritania, Mayotte (Fr), Nepal, Singapura, Sri Lanka, Sudan,
Thailand, Timor-Leste dan Yaman. Infeksi dengue makin meluas meliputi Brasil,
India, Vietnam, Filipina, Kepulauan Cook, Kolombia, Fiji, Kenya, Paraguay, Peru
dan, pulau Reunion pada tahun 2021 (WHO, 2022).

Gambar 1: Penyebaran dengue secara global


Sumber: Leta, S et al, 2017; WHO, 2011

Di Indonesia, jumlah kasus DBD pada tahun 2019 dan 2020 berturut-
turut 138.127 dan 108.303 kasus. Jumlah kematian karena infeksi dengue pada
tahun 2019 dan 2020 berturut-turut 747 dan 919 kasus kematian. Insiden rate
(Incidence Rate) DBD di Jawa Timur pada tahun 2020 sebesar 21,5 per 100.000
penduduk. Di Surabaya, insiden rate (Incidence Rate) DBD pada tahun 2019
sebesar 9,56 per 100.000 penduduk dengan jumlah kasus 277 orang, mengalami
penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2018 yakni 11,12 per 100.000
penduduk. Meskipun mengalami penurunan, kewaspadaan terhadap lonjakan
kasus pada tahun selanjutnya perlu ditingkatkan (Dinas Kesehatan Surabaya,
2019).

Gambar 1: Tingkat insiden (per 100.000 orang-tahun) dan tingkat kematian kasus (%) demam
berdarah dengue di Indonesia dari tahun 1968 hingga 2017
Sumber: (Harapan, Michie, Mudatsir, Sasmono, & Imrie, 2019)

Gambar 1: Pemetaan geografis angka kejadian demam berdarah dengue (per


100.000 penduduk) di Indonesia dari tahun 2011 hingga 2016
Sumber: (Harapan et al., 2019)
Menurut Kraemer, et al. (2015), beberapa faktor berkontribusi terhadap
penularan virus oleh Aedes aegypti; antara lain suhu, curah hujan, migrasi desa-
kota, pertumbuhan penduduk, penyimpanan air, peningkatan limbah padat yang
memungkinkan menjadi habitat larva bagi vektor (Kraemer, et al., 2015).

2.1.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya infeksi dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya infeksi dengue. Dengue sendiri ditularkan melalui
gigitan nyamuk aedes aegpty yang mengandung virus dengue. Nyamuk aedes
aegypty merupakan vector baik sebagai media penularan, host biologis yang
berperan dalam transmisi biologis (Manuaba, Sutirtayasa, & Dewi, 2013).
Mekanisme inumologis pada infeksi dengue sangat erat dengan bagimana
tubuh merespon infeksi melalui suatu respon imun. Pada manusia dikenal dua
respon imun tubuh yaitu imunitas natural dan imunitas didapat. Saat virus masuk
ke dalam tubuh, maka, tubuh akan merangsang terbentuknya suatu sel khusus
yang disebut APCs. Immunogen selanjutnya akan terperangkap dalam vesikel
dalam sitoplasma dan diproses hingga menjadi sebuah peptide dan akan
bergabung dengan protein MHC kelas dua dimana mereka akan dapat dideteksi
oleh sel T helper, lalu sel T helper ini akan mengaktivasi dua sel efektor limfoid
lainnya yaitu sel sitotoksik T (Tc) atau CD8 untuk membunuh sel target
(apoptosis) dan sel yang mensekresi antibodi (sel B) untuk mensekresi antibodi.
Sementara sisanya akan berdiferensiasi menjadi sel B memori. Disamping itu, sel
T helper juga akan memproduksi IL-2 untuk melepaskan sitokin yang akan
memproduksi faktor pertumbuhan, makrofag, dan lain lain (Manuaba et al.,
2013).
Mekanisme pathogenesis dari infeksi virus dengue juga melibatkan sel T.
Aktivasi sel T yang spesifik untuk dengue meningkat. Sel T, terutama cross-
reactive T cells yang aktif akan memproduksi sitokin seperti IFN-δ, IL-2, dan
TNF-£. TNF-£ juga diproduksi oleh monosit yang telah teraktivasi. Kaskade
komplemen diaktifkan melalui kompleks virus antibodi melalui beberapa sitokin
untuk melepaskan C3a dan C5a yang memiliki efek langsung ke permeabilitas
vaskular. Efek sinergis dari IFN-δ, TNF-£ dan protein komplemen yang aktif akan
menyebabkan kebocoran plasma dan aktivasi sistem imun yang berlebihan setelah
infeksi virus dengue, hal ini tak hanya melibatkan respon imun untuk
membersikan virus, tetapi juga menyebabkan produksi yang berlebihan dari
sitokin yang mempengaruhi monosit, sel endotel, dan hepatosit, seperti produksi
abnormal autoantibodi yaitu IgM dan IgG yang berperan dalam peningkatan
penghancuran platelet dan sistem retikuloendotelial (Wilson, et al, 2001).
Dalam studi literatur yang dikemukakan oleh Manuaba, et al (2013), juga
dijelaskan bahwa imunitas humoral sebagian besar dimediasi oleh sel B, komplek
imun IgM ditemukan pada dinding pembuluh darah dari papilla dermal pada
pasien dengue. level IgM, terutama IgM alami spesifik untuk dengue, sangat
berpengaruh terhadap prognosis dari infeksi dengue. IgM adalah antibodi pertama
yang terbentuk setelah stimulasi antigen, dan kehadiran IgG setelah respon awal
terhadap antigen diasosiasikan dengan memori imunologi. Hal ini menyebabkan
kadar IgM lebih tinggi pada paparan pertama sementara IgG pada paparan kedua.
Studi ini juga menjelaskan keterlibatan antibody dependent immune system
memiliki peran penting menimbulkan derajat keparahan yang terjadi pada anak
anak yang terkena paparan kedua dari virus yang berbeda serotipenya dari tipe
terdahulu (Manuaba et al., 2013).
Adanya autoantibodi yang dikenal dengan sebutan NS1 dan prM juga
dipelajari bahwa NS1 dihasilkan oleh sel yang terinfeksi dan secara langsung
dapat mengaktivasi faktor komplemen. Antibodi yang dihasilkan tubuh selama
infeksi virus dengue menunjukkan adanya reaksi silang dengan anti NS1 dan sel
endotel, hal ini dapat menyebabkan sel endotel mengekspresikan nitric oxide
(NO) dan mengalami apoptosis (Manuaba et al., 2013). Adanya mimikri
molecular antara platelet dan sel endotel dengan NS1 atau prM dari virus dengue
akan menjelaskan reaksi silang yang terjadi pada anti NS1 atau antibodi prM
dengan host dan berperan dalam penyerangan platelet dan sel endotel selama
perjalanan penyakit ini (Wilson, et al, 2001).
Gambar 2.1. Patogenesis Infeksi Virus Dengue
Sumber: Islam R, 2015

Penelitian Wowor (2011) menjelaskan mekanisme imunopatologis pada


infeksi virus dengue. Mekanisme inumopatologis yang berperan dalam
patogenesa infeksi virus dengue terjadi melalui adanya respon humoral berupa
pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang
dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang di- mediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
Selain itu terdapat keterlibatan limfosit T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik
(CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-
helper yaitu TH 1 akan memproduksi interferon γ, interleukin-2 (IL-2) dan
limfokin, sedangkan TH 2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Pad
amekanisme patogenesesa DBD juga terdapat aktivasi monosit dan makrofag
berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi, namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a (Piche, 2009; Suhendro, et al., 2014; Wowor, 2011).
Mekanisme terjadinya demam berdarah dengue masih kontroversial.
Dalam sebuah fenomena yang ditemukan oleh Halstead disebutkan bahwa
manusia yang memiliki imunitas terhadap salah satu serotipe virus dengue, baik
secara alamiah didapat maupun dari antibodi maternal, memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk mengalami demam berdarah dengue dan/ atau Dengue Shock
Syndrome (DSS) pada infeksi sekunder selanjutnya oleh serotipe virus dengue
yang berbeda. Fenomena ini disebut Antibody Dependent Enhancement (ADE)
(Piche, 2009; Suhendro, et al., 2014).
FC imunoglobin kemudian terjadi penetrasi kompleks ke dalam sel
retikuloendotelial seperti organ hati dan terjadi replikasi virus di dalamnya.
Akibatnya, terdapat lebih banyak jumlah sel retikuloendotelial yang terinfeksi.
Dengan lebih banyaknya sel yang terinfeksi lebih banyak pula sitokin pro-
inflamasi yang dilepaskan sehingga memperberat gejala klinis (Syahrurachman,
2019).
NS1 diduga berperan penting dalam aktivasi sistem komplemen. Sel
yang terinfeksi akan melepaskan NS1 yang nantinya secara langsung dapat
mengaktifkan sistem komplemen. Produksi kompleks C5b-C9 dapat merangsang
reaksi seluler dan produksi sitokin-sitokin inflamatorik yang nantinya berperan
dalam timbulnya DBD/DSS (Martina et al., 2009).
Karakteristik kebocoran plasma DBD adalah manifestasi
hemokonsentrasi, efusi pleura atau asites dan. Sebelumnya diduga kebocoran
plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah selain ditemukannya
dua tersangka baru destruksi sel endotel disertai pelepasan mediator inflamasi (IL-
6, IL-8 ) yang dilepaskan oleh virus dengue. Virus dengue juga mengaktifkan
komplemen dan menginduksi ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-1, dimana
ekspresi ICAM-1 bersama dengan IL-8 juga akan meningkatkan permeabilitas
vaskular (Suseno & Nasronudin, 2015).
2.1.5 Perjalanan Alamiah Penyakit (Natural History of Disease)
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue ini secara umum
terdiri dari 3 fase yaitu: fase demam (febrile), kritis (critical), dan penyembuhan
(recovery) (WHO, 2012). Di hari ke 3 – 7 sakit biasanya merupakan fase kritis
dimana terjadi penurunan suhu ke 37,5 – 38oC. Pada fase ini terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler yang diikuti dengan peningkatan nilai hematokrit. Periode
kebocoran plasma yang signifikan ini dapat berlangsung selama 24-48 jam. Di
fase sering terjadi manifestasi terjadi kerusakan organ termasuk gangguan hati
(WHO, 2012).
Fase pertama adalah fase demam. Fase ini ditandai dengan adanya demam
yang timbul mendadak tinggi secara terus menerus yang berlangsung selama 2-7
hari. Demam dapat disertai dengan gejala lain yang sering ditemukan seperti
muka kemerahan (facial flushing), nyeri kepala, nyeri retroorbita, anoreksia,
mialgia, dan artralgia. Gejala lain yang mungkin dijumpai adalah nyeri ulu hati,
mual, muntah, nyeri di daerah subkostal kanan atau nyeri abdomen difus, kadang
disertai nyeri tenggorokan. Demam yang terjadi terkadang belum spesifik
mengarah ke suatu infeksi virus dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti
petekie dan perdarahan membran mukosa (misal epistaksis dan perdarahan gusi)
dapat terjadi. Pemeriksaan darah lengkap pada fase ini menunjukan suatu
penurunan progresif pada leukosit, trombosit, maupun neutrofil (RI, 2021; WHO,
2009).
Gambar 2.2: Perjalanan Alamiah Penyakit (Natural History of Disease) infeksi
dengue
Sumber: WHO, 2012

Fase selanjutnya adalah fase kritis yang terjadi pada saat demam turun
(time of fever defervescence) yaitu ketika suhu tubuh turun menjadi 37,5–38 o C
atau kurang dan tetap berada di bawah suhu tersebut, merupakan saat
berlangsungnya perembesan plasma terjadi sehingga pasien dapat mengalami
syok hipovolemik. Gejala ini menandai awal fase kritis (RI, 2021). Tanda bahaya
umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke-3 sampai
ke-7, berupa peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler bersamaan dengan
peningkatan kadar hematokrit. Periode perembesan plasma yang signifikan
biasanya berlangsung 24–48 jam. Kewaspadaan dalam mengantisipasi
kemungkinan syok adalah dengan mengenal warning signs yang mendahului fase
syok.
Setelah fase kritis pasien masuk dalam masa penyembuhan. Fase ini pada
umumnya terjadi setelah 24-48 jam fase kritis, dimana pada fase ini terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular secara bertahap yang berlangsung 4-72 jam
berikutnya. Secara umum pada fase ini akan terjadi perbaikan kondisi umum dari
pasien anak, nafsu makan mulai membaik, gejala gastriintestinal menghilang,
status hemodinamik stabil dan diikuti perbaikan diuresis. Beberapa pasien
menunjukkan gambaran convalescence rash pada kedua tungkai. Bradikardi dan
eruabhan elektrokardiografi sering terjadi pada fase pemulihan. Pada fase ini juga
akan didapatkan perbaikan dari hasil pemeriksaan laboratorium darah dimana
hematokrit yang akan stabil karena dampak dari dilusi penyerapan cairan. Kadar
jumlah leukosit mulai mengalami peningkatan, diikuti dengan normalnya jumlah
trombosit (WHO, 2009)

2.1.6 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi virus dengue cukup berkembang. Berdasarkan WHO
1997, klasifikasi dengue terbagi Demam Dengue (DD), Demam Berdarah dengue
(DBD), dan SSD (Sindroma Syok Dengue), dimana klasifikasi ini merupakan
hasil konsesus para ahli berdasarkan studi pada anak Thailand pada tahun 1950-an
sampai 60-an, dengan modifikasi pada tahun 1986 dan 1997. Kemudian, pada
1997, klasifikasi ini mengalami pembaharuan menjadi empat tingkat DBD
didefinisikan (DBD derajat I, II, III, dan IV), dengan DBD derajat I dan II
menjadi DBD, sedangkan DBD derajat III dan IV menjadi SSD (RI, 2021).
Klasifikasi DD/DBD/SSD ini kemudian dilakukan peninjauan ulang
dengan pertimbangan bahwa klasifikasi ini kurang menunjukan suatu keparahan
penyakit, dokter tidak dapat mengidentifikasi secara tepat suatu keparahan
penyakit, tes laboratorium perlu pengulangan dalam waktu cepat yang seringkali
tidak tersedia atau sulit diterapkan di layanan kesehatan, kurang membantu dalam
kondisi wabah dengue, pelaporan kasus secara global berbeda-beda karena klinisi
mengalami kesulitan dalam menggunakan klasifikasinya. Begitu pula dengan
klasifikasi DD/DBD derajat I sampai IV/SSD juga dirasa rumit untuk digunakan
dalam klinis atau kesehatan masyarakat, demikian pula untuk studi patogenesis
yang rinci (RI, 2021).
Oleh karena itu, WHO melalukan suatu review sistematik untuk
menelaah kembali pengklasifikasian demam dengue. Selanjutnya dikeluarkanlah
pedoman baru, yaitu The Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment and
Control World Health Organization 2009 dengan klasifikasi kasus infeksi dengue,
sebagai dengue dan severe dengue. Warning signs membantu tenaga kesehatan
dalam memilah kasus simtomatik yang membutuhkan pemantauan dan rawat inap
(dengue tanpa atau dengan warning signs). Maka dikeluarkanlah pedoman WHO
2009 mengenai klasifikasi demam dengue yaitu dengue tanpa/dengan warning
signs dan severe dengue (RI, 2021).
Di Indonesia sendiri berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/4636/2021 Tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Infeksi Dengue Anak dan Remaja mengikuti
klasifikasi diagnosis dengue berdasarkan WHO 2009 menjadi dengue tanpa
warning signs, dengue dengan warning signs dan severe dengue.

Gambar 2.3 Klasifikasi Infeksi Dengue


Sumber : Kementrian kesehatan. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tata
laksana infeksi dengua anak dan remaja, 2021
Klasifikasi dan derajat demam dengue berdasatkan WHO tahun 2011
Gambar 2. Derajat demam dengue

2.1.7 Diagnosis
Pendekatan diagnosis infeksi dengue diawali dengan melakukan penilaian
umum, dimulai dari anamnesa seperti gejala saat datang. Manifestasi klinis infeksi
virus dengue sangat luas dapat bersifat asimptomatik/tidak bergejala, bergejala
hingga berat. Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus
dengue, terutama untuk pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat
mengalami demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus
lainnya. Kondisi tersebut diklasifikasikan sebagai Undifferentiated fever. Ruam
makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul selama demam.
Gejala pernapasan bagian atas dan gastrointestinal sering terjadi (WHO, 2011).
Infeksi virus dengue paling sering terjadi pada anak-anak yang lebih tua,
remaja dan orang dewasa. Ini umumnya merupakan penyakit demam akut, dan
kadang-kadang demam bifasik dengan sakit kepala parah, mialgia, artralgia, ruam,
leukopenia, dan trombositopenia juga dapat ditemukan. Kadang-kadang terjadi
perdarahan yang tidak biasa seperti perdarahan gastrointestinal, hipermenorea,
dan epistaksis masif. Di daerah endemis DBD, wabah DB jarang terjadi di
kalangan masyarakat sekitar (WHO, 2011).
Infeksi virus dengue lebih sering terjadi pada anak-anak kurang dari 15
tahun di daerah hiperendemik, berhubungan dengan infeksi dengue berulang. Dan
ditandai dengan timbulnya demam tinggi secara akut dan berhubungan dengan
tanda dan gejala yang mirip dengan DD pada fase awal demam (WHO, 2011).
Terdapat diatesis hemoragik yang umum seperti tes tourniquet positif (TT),
petechiae, mudah memar dan/atau perdarahan GI pada kasus yang parah. Pada
akhir fase demam, ada kecenderungan untuk berkembang menjadi syok
hipovolemik karena kebocoran plasma (WHO, 2011).
Berdasarkan pedoman WHO (2009), dimana pengklasifikasian infeksi
virus dengue berdasarkan pasien dengue dengan warning signs dan tanpa warning
signs, serta severe dengue. Faktor komorbid pada pasien dengan infeksi dengue
memungkinkan kondisi dengue tanpa warning signs berlanjut menjadi warning
signs atau severe dengue (RI, 2021; WHO, 2009).
Kasus severe dengue di Asia Tenggara menempati tempat tertinggi, yaitu
15% dari seluruh kasus severe dengue. Diantara kasus severe dengue, 244 (90%)
mengalami perembesan plasma, perdarahan hebat 39 (14%), dan disfungsi organ
berat 28 (10%). Severe dengue ditentukan dari satu atau lebih kondisi berikut (RI,
2021; WHO, 2009) (1) perembesan plasma yang menyebabkan syok (syok
dengue) dan/atau akumulasi cairan dengan/tanpa distres napas, dan/atau (2)
perdarahan hebat (umumnya karena perdarahan saluran certa), dan/atau (3)
kerusakan organ yang berat.
Peningkatan permeabilitas vaskular diikuti hipovolemia hebat sampai
terjadi syok, berlangsung pada saat defervescence. Pada awal syok, terjadi
mekanisme kompensasi untuk menjaga agar tekanan sistolik normal,
menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer. Pada saat ini tekanan diastolik
meningkat sehingga tekanan nadi menyempit diikuti dengan kenaikan tahanan
perifer. Pasien dikatakan mengalami syok apabila tekanan nadi (perbedaan antara
tekanan sistolik dan diastolik) ≤20 mmHg pada anak. Klinis menunjukkan tanda-
tanda perfusi kapiler yang menurun (ekstremitas dingin, pemanjangan pengisian
waktu kapiler, atau denyut nadi yang cepat). Hipotensi pada umumnya
dihubungkan dengan syok berkepanjangan dengan penyulit perdarahan hebat (RI,
2021; WHO, 2009).
Severe dengue harus dicurigai jika seorang memiliki gejala demam 2–7
hari disertai beberapa gejala berikut (1) terdapat bukti perembesan plasma seperti
hematokrit yang meningkat cepat/tinggi dan/atau efusi pleura, asites (2) syok
dengan gejala takikardia, ekstremitas lembab dan dingin, pengisian waktu kapiler
lebih dari dua detik, denyut nadi yang lemah atau tidak teraba, tekanan nadi
sempit atau pada syok lanjut tekanan darah tidak terukur (3) terdapat perdarahan
yang signifikan/masif/hebat (seperti perdarahan saluran cerna berupa hematemesis
melena, perdarahan kulit luas berupa purpura, dan lain sebagainya) (4) Terdapat
perubahan kesadaran (letargi atau gelisah, koma, kejang). (5) Terdapat gangguan
gastrointestinal berat. (6) terdapat kerusakan organ yang berat (gagal hati akut,
gagal ginjal akut, ensefalopati atau ensefalitis, kardiomiopati atau manifestasi
yang tidak lazim lainnya) (RI, 2021; WHO, 2009).
Komplikasi syok dan keterlibatan organ yang terjadi pada infeksi dengue
adalah sebagai berikut syok, hipotensi, distress napas, keterlibatan jantung,
keterlibatan sistem saraf pusat, keterlibatan ginjal, keterlibatan hati, perdarahan
hebat. Pada kasus ini syok ditandai dengan (1) perfusi kapiler buruk ditandai
dengan laju nadi meningkat (takikardia), pengisian waktu kapiler lebih dari dua
detik, ekstremitas dingin, (2) tekanan nadi menyempit (<20 mmHg), (3) hipotensi
atau sampai tidak terukur, dan (4) nadi teraba lemah dan kecil sampai tidak teraba.
Sementara distress napas peningkatan laju napas sesuai usia, peningkatan usaha
napas (dyspnea), napas Kussmaul, saturasi 02 ≤94% tanpa pemberian O2, dan
gagal napas (RI, 2021; WHO, 2009).
Keterlibatan jantung pada infeksi dengue umumnya melibatkan lapisan
miokardium dengan manifestasi miokarditis, kardiomiopati, dan gagal jantung.
Sementara keterlibatan sistem saraf pusat menimbulkan manifestasi klinis
penurunan kesadaran tanpa ditemukan adanya gangguan metabolik atau
penjelasan lain, ensefalopati, ensefalitis, ditemukan tanda sebagai leukosit cairan
serebrospinal >5/L atau kejang (bukan kejang demam sederhana). Peningkatan
kreatinin serum ≥2x dibandingkan batas atas nilai normal atau kreatinin serum
>1,2 mg/dL menandakan keterlibatan ginjal. Sementara keterlibatan hati akut
ditandai dengan dengan ikterik, thromboplastin time <20%, dan ensefalopati.
Peningkatan fungsi hati tanpa sebab lainnya seperti Hepatitis A, B, C, atau
toksisitas obat juga masuk kedalam keterlibatan hati pada infeksi dengue (RI,
2021; WHO, 2009).
Berdasarkan WHO (2011) terdapat gejala dan tanda dari masing masing
jenis demam dengue antara lain :
1. Dengue Fever
Penyakit demam akut dengan dua atau lebih dari yang berikut ini:
1. Sakit kepala
2. Nyeri retro-orbital,
3. Mialgia,
4. Arthralgia / nyeri tulang,
5. Ruam,
6. Manifestasi perdarahan,
7. Leukopenia (≤ 5000 sel / mm3),
8. Trombositopenia (jumlah trombosit <150.000),
9. Meningkatnya hematokrit (5 - 10%);
dan setidaknya satu dari berikut ini:
a. Serologi suportif pada sampel serum tunggal: titer ≥1280 dengan
penghambatan hemaglutinasi tes, titer IgG yang sebanding dengan uji
imunosorben enzim-linked, atau positif pada IgM uji antibodi, dan
b. Kejadian pada lokasi dan waktu yang sama seperti kasus demam berdarah
yang dikonfirmasi.
Diagnosis Terkonfirmasi :
Kemungkinan kasus dengan setidaknya salah satu dari berikut ini:
I. Isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel otopsi.
II. Peningkatan IgG serum sebanyak empat kali atau lebih besar (dengan uji
inhibitor hemaglutinasi) atau peningkatan IgM antibodi spesifik untuk
virus dengue.
III. Deteksi virus dengue atau antigen dalam jaringan, serum atau cairan
serebrospinal oleh imunohistokimia, immunofluorescence atau enzyme-
linked immunosorbent assay.
IV. Deteksi urutan genom virus dengue dengan rantai transkripsi-polimerase
terbalik reaksi.
2. Dengue Hemoragic Fever (DHF)
Jika keempat kriteria dibawah ini terpenuhi, maka sensitivitas dan
spesifisitas masing - masing 62% dan 92% :
1. Onset akut demam dua sampai tujuh hari lamanya.
2. Manifestasi perdarahan, ditunjukkan oleh salah satu dari berikut ini:
tes tourniquet positif, petechiae, ekimosis atau purpura, atau perdarahan
dari mukosa, saluran cerna, tempat suntikan, atau lainnya lokasi
3. Jumlah trombosit ≤100.000 sel / mm3
4. Bukti obyektif kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas
vaskular yang ditunjukkan oleh salah satu
pengikut:
 Meningkatnya hematokrit / hemokonsentrasi ≥ 20% dari awal atau
penurunan pemulihan, atau bukti kebocoran plasma seperti efusi
pleura, asites atau hipoproteinemia / albuminaemia
Derajat penyakit DBD oleh WHO (2011) diklasifikasikan dalam 4 derajat:
- Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.
- Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit
(petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi
berlebihan, perdarahan saluran cerna).
- Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
- Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
3. Dengue Syok Syndrome (DSS)
Kriteria demam berdarah dengue seperti di atas dengan tanda syok
termasuk:
1. Takikardia, ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, denyut
nadi lemah, kelesuan atau kegelisahan, yang mungkin merupakan tanda
berkurangnya perfusi otak.
2. Tekanan nadi ≤20 mmHg dengan tekanan diastolik yang meningkat, mis.
100/80 mmHg.
3. Hipotensi menurut usia, didefinisikan sebagai tekanan sistolik <80 mmHg
untuk mereka yang berusia <5 tahun atau 80 sampai 90 mmHg untuk anak-
anak dan orang dewasa yang lebih tua.

Diagnosis infeksi dengue dikonfirmasi pemeriksaan laboratorium darah


perifer dan khusus untuk dengue. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan
kimia klinik merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan infeksi dengue. Pada hasil pemeriksaan darah lengkap pada pasien
infeksi virus dengue dapat menunjukkan hasil suatu leukopenia atau limfositosis
relatif dapat ditemukan mulai hari ke-2. Limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari
jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat juga dapat ditemukan.
Selain itu pada pemeriksaan darah lengkap dapat didapatkan suatu
trombositopenia < 100.000 sel/mm3 dapat dijumpai diantara hari ke-3 dan 8 dari
onset penyakit dan peningkatan kadar hematokrit > 20% dari kadar awal
menunjukkan bahwa telah terjadi hemokonsentrasi. Hal ini menandakan
hipovolemia karena peningkatan permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma
(RI, 2021; WHO, 2009).
Pemeriksaan kimia klinik seperti pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal,
albumin juga merupakan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien dengan infeksi
dengue. Pada infeksi virus dengue keterlibatan organ bahkan keruskaan organ
akibat inflamasi seringkali ditunjukkan dengan didapatkan hasil hipoproteinemia
dapat terjadi akibat kebocoran plasma, peningkatan kadar AST dan ALT,
penurunan fungsi ginjal pada syok berkepanjangan (WHO, 2012).
Deteksi virus, genom virus atau NS1 Ag, atau serokonversi IgM atau IgG
merupakan pemeriksaan khusus pada infeksi dengue. Untuk pemeriksaan
serokonversi pada hasil IgM/IgG negatif ke positif atau empat kali lipat
peningkatan titer antibodi spesifik) dalam serum berpasangan, serologi IgM
positif atau titer antibodi haemagglutinin inhibition test (HIA) 1280 atau lebih
tinggi (atau angka yang sebanding dengan ELISA dalam satu spesimen),semua
kriteria diagnostik kemungkinan infeksi dengue (WHO, 2012).
Uji deteksi antigen NS1 adalah yang paling memungkinkan untuk
dilakukan di laboratorium dengan peralatan terbatas dan hasilnya bisa didapatkan
dalam hitungan beberapa jam. Kadar IgM pada infeksi sekunder lebih rendah
daripada IgM pada infeksi primer. IgM biasanya mulai terdeteksi pada hari ke 3-5,
memuncak pada minggu ke 2-3 setelah onset gejala, dan menghilang setelah 60-
90 hari. Pada infeksi primer kadar IgG mulai terdeteksi pada akhir minggu
pertama sampai minggu kedua penyakit. Kadarnya lebih rendah dibandingkan
pada infeksi sekunder. Pada infeksi sekunder kadarnya mulai terdeteksi pada hari
ke-2. Kadar IgG ini dapat terdeteksi hingga beberapa bulan bahkan seumur hidup
(WHO, 2009).
Gambar 2.4: Time-line infeksi primer dan sekunder virus dengue dan metode
diagnostik yang bisa digunakan untuk mendeteksi infeksi
Sumber: WHO, 2009
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
o Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
o Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
o Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
o Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
o Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
o Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
o Serologi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang
setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
o NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
ketiga. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
Radiologi
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai
20%-40% (Soedarmo, 2012).
o Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
o Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
o Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan
dinding vesika felea, ascites dan dinding buli-buli.

2.1.8 Tatalaksana
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan (WHO, 2011).
A. Terapi Home Care
1. Pasien membutuhkan istirahat yang adekuat
2. Kebutuhan cairan harus terpenuhi selain air putih bisa diberikan susu, jus
buah, larutan elektrolit isotonik, cairan beras. Pemantauan agar tidak
terjadi overhidrasi pada bayi maupun anak
3. Jaga suhu tubuh dibawah 39. Jika suhu melebihi diatas 39 berikan
parasetamol pasien Parasetamol tersedia dalam dosis 325 mg atau 500 mg
dalam tablet bentuk atau dalam konsentrasi 120 mg per 5 ml sirup. Dosis
yang dianjurkan adalah 10 mg / kg / dosis dan harus diberikan dalam
frekuensi tidak kurang dari enam jam. Dosis maksimum untuk orang
dewasa adalah 4 gm / hari. Hindari penggunaan berlebihan pada
paracetamol, dan aspirin atau NSAID tidak disarankan.
4. Kontrol setiap hari kondisi penderita sampai melewati masa kritis

Warning Sign
1. Tidak ada perbaikan klinis atau perburukan situasi
sebelum atau selama masa transisi ke fase afebris atau saat
penyakit berkembang.
2. Muntah terus-menerus, kurang asupan air.
3. Nyeri perut hebat
4. Kelesuan dan / atau kegelisahan, perubahan perilaku
mendadak.
5. Pendarahan: Epistaksis, tinja berwarna hitam,
hematemesis, perdarahan menstruasi yang berlebihan
6. urin berwarna gelap (haemoglobinuria) atau hematuria.
7. Pusing/ nyeri kepala
8. Tangan dan kaki pucat, dingin dan lembap.
9. BAK kurang dari 4-6 jam.
10. Hepatomegali > 2cm
11. Laboratorium : peningkatan hematokrit disertai penurunan
trombosit yang cepat

5. Jika ada tanda-tanda warning sign segera bawa ke RS.


Gambar 8. Warning sign dengue (WHO, 2011)
B. Terapi di Rumah Sakit
Indikasi pemberian terapi cairan pada pasien DHF saat fase kritis (WHO, 2011) :
1. Bila pasien tidak memiliki asupan cairan oral yang cukup atau muntah.
2. Ketika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun telah rehidrasi oral.
3. Kondisi syok
Prinsip pemberian cairan menurut WHO (2011) :
1. Larutan kristaloid isotonik harus digunakan sepanjang periode kritis
kecuali di bayi yang sangat muda <6 bulan di mana 0,45% natrium klorida
dapat digunakan.
Kebutuhan cairan formula Holliday Segar :

Gambar 9. Kebutuhan cairan maintenance Holliday Segar (Mella, 2013)


2. Larutan koloid hiper-onkotik (osmolaritas> 300 mOsm / l) seperti dekstran
40 dapat digunakan pada pasien dengan kebocoran plasma masif, dan
mereka yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian kristaloid,
3. Volume maintenans + 5% dehidrasi harus diberikan untuk
mempertahankan volume dan sirkulasi intravaskular "cukup memadai".
4. Durasi terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 sampai 48 jam bagi
mereka yang mengalami syok. Namun, bagi pasien yang tidak mengalami
syok, durasi terapi cairan intravena mungkin harus lebih lama tapi tidak
lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena kelompok pasien yang terakhir
baru saja memasuki masa kebocoran plasma sementara pasien shock
mengalami durasi kebocoran plasma yang lebih lama sebelum terapi
intravena dimulai.
5. Pada pasien obesitas, berat badan ideal harus digunakan sebagai panduan
untuk menghitung volume cairan (Gambar 9).
Gambar 10. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal (SLCP, 2012)
Tingkat cairan intravena harus disesuaikan dengan situasi klinis. Tingkat cairan
IV berbeda pada orang dewasa dan anak-anak. Gambar 11 menunjukkan tingkat
perbandingan rata-rata pada anak-anak dan orang dewasa sehubungan dengan
pemberian maintenance.

Gambar 11. Tingkat cairan IV pada orang dewasa dan anak-anak (SLCP, 2012)
Transfusi trombosit tidak dianjurkan untuk trombositopenia (tidak ada
prophylaxis platelet transfusion). Ini dapat dipertimbangkan pada orang dewasa
dengan hipertensi yang mendasari dan trombositopenia yang sangat parah (kurang
dari 10.000 sel / mm3) (Ugrasena, 2013).
Terapi DHF grade I, II (Kasus Non-Syok)
Secara umum, cairan diberikan sejumlah kebutuhan rumatan (untuk satu
hari) + defisit 5% (cairan oral dan IV bersamaan), diberikan lebih dari 48 jam.
Misalnya, pada anak dengan berat 20 kg, defisit 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000
ml. Pemeliharaannya adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M +
5% adalah 2500 ml (Gambar 9). Volume ini akan diberikan lebih dari 48 jam pada
pasien non-syok (Suprapto, 2016).
Terapi syok : DHF grade III
DSS adalah syok hipovolemik yang disebabkan oleh kebocoran plasma
dan ditandai dengan meningkatnya ketahanan vaskular sistemik, yang ditunjukkan
oleh tekanan nadi yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan
tekanan diastolik yang meningkat, misalnya 100/90 mmHg). Bila terjadi
hipotensi, seseorang harus menduga bahwa terjadi perdarahan hebat, dan
perdarahan gastrointestinal tersembunyi mungkin terjadi selain kebocoran plasma.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan DSS berbeda dari jenis syok lainnya seperti
syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada anak-anak
atau 300-500 ml pada orang dewasa lebih dari satu jam atau bolus, jika perlu.
Namun, sebelum mengurangi laju penggantian IV, kondisi klinis, tanda vital,
keluaran urin dan tingkat hematokrit harus diperiksa untuk memastikan perbaikan
klinis (WHO, 2011)

.
Gambar 12. Investigasi laboratorium (ABCS) untuk pasien yang hadir dengan
shock berat atau mengalami komplikasi, dan dalam kasus tanpa perbaikan klinis
meskipun ada penggantian volume yang memadai
Gambar 13. Diagram penggantian cairan Untuk pasien DSS (Suprapto, 2016)

Terapi syok : DHF grade IV


Resusitasi cairan awal pada DHF kelas IV lebih kuat untuk segera
mengembalikan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
sesegera mungkin untuk ABCS dan juga keterlibatan organ. Bahkan hipotensi
ringan pun harus diobati secara agresif. 10 ml / kg cairan bolus harus diberikan
secepat mungkin, idealnya dalam 10 sampai 15 menit. Bila tekanan darah pulih,
cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan seperti pada Grade III. Jika syok
tidak reversibel setelah 10 ml / kg pertama, bolus berulang 10 ml / kg dan hasil
laboratorium harus dikejar dan dikoreksi sesegera mungkin. Transfusi darah yang
mendesak harus dipertimbangkan sebagai langkah berikutnya (setelah meninjau
HCT presteusitasi) dan dilanjutkan dengan pemantauan lebih dekat, mis.
kateterisasi kandung kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral atau arterial
line (Suprapto, 2016).
Perlu dicatat bahwa mengembalikan tekanan darah sangat penting untuk
bertahan hidup dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka prognosisnya
sangat parah. Inotrop dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah, jika
penggantian volume telah dianggap memadai seperti pada tekanan vena sentral
tinggi (CVP), atau kardiomegali, atau kontraktilitas jantung buruk yang
terdokumentasi. Jika tekanan darah pulih setelah resusitasi cairan dengan atau
tanpa transfusi darah, dan gangguan organ ada, pasien harus ditangani dengan
tepat dengan perawatan suportif khusus. Contoh dukungan organ adalah dialisis
peritoneal, terapi penggantian ginjal kontinyu dan ventilasi mekanis. Jika akses
intravena tidak dapat diperoleh dengan segera, cobalah larutan elektrolit oral jika
pasien sadar atau melakukan intraosseus jika tidak. Akses intraosseous
menyelamatkan nyawa dan harus dicoba setelah 2-5 menit atau setelah dua kali
gagal pada akses vena perifer atau setelah rute oral gagal (WHO, 2011).
C. Perawatan di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)
Anak yang menderita SSD perlu dirawat di PICU untuk memantau dan
mengantisipasi perubahan sirkulasi dan metabolik dan memberikan tindakan
suportif intensif. Umumnya kegawatan DBD cukup diatasi dengan tunjangan
ventilasi, pemberian oksigen dan resusitasi cairan. Pada SSD berat obat yang
mungkin pula perlu diberikan saat resusitasi adalah bolus epinefrin, sodium
bikarbonat, atropin, glukosa dan kalsium klorida, dan pasca resusitasi untuk
stabilitas hemodinamik adalah infus epinefrin, dopamin dan dobutamin.15 Bolus
obat resusitasi dapat diberikan secara intravena (IV), intraoseal (IO) atau
endotrakeal. Penyuntikan obat resusitasi intrakardial tidak dilakukan lagi
mengingat risiko terjadinya laserasi arteri koroner, tamponade dan aritmia jantung
disamping pijatan jantung terpaksa harus dihentikan sementara.15 Infus obat
resusitasi disiapkan dengan dekstrosa 5%, garam fisiologik atau ringer laktat
menurut rule of six yaitu 6 mg obat x BB (kg) dilarutkan dalam 100 mL, diberikan
dengan kecepatan 1 mL/jam = 1.0 mg/kgbb/menit.
Berikut ini adalah obat-obat yang sering digunakan
a) Epinefrin
Bolus epinefrin diberikan pada henti jantung, bradikadia dan hipotensi
yang non-responsif terhadap resusitasi jantung paru dan resusitasi cairan.
Dosis bolus epinefrin IV dan IO inisial adalah 0.01 mg/kgbb (0.1 ml/kgbb
epinefrin 1:10.000). Bila perlu dosis IV dan IO dinaikkan menjadi 0.1-0.2
mg/kgbb (0.1-0.2 ml epinefrin 1:1000), yang diulang tiap 3-5 menit.
Dosis epinefrin endotrakeal adalah 0.1 mg/kgbb (0.1mL/ kgbb epinefrin
1:1000).lah 0.01 mg/kg (0.1 mL/kgbb cairan 1:10.000) yang bila perlu
dinaikkan menjadi 0.1-0.2 mg/kgbb (0.1-0.2 mL/kgbb cairan 1:1000).
Infus epinefrin diberikan bila masih terdapat hipotensi, bradikardia dan
perfusi sistemik buruk. Dosis infus epinefrin adalah 0.1-1.0
mg/kgbb/menit
Epinefrin atau adrenalin adalah katekolamin endogen dengan efek a
dan b adrenergik yang bekerja langsung pada reseptor adrenergik tanpa
melalui pelepasan norepinefrin, karena itu dapat diberikan kepada bayi
dan anak walaupun cadangan norepinefrin miokard terbatas. Efek b-
adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis rendah (<0.3
mg/kgbb/menit) adalah peningkatan kontraktilitas miokard, laju denyut
jantung, tekanan sistolik dan nadi, relaksasi otot polos vascular bed otot
rangka dan bronkus. Efek a-adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis
tinggi (>0.3 mg/ kgbb/menit) adalah vasokonstriksi splanknik, renal,
mukosa usus dan kulit yang mengalihkan aliran darah ke otak dan
jantung, meningkatkan resistensi vascular sistemik, tekanan darah sistolik
dan diastolik, meningkatkan perfusi koroner dan pelepasan oksigen di
jantung. Masa paruh epinefrin sekitar 2 menit, karena itu kecepatan infus
epinefrin disesuaikan setiap 5 menit dengan memperhatikan laju denyut
jantung, tekanan darah dan perfusi. Untuk mencegah ekstravasasi, infus
epinefrin diberikan melalui kateter vena atau kateter vena sentralis.
Asidosis yang menekan katekolamin perlu dikoreksi dengan pemberian
oksigen, hiperventilasi dan perbaikan perfusi sistemik. Epinefrin tidak
aktif pada cairan alkali karena itu tidak dicampurkan pada cairan
bikarbonat atau alkali lain Epinefrin tersedia dalam vial 1 mg/mL.
Larutan epinefrin 1:10.000 disiapkan untuk IV dan IO dosis rendah,
larutan epinefrin 1:1000 disiapkan untuk IV dan IO dosis tinggi dan
endotrakeal, masing-masing larutan perlu diberi label supaya tidak terjadi
kesalahan. Infus epinefrin disiapkan menurut rule of six. (0.6 mg
epinefrin x BB kg) dalam 100 mL bila diinfuskan dengan kecepatan
1mL/jam akan memberikan epinefrin 0.1 mg/kg/menit.
b) Sodium bikarbonat
Sodium bikarbonat hanya diberikan pada henti jantung lama dan
keadaan hemodinamik tidak stabil yang menyebabkan asidosis berat dan
hiperkalemia. Bila dengan resusitasi jantung paru, pijat jantung dan
pemberian bolus epinefrin masih terdapat henti jantung, di berikan bolus
sodium bikarbonat 1 mEq/kgbb IV/ IO (tidak endotrakeal). Sesudah
sirkulasi spontan terjadi, dosis sodiumbikarbonat selanjutnya didasarkan
pada pemeriksaan pH dan PaCO2. Bila pemeriksaan analisis gas darah
tidak dapat dilakukan diberikan sodium bikarbonat 0.5 mEq/kgbb tiap 10
menit secara infus pelan selama 1-2 menit.
Pemberian bikarbonat akan menimbulkan reaksi sehingga pH plasma
meningkat. Larutan sodium bikarbonat 8.4% (1 mEq/L) sangat
hiperosmolar (2000 mOsm/L) dibandingkan plasma 280 mOsm/L, dapat
menyebabkan hiperosmolaritas, dan hipernatremia. Pipa IV dan IO harus
dibilas dulu dengan garam fisiologik sebelum dan sesudah dipakai untuk
memberikan sodium bikarbonat. Sodium bikarbonat menyebabkan
katekolamin tidak aktif dan pengendapan garam kalsium. Sodium
bikarbonat tidak diberikan melalui endotrakeal Ekstravasasi sodium
bikarbonat menyebabkan sklerosis vena dan nekrosis jaringan.
c) Atropin
Curah jantung pada anak adalah rate dependent, karena itu
bardikardia simptomatik (<60 kali/menit) akibat perfusi buruk, hipotensi
dan hipoksemia harus diobati dengan resusitasi jantung paru, pemberian
epinefrin atau atropin. Atropin adalah obat parasimpatolitik yang
mempercepat sinus atau pacemaker atrial dan konduksi atrioventrikular.
Atropin digunakan juga untuk mencegah bradikardia karena refleks vagal
pada tindakan intubasi endotrakeal. Dosis atropin harus cukup untuk
menimbulkan efek vagolitik dan mencegah bradikardi paradoks. Dosis
atropin 0.02 mg/kgbb dengan dosis minimal 0.1 mg, Dosis atropin tunggal
maksimal adalah 0.5 - 1 mg/kali yang dapat diulang tiap 5 menit dengan
dosis total maksimal 1 mg untuk anak dan 2 mg untuk remaja. Atropin
dapat diberikan melalui IV/IO dan endotrakeal. Atropin tersedia dalam
kemasan 0.4 mg/mL.
d) Glukosa
Glukosa hanya diberikan bila terdapat hipoglikemia dan pasien tidak
memberikan respons terhadap
tindakan resusitasi standar. Cadangan glikogen bayi dan anak sakit gawat
terbatas dan cepat habis. Gejala hipoglikemia serupa dengan gejala
hipoksemia yaitu perfusi buruk, takikardia, hipotermia, letargi dan
hipotensi, karena hipoglikemia menekan fungsi miokard. Glukosa diberikan
dengan dosis 0.5-1.0 g/ kg secara IV atau IO. Bolus D10W 5-10 ml/kgbb
atau D5W atau D5 NaCl 0.9% atau RL 10-20 mL/kgbb dapat diberikan
dalam 20 menit untuk mengobatihipoglikemia, walaupun cairan resusitasi
mengandung glukosa tidak rutin digunakan. Konsentrasi maksimum D25W
hanya diberikan secara IV.
e) Kalsium klorida
Kalsium diberikan untuk mengobati hipokalsemia, hiperkalemia dan
hipermagnesemia. Kandungan elemen kalsium pada kalsium glukonat 10%
adalah 9 mg/mL dan pada kalsium klorida 10% adalah 27.2 mg/mL. Dosis
kalsium klorida 10% adalah 0.2-0.5 mL/kgbb atau 5-7 mg/kgbb elemen
kalsium sama dengan 20-25 mg/kgbb garam kalsium yang diberikan secara
infus pelan (100 mg/menit) untuk mencegah bradikardia dan asistol. Dosis
ini dapat diulangi satu kali lagi sesudah 10 menit. Dosis selanjutnya hanya
diberikan biila dilakukan pengukuran kadar kalsium. Kalsium tidak
dicampur dengan sodium bikarbonat karena dapat terjadi pengendapan.
f) Dopamin
Dopamin diberikan untuk mengobati hipotensi atau perfusi perifer
buruk pada anak dengan volume intravaskular cukup dan irama jantung
stabil. Dopamin tersedia dalam kemasan 40 mg/mL. Cairan infus dopamin
disiapkan menururt rule of six, yaitu 6 x BB(kg) mg dopamin dalam cairan
100 ml. Apabila diinfuskan dengan kecepatan 1ml/jam akan memberikan
dopamin 1 mg/kgbb/menit. Masa paruh dopamin pendek karena itu
diberikan secara infus kontinu dengan bantuan pompa infus. Infus
dopamine harus diberikan melalui kateter vena yang besar atau kateter vena
sentraliis. Ekstravasasi dopamin dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis
jaringan lokal.
Dopamin dan katekolamin lain tidak diberikan bersamaan dengan
sodium bikarbonat karena di nonaktifkan. Infus dopamin dimulai dengan
10mL/ jam atau 10mg/kgbb/menit yang selanjutnya disesuaikan dengan
penilaian diuresis, perfusi sistemik, dan tekanan darah. Pada dosis rendah
(2–5mg/kgbb/ menit), efek langsung dopamin pada reseptor badrenergik
jantung sedikit, namun pada vascular bed dopamin merangsang reseptor
dopaminergik dengan efek vasodilatasi yang meningkatkan aliran darah
renal, splangnik, koroner dan serebral.
Pada dosis tinggi (>5mg/kgbb/menit) dopamin memberi efek
langsung dan tidak langsung melalui pelepasan norepinefrin saraf simpatis
jantung pada reseptor b-adrenergik jantung dan efek vasokonstriksi a-
adrenergik. Efek inotropic dopamin pada anak terbatas sesuai dengan
inervasi simpatis miokard ventrikel yang belum sempurna. Infus dopamin
5-10 mg/kgbb/menit meningkatkan kontraktilias jantung tanpa efek pada
tekanan darah dan denyut jantung. Infus dopamin 10-20 mgbb/kg/ menit
terjadi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah namun timbul
masalah takikardia. Infus dopamin >20mg/kgbb/menit menyebabkan
vasokonstriksi perifer hebat dan iskemia tanpa tambahan efek inotropik.
Karena itu bila diperlukan efek inotropik, dopamin >20mg/kgbb/menit
diberikan secara infus untuk memperoleh efek a dan b adrenergik lebih
kuat.
g) Dobutamin
Dobutamin diberikan pada pengobatan hipoperfusi yang
berhubungan dengan peninggian resistensi vaskular sistemik. Dobutamin
adalah katekolamin sintetik dengan efek selektif langsung pada reseptor
badrenergik dan tidak tergantung pada cadangan norepinefrin. Dobutamin
tidak mempunyai efek dopaminergik dan tidak berpengaruh pada aliran
darah renal dan splangnik. Dobutamin paling efektif untuk mengobati
gagal jantung kongestif atau syok kardiogenik terutama yang disebabkan
oleh kardiomiopati karena merendahkan resistensi vaskular paru dan
sistemik sehingga meningkatkan curah jantung. Dobutamin kurang efektif
dibandingkan epinefrin pada syok septik dan hipotensi karena
memperburuk vasodilatasi sistemik yang sudah terjadi. Karena masa
paruhnya rendah dobutamin diberikan secara infus kontinu melalui kateter
vena dengan bantuan pompa infus. Dobutamin tersedia dalam vial 25 mg
dan 12.5 mg/mL. Infus dobutamin disiapkan menurut rule of six.
Ekstravasasi dobutamin dapat menyebabkan iskemia jaringan dan nekrosis
lokal.
Dobutamin non aktif dalam cairan alkali. Infus dopamin dimulai
Infus dopamin dimulai dengan dosis 5-10 mg/kgbb/menit (5-10 mL/jam).
Kecepatan infus dobutamin disesuaikan dengan tekanan darah dan perfusi
pasien. Biasanya tidak diperlukan dosis dobutamin yang lebih besar
daripada 20 mg/kgbb/menit.
h) Furosemide
Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau
bernapas cepat dan mengalami efusi luas, berikan obat minum atau
furosemide intravena 1 mg/kgBB/ dosis sekali atau dua kali sehari selama
24 jam.
Tanda-tanda penyembuhan (Aziz et al, 2013)
1. Nadi stabil baik tekanan darah dan laju pernapasan.
2. Suhu normal.
3. Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
4. Kembalilah nafsu makan.
5. Tidak muntah, tidak sakit perut.
6. Keluaran urin yang normal.
7. Hematokrit stabil pada tingkat awal.
8. Penyembuhan ruam peteki konfenen atau gatal, terutama pada ekstremitas.
Kriteria pasien pulang (WHO, 2011)
1. Tidak adanya demam minimal 24 jam tanpa menggunakan terapi anti
demam.
2. Nafsu makan yang membaik.
3. Perbaikan klinis yang nyata.
4. Keluaran urin yang banyak.
5. Minimal 2-3 hari setelah pemulihan dari kondisi syok.
6. Tidak ada gangguan pernafasan dari efusi pleura dan tidak ada asites.
7. Jumlah trombosit lebih dari 50.000 / mm3. Jika tidak, pasien dapat
direkomendasikan untuk menghindari aktivitas traumatis selama paling
sedikit 1-2 minggu untuk jumlah trombosit menjadi normal. Pada
kebanyakan kasus yang tidak rumit, trombosit meningkat normal dalam 3-
5 hari.
2.9 Komplikasi
Terbagi menjadi 3 sesuai dengan pola demam dengue (Khetarpal, 2016):
 Periode febris : Dehidrasi, kejang
 Periode Afebris
 Syok hipovolemik
 Perdarahan masif, akibat penurunan trombosit dan perubahan
permeabilitas kapiler yang diakibatkan reaksi antigen-antibodi
 Myocarditis, karena asidosis metabolik dan hipokalsemia
 Ensephalitis
 Ensephalopati, disebabkan karena disfungsi hati, hipoperfusi atau
perdarahan intrakranial
 Gangguan ginjal akut
 Gangguan elektrolit
 Periode Konvalense
 Kelebihan cairan, Hipokalemia
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. M Y P
Umur : 10thn 1 Bulan 3 Hari
Berat Badan : 40Kg
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Balongkenongo, Tanjungkenongo, Pacet
MRS : Via IGD, Kamis 02 Juni 2022 Jam 06.06
RM : 22151563

Summary Of Database:
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Pasien diantar oleh orangtuanya ke IGD dengan keluhan Demam hari ke-3
(sejak senin sore 30/05/2022 jam 18.00) Pola demam awal mendadak terus-
menerus, sempat dibawa ke Bidan malamnya diberi obat puyer dan sirup
demam hanya turun saat minum obat , kemudian demam lagi , hari rabu malam
pasien muntah 1x sisa makanan , selama sakit makan minum pasien menurun,
badan terasa sakit semua selama sakit dan mengeluh pusing , diare (-) mimisan
(-) gusi berdarah (-) bab darah(-) bercak2 merah (-) BAK normal
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya

- Riwayat Kejang disangkal

Riwayat Alergi :

- Disangkal
Riwayat Persalinan :
- Anak ketiga dari 3 bersaudara , lahir SC a/I BSC , BBL 3000g

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Dikeluarganya tidak ada yang sedang sakit seperti pasien
Riwayat Sosial :
- Pasien keseharianya sering bermain diluar rumah terutama disawah dan
sungai
- Pemukiman rumah di desa

- Teman bermain tidak ada yang sakit seperti ini

Riwayat Makanan
- ASI sejak usia 0 – 1,5 tahun

Riwayat Imunisasi

- Lengkap

Riwayat Pengobatan
- Paracetamol sirup
- Puyer dari bidan ( tidak tau obat apa)

Status Gizi :

BB : 40 kg BMI = 23.7 kg/m2


TB : 130 cm Status gizi : Normal

Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Lemas
- Tanda-tanda vital :
 TD: 124/75 mmHg
 Nadi :100 x/mnt kuat angkat
 RR : 22 x/mnt
 Suhu : 38,5 °C Axilla
- Kepala - Leher:
 A/I/C/D -/-/-/-
 lidah kotor (-), mata cowong (-), massa (-), pemb KGB (-)
 Faring hiperemis (-) Tonsil T1/T1
- Pulmo :
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, fremitus taktil simetris
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : ves/ves, Rh -/-, Wh -/-
- Cor :
 Inspeksi : iktus cordis (-)
 Palpasi : iktus teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
 Perkusi : batas jantung normal
 Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
 Inspeksi : cembung
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : soefl, turgor kembali cepat, nyeri tekan, (-) epigastrium,
hepatomegaly (-), shifting dulness (-)
 Perkusi : timpani
- Ekstremitas : Akral hangat kering merah, CRT < 2dtk ptekie (-)
- Oedema -/-/-/-

Laboratorium
- Hb : 13,3 gr/d
- Leukosit : 5000 /sel/ul
- EOS/BAS/STAB/SEG/Lim/Mono : 0/0/0/77/20/3
- HCT : 37,2%
- Trombosit : 113.000 sel/ul
- Rapid Test :-
- Creatinin : 0,42 mg/dl
- Gula darah sewaktu : 103,30 mg/dl
- WIDAL
Salmonela Tyhpi O : Negatif
Salmonela Typhi H : Negatif
Salmonela Paratyphi PA : Negatif
Salmonela Paratyphi PB : Negatif
- Thorax PA : Kesan Dbn
Clue and Cue :
- Anak Laki-Laki 10 Tahun dengan BB 40Kg
- Demam mendadak tinggi
- Muntah
- Myalgia
- Letargia
- Nafsu makan menurun
- Trombositopenia

Problem list :
- Akut febrie illness
Initial diagnosis :
- Dengue Fever
Planing terapi :
Asering 400cc dalam 1 jam
- Maintenance Inf RL D5 1600 cc/24jam
- Inj omeprazole 2x15mg
- Inj Paracetamol 450 mg prn
- Inj ondansentron 2x3mg
- KIE Makan dan Minum yang banyak
Planing monitoring :
- Keluhan Umum dan TTV
- Tanda-tanda perdarahan dan plasma leakage
- Keseimbangan cairan
- DL serial
- Komplikasi
Planing edukasi :
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa pasien kita mengalami sakit demam
berdarah yaitu infeksi akibat virus yang ditularkan lewat gigitan nyamuk
aedes aegepty dengan gejala demam tinggi mendadak hingga risiko
terjadinya shock
- Menjelaskan rencana pemeriksaan penunjang yang akan kita lakukan
untuk menegakkan diagnosis yaitu lab DL rutin
- Rencana terapi, pasien akan diberikan cairan untuk mengganti kekurangan
cairan akibat plasma leakage, diberikan juga obat penurun panas dan terapi
suportif lain.
- Menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi yaitu shock, sindroma overload
cairan, perdarahan, dll.
- Prognosis baik jika penanganan cepat dan optimal

Follow UP
Tgl 3/06/2022 3/06/2022 (setelah 4/06/2022
rehidrasi cepat)
S Demam hari ke 4 Demam (-) mual (+) Demam (+) , makan
(+),badan lemas, tidak nyeri perut (+) lemas minum (+) sedkit ,
mau makan dan berkurang nyeri perut tidak ada ,
minum , mual (+) diare (+) 7x hari ini ,
muntah (-) diare (+) 2x cair (+) ampas (+)
, cair , ampas (+) BAK flatus (+)
(+) sedikit2
O KU: lemah KU: Cukup KU: Cukup
TTV TTV: TTV:
TD: 80/51 mmHg TD: 110/ 70 TD 120/70
Nadi :125 x/mnt lemah Nadi :107 x/mnt kuat N: 110x/m kuat angkat
RR : 22 x/mnt angkat RR: 23
Suhu : 37 °C RR : 24 x/mnt T : 37,7
K/L: A/I/C/D -/-/-/- Suhu : 37 °C K/L: A/I/C/D -/-/-/-
PKGB (-) K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB (-)
Tho: PKGB (-) Tho:
Pulmo: simetis, Tho: Pulmo: simetis,
retraksi (-)simetris, Pulmo: simetis, retraksi (-),simetris,
sonor/sonor, ves/ves, retraksi (-)simetris, sonor/sonor, ves/ves,
Rhonki -/-, Wheezing sonor/sonor, ves/ves, Rhonki -/-, Wheezing
-/- Rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor: S1S2 tunggal -/- Cor: S1S2 tunggal
Abd: cembung, BU Cor: S1S2 tunggal Abd: BU (+) normal,
(+) normal, fatty, Abd:cembung, BU (+) fatty, hepatomgali (+),
hepatomgali (-),NT (-), normal, fatty, NT (+) epigastrium
timpani hepatomgali (-), NT distended + ,
Ekst: akral dingin, (-)timpani Ekst: akral hangat,
edema (-), CRT<2det Ekst: akral hangat, edema (-), CRT <2 det
edema (-), CRT <2 det
Lab :
Hb : 17 Lab :

Leukosit : 4700 Hb :16,8


Leu: 7.500
Diffcont
Diffcont
Eu/Bas/Stab/Seg/lym/
Eu/Bas/Stab/Seg/lym/
Mono :
Mono :
0/0/0/54/36/55
0/0/0/62/27/11
HCT : 49,4 %
Hct : 16,8
Trom : 44.000
Trom: 52.000

A DHF Grade III DHF H-4 DHF H-5


P - Grojok Asering - inj Vit K1 1x8mg -Inf RD5
500c 2kolf / 15 menit IM selama 2 hari 1800cc/24jam
- Lanjut grojok - Inj Ca gluconas -Inj paracetamol
Gelofusin 600cc 10cc iv pelan interval 450mg bila demam
8jam - Inj ondan 2x3mg
- maintenance RD 5 - Inj omeprazole
1800cc/24jam 2x15mg
- cek GDA sebelum - VIt K 1x8mg IM
maintenance - Inj Ca gluconas
- observasi ketat TTV (interval 8jam) 10cc Iv
- tx lain lanjut pelan syringe pump
setara 5mcg IV
Advice dr - tambah Inj
Sridharaswari sp.A ceftriaxone 2x1,5gr
jam 22.00 via tlpn - Lacto B 3x1
-Gerojok asering - Zinc syr 1x20mg
800cc tetesan cepat - Diagite 3x1
lanjut gelofusin 500cc
tetesan cepat
- Pesankan WB Ciro
tanpa crossmed
- pasang syring pump
dobutamin setara
5micro

Tgl 5/6/2022 06/06/2022 07/06/22


S Demam (+) naik turun, Demam (+) masih naik Tidak ada keluhan,
Muntah (-) mual (+) turun , nyeri perut
makan minum mau berkurang, makan
sedikit2, diare (-) flatus minum + , sedikit2 ,
(+) nyeri perut bengkak sudah
(+),bengkak kaki + , berkurang ,bengkak
perut membesar scrotum +
O KU: cukup KU: cukup KU : cukup
TTV TTV: TTV :
TD : 120/80MmHg TD 110/75 mmHg TD : 101/83
N : 126x/mnt Kuat N: 100x/mnt kuat N : 82x/m kuat
angkat RR: 24 x/mnt Rr :20x/m
RR : 22 x/mnt T : 36.9 C T : 36,6
T : 37.4C K/L: A/I/C/D -/-/-/- SPO2 : 98
K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB (-) K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB
PKGB (-) Tho: (-)
Tho: Pulmo: simetis, retraksi Tho:
Pulmo: simetis, retraksi (-), sonor/sonor, Pulmo: simetis, retraksi (-),
(-)simetris, sonor/sonor, ves/ves, Rhonki -/-, sonor/sonor, ves/ves suara
ves/ves, Rhonki -/-, Wheezing -/- nafas menurun dilobus inf
Wheezing -/- Cor: S1S2 tunggal paru D Rhonki -/-,
Cor: S1S2 tunggal Abd: distended + Wheezing -/-
Abd:distended +, BU berkurang, BU (+) Cor: S1S2 tunggal
(+) normal, NT + normal, NT (-), Abd: cembung , BU (+)
epigastrium Genitalia : scrotum normal, NT
Ekst: akral hangat bengkak + (-),hepatomegaly ukuran
kering merah, edema Ekst: akral hangat, 5x4x4cm, tepi tajam,
kaki (+), CRT<2det edema kaki(+), CRT <2 permukaan rata,
det Genitalia : scrotum
Lab Lab bengkak berkurang
Hb : 12,9 Hb : 11,50 Ekst: akral hangat, edema
Leu : 10.300 Leu : 9100 (-), CRT <2 det
Diffcont Diffcont convalesense rash +/+
Eu/Bas/Stab/Seg/lym/ Eu/Bas/Stab/Seg/lym/
Mono : Mono : Lab
0/0/0/60/27/13 0/0/0/54/34/12 Hb : 13
Hct : 34,4 Hct : 32,5 Leu : 6600
Trom : 60.000 Diffcont
Trom : 95.000 Eu/Bas/Stab/Seg/lym/
Mono : 0/0/0/46/41/13
PT : 11,90 Hct : 36,9
Aptt : 41,4 Trom : 170.000
CRP : 11.20
Widal :
S typi O : negative
S typi H : negative
S paratypi PA :
negative
S paratypi PB : negative
Kimia klinik
Creatinin : 1.12
BUN : 24.80
SGOT : 38
SGPT : 32
Albumin : 2,7
A DHF H-6 DHF H-7 DHF H-8
P - Inf RLD5 diturunkan - Lab evaluasi :DL CRP Oral
jadi 1200cc WIDAL - Spironolactone
- Inj Lasix 20mg - Inf RD5 1000cc dalam 2x25mg
(12.20) 24jam - Cefixime syr 3x5cc
- Observasi - inj paracetamol - Urdafalk 2x1tab
bengkaknya 450mg bila demam - Vip albumin sachet
- inj ceftriaxone2x1,5 gr 2x1
- Masukan lagi Inj
-loading inj - Lacto B 3x1 sach
Lasix 20mg (13.20)
dexamethasone 10mg , - Zinc syr 1x20mg
 observasi
maintenance 3x4mg
bengkaknya  - Jaga kebersihan
- inj Lasix 2x20mg
Masukan lagi 8 jam - Makan minum
- inj omeprazole stop
berikutnya dan cukup
- inj dobutamin stop
observasi bengkaknya - inj vit K1 stop
Lacto B 3x1 sach
- Diagite, Ondan , Ca
Zinc syro 1x20mg
gluconas STOP
Jaga kebersihan
- Tx lain tetap Makan minum cukup

Advice jam 14.00


Lasix 3x20mg
Ceftriaxone 3x700mg
Vip albumin sachet 2x1

Advice jam 19.00


Cotrimoxazole 2x1/2tab
Inf RD5 800cc/24jam

Tgl 8/6/2022
S Demam (-) , bengkak diskrotum sudah tidak, nyeri perut berkurang,
sesak - , makan minum banyak
O KU: baik
TTV
TD : 110/75MmHg
N : 90x/mnt Kuat
RR : 24 x/mnt
T : 36.4C
K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB (-)
Tho:
Pulmo: simetis, retraksi (-)simetris, sonor/sonor, ves/ves ves/ves suara
nafas menurun dilobus inf paru D Rhonki, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor: S1S2 tunggal
Abd:distended -, hepatomegaly ukuran 5x4x4cm, tepi tajam,
permukaan rata, BU (+) normal, NT -
Ekst: akral hangat kering merah, edema -/- CRT<2det

Lab
Hb : 11,7
Leu : 9100
Diffcont
Eu/Bas/Stab/Seg/lym/ Mono : 0/0/0/52/36/12
Hct : 34,6
Trom : 333.000

A DHF H-9 + Efusi pleura


P - Cefixime syr 3x5cc
- Urdafalk 2x1tab
- Lacto B 3x1 sach
- Zinc syr 1x20mg
- Jaga kebersihan
- Makan minum cukup
- PRO KRS
BAB 4
PEMBAHASAN

Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti. Sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
bahwa negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara (Zumaroh, 2015). Berdasakan data Kemenkes tahun 2015, Jawa Timur
menduduki peringkat ke 12 dari total keseluruhan provinsi di Indonesia dalam
insiden kasus demam dengue. Demam Berdarah Dengue dapat mengancam jiwa
terutama anak-anak di bawah 16 tahun di daerah endemik dengue flavivirus
(Lardo, 2013).
Dalam kasus ini Pasien diantar oleh orangtuanya ke IGD dengan keluhan
Demam hari ke-3 (sejak senin sore 30/05/2022 jam 18.00) Pola demam awal
mendadak terus-menerus, sempat dibawa ke Bidan malamnya diberi obat puyer
dan sirup demam hanya turun saat minum obat , kemudian demam lagi , hari rabu
malam pasien muntah 1x sisa makanan , selama sakit makan minum pasien
menurun, badan terasa sakit semua selama sakit dan mengeluh pusing , diare (-)
mimisan (-) gusi berdarah (-) bab darah(-) bercak2 merah (-) BAK normal
Pada kasus ini pada awal masuk UGD pasien tidak masuk kriteria DHF
menurut WHO 2011 ,
Derajat penyakit DHF oleh WHO (2011) diklasifikasikan dalam 4 derajat:
- Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.
- Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit
(petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi
berlebihan, perdarahan saluran cerna).
- Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
- Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Dengue Syok
Syndrome (DSS)
Pada hari ke 2 MRS ( hari ke 4 demam) pasien mengeluh Demam (+),badan
lemas, tidak mau makan dan minum , mual (+) muntah (-) diare (+) 2x , cair ,
ampas (+) BAK (+) sedikit2 , dan pemeriksaan fisik didapatkan
KU: lemah
TTV TD: 80/51 mmHg Nadi :125 x/mnt lemah RR : 22 x/mnt Suhu : 37 °C
K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB (-)
Tho: Pulmo: simetis, retraksi (-)simetris, sonor/sonor, ves/ves, Rhonki -/-,
Wheezing -/- Cor: S1S2 tunggal
Abd: cembung, BU (+) normal, , hepatomgali (-),NT (-), timpani
Ekst: akral dingin, edema (-), CRT<2det
Dari pemeriksaan diatas pasien mengalami kegagalan sirkulasi : yakni takikardi,
hipotensi ,denyut nadi lemah, akral dingin dan berdasarkan klasifikasi WHO 2011
pasien mengalami DHF derajat III
Pola demam pada pasien ini , demam cenderung tinggi sampai hari ke 7
demam, dan di awal demam mendadak tinggi , hal tersebut sesaui dengan pola
demam pada demam dengue

1. Fase Febrile
Gejalanya meliputi demam, mialgia, sakit kepala, artralgia dan eksilema, dan
seringkali tidak dapat dibedakan dari penyakit demam akut lainnya.
Manifestasi perdarahan ringan bisa terjadi seperti perdarahan gusi dan
epistaksis. Pengenalan progres ke bentuk parah mungkin sulit selama fase ini.
Untuk menentukan apakah perkembangan penyakit lebih parah terjadi,
warning sign harus diobservasi Durasi fase ini umumnya 2-7 hari (Carlos
2011).
2. Fase Kritis
Fase ini ditandai dengan bukti klinis dan laboratorial tentang disfungsi sel
endotel yang disebabkan oleh infeksi virus, yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular. Fase ini
ditandai dengan perubahan defervensi, peredaran darah dan perfusi yang
mendadak (hipotensi dan syok hipovolemik), efusi serosa (pleura dan asites)
dan disfungsi organ, seperti gagal hati, ensefalitis, miokarditis dan gangguan
pembekuan darah. Leukopenia progresif dan penurunan jumlah platelet
mendadak mendahului kebocoran plasma, dan peningkatan hematokrit
progresif mencerminkan besarnya volume yang hilang ke kompartemen
ekstravaskular. Namun, perlu dicatat bahwa disfungsi organ berat mungkin
ada, termasuk hepatitis, ensefalitis, miokarditis dan pendarahan klinis yang
signifikan, tanpa tanda klinis kebocoran plasma. Fase kritis, yang terbukti
pada 10-15% kasus demam berdarah, mengungkapkan perkembangan
penyakit berat. Durasi fase ini adalah 1-3 hari (Carlos, 2011).
3. Fase Pemulihan
Fase ini ditandai dengan peningkatan fungsi endotel secara progresif dengan
resorpsi fluida bertahap dari ruang ekstravaskular, stabilisasi hematokrit dan
pemulihan platelet progresif. Ruam bisa terjadi bersamaan dengan pruritus
dan bradikardia. Selama fase ini, karena pemulihan fungsi endotel secara
progresif, pemberian cairan (dan akhirnya diuretik) harus diresepkan dengan
hati-hati untuk mencegah kelebihan volume, gagal jantung kongestif dan
pelepasan gagal napas dan efusi serous. Durasi fase ini adalah 1-3 hari
(Carlos, 2011).
Pada pasien ini fase febris berlangsung selama 7hari , fase kritis
berlangsung 1 hari , dan fase kritis pada hari ke 4 , dan pemulihan berlangsung
mulai demam hari 5-8
Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan Leukopenia dan
trombositopeni.
Implementasi hasil Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru (Soedarmo, 2012).
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak (Soedarmo, 2012).
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
o Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
o Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
o Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hal ini bisa terjadi karena saat terjadi infeksi pada DHF terjadi reaksi
antigen-antibodi yang mensupresi pengeluaran mediator-mediator inflamasi
seperti TNF α, INF γ, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF β, C3a,
C4b, C5a, MCP-1, CCL-2, VEGF, dan NO yang dapat mempengaruhi kerja
sumsum tulang dalam hematopoesis, terjadi replikasi dalam sel stroma sehingga
terjadi supresi hemopoietik seperti produksi leukosit dan trombosit yang
berkembang ke arah gangguan koagulasi (Martina et al, 2009).
Pemberian cairan sesuai dengan keadaan klinis pasien dan derajat beratnya
penyakit:
 DBD derajat I dan II: infus cairan kristaloid dengan kebutuhan setara
dengan dehidrasi sedang, dihitung untuk tiap jam (WHO: 6-7 ml/kgBB/jam)
 DBD derajat III dan IV (DSS): resusitasi cairan kristaloid dan/atau koloid
sesuai tatalaksana syok
 Pemantauan ketat untuk tanda-tanda gangguan sirkulasi dan perdarahan,
juga komplikasi lainnya.
 Apakah ada tanda-tanda gangguan sirkulasi:  Laju nadi kecil dan lemah
sampai tidak teraba  Tekanan nadi 2 detik
 Pemberian cairan: Demam dengue atau tersangka DBD: banyak minum
dengan cairan rumah tangga, cairan oralit, jus buah, cairan mengandung
elektrolit lain (bila ada muntah-muntah dan anak malas minum, beri cairan
melalui infus)
 Suportif dan simtomatik: Diet cukup kalori dan protein, mudah dicerna dan
dapat diterima oleh pasien
 Antipiretik: parasetamol (hindari pemberian asetosal dan ibuprofen).
 Anti kejang bila diperlukan
Pada pasien ini pada fase kritis ( pada saat terjadi kegagalan sirkulasi )
diberikan asering 2kolf dalam 15 menit ,dan gelofusin 600cc
Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan DL serial yang dilakukan dengan tujuan
Pemeriksaan serial darah tepi yang menunjukkan perubahan hemostatik dan
kebocoran plasma merupakan petanda penting dini diagnosis DBD. Peningkatan
nilai hematokrit 20% atau lebih disertai turunnya hitung trombosit yang tampak
sewaktu demam mulai turun atau mulainya pasien masuk ke dalam fase
kritis/syok mencerminkan kebocoran plasma yang bermakna dan
mengindikasikan perlunya penggantian volume cairan tubuh.
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan,
tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup.
Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) Pada
pasien ini saat memasuki fase penyembuhan, ditandai dengan, KU yang
membaik, anak tidak lagi lemas, perbaikan nafsu makan, dan ditemukan ruam
kemerahan pada kulit terutama pada ekstremitas Inferior
. Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini.
Apabila nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan
atau tanpa penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium harus
diperiksa karena sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus
buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan
elektrolit.
Penderita dapat dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak
terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik,
nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau
takipnea, dan junlah trombosit >50.000/mm3, sedangkan pada pasien ini, pasien
dapat krs pada hari ke 9 dari pertama demam dan ditandai dengan perbaikan
KU, TTV serta pemeriksaan DL yang memenuh syarat pasien dapat KRS.

-
BAB 5
KESIMPULAN

Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Diagnosis DBD/DHF ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium.
Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat
sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran
plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda dan
kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau
penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.
DAFTAR PUSTAKA

Almo, SC., Smith, DL., Danishefsky, AT., Ringe, D. (1994). "The structural basis
for the altered substrate specificity of the R292D active site mutant of
aspartate aminotransferase from E. coli". Protein Eng. 7 (3): 405–412.
doi:10.1093/protein/7.3.405.

Anand, V., & Raj, S. (2018). JMSCR Vol || 06 || Issue || 10 || Page 45-48 ||
October JMSCR Vol || 06 || Issue || 10 || Page 45-48 || October. 06(10), 45–
48.

Chhina, R. S., Goyal, O., Chhina, D. K., Goyal, P., Kumarb, R., & Puric, S.
(2008). Liver function tests in patients with dengue viral infection. Dengue
Bulletin, 32, 110–117.

Conway, M. E. (2011). Aminotransferases. Amino Acids in Human Nutrition and


Health, 24–50. https://doi.org/10.1079/9781845937980.0024

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. (2020). Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur 2019. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah., 1–123. Retrieved
from www.dinkesjatengprov.go.id

Dinas Kesehatan Surabaya. (2019). Profil Kesehatan Kota Surabaya 2019.

Dissanayake, H. A. (2018). Liver involvement in dengue viral infections. (October


2017), 1–11. https://doi.org/10.1002/rmv.1971

Fernando, S., Wijewickrama, A., Gomes, L., Punchihewa, C. T., Madusanka, S.


D. P., Dissanayake, H., … Malavige, G. N. (2016). Patterns and causes of
liver involvement in acute dengue infection. BMC Infectious Diseases, 1–9.
https://doi.org/10.1186/s12879-016-1656-2

Giannini, E. G., Testa, R., & Savarino, V. (2005). Liver enzyme alteration: a
guide for clinicians. 172(3), 367–379.

Harapan, H., Michie, A., Mudatsir, M., Sasmono, R. T., & Imrie, A. (2019).
Epidemiology of dengue hemorrhagic fever in Indonesia: Analysis of five
decades data from the National Disease Surveillance. BMC Research Notes,
12(1), 4–9. https://doi.org/10.1186/s13104-019-4379-9

Islam, R., Salahuddin, M., Ayubi, S., & Hossain, T. (2015). R EVIEW Dengue
epidemiology and pathogenesis : images of the future viewed through a
mirror of the past. 30(October), 326–343. https://doi.org/10.1007/s12250-
015-3624-1

Jagadishkumar, K., Jain, P., Manjunath, V. G., & Umesh, L. (2012). Hepatic
involvement in dengue fever in children. Iranian Journal of Pediatrics,
22(2), 231–236.

Liu, Z., Que, S., Xu, J., & Peng, T. (2014). Alanine aminotransferase-old
biomarker and new concept: A review. International Journal of Medical
Sciences, 11(9), 925–935. https://doi.org/10.7150/ijms.8951

Manuaba, I. D., Sutirtayasa, I. W. P., & Dewi, D. R. (2013). Immunopatogenesis


Infeksi Virus Dengue. E-Jurnal Medika Udayana, 2(10), 1684–1696.
Retrieved from http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/6696

Menkes. (2021). Pedoman nasional pelayanan kedokteran tata laksana infeksi


dengue anak dan remaja. 1–67.

Mohan, B., Patwari, A. K., & Anand, V. K. (2000). Hepatic dysfunction in


childhood dengue infection. Journal of Tropical Pediatrics, 46(1), 40–43.
https://doi.org/10.1093/tropej/46.1.40

Moriles, K. E., & Azer, S. A. (2020). Alanine Amino Transferase. StatPearls,


(July). Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/32644704

N, Y. R. H., Kumar, R., & Rudrappa, S. (2019). Liver function tests to predict the
severity of dengue fever in serologically positive children below 18 years of
age. 6(2), 358–364.

Narasimhan, D., Ponnusamy, P., & Sathish, M. (2018). Analysis of liver function
tests in dengue fever. 5(1), 47–49.

Nurminha. (2013). Gambaran Aktifitas Enzim SGOT dan SGPT Pada Penderita
Demam Description Of SGOT And SGPT Enzyme Activities In Patients On
Dengue Hemorrhagic Fever ( DHF ) Of Dr . Hi . Abdul Moeloek Hospital
Bandar Lampung. 2(1), 276–281.

Ralapanawa, U., & Tennakoon, S. U. B. (2020). Liver Transaminases as a


Predictor of Dengue Hemorrhagic Fever Liver Transaminases as a
Predictor of Dengue Hemorrhagic Fever. (October).
https://doi.org/10.21276/apjhs.2020.7.4.9

RI, K. (2020). Profil Kesehatan Indonesia 2020. In Profil Kesehatan Indonesia


2020.

RI, K. (2021). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Infeksi


Dengue Anak Dan Remaja. 1–67.

Rodenhuis-Zybert, I. A., Wilschut, J., & Smit, J. M. (2010). Dengue virus life
cycle: Viral and host factors modulating infectivity. Cellular and Molecular
Life Sciences, 67(16), 2773–2786. https://doi.org/10.1007/s00018-010-0357-
z

Roy, A., Sarkar, D., Chakraborty, S., Chaudhuri, J., Ghosh, P., & Chakraborty, S.
(2013). Profile of hepatic involvement by dengue virus in dengue infected
children. North American Journal of Medical Sciences, 5(8), 480–485.
https://doi.org/10.4103/1947-2714.117313

Samanta, J. (2015). Dengue and its effects on liver. World Journal of Clinical
Cases, 3(2), 125. https://doi.org/10.12998/wjcc.v3.i2.125

Suseno, A., & Nasronudin, N. (2015). Pathogenesis of Hemorrhagic Due To


Dengue Virus. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease, 5(4),
107. https://doi.org/10.20473/ijtid.v5i4.2009
Suprapto, Novita. 2016. Demam Berdarah Dengue. Buku Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ke 4. Jakarta : Depertemen Ilmu Anak Universitas
Indonesia.

Wang, W., Nayim, A., Chang, M. R., Assavalapsakul, W., Lu, P., Chen, Y., &
Wang, S. (2020). ScienceDirect Dengue hemorrhagic fever e A systemic
literature review of current perspectives on pathogenesis , prevention and
control. Journal of Microbiology, Immunology and Infection, 53(6), 963–
978. https://doi.org/10.1016/j.jmii.2020.03.007

WHO. (2009). Dengue. World Health Organization (WHO) and the Special
Programme for Research and Training in Tropical Diseases (TDR), 257–
259. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-374144-8.00078-3

WHO. (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue


and dengue haemorrhagic fever. In WHO Regional Publication SEARO.
Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?
hl=en&btnG=Search&q=intitle:Comprehensive+Guidelines+for+Prevention
+and+Control+of+Dengue+and+Dengue+Haemorrhagic+Fever#1

WHO. (2012). Handbook for clinical management of dengue. In World Health


Organization. Retrieved from
http://www.who.int/about/licensing/copyright_form/en/index.html
%0Ahttp://www.who.int/about/licensing/copyright_form/en/index.html
%5Cnhttp://scholar.google.com/scholar?
hl=en&btnG=Search&q=intitle:Handbook+for+CliniCal+ManageMent+of+d
engue#1%5Cnhttp://schol

Anda mungkin juga menyukai