Pembimbing:
dr. I. Dewa Ayu Agung Sridaraswari, Sp. A
Oleh:
dr. Denny Arvi Makhirfandi
Pembimbing,
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya, laporan kasus Pediatri tentang Dengue Haemorrhaegic Fever
(DHF) dapat saya selesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai bagian dari
proses belajar selama program dokter internship Angkatan IV di RSUD
Sumberglagah dan saya menyadari bahwa laporan kasus ini tidaklah sempurna.
Untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan dalam pembuatan laporan ini.
Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing, dr. I. Dewa Ayu Agung
Sridaraswari, Sp. A atas bimbingan dan bantuannya dalam penyusunan Laporan
kasus ini. Saya sangat menghargai segala kritik dan masukan sehingga laporan
kasus ini bisa menjadi lebih baik dan dapat lebih berguna bagi pihak-pihak yang
membacanya di kemudian hari.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1.2 Etiologi
Struktur virus dengue secara kasar berbentuk bulat, dengan diameter
sekitar 50 nm. Virus dengue (50 nm) mengandung single-strand Ribonucleic
Acid/ RNA untai tunggal sebagai genom (WHO, 2011). Virion terdiri dari
nukleokapsid dengan simetri kubik tertutup dalam. amplop lipoprotein. Genom
virus dengue memiliki panjang 11.644 nukleotida, dan terdiri dari tiga gen protein
struktural yang mengkode nukleokaprid atau protein inti (C), protein terkait
membran (M), protein amplop (E), dan tujuh protein non-struktural gen protein
(NS) (WHO, 2011).
Protein kapsid (C) merupakan protein dasar yang sangat responsif terhadap
penempelan nukleokapsid yang terus berinteraksi dengan RNA tetapi hanya
sedikit yang mengetahui tentang protein C. Struktur ptotein C memperlihatkan
suatu struktur dimer yang mempunyai beban tertinggi dan mempunyai distribusi
yang asimetris diresidu dasar diatas protein permukaan. Protein DENV prM
(membran), yang penting dalam pembentukan dan pematangan partikel virus,
terdiri dari tujuh untai antiparalel yang distabilkan oleh tiga ikatan disulfida.
Protein M dapat digunakan untuk membedakan respon antibodi terhadap antivirus
(Perera and Kuhn, 2008). Protein DENV E (amplop), ditemukan sebagai dimer
pada permukaan partikel virus dewasa, penting dalam perlekatan awal partikel ini
ke sel inang (Modis, et al., 2003; Perera and Kuhn, 2008).
Adapun protein non-struktural meliputi glikoprotein amplop, NS1, NS2A,
NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5, dimana protein nonstruktural berperan
dalam replikasi virus (Rodenhuis-Zybert, Wilschut, & Smit, 2010; WHO, 2011).
NS1 adalah glikoprotein 48-kDa yang sangat terkonservasi di antara semua
flavivirus. NS1 adalah satu-satunya protein yang secara terus menerus
disekresikan oleh sel inang yang terinfeksi. NS1 disekresikan dalam bentuk
heksamer, yang terdiri dari tiga dimer dengan rongga pusat hidrofobik memiliki
70 molekul lipid, dengan komposisi hampir sama dengan high-density lipoprotein
(Rodenhuis-Zybert et al., 2010; WHO, 2011).
2.1.3 Epidemiologi
Setiap tahun lebih dari satu miliar orang terinfeksi dan lebih dari satu juta
orang meninggal karena penyakit yang ditularkan melalui vektor, di mana
penyakit yang dibawa oleh nyamuk merupakan proporsi yang signifikan. Aedes
aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor yang efisien untuk penyakit
arboviral pada manusia. Saat ini penyakit arboviral masih menjadi masalah
kesehatan global karena penyebaran geografisnya yang cepat terutama selama 30
tahun terakhir, peningkatan secara cepat baik distribusi dan dampak yang
ditimbulkan bagi kesehatan masyarakat (WHO, 2022).
Dengue memiliki pola epidemiologi yang berbeda, terkait dengan empat
serotipe virus. Serotipe virus ini dapat ada bersama dalam suatu wilayah, dan
memang banyak negara yang hiper-endemik dimana memiliki keempat serotipe
dengue (WHO, 2022). Sejumlah besar penelitian telah memetakan distribusi
global atau regional A. aegypti dan A. albopictus, baik dari segi ekologis dan
habitat dengan hasil bahwa kedua spesies ini telah terdistribusi secara luas di
semua benua termasuk Amerika Utara dan Eropa. Infeksi dengue ditemukan
sebagai penyakit yang paling luas penyebarannya (WHO, 2022).
Insiden demam berdarah telah meningkat secara dramatis di seluruh dunia
dalam beberapa dekade terakhir (Waggoner, et al., 2016). Menurut data WHO
2022 jumlah kasus infeksi dengue terjadi 390 juta per tahun dengan rerata jumlah
infeksi dengue 96 juta (67-136 juta) bermanifestasi secara klinis (dengan tingkat
variasi keparahan penyakit) (Bhatt, et al., 2013; WHO, 2022). Studi lain
menjelaskan prevalensi DBD memperkirakan 3,9 miliar orang berisiko terinfeksi
virus dengue di 129 negara khusunya Asia (Brady, et al., 2012). Jumlah kasus
infeksi dengue dilaporkan ke WHO meningkat lebih dari 8 kali lipat selama dua
dekade terakhir, dari 505.430 kasus pada tahun 2000, menjadi lebih dari 2,4 juta
pada tahun 2010, dan 5,2 juta pada tahun 2019. Kematian yang dilaporkan antara
tahun 2000 dan 2015 meningkat dari 960 menjadi 4032, namun jumlah total kasus
tampaknya menurun selama tahun 2020 dan 2021 bisa disebabkan hambatan
pelaporan kasus di beberapa negara selama pandemi COVID-19 (WHO, 2022).
Jumlah kasus infeksi dengue terbesar dilaporkan secara global terjadi pada
tahun 2019. Semua wilayah terkena dampaknya, dengan penularan terjadi
pertama kali di Afghanistan kemudian menyebar ke Amerika sebanyak 3,1 juta
dan 25.000 kasusu diantaranya menjadi infeksi dnegue berat. Selanjutnya jumlah
kasus yang tinggi dilaporkan di Bangladesh (101.000), Malaysia (131.000)
Filipina (420.000),Vietnam (320.000) di Asia (WHO, 2022). Pada tahun 2020,
infeksi dengue menyerang beberapa negara, dengan laporan peningkatan jumlah
kasus di Bangladesh, Brasil, Kepulauan Cook, Ekuador, India, Indonesia,
Maladewa, Mauritania, Mayotte (Fr), Nepal, Singapura, Sri Lanka, Sudan,
Thailand, Timor-Leste dan Yaman. Infeksi dengue makin meluas meliputi Brasil,
India, Vietnam, Filipina, Kepulauan Cook, Kolombia, Fiji, Kenya, Paraguay, Peru
dan, pulau Reunion pada tahun 2021 (WHO, 2022).
Di Indonesia, jumlah kasus DBD pada tahun 2019 dan 2020 berturut-
turut 138.127 dan 108.303 kasus. Jumlah kematian karena infeksi dengue pada
tahun 2019 dan 2020 berturut-turut 747 dan 919 kasus kematian. Insiden rate
(Incidence Rate) DBD di Jawa Timur pada tahun 2020 sebesar 21,5 per 100.000
penduduk. Di Surabaya, insiden rate (Incidence Rate) DBD pada tahun 2019
sebesar 9,56 per 100.000 penduduk dengan jumlah kasus 277 orang, mengalami
penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2018 yakni 11,12 per 100.000
penduduk. Meskipun mengalami penurunan, kewaspadaan terhadap lonjakan
kasus pada tahun selanjutnya perlu ditingkatkan (Dinas Kesehatan Surabaya,
2019).
Gambar 1: Tingkat insiden (per 100.000 orang-tahun) dan tingkat kematian kasus (%) demam
berdarah dengue di Indonesia dari tahun 1968 hingga 2017
Sumber: (Harapan, Michie, Mudatsir, Sasmono, & Imrie, 2019)
2.1.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya infeksi dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya infeksi dengue. Dengue sendiri ditularkan melalui
gigitan nyamuk aedes aegpty yang mengandung virus dengue. Nyamuk aedes
aegypty merupakan vector baik sebagai media penularan, host biologis yang
berperan dalam transmisi biologis (Manuaba, Sutirtayasa, & Dewi, 2013).
Mekanisme inumologis pada infeksi dengue sangat erat dengan bagimana
tubuh merespon infeksi melalui suatu respon imun. Pada manusia dikenal dua
respon imun tubuh yaitu imunitas natural dan imunitas didapat. Saat virus masuk
ke dalam tubuh, maka, tubuh akan merangsang terbentuknya suatu sel khusus
yang disebut APCs. Immunogen selanjutnya akan terperangkap dalam vesikel
dalam sitoplasma dan diproses hingga menjadi sebuah peptide dan akan
bergabung dengan protein MHC kelas dua dimana mereka akan dapat dideteksi
oleh sel T helper, lalu sel T helper ini akan mengaktivasi dua sel efektor limfoid
lainnya yaitu sel sitotoksik T (Tc) atau CD8 untuk membunuh sel target
(apoptosis) dan sel yang mensekresi antibodi (sel B) untuk mensekresi antibodi.
Sementara sisanya akan berdiferensiasi menjadi sel B memori. Disamping itu, sel
T helper juga akan memproduksi IL-2 untuk melepaskan sitokin yang akan
memproduksi faktor pertumbuhan, makrofag, dan lain lain (Manuaba et al.,
2013).
Mekanisme pathogenesis dari infeksi virus dengue juga melibatkan sel T.
Aktivasi sel T yang spesifik untuk dengue meningkat. Sel T, terutama cross-
reactive T cells yang aktif akan memproduksi sitokin seperti IFN-δ, IL-2, dan
TNF-£. TNF-£ juga diproduksi oleh monosit yang telah teraktivasi. Kaskade
komplemen diaktifkan melalui kompleks virus antibodi melalui beberapa sitokin
untuk melepaskan C3a dan C5a yang memiliki efek langsung ke permeabilitas
vaskular. Efek sinergis dari IFN-δ, TNF-£ dan protein komplemen yang aktif akan
menyebabkan kebocoran plasma dan aktivasi sistem imun yang berlebihan setelah
infeksi virus dengue, hal ini tak hanya melibatkan respon imun untuk
membersikan virus, tetapi juga menyebabkan produksi yang berlebihan dari
sitokin yang mempengaruhi monosit, sel endotel, dan hepatosit, seperti produksi
abnormal autoantibodi yaitu IgM dan IgG yang berperan dalam peningkatan
penghancuran platelet dan sistem retikuloendotelial (Wilson, et al, 2001).
Dalam studi literatur yang dikemukakan oleh Manuaba, et al (2013), juga
dijelaskan bahwa imunitas humoral sebagian besar dimediasi oleh sel B, komplek
imun IgM ditemukan pada dinding pembuluh darah dari papilla dermal pada
pasien dengue. level IgM, terutama IgM alami spesifik untuk dengue, sangat
berpengaruh terhadap prognosis dari infeksi dengue. IgM adalah antibodi pertama
yang terbentuk setelah stimulasi antigen, dan kehadiran IgG setelah respon awal
terhadap antigen diasosiasikan dengan memori imunologi. Hal ini menyebabkan
kadar IgM lebih tinggi pada paparan pertama sementara IgG pada paparan kedua.
Studi ini juga menjelaskan keterlibatan antibody dependent immune system
memiliki peran penting menimbulkan derajat keparahan yang terjadi pada anak
anak yang terkena paparan kedua dari virus yang berbeda serotipenya dari tipe
terdahulu (Manuaba et al., 2013).
Adanya autoantibodi yang dikenal dengan sebutan NS1 dan prM juga
dipelajari bahwa NS1 dihasilkan oleh sel yang terinfeksi dan secara langsung
dapat mengaktivasi faktor komplemen. Antibodi yang dihasilkan tubuh selama
infeksi virus dengue menunjukkan adanya reaksi silang dengan anti NS1 dan sel
endotel, hal ini dapat menyebabkan sel endotel mengekspresikan nitric oxide
(NO) dan mengalami apoptosis (Manuaba et al., 2013). Adanya mimikri
molecular antara platelet dan sel endotel dengan NS1 atau prM dari virus dengue
akan menjelaskan reaksi silang yang terjadi pada anti NS1 atau antibodi prM
dengan host dan berperan dalam penyerangan platelet dan sel endotel selama
perjalanan penyakit ini (Wilson, et al, 2001).
Gambar 2.1. Patogenesis Infeksi Virus Dengue
Sumber: Islam R, 2015
Fase selanjutnya adalah fase kritis yang terjadi pada saat demam turun
(time of fever defervescence) yaitu ketika suhu tubuh turun menjadi 37,5–38 o C
atau kurang dan tetap berada di bawah suhu tersebut, merupakan saat
berlangsungnya perembesan plasma terjadi sehingga pasien dapat mengalami
syok hipovolemik. Gejala ini menandai awal fase kritis (RI, 2021). Tanda bahaya
umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke-3 sampai
ke-7, berupa peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler bersamaan dengan
peningkatan kadar hematokrit. Periode perembesan plasma yang signifikan
biasanya berlangsung 24–48 jam. Kewaspadaan dalam mengantisipasi
kemungkinan syok adalah dengan mengenal warning signs yang mendahului fase
syok.
Setelah fase kritis pasien masuk dalam masa penyembuhan. Fase ini pada
umumnya terjadi setelah 24-48 jam fase kritis, dimana pada fase ini terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular secara bertahap yang berlangsung 4-72 jam
berikutnya. Secara umum pada fase ini akan terjadi perbaikan kondisi umum dari
pasien anak, nafsu makan mulai membaik, gejala gastriintestinal menghilang,
status hemodinamik stabil dan diikuti perbaikan diuresis. Beberapa pasien
menunjukkan gambaran convalescence rash pada kedua tungkai. Bradikardi dan
eruabhan elektrokardiografi sering terjadi pada fase pemulihan. Pada fase ini juga
akan didapatkan perbaikan dari hasil pemeriksaan laboratorium darah dimana
hematokrit yang akan stabil karena dampak dari dilusi penyerapan cairan. Kadar
jumlah leukosit mulai mengalami peningkatan, diikuti dengan normalnya jumlah
trombosit (WHO, 2009)
2.1.6 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi virus dengue cukup berkembang. Berdasarkan WHO
1997, klasifikasi dengue terbagi Demam Dengue (DD), Demam Berdarah dengue
(DBD), dan SSD (Sindroma Syok Dengue), dimana klasifikasi ini merupakan
hasil konsesus para ahli berdasarkan studi pada anak Thailand pada tahun 1950-an
sampai 60-an, dengan modifikasi pada tahun 1986 dan 1997. Kemudian, pada
1997, klasifikasi ini mengalami pembaharuan menjadi empat tingkat DBD
didefinisikan (DBD derajat I, II, III, dan IV), dengan DBD derajat I dan II
menjadi DBD, sedangkan DBD derajat III dan IV menjadi SSD (RI, 2021).
Klasifikasi DD/DBD/SSD ini kemudian dilakukan peninjauan ulang
dengan pertimbangan bahwa klasifikasi ini kurang menunjukan suatu keparahan
penyakit, dokter tidak dapat mengidentifikasi secara tepat suatu keparahan
penyakit, tes laboratorium perlu pengulangan dalam waktu cepat yang seringkali
tidak tersedia atau sulit diterapkan di layanan kesehatan, kurang membantu dalam
kondisi wabah dengue, pelaporan kasus secara global berbeda-beda karena klinisi
mengalami kesulitan dalam menggunakan klasifikasinya. Begitu pula dengan
klasifikasi DD/DBD derajat I sampai IV/SSD juga dirasa rumit untuk digunakan
dalam klinis atau kesehatan masyarakat, demikian pula untuk studi patogenesis
yang rinci (RI, 2021).
Oleh karena itu, WHO melalukan suatu review sistematik untuk
menelaah kembali pengklasifikasian demam dengue. Selanjutnya dikeluarkanlah
pedoman baru, yaitu The Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment and
Control World Health Organization 2009 dengan klasifikasi kasus infeksi dengue,
sebagai dengue dan severe dengue. Warning signs membantu tenaga kesehatan
dalam memilah kasus simtomatik yang membutuhkan pemantauan dan rawat inap
(dengue tanpa atau dengan warning signs). Maka dikeluarkanlah pedoman WHO
2009 mengenai klasifikasi demam dengue yaitu dengue tanpa/dengan warning
signs dan severe dengue (RI, 2021).
Di Indonesia sendiri berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/4636/2021 Tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Infeksi Dengue Anak dan Remaja mengikuti
klasifikasi diagnosis dengue berdasarkan WHO 2009 menjadi dengue tanpa
warning signs, dengue dengan warning signs dan severe dengue.
2.1.7 Diagnosis
Pendekatan diagnosis infeksi dengue diawali dengan melakukan penilaian
umum, dimulai dari anamnesa seperti gejala saat datang. Manifestasi klinis infeksi
virus dengue sangat luas dapat bersifat asimptomatik/tidak bergejala, bergejala
hingga berat. Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus
dengue, terutama untuk pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat
mengalami demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus
lainnya. Kondisi tersebut diklasifikasikan sebagai Undifferentiated fever. Ruam
makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul selama demam.
Gejala pernapasan bagian atas dan gastrointestinal sering terjadi (WHO, 2011).
Infeksi virus dengue paling sering terjadi pada anak-anak yang lebih tua,
remaja dan orang dewasa. Ini umumnya merupakan penyakit demam akut, dan
kadang-kadang demam bifasik dengan sakit kepala parah, mialgia, artralgia, ruam,
leukopenia, dan trombositopenia juga dapat ditemukan. Kadang-kadang terjadi
perdarahan yang tidak biasa seperti perdarahan gastrointestinal, hipermenorea,
dan epistaksis masif. Di daerah endemis DBD, wabah DB jarang terjadi di
kalangan masyarakat sekitar (WHO, 2011).
Infeksi virus dengue lebih sering terjadi pada anak-anak kurang dari 15
tahun di daerah hiperendemik, berhubungan dengan infeksi dengue berulang. Dan
ditandai dengan timbulnya demam tinggi secara akut dan berhubungan dengan
tanda dan gejala yang mirip dengan DD pada fase awal demam (WHO, 2011).
Terdapat diatesis hemoragik yang umum seperti tes tourniquet positif (TT),
petechiae, mudah memar dan/atau perdarahan GI pada kasus yang parah. Pada
akhir fase demam, ada kecenderungan untuk berkembang menjadi syok
hipovolemik karena kebocoran plasma (WHO, 2011).
Berdasarkan pedoman WHO (2009), dimana pengklasifikasian infeksi
virus dengue berdasarkan pasien dengue dengan warning signs dan tanpa warning
signs, serta severe dengue. Faktor komorbid pada pasien dengan infeksi dengue
memungkinkan kondisi dengue tanpa warning signs berlanjut menjadi warning
signs atau severe dengue (RI, 2021; WHO, 2009).
Kasus severe dengue di Asia Tenggara menempati tempat tertinggi, yaitu
15% dari seluruh kasus severe dengue. Diantara kasus severe dengue, 244 (90%)
mengalami perembesan plasma, perdarahan hebat 39 (14%), dan disfungsi organ
berat 28 (10%). Severe dengue ditentukan dari satu atau lebih kondisi berikut (RI,
2021; WHO, 2009) (1) perembesan plasma yang menyebabkan syok (syok
dengue) dan/atau akumulasi cairan dengan/tanpa distres napas, dan/atau (2)
perdarahan hebat (umumnya karena perdarahan saluran certa), dan/atau (3)
kerusakan organ yang berat.
Peningkatan permeabilitas vaskular diikuti hipovolemia hebat sampai
terjadi syok, berlangsung pada saat defervescence. Pada awal syok, terjadi
mekanisme kompensasi untuk menjaga agar tekanan sistolik normal,
menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer. Pada saat ini tekanan diastolik
meningkat sehingga tekanan nadi menyempit diikuti dengan kenaikan tahanan
perifer. Pasien dikatakan mengalami syok apabila tekanan nadi (perbedaan antara
tekanan sistolik dan diastolik) ≤20 mmHg pada anak. Klinis menunjukkan tanda-
tanda perfusi kapiler yang menurun (ekstremitas dingin, pemanjangan pengisian
waktu kapiler, atau denyut nadi yang cepat). Hipotensi pada umumnya
dihubungkan dengan syok berkepanjangan dengan penyulit perdarahan hebat (RI,
2021; WHO, 2009).
Severe dengue harus dicurigai jika seorang memiliki gejala demam 2–7
hari disertai beberapa gejala berikut (1) terdapat bukti perembesan plasma seperti
hematokrit yang meningkat cepat/tinggi dan/atau efusi pleura, asites (2) syok
dengan gejala takikardia, ekstremitas lembab dan dingin, pengisian waktu kapiler
lebih dari dua detik, denyut nadi yang lemah atau tidak teraba, tekanan nadi
sempit atau pada syok lanjut tekanan darah tidak terukur (3) terdapat perdarahan
yang signifikan/masif/hebat (seperti perdarahan saluran cerna berupa hematemesis
melena, perdarahan kulit luas berupa purpura, dan lain sebagainya) (4) Terdapat
perubahan kesadaran (letargi atau gelisah, koma, kejang). (5) Terdapat gangguan
gastrointestinal berat. (6) terdapat kerusakan organ yang berat (gagal hati akut,
gagal ginjal akut, ensefalopati atau ensefalitis, kardiomiopati atau manifestasi
yang tidak lazim lainnya) (RI, 2021; WHO, 2009).
Komplikasi syok dan keterlibatan organ yang terjadi pada infeksi dengue
adalah sebagai berikut syok, hipotensi, distress napas, keterlibatan jantung,
keterlibatan sistem saraf pusat, keterlibatan ginjal, keterlibatan hati, perdarahan
hebat. Pada kasus ini syok ditandai dengan (1) perfusi kapiler buruk ditandai
dengan laju nadi meningkat (takikardia), pengisian waktu kapiler lebih dari dua
detik, ekstremitas dingin, (2) tekanan nadi menyempit (<20 mmHg), (3) hipotensi
atau sampai tidak terukur, dan (4) nadi teraba lemah dan kecil sampai tidak teraba.
Sementara distress napas peningkatan laju napas sesuai usia, peningkatan usaha
napas (dyspnea), napas Kussmaul, saturasi 02 ≤94% tanpa pemberian O2, dan
gagal napas (RI, 2021; WHO, 2009).
Keterlibatan jantung pada infeksi dengue umumnya melibatkan lapisan
miokardium dengan manifestasi miokarditis, kardiomiopati, dan gagal jantung.
Sementara keterlibatan sistem saraf pusat menimbulkan manifestasi klinis
penurunan kesadaran tanpa ditemukan adanya gangguan metabolik atau
penjelasan lain, ensefalopati, ensefalitis, ditemukan tanda sebagai leukosit cairan
serebrospinal >5/L atau kejang (bukan kejang demam sederhana). Peningkatan
kreatinin serum ≥2x dibandingkan batas atas nilai normal atau kreatinin serum
>1,2 mg/dL menandakan keterlibatan ginjal. Sementara keterlibatan hati akut
ditandai dengan dengan ikterik, thromboplastin time <20%, dan ensefalopati.
Peningkatan fungsi hati tanpa sebab lainnya seperti Hepatitis A, B, C, atau
toksisitas obat juga masuk kedalam keterlibatan hati pada infeksi dengue (RI,
2021; WHO, 2009).
Berdasarkan WHO (2011) terdapat gejala dan tanda dari masing masing
jenis demam dengue antara lain :
1. Dengue Fever
Penyakit demam akut dengan dua atau lebih dari yang berikut ini:
1. Sakit kepala
2. Nyeri retro-orbital,
3. Mialgia,
4. Arthralgia / nyeri tulang,
5. Ruam,
6. Manifestasi perdarahan,
7. Leukopenia (≤ 5000 sel / mm3),
8. Trombositopenia (jumlah trombosit <150.000),
9. Meningkatnya hematokrit (5 - 10%);
dan setidaknya satu dari berikut ini:
a. Serologi suportif pada sampel serum tunggal: titer ≥1280 dengan
penghambatan hemaglutinasi tes, titer IgG yang sebanding dengan uji
imunosorben enzim-linked, atau positif pada IgM uji antibodi, dan
b. Kejadian pada lokasi dan waktu yang sama seperti kasus demam berdarah
yang dikonfirmasi.
Diagnosis Terkonfirmasi :
Kemungkinan kasus dengan setidaknya salah satu dari berikut ini:
I. Isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel otopsi.
II. Peningkatan IgG serum sebanyak empat kali atau lebih besar (dengan uji
inhibitor hemaglutinasi) atau peningkatan IgM antibodi spesifik untuk
virus dengue.
III. Deteksi virus dengue atau antigen dalam jaringan, serum atau cairan
serebrospinal oleh imunohistokimia, immunofluorescence atau enzyme-
linked immunosorbent assay.
IV. Deteksi urutan genom virus dengue dengan rantai transkripsi-polimerase
terbalik reaksi.
2. Dengue Hemoragic Fever (DHF)
Jika keempat kriteria dibawah ini terpenuhi, maka sensitivitas dan
spesifisitas masing - masing 62% dan 92% :
1. Onset akut demam dua sampai tujuh hari lamanya.
2. Manifestasi perdarahan, ditunjukkan oleh salah satu dari berikut ini:
tes tourniquet positif, petechiae, ekimosis atau purpura, atau perdarahan
dari mukosa, saluran cerna, tempat suntikan, atau lainnya lokasi
3. Jumlah trombosit ≤100.000 sel / mm3
4. Bukti obyektif kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas
vaskular yang ditunjukkan oleh salah satu
pengikut:
Meningkatnya hematokrit / hemokonsentrasi ≥ 20% dari awal atau
penurunan pemulihan, atau bukti kebocoran plasma seperti efusi
pleura, asites atau hipoproteinemia / albuminaemia
Derajat penyakit DBD oleh WHO (2011) diklasifikasikan dalam 4 derajat:
- Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.
- Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit
(petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi
berlebihan, perdarahan saluran cerna).
- Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
- Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
3. Dengue Syok Syndrome (DSS)
Kriteria demam berdarah dengue seperti di atas dengan tanda syok
termasuk:
1. Takikardia, ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, denyut
nadi lemah, kelesuan atau kegelisahan, yang mungkin merupakan tanda
berkurangnya perfusi otak.
2. Tekanan nadi ≤20 mmHg dengan tekanan diastolik yang meningkat, mis.
100/80 mmHg.
3. Hipotensi menurut usia, didefinisikan sebagai tekanan sistolik <80 mmHg
untuk mereka yang berusia <5 tahun atau 80 sampai 90 mmHg untuk anak-
anak dan orang dewasa yang lebih tua.
2.1.8 Tatalaksana
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan (WHO, 2011).
A. Terapi Home Care
1. Pasien membutuhkan istirahat yang adekuat
2. Kebutuhan cairan harus terpenuhi selain air putih bisa diberikan susu, jus
buah, larutan elektrolit isotonik, cairan beras. Pemantauan agar tidak
terjadi overhidrasi pada bayi maupun anak
3. Jaga suhu tubuh dibawah 39. Jika suhu melebihi diatas 39 berikan
parasetamol pasien Parasetamol tersedia dalam dosis 325 mg atau 500 mg
dalam tablet bentuk atau dalam konsentrasi 120 mg per 5 ml sirup. Dosis
yang dianjurkan adalah 10 mg / kg / dosis dan harus diberikan dalam
frekuensi tidak kurang dari enam jam. Dosis maksimum untuk orang
dewasa adalah 4 gm / hari. Hindari penggunaan berlebihan pada
paracetamol, dan aspirin atau NSAID tidak disarankan.
4. Kontrol setiap hari kondisi penderita sampai melewati masa kritis
Warning Sign
1. Tidak ada perbaikan klinis atau perburukan situasi
sebelum atau selama masa transisi ke fase afebris atau saat
penyakit berkembang.
2. Muntah terus-menerus, kurang asupan air.
3. Nyeri perut hebat
4. Kelesuan dan / atau kegelisahan, perubahan perilaku
mendadak.
5. Pendarahan: Epistaksis, tinja berwarna hitam,
hematemesis, perdarahan menstruasi yang berlebihan
6. urin berwarna gelap (haemoglobinuria) atau hematuria.
7. Pusing/ nyeri kepala
8. Tangan dan kaki pucat, dingin dan lembap.
9. BAK kurang dari 4-6 jam.
10. Hepatomegali > 2cm
11. Laboratorium : peningkatan hematokrit disertai penurunan
trombosit yang cepat
Gambar 11. Tingkat cairan IV pada orang dewasa dan anak-anak (SLCP, 2012)
Transfusi trombosit tidak dianjurkan untuk trombositopenia (tidak ada
prophylaxis platelet transfusion). Ini dapat dipertimbangkan pada orang dewasa
dengan hipertensi yang mendasari dan trombositopenia yang sangat parah (kurang
dari 10.000 sel / mm3) (Ugrasena, 2013).
Terapi DHF grade I, II (Kasus Non-Syok)
Secara umum, cairan diberikan sejumlah kebutuhan rumatan (untuk satu
hari) + defisit 5% (cairan oral dan IV bersamaan), diberikan lebih dari 48 jam.
Misalnya, pada anak dengan berat 20 kg, defisit 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000
ml. Pemeliharaannya adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M +
5% adalah 2500 ml (Gambar 9). Volume ini akan diberikan lebih dari 48 jam pada
pasien non-syok (Suprapto, 2016).
Terapi syok : DHF grade III
DSS adalah syok hipovolemik yang disebabkan oleh kebocoran plasma
dan ditandai dengan meningkatnya ketahanan vaskular sistemik, yang ditunjukkan
oleh tekanan nadi yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan
tekanan diastolik yang meningkat, misalnya 100/90 mmHg). Bila terjadi
hipotensi, seseorang harus menduga bahwa terjadi perdarahan hebat, dan
perdarahan gastrointestinal tersembunyi mungkin terjadi selain kebocoran plasma.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan DSS berbeda dari jenis syok lainnya seperti
syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada anak-anak
atau 300-500 ml pada orang dewasa lebih dari satu jam atau bolus, jika perlu.
Namun, sebelum mengurangi laju penggantian IV, kondisi klinis, tanda vital,
keluaran urin dan tingkat hematokrit harus diperiksa untuk memastikan perbaikan
klinis (WHO, 2011)
.
Gambar 12. Investigasi laboratorium (ABCS) untuk pasien yang hadir dengan
shock berat atau mengalami komplikasi, dan dalam kasus tanpa perbaikan klinis
meskipun ada penggantian volume yang memadai
Gambar 13. Diagram penggantian cairan Untuk pasien DSS (Suprapto, 2016)
Identitas Pasien
Nama : An. M Y P
Umur : 10thn 1 Bulan 3 Hari
Berat Badan : 40Kg
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Balongkenongo, Tanjungkenongo, Pacet
MRS : Via IGD, Kamis 02 Juni 2022 Jam 06.06
RM : 22151563
Summary Of Database:
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien diantar oleh orangtuanya ke IGD dengan keluhan Demam hari ke-3
(sejak senin sore 30/05/2022 jam 18.00) Pola demam awal mendadak terus-
menerus, sempat dibawa ke Bidan malamnya diberi obat puyer dan sirup
demam hanya turun saat minum obat , kemudian demam lagi , hari rabu malam
pasien muntah 1x sisa makanan , selama sakit makan minum pasien menurun,
badan terasa sakit semua selama sakit dan mengeluh pusing , diare (-) mimisan
(-) gusi berdarah (-) bab darah(-) bercak2 merah (-) BAK normal
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Alergi :
- Disangkal
Riwayat Persalinan :
- Anak ketiga dari 3 bersaudara , lahir SC a/I BSC , BBL 3000g
Riwayat Makanan
- ASI sejak usia 0 – 1,5 tahun
Riwayat Imunisasi
- Lengkap
Riwayat Pengobatan
- Paracetamol sirup
- Puyer dari bidan ( tidak tau obat apa)
Status Gizi :
Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Lemas
- Tanda-tanda vital :
TD: 124/75 mmHg
Nadi :100 x/mnt kuat angkat
RR : 22 x/mnt
Suhu : 38,5 °C Axilla
- Kepala - Leher:
A/I/C/D -/-/-/-
lidah kotor (-), mata cowong (-), massa (-), pemb KGB (-)
Faring hiperemis (-) Tonsil T1/T1
- Pulmo :
Inspeksi : simetris, retraksi (-)
Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, fremitus taktil simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : ves/ves, Rh -/-, Wh -/-
- Cor :
Inspeksi : iktus cordis (-)
Palpasi : iktus teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : soefl, turgor kembali cepat, nyeri tekan, (-) epigastrium,
hepatomegaly (-), shifting dulness (-)
Perkusi : timpani
- Ekstremitas : Akral hangat kering merah, CRT < 2dtk ptekie (-)
- Oedema -/-/-/-
Laboratorium
- Hb : 13,3 gr/d
- Leukosit : 5000 /sel/ul
- EOS/BAS/STAB/SEG/Lim/Mono : 0/0/0/77/20/3
- HCT : 37,2%
- Trombosit : 113.000 sel/ul
- Rapid Test :-
- Creatinin : 0,42 mg/dl
- Gula darah sewaktu : 103,30 mg/dl
- WIDAL
Salmonela Tyhpi O : Negatif
Salmonela Typhi H : Negatif
Salmonela Paratyphi PA : Negatif
Salmonela Paratyphi PB : Negatif
- Thorax PA : Kesan Dbn
Clue and Cue :
- Anak Laki-Laki 10 Tahun dengan BB 40Kg
- Demam mendadak tinggi
- Muntah
- Myalgia
- Letargia
- Nafsu makan menurun
- Trombositopenia
Problem list :
- Akut febrie illness
Initial diagnosis :
- Dengue Fever
Planing terapi :
Asering 400cc dalam 1 jam
- Maintenance Inf RL D5 1600 cc/24jam
- Inj omeprazole 2x15mg
- Inj Paracetamol 450 mg prn
- Inj ondansentron 2x3mg
- KIE Makan dan Minum yang banyak
Planing monitoring :
- Keluhan Umum dan TTV
- Tanda-tanda perdarahan dan plasma leakage
- Keseimbangan cairan
- DL serial
- Komplikasi
Planing edukasi :
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa pasien kita mengalami sakit demam
berdarah yaitu infeksi akibat virus yang ditularkan lewat gigitan nyamuk
aedes aegepty dengan gejala demam tinggi mendadak hingga risiko
terjadinya shock
- Menjelaskan rencana pemeriksaan penunjang yang akan kita lakukan
untuk menegakkan diagnosis yaitu lab DL rutin
- Rencana terapi, pasien akan diberikan cairan untuk mengganti kekurangan
cairan akibat plasma leakage, diberikan juga obat penurun panas dan terapi
suportif lain.
- Menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi yaitu shock, sindroma overload
cairan, perdarahan, dll.
- Prognosis baik jika penanganan cepat dan optimal
Follow UP
Tgl 3/06/2022 3/06/2022 (setelah 4/06/2022
rehidrasi cepat)
S Demam hari ke 4 Demam (-) mual (+) Demam (+) , makan
(+),badan lemas, tidak nyeri perut (+) lemas minum (+) sedkit ,
mau makan dan berkurang nyeri perut tidak ada ,
minum , mual (+) diare (+) 7x hari ini ,
muntah (-) diare (+) 2x cair (+) ampas (+)
, cair , ampas (+) BAK flatus (+)
(+) sedikit2
O KU: lemah KU: Cukup KU: Cukup
TTV TTV: TTV:
TD: 80/51 mmHg TD: 110/ 70 TD 120/70
Nadi :125 x/mnt lemah Nadi :107 x/mnt kuat N: 110x/m kuat angkat
RR : 22 x/mnt angkat RR: 23
Suhu : 37 °C RR : 24 x/mnt T : 37,7
K/L: A/I/C/D -/-/-/- Suhu : 37 °C K/L: A/I/C/D -/-/-/-
PKGB (-) K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB (-)
Tho: PKGB (-) Tho:
Pulmo: simetis, Tho: Pulmo: simetis,
retraksi (-)simetris, Pulmo: simetis, retraksi (-),simetris,
sonor/sonor, ves/ves, retraksi (-)simetris, sonor/sonor, ves/ves,
Rhonki -/-, Wheezing sonor/sonor, ves/ves, Rhonki -/-, Wheezing
-/- Rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor: S1S2 tunggal -/- Cor: S1S2 tunggal
Abd: cembung, BU Cor: S1S2 tunggal Abd: BU (+) normal,
(+) normal, fatty, Abd:cembung, BU (+) fatty, hepatomgali (+),
hepatomgali (-),NT (-), normal, fatty, NT (+) epigastrium
timpani hepatomgali (-), NT distended + ,
Ekst: akral dingin, (-)timpani Ekst: akral hangat,
edema (-), CRT<2det Ekst: akral hangat, edema (-), CRT <2 det
edema (-), CRT <2 det
Lab :
Hb : 17 Lab :
Tgl 8/6/2022
S Demam (-) , bengkak diskrotum sudah tidak, nyeri perut berkurang,
sesak - , makan minum banyak
O KU: baik
TTV
TD : 110/75MmHg
N : 90x/mnt Kuat
RR : 24 x/mnt
T : 36.4C
K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB (-)
Tho:
Pulmo: simetis, retraksi (-)simetris, sonor/sonor, ves/ves ves/ves suara
nafas menurun dilobus inf paru D Rhonki, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor: S1S2 tunggal
Abd:distended -, hepatomegaly ukuran 5x4x4cm, tepi tajam,
permukaan rata, BU (+) normal, NT -
Ekst: akral hangat kering merah, edema -/- CRT<2det
Lab
Hb : 11,7
Leu : 9100
Diffcont
Eu/Bas/Stab/Seg/lym/ Mono : 0/0/0/52/36/12
Hct : 34,6
Trom : 333.000
Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti. Sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
bahwa negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara (Zumaroh, 2015). Berdasakan data Kemenkes tahun 2015, Jawa Timur
menduduki peringkat ke 12 dari total keseluruhan provinsi di Indonesia dalam
insiden kasus demam dengue. Demam Berdarah Dengue dapat mengancam jiwa
terutama anak-anak di bawah 16 tahun di daerah endemik dengue flavivirus
(Lardo, 2013).
Dalam kasus ini Pasien diantar oleh orangtuanya ke IGD dengan keluhan
Demam hari ke-3 (sejak senin sore 30/05/2022 jam 18.00) Pola demam awal
mendadak terus-menerus, sempat dibawa ke Bidan malamnya diberi obat puyer
dan sirup demam hanya turun saat minum obat , kemudian demam lagi , hari rabu
malam pasien muntah 1x sisa makanan , selama sakit makan minum pasien
menurun, badan terasa sakit semua selama sakit dan mengeluh pusing , diare (-)
mimisan (-) gusi berdarah (-) bab darah(-) bercak2 merah (-) BAK normal
Pada kasus ini pada awal masuk UGD pasien tidak masuk kriteria DHF
menurut WHO 2011 ,
Derajat penyakit DHF oleh WHO (2011) diklasifikasikan dalam 4 derajat:
- Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.
- Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit
(petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi
berlebihan, perdarahan saluran cerna).
- Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
- Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Dengue Syok
Syndrome (DSS)
Pada hari ke 2 MRS ( hari ke 4 demam) pasien mengeluh Demam (+),badan
lemas, tidak mau makan dan minum , mual (+) muntah (-) diare (+) 2x , cair ,
ampas (+) BAK (+) sedikit2 , dan pemeriksaan fisik didapatkan
KU: lemah
TTV TD: 80/51 mmHg Nadi :125 x/mnt lemah RR : 22 x/mnt Suhu : 37 °C
K/L: A/I/C/D -/-/-/- PKGB (-)
Tho: Pulmo: simetis, retraksi (-)simetris, sonor/sonor, ves/ves, Rhonki -/-,
Wheezing -/- Cor: S1S2 tunggal
Abd: cembung, BU (+) normal, , hepatomgali (-),NT (-), timpani
Ekst: akral dingin, edema (-), CRT<2det
Dari pemeriksaan diatas pasien mengalami kegagalan sirkulasi : yakni takikardi,
hipotensi ,denyut nadi lemah, akral dingin dan berdasarkan klasifikasi WHO 2011
pasien mengalami DHF derajat III
Pola demam pada pasien ini , demam cenderung tinggi sampai hari ke 7
demam, dan di awal demam mendadak tinggi , hal tersebut sesaui dengan pola
demam pada demam dengue
1. Fase Febrile
Gejalanya meliputi demam, mialgia, sakit kepala, artralgia dan eksilema, dan
seringkali tidak dapat dibedakan dari penyakit demam akut lainnya.
Manifestasi perdarahan ringan bisa terjadi seperti perdarahan gusi dan
epistaksis. Pengenalan progres ke bentuk parah mungkin sulit selama fase ini.
Untuk menentukan apakah perkembangan penyakit lebih parah terjadi,
warning sign harus diobservasi Durasi fase ini umumnya 2-7 hari (Carlos
2011).
2. Fase Kritis
Fase ini ditandai dengan bukti klinis dan laboratorial tentang disfungsi sel
endotel yang disebabkan oleh infeksi virus, yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular. Fase ini
ditandai dengan perubahan defervensi, peredaran darah dan perfusi yang
mendadak (hipotensi dan syok hipovolemik), efusi serosa (pleura dan asites)
dan disfungsi organ, seperti gagal hati, ensefalitis, miokarditis dan gangguan
pembekuan darah. Leukopenia progresif dan penurunan jumlah platelet
mendadak mendahului kebocoran plasma, dan peningkatan hematokrit
progresif mencerminkan besarnya volume yang hilang ke kompartemen
ekstravaskular. Namun, perlu dicatat bahwa disfungsi organ berat mungkin
ada, termasuk hepatitis, ensefalitis, miokarditis dan pendarahan klinis yang
signifikan, tanpa tanda klinis kebocoran plasma. Fase kritis, yang terbukti
pada 10-15% kasus demam berdarah, mengungkapkan perkembangan
penyakit berat. Durasi fase ini adalah 1-3 hari (Carlos, 2011).
3. Fase Pemulihan
Fase ini ditandai dengan peningkatan fungsi endotel secara progresif dengan
resorpsi fluida bertahap dari ruang ekstravaskular, stabilisasi hematokrit dan
pemulihan platelet progresif. Ruam bisa terjadi bersamaan dengan pruritus
dan bradikardia. Selama fase ini, karena pemulihan fungsi endotel secara
progresif, pemberian cairan (dan akhirnya diuretik) harus diresepkan dengan
hati-hati untuk mencegah kelebihan volume, gagal jantung kongestif dan
pelepasan gagal napas dan efusi serous. Durasi fase ini adalah 1-3 hari
(Carlos, 2011).
Pada pasien ini fase febris berlangsung selama 7hari , fase kritis
berlangsung 1 hari , dan fase kritis pada hari ke 4 , dan pemulihan berlangsung
mulai demam hari 5-8
Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan Leukopenia dan
trombositopeni.
Implementasi hasil Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru (Soedarmo, 2012).
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak (Soedarmo, 2012).
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
o Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
o Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
o Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hal ini bisa terjadi karena saat terjadi infeksi pada DHF terjadi reaksi
antigen-antibodi yang mensupresi pengeluaran mediator-mediator inflamasi
seperti TNF α, INF γ, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF β, C3a,
C4b, C5a, MCP-1, CCL-2, VEGF, dan NO yang dapat mempengaruhi kerja
sumsum tulang dalam hematopoesis, terjadi replikasi dalam sel stroma sehingga
terjadi supresi hemopoietik seperti produksi leukosit dan trombosit yang
berkembang ke arah gangguan koagulasi (Martina et al, 2009).
Pemberian cairan sesuai dengan keadaan klinis pasien dan derajat beratnya
penyakit:
DBD derajat I dan II: infus cairan kristaloid dengan kebutuhan setara
dengan dehidrasi sedang, dihitung untuk tiap jam (WHO: 6-7 ml/kgBB/jam)
DBD derajat III dan IV (DSS): resusitasi cairan kristaloid dan/atau koloid
sesuai tatalaksana syok
Pemantauan ketat untuk tanda-tanda gangguan sirkulasi dan perdarahan,
juga komplikasi lainnya.
Apakah ada tanda-tanda gangguan sirkulasi: Laju nadi kecil dan lemah
sampai tidak teraba Tekanan nadi 2 detik
Pemberian cairan: Demam dengue atau tersangka DBD: banyak minum
dengan cairan rumah tangga, cairan oralit, jus buah, cairan mengandung
elektrolit lain (bila ada muntah-muntah dan anak malas minum, beri cairan
melalui infus)
Suportif dan simtomatik: Diet cukup kalori dan protein, mudah dicerna dan
dapat diterima oleh pasien
Antipiretik: parasetamol (hindari pemberian asetosal dan ibuprofen).
Anti kejang bila diperlukan
Pada pasien ini pada fase kritis ( pada saat terjadi kegagalan sirkulasi )
diberikan asering 2kolf dalam 15 menit ,dan gelofusin 600cc
Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan DL serial yang dilakukan dengan tujuan
Pemeriksaan serial darah tepi yang menunjukkan perubahan hemostatik dan
kebocoran plasma merupakan petanda penting dini diagnosis DBD. Peningkatan
nilai hematokrit 20% atau lebih disertai turunnya hitung trombosit yang tampak
sewaktu demam mulai turun atau mulainya pasien masuk ke dalam fase
kritis/syok mencerminkan kebocoran plasma yang bermakna dan
mengindikasikan perlunya penggantian volume cairan tubuh.
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan,
tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup.
Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) Pada
pasien ini saat memasuki fase penyembuhan, ditandai dengan, KU yang
membaik, anak tidak lagi lemas, perbaikan nafsu makan, dan ditemukan ruam
kemerahan pada kulit terutama pada ekstremitas Inferior
. Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini.
Apabila nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan
atau tanpa penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium harus
diperiksa karena sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus
buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan
elektrolit.
Penderita dapat dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak
terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik,
nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau
takipnea, dan junlah trombosit >50.000/mm3, sedangkan pada pasien ini, pasien
dapat krs pada hari ke 9 dari pertama demam dan ditandai dengan perbaikan
KU, TTV serta pemeriksaan DL yang memenuh syarat pasien dapat KRS.
-
BAB 5
KESIMPULAN
Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Diagnosis DBD/DHF ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium.
Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat
sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran
plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda dan
kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau
penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.
DAFTAR PUSTAKA
Almo, SC., Smith, DL., Danishefsky, AT., Ringe, D. (1994). "The structural basis
for the altered substrate specificity of the R292D active site mutant of
aspartate aminotransferase from E. coli". Protein Eng. 7 (3): 405–412.
doi:10.1093/protein/7.3.405.
Anand, V., & Raj, S. (2018). JMSCR Vol || 06 || Issue || 10 || Page 45-48 ||
October JMSCR Vol || 06 || Issue || 10 || Page 45-48 || October. 06(10), 45–
48.
Chhina, R. S., Goyal, O., Chhina, D. K., Goyal, P., Kumarb, R., & Puric, S.
(2008). Liver function tests in patients with dengue viral infection. Dengue
Bulletin, 32, 110–117.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. (2020). Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur 2019. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah., 1–123. Retrieved
from www.dinkesjatengprov.go.id
Giannini, E. G., Testa, R., & Savarino, V. (2005). Liver enzyme alteration: a
guide for clinicians. 172(3), 367–379.
Harapan, H., Michie, A., Mudatsir, M., Sasmono, R. T., & Imrie, A. (2019).
Epidemiology of dengue hemorrhagic fever in Indonesia: Analysis of five
decades data from the National Disease Surveillance. BMC Research Notes,
12(1), 4–9. https://doi.org/10.1186/s13104-019-4379-9
Islam, R., Salahuddin, M., Ayubi, S., & Hossain, T. (2015). R EVIEW Dengue
epidemiology and pathogenesis : images of the future viewed through a
mirror of the past. 30(October), 326–343. https://doi.org/10.1007/s12250-
015-3624-1
Jagadishkumar, K., Jain, P., Manjunath, V. G., & Umesh, L. (2012). Hepatic
involvement in dengue fever in children. Iranian Journal of Pediatrics,
22(2), 231–236.
Liu, Z., Que, S., Xu, J., & Peng, T. (2014). Alanine aminotransferase-old
biomarker and new concept: A review. International Journal of Medical
Sciences, 11(9), 925–935. https://doi.org/10.7150/ijms.8951
N, Y. R. H., Kumar, R., & Rudrappa, S. (2019). Liver function tests to predict the
severity of dengue fever in serologically positive children below 18 years of
age. 6(2), 358–364.
Narasimhan, D., Ponnusamy, P., & Sathish, M. (2018). Analysis of liver function
tests in dengue fever. 5(1), 47–49.
Nurminha. (2013). Gambaran Aktifitas Enzim SGOT dan SGPT Pada Penderita
Demam Description Of SGOT And SGPT Enzyme Activities In Patients On
Dengue Hemorrhagic Fever ( DHF ) Of Dr . Hi . Abdul Moeloek Hospital
Bandar Lampung. 2(1), 276–281.
Rodenhuis-Zybert, I. A., Wilschut, J., & Smit, J. M. (2010). Dengue virus life
cycle: Viral and host factors modulating infectivity. Cellular and Molecular
Life Sciences, 67(16), 2773–2786. https://doi.org/10.1007/s00018-010-0357-
z
Roy, A., Sarkar, D., Chakraborty, S., Chaudhuri, J., Ghosh, P., & Chakraborty, S.
(2013). Profile of hepatic involvement by dengue virus in dengue infected
children. North American Journal of Medical Sciences, 5(8), 480–485.
https://doi.org/10.4103/1947-2714.117313
Samanta, J. (2015). Dengue and its effects on liver. World Journal of Clinical
Cases, 3(2), 125. https://doi.org/10.12998/wjcc.v3.i2.125
Wang, W., Nayim, A., Chang, M. R., Assavalapsakul, W., Lu, P., Chen, Y., &
Wang, S. (2020). ScienceDirect Dengue hemorrhagic fever e A systemic
literature review of current perspectives on pathogenesis , prevention and
control. Journal of Microbiology, Immunology and Infection, 53(6), 963–
978. https://doi.org/10.1016/j.jmii.2020.03.007
WHO. (2009). Dengue. World Health Organization (WHO) and the Special
Programme for Research and Training in Tropical Diseases (TDR), 257–
259. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-374144-8.00078-3